Balutan Pikukuh Persalinan Baduy
Mara Ipa Djoko Adi Prasetyo Johan Arifin Kasnodihardjo
i
Balutan Pikukuh Persalinan Baduy ©2014 Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Penulis Mara Ipa Djoko Adi Prasetyo Johan Arifin Kasnodihardjo Editor Kasnodihardjo Desain Cover Agung Dwi Laksono
Cetakan 1, November 2014 Buku ini diterbitkan atas kerjasama PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jl. Indrapura 17 Surabaya Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749 dan LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI) Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933 e mail:
[email protected]
ISBN 978-602-1099-05-6 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit.
ii
Buku seri ini merupakan satu dari dua puluh buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2014 di 20 etnik. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014, dengan susunan tim sebagai berikut: Pembina
: Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Penanggung Jawab
: Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH) Ketua Pelaksana
: dr. Tri Juni Angkasawati, MSc
Ketua Tim Teknis
: dra. Suharmiati, M.Si
Anggota Tim Teknis
: drs. Setia Pranata, M.Si Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes Sugeng Rahanto, MPH., MPHM dra.Rachmalina S.,MSc. PH drs. Kasno Dihardjo Aan Kurniawan, S.Ant Yunita Fitrianti, S.Ant Syarifah Nuraini, S.Sos Sri Handayani, S.Sos
iii
Koordinator wilayah
:
1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven Digoel dan Kab. Asmat 2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk Wondama 3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep. Mentawai 4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin 5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak 6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara, Kab. Boalemo 7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab. Mamuju Utara 8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab. Indragiri Hilir 9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur. Kab. Rote Ndao 10. dra. Suharmiati, M.Si : Kab. Buru, Kab. Cirebon
iv
KATA PENGANTAR
Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ? Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan. Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia. Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam v
penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan KesehatanKementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2014, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.
Surabaya, Nopember 2014 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.
drg. Agus Suprapto, M.Kes
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFRAR GRAFIK DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
v vii xi xii xiii xviii
BAB 1.
PENDAHULUAN 1.1. LatarBelakang 1.2. Tujuan 1.2.1. Tujuan Umum 1.2.2. Tujuan Khusus 1.3. Metode 1.3.1. Desain Studi 1.3.2. Penentuan Daerah Penelitian 1.3.3. Pemilihan Informan 1.3.4. Instrumen Pengumpulan Data 1.3.5. Analisis Data 1.4. Kelemahan-kelemahan Studi 1.5. Kajian Terdahulu 1.6. Sistematika Buku
1 1 6 6 6 7 7 7 10 12 12 13 14 17
BAB 2.
MENGENAL ETNIK BADUY DALAM 2.1. Sejarah Desa 2.1.1. Asal Usul (Babat) 2.1.2. Perkembangan Desa 2.2. Geografi dan Kependudukan 2.2.1. Geografi 2.2.2. Kependudukan 2.3. Pola Tempat Tinggal 2.3.1. Denah dan Fungsi Bagian Rumah
19 19 21 25 33 33 45 48 48
vii
2.4. 2.4.1. 2.4.2. 2.5. 2.5.1. 2.5.2. 2.6. 2.6.1. 2.6.2. 2.7. 2.8. 2.9. BAB 3.
Sistem Religi Kosmologi Keluarga Inti Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal Sistem Kemasyarakatan Sistem Politik Lokal Pengetahuan tentang Kesehatan Konsepsi Mengenai Sehat dan Sakit Penyembuhan Tradisional Bahasa Mata Pencaharian Teknologi dan Peralatan
POTRET KESEHATAN ETNIK BADUY DALAM 3.1. Sistem Budaya Pelayanan Kesehatan Masyarakat 3.2. Inisiasi “Sentuhan” Medis Kampung Tangtu 3.3. Sistem Budaya Pelayanan Kesehatan Modern 3.3.1. Rumah Pangubaran 3.3.2. Jejaring Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tumpuan 3.4. Sistem Budaya Pelayanan Kesehatan Tradisional 3.4.1. Keberadaan Pelayan Pengobat Tradisional 3.4.2. Metode Pengobatan 3.4.3. Syareat (Media Pengobatan Tradisional) 3.5. Pencarian Pengobatan (Health Seeking Behavior) 3.5.1. Konsep Sehat Sakit 3.5.2. Kesaksian Kokolot Pemanfaat Fasyankes viii
58 61 67 69 69 77 85 86 87 88 90 106 119 119 120 122 125 129 134 134 136 137 144 144 147
3.6. 3.6.1. 3.6.2. 3.6.3. 3.6.4. 3.6.5. 3.6.6. 3.6.7. 3.6.8. 3.7. 3.7.1. 3.7.2. 3.7.3. 3.8. 3.8.1. 3.8.2. 3.8.3. 3.8.4. 3.9. BAB 4.
Ibu dan Anak Masa Remaja (Sebelum Kehamilan) Pasangan Yang Belum Punya Anak Masa Kehamilan Persalinan dan Nifas Menyusui Nenonatus dan Bayi Anak dan Balita Pola Asuh Pola Makan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Cara Pembuangan Sampah Rumah Tangga oleh Warga Masyarakat Kebersihan Individu Jamban Sehat Seputar Penyakit Menular Kampung Tangtu Kantung Frambusia Isak Tangis Pneumonia Anak dan Kecacingan Si Kecil Kutil Penyakit Tidak Menular
PIKUKUH BUDAYA KESEHATAN IBU DAN ANAK 4.1. Antara Tradisi dan Kesehatan 4.2. Studi Kasus Persalinan Misna, Kampung Cipaler Baduy Luar 4.3. Bidan Tenaga Kesehatan di Baris Depan 4.4. Perspektif Etik Budaya Kesehatan Ibu dan Anak Etnik Baduy Dalam 4.5. Potensi dan Kendala Budaya dalam Pembangunan Kesehatan Ibu dan Anak 4.5.1. Analisis Potensi Kesehatan Ibu dan Anak ix
153 153 160 161 163 170 172 174 176 179 179 180 183 185 185 188 197 200 203 205 205 206 211 214 220 221 223
4.5.2. Analisis Kendala Kesehatan Ibu Anak BAB 5.
BAB 6.
TRADISI SELEBRASI ETNIK BADUY DALAM 5.1. Tradisi Selebrasi Etnik 5.2. Tradisi Seba Baduy 5.2.1. Seba Baduy Tahun 2014 5.3. Tradisi Sunatan Lobaan 5.3.1. Makna Sunatan Lobaan 5.3.2. Para Pelaku Ritual Sunatan Lobaan 5.3.3. Pra-Sunatan Lobaan : Prosesi Geser, Peperan dan Helaran 5.3.4. Prosesi Sunatan Lobaan 5.3.5. Perspektif Etik Sopak Lodong dalam Sunatan Lobaan
229 229 231 232 236 237 238 242
PENUTUP 6.1. Simpulan 6.2. Rekomendasi
263 263 265
INDEX GLOSARIUM DAFTAR PUSTAKA UCAPAN TERIMA KASIH
249 259
267 271 277 283
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Tabel 3.1. Tabel 4.1.
Jumlah Penduduk di Tiga Kampung Tangtu Tahun 2014 Daftar Nama Bahan Alam Obat Tradisional Suku Baduy Dalam Tabel Potensi dan Kendala Fred B.Dunn
xi
47 138 220
DAFTAR GRAFIK
Grafik 3.1. Grafik 3.2.
Grafik 3.3.
Kasus Frambusia Desa Kanekes, Kec euwidamar, Kab Lebak Kasus Pneumonia Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Tahun 2012 Kasus Meninggal KLB Pneumonia Kampung Cibeo, Desa Kanekes Tahun 2012
xii
186 190
190
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Gambar 1.2. Gambar 2.1. Gambar 2.2.
Gambar 2.3. Gambar 2.4. Gambar 2.5.
Gambar 2.6. Gambar 2.7. Gambar 2.8. Gambar 2.9. Gambar 2.10. Gambar 2.11. Gambar 2.12. Gambar 2.13.
Peta Provinsi Banten Denah Kampung Suku Baduy Dalam Tumbuhan Honje di Hutan Sebagian Pemandangan Medan di Wilayah Menuju ke Baduy Dalam Denah Provinsi Banten Denah Tata Letak Suku Baduy Medan Menanjak dengan Kemiringan 45˚ Menuju Wilayah Baduy Dalam Seorang Ibu Suku Baduy memanen padi gogo Lumbung Padi Suku Baduy (Leuit) Kp. Cipaler Contoh Medan Menuju Lokasi Kampung Suku Baduy Denah Tata Letak Ruang Rumah Adat Tradisional Baduy Dalam Sketsa Rumah Tradsional Adat Baduy Dalam Jalan di Tengah Perkampungan Suku baduy Saung Lisung Saung Pepajangan yang Digunakan untuk Prosesi Sunatan, Peperan dan Cukur
xiii
8 9 28 32
35 36 37
42 43 45 49 51 52 54 56
Gambar 2.14. Gambar 2.15. Gambar 2.16. Gambar 2.17. Gambar 2.18. Gambar 2.19. Gambar 2.20. Gambar 2.21. Gambar 2.22. Gambar 2.23. Gambar 2.24. Gambar 2.25. Gambar 2.26. Gambar 2.27. Gambar 2.28. Gambar 2.29. Gambar 2.30. Gambar 2.31. Gambar 2.32
Gambar 3.1. Gambar 3.2. Gambar 3.3. Gambar 3.4.
Denah Pola Pemukiman Suku Baduy 57 Dalam Pemukiman Suku Baduy 58 Gelang Kapuru 60 Hanjuang/Andong (Cordyline terminalis) 66 Bagan Keluarga Inti 68 Struktur Pemerintahan Baduy 69 Bekas Ladang Padi Gogo 94 Seorang ibu Sedang Memetik Padi 97 Gogo di Baduy Saung Baduy 98 Leuit (Lumbung) 100 Seorang Ibu Sedang Menenun 101 Koja dari Kulit Kayu Teureup 102 Seorang Warga Baduy Tangtu Berbelanja 104 di Pasar Kroya Madu Asli Baduy yang Dikemas dalam 105 Botol Golok Baduy Tangtu 107 Pandai Besi Sedang Menyelesaikan 108 Pesanan Golok Lodong untuk Ambil Getah Nira Bahan 110 Gula Kele dan Somong 111 A. Pakaian Baduy Tangtu Pria dan Wanita 114 B. Pakaian Baduy Panamping Pria dan Wanita Warga Baduy Dalam; Bidan Eros Rosita; 124 Kepala Puskesmas Cisimeut Rumah Pangubaran 126 Kamar Inap Rumah Pangubaran 127 Poskesdes Nangerang 129 xiv
Gambar 3.5. Gambar 3.6. Gambar 3.7. Gambar 3.8. Gambar 3.9. Gambar 3.10. Gambar 3.11. Gambar 3.12. Gambar 3.13. Gambar 3.14. Gambar 3.15. Gambar 3.16. Gambar 3.17.
Gambar 3.18. Gambar 3.19. Gambar 3.20. Gambar 3.21. Gambar 3.22. Gambar 3.23. Gambar 3.24.
Kampung Ciranji Pasir, Baduy Luar Penicillin Serbuk Tanaman Panglay Akses menuju Kampung Baduy Dalam Lilis (15 thn) Remaja Puteri Kp Cikeusik Baduy Dalam Baju Perempuan Suku Baduy Dalam Remaja Perempuan Kampung Cikeusik Baduy Dalam Aktivitas Ibu Pasca Bersalin Menunggu Paraji Ayah menyiapkan Hinis untuk memotong Tali Ari-ari Paraji Menyiapkan Tali Teureup Bayi Perawatan Bayi oleh Dukun Paraji Anak Balita Kampung Cikeusik Baduy Dalam Anak Suku Baduy Dalam (Kampung Cikeusik) Memanggul Pisang untuk dijual Menu Makan Sehari-hari Masyarakat Baduy Dalam Sketsa Tempat Sampah dari Bahan Bambu Sungai Ciujung, Kampung Gaseboh Desa Kanekes Pancuran Kampung Baduy Luar Frambusia pada telapak kaki Kerangka Teori Kejadian Pneumonia Ternak Berada di Kolong Rumah, Kampung Baduy Luar
xv
131 133 137 147 155 156 157 165 165 166 168 173 176
178 179 183 184 187 192 193
Gambar 3.25. Gambar 3.26. Gambar 3.27. Gambar 3.28. Gambar 3.29. Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3. Gambar 4.4. Gambar 4.5.
Gambar 5.1.
Gambar 5.2.
Gambar 5.3. Gambar 5.4. Gambar 5.5. Gambar 5.6. Gambar 5.7.
Denah Bagian Dalam Rumah Adat Suku Baduy Dalam Anak Bermain di Kampung Cisadane Baduy Luar Tanaman Kasungka, Obat Cacing Obat Warung Kecacingan yang Dikonsumsi masyarakat Baduy Dalam Penderita Kutil pada Remaja Etnik Baduy Dalam Kampung Cipaler Baduy Luar Pasca Persalinan Menunggu Dukun Paraji Memotong Tali Ari-ari Menggunakan Bambu Bidan Koordinator Puskesmas Cisimeut Obat-obatan yang Dibawa dalam Kegiatan Pemeriksaan Kesehatan di Baduy Dalam Suku Baduy Dalam Berjalan kaki menuju Lokasi Seba Baduy di Pemda Kabupaten Lebak Suku Baduy Luar dalam Truk Menuju Lokasi Seba Baduy di Pemda Kabupaten Lebak Foto Bersama Wagub Provinsi Banten H. Rano Karno Prosesi Seremonial Seba Baduy Perbedaan Bentuk Alat kelamin Sebelum dan Sesudah Disunat Ketua Bengkong Kampung Cibeo Pisau Lipat Sunat yang Usianya Sudah Lima Generasi
xvi
194 197 199 199 201 207 209 210 212 218
233
233
234 235 235 239 241
Gambar 5.8. Gambar 5.9. Gambar 5.10. Gambar 5.11.
Gambar 5.12.
Gambar 5.13. Gambar 5.14. Gambar 5.15.
Gambar 5.16.
Gambar 5.17.
Gambar 5.18.
Gambar 6.1,
Prosesi Helaran, Kampung Kaduketug, Baduy Luar Suasana Pra-Helaran, Kampung Kaduketug, Baduy Luar Alat “Nanggung” Kampung Kadeketug, Baduy Luar Tampak Samping Saung Pesajen/ Papajangan Kampung Kaduketug, Baduy Luar Bagian Dalam Saung Pesajen/ Papajangan Kampung Kaduketug, Baduy Luar Prosesi Sunatan Lobaan di Kampung Balimbing Baduy Luar Tahun 2014 Gambar Teknik Sunat Sopak Lodong Gambar Ayah memangku Anak Selesai Sunat di Kampung Balimbing, Baduy luar Tahun 2014 Gambar Cuci Pisau Lipat (Alat) Sunat dengan Air Kelapa di Kp. Balimbing, Baduy luar Tahun 2014 Kondisi Anak Setelah Sepuluh Jam di Sunat, Kampung Kaduketug, Baduy Luar Tahun 2014 Barang Ucapan Terimakasih yang Diberikan kepada Bengkong Ketika Selesai Melaksanakan Tugasnya Satu Lembar Hateup (tanda panah) yang Dibuka/Tutup untuk Sirkulasi Udara Ketika Memasak
xvii
246 247 249 251
252
253 254 255
256
257
258
266
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Peraturan Desa Kanekes No 01 Tahun 2007 Tentang Saba Budaya dan Perlindungan Masyarakat Adat Tatar Kanekes (Baduy)
xviii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Kebudayaan didefinisikan dengan berbagai cara, sebuah definisi yang tipikal dijelaskan bahwa konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu seperti adat (custom), atau cara hidup masyarakat (Harris M, 1968). Etnografi merupakan kegiatan mendeskripsikan suatu kebudayaan dengan tujuan utamanya adalah memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya.Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara-cara yang berbeda. Tidak hanya belajar dari masyarakatnya tetapi lebih dari itu etnografi berarti belajar dari masyarakat (Malinowski B, 1922) Pengaruh budaya terhadap status kesehatan masyarakat tidak bisa diabaikan begitu saja. Kesehatan merupakan bagian intergral dari kebudayaan. Manusia mampu melakukan aktifitas kebudayaan jika dalam keadaan sehat, sehingga dapat dipahami bahwa kesehatan merupakan elemen penting bagi kebudayaan. Demikian pula sebaliknya kebudayaan menjadi pedoman
1
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
masyarakat dalam memahami kesehatan. Untuk itu memahami masalah kesehatan yang ada di masyarakat melalui kebudayaan sangat penting dilakukan, karena masalah kesehatan tidak pernah lepas dari situasi dan kondisi masyarakat dan budayanya (Ahimsa, 2005: 16). Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan Negara ASEAN lainnya. Survei Demografi Indonesia (SDKI) 2012 memberikan data bahwa AKI 359 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 32 per 1000 kelahiran hidup. Berdasar kesepakatan global MDGs (Millenium Development Goal) tahun 2000 diharapkan tahun 2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup. Penelitian terkait budaya yang berdampak pada status kesehatan, yaitu penelitian mengenai persalinan Etnik Amungmedan Etnik Kamoro di Papua, hasilnya memberikan gambaran bahwa dari 745 responden 204 ibu melahirkan tidak ditolong petugas kesehatan. Ibu yang melahirkan di rumah, persalinannya dilakukan dikamar mandi, kamar tidur, dan bivak. Proses persalinannya dilakukan sendiri tanpa pertolongan dengan bantuan keluarga perempuan atau dukun, dilakukan dengan cara-cara yang membahayakan kesehatan ibu dan bayi. Perilaku ibu masih kuat didasari oleh beberapa tema budaya yang merugikan kesehatan ibu antara lain menganggap urusan persalinan adalah sepenuhnya urusan kaum perempuan, peristiwa persalinan adalah sesuatu yang menjijikkan dan membawa penyakit berbahaya bagi laki-laki dan anak-anak, dan ibu yang meninggal waktu persalinan karena kutukan tuan tanah (teheta) ( Alwi et al, 2001). Hasil riset etnografi kesehatan 2012 di 12 etnis di Indonesia menunjukkan masalah kesehatan ibu dan anak terkait budaya kesehatan sangat memprihatinkan. Keharusan untuk
2
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
tetap bekerja keras sampai mendekati persalinan bagi ibu hamil juga sangat membahayakan baik bagi ibu maupun janinnya. Pemotongan tali pusat dengan sembilu (bambu yang ditipiskan dan berfungsi seperti pisau) masih banyak digunakan untuk memotong tali pusat bayi yang baru dilahirkan. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013), menunjukkan proporsi ibu yang persalinannya ditolong tenaga kesehatan meningkat dari 79,0% pada tahun 2010 meningkat menjadi 86,9% pada tahun 2013. Pada tahun 2013, sebagian besar (76,1%) persalinan juga sudah dilakukan di fasilitas kesehatan dan Poskesdes/Polindes namun ada sebesar 23,7% ibu bersalin yang masih melahirkan di rumah. Menurut Setyawati (2010) perilaku pemilihan penolong persalinan dukun sebagai aktor lokal dipercaya oleh masyarakat sebagai tokoh kunci terutama yang berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan. Pada kasus persalinan, dukun tidak hanya berperan saat proses tersebut berlangsung, namun juga pada saat upacara-upacara adat yang dipercaya membawa keselamatan bagi ibu dan anaknya seperti upacara tujuh bulanan kehamilan sampai dengan 40 hari setelah kelahiran bayi. Aktivitas ini tentunya tidak sama dengan apa yang dilakukan bidan sebagai tenaga paramedis, dan hal ini juga lah yang membuat dukun memiliki tempat terhormat dan kepercayaan yang tinggi di masyarakat. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, prevalensi hepatitis 1,2 persen, dua kali lebih tinggi dibandingkan hasil Riskesdas 2007; prevalensi diabetes melitus (DM) tahun 2013 di daerah perkotaan sebesar 6,8% dan perdesaan 7%, dimana penyandang DM laki-laki sebesar 5,6% dan perempuan 7,7%. Salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia lainnyaadalah masalah gizi. Berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi gizi buruk dan kurang pada balitaberturut turut 5,7%,
3
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dan 13,9% meningkat dari keadaan tahun 2010 yaitu sebesar 4,9%dan 13,0%. Kondisi demikian menunjukkan bahwa masalah kesehatan tidak hanya menyangkut kesehatan ibu dan anak saja, namun termasuk penyakit menular, penyakit tidak menular, gizi dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Selain persalinan, penyakit menular, tidak menular, gizi dan PHBS, tradisi sunat (khitan) pada perempuan masih menjadi salah satu kontroversi perilaku budaya yang terkait erat dengan masalah kesehatan. Menurut ahli kesehatan, sunat (sirkumsisi) pada perempuan tidak memiliki landasan ilmiah, dan lebih didasari pada tradisi dan budaya, bukan agama. Prosedur sirkumsisi perempuan di Indonesia sering hanya pada tindakan simbolik, namun ada juga pemotongan yang dilakukan pada alat kelamin. Dukun bayi di Madura berpendapat bahwa walaupun sedikit, tetapi harus ada darah yang keluar dari klitoris atau labia minora. Di Sulawesi Selatan pada Etnis Bugis di Soppeng (disebut katte), dilakukan dengan cara memotong sedikit klitoris. Pembudayaan sirkumsisi perempuan sangat memprihatinkan, praktek ini dinilai sangat berdampak negatif terhadap perempuan baik dari segi hak kemanusiaan, kesehatan genital/reproduksi, integritas tubuh, psikologis dan hak seksual perempuan itu sendiri (Sauki M, 2010). Penelitian mengenai faktor-faktor sosial budaya yang melatarbelakangi pemberian ASI eksklusif di Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat menjelaskan bahwa kebiasaan memberikan makanan pada bayi baru lahir, antara lain memberikan madu ditambah sedikit air putih, memberikan air putih ditambah dengan gula merah, dan memberi minum bayi kopi sebelum menyusui masih dilakukan sebagian masyarakat. Mengolesi madu pada mulut bayi yang baru lahir diyakini oleh
4
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
masyarakat akan menyebabkan mulut menjadi bersih (Media Y et al, 2005). Uraian beberapa hasil penelitian diatas menunjukkan pentingnya riset kesehatan terkait aspek sosial budaya masyarakat yang lebih mendalam dan spesifik pada etnis tertentu di setiap daerah. Pengembangan atau inovasi dengan pelibatkan sosial budaya lokal yang bermanfaat bagi upaya kesehatan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tersebut melalui suatu intervensi yang dapat diterima oleh masyarakat pelakunya. Permasalahan kesehatan seringkali terkait dengan faktor sosial budaya masyarakat setempat. Hal iniperlu digali guna mengetahui permasalahan mendasar untuk perbaikan yang berdampak positif bagi kesehatan. Pemahaman tentang budaya masyarakat terkait dengan masalah kesehatan sangat penting untuk diperhatikan sebagai faktor penentu menuju keberhasilan program-program kesehatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup individu maupun masyarakat. Gambaran tersebut dapat dimanfaatkan para petugas kesehatan untuk mengetahui, mempelajari, dan memahami apa yang berlaku di masyarakat. Berdasar budaya yang sudah terpantau tersebut, program kesehatan dapat dirancang untuk meningkatkan status kesehatan ibu dan anak sesuai dengan permasalahan lokal spesifik. Dalam proses ini pendekatan budaya merupakan salah satu cara yang penting dan tidak bisa diabaikan. Penelitian ini mengambil topik budaya kesehatan terkait masalah kesehatan yangmeliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang dilaksanakan di beberapa wilayah tertentu Indonesia.
5
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Pemilihan lokasi penelitian ditentukan berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) dan kriteria data Komunitas Adat Terpencil dari Kementrian Sosial. IPKM merupakan indikator komposit yang melibatkan 24 variabel dengan melibatkan rasio dokter/Puskesmas dan rasio bidan/ desa. Berdasarkan ranking IPKM dengan kategori kabupaten bermasalah berat non miskin (KaB) Provinsi Banten menduduki urutan ke 416 dari 432 Provinsi di seluruh Indonesia. Selain itu berdasarkan data Komunitas Adat Terpencil dari Kementrian Sosial bermukim Etnik Baduy di salah satu kabupaten di Provinsi Banten. Fakta tersebut menetapkan Etnik Baduy menjadi salah satu Etnik terpilih dari 20 etnis di 20 Provinsi lainnya dalam Riset Etnografi Kesehatan di Tahun 2014. Dari uraian di atas maka pertanyaan penelitian adalah bagaimana gambaran secara menyeluruh aspek potensi budaya masyarakat terkait masalah kesehatan di masyarakat Etnik Baduy Dalam Kabupaten Lebak Provinsi Banten? 1.2. Tujuan 1.2.1. Tujuan Umum Mendapatkan gambaran potensi budaya masyarakat terkait masalah kesehatan yang meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) masyarakat Etnik Baduy Dalam Kabupaten Lebak Provinsi Banten. 1.2.2. Tujuan Khusus Mengidentifikasi secara mendalam unsur-unsur budaya yang mempengaruhi kesehatan dan pengambilan keputusan
6
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
terkait dengan pelayanan kesehatan di masyarakat Etnik Baduy Dalam Kabupaten Lebak Provinsi Banten. 1.3. Metode 1.3.1.Desain Studi Riset ini didesain sebagai riset khusus kesehatan dengan desaineksploratif dengan pendekatanetnografi. Dalam metode etnografi, peneliti langsung terjun ke lapangan mencari data melalui informan (Ratna, 2010:88). Menurut LeCompte dan Schensul (1999 dalam Emzir, 2011:18) etnografi adalah sebuah metode penelitian yangbermanfaat dalam menemukan pengetahuan yang tersembunyi dalam suatu budaya dan komunitas.Spradley (1997: 12-20, Kuper dan Kuper, 2000: 31) menyebutkan lima manfaat etnografi dalam memahami rumpun manusia, yaitu: a) memberikan informasi tentang adanya teoriteori ikatan budaya (culture-bound), sekaligus mengoreksi teori sosial Barat, b) menemukan teori grounded, sekaligus mengoreksi teori formal, c) memahami masyarakat kecil (non-Barat), sekaligus masyarakat kompleks (Barat), d) memahami perilaku manusia sebagai perilaku yang bermakna, sekaligus perbedaannya dengan perilaku binatang, dan e) yang terpenting adalah untuk memahami manusia sekaligus kebutuhan-kebutuhannya. 1.3.2.Penentuan Daerah Penelitian Provinsi Banten terpilih menjadi salah satu lokasi penelitian dari 19 Provinsi Lainnya untuk dilakukan Riset Etnografi Kesehatan di Tahun 2014. Seperti yang telah diuraikan di latar belakang pada uraian sebelumnya bahwa kriteria pemilihan lokasi ditentukan berdasarkan Indeks Pembangunan
7
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Kesehatan Masyarakat (IPKM) dan kriteria data Komunitas Adat Terpencil dari Kementrian Sosial. Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat tradisi yaitu Etnik Baduy yang tinggal di Desa Kanékés Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy pada umumnya terletak pada daerah aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng – Banten Selatan. Letaknya sekitar 172 km sebelah Barat ibukota Jakarta; sekitar 65 km sebelah Selatan ibukota Provinsi Banten.
Gambar 1.1. Peta Provinsi Banten Sumber:http://petatematikindo.files.wordpress.com/2013/03/administrasibanten.jpg [diakses 4/8/2014]
Etnik Baduy terbagi menjadi dua bagian yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baduy Dalam bermukim di tiga kampung yaitu Cikeusik, Cikartawana dan Cibeo, sedang Baduy Luar bermukim di kampung-kampung di luar ketiga kampung dalam tersebut, dengan jumlah kampung seluruhnya ada 62 kampung.
8
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Orang Kanékés atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.
Gambar 1.2. Denah Kampung Etnik Baduy Dalam Sumber :http://herulegowo.files.wordpress.com/2012/12/peta.jpg [diakses tgl 4/8/2014]
Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden).
9
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian Utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanékés atau “orang Kanékés” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993). Penelitian etnografi kesehatan difokuskan pada masyarakat Etnik Baduy Dalam yang mendiami 3 kampung di Desa Kanékés. 1.3.3. Pemilihan Informan Salah satu hal yang terpenting dalam penelitian etnografi adalah pemilihan informan, karena Informan sebagai sumber data. Pemilihan informan dalam penelitian etnografi kesehatan ini menggunakan teknik snow ball yang merupakan teknik pengambilan informan bermula pada salah seorang atau beberapa orang yang dapat dijadikan sebagai sumber informasi. Selanjutnya sumber informasi tersebut diharapkan dapat memberikan informasi dan merekomedasikan tentang siapa di antara warga masyarakat di daerah penelitian yang dapat dijadikan beberapa informan berikut yang diharapkan dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan masalah kesehatan di daerah penelitian. Penelitian diawali dengan mencari informasi melalui aparat desa setempat yang diharapkan dapat memberikan informasi dan merekomendasikan tentang beberapa orang yang dapat dijadikan sebagai informan awal. Informan diperoleh setelah tim peneliti tinggal relatif cukup lama di daerah penelitian yaitu sekitar60 hari. Dalam hubungan ini, Lincoln dan Goba menyebutkan bahwa konsep sampling yang relevan dipergunakan dalam penelitian kualitatif adalah variation
10
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
sampling to document unique variations that have emerged ini adapting to different conditions. Karena itu, dalam proses pengumpulan data tentang suatu topik, bila variasi informasi tak muncul atau ditemukan lagi, maka peneliti tidak perlu lagi melanjutkannya dengan mencari informasi atau informan baru, begitu pula sebaliknya. Jumlah informan sangat tergantung pada pemilihan informannya itu sendiri, dan kompleksitas atau keragaman fenomena yang diteliti (Faisal, 1990:57). Cara ini banyak dipakai ketika peneliti tidak banyak tahu tentang masyarakat yang diteliti.Peneliti hanya tahu satu atau dua orang yang berdasarkan penilaiannya bisa dijadikan informan. Karena peneliti menginginkan lebih banyak lagi, maka peneliti akan minta kepada informan pertama untuk menunjukan orang lain yang kira-kira bisa dijadikan informan (Hendarso dalam Suyanto, 2005:171-172). Berdasarkan kriteria yang telah ditentukan maka informan dalam penelitian ini adalah: 1) Remaja, keluarga, dan tetangganya. 2) Ibu yang sedang atau pernah hamil dan bersalin, suaminya, dan keluarganya. 3) Ibu yang memiliki anak bayi atau balita, suaminya, dan keluarganya. 4) Tokoh masyarakat, tokoh agama, atau tokoh adat yang mengetahui budaya setempat. 5) Pengobat tradisional, seperti dukun dan pengobatan alternatif lainnya. 6) Petugas kesehatan Puskesmas dan jaringannya. Beberapa informan tersebut adalah orang-orang yang dipilih karena berasal dari kebudayaan yang menjadi setting penelitian dan pada saat penelitian mereka sedang terlibat langsung dalam kebudayaan masyarakat setempat. Jumlah
11
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
informan dibatasi dengan maksud agar data yang diperoleh lebih terfokus dan tidak melebar. 1.3.4. Instrumen Pengumpulan Data Dalam metode penelitian etnografi, instrumen penelitian adalah peneliti itu sendiri. Sebagai instrumen penelitian, peneliti melakukan observasi partisipasi, yaitu peneliti tinggal dan hidup bersama masyarakat untuk menggali lebih dalam (eksplorasi) informasi dan mengamati obyek-obyek yang ingin diketahui terkait dengan kesehatan masyarakat setempat. Pengumpulan data melalui wawancara mendalam (Indept Interview), menggunakan pedoman wawancara kapada segenap informan yang meliputi : 1) Informan kunci, yaitu pelaku budaya itu sendiri yang mengetahui tentang budaya masyarakat setempat. 2) Pengamatan terlibat (observation participation), menggunakan pedoman pengamatan terhadap fenomena sosial dan budaya yang ada terkait dengan kesehatan. 3) Melakukan pencatatan yang merupakan catatan harian yang dimasukkan dalam buku (logbook). 4) Perekaman gambar menggunakan kamera dan video serta perekaman suara. Informasi dilengkapi dengan melakukan penelusuran data sekunder, referensi dan pustaka yang berkaitan dengan substansi penelitian. 1.3.5. Analisis Data Validitas data diukur dari pemahaman masyarakat (yang dijadikan informan penelitian) atas berbagai aspek budaya terkait KIA, PTM, PM dan PHBS. Data dari informan dilakukan 12
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
validasi triangulasi (mencocokkan, membandingkan hasil wawancara mendalam antara informan dengan informan lainnya). Analisis data kualitatif dilakukan dengan analisis domain (mengelompokkan setiap pertanyaan yang sama), lalu dilakukan analisis content, selanjutnya ditarik suatu makna, dan dilakukan pembahasan hasil makna dan penarikan kesimpulan. Pengolahan data secara manual dilakukan dengan menggunakan matriks kontras untuk mengetahui faktor-faktor penghambat dan pendukung. Proses berikutnya adalah pengolahan informasi dan penulisan buku. Informasi tentang etnografi budaya berikut budaya KIA, PM, PTM dan PHBS ini tidak saja dikumpulkan, tetapi kemudian ditunjang oleh sejumlah literatur yang diolah dan dipaparkan dalam laporan ini. 1.4. Kelemahan-kelemahan Studi Salah satu kelemahan utama penelitian etnografi adalah bahwa dibutuhkan lebih lama daripada bentuk penelitian lainnya. Tidak hanya membutuhkan waktu lama untuk melakukan kerja lapangan, tetapi juga memakan waktu lama untuk menganalisis materi yang diperoleh dari penelitian. Lama waktu penelitian selama 60 hari sehingga hanya dapat menangkap fenomena yang terjadi selama peneliti berada di lokasi. Kelemahan lain dari penelitian etnografi adalah bahwa lingkup penelitiannya tidak luas. Etnografi sebuah studi biasanya hanya satu organisasi budaya. Bahkan keterbatasan ini adalah kritik umum dari penelitian etnografi, penelitian ini hanya mengarah ke pengetahuan yang mendalam konteks dan situasi tertentu. Perspektif pengkajian kemungkinan dipengaruhi oleh kecenderungan budaya peneliti. Selain itu adanya orientasi fungsi masing-masing Kampung Etnik Baduy Dalam sehingga fokus
13
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
lokasi penelitian lebih banyak dilakukan di Kampung Cibeo sesuai tupoksinya menangani kepemerintahan dan sebagai public relation (PR)/hubungan dengan orang luar Baduy. 1.5. Kajian Terdahulu Pada sub bab ini akan disajikan beberapa tinjauan terhadap karya-karya terdahulu yang pernah meneliti masyarakat Etnik Baduy baik Baduy Dalam dan Baduy Luar. Kajian pustaka ini hanya sebagian yang diperoleh penulis yang akan disajikan secara kronologis dan tematis agar diperoleh gambaran perkembangan masyarakat Etnik Baduy dulu hingga kini. 1. Feri Prihantoro BINTARI (Bina Karta Lestari) Foundation (2006) Tulisan dengan judul KEHIDUPAN BERKELANJUTAN MASYARAKAT ETNIK BADUY mengulas konsep pembangunan berkelanjutan yang telah diajarkan secara turun temurun oleh masyarakat Baduy, tanpa terlebih dahulu mengenal istilah pembangunan berkelanjutan yang menjadi isu internasional. Prinsip perubahan sekecil-kecilnya dan alam merupakan titipan dari Tuhan untuk anak cucu, mendasari pemikiran mereka dan mempengaruhi segala aktivitas kehidupan mereka. Gaya hidup sederhana tanpa mengharapkan bantuan dari luar telah membangun mental yang mandiri dan berkelanjutan. 2. Faisal Anwar dan Hadi Riyadi (2008) Penelitian mengenai STATUS GIZI DAN STATUS KESEHATAN ETNIK BADUY lebih terfokus pada Etnik Baduy Luar, hal ini karena ada beberapa kendala terkait larangan aturan adat terhadap beberapa kegiatan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menggambarkan Jenis penyakit kulit yang sering diderita masyarakat Baduy khususnya Baduy Luar adalah
14
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
penyakit kulit jenis budug. Jenis penyakit lain yang juga sering dialami masyarakat Baduy Luar adalah penyakit kulit gatal-gatal, bentol dan kulit kemerahan. Penyebab penyakit ini lebih disebabkan karena lingkungan kurang bersih dan disebabkan oleh gigitan serangga. Status gizi yang dibahas dalam laporan ini didasarkan pada hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan, Prevalensi stunted (pendek) secara keseluruhan adalah sebesar 60.6%. Prevalensi ini jauh lebih tinggi daripada prevalensi stunting anak balita di Indonesia hasil Riskesdas 2007, yang hanya sekitar 36,8% (Depkes, 2008). Artinya kondisi ini mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat di desa penelitian masih rendah. 3. Masykur Wahid (2010) Artikel dengan judul “SUNDA WIWITAN BADUY:Agama Penjaga Alam Lindung di Desa Kanékés Banten“ memaparkan tentang sistem religi dan ritual keagamaan Sunda Wiwitan. Keimanan dan ketaatan umat Baduy kepada Allah tampak dalam tindakan mereka menjaga hutan, sungai dan gunung hidup harmoni. Keimanannya bukan dalam hafalan ataupun penafsiran kitab suci. Sedangkan, ibadah ritualnya dipraktekkan lewat bekerja di ladang dengan aturan adat dan patuh pada tabu supaya panen berhasil dan umat sejahtera. Ibadahnya bukan ingin menjadi manusia yang dihormati ataupun dermawan. Inilah umat Sunda Wiwitan dengan pandangan hidup menjaga alam lindung Kanékés. 4. Raden Cecep Eka Permana, Isman Pratama Nasution, dan Jajang Gunawijaya (2011) Artikel dengan judul “KEARIFAN LOKAL TENTANG MITIGASI BENCANA PADA MASYARAKAT BADUY” penelitian ini mengenai kearifan lokal masyarakat Baduy Dalam pencegahan bencana. Kearifan lokal dalam mitigasi bencana yang dimiliki masyarakat Baduy sejatinya didasari oleh
15
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
5.
6.
7.
8.
16
pikukuh (ketentuan adat) yang menjadi petunjuk dan arahan dalam berpikir dan bertindak. Pikukuh merupakan dasar dari pengetahuan tradisional yang arif dan bijaksana, termasuk juga dalam mencegah bencana. Yollanda Octavitri (2012) Artikel mengenai “RESEPSI MASYARAKAT KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN TERHADAP UPACARA SEBA ETNIK BADUY”. Hasil penelitian menunjukkan resepsi masyarakat Kabupaten Lebak terhadap Upacara Seba secara umum menghargai dan apresiasi. Secara spesifik variasi resepsi masyarakat Kabupaten Lebak dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yaitu usia, tingkat pendidikan dan status kebudayaan. R.D Anna Enariah Traditional House Architecture Characteristic of Tribe Baduy Evaluated from Artistic Characteristic of Installation. AL MUSHOWWIR (2013) KOMUNIKASI RITUAL ADAT SEBA MASYARAKAT BADUY, acara ritual adat seba ini wajib dilaksanakan merupakan salah satu tradisi adat yang harus dilakukan setiap tahunnya bagi masyarakat sebagai wujud nyata kesetiaan dan ketaatan masyarakat Baduy kepada pemerintah dan menghormati para leluhurnya, dan apabila tidak dilaksanakan maka akan kualat dan terjadi bencana. Wilodati Sistem Tatanan Masyarakat dan Kebudayaan Orang Baduy, Kajian tentang perubahan sosial pada masyarakat Baduy sebagai salah satu Etnik terasing di nusantara masih sangat jarang. Hal itu disebabkan karena masyarakat Baduy salah satu kelompok Etnik terasing di Indonesia yang mempunyai kesan tersendiri. Pendiriannya keras tapi tidak merepotkan orang lain, dalam keadaan bagaimanapun masyarakat Baduy, buyut (larangan) sudah menjadi pagar tradisi yang kokoh
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
untuk taat pada pikukuh (aturan). Disini penulis berusaha mengungkapkan bahwa seperti kelompok masyarakat umumnya, Baduy-pun tersentuh berbagai perubahan. 9. Mulyanto, Nanik Prihartanti dan Moordiningsih. PERILAKU KONFORMITAS MASYARAKAT BADUY, Ada 6 kondisi psikologis yang menyertai warga Baduy ketika melakukan konformitas terhadap aneka pikukuh adat wiwitan: Konformitas dilakukan berdasarkan motif internal; Warga tidak akan ikut campur bila ada yang non konformitas; Warga tidak merasa tertekan; bahkan merasa konformitas adalah ekspresi aktualisasi diri; Warga betah tinggal di Baduy meskipun aturan adat ketat namun bertujuan baik; Warga tidak ingin berbeda dengan ketentuan adat sebagaimana falsafah hidup “panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung”; Orang Baduy akan jujur mengakui, bila melakukan pelanggaran adat. Ada enam faktor yang melatarbelakangi munculnya konformitas dalam masyarakat Baduy: adanya nilai-nilai yang lebih menghargai konformitas dibanding nilai-nilai kemandirian; Adanya lembaga adat; tingginya kepercayaan orang Baduy terhadap kelompok sebagai sumber kebenaran; adanya rasa takut orang Baduy terhadap penyimpangan; adanya kekompakan warga Baduy, dan besarnya ukuran warga Baduy yang sependapat. 1.6. Sistematika Buku Agar penulisan buku ini tersusun lebih terarah dan sistematis penulis membagi menjadi enam bab yang didahului dengan kata sambutan, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, lampiran dan diakhiri dengan indeks, glosarium dan daftar pustaka. Adapun sistematika penulisan buku ini dibagi ke dalam 6 (enam) bab perinciannya sebagai berikut :
17
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Pada Bab 1, membahas latar belakang penelitian dilakukan, merumuskan permasalahan dan tujuan penelitian. Selain itu menguraikan metode penelitian dilakukan meliputi batasan, desain, wilayah kerja, kelemahan-kelemahan, kajian terdahulu dan sistematika studi. Kemudian Bab 2, berisi deskripsi Etnik Baduy Dalam mulai dari gambaran sejarah, alam dan budaya; geografi dan kependudukan; Religi; Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan; Pengetahuan; Bahasa; Kesenian; Mata pencaharian dan Teknologi dan peralatan. Bab 3, Potret Kesehatan masyarakat Etnik Baduy Dalam. Menggambarkan potret kesehatan mulai dari pertamakali masyarakat Etnik Baduy Dalam mengenal pengobatan modern sampai dengan gambaran budaya terkait kondisi kesehatan ibu dan anak (KIA), PM, PTM dan PHBS). Bab 4, Pikukuh Budaya Kesehatan Ibu dan Anak Etnik Baduy Dalam. Mendeskripsikan perspektif emik dan etik serta potensi dan kendala terkait budaya kesehatan ibu dan anak yang dijalani dan dipegang teguh. Bab 5, Tradisi Selebrasi Etnik Baduy Dalam. Menggambarkan dan menjelaskan makna secara emik dan etik tradisi tahunan Seba dan Ritual Sunat yang dilakukan secara massal baik pada laki-laki dan perempuan Terakhir Bab 6, Penutup ini merupakan jawaban apa yang bisa dijawab dari tujuan yang ditetapkan dan rekomendasi yang bisa dilakukan berdasarkan permasalahan dan potensi yang dimiliki.
