2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Penggunaan Cahaya pada Penangkapan Ikan
Setelah manusia mengetahui cara membuat api, mereka juga menemukan bahwa beberapa jenis ikan tertarik oleh cahaya. Namum tidak diketahui dengan pasti kapan manusia memulai penangkapan ikan dengan menggunakan alat bantu cahaya (Ben-Yami, 1987).
Berawal dari sinilah penangkapan ikan dengan
menggunakan alat bantu cahaya berkembang terus.
Penangkapan ikan yang
menggunakan alat bantu cahaya itulah yang disebut dengan lightfishing. Penggunaan cahaya (lampu) untuk penangkapan ikan di Indonesia dewasa ini telah berkembang cukup pesat, sehingga tempat-tempat dimana terdapat kegiatan perikanan hampir dapat dipastikan bahwa di daerah tersebut terdapat lampu yang digunakan untuk usaha penangkapan ikan.
Pada tahun 1950-an
jumlah lampu yang digunakan untuk penangkapan ikan masih sangat terbatas dan terpusat di suatu daerah tertentu (Subani, 1983). Sejak kapan lampu tersebut digunakan dalam penangkapan ikan di Indonesia dan siapa yang mula-mula memperkenalkannya belumlah jelas. Meskipun dernikian di daerah-daerah perikanan Indonesia Timur, khususnya di tempat-tempat dimana usaha penangkapan cakalang dengan pole and line dilakukan sekitar tahun 1950 ditemukan kurang lebih 500 buah lampu petromaks yang digunakan untuk penangkapan, dimana di tempat-tempat lain belum digunakan (Van Vel yang diacu dalam Subani 1983). Pada mulanya penggunaan lampu untuk penangkapan, masih terbatas pada daerah-daerah tertentu dan umurnnya dilakukan hanya di tepi-tepi pantai dengan menggunakan jaring pantai (beach seine), serok (scoop net) dan pancing (hand
line).
Pada tahun 1953 perkembangan penggunaan lampu untuk tujuan
penangkapan ikan tumbuh dengan pesat bersamaan dengan perkembangan bagan (jaring angkat, lijiinet) untuk penangkapan ikan. Saat ini pemanfaatan lampu tidak hanya terbatas pada daerah pantai, tetapi juga dilakukan pada daerah lepas pantai yang penggunaannya disesuaikan dengan keadaan perairan seperti alat tangkap payang, purse seine dan sebagainya. Penggunaan cahaya listrik dalam skala industri penangkapan ikan pertama kali dilakukan di Jepang pada tahun 1900 untuk menarik perhatian berbagai jenis ikan, kemudian berkembang dengan pesat setelah perang dunia 11. Di Nonvegia penggunaan lampu berkembang sejak tahun 1930 dan di Uni Soviet baru mulai digunakan pada tahun 1948 (Nikonorov, 1975). 2.2 Alat Tangkap Bagan
Bagan adalah salah satu jenis alat tangkap yang digunakan nelayan di tanah air untuk menangkap ikan pelagis kecil, pertama kali diperkenalkan oleh nelayan
Bugis-Makassar sekitar tahun 1950-an. Selanjutnya dalam waktu relatif singkat alat tangkap tersebut sudah dikenal di seluruh Indonesia. perkembangannya
Bagan dalam
telah banyak mengalami perubahan baik bentuk maupun
ukuran yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan daerah penangkapannya.
Berdasarkan cara pengoperasiannya, bagan dikelompokan
kedalam jaring angkat (liftnet), namun karena menggunakan cahaya lampu untuk mengumpulkan ikan maka disebut juga lightfishing (Subani dan Barus, 1989). Ada dua jenis tipe bagan yang ada di Indonesia, yang pertama adalah bagan tancap yaitu bagan yang ditancapkan secara tetap di perairan dengan kedalaman 5-10 m. Jenis yang kedua adalah bagan apung yaitu bagan yang dapat berpindah 13
dari satu daerah penangkapan ke daerah penangkapan lainnya (Baskoro, 1999). Selanjutnya dapat diklasifikasikan menjadi bagan dengan satu perahu, bagan dua perahu, bagan rakit, dan bagan dengan menggunakan mesin. Pada tahun 1998 jumlah bagan tancap di Indonesia sebanyak 11.909 buah dan bagan apung sebanyak 12.081 buah dengan total produksi sebesar 8% dari total produksi perikanan Indonesia (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2000). Bagan termasuk kedalam light Jishing yang menggunakan lampu sebagai alat bantu untuk merangsang atau menarik perhatian ikan untuk berkumpul di bawah cahaya lampu, kemudian dilakukan penangkapan dengan jaring yang telah tersedia (Ayodhyoa, 1981).
