sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
ISSN 0216- 1877
Oseana, Volume XXV, Nomor 1, 2000 : 21 - 30
BEBERAPA JENIS IKAN PEMANGSA DITAMBAK TRADISIONAL DAN CARA PENANGANANNYA oleh Fahmi 1) ABSTRACT SEVERAL PREDATORY FISHES IN TRADITIONAL PONDS AND HOW TO OVERCOME THEM. The presence of predatory fishes in ponds can not he avoided. Predatory fishes are harmful to culture milk fish or shrimp. They do not only compete with the cultured animals for food and space but also directly prey of them. Normally, some of the predatory fishes enter the ponds in juvenile stage or eggs. They grow so fast until they large enough to attack and eat the prey animals. This review give some information’s of common predatory fishes that usually found in traditional ponds in Indonesia, including how to overcome them with mechanical or chemical way.
PENDAHULUAN
Sedangkan budidaya udang di Indonesia mulai populer dan banyak dilakukan orang sejak tahun 1984 dan berkembang pesat pada pertengahan tahun 1986, ketika harga udang sedang membaik. (SOESENO 1988). Berdasarkan tipe pengelolaannya tambak dibagi dalam tiga jenis tipe, yaitu tambak tradisional (ekstensif), semi intensif dan tambak intensif. Pada pemeliharaan secara tradisional, udang atau bandeng hidup dari makanan alami yang dihasilkan oleh kesuburan alamiah petakan tambak, dengan tanpa diberi pakan (SOESENO 1988). Menurut DARMONO (1991), tambak tradisional biasanya dibangun pada lahan pasang surut, yang pada umumnya berupa rawa-rawa bakau atau rawa-rawa pasang surut. Pengisian dan
Budidaya pada daerah estuari di Indonesia dikenal dengan sebutan tambak. Tambak merupakan suatu bangunan berupa kolam di daerah pantai yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya biota laut yang berpontensi ekonomi (ADR1M et al. 1988). Spesies yang dibudidayakan meliputi udang dan bandeng
(Chanos chanos). Jenis udang yang dibudidayakan biasanya adalah udang windu (Penaeus monodon) dan udang putih (Penaeus mergueinsis) (SUPARDAN 1990). Usaha budidaya tambak telah lama diterapkan di Indonesia, bahkan menurut SCHUSTER (1952), budidaya ikan bandeng dalam tambak di Indonesia telah dikenal sejak tahun 1400 M.
1)
Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi LIPI, Jakarta
21
Oseana, Volume XXV no. 1, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
pembuangan air sepenuhnya bergantung, pada pasang surutnya air laut. Dengan sistem seperti ini, udang atau bandeng hidup dari makanan alami yang dihasilkan oleh kesuburan alamiah petakan tambak yang bersangkutan. Kegiatan sehari-hari pada pengelolaan tambak tersebut dapat dikatakan hany a berupa memasukkan air segar ketika air pasang dan mengeluarkannya lagi ketika air surut. Bersamaan dengan itu, tidak mustahil terdapat adanya berbagai jenis biota air yang ikut masuk ke dalam tambak, baik berupa telur, benih, maupun yang sudah dewasa. Hal itu tergantung dari cara petani tambak ketika membuka pintu air dan memasukkan air (SOESENO 1988). Kehadiran biota-biota air liar ke dalam tambak memberi pengaruh yang cukup besar. Pengaruh tersebut dapat menguntungkan dan dapat pula merugikan bagi petani tambak. Menguntungkan petani apabila petani mendapat hasil sampingan produksi tambak selain udang atau bandeng, dan merugikan apabila produksi tambak terganggu oleh keberadaan hama (ADRIM et al. 1988). Hama dan penyakit merupakan salah satu kendala produksi yang sering ditemukan. Hama biasanya berupa beberapa jenis binatang baik darat maupun air yang menimbulkan kerugian pada budidaya di dalam tambak (DARMONO 1991). Hama tambak dimasukkan dalam golongan kendala produksi karena sangat merugikan petani tambak yaitu merusak konstruksi tambak, efisiensi pemberian pakan menjadi berkurang dan dapat mengurangi produksi udang atau bandeng. Hama tambak ini dapat digolongkan dalam tiga bagian menurut jenis kerugian yang ditimbulkannya, yaitu: 1.
