WAB INDIVIDU TAN DAN TANGGUNG JA KONSEP PERBUA JAW PERBUAT DALAM AL-QUR’AN Bambang Irawan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Email:
[email protected]
Abstrak: eksistensi dan tujuan penciptaan manusia, disertai tanggung jawab individu dalam berbagai aspek kehidupan. Adanya tujuan dan tanggungjawab ini, manusia difungsikan, dan eksistensinya menjadi berarti. Konsep ini sesungguhnya sudah terkandung dalam alQur’an dalam berbagai ayat dan konteksnya, namun belum banyak diungkap secara spesifik. Studi ini ini membahas perbuatan manusia sebagaimana yang ada di dalam al Qur’an. Pendekatan yang digunakan adalah penelitian kepustakaan, dimana al-Qur’an sebagai dokumen utama. Dalam implementasinya penulis menfokuskan pada ayat-ayat yang secara eksplisit menunjukkan konsepsi amal perbuatan manusia dan pertanggung-jawaban, lebih bercorak pada penafsiran tematis ilmiah. Tanggung jawab dalam al-Qur’an dikelompokkan dalam dua hal: pertama, tanggung jawab individu terhadap dirinya pribadi, dan kedua, tanggung jawab manusia kepada orang lain dan lingkungan (sosial) di mana ia hidup. Adanya tanggung jawab tersebut sebagai konskwensi adanya “kemerdekaan” manusia untuk aktualisasi potensi yang dimilikinya untuk melakukan kebaikan dan keburukan. Abstract Abstract: The existence and purpose of human creation comprises individual responsibility in all aspects of life. The purpose and responsibility indicated the human functions that make its existence become meaningful. This concept is already contained in the Qur’an in many verses and context, but has not been specifically revealed. This study discusses human activity as it explained in the Qur’an. The method used is the library research, where the al-Quran as the main document. In the implementation, the author focused on verses that explicitly show the conception of human deeds and accountability, more patterned on scientific thematic interpretation. Responsibility in the Qur’an is grouped in two categories: First, individual responsibility against him personally, and second, human responsibility to others and the environment (social) in which he lived. The existence of such responsibilities is as a consequence of the “freedom” of man in actualizing its potential to do good and evil. Kata Kunci: perbuatan manusia, potensi manusia, al-Qur’an, tanggung jawab individu
PENDAHULUAN Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang mengagumkan dan penuh misteri. Manusia tersusun dari perpaduan dua unsur; segenggam tanah bumi, dan ruh Allah, maka siapa yang hanya mengenal aspek tanahnya dan melalaikan aspek tiupan ruh Allah, maka dia tidak akan mengenal lebih jauh hakikat manusia.1 al-Qur’an sendiri juga menyatakan bahwa manusia memang merupakan makhluk paling sempurna yang diciptakan oleh Allah.2 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta : Paramadina, 2000), 430. Qs. Al-Ti>n (95): 4; Ungkapan yang digunakan oleh al-Qur’an untuk menunjukkan konsep manusia dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu : a) al Insa>n, al-Ins, Una>s, Anasi, dan ins yang kesemuanya berakar dari 1
2
147
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 8, No. 1, Januari 2012: 147-160
Ada banyak sekali kelebihan yang diberikan oleh Allah kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk-makhlukNya yang lain.3 Ada beberapa ‘perangkat’ yang diberikan Allah kepada manusia yang menjadikannya unggul dan terdepan dari makhluk lainnya, seperti; memiliki daya tubuh yang membuat fisiknya kuat; daya hidup yang membuatnya mampu mengembangkan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan serta mempertahankan diri menghadapi tantangan; daya akal yang membuatnya memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi; daya kalbu yang memungkinkannya bermoral, merasakan keindahan, kelezatan iman, dan kehadiran Allah.4 Kelebihan di atas menuntut manusia perlu menyadari eksistensi dan tujuan penciptaan dirinya, memahami risalah hidupnya selaku pengemban amanah Allah, melalui arahan dan bimbingan yang berkesinambungan agar kehidupannya menjadi lebih berarti. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya segala sesuatu diciptakan dengan adanya satu tujuan. Dengan tujuan itulah kemudian sesuatu difungsikan dan dengan adanya fungsi itulah maka keberadaan sesuatu menjadi berarti. Demikian juga adanya manusia di bumi ini, ia pasti diciptakan untuk satu tujuan tertentu. Adanya tujuan penciptaan manusia, disertai tanggungjawab individu dalam berbagai aspek kehidupan. Adanya tujuan dan tanggungjawab ini, manusia difungsikan, dan eksistensinya menjadi berarti. Kebermaknaan ini sangat tergantung atas “pilihan” manifestasi potensi baik dan buruk dalam diri manusia sendiri, bukan manifestasi baik dan buruk segalanya datang dari Allah. Konsep ini sesungguhnya sudah terkandung dalam al-Qur’an dalam berbagai ayat dan konteksnya, namun belum banyak diungkap secara spesifik. Studi ini dilakukan untuk mengkaji perbuatan manusia sebagaimana yang ada di dalam al Qur’an. Dalam pembahasan ini penulis menfokuskan pada ayat-ayat yang secara eksplisit menunjukkan konsepsi amal perbuatan manusia dan pertanggungjawaban. Pembahasan dalam studi ini lebih bercorak pada penafsiran tematis ilmiah karena penulis juga mencoba menghubungkan bahasan dengan penemuan ilmiah terkini. MET ODE PENELITIAN METODE Studi ini ini membahas perbuatan manusia sebagaimana yang ada di dalam al Qur’an. Pendektan yang digunakan adalah penelitian kepustakaan, dimana al-Qur’an sebagai dokumen utama, dengan penfsiran bersifat tematis. Peneitian jenis ini relevan untuk mendalami tema dan atau kategori tertentu yang tertuang pada suatu teks, naskah atau narasi.5 Penggunaan huruf hamzah, nu>n dan si>n. b) al-bashar, dan c) Banu Adam. Mengenai perbedaan makna masing-masing kata tersebut silahkan lihat Abdul Muin Salim, Fiqih Siyasah: Konsep Kekuasaan Politik dalam Al Qur’an (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 79-90. Lihat Juga Aisyah Abdurrahman Bintush Shathi’, Manusia Sensitivitas Hermeneutika al Qur’an terj. M. Adi al Arief (Jakarta: LKPSM, 1997), 7-22. 3 Qs. Al Isra>’ (17): 70. 4 M. Quraish Shihab, Lentera Hati (Bandung: Mizan, 1997), 132. 5 Ardana, dkk., Metodologi Penelitian Pendidikan (Malang: UMN, 2001), 96.