Selanjutnya dikatakan bahwa ikan tersebut
memberikan respon melalui rangsangan cahaya dan dimanfaatkan dalam penangkapan atau pemanfaatan salah satu tingkah laku ikan untuk menangkap ikan itu. Ada beberapa jenis ikan yang tertarik dengan adanya cahaya dan berkumpul serta ada juga yang menjauhi cahaya dan menyebar. Perkembangan terakhir mengenai teknologi penangkapan ikan menggunakan bagan di Indonesia adalah penggunaan bagan berukuran besar yang umumnya disebut dengan nama "bagan rambo". Bagan rambo merniliki ukuran yang lebih besar dan konstruksinya tampak lebih kokoh serta jumlah lampu yang digunakan lebih banyak (di atas 30 unit lampu). Perahu bagan dapat dikatakan sebagai bangunan utama dari bagan rambo karena selain untuk mengapungkan bangunan bagan juga di atasnya terkonsentrasi seluruh peralatan dan merupakan tempat kegiatan pada saat operasi penangkapan. Bentuk dan konstruksi perahu
dirancang khusus, yaitu berbentuk pipih
memanjang dengan dimensi utama, panjang 30,O m, lebar 2,O m dan dalam 3,5 m.
Selain perahu, komponen lain dari bagan rambo adalah rangka bagan. Adanya bangunan kayu yang berbentuk rangka merupakan ciri khas dari bagan. Ukuran panjang dan lebar bangunan bagan adalah 32,O m x 30,O m, dirangkai pada sisi kiri dan kanan perahu. Semua bahan dari rangka serta perahu terbuat dari kayu pilihan. Selain itu dilengkapi dengan jaring, roller, generator dan lampu merkuri (Nadir, 2000). Yang menonjol dari penggunaan bagan rambo ini adalah penggunaan cahaya listrik dengan jumlah bola lampu yang dipergunakan berkisar 30 - 66 buah. Berdasarkan hngsinya lampu dapat dibedakan atas dua jenis yaitu, lampu penarik dan lampu yang digunakan untuk mengkonsentrasikan ikan-ikan yang telah tertarik pada cahaya lampu. 2.3 Proses Penangkapan dan Tingkah Laku Ikan
Konsep aktivitas penelitian dan pengembangan teknologi penangkapan ikan pada masa yang akan datang tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan hasil tangkapan tetapi juga ditujukan untuk memperbaiki proses penangkapan (capture process), mengurangi fishing impact terhadap lingkungan dan bio-diversity (Arimoto, et al. 1999). Selanjutnya Chopin and Inoue (1997) telah melakukan telaah mengenai kecenderungan penelitian dan pengembangan teknologi penangkapan ikan di Asia dan menekankan bahwa ada beberapa topik utarna yang sangat penting dikembangkan antara lain pengamatan bawah air terhadap proses penangkapan (underwater observation on capture process) dan tingkah laku ikan atau studi-studi fisiologi.
Walaupun tingkah laku ikan mudah diamati tetapi tidak mudah untuk mempelajarinya karena diperlukan perencanaan yang hati-hati untuk mengamati bagian-bagian dari tingkah laku yang menjadi tujuan pengamatan (Noakes and Baylis, 1990).
Metode pengamatan tingkah laku ikan dapat dilakukan di
laboratorium dan dapat pula dilakukan langsung di lapangan. Selanjutnya dikatakan bahwa studi tingkah laku ikan di lapangan dapat memberikan keuntungan yang lebih baik karena dapat diterapkan pada masalah-masalah Underwater observation merupakan metode pengamatan di lapangan
praktis.
yang dapat dilakukan untuk tujuan pengamatan tingkah laku ikan.
Beberapa
peralatan yang dapat digunakan untuk memahami proses penangkapan telah dijelaskan oleh Arimoto et aZ.(1999)antara lain video camera, sonar, bio-telemetri. Selanjutnya dikatakan bahwa kontrol tingkah laku ikan dengan menggunakan rangsangan buatan (artzficial stimuli), bertujuan untuk memperbaiki teknologi penangkapan ikan. Tingkah laku ikan adalah adaptasi ikan terhadap faktor lingkungan eksternal dan internal (He, 1989). Selanjutnya dikatakan bahwa tingkah laku ikan dapat diklasifikasikan kedalam beberapa bagian seperti instinct behaviour, taxis dan refleks. Noakes and Baylis (1990), mengatakan bahwa tingkah laku ikan merupakan salah satu hal yang sangat penting dipertimbangkan khususnya dalam biologi perikanan. Selanjutnya dikatakan bahwa reaksi ikan terhadap alat tangkap merupakan salah satu contoh praktis dalam tingkah laku ikan. Karena berbagai keterbatasan dalam pengamatan langsung maka penggunaan remote automatic sampling techniques merupakan salah satu alat untuk tujuan pengamatan tingkah
laku ikan.
2.4 Peranan Cahaya dan Sifat-sifatnya dalam Air
Cahaya merupakan bagian yang fbndamental dalam menentukan tingkah laku ikan di laut (Woodhead, 1966). Stimuli cahaya terhadap tingkah laku ikan sangat kompleks antara lain intensitas, sudut penyebaran, polarisasi, komposisi spektralnya dan lama penyinarannya. Nicol (1963) telah melakukan suatu telaah mengenai penglihatan dan penerimaan cahaya oleh ikan dan menyimpulkan bahwa mayoritas mata ikan laut sangat tinggi sensitivitasnya terhadap cahaya. Tidak semua cahaya dapat diterima oleh mata ikan. Cahaya yang dapat diterima memiliki panjang gelombang pada interval 400 - 750 mp (Mitsugi, 1974; Nikonorov, 1975) Penetrasi cahaya dalam air sangat erat hubungannya dengan panjang gelombang yang dipancarkan oleh cahaya tersebut.