Fordonia leobalia. Beberapa jenis burung, seperti burung pecuk (Phalacrocorax javanicus), burung blekok (Ardeola rallaoides speciosa), burung bango (Leptotilus javanicus), serta jenis hewan lainnya. 2. Hama penyaing Hama penyaing adalah hewan air yang ikut hidup di dalam tambak dan ikut memperebutkan makanan udang, sehingga terjadi persaingan. Termasuk dalam jenis hewan ini adalah ikan-ikan liar, seperti ikan belanak (Mugil sp.), ikan mujair (Tilapia mossambica). Jenis siput seperti trisipan (Cerithidea cingulata), dan congcong (Telescopium telescopium). 3. Hama pengganggu Hama yang sering merusak tambak termasuk hama pengganggu. Hewan yang termasuk golongan ini sering membuat lubang di pematang, sehingga mengakibatkan bocornya tambak Disamping itu hewan tersebut juga suka menggerogoti kayu yang digunakan sebagai pintu air. Kelompok pengganggu ini adalah dari jenis kepiting (Scylla serrata), dan remis (Teredo navalis).
JENIS-JENIS IKAN PEMANGSA DI TAMBAK Keberadaan hewan-hewan liar termasuk di dalamnya ikan-ikan liar yang menjadi pemangsa (predator) bagi udang ataupun bandeng di tambak jelas merugikan pemilik tambak, karena umumnya ikan-ikan pemangsa tersebut merupakan hewan-hewan yang rakus dan amat merugikan keberadaannya. Pada tambak-tambak rakyat yang bersifat tradisional, dimana ikan-ikan pemangsa tersebut lebih terasa kehadirannya dibandingkan tambak intensif maupun semi intensif, karena pengelolaannya yang sederhana (SOESENO 1988). Hewan
Hama pemangsa udang atau bandeng Hama pemangsa ini terdiri dari beberapa spesies he wan yaitu jenis ikan buas seperti ikan kakap (Lates calcarifer), payus (Elops hawaiensis) dan lain-lain. Jenis ular air seperti, Cerberus rhynchops, dan
22
Oseana, Volume XXV no. 1, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
pemangsa umumnya lebih besar ukurannya dibandingkan hewan-hewan yang dimangsanya (IVERSEN 1968). Menurut JHINGRAN (1982), kehadiran ikan-ikan liar yang tidak diharapkan dalam kolam pendederan (nursery pond) dan kolam pembesaran merupakan salah satu faktor yang membahayakan dalam budidaya. Pada masa 1-2 bulan pemeliharaan pada budidaya udang/bandeng di tambak tradisional, merupakan masa-masa yang rentan terhadap gangguan. Sehingga keberadaan ikanikan pemangsa di tambak dalam jumlah yang cukup besar dapat menjadi salah satu faktor gagalnya panen pada tambak tradisional. Hal ini dikarenakan kondisi hewan yang dibudidayakan masih muda atau masih berupa bibit benur/nener yang kondisinya lemah sehingga mudah dimangsa oleh hewan-hewan pemangsa yang lebih besar. Selanjutnya JHINGRAN (1982) menambahkan, umumnya beberapa ikan pemangsa yang masuk ke tambak tumbuh lebih cepat dibandingkan bibit ikan yang dibudidayakan (bandeng). Hal ini dapat terjadi pada kondisi habitat dengan salinitas rendah atau pada kondisi lain, yaitu ketika pada permulaan musim dimana bibit-bibit ikan pemangsa tersebut telah masuk terlebih dulu dan berkembang di dalam tambak. Mereka mengkonsumsi plankton yang tersedia di tambak dan tumbuh dengan cepat sehingga ketika bibit bandeng ditebar pada kolam pendederan, ikan-ikan pemangsa telah cukup besar untuk memangsa bibit-bibit ikan tersebut. Beberapa jenis ikan pemangsa yang biasa hidup dalam tambak tradisional di Indonesia masing-masing diterangkan secara umum di bawah ini.
