e-mail :
[email protected], sites : http://lpmhimmahuii.org
Edisi 156 | Tahun Ke-14| April 2012
Beda Nasib Disiplin Dosen UII
Yuyun Septika L. | KOBARkobari
1
Beda Nasib Disiplin Dosen UII Penegakan disiplin bagi dosen indisipliner di Universitas Islam Indonesia (UII) masih berbeda-beda, seperti apa?
Oleh Agam Erabhakti Wijaya Kampus Terpadu, Kobar Sanksi tegas terhadap dosen yang kurang disiplin ditemukan tidak sama di sejumlah fakultas dan jurusan. Ilmu Kimia adalah salah satu prodi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) yang belum dapat menerapkan kebijakan tegas terkait sanksi disipin dosen. Kaprodi Ilmu Kimia, Riyanto, menyampaikan bahwa sanksi tersebut tidak ada karena penilaian yang tidak semata-mata dari kehadiran dosen yang bersangkutan. Penilaian dilakukan dari seluruh komponen penilaian yang ada. “Kalau reward untuk dosen ada, tetapi hukumannya yang tidak ada. Kebijakan ini diambil karena pihak jurusan merasa berisiko jika harus mengganti dosen atau
sampai memberhentikan dosen,” tutur Riyanto. Lain jurusan lain kondisi, seperti yang terjadi di Fakultas Teknologi Industri (FTI). Tito Yuwono sebagai Kaprodi Teknik Elektro menerangkan bahwa ada beberapa komponen dalam menilai kinerja dosen. Komponen yang dimaksud antara lain kehadiran dosen, nilai keluar tepat waktu, kuisioner mahasiswa, dan produktivitas dosen yang berkaitan dengan jabatan akademik dosen. Terkait sanksi yang berlaku bagi dosen indispliner tanpa alasan jelas, Tito menanggapi jika hukuman untuk dosen tetap yang tidak disiplin adalah peringatan, kemudian pengurangan beban mengajar. Bagi dosen luar (dosen tidak tetap) bisa
sampai diberhentikan dari UII. “Dosen tetap yang ndablek, misal hanya dua kali hadir selama satu semester dan berkalikali, tentu yang bersangkutan bisa dikeluarkan,” terang Tito. Ketika ditanya mengenai kedisiplinan dosen di Fakultas Ekonomi (FE), Dekan FE, Hadri Kusuma, menjelaskan apabila kinerja dosen buruk, dosen tersebut tidak dapat naik pangkat untuk seterusnya, bahkan untuk dosen yang paling baik sekalipun. Hadri berpendapat bahwa sanksi berupa pemberhentian (skors) bagi dosen indisipliner merupakan langkah tegas yang harus diambil. “Saya berhentikan karena tidak bisa memberi contoh kepada mahasiswa, dosennya saja tidak bisa disiplin bagaimana mau
Dosen harus dapat memberi contoh bagi mahasiswanya. Karena seorang dosen akan menjadi percontohan bagi mahasiswa dalam merangkai masa depannya. Jika dosennya saja kedisplinannya sudah buruk, bagaimana kedisiplinan mahasiswanya ? Mengutip dari perkataan Syaikh al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullaah, seorang penuntut ilmu harus memperbaiki adabnya terhadap gurunya. Berdasarkan penuturan di atas sangat jelas beban moral seorang pengajar sangat tinggi. Harusnya menjadi intropeksi bagi dosen UII terhadap kualitas kedisplinan mereka. Ketegasan untuk dosen mutlak harus ditegakkan. Jangan hanya menuntut mahasiswanya saja untuk disiplin, tetapi dosennya tidak. Lebih baik perbaiki kualitas dosen terlebih dahulu sebelum menuntut kualitas mahasiswa yang lebih tinggi.
Dewan Redaksi: T. Ichtiar Khudi A., B. Kindy Arrazy. Pemimpin Redaksi: Moch. Ari Nasichuddin. Sekretaris Redaksi: Ahmad Ikhwan Fauzi. Redaktur Artistik: Yusuf W. Redaktur Pelaksana: Zaitunah Dian S. Staf Redaksi: Ahmad Satria Budiman, Alissa Nur Fathia, Dyah Ayu Ariestya. Fotografi: Robithu Hukama, Aldino Friga P.S., Hasta Mufti S. Penelitian dan Pustaka: Wening Fikriyati, Nuraini A. L., Fitria Nur Jannah. Rancang Grafis: Bayu Putra P., M. Hanif Alwasi. Perusahaan: Erlita Fauziah, Herlina, M Naufal F., Nur Karuniati. PSDM: Lufthy Z., Rama Pratyaksa, Khairul Fahmi, Ricky Riadi Iskandar, Rahmi Utami Handayani, Bastian Galih I. Jaringan Kerja: Wahyu Septianti, M. Jepry Adisaputro, M. Alfan Pratama, Maya Indah C. Putri. Magang: Rahmad S., Choirul Anwar, Chasna Atika C., Dian Herlina, Anisa Kusuma W., Yuyun Septika L., Irwan Agus S., Fajar Noverdian, Agam Erabhakti W., Aghreini Analisa, Sanjaya Sancas, Fachrul Nurcholis, Ricky Agustianto, Fidiatussoliha, Dede Rinaldy, Muhammad Asadul M., Metri Niken L., Anggun Novita C., Hasinadra P., Anggi Pratama E., Rahmatullah Al F., M. Irwan K., Farah Sheila H., Hamlana MH., Revangga Twin T., Rudy Prietno, Retno Ariani S., Raras Indah F., Dhuha Syahida, M. Muhasin R., Budi Armawan, Fitria Nur A., Ade Henza A., Hanung Setyawan, Aditya YW., Radifan AL., Maratus Soliha, Yuli Wahyu P., Vina Urwatul W., Renanda P. Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa HIMMAH Universitas Islam Indonesia. Al, alamat Redaksi: Jln. Cik di Tiro No.1 Jogjakarta. Telp (0274) 3055069, 083869969733 (Fauziyah Dani F., Iklan/Perusahaan). Saran dan kritik melalui email:
[email protected], http://lpmhimmahuii.org.
