Basah Jurnal Akukultur. Volume 1. Nomor 1. 2017
PENGANGKUTAN BENIH IKAN NILA (Tilapia nilotica) SISTEM TERTUTUP DENGAN KEPADATAN YANG BERBEDA 1)
Sugi Yannoor1), Agussyarif Hanafie2), Akhmad Murjani3)
[email protected])
[email protected])
[email protected] 1,2,3) Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan pengangkutan benih ikan nila dengan tingkat kepadatan yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, selama 2 jam masa pengangkutan dan 24 jam masa pemeliharaan dengan jumlah benih yang diangkut sebanyak 1.125 ekor hanya 3 ekor benih ikan yang mati. Pada perlakuan B tidak ada benih ikan yang mati, sedangkan pada pelakuan A terdapat benih ikan yang mati sebanyak 1 ekor, dan pada perlakuan C sebanyak 2 ekor. Rendahnya jumlah benih ikan yang mati selama masa pengangkutan dan pemeliharaan, karena luas ruang angkut dan jumlah oksigen yang diberikan masih mencukupi untuk hidup benih ikan nila. Hal ini ditunjukkan dari hasil pengukuran dan analisa kualitas air yang masih memenuhi syarat hidup ikan yang diangkut, yakni suhu berkisar antara 29-30oC, pH antara 6,396,62, DO antara 5,4-6,1 mg/L, dan amoniak antara 0,01-2,1 mg/L.Hasil uji statistik menunjukkan tidak berbeda nyata terhadap ketiga perlakuan yang diberikan, sehingga dari hipotesis yang dibuat terima Ho dan tolak H1. Rekomendasi untuk keperluan pengangkutan benih ikan nila ukuran antara 1-5 cm, sebaiknya dilakukan dengan padat angkut 150 ekor/2 liter air dengan perbandingan oksigen 1:1 selama 2 jam.
Kata kunci: nila, pengangkutan, kepadatan, dan kualitas air. ABSTRACT The purpose of this research was to find out the success rate of tilapia fry transport with different density levels. The result of the research showed that upon the two hours in time transport and 24 hours in nurture period with 1.125 fry that were transported, only 3 fry were died. There was no dead fry on the B treatment, whereas one died on the A treatment, and two died on the C treatment. The low number of dead fry in time transport and nurture period because the space transport and the number of oxygen that were given still sufficed for tilapia fry’s life. These were indicated from the measurement result and water quality analysis which still qualified as the life requirement for fish transport, that was the temperature ranged between 29-30oC, pH between 6,39-6,62, DO between 5,4-6,1 mg/L, and ammonia between 0,01-2,1 mg/L. Statistical test results showed there was no real difference to the treatments. Accordingly, the null hypothesis was accepted and the alternative hypothesis was rejected. The result of the research suggested that the size requirement for tilapia fry transport is 1-5 cm, and it should be conducted with the density for fry is 150/2 liter for the water with comparison of the oxygen 1:1 for 2 hours.
1.
PENDAHULUAN Kegiatan budidaya ikan nila (Tilapia nilotica) semakin diminati oleh pembudidaya ikan air tawar sehingga memberikan kontribusi produksi komoditas utama perikanan budidaya air
49
tawar terbanyak. PPL-LIPI (2013) menyebutkan bahwa kontribusi produksi nila di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 37% atau mencapai 684.400 ton. Jumlah kontribusi produksi ikan nila lebih banyak dibandingkan komoditas
Basah Jurnal Akukultur. Volume 1. Nomor 1. 2017
utama lainnya seperti lele (Clarias sp.) sebesar 22% (407.700 ton), ikan mas (Cyprinus carpio) 20% (375.200 ton), patin (Pangasius sp.) sebesar 16% (300.300 ton), dan gurame (Osphronemus gouramy) 3,78% (69.500 ton). Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab semakin meningkatnya permintaan benih nila sehingga penyediaan benih ikan harus dilakukan secara terus menerus. Salah satu tahapan dalam penyediaan benih adalah kegiatan transportasi benih, terutama jika lokasi budidaya berjauhan dengan panti benih. Kegiatan transportasi benih umumnya dilakukan dengan kepadatan yang tinggi untuk menghemat biaya. Namun dalam aplikasinya, kepadatan ikan yang tinggi mengakibatkan benih ikan menjadi stres dan lebih rentan mengalami kematian. Hal tersebut dikarenakan kepadatan yang tinggi menyebabkan aktivitas metabolisme ikan meningkat dan konsumsi oksigen menjadi tinggi sehingga oksigen terlarut menurun. Penanganan transportasi benih ikan menjadi sangat penting terhadap keberhasilan pembesaran. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan transportasi berkaitan dengan kualitas air terutama terhadap parameter oksigen terlarut (DO), suhu, amoniak, dan pH. Selain itu faktor luar seperti guncangan dan lama transportasi. Dengan demikian perlu dipelajari mengenai metode penanganan selama pengangkutan benih ikan nila. Salah satu faktor penentu keberhasilan pengangkutan benih ikan nila (Tilapia nilotica) adalah padat angkut, karena terkait dengan ruang dan konsumsi oksigen terlarut selama pengangkutan.Belum ada informasi mengenai tingkat kepadatan optimal untuk pengangkutan benih ikan nila ukuran tersebut untuk lama pengangkutan sekitar 2 jam. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan pengangkutan benih ikan nila (Tilapia nilotica) dengan tingkat kepadatan yang berbeda. Manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
50
tingkat kepadatan optimal dalam pengangkutan benih ikan nila yang akan ditebar dan dibesarkan dalam tempat pemeliharaan.
