Bediuzzaman Said Nursi dan Gagasan Pembaruan Pemikiran Islam Ustadzi Hamzah Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Di penghujung abad XIX dan awal abad XX dunia Islam, atau tepatnya negaranegara muslim telah terbebas dari penjajahan Eropa Barat, yang ditandai munculnya nasionalisme di berbagai wilayah. Seiring dengan derasnya tiupan paham nasionalisme, paham-paham lain seperti materialisme, positivisme, naturalisme, dan bahkan ateisme juga semakin kokoh dan kuat mempengaruhi pemikiran di negerinegeri muslim tersebut. Dalam kondisi psikologis yang masih rentan terhadap pengaruh eksternal karena baru “lahir” sebagai negara merdeka, di mata Eropa, negara-negara muslim masih banyak mengharapkan “tuntunan” untuk berdiri sebagai bangsa yang bermartabat dan bermoral yang tinggi. Oleh karena itu, sisa-sisa “asuhan” dari negara-negara Eropa masih berurat berakar dalam kehidupan masyarakatnya. Tak ayal lagi, apa yang menjadi pandangan Eropa dianut pula di negara-negara muslim tersebut, termasuk bagaimana cara beragama dan cara bermasyarakat.
Islam dalam Konteks Sosial di Turki Tidak jauh berbeda dengan negara-negara muslim lainnya yang baru saja merdeka dari Eropa, Turki sebagai negara muslim juga mengalami persoalan yang sama. Setelah lepas dari Inggris yang diiringi runtuhnya khilafah Uthmaniyyah, Turki dibanjiri ideologi-ideologi Barat yang, dalam beberapa hal, bertentangan dengan spirit Turki. Benturan ideologis antara “Barat” dan Islam di Turki menimbulkan gesekan-gesekan yang mengantarkan Turki pada “gerakan pembaruan” yang diawali dengan era Tanzimat (1839-1871).
1
Gerakan pembaruan ini terus bergulir yang mengkristal dalam tiga arus besar gerakan di Turki, yakni: Westernis, Turkis, dan Islamis. Kelompok pertama dipelopori oleh Tevfik Fikret (1867-1951) dan Abdullah Cevdet (1869-1932) yang memandang bahwa untuk mencapai kehidupan yang modern harus mengadopsi ilmu pengetahuan dan kemajuan Barat dengan meninggalkan pandangan lama (Islam). Sedangkan kelompok Turkis menginginkan bangkitnya nasionalisme Turki yang dipelopori oleh Ziya Gökalp. Sementara itu kelompok Islamis menginginkan kembali pada dasar Islam untuk memperoleh kemajuan. Kelompok ini dipelopori oleh Mustafa Sabri dan Bediuzzaman Said Nursi. Dalam perkembangannya kelompok pertama lebih dominan dengan tampilnya Mustafa Kemal Pasha yang di penghujung gerakannya memegang tampuk pimpinan politik. Arus utama gerakan yang diusung Mustafa Kemal berorientasi pada “ideologi sekulerisme” yang lazim dikenal dengan Kemalism. Langkah-langkah sekulerisme Turki jauh melebihi apa yang terjadi di Eropa sendiri, sehingga melahirkan resistensi yang keras dari kelompok Islamis. Gerakan Mustafa Sabri yang condong Pan-Islam redup dengan sendirinya berhadapan dengan Kemalism. Sedangkan Said Nursi yang lebih moderat dengan membangkitkan Islam dalam konteks Turki lebih dapat bergerak meskipun dalam ruang yang sempit sekulerisme Mustafa Kemal. Oleh karena itu gerakan Nurculuk (Nurcular, pengikut Nursi) tersebar luas di Turki dan tetap kritis terhadap pemikiran sekulerisme Kemal Ataturk. Mereka inilah yang menyebarluaskan pikiran-pikiran Said Nursi dan mengajak kembali kepada semangat Al-Qur’an.