2
KOBARKOBARI EDISI 156 // XIV // APRIL 2012
mengajar,” kata Hadri. Tentang jumlah persentase kehadiran dosen di UII, sudah ada peraturannya. Ketua Badan Penjamin Mutu (BPM), Faishol, mengemukakan bahwa kehadiran dosen yang mengajar seharusnya mencapai 100%. Meski demikian, ada toleransi jika kehadiran dosen yang mencapai 100% adalah harus berjumlah 90% dari keseluruhan dosen yang dimiliki setiap prodi. Misalnya, suatu prodi memiliki 50 orang dosen, maka menurut Faishol, dosen yang hadir 100% harus berjumlah minimal 45 orang dosen. Ditemui di ruangannya, Nandang Sutrisno selaku Wakil Rektor I menuturkan, salah satu instrumen yang bisa digunakan untuk mengontrol kinerja dosen, khususnya masalah kehadiran, adalah sertifikasi. Dosen yang dilarang mengajar akan berkurang beban SKS-nya. Jika beban SKS yang diampu dosen sampai melewati batas minimal dari aturan, bisa jadi sertifikasinya akan dicabut. “Dosen yang sertifikasinya dicabut tidak akan mendapatkan tunjangan sertifikasi yang besarnya sebesar gaji pokok,” tegas Nandang. Menurut Nandang, bentuk pelanggaran kehadiran dosen adalah ketika dosen yang bersangkutan tidak memenuhi kewajiban SKS yang berjumlah 12 SKS selama satu pekan. “Dosen tetap punya kewajiban mengajar 12 SKS selama seminggu yang setara dengan 36 jam minimal, jika tidak memenuhi maka sudah menyalahi aturan,” tambah Nandang. Menanggapi perbedaan implementasi displin dosen di setiap fakultas dan jurusan, Nandang berujar bahwa selama ini pihak universitas mengalami kesulitan dalam menambah jumlah tenaga pengajar untuk prodi-prodi tertentu. Beberapa prodi yang membuka pendaftaran dosen malah tidak ada yang mendaftar. Faktor penyebabnya ditengarai Nandang salah satunya adalah minat dosen yang kurang, di samping banyak pula yang gugur di jalur tes. Perguruan tinggi swasta mempunyai
Anisa Kusuma W. | KOBARkobari
keterbatasan kemampuan finansial untuk menerima dosen sebanyak banyaknya. Rasio dosen dan mahasiswa untuk ilmu sosial idealnya 1:30, sedangkan untuk ilmu pasti 1:25, tetapi yang terjadi saat ini, untuk ilmu sosial mencapai 1:45. Pendapat Mahasiswa Mahasiswa UII sendiri mempunyai argumen sendiri-sendiri dalam memandang penegakan disiplin yang berbeda bagi dosen insipliner. Magestha Hikma Putra, mahasiswa Manajemen 2011, tidak terlalu mempermasalahkannya. “Ilmu memang penting, namun jika dosen yang jarang hadir memberikan nilai akhir yang bagus, itu sudah menguntungkan,” ujarnya. Lain halnya dengan Budi Darma, mahasiswa Arsitektur 2010, yang mengatakan bahwa dosen memang sebaiknya mampu berdisiplin soal waktu (kehadiran).
Budi menambahkan jika sejauh ini, dosennya di kelas selalu hadir. “Tetapi ada yang tidak masuk dan itupun karena kecelakaan, jadi perkuliahan dilakukan lewat klasiber,” kata Budi. Zindri Bela, mahasiswi Farmasi 2011 berpendapat apabila dosen di jurusannya beragam, ada yang disiplin sekali dan ada yang tidak.” Sebagai mahasiswa, Zindri merasa dirugikan oleh dosen yang tidak disiplin karena menurutnya hanya membuang waktu saja. “Sudah datang ke kampus ternyata dosen tidak hadir. Susah mengejar keterlambatan materi kuliah, juga mengganggu jadwal belajar, jadi sebenarnya kosong mesti ada kuliah lagi,” ungkap Zindri.q
Reportase bersama Anisa Kusuma W.
“Kami menerima hak jawab jika ada pihak - pihak tertentu yang keberatan dengan pemberitaan Kobarkobari.”
KOBARKOBARI EDISI 156 // XIV // APRIL 2012
3
Kuantitas Mahasiswa FIAI FIAI merupakan cikal bakal UII, namun kini keberadaannya kurang terekspose dan eksistensinya kurang terdengar. Apa yang salah?