18
BAB 2 MENGENAL ETNIK BADUY DALAM
2.1. Sejarah Desa Sebelum menginjak pada pembicaran tentang sejarah keberadaan Etnik Baduy, terlebih dahulu digambarkan sepintas perjalanan menuju perkampungan masyarakat Baduy Dalam. Untuk menuju perkampungan masyarakat Baduy Dalam yang berada di wilayah Kecamatan Leuwidamar, diawali dari kota Rangkasbitung dengan jarak tempuh 50 Km. Untuk mencapai perkampungan tersebut dapat ditempuh menggunakan kendaraan umum atau kendaraan pribadi baik roda empat atau roda dua. Apabila menggunakan kendaraan umum yaitu sejenis minibus dari terminal Aweh, ongkosnya Rp 30.000,-. Kondisi dalam pejalanan melewati daerah pegunungan Kendeng, jalannya naik turun dan berkelok. Tentunya bagi orang atau mereka yang tidak terbiasa dan fisik dalan kondisi kurang sehat sangat mungkin akan mengalami mabok. Setibanya di Ciboleger, Kecamatan Leuwidamar, maka bagi pengunjung yang akan meneruskan perjalanan ke kampung Baduy Dalam harus menempuh waktu selama 5 jam dengan berjalan kaki melalui jalan setapak dengan kondisi jalan naik turun perbukitan. Sesampainya kampung Cibeo, bila melanjutkan perjalanan hingga kampung Cikartawana perlu waktu 1 jam, dan
19
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
apabila berlanjut hingga Kampung Cikeusik ditambah waktu 3 jam lagi. Selama penelitian berlangsung yang dimulai pada bulan Mei hingga Juni 2014, tim peneliti untuk menuju dan mencapai Kampung Cibeo dibantu dengan oleh 6 (enam) tenaga orang dari warga mayarakat Baduy Dalam yang berdomisili di kampung Cibeo yang berperan juga sebagai penunjuk jalan. Kondisi medan menuju kampung Cibeo tidak jauh berbeda dengan perjalanan sebelumnya, yaitu naik turun daerah perbukitan melalui jalan setapak berupa tanah liat yang licin jika dalam kondisi hujan. Hampir setiap sore turun hujan. Sudah ada upaya membuat jalan makadam yaitu berupa susunan dari batu pecah yang diatur padat kemudian ditimbuni kerikil hingga permukaannya keras, namun hanya sebagian kecil saja. Sepanjang jalan disebelah kanan kiri terlihat huma/ladang penduduk Baduy, dan hutan primer maupun sekunder dengan jenis tanaman karet, pinus. Dalam perjalanan tim peneliti sempat beristirahat singgah di sebuah saung (gubuk yaitu berupa rumah di tengah ladang/huma). Ketika tim peneliti istirahat, didatangi oleh salah seorang Jaro Baduy Tangtu dengan seorang pangiwa (polisi adat Baduy). Beliau berdua ingin mengetahui maksud dan tujuan tim peneliti masuk ke wilayah perkampungan Baduy Dalam. Dalam kesempatan itu tim peneliti memohon untuk dapat dihubungkan dengan Kepala Desa Kanékés yang disebut Jaro Pamarentah yang saat itu dijabat oleh Dainah. Setelah mendapat penjelasan melaui telpon seluler, JaroPamarentah paham akan maksud dan tujuan tim peneliti untuk datang ke perkampungan masyarakat Baduy Dalam, maka tim diperbolehkan untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum melakukan dan memulai penelitian, secara adminstrasi tim peneliti sudah melakukan pegurusan surat-surat berkenaan dengan perijinan mulai dari tingkat provinsi hingga tingkat desa.
20
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
2.1.1. Asal Usul (Babat) Beberapa sumber menyebutkan asal usul Etnik Baduy, masyarakat Etnik Baduy Dalam. Masyarakat Etnik Baduy Dalam sendiri suka menyebut dirinya urang Kanékés. Urang Kanékés lebih dikenal oleh masyarakat umum termasuk pengamat dengan sebutan Etnik Baduy. Disebut Baduy dikarenakan oleh beberapa sebab yaitu : a) Daerahnya yang diapit oleh dua gunung Baduy. b) Diadaptasi dari nama masyarakat Badawi yang pada zaman dahulu merupakan salah satu Etnik yang hidupnya nomaden, yang memiliki gaya hidup mirip dengan orang Kanékés. Sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan semua sistem lain dalam desa Kanékés masih berpola tradisional. Secara administrasi pembagian wilayah dibagi menjadi tiga wilayah utama yakni Cikeusik, Cikartawana dan Cibeo. Ada sumber yang mengatakan bahwa sebutan Etnik Baduy menurut cerita adalah asalnya dari kata Baduy, yakni sebutan dari golongan/kaum Islam yang maksudnya karena Etnik itu tidak mau mengikuti dan taat kepada ajaran agama Islam, sedangkan di Saudi Arabia golongan yang seperti itu disebut Badui maksudnya golongan yang membangkang tidak mau tunduk dan sulit diatur sehingga dari sebutan Badui inilah menjadi sebutan Etnik Baduy. Sistem budaya tradisional di masyarakat Kanékés ini sama halnya dengan sistem budaya tradisional di masyarakat lain yakni menggunakan sistem lisan untuk memberitakan suatu hal berupa informasi, cerita, hiburan atau pendidikan. Orang Baduy percaya bahwa nenek moyang mereka telah menempati Desa Kanékés sejak jaman Nabi Adam, yang dianggap sebagai tempat asal usul manusia yang dilahirkan di bumi ini. Menurut keyakinan mereka, tempat pertama yang dihuni
21
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
manusia adalah Kampung Cikeusik kemudian Kampung Cikartawana, dan terakhir di Kampung Cibeo. Dari ketiga kampung itu warganya kemudian menyebar ke kampungkampung lainnya. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Etnik Baduy berasal dari Kerajaan Pajajaran. Namun ada pula pendapat yang berebeda mereka adalah penduduk Banten Utara karena faktor sosial politik tertentu pindah ke Selatan ke daerah Kanékés yang didiami sekarang ini. Beberapa informasi yang diperoleh dari beberapa informan tentang Etnik Baduy mereka adalah keturunan dari Batara Cikal, yaitu salah satu dari tujuh dewa yang diutus turun ke bumi. Informasi tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang yang pertama, yang dipercaya Adam dan keturunannya termasuk warga Baduy. Utusan tersebut bertapa atau asketik (mandita) dengan maksud untuk menjaga keharmonisan dunia. Mereka juga beranggapan bahwa Etnik Baduy merupakan peradaban masyarakat yang pertama kali ada di dunia. Pendapat lain yang membuktikan orang Baduy manusia tertua setidaknya di Pulau Jawa, berdasarkan bukti-bukti pra sejarah dan sejarah, punden berundak Lebak Sibedug di Gunung Halimun 3 km lebih dari Cibeo berusia 2500 SM masa neolitik, memiliki kesamaan simetris dengan peninggalan yang sama dengan piramida di Mesir dan Kuil Mancu Pichu di Peru ribuan tahun silam. Sedangkan Arca Domas hingga kini masih misterius, terletak disebelah Selatan Cikeusik dihulu sungai Ciujung, pegunungan Kendeng. bagian Selatan dan dipublikasikan pertama kali oleh Koorders yang datang pada tanggal 5 Juli 1864 (Djoewisno, 1987). Arca domas adalah menhir berukuran besar diatas punden berundak paling atas. Bangunan punden berundak ini juga dilengkapi menhir lainnya. Mereka percaya arca domas adalah lambang Batara Tunggal tempat dimana roh diciptakan
22
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
dan berkumpul. Selain itu arca domas merupakan pusat bumi dan asal muasal manusia diturunkan ke bumi dan menjadi nenek moyang orang Baduy. Karena itu arca domas merupakan daerah larangan yang tidak boleh dimasuki orang luar (Purwitasari, 2000). Berbagai informasi tentang asal-usul orang Baduy tersebut berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Cina, dan ceritera rakyat mengenai Tatar Sunda yang cukup minoritas keberadaannya. Keberadaan masyarakat Baduy sering dikaitkan dengan Kerajaan Sunda atau yang lazim disebut sebagai Kerajaan Pajajaran pada abad 15 dan 16 M, atau kurang lebih enam ratus tahun yang lalu. Wilayah Banten pada waktu itu merupakan bagian dari Kerajaan Pajajaran, yang berpusat di Pakuan (wilayah Bogor sekarang). Banten merupakan kota pelabuhan dagang yang cukup besar. Di wilayah tersebut mengalir Sungai Ciujung yang dapat dilayari berbagai jenis perahu besar maupun kecil untuk mengangkut hasil bumi dari pedalaman. Untuk itu penguasa di wilayah Banten yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan, maka diperintahkan sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan hutan yang lebat dan berbukit di Gunung Kendeng. Keberadaan pasukan bertugas yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
23
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
K. Adimihardja dalam bukunya Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air Pemelihara Sungai, Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, hal 47–59) menuturkan, di masa itu wilayah ujung Barat Pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Padjadjaran, sebagai pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari untuk mengangkut hasil bumi dari wilayah pedalaman. Penguasa wilayah ini; Pangeran Pucuk Ulum menganggap keamanan wilayah ini harus dijaga, maka sepasukan tentara kerajaan diperintahkan untuk menjaga kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus inilah yang diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Baduy yang mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng hingga kini. Y. Garna, dalam Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia (Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial, Gramedia Pustaka Utama, 1993), menyangkal pendapat ini. Dia mengetengahkan penuturan Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan di tengah masyarakat Baduy pada 1928. Van Tricht menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh dari luar, masyarakat Baduy sudah ada sejak lama di sana dan merupakan masyarakat asli. Saya tekankan lagi bahwa menurut Van Tricht, masyarakat Baduy terutama warga masyarakat Etnik Baduy Dalam memiliki sifat yang menolak keras dan tidak bisa mengadopsi kebudayaan luar. Selama ini kearifan adat Baduy terbukti mampu bertahan dari cengkeraman kuasa pemerintah kolonial Belanda dan Jepang. Bahkan masih bertahan dalam pemerintahan nasional, termasuk ketika penguasa Orde Baru, mencoba “menyisipkan”
24
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
pola pembangunan lima tahun ke dalam masyarakat Baduy di tahun ’80-an. Mereka mampu menghindar dengan mengirim utusan menghadap Presiden Soeharto, dan memohon agar mereka dibiarkan menjaga keutuhan adat dan kehidupan mereka sendiri. Selain itu, menurutnya masyarakat Baduy Dalam sangat mempertahankan adatnya untuk melindungi kebudayaannya. Itu terbukti Etnik Baduy Dalam masih sangat ketat untuk mempertahankan kebudayaan nenek moyang mereka dengan sebutan bahwa Etnik Baduy masih tetap memegang pikukuh karuhun. Pendapat Van tricht terkait sejarah Etnik Baduy Dalam ini sejalan dengan pendapat Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5). Menurut dua ahli ini saat itu raja yang berkuasa di wilayah sekitar Baduy adalah Rakeyan Darmasiska, raja ini memerintahkan masyarakat Baduy yang memang sudah tinggal di sana dari dahulu untuk memelihara Kabuyutan (tempat pemujaan nenek moyang). Menjadikan kawasan tersebut sebagai Mandala atau kawaan suci. Masyarakatnya sendiri di kenal memiliki kepercayaan Sunda Wiwitan (wiwitan: asli,pokok). Sampai sekarang pun masyarakat Baduy masih memegang teguh kepercayaan tersebut. 2.1.2. Perkembangan Desa Informasi Perubahan Fisik (jalan, bangunan, sungai sawah ladang, dll) dalam kurun waktu 5-10 tahun lalu. Sesuai dengan lingkungan fisik Desa Kanékés secara geografis, memang tidak memungkinkan untuk sementara ini mengalami pembangunan seperti pada desa umumnya. Artinya bahwa pembangunan di Desa Kanékés tidak bisa disamakan dengan pembangunan di wilayah desa di luar Desa Kanékés. Pada Etnik Baduy untuk pembangunan fisik hampir tidak ada, seandainya ada hanya berupa bangunan jembatan. Jembatan ini pun hanya
25
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
menggunakan bambu dan tali. Di perkampungan Baduy Dalam tidak dibenarkan untuk membangun menggunakan bahan-bahan yang diproduksi dari industri mesin. Bahkan kayu digergaji saja tidak akan dipakai untuk bahan dalam membangun rumah. Muncul suatu pertanyaan, mengapa demikian? Hal ini terjadi karena ruang geraknya memang dibatasi oleh adat. Sebenarnya kalau ditelaah lebih dalam larangan tersebut bukan hanya sekedar yang berhenti begitu saja. Namun harus diterjemahkan bahwa manusia bisa hidup dengan baik apabila bisa menyelaraskan dengan kondisi alam lingkungan dimana mereka berada. Artinya manusia hidup itu bisa melakukan konservasi alam lingkungannya sendiri, sehingga meskipun sumber daya alam dimanfaatkan oleh manusia namun tidak habis dan sebaliknya menjadi berkelanjutan keberadaannya. Masyarakat adat Baduy berusaha tetap untuk eksis dengan mempertahankan kondisi sumber daya alam lingkungan yang mendukung kebutuhan hidupnya. Misalnya ketika menggunakan sumber daya alam berupa air dari sungai untuk kebutuhan konsumsi, mereka tetap melarangnya untuk mandi karena bukan peruntukannya. Ketika membuka dan mengolah tanah untuk ladang, Etnik Baduy tidak membalik atau mencangkul tanah. Sehingga cukup membersihkan rumput dari permukaan tanah yang disebut dengan ngored. Memang ada peribahasa tentang pemanfaatan alam dengan apa adanya tanpa merusak lingkungan alam. Diantara pesan leluhur (karuhun) yang menunjukkan kesederhanaan dalam menyelaraskan dengan alam untuk hidup Etnik Baduy berbunyi sebagai berikut: Gunung teu meunang dilebur, Lebak teu meunang dirusak, Larangan teu meunang dirempak, Buyut teu meunang diubah, Lojor teu meunang dipotong,
26
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Pondok teu meunang disambung, Nu lain kudu dilainkeun, Nu ulah kudu diulahkeun, Nu enyak kudu dienyakeun. Artinya: Gunung tak boleh dihancurkan, Lembah tak boleh dirusak, Aturan tak boleh diubah, Panjang tak boleh dipotong, Pendek tak boleh disambung, Yang bukan harus ditiadakan, Yang jangan harus dinafikan, Yang benar harus dibenarkan.
Dalam hal ini adat tidak dibenarkan dipandang secara negatif, tetapi justru memiliki nilai yang sangat positif dan memiliki makna yang sangat dalam. Diantara nilai positif dalam pelestarian alam lingkungan dapat diberikan beberapa contoh dalam kehidupan sehari-hari diantaranya adalah: 1) Bahwa warga Baduy ketika menebang pohon, tidak semena-mena segala pohon ditebangi tetapi dipilih yang tertua. 2) Demikian pula dengan menanam padi (pare), jagung, singkong (benter) atau ubi jalar selama ini tidak menggunakan cangkul atau beliung. Tapi cukup menggunakan alat yang disebut kored (alat seperti cangkul kecil) yang fungsinya untuk membersihkan rumput di ladang. Ada suatu keyakinan apabila tanah ladang atau pekarangan dicangkul maka identik dengan menyakiti Dewi Sri. Kalau Dewi Sri sakit maka tidak akan memberikan makanan bagi kehidupan. Dimaksud dengan Dewi Sri sakit bisa dimaknai bumi menjadi rusak akibat ulah manusia. Bila bumi sudah rusak maka manusialah yang akan menuai 27
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
hasilnya yaitu keulitan untuk mendapatkan lahan untuk sawah, ladang, termasuk hutan sebagai tempat sumber cadangan air bersih. 3) Mandi tidak menggunakan sabun, sikat gigi tidak menggunakan pasta gigi. Baik sabun atau pasta yang digunakan adalah tumbuhan honje (etlingera elatior).
HONJE
Gambar 2. 1. Tumbuhan Honje dihutan Sumber: Dokumentasi Peneliti
Solidaritas dan Kegotongroyongan. Masyarakat Etnik Baduy Panamping atau Baduy Tangtu masih tetap menjunjung tinggi solidaritas dan gotong royong yang cukup tinggi. Bentuk ini diantaranya terlihat ketika: a. Memperbaiki rumah atau membangun rumah warga. b. Memperbaiki jembatan bambu sebagai penghubung wilayah Baduy Panamping dengan Baduy Tangtu. c. Membuka ladang adat yang baru (ngacar serang).
28
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
d. e.
Membantu saudara, kerabat atau tetangga baik dalam kesusahan (kematian). Membantu saudara, kerabat atau tetangga ketika melaksanakan upacara daur hidup atau life cycle.
Masyarakat Etnik Baduy masih tetap memegang nilai-nilai adat yang menjunjung tinggi norma, hal itu diantaranya dapat diperhatikan pada Peraturan Desa Kanékés Nomor: 01 tahun 2007 tentang Saba Budaya dan Perlindungan Masyarakat Adat Tatar Kanékés (Baduy) yang disyahkan di Kaduketug pada tanggal 15 Juli 2007 oleh Jaro Pemerintah/Kepala Desa Kanékés Daina. Peraturan ini juga diundangkan di Kaduketug pada tanggal 15 Juli 2007 oleh Sekretaris Desa, Haji Safin. Selain yang tertera dalam peraturan secara hukum positif, masyarakat Etnik Baduy juga memegang teguh peraturan adat, yang diyakini berasal dari para Karuhun (leluhur) yaitu berupa kata-kata seperti yang diucapkan oleh Jaro Dainah sebagai berikut: Pikukuh adalah sebuah tata cara kehidupan masyarakat Baduy dengan konsep tanpa perubahan. Artinya mereka memegang teguh kealamiahan untuk menjaga keseimbangan hidup antara alam dan manusia. Kendati hukum-hukum itu tidak dimunculkan secara tertulis, akan tetapi pikukuh tersebut tetap menjadi pedoman bagi masyarakat Baduy. Untuk menjaga pikukuh tersebut, maka dilaksanakan aturan untuk mempertahankannya yang disebut buyut (dalam bahasa Indonesia berarti tabu atau larangan). Delapan klasifikasi pepatah yang ada di Baduy dan menjadi buyut yang tak boleh dilanggar. Kedelapan klasifikasi pepatah itu adalah 1). Taat pada hukum, 2). Penegakan hukum, 3). Pemeliharaan terhadap alam, 4). Pepatah untuk pemimpin, 5). Tolong-menolong, 6). Hidup/bekerja, 7). Kebersamaan, 8). Pepatah pertanggungjawaban. Konsep lisan yang muncul di dalam kehidupan masyarakat Baduy mengakibatkan terjadinya 29
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
perubahan-perubahan struktur dari pepatah tersebut. Berikut isi dari buyut tersebut yang berisi empat konsep larangan yaitu: gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak, lojor teu meunang dipotong, pendek teu meunang disambung. Artinya: gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak, panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung
Kedekatan Baduy dengan alam seperti gunung dan lebak (lembah) menjadikan komunitas mereka harus menjaga dua wilayah tersebut kendati terdengar kontras. Gunung dan lembah tidak boleh dihancurkan karena jika itu terjadi maka musnahlah segala kehidupan mereka. Dari letak geografis, Baduy berada di dua wilayah itu. Dengan demikian mereka harus memeliharanya sebagai bagian dari keseimbangan kehidupan. Konsep oposisi biner, secara intertekstual mengindikasikan perbedaan, namun di dalam konsep hidup justru memperlihatkan keseimbangan karena konsep kosmos ini terbentuk dan dibentuk dari proses keseimbangan. Di dalam konsep Cina dikenal dengan yin dan yang. Secara alamiah, kita juga menemukan konsep perbedaan untuk menjaga keseimbangan itu di dalam tatanan realitas seperti laki-laki dan perempuan, hitam dan putih, kaya dan miskin, begitu seterusnya. Konsep pikukuh Baduy menegaskan bahwa di dalam perbedaan itu tetap harus dijaga, dipelihara dan tidak dirusak/diubah. Konsep dua hal yang berbeda dan bila disatukan menajdi lebih baik itu dalam istilah ilmiah disebut dengan dikotomis.
30
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Lojor teu meunang dipotong, pendek teu meunang disambung (panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung). Masyarakat Baduy sangat percaya bahwa segala sesuatu di alam ini telah diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Oleh karenanya, sebagai manusia yang juga diciptakan, manusia tidak memiliki kepatutan untuk merusak seperti memotong atau menyambung. Konsep hidup yang diserahkan pada gagasan natural ini jelas memperkuat masyarakat Baduy secara umum bahwa mereka dilahirkan untuk menjaga stabilitas alam agar tetap seimbang. Kesederhanaan hidup ini adalah cara mereka untuk menyatukan diri dengan alam. Pikukuh yang menjadi pegangan hidup mereka dianggap sebagai harga mati dan tak boleh diubah. Dalam kehidupan keseharian masyarakat Baduy tampak memegang teguh norma adat, diantaranya bisa diperhatikan bahwa : 1. Pernikahan warga Baduy Tangtu hanya sekali seumur hidup dan hanya dipisahkan oleh maut. Apabila istri atau suami meninggal terlebih dahulu maka bisa menikah lagi apabila dikehendaki. 2. Tidak mengambil barang yang bukan miliknya. 3. Tidak menggunakan listrik, alat elektronik. 4. Tidak naik sepeda motor, mobil. Artinya kemanapun tujuannya hanya ditempuh dengan berjalan kaki. 5. Tidak menggunakan alas kaki seperti; sandal, sepatu, sepatu sandal kemanapun perginya. 6. Ketika mandi tidak menggunakan sabun industri, namun menggunakan batang pohon honje yang batangnya dipukulpukul dengan batu kali hingga keluar seratnya ketika mandi. Demikian pula ketika menggosok gigi tidak menggunakan pasta gigi industri tetapi menggunakan tumbukan honje.
31
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Mobilitas Penduduk, Sarana Transpotasi dan Komunikasi. Etnik Baduy Dalam kemanapun tujuannya tetap berjalan kaki, tanpa menggunakan kendaraan apapun bentuknya. Mereka keluar masuk kampung untuk memenuhi kebutuhan keseharian. Seperti membeli ikan asin, telur ayam, minyak sayur, membeli perhiasan bukan emas karena ada larangan untuk warga Baduy Dalam menggunakan perhiasan emas. Dari informasi seketaris Desa Kanékés Haji Sapin, masyarakat Baduy Dalam belum pernah mengikuti transmigrasi keluar daerah ataupun di dalam wilayah Kanékés sendiri. Kalau secara individu memang terjadi, itupun hanya pindah ke Baduy Panamping atas permintaan sendiri ataupun melaksanakan tindakan disiplin adat. Perpindahan individu atas permintaan sendiri biasanya karena perkawinan.
Gambar 2. 2. Sebagian Pemandangan Medan di Wilayah Menuju ke Baduy Dalam Sumber: Dokumentasi Peneliti
32
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Masyarakat Baduy Dalam tidak mengenal untuk naik kendaraan apapun, baik sepeda kayuh, sepeda motor ataupun mobil. Bahkan kemanapun perginya tetap berjalan kaki dengan tanpa menggunakan alas kaki. Apabila mereka melakukan larangan tersebut maka dianggap melanggar adat dan akan mendapat sanksi adat. Memang apabila diperhatikan dari sudut lingkungan fisik geografinya, sangat tidak memungkinkan untuk menggunakan berbagai jenis kendaraan. Jalan setapak dengan naik turun bukit dan menyusuri jurang sudah merupakan pemandangan biasa ketika menuju ke kampung-kampung Tangtu ataupun ke kampung panamping.
2.2. Geografi Dan Kependudukan 2.2.1. Geografi a.
Gambaran umum menuju kampung Baduy Dalam
Tim menuju ke Cibeo dibantu dengan 6 tenaga bantuan orang sekaligus sebagai penunjuk jalan. Kondisi medan menuju Cibeo naik turun perbukitan diwilayah pegunungan Kendeng dengan berjalan kaki. Kondisi jalannya berupa tanah liat yang licin (karena hujan setiap sore) dan sesekali susunan batu kali besar kecil (makadam). Sepanjang jalan, di kanan kiri terlihat huma penduduk Baduy dan hutan primer maupun sekunder. Dalam perjalanan sering dijumai di sebuh saung (gubuk di tengah ladang yang menyerupai rumah). Saat istirahat itulah didatangi oleh Jaro Alim (Jaro Cikeusik) dan seorang baresan (polisi adat Baduy) bernama Ayah Kamik. Beliau berdua ingin mengetahui tujuan tim masuk dan mohon untuk dihubungkan dengan Jaro Dainah (Jaro Pamarentah). Setelah dijelaskan oleh Jaro Dainah melalui telpon selulernya baru paham tujuan tim masuk ke Baduy Dalam, akhirnya tim diperbolehkan untuk melanjutkan
33
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
perjalanan. Begitu tim tiba di jembatan yang menghubungan wilayah Tangtu Cibeo dan Cikartawana maka diingatkan lagi bahwa semua alat elektronik harap segera dinonaktifkan. Desa Kanékés menjadi tempat tinggal masyarakat Baduy merupakan salah satu desa yang termasuk wilayah Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Luas keseluruhan wilayahnya lebih kurang 5.101,85 ha, sebagian besar tanahnya merupakan dataran tinggi yang berbukit-bukit dengan lembahlembah yang merupakan daerah aliran sungai dan hulu-hulu sungai dan hulu-hulu sungai yang mengalir ke sebelah Utara. Bagian tengah dan Selatan Desa Kanékés merupakan hutan lindung yang mereka sebut dengan leuweung kolot (hutan tua). Secara geografis desa ini terletak pada koordinat 6˚27’27’’ LU dan 108˚3’9” - 106˚4’55” BT. Posisinya berada pada ketinggian 300 – 600 m dpl dan mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan 45˚. Pada bagin Utara desa jenis tanahnya berupa vulkanik, sementara dibagian tengah berupa tanah endapan (sedimen), sedangkan bagian Selatan berupa tanah campuran. Suhu rata-rata di wilayah desa Kanékés adalah 20˚C, dengan kelembaban cukup tinggi. Curah hujan ratarata tahunan di wilayah Baduy umumnya mencapai 4.000 mm/tahun. Daerah Baduy memiliki curah hujan tertinggi dibandingkan dengan daerah lain di Kecamatan Leuwidamar. Sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Juni-September dan bulan Oktober-Mei terjadi musim hujan. Pada daerah tersebut juga terdapat bulan-bulan kering dengan curah hujan kurang dari 60 mm dan suhu rata-rata bulanan lebih besar dari 18˚ C. Desa Kanékés merupakan tanah ulayat yang dilindungi oleh SK Gubernur Jawa Barat tahun 1968 dan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 tahun 1990. Kedua Peraturan Daerah tersebut dikuatkan dengan peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32
34
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Baduy (Perda Ulayat Baduy). Batas-batas Desa Kanékés adalah sebagai berikut (Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32 tahun 2001): 1. Sebelah Utara: a. Desa Bojongmenteng Kecamatan Leuwidamar. b. Desa Cisimeut Kecamatan Leuwidamar. c. Desa Nyagati Kecamatan Leuwidamar.
Gambar 2. 3. Denah Provinsi Banten Sumber: bantenculturertourisme.com, diakses tgl. 16/5/2014
2. Sebelah Barat: a. Desa Parakanbeusi Kecamatan Bojongmanik. b. Desa Keboncau Kecamatan Bojongmanik. c. Desa Karangmanunggal Kecamatan Bojongmanik.
35
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
3. Sebelah Selatan: Cikate Kecamatan Cijaku. 4. Sebelah Timur: a. Desa Karangcombong Kecamatan Muncang. b. Desa Cilebang Kecamatan Muncang.
Gambar 2. 4. Denah Tata Letak Etnik Baduy Sumber: pandu.rumahseni2.net diakses tgl. 10/5/2014
Selain batas-batas desa tersebut, terdapat pula batasbatas dalam bentuk fenomena alam berupa sungai yaitu: 1) Sebelah Utara : Sungai Ciujung. 2) Sebelah Selatan : Sungai Cidikit.
36
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
3) Sebelah Barat 4) Sebelah Timur
: Sungai Cibarani. : Sunagi Cisimeut.
Gambar 2. 5. Medan menanjak dengan kemiringan 45˚ menuju wilayah Baduy Dalam sumber: Dokumentasi Peneliti
Sungai Mata Air dan Alam Sekitar. Etnik Baduy Dalam sangat konsisten untuk melakukan konservasi alam. Khususnya terkait dengan pemeliharaan kebersihan aliran sungai. Mereka beranggapan bahwa aliran sungai harus dijaga kebersihannya, karena dengan sungai yang bersih inilah dapat mendukung kehidupan mereka. Kepedulian ini tampak dalam pemanfatan kali yang ada di samping kampungnya, baik di Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik. Sebagai contoh nyata dalam pemanfatan sungai bisa diperhatikan dalam narasi berikut ini.
37
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Ketika warga Cibeo memanfaatkan kali Ciparayang ternyata sudah dipilah-pilahkan, artinya bahwa wilayah sungai untuk mengambil air yang dikonsumsi berada ditempat paling atas/lebih hilir. Mereka mengambil air untuk konsumsi yang dibawa ke imah (rumah) tidak menggunakan ember, melainkan menggunakan kele (wadah air dari bambu menyerupai kentongan kecil). Bersebelahan dengan khusus tempat air yang dikonsumsi merupakan tempat untuk mandi kaum lelaki. Kurang lebih 50 meter arah ke hulu dari tempat mandi kaum lelaki, merupakan wilayah untuk kaum perempuan sekaligus untuk mencuci pakaian dan alat-alat dapur. Sedangkan untuk buang air besar (BAB) berada terbawah atau lebih mengarah ke hulu dari keduanya. Secara kasat mata, sungai Ciparahyang yang mengalir dan terletak di sisi Utara kampung Cibeo tampak jernih. Di atas kampung Cibeo tidak ada pemukiman, industri atau peternakan unggas ayam. Bahkan warga Baduy Dalam maupun warga Baduy Luar tetap patuh tidak memelihara sapi, kerbau, kuda dan kambing. Prinsipnya secara adat tidak dibenarkan untuk memelihara binatang berkaki empat seperti yang tersebut di atas. Karena ada larangan untuk memelihara binatang berkaki empat seperti sapi, kerbau, kambing dan kuda itu, maka polusi rumah tangga, kotoran binatang untuk sementara ini tidak mencemari sungai Ciparayang. Bagi masyarakat Etnik Baduy Dalam penghargaan terhadap alam sangat dijunjung tinggi. Seperti telah terurai bahwa pembagian pemanfaatan wilayah sungaipun sudah diatur sedemikian rupa. Sehingga pelanggaran pemanfaatan air sungai menurut informasi warga setempat hampir tidak ada. Seperti dituturkan oleh Wakil Jaro Tangtu Cibeo: “....kami bisa memastikan bahwa warga di sini (Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik) sangat menghargai air. Karena air merupakan sumber kehidupan, oleh karena
38
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
itu harus ditata penggunaannya. Jangan sampai salah guna, seperti buang limbah, buang sampah di sungai. Itu semua akan merusak lingkungan, bukan hanya warga yang dekat dengan hulu sungai tetapi warga yang ada di sepanjang aliran sungai akan dirugikan karena buang sampah atau limbah di sungai....”
Seandainya ada warga yang sampai berani melanggar tatanan dalam pemanfaatan air sungai atau sumber air maka akan terkena sanksi. Mulai dari sanksi teguran hingga pengeluaran dari adat. Sanksi ini tidak hanya untuk yang berbuat terhadap pencemaran dan penyalahgunaan sungai tetapi juga penyalahgunaan kayu, lahan yang berada di wilayah ulayat. Bahkan sudah ada yang dikenai sanksi pengeluaran dari Tangtu. Dikenai sanksi bukan karena kasus penyalahgunaan pemanfaatan sungai tetapi karena kasus penyalahgunaan pemanfaatan kayu. Sanksi yang dijatuhkan oleh adat setempat bukan hanya pada si pelaku tetapi keluarga inti tersebut ikut menanggungnya. Artinya bahwa keluarga inti pelaku yang terdiri dari Ayah, Ibu dan Anak yang belum menikah ikut keluar dari Tangtu asalnya. Sanksi dijatuhkan bukan dengan sewenang-wenang begitu saja, melainkan sudah melalui proses panjang dengan pertimbanganpertimbangan adat dan kemanusiaan. Dengan kata lain bahwa sanksi benar-benar dijatuhkan apabila memang sudah benarbenar keterlaluan bahwa tindakannya tersebut merugikan masyarakat warga Baduy Dalam pada khususnya, dan masyarakat umum di luar Etnik Baduy. Bahkan disebutkan, bila pelaku tersebut tidak dikenai sanksi maka akan membawa akibat bencana alam besar seperti banjir, banjir bukan saja melanda daerah kampung Tangtutetapi juga akan melanda masyarakat yang ada di dataran lainnya. Selain banjir juga akan merusak bahkan menghilangkan sumber mata air yang merupakan kebutuhan pokok hidup manusia. Sanksi dijatuhkan juga memiliki
39
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
unsur pendidikan bagi warga yang lain, tujuannya preventif, yaitu agar jangan melakukan perusakan lingkungan alam. Kondisi Alam, Vegetasi, Pola Pemanfaatan Air, Pola Tanam Dan Cara Tanam Kondisi Alam, berdasar dari pengamatan tim ahli geologi bahwa wilayah pemukiman Etnik Baduy berada di Pegunungan Kendeng. Untuk bagian Utara terdiri dari susunan struktur tanah vulkanik, di wilayah tengah terdiri dari struktur sedimen dan di wilayah Selatan terdiri struktur campuran. Vegetasi yang ada lebih banyak dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Diantaranya dipergunakan untuk pengobatan, dikonsumsi, bahan rumah, bahan saung, bahan lisung dan penumbuknya, jembatan dan lain-lain. Diantara yang dijelaskan oleh informan adalah terkait dengan obat-obat tradisional yang umum digunakan oleh masyarakat warga Baduy Dalam atau Baduy Luar. Seperti bila sakit gigi (nyeri huntu) atau sakit perut (nyeri beuteung) akan diobati dengan daun harendong (Melastoma candidum D. Don), dipercaya akan cepat sembuh karena kemujaraban daun harendong bila daunnya bercabang tiga. Umumnya memang bercabang dua tapi dianggap masih kurang mujarab. Tumbuhan ini banyak dijumpai di kanan kiri kampung Cibeo, bahkan sepanjang perjalanan dari Cijahe menuju Cikartawana dan Cibeo di kanan kiri jalan ditumbuhi harendong tersebut. Demikian pula dengan daun harane dan beberapa dedaunan bahan obat-obatan lainnya. Manfaat dan cara penggunaan dijelaskan pada Bab selanjutnya. Pola Pemanfaatan Air. Secara umum warga Etnik BaduyTangtudalam memanfaatkan air sungai relatif sama. Sehingga dalam uraian ini hanya diambil satu contoh kampung
40
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Tangtu yaitu Kampung Cibeo. Warga kampung Cibeo didalam memanfaatkan kali Ciparayang ternyata sudah dipilah-pilahkan, artinya bahwa wilayah sungai untuk mengambil air yang dikonsumsi berada ditempat paling atas/lebih hulu. Mereka mengambil air untuk konsumsi yang dibawa ke imah (rumah) tidak menggunakan ember, melainkan menggunakan kele (wadah air dari bambu menyerupai kentongan kecil). Bersebelahan dengan khusus tempat air yang dikonsumsi merupakan tempat untuk mandi kaum lelaki. Kurang lebih 50 meter arah ke hulu dari tempat mandi kaum lelaki, merupakan wilayah untuk mandi kaum perempuan sekaligus untuk mencuci pakaian dan alat-alat dapur. Sedangkan untuk BAB berada paling bawah atau lebih mengarah ke hulu dari keduanya. Secara kasat mata, sungai Ciparayang yang mengalir dan terletak di sisi Utara kampung Cibeo tampak jernih. Di atas kampung Cibeo tidak ada pemukiman, industri atau peternakan unggas ayam. Bahkan warga Baduy Dalam maupun warga Baduy Luar tetap patuh tidak memelihara sapi, kerbau, kuda dan kambing. Prinsipnya secara adat tidak dibenarkan untuk memelihara binatang berkaki empat seperti yang tersebut di atas. Karena hal tersebutlah sehingga polusi sampah rumah tangga atau industri untuk sementara ini tidak mencemari sungai Ciparayang. Pola Tanam dan Cara Tanam. Warga masyarakat Etnik Baduy di dalam melakukan cocok tanam tidak mengenal adanya pengairan irigasi ataupun mekanik. Karena hanya mengandalkan pengairan tadah hujan. Hal ini berlaku juga untuk tanam padi, padi gogo merupakan satu-satunya yang ditanam adapun jenis-jenis padi yang ditanam dan perawatan serta penyimpanannya sebagai berikut :
41
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
1. Jenis Padi. Ada beberapa jenis padi yang dimiliki masyarakat Baduy. Bahkan, diperkirakan terdapat 40 jenis padi yang ditanam dan tumbuh di sekitar warga Baduy. Ada pun nama-namanya memanglah sangat kental dengan bahasa Sunda lokal, di antaranya pare koneng, pare salak, pare siang, dan pare ketan. 2. Perawatan Padi Berbeda dengan petani kebanyakan yang melakukan perawatan padi dengan bahan kimia, Etnik Baduy tidaklah demikian. Mereka melakukan perawatan padi dengan cara yang sangat tradisional.
Gambar 2.6. Seorang Ibu Etnik Baduy Memanen Padi Gogo Sumber: Dokumentasi Peneliti
Biasanya, petani Baduy memakai ramuan yang dihasilkan dari perpaduan aneka tanaman; cangkudu (morinda citrifolia L), tamiang, gempol, pacing tawa (gloriosa superba linn), dan
42
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
lajak. Semua tanaman ini diaduk rata dengan campuran air tuaklalu ditebarkan pada tanaman yang mulai tumbuh dewasa. Ini biasa mereka sebut dengan pestisida alamiah. 3. Tempat Penyimpanan Padi Gudang penyimpanan padi atau biasa dikenal dengan lumbung, dalam bahasa Baduy disebut dengan leuit. Bahan kerangka pokok bangunan itu dengan anyaman bambu yang dijadikan dindingnya. Sementara, bagian atapnya ditutup dengan hateup alias daun kelapa kering atau juga ijuk yang terbuat dari serabut pada pohon areng. Jika diamati benar maka akan ditemukan papan bundar sebagai alas kaki-kaki lumbung. Gunanya sebagai anti hama, misalnya tikus. Meski rata-rata lumbung itu tidak terlalu besar, tetapi sekitar 3.000 ikat padi bisa dimasukkan ke dalamnya dan bisa bertahan. Konon, hingga ratusan tahun. Berikut gambar variasi bentuk lumbung Etnik Baduy.
Gambar 2. 7. Lumbung Padi Etnik Baduy (Leuit) Kp. Cipaler Sumber: Dokumentasi Peneliti
43
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Akses dan Jenis Sarana Transpotasi Akses menuju ke Desa Kanékés terlebih dahulu harus mencapai terminal Ciboleger yang terletak di Kecamatan Laeuwidamar. Disebut terminal Ciboleger karena berada di Desa Ciboleger. Dari terminal tersebut dilanjutkan berjalan kaki menuju wilayah terluar desa Kanékés dan wajib menemui Jaro Pamarintah (lurah) dan atau Carik (Sekretaris Desa) untuk ijin dan mengisi buku tamu. Apabila sudah selesai mengisi buku tamu selanjutnya dipersilahkan untuk menuju lokasi yang dituju setelah mendapat pengarahan dari pimpinan desa Kanékés tersebut. Untuk menuju wilayah Desa Kanékés baik kampung Baduy Tangtu atau Baduy Panamping hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Sarana transpotasi apapun tidak ada, dan memang merupakan larangan untuk naik kendaraan di wilayah desa Kanékés. Larangan ini memang sudah tertuang dalam Peraturan Desa Kanékés No. 1 tahun 2007 tentang Saba Budaya dan Perlindungan Masyarakat Adat Tatar Kanékés (Baduy) pada pasal 12. Bagi pengunjung atau wisatawan bila akan masuk ke kampung Baduy sebaiknya melalui pintu masuk utama yaitu Ciboleger. Dari Ciboleger ini selanjutnya bisa menuju kampung Baduy Panamping dan Baduy Tangtu. Dari pengamatan di lapangan, pengunjung banyak yang masuk hingga kampung Baduy Dalam/Tangtu. Berdasar dari peraturan Desa Kanékés alur yang dilewati oleh pengunjung ada dua; alur satu mulai dari Kaduketug – Balingbing – Marengo – Gajeboh; kawasan Tangtu, Leuwibuled – Cipaler – Cipiit – Cijengkol – Cikadu – Cikartawana – Cibeodan alur pulang sebaliknya dan atau alur satu. Sedangkan alur dua meliputi; Kaduketug – Dandang – Kaduketer – Kiara Lawang (kawasan Tangtu) Cibeo. Alur pulang sebaliknya dan atau alur dua. 44
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Gambar 2.8. Contoh medan menuju lokasi kampung Etnik Baduy Sumber: Dokumentasi Peneliti
2.2.2. Kependudukan a. Wanita Usia Kawin dan Masa Produktif Menurut masyarakat Etnik Baduy bahwa perkawinan merupakan bagian terpenting dalam hidupnya, karena dengan melaksanakan perkawinan ini bisa menciptakan kerabat baru dan menambah keeratan persaudaraan. Selain membentuk kekerabatan, perkawinan juga meningkatkan status sosial sekaligus mendapatkan hak dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat. Adapun usia kawin bagi wanita umumnya pada sekitar usia 14-16 tahun, sedangkan laki-laki pada sekitar 17-22 tahun. Apabila wanita belum menikah di atas usia tersebut tadi maka 45
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dianggap sebagai perawan tua yang disebut cawene kolot dan bagi laki-laki disebut bujang kolot (bujang tua). b. Interaksi dan Kontrol Sosial di masyarakat Baik masyarakat Baduy Dalam atau masyarakat Baduy Luar sangat intensif melakukan komunikasi. Adanya ikatan budaya seperti bahasa, sistem religi, mata pencaharian, sistem kekerabatan ataupun teknologi. Meskipun lokasi kampung antara Baduy Dalam dan Baduy Luar saling berjauhan bukan merupakan masalah penghambat bagi mereka. Sebagai contoh, setiap ada kegiatan adat terkait dengan setiap hubungan kekerabatan antara warga Baduy Dalam dan Baduy Luar saling membantu. Demikian pula dengan kegiatan-kegiatan adat, seperti nyacar serang (membuka lahan perladangan milik adat) maka antara warga Baduy Dalam dan Baduy Luar saling bergotong royong untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Demikian pula dengan kegiatan memperbaiki atau membangun rumah, mereka saling bergotong royong tanpa mengharap upah sepeser pun. Bagi kaum muda-mudi dalam pergaulan keseharian sangat patuh terhadap aturan adatnya. Bahkan sampai ke tingkat perkenalanpun tidak dibenarkan secara sembarangan. Ketika seorang pemuda berkunjung ke rumah seorang gadis tidak diperkenankan datang sendirian melainkan harus ada teman pemuda minimal dua orang. Demikian pula dengan pihak si gadis harus ada teman minimal dua orang. Teman-teman si pemuda atau teman-teman si gadis memiliki makna sebagai saksi di dalam pergaulan sosial. Ini juga menunjukkan adanya kontrol sosial bagi pergaulan muda-mudi. Dalam rangkaian pejabat adat setempat, juga dibentuk adanya petugas keamanan dan ketertiban yang disebut dengan baresan seperti yang tertuang dalam Peraturan Desa Kanékés Nomor: 01 tahun 2007 Bab 1 Pasal 1. 46
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
c. Kependudukan Kampung Tangtu Jumlah warga setiap kampung Tangtu Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik tidak sama, demikian pula jumlah rumahnya. Adapun data yang terkumpul terkait dengan kependudukan kampung Tangtu dapat disajikan sebagai berikut: Tabel 2.1. Jumlah Penduduk di Tiga Kampung Tangtu Tahun 2014 NamaKampung
JumlahKK
Jumlah Rumah
Cibeo
143
600
Cikartawana
30
160
Cikeusik
131
600
Jumlah
304
1360
Sumber: Data Primer
Jenis Penyakit Umum Beserta Kelompok Usia Jenis penyakit yang dianggap umum dan diketahui oleh warga Etnik Baduy Dalam ada beberapa jenis, yaitu: cacingan, batuk, nyeri beuteung (sakit perut), nyeri hulu (sakit kepala), muriang (demam). Untuk cacingan lebih banyak dialami oleh anak balita. Apabila dalam satu keluarga anaknya ada yang mengidap penyakit cacingan maka orang tua berusaha membelikan obat cacing. Kemauan membeli obat cacing tersebut memang telah menunjukkan bukti bahwa setelah mengkonsumsi obat cacing, si anak tersebut ketika BAB terlihat cacing yang mati bercampur dengan tinjanya. Selain meminum obat cacing juga memakan daun jambu biji yang muda beserta buahnya. Seorang informan menjelaskan beberapa obat yang berasal tumbuhan di sekitar pemukimannya. “.....kita kaya akan bahan obat-obatan, bahan tersebut hampir semua dapat dicari di sekitar pemukiman kami.
