BEBAN PENCEMARAN LIMBAH CAIR INDUSTRI KECIL MENENGAH (IKM) BATIK DI KLASTER TRUSMI KABUPATEN CIREBON
ADI SULAKSONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*1 Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Fungsi Biaya dalam Beban Pencemaran Limbah Cair Industri Kecil Menengah (IKM) Batik di Klaster Trusmi Kabupaten Cirebon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2015 Adi Sulaksono NIM P052137594
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasrkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
RINGKASAN ADI SULAKSONO. Beban Pencemaran Limbah Cair Industri Kecil Menengah (IKM) Batik di Klaster Trusmi Kabupaten Cirebon. Dibimbing oleh HEFNI EFFENDI dan BUDI KURNIAWAN. Tumbuhnya jumlah IKM batik di Indonesia dimulai sejak UNESCO menetapkan batik sebagai warisan budaya dunia asal Indonesia sejak 2009. Sayangnya keadaan ini juga memberikan dampak negatif terkait dengan pencemaran lingkungan. Dalam rangka upaya pengendalian pencemaran air dari sektor IKM, perlu dilakukan inventarisasi besarnya beban pencemar termasuk dari sektor batik. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung total beban pencemar limbah cair yang dikeluarkan oleh klaster Trusmi Kabupaten Cirebon dengan cara menentukan faktor beban pencemar per unit produk untuk parameter kunci limbah cair untuk industri tekstil yaitu BOD5, COD dan TSS. Dengan mempertimbangkan jenis zat warna yang biasa digunakan di Cirebon (golongan Naphtol, dan golongan Indigosol) dan juga jenis kain (katun dan sutra), faktor beban pencemar dihitung berdasarkan kualitas dan kuantitas limbah cair yang dikeluarkan di setiap tahapan proses produksi batik (pewarnaan, pelorodan dan pencucian). Limbah cair yang diambil mewakili produksi 2 meter kain batik dengan tiga warna (merah, hitam, dan biru), yang mana resep pewarnaannya ditentukan berdasarkan konsensus terhadap kebiasaan yang paling umum dilakukan oleh pengerajin yang ada di klaster Trusmi. Nilai beban pencemar dihitung dengan cara mengalikan konsentrasi dengan volume limbah di setiap proses kemudian dibagi dengan panjang kain yang diproduksi. Dengan melakukan rancangan percobaan dua faktor dengan tiga kali pengulangan kemudian dilanjutkan dengan analisis ANOVA dua arah pada selang kepercayaan 90%, maka dapat diketahui faktor beban pencemar untuk parameter BOD5 dan TSS dipengaruhi oleh variabel jenis kain, sedangkan untuk parameter COD dipengaruhi oleh variabel jenis zat warna. Sedangkan nilai faktor beban pencemar untuk parameter BOD5 adalah 41,6 ± 37,5 g/m untuk kain katun dan 84,0 ± 35,1 g/m untuk kain sutra; nilai faktor beban pencemar untuk parameter TSS adalah19,0 ± 9,29 g/m untuk katun dan 40,5 ± 25,8 g/m untuk kain sutra; dan faktor beban pencemar untuk parameter COD adalah sebesar 739 ± 436 g/m untuk zat warna Naphtol dan 295 ± 164 g/m untuk zat warna Indigosol. Dengan mengalikan nilai faktor beban pencemar dan total kapasitas produksi batik di klaster Trusmi, maka diketahui bahwa total nilai beban pencemar limbah cair terhitung sebesar 5,9-39,5 ton/tahun untuk BOD5, 112-426 ton/tahun untuk COD, dan 4,88-16,3 ton/tahun untuk TSS. Kata Kunci : Batik, Klaster IKM, Faktor Beban Pencemar, Limbah Cair .
SUMMARY ADI SULAKSONO. Wastewater Pollution Load from Batik Small Medium Enterprises (SMEs) In Trusmi Cluster, Cirebon District. Supervised by HEFNI EFFENDI and BUDI KURNIAWAN. Growing number of Batik SMEs in Indonesia is started since UNESCO announced batik as world heritage in 2009. However, this condition lead to some negative impact including water pollution. In order to enhance wastewater pollution prevention management from batik SMEs, yet pollution load inventory data is needed. This research aimed to estimate total wastewater pollution load generated from Trusmi cluster at Cirebon district by calculating pollution load factor per unit product of some key parameters such as BOD5, COD, and TSS. Considering the type of dyestuff (Naphtol and Indigosol) and also type of fabric (Cotton and Silk), pollution load factor can be calculated based on the quantity and quality of all batik production processes (coloring, wax removal, and rinsing). The collected wastewater represent two meter of batik product that have three colors (red, black and blue). The coloring recipes of each color decided trough consensus of batik producers which represent the most common recipes used by Trusmi clusters SMEs. The value of wastewater pollution load calculated by multiplying wastewater concentration with the volume in each processes, and then divided by the long of the fabric that produced. By using experimental design with two variables and three time repetition, and followed by two ways ANOVA with 90% confidential level, it can be known that the variable that affect the value of BOD5 and TSS pollution load parameters is type of fabric, and COD pollution load value affected by the type of dyestuff variable. Therefore the values of wastewater pollution load factors for BOD5 parameter is 41,6 ± 37,5 g/m for cotton material and 84,0 ± 35,1 g/m for silk material; the value of wastewater pollution load factors for TSS parameter is 19,0 ± 9,29 g/m for cotton material and 40,5 ± 25,8 g/m for silk material; the pollution load factors for COD parameter is 739 ± 436 g/m for Naphtol dyestuff and 295 ± 164 g/m Indigosol dyestuff. By multiplying these pollution load factor with the overall capacity of batik production in Trusmi Cluster, it can be estimated that the total wastewater pollution load from batik production in Trusmi Cluster are 5,939,5 ton/year for BOD5 parameter, 112-426 ton/year for COD parameter, and 4,88-16,3 ton/year for TSS parameter.
Keywords: Batik, SMEs Cluster, Pollution Load Factor, wastewater
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN BEBAN PENCEMARAN LIMBAH CAIR INDUSTRI KECIL MENENGAH (IKM) BATIK DI KLASTER TRUSMI KABUPATEN CIREBON
ADI SULAKSONO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji luar komisi pembimbing pada ujian tesis: Dr. Ir. Sigid Hariyadi, MSc.
Judul Tesis : Beban Pencemaran Limbah Cair Industri Kecil Menengah (IKM) Batik Klaster Trusmi Kabupaten Cirebon Nama : Adi Sulaksono NIM : P052137594
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Hefni Effendi, MPhil Ketua
Dr Ir Budi Kurniawan, MEng Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 22 Juni 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini ialah beban pencemaran limbah cair, dengan judul Kajian Beban Pencemaran Limbah Cair Industri Kecil Menengah (IKM) Batik Klaster Trusmi Kabupaten Cirebon. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Hefni Effendi MPhil dan Bapak Dr Ir Budi Kurniawan MEng selaku pembimbing, serta Bapak Sulaeman, Bapak Djambrung dan Bapak Nuraidi yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Erona dan Bapak Sumiskad dari Klaster Trumsi, Ibu Ari dari BLH Kabupaten Cirebon, Bapak Dani Hendratno dari Disperindag Kab Cirebon serta Reza Mulyawan beserta staf Laboratorium Uji AKA Bogor yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda Alm. Soedijono bin Martosentono dan Ibunda tercinta Nunuk Regowati, Istri tersayang Ely Rahmy Tapriziah, Anak-anak Eldi Ahsan Alamgir, Adly Shabran Al Klalifi, Dide Baik Mikail, seluruh keluarga serta sahabat atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2015 Adi Sulaksono
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 2 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Batik Zat Warna Batik Kain Batik Pencemaran Air Klaster Industri Kecil Menengah
3 3 7 12 13 15
METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Prosedur Analisis Data
17 17 17 17
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis profil produksi Analisis Beban Pencemaran Sintesis
21 21 27 42
SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran
48 48 49
DAFTAR PUSTAKA
50
LAMPIRAN
54
RIWAYAT HIDUP
64
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Baku mutu limbah cair industri tekstila) Kriteria usaha mikro, kecil, dan menengah Jenis zat warna yang digunakan dalam proses pewarnaan batika) Metode analisis kualitas limbah cair Hasil analisis limbah cair IKM batik Data volume limbah cair pada tiap proses pembuatan batik Nilai beban pencemar limbah cair IKM batik dalam (g/m) Rata-rata nilai faktor beban pencemar untuk 3 parameter untuk keseluruhan proses dalam gram/meter Profil contoh limbah cair untuk validasi Nilai faktor beban pencemar contoh validasi Faktor beban pencemar limbah cair IKM batik Trusmi untuk parameter BOD5, COD, dan TSS (g/m) Estimasi total beban pencemar limbah cair ikm batik Trusmi Kisaran beban pencemar yang dikeluarkan tiap ikm batik per tahun Berat jenis kain batik Nilai beban pencemar per ton produk untuk parameter BOD5, COD, dan TSS Estimasi paparan bahan kimia terhadap pengerajin di proses pewarnaan
15 16 19 20 30 30 31 31 32 32 35 36 36 36 37 39
17
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
13 14 15 16
Proses pembuatan batik Proses pembatikanan menggunakan canting (a) batik tulis (b) batik cap Proses pewarnaan (a) pencelupan (b) penirisan zat warna Proses pelorodan Proses Pencucian Struktur zat warna Naphtol AS-BO Reaksi pewarnaan Naphtol dalam serat katun (Susanto, 1973) Struktur Indigosol Reaksi pewarnaan Indigosol Struktur kimia dari serat selulosa Skema hubungan zat warna dan serat pada kain katun Motif batik cirebon (a) Mega mendung (b) Paksi naga liman (c) Singa barong (d) Ayam alas (e) Taman arum sunyaragi (f) Supit urang (g) Piring aji (h) Wadasan Bahan untuk pembuatan sampel produk batik Contoh limbah cair IKM batik (a) sisa zat warna (b)homogenisasi (c) pengawetan contoh Hasil produksi batik dengan variabel jenis kain dan jenis zat warna Grafik rata-ratafaktor beban pencemar parameter BOD5 (g/m) untuk setiap tahapan proses, (KN) Katun Naphtol, (KI) Katun Indigosol, (SN) Sutra Naphtol, (SI) Sutra Indigosol
4 5 6 6 7 9 10 11 11 12 12
22 28 29 29
33
17
18
19 20 21 22 23 24 25
Grafik rata-ratafaktor beban pencemar parameter COD (g/m) untuk setiap tahapan proses, (KN) Katun Naphtol, (KI) Katun Indigosol, (SN) Sutra Naphtol, (SI) Sutra Indigosol Grafik faktor beban pencemar parameter TSS (g/m) per tahapan proses, (KN) Katun Naphtol, (KI) Katun Indigosol, (SN) Sutra Naphtol, (SI) Sutra Indigosol Sebaran beban pencemar limbah cair IKM batik Trusmi Pekerja yang terpapar bahan kimia pada proses pewarnaan Saluran pembuangan air yang tercemar limbah batik Aplikasi kalkulator beban pencemaran limbah cair IKM batik Pengendapan sisa zat warna Naphtol yang dicampur dengan Garam Diazonium Konsep rancangan bak pengendap sisa zat warna Naphtol Tanaman Pristia stratioles untuk minimisasi beban pencemar limbah cair IKM batik
34
35 38 39 41 42 44 45 46
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Sertifikat analisis kualitas limbah cair IKM batik parameter BOD Hasil laboratorium kualitas limbah parameter BOD5 untuk uji validasi Analisis ANOVA dua arah terhadap nilai beban pencemaran total keseluruhan proses untuk parameter BOD COD dan TSS Tabel atribut sebaran beban pencemaran limbah cair IKM batik Klaster Trusmi Hasil analisis kualitas limbah Naphtol parameter COD (dalam mg/L) setelah pengendapan selama 6 bulan
55 58 60 62 63
PENDAHULUAN Latar Belakang Setelah mendapatkan pengakuan dari UNESCO sebagai warisan dunia pada tahun 2009, industri batik di Indonesia makin berkembang pesat. Pada akhir tahun 2010 usaha Industri Kecil Menengah (IKM) pembatikan di Indonesia berjumlah 55.778 unit dengan total tenaga kerja yang terserap mencapai 916.783 orang (Jusri dan Idris 2012). Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian tahun 2010, Industri batik di Indonesia selama lima tahun terakhir memiliki nilai produksi rata-rata mencapai Rp 3,94 triliun dan nilai ekspor rata-rata mencapai US$ 65,58 juta. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon, pada tahun 2013 terdapat 530 IKM batik yang menyerap 4.408 tenaga kerja. Sebagian besar pengerajin batik tradisional tersebut terdapat di Desa Trusmi Wetan dan Trusmi Kulon, sehingga daerah ini berkembang menjadi Obyek Wisata belanja Batik Trusmi. Limbah cair dari industri tekstil memiliki dampak buruk terhadap lingkungan karena beberapa diantaranya bersifat tidak dapat diurai secara alami dan karsinogenik sehingga harus dikelola secara benar (Babu et al. 2007). Terlebih proses pewarnaan dengan teknik pencelupan seperti yang dilakukan di Cirebon lebih rendah produktivitas airnya dibandingkan dengan pewarnaan dengan teknik padding seperti yang dilakukan di Pekalongan (Sari et al. 2012). Buangan sisa zat warna merupakan pencemar yang dampaknya paling cepat terdeteksi secara kasat mata walaupun kadarnya dibawah 1 ppm (Pareira dan Alves 2012). Minimnya modal usaha, tekanan ekonomi pengerajin dan kesadaran lingkungan dari pemilik IKM batik yang telah beroperasi sejak lama membuat upaya pengolahan limbah cair belum menjadi prioritas. Walaupun limbah cair dari IKM batik hanya dikeluarkan dari proses pewarnaan, pelepasan lilin (pelorodan), dan pencucian, namun variasi kualitas limbah cair yang dikeluarkan dari IKM batik sangat besar. Kondisi ini tentunya menyulitkan pembuat kebijakan untuk menetapkan besarnya faktor beban pencemar dari sektor ini (UGM 2013). Berdasarkan Chakraborty (2014) terdapat ribuan variasi warna yang dapat dihasilkan dari satu kelompok jenis zat warna Naphtol dan garam diazoniumnya saja, sedangkan pada proses pewarnaan di IKM batik terdapat 12 kelompok jenis zat warna. Selain dari sisa zat warna, limbah cair yang dikeluarkan oleh IKM batik juga mengandung bahan kimia pendukung proses produksi seperti NaOH, NaNO2, HCl, Na2CO3, dan Na2O3Si dengan konsentrasi yang bervariasi tergantung warna batik yang ingin dihasilkan. Langkah awal dalam strategi pencegahan pencemaran sumber daya air adalah dengan melakukan audit dan karakterisasi dari limbah cair yang berasal dari kegiatan industri (Rathore 2012). Informasi terkait dengan faktor beban pencemar per unit produk dapat digunakan untuk mengestimasi secara cepat total beban pencemaran yang ada di suatu daerah sehingga bermanfaat untuk memecahkan masalah pengendalian pencemaran dari sektor tertentu (Kung dan Yu 2000). Kajian tentang faktor beban pencemar limbah cair IKM batik perlu dilakukan dengan mempertimbangkan variabel produksi yang dapat memengaruhi
1
2 besaran beban pencemar (Correia et al. 1994). Besarnya beban pencemaran dari jenis industri tekstil sangat bervariasi dan tergantung dari jenis dan jumlah bahan kimia yang digunakan. Selain itu tiap jenis serat kain memiliki karakteristik daya serap yang berbeda terhadap zat warna (Susanto 1973). Berdasarkan Peraturan Menteri LH No 1 Tahun 2010 tentang tata laksana pengendalian pencemaran air, tahapan awal dalam pengendalian pencemaran air adalah dengan melakukan inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar air. Dalam rangka inventarisasi terkait dengan beban pencemaran air dari sektor IKM batik yang merupakan salah satu sektor unggulan di Kabupaten Cirebon, kajian mengenai total beban pencemar limbah cair perlu dilakukan. Perumusan Masalah Pengendalian pencemaran limbah cair di IKM tidak mungkin dapat dilakukan dengan pendekatan yang sama seperti pada industri skala besar. Kesadaran lingkungan, keterbatasan finansial dan sebaran lokasi IKM merupakan beberapa faktor penghambat dalam upaya pengendalian limbah cair. Trusmi merupakan sentra batik tradisional yang terdapat di Kabupaten Cirebon. Dengan lokasinya yang relatif dekat dengan ibukota, klaster ini telah menjadi sentra wisata batik dan memiliki potensi pertumbuhan produksi serta pencemaran limbah cair yang tinggi. Selain permasalahan pencemaran, IKM batik Trusmi juga dihadapi dengan tantangan produk batik printing dari luar daerah serta fluktuasi harga bahan baku, sehingga permasalahan sosial ekonomi yang ada juga dapat mempengaruhi kapasitas produksi hingga kesadaran dalam mengelola lingkungan. Pada umumnya proses pembuatan batik hampir sama dengan proses produksi di industri tekstil, namun pada IKM batik terdapat komponen lilin/malam sebagai zat perintang. Limbah cair yang muncul akibat proses produksi batik dihasilkan dari proses pewarnaan, pelorodan, dan pencucian. Variasi terkait dengan jumlah zat warna, jenis zat warna air, jenis kain, jumlah lilin, dan bahan kimia pendukung mengakibatkan konsentrasi maupun beban pencemaran dari limbah cair IKM batik menjadi sangat beragam. Hal ini tentu saja menyulitkan pemerintah dalam menghitung beban pencemaran yang terjadi dari sektor ini. Permasalahan yang perlu dikaji adalah : 1. Bagaimana profil produktivitas dan pencemaran limbah cair IKM batik di Klaster Trusmi? 2. Berapa besar beban pencemar limbah cair yang dihasilkan oleh seluruh IKM batik di Klaster Trusmi? Tujuan Penelitian Penelitian ini mencoba menghitung faktor beban pencemar per unit produk untuk parameter kunci limbah cair untuk industri tekstil yaitu BOD5, COD dan TSS dengan mempertimbangkan jenis zat warna yang biasa digunakan di Cirebon (golongan Naphtol, dan golongan Indigosol) dan juga jenis kain (katun dan sutra). Dengan mengetahui nilai faktor beban pencemar, ditambah dengan informasi
3 kapasitas produksi yang berasal dari profil IKM batik klaster Trusmi maka estimasi dari total beban pencemar limbah cair dapat diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis profil IKM batik di klaster Trusmi Kabupaten Cirebon. 2. Menganalisis faktor beban pencemar limbah cair IKM serta mengestimasi total beban pencemaran akibat limbah cair dari industri batik Klaster Trusmi. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat: 1. Sebagai dasar untuk pengambilan kebijakan terkait dengan pengendalian pencemaran dari sektor IKM. 2. Sebagai informasi kepada IKM batik terkait besarnya beban pencemaran yang disumbangkan serta alternatif pengelolaan limbah cair untuk kelestarian sumber daya air. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah mengkaji beban pencemaran limbah cair yang dihasilkan dari aktivitas produksi IKM batik yang masuk dalam klaster Trusmi Kabupaten Cirebon dengan menggunakan pendekatan simulasi rancangan percobaan terhadap contoh limbah cair yang diambil dari tiap proses produksi pada perwakilan IKM batik tulis dan cap.