Menurut WEBER & BEAUFORT (1929) sistematika kakap putih adalah sebagai berikut: Bangsa : Perciformes Anakbangsa : Percoides Suku : Centropomidae Marga : Lates Jenis : Lates calcarifer (Bloch 1970)
Gambar 1. Kakap putih, Lates calcarifer (Bloch) Tanda-tanda morfologi ikan ini adalah bentuk tubuh agak panjang dan pipih dengan penampang bagian dorsal berbentuk cembung dan menjadi cekung di depan sirip punggung Sirip punggungnya memiliki duri keras berjumlah 7-9 buah, dan jari-jari sirip lemah berjumlah 10-11 buah. Sirip dada berbentuk pendek dan membulat dengan jumlah jarijari sirip 17 buah. Ikan ini mempunyai mulut yang besar dan mengarah ke bawah dengan rahang atas memanjang sampai ke belakang mata (WEBER & BEAUFORT 1929). Pada masa juvenil (muda), biasanya tubuh ikan ini berwarna coklat pada bagian atas dan keperakan pada bagian perut dan sisi tubuhnya. Sedangkan pada mesa dewasa berwarna hijau kebiruan di bagian atas dan keperakan pada bagian bawah. Ukuran ikan ini dapat mencapai 200 cm tetapi umumnya berkisar antara 25100cm (FAO 1974). Di beberapa daerah ikan ini dikenal dengan nama ikan Sikap (Aceh), Teribang (Bali), Cukil atau Pelah (Surabaya), Cakong (Madura), Kasakasa (Bugis), Somasi (Manado) dan di Ambon dikenal dengan nama
1.
Kakap Putih Kakap putih merupakan salah satu jenis ikan laut yang merupakan ikan predator yang biasa terdapat di tambak-tambak rakyat.
23
Oseana, Volume XXV no. 1, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
ikan Sumasi (BURHANUDDIN et al. 1998). Ikan kakap putih biasa hidup di perairan pantai, estuaria dan laguna, termasuk di perairan tambak. Di laut ikan ini biasa hidup pa-da kedalaman 10-40 m (FAO 1974). Penyebarannya di Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Madura, Sumbawa, Flores, Sulawesi sampai ke Papua Nugini (WEBER & BEAUFORT 1929). Kakap putih termasuk ikan pemakan daging (karnivora). Makanan ikan ini meliputi ikan-ikan yang lebih kecil dan beberapa jenis krustasea (FAO 1974). Sedangkan menurut JHINGRAN (1982) kakap putih memakan ikan, krustasea terutama udang, keong dan cacing. Di dalam, tambak, kakap putih merupakan ikan yang cukup berbahaya bagi hewan-hewan budidaya, terutama bagi bibit bandeng (nener) dan udang yang masih muda (benur), karena ikan ini merupakan salah satu pemangsa yang rakus (SOESENO 1988). Jenis ikan kakap lain yang seringkali terdapat di tambak adalah kakap batu, Loboles surinamensis (Bloch). Tubuh ikan ini berwarna kecoklatan dan pada bagian punggungnya berwarna lebih gelap. Bagian bawah kepala dan dada berwarna keperakan, sedangkan pada bagian sirip dada dan batas sirip ekor berwarna kuning pucat. Ukuran ikan ini dapat mencapai 1 m dan dimasukkan ke dalam kategori ikan karnivora besar (WEBER & BEAUFORT 1936).
Gambar 2. Payus, Elops hawaiensis (Regan) Ikan payus memiliki bentuk tubuh seperti bandeng, tetapi perutnya tidak gendut sehingga biasa disebut juga dengan bandeng lelaki (SOESENO 1988). Ikan ini mempunyai tubuh yang panjang dan pipih dengan bagian bawah tubuh yang harus (tidak bersisik). Memiliki sirip punggung tunggal dengan jarijari lemah bercabang sebanyak 24 buah dan terletak hampir dipertengahan tubuh. Mulut ikan ini sangat besar, dengan rahang atas yang panjang dan ujung maxilla mencapai depan mata. Tubuh berwarna keperakan dan panjangnya dapat mencapai 90 cm (WEBER & BEAUFORT, 1913). Menurut BURHANUDDIN et al. (1998) ikan ini dikenal pula dengan nama Muloh (Aceh), Agam (Bugis), Bandeng laki (Madura), Bandeng rabet (Makasar) dan Balusu (Surabaya). Habitat ikan payus adalah di perairan pantai dan tergolong dalam ikanikan pelagis. Penyebarannya di Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Madura, dan Sulawesi (WEBER & BEAUFORT 1913). Payus termasuk dalam ikan karnivora yang memangsa ikan-ikan kecil dan krustasea. Di dalam tambak, ikan ini masuk ketika air pasang melewati pintu air yang dibuka oleh petani tambak dan dikenal sebagai pemangsa bibit bandeng (nener) dan udang-udang kecil yang, amat rakus, karena dapat menghabiskan puluhan nener dalam waktu singkat (SOESENO 1988).