148
Konsep Perbuatan dan Tanggung Jawab Individu ... (Bambang Irawan)
pendekatan tersebut dalam studi ini adalah tepat, sebab data-datanya tersaji dalam bentuk data tertulis, yaitu al-Qur’an. Dalam implementasinya penulis menfokuskan pada identifikasi dan penelaahan secara mendalam ayat-ayat yang secara eksplisit menunjukkan konsepsi amal perbuatan manusia dan pertanggungjawaban. Mengingat alur ini digunakan, maka studi ini lebih bercorak pada penafsiran tematis ilmiah. HASIL DAN PEMBAHASAN Ayat-ayat al-Qur ’an tentang Perbuatan dan Tanggung Jawab Manusia al-Qur’an Universalisme Islam ditunjukkan dengan pesan-pesan kemanusiaan dan spiritualitas yang amat luas. Manusia sebagai subyek dihadirkan dengan segala potensi dan pilihan dijelaskan dalam al-Qur’an secara gamblang. Bersamaan itu pula, konskwensi potensi dan pilihan tersebut adanya perbuatan dan pertanggungjawabannya. Dalam al-Qur’an sudah tertuang tentang tanggungjawab invidu manusia, baik kepada sesama manusia, maupun kepada Allah SWT. Berikut disajikan ayat-ayat yang terkait dengan perbuatan dan tanggungjawab masnusia Qs. al-Shams (91): 7-8
{́}Ύ˴ϫ˴Ϯ˸Ϙ˴Η˴ϭΎ˴ϫ˴έϮ˵Π˵ϓΎ˴Ϭ˴Ϥ˴Ϭ˸ϟ΄˴˴ϓ {̀}Ύ˴ϫ͉Ϯ˴γΎ˴ϣ˴ϭ˳β˸ϔ˴ϧ˴ϭ } Artinya: dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Qs. al-Balad (90): 10
{˺˹}˶Ϧ˸ϳ˴Ϊ˸Π͉Ϩϟ˵ϩΎ˴Ϩ˸ϳ˴Ϊ˴ϫ˴ϭ } Artinya: Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan Qs. T{ah> a> (20): 121:
˵Ϫ͉Α˴έ˵ϡ˴Ω˴˯ϰ˴μ˴ϋ˴ϭ˶Δ͉Ϩ˴Π˸ϟ˶ϕέ˴ ˴ϭϦ˶ϣΎ˴Ϥ˶Ϭ˸ϴ˴Ϡ˴ϋ˶ϥΎ˴ϔ˶μ˸Ψ˴ϳΎ˴Ϙ˶ϔ˴σϭ˴ Ύ˴Ϥ˵Ϭ˵Η˴˯˸Ϯ˴γΎ˴Ϥ˵Ϭ˴ϟ˸Ε˴Ϊ˴Β˴ϓΎ˴Ϭ˸Ϩ˶ϣ˴ϼ˴ϛ˴΄˴ϓ {˺˻˺}ϯ˴Ϯ˴ϐ˴ϓ
}
Artinya: Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Qs. al-Isra>’ (17): 14 dan 15:
{˺˽}Ύ˱Βϴ˶δ˴Σ˴Ϛ˸ϴ˴Ϡ˴ϋ˴ϡ˸Ϯ˴ϴ˸ϟ˴Ϛ˶δ˸ϔ˴Ϩ˶Αϰ˴ϔ˴ϛ˴Ϛ˴ΑΎ˴Θ˶ϛ˸˴ή˸ϗ }
149
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 8, No. 1, Januari 2012: 147-160
Artinya: Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.