Oleh Metri Niken Larasati Kampus Terpadu, Kobar Universitas Islam Indonesia (UII) memiliki daya tarik khas daripada perguruan tinggi lainnya, yaitu pendidikan berbasis Islam dalam proses pengajarannya. Pada kenyataannya, perguruan tinggi swasta (PTS) ini semakin tahun memiliki jumlah mahasiswa yang sedikit di Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI). Data terakhir menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa yang tercatat melakukan registrasi tahun 2011 sebanyak 4.527 orang. “FIAI itu ibarat emas di balik sumur,” ujar Ahmad Zaini Aziz, mahasiswa Pendidikan Agama Islam 2009, “saya bangga akan FIAI sebab fakultas ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan fakultas agama Islam dari universitas lain.” Karakteristik yang dimaksud adalah bahwa di UII lebih diajarkan kepada praktik, tidak fokus pada teori saja. Menurut Ahmad, penyebab sedikitnya jumlah mahasiswa di FIAI antara lain karena publikasi yang kurang dari pihak universitas. Selain itu,
dengan FIAI. Begitu juga dengan Novika Pramodika, mahasiswi Arsitektur 2010 ini menyarankan agar pihak FIAI mau mengadakan acara yang melibatkan fakultas lain, sehingga komunikasi antar fakultas dapat terjalin, yang nantinya secara tidak langsung berimbas pada jumlah peminat di FIAI. Menanggapi persoalan publikasi, Dadan Muttaqien selaku Dekan FIAI angkat bicara. Menurutnya, sudah ada upaya publikasi dari pihak fakultas. Untuk publikasi yang sifatnya besar, seperti iklan di koran yang biayanya bisa mencapai jutaan, Dadan mengakui jika ada keterbatasan dana. Untuk permasalahan ini, yang mengatur adalah pihak universitas, sebab FIAI sendiri merupakan bagian dari universitas. “Alangkah baiknya jika universitas memasang baliho sebagai pengenalan awal,” kata Dadan. Kemudian, jika masyarakat berminat tahu lebih lanjut dapat mendatangi FIAI untuk meminta informasi. Solusi untuk masalah publikasi,
government yang mempunyai organisasi mandiri. “Anak-anak FIAI dibiarkan untuk tumbuh dewasa, pihak fakultas hanya memberikan dorongan dan memfasilitasi,” imbuh Dadan. Sekretaris Dekanat FIAI, Rozi, juga ikut menanggapi masalah publikasi tersebut. “Kami telah memublikasikan mereka (mahasiswa FIAI) yang berprestasi di UII News,” terang Rozi. Dari segi kualitas, Rozi mengatakan bahwa banyak prestasi yang telah diraih mahasiswa FIAI, yang kebanyakan lebih ke skill individu. Misalnya, Lomba Karya Tulis, Debat Ekonomi Islam, dan yang terakhir FIAI berhasil menyabet Juara 2 Lomba Debat Bahasa Arab. Ada unit kegiatan yang menunjang, yaitu “Arabic and English Community” (AEC) yang dapat diikuti semua mahasiswa dari berbagai fakultas, tidak sebatas dari FIAI saja. “Ternyata banyak mahasiswa dari luar FIAI yang mengharapkan peran serta lebih dari FIAI, itu bisa menjadi usulan bagus untuk FIAI ke depannya,” tandas Rozi. Kemunduran FIAI dari segi kuantitas,
“Masalah mengenai peminatnya yang sedikit, hal itu perlu dipertanyakan ke masyarakat terlebih dahulu. Sebenarnya, kenapa mereka tidak mengambil prodi agama Islam? Apa alasannya?” ujar Bachnas(Wakil Rektor Bidang III Bidang Kemahsiswaan) jarangnya mahasiswa FIAI berkontribusi kelembagaan di tingkat universitas juga dirasanya ikut menjadi penyebab karena membuat nama FIAI juga jarang terdengar di luar FIAI itu sendiri. Suharyanto memiliki pendapat yang hampir serupa. Menurutnya, peminat FIAI yang masih sedikit tidak lepas dari peran alumni FIAI itu sendiri. “Masih minder mengakui statusnya sebagai alumni FIAI UII,” ujar mahasiswa Pendidikan Agama Islam 2010 ini. Hal tersebut ditemuinya saat ada alumni yang ditanya dari fakultas mana, si alumni menjawab dengan lirih dari FIAI. Ketika ditanyakan kepada mahasiswa di luar FIAI, Vivin Nadya Hasymi, mahasiswi Arsitektur 2010 berpendapat bahwa penyebab FIAI kurang terdengar adalah tidak ada acara yang dapat membuat orang dapat bergabung 4
KOBARKOBARI EDISI 156 // XIV // APRIL 2012
menurut Dadan adalah kembali pada realita bahwa UII adalah perguruan tinggi swasta. Sumber dananya berasal secara mandiri, bukan dari pemerintah, sehingga mestilah dimanfaatkan sebaik mungkin. Dana untuk proses belajar mengajar adalah dana yang menjadi prioritas utama bagi FIAI saat ini. Mengenai subsidi silang, Dadan belum pernah mendengar hal tersebut. Dana yang berasal dari universitas sudah direncanakan alokasinya, dalam hal ini oleh Badan Waqaf, kemudian didistribusikan ke fakultas. Kondisi FIAI sekarang ini, menurut Dadan untuk sementara harus disyukuri karena merupakan suatu progress tersendiri bagi FIAI. Saran untuk mahasiswa FIAI, Dadan mengatakan dirinya tidak akan memasuki dunia mahasiswa sebab mereka adalah student
ditanggapi Jiwanggo selaku Kepala Divisi Akademik FIAI karena sekarang pandangan mahasiswa ke depan bukan masalah agama, melainkan lebih ke prospek kerja. Padahal, tujuan utama FIAI adalah menyalurkan ilmu ke mahasiswa dengan harapan dapat bermanfaat bagi masyarakat luas. “Tujuan cari ilmu itu bukan untuk cari kerja, tapi untuk diambil manfaatnya setelah lulus,” tegas Jiwanggo. Mereka yang bekerja sebagai pengajar diharapkan dapat mengimplementasikan ilmu yang telah mereka dapat di UII dengan baik. Budi Astuti, Wakil Kepala Badan Penjaminan Mutu (BPM) mengungkapkan, penyebab tidak terlihatnya FIAI di khalayak umum adalah letak atau posisi FIAI yang bersamaan dengan prodi-prodi lainnya di UII. Posisi tersebut berpengaruh terhadap daya saing dalam hal sistem belajar