2. Payus
Payus, Elops hawaiensis (Regan) merupakan jenis ikan pemangsa yang paling sering terdapat di tambak rakyat. Menurut WEBER & BEAUFORT (1913), sistematika ikan ini adalah sebagai berikut: Bangsa : Malacopterygii Suku : Elopsidae Marga : Elops Jenis : Elops hawaiensis (Regan)
3. Bulan bulan Bulan bulan, Megalops cyprinoides merupakan ikan pemangsa yang masih satu suku dengan ikan payus. Berdasarkan
24
Oseana, Volume XXV no. 1, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
sistematika menurut WEBER & BEAUFORT (1913), ikan ini diklasifikasikan sebagai berikut: Bangsa : Malacopterygii Suku : Elopsidae Marga : Megalops Jenis : Megalops cyprinoides (Broussonet, 1782)
dikenal dengan nama ikan Seleh (BURHANUDDIN et al. 1998). Ikan ini hidup pada perairan pantai, estuaria, dan kadangkadang masuk ke perairan tawar. Penyebarannya di Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Madura, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Timor, Seram, Ambon dan Kepulauan Aru. Di Pulau Jawa, pernah ditemukan di tambak air tawar dengan benih yang berasal dari perairan pantai yang masuk ke dalam tambak ketika air pasang (WEBER & BEAUFORT, 1913). Seperti halnya ikan predator lainnya, bulan bulan memangsa ikan dan krustasea kecil sebagai makanannya. Menurut JHINGRAN (1982), ketika masih berusia muda (benih), bulan bulan mengkonsumsi Cycops, Daphnia, Cyprid, Rotifera, diatom dan alga berfilamen. Sedangkan ketika dewasa, ikan ini memakan ikan dan krustasea, mysid, serangga dan larvanya, serta hewan-hewan kecil lainnya.
Gambar 3. Bulan bulan, Megalops cyprinoides (Brouss.) Bentuk tubuh ikan Bulan bulan panjang dan pipih, dengan bagian perut yang harus. Memiliki sirip punggung tunggal dengan jarijari sirip berjumlah 16-20 buah. Pada bagian akhir sirip punggungnya diperpanjang oleh adanya filamen. Apabila terlihat dari samping, bagian atas tubuh berbentuk cembung. Sirip dada memiliki jari-jari sirip berjumlah 14-15 buah, sirip perut berjumlah 10-11 dan sirip anal berjumlah 23-28. Rahang atas memanjang hingga hampir berada di belakang batas mata, dan memiliki bentuk mulut yang dapat terbuka lebar (WEBER & BEAUFORT 1913). Ikan ini mempunyai warna biru kehitaman atau kehijauan pada bagian atas tubuhnya, sedangkan bagian sisi berwarna keperakan dengan garis lateral keemasan. Tubuhnya dapat mencapai ukuran sampai 55 cm, tetapi biasa ditemukan dengan panjang antara 25-30 cm (FAO 1 974). Di beberapa daerah ikan bulan bulan dikenal pula dengan nama Bandeng laut (Banjarmasin, Lombok), Bale kebo (Bugis), Kampulan (Makasar), Bulau (Pontianak), Kontera (Madura), dan di daerah Surabaya
4. Gerot gerot Jenis ikan pemangsa lain di tambak adalah ikan Gerot gerot, Pomadasys hasta. Berdasarkan WEBER & BEAUFORT (1936), sistematika ikan ini adalah sebagai berikut: Bangsa : Percomorphi Anak Bangsa : Percoidea Suku : Lutjanidae Anak Suku : Pomadasynae Marga : Pomadasys Jenis : Pomadasys hasta (Bloch 1790) Bentuk tubuh ikan ini panjang dan pipih, dengan bagian atas tubuh berbentuk cembung apabila tampak samping. Mulut kecil dengan bibir agak tebal. Rahang atas mencapai ke bagian bawah batas mata. Sirip punggung memiliki 12 duri keras dan 13-15 jari-jari sirip lemah. Ikan Gerot gerot memiliki warna tubuh abu-abu keperakan, dengan 4-5 garis membujur berwarna abu-abu gelap yang putusputus dan samar pada sisi-sisi tubuhnya. Tiga atau empat garis tersebut berada di atas garis lateral tubuh. Pada sirip punggung terdapat 2-
25
Oseana, Volume XXV no. 1, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