47
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Sehingga apabila ada yang sakit bisa segera dicarikan dedaunan tersebut....”
Adapun beberapa jenis tumbuhan dan fungsinya menurut informan tadi sebagai berikut. Diantara yang dijelaskan oleh Ayah Mursyid adalah terkait dengan obat-obat tradisional yang umum digunakan oleh masyarakat warga Baduy Dalam atau Baduy Luar. Seperti bila sakit gigi (nyeri huntu) atau sakit perut (nyeri beuteung) akan diobati dengan daun harendong (Melastoma candidum D. Don), dipercaya akan cepat sembuh karena kemujaraban daun harendong bila daunnya bercabang tiga. Umumnya memang bercabang dua tapi dianggap masih kurang mujarab. Tumbuhan ini banyak dijumpai di kanan kiri Kampung Cibeo, bahkan sepanjang perjalanan dari Cijahe menuju Cikartawana dan Cibeo di kanan kiri jalan ditumbuhi harendong tersebut. Demikian pula dengan daun harane yang merupakan kelompok paku-pakuan (selanjutnya tentang daun harane akan dibahas lebih detail pada Bab 3). 2.3. Pola Tempat Tinggal 2.3.1. Denah dan Fungsi Bagian Rumah Tempat tinggal Etnik Baduy Dalam berupa rumah adat/tradisional yang masih dipertahankan sampai sekarang. Secara umum, bentuk rumah adat banten Etnik Baduy ini merupakan rumah panggung yang hampir keseluruhan bahan bangunan rumah berasal dari bambu. Proses pembuatan rumah/membangun rumah selalu dikerjakan secara gotong royong, yang menunjukkan bahwa masyarakat Baduy sangat tinggi rasa kebersamaannya. Adapun bentuk rumah tidak semewah rumah di kota-kota yang dindingnya menggunakan pasir, semen, ditata dengan indah, diberikan berbagai aksesoris dan hiasan dinding sesuai dengan 48
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
keinginan pemilik rumah. Namun pada masyarakat Baduy rumah mereka cukup sederhana, terbuat dari bahan-bahan seperti kayu yang berasal dari lingkungan alam sekita kampungnya. Bilik dari bambu yang dianyam, atap dari daun nipah, yang jelas sangat sederhana.
1
1
2 3
7
4
5 6 Keterangan: 1. Parako, tempat tungku memasak. 2. Imah, ruang utama menggunakan dinding bambu (bilik). 3. Tepas, ruang tidur, ruang makan. 4. Tangkes, ruang tamu, ruang tidur, ruang makan 2.3.2. Rumah Etnik Baduy 5. Papangge, teras untuk santai. 6. Taraje, tangga naik turun . 7. Sosoro, ruang tamu, ruang tidur.
Gambar 2.9. Denah Pola Tata Letak Ruang Rumah Adat Tradisional Baduy Dalam Sumber: Visualisasi Peneliti
49
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Adapun posisi arah hadap semua rumah di Baduy selalu menghadap Utara dan Selatan, yang secara logika rumah menghadap Utara - Selatan maka proses pergantian dan penyinaran sinar matahari sangat baik. Apabila pagi sinar matahari masuk dari arah Timur dan sore hari sinar matahari masuk dari arah Barat. Dengan posisi rumah yang demikian membuat masyarakat Baduy memiliki tingkat kesehatan yang baik. Ini didukung dengan aktivitas sehari-hari yang kemanapun perginya pasti berjalan kaki dengan naik turun perbukitan di pegunungan Kendeng. Bangunan rumah dibuat tinggi, berbentuk panggung, mengikuti kontur/tinggi rendahnya permukaan tanah. Pada tanah yang miring dan tidak rata permukaannya, bangunan disangga menggunakan tumpukan batu. Batu yang dipakai adalah batu kali (basalt), berfungsi sebagai tiang penyangga bangunan dan menahan tanah agar tidak longsor. Atapnya terbuat dari daun nipah yang disebut sulah nyanda. Nyanda berarti sikap bersandar, sandarannya tidak lurus melainkan agak merebah ke belakang. Salah satu sulah nyanda ini dibuat lebih panjang dan memiliki kemiringan yang lebih rendah pada bagian bawah rangka atap. Bilik rumah dan pintu rumah terbuat dari anyaman bambu yang dianyam secara vertikal. Teknik anyaman bambu yang dikenal dengan nama sarigsig ini hanya dibuat berdasarkan perkiraan, tidak diukur lebih dulu. Kunci pintu rumah dibuat dengan memalangkan dua kayu yang di dorong atau ditarik dari luar bangunan rumah. Ada 4 bagian pemilahan ruangan dalam bangunan rumah adat Baduy Dalam, yaitu ruangan yang dikhususkan untuk ruang tidur kepala keluarga sekaligus dapur yang disebut Imah, ruang tidur untuk anak-anak sekaligus ruang makan yang disebut tepas dan ruang untuk menerima tamu yang disebut sosoro, dan
50
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
pangkeng. Di depan rumah ada teras yang berfungsi untuk menempatkan kele (bambu untuk tandon air minum) dan berbincang-bincang santai disebut papangge. Di bawah papangge ada tangga yang dipergunakan naik turun dan keluar masuk rumah yang disebut taraje.
Gambar 2.10. Sketsa Rumah Tradsional Adat Baduy Dalam Sumber: Visualisasi Peneliti
Seluruh bangunan rumah dibuat saling menghadap satu dengan yang lain, hanya diperbolehkan membangun rumah menghadap ke Utara-Selatan saja. Menghadap ke arah TimurBarat tidak diperbolehkan secara adat. Fungsi Rumah Rumah menurut bahasa Baduy disebut juga dengan imah. Kata imah diucapkan untuk menyebut unit rumah secara utuh apabila berada di luar rumah. Sebutan imah akan berubah makna apabila diucapkan di dalam rumah. Imah dituturkan di dalam rumah berarti untuk menununjukkan ruang utama dalam suatu rumah (lihat denah tata ruang rumah Baduy Tangtu).
51
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Gambar 2.11. Jalan ditengah perkampungan Etnik Baduy Sumber: Dokumentasi Peneliti
Secara garis besar, yang dinamakan imah adalah sebuah ruangan atau bagian inti dari tata ruang dalam rumah tinggal Etnik Baduy. Hampir seluruh kegiatan berpusat pada ruangan tersebut, baik hal-hal yang bersifat lahiriah, seperti menyediakan makanan dan minuman, maupun hal-hal yang batiniah, termasuk menjalankan peran sebagai pasangan suami-istri dan kepala keluarga. Rumah merupakan suatu tempat yang diidamkan oleh semua warga masyarakat Etnik Baduy, baik Baduy Tangtu ataupun Baduy Panamping. Rumah tidak berfungsi sebagai tempat untuk bertempat tinggal biasa, tetapi juga memiliki fungsi lain. Diantara fungsinya adalah, tempat sosialisasi keluarga inti maupun keluarga luas terkait dengan hak dan kewajiban keluarga sebagai warga Baduy. Termasuk pula sosialisasi budi pekerti untuk hidup bermasyarakat, berkeluarga, pergaulan pemuda,
52
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
menerima tamu, menghadap pimpinan adat atau pimpinan pamarentah. Ukuran Luas Macam-macam Rumah di Pemukiman Ukuran Luas rumah setiap warga kampung Baduy Dalam tidak sama satu dengan lainnya. Hal ini bukan tidak disengaja, diantara sebab adanya pebedaan luas rumah diantaranya karena lahan semakin terbatas, biaya yang tidak sedikit. Untuk mendirikan sebuah rumah, setiap warga tidak sembarang langsung membangun pada lahan yang kosong begitu saja. Melainkan harus ada suaru ijin khusus dari perangkat adat, termasuk pula pula untuk penentuan posisi rumahnya. Disebutkan oleh informan yang ditemui peneliti bahwa… “...tidak bisa sembarang warga pak, untuk membangun sebuah rumah tinggal, meskipun kita sudah mempersiapkan bahan dan dananya. Itu semua tergantung perangkat adat boleh tidaknya untuk mendirikan rumah. Karena ada perhitungan sesuai penanggalan yang kami percayai...”
Adapun ukuran luas rumah pada umumnya berkisar 7 m x 7 m, 9 m x 10 m, bahkan ada yang 12 m x 10 m. Rumah Tumbuk Padi (saung lisung). Disebut dengan saung lisung karena rumah ini memang dipergunakan untuk menumpuk padi bila ada kegiatan-kegiatan adat yang memerlukan padi yang mengharuskan menumbuk sendiri. Diantaranya dapat dicontohkan, ketika pada hari ke tujuh dari kematian salah satu warga, maka nasi yang dipergunakan untuk selamatan berasal dari padi yang ditumbuk oleh ibu-ibu kampung setempat. Adapun asal bahan yang digunakan untuk membangunan saung lisung ini berasal dari daerah sekitar pemukiman. Bahannya berupa daun rumbia, daun nipah yang digunakan
53
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
sebagai atapnya dan disebut hateup. Untuk tiang-tiang dan kerangka bangunan bahannya dari kayu dan bambu. Demikian pula sebagai alat tumbuknya berasal dari kayu kokosan. Wadah penumbuk disebut lisung dan alat untuk menumbuk disebut halu.
Gambar 2.12. Saung Lisung Sumber: Dokumentasi Peneliti
Pola Pemukiman Masyarakat Etnik Baduy Dalam, memiliki pola pemukiman klaster. Artinya rumah-rumah berhimpun terpusat berada dalam wilayah yang dibatasi dengan pagar alam. Pagar alam ini diletakkan mengelilingi kampungnya sekaligus sebagai batas antara wilayah pemukiman dan hutan. Orientasi rumahnya berpaku pada letak rumah dinas Puun yang berada di arah Selatan, sehingga rumah pejabat adat dan rumah warga tidak
54
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
berada di belakang atau di samping rumah Puun. Rumah pejabat adat dan rumah warga berada di depan rumah Puun. Adapun tata letaknya bahwa rumah Dinas Girang Seurat (staf ahli Puun) berada di depan sebelah kanan rumah Dinas Puun. Demikian pula dengan letak Rumah Dinas Jaro. Rumah para mantan pejabat adat berada di depan kanan dan kiri rumah Dinas Puun. Perlu diketahui bahwa para pejabat adat seperti Puun, Girang Seurat dan Jaro selama menjabat dapat dipastikan wajib menempati rumah dinasnya. Para pejabat ini akan tidak menempati rumah dinas bila sudah tidak menjabat. Adapun waktu menjabatnya disesuaikan dengan kemampuan fisik dan non fisiknya, bila merasa sudah tidak mampu lagi maka berhak mengajukan ke kokolot adat untuk undur diri. Rumah Puun berhadapan langsung dengan Balai adat. Balai Adat ini berfungsi untuk melaksanakan berbagai kepeluan adat, seperti rapat adat, prosesi sunatan, prosesi lamaran. Balai Adat terletak di arah Utara, Rumah Puun terletak di arah Selatan dan di tengah-tengahnya terdapat alunalun. Pada halaman depan rumah Puun merupakan salah satu wilayah yang disucikan di kampungnya, tidak semua waktu warga kampung bisa bermain atau menggunakan halaman tersebut. Sehingga terjaga kebersihannya, tidak ramai berlalu lalang warga masyarakat. Alun-alun dipergunakan untuk berbagai kegiatan warga masyarakat, seperti mendirikan saung pesajen atau saung pepajangan ketika kampung Tangtu tersebut melaksanakan prosesi sunat lobaan. Saung lisung (balai untuk menumbuk padi) berada di belakang sebelah kanan Balai adat. Rumah warga berbentuk panggung dengan menggunakan bahan-bahan alami, seperti kayu digunakan sebagai tiang dan kerangka rumah. Bambu digunakan sebagai sebagian kerangka, dnding dan tali-temali. Daun nipah digunakan untuk atap. Rumah tradisional adat Etnik Baduy tidak memiliki jendela, namun memiliki lubang berbentuk
55
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kubus atau persegi dengan ukuran yang beragam tiap rumah tidak sama. Perkiraan ukurannya lebih kurang 10 cm x 10 cm, atau 10 cm x 15 cm. Lubang tersebut dipergunakan untuk memantau keamanan lingkungan rumahnya.
Gambar 2.13. Saung Pepajangan yang Digunakan untuk Prosesi Sunatan, Peperan dan Cukur Sumber: Dokumentasi Peneliti
Rumah pada Etnik Baduy Dalam hanya memiliki satu pintu keluar masuk, pintu itu disebut dengan Panto. Pintu ini tidak terletak di depan persis tetapi di kiri dan di depan pintu terdapat terasan yang disebut papange. Di depan papangge terdapat tangga untuk naik turun yang disebut taraje. Hutan berada di sekeliling komplek pemukiman, adapun tumbuhan yang ada dalam hutan diantaranya, pohon durian, pohon bambu yang tumbuh dipinggir kanan kiri sungai. Demikian pula dengan tumbuhan untuk pengobatan, seperti pohon
56
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Kiseureh, Hanjuang, Honje, Hantu Kalabang, Harendang, Harendong, Palungpung, Jukut Bau, Jambu Biji.
Keterangan: 1. Rumah Dinas Pu’un. 2. Rumah Girang Seurat. 3. Rumah mantan pejabat adat. 4. Rumah Jaro Tangtu. 5. Rumah masyarakat Tangtu. 6. Balai Adat. 7. Saung Lisung. 8. Hutan. 9. Alun-alun. 10. Sungai. 11. Parit.
Gambar 2.14. Denah Pola Pemukiman Etnik Baduy Dalam Sumber: Visualisasi Peneliti
57
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Gambar 2.15. Pemukiman Etnik Baduy Sumber: Dokumentasi Peneliti
2.4. Sistem Religi Etnik Baduy yang merupakan Etnik tradisional di Provinsi Banten hampir mayoritasnya mengakui kepercayaan Sunda Wiwitan. Etnik Baduy memiliki “agama” yang masuk ke dalam kategori Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan disebut dengan nama Sunda Wiwitan. Kepercayaan ini meyakini akan adanya Allah sebagai “Guriang Mangtua” atau disebut pencipta alam semesta dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini. Kepercayaan Sunda Wiwitan berorientasi pada bagaimana menjalani kehidupan yang mengandung ibadah dalam berperilaku, pola kehidupan sehari-hari, langkah dan ucapan, dengan melalui hidup yang mengagungkan kesederhanaan (tidak
58
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
bermewah-mewah) seperti tidak mengunakan listrik, tembok, mobil, dll. Ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy menurut kepercayaan Sunda Wiwitan: 1) Upacara Kawalu yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan kawalu yang dianggap suci dimana pada bulan kawalu masyarakat Baduy melaksanakan ibadah puasa selama 3 bulan yaitu bulan Kasa, Karo dan Katiga. 2) Upacara ngalaksa yaitu upacara besar yang dilakukan sebagain uacapan syukur atas terlewatinya bulan-bulan kawalu, setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan. Ngalaksa atau yang sering disebut lebaran. 3) Seba yaitu berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan tali silaturahmi antara masyarakat Baduy dengan pemerintah, dan merupakan bentuk penghargaan dari masyarakat Baduy. 4) Upacara menanam padi dilakukan dengan diiringi angklung buhun sebagai penghormatan kepada Dewi Sri lambang kemakmuran. 5) Kelahiran yang dilakukan melalui urutan kegiatan yaitu: a. Kendit yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil. b. Saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untuk dijampi-jampi. c. Setelah 7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan atau selametan. d. Upacara Angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran. e. Akikah yaitu dilakukannya cukuran, khitanan dan pemberian nama oleh dukun (kokolot) yang didapat dari bermimpi dengan mengorbankan ayam.
59
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Gelang kapuru seperti terlihat dalam Gambar 2.16 memiliki dua fungsi, yaitu sebagai fungsi fisik dan fungsi non fisik. Fungsi pertama sebagai bentuk identitas sebagai warga Etnik Daduy, bila laki-laki menggunakannya dilengan sebelah kanan, bila wanita di sebelah kiri. Sedangkan fungsi kedua merupakan simbol sebagai ikatan bahwa si pemakai dinyatakan sudah terikat oleh segala aturan adat Etnik Baduy dan bila sampai melanggar maka risikonya akan ditanggung sendiri oleh si pemakai. Selain itu pada fungsi yang kedua juga berfungsi sebagai tolak bala bagi si pemakai.
Gambar 2.16. Gelang kapuru Sumber: Dokumentasi Peneliti
Perkawinan, dilakukan berdasarkan perjodohan dan dilakukan oleh dukun atau kokolot menurut lembaga adat (Tangkesan) sedangkan Naib sebagai penghulunya. Adapun
60
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
mengenai mahar atau seserahan yakni sirih, uang semampunya, dan kain poleng. Dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari tentunya masyarakat Baduy disesuaikan dengan penanggalan: 1) Bulan Kasa 2) Bulan Karo 3) Bulan Katilu 4) Bulan Sapar 5) Bulan Kalima 6) Bulan Kaanem 7) Bulan Kapitu 8) Bulan Kadalapan 9) Bulan Kasalapan 10) bulan Kasapuluh 11) Bulan Hapit Lemah 12) Bulan Hapid Kayut 2.4.1. Kosmologi Tempat yang Dianggap Memiliki Kekuatan Supranatural Dari informasi di lapangan menunjukkan bahwa arah yang dianggap sakral adalah arah Selatan. Hal ini juga sesuai dengan pesan karuhun atau leluhur bahwa masing-masing daerah Tangtu memiliki tugas yang berbeda. Tiga Tangtu meliputi Kampung Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik. Kampung Cibeo memiliki tugas terkait dengan administrasi dan hubungan keluar kampung. Kampung Cikartawana lokasi pemukimannya berada di tengah antara kampung Cibeo dan Cikeusik. Adapun tugasnya adalah terkait dengan permasalahan kehidupan antar manusia, termasuk pula dalam hal pengobatan.
61
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Kampung Cikeusik berada di arah Selatan, lokasi pemukimannya berada pada ketinggian yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan ke dua lokasi pemukiman Tangtu lainnya. Tugas yang diemban dari karuhun adalah menyelesaikan permasalahan terkait dengan religi. Di Selatan pemukiman kampung Cikeusik ini ada wilayah yang tidak semua orang boleh masuk dan lazim disebut leuweng kolot (hutan larangan/hutan lindung). Pada hutan lindung inilah dianggap merupakan tempat yang disakralkan. Keberadaan Roh Menurut Konsepsi Budaya Warga Etnik Baduy mengakui keberadaan roh nenek moyang, dan ini sangat diluhurkan. Diakui keberadaan roh nenek moyang ini karena selama hidupnya senantiasa akan melihat dan merestui bagi seluruh warga masyarakat. Bahkan segala aturan termasuk aturan adat juga merupakan warisan dari nenek moyang. Apabila tidak mengikuti dan mematuhi aturan adat tersebut diyakini akan terkena tulahnya. Ini juga dituturkan oleh informan dari Cibeo sebagai berikut; “...kami senantiasa mematuhi secara turun temurun aturan-aturan dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat. Ini semua memang sudah menjadi warisan dari leluhur kami, dari karuhun kami yang menjadi sanjungan warga bersama. Jangan sampai ada yang berani melanggarnya, bila ada yang berani melanggar maka segala risikonya biar ditanggung sendirinya. Prinsipnya kami sebagai orang tua sudah memberikan arahan tentang mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Sebenarnya itu semua sudah disebut dalam pepatah panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung, gunung tak boleh dihancurkan dan lembah tak boleh dirusak. adapun tempat karuhun atau
62
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
leluhur kami berada pada tempat yang suci dan tidak semua orang bisa mendekat ke daerah tersebut...”
Sebab Kematian Selain Usia Lanjut Menurut Konsepsi Budaya Setempat Kematian selain sebab usia lanjut juga disebabkan karena sakit. Menurutnya, konsep sakit itu apabila seseorang sudah tidak bisa berjalan, tidak bisa bekerja ke ladang, pikiran tidak tenang dan hati gusar. Tetapi mereka juga mengetahui beberapa sebab terjadinya kematian. Diantara yang diketahui bahwa dengan sesak napas dapat menyebabkan kematian. Seperti bayi meninggal, berdasar dari cerita orang tuanya diawali dengan muriang (demam) yang berkelanjutan dan tiga hari kemudian meninggal. Selama pengamatan di lapangan bila diperhatikan secara geografis memang berada pada ketinggian 700 dpl, itu memungkinkan munculnya kabut dan suhu udara yang dingin. Belum lagi faktor sirkulasi udara di dalam rumah tradisional adat Baduy yang memang masih dirasa kurang lancar. Termasuk pula belum adanya ventilasi yang memadai sebagai lobang keluarnya asap dapur. Ini semua juga merupakan faktor penyebab eksteren kematian bayi. Hal seperti ini memang perlu studi tindak lanjut yang lebih mendalam terkait dengan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Ada yang menyebutkan bahwa kematian juga disebabkan karena adanya tulah dari karmanya sendiri. Artinya bila seseorang melakukan tindakan yang merupakan larangan adat maka risikonya akan ditanggung sendiri. Falsafah Hidup Etnik Baduy Masyarakat Etnik Baduy pada prinsipnya memiliki falsafah hidup yang bermakna bahwa hidup ini penuh dengan
63
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kesederhananaan sesuai dengan kodratnya. Pepatah yang mengandung falsafah sangat dalam tersebut berbunyi: Gunung teu meunang dilebar, Lebak teu meunang dirusak, Larangan teu meunang dirempak, Buyut teu meunang diubah, Lojor teu meunang dipotong, Pondok teu meunang disambung, Nu lain kudu dilainkeun, Nu ulah kudu diulahkeun, Nu enyak kudu dienyak. Artinya: Gunung tak boleh dihancurkan, Lembah tak boleh dirusak, Aturan tak boleh diubah, Panjang tak boleh dipotong, Pendek tak boleh disambung, Yang bukan harus ditiadakan, Yang jangan harus dinafikan, Yang benar harus dibenarkan.
Dengan falsafah itulah warga masyarakat Etnik Baduy hingga kini bisa eksis dan berusaha sekuat tenaga untuk melestarikan alam lingkungannya. Karena mereka sangat yakin dengan melestarikan alam maka kebutuhan hidupnya akan terpenuhi. Mereka tidak berpikir banyak anak banyak rejeki, tetapi mereka beranggapan bahwa anak-anaknya akan membawa rejekinya sendiri-sendiri. Itu semua tergantung dari amal perbuatan dari orang tuanya. Kehadiran anak sangat dinanti-nantikan oleh setiap keluarga pada masyarakat Baduy. Anak dianggap sebagai hadiah dari Yang kawasa atas perkawinannya untuk melestarikan keturunan dalam rangka menjaga keharmonisan hidup di alam
64
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
nyata/dunia ini. Anak juga dianggap sebagai pelanjut pemegang ahli waris keluarga, meskipun sistem kekerabatannya menganut patrilineal. Merupakan hal yang menarik bila bicara tentang proses melahirkan pada masyarakat Etnik Baduy. Seorang bumil bila melahirkan tidak boleh dibantu oleh orang lain termasuk keluarga dan suami. Sehingga bumil melahirkan sendiri dengan cara duduk bersandar pada dinding rumahnya. Bila bayi sudah lahir maka suami baru menghubungi dukun bayi (paraji) dimana paraji tersebut bertempat tinggal. Selama menunggu kehadiran paraji, si ibu sama sekali tidak diperbolehkan untuk minum dan makan, termasuk tidak boleh menyentuh bayinya. Deskripsi lebih lengkap diulas lebih mendalam pada Bab 4 Pikukuh Budaya Kesehatan Ibu dan Anak. Tata Cara dan Pelaksanaan Upacara Terkait Kematian Menurut informasi yang disampaikan langsung oleh Pangulu (orang yang ditugaskan oleh adat Baduy untuk mengurusi jenasah mulai dari pensucian, penguburan hingga 7 harinya). Menurutnya apabila ada warga Baduy Tangtu yang meninggal maka diperintah, dirinya yang sudah menerima tugas untuk mengurus jenasah maka langsung melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Pada awalnya jenasah disucikan kemudian dikenakan pakaian adat termasuk golok yag sering dipergunakan sehari-hari almarhum, bila sudah selesai dilanjutkan pembungkusan dengan kain kafan dan dimasukkan ke dalam keranda. Acara selanjutnya dikuburkan dengan kedalaman setinggi dada manusia dewasa. Saat dimasukkan ke dalam liang lahat kepala berada di arah Selatan dengan wajah dihadapkan ke arah Barat. Sebagai catatan; bahwa golok almarhum tidak disertakan dalam liang lahat, tetapi diambil oleh Pangulu. Sebelum ditimbun dengan tanah, liang lahat ditutup dengan kayu 65
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
pipih ditata miring sehingga berbentuk segitiga bila dilihat secara irisan. Apabila selesai ditimbun, maka sebagai tanda bahwa ada jenasah baru yang baru dimakamkan pada bagian kepala dan kaki ditanamlah pohon hanjuang. Selain pohon hanjuang diberi sesaji di atas ancak (para-para dari bambu yang dianyam regang) yang berisi nasi, lauk pauk, kue sesuai dengan kesenangan almarhum ketika masih hidup. Di permukaan makam pada bagian kepala diberi potongan bambu yang diisi air sebagai simbul pemberian air minum pada roh almarhum. Apabila sudah dimakamkan selama 7 hari maka areal pemakaman tadi bisa dipergunakan sebagai ladang warga seperti penggunaan ladang-ladang yang lainnya. Begitu pula selamatan di rumah duka, bila sudah 7 hari dianggap telah selesai.
Gambar 2.17. Hanjuang/Andong (Cordyline terminalis) Sumber: Wikipedia Indonesia
2.4.1.1. Upacara Adat Terkait Life-cycle dan yang Terlibat Etnik Baduy Dalam (Tangtu) sangat menjunjung tinggi upacara adat, diantaranya terkait dengan ritus daur hidup. Ritus daur hidup yang dilakukan secara umum terdiri dari Kelahiran (dibahas lebih detail dalam Bab Budaya KIA); Sunatan, peper
66
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
(sunat perempuan) dan geser (dibahas lebih mendalam di Bab Tradisi Selebrasi Etnik Baduy); Pernikahan. Pernikahan Pernikahan merupakan cara untuk membangun kekerabatan. Demikan pula yang dilakukan oleh Etnik Baduy bahwa dengan melalui pernikahan ini dapat membentuk keluarga baru dan memperluas ikatan kekerabatan. Etnik Baduy untuk memperoleh pasangan hidup bisa dilakukan beberapa cara yaitu: 1) Melalui perjodohan ke dua belah pihak orang tua. 2) Memilih sendiri sesuai kehendak hati.
2.4.1.2. Tokoh Keagamaan dan Fungsi Masyarakat Etnik Baduy sangat menjunjung tinggi Puun, karena Puun-lah secara formal yang diakui secara adat untuk memimpin dan menyelesaikan permasalahan keagamaan. Puun ini dipilih oleh adat dan merupakan pemangku adat tertinggi. 2.4.2. Keluarga Inti Keluarga ini Etnik Baduy terdiri dari Bapak, Ibu dan anakanak yang belum menikah. Mereka bertempat tinggal dalam satu rumah. Tidak menutup kemungkinan dalam satu rumah ditempati beberapa kepala keluarga yang merupakan pecahan dari keluarga intinya. Tinggalnya pecahan keluarga inti tersebut di antaranya disebabkan karena, belum mampu mendirikan rumah baru, terbatasnya lahan pemukiman di lingkungan pemukiman lama, belum dikehendaki oleh orang tua untuk memisahkan diri dari keluarga.
67
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Sebab belum boleh pindahnya untuk memisahkan diri setelah menikah, biasa terjadi karena oleh orang tua diberikan suatu tugas untuk menjaga rumah dan menjaga orang tua. Seperti dikemukan oleh informan bernama Ayah Nardi sebagai berikut; “...memang saya sengaja bahwa anak laki-laki dan menantu saya untuk tinggal di imah kami, karena kami sudah merasa usia tua, meskipun kami masih bisa ke ladang, saya lebih tenang kalau anak-anak tinggal di rumah...”
Contoh bagan komposisi keluarga inti Etnik Baduy.
Gambar 2.18. Bagan Keluarga Inti Sumber: Visualisasi Peneliti
68
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
2.5. Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal 2.5.1. Sistem Kemasyarakatan Puun
Tangkesan
Jaro Tangtu
Baresan
Girang Seurat
Jaro 12
Jaro Warega
Pangulu
Pangiwa
Keterangan:
Jaro Dangka
Kokolotan
Jaro Pamarentah
Kokolot
Carik
Garis Komando Garis Koordinasi Gambar 2.19. Struktur Pemerintahan Baduy Sumber: Visualisasi Peneliti
Ikatan Kekerabatan Masyarakat Baduy memiliki pola yang menitikberatkan pada wilayah tempat tinggal. Lokasi tempat tinggal masyarakat Baduy menunjukkan kedudukan sebagai seorang keturunan para Batara. Hubungan kekerabatan bisa dilihat dari tiga sisi, pertama,
69
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kampung Tangtu. Kedua, kampung Panamping. Ketiga, PaJaroan. Dalam hal itu, seluruh masyarakat Baduy menyatakan bahwa seluruh wilayah Desa Kanékés Baduy adalah Tangtu Teulu Jaro Tujuh yang memiliki arti seluruh penduduk di wilayah Kanékés Baduy merupakan satu kerabat yang berasal dari satu nenek moyang. Adapun perbedaan itu terletak pada sisi generasi antara tua dan muda. Dalam kekerabatan orang Baduy, orang Cikeusik dianggap yang tertua, Cikartawana yang menengah dan Cibeo yang termuda Nama ibu (Etnik kata) juga dirujuk oleh masyarakat Baduy Dalam sistem kekerabatannya, contoh seorang ibu bernama Sarti, maka nama anak laki-lakinya adalah bisa Sarta, Sarman atau anak perempuannya Sartin. Cara panggilan masyarakat Baduy terbilang unik, seseorang memanggil kepada seseorang dengan nama anak. Contoh, ayah Mursyid karena nama anak laki-laki pertamanya Mursyid jadi ia dipanggil ayah Mursyid padahal nama aslinya adalah Alim. Contoh lain, anak pertama perempuan bernama Cana, maka panggilan sehari-hari bagi ayahnya adalah ayah Cana, padahal namanya sendiri Sarpin. Hubungan antara sistem kekerabatan dan lokasi kampung dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu: pertama tentang kampung Tangtu; kedua, kampung panamping; dan ketiga paJaroan. Tentang hal itu, ekpresi orang Baduy menyatakan bahwa seluruh wilayah Desa Kanékés adalah Tangtu teulu Jaro tujuh. Artinya, bahwa wilayah Kanékés seluruh penduduknya merupakan satu kerabat yang berasal dari satu nenek moyang, kalau pun ada perbedaan terletak pada tua dan muda dari sisi generasi. Dalam kekerabatan orang Baduy, Cikeusik dianggap yang tertua, Cikartawana yang menengah dan Cibeo yang termuda. Oleh karena itu, Puun Cikeusik lah yang mengurus kunjungan tahunan ke Sasaka Domas tempat yang disucikan oleh orang Baduy. Kerabat yang lebih muda cukup dengan mengikuti yang
70
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
tertua. Demikian juga halnya dengan pembagian kombala, berupa tanah putih dan lumut yang dibawa dari tempat itu, mengikuti ketentuan kerabat tua dan muda. Namun demikian, untuk memudahkan pembahasan kekerabatan, istilah kekerabatan atau kinship dalam tulisan ini mengacu pada sejumlah status (posisi atau kedudukan sosial), dan saling hubungan antar status sesuai dengan prinsip-prinsip budaya yang berlaku terutama digunakan untuk: (1) menarik garis pemisah antara kaum-kerabat (kin) dan bukan kaumkerabat (non-kin); (2) menentukan hubungan kekerabatan seseorang dengan yang lain secara tepat; (3) mengukur jauh/dekatnya hubungan kekerabatan seseorang dengan yang lain; dan (4) menentukan bagaimana seseorang harus berperilaku terhadap seseorang yang lain sesuai dengan aturan-aturan kekerabatan yang disepakati bersama. Prinsip kekerabatan tersebut, dalam konteks Orang Baduy sebagaimana ditunjukkan oleh N.J.C. Geise (1952) dalam disertasinya yang berjudul “Badujs en Moslims in Lebak Parahiang, Zuid Banten”, mengungkapkan bahwa kekerabatan Orang Baduy tidak menyimpang dari model klasik yang dibuat oleh van Wouden (1935), untuk beberapa masyarakat Indonesia Timur. Menurutnya, ada beberapa perubahan yang terjadi disebabkan isolasi yang dilakukan Orang Baduy sendiri. Model van Wouden itu berdasarkan perkawinan asimetris (asymetric connumbium), dan garis keturunan (double descent) serta suatu preferensi untuk perkawinan antar sepupu (cross-cousins marriage) dengan kedudukan yang utama untuk saudara laki-laki dari pihak ibu. Temuan Geise tentang sistem kekerabatan Orang Baduy yang sebagaimana model Van Wouden itu dibantah oleh Berthe, sebab ia menganggap bahwa model klasik yang diajukan itu hampir tidak bisa dipakai untuk menelaah kekerabatan Orang
71
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Baduy. Kalau bisa dipakai pun, seharusnya akan diperoleh sesuatu istilah untuk saudara laki-laki dari pihak ibu di dalam terminologi kekerabatan Orang Baduy. Dalam kenyataannya Geise tidak menyebutkan istilah itu. Namun begitu, Berthe berdasarkan kekerabatan Orang Baduy mengidentifikasi atas sesuatu sifat yang khas Orang Sunda, yaitu perlawanan (oposisi) antara kakak dan adik. Dari perlawanan itu ada kecenderungan yang dianggap paling baik bagi perkawinan anak laki-laki yang pertama (kakak) dari suatu garis keturunan dengan anak perempuan yang terakhir (adik) dari garis keturunan yang lain. Kemudian hal yang dianggap penting dalam kaitan dengan ketentuan itu adalah adik tidak boleh melangsungkan perkawinan sebelum kakaknya melangsungkan perkawinan (ngarunghal). Dalam prakteknya pada Orang Baduy tidak terdapat perbedaan antara sepupu persamaan (paralel-cousins) dan antar sepupu (cross-cousins) (Garna,1987), sehingga ada kecenderungan dalam perkawinan itu terjadi dalam keluarga yang paling dekat, yang menurut Berthe (2000) dapat terjadi sampai dengan sepupu tingkat keempat. Atau, istilah Orang Baduy menyebut dengan baraya. Dalam kaitan itu, Garna (1988), melihat bahwa antara dangka dan Tangtu adalah seperti rangka dengan isi yang pasti, yaitu Tangtu merupakan nenek moyang atau karuhun yang dengan istilah lain sebagai pusat dan dangka sebaga isi dari seluruh keturunannya. Dangka adalah tempat tinggal bagi warga Tangtu yang untuk sementara waktu tinggal di sana karena melanggar adat sebagaimana ditentukan oleh nenek moyang. Untuk sementara sampai dosanya dianggap lebur, orang Tangtu yang tinggal di dangka sebenarnya masih satu keluarga dengan warga kampung Tangtu yang mengirimkan mereka ke sana. Jika mereka yang di dangka itu tidak dapat atau tidak mau kembali ke Tangtu, maka mereka tetap merupakan kerabat dekat. Dari
72
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
istilah warga dangka mereka itu disebut kaum dangka, dan sebutan tersebut menunjukkan bahwa mereka masih segolongan atau sekerabat dengan warga Tangtu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa warga kampung Tangtu berkerabat dekat dengan 3 kampung. Tangtu Cikeusik berkerabat dekat dengan warga dangka Cibengkung, Kompol dan Kamancing, sedangkan Tangtu Cibeo berkerabat dengan dangka Cihandam, dan Tangtu Cikartawana berkerabat dekat dengan dangka Cilenggor, Nungkulan dan Panyaweuyan. Ikatan kerabat yang dekat itu berlaku pula terhadap warga yang tinggal di kampung-kampung Baduy-luar atau mereka menyebut panamping yang warganya disebut kaum daleum. Warga kampung Tangtu Cikeusik berhubungan kerabat yang erat dengan warga kampung Pamoean dan Cipiit, Tangtu Cibeo dengan kampung Gajeboh, Kaduketer, dan kampung Cihulu, sedangkan warga Tangtu Cikartawana berkerabat dekat dengan warga kampung Cikopeng. Dalam perkembangannya kampung-kampung kaum daleum kini semakin bertambah, dengan jumlahnya menjadi 12 buah kampung pada tahun 1986. Pengembangan dari kampung induk merupakan pengembangan kerabat kaum daleum dari kampung induknya, sehingga dengan sendirinya mereka pun terkait pula dengan kampung asalnya di Tangtu. Sistem Perkawinan Sistem perkawinan pada Etnik Baduy adalah sistem perkawinan Monogami. Seorang laki-laki Baduy tidak boleh beristri lebih dari seorang dan perkawinan Poligami merupakan suatu hal yang tabu. Selain itu, perkawinan anak laki-laki yang pertama (kakak) dari suatu garis keturunan dengan anak perempuan yang terakhir (adik) dari garis keturunan yang lain. Hal penting dalam sistem perkawinan masyarakat Baduy adalah 73
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
seorang adik tidak boleh melangsungkan perkawinan sebelum kakaknya melangsungkan perkawinan (ngarunghal). Dalam prakteknya, masyarakat Baduy tidak terdapat perbedaan antara sepupu persamaan dan antarsepupu sehingga ada kecenderungan dalam perkawinan itu terjadi dalam keluarga yang paling dekat, dapat terjadi sampai dengan sepupu tingkat keempat. Perkawinan seperti itu disebut dengan baraya. Dalam sistem perkawinan masyarakat Baduy tidak ada tradisi berhubungan sebelum menikah (pacaran). Pasangan akan langsung dijodohkan. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing. Setelah ada kesepakatan, dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran yaitu: 1) Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. 2) Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. 3) Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal. Sehubungan dengan pernikahan monogami tersebut Ayah Mursyid (44 th) menyebutkan.. “...dalam adat istiadat Baduy, khususnya di Tangtu bahwa pernikahan itu merupakan hal yang suci, karena mempertemukan dua orang yang berbeda kelamin untuk menuju hidup berkeluarga selamanya, oleh karena
74
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
sudah dipersatukan oleh yang Kuasa maka jangan dipisahkan, boleh pisah hanya dipisahkan oleh maut...”
Demikian pula seperti diungkapkan oleh Dainah (55 th) tentang pentingnya pernikahan yaitu: “...merupakan hal yang dikehendaki oleh Yang Kawasa, manusia itu hanya melaksanakan kehendakNya. Sehingga pertemuan seorang lelaki dan seorang perempuan yang disyahkan oleh adat melalui upacara pernikahan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan oleh manusia. Jangan sampai pisah dan harus dipertahankan sebaik mungkin. Kecuali dipisahkan oleh maut, itu ceritanya beda, kembalikan pada Yang Kawasa lagi...”
Pelaksanaan akad nikah dan resepsi bagi pasangan mempelai dilaksanakan di Balai Adat yang dipimpin oleh Puun untuk menyahkan pernikahan tersebut. Dalam ketentuan sistem perkawinan masyarakat Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Semua sistem yang ada di masyarakat Baduy termasuk sistem perkawinan berlandaskan pikukuh, sebuah aturan yang sudah ada sejak leluhur masyarakat Baduy. Pikukuh adalah aturan dan ajaran yang harus dijalankan oleh masyarakat Baduy. Aturan tersebut mengatur mengenai apa saja yang diperbolehkan dan apa saja yang dilarang. Peraturan ini juga mengatur tentang penyelenggaraan perkawinan yaitu pada bulan kelima, keenam dan ketujuh. Selain itu, dalam urusan waris masyarakat Baduy menyatakan bahwa pembagian waris untuk anak laki-laki dan perempuan saja. Pembagian waris pada masyarakat Baduy terbagi rata antara anak perempuan dan anak laki-laki. Harta yang ditinggalkan berupa rumah, perhiasan, uang dan alat-alat rumah tangga lainnya.
75
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Kelompok Asal Keturunan Orang Baduy mengelompok menurut asal keturunan Tangtu, yaitu keluarga luas yang tinggal dalam satu kampung. Ada 3 kelompok kekerabatan dalam kesatuan orang Tangtu, yaitu Tangtu Cikeusik, Tangtu Cikartawana dan Tangtu Cibeo. Adapun hirarki kekerabatan itu sesuai dengan urutan dari yang paling tua ke yang paling muda, yaitu Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo. Menurut Garna (1988), walaupun cenderung terdapat orientasi kepada pihak ibu (ambu), biasanya seorang pria membawa istrinya ke kampung Tangtu tempat tinggal keluarga luasnya dan membuat rumah baru. Namun dalam upacara-upacara keagamaan Sunda Wiwitan mereka mengikuti kampung asal istrinya. Keadaan itu tampaknya tidak berlaku mutlak untuk seorang wanita yang mengikuti keluarga luas suaminya, karena seorang pria juga dapat mengikuti istri ke kampung asalnya. Seluruh Desa Kanékés terbagi dalam dua wilayah penting, yaitu wilayah Tangtu dan wilayah panamping. Makin ke arah Selatan daerahnya makin sakral, dan daerah tersuci adalah hulu Ciujung, tempat Sasaka Pusaka Buana yang lebih dikenal dengan sebutan Sasaka Domas. Tingkat kesakralan menurut bagian kampung dengan arah seperti itu berlaku pula di hampir setiap kampung panamping. Rumah kokolot (ketua adat dan agama) adalah daerah sakral dan bagian belakang rumah biasanya bersambung ke hutan kampung. Di daerah kampung Tangtu yang sakral pun masih terdapat daerah tersakral yang tidak boleh diinjak orang luar, yaitu rumah Puun dan daerah sekitarnya. Dalam kaitan itu, mitologi Baduy mengungkapkan bahwa Batara Tunggal Karang menurunkan 7 anak (batara) yang memerintah di 7 wilayah, yaitu Parahyang, Jampang, Sajra, Jasinga, Bombang dan Banten. Dalam kaitan ini sistem kekerabatan orang Baduy terkait dengan organisasi sosial Banten (Berthe, 1965). Para Puun diturunkan dari garis tua atau kakak 76
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
sedangkan sultan-sultan Banten dari garis muda atau adik yang mempunyai peranannya masing-masing sesuai dengan hirarki tersebut (Garna, 1988). Pembagian yang memotong seluruh warga masyarakat Baduy Dalam dua paroh masyarakat, yaitu Tangtu dan panamping, menentukan posisi masing-masing dalam rangka suatu kesatuan masyarakat. Peranan untuk saling mengendalikan dan mengawasi ditentukan oleh sistem paJaroan yang dibentuk serta dipimpin oleh Tangtu atau tiga Puun. Puun mengangkat seorang Jaro, yaitu tanggungan Jaro duawelas yang bertugas mengawasi para Jaro, terutama para Jaro di panamping dan kampung dangka. Dalam pemerintahan Baduy dikenal suatu sistem pemimpin yang meliputi sejumlah pejabat dengan sebutan sendiri-sendiri. Orientasi setiap pemimpin kepada pemimpin tertinggi, yakni para Puun. Mereka dianggap satu kesatuan pemimpin tertinggi untuk mengatasi semua aspek kehidupan di dunia dan mempunyai hubungan dengan karuhun. Dalam kesatuan Puun tersebut senioritas ditentukan berdasarkan alur kerabat bagi peranan tertentu dalam pelaksanaan adat dan keagamaan Sunda Wiwitan. Puun memiliki kekuasaan dan kewibawaan yang sangat besar, sehingga para pemimpin yang ada di bawahnya dan warga masyarakat Baduy tunduk dan patuh kepadanya. Berdasarkan konsep itu dalam menjalankan pemerintahannya, semua lingkup dan mekanisme menjalankan kekuasaan tercakup dalam tiga Tangtu dan tujuh Jaro. 2.5.2. Sistem Politik Lokal Peraturan Adat Peraturan adat Desa Kanékés yang meliputi 58 kampung terdiri dari tiga kampung Tangtu atau disebut Kampung Baduy
77
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Dalam yang meliputi Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik. Sedangkan lima puluh enam (56) kampung lainnya disebut dengan kampung panamping atau Kampung Baduy Luar. Diantara kampung Baduy Luar tersebut adalah Kaduketug, Balingbing, Marengo, Gajebo, Cipaler, Cipiit, Sarokokot, Cisedane, Cibaglut, Batubeulah dan lain-lainnya. Jabatan Fungsional Secara Adat Juru Aes (Juru Rias) Juru rias akan disyahkan oleh Puun apabila memang sudah mendapat pertimbangan kelayakan menjadi Juru Rias dari kokolot adat. Mereka belajar secara informal dari seniornya. Pejabat Juru Aes ini dijabat oleh seorang wanita yang dibantu dengan beberapa wanita yang magang untuk menjadi Juru Aes. Untuk bisa menjadi Juru Aes ini selain faktor keturunan juga karena dipilih oleh warga kampung, karena dianggap layak untuk menyandang Juru Aes. Selanjutnya oleh para kokolot adat diajukan ke Jaro, selanjutnya oleh Jaro diajukan ke Puun. Bila memang sudah layak untuk menjabatnya maka Puun segera melantiknya. Tugas Juru Aes tidak hanya merias pengantin, tetapi juga merias para peserta sunatan (terdiri dari anak laki-laki dan perempuan). Oleh masyarakat Baduy Dalam (Tangtu) dan Luar (panamping) bahwa sunatan dianggap sebagai salah satu tahap daur hidup yang penting maka dilakukan secara bersamasama/masal yang disebut dengan sunat lobaan. Ketika melaksanakan sunatan pesertanya bukan hanya anak laki-laki tetapi juga perempuan. Sunat perempuan ini oleh masyarakat Baduy disebut dengan istilah peper. Adapun usia anak laki dan perempuan yang menjadi peserta sunat dan peper pada usia 3 tahun, 5 tahun dan 7 tahun.
