BATAS-BATAS WEWENANG DIREKSI DALAM MENGURUS PERSEROAN (Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah “Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang, ISSN: 0854-7254, Th. VI No. 12, Agustus 2000, h. 67-78) Abdul Rokhim1 Abstrak Pada dasarnya ruang lingkup wewenang direksi yang berhubungan dengan tugas-tugas pengurusan Perseroan Terbatas (PT) itu sangat luas. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) sebagai akibat dari adanya akumulasi dan sentralisasi wewenang direksi, maka perlu adanya pembatasan wewenang direksi. Pembatasan wewenang direksi tersebut hanya dapat dibenarkan sepanjang hal itu tidak meniadakan kemandirian direksi dalam melaksanakan tugas pengurusan perseroan. Sebab, pada prinsipnya tugas pengurusan perseroan itu merupakan wewenang otonom direksi, yang terpisah dari segala intervensi komisaris dan bahkan pemegang saham, sepanjang tugas pengurusan itu dilakukan oleh direksi sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar Perseroan serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, wewenang direksi dalam menjalankan pengurusan perseroan dibatasi oleh: (1) peraturan perundang-undangan, khususnya Undangundang Perseroan Terbatas; (2) maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar Perseroan yang bersangkutan. Kata kunci: Batas-batas; Wewenang Direksi; Mengurus Perseroan 1. Pendahuluan Dalam hukum positif kita istilah “wewenang” atau “kewenangan” dapat ditemukan baik dalam konsep hukum publik maupun hukum privat. Secara umum istilah wewenang dalam konsep hukum sering disejajarkan dengan istilah bevoegdheid dalam bahasa Belanda yang berarti wewenang atau kekuasaan (Algra, 1983:74) atau istilah authority dalam bahasa Inggris yang berarti “right to exercise powers; to implement and enforce laws” (Black, 1990:133). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seseorang atau suatu pihak yang mempuntai wewenang formal dengan sendirinya mempunyai kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan tertentu sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur pemberian wewenang itu. Direksi sebagai salah satu organ Perseroan Terbatas (PT) mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan dalam rangka mencapai tujuan PT. Kewenangan ini, menurut Sumantoro (1986:289-290), dapat mencakup hal-hal yang secara tegas dinyatakan (express powers) dan hal-hal yang tidak secara tegas dinyatakan (implied powers). Dalam kenyataannya, kewenangan yang secara tegas dinyatakan umumnya dirumuskan dalam anggaran dasar suatu PT. Dengan demikian, kewenangan direksi suatu PT sangat tergantung kepada tujuan dan bidang usaha PT, serta perumusannya di dalam anggaran dasar PT itu 1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang
sendiri. Sedang, kewenangan yang tidak secara tegas dinyatakan dapat mencakup tindakantindakan yang dianggap perlu untuk mencapai tujuan PT dan tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Mengenai ruang lingkup dan kriterianya dapat diserahkan pada dunia praktik sesuai dengan etika bisnis dan perkembangan dunia usaha. Persoalannya adalah dari mana direksi suatu PT memperoleh wewenang dan bagaimana batas-batas kewenangannya itu? 2. Sumber Kewenangan Direksi Secara umum kewenangan direksi bersumber dari ketentuan undang-undang dan anggaran dasar PT yang bersangkutan (Fungkong, 1989:2). Kewenangan yang demikian ini dalam literatur disebut dengan kewenangan atribusi. Atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu yang diberikan oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan kepada organ tertentu (Hadjon, 1997:2). Jadi, wewenang direksi dalam hal ini bukan merupakan pemberian wewenang dari organ PT yang lain (RUPS), melainkan merupakan wewenang asli (original authority) yang langsung bersumber atau berasal dari ketentuan undang-undang dalam arti materiil (Bagir Manan, 1995:4). Pada mulanya