3 bans bercak berwarna coklat. Ikan ini dapat mencapai ukuran 80 cm, tapi umumnya antara 40-50 cm (FAO 1974). Di beberapa daerah, ikan Gerot gerot dikenal pula dengan nama Krokot (Jawa), Towo ito (Madura), Garut (Balikpapan), dan di daerah Jakarta dikenal pula dengan nama ikan Kerot kerot atau Krekot (WEBER & BEAUFORT 1936). Habitat ikan ini adalah perairan pantai, sampai ke kedalaman 60 m (FAO 1974). Sedangkan penyebarannya di Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Madura, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Teluk Tomini, Selayar, Sumbawa, Pulau Obi, Pulau Buru, Seram, Ambon dan Waigeu (WEBER & BEAUFORT 1936). Ikan Gerot gerot yang umum dijumpai di tambak selain Pomadasys hasta adalah Pomadasys maculatus. Biasanya dijumpai sebagai ikan-ikan liar di tambak dan termasuk hasil ikutan (rucah) dari produksi tambak (ADRIM et al. 1988). Makanan utamaikan ini adalah krustasea dan ikan-ikan kecil (FAO 1974). Dengan demikian gerot-gerot dapat dianggap sebagai hama bagi bandeng dan udang (ADRIM et al. 1988).
dan jari-jari sirip lemah berjumlah 17, sedang bagian bawah terdiri dari tiga atau empat buah sirip berfilamen dengan bagian paling atas memiliki filamen yang paling panjang hingga mencapai dasar sirip perut (FAO 1974). Ikan ini dicirikan pula dengan tubuh yang berwarna hijau keperakan di bagian atas tubuh dan bagian bawah berwarna krem. Sirip punggung dan ekor berwarna abu-abu dan agak gelap pada pinggirannya. Sirip perut dan anus berwarna orange, sedang sirip dada berfilamen berwarna putih. Ikan ini dapat mencapai ukuran 200 cm, tetapi biasa ditemukan pada ukuran antara 45-50 cm (FAO 1974). Ikan kuro dikenal pula dengan nama ikan Senangin atau Kura (Aceh), Lema lema (Bugis), Kurau atau Kuru (Jakarta), Laceh atau Oslaosan (Madura), Laosan (Surabaya), dan di Menado dikenal dengan nama ikan Tikus (BURHANUDDIN et. al 1998). Ikan kuro merupakan ikan yang biasa hidup di perairan pantai yang dangkal dengan dasar yang berlumpur, kadang-kadang juga memasuki perairan tawar (FAO 1974). Penyebarannya di Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Madura, Kalimantan, Sulawesi dan Bacan (WEBER & BEAUFORT 1922). Makanan ikan kuro adalah krustasea kecil dan ikan (FAO 1974). Hal ini berarti ikan kuro dapat merupakan pemangsa terhadap udang-udang muda dan bibit bandeng, sehingga akan menimbulkan kerugian terhadap budidaya di tambak (ADRIM et al. 1988).
5. Kuro Ikan Kuro, Eleuthronema tetradactylum merupakan salah satu jenis ikan liar yang dapat ditemukan di tambak. Menurut WEBER & BEAUFORT (1922), sistematika ikan ini adalah sebagai berikut: Bangsa : Percesoces Suku : Polynamidae Marga : Eleuthronema Jenis : Eleuthronema tetradactylum (Straw, 1804) Bentuk tubuh ikan ini memanjang dan agak pipih. Mata ditutupi oleh membran gelatin. Bentuk mulut sangat besar dan tidak mempunyai bibir, kecuali bibir bagian bawah yang terdapat pada sudut mulut (WEBER & BEAUFORT 1922). Sirip dada terdiri dari dua bagian, bagian atas dengan satu buah duri keras
6. Lundu Lundu, Arius maculatus merupakan salah satu ikan liar yang umum terdapat pada tambak tradisional. Menurut WEBER & BEAUFORT (1913), sistematika ikan ini adalah sebagai berikut: Bangsa : Ostariopysi Anak Bangsa : Siluroidea Suku : Ariidae Marga : Arius Jenis : Arius maculatus (Thunberg 1792)
26
Oseana, Volume XXV no. 1, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Bentuk tubuh ikan lundu menyerupai lele, memanjang dengan kepala meruncing, dengan kemiringan yang membentuk garis lurus sampai ke permukaan sirip punggung. Di sekitar mulutnya terdapat tiga pasang sungut. Pada sirip punggung dan sirip dada, masingmasing terdapat sebuah duri yang keras dan diikuti oleh 7 buah jari-jari sirip lemah pada punggung dan 10-11 jari-jari sirip lemah pada sirip dadanya. Di belakang sirip punggung terdapat sirip adipose berukuran kecil dan berwarna hitam. Tubuh ikan ini berwarna biru atau coklat di bagian atas, abu-abu pada bagian sisi tubuh, dan bagian perut berwarna putih dengan bintik-bintik yang samar, dengan ujung-ujung sirip berwarna hitam. Ikan ini dapat mencapai ukuran 50 cm, tapi biasa ditemukan dengan ukuran antara 20-40 cm (FAO 1974).