Semakin besar panjang
gelombangnya maka semakin kecil daya tembusnya kedalam perairan. Panjang gelombang dari masing-masing warna cahaya dapat dilihat pada Table 2.1 (Ben-
Table 2.1 Wavelength at various colour for visible light Wavelength (A)
Colour of light I
Violet
3,900 - 4,550 I
Blue
4,550 - 4,920
Green
4,920 - 5,770
I
Yellow
I
5,770 - 5,970
I
I
Orange
I
5,970 - 6,220
I
I
6,220 - 7,700
Red 1
Source: Ben-Yami (1987)
I
I
Dengan demikian maka cahaya warna biru akan menembus lebih jauh ke dalam perairan daripada warna lainnya.
Dalam penerapannya pada operasi
penangkapan ikan, maka untuk menarik ikan dari jarak yang jauh baik secara vertikal maupun secara horisontal digunakan warna biru karena dapat diabsorbsi oleh air sangat sedikit sehingga penetrasinya ke dalam perairan sangat tinggi. Untuk menkonsentrasikan ikan di sekitar catchable area digunakan warna merah atau kuning karena daya tembusnya yang rendah. Penelitian mengenai penggunaan warna cahaya dalam air dalam penangkapan ikan dengan alat tangkap purse seine, telah dilakukan oleh Najamuddin et al. (1994), dengan menggunakan tiga jenis warna lampu neon, masing-masing merah, kuning dan biru. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa lampu neon berwarna kuning memberikan hasil tangkapan yang lebih besar dibandingkan dengan warna lainnya, sedangkan ikan layang merupakan hasil tangkapan yang dominan. Selain panjang gelombang, faktor lain yang menentukan penetrasi cahaya masuk ke dalam air adalah absorbsi cahaya oleh partikel-partikel air, kecerahan, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, musim dan lintasan geografis (Nybakken, 1988). Ben-Yami (1987) menyatakan bahwa nilai iluminasi (lx) suatu sumber cahaya akan menurun dengan semakin meningkatnya jarak dari sumber cahaya tersebut dan nilainya akan berkurang apabila cahaya tersebut masuk ke dalam air karena mengalami pemudaran. Besarnya iluminasi cahaya (E) ditentukan dari intensitas penyinaran ( I ) dan jarak dari sumber cahaya (r) yang diformulasikan sebagai berikut:
E = 1.2.................. .............. .......................................................................(1)
dimana:
E = iluminasi cahaya (lx); I
= intensitas cahaya (cd);
r
= jarak
dan
dari sumber cahaya (m).
Pemudaran intensitas cahaya di dalam kolom air terjadi secara eksponensial berdasarkan hukum Buger sebagai berikut (Nikonorov 1975; Nicol 1989) kx
Ix= 1o.e- ...............................................................................................(2) atau Ex = Eo.e'". .............................................................................................(3) dimana
Ex = iluminasi pada kedalaman x meter; Eo = iluminasi pada permukaan air; e
=
bilangan e sebesar 2,7 18;
k
=
koefisien pemudaran; dan
x = kedalaman air.
Cahaya yang masuk ke dalam perairan akan diterima oleh mata ikan yang selanjutnya mata ikan melakukan hngsi untuk mengumpulkan cahaya dan menfokuskan gambar yang diterimanya dan kemudian dianalisis oleh retina pada mata ikan (Fernald, 1990). Selanjutnya dikatakan bahwa apabila cahaya dalam air masuk ke dalarn mata ikan dengan intensitas tertentu, I (candella), maka flux cahaya dalam mata ikan adalah sebagai berikut:
F dimana:
=
(1pa)/ D~ ...................................................................... (4)
F
= flux
I
= intensitas cahaya pada
cahaya (lumen); titik tertentu (candella);
Pa =pupillary area; dan
D =jar& dari sumber cahaya ke pupil. Jurnlah cahaya yang masuk kedalam suatu perairan sangat berbeda-beda bergantung pada beberapa faktor seperti waktu penyinaran matahari atau bulan, kondisi meterologi, musim dan latitude. Pada waktu matahari berada di zenit dan dalam keadaan tidak berawan maka penyinaran di permukaan laut diperkirakan sebesar 1160 w/m2 atau setara dengan 108 kilo lux (Nicol, 989). Selanjutnya dikatakan bahwa pada bulan purnama penyinaran di permukaan air sebesar 0,0 1pw/cm2 dan pada kondisi gelap sekitar 0,000 1pw/cm2. 2.5 Morfologi Retina Mata Ikan
Ikan sebagaimana jenis hewan lainnya mempunyai kemampuan untuk melihat pada waktu siang hari dengan berkekuatan penerangan beberapa ribu lux dan pada keadaan yang gelap gulita sekalipun (Gunarso, 1985). Struktur retina mata ikan yang berisi reseptor dari indera penglihatan sangat bervariasi untuk jenis ikan yang berbeda. Retina merupakan proyeksi dari otak dan terdiri dari berbagai tipe sel yang meliputi 8 lapisan dan 2 membran (Ali and Anctil, 1976). Retina ini terdapat pada salah satu lapisan pada mata ikan dengan ketebalan berkisar 90-500 pm, sedangkan lapisan sel penglihatannya mempunyai ketebalan 30-200 pm (Nicol, 1989) seperti yang ditunjukkan pada Figure 2.1. Pada ikan Jack mackerel bagianbagian tersebut dapat dilihat pada Figure 2.2.