78
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Pelaksanaan sunat lobaan dilakukan sesuai penanggalan Baduy. Pada tahun 2014 upacara sunatan lobaan jatuh pada pertengahan bulan Juni dan bila menurut penanggalan Baduy jatuh pada bulan Kalima. Pengulu Pengulu merupakan jabatan adat yang tugasnya merawat jenasah dan memimpin seluruh rangkaian upacara kematian hingga 7 harinya. Demikian pula pengulu ini disyahkan oleh Puun dan faktor keturunan merupakan syarat yang diutamakan. Juru Basa Juru Basa bertanggung jawab terhadap jalannya prosesi perjodohan mulai dari lamaran pertama, kedua dan ketiga hingga pernikahan. Juru Basa ini sama dengan jabatan adat lainnya yakni tetap disyahkan oleh Puun. Itu juga atas pertimbangan kelayakan dari para kokolot adat. Asal Pemimpin Untuk mengetahui asal mula pemimpin dan pamerintahan Baduy dapat ditelusuri dari folklor yang hidup di tiga daerah Tangtu yang berkaitan dengan manusia pertama yang turun ke dunia. Tempat mula menurunkan para Batara sebutan lain untuk para leluhur mereka, adalah di Sasaka Domas yang setelah menurunkan para Batara kemudian turun para daleum, peristiwa itu mereka menyebutkan sebagaimana dikehendaki oleh nu ngersakeun. Karena itu, tempat tersebut merupakan pusat dunia (Pancer Bumi) dan tempat suci dari suatu awal kelahiran manusia serta Mandala Sunda. Batara Patanjala merupakan anak laki-laki kedua dari Batara Tunggal yang mempunyai 7 orang anak, 6 orang laki-laki
79
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dan seorang perempuan. Mereka itulah oleh Orang Baduy dikenal sebagai nenek moyang Orang Tangtu. Ketujuh anak Batara Pantajala, ialah Daleum Janggala, Daleum Lagondi, Daleum Putih Seda, Daleum Cinangka, Daleum Sorana, Nini Hujung Galuh, dan Batara Bungsu. Daleum Janggala menurunkan Puun Cikeusik, Daleum Langondi menurunkan Puun Cikartawana. Daleum Seda Hurip penurunkan Puun Cibeo. Sedangkan Daleum Cinangka menurunkan para girang seurat, Daleum Sorana, menurunkan para kokolot dan Nini Hujung Galuh menurunkan para Jarodangka. Dalam perkembangannya kemudian, setelah semua batara dan daleum menghilang, maka tinggal para Puun yang meneruskan kehadiran manusia di dunia. Itu maknanya, bahwa dari mulai ada alam dan dunia hanya dihuni oleh dua orang, yaitu sepasang Puun, yakni Puun Cikeusik. Tuturan tersebut, mengemukakan bahwa Puun Cikeusik lah manusia pertama yang ada di dunia. Manusia pertama di dunia atau yang tertua adalah sepasang, yaitu Puun Cikeusik. Baru kemudian menyusul Puun Cikartawana dan Cibeo. Tuturan lainnya, menyebutkan, bahwa kajeroan semuanya adalah anak-cucu Puun perempuan. Anak Puun Cikeusik menjadi Puun Cibeo, anaknya kemudian menjadi Puun Cikartawana. Asal Pemerintahan Baduy Dengan demikian, bagi orang Baduy seorang pemimpin dalam pemerintahan (Jaro, girang seurat, tangkesan kokolotan, kokolot, dan baresan), berasal dari keturunan para Puun yang artinya, satu sama lain terikat oleh garis kerabat. Dalam konteks itu, ciri penting dalam pamarentahan Baduy, terletak pada diferensiasi peran dan pembagian jabatan yang terpisahkan
80
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
melalui struktur sosial, namun semuanya terikat oleh satu hubungan kerabat yang erat. Perbedaan peran yang mendasar antara para pemimpin yang disebut Puun dan yang disebut para Jaro, adalah pada tanggung jawab yang berurusan dengan aktivitasnya, karena para Puun berurusan dengan dunia gaib sedangkan para Jaro bertugas menyelesaikan persoalan duniawi. Atau, dengan perkataan lain, para Puun berhubungan dengan dunia sakral dan para Jaro berhubungan dengan dunia profan. Oleh karena itu, para Puun menerima tanggung jawab tertinggi pada hal-hal yang berhubungan dengan pengaturan harmonisasi kehidupan sosial dan religius, sehingga kehidupan warga masyarakatnya dapat berlangsung dengan tertib. Dalam situasi seperti itu warga masyarakat dituntut patuh memenuhi ketentuan pikukuh yang telah digariskan para karuhun. Pelanggaran terhadap pikukuh berarti telah siap menerima hukuman berupa pengusiran dari daerah Tangtu. Atau, bagi masyarakat panamping melanggar ketentuan itu berarti harus menanggung kewajiban bekerja di huma Puun, yang lamanya disesuaikan dengan berat ringannya pelanggaran. Pemerintahan Baduy Di rumah, kepala keluarga inti mengatur kehidupan para anggota keluarganya, termasuk pengawasan sosial terhadap aturan adat. Urusan dan pengaturan yang dilakukannya ialah membina kehidupan keluarga intinya, berhuma, hubungan dengan kaum kerabat, melakukan perhitungan untuk menentukan saat mulai menanam, bepergian, menyelenggarakan perkawinan, pengasuhan, pendidikan anak dan turut serta dalam berbagai upacara. Pada tingkat kampung ada beberapa jenis pemimpin. Di kampung dangka terdapat seorang pemimpin adat dan agama 81
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
yang disebut Jarodangka. Ia meneruskan dan mengawasi ketentuan karuhun yang disampaikan melalui Puun, dan ia juga dapat berkumpul di Tangtu dalam upacara keagamaan penting. Selain itu, Jarodangka juga diharuskan turut serta dalam upacara membersihkan kampung Tangtu dari dosa yang ditinggalkan oleh si pelanggar. Dalam pamarentahan Baduy, ada dua orang yang dituakan dalam kampung panamping namun berfungsi berbeda, yaitu: pertama, kokolot lembur. Yang menjadi pemimpin pikukuh. Ia bertugas atas nama Puun untuk mengawasi, mengatur, dan melaksanakan ketentuan Puun. Kedua, kokolot lembur yang kedudukannya sejajar dengan ketua rukun kampung dalam sistem pemerintahan formal. Rumah kokolot lembur dianggap sakral yang tidak boleh diinjak orang asing. Karena itu, rumah kokolot terletak di bagian paling ujung dari jajaran paling luar yang berbatasan langsung dengan hutan kampung. Hal itu, maksudnya agar para guriang yang kehadirannya dianggap penting sebagai penjaga keselamatan masuk ke kampung melalui rumah kokolot. Pemimpin kampung Tangtu adalah Jaro Tangtu. Ia bertugas sebagai kokolot lembur dan sekaligus pula bertindak sebagai kokolotan lembur. Selain itu, ia pun harus turut serta seba ke ibukota kabupaten di Rangkasbitung dan ke Residen Banten yang kini Gubernur di Serang. Jaro Tangtu diangkat menurut alur keturunan dari para Jaro terdahulu, yang disiapkan oleh pikukuh langsung di bawah tangkesan dan pengawasan Puun. Apabila calon Jaro Tangtu dianggap siap, walaupun ia masih muda, ia dapat saja diangkat. Dalam pamarentahan Baduy, istilah Jaro banyak digunakan. Arti kata Jaro sendiri adalah ketua kelompok atau pemimpin. Pada tingkat panamping terdapat seorang Jaro yang tidak hanya mengurus dan mengatur seluruh Jaro, tetapi juga
82
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
berkuasa mutlak sebagai pengawas serta pelaksana tertinggi pikukuh di panamping. Dari kedua belas Jaro, yaitu tiga Jaro Tangtu, tujuh orang Jarodangka, seorang Jarowarega, dan seorang Jaro pamarentah, maka ia adalah koordinator kerja para Jaro yang dalam pamarentahan Baduy dikenal dengan sebutan Jaroduawelas. Jarowarega berperan dalam upacara keagamaan, terutama untuk persiapan dan pelaksanaan seba, tetapi pada posisi pimpinan dalam Sunda Wiwitan, ia adalah pembantu utama tanggungan Jaroduawelas. Jaro pamarentah, adalah Jaro Kanékés, kepala desa yang pengangkatannya disetujui oleh kedua belah pihak, para Puun dan pemerintah daerah. Acuan ke atas juga dua yaitu Puun dan camat. Karena itu seorang Jaro pamarentah merupakan pengimbang di antara kedua kategori pemimpin itu, yang dengan penuh bijaksana harus mampu melaksanakan semuanya. Masa kerja seorang Jaro pamarentah tergantung dari lamanya dan sejauh mana ia mampu melaksanakan kebijaksanaan pengimbang dimaksud. Jaro pamarentah dibantu oleh paling tidak tiga orang pembantu utama, yaitu carik adalah juru tulis desa yang selalu berasal dari luar Kanékés, dan dua orang pangiwa, pembantu Jaro pamarentah yang berasal dari panamping. Pada tingkat Tangtu terdapat tiga Puun, yang tidak hanya menjadi pemimpin agama dan adat tertinggi di kampung Tangtu, tetapi juga untuk seluruh Kanékés. Semua pemimpin bawahan termasuk Jaro pamarentah harus tunduk kepada mereka. Puun dalam menjalankan aktivitasnya dibantu oleh sejumlah pejabat adat dan agama. Pejabat adat dan agama tertinggi yang berfungsi sebagai penasihat ialah tangkesan yang juga disebut dukun putih. Ia biasanya berasal dan berkedudukan di kampung Cikopeng. Dukun-dukun pada tingkat kampung lainnya selain berada di bawah pengawasan Puun juga diamati oleh tangkesan.
83
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Puun mempunyai staf yang lengkap, seperti seurat atau girang seurat yang menjadi pembantu Puun untuk berbagai hal. Jabatan seurat hanya ada di Cikeusik dan Cibeo, tetapi tidak ada di Cikartawana. Jaro Tangtu membantu seurat dan Puun secara langsung. Penyampaian berita dan lain-lainnya dilakukan oleh pembantu umum. Jumlahnya tergantung dari kekerapan kerja, upacara dan pelaksanaan pikukuh. Semacam dewan penasihat Puun terdapat di setiap kampung Tangtu, yang disebut baresan (barisan, dewan atau kumpulan) atau sering disebut baresan salapan, karena terdiri dari sembilan orang tokoh, termasuk Jaro Tangtu, seurat dan lainnya. Fungsi baresan adalah membantu Puun dan Jaro Tangtu memecahkan berbagai masalah dan melaksanakan pikukuh. Dengan demikian seorang Puun didukung oleh penasihat batin melalui tangkesan dan penasihat pelaksanaan pikukuh oleh baresan salapan. Pengawasan para Puun mampu menjangkau wilayah dan seluruh warga Kanékés melalui tanggungan Jaroduawelas dan dukun-dukun lembur serta kokolot dan kokolotan lembur. Dalam konteks itu, pamarentahan Baduy berfungsi untuk mensucikan dan membuat tapa dunia, termasuk memelihara alam sebagai pusat dunia, sedangkan dunia beserta isinya dijaga oleh keturunan muda, dan sultan-sultan Banten yang harus membuat dunia ramai. Seorang pemimpin agama dihubungkan dengan garis keturunan yang paling tua, sedangkan seorang pemimpin politik dihubungkan dengan garis keturunan yang paling muda. Kekuasaan agama dihubungkan dengan para leluhur atau karuhun dan kekuasaan politik dihubungkan dengan aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Itu artinya, seorang pemimpin agama mewujudkan identitas masyarakat Baduy, sedangkan seorang pemimpin politik mengurus
84
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
kehidupan duniawi termasuk mengurus dan memelihara kelestarian tanah. Untuk melangsungkan aktivitasnya itu, kegiatan duniawi dipusatkan di Tangtu Cibeo, sedangkan aktivitas ritual dan keagamaan berada di Tangtu Cikeusik. Namun Tangtu dalam menjalankan aktivitasnya itu saling menyokong dan sekaligus saling terikat. Karena diantara keduanya saling memberikan pengaruh untuk mengokohkan tradisi Baduy yang bersandar pada pikukuhkaruhun, yaitu: ‘nu lain kudu dilainkeun, nu enya kudu dienyakeun, nu ulah kudu diulahkeun’. Artinya, yang bukan harus dikatakan bukan, yang benar harus dikatakan benar dan yang dilarang harus dikatakan dilarang. 2.6. Pengetahuan Tentang Kesehatan Masyarakat Etnik Baduy Dalam memperoleh pengetahuan didapat melalui pendidikan informal, yaitu didapatkan secara turun temurun yang disampaikan oleh orang. Kategori usia anak sangat menentukan siapa yang harus memberikan pengetahuan tentang bekal hidupnya sebagai warga Tangtu. Dari fakta yang ditemukan dilapangan, usia anak-anak 0-5 tahun pendidikan sepenuhnya ditangani oleh orang tua masing-masing sesuai jenis kelaminnya. Sedangkan usia 6 th ke atas lebih tua banyak ditangani oleh kokolot adat. Pendidikan selanjutnya diserahkan kepada adat atau yang diberi wewenang oleh adat untuk transfer pengetahuan. Pengetahuan dimaksud diantaranya, tentang hak dan kewajiban manusia sebagai warga Baduy. Termasuk di dalamnya perihal budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari. Memang tidak ada pendidikan formal, tidak ada lokasi sekolahan atau ruang khusus untuk menerima pelajaran. Sehingga pengetahuan-pengetahuan tersebut disampaikan kepada warganya yang berhak diantaranya melalui; ceritera
85
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
sehari-hari tentang baik-buruk, boleh-tidaknya dilakukan secara adat ataupun secara umum. Lebih banyak disampaikan tentang bagaimana menghormati dan menghargai sesama manusia, bagaimana menjaga lingkungan alam. Untuk menjaga lingkungan alam ini diantaranya memang tampak dalam pola tata-letak perkampungan dan menjaga kebersihan lingkungan kampungnya. Ini diwujudkan dengan menyediakan tempat sampah dari bambu dianyam yang diberi tiang, tujuannya memudahkan untuk memasukkan sampah ke dalam keranjang sampah tanpa turun dari lantai panggung. Umumnya tempat sampah tersebut ditempelkan pada tiang sosoran rumah bagian depan, teras atau dalam bahasa daerahnya disebut gegajegan. Sistem pengetahuan orang Baduy adalah Pikukuh yaitu memegang teguh segala perangkat peraturan yang diturunkan oleh leluhurnya. Dalam hal pengetahuan ini, orang Baduy memiliki tingkat toleransi, tata krama, jiwa sosial, dan teknik bertani yang diwariskan oleh leluhurnya. Dalam pendidikan modern orang Baduy masih tertinggal jauh namun mereka belajar secara otodidak. Jadi sebetulnya orang Baduy sangat informasional, tahu banyak informasi. Hal ini ditunjang karena kegemaran sebagai orang rawayan (pengembara). 2.6.1. Konsepsi Mengenai Sehat dan Sakit Masyarakat merasa sehat apabila bisa melaksanakan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Misalnya : a.
b.
86
Bisa pergi ke ladang untuk mengolah ladang dengan nyaman, sehingga bisa berharap mendapatkan hasil ladang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bila hatinya merasa senang, sehingga bisa melaksanakan kegiatan adat, seperti: gotong royong untuk perbaiki rumah,
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
gotong royong perbaiki jembatan, gotong royong membuka ladang baru atau kegiatan lainnya. Masyarakat Etnik Baduy pada prinsip yang dikatakan sakit adalah apabila secara perorangan tidak bisa bekerja ke ladang, tidak bisa bangun dan tidak bisa berjalan. Yang lebih jauh lagi apabila hati merasa tidak nyaman, pikiran tidak terfokus, artinya tidak jelas apa yang dipikirkan. Adapun sebab orang menjadi sakit menurutnya karena tidak terpenuhinya kebutuhan sehari-hari. Mereka tidak akan pergi ke Puskesmas atau ke bidan apabila masih bisa ditangani sendiri. Karena sangat mengakui kemujaraban tumbuhan-tumbuhan yang tumbuh di sekitar kampung Tangtu atau panamping. 2.6.2. Penyembuhan Tradisional Warga Baduy Tangtu mengakui keberadaan penyembuh tradisional yang memiliki beberapa istilah dalam kedudukan sosial yang berbeda yaitu: 1) Dukun Menyembuhkan berbagai penyakit medis maupun non medis dengan menggunakan sarana berupa obat-obatan herbal yang ada di sekeliling kampung Baduy. Tugas lainnya adalah membagi para Bengkong untuk menjalankan tugasnya baik di wilayah Baduy Tangtu ataupun Baduy Panamping. Untuk menjadi dukun tidak semua orang bisa mencalonkan diri, sebagai syarat minimal harus ada unsur keturunan. Kemudian dipilih oleh masyarakat dan diajukan oleh kokolot adat yang pada akhirnya akan disyahkan oleh Puun. 2) Bengkong Bengkong adalah dukun sunat yang ketika menjalankan tugasnya menunggu ditugaskan oleh dukun. Bengkong ini dipilih
87
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
oleh warga karena berdasar atas keturunan, kemudian diajukan kekolot adat dan selanjutnya disyahkan oleh Puun. 2.7. Bahasa Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanékés Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja. Ciri bahasa yang digunakan Etnik Baduy adalah tidak memiliki tinggi-rendah bahasa dengan aksen tinggi dalam lagu kalimat. Orang Kanékés tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanékés masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanékés tidak dapat membaca atau menulis. Etnik Baduy Dalam komunikasi sehari-hari bertutur kata dengan menggunakan bahasa Sunda dengan dialek Baduy. Dialek Baduy ini meruapakan salah satu dialek Bahasa Sunda. Banyak dipahami oleh masyarakat pendukung Budaya Sunda, bahwa bahasa yang digunakan oleh Etnik Baduy merupakan bahasa yang kasar. Namun dalam penuturan sehari-hari khususnya dengan para kokolot adat, juga ada yang menuturkan dengan bahasa halus. Dialek Baduy dapat dipahami oleh penutur bahasa Sunda
88
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
lainnya, meskipun terdapat cukup banyak kosa kata yang berbeda pada kedua bahasa tersebut. Demikian pula seiring dengan tatanan strata sosial bahasa ikut menyesuaikan. Artinya antara strata yang lebih rendah akan menggunakan bahasa yang lebih halus atau penghormatan terhadap strata yang lebih tinggi. Banyak orang mengatakan bahwa Orang Baduy Dalam tidak mengenal strata bahasa/tingkatan bahasa (undak usuk basa), tapi ketika peneliti di lapangan saat itu di Kampung Cibeo menemukan strata bahasa tersebut. Hubungan anak-anak dengan orang tua, masyarakat dengan pejabat (Jaro, Puun, Tokoh Adat). Fakta di lapangan menunjukkan adanya beberapa jenis sebutan yaitu: Sebutan untuk Pejabat telah tertuang dalam Peraturan Desa Kanékés, Nomor: 01 tahun 2007 tentang Saba Budaya dan Perlindungan Masyarakat Adat Tatar Kanékés (Baduy)(terlampir). Berikut sebagian contoh nama-nama jabatan di Desa Kanékés: Puun
:
Jaro : Pamarentah JaroTangtu
:
Jaro Tujuh
:
Serat
:
jabatan tertinggi dalam adat Baduy perangkat adat yang berfungsi menghubungkan antara Desa Kanékés dengan pemerintahan pengatur adat yang ada di kampung Baduy Pedalaman. para pengatur adat di Panamping yang bertugas menangani masalah keamanan di Panamping staf khusus Puun
Contoh sebutan untuk kekerabatan : Akang Teteh
: kakak laki-laki : kakak perempuan 89
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Eneng Ngong Ujang, asep, aceng Uwa Ambu Ayah Bibi Amang
: adik perempuan : anak laki-laki dibawah 5 th, : anak laki-laki diatas 5 th. : kakak laki-laki orang tua ego. : ibu : ayah/bapak : adik perempuan orang tua ego. : adik laki-laki orang tua ego.
Contoh sebutan untuk jenis obat-obatan tradisional: Jukut ambu Kayu Kiseureh Daunharendong Kulit Kayu Kijaki Nangka walanda (sirsak) Tuak honje (air honje)
:untuk obat sakit mata. : untukobat sakit mata. : untuk obatsakit perut, sakit gigi, sakit kepala. : untuk sakit kulit (gatal, korengan, borok menahun). : untuk Sakit panas (nguriang). : untuk sakit mata.
2.8. Mata Pencaharian Jenis Mata Pencaharian Penduduk Sistem perladangan berpindah atau perladangan daur ulang telah dipraktekkan selama berabad-abad dan merupakan bentuk pertanian yang paling awal di wilayah tropika dan sub tropika. Sistem pertanian dilakukan adalah tanaman pangan dalam waktu dekat (pada umumnya 2 – 3 tahun), dan kemudian diikuti dengan fase regenerasi atau masa bera yang lebih lama (pada umumnya 10 – 20 tahun). Pembukaan hutan biasanya menggunakan alat sederhana, dilakukan secara tradisional, dan menggunakan cara tebang bakar.
90
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Pada waktu hutan dibuka maka tumbuhan alam yang berguna biasanya dibiarkan atau sedikit disiangi dan dimanfaatkan hasilnya. Lama waktu perladangan dan masa bera atau masa lahan diistirahatkan adalah sangat bervariasi, dan lama masa bera merupakan faktor kritis bagi regenerasi kesuburan tanah, keberlanjutan, dan hasil pertanian yang didapatkan. Regenerasi kesuburan tersebut melibatkan tumbuh kembalinya tanaman tahunan atau tumbuhan asli. Masyarakat Baduy yang masih mengikuti pola pertanian tradisional zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran), telah mempraktekkan sistem perladangan berpindah tersebut sejak kurang lebih 600 tahun yang lampau. Mereka membuka huma untuk ditanami padi selama 1 sampai 2 tahun, dan kemudian ketika hasil panen telah menurun akan meninggalkan huma tersebut dan membuka kembali huma baru dari bagian hutan alam yang mereka peruntukkan bagi kepentingan tersebut. Huma yang ditinggalkan pada suatu saat akan diolah kembali dan periode masa bera tersebut pada awalnya 7 sampai 10 tahun. Sebagaimana masyarakat agraris lainnya di Indonesia, masyarakat Baduy mempunyai jadwal pertanian yang tertentu setiap tahunnya dan didasarkan kepada letak benda astronomi tertentu, seperti kemunculan bintang tertentu dan letak matahari. Adapun patokan bintang yang digunakan adalah bintang kidang (Waluku atau Rasi Orion) dan bintang Kartika atau bintang Gumarang. Dalam prakteknya bintang kidang lebih banyak dipakai karena lebih jelas terlihat. Kemunculan bintang kidang tersebut menandai dimulainya proses berladang karena masyarakat mulai bersiap-siap turun ke ladang dan mulai mengolah lahan pertanian. Dalam ungkapan mereka disebutkan: “Mun matapoe geus dengek ngaler, lantaran jagad urang geus mimiti tiis, tah dimimitian ti wayah eta kakara urang nanggalkeun kidang, tanggal kidang mah
91
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
laju turun kujang”. (Terjemahan: “Jika matahari telah condong ke Utara, ketika bumi kita telah mulai dingin, mulai saat itu baru kita mengamati penanggalan dengan munculnya bintang kidang, waktu muncul bintang kidang kita mulai menggunakan alat pertanian (kujang)”
Adapun alat pertanian yang mereka gunakan adalah terbatas sekali, dan prinsip pengolahan lahan mereka adalah sesedikit mungkin mengganggu tanah. Mereka membuka huma dengan bedog atau parang panjang dan kujang (parang pendek atau pisau), dan menanam benih padi dengan cara menugal atau melubangi tanah dengan sepotong kayu. Pengolahan lahan dengan cara mencangkul atau membajak adalah terlarang. Kalender sebagai penanda waktu pada masyarakat Baduy adalah kalender yang berpatokan pada perputaran bulan (Qomariah). Satu tahun dibagi menjadi 12 bulan. Menurut Narja, seorang penduduk kampung Cibeo, urutan bulan-bulan tersebut adalah sebagai berikut: Kapat, Kalima, Kanem, Katujuh, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapit Lemah, Hapit Kayu, Kasa, Karo, Katiga. Urutan bulan tersebut juga mengikuti tahapan dalam proses perladangan. Bulan Kasa, Karo, dan Katiga, yang merupakan bulan-bulan akhir masa berladang dan masa panen disebut pula masa Kawalu yang dipenuhi dengan berbagai upacara adat dan berbagai bentuk larangan. Pada masa tersebut tamu atau pengunjung dari luar biasanya tidak diterima. Masyarakat Baduy menerapkan cara pertanian ladang berpindah yang merupakan cara bercocok tanam tahap awal evolusi cara bertani. Sistem perladangan berpindah tersebut sangat tergantung pada keberadaan dan kelestarian hutan di wilayah tersebut. Dengan demikian hutan memegang peran penting dalam hubungan antara masyarakat Baduy dengan lingkungan alamnya. Keberadaan mereka menurut sejarah dan kepercayaan adalah dalam rangka menjaga hutan dan mata air
92
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Sungai Ciujung yang menjadi sungai utama pada jaman Kerajaan Sunda/Pajajaran. Masyarakat Baduy diperintahkan untuk mengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung yang berperan sangat penting dalam bidang transportasi dan pertanian, beserta hutan yang melindungi mata airnya, yang mereka sebut sebagai Sirah Cai atau kepala air. Kebiasaan masyarakat Kanékés dalam membangun rumah pada hakekatnya merupakan pencerminan keteguhan masyarakat dalam melaksanaan peraturan peraturan adat sebagai tradisi turun temurun dari nenek moyangnya. Membongkar tanah adalah buyut. Apabila permukaan tanah tempat mendirikan rumah ternyata tidak rata, maka bukan permukaan tanahnya yang diratakan, melainkan tiang tiang panggung rumah yang disesuaikan tinggi atau rendahnya menurut kelerengan permukaan rumah. Rumah tradisional Baduy berupa panggung dengan lantai pelepah bambu dan berdinding bilik anyaman bambu. Atapnya terbuat dari daun rumbia dan ijuk. Konstruksi rumah tidak menggunakan paku dan cat, umumnya terdiri dari lima bagian; SOSORO atau Serambi, TEPAS atau Ruang Tamu, IMAH atau Ruang Utama yang juga berfungsi sebagai kamar, MUSUNG atau Tempat Penyimpanan Barang dan PARAKO atau Tempat Penyimpanan Barang diatas Tungku. Bercocok Tanam dan Berladang Masa tanam padi di kampung-kampung Baduy Dalam dimulai ketika Puun sudah menanam padi. Setelah Puun, warga mulai menanam. Beberapa warga memiliki hari baik yang mereka jadikan pegangan untuk mulai menanam padi. Mereka membersihkan ladang dari tumbuhan-tumbuhan yang bisa mengurangi produksi padi. Pengairan ladang dilakukan tanpa irigasi dan hanya mengandalkan hujan. Masa tanam padi sengaja dipilih pada awal musim hujan atau sekitar bulan Oktober. 93
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Ladang tidak mendapatkan pengairan karena dimaksudkan untuk menjaga kebersihan air. Artinya apabila ladang-ladang tersebut disediakan irigasi maka aliran air akan mengalir ke sungai dan dianggap bisa menyebabkan terjadinya pencemaran sungai. Warga Baduy, terlebih Baduy Dalam, tidak menggunakan obat-obatan kimia selama berladang. Adapun Baduy Luar sudah mengenal pestisida. Di Baduy Dalam, pemberantasan hama dilakukan dengan membacakan mantra-mantra. Hama pun jarang menyerang ladang. Alat pertanian yang digunakan di Baduy tergolong sederhana. Koret (arit/sabit), kayu untuk membuat lubang tempat benih, serta etem (ani-ani) adalah alatalat yang digunakan dalam perladangan masyarakat Baduy. Mereka tidak boleh membajak tanah dengan hewan atau traktor dengan alasan akan merusak kesuburan tanah.
Gambar 2.20. Bekas Ladang Padi Gogo Sumber: Dokumentasi Peneliti
94
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Baduy Dalam dan Baduy Luar memiliki areal tanah garapan masing-masing. Baduy Dalam tidak boleh berladang di Baduy Luar, demikian pula Baduy Luar tidak diperkenankan memiliki ladang di Baduy Dalam. Tanah perladangan di Baduy Luar boleh diperjualbelikan di antara mereka. Untuk tanah yang berkualitas baik, harga jualnya mencapai Rp 10.000 per meter persegi. Tanah ini tidak boleh dijual kepada orang yang bukan berasal dari Etnik Baduy. Sedangkan, Baduy Luar memiliki tanah di luar tanah Baduy. Berbeda dengan Baduy Luar, Baduy Dalam tidak mengenal perdagangan tanah. Tanah Baduy Dalam tidak diperjualbelikan, tetapi boleh digunakan secara bergantian oleh semua warga Baduy Dalam. Warga Baduy Dalam juga tidak diperkenankan membeli tanah di mana pun. Setiap kampung di Baduy Dalam mempunyai ladangnya masing-masing. Tanah yang dulu dikerjakan oleh seorang warga boleh ditempati orang lain pada musim tanam berikutnya. Hanya saja, tanaman yang telah ditanam oleh penggarap ladang sebelumnya tetap menjadi milik penanam sebelumnya. Setiap keluarga di Baduy Dalam menentukan luas ladang yang sanggup dikerjakan keluarga itu. Bila ternyata keluarga itu tidak mampu mengerjakan ladangnya, ia dapat meminta bantuan warga lain. Orang yang diminta membantu mengerjakan ladang bekerja dari pukul 08.00 sampai 12.00. Penyewa tenaga ini harus membayar upah pekerja sebesar Rp 6.000,- hingga Rp 15.000,per hari. Harga upah ini bisa dinego sesuai dengan tingkat kesulitan medan perladangan. Etnik Baduy mempunyai areal yang dijadikan hutan lindung atau hutan larangan (leuweng kolot). Hutan lindung atau hutan larangan ini berfungsi sebagai areal resapan air. Selain itu juga membantu menjaga keseimbangan air dan kejernihan air di Baduy, terlebih di Baduy Dalam. Oleh sebab itu pepohonan di areal ini tidak boleh ditebang, termasuk membuat ladang. Semua aturan ini sudah
95
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dituangkan kedalam Peraturan Desa Kanékés No: 1 tahun 2007 tentang Saba Budaya dan perlindungan Masyarakat Adat Tatar Kanékés (Baduy) yang disyahkan di Kaduketug pada tanggal 15 Juli 2007 oleh Jaro Pamarentah/Kepala Desa Kanékés Daina, dan diundangkan di Kaduketug pada tanggal 15 Juli 2007 oleh Seketaris Desa Kanékés Haji Safin. Hasil panen ladang di Baduy terutama padi. Padi ini disimpan di lumbung-lumbung dan bisa bertahan sampai puluhan bahkan ratusan tahun! Setiap keluarga mempunyai lumbung masing-masing. Jumlah lumbung yang dimiliki tiap keluarga tidak sama. Ada yang hanya memiliki satu lumbung, tapi ada juga yang punya 10 lumbung. Padi dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan pangan warga Baduy. Adat juga mengatur bahwa padi yang dihasilkan Etnik Baduy tidak boleh diperjualbelikan, baik di dalam ataupun di luar Baduy. Padi hanya boleh diberikan secara gratis. Bila ada warga yang gagal panen atau kekurangan beras, warga lain membantu mencukupi kebutuhan beras mereka yang tertimpa musibah. Berkurangnya produksi padi sejak sekitar empat tahun lalu mendorong warga Baduy untuk membeli beras dari luar Baduy. Pembelian beras ini dilakukan untuk mencegah kekurangan stok beras mereka. Selain menanam padi, lahan di ladang juga dimanfaatkan untuk menanam sayur atau buah, seperti kacang, durian, atau aren. Tanaman ini ditanam di antara padi. Lahan untuk menanam tanaman lain selain padi sering disebut kebon. Meskipun secara garis besar Etnik Baduy tidak mengenal perdagangan, pada kenyataannya jual beli hasil kebon sudah terjadi di Baduy, terutama Baduy Luar. Di Baduy Dalam, adat mereka melarang warganya menjual hasil kebon. Tetapi, bila ada orang yang datang dan tertarik membeli hasil kebon, perdagangan boleh dilakukan langsung di tempat.
96
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Untuk meneruskan tradisi berladang, setiap anak di Baduy selalu diajak ke ladang dan diperkenalkan cara berladang sejak usia dini. Etnik Baduy juga mempunyai kebiasaan, setiap anak yang telah menikah dan membentuk keluarga baru harus mengerjakan ladang sendiri. Sebelum menikah, calon menantu laki-laki harus membantu keluarga perempuan di ladang. Tujuannya agar keluarga perempuan dapat menilai sejauh mana calon suami yang dipilihnya untuk putri mereka mampu menghidupi keluarga barunya kelak dari berladang.
Gambar 2.21. Seorang Ibu Sedang Memetik Padi Gogo di Baduy Sumber: Dokumentasi Peneliti
Etnik Baduy mendirikan saung huma (gubuk) di ladang mereka. Saung ini digunakan sebagai tempat istirahat dan makan siang ketika berladang. Di saung huma ini warga Baduy menyimpan perlengkapan memasak dan persediaan beras. Kirakira pukul 10.00, ibu-ibu atau anak perempuan mulai memasak. Setelah matang, mereka makan bersama di saung. Hampir setiap hari warga Baduy pergi ke ladang. Mereka bekerja di ladang sejak
97
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
pukul 07.00 hingga sekitar pukul 17.00. Saat itulah kampungkampung di Baduy sepi. Tidak setiap hari mereka bekerja di ladang. Di Baduy Dalam, setiap tanggal 15 dan 30 menurut kalender mereka ada larangan bekerja di ladang. Bagi beberapa keluarga, hari Jumat juga dijadikan sebagai hari libur. Tak jarang, warga Baduy terutama laki-laki - meninggalkan ladangnya bila pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak. Lewat sistem kepercayaan, adat, serta niat untuk menjaga keseimbangan alam, Etnik Baduy terbukti mampu menghidupi diri mereka sekaligus melestarikan alam.
Gambar 2.22. Saung Baduy Sumber: Dokumentasi Peneliti
Pola bercocok tanam masyarakat Baduy masih tradisional dan memegang adat leluhur. Biasanya, sebagai penghormatan, masyarakat Baduy melakukan ritual khusus jika hendak memulai masa tanam. Upacara membersihkan lahan sebelum ditanami disebut dengan istilah nyacar serang. Kegitan nyacar serang ini dilakukan secara gotong royong, khususnya ketika membuka lahan ladang miliki adat, merupakan hal yang wajib dilakukan 98
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
oleh setiap warga Baduy untuk membantunya. Membakar lahan supaya subur disebut ngaduruk. Sementara, upacara proses mulai menanam padi disebut dengan ngaseuk. 1. Jenis Padi Ada beberapa jenis padi yang dimiliki masyarakat Baduy. Bahkan, diperkirakan terdapat 40 jenis padi yang ditanam dan tumbuh di sekitar warga Baduy. Ada pun nama-namanya memanglah sangat kental dengan bahasa Sunda lokal, di antaranya pare koneng, pare salak, pare siang, dan pare ketan. 2. Perawatan Padi Berbeda dengan petani kebanyakan yang melakukan perawatan padi dengan bahan kimia, Etnik Baduy tidaklah demikian. Mereka melakukan perawatan padi dengan cara tradisional. Biasanya, petani Baduy memakai ramuan yang dihasilkan dari oplosan aneka tanaman; cangkudu, tamiang, gempol, pacing tawa, dan lajak. Semua tanaman ini diaduk rata dengan campuran air tuak lalu ditebarkan pada tanaman yang mulai tumbuh dewasa. Tempat Penyimpanan Padi Gudang penyimpanan padi atau biasa dikenal dengan lumbung, dalam bahasa Baduy disebut dengan leuit. Bahan kerangka pokok bangunan itu dengan anyaman bambu yang dijadikan dindingnya. Sementara, bagian atapnya ditutup dengan hateup alias daun nipah dan ijuk yang terbuat dari serabut pada pohon aren sebagai penahan air hujan. Jika kita teliti, maka akan ditemukan papan bundar sebagai alas kaki-kaki lumbung yang disebut jalumpang. Gunanya sebagai anti hama, misalnya tikus. Meski rata-rata lumbung itu tidak terlalu besar, tetapi cukup banyak bisa menyimpan ikatan padi. Mereka tidak akan mengambil padi apabila benar-benar tidak dalam kesulitan
99
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
pangan. Dengan kata lain bahawa Etnik Baduy sudah memiliki kearifan lokal untuk memikirkan strategi cadangan pangan melalui keberadaan leuit.
JALUMPANG
Gambar 2.23. Leuit (Lumbung) Sumber: Dokumentasi Peneliti
Menjual Hasil Kerajinan Masyarakat Baduy memang layak dikatakan sebagai masyarakat madani. Dengan berprinsip hidup dari apa yang ada di alam, mereka pun berusaha segala kebutuhannya dengan caranya sendiri tanpa banyak bergantung kepada orang lain. Secara tak langsung, hal ini memaksa mereka untuk berkreasi menciptakan sesuatu guna memenuhi kebutuhan hidup. Bagi kaum wanita Baduy (baik Baduy Luar maupun Dalam) menenun telah menjadi bagian pekerjaan rutin sehari-hari. Kegiatan ini sudah berlangsung turun temurun dan masih dilakukan sampai sekarang. Biasanya para wanita akan menenun
100
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
di siang hari; setelah memasak, membenahi rumah, mengurus anak, mencari kayu bakar, dan pergi ke ladang. Dengan begitu, keluarga mereka dapat mengenakan pakaian untuk melindungi tubuh maupun untuk kelengkapan upacara adat. Dulu, kain atau sarung Baduy dibuat dari dari kapas dan melalui proses yang sangat rumit. Kini, mereka telah menggunakan bahan dan teknik pengerjaan yang lebih singkat. Kalau dulu untuk membuat satu kain atau sarung bisa membutuhkan waktu sekitar seminggu atau lebih, kini bisa lebih singkat, hanya 4-7 hari. Namun prosesnya tetap menggunakan peralatan tenun tradisional.
Gambar 2.24. Seorang Ibu Sedang Menenun Sumber: Dokumentasi Peneliti
Untuk warga Baduy Dalam, warna putih polos menjadi warna dominan busana yang mereka gunakan. Selain sebagai simbol kesucian atau kebersihan, aturan adat memang melarang menggunakan pakaian dari luar dengan warna yang beraneka
101
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
ragam. Sedangkan kain maupun selendang buatan warga Baduy Luar memiliki warna yang lebih variatif. Selain warna hitam dan biru, warna kuning, oranye, merah, biru terang, abu-abu dan putih juga terlihat dalam kreasinya. Motif kainnya sederhana, berupa kotak-kotak kecil. Kain atau selendang inilah yang mudah dijumpai dan bisa dimiliki oleh para wisatawan. Selendang atau kain ini ditawarkan dengan harga antara Rp30.000,- hingga Rp 100.000,- .
Gambar 2.25. Koja dari kulit kayu teureup Sumber: Dokumentasi Peneliti
Selain hasil tenun, warga Baduy juga kerap membuat kantong layaknya tas yang dikenal dengan Koja atau Jarog. Benda ini dibuat dari bahan kulit kayu teureup (ardisia elastica) yang dihaluskan dan kemudian dirajut. Warnanya yang coklat tua adalah hasil pewarna alami, dari larutan kulit pohon Salam (eugenia cumini). Hasil karya ini dijual dengan harga dari Rp 30.000,- sampai Rp 100.000,- , tergantung besar kecilnya ukuran.
102
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Baju orang Baduy Luar yang disebut dengan bayang kampret belakangan juga menjadi barang yang ditawarkan kepada para wisatawan. Ditawarkan dengan harga Rp 40.000,hingga Rp 70.000,-.Baju ini berwarna hitam, berlengan panjang, belahan di depan dan berkancingkan dari bahan batok kelapa. Menjual Buah-Buahan Etnik Baduy juga menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan. Seperti Durian, Ranji (seperti buah asam), Rambutan, Nangka, Picung, Petai. Selain menjual buah dari hutan, mereka juga menjual buah pisang yang memang sengaja ditanam pada ladangnya. Penjualan buah pisang ini untuk menyokong pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Menurut masyarakat warga Baduy pisang (cau) berbuah tidak kenal waktu, sehingga sengaja ditanamnya selain untuk dijual juga dikonsumsi sendiri. Jenis buah kuranji berada dihutan yang dipanen setiap tujuh tahun sekali. Kuranji memang berbuah setiap tujuh tahun sekali. Ketika menjelang berbuah, warga Baduy sangat menjaga dengan penuh hati-hati, bahkan untuk menjaga keamanan kebun kuranji ini dijaga oleh petugas yang berwajib. Dijaga oleh yang berwajib menurut warga Baduy sering kali ada pihak luar di luar Etnik Baduy ada yang berani mencuri buah kuranji tersebut. Harga buah kuranji sangat menggiurkan seperti disebutkan oleh informan Wadi (45 th); “...wah kalau sudah menjelang musim panen kuranji pak, warga Baduy berani minta bantuan kepada pihak yang berwajib untuk membantu menjaga wilayah hutan yang ditumbuhi kuranji itu. Kuranji tumbuh dengan sendirinya, harga per kilonya bisa mencapai ratusan ribu rupiah...(tanpa menyebut nominalnya)...mereka kalau
103
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
baru panen kuranji biasanya pada beli se’eng sebagai tabungannya...”
