Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
BEBERAPA PENYAKIT PARASITIK DAN MIKOTIK PADA SAPI PERAH YANG HARUS DIWASPADAI (Some of Parasitic and Mycotic Diseases in Dairy Cattle must be Warning) R.Z. AHMAD Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor ABSTRACT Parasitic and mycotic diseases in ruminants cause the health and economic problems to dairy cattle husbandry. The diseases reduce the feed consumption, body weight, milk production and feed efficiency and may cause mortality in some cases.. Parasitic and mycotic diseases are caused by worms (Fasciola sp, Ostertagia sp), protozoas (Eimeria sp, Trichomonas sp) and ectoparasites (fleas, fungi, fly and mites) are pathogen to dairy cattle. These diseases can be diagnosed by the appearing clinical symptoms and laboratory inspection. The parasitic and mycotic diseases in dairy cattle is better prevented than cured. Keywords: Parasitic, mycotic, dairy cattle ABSTRAK Penyakit parasitik dan mikotik pada ruminansia adalah penyakit yang merugikan untuk ternak sapi perah. Penyakit menurunkan konsumsi pakan, bobot badan, produksi susu, efisiensi pakan dan pada beberapa kasus menyebabkan kematian. Penyakit parasitik dan mikotik disebabkan oleh cacing (Fasciola sp, Ostertagia sp), protozoa (Eimeria sp, Trichomonas sp) dan ektoparasit (caplak, cendawan, lalat, dan tungau) yang patogen terhadap sapi perah. Penyakit-penyakit tersebut dapat dikenali dari gejala klinis yang muncul dan pemeriksaan laboratoris. Penyakit–penyakit parasitik dan mikotik pada sapi perah lebih baik dicegah dari pada diobati. Kata kunci: Parasitik, mikotik, sapi perah
PENDAHULUAN Beternak dan pemeliharaan sapi perah dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan perkembangan. Upaya ini senantiasa didorong oleh pemerintah dalam mengusahakan pencapaian pemenuhan kebutuhan susu. Susu sapi digunakan untuk kebutuhan konsumsi susu segar dan industri makanan berbahan dasar susu seperti kue-kue, karamel dan yoghurt dan lain-lain. Jumlah populasi sapi perah secara nasional adalah 377.771 ekor sapi yang tersebar diberbagai provinsi, umumnya terkonsentrasi di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan (DITJENNAK, 2007). Namun masih diperlukan penambahan jumlah populasi sapi seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia. Sentra peternakan sapi di dunia terdapat di Negara Skotlandia, Inggris, Denmark,
316
Perancis, Swiss, Belanda, Italia, America, Afrika, India dan Pakistan, selain Negaranegara tersebut belakangan ini Cina turut pula menyumbangkan produksi susu dunia. Produksi air susu secara global di dunia meningkat 0,5% lebih cepat dari pertimbuhan populasi manusia sehingga produksi susu perkapita dan konsumsinya meningkat juga (GILL, 2006). Sebaliknya di Indonesia tidak demikian, produksi susu berfluktuasi sejalan dengan jumlah populasi sapi perah tercatat secara berurutan pada tahun 2003 berjumlah 373.753; 2004 berjumlah 364.062; 2005 berjumlah 361.251; tahun 2006 berjumlah 369.008 dan tahun 2007 berjumlah 377.771, sehingga populasi susu secara keseluruhan dari tahun 2003 sampai dengan 2007 hanya meningkat 2,37% (DITJENNAK, 2007). Sehubungan dengan itu perlu kiranya diperhatikan masalah penyakit-penyakit yang
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
dapat menyebabkan kurangnya produksi air susu. Beberapa masalah yang perlu diketahui peternak dan pemelihara sapi perah adalah sistem pemeliharaan ternak dan kesehatan hewan. Masalah penyakit-penyakit parasit harus dipelajari agar terhindar dari kerugian ekonomis yang besar. Berikut ini dijelaskan beberapa penyakit parasit eksternal dan internal yang disebabkan oleh parasit cendawan, cacing, dan protozoa seperti Ringworm, Kudis, serangan caplak, lalat Ostertagiasis, Fasciolasis, Trichomoniasis dan Koksidiosis. Pengobatan cukup efektif dilakukan namun faktor resistensi dan pertimbangan ekonomis perlu diperhatikan sehingga pencegahan merupakan pilihan yang terbaik dibandingkan dengan pengobatan. Tujuan dari penulisan ini untuk mewaspadai dan membahas penyakit tersebut di atas. PARASIT EKSTERNAL Penyakit eksternal dapat didefinisikan adalah penyakit yang menyerang sapi perah di daerah luar tubuh sapi seperti kulit, bulu. Beberapa penyakit yang perlu diwaspadai adalah kudis, ringworm, serangan caplak dan lalat.