Jumlah Mahasiswa FIAI dari 2006 - 2011
HI = Hukum Islam EI = Ekonomi Islam PAI = Pendidikan Agama Islam Jumlah Mahasiswa Diterima Jumlah Mahasiswa Registrasi M. Hanif Alwasi | KOBARkobari
mengajar. Untuk mendongkrak kemajuan FIAI, Budi berharap seminar nasional program di FIAI lebih ditingkatkan lagi. Dari segi pendidikan, sistem pendidikan di FIAI telah mendapatkan sertifikat ISO. “Berbicara mengenai kualitas mutu pendidikan di FIAI, tidak ada masalah apa-apa dan semuanya berjalan dengan lancar,” kata Budi. Ketika ditanyakan kepada Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Bachnas menuturkan bahwa ada dua hal yang mendorong kita untuk tetap menjalani masa kuliah, yaitu motivasi diri dan prospek kerja. “Masalah mengenai peminatnya yang sedikit, hal itu perlu dipertanyakan ke masyarakat terlebih dahulu. Sebenarnya, kenapa mereka tidak mengambil prodi agama Islam? Apa alasannya?” ujar Bachnas. Dari prospek kerja sendiri, masalah jumlah peminat ini bisa karena lapangan pekerjaan untuk lulusan FIAI masih kurang. Masyarakat harus memberikan kesempatan bagi lulusan keagamaan agar mereka dapat tumbuh dan lebih percaya diri dengan jalan hidup yang mereka pilih. Jika perlu, pemerintah memberikan tunjangan khusus bagi mereka yang bekerja sebagai pengajar agama Islam, sebab mereka banyak
berperan dalam memperbaiki karakter bangsa. Bachnas mengatakan bahwa untuk bisa memasuki, memperluas, serta menjalin relasi dengan masyarakat luas, mahasiswa FIAI sendiri seharusnya menambah cakrawala mereka terhadap pengetahuan umum lainnya, seperti teknologi informasi, sains, dan lain sebagainya. Intinya, mereka menjadi lebih terbuka untuk mempelajari banyak ilmu yang tidak langsung menjurus ke agama Islam. Hal ini menurut Bachnas akan menambah karismatik mahasiswa FIAI, sebab selain mampu menguasai materi agama Islam, mereka juga mempunyai sedikit atau banyak pengetahuan di bidang lainnya. Ditemui di ruang kerjanya, Wakil Rektor I Bidang Akademik, Nandang Sutrisno menyampaikan bahwa FIAI adalah sentral agama Islam yang kurikulumnya dikhusukan dalam hal agama Islam saja. “Ada syarat-syarat agar suatu prodi itu ditutup, antara lain prodi tersebut sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini dan sudah tidak ada peminat. Tapi ada faktor-faktor lain misalnya faktor ideologis, jadi misalnya suatu prodi itu kurang peminatnya, tapi masih bisa dipertahankan, itu merupakan prodi yang boleh kita anggap ideologi,” terang
Nandang. Menurutnya, agar FIAI lebih dikenal memang harus menyurakan bahwa prodi itu prospektif kepada masyarakat. UII telah mengikutsertakan FIAI dalam event-event yang diselenggarakan tim promosi. Sejarah FIAI Secara historis, banyak jasa yang telah diberikan FIAI untuk UII, mengingat bahwa FIAI adalah cikal bakal UII. Dulu, FIAI adalah Fakultas Agama pada tahun 1945. Kemudian, di tahun 1955 diambil oleh Kementerian Agama, lalu dijadikan IAIN. Tahun 1962, didirikan Fakultas Syari’ah dan Fakultas Tarbiyah. Selanjutnya, pada tahun 1989 diubah kembali menjadi Fakultas Ilmu Agama Islam yang terdiri dari 4 prodi, yaitu prodi Syari’ah, Tarbiyah, Ekonomi Islam, dan satu lagi prodi untuk Pascasarjana Strata 2 dan Strata 3. Keempat prodi tersebut ada yang ditempatkan di UII Kampus Terpadu (Jalan Kaliurang) dan ada yang ditempatkan di UII Kampus Demangan untuk Program Pascasarjana.q
Reportase bersama Fajar Noverdian
KOBARKOBARI EDISI 156 // XIV // APRIL 2012
5
Balada Sang Pencatat Sengatan mentari sangat terik siang ini. Namun seorang pria paruh baya susah payah berlari menuju bis kota menggunakan sepasang tongkat penopang tubuh. Lalu mengacungkan beberapa jarinya ke arah bis, dan setelah bis lewat, ia kembali duduk di tempatnya semula dan menulis sesuatu di buku usangnya. Pria itu bernama Sumadiono. Salah seorang timer bus yang terdapat di kawasan Yogyakarta. Tugasnya yaitu memberitahu para sopir bus tentang waktu jalannya agar tak saling mendahului dan mengambil penumpang bis kota lain. Ia ngetem di pertigaan UIN-Jalan Solo di dekat Museum Affandi. Buku usang yang selalu ia bawa, dipakai mencatat waktu dan nomor bis yang lewat memanfaatkan pena dan hape kecil seharga 40 ribu yang ia beli dari seorang kawan. Jika bis mampir dan mengambil penumpang di tempatnya, ia tak akan repot untuk berjalan ke arahnya. Namun jika bis tersebut melaju kencang tanpa mampir, ia akan sangat kesulitan berlari ke pinggir jalan hanya untuk memberitahu waktu bis tersebut. Bagi orang biasa tak akan sulit memang, namun bagi Pak Sumadiono yang memiliki keterbatasan fisik, hal itu menjadi sangat berat. 20 tahun lalu ia kehilangan sebelah kakinya dalam sebuah kecelakaan. Dan selama itu pula ia menjalani profesi ini. Pahit dan getir kehidupan sudah ia jalani. Fisik yang terbatas, caci maki, persenan yang kecil, cuaca tidak bersahabat, pendapatan yang hanya 15-20 ribu, hingga lelah dan sakit karena fisik yang tak sebugar dulu merupakan santapan lumrah baginya. Namun semangat, ketegaran dan keluarga membuatnya bertahan. Bukan hanya sekedar pekerjaan, tapi juga tentang pengakuan. Tentang eksistensi diri di kehidupan yang fana ini.q
Tiga Menit
Narasi dan foto oleh Aldino Friga Putra S.