menurut pandangan klasik, doktrin yang berlaku adalah bahwa perseroan itu merupakan milik para pemegang saham (shareholder; stockholder). Oleh karena itu, para pemegang saham dipandang merupakan organ perseroan yang mempunyai kekuasaan tertinggi dan sekaligus merupakan sumber kekuasaan bagi direksi dan komisaris. Wewenang direksi dan komisaris merupakan mandat yang diberikan oleh para pemegang saham kepada mereka. Namun, pandangan mutakhir yang berkembang dewasa ini berpendapat bahwa ketiga organ perseroan (Direksi, Komisari, dan RUPS) adalah otonom, masing-masing organ mempunyai wewenang dan tugas sendiri-sendiri sebagaimana diatur dalam undang-undang dan anggaran dasar. Hal ini berarti bahwa kedudukan ketiga organ PT itu sederajat, yang satu tidak lebih tinggi dari pada lainnya, juga organ PT yang satu tidak boleh campur tangan terhadap tugas dan wewenang organ PT lainnya. Tentang bagaimana wewenang direksi PT dapat dibatasi dalam anggaran dasar, Undangundang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) tidak mengaturnya. Dalam hubungan ini, Rudhi Prasetya (1996:215) berpendapat bahwa dengan tidak mengurangi apa yang telah berjalan selama ini, di dalam anggaran dasar selalu dapat ditentukan perbuatanperbuatan yang dikecualikan yang terlebih dahulu harus disetujui oleh komisaris dengan memperhatikan ketentuan Pasal 88 ayat (1) UUPT. Menurut ajaran hukum (doktrin), tindakan pengurusan atau manajemen suatu PT selalu dilakukan oleh suatu organ yang dinamakan “direksi” atau “direktur”. Direktur, menurut Morse (1987:373), mempunyai wewenang untuk mengurus perusahaan dan menjalankan semua kekuasaan perusahaan (the business of the company shall be managed by the directors who may exercise all the powers of the company). Tindakan pengurusan dalam arti luas dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) menjalankan pekerjaan pengurusan (daden van
beheer); dan (2) menjalankan pekerjaan “kepemilikan” atau “pengusaan” (daden van eigendom atau daden van berschikking). Perbuatan pengurusan dalam arti sempit (daden van beheer) adalah tindakan yang dilakukan sehari-hari dalam hubungannya dengan tujuan perseroan yang bersangkutan. Sedangkan, perbuatan kepemilikan atau penguasaan adalah tindakan yang secara tidak langsung menyangkut bidang usaha yang menjadi tujuan dari perseroan (Rudhi Prasetya, 1996:210-211). Peran direksi terhadap perseroan sangat besar, karena yang membuat perseroan tetap eksis, berkembang dan menjadi besar bukan RUPS atau komisaris, melainkan direksi. Betatapun lengkap dan bagusnya keputusan RUPS, hal itu tidak ada artinya apabila direksi tidak mampu menerapkannya dengan baik untuk kepentingan perseroan. Oleh karena begitu besarnya peran direksi, agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan, maka perlu diatur secara tegas mengenai hak-hak dan kewajiban direksi (Anisitus Amanat, 1996:128). UUPT secara garis besar membagi dua macam kewajiban direksi, yaitu: (1) kewajiban direksi yang berkaitan dengan perseroan; dan (2) kewajiban direksi yang berkaitan dengan RUPS. Di samping itu, direksi juga mempunyai hak (kewenangan), yaitu: (1) untuk dan atas nama perseroan mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan; (2) memberikan kuasa tertulis kepada seorang atau lebih karyawan perseroan atau orang lain untuk dan atas nama perseroan melakukan tindakan hukum tertentu seperti tertuang dalam surat kuasa tersebut; (3) mengajukan usul kepada Pengadilan Negeri agar perseroan dinyatakan pailit setelah terlebih dahulu disetujui oleh RUPS; (4) hak untuk membela diri dalam forum RUPS jika direksi telah diberhentikan untuk sementara waktu oleh RUPS atau komisaris; dan (5) hak untuk mendapatkan gaji, tantieme dan tunjangan-tunjangan lain sesuai dengan akta pendirian atau anggaran dasar. Mengenai kewenangan direksi untuk mewakili perseroan, UUPT menganut sistem perwakilan