2.
METODE PENELITIAN Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Adapun perlakuan penelitian sebagai berikut: Perlakuan A = 100 ekor benih ikan nila per kantong. Perlakuan B = 125 ekor benih ikan nila per kantong. Perlakuan C = 150 ekor benih ikan nila per kantong. Hipotesis dalam penelitian ini adalah: H0:Padat pengangkutan benih ikan nila berpengaruh nyata terhadap mortalitas. H1:Padat pengangkutan benih ikan nila tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas. Selanjutnya dilakukan analisis sidik ragam untuk menguji hipotesis tersebut. Jika hasil pengujian menunjukkan berpengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan untuk mengetahui perlakuan yang mana yang memberikan pengaruh nyata terhadap mortalitas. Persiapan wadah pada penelitian ini berupa wadah pengangkutan berupa kantong plastik dan wadah pemeliharaan yang berupa akuarium sebagai media pemeliharaan benih ikan nila setelah pengangkutan. Persiapan wadah penelitian dilakukan berupa pembersihan akuarium, pengisian air setinggi 20 cm serta pemberian aerasi pada setiap akuarium yang bertujuan untuk meningkatkan kadar oksigen pada wadah pemeliharaan.Pemberokan dilakukan didalam baskom selama 24 jam bertujuan untuk mengurangi tingkat stres pada saat pengangkutan benih ikan nila tersebut. Packing benih ikan nila menggunakan kantong plastik dengan volume 2 liter air kemudian benih ikan nila dimasukkan kedalam kantong
Basah Jurnal Akukultur. Volume 1. Nomor 1. 2017
plastik dengan jumlah sesuai perlakuan, setelah itu pemberian oksigen kedalam kantong plastik sebanyak 2/3 bagian dari volume kantong plastik.Setelah itu diikatdengan menggunakan karet gelang.Pengangkutan dilakukan selama 2 jam menggunakan transportasi darat (mobil). Setelah benih ikan nila tiba di tempat, selanjutnya benih ditebar di wadah pemeliharaan. Sebelum benih ikan nila ditebar terlebih dahulu dilakukan aklimatisasi.Pengamatan dilakukan sebelum dan setelah proses pengangkutan, dan selama 24 jam masa pemeliharaan. Parameter yang diamati meliputi: mortalitas dan survival rate, kandungan oksigen terlarut, kandungan amoniak, pH, dan suhu. Dalam penelitian ini mortalitas dihitung sejak masa pengangkutan dan saat penebaran benih ikan nila sampai akhir pemeliharaan. Rumus mortalitas adalah sebagai berikut (Effendie 1997): Keterangan : No=Jumlah ikan pada awal pemeliharaan. Nt=Jumlah ikan pada akhir pemeliHaraan.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Mortalitas Data mutlak hasil pengamatan mortalitas benih ikan nila selama pengangkutan dan pemeliharaan untuk penyesuaian/aklimatisasi menunjukkan bahwa hanya ada 3 ekor benih ikan nila yang mati, yakni 2 ekor saat pengangkutan dan 1 ekor saat pemeliharaan 24 jam. Selengkapnya data jumlah benih ikan nila selama masa penelitian disajikan padaTabel 1. Tabel 1. Jumlah Benih Ikan Nila Sebelum dan Setelah Pengangkutan serta Setelah Pemeliharaan 3.1