7. Gabus Gabus, Ophiocephalus striatus tergolong ikan air tawar, tetapi bisa menjadi salah satu pemangsa yang buas apabila masuk ke dalam tambak, terutama tambak di pedalaman yang memiliki pintu air ke arah muara sungai. Menurut WEBER & BEAUFORT ( 1922), sistematika ikan ini adalah sebagai berikut: Bangsa : Labyrinthici Anak Bangsa : Ophiocephaloidei Suku : Ophiocephalidae Marga : Ophiocephalus Jenis : Ophiocephalus striatus (Bl.)
Di beberapa daerah, ikan lundu dikenal pula dengan nama ikan duri (Jakarta, Palembang), Lundu (Pontianak), Beluku (Samarinda dan Pontianak), Manyung (Kupang), Uteh (Madura), dan di Makasar dikenal dengan nama ikan Tambununu (BURHANUDDIN et al. 1998). Ikan ini dapat hidup di laut, perairan pantai, estuaria, bahkan sampai ke perairan tawar (sungai) dengan penyebaran di Indonesia meliputi Sumatera, Jawa dan Kalimantan (WEBER & BEAUFORT 1913). Ikan lundu tergolong ikan piscivores (pemakan ikan kecil) dan juga pemakan krustasea. Keberadaannya di tambak merupakan hama yang harus dibasmi, karena ikan ini tergolong pemangsa yang rakus terutama terhadap bibit bandeng dan udang. Jenis ikan lundu lainnya yang biasa ditemukan di tambak antara lain adalah Arius sagor, Arius leptaspis, Macrones gulio, Mac rones nemurus dan Osteogeneiosus militaris (ADRIM et al. 1988).
Gambar 4. Gabus, Ophiocephalus striatus (Bl.) Secara morfologis, bagian depan (anterior) ikan ini berbentuk silindris dan pipih pada bagian belakangnya (posterior). Kepala gepeng dan bagian dorsal berbentuk cembung apabila tampak dari samping. Sirip pungggung memiliki jari-jari sirip lemah berjumlah 38-43, jari-jari sirip lemah pada sirip dada 15-17, sirip perut 6 buah, dan pada sirip anal berjumlah 23-27 Sirip punggung memanjang mulai dari arah belakang sirip dada sampai ke arah ekor (hampir sejajar dengan anus). Tubuh berwarna kehijauan atau kecoklatan di bagian atas, bahkan ada yang berwarna hitam. Sedangkan bagian bawah berwarna putih, keperakan atau coklat terang. Bagian atas terdapat garis-garis dan bintik-bintik berwarna gelap. Panjang tubuhnya dapat mencapai 90 cm (WEBER & BEAUFORT 1922).