Gambar 2.26. Seorang warga Baduy Tangtu berbelanja di Pasar Kroya Sumber: Dokumentasi Peneliti
Menjual Madu Selain buah-buah dan kerajinan tangan, warga Baduy Tangtu juga menjual madu hutan. Madu hutan yang dijual memang diambil dari lebah liar yang hidup di hutan sekitar pemukiman baik di kampung Cikeusik, Cikartawana atau Cibeo. Madu hasil perasan secara tradisional tersebut dijajakan hingga ke wilayah Baduy Luar bahkan ke luar wilayah Kecamatan Leuwidamar atau wilayah yang bersinggungan dengan Desa Kanékés, seperti daerah Keboncau yang masuk wilayah Kecamatan Bojongmanik.
104
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Adapun harga jual madu sebotol ukuran 650 ml ditawarkan antara Rp 150.000,- hingga Rp 250.000,-. Bentuk hasil karyanya bisa diperhatikan dalam gambar 2.27.
Gambar 2.27. Madu Asli Baduy yang Dikemas dalam Botol Sumber: Dokumentasi Peneliti
Seba Seba merupakan bentuk tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanékés secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu kepada Bupati Lebak dan dilanjutkan ke Gubernur Banten. Dari hal tersebut diharapkan akan terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dengan masyarakat pada umumnya. Ketika pekerjaan di ladang sudah longgar, orang Etnik Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk menjual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan
105
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang Baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanékés terletak di luar wilayah Kanékés seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger. 2.9. Teknologi Dan Peralatan Golok atau bedog menjadi atribut sehari-hari lelaki Baduy. Ada dua macam Golok yang dibuat dan digunakan oleh orang Baduy, yaitu golok polos dan golok pamor. Golok polos dibuat dengan proses yang biasa, menggunakan besi baja bekas per pegas kendaraan bermotor yang ditempa berulang-ulang. Golok ini digunakan oleh orang Baduy untuk menebang pohon, mengambil bambu, dan keperluan lainnya. Golok Baduy yang telah diyakini kekuatannya yaitu golok yang berpamor. Golok pamor memiliki urat-urat atau motif gambar yang menyerupai urat kayu dari pangkal hingga ujung golok pada kedua permukaannya. Proses pembuatannya lebih lama dan memerlukan pencampuran besi dan baja yang khusus. Kekuatan dan ketajaman golok pamor melebihi golok polos biasa, di samping memiliki kharisma tersendiri bagi yang menyandangnya. Golok buatan orang Baduy-Dalam berbeda dengan buatan orang Baduy-Luar. Secara jelas perbedaannya terletak pada sarangka dan perah-nya, baik yang berpamor maupun tidak. Golok terbuat dari bahan baja dan besi bekas dari per pegas kendaraan bermotor. Pembuatannya dengan cara menempa besi baja tersebut hingga pipih dan tajam dengan pemanasan api arang. Reka hias golok diterakan pada bagian sarangka (wadah) dan perah (pegangan). Motif hiasnya berupa garis-garis yang
106
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
geometris mengikuti alur dan arah sarangka dan perah tersebut, dengan menggunakan alat pisau pangot, atau pisau raut dan gergaji kecil.
Gambar 2.28. Golok BaduyTangtu Sumber: Dokumentasi Peneliti
Bahan untuk membuat sarangka ialah kayu Reunghas, dan perahnya dari bahan kayu duren atau kayu jenis lain yang lebih keras. Pengikat atau penguat sarangka digunakan bahan tanduk sapi atau kerbau yang telah diraut terlebih dahulu. Tanduk sapi atau kerbau kadang-kadang digunakan pula untuk perah golok (berdasarkan pesanan). Kujang Kujang adalah alat untuk keperluan bercocok tanam di huma, misalnya untuk nyacar, ngored, dan dibuat. Benda seperti ini di daerah Sunda yang lain sering dinamakan arit. Kujang dibuat dari bahan besi dan baja yang ditempa. Alat ini disebut
107
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kujang karena berbentuk mirip kujang sebagai senjata khas Pajajaran dan kini menjadi simbol daerah Jawa Barat. Istilah kujang ditujukan untuk bentuk seperti kujang dengan bagian bawah (tangkai)nya seperti golok , dan alat ini banyak digunakan oleh orang Baduy Dalam. Sedangkan bagi orang Baduy Luar biasanya menggunakan istilah kored (alat untuk pekerjaan ngored/membersihkan rerumputan di huma).
Gambar 2.29. Pandai Besi Sedang Menyelesaikan Pesanan Golok Sumber: Dokumentasi Peneliti
Kapak Beliung Baliung adalah alat untuk menebang pohon besar atau sebagai salah satu perkakas untuk membangun rumah. Di daerah lain disebut juga kapak. Gagangnya terbuat dari kayu yang agak panjang (30-35 cm). Tenaga dan daya tekan Baliung harus lebih
108
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
besar daripada golok, dan karena itu dibuat dari besi baja yang lebih besar dan tebal pada bagian pangkal (yang tumpulnya). Senjata Ada tiga kampung di Baduy Luar yang terkenal pembuatan perkakas tajam, yaitu Kampung Batu Beulah, Cisadane dan Cibaglut. Ke tiga kampung ini letaknya tidak berjauhan, dan berada di sebelah Selatan Baduy (Kanékés). Tukang membuat perkakas tajam ini dinamakan Panday Beusi. Yang dibuatnya antara lain Golok, Kujang, dan Baliung. Kampung yang sangat populer goloknya yaitu dari panday beusi Batu Beulah dan Cisadane. Sejak dahulu kedua kampung yang berdekatan ini sudah terkenal buatan goloknya yang sangat hebat (karena kekuatan, ketajaman, dan pamornya). Bahkan tersebutlah nama seorang panday beusi Daenci (sekarang sudah meninggal dunia) yang terkenal karena kesaktian dan kekuatan goloknya. Kepopuleran Batu Beulah hingga kini tidak bisa dilepaskan dari nama Daenci. Anak dan cucu Daenci merupakan generasi penerus pembuat golok Daenci. Beberapa Jenis Wadah Lodong Salah satu kegiatan wanita Etnik Baduy adalah mencari lahang untuk dijadikan gula aren. Setiap pagi mereka membawa lodong, gelonggong bambu sepanjang 1 meter, untuk menampung lahang (air nira) dari pohon aren yang tumbuh di sekitar kampung dan hutan. Setelah terkumpul, lahang tersebut terus direbus hingga kental, kemudian dicetak menggunakan tempurung menjadi gula aren yang siap jual. Dalam sehari bisa membuat 40 tangkup gula
109
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
aren. Setangkup gula aren yang dihasilkan dari dua keping tempurung dijualnya Rp 4.000,-
Gambar 2.30. Lodong untuk Ambil Getah Nira Bahan Gula Sumber: windarto suwedi.blogspot.com diakses tgl. 16-7-2014
Kele Wadah untuk mengambil air dari sungai atau sumber mata air yang biasa dikonsumsi. Biasanya kele ini merupakan tempat tandon air yang “disimpan” di depan rumah pada bagian 110
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
papangge. Berikut gambar dari kele sekaligus gelas yang bahannya terbuat dari bambu (somong).
Gambar 2.31. Kele dan Somong Sumber: Dokumentasi Peneliti
Makanan dan Minuman
111
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Dalam hal makanan, orang Baduy tergolong sangat fanatik. Mereka tidak mau menyantap makanan selain makanan tradisional yang mereka santap setiap hari. Maklum, masyarakat yang tinggal di pedalaman Pegunungan Kendeng, Desa Kanékés, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, ini sangat memegang teguh adat istiadat nenek moyang mereka hingga saat ini. Mereka tidak akan menyantap jenis makanan yang tidak dimakan nenek moyang mereka. Mereka juga tidak akan melakukan kebiasaan yang dulunya tidak pernah dilakukan nenek moyang mereka. Kebiasaan mandi tidak menggunakan sabun masih berlangsung hingga saat ini. Mereka menggunakan tumbuhan honje untuk sabun. Honje yang tua kulitnya dibuang dan dagingnya digunakan sebagai sabun. Sebelum digunakan daging honje ditumbuk hingga keluar seratnya dan serat itulah yang dipergunakan sebagai sabun. Demikian pula sebagai pengganti pasta gigi juga dipergunakan honje. Bahkan honje yang muda bisa dimakan untuk lalapan atau sayur asam. Orang Baduy memang suka sekali makan ikan asin. Setiap bulan sekali ketika hari pasaran tiba atau seminggu sekali mereka menempuh jarak yang cukup jauh ke pasar terdekat untuk membeli keperluan hidupnya. Diantara yang dibeli adalah ikan asin, minyak sayur, beras. Dengan membeli ikan asin ini memudahkan penyimpanan dan memasaknya. Dari pengamatan terlibat di lapangan, ikan asin dikonsumsi dengan dua cara yaitu dibakar dimasukan ke dalam abu panas dalam tungku atau digoreng. Adapun minyak sayur selain dipergunakan untuk memasak juga digunakan sebagai bahan bakar menyalakan pelita. Interaksi warga Baduy dengan masyarakat lain menyebabkan perubahan gaya hidup warga Baduy. Kalau dulu masyarakat Baduy cukup makan dengan nasi, ikan asin dan
112
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
garam, kini mereka gemar makan mi instan. Menurut Nasib, salah seorang pedagang makanan yang berkeliling dari Baduy Luar hingga Baduy Dalam, rata-rata sepekan ia bisa menjual 10 kardus atau 400 bungkus mi instan. Pergeseran selera makan pun terjadi pada anak-anak. Jarmin, warga Kampung Cibeo, mengaku, di masa anak-anak ia hanya memakan pisang bakar sebagai camilan. Kini ia harus mengeluarkan Rp 10.000 untuk jajan tiga anaknya yang gemar camilan-camilan dalam kemasan, permen, atau minuman kemasan. Penjual makanan datang dari luar Cibeo sebab masyarakat Baduy Dalam tidak diperkenankan berdagang oleh adat. Peraturan adat hanya melarang masyarakat Baduy untuk makan daging kambing, anjing, dan kucing serta minum sesuatu yang memabukkan. Aturan ini menyebabkan es lilin, minuman ringan (soft drink), susu, roti, dan makanan ringan dengan mudah diterima masyarakat Baduy. Jika bepergian ke kota, orang Baduy Dalam biasa membawa oleh-oleh berupa buah-buahan atau makanan yang tak ada di kampungnya. Buah-buahan yang dibeli berupa jeruk, apel, anggur, dan kelengkeng. Di Jakarta, beberapa kali mereka dijamu makan di restoran mewah oleh kenalannya. Jangan heran kalau orang-orang Baduy Dalam bisa bercerita soal Toserba, Mall yang ada di Jakarta atau Bogor bahkan Bandung. Pakaian dan Perhiasan Baduy Dalam, untuk laki-laki memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, karena cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang hanya dilobangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih. Pembuatannya hanya 113
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.
A B
A
B Gambar 2.32. A. Pakaian Baduy Tangtu Pria dan Wanita B. Pakaian Baduy Panamping Pria dan Wanita Sumber: Dokumentasi Peneliti
114
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Bagian bawahnya memakai kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. Mereka tidak memakai celana, karena pakaian tersebut dianggap barang tabu. Selain baju dan kain sarung yang dililitkan tadi, kelengkapan busana pada bagian kepala menggunakan ikat kepala berwarna putih pula. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang. Kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk yang melingkar di lehernya. Pakaian Baduy Dalam yang bercorak serba putih polos itu dapat mengandung makna bahwa kehidupan mereka masih suci dan belum terpengaruh budaya luar. Bagi Etnik Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni. Cara berpakaian Etnik Baduy Panamping memang ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Melihat warna, model maupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar. Kelengkapan busana bagi kalangan laki-laki Baduy adalah amat penting. Rasanya busana laki-laki belum lengkap apabila tidak memakai senjata. Bagi Baduy Dalam maupun Luar kalau bepergian selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya. Pakaian ini biasanya masih dilengkapi pula dengan tas kain atau tas koja yang dicangklek (disandang) di pundaknya. Sedangkan, busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy, baik Kajeroan maupun Panamping tidak menampakkan
115
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup. Untuk pakain bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan pakaiannya, masyarakat Etnik Baduy menenun sendiri dan dilakukan oleh kaum wanita. Dimulai dari menanam biji kapas, kemuduan dipanen, dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna pakaian untuk keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan putih. Kain sarung atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna merah. Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai sendiri. Bertenun biasanya dilakukan oleh wanita pada saat setelah panen. Jenis busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain sarung, kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang dilakukan oleh kalangan pria di antaranya adalah membuat golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup. Dari model, potongan dan cara berbusananya saja, secara sepintas orang akan tahu bahwa itu adalah Etnik Baduy. Memang, pakaian bagi Etnik Baduy bukanlah sekedar untuk melindungi tubuh saja, melainkan lebih bersifat sebagai identitas budaya yang melekatnya. Mereka percaya bahwa semuanya itu
116
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
merupakan warisan yang dituturkan oleh karuhun atau nenek moyang mereka untuk dijaga. Dari perhiasan, Etnik Baduy menganggap manik-manik yang berwarna oranye, merah, atau hijau, sebagai sebuah perhiasan yang berharga. Mungkin sama sebagaimana orang modern melihat emas dan berlian.
117
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
118
BAB 3 POTRET KESEHATAN ETNIK BADUY DALAM
3.1. Sistem Budaya Pelayanan Kesehatan Masyarakat Di dalam masyarakat dari sisi kebudayaan ada 2 sistem pelayanan kesehatan, yaitu Sistem Budaya Pelayanan Kesehatan Modern (Bio-Medikal) dan Sistem Budaya Pelayanan Kesehatan Tradisional. Sistem Budaya Pelayanan Kesehatan Modern (BioMedikal) dalam masyarakat, di dalamnya mengandung seluruh ilmu pengetahuan tentang kesehatan yang ada pada diri setiap karyawan di fasilitas pelayanan kesehatan sesuai bidangnya masing-masing, terjadi aktivitas saling berinteraksi antara sesama karyawan fasilitas pelayan kesehatan tersebut, antara petugas dengan pasien bahkan interaksi antara karyawan dengan karyawan unit lain di luar sektor kesehatan. Demikian pula pada Sistem Budaya Pelayanan Kesehatan Tradisional di dalamnya meliputi ilmu pengetahuan dukun, yang untuk sebagian berupa pengetahuan tradisional, sebagian lagi berupa ilmu gaib dan sebagian lagi keyakinan-keyakinan religi. Pengetahuan tradisional tidak hanya mengenal berbagai macam penyakit, sebab terjadinya penyakit dan cara-cara penyembuhan serta pencegahannya, tetapi juga tentang tumbuh-tumbuhan berkhasiat, obat-obatan obatan tradisional, makanan dan minuman. (Koenjaraningrat, 1982).
119
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
3.2. Inisiasi “Sentuhan” Medis Kampung Tangtu Adalah seorang Juru Imunisasi (Jurim), nama lengkapnya Bapak H. Idi Rosidi yang lebih dikenal dengan Pak Rasidi. Pak Rasidi sewaktu ditemui oleh tim peneliti mengaku berusia 69 tahun. Pak Rasidi oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak pernah diberi sebuah amanah yang tidak ringan untuk melakukan pendekatan ke masyarakat Etnik Baduy Dalam. Waktu pertama kali bertugas sebagai tenaga kesehatan pada tahun 1974 ditempatkan di Puskesmas Leuwidamar. Pak Rasidi kemudian pada tahun 1976 ditugaskan di Desa Cisimeut, mulailah pak Rasidi masuk ke desa Kanékés yang merupakan permukiman wilayah Etnik Baduy Dalam. Pada waktu itu di salah satu desa di Kampung Kaduketug yang merupakan wilayah desa Kanékés, ditemukan penderita frambusia. Hasil penyelidikan epidemiologi diketahui bahwa penularannya berasal dari orang luar kampung yaitu berasal dari penderita frambusia berasal dari Kota Lampung yang datang berkunjung. Pak Rasidi pada tahun 1975/1976 mengemban tugas untuk masuk ke wilayah Kampung Tangtu (Etnik Baduy Dalam), sebagai salah satu wilayah kantung frambusia di Indonesia. Menurut penuturan Pak Rasidi ia masih teringat respon masyarakat Baduy Dalam ketika ia pertama kali melakukan pendekatan kepada kelompok masyarakat tersebut. “…Awalnya mah begini Pak, jangan pun mau menerima obat-obatan saya aja itu dilarikan. Jadi kalau ada saya itu ditutupi itu panto … “ Artinya : “…Awalnya begini, jangankan menerima obatobatan.lihat saya saja masyarakat lari. Jadi kalau ada saya pintu langsung ditutup”
120
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Pak Rasidi selama bertugas di Kampung Tangtu permukiman berusaha untuk membumi, bergaul dengan masyarakat Baduy Dalam. Selama tinggal di permukiman Etnik Baduy Pak Rasidi tidak menetap di salah satu kampung saja, namun bergantian menginap di kampung lainnya. Hal itu dilakukan karena adanya aturan adat yang tidak memperkenankan tinggal lebih dari dua malam. Hal pertama yang dilakukan Pak Rasidi adalah melakukan pendekatan pada Kepala Pemerintah Adatnya yang disebut Jaro. “…Sebelum ke masyarakat saya ke Jaronya dulu kasih penyuluhan sambil ngobrol-ngobrol. Jaronya bilang yah kami kesehatan juga perlu apalagi kami ini orang yang suka nebang yah istilah disini mah tukang kasrak kusruk…”
Dukungan dari Jaro sebagai Kepala Pemerintahan Adat mempermudah jalan Pak Rasidi untuk bisa lebih persuasif terhadap warga Etnik Baduy Dalam. Pak Rasidi mencoba untuk lebih dekat dengan masyarakat Baduy Dalam dengan cara mengikuti kegiatan sehari-hari yang mereka lakukan. “Setiap kegiatan yang dilakukan warga Baduy diikuti, bahkan ketika pemudanya “nganjang” atau ngapel Pak Rasidi ikut juga. Lama kelamaan warga Baduy mulai terbiasa dan akrab…”
Setelah terjalin keakraban langkah selanjutnya adalah menumbuhkan rasa percaya warga Baduy Dalam agar pengobatan secara medis dapat diterima melalui pembuktian penderita frambusia yang dapat disembuhkan. Proses untuk meyakinkan warga untuk bersedia diobati bukan tanpa hambatan. Menurut penuturan Pak Rasidi, harus bisa memberikan penjelasan yang dapat diterima oleh warga
121
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
masyarakat Baduy Dalam bahwa pengobatan yang dilakukan tidak melanggar hukum adat masyarakat setempat. “Kainteu namanya sudah sekujur badan dia ga bisa jalan disini disini yang papilloma papilloma itu. Yaa Alhamdulillah dikunjungi oleh saya, sama Jaro Samin. Ini mah ga bisa diolas-oles sama penicillin, kan udah dioles penicillin. Ini mah ga bisa ga akan sembuh. Ini harus dimasukkan, bukan disuntik bukan… dimasukkan aja tetapi melalui lubang. Kan ga tabu kalau dimasukkan mah tetapi melalui lubang kalau dicolak-colek mah ga boleh. Ga akan sembuh, jadi lama kelamaan itu Alhamdulillah mau disuntik. setelah 3 hari mereka bisa jalan. Jadi ya gtu akhirnya mereka percaya… liat yang sudah sembuh total…”
Pembuktian kesembuhan penderita frambusia merupakan inisiasi diterimanya pengobatan modern oleh masyarakat Baduy Dalam. Bahkan sampai saat ini penicillin merupakan obat favorit warga Baduy Dalam yang dipercaya dapat menyembuhkan luka pada kulit. Setiap pengobatan frambusia yang dilaksanakan di permukiman Etnik Baduy Dalam ataupun program kesehatan lainnya agar supaya diterima cukup dengan melibatkan Pak Rasidi dalam tim. “Lihat muka saya sudah jaminan warga Baduy menerima… Orang Baduy itu kalau sudah percaya sama satu orang ya udah terus sama orang tersebut. Jadi kalau sama orang asing susah, jadi kalau masuk harus bawa orang yang kenal…”
3.3. Sistem Budaya Pelayanan Kesehatan Modern Puskesmas Cisimeut, sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah merupakan pusat pelayanan kesehatan modern. Puskesmas ini wilayah kerjanya meliputi Kampung 122
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Tangtu (Kampung Baduy Dalam). Secara administrasi pemerintahan, Puskesmas Cisimeut terletak di wilayah tengah Kabupaten Lebak Provinsi Banten berjarak kurang lebih 42 Km dari Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten. Secara geografis merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian 250 meter sampai 500 meter diatas permukaan laut. Adapun batas wilayah kerjanya adalah sebagai berikut : 1) Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Leuwidamar 2) Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Bayah 3) Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Muncang 4) Sebelah Barat berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Bojongmanik Wilayah kerja Puskesmas Cisimeut meliputi enam daerah binaan yaitu Desa Bojong Menteng, Desa Cisimeut, Desa Nayagati, Desa Margawangi, Desa Kanékés dan Desa Cisimeut Raya. Luas wilayah desa Kanékés 51 km2 atau 24,39% dari total luas wilayah Puskesmas Cisimeut (Profil Puskesmas, 2012). Puskesmas Cisimeut merupakan Puskesmas pemekaran dari Puskesmas Leuwidamar, yang lebih dahulu berdiri. “Menjadi Puskesmas Kadeudeuh Masyarakat Cisimeut dan Mendukung Terwujudnya Lebak Sehat 2014” merupakan visi Puskesmas Cisimeut. Didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan yang terdiri dari seorang Kepala Puskesmas lulusan Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM), 5 orang perawat, 1 orang asisten apoteker, 1 orang tenaga penyuluh kesehatan, 3 orang tenaga bidan dengan status 1 bidan PNS, dan 2 bidan PTT. Satu orang tenaga bidan dalam proses mutasi, pindah ke Puskesmas Cirinten yaitu ibu Yeni, dengan alasan mendekati tempat tinggal. Tidak
123
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
ada bidan yang khusus menangani Etnik Baduy Dalam, sehingga 2 bidan bertugas mengkaver 6 desa di wilayah kerja Puskesmas Cisimeut.
Gambar 3.1. Warga Baduy Dalam; Bidan Eros Rosita; Kepala Puskesmas Cisimeut Sumber : Dokumentasi Peneliti
Prasarana dan sarana yang ada untuk menunjang program kesehatan menunjang diwilayah Cisimeut antara lain Puskesmas Induk, Puskesmas Pembantu (Pustu), Pos Kesehatan Desa (Poskesdes), Puskesmas Keliling (Pusling) berupa 1 mobil dan 1 motor mantri keliling (manling) berjumlah 5 buah. Akses menuju Puskesmas Cisimeut dari Kampung Tangtu dapat ditempuh dengan berjalan kaki kurang lebih sepanjang 8 km dengan waktu tempuh dua 2 hingga 3 jam. Lokasi Kampung Tangtu yang terletak di daerah perbukitan hanya dapat ditempuh melalui jalan setapak dengan kondisi jalan penuh tanjakan curam dan licin jika dalam keadaan basah karena air hujan. Selain Puskesmas, fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang dapat diakses oleh masyarakat Baduy adalah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ajidarmo Lebak yang terletak di Ibu Kota 124
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Kabupaten Rangkasbitung. Informasi yang diberikan oleh Bidan Eros Rosita (Bidan Koordinator Puskesmas Cisimeut), ketika ada masyarakat Baduy Dalam yang proses persalinannya dengan penyulit dan tidak bisa ditangani di Puskesmas tentunya dirujuk ke RSUD Ajidarmo Lebak. Lokasi RSUD yang jauh dari Kampung Tangtu masyarakat Baduy untuk mengakses fasilitas tersebut biasanya menggunakan kendaraan roda empat merupakan inventaris Puskesmas Cisimeut. Kunjungan masyarakat Baduy Dalam ke Puskesmas Cisimeut bisa dapat dikatakan jarang. Beberapa warga masyarakat Baduy biasanya datang ke Puskesmas untuk berobat. Mereka meminta penicillin sebagai obat luka atau obat cacing. Keadaan demikian terkait dengan kebiasaan masyarakat Baduy ketika merasa sakit upaya pertama yang dilakukan mengobati secara tradisional menggunakan herbal yang diramu oleh dukun setempat. 3.3.1. Rumah Pangubaran Ada sebuah bangunan semi permanen di belakang gedung Puskesmas Cisimeut, tampak sangat nyaman ditinggali sebagai tempat rehat pelepas lelah. Bangunan yang berbentuk sengaja dibuat semirip mungkin dengan rumah adat Etnik Baduy, merupakan salah satu upaya pemerintah setempat untuk mendekatkan masyarakat Baduy dengan fasiltas pelayanan kesehatan. Tampak dua gadis sedang duduk santai di bagian papangge atau teras bangunan tersebut ketika tim peneliti datang hendak melihat bangunan tersebut. Tim peneliti tanpa bertanya, Pak Undang selaku Kepala Puskesmas Cisimeut menjelaskan bahwa kedua anak tersebut adalah putri dari petugas yang diberi amanah untuk merawat bangunan yang
125
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
disebut dengan Rumah Pangubaran yang artinya rumah pengobatan. Sekilas dari depan tampak bahwa bangunan tersebut seperti tampak pada Gambar 3.2, menyerupai rumah adat Etnik Baduy pada umumnya. Namun setelah masuk ke bagian dalam bangunan terlihat perbedaannya. Ada dua kamar di bagian dalam, dan setiap kamar berisi satu tempat tidur dengan beberapa peralatan medis seperti alat untuk menggantungkan infus dan lainnya. Pada bagian samping salah satu kamar yang disekat oleh dinding terbuat dari bilik tampak dapur dengan peralatan yang sudah modern. Untuk menuju ke dapur, tim peneliti harus melalui pintu tengah, dan tidak jauh kebelakang dapur ada kamar mandi dengan desain yang modern juga. Perbedaan yang mencolok yang ada di rumah pangubaran adanya aliran listrik. Listrik adalah hal yang tidak ditemukan di wilayah pemukiman masyarakat Baduy.
Gambar 3.2. Rumah Pangubaran Sumber : Dokumentasi Peneliti
126
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Gambar 3.3 Kamar Inap Rumah Pangubaran Sumber : Dokumentasi Peneliti
Menurut penuturan Pak Undang, tujuan pendirian rumah pangubaran adalah sebagai tempat istirahat bagi pasien pasca bersalin bagi masyarakat Baduy. Setelah bersalin di fasilitas pelayanan kesehatan karena adanya penyulit, yaitu komplikasi yang timbul pada saat akan terjadi persalinan yang bisa membuat persalinan berisiko. Keadaan tersebut tidak memungkinkan pasien pasca persalinan untuk dapat berjalan kaki untuk pulang ke kampungnya. Apabila sampai dirujuk ke RSUD Ajidarmo, untuk menuju ke rumah sakit tersebut tentunya harus pasien harus dibawa menggunakan kendaraan bermotor. Hal ini berakibat pasien mendapatkan sanksi karena telah melanggar adat yang berlaku di masyarakat Baduy. Sebagai hukuman akibat menaiki kendaraan bermotor pasien yang bersangkutan harus menjalani sanksi adat yaitu harus tinggal diluar selama 40 hari. Kondisi ini
127
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
merupakan salah satu hal yang melatarbelakangi ide pendirian rumah pangubaran. Namun seiring kebutuhan terkait dengan berbagai macam penyakit yang diderita masyarakat bangunan tersebut mengalami perubahan peruntukkannya. Dapat diberikan contoh adanya Kejadian Luar Biasa (KLB) Pneumonia di Kampung Cibeo, maka sesuai dengan penatalaksanaan penyakit seharusnya penderita pneumonia berat dirawat di fasilitas pelayanan kesehatan. Sebagai alternatif, karena Puskesmas Cisimeut bukan Puskesmas Dengan Tempat Perawatan (DTP), maka penderita pneumonia bisa dilakukan perawatan di rumah pangubaran. Jika dilihat dari sisi kebudayaan, rumah pangubaran merupakan bentuk budaya phisik dari pada sistem budaya pelayanan kesehatan tradisional. Keberadaan rumah pangubaran tidak serta merta meningkatkan kunjungan masyarakat Baduy Dalam berobat ke Puskesmas Cisimeut. Dalam kenyataannya ketika terjadi wabah pneumonia berat pada balita mengakibatkan lima orang balita meninggal, Bahkan ajakan bidan Ros selaku bidan yang sudah dikenal oleh warga masyarakat Baduy untuk membawa penderita ke rumah pangubaran ditolak. Berikut pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak : “Kita sudah membangun...kenapa kita membangun tempat perawatan sederhana, dan mengikuti adat istiadatnya orang Baduy… tapi ternyata kita mau dirawat disana, ditarik ke sini itu… itu tidak bisa ya dok. Yah... tidak bisa… tabu lah… teu wasa lah… ya itu bahasa…”
128
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
3.3.2. Jejaring Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tumpuan Latar belakang pendirian Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) Nangerang salah satu diantaranya terkait dengan upaya pemerintah daerah setempat agar warga masyarakat Baduy Dalam lebih pelayanan pengobatan modern. Adanya Poskesdes Nangerang oleh warga masyarakat Baduy Dalam dikenal sebagai Puskesmas Pembantu (Pustu). Berdasarkan Informasi dari Pak Carik Desa Kebon Cau Bapak Solihin, bahwa Poskesdes Nangerang merupakan bangunan yang dibiayai dengan anggaran yang diperoleh dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat PNPM Mandiri. Poskesdes Nangerang
Gambar 3.4. Poskesdes Nangerang Sumber : Dokumentasi Peneliti
Gambar 3.4 menunjukkan kondisi Poskesdes yang telah dibangun memerlukan perbaikan fisik, seperti atap yang sudah mulai retak dan beberapa diantaranya sudah berlubang. Poskesdes secara administratif terletak dan masuk wilayah desa Kebon Cau Kecamatan Bojongmanik. Tentunya untuk 129
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
penempatan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai tenaga kesehatan berasal dari yang menaungi fasilitas tersebut yaitu Puskesmas Bojongmanik. Ditempatkanlah seorang bidan [Y] sebagai tenaga kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan kepada warga masyarakat setempat dan menempati gedung Poskesdes sebagai tempat tinggalnya. Namun patut disayangkan, setelah tiga kali tim peneliti berusaha menemui untuk melakukan wawancara mendalam terkait dengan pelayanan kesehatan pada masyarakat Baduy tidak berhasil. Informasi yang sama diperoleh dari Bidan [I] yang bertugas di Puskesmas Cirinten dan Bidan [IR] yang bertugas di Puskesmas Bojongmanik, bahwa Poskesdes Nangerang pemilihan lokasinya sengaja dibangun berdekatan dengan beberapa kampung wilayah Desa Kanékés dengan tujuan menjaring masyarakat Baduy agar dapat menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan tersebut. Ciranji Pasir adalah nama salah satu kampung di wilayah Desa Kanékés yang didiami Etnik Baduy Luar. Letaknya yang berbatasan dengan wilayah Desa Kebon Cau, menjadi pertimbangan kuat pendirian Poskesdes. Beberapa kampung lainnya keberadaannya juga tidak jauh dari Kampung Ciranji Pasir, dengan harapan besar mempermudah akses masyarakat Baduy tersebut pada fasilitas pelayanan kesehatan yang telah disediakan pemerintah. Namun sangat disayangkan tenaga kesehatan (Nakes) yang ditempatkan di fasilitas kesehatan tersebut sering tidak berada di tempat ditambah beberapa warga masyarakat Baduy yang datang berobat merasa kurang puas. “Sebenernya Pustu Nangerang itu sudah upaya pemerintah mendekatkan kan ya pelayanan untuk masyarakat Baduy tapi kenapa ya saya juga bingung itu petugasnya ga setiap hari disitu jadi susah juga…” [I, 38 tahun]
130
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Gambar 3.5. Kampung Ciranji Pasir, Baduy Luar Sumber : Dokumentasi Peneliti
Salah seorang kader kesehatan Puskesmas Cisimeut (AC, 38 tahun) menjelaskan ada beberapa hal yang mengakibatkan masyarakat kurang berminat untuk datang berobat ke Poskesdes, selain nakes jarang ada di tempat, juga kurang bisa “membumi” dalam hal berpakaian. Obat yang diberikan juga dirasakan kurang “endah” dimaksudkan dalam hal ini adalah kurang cocok, obat yang diberikan tidak langsung sembuh. Penuturan kader kesehatan tersebut mengingatkan bahwa kita harus pandaipandai membawa diri di rantau “Dimana Bumi Dipijak Disitu Langit Dijunjung” Pustu Karangnunggal Puskesmas Pembantu (Pustu) Karangnunggal, menginduk ke Puskesmas Cirinten. Wilayah kerja Puskesmas Cirinten ada 10 desa meliputi Desa Cibarani, Desa Karangnunggal, Desa Nagerang, Desa Datar Cai, Desa Cirinten, Desa Kadu Damas, Desa
131
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Parakan Lima, Desa Budur, Desa Karoya dan Desa Cempaka. Ada tenaga bidan lulusan Poltekkes Bandung, ditugaskan sejak tahun 1996. Satu tahun kemudian suaminya mengikuti dan menjabat sebagai staf administrasi di Puskesmas Cirinten. Keduanya berasal dari daerah yang sama yaitu Brebes, Jawa Tengah. Beberapa informan yang terdiri dari warga masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar ketika diwawancarai memberikan jawaban bahwa mereka suka berobat ke Pustu, ke Bu Bidan [I] di Parigi. Warga masyarakat Baduy memilih berobat ke Pustu Karangnunggal, karena beberapa kampung memang aksesnya relatif jauh, mereka merasa lebih dekat ke Pustu daripada berobat ke Puskesmas Cisimeut. Seperti penjelasan sebelumnya, luasnya wilayah Desa Kanékés maka ada beberapa letak kampung yang lebih dekat dengan wilayah desa lain, seperti kampung Cikeusik, salah satu Kampung Tangtu dimana mereka lebih sering keluar masuk kampung melalui pintu masuk kampung Cijahe Desa Kebon Cau daripada ke Ciboleger. Hasil wawancara mendalam dengan bidan [I, 38 tahun] terungkap bahwa nama dia cukup dikenal oleh masyarakat Baduy. Pada tahun 2001 bidan tersebut pernah melakukan kegiatan pelayanan kesehatan berupa pengobatan pada warga Baduy atas bantuan dari salah satu Bank. Lokasi yang dipilih sebagai tempat pelayanan pengobatan adalah di sekitar desa Karoya. Adapun alasan pemilihan desa tersebut salah satunya adalah pada hari minggu di Desa Karoya bertepatan dengan hari pasaran yaitu kegiatan jual beli yang hanya ada setiap hari Minggu saja. Pada saat ada pasar tersebut tidak hanya masyarakat setempat yang meramaikan, tetapi juga masyarakat Baduy Dalam. Sehingga pelayanan pengobatan yang dilakukan oleh Bidan dapat diakses juga oleh Etnik Baduy Dalam, dan namanya selalu diingat dengan baik oleh warga masyarakat
132
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
setempat. Ketika program pelayanan pengobatan berakhir, masyarakat Baduy Dalam tetap mencari dan mendatangi Pustu.
Gambar 3.6. Penicillin Serbuk Sumber : Dokumentasi Peneliti
Ketiga warga kampung Baduy Dalam dari Cibeo, Cikeusik dan Cikartawana pernah datang dan berobat, demikian informasi yang disampaikan oleh bidan I. Adapun obat yang diminta adalah penicillin untuk mengobati luka dan penyakit frambusia/butul. Bidan I mengaku bahwa ia selama bertugas di masyarakat Baduy belum pernah menolong persalinan warga masyarakat Baduy Dalam. “Ppc sih kita mah, ini kan untuk injeksi yah tapi orang sini mah dioles, jadi dicampur lagi dengan minyak kelapa. Untuk luka… yaa dengan aquabides ya dicampurnya. Jadi banyaknya orang sini untuk yang frambusia. Kadang mah untuk yang sunat gtu…”
133
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
3.4. Sistem Budaya Pelayanan Kesehatan Tradisional 3.4.1. Keberadaan Pelayan Pengobat Tradisional Tradisi masyarakat kampung Tangtu, ketika ada warganya jatuh sakit upaya penyembuhan yang dilakukan pertama kali adalah berobat ke dukun. Meskipun beberapa penyakit seperti sakit kepala, diare, batuk, demam karena masuk angin, sakit gigi dan lainnya masyarakat Baduy Dalam pada umumnya mengetahui jenis obatnya tanpa harus datang berobat ke dukun. Sebelum membahas lebih jauh tentang seluk beluk dukun sebagai manifestasi daripada sistem budaya pelayanan tradisonal, ada beberapa macam dukun di Kampung Tangtu. Selain dukun sebagai pemberi pelayanan kesehatan tradisional yang menjalankan peran sebagai penyembuh penyakit ada pula dukun yang disebut Paraji yang menjalankan peran menolong persalinan. Bengkong sebutan untuk seorang dukun yang menjalankan peran melakukan pelayanan sunat untuk laki-laki dan Juru Aes adalah seorang dukun yang menjalankan peran sebagai juru rias dan melakukan ritual sunat bagi perempuan. Dukun yang menjalankan peran atau sebagai pelaku pengobat tradisional di tiap Kampung Tangtu keberadaannya dipilih oleh perangkat adat masing-masing kampung. Keberadaan dukun tersebut merupakan hasil pemilihan melalui proses panjang mulai diusulkan oleh masyarakat pada Jaro sebagai kepala pemerintahan adat. Setelah itu Jaro meneruskan hasil rekomendasi masyarakat ke Puun sebagai pemimpin adat Tangtu untuk disahkan. Pemilihan dukun yang menjalankan peran mengobati penyakit secara tradisional tersebut berlaku hanya untuk dukun yang melakukan penyembuhan penyakit secara tradisional dan dukun sunat. NS (40 tahun) salah seorang informan dari unsur warga masyarakat Baduy Dalam menjelaskan, adalah salah satu calon paraji di salah satu
134
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Kampung Tangtu. NS menjelaskan pemilihan dirinya sampai kepilih sebagai penerus dukun paraji yang ada melalui proses panjang. Awalnya Jaro diminta Puun untuk minta rekomendasi dari paraji yang ada yaitu NN (50 tahunan lebih), siapa yang dijadikan paraji selanjutnya. Kemudian rekomendasi dari paraji (NN, 50 tahun) disampaikan oleh Jaro kepada Puun. Selanjutnya Puun melalui Sirat (staf ahli Puun) menyampaikan pesan ke Jaro untuk menyampaikan ke NS bahwa dirinya terpilih sebagai paraji penerus yang diberi tanda simbolis berupa kapuru (gelang terbuat dari benang/kanteh). Menurut penuturan NS, kenapa dirinya yang dipilih karena merasa ia sudah tidak punya beban atau seseorang yang harus diurusi. Sebagai seorang janda dan semua putranya sudah berkeluarga, sehingga tidak ada tanggungan. Penetapan dirinya sebagai penerus paraji, maka tidak secara langsung diperbolehkan praktek menolong persalinan. Ada satu tahapan yang harus dilaluinya terlebih dahulu, berguru pada NN paraji yang masih menjabat, NS harus lulus dan setelah itu diperbolehkan praktek menolong persalinan, apabila sudah menolong proses persalinan anak laki-laki dari keluarga Baresan (Tokoh Masyarakat di kampung kedudukannya dibawah Sirat). Apabila tahapan tersebut belum dilalui maka statusnya masih sebagai calon paraji. 3.4.2. Metode Pengobatan Pengobatan tradisonal yang ada di masyarakat Baduy Dalam menggunakan ramuan-ramuan dengan memanfaatkan tumbuhan dan hewan yang ada disekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Pada saat menjalankan praktek, pengobat tradisional tidak hanya menggunakan tumbuhan dan hewan saja
135
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
tetapi disertai juga jampe-jampe atau mantera yang diucapkan sebagai doa kesembuhan. S (50 tahun), salah seorang dukun di Kampung Tangtu, saat pertama kali menjalankan praktek sebagai dukun kampung usianya masih 30 tahun. Menurut penuturannya, ilmu pengobatan diperoleh secara turun temurun. Kakeknya dulu juga merupakan seorang dukun kampung. Saat pertama kali dinobatkan sebagai dukun kampung, diawali dengan kedatangan seorang yang tiba-tiba datang padanya dan meminta obat. Ternyata apa yang dilakukan memberikan kesembuhan pada orang tersebut. Berita kesembuhan tentang orang tersebut menyebar dari mulut ke mulut, dan sejak itu S diusulkan menjadi salah satu dukun kampungnya. Prosesi pengobatan yang dilakukan oleh S, dimulai dengan pasien datang dan bercerita tentang keluhan yang dirasakan. Selanjutnya pelayanan yang diberikan tergantung dari permintaan pasien itu sendiri, apakah diobati dengan ramuan dan doa-doa saja atau ingin dilihat yang lain-lainnya.Lain-lain disini misalnya penyakit yang diderita pasien karena hal ghaib. Praktek pengobatan yang dijalankannya pasien tidak selalu harus datang ke rumah S, bisa dapat juga S dipanggil ke rumah pasien, ini juga sifatnya situasional. Adapun pasien yang berobatpun bermacam-macam tidak hanya dari kampung Baduy Dalam saja tapi juga luar Baduy. Orang luar Baduy yang mengetahui keberadaan dirinya bukan dari mulut ke mulut saja terkadang berasal dari rekomendasi dukun lain yang mendapat pesan bahwa kesembuhan seseorang syareatnya disembuhkan oleh dirinya.
136
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
3.4.3. Syareat (Media Pengobatan Tradisonal) Pada saat melakukan pengobatan, dukun menggunakan media tertentu yaitu berupa ramuan. Melalui media tersebut jampe-jampe atau mantera menyatu. Panglay merupakan salah satunya, misalnya ketika ramuan yang diresepkan tidak tersedia di rumah dukun, maka pasien cukup membawa pulang panglay yang sudah diberi jampe-jampe atau mantera yang diberi oleh dukun. Selanjutnya apabila ramuan yang diresepkan dukun sudah didapatkan, maka agar ramuan tersebut berkhasiat menyembuhkan penyakit yang diderita pasien maka panglay yang sudah diberi mantera dikunyah dan disemburkan atau dicampurkan dengan ramuan yang dimaksud.
Gambar 3.7. Tanaman Panglay Sumber :http://myunusw.files.wordpress.com/2008/04/panglai.png diakses tanggal 19 Juli 2014
137
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Ada tata cara khusus penggunaan panglay, setelah dicabut dari tanah kemudian dibersihkan tidak perlu dicuci. Namun berbeda jika ingin menggunakan panglay yang sudah diberi mantra maka dicuci terlebih dahulu baru diberi mantramantra baru sesuai sakitnya. Selain panglay media yang digunakan dalam pengobatan menggunakan kemenyan, namun berbeda fungsi. Penggunaan kemenyan lebih ke hal-hal atau penyakit yang dianggap gaib atau penyakit yang dianggap datangnya dari leluhur atau yang Maha Kuasa. Penyakit yang diyakini sebagai penyakit gaib oleh masyarakat Baduy Dalam diantaranya adalah penyakit yang diderita tidak kunjung sembuh setelah dilakukan berbagai pengobatan. Mereka beranggapan bahwa penyakit yang diderita disebabkan oleh akibat perilaku tidak baik penderita itu sendiri atau karena ulah orang lain yang ingin mencelakai. Tabel 3.1. Daftar Nama Bahan Alam Obat Tradisional Etnik Baduy Dalam No
Nama Ramuan
1.
Manfaat dan Cara Pengolahan Obat typhus Cara penggunaan : Dibersihkan dengan dicuci kemudian, dikeringkan dengan cara dijemur dan direbus kemudian diminum air hasil rebusan Udu.
Udu
138
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
No
Nama Ramuan
2.
Manfaat dan Cara Pengolahan Obat sakit kepala Cara penggunaan : Ditumbuk kasar kemudian penggunaannya dikompres ke dahi
Barahulu 3.
Obat salesma dan sakit badan Cara penggunaan : Direbus dan diminum air hasil rebusan, bisa juga daun ditumbuk dan dibalurkan keseluruh badan.
Capeu 4.