TINJAUAN PUSTAKA Batik Menurut Jusri dan Idris (2012) secara terminologi, batik berasal dari kata “mba” (dari bahasa Jawa) artinya menulis dan “tik” (dari bahasa melayu) yang berarti tik-tik atau tetes, sehingga batik didefinisikan sebagai menulis titik-titik yang dibuat dengan menggunakan alat canting atau cap menggunakan malam/lilin sebagai bahan perintang warna di atas media kain. Pada tanggal 2 Oktober 2009, badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya (UNESCO) mengukuhkan batik sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia. Oleh sebab itulah setiap tanggal 2 Oktober diperingati hari batik di Indonesia.
Menurut SNI No 41/st/74 dalam Nurdalia (2006), batik adalah bahan kain tekstil hasil pewarnaan menurut motif khas batik Indonesia yang pembuatannya menggunakan malam/lilin sebagai zat perintang. Perkembangan produk batik sangat dipengaruhi oleh selera konsumen dan perubahan waktu maupun model. Hingga saat ini teknik membatik tidak hanya diaplikasikan di media kain saja, namun juga di berbagai media lainnya seperti kayu dan kulit. Batik dapat digolongkan berdasarkan cara melekatkan lilin batik maupun berdsarkan cara penyelesaiannya. Berdasarkan cara pelekatan lilin batik, batik dapat dikelompokan menjadi batik cap, batik tulis, dan batik kombinasi cap-tulis. Proses penyelesaian batik, penggolongan batik sangat bervariasi dan terus berkembang sesuai perkembangan teknologi dan kreativitas pembatik seperti batik
4 kerokan, batik lorodan, batik remukan, batik lukis, dan sebagainya (ProLH-GTZ, 2007). Teknik membatik telah dikenal sejak rubuan tahun silam, sayangnya tidak ada yang mengetahui secara pasti tentang asal usul batik. Namun Menurut Nurainun et al. (2008) ada yang menduga teknik ini berasal dari Sumeria dan dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh pedagang India. Saat ini pembuatan batik terdapat di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Sri Langka, India bahkan hingga beberapa negara di Benua Afrika. Walaupun demikian batik yang paling terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia khususnya dari Jawa. Hal ini mungkin disebabkan oleh rumitnya proses pembuatan batik serta desainnya yang spesifik (Nurainun et al. 2008). Proses Pembuatan Batik Secara umum pembuatan batik dilakukan dengan beberapa tahapan proses. Dimulai dari proses persiapan, kemudian dilanjutkan dengan proses pembatikan, pewarnaan, pelorodan, dan diakhiri dengan proses pencucian (Gambar 1).
Gambar 1 Proses pembuatan batik
5
Penjelasan untuk tiap tahapan proses produksi batik adalah sebagai berikut: 1. Pembatikan Pada proses ini kain yang telah diberi motif menggunakan pensil ditutup dengan malam atau lilin batik menggunakan alat yang disebut canting (Gambar 2). Canting dapat berupa cap (untuk menghasilkan batik cap) maupun canting tulis (untuk membuat batik tulis). Suhu lilin batik pada waktu dilekatkan berkisar antara 100 - 110 °C untuk batik tulis dan sekitar 150 °C untuk batik cap (Nurdalia, 2006). Bagian kain yang ditutup dengan malam tidak akan terwarnai pada saat proses pewarnaan.
(a)
(b)
Gambar 2 Proses pembatikanan menggunakan canting (a) batik tulis (b) batik cap Menurut Kudiya et al (2014) komposisi lilin yang digunakan untuk proses pembatikan terdiri dari mata kucing, gondorukem, mikro wax, parafin, kote, dadu, kendal. Komposisi komponen malam ini dibuat sedemikian rupa agar dapat sesuai dengan jenis batik yang ingin dibuat. 2. Pewarnaan Proses pewarnaan adalah pemasukan zat pewarna ke dalam seratserat kain, sehingga diperoleh warna-warna yang bersifat kuat. Pada umumnya proses pewarnaan melalui dua tahap, yaitu pewarnaan (memasukkan zat warna ke dalam serat kain) dan fiksasi (mengubah struktur zat warna sehingga terikat dengan serat kain). Zat fiksator yang digunakan sangat tergantung pada spektrum warna yang diinginkan jenis zat warna yang digunakan. Pewarnaan pada pembatikan dilakukan secara pencelupan (Gambar 3). Celupan batik pada umumnya dilakukan sesuai dengan kondisi dan keadaan batik, yaitu: Dilakukan pada suhu dingin, agar lilin batik yang menempel tidak meleleh. Perbandingan air larutan kecil dan konsentrasinya dibuat tinggi, karena menggunakan alat celup sederhana.
6
Pencelupan dilakukan dalam waktu yang singkat, bila dikehendaki
(a) (b) Gambar 3 Proses pewarnaan (a) pencelupan (b) penirisan zat warna warna yang lebih tua, maka proses pencelupan tetap dilakukan dengan waktu yang singkat namun dengan pengulangan yang lebih banyak.
3. Pelorodan Proses pelepasan lilin dilakukan melalui dua cara yaitu melepas sebagian lilin (kerokan) dan seluruhnya (melorod). Kerokan yaitu melepas lilin dengan alat cawuk setelah kain batik direndam dalam air selama satu malam. Setelah dikerok kain batik disikat sambil dibasahi dengan larutan NaOH. Sedangkan pada proses melorod, kain batik dimasukkan ke dalam air mendidih yang ditambah tepung tapioka atau soda abu (Na2CO3). Penambahan soda abu yang bersifat basa dimaksudkan untuk menimbulkan reaksi penyabunan pada lilin yang menempel, sehingga mudah terlepas dari kain. Pada umumnya proses pembuatan batik di Cirebon menggunakan teknik lorodan (Gambar 4) untuk melepaskan lilin.
Gambar 4 Proses pelorodan
7
4. Pencucian Merupakan salah satu proses pembuatan batik yang dilakukan untuk menghilangkan sisa zat warna yang tidak masuk pada serat kain dan juga sisa lilin yang menempel dari proses pelorodan. Proses pencucian (Gambar 5) umumnya dilakukan hanya menggunakan air bersih tanpa ditambah dengan detergen. Pada proses pembuatan batik terdapat dua fasa proses pencucian, yaitu: a. Pencucian setelah proses pewarnaan yang bertujuan untuk menghilangkan sisa zat warna yang tidak masuk ke dalam serat kain b. Pencucian setelah proses pelorodan yang bertujuan untuk menghilangkan sisa lilin yang masih menempel pada kain.
Gambar 5 Proses Pencucian Zat Warna Batik Penggunaan zat warna pada batik sangat bervariasi. Bahkan hampir semua IKM selalu berupaya membuat batik dengan warna yang berbeda. Hal ini dilakukan agar batik yang diproduksi tidak dapat ditiru oleh IKM lain. Oleh sebab itu, terkadang resep pewarnaan dari suatu batik menjadi rahasia diantara sesama pengerajin. Tidak hanya perbedaan resep dalam menghasilkan suatu warna, jumlah dan kombinasi warna dari satu produk dapat berbeda dengan produk yang lain. Hal inilah yang menyebabkan beban pencemaran dari proses pewarnaan batik menjadi sulit diprediksi. (prinsip perbandingan konsentrasi zat warna) terhadap arah warna adalah: 1 g/L untuk warna muda, 2 g/L untuk warna sedang, dan 3 g/L untuk warna tua (Suleman 3 November 2014, melalui komunikasi pribadi). Sejarah zat warna batik Dahulu sebelum Indonesia dibanjiri dengan zat zat warna sintetis, para pengrajin batik di Indonesia menggunakan bahan alam (terutama tumbuhan) untuk proses pewarnaannya. Namun setelah zat warna sintetis ditemukan oleh William
8 Henry Perkin pada tahun 1856 (Parreira dan Alves 2012), penggunaan zat pewarna dari bahan alam untuk pembatikan mulai tergantikan. Penggunaan zat warna sintetis ini lebih disukai oleh pengrajin batik karena memiliki ketahanan luntur yang lebih baik dibandingkan dengan warna dari bahan alam. Sebagai contoh untuk warna biru yang awalnya menggunakan daun indigofera diganti dengan indigo sintetis yang dibuat dari anilin dan monochlor asetat, untuk warna kuning yang awalnya menggunakan kunir atau tegeran berubah menjadi auramin (suatu cat basis), dan untuk warna merah mengkudu diganti dengan Naphtol dan garam diazonium (Susanto 1973). Penggunaan zat warna di Trusmi Menurut Balai Besar Kerajinan dan Batik dalam Nurdalia (2006) zat warna berdasarkan sumbernya dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu zat warna alam dan zat warna sintetis. Menurut American Association of Textile Chemist and Colorists (1956) zat warna sintetis berdasarkan cara penggunaannya dapat dibagi kedalam beberapa golongan yang meliputi: zat warna asam, zat warna basa, zat warna, zat warna direk, zat warna mordan, zat warna bejana, zat warna azoic, zat warna reaktif, zat warna pigmen, zat warna sulfur dan zat warna dispersi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Clean Batik Initiative (CBI) pada tahun 2011, zat warna yang lazim dipergunakan pada IKM batik cap dan tulis di klaster Trusmi adalah zat warna Naphtol dari golongan azoic dan Indigosol dari golongan soluble vat dyes (bejana larut). Jenis pewarna ini didapatkan dari kota pekalongan melalui jalur pengecer skala kecil yang berada di Trusmi. Selain itu, pada umumnya IKM batik di Trusmi rata-rata memproduksi tiap lembar kain batik dengan 3 warna. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan di Yogyakarta oleh UGM pada tahun 2013, konsentrasi limbah cair sisa proses pewarnaan untuk parameter BOD untuk zat warna biru tua dari jenis Naphtol lebih tinggi dibandingkan warna merah. Untuk zat warna Indigosol memiliki konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan zat warna Naphtol (UGM 2013). Tantangan dalam menentukan faktor beban pencemar dari produk batik terdapat pada variabel jumlah warna yang terdapat dalam produk batik. Semakin banyak jumlah warna dari kain batik mengakibatkan makin besar volume limbah cair sisa zat warna yang digunakan. Paradigma pewarnaan yang terjadi di IKM batik sangat jauh berbeda dengan prinsip pewarnaan yang efisien pada industri tekstil skala besar. Hal ini dapat dilihat dari prinsip komposisi zat warna yang digunakan oleh industri besar adalah dengan kombinasi zat warna sesedikit mungkin menghasilkan variasi warna sebanyak mungkin. Sedangkan di IKM batik sebaliknya, untuk mendapatkan suatu warna tertentu dapat digunakan kombinasi dari banyak warna. Hal ini disebabkan oleh doktrinasi pedagang zat warna terhadap IKM agar membeli zat warna sebanyak mungkin. Hal otomatis ini berimbas pada meningkatnya konsentrasi limbah cair yang dihasilkan (Sulaeman 3 November 2014, komunikasi pribadi).
9 Zat Warna Naphtol Menurut Susanto (1973) zat warna Naphtol ditemukan oleh Griesheim dari Jerman pada tahun 1911 dan mulai digunakan di Indonesia sekitar tahun 1930. Zat warna jenis ini banyak disukai oleh IKM batik maupun di kalangan pertekstilan karena mudah cara pemakaiannya dan memiliki ketahanan yang baik. Faktorfaktor yang menyebabkan zat warna Naphtol disukai oleh IKM batik adalah: Dapat dipakai untuk mencelup secara dingin walaupun menurut William (1934) pewarnaan menggunakan zat warna Naphtol paling baik dilakukan pada suhu 100 o C., ketahanan dalam proses pelorodan, warna yang dihasilkan sesuai yang dikehendaki (warna soga, wedelan, merah mengkudu, dll), dan proses pewarnaanya tidak memakan waktu lama (Susanto 1973). Contoh struktur zat warna Naphtol dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Struktur zat warna Naphtol AS-BO Pada aplikasi dalam pembatikan, Menurut Susanto (1973) zat warna Naphtol terdiri dari dua komponen. Komponen pertama disebut Azoic Kopling Component (Naphtol-AS) dan kedua adalah komponen Azoic Diazo Component (Garam Diazonium). Bila kedua komponen ini bertemu dalam bentuk larutan maka akan menghasilkan senyawa berwarna yang disebut warna Napthol. Menrurut Cristy (2001), senyawa Naphtol-AS merupakan senyawa yang tidak larut air, sehingga harus dirubah menjadi bentuk Naphtolat yang larut air dengan penambahan NaOH. Menurut Susanto (1973) senyawa Naptholat ini kemudian masuk ke dalam serat kain dan bersenyawa atau kopling dengan Garam Diazonium membentuk senyawa Naphtol yang berwarna. Reaksi pewarnaan serat katun dengan zat warna Naphtol dapat dilihat pada Gambar 7. Warna Napthol adalah suatu senyawa yang tidak larut air sehingga memiliki ketahanan cuci yang baik. Di Cirebon, komponen Naphtol-AS yang dilarutkan dengan bantuan NaOH (Senyawa Naphtolat) dikenal sebagai obat 1, dan Garam diazo dikenal sebagai obat 2. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tahun 2010 melalui program CBI, proses pewarnaan Napthol pada batik di Cirebon dilakukan secara celupan yang dilakukan dengan empat tahapan, yaitu:
10
Gambar 7 Reaksi pewarnaan Naphtol dalam serat katun (Susanto, 1973) 1. Merendam kain dalam obat 1, dengan tujuan memasukan larutan Naphtolat ke dalam kain yang tidak tertutup lilin. Selama di rendam biasanya ada gerakan meratakan zat warna dengan cara diraba dengan tangan. 2. Mengatuskan kain, dengan tujuan memastikan larutan obat 1 yang tidak masuk dalam serat kain lepas dari kain. 3. Membangkitkan warna, dengan cara merendam kain yang telah dihatuskan kedalam obat 2. Karena reaksi pembangkitan warna berlangsung cepat maka volume dan konsentrasi unsur garam diazonium harus lebih besar dua sampai tiga kali lipat dari konsentrasi obat 1. 4. Pencucian dan membilasan, dilakukan dua kali yaitu setelah pencelupan obat 2 dan setelah proses pelorodan. Zat warna Indigosol Sejatinya zat warna bejana tidak larut air, namun menurut Susanto (1973) Indigosol merupakan zat warna Bejana (vat dyes) yang telah dibuat bentuk leko ester sehingga dapat larut dalam air. Struktur zat warna Indigosol dapat dilihat pada Gambar 8.
11
Gambar 8 Struktur Indigosol Dalam kondisi larut air, zat warna Indigosol masuk ke dalam serat kain melalui proses pencelupan. Menurut Susanto (1973) Proses pembangkitan warna Indigosol terjadi di dalam serat kain melalui proses oksidasi dengan bantuan natrium nitrit (NaNO2) dan asam klorida (HCl), sehingga menjadi bentuk berwarna dan tidak larut dalam air (Gambar 9).
Gambar 9 Reaksi pewarnaan Indigosol Warna Indigosol banyak digunakan IKM untuk menghasilkan warna- warna muda dan lembut. Berdasarkan (Sumiskad 17 September 2014, komunikasi pribadi) di Trusmi warna Indigosol banyak dikombinasikan dengan zat warna Naphtol dalam satu kain untuk menghasilkan variasi terang gelap. Karena karakteristik warnanya yang muda, maka penggunaan warna Indigosol tidak dapat menghasilkan warna hitam seperti pada naftol. Menurut Susanto (1973) perbandingan zat warna Indigosol dan zat pengoksidasi yang digunakan untuk pencelupan menggunakan Indigosol adalah 1 : 2-3 bagian. Menurut Susanto (1973) Proses pewarnaan Indigosol umumnya dilakukan dengan cara: Bubuk cat dipasta dengan sedikit air sampai rata basah. Dituangi air panas (50o – 60oC) secukupnya, diaduk hingga menjadi larutan jernih. natrium nitrit dilarutkan, lalu dimasukkan (dicampur dengan larutan cat). Tambahkan air dingin yang diperlukan, dan kemudian celup kain kedalam larutan. Kain celupan diangkat dan diatuskan di atas bak (sebentar) dan dijemur pada sinar matahari dengan dibuka rata. Kain kemudian dibangkitkan warnanya dengan larutan asam klorida dalam keadaan dingin, kemudian dicuci dengan air bersih.
12 Kain Batik Sebagai bahan dasar pembuatan batik, kain putih yang siap masuk ke proses produksi batik sering disebut dengan mori. Menurut Susanto (1973) kata mori berasal dari salah satu jenis ulat sutra yaitu bombyx mori yang menghasilkan sutra putih dan halus. Dilihat dari bahan dasarnya, kain mori dapat berasal dari katun, sutra atau sutera tiruan. Kain katun Menurut Susanto (1973), serat katun atau selulosa terdiri dari polimer lurus dari glukosa, letak glukosa berselang-seling, dalam rendaman air mengembang cukup besar sehingga pori pori dapat dimasuki zat warna, memiliki banyak gugus OH, dimana O bersifat elektronegatif kuat dan H bersifat elektropositif lemah sehingga serat katun dalam rendaman air bermuatan negatif. Sebuah serat katun terdiri dari banyak sekali deretan selulosa (Gambar 10).
Gambar 10 Struktur kimia dari serat selulosa (Sumber : Fesenden 1999) Mekanisme masuknya zat warna pada serat katun ditentukan oleh besarnya substansivitas zat warna. Substansivitas ini bergantung pada susunan molekul zat warna yang linier dan koplaner, ikatan rangkap terpanjang yang terkonjugasi, atom H dalam ikatan sisi (OH, NH2) dan berat molekul yang tinggi (Susanto 1973). Berdasarkan teori struktur katun dan struktur zat warna, maka hubungan katun- zat warna pada pewarnaan dapat dilihat pada Gambar 11.
N
Gambar 11 Skema hubungan zat warna dan serat pada kain katun Menurut Susanto (1973) proses pewarnaan pada bahan yang diwarna dianggap selesai dan sempurna bila tercapai keadaan keseimbangan, yaitu pada saat zat warna yang masuk ke dalam bahan yang diwarna mencapai titik maksimum. Terjadinya keseimbangan pada proses pewarnaan tergantung pada beberapa faktor, antara lain:
13 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Suhu larutan pencelupan Pengadukan atau gerakan pada pencelupan Keadaan bahan yang diwarna Konsentrasi larutan celup Afinitas dari zat warna Elektrolit dalam larutan dan pH larutan celup.