Iris n e r v e b r a n c h
--
Figure 2.1 Diagram of teleost eye (Nicol, 1989).
1. Inner limiting membrane
6 . Outer pexiform layer
2. Nerve fiber layer
7. Outer nuclear layer
3. Ganglion cell layer
8. Outer limiting membrane
4. Inner plexiform layer
9. Cone androdlayer
5. Inner nuclear layer
10. Retinal pigment epithelium
Figure 2.2 Photomicrograph showing transversal section of retina for Jack et mackerel (Trachurusjaponicus) during light adapted (Sudirrnan
al., 2000).
Ikan bertulang keras (teleost) memiliki jenis retina duplek, dimana pada retina terdapat sel rod dan sel kon (Gunarso, 1985; Bowmaker 1990). Pada umumnya terjadi distribusi dari kedua jenis reseptor tersebut yang berbeda untuk bagian yang berlainan dari retina. Hal ini berhubungan erat dengan pemanfaatan indera penglihatan dalam lingkungan hidupnya. Adanya kontraksi dan ekspansi pada sel kon dan rod sebagai respon terhadap perubahan cahaya disebut dengan retinomotor response (Ali, 1975; Ali and Anctil 1976). Sel kon berhubungan dengan adanya cahaya (photopic) dan sel rod berhubungan dengan kondisi gelap (scotopic). Pada saat ada cahaya maka sel-sel kon akan bergerak ke limiting membrane dan sebaliknya dalam kondisi gelap akan digantikan oleh sel rod (Ali and Anctil 1976). Selanjutnya Wagner (1990) mengatakan bahwa ada perbedaan morfologi antara sel kon dan sel rod. Sel rod mempunyai segmen luar yang panjang sedangkan sel kon lebih pendek. Ikan yang memiliki pengikatan sel kon yang sangat menyolok pada bagian dorsal retina mata, berarti bahwa ikan tersebut mempunyai keistimewaan untuk melihat kearah bawah (Gunarso, 1985). Pada jenis ikan yang aktif pada siang hari (diurnal), umumnya sel kon pada retina tersusun dalam bentuk mosaik (Figure 2.3). Sel kon tersebut dapat tersusun dalam bentuk barisan ataupun dalam bentuk empat persegi (Zhang, 1992). Pada umumnya ikan-ikan yang memiliki sel kon dalam bentuk mosaik seperti ini adalah jenis ikan yang intensif sekali menggunakan indera penglihatannya, biasanya adalah jenis ikan yang aktif memburu mangsa (predatovfish). Untuk jenis-jenis ikan yang aktif pada malam hari (nocturnal) atau jenis ikan yang hidup pada lapisan dalam (deep seafish) banyaknya sel kon sangat kurang atau tidak ada sama sekali, dan kedudukan sel kon tersebut digantikan oleh sel rod (Gunarso, 1985).
Transverse section
Figure 3.3 Structure of double cone of Jack mackerel and Welleye pollok in tangential and tranversal section (Zhang, 1992).
Disamping kenyataan bahwa struktur dari retina mata ikan sangat bervariasi, maka struktur dari retina tersebut dapat dipakai untuk mengetahui pola hidup ikan, terutama berhubungan dengan pola makan mereka. Jenis-jenis ikan pelagis besar maupun kecil yang memperoleh makanannya dengan terlebih dahulu harus memburu mangsanya, pada umurnnya mempunyai konsentrasi sel kon pada bagian temporal ataupun ventro-temporal retinanya. Akan tetapi sel kon hampir merata terdapat pada seluruh bagian
retina dan membentuk susunan seperti
mosaik seperti yang dijumpai pada barracudh., tuna dan mackerel. Ikan-ikan pelagis yang memangsa makanannya yang berbentuk plankton, pada umumnya jenis ikan ini mempunyai distribusi sel kon yang padat pada bagian ventrotemporalnya yang menunjukkan kemampuan untuk melihat ke depan dan ke arah atas.