P er. A A A B B B
1 2 3 1 2 3
Jumlah Sebelum Pengangkutan (ekor) 06.30 WITA 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 2 5 1 2 5 1 2 5
51
Jumlah Set elah Pengangkut an (ekor) 08.30 WITA 1 0 0 9 9 1 0 0 1 2 5 1 2 5 1 2 5
Jumlah Benih Ikan pada Saat Pengangkutan dan Setelah Pemeliharaan (ekor) 08.3 0-1 4.3 0 WIT A 14.3 0-2 0.3 0 WITA 20.3 0-0 2.3 0 WIT A 02.3 0-0 8.3 0 WIT A 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 9 9 9 9 9 9 9 9 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 2 5 1 2 5 1 2 5 1 2 5 1 2 5 1 2 5 1 2 5 1 2 5 1 2 5 1 2 5 1 2 5 1 2 5
C 1 C 2 C 3
1 1 1
5 5 5
0 0 0
1 1 1
5 5 4
0 0 9
1 5 0 1 5 0 1 4 9
1 5 0 1 5 0 1 4 9
1 4 9 1 5 0 1 4 9
1 4 9 1 5 0 1 4 9
Pada perlakuan B (padat angkut 125 ekor/2 liter air) tidak ditemukan benih ikan nila yang mati (mortalitas 0%), baik selama maupun sesudah pengangkutan dan selalah aklimatisasi. Sedangkan pada perlakuan A dengan padat angkut 100 ekor/2 liter air) terdapat 1 ekor benih ikan nila yang mati, yakni setelah pengangkutan pada perlakuan A2 (mortalitas 1%) dan pada perlakuan C3 (padat angkut 150 ekor/2 liter air) selama pengangkutan ditemukan benih ikan nila yang mati sebanyak 1 ekor dan selama aklimatisasi pada perlakuan C1 sebanyak 1 ekor, sehinggamortalitasnya adalah 1,6 %. Tingginya tingkat mortalitas yang dihasilkan pada perlakuan C dibandingkan dengan perlakuan lainnya diduga berhubungan dengan padat angkut yang lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan A dan B, sehingga konsumsi oksigen menjadi lebih banyak pula. Hal terbukti dari hasil analisa oksigen terlarut (DO) pada akhir masa penelitian yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Proses pengangkutan memberikan pengaruh terhadap mortalitas benih ikan nila pada perlakuan A2 dan C3. Hasil pengamatan pada masa pemeliharaan juga menunjukkan bahwa dalam waktu 18 jam pemeliharaan terjadi kematian sebanyak 1 ekor pada perlakuan C1. Menurut Gomez et al. (2003) yang membuktikan bahwa kepadatan benih ikan bawal (Collosoma macropomum) sebesar 78 kg/m3 atau setara dengan 156 gram dalam 2 liter tidak menyebabkan kematian pada benih karena tekanan lingkungan yang sangat rendah. Kepadatan yang tinggi menyebabkan kematian yang tinggi lebih utama disebabkan oleh konsumsi oksigen. Semakin tinggi padat angkut membuat konsumsi oksigen yang semakin besar sehingga ketersediaan oksigen dalam sistem tertutup semakin rendah (Gomes et al. 2003). Hal senada jugadinyatakan
Basah Jurnal Akukultur. Volume 1. Nomor 1. 2017
oleh Basham et al. (1982) bahwa penyebab utama kematian berhubungan dengan perlakuan setelah transportasi.