Kain sutra Sutra sebagai bahan batik sering juga disebut sutra mori, merupakan kain sutra yang digunakan untuk memproduksi batik. Menurut Susanto (1973) karakteristik serat sutra alam belum dapat ditiru oleh serat sintetis. Bila ditinjau dari proses pembuatan batik menggunakan kain sutra, maka ada tiga macam proses utama yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Penempelan lilin batik pada kain sutra Lilin batik dalam keadaan panas dan cair dapat menempel pada kain sutra tanpa menyebabkan perubahan yang nyata pada kain. Hal ini tidak seperti serat protein yang lain seperti serat rambut bila terkena panas akan menjadi mengkerut. 2. Pewarnaan sutera secara proses batik Secara prinsip hampir semua warna yang biasa dipakai dalam pembatikan, dapat digunakan untuk mewarnai sutra. Namun oleh karena pada saat proses penghilangan lilin pada kain sutra lebih sulit, maka sebaiknya untuk sudah dipakai warna warna yang memiliki ketahanan yang baik seperti Napthol dan Indigosol. 3. Masalah menghilangkan lilin pada batik Pada kain sutra, lilin mempunyai tendensi melekat lebih kuat dibandingkan pada kain katun. Oleh sebab itu terdapat beberapa cara untuk menghilangkan lilin dari kain sutra, yaitu: a) Cara pelepasan dengan air panas alkali. Cara ini dapat dipergunakan apabila lilin batik yang dipakai memiliki campuran khusus untuk mengurangi bahan pokok lilin yang mengakibatkan sukar lepas (seperti lilin bekas, mata kucing dan paraffin kasar). Dalam air lorodan ini ditambahkan soda abu sehingga error dan menjadi alkalis (pada pH tidak lebih dari 9.5 atau tidak lebih dari 0.1 %) b) Cara melarutkan lilin. Cara ini memiliki resiko yang cukup besar, karena lilin pada kain batik dilarutkan dengan menggunakan pelarut organik (bensin). c) Kombinasi antara pelepasan dan pelarutan. Cara ini merupakan kombinasi dari kedua cara sebelumnya, dimana pelarut organik ditambahkan kedalam larutan air panas pada proses pelepasan lilin untuk menghindari bahaya kebakaran. Pencemaran Air Berdasarkan PP 82 Tahun 2001, yang dimaksud dengan pencemaran air adalah “masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai
14 dengan peruntukannya”. Berdsarkan uraian definisi tersebut maka pengertian pencemaran air secara operasional mengandung tiga aspek pokok yaitu: (1) Aspek kejadian, dalam artian kejadiannya bisa disengaja atau tidak disengaja ; (2) Aspek penyebab, dimana dalam definisi pencemaran air terdapat kata oleh manusia; dan (3) Aspek akibat, dimana kata sehingga turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai peruntukannya, istilah tingkat tertentu mengandung makna terdapat batasan apakah suatu sumber air kualitasnya telah tercemar. Istilah tingkatan tertentu tersebut terkait dengan pengertian baku mutu. Berdasarkan hasil kajian dampak lingkungan sentra Industri Batik Tradisional Kabupaten Cirebon yang dikeluarkan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Cirebon pada tahun 2007, kualitas air tanah di Kecamatan Plered masih berada di bawah baku mutu air bersih dari KepmenKes No 907/MENKES/SK/VII/2002. Hal ini menunjukkan air bersih yang digunakan oleh IKM batik, kualitasnya baik. Namun seiring dengan aktivitas kegiatan produksi batik yang dilakukan di Trusmi, maka pencemaran terhadap sumber daya air juga terus meningkat. Beban Pencemar Menurut Donald et al. (2013) beban (load) adalah berat suatu zat yang masuk melalui suatu titik tertentu ke dalam badan air. Semakin besar jumlah zat yang masuk ke dalam badan air, semakin besar pula bebannya. Zat yang dimaksud dapat berbentuk padat, cair maupun gas. Masuknya zat-zat ini tentu saja memengaruhi kesetimbangan yang ada di dalam badan air. Berdasarkan PermenLH Nomor 01 Tahun 2010 Tentang Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air, yang dimaksud dengan Beban pencemaran air adalah “Jumlah suatu unsur pencemar yang terkandung dalam air atau air limbah". Berdasarkan definisi tersebut, maka informasi beban pencemaran oleh satu atau sekumpulan kegiatan aktivitas manusia dapat digunakan untuk memrediksi sejauh mana dan seberapa lama suatu sumber air dapat tetap memenuhi fungsinya. Mekanisme penetapan daya tampung beban pencemar suatu sumber air (danau/sungai) telah diatur dalam permenLH Nomor 01 Tahun 2010, dimana sumber air yang melintas antar provinsi atau Negara harus menunjukkan besarnya kontribusi beban pencemar air dari masing-masing sumber pencemar air terhadap sumber air. Atas dasar pertimbangan bahwa karakteristik air limbah dari suatu kegiatan berbeda dengan kegiatan lainnya, maka baku mutu air limbah ditetapkan dengan memertimbangkan aspek karakteristik air limbah yang dihasilkan. Tidak semua parameter yang ada pada air limbah digunakan sebagai baku mutu air limbah. Hanya parameter-parameter pokok saja yang diatur dalam baku mutu air limbah. Menghitung kontribusi sumber pencemar air tak tentu dalam rangka inventarisasi sumber pencemar air nasional sangatlah diperlukan untuk memperoleh gambaran total secara nasional. Beberapa kota yang memiliki industri kecil yang beroperasi di antara daerah pemukiman maka inventarisasi sumber pencemar air tak tentu membutuhkan pendekatan yang berbeda dengan sumber pencemar air tentu. Kajian ini akan mencoba untuk menghitung beban pencemaran yang dikeluarkan dari tiap tahapan proses yang menggunakan sumber daya air dan
15 langsung dibuang ke saluran pembuangan tanpa diolah terlebih dahulu agar dapat diketahui strategi penanganan yang paling efektif dalam mengendalikan pencemaran. Untuk industri tekstil, parameter penentuan baku mutu ditetapkan berdasarkan KepmenLH No 51 tahun 1995 lampiran A IX (Tabel 1) tentang Baku Mutu Limbah Cair Industri Tekstil yang meliputi BOD5, COD, TSS, Fenol, Cr total, Minyak Lemak, dan pH. Tabel 1 Baku mutu limbah cair industri tekstila) Parameter
Kadar maksimum (mg/L)
Beban pencemaran
Maksimum (kg/ton) BOD 85 12,75 COD 250 37,5 TSS 60 9,0 Fenol total 1,0 0,15 Krom total (Cr) 2,0 0,30 Minyak dan lemak 5,0 0,75 pH 6,0 - 9,0 3 150 m per ton tekstil Debit limbah Maksimum a) Sumber: KepmenLH No 51/1995 Namun pada kajian ini beban pencemar limbah cair IKM batik Trusmi dihitung hanya untuk tiga dari tujuh parameter yang dipersyaratkan dalam KepmenLH No 51 Tahun 1995 yaitu BOD5, COD, dan TSS yang menyatakan bahwa ketiga parameter tersebut merupakan parameter kunci limbah batik yang kadarnya sering kali melampaui baku mutu yang ditetapkan pemerintah (Dinas Lingkungan Hidup Kab Cirebon, 2007). Berdasarkan Indriyani (2004) pengukuran parameter BOD5 dan COD sangat penting untuk mengetahui tingkat biodegradativitas dari limbah cair, sedangkan parameter TSS diperlukan untuk mengetahui jumlah padatan baik yang terendapkan secara alami maupun tidak dapat diendapkan. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kab. Cirebon (2007) konsentrasi limbah cair untuk parameter MinyakLemak, Fenol, Cr total, pH pada umumnya berada di bawah nilai baku mutu yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan Minyak-Lemak dan Fenol dari malam dari proses pelorodan pada umumnya di-recovery untuk digunakan kembali pada proses pembatikan. Untuk parameter Cr total, menurut Cristy (2001) pada zat warna jenis Naphtol dan Indigosol tidak mengandung logam Cr seperti jenis zat warna mordan yang digunakan dalam produk tekstil di industri besar. Sedangkan parameter pH hanya merupakan parameter indikator derajat keasaman limbah, dan tidak digunakan dalam perhitungan beban pencemaran. Klaster Industri Kecil Menengah Klaster Dalam beberapa kegiatan, klaster IKM sering juga disebut sebagai Sentra Industri, Sentra Produksi, Kawasan ataupun Lingkungan Industri Kecil. Berdasarkan KNLH (2009) definisi klaster IKM adalah “Sekelompok usaha yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi dengan komoditas yang sejenis, dalam
16 lokasi yang saling berdekatan dan terjadi suatu kerjasama. Kebersamaan dan kerjasama antara pelaku dalam klaster dibangun melalui pembentukan wadah yaitu forum ataupun paguyuban.” Adapun komponen pembentuk klaster terdiri dari: (1) adanya unit-unit usaha, (2) adanya institusi-institusi penunjang, dan (3) adanya wadah organisasi. Dari definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara klaster dengan sentra adalah adanya suatu kesiapan kelembagaan, sedangkan sentra lebih merupakan obyek dengan pelaku yang bergerak secara individual. Di Kabupaten Cirebon terdapat dua klaster IKM batik yaitu Klaster Trusmi dan Klaster Ciwaringin. Klaster Trusmi dikuatkan melalui kelembagaan koperasi batik Budi Tresna, Asosiasi Pengerajin dan Pengusahan Batik yang terbentuk sejak 2009 serta paguyuban pengerajin batik warna alam. Sedangkan klaster Ciwaringin baru membentuk koperasi batik Ciwaringin pada tahun 2012. Industri Kecil Menengah (IKM) Sektor IKM di Indonesia telah diakui sebagai salah satu sektor yang memiliki kemampuan untuk menghadapi krisis ekonomi. IKM selalu digambarkan sebagai sektor yang mempunyai peran penting karena mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan juga berperan dalam pendistribusian hasil – hasil pembangunan (Aldida dan Santosa 2013). Di Indonesia IKM yang memproduksi barang-barang kebutuhan akhir (final demand) maupun barang-barang kebutuhan pendukung produksi (intermediate demand) tetap mengalami pertumbuhan walaupun menghadapi persaingan dari industri besar. Hal ini dikarenakan produk yang dihasilkan oleh IKM memiliki cita rasa yang unik baik dari segi warna, bentuk, kemasan, harga maupun pelayanan. Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM, yang dimaksud dengan usaha mikro, kecil dan menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha milik warga negara Indonesia yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Besar yang memenuhi kriteria seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Kriteria usaha mikro, kecil, dan menengah Kriteria
Usaha Mikro
Usaha Kecil
Usaha Menengah
Jumlah Kekayaan (tidak paling banyak termasuk tanah dan Rp. 50 juta bangunan tempat usaha)
Rp. 50 juta - 500 Rp. 500 juta juta 10 miliyar
Hasil penjualan per tahun
Rp. 300 juta - 2.5 Rp. 2.5 miliyar - 50 miliyar miliyar
paling banyak Rp. 300 juta
Sumber : UU No 20 Tahun 2008 Namun menurut UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, pengertian industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku dan
17 /atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa industri. Oleh sebab itu, tidak semua UMKM termasuk kedalam kategori IKM yang mempersyaratkan adanya kegiatan pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi. Sebagai contoh, di Trusmi terdapat UKM batik yang bukan merupakan IKM batik, yang mana kegiatan usahanya hanya meliputi penjualan (showroom) batik saja dan proses produksi batiknya dilakukan oleh IKM diluar usahanya. Menurut Nurdalia (2006) sebagian besar IKM batik di Indonesia belum menganggap pencemaran limbah sebagai suatu permasalahan. Rendahnya tingkat kesadaran lingkungan yang dimiliki IKM dapat berpotensi menimbulkan dampak negatif yang besar, sehingga perlu pendekatan khusus untuk meminimalisir dampak negati terhadap lingkungan. Menurut [BPS] dalam Nurainun (2008) penggolongan kelas IKM dilakukan berdasarkan jumlah tenaga kerja sebagai berikut: (i) industri dengan tenaga kerja 1-4 orang digolongkan pada industri rumah tangga (IRT); (ii) 5-9 orang digolongkan pada industri kecil; (iii) 20-99 orang digolongkan pada industri menengah; dan (iv) lebih dari 100 orang digolongkan pada industri besar.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di sentra IKM Batik Trusmi Kabupaten Cirebon Jawa Barat. Wilayah penelitian melimputi empat wilayah Desa yang meliputi Desa Trusmi Kulon, Desa Trusmi Wetan, Desa Wotgali, dan Desa Kali Tengah. Untuk analisis kualitas limbah cair dilakukan di laboratorium terakreditasi Akademi Kimia Analisis Bogor. Penelitian ini telah selesai dilakukan pada bulan Juni - Desember 2014. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan meliputi kain katun tipe G dan sutra tipe super yang telah dipotong 2 meter sebanyak 18 potong. Zat warna untuk menghasilkan warna merah, biru dan hitam dari jenis Naphtol dan Indigosol serta bahan laboratorium untuk menganaisis kualitas limbah parameter BOD5, COD, dan TSS. Sedangkan alat yang digunakan meliputi peralatan produksi batik milik 12 IKM, peralatan sampling limbah cair termasuk pH meter, pengawet sampel dan GPS Android (software GPS Test Plus ver 1.5). Peralatan laboratorium untuk menganaisis kualitas limbah parameter BOD5, COD, TSS. Serta alat ukur volume, panjang dan waktu. Prosedur Analisis Data Penelitian ini dilaksanakan melalui dua tahapan analisis, yaitu: 1. Analisis profil produksi batik di klaster Trusmi, bertujuan untuk mengetahui kondisi produksi batik yang meliputi potensi dan permasalahan yang ada. Analisis ini dapat membantu menggambarkan latar belakang besarnya kapasitas produksi batik di klaster ini.
18 2. Analisis beban pencemar limbah cair IKM batik, dilakukan untuk mengetahui nilai beban pencemar limbah cair yang dikeluarkan untuk periode satu tahun berdasarkan tiap tahapan proses yang mengeluarkan limbah cair. Analisis Profil Produksi Batik Untuk mendapatkan profil produksi batik skala klaster Trusmi, pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan data primer dan data sekunder adalah dengan cara pengamatan langsung di lapangan, wawancara dengan stakeholder, serta studi literatur. Analisis profil dilakukan secara deskriptif yang ada pada IKM batik di klaster Trusmi. a) Pengamatan langsung dilapangan, Pengamatan dilakukan langsung ke tempat produksi, untuk melihat kondisi proses pembuatan batik termasuk kendala- kendala yang ditemui pengerajin. b)
Wawancara, Wawancara dilakukan kepada narasumber yang merupakan tokoh masyarakat serta beberapa pengerajin batik perwakilan dari Desa Trusmi, serta kepada perwakilan SKPD dari Disperindagkop dan BLH Kabupaten Cirebon.
c)
Studi literatur, Studi literatur yang dilakukan mencakup kajian yang pernah dilakukan di desa Trusmi melalui Program CBI, Kabupaten Cirebon dalam Angka 2014, serta RJMD Kabupaten Cirebon 2014-2019.
Analisis Beban Pencemar Dalam rangka mengendalikan pencemaran limbah cair IKM batik yang ada di klaster Trusmi, inventarisasi terkait dengan besarnya beban pencemar dapat dilakukan melalui pendekatan faktor beban pencemar. Pada umumnya, beban pencemar dihitung dengan cara mengompositkan limbah cair dari keseluruhan proses kemudian dirata-ratakan dan dibagi dengan kapasitas produksinya (Rathore, 2012). Namun pendekatan ini tidak mampu memberikan gambaran karakteristik beban pencemar per tahapan proses. Analisis ini dilakukan melalui empat tahapan, yaitu: Analisis Faktor Beban Pencemar (AFB), estimasi total nilai beban pencemar, analisis sebaran beban pencemar serta analisis dampak beban pencemar. Analissis faktor beban pencemar bertujuan untuk menyederhanakan perhitungan total beban pencemar dengan cara membuat rancangan percobaan untuk mendapatkan nilai faktor yang dapat mewakili nilai beban pencemar limbah cair per meter batik di klaster Trusmi. Pengujian terhadap nilai faktor beban pencemar dilakukan terhadap sampel acak untuk memastikan bahwa nilai faktor tersebut dapat mewakili populasi limbah cair di klaster Trusmi. Nilai faktor tersebut kemudian diekstrapolasi terhadap keseluruhan kapasitas produksi di klaster Trusmi untuk mengestimasi total beban pencemar. Selain estimasi terhadap total beban pencemar, sebaran beban pencemar dapat dilihat berdasarkan proyeksi nilai beban pada koordinat tempat produksi untuk sebagian IKM di klaster Trusmi. Setelah itu dampak dari limbah cair IKM batik
19 dianalisis dari besaran dan sebaran beban pencemar dan dibandingan dengan persepsi masyarakat di lapangan. Analisis Faktor Beban Pencemar Nilai faktor beban pencemar didapatkan melalui Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama adalah jenis kain (Katun tipe G dan Sutra tipe Super) dan faktor kedua adalah jenis zat warna (Naphtol dan Indigosol). Setiap perlakuan dilakukan di tiga IKM sebagai ulangan dimana setiap IKM akan diberikan tiga potong kain sepanjang 2 meter yang sudah dibatik cap dengan motif ceplis, dengan demikian rancangan ini memiliki 36 unit percobaan untuk 3 parameter. Tiap IKM diminta mewarnai tiga potong kain masing-masing 1 warna (merah, biru, dan hitam) (UGM 2013). Zat warna yang akan digunakan untuk percobaan disiapkan berdasarkan hasil berdiskusi dengan IKM batik dengan mempertimbangkan kebiasaan yang paling sering dilakukan oleh IKM (Tabel 3). Tabel 3 Jenis zat warna yang digunakan dalam proses pewarnaan batika) Jenis bahan kimia Zat warna Zat fixator Zat pembantu
Warna Naphtolb) Biru Hitam Merah AS-D AS-BO AS-BS AS-G BB G.Hitam R G.Biru NaOH NaOH NaOH
Warna Indigosolc) Merah Biru Hitam Sol. Abang Sol Biru Sol Abu NaNO2
NaNO2
NaNO2
HCl
HCl
HCl
a)
Hasil diskusi dengan perwakilan IKM batik Trusmi; b) Jumlah perbandingan Naphtol dan garam Diazonium adalah 15 g : 30 g;. AS-BS, AS-D, AS-BO, ASG merupakan kode nama dagang zat warna Naphtol; R, BB, G. Hitam G. Biru merupakan kode nama dagang garam diazonium; c) Jumlah perbandingan Indigosol dan NaNO2 adalah 10 g: 20 g; Sol pada Sol. Abang, Sol Biru dan Sol. Abu merupakan singkatan sekaligus nama dagang dari zat warna Indigosol.
Limbah cair kemudian diambil sampel air limbahnya dari: Proses pewarnaan (bak warna dan bak fiksasi) masing-masing 500 mL sehingga didapatkan total 3L komposit sampel limbah proses pewarnaan. Proses pelorodan (setelah dingin dan lilin yang terapung disingkirkan) sebanyak 2L. Proses pencucian (cuci warna dan cuci lorod dikompositkan) sebanyak 2L.
Sampel di setiap proses kemudian dibagi dua, dimasukan kedalam jerigen 1L, diberi label, dan dipisahkan untuk dipreservasi menggunakan bahan pengawet yang berbeda. Sisa sampel 1 L dari proses pewarnaan dikembalikan ke tempat produksi untuk kemudian dibuang. Untuk parameter BOD5 dan TSS didinginkan, dan parameter COD di tambahkan H2SO4 pekat sampai pH < 3. Proses sampling dilakukan pada hari yang sama dan ditransportasikan ke laboratorium uji AKA Bogor sehari sesudahnya. Analisis kualitas limbah untuk 3 parameter dilakukan dengan metode pada Tabel 4.