Pada jenis ikan pelagis yang berasal dari perairan yang cukup dalam,
biasanya justru mempunyai retina yang seluruhnya dipenuhi oleh sel rod saja, dan bentuk mata mereka biasanya cukup besar. Diantara jenis ikan demersal yang biasanya memburu mangsa, mereka yang berenang cepat justru memiliki retina yang kaya akan sel kon pada bagian temporal, tapi terjadi perbedaan yang menyolok sehubungan dengan jumlah sel kon pada bagian-bagian retina yang lain (Gunarso, 1985). Banyak tipe tingkah laku ikan dipengaruhi oleh perkembangan tingkah lakunya seperti pengelompokan, kebiasaan makan, migrasi (Ali dan Wagner, 1975). 2.6 Respon Ikan Terhadap Stimuli Cahaya
Nicol (1963) telah melakukan telaah mengenai penglihatan dan penerimaan cahaya oleh ikan dan menyimpulkan bahwa mayoritas mata ikan laut sangat tinggi sensitivitasnya terhadap cahaya. Walaupun batas absolut sensitivitas ikan terhadap 25
cahaya belum diketahui namum sensitivitas mata ikan terhadap cahaya sangat tinggi. Ikan mempunyai respon terhadap rangsangan yang disebabkan oleh cahaya yang besarnya 0,01
- 0,001 lux,
sangat bergantung pada kemanpuan jenis ikan
beradaptasi (Laevastu and Hayes, 1981; Gunarso, 1985; JICA, 1997). Namun kebanyakan hewan air tawar dan laut mempunyai batas optimum terhadap intensitas cahaya (Jones, 1956). Sel rod pada ikan dapat melihat pada kegelapan 0,00001 lux, namum umumnya ikan dapat tertarik oleh cahaya pada intensitas 0,001 - 10 lux (Mitsugi, 1974)). Peristiwa tertariknya ikan oleh cahaya disebut dengan sifat fototaxis. Adanya sifat fototaxis dari beberapa jenis ikan ekonomis penting,
maka dapat dipikat oleh cahaya buatan pada malam hari.
Dalam
hubungannya dengan intensitas cahaya dan pengelompokan pada ikan Shaw yang diacu dalam Radakov (1973) menemukan bahwa pada ikan muda Family Atherinidae akan menyebar pada intensitas cahaya 0,05 lux. Ketika intensitas cahaya dikurangi 1 - 2 lux secara tiba -tiba maka ikan akan terpencar 2
- 5 menit
selanjutnya akan menyatu kembali. Namum demikian tertariknya ikan oleh cahaya tidak semata-mata disebabkan oleh cahaya tetapi juga karena motif lain. Zusser yang diacu cialam Gunarso (1985) menyatakan bahwa bagi ikan ternyata cahaya juga merupakan indikasi adanya makanan.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ikan dalam
keadaan lapar akan lebih mudah terpikat oleh cahaya daripada ikan dalam keadaan kenyang. Demikian pula bahwa, ternyata terdapat keseimbangan batas intensitas tertentu untuk sesuatu jenis ikan terhadap intensitas cahaya yang ada. Batas obsolut sensitivitas ikan terhadap cahaya belum diketahui, namun sensitivitas mata ikan terhadap cahaya sangat tinggi (Gunarso, 1985).
Nikonorov (1975), Ben-Yarni (1987),
Subani dan Barus (1989),
mengatakan bahwa keberhasilan operasi penangkapan ikan dengan alat bantu cahaya selain ditentukan oleh jumlah lampu dan besarnya intensitas cahaya juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: (1) Kecerahan
Jika kecerahan rendah
berarti banyak partikel-pertikel dalam air, yang
menyebabkan sebagian besar bias cahaya akan diserap habis oleh partikel atau zat tersebut, akibatnya adalah daya tembusnya ke dalam air akan berkurang sehingga daya tarik ikan terhadap cahaya berkurang pula. (2) Gelombang, angin dan arus
Kedudukan lampu dan efek yang ditimbulkannya sangat tergantung pada adanya gelombang, angin dan arus. Dalam keadaan normal atau perairan tenang, daya tembus cahaya kedalam air diasumsikan berlangsung lurus. Adanya pengaruh gerakan ombak dan arus menyebabkan bias cahaya dari lampu menjadi berubahubah dan tidak beraturan akibatnya akan menimbulkan sinar yang menakutkan ikan. (3) Sinar bulan
Pada saat bulan purnama operasi penangkapan kurang efektif karena cahaya menyebar secara merata, sedangkan untuk penangkapan dengan lampu diperlukan keadaan yang relatif gelap agar cahaya lampu terbias sempurna di dalam air. (4) Predator
Predator setiap saat dapat menyerang ikan yang berkumpul disekitar sumber cahaya yang akibatnya dapat membubarkan gerombolan ikan. 27
2.7 Pengembangan Teknologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan
Permasalahan perikanan tangkap baik berupa permasalahan sosial ataupun kerusakan lingkungan dan menurunnya stok sumberdaya ikan sebenarnya telah lama timbul sejak manusia menggunakan laut atau perairan umum sebagai sumber untuk mendapatkan bahan pangan. Namun saat itu bobot permasalahan yang timbul tidak seberat apa yang dihadapi pada saat sekarang ini, dimana baik konflik sosial yang timbul akibat kompetisi besar-besaran dalam memperebutkan ikan yang menjadi tujuan penangkapan, ataupun kerusakan lingkungan serta punahnya beberapa spesies ikan yang diakibatkannya telah menunjukkan indikator yang sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup generasi mendatang (Purbayanto dan Baskoro, 1999). Oleh sebab itu para ahli telah mulai memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pembangunan berkelanjutan di semua sektor pembangunan, termasuk di bidang perikanan yang dikenal dengan perikanan berkelanjutan yang dilaksanakan melalui paradigma perikanan berwawasan lingkungan.