Perlakuan A B C
Sebelum pengangkutan 6 , 1 6 , 1 6 , 1
Setelah pengangkutan 6 , 1 6 , 1 6 , 1
Setelah pemeliharaan 5 , 9 5 , 8 5 , 4
Kandungan oksigen terlarut sebelum dan setelah pengangkutan menunjukkan hasil yang sama yaitu sebesar 6,1 mg/l. Hal ini membuktikan bahwa transportasi dengan sistem tertutup dengan kepadatan 100 – 150 ekor dalam dua liter tidak mempengaruhi kandungan oksigen selama kurun waktu 2 jam karena dalam jangka waktu tersebut proses difusi dan turbulensi oksigen masih dapat berlangsung dalam sistem tertutup. Kandungan oksigen dipengaruhi oleh suhu, turbulensi, aktivitas fotosintesis, dan respirasi (Effendi 2003). Sementara itu kandungan oksigen terlarut menurun setelah 24 jam masa pemeliharaan dengan kandungan tertinggi hingga terendah berturut-turut yaitu perlakuan A (5,9 mg/l), perlakuan B (5,8 mg/l), dan perlakuan C (5,4 mg/l). Effendie (2003) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut dalam air berfluktuasi secara harian dengan kandungan terendah terjadi pada pagi hari. Proses aerasi dalam penelitian ini menyebabkan kandungan oksigen masih berkisar >5 mg/l sehingga masih dapat ditoleransi oleh benih. Hal ini sejalan dengan pernyataan Effendi (2003) bahwa kandungan oksigen terlarut yang masih dapat diroleransi oleh biota perairan adalah >5 mg/l
52
2,5
Kandungan amoniak (mg/l)
3.2 Kualitas Air 3.2.1. Oksigen Terlarut Parameter oksigen terlarut (Dissolved oxygen) diamati pada saat sebelum proses pengangkutan, setelah proses pengangkutan, dan setelah 24 jam pemeliharaan (lihat Tabel 2). Tabel 2. Konsentrasi Oksigen Terlarut Hasil Pengamatan
3.2.2. Konsentrasi Amoniak (NH3) Parameter amoniak (NH3) diamati pada saat sebelum proses pengangkutan, setelah proses pengangkutan, dan setelah 24 jam pemeliharaan (Gambar 1). 1,9
2
2,1 1,24 0,96
1,5 1
0,5
0,18 0,18 0,18
0,01
0,01
0
Sebelum Setelah Setelah pengangkutan pengangkutan pemeliharaan
Gambar 1. Grafik kandungan amoniak pada perlakuan A ( ), B (
) dan C (
)
Kandungan amoniak secara keseluruhan mengalami fluktuatif pada setiap perlakuan. Kandungan amoniak perlakuan A mengalami penurunan pada saat setelah pengangkutan (<0,01 mg/l) dan mengalami peningkatan setelah 24 masa pemeliharaan (0,96 mg/l). Kandungan amoniak perlakuan B mengalami peningkatan saat setelah pengangkutan (1,9 mg/l) dan mengalami penurunan setelah 24 jam masa pemeliharaan (1,24 mg/l). Kandungan amoniak pada perlakuan C mengalami peningkatan saat setelah pengangkutan (2,1 mg/l) dan mengalami penurunan yang sangat signifikan setelah 24 jam masa pemeliharaan (<0,01 mg/l).Amoniak dalam sistem tertutup ini bersumber dari feses biota akuatik yang merupakan hasil dari proses metabolisme. Amoniak berasal dari pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dari feses. Amoniak yang terukur dalam penelitian ini merupakan amoniak bebas yang tidak dapat terionisasi. Pada pH kurang dari 7, amoniak akan terionisasi. Namun, jika pH lebih dari 7 maka akan semakin banyak amoniak yang tidak terionisasi. Amoniak yang tidak terionisasi ini bersifat toksik terhadap biota perairan (Effendi 2003). pH dan suhu air
Basah Jurnal Akukultur. Volume 1. Nomor 1. 2017
berpengaruh terhadap toksisitas amoniak (Boyd, 1982). 3.2.3.Kadar pH Parameter pH diamati pada saat sebelum proses pengangkutan, setelah proses pengangkutan, dan setelah 24 jam pemeliharaan (lihat Tabel 3). Tabel 3. Kadar pH Hasil Pengamatan Perlakuan A B C
Sebelum pengangkutan 6 , 6 2 6 , 6 2 6 , 6 2
Setelah pengangkutan 6 , 4 0 6 , 3 9 6 , 4 2
Setelah pemeliharaan 6 , 4 4 6 , 4 0 6 , 5 0
Kadar pH pada setiap perlakuan setelah pengangkutan mengalami penurunan. Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan kandungan karbondioksida dalam air. Kadar pH air dipengaruhi oleh kandungan karbondioksida. Jika karbondioksida masuk ke dalam air maka akan membentuk asam karbonat (H2CO3). Selanjutnya asam karbonat dalam air terurai menjadi ion H+ dan ion bikarbonat (HCO3-) sehingga pH dalam air menurun (Effendi 2003). Sementara itu, pH air mengalami sedikit peningkatanmeskipun tidak signifikan setelah 24 jam masa pemeliharaan.
3.2.4. Suhu Parameter suhu diamati pada saat sebelum proses pengangkutan, setelah proses pengangkutan, dan setelah 24 jam pemeliharaan (lihat Tabel 4). Tabel 4. Suhu Hasil Pengamatan Perlakuan A B C
Sebelum pengangkutan 2 9 2 9 2 9
Setelah pengangkutan 3 0 3 0 3 0
Setelah pemeliharaan 2 9 2 9 2 9
Hasil pengamatan suhu menunjukkan bahwa kenaikan suhu terjadi setelah proses pengangkutan dan kembali mengalami penurunan setelah 24 jam masa pemeliharaan.Kenaikan suhu dalam sistem transportasi tertutup sangat sering terjadi. Peningkatan suhu dapat meningkatkan laju metabolisme organisme perairan. Kenaikan suhu sebesar 1°C dapat meningkatkan konsumsi oksigen sebesar 10% (Effendi 2003).