20
Tabel 4 Metode analisis kualitas limbah cair Parameter
Metode Uji
Prinsip Metode
BOD5
SNI 6989.72-2009
Titrimetri
COD
SNI 6989.73-2009
Titrimetri
TSS
SNI 06-6989.27-2005
Gravimetri
Faktor beban pencemaran dihitung berdasarkan beban pencemaran aktual dalam berat parameter (gram) per satuan produk (meter) yang disesuaikan untuk per tahapan proses. Hasil uji kualitas limbah kemudian dikalikan dengan volume limbah tiap proses untuk didapatkan nilai beban pencemar di masing-masing proses yang kemudian dianalisis dengan anova dua arah dengan selang kepercayaan 90% menggunakan software minitab versi 15 untuk melihat ada tidaknya pengaruh perlakuan pada tiap proses. Berdasarkan penurunan persamaan yang dilakukan oleh Suhubawa (2008), perhitungan beban pencemar terhadap parameter yang tidak dipengaruhi oleh variabel perlakuan, maka faktor beban pencemar dihitung dengan persamaan (1) sebagai berikut: FBPj = { ∑ [Cij x Vi x f] }/ n………………………………….……....… (1) FBPj (g/m) Cij (mg/L) Vi (L) f i j n
= Faktor Beban Pencemar Parameter j = Konsentrasi limbah cair proses i parameter j = Volume limbah pada proses i = Faktor konversi (0,002) = proses produksi (pewarnaan, pelorodan, pencucian) = parameter limbah cair (BOD, COD, TSS) = jumlah sampel (12 IKM)
Namun apabila terdapat pengaruh akibat faktor maka untuk mendapatkan nilai faktor beban pencemar ditentukan berdasarkan rata-rata variabel yang berpengaruh (Hanafiah 2005). Untuk memastikan nilai faktor beban pencemar yang didapatkan untuk tiap variabel adalah benar, maka dilakukan validasi dengan cara cara menguji secara acak limbah cair IKM batik dari tiap tahapan proses. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa dugaan kisaran nilai faktor beban pencemar yang dihasilkan dapat mewakili populasi beban limbah cair IKM batik yang ada di klaster Trusmi. Validasi untuk nilai faktor beban pencemaran pada penelitian ini dilakukan dengan langkah langkah sebagai berikut: 1. Memilih IKM secara acak untuk diambil limbah cairnya di seluruh tahapan produksi 2. Mencatat profil limbah cair pada tiap tahapan proses, yang meliputi: banyaknya warna yang digunakan, panjang kain yang diproduksi, volume limbah cair. 3. Mengambil limbah cair pada tiap tahapan proses untuk diukur konsentrasinya. 4. Menghitung beban pencemaran untuk tiap meter kain yang dihasilkan, kemudian dibandingkan dengan nilai faktor beban pencemar limbah cair IKM batik di Klaster Trusmi.
21 Analisis estimasi total beban pencemar Estimasi total beban pencemar ditentukan dari hasil perkalian faktor beban pencemar dengan total kapasitas produksi yang ada berdasarkan data sekunder yang didapat dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon. Dengan menggunakan asumsi tiap potong kain batik memiliki panjang 2,5 meter dengan rata- rata 3 warna di setiap potongnya. Status beban pencemar di klaster Trsumi dapat diketahui dengan membandingkan nilai beban pencemar yang ada didapatkan dari hasil estimasi dengan nilai baku mutu yang ada di KepMenLH no 51 Tahun 1995 Lampiran A IX tentang baku mutu limbah cair industri tekstil. Analisis sebaran beban pencemar Informasi tentang sebaran beban pencemar limbah cair IKM batik diperlukan untuk membuat perencanaan strategis terkait upaya pengendalian pencemaran. Dengan menggunakan informasi faktor beban pencemar dan kapasitas produksi dari masing- masing IKM yang ada di klaster Trusmi, maka sebaran beban pencemar dapat diketahui dengan memproyeksikan nilai beban pencemar pada koordinat lokasi produksi IKM batik. Pada analisis sebaran beban pencemar ini dipilih 60 IKM dari tempat produksi batik yang tersebar pada 4 desa yang tercakup dalam klaster Trusmi. Analisis dampak beban pencemar Analisis dampak beban pencemar limbah cair dilakukan dengan cara menggambarkan besaran beban yang dikeluarkan oleh tiap IKM terhadap dampak kesehatan lingkungan, dampak sosial dan ekonomi baik tenaga kerja maupun masyarakat yang tinggal di sekitar tempat produksi. Dampak kesehatan lingkungan dianalisis berdasarkan jumlah paparan bahan kimia terhadap pekerja yang bersentuhan langsung serta potensi bahaya bahan kimia yang digunakan pada proses pembuatan batik terhadap pekerja yang terpapar. Dampak sosial dianalisis berdasarkan hasil wawancara dengan pengerajin dan beberapa warga yang tinggal di dekat IKM batik. Dampak ekonomi dihitung berdasarkan asumsi total kerugian penurunan produktivitas padi yang tercemar limbah batik (Suryotomo 2011).
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis profil produksi Pada bagian ini akan dibahas profil produksi batik sebagai gambaran aktivitas produksi batik di klaster Trusmi. Dikenal sebagai kawasan wisata belanja batik di kabupaten Cirebon, klaster Trusmi merupakan sentra produksi batik tradisional yang terdapat di kecamatan Plered. Berdasarkan data yang didapatkan dari program CBI tahun 2011, hampir semua pengrajin yang ada di klaster Trusmi pola produksi batiknya dilakukan dengan cara tradisional.
22 Sejarah Batik Trusmi Secara umum batik Cirebon dipengaruhi asimilasi budaya pendatang. Berdasarkan Jusri dan Idris (2012) pelabuhan Muara Jati Cirebon yang menjadi persinggahan pedagang Tiongkok, Arab, Persia dan India merupakan tempat terjadinya proses asimilasi dan akulturasi beragam budaya termasuk budaya keraton Cirobon. Pembatik Cirebon pada masa itu banyak yang tinggal di desa Trusmi. Oleh sebab itu batik Cirebon identik dengan batik Trusmi. Daerah Trusmi terletak 7 kilometer dari pusat Kota Cirebon. Awal berkembangnya Desa Trusmi terpusat di area makam ki buyut Trusmi. Seiiring dengan pertumbuhan permukiman di desa ini menyebabkan wilayah desa secara administrasi dibagi menjadi dua desa, yaitu desa Trusmi Kulon dan desa Trusmi Wetan (Suyatno E 17 September 2014, komunikasi pribadi). Batik Trusmi saat ini telah berkembang pesat ke berbagai desa di sekitarnya yang berada di Kecamatan Plered, Weru, Tengah Tani hingga Kecamatan Ciwaringin yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Majalengka. Menurut Jusri dan Idris (2012) motif batik Trusmi Cirebon dilandasi pada 2 (dua) kesultanan yaitu (1) motif batik kesultanan kasepuhan yang bernuansa religius islami serta melarang membuat bentuk gambar binatang dan (2) motif batik kesultanan kanoman yang didominasi alam lingkungan dengan warna dominan merah, biru, violet dan keemasan. Batik Cirebon mengalami masa keemasan setelah kemerdekaan (1950- 1968). Motif-motif yang terkenal di masyarakat dan berkembang hingga saat ini antara lain dapat dilihat pada Gambar 12 (Susanto 1973).
(a)
(b)
(d)
(c)
(e)
(g)
(f)
(h)
Gambar 12 Motif batik cirebon (a) Mega mendung (b) Paksi naga liman (c) Singa barong (d) Ayam alas (e) Taman arum sunyaragi (f) Supit urang (g) Piring aji (h) Wadasan
23 Terkait dengan penggunaan batik di lingkungan masyarakat Trusmi, terdapat adat kebiasaan yang disebut "Ngobeng" dimana masyarakat ikut berpartisipasi dan bergotong royong dalam suatu acara hajatan seperti pernikahan, syukuran atau acara berkabung (tahlilan). Pada saat ngobeng untuk acara pernikahan, khususnya remaja wanita dan ibu-ibu memakai sarung batik selama tiga hari sebagai bentuk partisipasi masyarakat kepada yang punya hajat. Gambaran Umum Berdasarkan data primer yang diperoleh dari Disperindagkop Kabupaten Cirebon pada tahun 2014 terdapat 493 IKM batik yang tersebar di tiga kecamatan. Dari sebelas desa penghasil batik di Kabupaten Cirebon, terdapat empat desa yang memiliki 55% populasi IKM terbesar yaitu Desa Trusmi Wetan (76 IKM), Desa Trusmi Kulon (88 IKM), Kali Tengah (85 IKM), Wotgali (53 IKM) dengan total produksi 454.625 meter per tahun. Bila membandingkan data tersebut dengan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindutrian dalam Jusri dan Idris (2012) yang berjumlah 527 unit usaha, maka terdapat pengurangan jumlah IKM sebesar 34 unit atau sebesar 6,5% selama 2 tahun. Seperti halnya tipikal industri rumah tangga pada umumnya, IKM batik Trusmi memiliki keterbatasan dalam upaya pengelolaan lingkungan, khususnya dalam menangani limbah batik. Keterbatasan tersebut meliputi: kondisi ekonomi, kondisi produksi dan dukungan kelembagaan. Kondisi Ekonomi Semenjak tahun 2009, daerah Trusmi berubah menjadi kawasan wisata belanja batik di Kabupaten Cirebon. Dengan munculnya kawasan wisata belanja batik Trusmi, kegiatan pembatikan di Klaster Trusmi juga semakin meningkat. Namun perbaikan kondisi ini tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan pengerajin batik di Klaster Trusmi. Hal ini terjadi karena, produk batik yang ada di butik batik (showroom) tidak hanya berasal dari daerah Trusmi saja. Selain itu banyaknya produk tekstil bermotif batik (batik printing) dengan harga murah membuat penjualan produk batik lokal menjadi semakin sulit. Kondisi ekonomi IKM batik di klaster Trusmi cukup beragam. Bila dilihat dari data primer dari Disperindagkop Kab Cirebon (2014) kapasitas produksi IKM batik di klaster Trusmi (Desa Trusmi Wetan, Trusmi Kulon, Wotgali, dan Kali Tengah) berkisar antara 500 hingga 12500 meter per tahun. Ketersediaan modal produksi umumnya ditentukan oleh karakteristik dan daya saing IKM. IKM dengan akses pasar yang luas pada umumnya memiliki ketersediaan modal yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan IKM yang hanya memproduksi batik berdasarkan pesanan. Pada umumnya IKM batik yang memiliki keterbatasan modal menggantungkan produksinya pada pesanan dari showroom atau butik. Mengingat komponen termahal adalah kain mori, maka pada umumnya bahan baku tersebut juga disediakan oleh pemesan dalam hal ini butik. Menurut Hunga (2014), salah satu cara IKM batik untuk meminimisasi resiko produksi adalah dengan melakukan Putting-Out System (untuk selanjutnya ditulis POS). POS diartikan sebagai upaya melakukan produksi di luar area IKM, yaitu dengan cara men-subkontrakkan kegiatan produksi ke tempat lain. POS dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi biaya produksi sekaligus
24 memindahkan beban pencemar ke tempat lain. Pemindahan beban pencemar ini berpotensi menimbulkan dampak sosial di tempat yang lain. Pada umumnya sistem POS di Cirebon dilakukan oleh pemilik showroom batik. Namun beberapa IKM batik Trusmi juga melakukan POS pada proses pembatikan yaitu dengan membiarkan proses pembatikan dibawa pulang oleh pekerja. Dengan cara ini, IKM akan diuntungkan karena tidak terpapar oleh limbah ceceran lilin dan asap dari proses pembatikan. Menurut Hunga (2014), POS dapat menimbulkan dampak sosial negatif untuk pekerja, dimana pekerja hanya dibayar secara borongan dengan upah yang minim namun tetap harus menanggung resiko kerja yang sama. Berdasarkan data dari 100 IKM yang mengikuti program CBI tahun 2011 terdapat 75,5 % tenaga kerja pembatikan yang dibayar secara borongan. Walaupun demikian, pekerjaan membatik bagi sebagian warga Desa Trusmi merupakan suatu kebanggaan. Hal ini dikarenakan dalam membuat batik, baik proses pembatikan khususnya tulis halus maupun pewarnaan dibutuhkan ketrampilan khusus yang tidak mudah untuk dikuasai. Bila dibandingkan dengan produk batik tulis yang dibuat di desa Ciwaringin, batik yang dibuat oleh IKM Desa Trusmi harganya lebih tinggi tiga sampai tujuh kali lipat. Hal ini dikarenakan tingkat kehalusan (detail motif) produk IKM batik Trusmi relatif lebih tinggi. Namun terdapat juga IKM batik Trusmi yang memproduksi batik dengan tingkat kehalusan sedang atau kasar. Berdasarkan pengakuan (Burhanuddin 1 November 2014, komunikasi pribadi) ongkos kerja yang diterima oleh IKM perlembar kain batik yang dikerjakan adalah Rp 120.000 (kain disediakan oleh pemesan). Biaya tersebut harus diatur sedemikian rupa untuk membeli lilin, membayar tenaga kerja pembatikan, zat pewarna, dan bahan bakar untuk produksi. Terkadang pengerajin tidak mengalokasikan biaya untuk depresiasi alat maupun tenaganya sendiri. Sehingga dengan minimnya keuntungan yang didapat mengakibatkan pengelolaan limbah tidak lagi menjadi prioritas. Sebagai bagian dari karya seni, proses pembuatan produk batik menuntut kreatifitas dari para pengerajinnya. Kreatifitas ini dituangkan dalam desain dan komposisi warna pada kain batik. Walaupun motif tradisional Trusmi telah ada sejak dulu, namun kreasi dari para pengerajin dalam mengembangkan motif terus berjalan. Namun sayangnya, kurangnya kesadaran akan hak cipta membuat persaingan dalam hal kreasi desain batik menjadi tidak sehat. Desain batik yang dibuat oleh seorang pengerajin batik Trusmi hingga kini belum memiliki perlindungan hak cipta. Terkadang untuk mendapatkan desain motif, pengerajin dapat membeli gambar dengan harga yang sangat murah ataupun meniru motif batik yang diproduksi oleh IKM lain. Selain itu, terkait dengan merek dagang, beberapa IKM yang memiliki akses pasar dapat membuat merek dagangnya sendiri, namun sebagian besar IKM menyerahkan pelabelan produknya kepada pemesan dalam hal ini butik. Hal ini membuat keberadaan IKM sulit untuk diketahui secara luas. Kondisi Produksi Berdasarkan keterangan yang didapat dari Balai Besar Kerajinan Batik Yogyakarta, pewarnaan batik di Indonesia termasuk di Cirebon pada awalnya menggunakan pewarna alami yang berasal dari tumbuh tumbuhan seperti pohon
25 mengkudu untuk warna merah mahoni untuk warna coklat dan tarum (Iindigofera) untuk warna biru. Menurut Clean Batik Initiative (2011) pewarnaan dengan menggunakan bahan dari alam ini relatif lebih ramah lingkungan karena limbah cairnya mudah terdegradasi secara alami. Namun sayangnya pewarnaan dengan menggunakan bahan alami pada batik ini hampir tidak pernah lagi dipergunakan, hal ini dikarenakan proses pewarnaan menggunakan bahan alami lebih rumit, lama, dan cepat luntur. Semenjak diperkenalkannya zat warna sintetis oleh pedagang dari Eropa, pemakaian zat warna alam semakin ditinggalkan. Ketergantungan IKM akan zat warna sintetis ini membuat beban pencemaran dari limbah cair sisa proses produksi batik menjadi meningkat. Namun kondisi ini telah dianggap biasa oleh masyarakat di sekitar tempat produksi. Pada umumnya masyarakat tersebut telah memaklumi bahwa desa Trusmi memang merupakan desa tempat pembuatan batik, sehingga selokan yang berwarna merupakan konsekuensi yang harus dihadapi. Untuk memahami bagaimana IKM batik Trusmi memproduksi batik, maka rangkaian proses produksi digambarkan sebagai berikut: Setelah menentukan jumlah dan jenis batik yang akan dibuat, maka umumnya pemilik IKM batik memulai dengan memperhitungkan kebutuhan bahan baku yang diperlukan untuk membuat batik. Resep obat (zat warna dan bahan kimia pendukung) serta kain mori dan lilin dibeli di pengecer sesuai perhitungan dari pemilik. Bahan baku batik di Trusmi didatangkan dari Pekalongan oleh pengecer yang umumnya juga IKM batik dengan kapasitas produksi yang cukup besar. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan salah satu pemilik toko pengecer bahan baku batik yang ada di Trusmi, pembelian bahan kimia dan zat warna batik hanya dilakukan seperti perdagangan pada umumnya dan tidak pernah disertai dengan keterangan terkait aspek keselamatan maupun resiko bahan kimia (MSDS). Pengetahuan pengecer terkait dengan bahan yang dijualnya hanya didasarkan pada pengalaman saja. Setelah itu bahan baku kain mori dan lilin yang telah dibeli oleh pemilik IKM kemudian didistribusikan kepada pekerja di proses pembatikan (baik batik tulis maupun batik cap). Proses pembatikan dapat dilakukan didalam IKM maupun di sub-kontrakkan ke pekerja untuk dikerjakan di rumah pekerja dengan sistem borongan. Pembatikan di Klaster Trusmi dikenal dengan kualitas pembuatan batik dengan latar belakang putih. Sehingga malam batik yang digunakan untuk proses pembatikan cukup bayak dan ditampung dalam wadah yang cukup besar di atas kompor minyak tanah. Proses pembatikan ini berlangsung antara satu hari (batik cap / tulis kasar) hingga waktu beberapa bulan (batik halus). Hasil dari proses pembatikan sering disebut kain batikan. Kain batikan yang sudah selesai, kemudian diwarnai dengan cara dicolet atau dicelup. Umumnya warna coletan dilakukan menggunakan pasta zat warna dengan bantuan kuas, kemudian setelah kering ditutup dengan malam. Setelah ditutup baru kain batikan diwarna dengan cara dicelup. Proses ini bisa berlangsung sebaliknya (celup dulu baru colet) tergantung warna yang diinginkan. Proses penutupan dimaksudkan untuk mempertahankan warna yang telah masuk dalam serat kain, sehingga bila dilakukan pencelupan menggunakan warna lain, warna yang telah ditutup malam tidak akan berubah. Untuk mendapatkan banyak warna dalam satu kain batik, proses pewarnaan dan pembatikan (penutupan) dapat dilakukan secara berulang.