kolegial. Artinya, masing-masing anggota direksi mempunyai kewenangan untuk mewakili perseroan. Meskipun, secara intern ada pembagian tugas di antara para anggota direksi, pembagian tugas ini tidak berlaku (mengikat) secara ekstern kepada pihak ketiga (Arifin Kadarisman, 1989:5-6). Dengan demikian, PT tidak dapat menolak tanggung jawab manakala ada anggota direksi yang bertindak melampaui batas pembagian tugas yang ditentukan di antara mereka. Hal ini, menurut Rudhi Prasetya (1996:26), menunjukkan bahwa kedudukan di antara anggota direksi itu sederajat. Kedudukan Direktur Utama (Presiden Direktur) menurut sistemnya tidak lebih tinggi dari pada anggota direksi yang lain. Kendatipun UUPT menganut sistem perwakilan kolegial, namun untuk kepentingan praktis masing-masing anggota direksi berwenang mewakili perseroan (Penjelasan Pasal 83 UUPT). Bentuk perwakilan pada badan hukum itu merupakan perwakilan khusus yang ditetapkan dalam angaran dasar atau peraturan-peraturan lain dari badan hukum itu. Oleh karena kedudukan direksi sebagai wakil dari PT, maka segala tindakan direksi dalam batasbatas kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang dan atau anggaran dasar dipandang sebagai tindakan PT. Bentuk perwakilan yang demikian itu, menurut Paul Scholten, termasuk
dalam golongan aanstelling atau pengangkatan (Ali Ridlo, 1986:19). Persoalannya adalah bagaimana jika direksi melanggar batas-batas kewenangnnya, yang dalam kepustakaan umumnya hal itu dinakaman tindakan ultra vires? Dalam hubungannya dengan perseroan, ultra vires menurut Blak (1990:1522), adalah suatu tindakan yang dilakukan tanpa kewenangan atau di luar ruang lingkup kekuasaan yang ditentukan oleh statuta (anggaran dasar) atau peraturan perundang-undangan di bidang perseroan (an act performed without any authority to act on subject. Acts beyond the scope of the powers of a corporation, as defined by its charter or laws of state of incorporation). Tindakan ultra vires, menurut Foulkes (1976:137-151), tidak hanya mengenai tindakan yang dilakukan oleh orang atau badan yang tidak ditunjuk untuk itu (an act ultra vires is where the person or body doing it has not been properly appointed or constituted), melainkan termasuk pula tindakan yang dilakukan oleh orang yang berwenang apabila ia telah melampaui wewenang yang diberikan kepadanya (an act will be ultra vires even if done by the proper person properly appointed ih he exceeds the power given him). Doktrin ultra vires, menurut Curzon (1993:392), secara efektif membebaskan hubungan (tanggung jawab) perusahaan dengan pihak ketiga (the ultra vires doctrin was effectively abolished in relation to the company and third person). Dalam arti, akibat dari tindakan direksi yang melampaui batas-batas kewenangannya (ultra vires) itu tidak mengikat perseroan yang diwakilinya, melainkan hanya mengikat dan menjadi tanggung jawab direksi secara pribadi dengan pihak ketiga. Direksi, menurut Morse (1987:338), merupakan human instrument perseroan. Oleh karena itu, selama direksi bertindak keluar atau terhadap pihak ketiga atas nama PT, tidak melampaui batas-batas kekuasaannya, dan tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan PT, maka direksi terikat secara pribadi atas tindakan yang dilakukannya itu. Dalam hal demikian, direksi secara pribadi bertanggung jawab renteng dan sepenuhnya terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga. Di samping itu, direksi mempunyai tanggung jawab ke dalam PT yang diurusnya itu. Tanggung jawab ini terkait dengan penunaian tugas direksi kepada perseroan. Dalam hal PT menderita kerugian yang disebabkan oleh kecerobohan atau kurang cermatnya direksi dalam melakukan tugasnya, seperti kelalaian melakukan kewajiban-kewajiban, kekhilafan yang tidak diampuni, menurut Rochmat Soemitro (1993:47-48), PT dapat menuntut ganti rugi kepada diri pribadi direksi yang menyebabkan kerugian