27
Oseana, Volume XXV no. 1, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Ikan gabus merupakan ikan labirin yang mampu bertahan di luar air, karena mempuny ai alat pernafasan tambahan yang berupa lipatan kulit tipis yang berliku-liku seperti labirin (SOESENO, 1988). Ikan ini biasa hidup di sungai, danau, dan kolam/tambak, serta biasa membuat sarang di daerah rawa-rawa atau diantara belukar yang terdapat pada tepi tambak dan sungai. Di Indonesia, ikan gabus penyebarannya sangat luas, mulai dari Sumatera, Jawa, Madura, Bali, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, Flores, Ambon dan Halmahera (WEBER & BEAUFORT 1922). Di beberapa daerah, ikan gabus dikenal pula dengan nama ikan rayong (Sunda), Kuto (Madura), Bace (Aceh), Sepungkat (Palembang), dan di Bajarmasin dengan nama ikan Haruan (WEBER & BEAUFORT 1922). Ikan gabus merupakan ikan karnivor yang cukup buas. Di tambak pedalaman, yang salinitasnya lebih rendah/tawar, ikan gabus merupakan hama yang amat merugikan karena kebuasannya melebihi ikan pay us dan kakap. Ikan ini tidak hanya memangsa ikan bandeng, tetapi juga ikan-ikan liar lainnya (SOESENO 1988). Selanjutnya Soeseno menambahkan pula sebagai ikan labirin, ikan gabus yang besar dapat melompat melalui pematang rendah dari petak pendederan, untuk kemudian menghabiskan nener bandeng di dalamnya. Ikan ini pun tak segan mendatangi petak pembesaran yang banyak terdapat ikan gelondongan (yang mempunyai ukuran yang lebih besar dari nener), dengan cara melompat dari air dan melewati permukaan pematang yang agak becek oleh air hujan.
ikan-ikan predator dan kompetitor untuk masuk ke dalam tambak. Mereka masuk ke dalam tambak dalam bentuk telur, larva ataupun bentuk dewasa ketika pintu air dibuka untuk memasukkan air (IVERSEN 1968). Menurut SOESENO (1988), untuk mencegah masuknya benih ikan buas dari saluran luar, pintu air utama pada tambak dipasang penyaring yang biasanya terbuat dari bilah bambu yang disusun rapat, membentuk semacam bidai berbingkai. Bidai yang baik adalah yang mampu mencegah masuknya benih ikan buas, tetapi tidak menghambat kelancaran arus air. Pada pintu petakan (termasuk pintu kolam pendederan) dipasang penyaring halus (waring) untuk mencegah benih ikan buas masuk ke dalam tambak. Untuk memberantas hama yang sudah terlanjur berada di dalam tambak, dilakukan dilakukan dengan cara mekanis maupun secara kimiawi. Cara mekanis dilakukan dengan melakukan penangkapan ikan-ikan liar dengan menggunakan berbagai alat tangkap seperti anco atau waring, bubu, pancing, jaring dan sebagainya. Cara ini di lakukan secara berkala dengan jangka waktu yang relatif singkat (1 -4 hari sekali). Hasil tangkapan tersebut dapat memberikan tambahan bagi petani tambak, terutama bagi petani kecil yang kurang mampu atau petani penggarap/non pemilik (ADRIM et al. 1988). Selanjutnya menurut DARMONO (1991), pemberantasan hama secara kimiawi dilakukan antara lain dengan menggunakan obat anti hama (pestisida). Pestisida yang digunakan dapat berupa bahan tradisional maupun bahan kimia dari pabrik yang tujuannya adalah untuk membunuh hama tapi tidak mengganggu udang. Bahan tradisional, berupa bahan-bahan nabati yang mudah diperoleh dan bersifat racun terhadap hama tambak, antara lain tembakau, biji teh dan akar tuba (Tabel 1).
PENANGANAN HAMA TAMBAK Penanganan hama tambak dapat dilakukan dengan tindakan pencegahan dan pemberantasan hama. Keberadaan tambak yang berhubungan dengan perairan umum (laut atau sungai) dapat mengundang kehadiran
28
Oseana, Volume XXV no. 1, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 1. Bahan Tradisional Pembasmi Hama Tambak (DARMONO, 1991)
setelah didiamkan selama empat hari. Baik akar tuba maupun serbuk tembakau menjadi bahan organik yang dapat mempertahankan struktur tanah agar tetap baik bagi pertumbuhan klekap, setelah tugasnya sebagai racun berakhir. Pada pemberantasan benih ikan buas dan ikan-ikan liar lainnya, dapat digunakan bungkil biji teh setiap empat bulan sekali sebanyak 6 kg/hektar. Hal ini dilakukan dengan cara menyurutkan air tambak sampai kedalaman 30 cm (SOESENO 1988). Menurut Cholik dalam SOESENO (1976), dengan kepekatan 6 kg/ha, ikan-ikan liar akan mati, tetapi benih udang masih tetap hidup. Bungkil biji teh tersebut direndam dalam air semalam, kemudian ditumbuk sampai halus dan ditebarkan merata ke dalam tambak (DARMONO 1991). Menurut SOESENO (1988), bungkil biji teh mengandung saponin 7%, dan daya racunnya bekerja selama sepuluh hari. Tanda bahwa racun telah hilang adalah warna air sudah berubah dari kuning keruh menjadi kuning jernih.
