BAB I Aku Sang Penanti
Kau pernah pergi, itu atas inginmu, Lalu kau kembali juga atas pintamu, Dan kau pergi lagi kini juga karna egomu, Kau memintaku menanti, kau janjikan kembali, Yang tersisa hanya garis – garis luka ketika aku tahu, Perselingkuhan adalah jawaban semua sikapmu..
“Maaf karna telah menyusahkanmu, Tapi aku; aku terlalu menyayangimu !” Satu pesan masuk yang lalu kubaca perlahan sambil berpikir, dengan keadaan darah meletup – letup dalam ubun – ubun, aku mengirim balasan, “ Aku tidak butuh maafmu. Semoga kau bahagia dengan pilihan yang kau ambil dan semoga karma tidak datang padamu” Aku bangkit dari duduk, berjalan kearah jendela dan membuka tirainya. Ku lemparkan pandangan pada pohon palm disudut pagar rumah kontrakan ku. Mataku memang mengarah ke pohon itu, tapi pandanganku tidak, ia menelesuri sudut memori yang tak pernah ingin pergi. Seluruhnya termasuk cincin indah yang melingkari jari manisku membuat aku berat untuk beranjak. Semua ini karna dia; kekasihku. Kekasih yang bukan lagi kekasihku dulu. Ia berubah sekilat membalikkan telapak tangan. Tak mudah menjelaskan bagaimana bisa aku sebodoh ini dan sulit menerangkan seperti apa selama ini aku menguat – nguatkan diri lemahku untuk bertahan dibalik tembok tinggi berduri ini hanya untuk menantikan kepulangannya, terlalu simple jika aku sebut semua itu sebab cinta. Dua tahun yang lalu ia pergi meninggalkan cintanya untuk menemui cita – citanya . Ia menyebutkan ini semua sebagai titik awal untuk kami menuju masa yang katanya bahagia pada waktunya dan titik awal tidaklah mudah. Aku maupun dia harus mau mengubah semua kebiasaan yang biasa dilalui bersama, rela dipisah oleh waktu juga jarak. Dan aku bisa untuk tidak mempermasalahkan semua itu, selama semua yang telah terjaga akan tetap terjaga sampai ia kembali. “Beep…! Beep…!” Ponsel ku berdering. “Mbak Mitha memanggil”
“Uki, jadi kerumah mama ?” Suara itu langsung memantul setelah kuusap layar ponsel untuk menerima panggilan. “Iya, aku masih dirumah. Sebentar lagi aku ke sana” “Baiklah. Hati – hati dijalan” “Iya, Mbak” Panggilan terputus, aku kembali menutup tirai jendela. Berbalik arah, keluar kamar lalu menyeruput habis segelas susu hangat yang tinggal sedikit didalam gelas; diatas meja yang letaknya di dekat pintu kamarku.
*** Aku berjalan sangat pelan, memasuki ruang yang membuat aku benar – benar merasa dekat dengannya. Aku mengingat dengan lancar semua memori yang melekat pada rumah ini. Warna dan bau cat masih sama seperti beberapa bulan lalu, ketika aku pertama kali masuk ke rumah ini setelah acara Tukar cincin berlangsung hangat dirumahku. Potret – potret di dinding terbingkai sendu hari ini. Gambaran ceria masa lalu tak lagi dirasa sama detik ini. “Kita” mungkin hanya tersisa dalam photo dinding. Senyum yang berbeda, sikap yang berbeda juga tatapan yang berbeda. Semua tertinggal dalam goresan tinta pada kertas. Ku sentuh dengan takut – takut gambar wajahmu, sejenak rindu mengikis, namun luka semakin mengiris. Satu hal yang aku dapati, “Semua yang sudah berlalu adalah sia – sia, Kosong”. Aku lanjut melangkah menuju sebuah ruangan yang disana mereka sudah menungguku sedari tadi. “Hai, akhirnya sampai juga kamu” Mereka menyapaku dengan wajah sumringah seperti biasa, terutama Mama yang hari ini tengah berulang tahun. Aku tersimpul, lalu berjalan sebentar meletakkan bingkisan yang kubawa ke meja makan yang tidak jauh dari ruang keluarga yang sudah ramai oleh Mama, Kakak, Saudara ipar juga Keponakan Firaz. Iya, ini adalah rumah Firaz, seorang laki – laki yang sudah kukenal 7 tahun belakangan ini, dan sebelum ia pergi kami sempat melaksanakan acara Pertunangan. “Tante Uqi, ayuk main” Dua keponakan Firaz yang kira – kira berumur empat tahun mendekati aku yang sudah duduk diantara mama mereka; Mbak Mitha, dan Mbak Ayu. “Ara, Wafi, Jangan main melulu. Kemarilah, kita potong Cake nya buat Oma” Mbak Ayu menarik dan memangku Ara putrinya serta Wafi putra Mbak Mitha. Ketika itu Mas Reza suami dari Mbak Mitha muncul membawa cake dari meja makan, ia menyerahkan cake itu pada istrinya lalu aku membakar lilin diatasnya dengan korek yang sedari tadi sudah disiapkan. “Ayuk Oma, tiup lilinnya!” Wafi bersorak dengan nada bicaranya yang masih celat, sambil memegangi mainan mobil – mobilan kesukaannya.