itu. Jika hal itu dilakukan oleh lebih dari seorang direksi, maka tiap-tiap anggota direksi bertanggung jawab renteng terhadap perseroan, kecuali mereka dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Dalam hubungannya dengan kewenangan direksi, ada satu hal yang perlu ditekankan bahwa direksi dalam melakukan tugas dan wewenangnya tidak semata-mata untuk kepentingan para pemegang saham, tetapi mereka bertanggung jawab penuh untuk kepentingan perseroan dalam mencapai maksud dan tujuannya (Pasal 82 dan 85 ayat (1) UUPT). Dengan perkataan lain, direksi tidak harus selalu tunduk melaksanakan keputusan RUPS, mereka juga berhak untuk tidak melaksanakannya atau menyimpanginya, apabila menurut pertimbangannya keputusan tersebut bertentangan dengan kepentingan perseroan dan
atau merugikan perseroan. Oleh karena itulah, untuk menghindari campur tangan wewenang di antara organ PT, perlu diatur mengenai batas-batas kewenangan masing-masing organ dalam undang-undang dan atau anggaran dasar PT, termasuk mengenai kewenangan direksi. 3. Wewenang Direksi dalam Mengurus Perseroan Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa wewenang direksi itu bersumber pada ketentuan undang-undang (dalam hal ini UUPT) dan anggaran dasar PT yang bersangkutan. Secara garis besar, wewenang direksi perseroan sebagaimana diatur dalam UUPT maupun anggaran dasar PT meliputi tugas-tugas mengurus dan mewakili perseroan, mengalihkan, melepaskan atau menjadikan asset perseroan sebagai jaminan utang, menyelenggarakan RUPS, memberikan kuasa tertulis, serta dalam keadaan-keadaan tertentu mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, mengajukan usul pembubaran perseroan kepada RUPS, dan bertindak selaku likuidator. Tulisan ini hanya memfokuskan kajiannya pada kewenangan direksi untuk mengurus perseroan dalam arti luas (termasuk mewakili perseroan) yang merupakan tugas utama direksi PT. Pasal 1 angka 4 UUPT menyatakan bahwa direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas “pengurusan perseroan” untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan anggaran dasar. Pasal 79 ayat (1) UUPT juga menegaskan bahwa pengurusan perseroan dilakukan oleh direksi. Kewenangan direksi untuk mengurus dan memimpin perseroan itu kemudian dirumuskan dalam Pasal 10 ayat (1) form baku Anggaran Dasar Perseroan. Persoalannya adalah apa yang dimaksud dengan “pengurusan perseroan” itu? Menurut Penjelasan resmi Pasal 79 ayat (1) UUPT, tugas direksi dalam mengurus perseroan “antara lain” meliputi “pengurusan sehari-hari” dari perseroan. Selanjutnya apa yang dimaksud pengurusan sehari-hari tidak ada penjelasan resminya. Dalam kepustakaan, apa yang dimaksud dengan “pengurusan sehari-hari” lazim diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang secara langsung berhubungan dengan bidang usaha yang menjadi tujuan perseroan yang bersangkutan (daden van beheer). Perkataan “antara lain” dalam penjelasan pasal tersebut berarti kewenangan direksi itu tidak terbatas pada pengurusan sehari-hari (day to day operation) suatu perseroan, akan tetapi masih dimungkinkan adanya tugas lain yang dalam kepustakaan lazim disebut dengan perbuatan-perbuatan kepemilikan atau penguasaan (daden van eigendom atau daden van beschikking). UUPT tidak mengatur secara detail mengenai jenis-jenis dan bobot kepengurusan sehari-hari perseroan. Hal ini tentunya dimaksudkan untuk memberikan fleksibilitas bagi masing-masing pendiri PT atau RUPS untuk mengaturnya sendiri dalam akta pendirian atau anggaran dasar. Biasanya ruang lingkungan kewenangan direksi dalam mengurus perseroan tidak dirumuskan secara kaku (rigit), agar menurut Savage dan Bradgate (1993:516): “. . . the directors may exercise such power and authority relatively freely, provided that they remain within the legal and constitutional framework laid down by legislation and the company’s public documents”.