A
B
D C
Gambar 1. Tungau penyebab kudis (A); Dermatofit Tricophyton verrucosum pada media SDA umur 17 hari (B); Caplak (C); lalat Tabanus sp (D) Sumber: ANONIMUS (2003; 2008a,b); HIRUMA (2007)
Kudis (skabies) Penyakit kulit ini meski jarang menyerang sapi perah di Indonesia namun perlu diwaspadai karena pada suatu saat dapat mewabah. Penyakit kudis adalah infestasi
tungau pada kulit. Tungau yang menginfeksi terdiri dari 2 jenis spesies yaitu adalah tungau yang hidup di permukaan kulit (Chorioptes bovis) dan tungau yang hidup di bawah permukaan serta membuat terowongan (Sarcoptes scabiei). Gejala klinis terjadi kerusakan pada kulit di bagian leher, kaki, dan pangkal ekor, ditandai dengan adanya kehilangan rambut yang meningkat ukurannya secara perlahan-lahan sesuai dengan tingkat keparahannya. Kegatalan sering muncul hingga menyebabkan kerusakan kulit di berbagai tempat, hal ini terjadi ketika sapi menggaruk daerah yang terinfeksi. Pada daerah terinfeksi seperti kulit yang menebal dan berkerak diagnosa dan dilakukan pengerokan kulit, lalu diperiksa di bawah mikroskop. Di dalam pengendalian pengobatan dapat dilakukan dengan obat yang berspektrum luas, aplikasi dapat dilakukan dalam bentuk tabur atau suntikan (Skabicid, Ivermectin). Aplikasi penaburan obat mudah serta cepat dilakukan dan umumnya berbiaya murah. Namun mempunyai kendala kontak yang terbatas, khususnya pada tungau pembuat terowongan sehingga pengobatan cara tabur kurang efektif. Sebaliknya pengobatan dengan injeksi lebih disukai karena lebih efektif dan merupakan pilihan lain yang baik. Selain itu pemakaian kontrol biologis dengan cendawan seperti Metarhizium anisopliae dapat dilakukan pula. Pengobatan secara bersamaan merupakan yang terbaik (ANONIMUS, 2003; dan NADIS, 2007). Ringworm Ringworm atau Dermatophytosis (kurap) adalah suatu penyakit kulit yang disebabkan oleh cendawan Dermatofit (Trichophyton verrucosum). Umumnya menyerang pada sapi muda. Ringworm hidup di permukaan kulit tubuh yang mengalami keratinisasi seperti lapisan tanduk pada kuku dan rambut, tidak bersifat invasive dan tidak dapat hidup dalam jaringan hidup. Meskipun Ringworm dapat membentuk kekebalan pada hewan yang telah terserang pengobatan harus dilakukan karena memerlukan waktu sembuh cukup lama yaitu kurang lebih 9 bulan. Penularan dapat secara langsung atau tidak langsung, Penularan langsung terjadi dengan sentuhan pada hewan sakit. Spora ringworm ini tahan lama dalam kandang dan di alam bebas. Penularan tidak
317
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
langsung dengan terkena spora pada kandang atau tempat bekas hewan sakit. Manusia dapat tertular (Zoonosis). Gejala klinis ditandai dengan adanya bercak-bercak berwarna merah, eksudasi, rambut patah-patah atau bervariasi, daerah abu-abu putih dengan permukaan seperti abu, umumnya terjadi garis melingkar, selanjutnya erupsi bervariasi terjadi pada muka, leher umumnya pada sekitar mata, punggung, dada dan kaki dengan permukaan meninggi, berkeropeng, bersisik atau berbentuk bungkul-bungkul, jika keropeng diangkat terjadi perdarahan. Diagnosa penyakit dari gejala klinis yang tampak dan pemeriksaaan kerokan kulit yang dicurigai secara mikroskopik. Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga kesehatan tubuh dan kebersihan kulit hewan. Pengendalian dan pemberantasan dengan cara memisahkan hewan yang sakit dengan yang sehat. Pengobatan dapat diaplikasinya secara topikal atau suntikan dengan preparat kimia seperti Griseofulvin, Iodium Sulfa, Asam Salisilat, Natrium Kaprilat 20%. Gizi dan sanitasi kesehatan yang baik dapat mencegah serangan cendawan penyakit ini. Obat tradisional dapat pula digunakan seperti daun ketepeng, belerang untuk pengobatan secara topikal. (ABBEY, 2008; AHMAD, 2005; NADIS, 2007; MORTER dan CALLAHAN, 2007). Caplak dan lalat Selain ringworm dan tungau agen penyakit lain yang penting adalah lalat dan caplak. Lalat terdiri dari Haematobia irritans (lalat tanduk). Tabanus sp (lalat petak), Chrysops sp (lalat krisop). Haematopota sp (lalat totol), Simulium sp (lalat punuk), Hippobosca sp (lalat Sumba), Stomocys sp (lalat kandang), Haemotobia sp (lalat kerbau), dan Musca domestica (lalat rumah). Sedangkan caplak yang umum menyerang sapi adalah Boophilus microplus. Hal ini ada hubungannya dengan iklim tropis dengan kelembaban yang tinggi di Indonesia, sehingga merupakan tempat tumbuh berbagai macam ektoparasit termasuk lalat dan caplak. Beberapa ektoparasit melakukan aktivitas menghisap darah untuk kelangsungan hidupnya, sehingga dapat merupakan vektor (pemindah penyakit seperti anaplasmosis, Surra, Jembrana dan lain-lainnya). Sebagai vektor penyakit dapat bersifat mekanis dan
318
hayati. Selain sebagai vektor, lalat tertentu seperti M. domestica, Chrysomyia bezziana, Booponus intonsus, Sarcophaga spp dapat menyebabkan miasis/belatungan (infestasi lalat pada jaringan tubuh hewan hidup), miasis menyebabkan sapi menderita borok. Pengendalian diawali dengan pencegahan yaitu melakukan kebersihan kandang dan pengusiran lalat, sedangkan pengobatan dapat dilakukan dengan pembersihan borok luka, kemudian pembersihan infestasi lalat pada borok, lalu diobati dengan salep Diazone. Pengendalian umumnya dengan mempergunakan insektisida Carbaryl, Malanthion, Dichlorovos, Comouphos yang bersifat sistemik dan diaplikasikan dengan penyemprotan atau dipping hewan induksemangnya. Sedangkan pengendalian caplak dapat dilakukan dengan akarisida seperti Organo fosfat, juga dilakukan dengan penyemprotan atau dipping. Selain itu dapat pula dilakukan rotasi penggembalaan yaitu mengosongkan padang gembalaan selama 3 bulan, bila memungkinkan rumput yang terkontaminasi dipotong dan dibakar (ANONIMUS, 2008a; dan NADIS, 2007). PARASIT INTERNAL Serangan parasit internal pada sapi dapat menyebabkan kurang nafsu makan, pengurangan kecernaan, penurunan bobot badan dan produksi susu, melemahkan sistem imun dan kerusakan organ. Beberapa parasit internal yang perlu ditelaah adalah fasciolosis, ostertagiasis, koksidiosis dan trichomoniasis.