Dalam
rnisinya teknologi yang berwawasan lingkungan hams dapat diterjemahkan lagi kedalam bentuk teknologi yang ramah lingkungan. Yang dimaksud dengan teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan berencana dalam menggunakan alat tangkap untuk mengelola sumberdaya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup tanpa mempengaruhi atau mengganggu kualitas dari lingkungan hidup (Martasuganda, 2002a). Monintja (1996), mengemukakan bahwa dalam proses pemanfaatan sumberdaya ikan, disamping perlu menjamin produk yang kompetitif, juga perlu
memenuhi persyaratan sebagai produk yang benvawasan lingkungan, sehingga teknologi penangkapan ikan yang digunakan dalam proses produksi akan dihadapkan pada beberapa persyaratan, yakni; (1) tidak membahayakan kelestarian target spesies; (2) tidak mengakibatkan tertangkapnya atau terancarnnya kehidupan hewan atau tanaman air yang dilindungi; (3) tidak mengganggu keseimbangan ekologis; (4) tidak merusak habitat dan ; (5) tidak membahayakan keselamatan pelaku penangkapan ikan dan kesehatan konsumen. Selanjutnya dikatakan bahwa cepat atau lambat, persyaratan tersebut di atas akan diberlakukan terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan di Indonesia. Hal ini perlu diantisipasi oleh para pengelola perikanan di Indonesia, karena untuk menjamin keberlanjutan usaha penangkapan maka ketentuan yang ditetapkan dalam
Code of Conduct for
Responsible Fisheries oleh FA0 (1995) sudah saatnya dipatuhi. Arimoto et al. (2000) menyarankan perlunya melakukan evaluasi untuk melihat dampak suatu alat tangkap terhadap lingkungan. Evaluasi ini dapat dilakukan dalam 2 tahap yaitu; (1) analisis data tangkapan (catch data analysis) jangka panjang terhadap ukuran dan spesies hasil tangkapan; (2) melakukan evaluasi dampak negatif penangkapan terhadap lingkungan (fishing ground, hilangnya alat tangkap, polusi yang ditimbulkan), dampak bio-diversity (komposisi hasil tangkapan, bycatch dan discard catch) dan dampak terhadap target sumberdaya (penangkapan yang intensif dan tertangkapnya ikan-ikan muda). Oleh sebab itu proses pengkajian untuk menentukan kebijakan yang diperlukan dalam pengembangan perikanan tangkap yang optimum dan benvawasan lingkungan perlu ditunjang dengan kegiatan pengumpulan informasi
dan data yang memadai dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya (Monintja dan Yusfiandani, 200 1). 2.8 Perkembangan Penelitian Light Fishing di Indonesia
Perkembangan penelitian light fishing di Indonesia selama 17 tahun terakhir dapat dikemukakan beberapa hasil-hasil sebagai berikut: Sulthan (1985) melaporkan hasil penelitiannya terhadap penggunaan intensitas cahaya (jurnlah larnpu) terhadap hasil tangkapan pada bagan tancap di perairan Kabupaten Selayar Sulawesi Selatan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa intensitas cahaya yang digunakan pada bagan tancap berpengaruh terhadap hasil tangkapan pada bulan gelap, dimana makin tinggi intensitas cahaya yang digunakan maka semakin banyak jumlah hasil tangkapan. Selanjutnya Herutorno (1 995) melakukan penelitian mengenai pengaruh intensitas warna cahaya terhadap
hasil tangkapan cumi-cumi pada perikanan bagan tancap di Perairan Suradadi, Kabupaten Tegal Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cahaya putih memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan cumi-cumi, dimana cahaya putih memberikan hasil tangkapan terbaik dibandingkan dengan cahaya biru dan merah. Diduga karena ikan-ikan lebih senang mendekati cahaya alami seperti bulan dan matahari. Selanjutnya dikatakan bahwa cahaya biru digunakan sebagai pemikat dan pengumpul cumi-cumi agar berada di bawah sumber cahaya, akan tetapi dengan tingkat penetrasi yang tinggi justru mampu merangsang hadirnya jenis ikan predator ke arah sumber cahaya.
Hadirnya ikan predator ini justru akan
menyebabkan cumi-cumi yang semula telah terkumpul di bawah lampu akan menyelamatkan diri dan menghilang ke daerah yang gelap. Cahaya merah dengan
daya tembus yang rendah, tampaknya kurang efektif digunakan sebagai pengumpul cumi-cumi dalam suatu area yang luas. Dalam hubungannya dengan h a t penerangan cahaya, penggunaan 4, 6 dan 8
unit lampu tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Herutomo, 1995).
Efendy (1998), melaporkan bahwa berat hasil tangkapan total yang diperoleh pada bagan tancap di perairan Teluk Awur Jepara Jawa Tengah
dipengaruhi oleh
jumlah lampu, dimana setiap penambahan jumlah lampu terjadi peningkatan hasil tangkapan, namum tidak ada perbedaan yang nyata antara 4 dan 5 unit lampu. Selanjutnya dilaporkan bahwa berdasarkan analisis deskriptif terhadap hasil tangkapan menunjukkan bahwa komposisi hasil tangkapan dominan untuk setiap jumlah lampu tidak sama. Penggunaan 2 unit lampu menghasilkan tangkapan dominan yaitu udang rebon, 3 unit lampu menghasilkan tangkapan dominan teri, 4 unit lampu menghasilkan tangkapan dominan ikan tembang dan 5 unit lampu menghasilkan tangkapan dominan ikan layur. Pengaruh perbedaan kecepatan arus dan warna cahaya lampu terhadap tingkah laku ikan bilis (Corica goniognathus) di perairan Muara Pingai Koto Singkarak, telah dilakukan oleh Nur et al. (1988). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan memberikan kecepatan arus dan warna cahaya lampu yang berbeda berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan bilis. Kecepatan arus yang disukai oleh ikan bilis adalah 18 cddetik dan 6 cddetik. Sedangkan warna cahaya yang paling disukai adalah warna biru dan hijau.