˴Ϧϴ˶Α͉ά˴ό˵ϣΎ͉Ϩ˵ϛΎ˴ϣ˴ϭϯ˴ή˸Χ˵˴έ˸ί˶ϭ˲Γ˴έ˶ί˴ϭ˵έ˶ΰΗ˴ ˴ϻ˴ϭΎ˴Ϭ˸ϴ˴Ϡ˴ϋ͊Ϟ˶π˴ϳΎ˴Ϥ͉ϧ˶Έ˴ϓ͉Ϟ˴οϦ˴ϣ˴ϭ˶Ϫ˶δ˸ϔ˴Ϩ˶ϟϱ˶Ϊ˴Θ˸Ϭ˴ϳΎ˴Ϥ͉ϧ˶Έ˴ϓϯ˴Ϊ˴Θ˸ϫ˶Ϧ͉ϣ {˺˾}˱ϻϮ˵γ˴έ˴Κ˴ό˸Β˴ϧϰ͉Θ˴Σ
}
Artinya: Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul. Qs. al-Zalzalah (99): 7-8
{́}˵ϩ˴ή˴ϳ̒ή˷η˳Γ͉έ˴Ϋ˴ϝΎ˴Ϙ˸Μ˶ϣ˸Ϟ˴Ϥ˸ό˴ϳ˸Ϧ˴ϣ˴ϭ {̀}˵ϩ˴ή˴ϳ˱ή˸ϴ˴Χ˳Γ͉έ˴Ϋ˴ϝΎ˴Ϙ˸Μ˶ϣ˸Ϟ˴Ϥ˸ό˴ϳ˸ϦϤ˴ ϓ˴ } Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. Qs. al-Baqarah (2): 286
˴ϻ˴ϭΎѧ˴Ϩ͉Α˴έΎѧ˴ϧ˸΄˴τ˸Χ˴˸ϭ˴˴Ϩϴѧ˶δ͉ϧϥ˶·˴ϧ˸άѧ˶Χ˴ΆΗ˵ ˴ϻΎѧ˴Ϩ͉Α˴έ˸Ζ˴Βѧ˴δ˴Θ˸ϛΎ˴ϣΎ˴Ϭ˸ϴ˴Ϡϋ ˴ ˴ϭ˸Ζ˴Β˴δ˴ϛΎ˴ϣΎ˴Ϭ˴ϟΎ˴Ϭ˴ό˸γ˵ϭ͉ϻ˶·Ύ˱δ˸ϔ˴ϧ˵Ϳ˵ϒ͋ϠϜ˴ ϳ˵ ˴ϻ Ύѧ˴Ϩ˴ϟ˸ήѧ˶ϔ˸Ϗ˴ϭΎѧ͉Ϩ˴ϋ˵ϒѧ˸ϋ˴ϭ˶Ϫѧ˶ΑΎѧ˴Ϩ˴ϟ˴Δѧ˴ϗΎ˴σ˴ϻΎ˴ϣΎѧ˴Ϩ˸ϠϤ͋ ˴Τ˵Η˴ϻ˴ϭΎ˴Ϩ͉Α˴έΎ˴Ϩ˶ϠΒ˸ ˴ϗϦ˶ϣ˴Ϧϳ˶ά͉ϟϰ˴Ϡϋ ˴ ˵Ϫ˴Θ˸ϠϤ˴ ˴ΣΎ˴Ϥ˴ϛ˱ή˸λ˶·˴Ϩ˸ϴ˴Ϡϋ ˴ ˸Ϟ˶Ϥ˸Τ˴Η } {˻́˿}˴Ϧϳ˶ή˶ϓΎ˴Ϝ˸ϟ˶ϡ˸ϮϘ˴ ˸ϟϰ˴Ϡϋ ˴ Ύ˴ϧ˸ή˵μϧΎ˴ϓΎ˴ϧ˴ϻ˸Ϯϣ˴ ˴Ζϧ˴˴Ϩ˸Ϥ˴Σ˸έ˴ϭ Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orangorang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” Konsep Perbuatan Baik dan Buruk dalam al-Qur ’an al-Qur’an Para filosof dan teolog sering membahas tentang arti baik dan buruk,6 serta tentang pencipta kelakuan tersebut, yakni apakah kelakuan itu merupakan hasil pilihan atau perbuatan Tindakan mengenai perbuatan baik dan buruk dalam pandangan para penganut aliran filsafat dan teologi Islam, masing-masing berbeda. Perbedaan tersebut terletak pada sebab, cara pelaksanaan dan pencegahan. Di dalam teologi Islam terdapat beberapa aliran yang mengkaji masalah perbuatan baik dan perbuatan buruk, yaitu: a) aliran Mu’tazilah; b) aliran Qadariyah; c) aliran Jabariyah; d) aliran Ash’ariyah (ahli sunnah wal jama’ah). Selanjutya dapat dibaca dalam Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI, 2008), 23. 6
150
Konsep Perbuatan dan Tanggung Jawab Individu ... (Bambang Irawan)
manusia sendiri, ataukah berada di luar kemampuannya. Terdapat sekian banyak ayat alQur’an yang dipahami menguraikan hal ini, mislanya “Maka Kami telah memberi petunjuk (kepada)-nya (manusia) dua jalan mendaki (baik dan buruk) 7 dan (demi) jiwa serta penyempurnaaaan ciptaannya, maka Allah mengilhami (jiwa manusia) kedurhakaan dan ketakwaan”.8 Walaupun kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan isyaratisyarat dalam al-Qur’an bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia daripada kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan. al-Qur’an surat T{ah> a} (20): 121 menguraikan bahwa Iblis menggoda Adam sehingga Adam durhaka kepada Tuhannya dan menjadi sesat. Redaksi ini menunjukkan bahwa sebelum digoda oleh Iblis, Adam tidak durhaka, dalam arti, tidak melakukan sesuatu yang buruk, dan bahwa akibat godaan itu, ia menjadi tersesat. Walaupun kemudian Adam bertaubat kepada Tuhan, sehingga ia kembali lagi pada kesuciannya.9 Kecenderungan manusia kepada kebaikan terbukti dari persamaan konsepkonsep pokok moral pada setiap peradaban dan zaman. Perbedaannya jika terjadi - terletak pada bentuk, penerapan, atau pengertian yang tidak sempurna terhadap konsep-konsep moral, yang disebut ma’ruf dalam bahasa al-Qur’an. Tidak ada peradaban yang menganggap baik kebohongan, penipuan, atau keangkuhan. Pun tidak ada manusia yang menilai bahwa penghormatan kepada kedua orang-tua adalah buruk. Tetapi, bagaimana seharusnya bentuk penghormatan itu? Boleh jadi cara penghormatan kepada keduanya berbeda-beda antara satu masyarakat pada generasi tertentu dengan masyarakat pada generasi yang lain. Perbedaan-perbedaan itu selama dinilai baik oleh masyarakat dan masih dalam kerangka prinsip umum, maka ia tetap dinilai baik (ma’ruf). Persoalan kecenderungan manusia terhadap kebaikan, atau pandangan tentang kesucian manusia sejak lahir, hadis-hadis Nabi SAW. pun antara lain menginformasikannya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fithrah), hanya saja kedua orang-tuanya (lingkungannya) yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. al-Bukha>ri>). Seorang sahabat Nabi SAW. bernama Wabis}ah bin Ma’bad berkunjung kepada Nabi SAW., lalu beliau menyapanya dengan bersabda: “Engkau datang menanyakan kebaikan?, benar, wahai Rasul,” jawab Wabishah. “Tanyailah hatimu! Kebajikan adalah sesuatu yang tenang terhadap jiwa, dan yang tenteram terhadap hati, sedangkan dosa adalah yang mengacaukan hati dan membimbangkan dada, walaupun setelah orang memberimu fatwa.” (HR. Ah}mad dan al-Dara>mi>). Amat wajar jika ditemukan ayat-aya al-Qur’an yang mengisyaratkan bahwa manusia pada hakikatnya, setidaknya pada awal masa perkembangan tidak akan sulit melakukan kebajikan, berbeda halnya dengan melakukan keburukan. Salah satu frase dalam surat alQs. al-Balad (90): 10 Qs. al-Shams (91): 7-8.