Haruslah disadari bahwa meskipun semua ketentuan yang mengatur mengenai pembagian tugas dan wewenang setiap anggota direksi itu ditetapkan oleh RUPS (Pasal 81 UUPT), dan wewenang tersebut oleh RUPS dapat dilimpahkan kepada komisaris (Pasal 11 ayat (8) form Baku Anggaran Dasar), akan tetapi mengurus perseroan adalah semata-mata merupakan wewenang direksi yang tidak boleh ada organ lain yang ikut campur tangan langsung di dalamnya. Hal ini secara tegas dapat disimpulkan dari Pasal 82 UUPT yang menggariskan bahwa direksilah yang bertangung jawab penuh atas pengurusan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam melakukan tugas pengurusan perseroan tersebut, menurut Henn (1970:450), direksi harus memperhatikan dan merujuk pada prinsip-prinsip: (1) melakukan tindakan sesuai dan dalam batas-batas kewenangannya (to act intra vires and within their respective authority); (1) kemampuan dan kehati-hatian dalam melakukan tindakan (duty of skill and care); (3) itikad baik direksi dalam melakanakan tindakan-tindakannya demi tujuan dan kepentingan perseroan (duty of loyalty); dan (4) tidak mengambil keuntungan pribadi atas suatu opportunity yang merupakan milik perseroan (corporate opportunity doctrine). Di samping itu, menurut Savade dan Bradgate (1993:522), dalam mengurus perseroan, direksi juga harus selalu berpedoman pada tujuan dan kepentingan terbaik perseroan (the best interest of the company), dalam arti direksi bertindak bukan semata-mata untuk kepentingan para pemegang saham, tetapi termasuk juga untuk kepentingan para kreditur (not exclusively those of the shareholders, but may include those of the creditors). Sebagai pengurus dari perseroan yang menghadapi kegiatan-kegiatan usaha dalam lalu lintas bisnis, direksi juga memiliki kewenangan untuk mewakili perseroan dalam mengambil dan menjalankan keputusan bisnis (business judgment) dengan pihak ketiga. Pasal 83 ayat (1) UUPT menegaskan bahwa dalam hal anggota direksi terdiri lebih dari satu orang, maka yang berwenang mewakili perseroan adalah setiap anggota direksi, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang dan atau anggaran dasar. Selanjutnya, dalam Pasal 84 ayat (1) UUPT ditegaskan bahwa anggota direksi tidak berwenang mewakili perseroan, apabila: a. terjadi perkara di pengadilan antara perseroan dengan anggota direksi yang bersangkutan; b. anggota direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan perseroan. Persoalannya adalah bagaimana kalau terjadi suatu perkara atau pertentangan kepentingan (conflict of interest) yang melibatkan anggota direksi dengan perseroan sebagaimana diatur dalam Pasal 84 ayat (1) UUPT? Dalam hal demikian, dalam anggaran dasar dapat ditetapkan siapa yang mewakili perseroan (Pasal 84 ayat (2) UUPT. Akan tetapi, jika dalam anggaran dasar tidak ditetapkan siapa yang mewakilinya, maka RUPS mengangkat satu orang pemegang saham atau lebih untuk mewakili perseroan (Pasal 84 ayat (3) UUPT. Pengangkatan pemegang saham sebagai wakil perseroan ini merupakan salah satu wujud pemberian perlindungan bagi kepentingan pemegang saham. Selanjutnya, dalam penjelasan resmi pasal tersebut dikatakan bahwa undang-undang ini (UUPT) memilih sistem perwakilan kolegial, tetapi untuk kepentingan praktis masing-masing
anggota direksi berwenang mewakili perseroan. Hal ini berbeda dengan sistem perwakilan yang dianut dalam hukum Inggris. Dalam sistem hukum Inggris, menurut Savage dan Bridgate (1993:519), kewenangan untuk bertindak mewakili perusahaan ada di tangan dewan direktur (board of directors), sedang secara individual direksi tidak mempunyai kewenangan sebagai “wakil” dari perusahaan (individual directors have no authority to act an agents of the company), kecuali jika anggaran dasar perusahaan mengizinkan dewan direktur untuk mendelegasikan wewenang tersebut ke direktur secara individual (the article of a company to allow the boards to delegate powers to individual directors). Konsekuensi dari sistem ini adalah secara individual masing-masing anggota direksi tidak berwenang untuk membuat kontrak-kontrak bisnis untuk dan atas nama perseroan dengan pihak ketiga, atau sebaliknya. Penerapan sistem perwakilan kolegial yang dianut dalam UUPT sebenarnya