Memberitahu Kernet
6
KOBARKOBARI EDISI 156 // XIV // APRIL 2012
Pundi-Pundi Rupiah
Menulis Waktu
Mengisi Perut KOBARKOBARI EDISI 156 // XIV // APRIL 2012
7
Kaum Bersarung Menjamah Kemaksiatan Judul Buku Penulis Penerbit Cetakan Tebal Hal
: Sorban Yang terluka : Abdul Waid : Laelathinkers : Pertama, April 2009 : 272 Halaman
Oleh Raras Indah F. Mendengar istilah santri pondok pesantren, di benak kita akan muncul sebuah gambaran tentang jama’ah kaum religi berbalut busana putih yang bertempat tinggal di sebuah pondok. Dimana tempat tersebut tak berbaur dengan lingkungan masyarakat. Kita tahu santri adalah sebutan bagi seseorang yang diharapkan masyarakat nantinya bisa mengaplikasikan ilmu religinya untuk kebaikan bersama, dalam membangun budaya pribadi bangsa yang sesuai dengan kaidah islam. Seperti fenomena gunung es yang hanya terlihat di bagian permukaannya saja tanpa tahu ada apa di dalamnya. Begitu juga dengan kehidupan santri. Buku ini mencerminkan keberanian penulis untuk menguak cerita kaum bersarung yang ternyata berlapis sisi kelam. Bukan sembarang mengumbar cerita naif, tetapi memang sebuah cerita nyata yang pernah dialami penulis serta penjamahannya di berbagai pondok pesantren. Penulis yang digambarkan sebagai tokoh ‘Aku’ adalah lelaki yang mengenyam pendidikan di pondok pesantren cukup lama. Berawal dari keinginan orang tua agar dia melanjutkan jenjang pendidikan di pondok pesantren membuatnya tidak habis fikir mengapa orang tuanya sangat menyanjungkan bahwa pesantren lebih baik daripada kebanyakan sekolah umum, terlebih dari sisi moral agama. Tetapi akhirnya dia menyanggupi tawaran orang tuanya dengan berbagai alasan positif yang bisa diterima. Nafas kehidupan pesantren yang baru pun dimulai. Irama lantunan ayat suci, shalat, dzikir sangat dirasakan olehnya, tetapi hal tersebut mulai mengganjal ketika ada sesuatu yang dirasa telah menodai kesucian pesantren. Homoseksualitas. Ya, dia menjadi korban pelecehan seksual oleh kaum bersarung dari pondoknya sendiri. Karena tidak 8
KOBARKOBARI EDISI 156 // XIV // APRIL 2012
terima dengan keadaan ini, dia pun bertanya pada santri angkatan atas tentang kejadian tersebut. Bukan jawaban menyenangkan yang diterimanya, tetapi bahkan membuat dia shock. Kakak kelas itu hanya cekikikan mendengar
pernyataannya karena menganggap tradisi homoseksual adalah hal lumrah yang biasa terjadi di sana. Target homo biasanya adalah santri baru yang masih bau kencur di pondok, kakak kelas itu menambahkan. Pasca kejadian itu dan seiring kehidupannya di pesantren, dia menemukan banyak cerita miris dari santri bahkan ustad. Perjudian, perdukunan, pengintip, maling, pacaran dan kencan, maupun blue film seperti menjadi hiasan diantara rutinitas mulia penghuni pesantren. Dan yang lebih miris lagi, ternyata kemaksiatan itu bukan hanya terjadi di kalangan santri, tetapi pada santriwati juga. Beberapa diantaranya tokoh ‘Aku’ mendengar bahwa ada oknum santriwati yang lesbi. Para santri yang sudah lama menetap di sana pun
menganggap kejadian-kejadian seperti itu sebagai hal yang wajar. Di sisi lain, serapi-rapinya mereka menyembunyikan pasti ada celah bocor yang akan diketahui oleh atasan pondok pesantren yang pada akhirnya akan ada imbas berupa hukuman, tergantung kadar perbuatan maksiat para pelakunya. Hukuman paling kecil bisa berupa teguran dari ustadz dan paling merugikan adalah ketika santri harus gulung tikar dari pesantren dengan gelar tidak terhormat. Dengan gaya tulisan yang sederhana dan mudah dicerna oleh berbagai kalangan, penulis mencoba menuntun pembaca untuk ikut membuka wawasan tentang dunia pesantren beserta seluk-beluk di dalamnya. Pun suatu keberanian penulis untuk menguak suatu fenomena yang pada dasarnya hal tersebut ada sangkut-pautnya dengan lembaga pendidikan yang disakralkan oleh berbagai kalangan. Tetapi kembali lagi, pada hakikatnya manusia itu tidak selalu berada di kertas putih, pasti ada noda di permukaannya. Begitu juga dengan pondok pesantren. Tidak ada yang tidak mungkin jika ada kemaksiatan santri yang melumuri kesucian pesantren. Setidaknya dengan buku ini, penulis bisa menyadarkan kita, khususnya pihakpihak terkait untuk menelaah lagi apakah sistem pembelajaran dan peraturan yang pesantren bentuk memang sudah memenuhi apa yang benar-benar menjadi kebutuhan santri sebagai manusia biasa. Sayangnya, masih ada hal yang mengganjal dalam cerita ini karena setiap episodenya penulis memaparkan keterangan-keterangan dari para santri yang terkesan vulgar. Vulgar disini dalam artian mereka terlalu terbuka dalam mengungkapkan hal-hal yang sebenarnya miris tetapi mereka anggap lumrah itu. Apakah memang begitu adanya karena bagaimanapun juga para santri juga mempunyai naluri untuk menyelamatkan