7 8
151
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 8, No. 1, Januari 2012: 147-160
Baqarah ayat 286 menyatakan, “Untuk manusia ganjaran bagi perbuatan baik yang dilakukannya dan sanksi bagi perbuatan (buruk) yang dilakukannya. Beberapa ulama, frase ini kerap dijadikan sebagai bukti apa yang disebut di atas. Dalam terjemahan di atas terlihat bahwa kalimat “yang dilakukan” terulang dua kali: yang pertama adalah terjemahan dari kata kasabat dan kedua terjemahan dan kata iktasabat.10 Potensi yang dimiliki manusia untuk melakukan kebaikan dan keburukan, serta kecenderungannya yang mendasar kepada kebaikan, seharusnya mengantarkan manusia memperkenankan perintah Allah (agama-Nya) yang dinyatakan-Nya sesuai dengan fithrah (asal kejadian manusia). Dalam al-Qur’an surat al-Ru>m (30): 30 dinyatakan, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Al1ah). Itulah fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu”. Di sisi lain, karena kebajikan merupakan pilihan dasar manusia, kelak di hari kemudian pada saat pertanggungjawaban, sang manusia dihadapkan kepada dirinya sendiri: “Bacalah kitab amalmu (catatan perbuatanmu); cukuplah engkau sendiri yang melakukan perhitungan atas dirimu”.11 Manusia dan Tanggung Jawab Individu Tanggung jawab bisa dikelompokkan dalam dua hal;12 pertama, tanggung jawab individu terhadap dirinya pribadi. Manusia harus bertanggung jawab terhadap akal (pikirannya), ilmu, raga, harta, waktu, dan kehidupannya secara umum. Rasulullah bersabda: “Bani Adam tidak akan lepas dari empat pertanyaan (pada hari kiamat nanti); Tentang umur, untuk apa ia habiskan; Tentang masa muda, bagaimana ia pergunakan; Tentang harta, dari mana ia peroleh dan untuk apa ia gunakan; Tentang ilmu, untuk apa ia amalkan.”
Kedua, tanggung jawab manusia kepada orang lain dan lingkungan (sosial) di mana ia hidup. Sebagaiman diketahui bersama bahwa manusia adalah makhluq yang membutuhkan orang lain dalam hidupnya untuk pengembangan dirinya. Dengan kata lain, ia mempunyai kewajiban-kewajiban moral terhadap lingkungan sosialnya. Kewajiban sangat erat kaitannya dengan eksistensi seseorang sebagai bagian dari masyarakat. Kalau dia tidak melaksanakan tanggung jawab terhadap orang lain, tidak pantas baginya menuntut orang lain untuk bertanggung jawab padanya. Kalau dia tidak berlaku adil pada orang lain, jangan harap orang lain akan berbuat adil padanya. Ada sebagian orang yang berkata bahwa kesalahan-kesalahan yang ia lakukan adalah takdir yang telah ditentukan Tuhan kepadanya, tidak bisa menolaknya. Satu misal sejarah;
Ah}mad Mus}ta} fa> Al-Mara>ghi>, Tafs>ir Al-Mara>ghi> jilid III (Mesir: Mus}ta} fa> al-H{alabi>, 1946), 59. Ibn al-Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, vol. 12 (Beirut: Da>r Sha >dir, t.th), 319. 11 Qs. al-Isra >’ (17): 14. 12 Pembagian tersebut dapat dilihat pada Sheikh Abdul Malik Bin Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar, Jilid XXX., (Jakarta: 1981), 81. dan Jamaluddin, Muhammad Bin Ahmad Mahalli, Tafsir AlQur’an, (Surabaya: al-Hidayah, t.th.), 41. 9
10
152
Konsep Perbuatan dan Tanggung Jawab Individu ... (Bambang Irawan)
suatu ketika di masa Umar bin Khattab, seorang pencuri tertangkap dan kemudian dibawa ke hadapan khalifah. Beliau bertanya: “Mengapa kamu mencuri? pencuri itu menjawab, ini adalah takdir. Saya tidak bisa menolaknya. “Khalifah Umar kemudian menyuruh sahabatsahabat untuk menjilidnya 30 kali. Para sahabat heran dan bertanya “Mengapa dijilid, bukankah itu menyalahi aturan?” Khalifah menjawab, “karena ia telah berdusta kepada Allah.” Seorang muslim tidak boleh melepas tangan (menghindar dari tanggung jawab) dengan beralasan bahwa kesalahan yang ia kerjakan adalah takdir yang ditentukan Allah kepadanya. Tanggung jawab tetap harus ditegakkan. Allah hanya menentukan suratan ulisan) tentang apa yang akan dikerjakan manusia berdasarkan keinginan mereka yang merdeka, tidak ada paksaan. Dari sinilah manusia dituntut untuk bertanggung jawab terhadap apa yang ia lakukan. Mulai dari hal yang sangat kecil sampai yang paling besar. “Barang siapa yang berbuat kebaikan, walau sebesar biji atom, dia akan melihatnya. Dan barang siapa yang berbuat kejelekan, walau sebesar biji atom, maka ia akan melihatnya pula”13. Atas dasar uraian di atas, al-Qur’an membebaskan manusia untuk memilih kedua jalan yang tadi disebutkan, tetapi ia sendiri yang harus mempertanggung-jawabkan pilihannya. Manusia tidak boleh membebani orang lain untuk memikul dosanya, tidak juga dosa orang lain dipikulkan ke atas pundaknya.14 Tetapi dalam Al-Qur’an surat al-An’a >m ayat 164 dinyatakan bahwa tanggung jawab tersebut baru dituntut apabila memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti pengetahuan, kemampuan, serta kesadaran. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.15 Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.16 Dari gabungan kedua ayat ini, dapat dipetik paling tidak dua kaidah yang berkaitan dengan tanggung jawab, yaitu: 1. Manusia tidak diminta untuk mempertanggungjawabkan apa yang tidak diketahui atau tidak mampu dilakukannya. 2. Manusia tidak dituntut mempertanggungjawabkan apa yang tidak dilakukannya, sekalipun hal tersebut diketahuinya. Di sisi lain, ditemukan ayat-ayat yang menegaskan bahwa pertanggungjawaban tersebut berkaitan dengan perbuatan yang disengaja, bukan gerak refleks yang tidak melibatkan kehendak. al-Qur’an secara tegas menyatakan: “Allah tidak akan meminta pertanggungjawabanmu atas sumpah-sumpah yang tidak kamu sengaja, tetapi Dia akan meminta pertanggungjawabanmu terhadap apa yang disengaja oleh hatimu.17 Tetapi jika seseorang
terpaksa, sedangkan ia tidak menginginkannya, dan tidak pula melampaui batas, maka tidak Qs. al-Zalzalah (99): 7-8. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta, Lentera Hati, 2002), 552. 15 Qs. al-Isra >’ (17): 15. 16 Qs. al-Baqarah (2): 286. 17 Qs. al-Baqarah (2): 225.
13 14
153
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 8, No. 1, Januari 2012: 147-160
ada dosa baginya.18 Dapat juga pahami, bahwa karena manusia diberi kemampuan untuk memilih, maka pertanggungjawaban berkaitan dengan niat dan kehendaknya. Driyarkara dalam bukunya, Percikan Filsafat, menerangkan bahwa “tanggung jawab ialah kewajiban menanggung bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang adalah sesuai tuntutan kodrat manusia”. Ia menambahkan pula bahwa “berani bertanggung jawab berarti bahwa seseorang berani menentukan, berani memastikan, bahwa perbuatan ini sesuai dengan kodrat manusia dan bahwa hanya karena itulah perbuatan tadi dilakukan”.19 Lantas, seperti apakah kodrat manusia itu, yang dikehendaki dari manusia adalah menunjukkan kemanusiaannya. Ia ada sebagai sosok manusia, yakni sosok mahkuk yang paling sempurna dan yang paling baik yang diciptakan oleh Allah SWT.20 Dari sinilah diharapkan manusia mampu menunjukkan tabiat kesempurnaan dan kebaikannya. Menurut Driyarkara, yang sejati bagi manusia menurut tabiatnya yang terdalam ialah manusia sebagai pribadi-rohani. Sesungguhnya kodrat manusia bukan sebagai sebuah tuntutan seandainya Allah SWT. tidak memberi potensi yang mampu mengukuhkan kodrat kemanusiaannya itu. Potensi yang dimaksud adalah fithrah.21 Adanya fithrah pada diri manusia inilah tuntutan atas kodrat manusia jadi perihal yang niscaya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW. bersabda, “setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah). Kemudian kedua orang tuanya lah yang menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi. Sebagaimana seekor binatang dilahirkan dalam keadaan utuh. Apakah kalian melihat diantara mereka ada yang cacat (pada saat dilahirkan).22 Tanggung jawab adalah bagian dari ajaran Islam yang disebut mas’u l> iyyah.23 Tanggung jawab artinya ialah bahwa setiap manusia apapun statusnya pertama harus bertanya kepada dirinya sendiri apa yang mendorongnya dalam berperilaku, bertutur kata, dan merencanakan sesuatu. Apakah perilaku itu berlandaskan akal sehat dan ketakwaan, atau malah dipicu oleh pemujaan diri, hawa nafsu, dan ambisi pribadi. Jika manusia dapat menentramkan hati nuraninya dan merespon panggilan jiwanya yang paling dalam, maka dia pasti bisa bertanggungjawab kepada yang lain. Allah SWT berfirman:
˱ϻϭ˵Ά˸δ˴ϣ˵Ϫ˸Ϩ˴ϋ˴ϥΎ˴ϛ˴Ϛ˶Ό˰ϟϭ˵͊Ϟ˵ϛ˴Ω˴Ά˵ϔ˸ϟ˴ϭ˴ή˴μ˴Β˸ϟ˴ϭ˴ϊ˸Ϥ͉δϟ͉ϥ˶· Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.24
Qs. al-Baqarah (2): 173. N.Driyarkara, Percikan Filsafat (Jakarta: PT. Pembangunan Jakarta, 1989), 30. 20 Qs. al-Ti >n (95): 4. 21 Jamaluddin, Tafsir Al-Qur’an, 41. 22 Maulana Muhammad Zakariya al-Kandalawi >, Fad }a >il al-’Ama >l (Bandung: Pustaka Ramadan, 2000), 18 19