E
G
F
H
Gambar 2. Cacing penyebab Fasciolosis (E); Cacing Ostertagia ostertagi (F); Oosit dari Eimeria bovis (G); Trichomonas foetus (H) Sumber: ANONIMUS (2008c,d,e) dan KIRKPATRICK (2007)
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Fasciolosis Fasciolosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Fasciola gigantica dan Fasciola hepatica (cacing hati). Cacing trematoda ini hidup di dalam saluran empedu, berbentuk seperti daun, gepeng dorso-ventral. Telur dan cacing F. gigantica lebih besar ukurannya dibandingkan F. hepatica. Penularan melalui induk semang antara siput Limnea rubigenosa. Cara penularannya melalui terjadi ketika sapi meminum air atau memakan rumput yang tercemar metaserkaria yang merupakan perkembangbiakan dari telur. Gejala klinis dalam bentuk akut sapi menderita konstipasi dan kadang-kadang mencret, sapi menjadi kurus dengan cepat, lemah dan anemia. Dalam bentuk kronik terjadi penurun produktivitas. Di dalam diagnosa penyakit ini selain gejala klinis yang tampak perlu dilakukan adalah peneguhan diagnosa dengan pemeriksaan tinja untuk menemukan telur fasciola dan memeriksa jumlah telur pergram tinja dengan metoda Whitlock, selain itu dicari pula metaserkaria pada sampel rumput. Sapi dinyatakan telah terinfeksi fasciolosis bila ditemukan telur fasciola sp pergram tinjanya terhitung lebih dari 200 telur/sapi. Sebagai pencegahan dilakukan pemotongan siklus hidup dengan mollusida (Natrium pentachlorophenate, Cooper pentachlorophenate) dengan dosis 9 kg di dalam 3600 liter untuk setiap hektarnya. Memberantas siput secara biologik dapat dilakukan dengan memelihara itik pemakan siput. Di dalam pengendalian dapat dilakukan pengobatan 3 kali dalam setahun yaitu Permulaan, pertengahan dan akhir musim hujan. Bila daerah merumput mempunyai daerah bebas siput yang luas barulah dapat dilaksanakan sistem manajemen dengan baik. Ternak sapi yang sakit diobati dengan fasciolasida (Albendazol, Disophenol, Haloxon, ivermectine, Nitroxynil, Oxyclozanide) (CORWIN dan RANDLE, 1993; GADBERRY et al., 2007; dan MERIAL, 2008). Ostertagiasis Ostertagiasis adalah penyakit cacingan yang disebabkan oleh Ostertagia spp umumnya Ostertagia ostertagi. Cacing nematoda ini menyerang saluran pencernaan
sapi (usus), namun kasus ini di Indonesia hampir jarang dilaporkan atau tidak ada bila dibandingkan serangan nematoda lain seperti Ascaris vitulorum, Bunostomum spp di usus halus, Oesophagostomum spp di kolon, Haemonchus spp, Mecistocirrus spp dilambung, Cooperia spp, Nematodirus spp, Trichostrongylus spp di usus. Penularan umumnya terjadi ketika sapi menelan rumput yang mengandung larva3 infektif. Kekebalan sapi terhadap cacing saluran pencernaan ini dipengaruhi oleh umur, pakan, genetik dan preimunisasi. Gejala klinis sapi mengalami diare yang berwarna hijau kehitaman, sapi menjadi cepat kurus dan akhirnya mati. Sapi penderita ditemukan dalam jumlah yang tinggi pada suatu kelompok. Penyakit ini dapat didiagnosis dengan pemeriksaan jumlah telur pergram tinja. Uji darah dapat dilakukan untuk pemeriksaan kandungan pepsinogen atau mineral. Pengendalian. Pencegahan adalah hal yang terbaik di dalam pengendalian. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian pakan yang baik dalam jumlah kualitas dan kuantitas. Menghindari kepadatan sapi yang berlebihan di dalam kandang, memisahkan ternak muda dan dewasa, menghindari tempat yang becek. Sanitasi kandang, pemeriksaan kesehatan hewan. Pengobatan pada sapi dewasa yang telah terinfeksi dapat dilakukan dengan obat cacing yang berspektrum luas (Levamisol, Piperazine, Albendazole, Panacur). Pengobatan pertama dilakukan 3 minggu setelah datangnya musim hujan, kemudian diulangi dengan selang waktu 6 minggu sampai permulaan musim kemarau. Pengendalian secara terpadu seperti kontrol biologis, obat cacing dan manajemen memberikan hasil yang lebih baik (GIBBS, 1982; CORWIN dan RANDLE, 1993; dan NADIS, 2007). Koksidiosis Di Indonesia penyakit ini jarang terjadi. Namun didunia merupakan 1 jenis diantara 5 penyakit yang merugikan sapi. Kerugian ekonomis diperkirakan 100.000.000. US Dollar atau lebih pertahunnya (KIRKPATRICK, 2007). Parasit oosit Eimeria bovis menginfeksi bagian jaringan limfatik di dalam ileum (usus halus), sekum dan bagian atas kolon sapi. Umumnya menyerang pada kelompok sapi yang tumbuh berumur antara 1 bulan s/d 12 bulan. Gejala