Bahan kimia pembasmi hama yang dibuat di pabrik biasanya digolongkan dalam kelompok pestisida, dan bermacam-macam jenis tergantung pabriknya (DARMONO 1991). Berdasarkan hasil pengamatan penulis pada beberapa tambak tradisional di Kabupaten Tanggamus, Lampung dan Kabupaten Tangerang, jenis pestisida yang biasa digunakan untuk membunuh ikan-ikan liar di tambak antara lain adalah Akodan, Tiodan dan Supracide. Menurut SOESENO (1988), untuk memberantas telur ikan buas yang mungkin masih dapat menerobos penyaring, para petani tambak di Pulau Jawa dan Sulawesi Selatan lebih dianjurkan menggunakan tepung akar tuba (dikenal sebagai tepung Denis, karena berasal dari akar tanaman Derris elliptica). Penggunaan sebanyak 3 -4 kg per hektar, lebih baik dari pada menggunakan pestisida anorganik yang residunya dikhawatirkan akan merusak struktur tanah tambak, apabila terakumulasi karena pemakaian yang terusmenerus. Selain tepung Derris, dapat pula menggunakan serbuk tembakau yang dikenal sebagai "Tobacco dust" yang merupakan buangan pabrik rokok, sebanyak 300-400 kg per hektar. Larutan encer dari salah satu racun itu disebar rata ke seluruh permukaan tambak yang masih dangkal (+ 5 cm), setelah pengeringan pada akhir pemupukan kedua. Air akan normal (tidak mengandung racun lagi)
DAFTAR PUSTAKA ADRIM, M., H.P. HUTAGALUNG and L. EFFENDI 1988. Ikan tambak dan habitatnya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi - LIPI. Jakarta: 67 hal.
29
Oseana, Volume XXV no. 1, 2000
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
BURHANUDDIN, A. DJAMALI, and A.S. GENISA 1998. Nama-nama daerah ikan laut di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi- LIPI. Jakarta: 188 hal.
CHAO eds. Taiwan Fisheries Research Institute, Asian Productivity Organization: 59-67. WEBER, M., and L.F. De BEAUFORT 1913. The fishes of the Indo Australian Archipelago, 2. Malacopterygii, Myctophoidea, Ostariophysi, I Siluroidea. E.J. Brill, Leiden: 404 pp.
DARMONO. 1991. Budidaya udang Penaues. Penerbit Kanisius. Yogyakarta: 104 hal. FOOD and AGRICULTURE ORGANIZATION 1974. Species identification sheets for fishery purpose I-IV. Rome
WEBER, M, end L.F. De BEAUFORT 1922. The fishes of the Indo Australian Ar chipelago, 4. Heteromi, Solenichthyes, Synentognathi, Percesoces, Labyrinthici, Microcyprini. E.J. Brill, Leiden: 410 pp.
IVERSEN, E.S. 1968. Farming the edge of the sea. Fishing News. London: 301 pp JHINGRAN, V.G. 1982. Fish and fisheries of India. Hindustan Publishing Corp. New Delhi: 666 pp.
WEBER, M., and L.F. De BEAUFORT 1929. The fishes of the Indo Australian Archipelago, 5. Anacanthini, Allotriognathi, Heterosomata, Berycomorphi, Percomorphi. E.J. Brill, Leiden: 458 pp.
SCHUSTER, W.H. 1952. Fish culture in brackish water ponds of Java. Indo-Pacif Coun. Spec Publs. 1: 143 pp. SOESENO, S. 1988. Budidaya ikan dan udang dalam tambak. PT. Gramedia. Djakarta; 179 hal.
WEBER, M., and L.F. De BEAUFORT 1936. The fishes of the Indo Australian Archipelago, 7. Perciformes (continued). E.J. Brill, Leiden: 607 pp.
SUPARDAN, A. 1 990. Aquaculture development in Indonesia, in : I CHI U LIAO, CH U NG-ZENSHYU, NAI-HSIEN
------ * * * * * ------
30
Oseana, Volume XXV no. 1, 2000