26 Di Trusmi, proses pencelupan dapat dilakukan dengan menggunakan dua macam alat, yaitu bak celup (terbuat dari kayu yang dilapisi terpal) dan juga kenceng (terbuat dari logam berbentuk seperti wajan besar). Perbedaan penggunaan alat ini hanya dikarenakan ketersediaan ruang yang ada di tempat kerja IKM dan tidak berpengaruh pada kualitas pewarnaan, Setiap kali selesai melakukan pencelupan warna, selalu diikuti dengan proses fiksasi dan dilakukan secara berulang (2-3 kali) dimana setiap kali diantara kedua proses tersebut, kain umumnya ditiriskan terlebih dahulu. Pada proses pencelupan, para pekerja pada umumnya tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) berupa sarung tangan, celemek, maupun masker. Hal ini dikarenakan para pekerja tidak terbiasa dan merasa terganggu oleh sarung tangan ketika melakukan proses pencelupan. Walaupun pekerja telah mendapatkan sosialisasi dari salah satu program pembinaan baik yang dilakukan oleh Disperindag maupun dari Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Clean batik Initiative, namun berkaca pada kondisi kesehatan para pembatik senior yang telah melakukan pencelupan sejak dulu mereka menganggap bahaya bahan kimia yang disosialisasikan tidak nyata. Pekerjaan sebagai pembatik merupakan kebanggaan bagi sebagian warga Trusmi (Suyatno E 17 September 2014, komunikasi pribadi). Bukti zat warna yang menempel pada tangan terkadang sengaja dipamerkan untuk menunjukkan bahwa orang tersebut merupakan pengerajin batik. Proses pewarnaan umumnya tidak dilakukan setiap hari, kecuali oleh IKM dengan kapasitas yang besar. Proses pewarnaan dilakukan umumnya dua kali seminggu, menunggu kain batikan terkumpul cukup banyak. Pada proses pewarnaan, zat warna ditimbang sesuai dengan kebutuhan kain batik yang akan diwarnai. Proses pencelupan warna untuk setiap lembar kain batikan dilakukan antara 1 - 3 menit. Pewarnaan kain batikan dilakukan dengan prinsip warna tumpangan, yaitu menghasilkan warna berdasarkan gabungan warna. Karena umumnya, batik yang diproduksi oleh IKM adalah pesanan, maka resep sedapat mungkin diingat terkadang ada pula yang mencatat. Walaupun demikian, akan sangat sulit untuk mendapatkan warna yang sama pada batch yang berbeda. Karena intensitas warna sangat ditentukan oleh kualitas zat warna, cara mencelup, bahkan untuk warna Indigosol tergantung dengan cuaca. Pada umumnya setelah kain selesai diwarnai, sebelum kembali ke proses pembatikan atau dilanjutkan ke proses pelorodan, kain dibilas menggunakan air bersih didalam ember atau bak pencucian. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan sisa zat warna yang tidak masuk ke dalam serat kain. Seperti pada sisa larutan pewarna, air sisa proses pencucian ini biasanya langsung dibuang ke lingkungan. Di proses pelorodan, pelepasan lilin batik pada umumnya dilakukan menggunakan dua drum berisi air panas yang ditambahkan soda abu. Banyaknya penambahan soda abu sangat tergantung pada banyaknya kain batik yang akan dilorod. Terdapat pula IKM yang melakukan pelorodan panas dan dingin, yaitu setelah merebus kain batik dalam larutan soda abu, kain batik dicuci menggunakan natrium silikat atau kanji. Hal ini biasa dilakukan untuk batik yang diproduksi dengan menggunakan kualitas lilin yang jelek, sehingga sulit lepas. Proses pelorodan memakan waktu sekitar dua jam (tergantung jumlah air dan jumlah kain batikan warna yang akan dilorod). Proses paling lama adalah ketika memanaskan air yang cukup banyak dalam drum pelorodan. Pada umumnya air bekas pelorodan dapat dipakai dua kali, dengan penambahan air
27 setiap kali air pelorodan berkurang hingga setengahnya. Umumnya produktivitas air IKM ditentukan oleh proses ini, karena untuk IKM batik tulis halus, walaupun hanya memproduksi satu potong kain batik tetap dilorod dengan menggunakan air sesuai dengan kapasitas drum pelorodan serta air yang digunakan untuk melorod selalu baru. Setelah kain batik yang telah diwarnai selesai dilorod, maka proses akhir adalah pencucian. Pada proses ini, kain yang sudah dilorod dibilas dengan air bersih yang cukup banyak untuk menghilangkan sisa lilin. Proses pencucian ini memakan waktu sekitar 3-5 menit untuk setiap lembar kain batik, kemudian setelah itu air cucian dibuang langsung ke lingkungan. Setelah dicuci, kain batik di jemur dan dihaluskan dengan cara disetrika kemudian siap dijual. Dukungan Kelembagaan Sebagai bagian dari sektor unggulan yang ada di Kabupaten Cirebon, pembinaan IKM merupakan tugas dari Pemerintah Kabupaten Cirebon. Instansi Pembina terdapat di SKPD Disperindagkop dan terkait masalah pencegahan pencemaran ditangani oleh BLH Kab Cirebon. Namun permasalahan pembinaan IKM Batik Trusmi khususnya dalam pengelolaan limbah batik bukanlah perkara yang mudah. Disahkannya undang undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menganut azas polluter pay principal tidak serta merta menurunkan beban pencemar yang dibuang ke lingkungan. Penerapan dari undang-undang ini dirasakan sulit bila bersinggungan dengan sektor IKM termasuk IKM batik. Dengan alasan keterbatasan ekonomi, sarana dan prasarana, IKM batik sulit sekali untuk diajak berpartisipasi dalam mengelola limbah cair sisa produksinya. Pada tahun 2007, Dinas Lingkungan Hidup telah membuat kajian dampak pencemaran limbah batik sebagai upaya persiapan pembuatan IPAL komunal, dan dilanjutkan dengan pembuatan naskah detail engineering design (DED) pada tahun 2012, namun permasalahan sosial terkait lahan selalu menjadi kendala. Adapun badan hukum yang mengikat para pengusaha IKM ini adalah koperasi batik dan Asosiasi Pengerajin dan Pengusaha Batik. Kedua badan hukum ini umumnya hanya berperan sebagai wadah pengerajin dalam melakukan pemasaran seperti pameran maupun mendapatkan bantuan baik pelatihan maupun alat-alat produksi. Pada tahun 2011-2012, IKM batik Trusmi telah mendapatkan pelatihan pewarnaan menggunakan bahan alam dari program Clean Batik Initiative yang diklaim lebih ramah lingkungan bila dibandingkan dengan zat warna sintetis. Namun dari 100 IKM yang menerima pelatihan, saat ini tinggal satu IKM yang benar-benar beralih menggunakan warna alam dengan meninggalkan pewarna sintetis, serta 17 IKM yang memproduksi warna alam berdasarkan pesanan. Analisis Beban Pencemaran Limbah cair yang dikeluarkan oleh IKM batik pada umumnya dibuang dan langsung masuk ke dalam badan air tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Bahkan di beberapa sentra, IKM batik melakukan pencucian langsung di badan sungai atau empang dan mengakibatkan warna sungai berubah-ubah seiring
28 dengan zat warna yang digunakan oleh IKM dalam memproduksi batik. Sebagai pendekatan untuk mengkaji beban pencemaran yang ditimbulkan oleh kegiatan sektor ini, maka dilakukan analisis faktor beban pencemar serta estimasi total beban pencemar dengan hasil sebagai berikut. Analsis Faktor Beban Pencemar Analisis faktor beban pencemar merupakan salah satu pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui nilai konstanta yang dapat dipakai untuk mengetahui besarnya beban per unit produk. Dengan mengetahui nilai faktor beban pencemar dari limbah cair untuk parameter BOD5, COD, dan TSS diharapkan dapat membantu pembuat kebijakan untuk mengestimasi total beban pencemar secara cepat hanya dengan merujuk pada data total kapasitas produksi IKM batik. Dalam sektor batik unit yang umum digunakan oleh pengerajin batik tradisional Trusmi adalah satuan potong, hal ini disebabkan oleh panjang kain batik yang diproduksi berbeda-beda ukurannya. Namun menurut Susanto (1973) luas kain merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sedikit banyaknya zat warna yang terserap, sehingga apabila satuan potong digunakan sebagai unit perhitungan faktor beban pencemar maka konsentrasi zat warna dalam limbah cair per potong kain menjadi tidak terkendali dan dapat menimbulkan bias. Oleh karena itu penentuan faktor beban pencemar pada penelitian ini ditetapkan dalam satuan gram/meter kain dengan asumsi lebar kain dianggap sama (110 cm). Tahapan awal dalam melakukan analisis beban pencemar adalah dengan meminta 12 IKM batik yang dipilih secara acak untuk memproduksi kain batik masing- masing sebanyak 3 potong (warna merah, biru, dan hitam) dengan panjang 2 meter. Pada proses pembuatannya, IKM diminta melakukannya sesuai dengan kebiasaan yang dilakukan, kecuali untuk bahan baku produksi semua disiapkan oleh penulis (Gambar 13).
Gambar 13 Bahan untuk pembuatan sampel produk batik
29 Setelah proses produksi dengan empat macam perlakuan, saat pengambilan contoh, sampel limbah cair dikondisikian sesuai dengan persyaratan parameter yang akan diuji (Gambar 14) dan menghasilkan produk batik dengan 4 kelompok perlakuan (Gambar 15).
(a)
Gambar 14
(b)
(c)
Contoh limbah cair IKM batik (a) sisa zat warna (b)homogenisasi (c) pengawetan contoh
Gambar 15 Hasil produksi batik dengan variabel jenis kain dan jenis zat warna Setelah dianalisis di laboratorium (Tabel 5) terdapat variasi yang cukup besar walaupun pada perlakuan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa, tiap IKM memiliki kebiasaan cara kerja yang berbeda-beda termasuk dalam jumlah pengulangan celupan hingga perbedaan waktu pencelupan.
30 Tabel 6 Data volume limbah cair pada tiap proses pembuatan batik Volume (L) Pelorodan 18.0 25.1 29.0 28.0 45.0 15.6 30.0 33.4 61.6 20.0 73.9 20.0
Kode IKM a) Pewarnaan 34.8 36.0 27.0 16.0 25.2 24.0 16.8 48.9 28.8 20.0 26.1 21.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pencucian 53.4 161 28.0 56.0 38.6 27.6 27.0 46.7 66.5 62.5 29.0 47.0
a)
IKM 1-3 (Katun Naphtol), IKM 4-6 (Katun Indigosol), IKM 7-9 (Sutra Naphtol), IKM 10-12 (Sutra Indigosol). Terdapat IKM yang memiliki kebiasaan melakukan proses pewarnaan dengan cara merendam kain cukup lama serta melakukan proses pencelupan berulang kali ada yang sebentar dan hanya satu kali pencelupan. Menurut Susanto (1973), proses penyerapan zat warna pada kain dapat dipengaruhi oleh cara pengadukan atau gerakan pada proses pencelupan. Selain itu konsentrasi limbah juga dipengaruhi oleh volume air yang ditambahkan pada tiap-tiap proses (Tabel 6). Tabel 5 Hasil analisis limbah cair IKM batik KODE IKMa)
Pewarnaan (mg/L) BOD5
a)
COD
Pelorodan (mg/L)
Pencucian (mg/L)
TSS
BOD5
COD
TSS
BOD5
COD
TSS
1
1823.92 26448.00
928
1434.32
3757.44
816
22.31
820.07
76
2
2390.40 19152.00
800
2629.42
30096.60
580
478.24
996.00
64
3
956.28 19152.00
168
434.02
2814.00
160
418.48
2247.84
632
4
478.24 14212.61
408
388.61
1890.00
44.0
59.95
2247.84
12
5
269.10
1638.00
224
657.51
4410.00
460
141.82
924.00
172
6
336.62
1155.84
532
3528.14
22267.39
2040
119.71
1364.16
380
7
2987.00 60556.80 2540
717.26
33561.60
360
119.71
16853.76
52
8
418.48
4063.55
12287.52
4176
134.65
1134.00
152
9
239.22 13132.00 2068 3736.09
33780.48
250
59.95
903.00
108
10
149.59
1302.00
300
1912.36
3612.00
836
2091.63
17328.00
20
11
388.61
2919.84
132
3226.97
8375.81
1270
82.06
1112.52
24
12
171.70
1344.00
480
3198.29
21888.00
1760
836.77
1585.92
208
2142.00
532
IKM 1-3 (Katun Naphtol), IKM 4-6 (Katun Indigosol), IKM 7-9 (Sutra Naphtol), IKM 10-12 (Sutra Indigosol). (sertifikat analisis dapat dilihat pada Lampiran 1)
31 Perbandingan pengaruh perlakuan dapat dihitung setelah data konsentrasi diubah menjadi data beban pencemar. Dengan mempergunakan persamaan (1) pada bagian metode analisis, maka didapatkan beban untuk tiap produk seperti pada (Tabel 7). Tabel 7 Nilai beban pencemar limbah cair IKM batik dalam (g/m) KODE PEWARNAAN PELORODAN PENCUCIAN TOTAL BEBAN IKMa) BOD COD TSS BOD COD TSS BOD COD TSS BOD COD TSS 1 31.7 460 16.1 12.9 33.8 7.3 0.6 21.9 2.0 45.2 516 25.5 2 43.0 345 14.4 33.0 377 7.3 38.4 79.9 5.1 114 802 26.8 3 12.9 259 2.3 6.3 40.8 2.3 5.9 31.5 8.8 25.1 331 13.4 4 3.83 114 3.26 5.44 26.5 0.62 1.68 62.9 0.34 10.9 203 4.22 5 3.39 20.6 2.82 14.8 99.2 10.4 2.74 17.8 3.32 20.9 138 16.5 6 4.04 13.9 6.38 27.4 173 15.9 1.65 18.8 5.24 33.1 206 27.5 7 25.1 509 21.34 10.8 503 5.40 1.62 228 0.70 37.5 1240 27.4 8 10.2 52.4 13.01 67.9 205 69.7 3.14 26.5 3.55 81.2 284 86.3 9 3.44 189 29.78 115 1040 7.70 1.99 30.0 3.59 121 1260 41.1 10 1.50 13.0 3.00 19.1 36.12 8.36 65.36 542 0.63 86.0 591 12.0 11 5.07 38.1 1.72 119 310 46.9 1.19 16.1 0.35 126 364 49.0 12 1.80 14.1 5.04 32.0 219 17.60 19.66 37.3 4.89 53.4 270 27.5 a) IKM 1-3 (Katun Naphtol), IKM 4-6 (Katun Indigosol), IKM 7-9 (Sutra Naphtol), IKM 1012 (Sutra Indigosol)
Hasil perhitungan beban pencemar untuk keseluruhan proses berdasarkan hasil analisis kualitas limbah cair dan volume limbah disetiap proses adalah berupa rata-rata dan standar deviasi (Tabel 8). Tabel 8 Rata-rata nilai faktor beban pencemar untuk 3 parameter untuk keseluruhan proses dalam gram/meter Perlakuan Katun Naphtol (KN) Katun Indigosol (KI) Sutra Naphtol (SN) Sutra Indigosol (SI) Rata-rata
BOD5 61.6 21.7 79.7 88.3
COD 550 182 928 408
TSS 21.9 16.1 51.6 29.5
62.8 ± 39.4
517 ± 373
29.8 ± 20.7
Nilai rata-rata faktor beban pencemar limbah cair batik (Tabel 8) merupakan nilai umum yang dapat digunakan untuk mengestimasi secara kasar total beban pencemaran dari limbah cair IKM batik tanpa memperhitungkan proporsi jenis kain dan jenis zat warna yang digunakan. Untuk memastikan bahwa data faktor beban pencemar tersebut dapat digunakan untuk perhitungan beban pencemar maka dilakukan uji validasi terhadap data tersebut. Profil contoh limbah cair untuk validasi dapat dilihat pada Tabel 9.
32
Tabel 9 Profil contoh limbah cair untuk validasi Konsentrasia) (mg/L) Volume Panjang kain BOD COD TSS (L) (m) Pewarnaan 63.6 574.4 328 27 9.2 Pelorodan 54600 160601.7 2440 30 48 Pencucian 90 22 13650 111247.2 2880 a) konsentrasi limbah cair dianalisis di Laboratorium Pusarpedal KLH, data analisis terdapat pada Lampiran 2. Proses
Berdasarkan profil tersebut, maka faktor beban limbah cair dapat dilihat pada Tabel 10 sebagai berikut: Tabel 10 Nilai faktor beban pencemar contoh validasi Proses Pewarnaan Pelorodan Pencucian Total Kisaran nilai faktor beban pencemar
Faktor Beban Pencemar (g/m) BOD COD TSS 0.19 1.69 0.96 34.1 100 1.53 55.8 455 11.78 90.2 557 14.3 62.8 ± 39.4 517 ± 373 29.8 ± 20.7
Informasi pada (Tabel 10) menunjukkan bahwa dugaan nilai faktor beban pencemar limbah cair IKM batik klaster Trusmi dapat mewakili contoh limbah cair yang diambil secara acak. Untuk perkiraan total beban pencemar, pengaruh dari faktor jenis kain maupun zat warna perlu dilihat, sehingga pendekatan nilai faktor dilakukan dengan uji statistik anova dua arah untuk setiap parameter uji. Hail pengujian ANOVA 2 arah untuk parameter BOD5, COD, dan TSS (Lampiran 3). Faktor Beban Pencemar Parameter BOD Menurut Salmin (2005) parameter BOD menunjukan banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik Menurut Indriyani (2004) secara umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran air buangan. Secara teori waktu untuk mengoksidasi senyawa organik dalam air limbah menjadi CO2 dan H2O adalah tidak terbatas, namun pada umumnya dilakukan uii dalam rentang 5 hari (Disebut BOD5) untuk meminimalisir reaksi oksidasi dari ammonia (NH3). Parameter BOD5 merupakan bagian dari total BOD dan nilai BOD 5 hari merupakan 70 - 80% dari nilai BOD total (Sawyer dan McCarty 1978). Hasil analisis faktor beban pencemar limbah cair IKM batik parameter BOD5 untuk tiap tahapan proses (Gambar 16) menunjukkan bahwa proses penyumbang nilai beban pencemar parameter BOD5 tertinggi ada di proses pelorodan untuk perlakuan sutra Naphtol (SN) dan sutra Indigosol (SI).