dimaksudkan untuk mempermudah bagi perseroan maupun pihak ketiga dalam melakukan hubungan atau transaksi bisnis. Dalam arti, pihak perseroan tidak harus diwakili oleh dewan direksi (board of directors atau raad van beheer), melainkan cukup oleh salah seorang anggota direksinya. Sebaliknya, pihak ketiga tidak terikat oleh pembagian tugas yang ada di dalam dewan direksi. Meskipun ada pembagian tugas di antara mereka, secara hukum pembagian tugas itu hanya berlaku secara intern bagi perseroan dan tidak mengikat bagi pihak ketiga. Hal ini sesuai dengan rumusan Pasal 11 ayat (6) huruf b form Baku Angaran Dasar yang menyatakan bahwa dalam hal direktur utama tidak hadir atau berhalangan karena alasan apapun, hal mana tidak perlu dibuktikan kepada pihak ketiga, maka salah satu anggota direksi lainnya berhak dan berwenang bertindak untuk dan atas nama direksi serta mewakili perseroan. Rumusan pasal tersebut sekaligus menunjukkan bahwa kedudukan di antara anggota dewan direksi itu bagi pihak ketiga (secara ekstern) adalah sederajat. Bagi pihak ketiga tidak ada bedanya apakah tindakan perseroan itu diwakili oleh direktur utama atau seorang anggota direksi perseroan, karena secara hukum mereka dipandang mempunyai kedudukan yang sama dan masing-masing mempunyai kewenangan yang sama untuk mewakili perseroan. Di samping itu, penerapan system ini menurut Munir Fuady (1996:77) juga membawa konsekuensi bahwa semua anggota dewan direksi bertanggung jawab secara bersama-sama (renteng), meskipun secara riil tindakan tersebut hanya dilakukan oleh seorang anggota direksi. Sistem perwakilan kolegial ini sifatnya mutlak, dalam arti tidak terbuka kemungkinan pengecualiannya. Jadi, walaupun dalam rapat direksi seorang anggota direktur telah memberikan suara abstain atau bahkan menentang, oleh UUPT tidak dibuka kemungkinan bagi direktur yang bersangkutan untuk lepas dari tanggung jawab secara kolektif. 4. Pembatasan Wewenang Direksi Pada dasarnya ruang lingkup wewenang direksi yang berhubungan dengan tugas-tugas pengurusan perseroan itu sangat luas. Oleh karena itu, untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan sebagai akibat dari adanya akumulasi dan sentralisasi wewenang direksi, maka perlu adanya pembatasan wewenang direksi. Pembatasan wewenang direksi tersebut hanya
dapat dibenarkan sepanjang hal itu tidak meniadakan kemandirian direksi dalam melaksanakan tugas pengurusan. Sebab, pada prinsipnya tugas pengurusan perseroan itu merupakan wewenang otonom direksi, yang terpisah dari segala intervensi komisaris dan pemegang saham. Kemandirian direksi dalam mengurus dan mewakili perseroan, menurut Simanjuntak (1995:32-33), dibatasi oleh undang-undang, anggaran dasar, kepentingan dan tujuan perseroan, asas kewajiban dan kepantasan yang dapat diukur menurut kepentingan umum dan ukuran kesusilaan. Namun, menurut hemat saya, secara umum wewenang direksi dalam menjalankan tugas pengurusan perseroan itu dibatas oleh: (1) peraturan perundang-undangan, khususnya UUPT; (2) pembatasan-pembatasan yang tercantum dalam anggaran dasar; dan (3) maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. Secara singkat pembatasan wewenang direksi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, meskipun pada dasarnya direksi suatu PT mempunyai kebebasan untuk melakukan suatu tindakan-tindakan pengurusan perseroan dalam arti luas, namun terhadap perbuatan-perbuatan tertentu undang-undang membatasi atau memberikan perkecualiannya. Pembatasan ini misalnya menyangkut perbuatan kepemilikan (daden van eigendom) atau perbuatan penguasaan (daden van beschikking). Terhadap perbuatan-perbuatan yang demikian itu, direksi tidak bebas memutuskan sendiri, melainkan terlebih dahulu diwajibkan memperoleh persetujuan dari RUPS atau komisaris. Hal ini sesuai dengan Pasal 88 ayat (1) UUPT, yang menentukan bahwa direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian besar kekayaan perseroan. Kewajiban minta persetujuan RUPS untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan tersebut dalam Pasal 88 ayat (1) UUPT, menurut Rudhi Prasetya (1996:215-216), merupakan norma baru yang biasanya dalam anggaran dasar cukup dilakukan dengan persetujuan komisaris. Di samping itu, ketentuan