Said Nursi dan Risale-i Nur Bediuzzaman Said Nursi, sebuah nama yang begitu asing di telinga umat Islam Indonesia, merupakan sosok pemikir, pembaru, dan penggerak laju dinamika puritan di Turki. Di Indonesia, pemikiran beliau belum banyak diketahui, sementara di luar Indonesia posisi Said Nursi merupakan pionir pemikiran Islam sekelas Muhammad
2
Syahrur di Syiria dan Muhammad Abduh di Mesir. Sekalipun demikian, akhir-akhir ini kajian tentang pemikiran Said Nursi sudah punya tempat di ranah kajian Islam di Indonesia. Sekilas menengok ke belakang tentang kehidupan Nursi. Guru-guru yang menempa pengetahuan Nursi awal adalah Abdullah, kakaknya sendiri; Şeyh Sayyid Nur Muhammad, seorang syaikh Naqsyabandiyah di Hizan. Kemudian dia menimba ilmu pada Şeyh Muhammed Amin Efendi di Arvas. Selepas dari sini ia melanjutkan studi ke madrasah Mir Hasan Veli di Müküs. Kemudian di bawah bimbingan Şeyh Mehmed Celali Nursi mendalami ilmu-ilmu keislaman di samping nahw dan sarf sampai mendapat ijazah dan gelar kehormatan Molla Said. Tahun 1894 dia diberi gelar bediuzzaman (perhiasan zaman). Said Nursi banyak diperhatikan oleh para pengkaji Islam karena karyanya yang sangat monumental yakni Risale-i Nur (Rasa‘il al-Nur) yang terdiri dari kumpulan risalah-risalah yang ditulis sepanjang hayatnya dengan tebal lebih dari 5000 halaman. Ide dasar Risale-i Nur adalah ajakan kembali pada al-Qur’an dengan semangat baru, semangat modern yang memadukan antara kemajuan zaman dengan keagungan ayat-ayat al-Qur’an.
Pada mulanya Risale-i Nur merupakan risalah-
risalah yang tercecer, kemudian dikumpulkan oleh Said Nursi dan diterbitkan oleh para muridnya dengan nama Risale-i Nur [Risalah-risalah Penerang] dan disebarkan ke negara-negara Eropa, Afrika, Amerika dan Asia. Risale-i Nur seluruhnya terdiri dari 9 jilid (edisi Arab), 4 jilid (edisi Inggris), dan beberapa risalah yang diterbitkan secara terpisah menjadi kitab-kitab yang menjadi bagian Risale-i Nur yang terbit dalam berbagai macam bahasa. Tema-tema penulisan karya-karya ini mengikuti alur budaya dan kultur yang melingkupi kehidupan Said Nursi. Pada periode Sa’îd alQadîm
(1887-1923)
tulisan-tulisannya
bernuansa
kritik
terhadap
kebijakan
pemerintahan Utmaniyah yang opresif dengan mengatasnamakan Islam, terutama dalam konstitusi. Sedangkan periode Sa’îd al-Jadîd (1923-1950) karyanya bernuansa
3
refleksi keimanan sebagai landasan hidup pribadi dan masyarakat untuk “melawan” faham atheisme dan kuffâr, dan periode Sa’îd al-Tsâlits (1950-1960) merupakan kelanjutan dari periode sebelumnya dengan karya-karya yang ditulis sangat berwarna pelayanan terhadap kepentingan umat Islam terutama di dalam persoalan keimanan. Secara garis besar isi Risale-i Nur dapat dikelompokkan menjadi tema besar yakni:
[1]
menumbuhkan
kesadaran
umat
Islam,
[2]
untuk
menghadapi
perkembangan intelektual yang bernuansa filsafat materialisme dan positivisme, dan [3] untuk menampilkan kesadaran kolektif dengan menghidupkan masyarakat yang berbasis satu Islam. Tahun 1960 Nursi wafat dan dimakamkan di Urfa dengan meninggalkan kader-kader “iman” yang mewarnai Islam di Turki pada masa-masa berikutnya.