61. Ah }mad Mus }t a} fa > al-Mara >ghi ,> Terjemahan Tafsir Al-Muraghi (Semarang, CV. Thaha Putra, 1993),
23
211. Qs. al-Isra >’ (17): 36.
24
154
Konsep Perbuatan dan Tanggung Jawab Individu ... (Bambang Irawan)
Mata yang dimiliki manusia dapat melihat dan mengindentifikasi sesuatu, kemudian telinga dapat mendengarkan kebaikan untuk ditransformasikan ke dalam hati dan fisiknya, serta kalbunya dapat merasakan, memutuskan, dan menjatuhkan pilihan dimana esensi manusia terletak pada kalbunya, semua ini adalah sarana yang telah dianugerahkan Allah SWT dan kelak akan diminta pertanggungjawabannya. Rasulullah SAW bersabda:
˶Ϫ˶Θ͉ϴ˶ϋ˴έ˸Ϧ˴ϋ˲ϝ˸ϭ˵Ά˸δ˴ϣ˸Ϣ˵Ϝ͊Ϡ˵ϛ˴ϭ˳ω˴έ˸Ϣ˵ϜϠ͊˵ϛ Kamu semua adalah pemimpin, dan setiap kamu bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya.” 25 Semua orang bertanggungjawab. Hanya saja, semakin luas pengaruh pena, kata-kata, dan keputusan seseorang pada kehidupan manusia, semakin besar tanggung jawab yang dipikulnya. Sebab itu, para pejabat tinggi negara, para pimpinan tiga lembaga tinggi negara, begitu pula pemimpin tertinggi revolusi Islam (rahbar) hingga seluruh eselon pejabat dan jajaran direksi memiliki tanggung jawab besar atas segala tindakan, keputusan, dan statemen masing-masing. Inilah tanggung jawab dalam ajaran Islam dimana semua harus menaruh komitmen padanya. Perkataan orang yang bertanggungjawab berbeda dengan perkataan orang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab. Keputusan orang yang penuh rasa tanggung jawab juga berbeda dengan keputusan orang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab. Sebagai pejabat, seorang harus berhati-hati atas pernyataan dan keputusannya. Rasa tanggung jawab inilah yang membuat jabatan layak dihormati. Pejabat dihormati oleh masyarakat adalah karena setiap tindakan dan keputusannya harus terdorong oleh tanggung jawab yang diembannya. Orang yang memiliki rasa tanggung jawab memang patut untuk dihormati. Segala sesuatu akan menjadi pelik jika dipegang oleh orang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab. Allah dengan ajaranNya al-Qur’an menurut sunnah Rasul, memerintahkan hamba-Nya atau ‘abd Alla>h untuk berlaku adil dan ihsan. Tanggung jawab hamba Allah adalah menegakkan keadilan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap keluarga. Dengan berpedoman dengan ajaran Allah, seorang hamba berupaya mencegah kekejian moral dan kenungkaran yang mengancam diri dan keluarganya. Oleh karena itu, ‘abd Alla >h harus senantiasa melaksanakan shalat dalam rangka menghindarkan diri dari kekejian dan kemungkaran (al-fah }sha>’wa al-munkar). Hamba-hamba Allah sebagai bagian dari ummah yang senantiasa berbuat kebajikan juga diperintah untuk mengajak yang lain berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran.26 Demikianlah tanggung jawab hamba Allah yang senantiasa tunduk dan patuh terhadap ajaran Allah menurut Sunnah Rasul.
Muslim ibn al-H {ajja >j al-Qushayri > al-Naisa >bu >ri >, Sah }i h } Muslim, cetakan pertama (Istanbul: al-Maktabah al-Isla >miyyah, 1955), 210. 26 Qs. A
n (3): 103. 25
155
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 8, No. 1, Januari 2012: 147-160
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.”27 Tanggung jawab adalah sifat luhur yang harus ada pada seorang muslim. Ia adalah sifat yang menyokong kesempurnaan pribadi seseorang. Menurut Hamka, berani bertanggung jawab membuat orang kuat menjadi lebih kuat. Ataupun sebaliknya, suatu pekerjaan yang dipikul dengan tidak penuh tanggung jawab membuat orang yang lemah jadi lebih lemah. Oleh karena itu seseorang perlu dikuatkan sikap tanggung jawabnya agar tidak jadi pribadi-pribadi yag lemah. Masih menurut Hamka, proklamasi 17 Agustus 1945 adalah buah dari sikap tanggung jawab yang melekat pada para founding fathers bangsa ini.28 Artinya bangsa ini tidak akan ada jika tidak ada pribadi-pribadi kuat yang memiliki sikap tanggung jawab. Mereka bertanggung jawab atas nasib derita rakyat banyak. Seorang pendidik hendaknya memberi kesempatan bagi anak didiknya untuk mengasah ketajaman tanggung jawab. Usia remaja adalah usia dimana seseorang hendak menunjukkan independensinya dari segala ikatan yang selama ini membebani, alih-alih menemukan ikatanikatan baru berupa teman sebaya yang lebih leluasa dan tidak terlalu membebani. Orang tua atau pun guru hendaknya tidak menggunakan pembebanan kewajiban sebagai sarana memupuk tanggung jawab dan menempatkan anak didik sebagai orang yang masih dibawah kendali orang yang lebih dewasa. Padahal usia remaja perlu didekati dengan cara mendewasakannya. Menanamkan tanggung jawab bisa dengan cara memberikan anak didik suatu kepercayaan, memberi tugas yang menyenangkan dan memberi kesempatan mereka menyelesaikan tugas itu. Bisa juga memberikan kesempatan anak didik berinteraksi lebih leluasa dengan sesama temannya (seperti diberi tugas kelompok, dan sebagainya). Allah telah memberikan banyak hal kepada manusia, pedoman