Obat gatal Cara penggunaan : Direbus dan diminum air hasil rebusan, bisa juga daun ditumbuk dan dibalurkan keseluruh badan. Kumbili
5.
Cuci muka, kulit halus Cara penggunaan : Daun dicampur dengan air sedikit digosok dengan kedua tangan sampai menimbulkan buih baru diusapkan ke muka atau badan. Harane
139
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
No
Nama Ramuan
6.
Manfaat dan Cara Pengolahan Obat diare dan luka akibat benda tajam (pisau) Cara penggunaan : Daun dimakan mentah untuk obat diare dan ditumbuk kasar kemudian ditempel dibagian yang luka.
Harendang 7.
Obat diare dan gusi bengkak Cara penggunaan : Daun dimakan mentah langsung.
Harendong 8.
Obat sariawan dan sakit gigi Cara penggunaan : Getah dioleskan pada bagian yang sariawan atau pada bagian gigi yang lubang. Getah Angsana
9.
Obat sakit telinga Cara penggunaan : Daun dan batangnya direbus kemudian air diteteskan ke dalam telinga dan dikeluarkan kembali. Hantu Kalabang
140
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
No
Nama Ramuan
10.
Manfaat dan Cara Pengolahan Obat gatal Cara penggunaan : Mulai batang, daun dan akar direbus dan air hasil rebusan diminum.
Jukut Wisa 11.
Luka benda tajam Cara penggunaan : Daun diremas pake kedua tangan kemudian daun hasil remasan ditempel pada bagian yang luka. Jukut Bau
12
Obat untuk luka benda tajam (pisau) Cara penggunaan : Daun diremas pake kedua tangan kemudian daun hasil remasan ditempel pada bagian yang luka. Maraasri
13.
Obat sakit perut Cara penggunaan : Daun direbus, air hasil rebusan diminum.
Reundeu carat
141
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
No
Nama Ramuan
14.
Manfaat dan Cara Pengolahan Digunakan untuk obat puput udel Cara penggunaan : Daun dilubangi bagian tengah kemudian tali pusar bayi dimasukkan kebagian daun yang lubang.
Palungpung 15.
Obat tetes mata Cara penguunaan : Batang kiseureuh dibentuk meruncing pada salah satu bagian kemudian air yang dihasilkan dibuat tetes mata. Kiseureuh
16.
Diabetes Mellitus, Kencing Batu Cara penggunaan : Daunnya direbus, air hasil rebusan diminum 1 hr/2x
Kihadangan 17.
Obat tetes mata Cara penggunaan : Batangnya dipotong, air yang dihasilkan dibuat obat tetes mata.
Oar
142
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
No
Nama Ramuan
18.
Manfaat dan Cara Pengolahan Obat tetes mata Cara penggunaan : Batangnya dipotong, air yang dihasilkan dibuat obat tetes mata.
Pelengpeng 19.
Obat Cacing Cara penggunaan : Air yang dihasilkan dari batang yang dipotong diminum.
Kasungka 20.
Dikonsumsi sebagai untuk kehalusan kulit
sayur dan
Cara penggunaan : Bagian batang dimakan mentah sebagai lalab juga memberi rasa asam pada sayur asam. Untuk kehalusan kulit, digunakan sebagai sabun, shampo. Honje Sumber: Data Primer
143
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
3.5. Perilaku Pencarian Pengobatan (Health Seeking Behavior) 3.5.1. Konsep Sehat Sakit Pencarian akan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh latar belakang sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Pada masyarakat Etnik Baduy Dalam dikenal ada 3 penyebab sakit, yaitu sasalad, kabadi, kawala. Sasalad diartikan sebagai wabah yang tiba-tiba muncul seperti diare, batuk menjadi sakit karena sudah waktunya sakit. Berbeda dengan Kabadi/Kaliwara, AM salah seorang informan menjelaskan, sakit bisa terjadi karena kesurupan atau kasambet makhluk gaib. Penyebab “kabadi/kaliwara dapat juga diartikan seperti transcedental, yaitu sakit karena ada pesan yang ingin disampaikan oleh leluhur. Kawala/Karma yaitu sakit sebagai akibat balasan atas kesalahan perilaku kepada orang lain yang dalam konsep Budha dinamakan hukum karma. Pengertian sakit sendiri dimaknai tidak hanya sakit fisik tetapi juga sakit secara psikologis. Secara fisik dikatakan sakit apabila sudah mengganggu aktivitas keseharian seperti tidak bisa pergi ke huma atau ladang, jadi selama masih bisa melakukan kegiatan sehari-hari maka kondisi badan demam, lemas atau lesu belum dikatakan sakit. Menurut informan (A, 50 tahun) dikatakan sakit apabila tidak bisa makan, tidak bisa jalan, tidak bisa kerja, atau hati sedih. Hal ini menunjukkan kondisi psikologis seperti murung, kesedihan dan ketidakbahagiaan menjadi ukuran seseorang dikatakan sakit. Demikian pula makna sehat, dikatakan sehat ketika seseorang masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya, tidak ada gangguan pikiran, senang hate (hati riang gembira) tidak memikirkan hal hal duniawi. Perilaku pencarian pengobatan warga Baduy Dalam, pada dasarnya tidak ada larangan untuk mengobati penyakit secara
144
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
medis dengan mengkonsumsi obat kimia istilah mereka. Namun sikap konformis terhadap pandangan lembaga adat bahwa sebisa bisa menggunakan ramuan tradisional maka, pengobatan medis atau modern menjadi sekunder peranannya (Mulyanto et al, 2010). “Kami mah orang Baduy sabisa bisa diubaran ku ramuan-ramuan alam ti dukun dijero, obat ti luar kanyataanana teu kabehanana cocok. Aya tilu obat luar nu cocok eta obat cacing, balsem “Geliga” bodas jeung penisilin. Jadi mun aya nu mere obat ngan tilu eta nu dipilih, nu sejen mah ditolak…” Artinya : “…Bagi kami orang Baduy untuk pengobatan mengutamakan secara tradisional dengan berobat ke dukun kampung Baduy Dalam, karena kenyataannya tidak semua obat modern cocok. Hanya ada tiga obat modern yang cocok yaitu obat cacing, balsam “Geliga” putih dan penicillin. Jadi jika ada yang memberi obat hanya tiga obat itu saja yang kami pilih, yang lainnya kami tolak…” [AC, 25 th]
Bantuan obat-obatan tidak sedikit yang berasal dari perusahaan obat. Bantuan tersebut secara rutin datang, namun tidak semua obat modern dipercaya oleh warga masyarakat Baduy Dalam dapat menyembuhkan penyakit yang mereka derita. Ketika mengalami sakit, orang Etnik Baduy Dalam cenderung menunggu selama beberapa hari. Mereka meyakini ada penyakit yang sembuh dengan sendirinya tanpa harus diobati yang mereka sebut cageur kalamian. Waktunya relatif lama sampai mereka muncul inisiatif untuk mencari pengobatan. Menurut informan (AK) tidak jarang penyakit yang mereka alami
145
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
ditunggu sampai 3 hari, dan apabila sudah 3 hari sakit tidak kunjung sembuh baru mencari obat atau pengobatan. “ Ari geus kaditu kadieu neangan ubar teu cager wae nya tinggal nungguan rebahna wae…” Artinya : “Jika sudah berusaha berobat kesana kemari dan masih tidak kunjung sembuh, yaaa tinggal pasrah saja…”
Prinsip atau Pikukuh yang dipegang kuat mempengaruhi perilaku pencarian pengobatan warga masyarakat Etnik Baduy Dalam. Ketika sakit sudah ada upaya penyembuhan atau berobat kemana saja akan tetapi belum kunjung sembuh penyakit yang dideritanya, maka pilihan ke fasilitas pelayanan kesehatan sama sekali bukan solusi. Bagi warga Baduy Dalam untuk menuju ke fasilitas pelayanan kesehatan yang letaknya jauh dan harus ditempuh menggunakan kendaraan bermotor, tidak dapat ditempuh dengan berjalan kaki maka mengakibatkan mereka mau tidak mau terpaksa melakukan pelanggaran adat. Bagi mereka hal tersebut bukan menyelesaikan masalah tapi menambah atau menimbulkan masalah. Risiko yang ditanggung dirasa lebih berat ketika memilih berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan, salah satunya harus menjalani hukuman selama 40 hari hidup diluar lingkungan masyarakat Baduy Dalam, dan biaya yang harus dikeluarkan selama proses “bebersih” yaitu membersihkan diri karena telah melanggar aturan adat. Kepercayaan orang Baduy terhadap kelompok sebagai sumber kebenaran dan rasa takut terhadap penyimpangan dan pelanggaran merupakan faktor yang mempengaruhi konformitas dalam masyarakat Baduy (Mulyanto et al, 2010). Kedua faktor yang diusung oleh psikologi sosial arus utama berdasarkan temuan-temuan riset tradisional dari budaya Barat atau Amerika (Sears, 1994; Brigham, 1991; Baron dan
146
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Byrne, 2000) diatas, berlaku pula daya terapnya dalam konteks masyarakat Baduy.
Gambar 3.8. Akses menuju Kampung Baduy Dalam Sumber : Dokumentasi Peneliti
3.5.2.Kesaksian Kokolot Pemanfaat Fasilitas Pelayanan Kesehatan Perilaku pencarian pengobatan seseorang menurut teori Lawrence W. Green dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu predisposisi, pemungkin dan penguat. Salah satu variabel yang
147
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
masuk dalam faktor penguat adalah adanya peran dari tokoh masyarakat atau tokoh agama. Tidak jauh berbeda dengan karakteristik masyarakat Baduy Dalam dimana peran tokoh adat (Kokolot) sangat besar dalam menentukan pilihan pencarian tempat pengobatan. Uraian berikut merupakan hasil wawancara mendalam kepada Kokolot dari Kampung Tangtu dan Baduy Luar terkait perilaku pencarian pengobatan. Peran mereka sebagai Kokolot sering dijadikan kepanjangan tangan dari pemerintah dan masyarakat itu sendiri agar fasilitas pelayanan kesehatan dapat menjangkau masyarakat. Kebijakan Program Kesehatan Sorotan pertama adalah terkait kebijakan pemerintah dibidang kesehatan. Menurut [AM, 44 tahun] pelayanan kesehatan terhadap masyarakat Baduy Dalam harus ada penyesuaian tidak bisa disamakan dengan masyarakat umum. “harus dinilai dengan ukuran-ukuran”…”ah merasa susah”. Ukuran yang dimaksud adalah terkait dengan adanya aturan adat yang tidak memperbolehkan foto kemudian tidak ada listrik. AM juga menyadari bahwa adanya aturan-aturan bisa menjadi kendala untuk penggunaan alat-alat kesehatan maka dari itu diperlukan pendekatan khusus. Pendekatan tersebut bisa diwujudkan dengan penyesuaian alat yang bisa dipakai dan diterima warga Baduy Dalam. Kesehatan itu adalah tanggung jawab bersama, petugas kesehatan yang ditugaskan untuk menjangkau warga Baduy Dalam, haruslah petugas yang bisa membaur. Hal itu bisa dilakukan dengan frekuensi kunjungan yang sering, sehingga warga kenal dengan petugas. Apabila sudah kenal maka diharapkan bisa memberikan rasa nyaman yang berujung munculnya kepercayaan warga.
148
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Kemudian apabila ada program bantuan kesehatan yang diberikan ke warga tidak ada keberlangsungannya, sebaiknya ketika pemberian bantuan harus diikuti penjelasan. Bantuan yang diberikan tidak sekonyong-konyong berhenti tanpa kabar. Hal ini berdampak rasa kecewa warga yang menanti-nantikan ketika bantuan dihentikan. Informan [S, 43 tahun], sebagai kader kesehatan selama 19 tahun tentu saja banyak pengalaman yang didapatkan dengan segala suka dukanya saat bersentuhan dengan masyarakat Baduy Dalam. Ia lebih menyoroti kebijakan baru dari pemerintah tentang asuransi kesehatan yaitu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Pada saat menjelaskan tampak informan cukup melibatkan emosi didalamnya. Masalah kesehatan yang dirasakan saat ini adalah terkait JKN, menurut [S] dirasakan sangat ribet dibandingkan program Jampersal sebelumnya. “Bayangkan saja untuk warga Baduy dengan program JKN harus mendaftarkan diri ke Rangkas untuk menjadi anggota belum lagi dengan pembayaran tiap bulannya dilakukan di Bank”
Pak S membandingkan ribetnya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan program Jaminan Persalinan (Jampersal) yang jauh lebih mudah prosedurnya. Untuk program Jampersal, pelayanan persalinan gratis ketika dilayani oleh dukun yang sudah bermitra dengan bidan. Bahkan bidan mendapat sanksi berupa hukuman apabila memungut uang dari pasien. Syaratnya pun mudah, cukup memiliki buku Keluarga Menuju Sehat (KMS). Berbeda halnya dengan program JKN, warga yg tidak menjadi anggota harus mengeluarkan uang sebesar 600 ribu. Kondisi demikian menurutnya akan berdampak warga kembali menggunakan jasa paraji yang upahnya seikhlasnya. ”Jangankan 600 rebu, mengeluarkan uang 10 rebu saja warga itu susah…” 149
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Berbeda dengan apa yang disampaikan D, 50 tahun sebagai informan dalam penelitian. Ia menjelaskan bahwa kebijakan terkait program imunisasi, pembagian vitamin, obatobatan, biskuit dan susu yang dibagikan pada saat Posyandu berjalan lancar. Kegiatan Posyandu berjalan lancar karena ada 8 kader di Kampung Kaduketug, dan penerimaan masyarakat terhadap program tersebut tidak mengalami hambatan. D, lebih menyoroti tenaga kesehatan (nakes), menurutnya pemilihan bidan sebaiknya diprioritaskan yang memiliki loyalitas dan dedikasi tinggi, khususnya yang ditempatkan di lokasi yang sulit seperti di Desa Kanékés. Hal ini berdasarkan fakta di lapangan, ketika bidan yang berkecukupan secara materi maka loyalitas kurang terhadap profesinya. AM sebagai kokolot di Kampung Tangtu, memberikan masukan yang serupa terkait SDM tenaga kesehatan dengan informan D. Menurut pandangannya dikarenakan masyarakat Baduy Dalam berbeda dengan warga luar, sebaiknya petugas kesehatan yang datang mempunyai kemampuan pendekatan kepada warga Baduy Dalam supaya bisa terlayani. Selain itu petugas harus mengetahui situasi lingkungan maksudnya yaitu medan yang relatif sulit untuk menuju permukiman masyarakat Baduy Dalam. Kekhasan masyarakat Kampung Tangtu dengan pikukuhnya diharapkan Pemerintah Daerah lebih memperhatikan kesejahteraan petugas kesehatan yang ditugaskan di Baduy Dalam. Kesejahteraan melalui adanya kebijakan tunjangan untuk petugas kesehatan yang menjankan tugas melayani masyarakat di daerah terpencil. Kemudian kebijakan lainnya terkait beban tanggung jawab tugas nakes yang ditugaskan untuk menjangkau daerah sulit harus dibedakan. Hal tersebut dimaksudkan bidan atau nakes lainnya diwilayah kerja yang medannya sulit haruslah berbeda dalam hal lama bertugas, sehingga dalam menjalankan
150
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
tugasnya petugas yang bersangkutan dapat optimal tidak tergesa-gesa, waktu terbatas serta adanya tanggung jawab terhadap kegiatan yang lain. Penerimaan Pelayanan Kesehatan Modern Masyarakat Baduy Dalam hakikatnya mereka menerima pembaruan terkait pelayanan kesehatan modern. Penerimaan tersebut terjadi tidak dalam sekejap tetapi melalui proses panjang dan melibatkan orang-orang tangguh yang mendedikasikan waktu dan tenaganya demi mewujudnya peningkatan derajat kesehatan. Perubahan yang sangat terasa adalah penerimaan mereka terhadap obat-obatan modern. Akan tetapi pernyataan dua informan berikut telah terjadi pergeseran persepsi masyarakat Baduy terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang ada. Informan [D], menguraikan bahwa menurutnya warga Desa Kanékés sudah banyak menggunakan fasilitas pelayan kesehatan di Rangkasbitung tidak hanya ke Puskesmas Cisimeut, karena obat-obatan yang tersedia di Puskesmas diyakini obat Inpres yang keampuhannya tidak sebagus dari fasilitas pelayanan kesehatan lain. Hal ini memicu masyarakat lebih memilih berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan lain meskipun jauh lokasinya. “…Sakit perut, sakit pinggang obatnya itu-itu aja …berobat itu kan hayang nu langsung sehat kan, jadi ada yang berobat ke Muncang, ke Leuwidamar ke Palawangi trus ka Faisal eta nu paling rame di Faisal tah nu di Simpang. Karena eta setiap nu panas muriang dua tiga hari sembuh. Tapi kalau disini obatnya itu lagi itu lagi walaupun rendah bayarnya kalau tidak manfaat mah buat apa gitu kan. Biarpun bayar 100 ribu kalau anak cepet sembuh kan…”
151
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Pembagian obat yang dilakukan Bu Bidan yang diterima warga masyarakat Baduy Dalam ada kalanya hanya disimpan saja tidak diminum, sampai kondisi obat kadaluarsa akhirnya dibuang. Selain itu masyarakat tidak memahami aturan minum obat, untuk penyakit apa daripada berbahaya pada akhirnya hanya disimpan saja. Bagi masyarakat Baduy Dalam memilih obat yang telah mereka kenal. Ada obat-obat tertentu yang digunakan yaitu obat untuk penyakit kecacingan dan penicillin. Masyarakat Baduy lebih memilih obat yang mempunyai efek “cespleng”, misalnya obat untuk penyakit kecacingan apabila diminum langsung berdampak keluarnya cacing bersamaan dengan tinja. Demikian pula dengan penicillin, jika ada luka diobati dengan penicillin sembuh. Pengalaman S sebagai kader ketika membantu salah seorang warga Baduy Luar berobat menggunakan kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dengan diagnosis typhoid. Setelah diantar ke RSUD Ajidarmo Rangkasbitung, oleh pihak RSUD ditolak dengan alasan penyakitnya merupakan salah satu dari 150 penyakit yang masih bisa ditangani di Puskesmas. Akhirnya pasien dibawa ke Puskesmas Cisimeut, namun karena merasa menggunakan BPJS tidak mendapatkan pelayanan yang terbaik karena penolakan RSUD tersebut. Selain itu dengan hanya dirawat di Puskesmas keluarga pasien merasa kurang puas. Hal ini menyebabkan dan menambah ketidakpuasan warga masyarakat Baduy Dalam terhadap program JKN. Ketika ditanyakan alasan yang melatarbelakangi rasa kurang puas terhadap pelayanan Puskesmas, S menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan. Salah satu diantaranya adalah terkait obat yang diberikan kenapa hanya itu-itu saja (“obat Inpres”). Ada hal mendasar yang perlu digarisbawahi menurut [S], selama menjadi kader kesehatan di permukiman masyarakat
152
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Baduy Dalam, tidak hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan Posyandu saja, tetapi juga harus siap membantu ketika ada warga yang sakit dan meminta tolong. Apabila tidak segera direspon, maka warga masyarakat semakin menjaga jarak terhadap pelayanan kesehatan modern. AM salah seorang informan menggambarkan bahwa kondisi warga Baduy Dalam sekarang dibanding sebelumnya sudah ada peningkatan. Sudah mau memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan dengan datang berobat ke fasilitas tersebut, mengkonsumsi obat. Beberapa tahun ke depan, masyarakat Baduy Dalam diharapkan sudah dapat menerima pengobatan secara medis tetapi tetap memperhatikan kebijakan adat. Hal ini berdasarkan fakta yang ada, Mantri Rasidi dengan cara pendekatan menyampaikan tujuan atau maksud warga masyarakat Baduy Dalam mau diobati dengan obat-obat medis. Tentunya hal ini tetap memerlukan waktu, kesabaran dan pendekatanpendekatan. Orang-orang yang ditugaskan untuk warga Baduy Dalam haruslah orang-orang pilihan mengingat adanya aturan adat dan kondisi geografisnya sulit. 3.6. Kesehatan Ibu dan Anak 3.6.1. Masa Remaja (Sebelum Kehamilan) Kaum perempuan merupakan makhluk yang selalu menarik dari masa ke masa dengan segala dinamikanya. Bermula sejak mulai dilahirkan hingga tahapan kehidupan yang dilaluinya tidak pernah sepi akan bahasan. Perannya sebagai penerus keturunan mengukuhkan dirinya sebagai makhluk Tuhan yang perlu perlakuan khusus di setiap tahapan hidupnya. Tahapan kehidupan yang dilalui selanjutnya setelah masa anak-anak adalah masa remaja. Masa remaja yang dimaknai sebagai masa
153
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
transisi dari anak-anak menuju dewasa dilalui berbeda-beda di setiap Etnik dengan kekhasan tradisi masing-masing. Demikian pula dengan masa remaja perempuan di Etnik Baduy Dalam. Remaja perempuan di Etnik Baduy Dalam dapat didefinisikan sebagai anak-anak perempuan usia diatas 10 tahun. Penentuan usia 10 tahun keatas diartikan di usia tersebut anak perempuan di Etnik Baduy Dalam sudah melalui tahapan sunatan. Sunat mempunyai makna sebagai tahapan kunci dalam siklus hidup dimana perempuan Baduy memperoleh status sosial secara adatnya setelah melalui prosesi sunat. Status sosial adat disini diartikan telah sah mengikuti tradisi berdasarkan adat seperti puasa dan diperbolehkan menikah bagi kaum perempuannya. “Boleh ikut-ikut resmi ke tempat ritual setelah disunat, misalkan ada huma serang ada puasa. Kalau belum disunat mah belum wajib ikut-ikut…” [AM, 44 tahun]
Rentang usia remajanya tidak bisa dipatok secara pasti, karena masa remaja tidak dilalui terlalu lama bagi mereka. Berbeda dengan remaja kebanyakan dimana ada rentang usia remaja yang lebih panjang antara 12-18 tahun. Aturan adat yang berlaku bahwa warga Etnik Baduy tidak diperkenankan menempuh pendidikan secara formal merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pendeknya rentang usia remaja mereka. Usia remaja berakhir saat mereka memasuki masa pernikahan, usia menikah sebagian besar bagi kaum perempuan Etnik Baduy Dalam dimulai usia 15 tahun keatas meski selalu saja ada bagian ekstrim yaitu dinikahkan diusia 13 tahun.
154
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Gambar 3.9. Lilis (15 thn) Remaja Puteri Kp Cikeusik Baduy Dalam Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 3.9 adalah salah satu sosok remaja perempuan dari Kampung Cikeusik, sebut saja Lilis namanya. Gadis berkulit putih dengan balutan baju khas Etnik Baduy Dalam tampak sedikit tegang menghadapi kamera yang mengabadikan tampilannya. Pakaian khas adat yang menempel meski tampak lusuh dengan warna yang sedikit mulai memudar tidak mengurangi pesonanya. Aksesoris yang dikenakan-pun lebih menampilkan sisi fashionable daripada fungsinya yang diyakini sebagai tolak bala. 155
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Gambar 3.10. Baju Perempuan Etnik Baduy Dalam Sumber : Dokumentasi Peneliti
Pakaian keseharian yang dikenakan terdiri dari selendang hitam yang digunakan untuk menutup bagian kepala disebut “lamak/karembong” kemudian pakaian atas disebut jamang bodas, bawahannya ditutup menggunakan samping hideung dan sabuk yang digunakan untuk mengeratkan karembong hideung. Perempuan dan laki-laki Etnik Baduy Dalam tidak memakai pakaian dalam, sehingga bagi remaja perempuan untuk menutupi payudara memakai kemben berupa kain hitam yang dililitkan dari dada sampai diatas pusar yang disebut “karembong” dan kemudian ditutup oleh jamang bodas. Ciri khas lain adalah pemakaian gelang yang terbuat dari kain berwarna putih disebut “kanteh” dan untuk perempuan dikenakan di sebelah kiri.
156
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Gambar 3.11. Remaja Perempuan Kampung Cikeusik Baduy Dalam Sumber : Dokumentasi Peneliti
Sisi lain gambaran remaja perempuan Etnik Baduy Dalam di era kekinian memilih membiarkan rambut terurai memanjang dengan poni diselipkan ke arah samping kiri. Sebagian yang lain ada yang diikat tetap dengan poni agak panjang dibiarkan terurai menutup sebagian wajahnya. Beberapa remaja perempuan yang diamati sudah mulai menonjolkan kecantikannya dengan merias diri. Fenomena sosial sudah mulai tampak, pemakaian kosmetik seperti pensil alis yang digunakan untuk membentuk alis, bedak diulas tebal ke wajah dan lipstick yang memberi sentuhan warna pada bibir. Aksesoris ala kadarnya seperti gelang dan kalung yang dikenakan menghiasi leher dan tangan. Perhiasan berkualitas imitasi dipilih karena tidak diperbolehkan oleh adat memakai perhiasan yang terbuat dari emas.
157
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Remaja perempuan Etnik Baduy Dalam menjalani keseharian sesuai perannya, membantu ibunya dengan pergi ke huma/ladang, memasak, mencuci pakaian, menjahit baju, menjaga atau mengasuh adik-adik dan bermain dengan temanteman perempuan seumurannya demikian penuturan Ramis (14 tahun) remaja dari Kampung Cikartawana. Pendidikan ditempuh secara informal selain dari orang tua diperoleh juga dari kokolot atau tokoh masyarakat di tiap kampung Tangtu masing-masing. Metode pembelajaran disampaikan secara lisan dalam suasana santai dan waktu yang situasional disebut juga ngawangkong. Ibu mempunyai peran lebih besar dalam hal pendidikan bagi remaja perempuan dibandingkan Bapak. Secara umum kaum perempuan Etnik Baduy Dalam sangat tertutup terhadap masyarakat luar. Hal ini dirasakan oleh tim peneliti yang mengalami kesulitan menggali informasi dari mereka. Wawancara dengan kaum perempuan Etnik Baduy Dalam selalu saja harus didampingi oleh anggota keluarga lakilaki, dan seringkali jawabanyapun berasal dari anggota keluarga laki-laki. Informan perempuan menjawab pertanyaan dengan senyuman dan hanya jawaban pendek-pendek sembari melirik ke anggota keluarga laik-laki terlebih dahulu sebelum menjawab, sebagai isyarat permintaan ijin. Budaya patriarki sangat kentara di Etnik Baduy Dalam, dimana struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dari segala-galanya. Jadi budaya Patriarki adalah budaya yang dibangun di atas dasar struktur dominasi dan sub ordinasi yang mengharuskan suatu hirarki di mana laki-laki dan pandangan laki-laki menjadi suatu norma. Fakta ini, membawa tim peneliti memperoleh data lebih banyak dari kaum lelaki dan beberapa perempuan dewasa daripada mereka yang masih remaja.
158
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Siklus menstruasi hadir sebagai salah satu tanda masuk masa pubertas dilalui kaum perempuan Baduy Dalam sebagai tahapan yang biasa saja. Pengetahuan mengenai menstruasi diperoleh dari ambunya, sehingga ketika pertama kali mengalami tidak terlalu kaget. Pada saat menstruasi, meskipun tanpa celana dalam yang mereka sebut sempak masih bisa diatasi. Tanpa menggunakan media apapun sebagai media penampung darah yang keluar hanya cukup dilap saja menggunakan samping hideung yang dikenakan sehari hari. Lama menstruasi terhitung singkat hanya 2-3 hari saja, justru ada anggapan apabila lebih dari 3 hari diyakini ada penyakit yang diderita. Masa menstruasi dianggap “kotor” karenanya sesudahnya harus bebersih dengan melakukan keramas yang disebut angiran. Penggunaan sabun dan shampo merupakan pantangan karena hal tersebut melanggar aturan adat, oleh sebab itu pada saat angiran atau keramas digunakan ramuan yang terdiri dari honje, kicaang, daun keuksak yang ditumbuk jadi satu. Pengetahuan mengenai kesehatan secara umum dan kesehatan reproduksi khususnya tidak diberikan secara gamblang. Pengetahuan seksual masih dianggap hal tabu bagi Etnik Baduy Dalam. Menurut pengakuan pemuda Etnik Baduy Dalam dari kampung Cibeo bahwa tidak ada materi mengenai hubungan intim secara detail. Hanya ada aturan-aturan secara umum mengenai interaksi antara lawan jenis yang saling tertarik, seperti aturan nganjang, yaitu salah satu tahapan untuk mengenal lebih dekat dengan lawan jenis yang disukai. Pada saat nganjang, remaja laki-laki datang mendatangi ke rumah remaja perempuan yang disukai tidak boleh sendiri saja namun harus ada saksi yaitu ramai-ramai dengan membawa serta teman. Tradisi nganjang dengan aturan membawa saksi sudah mengalami pergeseran. Berdasarkan pengakuan salah satu informan menyebutkan bahwa nganjang tidak hanya dilakukan di
159
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
rumah namun dapat dilakukan pada saat berada di saung dekat huma dan tidak harus ada saksi bisa sendiri saja. Namun menurut pengakuan H, 20 tahun, salah seorang informan informan, hal tersebut merupakan sebuah pelanggaran aturan yang seharusnya tidak dilakukan. Aturan adanya saksi pada saat nganjang mempunyai tujuan sebagai kontrol sosial, menghindari terjadinya hal-hal diluar batas aturan selama berinteraksi pada saat ngapel tersebut. Bentuk sangsi tegas pelanggaran terhadap aturan pergaulan antar lawan jenis adalah dikeluarkan dari kampung Etnik Baduy Dalam yang berarti dikeluarkan dari lingkungan sosial warga Baduy Dalam. Salah satu contoh pelanggaran tersebut ketika ada seseorang yang melihat secara langsung saat pelanggaran terjadi, seperti memegang payudara perempuan. Akan tetapi apabila baru berupa adanya laporan terkait seseorang melakukan pelanggaran maka tindak lanjutnya masih dalam bentuk teguran lisan ringan. Teguran lisan di sini berupa nasehat itupun tidak secara langsung melainkan melalui keluarga atau orang terdekatnya. 3.6.2. Pasangan yang Belum Punya Anak Pasangan yang sudah menikah pasti mendambakan kehadiran atau lahirnya seorang anak sebagai penerus keturunan. Hal yang sama juga dirasakan oleh Etnik Baduy Dalam. Bagi mereka tidak berlaku menunda kehamilan. Hadirnya anak bagi Etnik Baduy Dalam turut menentukan kedudukan orangtuanya dalam masyarakat dan juga kehidupan religius mereka. Persyaratan untuk menjadi perangkat adat salah satunya adalah sudah menikah dan memiliki keturunan. Oleh sebab itu, pasangan yang belum mendapat anak akan selalu disebut pengantén (pengantin), meskipun telah lama menikah. Namun
160
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
data yang kami peroleh, pernah ada Puun dari Kampung Cibeo tidak dikaruniai keturunan dengan masa jabatan yang relatif singkat. Pernyataan Jaro Sami (Jaro Tangtu Kampung Cibeo) menyebutkan kondisi tersebut dengan kata teu endah yaitu kurang bagus ketika seseorang yang menjabat tokoh adat adalah pengantén. Pengantén Baduy Dalam, baik dari Kampung Cibeo, Cikartawarna dan Cikeusik yang belum mempunyai keturunan di usia pernikahan lebih dari lima tahun pasti pernah dihinggapi perasaan was-was. Termasuk pasangan yang harus menunggu lebih dari empat tahun baru diberi keturunan juga merasakan perasaan yang sama. Ketakutan yang dirasakan lebih kepada takut tidak ada generasi penerus keturunan dan siapa yang akan merawat mereka nantinya di usia senja. Persepsi bahwa pasangan suami isteri dengan usia pernikahan 2-3 tahun belum ada tanda-tanda dikaruniai keturunan untuk di Kampung Etnik Baduy Dalam masihlah dikatakan wajar. Kewajaran ini muncul karena pengetahuan tentang seluk beluk hubungan seksual sangatlah minim yang mereka ketahui, sehingga setelah pernikahan bagi mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk belajar tentang cara berhubungan seksual dibanding masyarakat luar Baduy. Menurut dukun paraji Kampung Cibeo ramuan yang digunakan bagi pasangan suami isteri yang ingin segera memiliki momongan adalah dengan mengkonsumsi ramuan pucuk palungpung, daun sirit atau buah beunying yang di manteramantera sebagai syareat. 3.6.3.Masa Kehamilan Penentuan seorang wanita sedang hamil di Etnik Baduy Dalam menurut salah seorang informan sangat subyektif, yaitu
161
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
selain tidak mendapati dirinya menstruasi bulanan, seorang isteri sendiri ada rasa kalau dirinya hamil. Fenomena tabir mimpi juga salah satu yang diyakini sebagai pertanda kehamilan. Seorang suami mendapatkan firasat isterinya hamil melalui mimpi, ada beberapa mimpi yang diyakini merupakan pertanda hamil yaitu : 1) Mimpi diberi golok ujungnya tumpul pertanda janin yang dikandung isteri adalah anak perempuan dan sebaliknya apabila diberi golok ujungnya lancip maka janin yang dikandung adalah laki-laki. 2) Mimpi diberi timun pecah anak perempuan pertanda janin yang dikandung isteri adalah anak perempuan, sedangkan apabila timunnya utuh maka anak laki-laki. Wanita hamil pada Etnik Baduy Dalam, ritual yang dijalani yaitu tradisi Kendit, ritual saat usia kehamilan tujuh bulan dengan cara datang ke Puun (nyareat) dengan membawa seupaheun (sirih, gambir dan apu) dan kanteh hideung (gelang kain berwarna hitam). Kanteh Hideung diberi mantra dandipakai selama 3 hari 3 malam. Makna Kendit ini diharapkan prosesi kelahiran berjalan lancar. Selain tradisi kendit ada tradisi Ngaragap beuteung (pijit dibagian perut) oleh Paraji (Dukun Persalinan) sambil diusap pake koneng bau. Selain dipijit ibu hamil meminta jampi-jampi bagi keselamatan ibu dan janin yang dikandung. Jampe-jampe (mantera) dari paraji melalui media panglai ada yang dimakan, ada yang dibawa-bawa di badan sebagai perlindungan diri (tumbal). Namun tradisi Ngaragap beuteung tidak wajib tergantung masing-masing individu termasuk juga untuk waktunya. Ngaragap Beuteung bisa dilakukan sebulan dua kali atau sebulan sekali bahkan tidak sama sekali. Selain tradisi ada juga beberapa pantangan selama masa kehamilan baik pantangan perilaku juga makanan. Pantangan
162
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
tidak hanya berlaku bagi ibu yang sedang hamil namun juga bagi suaminya. Pantangan selama hamil, isteri harus berjalan di depan suami, tidak boleh keluar rumah setelah senja hari, cara membawa kayu bakar posisinya congokna kahareup. Pada hari Rabu dan Sabtu ibu hamil tidak boleh dipijat, dilarang mengenakan apapun di bagian leher baik itu kalung ataupun syal. Sedangkan pantangan makanan diantaranya adalah dilarang mengkonsumsi sambal, durian, petai, nenas bisa mengakibatkan panas pada janin. Pantangan lainnya, saat kehamilan memasuki bulan tua tidak boleh mengkonsumsi obat-obatan kimia sampai setelah bayi dilahirkan. Alasan tidak diberikan obat-obatan selama kehamilan ditakutkan berdampak pada janin yang dikandung. kacang mentah (buat anak cacingan); cai panas (janinnya nanti kepanasan). Makanan yang sebaiknya dikonsumsi oleh wanita yang sedang hamil adalah minum air kelapa hijau, sedangkan selama hamil mengusap-usap pasir ke perut Ibu yang diyakini bayi yang akan dilahirkan dalam kondisi bersih. 3.6.4. Persalinan dan Nifas Pemilihan penolong persalinan di Etnik Baduy Dalam mengikuti tradisi turun temurun yaitu dilakukan sendiri tanpa pendampingan dukun paraji apalagi tenaga medis. Tenaga medis dipanggil ketika mengalami kesulitan selama proses melahirkan, sehingga selama proses melahirkan lancar cukup memanggil paraji. Penjemputan paraji dilakukan ketika ibu sudah berhasil melahirkan bayinya. Prosesi melahirkan Etnik Baduy Dalam dilakukan dengan posisi Ibu duduk bersandar dengan posisi kedua kaki diangkat nyaris seperti posisi jongkok. Tempat yang dipilih untuk bersalin hanya ada dua pilihan tergantung keberadaan Ibu saat hendak melahirkan yaitu di rumah atau di saung yaitu rumah yang
163
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
didirikan di dekat huma atau ladang milik mereka. Pendamping selama persalinan terkadang dibantu oleh ambu (Ibu) atau saudara perempuannya, meskipun tidak jarang ketika menghadapi pertaruhan hidup dan mati dilakukan sendirian saja. Selama proses melahirkan, suami atau laki-laki tabu untuk mendampingi. Peran sang calon ayah berlaku sesaat setelah bayi lahir yaitu bertugas menjemput dukun paraji untuk memotong tali ari-ari, memandikan ibu dan bayi. Selama ambu paraji belum datang, ibu yang baru melahirkan dan bayinya hanya bisa menunggu dengan kondisi duduk dan bayi masih terhubung dengan ari-ari yang belum terputus. Tak seorangpun boleh mendampingi bahkan suaminya sekalipun, saudara perempuan dan ambu hanya menengok sesekali sampai dengan dukun paraji datang. Lama waktu menunggu dalam rentang yang tidak sebentar bisa mencapai 1-6 jam tergantung keberadaan dan kesiapan dukun paraji. Keberadaan dukun paraji tidak di setiap kampung ada, dengan jarak tempuh antar kampung bisa mencapai dua sampai tiga kilometer dengan berjalan kaki. Kondisi Ibu yang lemas, kehilangan banyak darah dan bayi hanya dibalut selimut tidak diperbolehkan makan dan minum selama menunggu kedatangan dukun paraji. “…samemeh datang panulungan eta parajina mah teu menang dahar, soalna paraji hungkul nu bisa noong, bangsa urang lalakina mah teu bisa nanaon…” [AK, 28Th] Artinya : “...sebelum datang pertolongan dari paraji tidak boleh diberi makan, karena hanya paraji yang bisa melihat, kita kaum laki-laki tidak bisa bantu apa-apa...”
164
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Gambar 3.12. Aktivitas Ibu Pasca Bersalin Menunggu Paraji Sumber : Dokumentasi Peneliti
Segera setelah Paraji datang, ayah menyiapkan hinis yaitu bambu untuk memotong tali ari-ari bayi, bambu yang digunakan diambil dari bambu yang berada didekat pintu. Makna yang mereka percayai bahwa bambu dekat pintu adalah bambu terbaik dari yang ada.
Gambar 3.13. Ayah menyiapkan Hinis untuk memotong Tali Ari-ari Sumber : Dokumentasi Peneliti
165
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Selagi sang ayah menyiapakan hinis, ambu paraji menyiapkan tali tereup, untuk mengikat tali ari-ari bayi ketika hendak dipotong.
Gambar 3.14. Paraji Menyiapkan Tali Teureup Sumber : Dokumentasi Peneliti
Prosesi pemotongan tali ari-ari bayi diawali dengan dukun paraji mengunyah panglai yang kemudian disemburkan ke kiri ke kanan - ke atas dan ke arah baskom yang berisi air yang nantinya digunakan untuk memandikan bayi. Mulut komat kamit membaca jampe-jampe atau mantra selama lebih kurang lima menit dengan beberapa kali menyemburkan panglai yang dikunyah ke dalam air untuk memandikan bayi. Selanjutnya ambu paraji menempatkan posisi bayi diatas kakinya, kemudian tali ari-ari diikat menggunakan tali teureup di bagian atas dan bawahnya. Pada bagian tali ari-ari yang hendak dipotong dipijit menggunakan lebu haneut yaitu abu dalam kondisi hangat hasil proses pembakaran kayu bakar yang digunakan untuk memasak. Sesaat sebelum tali ari-ari dipotong, ambu paraji kembali
166
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
membancakan jampe dan setelah itu baru tali ari-ari dipotong menggunakan hinis dengan koneng santen sebagai alas. Tahap berikutnya adalah memandikan bayi dengan tuakawi/air bambu yang telah diberi mantra-mantra. Bayi dimandikan dengan membalurkan ramuan yang terdiri dari jaringau, cikur, jebug (buah pinang) hasil beuweung/dikunyah ibunya. Selesai dimandikan pusar bayi diberi daun sirih dan lebu haneut diatasnya. Kemudian dengan dibalut kain samping heubeul yaitu kain yang sudah lama, dipilih kain yang sudah lama supaya tidak kaku. Prosesi membalut bayi dengan kain disebut dengan dibedong, selesai dibedong bayipun digendong keluar dan ditidurkan dengan kepala diberi alas bantal. Pemakaian gurita dan popok tidak diperbolehkan sampai dengan usia bayi 7 hari, demikian juga untuk mandi selama 7 hari menggunakan air dingin/mentah. Setelah 7 hari bayi diperbolehkan mandi menggunakan air hangat dan ramuan yang haseum-haseum (asam-asam) menggunakan daun ranji dan daun kedondong. Air yang asam berfungsi untuk menghaluskan kulit bayi menurut paraji. Selesai dengan perawatan bayi, kegiatan ambu paraji berlanjut dengan mencuci bali bayi. Setelah selesai dicuci, bali tersebut disimpan dalam wadah yang disebut Limas yaitu daun pisang yang dibentuk segi empat. Isi Limas selain bali juga ada hinis dan lebu haneut, balipun siap dikuburkan disekitar rumah/kampung cukup ditandai dengan kayu. Selanjutnya dukun paraji melakukan perawatan pada Ibu yang habis bersalin. Perawatan disini tidak termasuk untuk perawatan pada bagian alat kelamin, vagina ibu yang habis melahirkan tidak dilakukan tindakan apapun. Ibu sendiri yang membersihkan darah yang keluar pada saat melahirkan dengan mengelapnya menggunakan samping atau kain yang ada. Ritual yang dilakukan untuk perawatan pada Ibu nifas adalah mandi, Ibu
167
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
bersalin berjalan bersama-sama dukun paraji menuju wahangan atau sungai untuk dimandikan. Ramuan dibalurkan ke seluruh badan terdiri dari campuran koneng tinggang, cikur, lempuyang yang dihaluskan dengan ditumbuk. Kemudian selesai mandi dibenerkeun/dipijit perut supaya rahim kembali ke posisinya. Selain itu juga lebu haneut (abu hasil pembakaran kayu bakar dari hawu/kompor) yang dibungkus daun kemudian ditempel ke perut, supaya perut tidak bengkak.