Selanjutnya dikatakan bahwa jika
dilihat dari pengaruh interaksi antara kedua perlakukan menunjukkan bahwa ikan bilis lebih menyukai kecepatan 18 cddetik dengan memakai cahaya lampu hijau. Selanjutnya Linting dan Wijopriono (1993) melaporkan hasil penelitian tentang
penggunaan warna cahaya yang disukai ikan hias di Perairan Citereup Jawa Barat dengan menggunakan lampu bawah air berkekuatan 120W. Perlakuan warna yang diberikan adalah warna merah, kuning dan biru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cahaya warna biru memberikan hasil tangkapan yang lebih banyak, sedangkan waktu penangkapan terbaik adalah pukul 19.00-21.00. Juniarti (1995) melakukan suatu studi tentang uji coba pengoperasian bagan apung dengan bouke ami di perairan Teluk Pelabuhan Ratu Sukabumi, Jawa Barat.
Pada penelitian ini juga dicobakan lampu bawah air. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengoperasian bagan apung dengan sistem bouke ami bagi nelayan bagan dapat memberikan pengalaman baru bagi nelayan bagan dan secara teknis nelayan dapat melaksanakan metode operasi yang diterapkan.
Dengan
digunakannya lampu bawah air yang dikombinasikan dengan 3 unit lampu petromaks
memberikan pengaruh yang nyata terhadap
hasil tangkapan
dibandingkan dengan penggunaan 3 unit lampu petromaks. Dengan menggunakan lampu bawah air
nelayan mengakui bahwa tanda-tanda keberadaan ikan lebih
cepat muncul. Penelitian tentang teknik pencahayaan pada perikanan bagan terhadap hasil tangkapan di Perairan Teluk Palu, Sulawesi Tengah telah dilaporkan oleh Masyahoro (1998).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa grid kombinasi
perlakuan intensitas dengan warna cahaya tidak memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan, dengan demikian perlu upaya peningkatan intensitas yang dikombinasikan dengan warna cahaya yang lebih sesuai untuk memperoleh hasil tangkapan.
Selanjutnya dikatakan bahwa interaksi antara intensitas 3500 lux
dengan warna cahaya biru merupakan pilihan yang terbaik untuk penangkapan
ikan kembung lelaki (Rastralliger kanagurta).
Faktor intensitas cahaya lebih
dominan memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan daripada faktor warna cahaya, sehingga penting untuk dicermati dalam penerapannya. Studi tentang sebaran cahaya lampu pada pengoperasian bagan telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Baskoro (1999), Holil (2000), Nadir (2000) dan Ta'alidin (2000). Pada bagan dengan 4 unit lampu petromaks, pada kedalaman 14 m intensitas cahaya tinggal 0,l lux (Baskoro, 1999), sedangkan pada bagan rambo pada kedalaman yang sama dapat mencapai 24 lux dan pada kedalaman 20 m, intensitas cahaya masih berkisar 3-5 lux (Nadir, 2000). Ta'alidin (2000) melaporkan bahwa distribusi penetrasi cahaya lampu petromaks mencapai 9 m pada pusat bagan, 8 m di tengah bagan dan 6 m di sudut bagan. sedangkan apabila lampu petromaks dikombinasikan dengan lampu listrik maka penetrasi cahaya mencapai kedalaman 11 m di pusat dan tengah bagan dan 12 m di sudut bagan. Selanjutnya dilaporkan bahwa hasil tangkapan bagan apung
dengan menggunakan lampu petromaks dan menggabungkan lampu petromaks dengan lampu listrik menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap jumlah berat maupun komposisi jenis hasil tangkapan, dimana penggabungan antara lampu petromaks dengan lampu listrik memberikan hasil tangkapan yang lebih baik. Penelitian selanjutnya tentang light fishing adalah penggunaan solar cell system seperti dilaporkan oleh Holil (2000). Solar cell system pada pengoperasian bagan apung adalah salah satu aplikasi dari Pembanglut Listrik Tenaga Surya (PLTS). Proses transformasi energi dalam solar cell system dilakukan melalui konversi fotovoltaik oleh sel surya. Cahaya listrik yang dibangkitkan digunakan untuk memikat atau menarik perhatian ikan.
Beberapa keuntungan dari
pengoperasian solar cell system antara lain sumber energi yang digunakan tersedia melimpah dan cuma-cuma, sistem mudah diinstalasi sehingga kapasitasnya dapat diperbesar, perawatannya mudah, bekerja secara otomatis dan kehandalan sistemnya tinggi. Jumlah energi yang dapat dibangkitkan oleh sebuah modul fotovoltaik 50 Wp, yaitu berkisar 140
-
180 W atau rata-rata 160 W jam perhari. Jumlah waktu
yang digunakan untuk pengoperasian bagan rata-rata 10 jam per trip. Jumlah energi yang dibutuhkan untuk pengoperasian bagan apung dengan 3 unit lampu petromaks diduga setara dengan intensitas 4200 W jam lampu TL. Dalam hal ini pengoperasian dua unit solar cell system untuk pembanglut energi bagan maksimal menurut rekomendasi BPPT hanya menghasilkan simpanan energi 320 W jam per hari.