319
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
klinis muncul 17 hari setelah oosit tertelan ditandai adanya kehilangan bobot badan, diare, demam, depresi, dehidrasi, dapat terjadi komplikasi penyakit sekunder. Sapi yang dapat bertahan hidup dari serangan koksidiosis akut tidak dapat mengkonpensasi bobot badannya yang hilang selama sakit. Umumnya menyerang hewan muda, namun dapat menulari hewan dewasa karena keadaan lingkungan yang padat populasinya. Penularan terjadi bila sapi menelan oosit yang mencemari pakan, air, tanah. Diagnosa penyakit dapat dilakukan dari memeriksa gejala klinis dan pemeriksaan feses dengan metoda apung. Pencegahan dan pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan antikoksidial. Pengobatan dilakukan dengan mengisolasi hewan yang sakit untuk mencegah terjadinya penularan lebih lanjut serta mencegah invasi terhadap sel dan perbaikan sel. Bila kontaminasi diminimumkan, maka reinfeksi akan berkurang sehingga dapat terjadi respon kekebalan yang baik. Pengobatan dapat dilakukan dengan anti koksidial seperti Amprolium, dengan dosis pencegahan 5mg/kgBB/hari selama 28 hari. Sedangkan dosis pengobatan 10mg/kgBB/hari selama 5 hari. Monensin dengan dosis pencegahan 1 mg/kgBB/hari, untuk 10–30g/ton pakan (CORWIN dan RANDLE, 1993). Trichomoniasis Trichomoniasis adalah penyakit kelamin yang disebabkan Trichomonas foetus. Protozoa ini memiliki membrane undulans, 3 flagella anterior, sebuah flagelium posterior, berbentuk alpukat berukuran panjang 10-25µ dan lebar 3– 15µ. Kerugian secara ekonomis adalah terjadi kegagalan kebuntingan. Gejala klinisnya kurang jelas namun ditandai dengan menurunnya daya reproduksi, rahim bernanah dan keguguran pada sapi dengan tingkat kebuntingan muda. Ditemukan pula kasus piometra sampai dengan 10% pada sapi-sapi betina. Sedang pada sapi jantan bersifat kronis karena tidak menimbulkan gejala klinis yang jelas, namun terjadi peradangan pada organ vitalnya seperti peradangan pada prepurtium, skrotum dan penis. Untuk peneguhan diagnosa dapat dilakukan dengan pengambilan lendir pada daerah terinfeksi dan dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pengendalian.
320
Pencegahan adalah hal terbaik dapat dilakukan, Hendaknya memeriksa asal usul dan fertilitas sapi yang akan dipelihara, memeriksa kesehatan sapi sewaktu membeli. Sapi jantan yang sakit dipotong. Sapi betina yang sakit dapat diobat dengan Metronidazol, sedangkan sapi yang abortus dibersihkan plasentanya dan diobati (GRAHN et al., 2005; STOLTENOW dan DYER, 2007). SANITASI SEBAGAI TINDAKAN UMUM UNTUK PENCEGAHAN Selain pemberian pakan dengan gizi yang baik, sanitasi adalah tindakan pencegahan yang pencegahan umum yang harus dilakukan untuk membuat sapi-sapi terhindar dari infestasi penyakit parasitik dan mikotik. Pada pemeliharaan secara intensif sebaiknya sapi– sapi dikandangkan. Sedangkan secara ekstensif pengawasannya meski sulit harus dilakukan setiap hari. Air minum bersih harus selalu tersedia untuk sapi setiap saat. KESIMPULAN Penyakit sapi yang disebabkan oleh parasit dan cendawan dapat dikendalikan dengan pengendalian. Pengendalian dapat dilakukan dengan pencegahan dan pengobatan. Pencegahan penyakit lebih baik dari pengobatan. DAFTAR PUSTAKA ABBEY. 2008. Ringworm. Abbey Veterinary Group. http://www.Abbey-vetgroup. co.uk/ringworm (cattle).: 1–3. (19–1–2008). AHMAD, RZ. 2005. Permasalahan dan penanggulangan Ring worm pada hewan. Prosiding Penyakit Zoonosis. Bogor 15 September 2005. Puslitbangnak. Badan Litbang; 297–303. ANONIMUS. 2003. Mite control. Http://www.bio.bris. ac.uk/research/insects/mites1.html (24–4– 2003). ANONIMUS. 2008a. Fleas. http://www.targetpest. co.nz/fleas.html (4–4–2008). ANONIMUS. 2008b. Tabanus sp. http://www. myrmecos.net/insects/Tabanus2.html (4–4– 2008).