Gambar 3.15. Perawatan Bayi oleh Dukun Paraji Sumber : Dokumentasi Peneliti
168
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Ramuan untuk Ibu nifas sampai dengan 7 hari disebut dengan makan “sambal”. Sambal adalah campuran jahe, kencur, lempuyang, air yang dihaluskan dan dimakan 2-3 kali dalam sehari. Selain sambal juga meminum air sirih atau air hasil rebusan kulit pisitan atau rebusan daun kilampahan yang berfungsi untuk membersihkan jalan lahir. Untuk pemakaian alat kontrasepsi atau ramuan pencegah kehamilan tidak ada karena bertentangan dengan aturan adat. Bagi mereka mempunyai anak merupakan kehendak Yang Maha Kuasa jadi tidak perlu ditunda atau diatur jarak antara anak pertama dengan kedua dan selanjutnya, semua dipasrahkan saja semua sudah takdirNya. Namun ada ramuan yang diyakini untuk merapatkan vagina menggunakan capeu direbus kemudian airnya diminum. Masa nifas dilalui sangat singkat oleh kaum Ibu Etnik Baduy Dalam. Lama masa nifas antara 3 sampai dengan 7 hari, jika ada seorang bufas yang masa nifasnya lebih dari 7 hari dianggap mengidap penyakit tertentu. Adat berpakaian yang tidak diperbolehkan menggunakan pakain dalam, maka darah nifas yang dikeluarkan tidak menggunakan media apapun untuk menampungnya. Menurut pernyataan informan darah nifas yang keluar hanya dibersihkan menggunakan samping yang dikenakannya saja. Tidak ada kata istirahat bagi ibu nifas Baduy Dalam, selesai dimandikan oleh paraji selanjutnya menjalani aktifitas seperti biasanya mulai mengurus rumah, mengurus anak dan mengurus suami tetapi belum diperbolehkan untuk pergi ke huma. Aktifitas pergi ke ladang bisa dilakukan ibu nifas setelah tujuh hari. Meskipun darah nifas yang keluar hanya selama tiga sampai 7 hari, namun selama 40 hari isteri tidak boleh berkumpul dulu dengan suami. Hubungan seksual antara suami dan isteri dilakukan setelah Isteri sudah melakukan tradisi angiran/ ngangiran yaitu keramas di sungai untuk Ibu ditemani oleh paraji
169
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
pada hari ke-40. Menahan tidak melakukan hubungan suami isteri selama 40 hari menurut informan (AK) dipercaya sebagai salah satu upaya pengaturan jarak usia antara anak pertama dan selanjutnya. Ada juga yang tidak bisa menahan diri selama 40 hari, sehingga kemungkinan yang terjadi mengakibatkan anaknya banyak, demikian pemikiran informan (AK). 3.6.5. Pola Menyusui Neonatus dan Bayi ASI yang pertama kali keluar tidak diberikan pada bayi karena dianggap kokotor Cisusu. Adapun ramuan yang digunakan oleh masyarakat Baduy Dalam untuk melancarkan air susu ibu diantaranya daun katuk, sayur amis. Sedangkan perilaku ibu menyusui sebelum memberikan ASI kepada sang bayi dengan tidak mencuci tangan dengan sabun melainkan hanya menggunakan baju yang dipakai untuk membersihkan tangan si ibu. Lama waktu pemberian ASI diberikan sampai bayinya tidak mau lagi jadi tidak ada istilah disapih, kecuali punya adik lagi yang harus disusui. Makanan yang sebaiknya dimakan oleh ibu sedang meneteki adalah nasi, ramuan sambal, ikan sungai, daun-daunan yang pait sampai dengan 7 hari. Adapun makanan pantangannya adalah ikan laut. Beberapa informan menyebutkan memberikan ASI pada anaknya (AA) selama tiga tahun, bahkan ada yang sampai 6 tahun. Pemberian susu formula sama sekali tidak dilakukan, hanya ASI saja yang diberikan pada bayi. ASI eksklusif tidak berlaku di masyarakat Etnik Baduy Dalam, karena di usia tujuh hari sudah dilakukan tradisi pemberian makan pertama kali yang disebut dengan sangu beuweung. Sangu beuwung yaitu nasi yang dihaluskan dengan cara dikunyah ibunya ditambah garam kemudian dikukus. Setelah tujuh hari selain sangu beuweung, ibu memberikan makanan
170
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
tambahan lainnya seperti pisang yang dihaluskan atau biskuit yang dihaluskan tergantung kesukaan bayinya. Berikut tahapan tradisi yang dilakukan pada masa neonatus : 1) Hari pertama setelah lahiran tradisi adatnya hanya ngariung/syukuran makan-makan keluarga inti saja. 2) Hari ketiga disebut juga peureuhan tilu peuting yaitu dikasih tetes mata dari pucuk hanjuang dan air jambe muda. Juga dilakukan syukuran makan-makan keluarga besar. 3) Pada hari ketujuh ada beberapa tradisi adat yang dilakukan yaitu peureuhan tujuh poe, yaitu pedes, bawang putih, jahe, jambe, pucuk hanjuang, kencur, koneng ditambah air trus diteteskan ke mata. Pemberian sangu beuweng, terlebih dahulu minta disyareatan oleh Puun. Kemudian pemberian nama untuk bayi, ada ketentuan umum yang berlaku di Kanékés dalam pemberian nama anak. Suku kata pertama nama anak laki-laki harus sama dengan Suku kata pertama nama ayahnya, sedangkan untuk nama anak perempuan ketentuan itu dikaitkan dengan nama ibunya. Sebagai contoh, suatu pasangan bernama Sanip (ayahnya) dan Sarniah (ibunya), maka anak laki-laki mereka mungkin bernama Sardin dan anak perempuan mereka mungkin bernama Saniah. Prosesi pemberian nama dilakukan melalui pengesahan oleh ketua adat tertinggi yaitu Puun. Setelah diberi nama, anak itu dipasangi kapuru yaitu geulang (gelang) terbuat dari benang namanya kantéh. Posisi gelang disematkan pada tangan kirinya bagi anak perempuan atau pada tangan kanannya bagi anak laki-laki. Gelang tersebut dipercayai sebagai penolak bala. Pada usia tujuh hari merupakan
171
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
pertama kalinya bayi boleh dibawa keluar rumah, yang sebelumnya tidak boleh. 4) Angiran/ Ngangiran, keramas di sungai untuk selain untuk Ibu juga bayi yang ditemani oleh paraji pada hari ke-40. Boboreh, adalah ramuan pada saat angiran untuk si bayi. Ramuannya koneng bodas, daun kikores, daun tumbu eusi, daun asem. 3.6.6. Anak dan Balita Perkembangan seorang anak secara umum digambarkan melalui periode-periode, salah satunya adalah periode Bawah Lima Tahun (BALITA) merupakan periode manusia setelah bayi sebelum anak-anak. Rentang usia balita dimulai dari 1 sampai 5 tahun. Periode usia ini disebut juga periode usia pra sekolah. Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang memengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Pada masa ini perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan bagi perkembangan selanjutnya (Djaeni, 2000). Keseharian balita di Etnik Baduy Dalam dilalui tidak jauh berbeda dengan balita pada umumnya. Perbedaan nyata yang ada adalah sentuhan medis merupakan hal yang langka bagi mereka. Mulai dari masa ketika masih didalam perut ibu sampai dengan lahir ke dunia tidak mengenal asupan vitamin selain dari bahan makanan yang dikonsumsi. Kegiatan Posyandu bukan tidak dilakukan, tetapi kunjungan petugas kesehatan dilakukan dalam setahun satu atau dua kali saja. Lokasi kampung yang jauh, perjalanan untuk sampai ke Etnik Baduy Dalam dilalui dengan melewati 4 bukit dan akses menuju kesana hanya bisa dilakukan
172
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
dengan berjalan kaki saja. Kondisi demikian hanya salah satu kendala selain adanya aturan adat yang belum menerima teknik pengobatan secara modern atau peralatan yang mereka anggap modern seperti disuntik, memakai dot, memakai timbangan dan sejenisnya. Petugas kesehatan ketika akan melakukan pengobatan atau imunisasi harus memikirkan penjelasan yang pas yang dapat diterima oleh masyarakat Baduy Dalam.
Gambar 3.16. Anak Balita Kampung CikeusikBaduy Dalam Sumber : Dokumentasi Peneliti
173
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“Polio bisa masuk karena kita bukan hanya ngomong ini tetes polio… bukan tetes vitamin… di lapangan mah pa, bagaimana kita be. Jadi bukan kita untuk memberi yang tidak baik... nu penting mah dia nerima gitu..”
[ER] Gambaran hygiene personal masih belum ideal, aturan adat warga Etnik Baduy tidak diperkenankan menggunakan alas kaki. Ketika habis beraktifitas di luar rumah, kaki dibersihkan hanya dengan menggosok-gosokkan ke lap yang berfungsi sebagai keset. Pembelajaran cuci tangan sebelum makan sudah dilakukan hanya saja tidak menggunakan sabun. Selain itu aktifitas mandi yang dilakukan di sungai beramai-ramai meski terpisah antara laki-laki dan perempuan namun dilakukan tanpa menggunakan sabun. Demikian pula kegiatan menggosok gigi tidak memakai odol tapi menggunakan sabut kelapa. Frekuensi mandi dilakukan dua kali dalam sehari, namun tidak diikuti dengan mengganti pakaian yang dikenakan. Proses mencuci pakaian yang dilakukan di sungai juga dilakukan tanpa menggunakan sabun cuci, hanya memakai rerek atau cukup mengosok-gosok pakaian diatas batu. Hasil mencuci Nampak pada pakaian yang penuh dengan noda yang tidak bisa hilang tanpa bantuan sabun cuci. 3.6.7. Pola Asuh Cara atau pola asuh anak dan balita di masyarakat Baduy Dalam, tidak ada metode khusus. Seorangibu dalam pola asuhnya memberikan kontribusi lebih dibanding ayah. Kontribusi lebih disini tampak dari frekuensi kebersamaan, Ibu yang selalu mengajak serta anak-anaknya di setiap aktivitas sehari-harinya baik itu di rumah maupun ke huma. Ayah, sebagai kepala keluarga juga memiliki peran yang sama dengan ibu hanya saja
174
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
sebagai pencari nafkah ada kalanya harus menginap di luar kampung. Namun ketika anak laki-laki beranjak besar sudah mampu berjalan kaki dengan jarak tempuh jauh, berbalik peran ayahlah yang lebih besar. Mata pencaharian utama masyarakat Baduy adalah sebagai petani, ketika berangkat ke huma anak balita mereka juga ikut dibawa dan menghabiskan waktu di ladang. Lama waktu yang dihabiskan di huma bisa sampai 6-7 jam dalam sehari, kegiatan anak disana selain bermain juga sebagai media pembelajaran tentang cara bercocok tanam. Pendidikan yang diberikan tergantung jenis kelamin anak balita, anak perempuan diajari cara menumbuk yang disebut nutu. Berbeda dengan anak lakilaki pelajaran yang diberikan salah satunya adalah belajar mengangkat beban berat, diharapkan nantinya bisa membantu orang tua mencari penghasilan dengan mengangkut hasil bumi yang dihasilkan dari kebun mereka seperti pisang dan durian. Kesetaraan gender, dalam interaksi suami istri juga berlaku di Etnik Baduy Dalam. Seperti kegiatan memasak, mencuci meskipun itu merupakan tugas seorang istri, namun suami tidak segan membantu ketika isteri sedang repot. Hal ini juga diterapkan kepada anak-anak mereka. Pengasuhan anak tidak hanya dilakukan oleh orang tua, bisa juga dilakukan oleh keluarga yang masih tinggal dalam satu rumah, seperti kakak, paman, bibi atau uwa. Ada satu tradisi yang dilakukan pada masa balita yaitu tradisi cukuran. Cukuran, yaitu tanda pertama kali dicukur, prosesi cukuran dilakukan secara simbolis saja. Pemotongan rambut hanya beberapa helai saja, bisa rambut bagian depan, belakang atau samping. Biasanya cukuran dilakukan ketika anak berusia diatas 1 tahun, namun ada pula ketika usia belum genap satu tahun tergantung kesiapan masing-masing orang tua. Tradisi cukuran pelaksanaannya bersamaan dengan tradisi sunat pada
175
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
anak laki-laki dan perempuan yang disebut Sunatan Lobaan. Ulasan lebih dalam mengenai cukuran, sunatan lobaan dibahas pada bab selanjutnya (Bab 5).
Gambar 3.17. Anak Etnik Baduy Dalam (Kampung Cikeusik) Memanggul Pisang untuk dijual Sumber : Dokumentasi Peneliti
3.6.8. Pola Makan Pengolahan makanan di masyarakat Baduy Dalammasih sangat sederhana. Bukan hanya kesederhanaan peralatan yang digunakan tetapi cara pengolahannya juga. Menurut Informan (IA), pengetahuan masyarakat Baduy Dalam mengolah bahan makanan bisa dikategorikan minim, hanya tahu cara mengolah dengan digoreng, dikukus, direbus, dan dipanggang. Penggunaan
176
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
bumbu dalam masakan-pun tidak banyak variasi, bahkan untuk membuat masakan ketika acara adat biasanya mereka memanggil orang luar Baduy untuk membantu sebagai tukang masaknya. Hari-hari biasa, seringkali membeli ikan atau bandeng sekalian sudah diolah oleh penjual ikan tersebut. Aturan Tangtu atau adat di lingkungan Kampung Baduy Dalam, dimana aliran listrik merupakan sebuah larangan. Kondisi demikian berimbas pada tidak adanya alat yang berfungsi sebagai pengawet makanan, seperti lemari es. Proses pengawetan makanan yang tidak langsung habis ketika dimakan satu-satunya adalah dengan dihangatkan kembali. Selain itu ketiadaan listrik berdampak pada pemilihan jenis makanan untuk dikonsumsi. Menu makanan yang dipilih tentunya jenis makanan yang lebih tahan lama dan makanan instan yang langsung habis sekali makan seperti ikan asin dan mie instan. Bagi masyarakat luar Baduy, Etnik Baduy Dalam terkenal dengan kebiasaannya minum kopi juga pada anak balita. “…saaya-aya di imah bae, kadang cau, kopi, asin jeung sayur. Si Kanah umur opat tahun ge geus bisa nyieun kopi sorangan, kopi susu tapina lain kopi hideung…” [AK, 28th] Artinya : “...Seadanya makanan dirumah saja, kadang pisang, kopi, ikan asin sama sayur. Si kanah umur empat tahun sudah bisa bikin kopi sendiri, kopi susu tapi buka kopi hitam...”
Etnik Baduy dikenal dengan ketahanan pangannya, mereka menyimpan padi hasil panennya dalam leuit/lumbung bisa bertahun-tahun. Namun padi yang mereka hasilkan hanya digunakan untuk acara-acara adat saja seperti kelahiran, pernikahan, kematian dan acara adat lainnya. Sedangkan untuk
177
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
keperluan makan sehari-hari, beras yang mereka masak diperoleh dengan cara membeli. Pantangan lain terkait makanan yang dilarang oleh adat adalah larangan makan daging kambing. Selain pantangan mengkonsumsi makanan tertentu ada pula larangan memelihara hewan berkaki empat kecuali anjing. Hewan berkaki empat dan singkong termasuk bahan makanan yang dilarang dipelihara namun boleh dikonsumsi.
Gambar 3.18. Menu Makan Sehari-hari Masyarakat Baduy Dalam Sumber : Dokumentasi Peneliti
Sayuran untuk keperluan makan sehari-hari diperoleh dari tanaman sekitar, ada yang dikonsumsi mentah ada juga yang diolah secara sederhana dengan direbus ataupun dikukus. Ada pula yang dibuat sayur berkuah, misalnya sayur rebung, sayuran yang dimakan mentah misal laja goah. Untuk lauknya diperoleh dengan cara membeli juga yaitu tempe, tahu, ikan asin, ikan air tawar (ikan mas, mujair), pindang, telur dan ayam. Namun beberapa jenis bahan makanan seperti pindang, ikan air tawar dan ayam termasuk makanan yang jarang dikonsumsi.
178
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Konsumsi buah – buahan tergantung pada musim yang ada misal pada musim buah kaweni atau mangga limus, musim buah kacapi, musim buah jatake, buah pisang kalau lagi ada yang matang. 3.7. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 3.7.1 Cara Pembuangan Sampah Rumah Tangga oleh Warga Masyarakat Dalam penelusuran rumah ke rumah di pinggiran kampung ataupun di tengah kampung guna memperhatikan lingkungan yang menunjang pola hidup bersih dan perilaku sehatnya (PHBS). Ternyata di setiap rumah sudah disediakan tempat membuang sampah yang terbuat dari anyaman bambu yang bentuknya mirip bangunan tempat ayam bertelur dan mengeram menyerupai contong yang diberi tiang di bawahnya. Mereka juga sudah memahami untuk memisahkan sampah organik dan sampah non organik. Untuk sampah plastik dimasukkan ke dalam bak sampah yang tersedia di depan setiap rumah, sedangkan sampah biotik langsung dibuang di pinggiran kampung yang sudah dibuatkan lubang khusus, bila lubang sampah itu sudah penuh maka sampahnya dibakar.
Gambar 3.19. Sketsa Tempat Sampah dari Bahan bambu Sumber: Visualisasi Peneliti
179
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Di kanan kiri rumah tanahnya telah digali selokan-selokan yang ditujukan untuk pematusan air hujan dan pembuangan limbah dapur. Dari pengamatan di lapangan di ketiga kampung Tangtu tidak ditemukan adanya genangan air dari limbah dapur. Sehingga bisa dipastikan tidak memungkinkan munculnya penyakit yag disebabkan oleh nyamuk seperti malaria. Tim peneliti selama di lapangan, khususnya di kampung Tangtu juga merasakan kenyamanan hampir tidak ada nyamuk. Mungkin disebabkan karena suhu yang dingin dan banyak asap dapur yang muncul dari setiap rumah. Asap bermunculan disebabkan dari bara api di tungku sebagai penghangat tubuh. Tungku beserta kelengkapannya sengaja tidak ditampilkan melalui foto karena memang merupakan larangan adat untuk mengambil atau merekam gambar di wilayah Baduy Dalam. 3.7.2. Kebersihan Individu Cuci tangan pakai sabun merupakan salah satu cara untuk hidup sehat yang paling sederhana dan murah tetapi sayang belum membudaya. Padahal bila dilakukan dengan baik dapat mencegah berbagai penyakit menular seperti diare bahkan typus. Hanya dengan Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) kita bisa mencegah penyakit diare 80-90% dan penyakit -penyakit lain (misal: ISPA, Influensa, bahkan Virus H5N1) sebesar 45 %. Selain itu Cuci tangan pakai sabun juga merupakan salah satu pilar STBM/StoPS yaitu: 1) 2) 3) 4) 5)
180
Buang Air Besar ke Jamban sehat Cuci tangan pakai sabun Penyediaan air bersih Pengelolaan sampah rumah tangga Pengelolaan limbah cair rumah tangga
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Masyarakat Baduy Dalam, secara garis besar melakukan cuci tangan bila mau makan, setiap tangan kotor, setelah buang air besar, setelah menceboki bayi, tapi tidak menggunakan sabun karena dilarang oleh adat. Untuk pengetahuan mencuci tangan dengan sabun kebanyakan tidak tahu, hanya sebagian saja yang tahu misal pemuda yang sering pergi ke luar kampung misal pergi ke Ciboleger, pas waktu SEBA ke Kabupaten Lebak, ke Cijahe yang secara tidak sengaja mendapatkan info bahwa pentingnya mencuci tangan dengan sabun. Masyarakat Baduy sejak umur 3 tahun sudah diajarkan untuk melakukan aktifitas berat misalnya diajak oleh keluarganya untuk pergi ke kebun atau huma yang jaraknya antara satu kilometer sampai empat kilometer, membawa air dari sungai, mencari kayu bakar. Sketsa rumah adat Baduy Dalam memberi sedikit gambaran tentang bentuk rumah adat Etnik Baduy Dalam yang seragam (lihat gambar 2.10). Luas rumah lebih kurang 35 meter persegi dengan panjang 6,5 -7 meter dan lebar 5 meter terbagi menjadi 4 ruang yaitu imah (ada dapur di dalamnya); sosoro; tepas dan pangkeng. Luas 35 m2 rumah bisa dihuni lebih dari 2 Kepala Keluarga (KK) atau 8-10 orang tergantung banyaknya anggota keluarga. Bagian atap rumah tertutup rapat menggunakan hateup yang terbuat dari daun kiray. Tidak adanya aliran listrik, penerangan diperoleh di sinar matahari dan bulan di malam hari dengan bantuan toktok sebagai alternatif sumber penerangan tradisonal. Ventilasi diperoleh dari pintu yang hanya ada satu dan lubang-lubang kecil berasal dari kerapatan dinding yang terbuat dari bilik. Bentuk rumahnya panggung, sehingga bagian bawah ada ruang yang disebut kolong imah. Kolong imah biasa digunakan untuk tempat memelihara hewan seperti ternak ayam.
181
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Lantai terbuat dari awi apus atau bambu apus yang disebut lantaian. Pembuatan rumah Etnik Baduy Dalam tanpa menggunakan alat-alat bangunan modern seperti gergaji, paku, palu ataupun bahan bangunan semen, pasir dan kerikil. Alat untuk menyatukan kayu satu dengan lainnya sebagai pondasi rumah menggunakan pasak. Sedangkan untuk mengikat bambu dengan hateup menggunakan tali teureup. Alat yang digunakan untuk melubangi bagian kayu menggunakan baliung atau tatah. Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Syarat-syarat kualitas air bersih diantaranya adalah sebagai berikut : 1) Syarat Fisik : Tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berwarna. 2) Syarat Kimia : Kadar Besi : maksimum yang diperbolehkan 0,3 mg/l, Kesadahan (maksimal 500 mg/l). 3) Syarat Mikrobiologis : Koliform tinja/total koliform (maksimal 0 per 100 ml air). Sumber air yang digunakan oleh masyarakat Baduy Dalam berasal dari air sungai yang mengalir disekitar permukiman. Permukiman Kampung Baduy Dalam lokasinya selalu berada dekat aliran sungai, sesuai dengan teori yang menjelaskan bahwa kehidupan dimulai tidak jauh dari keberadaan sumber air. Gambar 3.20 merupakan salah satu sungai yang mengalir di Desa Kanékés melewati beberapa kampung, baik Baduy Dalam dan Luar yaitu Sungai Ciujung. Sungai Ciujung selain melintasi Kampung Gaseboh juga ada di Kampung Cikeusik Baduy Dalam. Penggunaan air bersih berasal dari air sungai dan mata air. Untuk
182
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
keperluan mandi dan mencuci mereka menggunkan air sungai, sedangkan untuk memasak dan minum mereka menggunakan mata air untuk kebutuhan sehari-harinya. Apabila dilihat secara fisik sumber air memenuhi syarat, karena tidak berbau dan tidak berwarna.
Gambar 3.20. Sungai Ciujung, Kampung Gaseboh Desa Kanékés Sumber : Dokumentasi Peneliti
3.7.3. Jamban Sehat Dalam kesehariannya masyarakat Baduy Dalam untuk buang air besar maupun air kecil mengunakan air sungai dikarenakan tradisi dan adat yang membiasakan mereka untuk melakukan kegiatan tersebut. Adapun tempatnya dibedakan antara tempat laki – laki dan perempuan, untuk laki – laki disebelah atas, sedangkan untuk tempat buang air besar atau
183
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kecil perempuan di sebelah bawah laki – laki. Dilihat dari segi kesehatan jamban atau tempat buang air besar tersebut tidak memenuhi syarat kesehatan dikarenakan mengotori badan air dan terjadi tempat berkembang biaknya penyakit misalnya diare. Sebagian besar masyarakat Baduy Dalam tidak mengetahui arti jamban yang sehat.
Gambar 3.21. Pancuran Kampung Baduy Luar Sumber : Dokumentasi Peneliti
Gambar 3.21 Sebagai gambaran kondisi pancuran yang biasa digunakan oleh masyarakat Baduy Luar. Perbedaan dengan masyarakat Baduy Dalam adalah tidak adanya sekat yaitu dinding penghalang dan kontainer yang dipakai. Kontainer yang digunakan untuk menampung air bersih berupa kontainer alami yaitu batang kelapa yang dilubangi sedemikian rupa sehingga mampu menampung air. Masyarakat Baduy umumya menggunakan air bersih, dari air sungai dan mata air, untuk mandi dan mencuci mereka menggunakan air sungai, sedangkan
184
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
untuk memasak dan minum mereka menggunakan mata air untuk kebutuhan sehari – harinya. Nyamuk sebagai vektor berbagai penyakit menular seperti malaria, dengue, Japanese encephalitis, filariasis dan lainnya tempat perkembangbiakannya membutuhkan kondisi lingkungan yang spesifik. Daur hidup nyamuk sebagai vektor penyakit dalam siklus hidupnya ada fase dimana memerlukan media air sebagai pertumbuhan. Kebiasaan menampung air pada kontainer dengan kondisi tidak ditutup ataupun keberadaan kontainer alami yang terbengkalai merupakan salah satu faktor risiko munculnya vektor penyakit. Kondisi lingkungan masyarakat di Kampung Baduy Dalam dimana aktivitas berkaitan dengan mandi, mencuci dilakukan di sungai sehingga tidak ada kebiasaan menampung air. Kalaupun ada kebiasaan menampung air untuk keperluan memasak tidak disimpan lebih dari satu hari. Kondisi demikian sehingga tidak ditemukan tempat perkembangbiakan nyamuk positif. Hal ini terlihat dari tidak adanya tempat penampungan air bersih dan air kotor. Untuk air bersih mereka menggunakan kele (tempat air yang terbuat dari bambu), yang setiap hari airnya diganti, jadi jarang sekali ditemukan jentik nyamuk. 3.8. Seputar Penyakit Menular 3.8.1. Kampung Tangtu Kantung Frambusia Badan kesehatan dunia (WHO) menyebutkan bahwa di regional Asia Tenggara terdapat tiga negara yang mempunyai masalah frambusia yaitu India, Indonesia dan Timor Leste (WHO, 2006). Salah satu wilayah di Indonesia yang merupakan kantung frambusia adalah di Desa Kanékés, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Provinsi Banten wilayah ulayat Etnik Baduy. Sebagai agent of change penerimaan pelayanan medis di Kampung Tangtu Idi Rasidi berhasil menurunkan kasus frambusia
185
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
di Kampung Tangtu. Meskipun awalnya mengalami berbagai bentuk penolakan baik secara lisan maupun ditunjukkan dengan perilaku, namun dengan kesabaran dan strategi ampuh dengan mendekati pimpinan adat Pak Rasidi membawa sentuhan medis pada masyarakat Baduy. 30 25 20 15 10 5 0
Grafik 3.1. Kasus Frambusia Desa Kanékés, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Sumber : Data Dinas Kesehatan Kab Lebak Provinsi Banten, 2014
Warga Baduy apabila belum merasa sakit, tidak mau diobati, demikian penuturan Pak Rasidi.“…Merasa sakit kalau sudah timbul aja penyakitnya…” Frambusia disebut sebagai penyakit butul oleh masayarakat Etnik Baduy Dalam. Salah seorang informan yang pernah menderita frambusia menyebutkan beberapa gejala klinis yang dirasakan antara lain di kedua telapak kaki tampak seperti kapalan dan ada inti atau matanya. Akibat yang paling berat dirasakan adalah rasa nyeri ketika berjalan. Selain itu muncul tonjolan daging di telapak kaki. Upaya pengobatan pernah dicobanya dengan cara telapak kaki dioles minyak kelapa kemudian dipanasi dengan api. “…tapi teu cageur-cageur,
186
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
sakedeung bae cageurna…” (tapi tidak sembuh-sembuh, hanya dirasakan sebentar saja, sebentar kemudian kambuh lagi) [NY, 70 tahun].
Gambar 3.22. Frambusiapada Telapak Kaki Sumber :http://nusapenida3.diskesklungkung.net/?p=391 (diakses tgl 8 Juli 2014)
Kondisi sakit yang dirasakan sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari dan upaya pengobatan yang tidak memberikan hasil mendorong informan memutuskan berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan. Keputusan untuk berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan didorong oleh adanya bukti kesembuhan pada penderita frambusia lainnya. Kondisi kaki sakit tidak dihiraukan, dibantu dengan iteuk (tongkat) untuk berjalan ke Ciboleger langsung minta diobati dengan disuntik dan diberi pil. Dalam waktu satu minggu kemudian putus tonjolan daging di telapak kaki dan kesembuhan pun dirasakan. Menurut informan,
187
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
butul adalah penyakit musiman, yaitu muncul hanya pada saat musim durian saja. Berbeda dengan informan sebelumnya, AS yang juga pernah terinfeksi butul pada usia lebih kurang 20 tahun, pengobatan dilakukan secara tradisonal. Diobati menggunakan ramuan kulit kibeureum dicelupkan ke dalam air panas dan di jampe-jampe. Benjolan daging jadi di telapak kaki dengan cara dikoredan (dikerik) kemudian kaki diinjak-injakkan ke ramuan kulit kibeureum. Efek yang dirasakan kulit menipis dan lama kelaman sembuh. “Heubel, laju cageur berobat ka Ki Kaenteu mulang tarima make hurip, concot” (Lama sakit yang diderita, setelah berobat ke Ki Kaenteu menjadi sembuh. Sebagai balas jasa memberi ayam hidup dan tumpeng nasi putih) (AS, 70 tahun). Kasus frambusia sampai dengan saat ini belumlah hilang dari Kampung Tangtu. Meskipun secara klinis tidak ditemukan, namun kegiatan sero survey yang dilakukan oleh Ditjen P2PL bersama-sama dengan Dinas Kesehatan Setempat di awal april menunjukkan masih ditemukan kasus positif melalui rapid diagnostic test (RDT). Hasil ini masih menunggu konfirmasi ulang dengan pemeriksaan dari sampel darah yang diambil dari yang diduga positif frambusia. 3.8.2. Isak Tangis Pneumonia Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh masuknya kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis batuk, demam tinggi dan disertai adanya napas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Dalam pelaksanaan Pemberantasan Penyakit ISPA (P2ISPA) semua bentuk
188
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
pneumonia baik pneumonia maupun bronchopneumonia disebut pneumonia (Depkes R.I, 2002). Pneumonia merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada anak usia di bawah lima tahun (balita) di negara berkembang. Sembilan belas persen kematian anak usia balita disebabkan oleh pneumonia. Tiga perempat kasus pneumonia di dunia terdapat di 15 negara dan Indonesia menduduki peringkat keenam (WHO, 2006). Estimasi terbaru dari UNICEF menunjukkan bahwa pneumonia terus menjadi pembunuh nomor satu dari anak-anak di seluruh dunia yang menyebabkan 18% kematian dari semua kematian anak dan diperkirakan 1,3 juta kematian anak terjadi di tahun 2011 (Liu L., et al, 2012). Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kependudukan (SDKI) tahun 2012 yang dilakukan oleh BPS, BKKBN, dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Pneumonia dan diare dinyatakan sebagai penyebab kematian utama pada batita dan balita di Indonesia. Kasus kematian bayi di Kabupaten Lebak Provinsi Banten cenderung mengalami kenaikan dari tahun 2009-2012, berturutturut 182, 185, 262 dan 360 bayi di tahun 2012. Jumlah 360 bayi yang meninggal di tahun 2012, pneumonia pada balita merupakan salah satu penyumbang meningkatnya kasus kematian bayi. Sejumlah 12.487 balita penderita pneumonia, 18 kasus merupakan penderita yang berasal dari Etnik Baduy Dalam, Kampung Cibeo, Desa Kanékés (Profil Dinkes Kab Lebak, 2012). Pada Grafik 3.2 diketahui bahwa penderita pneumonia didominasi oleh balita sebanyak 55%. Grafik tersebut juga menunjukkan dari 18 kasus yang terdiagnosis sebagai Bronkopneumonia, 5 penderita meninggal dunia dalam waktu 8 minggu. Sebanyak 80% berdasarkan usia terjadi di usia dibawah dua tahun (balita).
189
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
L
<1 1
1-4 3
5-9 4
10 - 14 1
> 14 0
Total 9
P
2
4
3
0
0
9
Total Kasus
3
7
7
1
0
18
Grafik 3.2. Kasus Pneumonia Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Kampung Cibeo, Desa Kanékés, Tahun 2012 Sumber:Data Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak Tahun 2012
Grafik 3.3. Kasus Meninggal KLB Pneumonia Kampung Cibeo, Desa Kanékés Tahun 2012 Sumber : Data Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak Tahun 2012
Kematian bayi akibat pneumonia terulang kembali di tahun 2014 ini. Kasus 5 balita meninggal dalam rentang waktu satu minggu dengan diagnosis bronkopneumonia terjadi kembali.
190
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Satu kasus meninggal terjadi pada bayi masih berusia 1 bulan, dua kasus berusia kurang dari dua tahun dan dua kasus lainnya termasuk balita. Kasus penyakit menular di masyarakat Etnik Baduy Dalam didominasi oleh penyakit dengan faktor risiko terkait perilaku hidup bersih dan sehat. Kearifan lokal yang dipertahankan sampai dengan saat ini bukan satu-satunya benturan dalam upaya pencegahan sebagai upaya pengendalian penyakit. Beberapa kendala yang diamati seperti lingkaran sebab akibat yang saling terkait satu dengan lainnya. Faktor pendidikan, pengetahuan, tingkat ekonomi, perilaku terkait budaya, lingkungan, kepercayaan terhadap pelayanan kesehatan belum lagi akses menuju fasilitas pelayanan kesehatan mengingat kondisi geografis yang sulit dan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh masuknya kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis batuk, demam tinggi dan disertai adanya napas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Dalam pelaksanaan Pemberantasan Penyakit ISPA (P2ISPA) semua bentuk pneumonia baik pneumonia maupun bronchopneumonia disebut pneumonia (Depkes RI, 2002). Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia pada balita. Faktor Lingkungan, khususnya lingkungan perumahan sangat berpengaruh pada peningkatan risiko terjadinya pneumonia. Perumahan yang padat dan sempit, kotor dan tidak mempunyai sarana air bersih menyebabkan balita sering berhubungan dengan berbagai kuman penyakit menular dan terinfeksi oleh berbagai kuman yang berasal dari tempat yang kotor tersebut (Depkes RI, 2004). Mekanisme rumah padat akan meningkatkan risiko pneumonia, diperkirakan bahwa keadaan ini
191
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dapat meningkatkan penyebaran bakteri yang resisten (Victora CG et al , 1994). Luas Ventilasi Rumah
Agent : Jenis Keganasan Jumlah
Jenis Lantai Bahan Bakar Kondisi DInding Rumah
Tingkat Kelembaban
KEJADIAN PNEUMONIA
Suhu Tingkat Kepadatan Hunian
Pencahayaan
Daya Tahan Tubuh Subjek : Imunisasi Jenis Kelamin Umur Status Gizi Riwayat Penyakit Sebelumnya
Gambar 3.23. Kerangka Teori Kejadian Pneumonia Sumber : Yuwono, TA, 2008 [Tesis]
Pemukiman kampung Cibeo sebagai pemukiman Etnik Baduy Dalam lebih padat dibanding dua kampung lainnya. Jumlah penduduk yang padat diikuti dengan kepadatan rumah yang mana jarak antar rumah yang satu dengan yang lain cukup berdekatan dibanding di kampung Cikartawana dan Cikeusik. Kesederhanaan rumah adat Etnik Baduy Dalam, menjadi salah satu faktor risiko pneumonia. Tampak pada gambar 3.25 denah pembagian ruangan rumah Etnik Baduy Dalam. Hanya ada 4
192
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
bagian ruangan, sekat yang ada hanya pada ruangan yang disebut imah tempat keberadaan dapur.
Gambar 3.24. Ternak Berada di Kolong Rumah, Kampung Baduy Luar Sumber: Dokumentasi Peneliti
Lingkungan rumah yang belum memenuhi kriteria rumah sehat dinilai dari penerangan dan ventilasi. Sumber penerangan satu-satunya berasal dari sinar matahari terhalang masuk ke dalam rumah dengan jarak antar rumah satu dengan lainnya cukup berdekatan. Atap rumah yang menutup rapat bagian dalam rumah juga mengakibatkan sedikit sinar matahari yang masuk kedalam. Suhu udara rendah mengingat letak geografis Kampung Cibeo yang termasuk dalam dataran tinggi maka kelembaban tinggi. Ventilasi ala kadarnya, selain pintu hanya ada satu sama sekali tidak ada ventilasi meskipun terbantu dengan adanya celah melalui lubang-lubang kecil yang terbentuk dari renggangnya kerapatan dinding yang terbuat dari bilik.
193
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Keberadaan dapur yang berada ditengah rumah tanpa sekat penghalang dengan bagian ruang lainnya mengakibatkan kepulan asap hasil pembakaran kayu bakar ketika memasak bersirkulasi di dalam rumah lebih lama mengingat minimnya ventilasi.
Imah
Tepas
Sosoro
Pangkeng Pintu
Gambar 3.25. Denah Bagian Dalam Rumah Adat Etnik Baduy Dalam Sumber : Visualisasi Peneliti
Ventilasi berguna untuk penyediaan udara ke dalam dan pengeluaran udara kotor dari ruangan yang tertutup. Termasuk ventilasi adalah jendela dan penghawaan dengan persyaratan minimal 10% dari luas lantai. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan naiknya kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan media untuk berkembangnya bakteri terutama bakteri patogen (Semedi, 2001). Permukiman Etnik Baduy Dalam berbentuk rumah panggung, sehingga terdapat kolong antara lantai rumah dan tanah dengan ketinggian antara 70 cm-1,5 meter. Luas rumah Etnik Baduy Dalam sebagian besar berukuran panjang antara 6-7 meter kali lebar 5 meter. Luas antara 30 m2 – 35 m2 bisa dihuni lebih dua KK. Informan [S], salah seorang ayah yang anaknya meninggal diusia belum genap 1 bulan tempat tinggalnya masih satu rumah bersama ibu, keluarga kakaknya dan adiknya total berjumlah 8 orang. Lingkungan yang over crowded merupakan
194
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
lingkungan yang tidak sehat karena kurangnya oksigen. Bila salah satu anggota keluarga terkena infeksi maka ia akan mudah menularkan kepada anggota keluarga lain. Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Brazil mendapatkan bahwa lingkungan padat berisiko 2,5 kali terjadinya kematian pada penderita pneumonia (Victora CG., et al , 1994). Ketiadaan sentuhan imunisasi pada neonatus, bayi dan balita di Etnik Baduy Dalam salah satu faktor risiko kejadian pneumonia. Prosesi melahirkan yang dilakukan secara mandiri dan pemilihan penolong persalinan bukan ke tenaga kesehatan tentunya imunisasi tak menjangkau mereka. Selain itu imunisasi sebagai upaya pencegahan terhadap berbagai penyakit infeksi yang terjadi pada usia balita sama sekali belum diterima oleh masyarakat Etnik Baduy Dalam. Status imunisasi, kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat dijumpai pada balita umur 5-9 bulan, dengan adanya kekebalan ini balita terhindar dari penyakit. Dikarenakan kekebalan bawaan hanya bersifat sementara, maka diperlukan imunisasi untuk tetap mempertahankan kekebalan yang ada pada balita (Depkes RI., 2004). Umur merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia. Risiko untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak umur dibawah 2 tahun dibandingkan yang lebih tua, hal ini dikarenakan status kerentanan anak di bawah 2 tahun belum sempurna dan lumen saluran napas yang masih sempit (Daulaire, 2000). Salah satu ayah yang baru dikarunia satu orang anak dan harus merelakan anaknya meninggal karena pneumonia menceriterakan kronologisnya. Anaknya yang baru genap satu bulan usianya sebelum meninggal menderita pilek dan batuk disertai eungap atau sesak nafas. Informan menjelaskan, sebelum anaknya sakit dirinya terlebih dahulu mengalami sakit.
195
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Sakit yang dirasakannya mulai pusing, mual, badan panas sampai tidak sadarkan diri. Setelah agak baikan, sakitnya berpindah ke anaknya dan akhirnya meninggal demikian penuturannya. Ketika ditanya kenapa tidak dibawa ke fasilitas pelayanan kesehatan, jawaban informan menyatakan bahwa akan jauh lebih ribet urusannya ketika anaknya meninggal di luar (luar wilayah Baduy Dalam). Ribet karena melanggar aturan adat, persepsinya akan dirujuk ke RSUD yang harus menggunakan kendaraan roda 4. Sehingga dihukum keluar kampung selama 40 hari sesudahnya dan ditambah prosesi harus beberes, yaitu membersihkan diri dengan ada biaya yang harus dikeluarkan tentunya. Jadi menurutnya, sebisa-bisa diobati di dalam saja, kalaupun meninggal memang sudah waktunya. Ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan yang disesuaikan dengan adat-pun tidak serta merta menggugah perilaku pencarian pengobatan masyarakat Baduy Dalam. Kondisi penyakit parah yang sudah mengakibatkan lima orang meninggal dunia, pun belum dapat menggugah kesadaran untuk berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan. Berikut pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak, dengan respon cepat tim Dinkes terkait kasus pneumonia. Namun respon cepat tersebut masih menemui kendala di lapangan. “Kita sudah membangun... kenapa kita membangun tempat perawatan sederhana dan mengikuti adat istiadatnya orang Baduy… tapi ternyata tidak mau dirawat disana, ditarik ke sini itu… itu tidak bisa ya dok. Yah… tidak bisa… dengan banyak alasan… Tabu lah… teu wasa lah… ya itu bahasa… bahasa dia… Kalau sudah menyebut “teu wasa”, kita sudah gak bisa maksa… gitu kan? yang itu juga untung gitu ada atu pasien yang bisa diinfus yah… itu… itu saya bersyukur… mau diinfus aja kita sudah bersyukur…”
196
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
3.8.3. Anak dan Kecacingan Infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan infeksi tersering dan terbanyak diantara infeksi parasit lain. Penyakit kecacingan yang biasanya menyerang pada anak-anak adalah cacing gelang, cacing cambuk, dan cacing tambang. Infeksi kecacingan ini terjadi oleh karena masuknya parasit (berupa cacing), baik cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Necator americanus) ke dalam tubuh manusia.
Gambar 3.26. Anak Bermain di Kampung Cisadane Baduy Luar Sumber : Dokumentasi Peneliti
Penyakit kecacingan lebih banyak menyerang pada anakanak sekolah dasar dikarenakan aktifitas mereka yang lebih banyak berhubungan dengan tanah. Cacing sebagai hewan parasit tidak saja mengambil zat-zat gizi dalam usus anak, tetapi juga merusak dinding usus sehingga mengganggu penyerapan zat-zat gizi tersebut. Anak-anak yang terinfeksi cacingan biasanya mengalami: lesu, pucat atau anemia, berat badan menurun, tidak 197
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
bergairah, konsentrasi belajar kurang, kadang disertai batukbatuk (Iwan, 2008). Kecacingan disebut dengan cacingeun menurut Informan [AA, 54 tahun], anak yang mengalami cacingan menunjukkan gejala anak tampak kurang bergairah, lemas, mata pucat, perut kembung atau membesar. Apabila makan, tidak lama kemudian dimuntahkan kembali. Pengobatan secara tradisonal dilakukan dengan ramuan daun areuy bau atau tuak kasungka bisa juga dengan tuak akar picung bera salah satu diantaranya saja. Waktu yang dibutuhkan untuk sembuh lebih kurang selama 7 hari, ditandai dengan ditemukan cacing bersamaan dengan keluarnya tinja. Apabila cacing yang keluar bersama tinja dalam kondisi mati dikatakan “jelek” yang artinya masih banyak cacing didalam tubuh si anak. Sebaliknya apabila cacing yang keluar bersama tinja masih hidup berarti “bagus” bahwa cacing dalam tubuh si anak sudah habis. Selain dari cacing yang keluar bersama tinja, konstitensi tinja juga dijadikan indikator kesembuhan. Apabila tinja cair berarti belum sembuh, tapi kalau sudah padat berarti bagus. Informan [AA] menuturkan pula berdasarkan pengalaman yang anaknya yang pernah terserang penyakit cacingan, bahwa saat ini relatif mudah untuk pengobatan. Cacingan bisa disembuhkan dengan mengkonsumsi obat warung katanya. Akses memperoleh obat warung untuk cacingan juga mudah, saat ini tersedia di pedagang dari luar Baduy yang berjualan di kampung mereka. Obat yang biasa digunakan adalah obat cacing merk Askamex dan obat cacingan cap budak hideung. Selain beli juga terkadang ketika ada petugas kesehatan kunjungan, ada pembagian obat cacing diberi oleh Bu Eros (Bidan Koordinator Puskesmas Cisimeut). Namun AA menambahkan, apabila sudah parah sakit cacingeun-nya meskipun diberi obat apa aja tetap saja cacing
198
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
tidak mau keluar lewat tinja. Kejadian ini pernah terjadi lebih kurang 5 tahun yang lalu sampai mengakibatkan kematian.
Gambar 3.27. Tanaman Kasungka, Obat Cacing Sumber : Dokumentasi Peneliti
Gambar 3.28. Obat Warung Kecacingan yang Dikonsumsi Masyarakat Baduy Dalam Sumber : Dokumentasi Peneliti
199
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Selain cacingeun nama lain kecacingan adalah “goreng beuteung” menurut informan [AA] dari Kampung Cikartawana. Gejala yang disebutkan bersesuaian dengan penuturan informan sebelumnya. “…Cirina budak kaciri layu, teu napsu dahar, leuleus, beuteung citreuk, bujur peot. Ubarna tuak kasungka, cacing kaluar lewat tinja...”.