identitas kesucian pesantren dari halhal yang akan mengubah persepsi santri lain yang belum tahu apa-apa. Selain itu, dalam cerita ini tokoh penulis terkesan polos meskipun dia sudah menetap lama di pesantren sehingga alur ceritanya menjadi monoton dan tidak menarik karena komunikasi antar tokoh terasa tidak seimbang, seperti hanya berupa interviewing antara interviewer dan interview. Lagi, tent` ang solusi yang ditawarkan penulis agak tidak kontras dengan cerita-cerita di awal. Buku ini menjabarkan tentang kaum bersarung yang menjamah kemaksiatan, tetapi penulis menawarkan solusi yang lebih menekankan pada bagaimana idealnya orang keluaran pondok pesantren itu serta pembenahan sistem pembelajaran pondok pesantren. Jika berkaitan dengan perilaku amoral santri, mengapa penulis tidak mencoba menawarkan solusi lebih tentang bagaimana seharusnya pesantren membenahi sisi kehidupan
santrinya sendiri. Kalaupun solusi sistem pengajaran, mengapa tidak lebih menekankan pada idealnya pengajaran yang menekankan pada aspek kebutuhan naluri santri sebagai manusia biasa tetapi tetap sesuai kaidah ajaran islam. Misal, mengapa sistem pembelajaran para santri di kelas tidak di dicampur saja antara santri dan santriwati dengan pengaturan bangku yang dibentuk sedemikian rupa sehingga idealnya yang bukan muhrim masih bisa terjaga. Dengan sistem yang seperti itu setidaknya para santri dan santriwati bisa memenuhi kebutuhan dasarnya tanpa harus ada perasaan menekan antar lawan jenis seperti peristiwa homo dan lesbi seperti yang penulis paparkan. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan buku ini, pesantren tetaplah tempat sakral yang mesti dijunjung martabatnya karena nantinya kehadiran para santri di lingkungan masyarakat tetap diharapkan oleh berbagai kalangan untuk bisa mengemban tugas mulia mensyiarkan
agama demi pulihnya budaya kita yang perlahan telah terkontaminasi oleh barat. Oknum santri yang melakukan perbuatan tercela hanyalah sebercak noda diantara para santri lain yang dalam faktanya banyak telah menjadi manusia yang benar-benar ‘jadi’ di lingkungan eksternal pesantren. Sekali lagi, buku ini bukan bermaksud mengecam kaum bersarung, mengajak kita untuk memusuhinya, atau menghitamkan pesantren, tetapi lebih untuk menuntun pikiran kita bahwa tidak ada yang mustahil jika kertas putih itu bernoda serta bagaimana kepekaan kita untuk ikut serta memutihkannya lagi demi kelangsungan nilai mora budaya kita sendiri. Dan akhirnya semua itu kembali pada persepsi pembaca bagaimana menilainya. Selamat membaca! q
visit our site : www.lpmhimmahuii.org
IKLAN LAYANAN MASYARAKAT INI DIPERSEMBAHKAN OLEH LPM HIMMAH UII
KOBARKOBARI EDISI 156 // XIV // APRIL 2012
9
Dari Tulang Belakang ke Pengusaha Udang Judul Film : Sutradara : Pemain : Produksi : Tanggal Rilis : Durasi :
Forrest Gump Robert Zemeckis Tom Hanks, Robin Wright, Mykelti Wiliamson, Gary Sinise, Sally Field Paramount Pictures 06 Juli 1994 141 Menit
Oleh Retno Ariani Saputri “Hidup ini seperti sekotak coklat, kita tidak pernah tahu apa yang akan kita dapat,” kata Forrest Gump, seorang anak laki-laki yang memiliki IQ 75 atau tingkat kecerdasan di bawah rata-rata. Sejak kecil, ia hanya tahu ayahnya sedang pergi berlibur. Menurut kamus ibunya, berlibur yang dimaksud adalah pergi ke suatu tempat yang jauh dan tidak kembali lagi. Maka dari itu, mereka hanya hidup berdua saja di Alabama dan sang ibu sangat menyayangi anak semata wayangnya. Karena memiliki kelainan tulang belakang yang bengkok, Forrest harus berjalan dengan menggunakan penopang kaki. Tidak berhenti di situ, ia pun kerap dijauhi banyak orang karena kekurangannya dan selalu diejek pula oleh teman-temannya yang nakal. Mereka meremehkan Forrest sebagai anak yang bodoh karena IQ-nya yang rendah. Namun tidak demikian halnya dengan Jenny, teman perempuan Forrest di sekolah yang senantiasa mendampinginya sebagai seorang sahabat sejati. Jenny selalu menyemangati Forrest untuk berlari sekencang-kencangnya apabila diganggu. Mereka berdua selalu bersama hingga tamat SMU. Bagi Forrest, Jenny adalah sahabat terbaik sekaligus sebagai sosok yang kemudian dicintainya. Pada suatu hari, ibu Forrest menasihatinya, “Keajaiban selalu terjadi setiap hari.” Dan, itu terbukti ketika Forrest tengah berlari menghindari gangguan temannya. Saat ia berlari dengan kencang, penopang kakinya tiba-tiba terlepas dan semenjak itu ia memiliki kecepatan dalam berlari. Keahliannya didengar oleh pelatih tim futbol dari sebuah perguruan tinggi yang ada di Alabama, sehingga Forrest dapat pergi ke perguruan tinggi tersebut untuk melanjutkan studi. Di sana, ia juga dipercaya menjadi seorang atlet futbol. Forrest dan Jenny sangat senang. Setelah lima tahun berselang, ia lulus dan mendaftarkan diri menjadi seorang anggota militer. 10 KOBARKOBARI EDISI 156 // XIV // APRIL 2012