tersebut sifatnya memaksa (dwingenrecht), dalam arti kekuasaan RUPS yang demikian itu tidak boleh dihilangkan dalam anggaran dasar dan diganti menjadi kekuasaan komisaris. Meskipun demikian, agar perseroan tidak mengalami kesukaran untuk setiap kali akan menjaminkan harta kekayaan perseroan harus terlebih dahulu mengundang RUPS, maka RUPS dapat memberikan keputusan secara umum tentang pemberian kuasa (lastgeving) kepada komisaris untuk mewakili RUPS, untuk dan atas nama RUPS memberikan persetujuan yang diperlukan mengenai hal itu. Kedua, mengenai pembatasan-pembatasan dalam anggaran dasar, Pasal 11 ayat (3) form baku Anggaran Dasar menentukan bahwa direksi berhak mewakili perseroan di dalam dan di luar pengadilan tentang segala hal dan dalam segala kejadian, mengikat perseroan dengan pihak lain dan pihak lain dengan perseroan, serta menjalankan segala tindakan baik yang mengenai kepengurusan maupun kepemilikan, akan tetapi dengan pembatasan bahwa untuk: a. meminjam atau meminjamkan uang atas nama perseroan (tidak termasuk mengambil uang perseroan di bank); b. mendirikan suatu usaha baru atau turut serta pada perusahaan lain baik di dalam maupun di luar negeri; harus dengan persetujuan RUPS atau komisaris atau rapat
direksi. Maksud dari pembatasan wewenang ini adalah untuk melindungi kepentingan perseroan, termasuk kepentingan para pemegang saham dan para kreditur. Ketiga, pembatasan wewenang direksi atas dasar maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar. Keterikatan direksi terhadap maksud dan tujuan serta kegiatan usaha PT itu sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) form baku Anggaran Dasar yang menyatakan bahwa direksi bertanggung jawab penuh dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan perseroan dalam mencapai maksud dan tujuannya. Persoalannya adalah apa yang dimaksud dengan “maksud dan tujuan perseroan” serta “kegiatan usaha perseroan” itu? Dalam petunjuk pengisian Pasal 3 Anggaran Dasar dijelaskan bahwa “maksud dan tujuan perseroan” adalah menggambarkan secara umum bidang usaha perseroan, misalnya bidang industry, pembangunan, dan angkutan. Sedang, “kegiatan usaha perseroan” menggambarkan kegiatan yang dilakukan perseroan dalam rangka mewujudkan maksud dan tujuan perseroan tersebut, misalnya mendirikan pabrik tekstil, menjadi kontraktor bangunan, jalan dan jembatan; menjalankan angkutan darat dengan menggunakan bus dan truk, dan lain-lain. Keterikatan direksi terhadap maksud dan tujuan perseroan tersebut di atas juga sejalan dengan Pasal 82 UUPT, yang menggariskan bahwa direksi suatu PT tidak hanya bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, melainkan tindakan itu juga harus dilakukan sesuai dengan tujuan perseroan. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 85 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. 5. Kesimpulan Pada dasarnya tugas pengurusan perseroan dilakukan oleh dan menjadi tanggung jawab penuh direksi. Dalam melakukan tugas-tugas pengurusan itu, direksi harus bertindak untuk kepentingan dan tujuan perseroan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar (Pasal 1 angka 4 jo. Pasal 79 ayat (1) dan Pasal 82 UUPT). Dengan demikian, supaya pengurusan itu secara hukum dapat dipandang sebagai tindakan perseroan, maka ada dua syarat yang harus dipenuhi oleh direksi, yaitu: (1) Tindakan tersebut harus dilakukan semata-mata untuk kepentingan dan tujuan perseroan; dan (2) Tindakan tersebut harus dilakukan sesuai dengan anggaran dasar perseroan. Akibat hukum dari tindakan perseroan adalah bahwa segala keuntungan yang diperoleh atau kerugian yang diderita oleh perseroan sebagai akibat dari tindakan direksi itu, secara hukum dipandang sebagai keuntungan atau kerugian yang harus ditanggung oleh perseroan itu sendiri, dan bukan menjadi tanggung jawab direksi secara pribadi. Sebaliknya, apabila tindakan direksi tersebut ternyata tidak semata-mata ditujukan untuk kepentingan dan tujuan perseroan sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya, maka tindakan tersebut dipandang sebagai tindakan pribadi direksi, dan oleh karenanya segala konsekuensi yang timbul dari tindakan tersebut menjadi tanggung jawab direksi yang bersangkutan secara pribadi.