“Eh.. Jangan!” Ara bangkit dari pangkuan Mamanya, berlari memeluk Omanya yang saat itu duduk disamping kanan ku. “Kenapa jangan, Ara ?” Tanyaku, aku menyentuh lembut pipinya. Ara menatapku manja, “Kita nyanyi dulu, Tante. Ayuk!” “Ya sudah. Ayuk kita nyanyi bersama – sama buat Oma, ya ?” Aku mengelus rambut Ara yang sangat menggemaskan. Ia sangat ceria terlebih ketika menyanyikan lagu Selamat ulang tahun meski dengan lirik yang ia sendiri belum terlalu hafal. Suaranya melengking dengan ucapan yang juga masih cadel. Ia dan Wafi terpaut usia enam bulan. Mereka membuat suasana menjadi sangat ramai. *** Aku menyusuri jalan Gandawijaya. Dengan menyetir sendiri. Malam sudah semakin pekat, padahal ini baru saja pukul sembilan malam. Tampaknya bintang tidak ada yang bertugas diatas sana. Pulang dari rumah Firas aku singgah di warung mie baso kesukaanku. Entah bagaimana menjelaskan tentang kesukaan ku terhadap makanan berbentuk bulat ini. Rumahku tidak terlalu jauh dari warung makan tadi, sehingga akupun bisa sesering mungkin melampiaskan nafsuku untuk menyantap bakso. Dulu, aku juga sering melakukan ini bersamanya, jalan – jalan yang ujung – ujungnya selalu makan bakso tanpa kenal bosan. Ahh..! Sudahlah. Aku sedang tidak ingin mengingat masa lalu. Aku menghentikan mobil ditepi jalan di depan pagar rumah, aku langsung turun dan membuka pintu pagar, lalu kembali masuk dan memarkirkan mobil sport vehicle-ku atau yang sering disebut SUV di dalam garasi setelah membuka pintunya lagi sendiri seperti halnya membuka pintu pagar tadi. Aku melakukan itu sendiri karna memang tidak ada orang lain yang bisa membantu untuk membukakannya. Aku hanya tinggal sendiri dirumah yang ukurannya tidak terlalu besar juga tidak terlihat kecil untuk mahasiswi semester lima sepertiku. Dan aku sudah terbiasa mandiri. Entah siapa yang mengajarkan semua itu untukku, yang aku tahu sejak Papa tiada ketika usiaku lima belas tahun, aku lebih memilih tinggal sendiri di Cimahi. Mama ? Aku masih memiliki Mama, yang satu tinggal di Bandung yang satunya lagi tinggal di Yogyakarta. Silsilah kerluargaku ribet. Setelah urusan pintu ke pintu selesai. Aku masuk ke kamar dan mengganti pakaianku dengan piama berwarna hijau mint yang sangat nyaman setelah membersihkan diri tadi dengan shower beberapa menit. Aku meluruskan tubuh diatas tempat tidur empukku ini. Aku meraih hp yang tadi ku letakkan sembarang di kasur. Aku mengecek pemberitahuan masuk, tapi , tidak sesuai harapan. Tidak ada yang menghubungiku. Kembali pada silsilah keluarga. Papa-ku seorang Lettu atau Letnan satu TNI-AD, ia menutup usianya pada perang suku tujuh tahun lalu. Ia aseli yogyakarta namun ibunya (Nenekku) keturunan Inggris sedangkan Mama kandungku seorang Pramugari
yang berhenti bekerja tidak lama setelah bercerai dari Papa waktu aku usia 7 tahun. Mereka memutuskan berpisah karna sudah tidak ada kecocokan lagi, wajar saja setiap hari dirumah selalu bertengkar hebat yang aku tidak tahu apa alasannya, waktu itu aku masih kecil. Dua tahun kemudian Papa juga Mama menikah lagi. Papa menikah dengan seorang janda anak satu, usia putrinya tujuh tahun lebih muda dariku, dan dalam pernikahannya itu Papa tidak memiliki anak lagi hingga Papa meninggalkan kami untuk selamanya saat aku berusia 15 tahun, sedangkan