53
4.
KESIMPULAN Selama masa pengangkutan dan pemeliharaan benih ikan nila, hanya 3 ekor yang mati. Pada perlakuan B tidak ada benih ikan yang mati (mortalitas 0%), sedangkan pada pelakuan A terdapat benih ikan yang mati sebanyak 1 ekor (1%), dan pada perlakuan C sebanyak 2 ekor (1,6%). Rendahnya jumlah benih ikan yang mati selama masa pengangkutan dan pemeliharaan, karena luas ruang angkut dan jumlah oksigen yang diberikan masih mencukupi untuk hidup benih ikan nila. Hal ini ditunjukkan dari hasil pengukuran dan analisa kualitas air yang masih memenuhi syarat hidup ikan yang diangkut, yakni suhu berkisar antara 29-30oC, pH antara 6,39-6,62, DO antara 5,4-6,1 mg/L, dan amoniak antara 0,01-2,1 mg/L. Hasil uji statistik menunjukkan tidak berbeda nyata terhadap ketiga perlakuan yang diberikan, sehingga dari hipotesis yang dibuat terima Ho dan tolak H1. Untuk keperluan transportasi benih ikan nila sebaiknya digunakan padat angkut sebanyak 150 ekor benih dengan ukuran 1-5 cm sistem tertutup.
5. REFERENSI Afrianto E, Liviawaty E. 1994.Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan.Yogyakarta (ID):Kanisius.89 p. Anonim. 1977. Prospek Pengembangan Sumber-sumber Perikanan dan Arah Pengaturannya. Jakarta (ID): Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perikanan. 8 p. Anonim. 1980. Pedoman Pembenihan Udang Peneid. Jepara (ID): Balai Budidaya Air Payau. 139 p. Anonim. 2008. Ikan Betok. [diunduh 2016 Nov 2]. Tersedia pada: http//wiki.verkata.com/id/wiki/beto k. Basham LR, Delarm MR, Athearn JB, Pettit SW. 1982. Fish Transportation Oversight Team
Basah Jurnal Akukultur. Volume 1. Nomor 1. 2017
Annual Report-FY 1981 Transport Operations on The Snake and Columbia Rivers. Maryland (US): NOAA. 58 p. Boyd CE. 1982. Water quality management for pond fish culture. Amsterdam (NL): Elsevier Science Publishers. Cholik, Fuad, Artati dan Arifudin Rahmat. 1986. Pengelolaan Kualitas Air Kolam Ikan. Jakarta (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air. Jakarta (ID): Kanisius. Effendie M I. 1997. Biologi Ikan. Jakarta (ID): Yayasan Pustaka Nusantara. 164 p. Gomes LC, Araujo-Lima CARM, Roubach R, Chippari-Gomes AR, Lopes NP, Urbinati EC. 2003. Effect of fish density during transportation on stress and mortality of benih tambaqui Colossoma macropomum. Journal of World Aquaculture Society. 34(1):76-84. Gomez, KA. and Gomez AA. 1983. Statistical Procedure For Agriculture Research.Manila (P): An International Rice Research Intsute Los Banos. 680 p. HanafiahKA. 1993. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi.
54
Palembang (ID): Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. 238 p. Hartono R. 1978. Teknologi Hasil Perikanan. Bogor (ID): Departemen Pertanian Badan Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Petanian SUPM Negeri Budaya. 137 p. IriadentaE. 2002. Ekologi Rawa. Banjarbaru (ID): Universitas Lambung Mangkurat. 70 p. [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2013. Statistik Menakar Target Ikan Air Tawar Tahun 2013. Jakarta (ID): LIPI. Saanin H. 1986. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bogor (ID): Bina Cipta. 520 p. Soesono. 1981. Dasar-dasar Perikanan Umum. Jakarta (ID): Yasaguna. 155 p. Trewavas E. 1983. Tilapiine fishes of the genera Sarotherodon, Oreochromis and Danakilia. London (UK). 583 p. Wardoyo STH. 1975. Pengelolaan Kualitas Air. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Zonneveid NH, Husman EA, Boon JH. 1991. Prinsip Budidaya Ikan. Jakarta (ID): GramediaPustaka Utama. 38 p.