Mengingat begitu luasnya ruang lingkup wewenang direksi berhubungan dengan tugastugas pengurusan perseroan, untuk menghindari terjadinya penyahgunaan kewenangan atau kekuasaan direksi terhadap perseroan yang diurusnya maka perlu adanya pembatasan wewenang direksi. Namun, perlu diingat, pembatasan wewenang direksi hanya dapat dibenarkan secara hukum sepanjang hal itu tidak menghilangkan kewenangan direksi dalam melaksanakan tugas pengurusan perseroan secara otonom berdasarkan ketentuan undangundang (UUPT) dan anggaran dasar perseroan itu sendiri. Karena, pada hakikatnya pembatasan kewenangan direksi dalam menjalankan tugas pengurusan perseroan haruslah bersumber atau berdasarkan pada kedua ketentuan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Algra, N.E., et al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, cet. I, Binacipta, Bandung, 1993. Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, cet. IV, Alumni, Bandung, 1986. Anisitus Amanat, Pembahasan Undang-undang Perseroan Terbatas dan Penerapannya dalam Akta Notaris, cet. I, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996. Arifin Kadarisman, Direksi sebagai Pekerja pada Perseroan Terbatas, Makalah dalam Konferensi tentang “Direktur Perusahaan di Indonesia”, Centre for Management Technology, Jakarta, 20-21 Juni 1989. Bagir Manan, “Interaksi Fungsi Organ Perseroan Terbatas dan Perlindungan yang Diberikan kepada Pemegang Saham dan Kreditur Menurut UU No. 1/1995”, Makalah Seminar, UGM, Yogyakarta, 30 September 1995. Black, Henry Cambell, Black’s Law Dictionary, ed. VI, West Publishing Co., St. PaulMinnesota, 1990. Curzon, L.B., Dictionary of Law, 4th ed., Pitman Publishing, London, 1993. Foulkes, David, Introduction of Administrative Law, 4th ed., Butterworths, London, 1976 Fungkong, Victor, Hukum Perusahaan dan Bentuk-bantuk Perusahaan, Makalah dalam Konferensi tentang “Direktur Perusahaan di Indonesia”, Centre for Management Technology, Jakarta, 20-21 Juni 1989. Hadjon, Philipus M., “Tentang Wewenang”, Yuridika, Majalah FH Unair No. 5 & 6 Th. XII, Surabaya, September-Desember 1997. Henn, Harry G., The Law of Corporations, West Publishing Co., St. Paul – Minnesota, 1970 Morse, Geoffrey, Charlesworth’s Company Law, ed. XIII, ELBS ed., London, 1987. Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek: Buku Ketiga, cet. I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, cet. I, Eresco, Bandung, 1993. Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, cet. II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
Savage, Nigel dan Robert Bradgate, Business Law, 2nd ed., Butterworths, London, 1993 Simanjuntak, Emmy Pangaribuan, “Interaksi Fungsi Organ Perseroan Terbatas dan Perlindungan yang Diberikan kepada Pemegang Saham dan Kreditur Menurut UU No. 1/1995”, Makalah Seminar, UGM, Yogyakarta, 30 September 1995. Sumantoro, Hukum Ekonomi, cet. I, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986.