yang berupa al-Quran, demikian pula Allah telah memberikan baginya bekal berupa mata, telinga, dan hati yang bisa digunakan untuk mencerna ayat-ayat Allah dan petunjuk Rasulullah. Sangatlah adil jika kemudian Allah menuntut tanggungjawab manusia sebagai manusia. Selama di dunia ini, apa saja yang telah mereka lakukan. Al-Qur’an digunakan untuk apa saja, apakah memang telah mereka gunakan sebagai pedoman dalam keseluruhan aspek kehidupan, ataukah mereka abaikan begitu saja. Demikian pula petunjuk yang diberikan Rasul, apakah mereka taati, ataukah selama ini mereka hanya menggunakan Sunnah Nabi dan al-Qur’an sebagai pembenar-pembenar saja dari apa yang ada pada pikiran mereka. Karenanya Allah menegaskan, bahwa pertanggungjawaban manusia itu akan diminta. Akan tetapi manusia banyak yang mengira bahwa hidup ini dibiarkan begitu saja, atau barangkali ia tahu akan tetapi tidak menyadarinya, karena tertutupi penglihatannya dengan fatamorgana dunia. Karenanya Allah dengan pertanyaan retorisnya mengatakan: “Apakah manusia mengira, HR. al-Shaikh >ani, Abu > Da >wud, Tirmidhi dan Nasa >i dalam Ibn H {ajar al- ‘Asqala n> i Ah }mad ibn ‘Ali ibn H {ajar, Hady al-Sari, cet. 2 (Kairo: Da >r al-Rayya n> , 1987), 720. 28 HAMKA, Tafsir Al-Azhar. 27
156
Konsep Perbuatan dan Tanggung Jawab Individu ... (Bambang Irawan)
bahwa ia akan dibiarkan begitu saja [tanpa pertanggung jawaban?.29 Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.30 Ayat yang lain: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.31 Dalam surat al-Zalzalah yang menceritakan hari kiamat Allah memberikan gambaran bahwa di hari itu, manusia akan keluar dari kuburnya dalam berbagai macam keadaan sesuai dengan amalan yang telah mereka kerjakan, “Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka [balasan] pekerjaan mereka.32 Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat biji zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)-Nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat biji zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-Nya pula.33 Dari ayat di atas dapat diambil hikmah bahwa betapa Allah SWT telah mengajarkan kepada manusia agar bersikap peka, meski terhadap hal yang teramat kecil sekalipun. Memang, sesungguhnya Islam sangat menekankan agar manusia memperhatikan hal-hal kecil bahkan detail dalam hidup mereka. Kepekaan memang sudah selayaknya terasah dalam setiap gerak langkah hidup manusia. Jika demikian menanamkan semangat bahwa sesuatu yang manusia lakukan selalu saja ada pertanggungjawabannya, dan setiap lintasan pikiran yang ada di hati mereka juga diketahui oleh Allah SWT, maka barangkali harus selalu dicamkan, agar manusia berhati-hati dalam berbuat dan bertingkah laku serta meluruskan segala niat untuk menggapai Ridho Allah SWT semata. Di hari kiamat Allah akan memasang timbangan yang akan menimbang amal dan dosa manusia dengan seadil-adilnya, tanpa kezaliman sedikitpun. Meski sedikit sebuah amal, maka ia akan tertimbang juga, demikian pula meski sedikit dosa yang terpercik akan ada nilai yang diperhitungkan pula. Semuanya tergantung dari manusia, dan semuanya tergantung pada sikap manusia selama di dunia. “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.34 Ketika manusia disidang di akhirat kelak, tidak akan dapat ia mengelak, sebagaimana persidangan-persidangan yang ada di dunia. Jika persidangan yang ada di dunia amat ditentukan oleh saksi yang terkadang sulit didapatkannya, kredibilitas kejujuran seorang hakim, akan tetapi di akhirat yang menjadi saksi adalah anggota tubuh manusia itu sendiri. Jadi tak akan ada lagi alasan, ketika tangan, kaki, mata, telinga dan semua anggota badannya menjadi saksi dan membeberkan setiap perbuatannya selama di dunia. Jadi jika demikian, Qs. al-Qiya >mah (75): 36 Qs. al-H {ijr (15): 92-93 31 Qs. al-Mudathir (74): 38. 32 Qs. al-Zalzalah (99): 6. 33 Qs. al-Zalzalah (99): 7-8. 34 Qs. al-Anbiya >’ (21): 47. 29
30
157
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 8, No. 1, Januari 2012: 147-160
artinya tak akan ada lagi bagi manusia tempat berlari kecuali kembali kepada Allah dengan terus meningkatkan mura >qabah Alla >h, perasaan untuk selalu diawasi Allah. Karena memang, meski tidak ada siapa jua, akan tetapi Allah akan tetap mengawasi manusia, segala lintasan dalam pikiran mereka pastilah selalu diketahui oleh Allah SWT. Walau mereka merasa tidak akan ada yang melihat perbuatan mereka, tapi anggota tubuh mereka akan menjadi saksi kelak di hari kiamat dari apa yang dikerjakan. Jadi memang tidak akan ada jalan lain kecuali lari kepada Allah.35 Pada prinsipnya tanggung jawab dalam Islam itu berdasarkan atas perbuatan individu saja sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat seperti “Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”36 Demikian pula firman Allah yang artinya “Tiap-tiap
diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”37 Akan tetapi perbuatan individu merupakan suatu gerakan yang dilakukan seseorang pada waktu, tempat dan kondisi-kondisi tertentu yang mungkin bisa meninggalkan akibat atau pengaruh pada orang lain. Oleh sebab itu apakah tanggung jawab seseorang terbatas pada amalannya saja ataukah bisa melewati batas waktu yang tak terbatas bila akibat dan pengaruh amalannya itu masih terus berlangsung mungkin sampai setelah dia meninggal. Seorang yang cerdas selayaknya merenungi hal ini sehingga tidak meremehkan perbuatan baik sekecil apapun dan tidak gegabah berbuat dosa walau sekecil biji SAWi. Mengapa demikian, boleh jadi perbuatan baik atau jahat itu mula-mula amat kecil ketika dilakukan, akan tetapi bila pengaruh dan akibatnya terus berlangsung lama, bisa jadi akan amat besar pahala atau dosanya. Allah SWT berfirman: “Kami menuliskan apa-apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.”38 Ayat di atas menegaskan bahwa tanggang jawab itu bukan saja terhadap apa yang diperbuat oleh seseorang akan tetapi melebar sampai semua akibat dan bekas-bekas dari perbuatan tersebut. Orang yang meninggalkan ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah atau anak yang sholeh, kesemuanya itu akan meninggalkan bekas kebaikan selama masih berbekas sampai kapanpun. Dari sini jelaslah bahwa orang yang berbuat baik atau berbuat jahat akan mendapat pahala atau menanggung dosanya ditambah dengan pahala atau dosa orang-orang yang meniru perbuatannya. Hal ini ditegaskan Allah dalam al-Qur’an yang artinya “(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari
Bandingkan pula dengan al-Alu >si, Ru >h } al-Ma’a >ni >, vol. 30 (Beirut: Ih }ya >’ al-Tura >th al-‘Arabi >, t.th),145. Penjelasan yang sama juga disampaikan al-Zuhayli >, al-Tafsi >r al-Muni >r, vol. 30 (Beirut: Da >r alFikr, 1998), 421. al-Shauka >ni ,> Fath al-Qadi >r, vol. 5 (tt: Da r> al-Wafa >’, t.th), 673. 36 Qs. al-An’a >m (6): 164. 37 Qs. al Mudaththir (74): 38. 38 Qs. Ya >si >n (36): 12. 35
158
Konsep Perbuatan dan Tanggung Jawab Individu ... (Bambang Irawan)
kiamat dan sebagian dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun bahwa mereka disesatkan. Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.”39 SIMPULAN Dalam al-Qur’an sudah tertuang tentang tanggungjawab invidu manusia, baik kepada sesama manusia, maupun kepada Allah SWT. Tanggung jawab tersebut dikelompokkan dalam dua hal: Pertama, tanggung jawab individu terhadap dirinya pribadi, yang mencakup tanggung jawab terhadap akal (pikirannya), ilmu, raga, harta, waktu, dan kehidupannya secara umum; dan kedua, tanggung jawab manusia kepada orang lain dan lingkungan (sosial) di mana ia hidup. Tanggungjawab ini sangat erat kaitannya dengan eksistensi seseorang sebagai bagian dari masyarakat. Adanya tanggung jawab tersebut sebagai konskwensi adanya “kemerdekaan” manusia untuk aktualisasi potensi yang dimilikinya untuk melakukan kebaikan dan keburukan. Manusia dapat memilih dua jalan (baik atau buruk), tetapi ia sendiri yang harus mempertanggung-jawabkan pilihannya. Manusia tidak membebani orang lain untuk memikul dosanya, tidak juga dosa orang lain dipikulkan ke atas pundaknya. Semua itu dapat dilakukan dengan cara menjalankan kewajiban yang telah ditentukan Allah SWT, baik terhadap diri sendiri, kepada orang lain maupun kepada Allah SWT. Artinya setiap pilihan memiliki pertanggungjawaban. Daftar Pustaka al-Manz}u>r, Ibn. Lisa>n al-‘Arab, vol. 12. Beirut: Da>r S}a>dir, t.th. al-Mara>ghi >, Mus }ta{ fa > Ah}mad. Terjemahan Tafsir Al-Maraghi. Semarang, CV. Thaha Putra, 1993. Amrullah, Sheikh Abdul Malik Bin Abdul Karim, Tafsir Al-Azhar, 1981. al- ‘Athqala>ni>, Ibn H a{ jar Ah }mad ibn ‘Ali ibn H {ajar. Hady al-Sari, cet. ke-2. Kairo: Da r> alRayya>n, 1987. al-Alu>si >. Ru>h } al-Ma’a>ni >, vol. 30. Beirut: Ih }ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi >, t.th. al-Zuhayli .> al-Tafsi>r al-Muni>r, vol. 30. Beirut: Da>r al-Fikr, 1998. Bintusy Shathi’, Aisyah Abdurrahman. Manusia Sensitivitas Hermeneutika al Qur’an, terj. M. Adi al Arief. Jakarta: LKPSM, 1997. Driyarkara, N. Percikan Filsafat. Jakarta: PT. Pembangunan Jakarta, 1989. Jamaluddin, Muhammad Bin Ahmad Mahalli. Tafsir al-Qur’an. Surabaya: Al-Hidayah. al-Kandalawy, Maulana Muhammad Zakariya. Fada>il al-’Ama>l. Bandung: Pustaka Ramadan, 2000.
Qs. al-Nah}l (16): 25.
39
159
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 8, No. 1, Januari 2012: 147-160
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta : Paramadina, 2000. Muslim, ibn al-H {ajja>j al-Qushayri al-Naisabu>ri .> S}ah}i>h } Muslim, cet. pertama. Istanbul: al-Maktabah al-Isla>miyyah, 1955. Nasution, Harun. Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI, 2008. —————. Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution. Jakarta: Mizan, 1995. Salim, Abdul Muin. Fiqih Siyasah.. Konsep Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mibah. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
160