Pemikiran Pembaruan Said Nursi Sebagaimana pembaru lain di dunia Islam yang semuanya sebagai “respon” pemikiran dan dominasi Barat, Said Nursi juga mengkritik pemikiran Barat sembari merumuskan model pemikiran baru untuk landasan pacu pembaruan di dunia Islam. Meskipun demikian, para pembaru yang lahir dari rahim dunia Islam selalu hendak menggali ruh al-Qur’an sebagai dasar pijak pemikiran (fikrah) dan pergerakan. AlQur’an merupakan maraji’ sekaligus mashadir bagi semangat untuk bergerak. Dengan dasar inilah gerakan pembaruan Islam dikenal dengan gerakan kembali pada al-Qur’an dan hal pertama dari pemikiran Nursi adalah mengajak umat kembali pada al-Qur’an. Bagi Said Nursi, kebangkitan umat Islam hanya bisa dilakukan dengan menggali etos Qur’ani. Oleh karena itu, jalan pertama kali yang ditempuh Said Nursi adalah menyadarkan kembali umat Islam akan posisi sentral al-Qur’an di dalam Islam itu sendiri. Untuk itu Said Nursi menulis sebuah risalah yang secara khusus membahas keagungan dan kemukjizatan al-Qur’an, yakni risalah Isaratul I’jaz fi
4
Madzani Ijaz. Nursi membahas seluk beluk kemukjizatan al-Qur’an, dan menunjukkannya kepada umat Islam betapa mengagumkannya al-Qur’an tersebut jika dibandingkan dengan bacaan apapun. Hal ini dilakukan karena selama ini alQur’an betapa jauh ditinggalkan oleh umat Islam sendiri. Langkah Said Nursi ini sejalan dengan usaha Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Mesir untuk mengembalikan al-Qur’an sebagai core value bagi perilaku dan pikiran umat Islam, karena selama ini Islam justru tertutup oleh pikiran dan perilaku umat Islam sendiri yang selalu menjauh dari al-Qur’an. Said Nursi tidak berhenti pada usaha “memunculkan” ghirah untuk mengagumi al-Qur’an, dia juga menafsirkannya sesuai dengan konteks
yang
dihadapi yang disesuaikan dengan “bahasa modern”. Model penafsiran yang dikembangkan Said Nursi adalah melihat al-Qur’an sebagai sistem tanda, tanda dari ke-Maha Kuasa-an Allah. Dengan menguraikan tanda-tanda itu Nursi menjalin tafsirannya dengan apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah (sunnah) sebagai orang yang paling otoritatif atas penafsiran al-Qur’an, sehingga uraian-uraian tafsir yang tertuang dalam Risale-i Nur sangat terkait dengan tiga hal sekaligus: kemukjizatan al-Qur’an sebagai sistem tanda, sunnah Rasulullah, dan realitas masyarakat modern. Oleh karena itu, tafsir dalam Risale-i Nur sangat menyentuh akar persoalan masyarakat dengan semangat sunnah untuk menghidupkan iman dan amal. Model penafsiran ini mengacu pada logika harfi (harfi logic), dimana realitas merupakan sesuatu yang terkait dengan nilai ilahiyah, yang dengan nilai itu sesuatu bisa berdiri dan bermakna secara utuh. Model ini sebagai kritik dari logika ismi (ismi logic) yang dikembangkan oleh pemikiran filsafat yang materialistik, bahkan ateistik. Bagi pemikiran filsafat ini, segala sesuatu bisa berdiri sendiri dan bermakna dengan sendirinya tanpa terkait dengan nilai-nilai (value free), dan manusialah yang menetukan makna bagi dirinya sendiri. Ini tak luput dari pengaruh filsafat ateistik dan materialistik yang mempengaruhi pola pikir umat Islam di Turki dan di negeri
5