Forrest dikirim ke Vietnam. Di medan perang, bayang-bayang Jenny selalu mengejarnya sehingga di sela-sela waktu ia sempatkan menulis surat untuk wanita yang dikasihinya itu. Di Vietnam, Forrest bertemu dengan Bubba, sahabat barunya. Mereka berdua selalu melindungi satu sama lain layaknya saudara. Dalam
obrolannya, Bubba mengajak Forrest untuk berbisnis udang usai berperang. Namun nasib tidak selalu beruntung, sebab suatu ketika pasukan mereka mendapat serangan mendadak dari musuh. Akibatnya, banyak yang gugur dan Bubba ikut menjadi salah satu korbannya. Sementara itu, Forrest mengalami luka di pantatnya saat tengah berupaya menolong Letnan Dan, pemimpin pasukan mereka saat di Vietnam. Saat menjalani perawatan di rumah sakit, Forrest mencoba bermain pingpong. Hampir setiap hari dihabiskannya untuk bermain pingpong, bahkan saat tidur pun ia masih bermain pingpong. Ia membawa bola pingpong dan pemukulnya sebagai teman tidur. Bagi Forrest,
bermain pingpong itu gampang. Yang terpenting adalah apapun yang terjadi, ia tidak melepaskan pandangannya dari bola pingpong saat bermain. Setelah sehat, Forrest pergi menemui keluarga Bubba. Ia teringat percakapannya dulu soal bisnis udang. Berusaha bisnis udang tidaklah mudah, tetapi Forrest tidak kenal menyerah. Ia berusaha keras ditemani oleh Letnan Dan. Pada awalnya, Forrest memiliki kesulitan dalam menangkap udang. Dalam sehari, ia pernah tidak mendapatkan apa-apa atau hanya mendapatkan lima ekor udang saja. Sewaktu menangkap udang pun, ia tidak luput dari memikirkan Jenny sehingga kapalnya ia beri nama “Jenny”. Berkat usahanya yang gigih, Forrest berhasil menjadi pengusaha udang yang sukses. Uang tidak lantas membuat Forrest hidup dalam kemewahan, ia tetap hidup dalam kesederhanaan. Sebagai wujud loyalitasnya, uang hasil penjualan dibagikan pada gereja, rumah sakit, dan tidak lupa untuk keluarga Bubba meskipun Bubba telah tiada. Kisah percintaan Forrest memang tidak selalu beruntung karena Jenny selalu datang dan pergi meninggalkannya. Prinsip yang dipegang Forrest hannyalah kesetiaan. Suatu saat, Jenny mengiriminya surat dan meminta Forrest untuk datang berkunjung ke rumahnya. Ketika itulah, Forrest mengetahui bahwa ia ternyata memiliki seorang anak dari hubungannya semasa kuliah dulu, anak yang oleh Jenny diberi nama Forrest. Namun saat itu juga, Forrest mendapati bahwa Jenny terkena virus mematikan dan tidak dapat hidup lebih lama lagi. Forrest pun membawa Jenny dan anaknya untuk hidup di desa asalnya, yaitu Alabama. Forrest menikahi Jenny dan merawatnya hingga Jenny pergi untuk selama-lamanya. Kerja keras, kesetiaan, loyalitas, dan kesederhanaan; hal-hal tersebut yang kirannya hendak disampaikan oleh film ini. q
Pemilwa dan Permasalahannya Oleh Vina Urwatul W. Tanggal 19 sampai 22 maret 2012 telah terjadi pemilihan wakil mahasiswa (Pemilwa) UII. Ini menjadi tragedi besar bagi saya. Karena saya baru pertama kali melakukan pemilihan di tempat pemungutan suara fakultas. Munculah dari diri saya rasa ingin tahu tentang Pemilwa. Suatu ketika saya mendengar, ketika pemilwa berlangsung terjadi kesalahpahaman di fakultas MIPA. Tepatnya di jurusan d3 analis kimia. Saat itu mahasiswa d3 analis kimia tidak diperbolehkan mengisi suara pada PEMILWA tahun ini. Maka munculah rasa heran dari saya. Mengapa jurusan d3 analis kimia diberlakukan sedemikian rupa ? Dari hasil observasi saya, mahasiswa d3 analis kimia sempat berfikir kalau salah satu penyebab mereka tidak bisa untuk memilih pada pemilwa tahun ini, dikarenakan sistem keuangan yang berbeda dengan mahasiswa jurusan lain. Tapi mulai tahun 2011 mahasiswa d3 analis kimia diberlakukan sama dengan mahasiswa lainnya. Dan yang anehnya lagi, tahun 2010 lalu ketika sistem keuangan mahasiswa d3 analis kimia masih berbeda, mereka diperbolehkan untuk menggunakan hak pilih mereka. Tragis memang. Usut punya usut ada peraturan baru yang dibuat oleh ketua KPU kali ini. Hingga DPM fakultas MIPA memutuskan bahwa mereka memiliki hak pilih terhadap Pemilwa tahun ini. Alhasil mereka diperbolehkan untuk menggunakan hak pilih mereka pada Pemilwa kali ini. Sehingga kesalahpahaman ini bisa teratasi. Karena sungguh tidak masuk di akal kalau hanya mahasiswa d3 analis kimia yang tidak mempunyai hak pilih dalam pemilwa. Akan ada ketidaksamaan perlakuan antara mereka dan mahssiswa lainya . Padahal dari fakultasnya