Nilai beban (g/m)
33
Gambar 16 Grafik rata-ratafaktor beban pencemar parameter BOD5 (g/m) untuk setiap tahapan proses, (KN) Katun Naphtol, (KI) Katun Indigosol, (SN) Sutra Naphtol, (SI) Sutra Indigosol Hasil uji statistik anova 2 arah dengan selang kepercayaan 90% untuk BOD5 juga menunjukkan hanya jenis kain yang memberikan pengaruh kepada nilai beban pencemar dengan P-value sebesar 0.079, sedangkan rata-rata untuk kain katun sebesar 41.6 g/m dan 84.0 g/m untuk kain sutra. proses pelepasan lilin untuk kain sutra lebih sulit dibandingkan kain katun (Susanto 1973). Oleh karena itu IKM umumnya menambahkan soda abu (Na2CO3) berlebih pada proses pelorodan untuk kain sutra. Hal ini yang membuat nilai BOD5 kain sutra menjadi lebih tinggi dari kain katun. Pada Gambar 16 juga terlihat nilai yang cukup tinggi pada proses pencucian untuk perlakuan SI dengan beban 28.7 g/m. Berdasarkan analisis dari data pada (Tabel 3), nilai faktor tersebut meningkat akibat data yang dihasilkan pada IKM 10 yang proses pencuciannya menggunakan water glass atau Natrium Silikat (Na2O3Si) untuk membantu melepaskan lilin yang tidak larut pada proses pelorodan. Hal ini dapat disimpulkan setelah melihat beban pencemar parameter TSS (Gambar 18) pada IKM yang sama, dimana nilainya paling rendah dibandingkan perlakuan yang lain pada proses yang sama. Berdasarkan sifat fisikanya, Natrium Silikat merupakan garam larut air, sehingga tidak berbentuk suspensi dan tidak memberikan pengaruh pada konsentrasi TSS (Effendi 2007). Faktor Beban Pencemar Parameter COD Nilai Parameter COD menunukkan jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan organik yang terdapat pada limbah cair dapat teroksidasi secara kimia, baik yang dapat didegradasi oleh mikroorganisme maupun yang sukar terdegradasi (Munawaroh et al. 2013). Menurut SNI no 6989.73-2009 nilai COD menunjukkan jumlah oksidan Cr2O72- yang bereaksi dengan contoh uji dan dinyatakan sebagai mg O untuk tiap 1 L larutan uji. Grafik hasil analisis faktor beban pencemar limbah cair IKM batik parameter COD untuk tiap tahapan proses dapat dilihat pada Gambar 17.
Nilai beban (g/m)
34
Gambar 17 Grafik rata-ratafaktor beban pencemar parameter COD (g/m) untuk setiap tahapan proses, (KN) Katun Naphtol, (KI) Katun Indigosol, (SN) Sutra Naphtol, (SI) Sutra Indigosol Gambar 17 menunjukkan bahwa nilai faktor beban pencemar tertinggi terdapat pada perlakuan sutra Naphtol. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan di Yogyakarta dimana limbah zat warna dari jenis Naphtol memiliki nilai COD yang lebih tinggi dibandingkan dengan zat warna Indigosol (UGM 2013). Dengan menggunakan selang kepercayaan 90% pada analisis anova dua arah, maka variabel jenis zat warna dengan nilai P-value 0.040 merupakan variabel yang memberikan pengaruh terhadap nilai beban pencemar parameter COD, yaitu 739 g/m untuk Naphtol dan 295 g/m untuk Indigosol. Ditinjau dari struktur kimia dari zat warna jenis Naphtol akan stabil ketika sudah bereaksi secara kopling dengan garam diazonium dan membentuk senyawa berwarna yang tak larut air (Susanto 1973). Sedangkan warna Indigosol dibangkitkan melalui reaksi oksidasi menggunakan NaNO2 dalam suasana asam membentuk senyawa keton (-C=O) (Susanto 1973). Hal ini menunjukkan bahwa dalam keadaan yang telah teroksidasi, sisa limbah zat warna Indigosol akan memberikan nilai COD yang relatf lebih kecil ketika bereaksi dengan Oksigen dari Cr2O72- bila dibandingkan dengan nilai COD dari zat warna Naphtol. Faktor Beban Pencemar Parameter TSS Total Suspended Solid (TSS) adalah material padat tersuspensi (diameter>1 µm) yang tertahan pada saringan miliporedengan diameter pori 0.45 m (Effendi, 2000). Semakin tinggi nilai TSS akan berdampak pada tergangunya proses fotosintesis oleh tanaman dalam air akibat banyaknya cahaya matahari yang tertahan oleh partikel tersuspensi. Hasil analisis faktor beban pencemar limbah cair IKM batik parameter TSS untuk tiap tahapan proses dapat dilihat pada (Gambar 18). Berdasarkan hasil analisis anova dua arah dengan selang kepercayaan 90% terhadap hasil perhitungan beban pencemar limbah cair untuk parameter TSS didapatkan kesimpulan bahwa hanya variabel kain yang memberikan pengaruh terhadap nilai faktor beban pencemar yaitu dengan P-value sebesar 0.089. Dengan demikian faktor beban pencemar yang digunakan menggunakan rata-rata dari variabel kain yaitu 19.0 g/m untuk katun dan 40.5 g/m dari kain sutra. Bila dilihat dari grafik pada (Gambar 18), dapat diambil kesimpulan bahwa penyumbang nilai TSS terbesar pada kain sutra terdapat pada proses pelorodan.
Nilai beban (g/m)
35
Gambar 18. Grafik faktor beban pencemar parameter TSS (g/m) per tahapan proses, (KN) Katun Naphtol, (KI) Katun Indigosol, (SN) Sutra Naphtol, (SI) Sutra Indigosol Menggunakan argumen yang sama dengan parameter BOD5, dapat diambil kesimpulan bahwa tingginya nilai TSS untuk kain sutra pada proses pelorodan berasal dari penambahan Na2CO3 yang berfungsi untuk mempercepat proses pelepasan lilin dari kain sutra. Estimasi Total Beban Pencemar Estimasi total beban pencemar sektor IKM batik di klaster Trusmi dihitung berdasarkan hasil perkalian antara kapasitas produksi dengan faktor beban pencemar. Faktor beban pencemar limbah cair IKM batik ditentukan dari rata-rata dan standar deviasi variabel yang memberikan pengaruh seperti dapat dilihat pada (Tabel 11). Tabel 11 Faktor beban pencemar limbah cair IKM batik Trusmi untuk parameter BOD5, COD, dan TSS (g/m) Kain
VARIABEL
Warna
BOD5 (g/m)
Ratarata 41.6
Katun Standar Deviasi 37.5
Ratarata 84.0
Sutra Standar Deviasi 35.1
COD (g/m)
-
-
-
-
739
436
295
164
TSS (g/m)
19.0
9.29
40.6
25.8
-
-
-
-
PARAMETER
Naphtol Rata- Standar rata Deviasi -
Indigosol Rata- Standar rata Deviasi -
Besarnya nilai standar deviasi pada faktor beban pencemar disebabkan oleh minimnya jumlah pengulangan pada perlakuan yang terbatas sebanyak tiga kali. Kebiasaan pengerajin yang berbeda-beda dalam melakukan teknik pewarnaan membuat kisaran konsentrasi limbah cair menjadi tinggi. Untuk mendapatkan jumlah pengulangan yang lebih banyak, dibutuhkan tambahan personil pada tim pengambil sampel, sehingga sampel limbah cair dapat diambil pada hari yang sama. Dengan memperbanyak jumlah IKM maka diharapkan rentang nilai standar deviasi diharapkan akan menjadi lebih kecil. Hal ini akan berdampak pada peningkatan efektifitas perencanaan pengambilan kebijakan terkait dengan disain pengolahan air limbah yang lebih efisien. Berdasarkan data yang didapatkan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon, pada tahun 2013 seluruh IKM yang berada di
36 Desa Trusmi Wetan, Trusmi Kulon, Kali Tengah dan Wotgali berjumlah 302 IKM dengan total kapasitas produksi sebesar 454625 meter per tahun. Perbandingan penggunaan kain katun dan sutra untuk batik di Kabupaten Cirebon adalah 8 : 2 (Hendratno D 31 Oktober 2014, komunikasi pribadi). Rasio penggunaan zat warna jenis Naphtol dan Indigosol sebesar 2 : 1 (CBI 2011). Berdasarkan analisis faktor beban pencemar maka total beban pencemar untuk tiap parameter dapat dilihat pada (Tabel 12). Tabel 12 Estimasi total beban pencemar limbah cair ikm batik Trusmi Parameter
Estimasi Total Beban Pencemar Limbah Cair (ton/tahun)
BOD5 COD TSS
5.9 – 39.5 112 - 426 4.88 – 16.3
Dengan membagi nilai total beban pencemar limbah cair IKM batik hasil estimasi dengan total IKM yang ada di klaster Trusmi yang berjumlah 302 unit, maka kisaran beban pencemar yang dikeluarkan oleh tiap IKM batik dapat dilihat pada (Tabel 13). Dari data tersebut dapat membantu Pemerintah Daerah dalam membuat perencanaan terkait dengan berapa biaya yang dibutuhkan untuk mengelola limbah cair yang dikeluarkan oleh tiap IKM berdasarkan kapasitas produksinya. Selain itu dampak pencemaran yang diterima oleh pengerajin dan masyarakat sekitar dapat diperkirakan. Tabel 13 Kisaran beban pencemar yang dikeluarkan tiap ikm batik per tahun Parameter BOD5 COD TSS
Beban Pencemar Limbah Cair (kg/tahun) 19.7 - 131 371- 1412 16.1 – 15.0
Untuk mengetahui apakah nilai total beban pencemar telah melampaui baku mutu yang ditetapkan dalam KepMenLH No 51 Tahun 1995, maka satuan produk batik perlu dirubah dari meter menjadi ton. Dengan menimbang 1 meter kain (sutra dan batik), maka berat jenis kain batik dapat dilihat pada (Tabel 14). Tabel 14 Berat jenis kain batik Jenis Kain Katun Sutra
Berat Jenis (g/m) 198.5 84.5
Dengan mengalikan berat jenis dengan data proporsi kapasitas total produksi batik di cirebon, maka total beban pencemar per ton produk untuk klaster
37 Trusmi dapat dilihat pada (Tabel 15) dan masih dibawah baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah. Tabel 15 Nilai beban pencemar per ton produk untuk parameter BOD5, COD, dan TSS Total Beban Pencemar Baku Mutu (kg/ton produk) Parameter (kg/ton produk) min Max 0.25 1.64 12.75 BOD5 COD 4.65 17.68 37.5 TSS 0.20 0.68 9.0 Walaupun secara total kg beban pencemar per ton produk masih berada dibawah baku mutu, namun kenyataannya konsentrasi limbah cair yang dikeluarkan oleh tiap tahapan proses jauh diatas baku mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah. Oleh sebab itu, upaya minimisasi beban pencemar tetap perlu dilakukan oleh setiap IKM batik yang ada di trusmi. Analisis Sebaran Beban Pencemar Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengetahui sebaran beban pencemar adalah melalui pemetaan konsentrasi IKM dengan kontribusi beban pencemar tertinggi. Dari hasil pengolahan data secara cluster analysis dengan software minitab serta analisis ArcGIS ver 9.0, sebaran beban pencemar di empat Desa Klaster batik Trusmi (Gambar 18) beban pencemar terbesar terdapat di Desa Trusmi Wetan dan Desa Kali Tengah. Hal ini dikarenakan pada lokasi tersebut terdapat IKM yang memproduksi batik jenis cap dengan kapasitas yang lebih besar. Namun walaupun demikian analisis sebaran berdasarkan faktor beban pencemar ini dapat berubah bila kapasitas produksi dari IKM mengalami perubahan. Analisis ini baru dapat memetakan beban pencemar berdasarkan kapasitas produksi. Dengan menggunakan peta sebaran beban pencemaran pada Gambar 18 dan fokus pada sebaran beban pencemar kategori berat, maka pemangku kepentingan dapat menentukan lokasi terbaik untuk upaya pengendalian pencemaran baik penanganan secara individual maupun komunal.
38
Gambar 19 Sebaran beban pencemar limbah cair IKM batik Trusmi (Atribut peta terdapat pada Lampiran 4) Analisis Dampak Beban Pencemar Kesehatan Lingkungan Walaupun debit limbah cair dari IKM batik tidak seperti industri tekstil skala besar, benyak yang meyakini bahwa limbah cair dari IKM batik memiliki dampak negatif terhadap kesehatan. Namun sayangnya, sebagian besar pengerajin masih menganggap dampak kesehatan akibat kegiatan pembatikan tidak terlalu signifikan. Dengan berbagai macam alasan, sebagian besar dari para pengerajin batik tidak juga memiliki kesadaran untuk menggunakan alat pelindung diri (APD) (Gambar 20). Berdasarkan data primer dari program Clean Batik Initiative yang dilakukan pada tahun 2011 di klaster Trusmi, dapat diketahui bahwa limbah cair yang dibuang oleh 100 IKM yang mengikuti program mencapai 8766.5 m3 per tahun, dengan produktivitas air rata-rata sebesar 28 L per meter produk.
39
Gambar 20 Pekerja yang terpapar bahan kimia pada proses pewarnaan Apabila diasumsikan terdapat rata-rata dua pekerja pada proses basah di IKM batik yang memproduksi 5 meter kain, maka masing-masing pekerja akan berpotensi terpapar bahan kimia sebagaimana ditunjukan pada Tabel 16. Tabel 16 Estimasi paparan bahan kimia terhadap pengerajin di proses pewarnaan Proses Pewarnaan Naphtol
Jenis Bahan Kimia
Jumlah Paparan per hari
jumlah paparan per orang / hari
ZW Naphtol
250 g
125 g
NaOH
75 g
37,5 g
Garam Diazonium
500 g
250 g
ZW Indigosol
150 g
75 g
NaNO2
300 g
150 g
HCl
13 g
6,5 g
atau Pewarnaan Indigosol
Intensifnya paparan bahan kimia, ditambah dengan kurangnya keseadaran akan keselamatan kerja pengerajin khususnya pada proses pewarnaan, tentunya memiliki resiko terhadap kesehatan. Menurut Indriyani (2004) zat warna Naphtol bersifat toksik dan dapat mengakibatkan penyakit kanker kulit. Selain itu kedutaan Besar RI untuk Belanda bagian Perdagangan telah memberikan surat peringatan kepada Dirjen Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan RI pada tahun 1996 terkait dengan peringatan pelarangan penggunaan sebagian zat warna Naphtol dan garam Diazonium yang telah diberlakukan di Negara Jerman karena dampaknya terhadap kesehatan (KBRI Belanda 1996). Menurut Indriyani (2004) zat warna Naphtol yang termasuk dalam golongan azo merupakan senyawa xenobiotik yang sulit terdegradasi, dan apabila terdegradasi sering menghasilkan senyawa lain yang lebih beracun daripada senyawa induknya. Menurut Puvaneswari et al. (2006) zat warna azo dapat memiliki tingkat toksisitas yang dapat mengakibatkan kematian, merusak
40 informasi genetik hingga menyebabkan mutasi genetik dan kanker pada mikro organisme air. Terkait dengan zat warna Indigosol, reaksi oksidasi pada proses pembangkitan warna menggunakan NaNO2 dan HCl dapat menimbulkan gas yang dapat menyebabkan iritasi baik pada mata dan pernafasan. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, hampir seluruh pengerajin di Klaster Trusmi yang menangani proses pewarnaan tidak menggunakan APD baik berupa masker maupun sarung tangan. Selain itu juga ditemui beberapa pengerajin batik di klaster Trusmi yang memiliki gangguan kesehatan terkait iritasi kulit dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) setelah melakukan proses pembatikan. lembar data keselamatan bahan yang dikeluarkan oleh science lab, Natrium Nitrit yang digunakan sebagai pembangkit warna pada pewarnaan Indigosol memiliki dampak bahaya bagi kesehatan, khususnya untuk pekerja yang terpapar langsung. Natrium Nitrit memiliki nilai LD50 akut sebesar 180 mg/kg [tikus] dan 175 mg/kg [mencit]. Berdasarkan Burden (1961) NaNO2 mudah diserap oleh darah sehingga mengubah oksihemoblobin menjadi methaemoglobin dan mengganggu transfer oksigen dalam darah. NaNO2 memiliki potensi sangat berbahaya bila kontak dengan mata (iritasi), atau termakan maupun terhirup dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan kematian. Berbahaya jika kontak dengan kulit (iritasi). Di klaster Trusmi pernah terjadi kasus kecelakaan yang mengakibatkan kematian pada pertengahan tahun 90an terkait dengan bahaya NaNO2, (Suyatno E 18 September 2014, komunikasi pribadi). Hal ini diakibatkan oleh penanganan bahan kimia yang buruk tanpa disertai dengan label. Dengan ciri fisiknya yang berbentuk hablur kristal berwarna putih, menjadikan zat ini mirip dengan garam dapur, sehingga masuk ke dalam makanan dalam jumlah yang cukup banyak saat proses memasak. Dampak pencemaran limbah cair dari IKM batik tidak hanya pada aspek toksisitasnya saja. Berdasarkan Hunga (2014) IKM batik merupakan sektor IKM yang menyumbang emisi CO2 terbesar bila dibandingkan dengan sektor IKM lainnya. Emisi CO2 ini tidak hanya disumbangkan oleh aktivitas produksi yang berhubungan dengan pembakaran minyak tanah atau kayu bakar saja. Karena berdasarkan Purwanta dan Susanto (2009) nilai BOD maupun COD yang lebih tinggi juga akan menghasilkan CH4 yag lebih tinggi. Berdasarkan IPCC (1996) nilai default dari nilai maksimun air limbah dalam memproduksi gas CH4 adalah sebesar 0.25 kg CH4/ kg BOD. Dengan menggunakan faktor emisi tersebut serta mempertimbangkan nilai Global Warming Potential (GWP) untuk CH4 sebesar 23 (AR4), maka total emisi CO2 yang berasal dari limbah cair IKM batik adalah berkisar antara 28 – 93.7 ton CO2e/Tahun. Dampak Sosial
41 Dampak pembuangan limbah cair yang dilakukan oleh IKM batik di klaster Trusmi tidak hanya dirasakan oleh pengerajin, melainkan dirasakan juga oleh warga sekitar. Pembuangan limbah cair tersebut pada umumnya dilakukan setiap hari melalui selokan (Gambar 21) hingga mengalir menuju ke saluran irigasi. Berdasarkan pengakuan dari salah satu IKM yang lokasinya bersebelahan dengan sawah, pada tahun 2010 pernah terjadi konflik dengan pemiliki sawah ketika saluran pembuangan limbah yang dimiliki oleh IKM mampet sehingga limbah cainya langsung masuk ke sawah. Penyelesaian konflik tersebut dilakukan dengan cara kekeluargaan dengan upaya perbaikan saluran pembuangan limbah agar tidak lagi langsung memasuki wilayah sawah.