muslim lainnya saat itu. Pola tafsir inilah yang mewarnai seluruh isi Risale-i Nur, dan iman menjadi orientasi utama penafsiran itu yang pada gilirannya menjadi landasan pokok bagi kebangkitan umat. Hal kedua yang menjadi corak pembaruan Nursi, yakni pendidikan umat. Bagi Nursi, kebodohanlah yang menjadi salah satu penyebab utama kemunduran sehingga dengan sangat mudah umat Islam dijajah dan hidup dalam kekuasaan bangsa asing di negeri sendiri. Oleh sebab itu, usaha Said Nursi pertama kali ialah menyadarkan umat akan pentingnya pendidikan. Usaha ini diiringi dengan penyadaran akan kesatuan dan kepaduan agama dan sains modern. Ini diwujudkan dengan cara mengajar di sekolahnnya, Madrasah Khurkhur, dan berbagai madrasah di kota-kota kecil lainnya. Dia melihat bahwa untuk maju, umat Islam perlu mempunyai mutu pendidikan yang tinggi dengan lembaga pendidikan tinggi independent sebagai pusat intelektual. Untuk itu dia mendirikan universitas Islam sekelas al-Azhar di Mesir dengan nama Medresetü’z-Zehra. Meskipun selalu terganjal oleh perang dan gagal mewujudkannya, Said Nursi terus memberikan pelajaran-pelajaran melalui risalah-risalahnya. Di samping itu, di berbagai penjara yang ditempatinya –sebagian besar hidup Nursi di habiskan di penjara sebagai tahanan politik, dia menjadikan penjara itu sebagai medrese, sekolahan bagi para narapidana di dalamnya yang dikenal dengan Medere Yunusiyah dan Medrese Yusufiyah. Kemudian seluruh murid-muridnya yang mempelajari Risale-i Nur dikenal dengan Medrese Nuriye atau tullab al-nur yang tersebar di seluruh dunia. Satu poin yang patut dicatat bahwa pembaruan pemikiran Said Nursi dalam bidang pendidikan adalah meyatukan kembali etos agama dan sains modern. Landasan filosofisnya bahwa alam merupakan salah satu tanda kebesaran Allah. Manusia sebagai makhluk-Nya yang paling sempurna diberi kemampuan untuk menggali alam. Dalam pandangan Nursi, manusia hanya akan “bermakna” jika terkait dan meyandarkan diri pada Allah, sehingga kemampuan manusia untuk
6
memikirkan alam sehingga melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan merupakan pancaran dari cahaya Allah. Dengan dasar inilah seluruh ilmu pengetahuan yang lahir karena semata-mata untuk mendalami ayat-ayat (tandatanda) kekuasaan Allah merupakan sains yang berjiwa agama, dan merupakan entitas tunggal-padu. Pemikiran ini sekaligus menghilangkan image bahwa agama dan sains itu dua entitas yang berbeda yang ditanamkan oleh paham Sekulerisme. Hal ketiga yang menjadi usaha untuk memperbarui cara pandang umat Islam adalah bidang sosial dan politik. Bagi Said Nursi, negara bukanlah segala-galanya. Negara merupakan alat untuk menjalankan nilai-nilai Islam, sehingga aspek kejujuran, moralitas, spiritualitas, dan solidaritas menjadi orientasi utama. Yang terjadi di sebagian besar negara muslim, Islam dijadikan alat politik, sehingga setelah tujuan politik tercapai alat itu ditinggalkan. Negara akan menjadi ladang subur bagi kekuasaan tirani, korup, dan rasialis. Dengan acuan ini Said Nursi mengemukakan konsep “positif nasionalisme” yang dikonfrontasikan dengan “negative nationalism”. Positif nasionalisme, bagi Nursi, “arises from an inner need of social life and is the cause of mutual assistance and solidarity; it ensures a beneficial strength; it is a means for further strengthening Islamic brotherhood”. Ia (positif nasionalisme) merupakan kebutuhan yang muncul dari dalam kehidupan sosial bangsa sendiri untuk memperkuat solidaritas bangsa. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa kebanyakan bangsa-bangsa muslim setelah merdeka dari penjajah Eropa selalu mengadopsi nilai-nilai Eropa, khususnya ide tentang nasionalisme, yang terkadang menjerumuskan bangsa sendiri pada sikap rasialis, emban cindé emban siladan, memusuhi saudara sendiri. Nasionalisme ini mendorong sikap arogansi kelompok, dan berfikir hitam-putih. Inilah nasionalisme negatif. Menurut Said Nursi, nasionalisme yang harus dibangun oleh bangsa muslim adalah semangat untuk mencintai bangsa sendiri sesuai dengan kebutuhan bangsa untuk menegakkan nilainilai Islam seperti solidaritas, integritas, keihlasan (sincerity) untuk menghargai