sendiri ada kandidat yang menjadi calon pada pemilwa tahun ini. Namun, meskipun telah diputuskan untuk diperbolehkannya mnggunakan hak pilihnya. Tidak semua mahasiswa di d3 analis kimia menggunakan hak pilih mereka. Mungkin meraka sudah sakit hati dengan perlakuan pihak KPU . Tanpa mengindahkan permasalahan diatas. Saya berharap untuk pemilwa ini kita akan mempunyai pemimpin yang insya allah sesuai dengan harapan para mahasiswa. Kalau saya lihat dari sisi KPU, mereka sudah sangat berusaha untuk menggerakan hati para mahasiswa. Dari mulai kampanye, menyebar pamflet, hingga berorasi dimana-mana. Tetapi sebagian besar dari mahasiswa UII tidak menyadari akan hal ini. Posisi para KPU ini sangat berpengaruh pada keberlangsungan acara PEMILWA. Hanya saja semua itu tergantung pada diri masing – masing setiap individu untuk ikut serta memilih. “Harapannya pemilwa kali ini benar-benar terselenggara dengan baik, dan tentunya dapat terpilih wakil-wakil mahasiswa UII yang berkompeten, bertanggung jawab terhadap amanahnya dan tentunya mampu merealisasikan suara-suara mahasiswa. Terlebih besar pula harapan kami seluruh mahasiswa UII dapat berpartisipasi untuk mensukseskan acara ini dan meramaikan pentas demokrasi dan aspirasi terbesar mahasiswa UII.” Sungguh mulia harapan dari KPU tersebut. Kalaulah saja para mahasiswa benar-benar memaknai dan mengerti hakikat Pemilwa. Pemilwa ini tidak akan ada yang dirugikan dari pihak manapun. Baik KPU atau mahasiswa itu sendiri.q
*Mahasiswi Teknik Informatika 2011/Magang LPM HIMMAH UII
KOBARKOBARI EDISI 156 // XIV // APRIL 2012
11
PEMENTASAN KOMUNITAS TEATER KOIN PRODUKSI KE 20 “ PESTA PARA PENCURI “
Izin Kurang Manusiawi
KARYA : JEAN ANOULIH ADAPTASI : TEATER KOIN SUTRADARA : LATIF FATHURAHMAN WAKTU DAN TEMPAT : PUKUL 19-00 - 21.00 7 DAN 8 JUNI 2012 , LEMBAGA INDONESIA PERANCIS JALAN SAGAN NO 3 YOGYAKARTA HTM :10RB JEAN ANOULIH ADAPTASI : TEATER KOIN SUTRADARA : LATIF FATHURAHMAN WAKTU DAN TEMPAT : PUKUL 19-00 - 21.00 7 DAN 8 JUNI 2012 , LEMBAGA INDONESIA PERANCIS JALAN SAGAN NO 3 YOGYAKARTA HTM :10RB Sinopsis Dalam rangka menyambut ulang tahun yang ke 20, komunitas teater koin akan menghadirkan sebuah pementasan dengan judul Pesta Para Pencuri. Drama ini terdiri dari 4 babak yang diperankan oleh Bono, Tora, Gusta, Nyonya Harfiah, Tuan Tegar, Eva, Julia, Harmoko tua, Harmoko muda, Pembawa berita, Pengasuh, Polisi 1, Polisi 2, Anak kecil, Pemain akordion, Detektif, Para pelayan dan para warga. Naskah ini bercerita tentang kehidupan masyarakat di daerah Karawang pada tahun 1939. Dimana budaya Belanda masih berdampingan dengan budaya pribumi.Tiga orang pencuri jalanan, Bono, Tora dan Gusta berencana untuk mencuri harta seorang bangsawan wanita bernama Nyonya Harfiah. Mereka menyamar sebagai keluarga bangsawan dari Batavia. Nyonya Harfiah yang sudah tua dan merasa perlu adanya sedikit hiburan di hari tuanya mengikuti permainan Bono dan kawan-kawan. Di sinilah tipu-menipu dan curi-mencuri diantara mereka dimulai. Walau pada akhirnya, kejujuran cintalah yang akan memenangkan segalanya.(TEATER KOIN)
Izin Kurang Manusiawi Saya mengantarkan surat izin teman saya yang jelasjelas sakit dan tidak bisa pergi ke kampus namun ditolak oleh dosen. Meskipun, di bagian presensi ketentuannya harus ada keterangan opname. Menurut saya, izin dengan syarat orang tua meninggal,surat keterangan sakit yang harus di opname,dan pergi haji atau umroh itu kurang manusiawi. (Pradoga - jurusan manajemen 2011) Absensi 75% Di fakultas hukum uii sedang menjalankan program absensi 75%. Hal itu dilakukan, dengan dalih agar mahasiswa lebih aktif dalam kegitan belajar mengajar untuk meraih prestasi dalam bidang akademik. Namun kampus75% melupakan satu hal yang sangat kompleks yaitu mau Absensi dikemanakan mahasiswa yang aktif dalam berorganisasi. Dengan kebijakan ini mahasiswa secara tidak langsung akan mempengaruhi rutinitas mahasiswa yang aktif dalam berorganisasi. Bahkan uii bisa disebut telah merebut hak mahasiswa yang telah dianggap dewasa dan mampu mengatur kebutuhanya sendiri. Apa masih pantas disebut sebagai mahasiswa jika untuk masalah kehadiran saja masih diatur ? Ditambah lagi dengan prosedur yang berbelit belit dalam perijinan. Karena ijin akan diberikan jika sakit dan dibuktikan dengan surat dokter,orang tua meninggal dan umroh. (Tyas Puspa Dewanti – jurusan ilmu Hukum 2011)
IKLAN LAYANAN MASYARAKAT INI DIPERSEMBAHKAN OLEH LPM HIMMAH UII Iklan
12 KOBARKOBARI EDISI 156 // XIV // APRIL 2012