Untuk mendapatkan jumlah energi yang setara dengan 3 unit lampu
petromaks diperlukan 26 modul fotovoltaik. Hal ini tidak mungkin dilakukan pada perikanan bagan apung berdasarkan pertimbangan teknis dan ekonomis. Dengan demikian pengoperasian solar cell system pada perikanan bagan apung dikatakan belum efektif (Holil, 2000). Penelitian tentang pengaruh penggunaan lampu petromaks dan lampu neon (TL) bawah air terhadap hasil tangkapan ikan kembung (Rastrelliger brachysoma)
dengan mini purse seine di perairan Pulau Mandangin, Sampan Madura telah dilakukan oleh M a f i d (1995). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan sumber cahaya antara lampu petromaks dan lampu neon bawah air warna biru berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan ikan kembung, dimana lampu neon bawah air lebih baik dari lampu petromaks. Hal ini diduga karena cahaya lampu petromaks yang masuk ke Perairan hanya sedikit, sehingga kurang menarik ikan
kembung terutama yang berada jauh dari lampu. Selanjutnya dikatakan bahwa analisis deskriptif
pada ukuran panjang ikan kembung tidak menunjukkan
perbedaan yang mencolok. Penelitian terhadap pengopersian purse seine yang menggunakan cahaya dan rumpon sebagai pemikat ikan
serta dideteksi dengan sonar di perairan
Pekalongan telah dilakukan oleh Sutyawan (1999).
Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa perbedaan waktu setting di lokasi fishing ground yang sama tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah hasil tangkapan.
Perbedaan waktu
setting hanya berpengaruh terhadap jenis ikan yang tertangkap, dimana pada malam hari jenis ikan yang mendominasi hasil tangkapan adalah selar bentong dan kembung, sedangkan pada dini hari adalah semar dan japuh.
Selanjutnya
dikatakan bahwa perbedaan kedalaman fishing ground berpengaruh terhadap komposisi hasil tangkapan dimana selar bentong mendominasi padaJishing ground dengan kedalaman 41-50 m, 5 1-60 m dan 81-90 m. Hasil tangkapan pada kedalaman 71-80 m didominasi oleh semar. Penelitian mengenai pengaruh intensitas cahaya dan ukuran mata jaring terhadap selektivitas payang oras bagi penangkapan cumi-cumi di Lombok Timur, telah dilakukan oleh Amin et al. (2000). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan jumlah lampu petromaks ternyata memberikan hasil tangkapan yang berbeda dimana hasil tangkapan dengan 5 unit petromaks lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan 3 dan 7 unit lampu, sedangkan bobot hasil tangkapan cumi-cumi kedua payang oras uji tidak berbeda nyata. Iskandar et al. (2001) telah melakukan penelitian mengenai analisis hasil tangkapan bagan bermotor pada tingkat pencahayaan yang berbeda di perairan
Teluk Semangka Lampung memperoleh kesimpulan bahwa sebaran kepadatan ikan bertambah dengan bertambahnya waktu pencahayaan dimana sebaran ikan terkonsentrasi di kolom perairan pada kedalaman 10,O - 15,2 m serta 20,O - 25,2 m.
Selanjutnya dikatakan bahwa sebaran nilai target strength ikan di lokasi
penangkapan berkisar -50
- (-26) dB.
Tupamahu et al. (2001), melakukan penelitian terhadap komparasi adaptasi retina ikan tembang (Sardinellafimbriata) dan ikan selar (Selar crumenopthalmus) yang tertarik dengan cahaya lampu di Pelabuhan Ratu. Hasil penelitiannya antara lain menunjukkan bahwa ikan tembang terakumulasi pada zona iluminasi 10 - 100 lux, sedangkan ikan selar antara 100 lux sampai 200 lux. Selanjutnya dikatakan bahwa ikan tembang teradaptasi penuh pada malam hari sedangkan ikan selar menjelang pagi hari. Penelitian terhadap pengaruh pola iluminasi cahaya dalam air terhadap hasil tangkapan pada bagan dengan menggunakan generator listrik di perairan Surnatera Barat telah dilakukan oleh Baskoro et al. (2002) menunjukkan bahwa penggunaan lampu dengan menggunakan tudung plastik memiliki daya tembus yang lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan tudung aluminium. Selanjutnya dikatakan bahwa total hasil tangkapan dengan menggunakan tudung aluminium lebih banyak dibandingkan dengan plastik. Penelitian light fishing terakhir dilakukan oleh Suherman (2002), pada alat tangkap mini purse seine di Laut Jawa menunjukkan bahwa penggunaan lampu neon 8, 12 dan 16 unit tidak memperlihatkan hasil tangkapan yang signifikan. Dengan demikian intensitas cahaya optimum untuk berbagai jenis ikan masih sulit untuk disimpulkan.