Gambar 21 Saluran pembuangan air yang tercemar limbah batik Kondisi ini sudah dianggap biasa oleh warga, mengingat industri batik telah berlangsung sejak dulu. Menurut pengakuan salah satu pengerajin batik yang tempat produksi batiknya bersebelahan dengan sawah, sempat terjadi permasalahan sosial pada saat saluran selokan yang tempat pembuangan limbah batiknya tersumbat sehingga air limbah batik meluap ke sawah dan menimbulkan protes dari pemilik sawah. Potensi dampak sosial akibat limbah batik hingga tahun ini di klaster Trusmi pada umumnya diredam oleh sifat permisif warga. Keadaan ini dapat disebabkan oleh masih tersedianya sumber daya air lain seperti air tanah yang masih layak untuk dikonsumsi oleh warga. Dampak ekonomi Berdasarkan data yang didapat dari CBI (2011), terdapat potensi penghematan biaya produksi sebesar lebih dari Rp 1.7 miliar per tahun dari 100 IKM melalui penerapan produksi bersih. Hal ini dapat memiliki arti bahwa selama ini tiap IKM telah rugi akibat pemborosan sebesar lebih dari Rp 17 juta per tahunnya. Kerugian tersebut belum termasuk kerugian yang harus ditanggung masyarakat akibat menurunnya kualitas air akibat pencemaran dari limbah batik serta biaya pengobatan bagi pekerja sakit akibat terpapar bahan kimia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suryotomo et al. (2011) menunjukkan limbah batik sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi padi. Tanaman padi yang tercemar limbah batik produksinya 18% lebih rendah dibanding tanaman padi dengan irigasi air segar. Berdasarkan data yang
42 dikeluarkan oleh BPS Kabupaten Cirebon (2014) total produksi padi sawah di Kecamatan Plered pada tahun 2013 mencapai 5.249 ton. Bila diasumsikan seluruh limbah batik masuk ke saluran irigasi dan menurunkan produktivitas padi sebesar 18%, maka total padi yang tidak terproduksi mencapai 1.152 ton. Sintesis Berdasarkan informasi beban pencemar limbah cair IKM batik yang KALKULATOR BEBAN PENCEMAR LIMBAH BATIK PER TAHUN KAPASITAS PRODUKSI PER MINGGU PANJANG KAIN MORI YANG DIGUNAKAN KATUN A METER SUTRA B METER BOBOT TOTAL ZAT WARNA YANG DIGUNAKAN NAPHTOL & GARAM C GRAM INDIGOSOL & NITRIT D GRAM TOTAL BEBAN PENCEMAR PARAMETER BEBAN x BOD X ± COD Y ± y TSS Z ± z
KG KG KG
Gambar 22 Aplikasi kalkulator beban pencemaran limbah cair IKM batik didapatkan, maka diperlukan konsep yang dapat diterapkan untuk meminimisasi beban pencemar limbah cair sehingga dampak yang ditimbulkan juga ikut berkurang. Sebenarnya upaya minimisasi limbah batik sudah dilakukan sejak lama. Mulai dari penerapan IPAL baik individual maupun komunal hingga produksi bersih (PB), namun karakter limbah batik yang beragam, ditambah dengan tantangan dari aspek sosial sehingga menyebabkan permasalahan limbah cair batik seperti tidak pernah selesai. Selama ini upaya pengelolaan limbah cair IKM batik sering berhenti ditengah jalan. Hal ini banyak diakibatkan oleh pola pikir bahwa limbah itu adalah masalah dan bukan sumber daya. Ditambah lagi dengan asumsi bahwa pengerajin akan melakukan pengelolaan air limbah secara sukarela bila diajarkan caranya. Pendekatan semacam ini secara praktek sulit untuk diterapkan karena IKM memiliki kebiasaan dan pola kerja yang telah berlangsung sejak lama. Dalam hal merubah kebiasaan, hal utama yang perlu ditanamkan kedalam pikiran IKM adalah kesadaran akan seberapa besar beban pencemaran yang disumbangkan oleh kegiatan yang mereka lakukan. Untuk mempermudah IKM dalam memperoleh informasi tersebut, maka dengan mempergunakan nilai faktor beban pencemar dapat dibuat suatu kalkulator sederhana berbasis MS.Excel
43 (Gambar 22) yang dapat digunakan untuk menghitung total beban pencemar berdasarkan data produksi terkait dengan jumlah dan jenis kain serta zat warna yang digunakan. Dengan menggunakan faktor beban pencemar yang terdapat pada Tabel 11 serta memasukan informasi kedalam kolom A, B, C dan D maka nilai total beban pencemaran dapat langsung diketahui pada kolom X x, Y y, dan Z z. Formula yang ditanamkan dalam kolom X±x, Y±y dan Z±z dapat dilihat pada persamaan (2), (3), dan (4). X±x = [(41,6 x A) + (84,0 x B)] x 50/1000 ± [(A x37.5) + (B x 35.1)] x 50/1000 ………...……………. (2)
Y±y = [((C/80) x 739) + ((D/45) x 295)] x 50/1000 ± [((C/80) x 436) + ((D/45) x 164)] x 50/1000 ......…….…. (3) Z±z = [(19,0 x A)+(40,6 x B)] x 50/1000 ± [(A x 9.29)+(B x 25.8)] x 50/1000 ……………………. (4) Formula pada persamaan (2), (3), dan (4) dapat dipergunakan dengan asumsi dalam satu tahun terdapat 50 minggu yang digunakan untuk memproduksi batik. Pada perhitungan untuk persamaan (3) digunakan faktor bobot zat warna per meter kain sesuai dengan rancangan percobaan yang dilakukan untuk menentukan faktor beban pencemar, yaitu 80 gram/meter untuk zat warna Naphtol dan 45 gram / meter untuk Indigosol. Kalkulator beban perncemar ini dapat juga digunakan oleh pengambil kebijakan untuk mengetahui secara cepat total beban pencemar limbah cair IKM batik yang harus dikendalikan. Hal ini tentunya perlu dilakukan dengan memodifikasi formula yang disesuaikan untuk perhitungan kapasitas produksi per tahun. Setelah nilai total beban pencemar diketahui, hal yang perlu dilakukan adalah membuat strategi minimisasi beban pencemar. Berdasarkan hasil analisis, maka konsep minimisasi beban limbah cair dapat difokuskan pada setiap tahapan proses sehingga memenuhi aspek kemudahan, minim biaya, serta efektif dalam mengurangi beban pencemar. Menurut KLH (2009) konsep integrasi Produksi Bersih (PB) dengan Pengolahan Air Limbah (PAL) merupakan alternatif yang paling efektif dalam pengurangan beban pencemaran. Berdasarkan kebijakan nasional produksi bersih yang dikeluarkan pada tahun 2004, terdapat lima prinsip penerapan PB yaitu: Rethink, Reduce, Reuse, Recovery, dan Recycle (KLH 2004). Sedangkan untuk PAL, rancangan operasional perlu dibuat sesederhana mungkin sehingga tidak terlalu menambah pekerjaan dari pengerajin. Minimisasi Beban Pencemaran Proses Pewarnaan Pada proses pewarnaan, untuk parameter BOD, COD dan TSS ditentukan oleh variabel zat warna. Oleh sebab itu strategi minimisasi beban pencemar perlu disesuaikan untuk tiap jenis zat warna. Namun dengan menggunakan prinsip PB,
44
Gambar 23 Pengendapan sisa zat warna Naphtol yang dicampur dengan Garam Diazonium minimisasi beban pencemar limbah cair harus dimulai dari awal tahapan proses pewarnaan yaitu optimasi penggunaan zat pewarna. Rasio penggunaan zat warna terhadap banyaknya kain yang akan diwarnai harus dibuat setepat mungkin untuk mencapai warna yang diinginkan, sehingga zat warna yang masuk ke dalam serat kain dapat optimal serta hanya menyisakan sesedikit mungkin sisa zat warna dalam bak pencelupan. Namun walaupun penggunaan zat warna sudah optimal, limbah cair pada proses pewarnaan tetap ada. Oleh sebab itu upaya pengolahan limbah cair tetap perlu dilakukan. a. Zat warna Naphtol Dengan menggunakan prinsip bahwa zat warna Naphtol dalam keadaan basa bila telah bereaksi kopling dengan garam diazonium akan menjadi tidak larut. Dengan memanfaatkan karakteristik senyawa yang tidak larut ini, maka partikel zat warna akan dengan sendirinya mengendap bila didiamkan. Hasil percobaan terhadap penyimpanan zat warna dalam suatu wadah selama satu bulan menunjukkan hasil seperti pada Gambar 23. Dengan menggunakan split sampel pada saat pengujian validasi, setelah penyimpanan selama enam bulan menunjukkan penurunan konsentrasi yang signifikan yaitu dari 574,4 mg/L (larutan dihomogenkan) menjadi 68,4 mg/L, (pengukuran dilakukan terhadap larutan jernih). Hasil analisis dapat dilihat pada (Lampiran 5). Bila diasumsikan laju penurunan konsentrasi COD adalah linier, maka setiap bulan didapatkan penurunan kadar COD sebesar 84 mg/L atau sebesar 16%. Dengan menggunakan data percobaan diatas, dapat dibuat suatu desain bak khusus sisa larutan pewarnaan Naphtol yang dapat menampung volume limbah
45
Gambar 24. Konsep rancangan bak pengendap sisa zat warna Naphtol untuk 30 hari, sehingga memberikan kesempatan terjadinya proses pengendapan zat warna. Bila diasumsikan volume sisa zat warna dalam bak pencelupan adalah sebanyak 2 x 3 Liter untuk setiap warna, dan satu hari dilakukan 3 kali pewarnaan, maka volume sisa zat warna proses pencelupan adalah sebanyak 18 L. Pada umumnya proses pembuatan batik di Trusmi berlangsung 25 hari kerja setiap bulannya, maka total volume larutan sisa zat warna yang harus ditampung adalah sebanyak 450 Liter. Sehingga dengan melakukan investasi untuk pembelian tempat penampungan seperti tandon 1 m3 ditambah dengan dua buah drum 200 L serta 1 buah loyang untuk penguapan, serta pipa dapat dibuat rangkaian bak penampung yang dapat meminimisasi beban pencemaran limbah cair sisa proses pewarnaan (Gambar 23). Alternatif rangkaian seperti pada Gambar 24 dapat diterapkan dengan asumsi terdapat ruang dan lanskap yang memungkinkan. Sebagaimana diketahui bahwa permasalahan utama dalam pengelolaan air limbah adalah merubah pola pikir dan kebiasaan para pekerja. Sehingga bila penempatan bak 1 terlalu tinggi maka kemungkinan besar pengerajin akan enggan untuk memasukan limbah sisa zat warna ke dalam bak tersebut. Bila lanskap tempat kerja tidak memungkinkan, maka dibutuhkan tambahan pompa air yang dapat membantu memindahkan sisa zat warna Naphtol dari bak celup ke bak 1. Namun perlu diperhatikan bahwa sisa larutan obat 1 mengandung NaOH yang bersifat korosif, sehingga pompa yang digunakan harus memenuhi spesifikasi terhadap larutan tersebut atau dilakukan upaya netralisasi terhadap pH limbah cair terlebih dahulu. Penambahan valve antar bak dimaksudkan sebagai pengaman agar limbah cair diberi kesempatan untuk mengendap dan tidak langsung masuk ke bak selanjutnya. Pembukaan valve juga perlu dilakukan secara perlahan, sehingga aliran limbah cair tidak terlalu deras yang dapat menyebabkan efek pengadukan terhadap endapan. Pengelolaan air limbah diatas dirancang tanpa menggunakan penambahan bahan kimia seperti koagulan maupun flokulan, hal ini dimaksudkan agar perubahan pola kerja pada proses pewarnaan tidak terlalu besar. Penambahan bahan kimia seperti flokulan dan koagulan hanya akan menambah volume dan mempersulit penanganan endapan. Perlakuan tambahan hanya dibutuhkan pada bak 3 yaitu netralisasi, mengingat limbah cair sisa zat warna Naphtol bersifat basa,
46 sehingga diperlukan penambahan asam (dapat berasal dari sisa obat 2 pewarnaan Indigosol). Alternatif pengolahan lanjutan setelah bak ketiga juga banyak tersedia, namun tentunya dibutuhkan upaya dan biaya tambahan yang lebih besar. Namun yang perlu menjadi catatan adalah pengolahan tambahan tersebut tentunya akan lebih mudah dan murah bila dibandingkan dengan pengolahan limbah cair langsung dari bak pencelupan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan beban limbah cair pada bak 3 pada (Gambar 24) yaitu menggunakan teknik fitoremediasi. Menurut Widya et al. (2015) teknik fitoremedias dengan Pistia stratiotes L atau lebih dikenal dengan tanaman kayu apu (Gambar 25) selama 3 hari dapat menurunkan kadar COD dari limbah cair IKM batik hingga mendekati 80 %.
Gambar 25. Tanaman Pristia stratioles untuk minimisasi beban pencemar limbah cair IKM batik b. Zat warna Indigosol Salah satu keunikan dari zat warna Indigosol adalah proses pembangkitan warnanya dilakukan melalui reaksi oksidasi. Sehingga dari sisi stabilitas, zat warna jenis Indigosol relatif lebih stabil dibandingkan dengan jenis Naphtol. Dengan menggunakan pemikiran tersebut, upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi beban pencemaran dari limbah cair sisa zat warna Indigosol adalah dengan menyediakan jerigen penampung, karena limbah cair sisa zat warna Indigosol dapat digunakan kembali dengan catatan disimpan secara tertutup dan terlindung dari sinar matahari. Penggunaan kembali sisa larutan Indigosol ini perlu dilakukan dengan menambahkan serbuk zat warna Indigosol sesuai kebutuhan. Sedangkan untuk sisa obat 2 yaitu larutan HCl dapat digunakan sebagai netralisasi limbah sisa zat warna Naphtol. Berdasarkan penelitian yang dilakukan UGM 2013, konsentrasi COD dari larutan HCl sisa pewarnaan Indigosol adalah 949 mg/L. Dengan menggunakan limbah ini sebagai zat untuk menetralkan
47 limbah Naphtol, maka beban pencemaran limbah cair dari sisa larutan zat warna Indigosol menjadi hampir tidak ada. Proses Pelorodan Berdasarkan perhitungan faktor beban pencemar limbah cair, variabel yang memengaruhi nilai beban pencemar limbah cair adalah jenis kain. Pada prinsipnya pelepasan lilin dari kain disebabkan oleh tiga faktor, yaitu: temperatur, gesekan, dan polaritas pelarut. Peningkatan nilai beban pada kain sutra dengan cara pelorodan disebabkan oleh penambahan soda abu yang berfungsi sebagai surfaktan sehigga tegangan permukaan antara lilin (nonpolar) dengan air (polar) menjadi mengecil (efek penyabunan) dan pada akhirnya lilin dapat dengan mudah lepas. Dengan prinsip tersebut upaya minimisasi beban pencemar dari proses pelorodan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: (1) pembuatan kowen ,(2) netralisasi larutan sisa pelorodan ; (3) perubahan sifat pelarut. Upaya awal untuk mengurangi beban pencemaran dari proses pelorodan adalah secara fisika, yaitu dengan membuat bak perangkap lilin (kowen). Menurut Monika et al.(2014) kowen diperlukan untuk menangkap partikel lilin yang tidak dapat terambil dari bak pelorodan dengan cara membiarkan larutan sisa pelorodan melalui suatu bak bersekat sehingga partikel lilin yang mengapung dapat terjebak dalam bak tersebut. Berkurangnya partikel lilin yang ada di dalam air limbah tentunya juga akan mengurangi nilai beban pencemar dari proses pelorodan. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi beban pencemar dari proses pelorodan adalah dengan menghilangkan efek penyabunan setelah semua lilin terlepas dari kain batik. Hal ini dilakukan dengan menambahkan larutan asam (sisa larutan fiksasi pewarnaan Indigosol) ke dalam larutan sisa pelorodan. Dengan penambahan asam ini, maka partikel lilin yang terlarut dalam air pelorodan akan kembali menggumpal dan pada akhirnya mengendap. Dengan cara ini, maka limbah cair sisa pelorodan akan menjadi netral serta endapan lilin dapat dikumpulkan untuk kemudian dijual (CBI 2011). Perubahan sifat pelarut dilakukan dengan cara mengganti air pelorodan dengan larutan nonpolar. Menurut Pool (1929) minyak dan lemak termasuk lilin akan sangat mudah larut pada larutan Aseton, Butanol, Etil Asetat, Kloro Benzena, Heksana, serta campuran Toluena dan Butanol. Proses pelorodan seperti ini biasanya dilakukan untuk batik halus menggunakan warna dari bahan alam. Akan tetapi resiko kebakaran dari penggunaan pelarut organik cukup besar, serta recovery dari lilin batik sulit dilakukan. Proses pelorodan dengan pelarut organik sendiri dilakukan tanpa menggunakan api, namun untuk merecovery lilin batik yang larut perlu dilakukan dengan peralatan destilasi khusus menggunakan pemanas listrik. Padahal, apabila teknik ini digunakan dengan benar maka tidak hanya limbah proses pelorodan dapat dihilangkan (zero waste) namun lilin batik dapat dipergunakan kembali sehingga mengurangi biaya produksi. Namun sebaliknya, bila teknik recovery tidak dilakukan, maka beban pencemaran dan biaya produksi akan menjadi lebih besar. Proses Pencucian Bila dilihat dari hasil analisis ANOVA dua arah untuk beban pencemaran limbah cair IKM batik pada proses pencucian pada selang kepercayaan 90 % (lampiran 3), maka dapat disimpulkan baik variabel jenis kain maupun warna
48 tidak memberikan pengaruh pada nilai faktor beban pencemar untuk parameter BOD, COD, dan TSS. Pada umumnya konsentrasi limbah cair pada proses ini relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan proses pewarnaan dan pelorodan. Namun untuk limbah cair pencucian pertama setelah proses pewarnaan memiliki nilai beban yang cukup tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut, khusus untuk pencucian pertama setelah proses pewarnaan, dapat diolah seperti limbah cair pewarnaan, tentunya dengan menambahkan bak penampung untuk proses pengendapan. Selain itu upaya minimisasi beban pencemaran pada proses pencucian akhir, khususnya yang dilakukan dengan penambahan Natrium Silikat perlu dilakukan melalui perbaikan di proses pelorodan. Penambahan Natrium Silikat sebenarnya dapat dikategorikan sebagai pelorodan dingin yang bertujuan untuk meghilangkan sisa lilin yang masih tersisa setelah proses pelorodan. Apabila terdapat perlakuan penambahan waterglass, maka pengendaliannya dapat dilakukan dengan cara netralisasi menggunakan larutan Asam Klorida (bekas pewarnaan Indigosol). Faktor penggerak Untuk menunjang keberlanjutan dalam pengelolaan limbah cair, selain faktor teknis dalam melakukan pengolahan limbah cair, faktor non teknis juga sangat perlu mendapat perhatian. Untuk menjaga semangat IKM agar terus mau melakukan pengolahan limbah cair, dibutuhkan suatu faktor penggerak. Pada umumnya faktor penggerak utama dalam melakukan suatu usaha adalah uang, oleh sebab itu potensi nilai ekonomi yang didapat pada setiap perlakuan tambahan dalam mengolah limbah cair perlu diinformasikan dengan jelas kepada IKM. Namun hal tersebut belum tentu cukup, pada dasarnya walaupun IKM mendapatkan keuntungan ekonomi dari optimasi proses, nilainya belum tentu memuaskan. Hal ini dikarenakan nilai ekonomi yang didapat berasal dari penghematan yang sebenarnya biasa dianggap sebagai overhead cost dan terhitung sebagai biaya produksi. Untuk itu dibutuhkan faktor eksternal yang dapat memberikan insentif bagi keberlanjutan upaya pengolahan air limbah. Salah satu langkah yang dapat ditempuh sebagai bagian dari insentif adalah dengan memberikan label ramah lingkungan serta akses pasar bagi batik yang diproduksi dengan memperhatikan kelestarian lingkungan. Proses pemberian label serta akses pemasaran ini dapat didorong oleh Pemerintah Daerah maupun pihak lain seperti swasta yang memiliki program Corporate Social Responsibility (CSR). Dengan insentif model penghargaan dari luar inilah biasanya IKM terpicu untuk senantiasa memperbaiki diri dan meningkatkan citra usahanya demi meraih pasar yang lebih baik.
SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Klaster Trusmi merupakan salah satu sentra produksi batik tradisional di Jawa Barat yang memiliki potensi untuk berkembang dengan pesat. Perkembangan industri batik di daerah ini tidak hanya memberikan dampak
49 positif bagi pertumbuhan ekonomi, namun juga dampak negatif akibat pencemaran lingkungan. Berdasarkan analisis profil produksi dapat disimpulkan bahwa pada Klaster Trusmi dapat disimpulkan bahwa: 1. Terdapat 302 IKM batik yang tersebar di 4 desa dengan total produksi mencapai 454.625 meter per tahun. 2. Produksi dilakukan secara tradisional dan umumnya masih mengabaikan kelesarian lingkungan dan kesehatan dan keselamatan kerja (K3). 3. Keengganan dalam mengelola lingkungan diakibatkan oleh faktor ekonomi, kebiasaan produksi, dan minimnya dukungan dari kelembagaan yang ada. Setelah melakukan kajian terhadap beban pencemaran limbah cair IKM batik yang ada di klaster Trusmi, dapat disimpulkan bahwa: 1. Faktor beban pencemar limbah cair IKM batik untuk parameter BOD dan TSS dipengaruhi oleh jenis kain, sedangkan untuk parameter COD dipengaruhi oleh jenis zat warna. 2. Nilai faktor beban pencemar untuk parameter BOD5 adalah 41.6 ± 37.5 g/m untuk kain katun dan 84.0 ± 35.1 g/m untuk kain sutra; nilai faktor beban pencemar untuk parameter TSS adalah 19.0 ± 9.29 g/m untuk katun dan 40.5 ± 25.8 g/m untuk kain sutra; dan faktor beban pencemar untuk parameter COD adalah sebesar 739 ± 436 g/m untuk zat warna Naphtol dan 295 ± 164 g/m untuk zat warna Indigosol. 3. Nilai total beban pencemar limbah cair IKM batik klaster Trusmi adalah sebesar 5.9-39.5 ton/tahun untuk BOD5, 112-426 ton/tahun untuk COD, dan 4.88-16.3 ton/tahun untuk TSS. 4. Nilai konsentrasi limbah dari tiap tahapan proses produksi menunjukkan nilai di atas baku mutu pada KepmenLH no 51 Tahun 1995, walaupun nilai total kg beban pencemar per ton produk untuk parameter BOD5, COD, dan TSS menunjukkan nilai dibawah baku mutu. Upaya minimisasi beban pencemar sebaiknya dilakukan melalui penerapan produksi bersih yang diintegrasikan dengan pengolahan air limbah secara individual dengan metode yang tidak memerlukan biaya dan perhatian yang terlalu besar yaitu dengan pengendapan yang digabung dengan perlakuan fitoremediasi menggunakan tanaman Pistia Stratioles L. Dukungan eksternal berupa insentif berupa bantuan pemasaran, ekolabeling, serta akses terhadap modal juga diperlukan untuk mendukung upaya minimisasi beban pencemar. Saran 1.
2.
Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk analisis kelembagaan yang diperlukan klaster batik Trusmi yang fokus untuk pengembangan IKM batik ramah lingkungan. Terkait dengan perhitungan beban pencemar, perlunya memperkecil rentang nilai faktor beban pencemar limbah cair IKM batik untuk ketiga parameter (BOD, COD, dan TSS) dengan memperbanyak jumlah sampel pengulangan dalam rancangan percobaan, sehingga dapat meningkatkan efektifitas perencanaan pengendalian pencemaran.
50 3.
4.
5.
Ekstrapolasi terhadap total nilai beban pencemar untuk daerah lain dapat dilakukan setelah dilakukan validasi terhadap nilai beban limbah cair di daerah tersebut. Upaya minimisasi beban pencemar dapat dimulai dari tiap individu IKM dengan fokus pada optimasi proses produksi (produksi bersih) maupun pengolahan air limbah sederhana. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk analisis toksisitas dari pencemaran limbah cair IKM batik terhadap kesehatan lingkungan khususnya biota perairan.
DAFTAR PUSTAKA Aldida, B. Santosa PB. 2013. Analisis Produksi Dan Efisiensi Industri Kecil Dan Menengah (Ikm) Batik Tulis Di Kota Semarang.. Journal of Economics. 2 (1): 1-10. American Association of Textile Chemist and Colorist.1956. Color Index. Second edition. Lowel Technological Institute. USA. Babu BR, Parande AK, Raghu S, Kumar TP. 2007. Textile Technology - An Overview of Wastes Produced During Cotton Textile Processing and Effluent Treatment Methods. Journal of Cotton Sciences. 11(?):110-??? [BLH] Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Cirebon. 2012. Detail Engineering Design IPAL Batik 2012. Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Cirebon. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Kabupaten Cirebon Dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Cirebon. Burden HWJ.1961. The Toxicoloty of Nitrates and Nitrites with Particulare References to the Potability of Water Supplies. The Analyst. vol 86. pp: 429433 Chakraborty JN. 2014. Fundamental and Practices in Coloration of Textiles. Second Editon. Woodhead Publishing India in Textiles Pvt Ltd. New Delhi. India:133-152. [CBI] Clean Batik Initiative. 2011. CBI Second Year Achievement Report. Ekonid. Jakarta (ID): CBI. Correia VM, Stephenson T, Judd SJ. 1994. Characterization of textile wastewaters – a review. Journal of Environmental Technology.15(10):917-929. Cristy RM. 2001. Colour Chemistry. Royal Society of Chemistry Paperbacks. Heriot Watt University, Scottish Borders Campus, Balasheets. (UK). Dinas Lingkungan Hidup Kab. Cirebon. 2007. Pengkajian Dampak Lingkungan Sentra Industri Batik Tradisional. Kabupaten Cirebon (ID): Pemda Kab. Cirebon. Donald W, Meals R, Richard P, 2013. Pollutant Load Estimation for Water Quality Monitoring Projects [Technical Notes]. National Non Point Source Monitoring Program. US EPA. Diunduh dari www.bae.ncsu.edu/programs/extension/wqg/319monitoring/tech_notes.htm Effendi, AH. 2007. Natrium Silikat Sebagai Bahan Penghambat Api Aman Lingkungan. Jurnal Teknologi Lingkungan. 8(3):245-252.
51 Fessenden JR, Fesenden JS. 1999. Kimia Organik. Jilid 2. Edisi Ketiga. Penerbit Erlangga. [ProLH-GTZ] Kerangka Program Lingkungan Hidup Indonesia- Jerman. 2007. Panduan Penerapan Eko-efisiensi Usaha Kecil dan Menengah sektor Batik. Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Hanafiah KA. 2005. Rancangan Percobaan Teori & Aplikasi. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Hunga AIR.2014. Ancaman Kerusakan Ekologi Produksi Batik Rumahan: Narasi Perlindungan Lingkungan. Jurnal Perempuan. 19(1): 1-16. Indriyani L. 2004. Pengelolaan Limbah Cair Industri Batik di Daerah Istimewa Yogyakarta [Thesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID). [IPCC] International Panel on Climate Change. 1996. Revised 1996 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Vol 2. International Panel of Climate Change. Jusri, Idris M. 2012. Batik Indonesia Sokoguru Budaya Bangsa. Jakarta (ID). Kementerian Perindustrian. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 1995. Keputusan Menteri LH nomor 51 Tahun 1995 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri. Republik Indonesia. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2010. Peraturan Menteri LH Nomor 01 Tahun 2010 tentang Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air. Republik Indonesia. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2011. Peraturan Menteri LH Nomor 13 Tahun 2011. tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Republik Indonesia [KNLH] Kementerian Negara lingkungan Hidup. 2009. Sembilan Langkah Pengelolaan Lingkungan Terpadu di Klaster IKM. Asdep Standardisasi dan Teknologi. Kementerian Lingkungan Hidup. Republik Indonesia. [KBRI] Kedutaan Besar Republik Indonesia Bidang Perdagangan. 1996. Surat tentang penggunaan zat warna (Dyestuff) pada produk chloting, footwear, dan bed linen. Kementerian Luar Negeri. Republik Indonesia. Kudiya K, Subana S, Sachari A .2014. The Waxing Optimization in Finding the Best Melting Point of Wax for Stanning Cirebon Batik. J.Arts and Design Studies. 20 (?) p:?? Kung CL, Yu JT. 2000. Study on Estimating Unid Loads of Pollutats From Industrial Wastewater Discharges. Journal of the Chinese Institute of Environmental Engineering. 10(3):241-248. Monika T, Susanti A, Rinawati D. 2012. Penyusunan Alternatif Produksi Bersih di UKM Batik Cap Kota Pekalongan Studi Kasus Pada UKM Agus Wijaya dan UKM Ganesa. Industrial Engineering Online Journal. (1)4:??-?? Munawaroh U, Sutisna M, Pharmawati K. 2013. Penyisihan Parameter Pencemar Lingkungan pada Limbah Cair Industri Tahu menggunakan EM4 serta Pemanfaatannya. Jurnal Institut Teknologi Nasional. (2)1. Pp:1-12. Nurainun, Heryana, Rasyimah (2008). Analisis Industri Batik Indonesia. Jurnal Fakultas Ekonomi. Universitas Malikussaleh Banda Aceh. 7(3) : pp 124-135. Nurdalia, I.2006. Kajian Dan Analisis Peluang Penerapan Produksi Bersih Pada Usaha Kecil Batik Cap (Studi kasus pada tiga usaha industri kecil batik cap di Pekalongan) [Thesis]. Universitas Diponegoro. Semarang (ID).
52 Parreira L, Alves M . 2012. Dyes – Environmental Impact and Remediation. University of Minho. P.112-154. Pool JW. 1929. Solubilities of Oils and Waxes in Organic Solvents. Journal of Ind. Eng. Chem. (21) 11: 1098-1102. Purwanta W, Susanto JP. 2009. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Sektor Sampah dan Limbah Cair Perkotaan di Indonesia. Jurnal Teknik Lingkungan. Edisi Khusus. Pp 41-47. BPPT. Jakarta (ID). Puvanerswari N, Muthukrishnan J, Gunasekeran P. 2006. Toxicity Assessment and Microbial Degradation of Azo Dyes. Indian J. Exp Biol. (44)8: pp 618626 [PP] Peraturan Pemerintah. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Republik Indonesia (ID). [ProLH-GTZ] Program Kerjasama Kementerian Negara Lingkungan Hidup - GTZ. 2007. Panduan Penerapan Eko-efisiensi Usaha Kecil dan Menengah sektor Batik. Jakarta (ID). Rathore J. 2012. Studies On Pollution Load Induced By Dyeing And Printing Units in River Bandi at Pali, Rajasthan, India. International Journal of Environmental Sciences. 3(1):735-742. Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (Do) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (Bod) Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan. J. Oseana. (??)3: pp 21-26. Sari DA, Hartini S, Rinawati DI, Wicaksono TS. 2012. Pengukuran Tingkat Ekoefisiensi Menggunakan Life Cycle Assessment untuk Menciptakan Sustainable Production di Industri Kecil Menengah Batik. Jurnal Teknik Industri. 14(2):137- 144. Sawyer CN, McCarty PL, 1978. Chemistry for Environmental Engineering. 3rd ed. Mc Graw Hill Kogakusha Ltd.: pp 405 - 486 Suhubawa L. 2008. Analisis dan Prediksi Beban Pencemaran Limbah Cair Industri Kayu Lapis PT. Jati Dharma Indah Serta Dampaknya Terhadap Kualitas Perairan Laut. Jurnal Manusia dan Lingkungan. 15(2):70-78. Suryotomo B, Badrodin u, Soeprapto H. 2011. Pengaruh Limbah Batik Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Beberapa Varietas Padi (Oeriza sativa L)Di Wilayah Kota Pekalongan. [Laporan hasil penelitian]. Fakultas Pertanian. Universitas Pekalongan. Susanto S. 1973. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Balai Penelitian Batik dan Kerajinan. Yogyakarta (ID). Departemen Perindustrian . [UGM] Universitas Gajah Mada. 2013. Laporan Kajian Beban Pencemaran Industri Batik. Lembaga Kerjasama Fakultas Teknik UGM. Yogyakarta (ID):UGM. [UU] Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008. Tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Republik Indonesia. [UU] Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Republik Indonesia. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia No 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian. Republik Indonesia. Widya C, Zaman B, Syafrudin. 2015. Pengaruh Waktu Tinggal Dan Jumlah Kayu Apu (Pistia stratiotes L.) Terhadap Penurunan Konsentrasi BOD, COD Dan
53 Warna. Jurnal Teknik Lingkungan. Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Uversitas Diponegoro. (4)2: ???-??? William AF. 1934. Recent Improvements in Naphtol AS Dyeings. Journal of the Society of Dyers and Colorist. (50)7:204-211
54
LAMPIRAN
55 Lampiran 1 Sertifikat analisis kualitas limbah cair IKM batik parameter BOD
56 Lampiran1 Sertifikat analisis kualitas limbah cair IKM batik parameter COD
57 Lampiran1 Sertifikat analisis kualitas limbah cair IKM batik parameter TSS
58 Lampiran 2
Hasil laboratorium kualitas limbah parameter BOD5 untuk uji validasi
59 Lampiran 2 Hasil laboratorium kualitas limbah cair IKM batik parameter COD dan TSS untuk uji validasi
60 Lampiran 3 Analisis ANOVA dua arah terhadap nilai beban pencemaran total keseluruhan proses untuk parameter BOD COD dan TSS
TOTAL
61
62 Lampiran 4 Tabel atribut sebaran beban pencemaran limbah cair IKM batik Klaster Trusmi ID
IKM
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 Keterangan: 1 =
Suleman Tarsila Musnira Kamar Kamisa Megi Dirta Burhanudin Rifanda Warnedi Muharso Ridwan Masnuli Kama Subroto Aket Suhendi Rukadi Surahman Suti Dasmaro Warjita Tasima Maryono Dermaja Tarmidi Kardino Astawi Impen Komarudin Olga Tarsono Rowi Maskina Susila Sukirya Nenglipa Nurrudin Kurmina Imron Sukandi Harnali Suka Sri Tamba Ratiman Sukanta Baena Kunia Kapnadi Muhidin Masnedi Uka Hadnan Hartiko Yahya Hakimi Onda Kirjaya Ade Rudi Nurita Dikin 2
Koordinat X y -6.699005556 108.5120619 -6.697123611 108.5098419 -6.699093333 108.5112914 -6.698856944 108.5117036 -6.699281667 108.5117722 -6.698948333 108.5125808 -6.698921667 108.5113678 -6.698723333 108.5123444 -6.697043333 108.5147933 -6.699045278 108.5120544 -6.699725278 108.5065614 -6.697951667 108.5147553 -6.699008333 108.5122606 -6.69948 108.5122833 -6.698873611 108.5125886 -6.698531667 108.5129469 -6.698503611 108.5128403 -6.698471667 108.5130311 -6.697935 108.513115 -6.697869722 108.5131225 -6.6977 108.5132447 -6.697483611 108.5131531 -6.697553056 108.5131911 -6.697783333 108.5128708 -6.697866389 108.5128097 -6.697938333 108.5128964 -6.697786944 108.512825 -6.697633333 108.5133744 -6.697726667 108.5133667 -6.697455 108.5135497 -6.697515 108.5135117 -6.69836 108.5140761 -6.698511667 108.5144653 -6.698278333 108.5133972 -6.698153611 108.5122069 -6.6984 108.5124053 -6.698394722 108.5123061 -6.698145 108.5122528 -6.69813 108.5123139 -6.697913056 108.5123519 -6.698516944 108.5122758 -6.698558333 108.5106658 -6.698388056 108.5107803 -6.699323056 108.5116653 -6.698248333 108.5106736 -6.698490278 108.5108336 -6.698608333 108.5104064 -6.69873 108.5103683 -6.6988 108.5101622 -6.697836944 108.5090103 -6.697821667 108.5091094 -6.697004722 108.5105286 -6.697143611 108.5108642 -6.697130278 108.5111847 -6.697148333 108.5115433 -6.697118333 108.51165 -6.697284444 108.5118103 -6.697509722 108.5117339 -6.697761667 108.5117264 -6.698386667 108.5117797 =
3
Kapasitas (m/tahun) 480 2,160 1500 660 300 1200 600 2,400 2,640 1,920 360 10,320 576 7,896 600 1800 840 12,420 5720 1728 6552 2880 9600 21060 1008 1920 5400 3840 10,320 16,560 11,040 11,040 3840 6912 2304 2160 4800 12,960 11,040 24,000 3,312 2,304 450 504 1,200 1,440 624 648 624 882 3000 1800 1104 4800 1,800 3750 2160 7,020 7,200 5520
=
*Nilai beban dihitung berdasarkan faktor beban pencemaran maksimal
BOD* 49 221 153 67 31 123 61 245 270 196 37 1055 59 807 61 184 86 1269 585 177 670 294 981 2152 103 196 552 392 1055 1692 1128 1128 392 706 235 221 491 1325 1128 2453 338 235 46 52 123 147 64 66 64 90 307 184 113 491 184 383 221 717 736 564 *
beban (kg/tahun) COD* TSS* 427 24 1922 109 1335 76 587 33 267 15 1068 61 534 30 2136 121 2350 133 1709 97 320 18 9185 521 513 29 7027 399 534 30 1602 91 748 42 11054 627 5091 289 1538 87 5831 331 2563 145 8544 485 18743 1064 897 51 1709 97 4806 273 3418 194 9185 521 14738 836 9826 558 9826 558 3418 194 6152 349 2051 116 1922 109 4272 242 11534 654 9826 558 21360 1212 2948 167 2051 116 401 23 449 25 1068 61 1282 73 555 32 577 33 555 32 785 45 2670 152 1602 91 983 56 4272 242 1602 91 3338 189 1922 109 6248 355 6408 364 4913 279
klasifikasi 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 2 3 1 1 1 1 2 2 2 2 1 1 1 1 1 2 2 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
63 Lampiran 5 Hasil analisis kualitas limbah Naphtol parameter COD (dalam mg/L) setelah pengendapan selama 6 bulan
64
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Maret 1981 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Soedijono dan Nunuk Regowati. Pendidikan sarjana (S1) ditempuh di Program Studi Ekstensi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia pada tahun 2007. Pada tahun 2013 penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL) Pascasarjana IPB. Pada tahun 208 Penulis diterima bekerja di Pusat Produksi Bersih Nasional (KLH) dan diangkat sebagai Penganalis Data pada sub bagian Organisasi dan Tata Laksana Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada tahun 2012. Saat menyelesaikan tesis ini, Penulis masih bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Sub Direktorat Inventarisasi Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sebagai Penganalis Data. Biaya pendidikan pascasarjana ini diperoleh dari beasiswa Kementerian Lingkungan Hidup. Sebagian dari tesis ini telah diterima dan disetujui untuk dipublikasikan di jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan dengan judul Kajian Beban Pencemaran Limbah Cair Industri Kecil Menengah (IKM) Batik Klaster Trusmi Kabupaten Cirebon.