7
orang lain. Élan dari nasionalisme positif akan mendorong untuk memberikan yang terbaik bagi kemajuan bangsa. Sikap ini tercermin dari “pelayanan bagi kepentingan bersama”, seperti penyediaan fasilitas-fasilitas yang bisa diakses secara terbuka oleh seluruh warga negara tanpa mempertimbangkan perbedaan. Bagi Nursi, Islam akan sangat bermakna jika diwarnai dengan penghargaan yang tinggi terhadap kemaslahatan yang diwadahi dalam organisasi politik yang positif. Persoalan penting lainnya yang terkait dengan pemikiran pembaruan Said Nursi adalah masalah ijtihad. Memang ijtihad tidak hanya terbatas dalam masalahmasalah hukum, tetapi juga dalam hal tindakan sosial, namun yang terpenting dalam konteks ini Said Nursi menandaskan aspek rasionalitas dalam pengambilan kesimpulan dan keputusan. Dalam Risalah al-Ijtihad (Treatise on Ijtihad) secara tegas Nursi menyatakan bahwa ijtihad selalu terbuka, dan berlaku dalam segala hal. Ini meniscayakan adanya ruang yang cukup untuk menuangkan gagasan yang akhirnya menjadi keputusan. Keleluasaan inilah yang menawarkan banyak pilihan untuk maju dan berubah, sehingga sangat meminimalisir tindakan yang hanya “meniru” dan mengikuti keputusan yang tidak jelas rasionalitasnya (taqlid). Rasulullah, sebagaimana dinukil Nursi, memberikan ruang yang luas untuk mengikuti beliau dengan mengetahui rasionalitas hadith/sunnah (ittiba’) atau merumuskan cara baru dalam mengahadapi persoalan (ijtihad). Oleh karena itu, pemikiran akan selalu berkembang sejalan dengan konteks masyarakatnya. Kemunduran terbesar yang melanda umat Islam karena merasa cukup dengan mengikuti para pendahulunya, tanpa harus berfikir dan memutuskan lagi sejalan dengan konteks dan perkembangan zaman yang ada. Oleh karena itu, Said Nursi menggarisbawahi bahwa untuk bisa maju dan berubah harus “berani” berijtihad, menemukan kembali “rasionalitas” yang hilang karena sikap taqlid. Di sini Nursi sangat memperhatikan ilm al-hal, pengetahuan tentang konteks dan
8
kontekstualisasi. Ini tidak berhenti pada aspek hukum saja tetapi juga aspek sosial, budaya, politik, dan sebagainya yang menyangkut persoalan umat. Pemikiran pembaruan, di manapun munculnya, Mesir, Turki, India, Iran, ataupun Arab selalu menghajatkan perubahan dan kemajuan. Oleh karenanya perubahan selalu meniscayakan kondisi yang memungkinkan dan faktor yang bisa mendorong terciptanya perubahan itu sendiri. Faktor terpenting dari sebuah perubahan, seperti ungkapan Edward Shill, adalah seorang pioneer, seorang pelopor pembaru. Said Nursi telah mewujudkan hal ini untuk konteks Turki dan dunia Islam modern. Wallahu a’lam.
Bahan Bacaan al-Sâlihî, Ihsân Qâsim. 1999. Badî’ al-Zamân Sa’îd al-Nursi: Nadrah ‘âmmah ‘an hayâtih wa atsârih. Al-Maghrib: Matba’at al-Najâh al-Jadîdah. Said Nursi, Bediuzzaman. 1992. The Words, terj. Sukran Vahide. Istanbul: Sozler Nesriyat. Said Nursi, Bediuzzaman. 1992. The Letters, rev. edition, terj. Sukran Vahide. Istanbul: Sozler Nesriyat. Vahide, Sukran. 1992. The Author of The Risale-i Nur: Bediüzzaman Said Nursi Istambul: Sozler Publication. Yavuz, M. Hakan. 1999. “The Assassination of Collective Memory: The Case of Turkey”, The Muslim World, Vol. LXXXIX, No. 3-4 (July-October).
9