mama menikah dengan duda aseli Malaysia dan menetap di Yogyakarta. Setahun setelah Papa tiada, Mama tiriku menikah lagi dengan pengusaha asal Bandung dan menetaplah mereka di Jalan Antapani, Bandung. “Beep……!” Lamunanku buyar. Hp ku berdering. Ku lirik. Satu pesan masuk. Dari Fania. Fania adalah sahabatku sejak SMA. “Qi, pertengahan bulan nanti ada reunian alumni SMA Negeri 23 . Ikut ya ?” Aku tidak langsung membalas. Aku menghisap jempol kananku. Sibuk berpikir. Lalu mendapatkan jawaban yang tepat. “Emang dimana acaranya ?” “Di Sekolahan, Keliatannya bakal seru, karna panitia ngatur acaranya Minggu pagi dan kita di sarankan untuk pakai seragam putih abu – abu. Seru, deh!” Dia membalas kilat. Di Sekolahan, SMA 23…… Yang dulu aku selalu dengan Firas disana. SMA Negeri 23. Menyebut SMA 23 sejenak membuat dadaku sesak. Ia menarik paksaku kesini, kebelakang, tepatnya pada cerita beberapa tahun lalu. “Luqyana Arundati!!!!” Aku mendengar namaku di sebut samar – samar. Aku tidak yakin ada yang memanggil ya aku cuek, terus berjalan di lorong sekolahan menuju perpustakaan yang ada dilantai dua, saat ketemu tangga dan ketika akan menaiki satu anak tangga. “Yuqi!!” Panggilan itu semakin jelas tapi aku tidak penasaran. Aku kenal betul itu suara siapa. Aku tahu seseorang yang menyebut namaku sebagai “Yuqi” hanya dia, Aku tersenyum dalam hati. Dan tetap tenang tanpa menoleh. Dan..Yah… “, Ia menarik tanganku dari arah belakang. “Qi!” Ia membentak kesal. Aku berbalik badan. “He-heh. Firas, sejak kapan disini ?” Aku nyengir seperti tak punya salah. “Sejak kapan kamu punya masalah pendengaran ?”, Ia menggebuk lenganku dengan buku yang ia bawa. Buku yang lumayan tebal. Dan rasa pukulannya juga mantab. Kelakuannya itu membuat bibirku refleks mengerucut. “Apaan sih, Ras” “Aku keliatan bodoh jeritin kamu yang cuma cuek, sedangkan anak – anak yang lagi istirahat diluar kelas, yang juga mondar mandir di lorong ngeliatin aku lari – larian jeritin kamu” Suara Firas tinggi dengan nafas terengah - engah. Tapi aku malah cengengesan dan menjawab santai, “Kuping aku normal. Kamu lelah, tha ?” Aku berdiri setengah jinjit, mengacak – acak rambut depannya. Wajahnya langsung merah padam. Matanya melotot. “Apa aku sedang melihat
sosok dari dunia lain di sekolah ini”, Aku menenggelamkan wajahku pada kedua telapak tangan. Aku mengintip dari celah jari, matanya semakin melebar, hidungnya yang tinggi mancung mulai mengembang. Ia sepertinya marah sungguhan. Aku memperlihatkan wajah bersalah, “Ras, sorry” Ia menggeleng. Aku menunduk sesal. Ia meraih tanganku. Menggenggamnya erat. Ia membawaku pergi , langkahan kakinya cepat, aku hampir tersandung. “Ras, kita mau kemana ?” Tanyaku melas. “Ke kantin, sayang” Nadanya mulai lembut. Kulihat anak – anak disekolah melihat kearah kami, heran. “Bilang dong kalau laper” Aku mendesah lega. “Kan nanti kamu mau ulangan, kenapa tidak belajar aja lagi ?” “Ini mau belajar. Please ya, gaku belum paham satu bab lagi” Ia menurunkan kecepatan kakinya. Iya, aku tau sebentar lagi kami sampai dikantin. “Mmmmh” Aku nggak menjawab apapun. “Satu mangkuk bakso, Qi” Ia merayu. Aku tak merespon. “Plus es milo deh” Tawarnya. Aku pun tetap diam. Kulihat wajahnya putus asa. “Ras, plus dua bakwan ya” Aku menyeringai. Ia terlihat bernapas lega.