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
ANONIMUS. 2008c. http://www.visual sunlimited. com/browse/Vu311/Vu 311708 html. (4–4– 2008). ANONIMUS. 2008d. Ostertagia ostertagi http:// proto5.thinkquest.nl/~lle0210/ziekteshtm (4–4 – 008)
NADIS. 2007. Diseases of cattle from the cattlesite. www.nadis.org.uk (3–3–2008). STOLTENOW CL and DYER NW. 2007. Bovine trichomoniasis- a venereal disease of cattle. Http: www. The Dary site. Com (3–3–2008).
ANONIMUS. 2008e. http://coralx.ufsm.br/ parasitologia/arquivospagina/Marcomastigo phorahtm (5–4–2008). CORWIN RM, and RANDLE RF. 1993. Common Internal Parasites of cattle. University of Missouri. Extension G2130.: 1–3. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2007. Populasi sapi perah. http://www.deptan.go.id/ infoeksekutif /nak/NAK07/Populasi%20Sapi %20Perah.htm.(3–3–2008). GADBERRY S, PENNINGTON J, and POWELL J. 2007. Internal parasites in beef and dary cattle. http://www. Extension internal Parasites in beef and dairy.: 1–12 (28–1–2008). Gill C. 2006. Bullish on dairy, titillated by tilapia. Food International : 4 GRAHN RA, BON DURANT RH, VAN HOOSEAR KA, WALKER RL, and LYONS LA. 2005. An improved moleculer assay for Trichomonas foetus. Vet Parasitol :127:39–47. GIBBS HC. 1982. Gastrointestinal nematodiasis in dairy cattle. J. Dair Sci 65: 2182–2188. HIRUMA M. 2007. Trichophyton verrucosum. http:// www.pfdb.net/html/species/s61. htm. KIRKPATRICK JG. 2007. Coccidiosis in cattle osuextra.okstate.edu/pdfs/F-9129web.pdf1360k. MERIAL. 2008. Dairy diseases information. parasites. http://www. Us.Merial.com. Producers. Dairy.Dis.: 1–4. (28–1–2008).
DISKUSI Pertanyaan: Bagaimana keberadaan penyekit parasitic dan mikotik pada sapi perah di Indonesia? Prevalensi dan kejadian kasusnya? Jawaban: Penyakit parasitik dan mikotik pada sapi perah ada di Indonesia, namun angka kerugian yang terbaru belum didata. Demikian pula dengan prevalensi. Menurut penulis data dari Dirjen Peternakan belumlah akurat karena ternak mudah berpindah, pengontrolan sulit, kecuali yang ada di peternakan dengan manajemen yang baik. Berikut ini ada beberapa data penyakit dengan tahun pustaka penulisan yang sudah tua. Penyakit cacingan fasciolosis di Indonesia pernah dicatat pada 1990 sebesar 513,6 milyar rupiah per tahun dengan prevalensi 60–90%. (1991). Prevalensi scabies pada tahun 2004 sebesar 0,021%. Kerugian tripanosomosis pada tahun 1985 sebesar 22.4 juta US. Penyakit ringworm kerugian akibat lalat, caplak ada, namun belum pernah dilaporkan secara ekonomis dengan baik, penulis sendiri pernah menemukan pada sapi atau peternakan sapi.
MORTER RL, and CALLAHAN J. 2008. Ringworm cattle. http://www.ces.purdue.edu/ext media/ Vy/ Vy.56. (4–3–2008).
321