Informan menyebutkan bahwa penyebab goreng beuteung adalah makan ikan ketika masih kecil sehingga ketika besar menderita cacingan. Selain diobati menggunakan ramuan tradisional terkadang diobati dengan mengkonsumsi obat warung. Sama dengan apa yang diinformasikan oleh informan sebelumnya obat warung diminum adalah Askamex dan obat cacing cap budak hideung. Anak dikatakan sembuh atau cocok obatnya apabila cacing keluar bersama dengan tinja dan sudah dalam kondisi mati. Cacingan biasanya menyerang anak usia 3 tahun ke bawah, lebih dari 4 tahun tidak. Sebagai upaya pencegahan yang dilakukan dengan secara rutin mengkonsumsi tuak kasungka 2-3 x /minggu maka dapat terhindar dari penyakit cacingan. 3.8.4. Si Kecil Kutil Kutil adalah pertumbuhan kulit yang tidak wajar berbentuk kecil dan keras yang disebabkan oleh infeksi virus di lapisan atas kulit atau di selaput lendir. Penyakit ini termasuk dalam kelompok penyakit papilomavirus. Penyebab penyakit kutil adalah virus kutil yang di sebarkan oleh sentuhan, tetapi dapat memakan waktu beberapa bulan bagi kutil untuk tumbuh cukup besar dan terlihat. Biasanya kutil sewarna dengan kulit dan bertekstur kasar meskipun, ada yang berwarna gelap dan halus serta rata. Kebanyakan kutil lambat laun hilang dengan sendirinya, tetapi
200
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
kita harus berhati-hati, karena menggaruk atau mengorekya dapat menyebarkan kutil dan karenanya harus dicegah. Penyebab penyakit kutil adalah Human Papilloma Virus (HPV). [http://penyakitkutil.com/]. Dalam istilah medis penyakit ini yang biasa disebut penyakit papilloma. Penyebab penyakit kutil adalah Papilloma sebenarnya sejenis tumor jinak pada kulit, berasal dari penebalan lapisan luar kulit yang berlebihan. Bentuk kutil ini bisa bermacam-macam. Bisa besar atau kecil. Biasanya kalau dipegang tidak sakit, dan bila sudah membesar bisa berdarah kalau lecet. Bila sudah besar bentuknya seperti bunga kol.
Gambar 3.29. Penderita Kutil pada Remaja Etnik Baduy Dalam Sumber : Dokumentasi Peneliti
Sifat dari penyakit kutil yang self limiting disease atau sembuh dengan sendirinya dianggap bukan penyakit berbahaya bagi masyarakat Baduy. Selain itu stigma terhadap penderita sama sekali tidak ada, penderita tetap diterima oleh lingkungannya. Seperti yang diungkapkan oleh [Y] yang memiliki
201
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
seorang bocah laki-laki [S] berusia 13 tahun terinfeksi kutil, disebutkan jika penyakit yang ada di kaki anaknya itu penyakit biasa saja dan akan sembuh sendiri atau disebut kalamian cageur sorangan. Informan [A,18 tahun] warga Kampung Cibeo di kaki sebelah kirinya tampak banyak benjolan kecil-kecil menonjol diatas permukaan kulit, keras dan tidak dirasakan sakit akibat benjolan tersebut. Menurutnya sakit yang dialami disebut “penyakit tiis”, penyakit tiis tersebut kambuhan yang kedua. Ketika berusia 15 tahun pernah mengalami dan bersih disaat usia 17 tahun. Saat inipun awalnya cuma satu katanya, karena digaruk, berdarah malah semakin banyak. Semakin tumbuh suburnya benjolan keras tersebut dikarenakan akarnya tidak tercabut. Pengobatan yang pernah dicoba dengan cara diobati sendiri menggunakan cengek atau cabe rawit. Beberepa cabe rawit digerus dan dioleskan ke bagian yang luka tentu saja efek yang terasa adalah panas, namun belum menunjukkan kesembuhan. Penyebab secara pasti penyakit tiis yang dimilikinya dia sendiri tidak tahu, namun untuk yang kedua kalinya diyakininya karena masih ada sisa yang pertama kali dan masih ada akar yang tertinggal. Munculnya penyakit kutil terkait personal hygiene individu, informan [A, 18 tahun] menjelaskan bahwa mandi dilakukan satu hari dua kali yaitu pagi hari pukul 06.00 dan sore hari pukul 16.00. Baju pun ganti dua kali sehari setiap kali habis mandi. Mandi hanya pake air saja, sedangkan sikat gigi menggunakan sabut kelapa. Demikian juga untuk cuci tangan dan mencuci baju hanya pake air saja. Menurut pengakuannya ia memiliki 6 stel baju, 4 stel baju untuk sehari-hari dan 2 stel baju untuk ke ladang/huma. Namun baju yang untuk ke ladang dicuci setelah dipakai 2-3 kali.
202
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
3.9. Penyakit Tidak Menular Saat ini Penyakit Tidak Menular (PTM) telah berkembang menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di Indonesia, hal ini ditandai dengan bergesernya pola penyakit secara epidemiologi dari penyakit menular ke penyakit tidak menular yang secara global meningkat. Berdasarkan data dari Puskesmas tidak ditemukan adanya kasus penyakit tidak menular. Namun tidak adanya kasus ini bukan berarti tidak ada, perlu ditindaklanjuti dengan survey untuk menjaringnya. Hal ini terkait perilaku pencarian pengobatan masyarakat Etnik Baduy Dalam yang lebih memilih diobati sendiri atau ke dukun yang ada di Kampung Tangtu. Secara umum pada masyarakat Baduy Dalam jarang ditemukan kasus penyakit tidak menular. Selain ini aktifitas sehari – hari yang mereka lakukan, pergi ke huma (kebun) yang jaraknya antara satu kilometer sampai dengan empat kilometer naik turun bukit dan tidak menggunakan alas kaki, membawa kayu bakar, ada juga yang tiap hari pergi ke Ciboleger untuk mengantar tamu yang hendak main ke kampung Baduy Dalam yang jaraknya sekitar empat kilo, cara hidup masyarakat Baduy Dalam yang sangat sederhana, pola berpikirnya sederhana tidak terlalu memikirkan hal-hal yang rumit, makanan yang dikonsumsi tidak mengandung bahan yang berbahaya (alami), termasuk obat – obatan yang di gunakan semuanya dari tumbuh – tumbuhan yang ada di perkampungan Baduy Dalam.
203
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
204
BAB 4 PIKUKUH BUDAYA KESEHATAN IBU DANANAK
4.1. Antara Tradisi dan Kesehatan Apakah yang terbersit ketika disebut kata bidan? Apa pula yang terlintas ketika mendengar kata persalinan? Kedua kata tersebut bagi kita seperti kata makan dan minum saja selalu beriringan, terkait, terkoneksi satu dengan lainnya meskipun tidak pakai janjian. Bahasan kali ini lebih kepada berbagi kisah para tenaga kesehatan di baris depan dalam menjalankan tugas menolong persalinan. Kemudian, apakah kisahnya akan tampak biasa saja? toh memang profesinya seorang bidan menolong persalinan. Namun ini bukan hanya sekedar kisah, karena para pelakunya adalah orang pilihan pun yang ditolongnya adalah yang dipilihnya. Berharap kisah ini mengarah ke perubahan yang lebih baik bagi mereka dan supaya kita sesekali bisa menempatkan kaki di sepatu orang lain. Berbicara tentang persalinan tidak terlepas dari kodrat kaum perempuan sebagai ibu yang melahirkan generasi penerus keturunan. Ketika hendak melahirkan perasaan takut, bahagia, cemas berkecamuk menjadi satu. Apakah masih perlu ditanya, mengapa…? kompleksitas permasalahan seputar persalinan membawa seorang ibu dihadapkan pada pertaruhan hidup dan mati. Begitu banyak faktor mempengaruhi keberhasilan proses
205
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
persalinan, baik dari faktor internal ibu sebagai subyek dan faktor eksternal yang salah satunya adalah adanya tradisi. Pertanyaan selanjutnya, ada apa dengan tradisi…? Lalu bagaimana dengan tradisi dalam persalinan..? tradisi sebagai warisan leluhur sampai saat ini sebagian masyarakat memilih cukup dengan mengetahuinya tanpa harus mengikuti. Sebagian lainnya masih memelihara dengan rapi sebagai pelaku tradisi itu sendiri. Etnik Baduy Dalam yang menasbihkan sebagai asal muasal lahirnya Etnik Sunda merupakan salah satu pelaku tradisi yang kuat memegang teguh tradisi dalam kehidupan sehariharinya termasuk tradisi dalam persalinan. Sebagai pelaku tradisi, masyarakat Baduy Dalam menerima dan menjalaninya saja. Tidak berlaku pertanyaan “mengapa?...” meskipun seringkali tradisi tidak sejalan dengan logika, karena dalam tradisi hanya ada kepatuhan terhadap aturan adat mutlak atau PIKUKUH. Kekhasan prosesi melahirkan yang dilakukan sendiri tanpa pertolongan ataupun pendampingan siapapun, kemudian lama waktu menunggu kedatangan paraji sebagai orang yang bertugas melakukan perawatan pada ibu dan bayi yang sangat situasional bisa antara 1-6 jam. Lalu, bagaimana kondisi ini bila dilihat dari perspektif medis? hasil riset menunjukkan hampir separuh dari semua kematian bayi yang baru lahir terjadi sekitar 48 jam kelahiran pertama. Berdasarkan fakta ini lah yang melatar belakangi topik Kesehatan Ibu dan Anak dipilih sebagai tematik dalam riset etnografi kesehatan ini. 4.2. Studi Kasus Persalinan Misna, Kampung Cipaler Baduy Luar Prosesi melahirkan Etnik Baduy Dalam dan Luar tidak ada perbedaan yang prinsip, setiap tahapan dalam pikukuh dilalui sama. Adapun yang melatarbelakangi pemilihan studi kasus di Kampung Cipaler adalah pada saat pengumpulan data riset
206
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
ethnografi kesehatan dilakukan diketahui ada ibu hamil yang sedang “bulannya” atau tidak lama lagi akan bersalin. Pendokumentasian dapat dilakukan, meski ijin diperoleh lumayan alot. Kampung Cipaler salah satu dari 59 kampung yang didiami oleh Etnik Baduy Luar di desa Kanékés. Untuk menuju ke desa Kanékés dari basecamp tempat tinggal tim peneliti harus ditempuh menggunakan sepeda motor lebih kurang 30 menit, dan dilanjutkan dengan berjalan kaki sepanjang 2 kilometer. Tanjakan lumayan curam nyaris 60 derajat harus kami lalui, namun sesampainya di sana terbayarkan sudah rasa lelah itu. Lumbung padi atau leuit adalah hadiah pertama yang kami terima. Selanjutnya sesaat sebelum memasuki Kampung Cipaler, kami disuguhi view hamparan berjajar rumah adat yang tertata sangat apik.
Gambar 4.1. Kampung Cipaler Baduy Luar Sumber : Dokumentasi Peneliti
Pasangan muda Misna usia 20 tahun dan suaminya berusia 22 tahun, merupakan salah satu warga Kampung Cipaler. Mata pencaharian suami Misna adalah sebagai petani dan Misna
207
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
sebagai isteri tidak bekerja hanya membantu suami di ladang atau huma. Misna menikah di usia 17 tahun, saat itu tidak langsung diberi keturunan. Masa kekosongan (tidak hamil) dijalani satu tahun saja, pada usia 18 tahun Misna-pun hamil. Namun anak pertama tidak bertahan hidup lama, pasangan ini hanya menjawab meninggal saat lahir atau disebut paeh sabragna. Kehamilan Misna kali ini adalah kali kedua, tampak raut muka trauma menyisakan cukup jelas.Ketegangan semakin jelas detik-detik menuju persalinan, ketegangan tidak hanya pada Misna dan suaminya namun juga dirasakan oleh Ibu Misna atau Ambu. Sayang prosesi melahirkan tidak diperkenankan untuk didokumentasikan, sesaat setelah bayi lahir, barulah diijinkan untuk mendekat. Rumah tampak ramai dikerumuni oleh tetangga, keluarga dan anak kecil sekitar rumah Misna. Keramaian terjadi karena berita tersebar bahwa akan dilakukan pendokumentasian terkait prosesi kelahiran bayi Misna. Ketika memasuki rumah Misna, tidak nampak suaminya. Ambu menginformasikan bahwa suami Misna sedang mencari Paraji untuk merawat pasca kelahiran baik pada Misna dan bayinya. Tidak adanya paraji di Kampung Cipaler, maka suami Misna harus mencarinya ke kampung terdekat. Kampung terdekat dari Kampung Cipaler adalah Kampung Cijanar. Apabila paraji di Kampung Cijanar tidak bisa membantu maka harus mencari ke kampung lainnya yang terdekat. Pencarian kedatangan paraji dilakukan dengan berjalan kaki pergi dan pulangnya. Bisa dibayangkan berapa lama Misna harus menunggu kedatangan dukun paraji untuk merawat dia dan bayinya, satu jam? Dua jam? …bukan! tapi 3 jam lebih”. Selama itu pula Misna dan bayinya hanya bisa diam dan menunggu. Misna dengan posisi duduk bersandar pada bantal yang ditahan oleh tas besar
208
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
tempat menyimpan pakaian. Sedangkan bayinya juga hanya bisa sesekali menangis kehausan dan kedinginan hanya ditutupi samping atau kain ala kadarnya. Terlihat jelas, darah yang keluar bersamaan saat bayi lahir masih menempel di sekujur paha sampai telapak kaki. Misna hanya dibalut samping untuk menutupi tubuhnya.
Gambar 4.2. Pasca Persalinan Menunggu Paraji Sumber : Dokumentasi Peneliti
Selama itu pula kami sebagai peneliti hanya bisa menahan air mata ketika mendampingi langsung setiap detik yang dilalui Misna dan bayinya selagi menunggu kedatangan suami Misna dan paraji. Dalam hati tidak berhenti berdoa untuk keselamatan Misna dan bayinya dan berharap suami Misna segera datang. Tiga jam lebih berlalu, yang dinanti akhirya datang dengan kabar gembira. Ya, paraji itu tengah duduk di tengah rumah sambil
209
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
mengatur nafas setelah berjalan jauh, Nini Sami namanya. Nini Sami adalah dukun paraji dari Kampung Cijanar sudah lebih dari 20 tahun menjalani profesinya. Nini sendiri dikaruniai 8 orang anak, melahirkan 10 orang anak dan dua meninggal dunia. Wilayah kampung CIkadu, Cijengkol, Ciranji dan Cipaler. Profesi dukun paraji dijalani ada teureuh/turunan dari neneknya yang saat ini sudah meninggal. Ritual yang harus dijalani Misna dan bayinya selanjutnya setelah hari itu adalah peureuhan tilu peuting (pada hari ketiga); peureuhan tujuh peuting (pada hari ketujuh) dan angiran (pada hari ke 40). Pada hari ketiga dan ketujuh, Nini Sami yang datang ke rumah Misna, namun untuk prosesi angiran Misna yang mendatangi Nini Sami karena dianggap fisiknya sudah kuat untuk berjalan jauh.
Gambar 4.3. Memotong tali ari-ari menggunakan bambu Sumber : Dokumentasi Peneliti
210
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
4.3. Bidan Tenaga Kesehatan di Baris Depan Eros Rosita, SKM, bidan koordinator di Puskesmas Cisimeut putri Mantri Idi Rosidi mungkin namanya sudah tidak asing lagi bagi pemerhati Etnik Baduy. “Bidan Ros “ begitu namanya dikenal seantero wilayah ulayat Baduy. Sebelum bertugas di Puskesmas Cisimeut, Bidan Ros pernah bekerja di Puskesmas Cimanggu, Pandeglang selama tiga tahun dari tahun 1994-1996. Sebelum Bidan Ros bertugas di Puskesmas Cisimeut, bidan sebelumnya adalah Bidan Herni yang pindah ke Sukabumi. Waktu itu belum ada Puskesmas, tapi masih Pondok Bersalin Desa, ketika Bidan Ros pertama kali bertugas di wilayah Baduy. “Hari-hari gak pernah tinggal dirumah... saya selalu keliling ke kampung memperkenalkan... meskipun hanya satu kali berkunjung tapi dia mengenang ... oh pernah ada bidan disini… gitu.. walaupun hanya satu kali... gitu... karena kan untuk satu bulan sekali gak bakalan kekejar gitu ya, apalagi Baduy Dalam kan…”
Pendekatan dilakukan Bidan Ros dengan cara berkeliling dari kampung yang satu ke kampung lainnya. Belajar dari ayahnya yang dikenal dengan sebutan Mantri Rasidi, bahwa masyarakat Baduy Dalam untuk dapat menerima pelayanan kesehatan modern harus ada bukti seperti kesembuhan penderita frambusia. “…untuk yang Baduy luar kenapa dia mau ke bidan, kena persalinan, tentang itu karna ada bukti dulu. Karna masyarakat disanakan harus ada bukti sembuh dulu... Kalau yang namanya imunisasi kan untuk pencegahan saja ya… kalo yang namanya penyakit begitu dia sakit diobati langsung sembuh, dia akan yakin. Hah... pertama itu ada yang melahirkan dulu... dari yang melahirkan bahwa ditolong oleh bidan tidak terjadi infeksi tidak terjadi apa-apa... dia sendiri yang
211
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
membicarakan ke temannya... bahwa lahir di bidan itu... begini-begini... nah anak tersebut yang saya kejar, imunisasi... jadi kalo ada efek panas efek apa kasih tau gitu... ini gak apa-apa... jadi dia sendiri juga... ternyata di imunisasi nih kaya begini... sehat... gitu jadi harus ada bukti dulu... gitu…”
Gambar 4.4. Bidan Koordinator Puskesmas Cisimeut Sumber : Dokumentasi Peneliti
Untuk Etnik Baduy Dalam setelah persalinan perawatan dilakukan oleh dukun paraji, terpikirkan untuk persalinan di bidan hanya jika ada faktor penyulit saja. Pernah ada kasus di salah satu Kampung Tangtu (Baduy Dalam) yaitu kejadian retensio plasenta. Retensio Plasenta, dimana plasenta belum keluar setelah bayi lahir. Keterangan dari Bidan Ros, waktu itu sampai dengan 3 hari masih didalam rahim ibu, kondisinya sampai muncul bau busuk dan ada belatungnya.
212
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
“…masa ampas kelapa begini, diguyur aja pake betadine sama alkohol jadikan mati... pak. Terus mulai tuh... dari ari-arinya kan udah hitam... merayap pada keluar... mungkin panas yaah... orang dokter aja sampe mutahmuntah... pak. Ueeh… bau banget”
Setelah ditangani, dengan dirujuk ke RSUD Ajidarmo ibu dan bayinya selamat. Bidan Ros dengan temannya Bidan Yeni, menanggung semua biaya akomodasi dan keperluan ibu selama perawatan. Perawatan pasca persalinan-pun tidak dapat dilakukan di Kampung Tangtu tempat tinggal ibu tersebut. Hukuman yang dijalani selama 40 hari karena melanggar aturan adat dengan menaiki mobil ketika menuju ke RSUD dihabiskan di rumah Bidan Ros. “…mereka gak punya... gitu kan... udah neng… yang satu bidannya beliin nasi, makanan, aqua... buat dia di situ nunggu... jadi kita sampe ke situ... sebabnya apa… ya tadi tea pak, kalo misalnya kita sampe enggan ke situ.... dia kan orang awam… orang yang tidak paham... kalo kita cuekkan… seperti itu... dia kan kapok gitu... kalo misalnya kita gini mah kan… itu punya cerita tersendirikan?! ternyata disitu juga sama bidan diurusin sampe kesitu... jadikan ada bahasa menolak entar ke Rumah Sakit…”
Kisah pertolongan persalinan yang dilakukan Bidan Ros menjadikannya salah satu tokoh penembus halimun Baduy. Kegigihannya membekas bagi masyarakat Baduy Dalam. Tenaga kesehatan datang dan pergi di Puskesmas Cisimeut, namun tidak banyak nama yang diingat lekat oleh masyarakat kampung Tangtu. Sampai saat ini setiap permasalahan kesehatan di Kampung Tangtu orang-orang seperti Mantri Rasidi dan Putrinya Bidan Ros lah yang ada di baris depan.
213
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Perlahan memang perubahan dirasakan, sentuhan pelayanan kesehatan modern bagi mereka masyarakat Baduy Dalam bukan hal yang mustahil lagi. Halimun itu masih ada, lebih dari sekedar waktu yang dibutuhkan untuk perubahan kedepannya. Tentunya didukung oleh orang-orang pilihan, “ditunggu Bidan Ros – Bidan Ros yang lain!” “…jangankan Baduy Dalam… luar juga yah… kitanya yang harus mengalah… orang lain istirahat di hari minggu, kita nyobain di saat hari kerja, sedikit balitanya… karena dia kan ke itu…
Minggu berangkat kan…. terus untuk pengobatan di Baduy Dalam itu misalkan seperti tadi… kalo pingin berhasil, apapun yang dia larang harus kita ikuti… biarpun di lumbung padi banyak nyamuk itu kayak gitu kan… jadi bertahap… kayak gitu… tadi teh kata kepala Puskesmas bilang, begitu laporan hari ini dia melaporkan kita misalkan tidak besok nya pergi apa yang akan terjadi? Pikirannya berbeda, berarti pemerintahan tidak memperhatikan gitu kan kayak gitu …”
4.4. Perspektif Etik Budaya Kesehatan Ibu dan Anak Etnik Baduy Dalam Hasil wawancara mendalam kepada 10 orang informan di salah satu Kampung Tangtu (Baduy Dalam), diperoleh fakta bahwa jumlah anak yang dilahirkan lebih banyak dibanding dengan anak yang dimiliki saat ini. Rentang usia anak yang meninggal 4 kasus masuk dalam kategori neonatus yaitu anak meninggal diusia antara 0-28 hari. Sedangkan dua kasus meninggal di usia kurang dari dua tahun (<24 bulan), 3 kasus lainnya terjadi di usia balita (> 24 bulan) dan satu kasus di usia anak saat berumur 9 tahun. Banyak faktor yang terkait dengan kematian bayi. Secara garis besar penyebabnya ada dua macam yaitu kematian
214
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
endogen dan kematian eksogen. Kematian bayi endogen atau yang umum disebut kematian neonatal adalah kematian yang terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa anak sejak lahir, yang diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi atau didapat selama kehamilan. Kematian eksogen atau kematian post neonatal adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia satu bulan sampai menjelang usia satu tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh lingkungan luar (Utomo, 1988). Kasus kematian bayi diusia neonatus yang terjadi di Kampung Baduy Dalam seperti diuraikan diatas salah satu faktor risiko yang menjadi penyebab adalah anak sejak lahir berasal dari orang tuanya yaitu kondisi Ibu baik sebelum konsepsi dan selama kehamilan. Benang kusut ini dapat diuraikan satu per satu sebagai berikut, pertama adalah usia saat pertama kali Ibu mulai hamil. Sebagian besar usia perempuan Baduy Dalam ketika memutuskan untuk menikah yaitu usia antara 14 sampai dengan 16 tahun, meskipun ada juga yang lebih awal dan lebih dari 16 tahun. Selanjutnya dapat di prediksi pada usia berapa para Ibu muda yang tergolong usia remaja tersebut memasuki tahapan berikutnya sebagai seorang perempuan yaitu masa kehamilan pertama kali. Berdasarkan usia menikah tentu saja ada yang tidak lama setelah menikah ada pula satu atau dua tahun menunggu hingga baru diberi kepercayaan untuk hamil. Sehingga rata-rata usia hamil pertama kali masih sama rentangnya dengan usia menikah pertama kali yaitu antara usia 14 sampai dengan 16 tahun. Umur ibu kurang dari 20 tahun belum cukup matang dalam menghadapi kehidupan sehingga belum siap secara fisik dan mental dalam menghadapi kehamilan dan persalinan. Pada umur tersebut rahim dan panggul ibu belum berkembang dengan
215
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
baik hingga perlu diwaspadai kemungkinan mengalami persalinan yang sulit dan keracunan kehamilan atau gangguan lain kerena ketidaksiapan ibu untuk menerima tugas dan tanggung jawabnya sebagai orang tua (Depkes RI, 2001). Selain usia faktor lainnya adalah paritas dan jarak antar kelahiran. Paritas merupakan jumlah persalinan yang dialami oleh ibu ada tiga kategori paritas. Kehamilan yang paling optimal adalah kehamilan kedua sampai keempat. Kehamilan pertama dan setelah kehamilan keempat mempunyai risiko yang tinggi. Grande multi para adalah istilah yang digunakan untuk wanita dengan kehamilan ke-lima atau lebih. Kehamilan pada kelompok ini sering disertai penyulit, seperti kelainan letak, perdarahan ante partus, perdarahan post partum dan lain-lain (Martadisoebrata, 2005). Tradisi yang dipegang teguh oleh perempuan masyarakat Baduy Dalam salah satunya adalah tidak mengadopsi kemajuan teknologi yang ada, diantaranya penggunaan alat kontrasepsi untuk merencanakan dan mengatur jumlah anak. Di samping itu, anak memiliki makna sebagai rezeki dan amanah Tuhan dimana tidak ada dalam kamus mereka menunda ataupun mengatur jumlah dan jarak kelahiran anak. Fenomena ini berdampak terhadap banyaknya anak yang dimiliki dan jarak kelahiran yang dekat antara anak yang pertama dan berikutnya. Berikut salah satu informan bernama AK [30 tahun] mempunyai 6 orang anak yaitu K (laki-laki, 12 tahun); J (perempuan, 10 tahun), J (perempuan 8 tahun), K (laki-laki, 7 tahun), J (perempuan, 3 tahun) dan S (laki-laki, 3 bulan). Dapat digambarkan di usia AK yang termasuk Wanita Usia Subur (WUS) sudah mempunyai 6 orang anak dan masih produktif untuk menambah anak lagi. Justru kondisi demikian merupakan salah satu faktor risiko penyebab kejadian kematian Ibu dan Anak.
216
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Selain faktor usia Ibu saat hamil, paritas dan jarak antar kelahiran berdasarkan beberapa pendapat (Utomo, 1988; WHO, 2001 dan Prameswari, 2007) bahwa faktor yang sangat berhubungan dengan kematian perinatal yaitu pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan disini meliputi kunjungan antenatal care dan penolong persalinan. Perilaku pencarian pengobatan masyarakat Baduy Dalam yang telah diuraikan di Bab sebelumnya mempunyai prinsip sebisa bisa diobati dengan ramuan tradisional berasal dari dukun dan paraji (dukun beranak) di kampung sendiri. Bagi mereka mengakses fasilitas pelayanan kesehatan merupakan alternatif paling akhir, meski seringkali tidak dipilih. Pelayanan kesehatan bagi masyarakat Baduy Dalam, dilakukan dalam satu tahun minimal tiga kali selain kunjungan tenaga kesehatan yang bersifat insidentil dan situasional. Kegiatan pelayanan kesehatan tidak dikhususkan kegiatan Posyandu saja namun lebih situasional. Situasional disini maksudnya tergantung dengan kondisi situasi kesehatan masyarakatnya saat kunjungan tenaga kesehatan berlangsung. Para tenaga kesehatan yang datang haruslah sebisa mungkin melakukan pelayanan sesuai kebutuhan mereka saat itu. Selain situasional juga pelayanan kesehatan di masyarakat Baduy Dalam terbatas dengan tetap memperhatikan pikukuh adatnya tidak terlanggar. Penggunaan alat-alat kesehatan yang modern seperti penggunaan tensimeter, timbangan badan, stetoskop, infus, suntik dan alat-alat lainnya tidak diijinkan oleh aturan adat. Sehingga bentuk pemeriksaan kesehatan disana berdasarkan keluhan yang mereka rasakan. Meskipun penerimaan terbuka terhadap obat modern, namun tetap tidak semua jenis obat mereka mau mengkonsumsinya. Hal ini terkait dengan persepsi “obat manjur” yang mereka pahami, bahwa obat dikatakan cocok
217
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
apabila hanya dalam waktu hitungan 1-2 hari bisa menyembuhkan mereka. Demikian pula untuk perawatan Ibu hamil dan pertolongan kehamilan. Tidak adanya kegiatan Kunjungan Neonatal (KN) dan pemilihan penolong persalinan ke paraji tentunya pemberian tablet FE, pemantauan tekanan darah ibu hamil, kunjungan bayi dan imunisasi tidak terjadi. Sesuai dengan yang dikeluhkan Bidan Ros terkait rendahnya cakupan imunisasi Puskesmas Cisimeut karena selalu tidak memenuhi cakupan.
Gambar 4.5. Obat-obatan yang Dibawa dalam Kegiatan Pemeriksaan Kesehatan di Baduy Dalam Sumber : Dokumentasi Peneliti
“..Nah imunisasi kita pasti rendah karena kan kita sasaran tinggi pelayanannya tidak semuanya.... gitu pak... terutama kan Baduy Dalam tidak sama sekali di imunisasi.... tidak tiap bulan di periksa... otomatis pencakupan pasti akan rendah..... sedangkan sasaran Pemerintah tinggi...”
218
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Kekhasan prosesi melahirkan yang dilakukan sendiri tanpa pertolongan ataupun pendampingan siapapun salah satu faktor risiko pemungkin terjadinya kasus kematian Ibu dan Anak. Paraji sebagai penolong persalinan bagi ibu melahirkan di Baduy Dalam datang merawat setelah bayi lahir, itupun ibu harus menunggu dengan lama waktu yang situasional. Seperti yang dijelaskan Bidan Eros berikut : “…kalo disana di dalem itu dia kadang lahiran sendiri... kadang di tolong oleh Ibunya saja, di saat semuanya udah keluar baru manggil paraji... itu di dalem sampe saat ini pun… Kalo di Dalem masih belum bisa berubah, kan 1 gak ada komunikasi, kalo di luar udah ada alat komunikasi…”
Pengendalian kematian perinatal akan berkontribusi sangat besar terhadap penurunan AKB. Penurunan kematian perinatal sangat ditentukan oleh penatalaksanaan kesehatan ibu pada saat kehamilan, menjelang persalinan dan setelah persalinan. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa kelangsungan hidup pada masa perinatal juga dihubungkan oleh sejumlah faktor meliputi karakteristik demografi dan sosial ibu, riwayat kesehatan reproduksi ibu, kondisi kesehatan bayi dan lingkungan tempat tinggal (Prameswari, 2007). Kasus kematian bayi dan balita yang terjadi di masyarakat Baduy Dalam di tahun 2012 dan 2014, berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak di diagnosis sebagai bronkopneumonia. Faktor risiko kejadian Pneumonia berat salah satu satunya adalah ketiadaan imunisasi dan ASI eksklusif. Hal ini dapat dijelaskan dengan belum terbentuknya antibody pada bayi dan balita tentunya antibody dari imunisasi dan pemberian ASI eksklusif merupakan alternatif upaya pencegahan terjadinya kejadian pneumonia berat. Namun sekali lagi pikukuh adat yang
219
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
membuat masyarakat Baduy Dalam belum mau menerima adanya imunisasi dan pemberian ASI eksklusif. Mosley and Chen (1988) menyatakan bahwa faktor sosial ekonomi dan budaya mempengaruhi kelangsungan hidup anak melalui berbagai faktor. Faktor faktor tersebut antara lain adalah faktor ibu, faktor lingkungan, kekurangan gizi, trauma dan upaya pencegahan dari individu itu sendiri. Faktor ibu adalah termasuk umur ibu, paritas dan jarak kehamilan, sedangkan faktor upaya pencegahan penyakit individu yaitu termasuk imunisasi dan pengobatan (Singarimbun, 1988). 4.5. Potensi dan Kendala Budaya dalam Pembangunan Kesehatan Ibu dan Anak Analisis potensi dan kendala dilakukan berdasarkan Fred B.Dunn (1976) dan Nico S. Kalangie (1994) bahwa faktor-faktor perilaku manusia yang mempengaruhi kesehatan dapat digolongkan dalam dua kategori, yaitu perilaku yang terwujud secara sengaja dan sadar dan perilaku yang terwujud secara tidak sengaja dan tidak sadar. Tabel 4.1. Tabel Potensi dan Kendala Fred B. Dunn Perilaku Sengaja/ Sadar/Tahu
Perilaku Tidak Sengaja/Tidak Sadar/Tidak Tahu
Menguntungkan
1
4
Merugikan
2
3
220
Potensi/dorongan (Stimulus) Kendala (Hambatan)
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Kotak 1 menunjukkan kegiatan yang secara sengaja dilakukan dalam rangka menjaga, meningkatkan kesehatan dan upaya menyembuhkan diri dari penyakit atau gangguan kesehatan. Kotak 2 meliputi semua bentuk perilaku baik yang merugikan dan mengganggu kesehatan sehingga berdampak pada kematian yang secara sadar atau sengaja dilakukan. Kotak 3 terkait dengan semua tindakan yang tidak disadari dan berakibat mengganggu kesehatan individu atau kelompok sosial. Kotak 4 adalah kegiatan-kegiatan atau gejala-gejala yang secara tidak disadari atau tidak disengaja membawa manfaat positif bagi kesehatan individu atau sosial. 4.5.1. Analisis Potensi Budaya Kesehatan Ibu dan Anak 4.5.1.1. Perilaku sebagai potensi yang menguntungkan Beberapa potensi perilaku terkait budaya Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang termasuk tindakan yang disengaja dari aspek budaya sistem organisasi dan kemasyarakatan bahwa ketaatan masyarakat Baduy Dalam pada pikukuh merupakan sebuah potensi, khususnya kepatuhan pada pimpinan. Pimpinan di masyarakat Baduy Dalam dikenal dengan Ketua Adatnya disebut Puun dan Kepala Pemerintahannya disebut Jaro. Perbedaan peran yang mendasar antara para pemimpin yang disebut Puun dan yang disebut para Jaro, adalah pada tanggung jawab yang berurusan dengan aktivitasnya, karena para Puun berurusan dengan dunia ghaib sedangkan para Jaro bertugas menyelesaikan persoalan duniawi. Pada struktur pemerintahan Baduy, terdapat dua orang yang dituakan namun berbeda fungsi yaitu Kokolot lembur disebut juga Pemimpin kampung Tangtu atau Jaro Tangtu. Ia
221
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
bertugas atas nama Puun untuk mengawasi, mengatur, dan melaksanakan ketentuan Puun. Kedua Kokolotan lembur yang kedudukannya sejajar dengan ketua rukun kampung dalam sistem pemerintahan formal. Sebagaimana yang telah dibuktikan oleh Pak Idi Rasidi yang berhasil membawa masuk sentuhan pengobatan medis bagi penderita frambusia. Bahwa dengan melakukan pendekatan kepada Jaro Tangtu sebagai kepala pemerintahan Kampung Tangtu mempermudah mendapat kepercayaan dari warga masyarakat Baduy Dalam. Kepatuhan masyarakat Baduy terhadap apapun yang diinstruksikan oleh pimpinan mereka merupakan potensi strategis bagi keberhasilan program-program kesehatan bisa diterima. Aspek sistem religi, beberapa tradisi yang dilakukan sebagai wujud pelaksanaan ritual dalam kepercayaan Sunda Wiwitan merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai media promosi program-program kesehatan. Tradisi Seba yaitu tradisi berkunjung masyarakat Baduy Dalam ke Pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan tali silaturahmi. Tradisi yang dilakukan satu tahun sekali ini sangat monumental sebagai moment komunikasi yang efektif dalam penyebarluasan informasi kesehatan. Selain itu tindakan-tindakan yang disengaja lainnya yaitu dilakukannya tradisi sunatan lobaan. Sirkumsisi secara medis bermanfaat terhadap banyak masalah kesehatan dan masyarakat Baduy Dalam menempatkan sunat sebagai kunci tahapan kehidupan yang memiliki makna peningkatan status sosial setiap individu dalam adat Baduy Dalam. Perilaku menguntungkan lainnya adalah pengetahuan tentang obat-obat tradisional. Masyarakat Baduy Dalam sampai dengan saat ini mempertahan hidup dengan kearifan lokalnya, demikian pula dengan perilaku pengobatan yang dilakukan secara tradisional. Ramuan yang digunakan pasca melahirkan
222
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
terbuat dari bahan-bahan herbal berasal dari tumbuhan yang ada di sekitar pemukiman mereka. Beberapa ramuan tersebut diantaranya menggunakan campuran kunyit, sirih, air kelapa hijau, kencur, jahe, lempuyang, honje. Beberapa dari tanaman tersebut secara ilmiah telah terbukti memiliki zat aktif yang berkhasiat bagi kesehatan. Banyak para tokoh di masyarakat Baduy Dalam yang mengerti tentang obat-obatan. Bahkan umumnya warga yang telah berkeluarga, tidak asing dengan pucuk-pucuk daun yang mujarab menyembuhkan penyakit. Aspek pola pemukiman, masyarakat Etnik Baduy Dalam, memiliki pola pemukiman klaster, artinya rumah-rumah berhimpun terpusat berada dalam wilayah yang dibatasi dengan pagar alam. Pagar alam ini diletakkan mengelilingi kampungnya sekaligus sebagai batas antara wilayah pemukiman dan hutan. Kondisi ini sebagai sebuah potensi yang menguntungkan, keluarga dan tetangga sekitar dapat memberikan perhatian dengan pola pemukiman klaster. Selain itu ketika ibu hamil hendak bersalin atau melahirkan tentunya dalam kondisi aman karena dengan pemukiman yang berdekatan dan terpusat lebih terpantau. Potensi ini memudahkan pula bagi tenaga kesehatan dalam memantau kondisi kesehatan ibu hamil dan pasca bersalin, karena kedekatan masyarakat Baduy Dalam yang erat antara satu dengan lainnya. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Bidan Eros Rosita sebagai berikut : “Nah untuk yang ibu hamil kita tanya pada yang datang ke sini… ‘di Kampung Cibeo berapa orang yang sedang hamil?’ gitu kan ‘perasaan sih ada tiga Bu…’ walaupun itu hanya identitas, yang penting kita tulis di situ…”
223
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
4.5.2. Analisis Kendala Budaya Kesehatan Ibu dan Anak Sistem religi Etnik Baduy memiliki keyakinan yang masuk ke dalam kategori Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan disebut dengan nama Sunda Wiwitan. Kepercayaan Sunda Wiwitan berorientasi pada bagaimana menjalani kehidupan yang mengagungkan kesederhanaan (tidak bermewah-mewah), memproteksi diri dari pengaruh modernisasi seperti tidak mengunakan listrik, tembok, mobil dan lain-lain. Budaya kesederhanaan yang dipertahankan dan dijalani ini mempengaruhi ke semua aspek kehidupan masyarakat Baduy Dalam, termasuk kesehatan. Sebenarnya tidak ada larangan bagi masyarakat Baduy Dalam untuk mengobati penyakit secara modern. Namun pikukuh yang dipegang teguh menurut para informan yang mengungkapkan bahwa pengobatan di Kampung Tangtu cukup berobat ke dukun yang ada di kampung mereka secara tradisional saja. Termasuk penolakan terhadap tawaran Pemerintah untuk mendirikan bangunan sebagai sarana dan prasarana fasilitas pelayanan kesehatan dan tidak diterimanya program pemerintah di bidang kesehatan seperti kegiatan Posyandu mulai imunisasi dan penimbangan tidak dapat dilakukan di masyarakat Baduy Dalam. Penolakan ini terkait prinsip yang dimilki dan dijalani yaitu tidak menggunakan benda yang dianggap termasuk dalam modernisasi. Sama halnya dengan membangun permukiman dari bebatuan, semen, genting, paku atau produk industri modern lainnya. Penolakan terhadap modernisasi berdampak pada realisasi program Pemerintah hanya bisa dilakukan sampai wilayah perbatasan di wilayah Baduy Luar saja dan pengobatan mederen menjadi alternatif sekunder peranannya. Selain itu adanya konsep adat yang menjadi inti pikukuh Baduy yaitu “tanpa perubahan”, sebagaimana yang tertuang dalam buyut titipan karuhun sebagai berikut : 224
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
gunung teu meunang dilebur lebak teu meunang diruksak larangan teu meunang dirempak buyut teu meunang dirobah lojor teu meunang dipotong pendek teu meunang disambung nu lain kudu dilainkeun nu ulah kudu diulahkeun nu enya kudu dienyakeun Terjemahan: gunung tak boleh dihancur lembah tak boleh dirusak larangan tak boleh dilanggar buyut tak boleh diubah panjang tak boleh dipotong pendek tak boleh disambung yang bukan harus ditiadakan yang lain harus dipandang lain yang benar harus dibenarkan Inti pikukuh ini merupakan kendala yang berdampak luas dalam pembangunan kesehatan, namun bukan berarti harga mati. Perlahan dengan adanya pembuktian kesembuhan melalui pengobatan medis masyarakat Baduy Dalam sudah mulai membuka diri dengan obat-obatan modern. Pendekatan intensif yang dapat memunculkan rasa percaya kepada tenaga kesehatan merupakan salah satu jalan mempermudah masuknya pengobatan modern ke etnik Baduy Dalam. Selain itu diperlukan intervensi berbasis kearifan lokal agar program kesehatan bisa diterima tanpa melanggar pikukuh. Remaja puteri Baduy Dalam ketika haid atau menstruasi tidak menggunakan pembalut, bahkan dalam aturan adat
225
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
perempuan Baduy Dalam tidak diperkenankan menggunakan pakaian dalam. Sehingga saat haid, darah yang keluar hanya dibersihkan saja menggunakan kain samping yang dikenakannya. Kain samping yang digunakan sebagai media menyeka darah haid berisiko terhadap kesehatan alat reproduksi mengingat kontaminasi agent baik bakteri atau parasit yang mengakibatkan infeksi. Sebagian besar usia menikah perempuan Baduy Dalam terjadi di usia yang termasuk kategori remaja. Usia remaja termasuk usia yang masih belum siap secara fisik bahkan mental. Dari sisi kesehatan usia dibawah 20 tahun rentan untuk terjadinya komplikasi saat persalinan. Pada pasangan yang isterinya belum pernah hamil, tidak ada upaya memeriksakan diri secara medis. Lama waktu dikatakan mulai khawatir belum diberi momongan ketika usia pernikahan memasuki usia tiga tahun. Ikhtiar yang dilakukan dengan datang berobat ke Dukun Kampung itupun bukan ramuan yang diminta namun minta diramal apakah akan memiliki keturunan atau tidak. Bagi masyarakat Baduy Dalam dalam falsafah hidupnya bahwa anak adalah amanah Tuhan apabila sudah waktunya pasti akan diberi, jadi pasrah menunggu saja. Pada masa kehamilan perilaku yang dapat memberikan risiko buruk pada ibu hamil di antaranya adalah tetap melakukan aktivitas sehari-hari sama seperti sebelum hamil yang termasuk aktivitas berat. Seperti tetap pergi ke huma (ladang) dengan jarak tempuh yang tidak dekat dan medan naik turun cukup curam dan licin. Selain itu ibu hamil melakukan pemijatan terhadap perutnya ke paraji (dukun beranak) yang disebut ritual ngaragap beuteung dengan tujuan proses persalinan berjalan lancar. Prosesi pemijatan menjadi baik bagi kondisi ibu hamil apabila cara pemijatan dilakukan dengan benar. Namun akan berbeda dampaknya apabila cara pemijatan dilakukan dengan penuh tekanan yang dapat mengganggu janin.
226
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Pada saat proses persalinan, ibu melahirkan dilakukan secara mandiri tanpa pendampingan atau penolong persalinan. Pemilihan tempat prosesi persalinan sangat situasional, tergantung keberadaan ibu ketika hendak melahirkan bisa di rumah atau di saung (rumah dekat huma). Pikukuh prosesi persalinan masyarakat Baduy Dalam diyakini bahwa prosesi persalinan adalah tanggung jawab paraji. Itupun kehadiran paraji merawat ibu dan bayi setelah prosesi melahirkan sudah terjadi. Suami ataupun keluarga tidak memiliki hak untuk turut campur selama prosesi dan pasca persalinan. Kompleksitas masalah selama prosesi persalinan memerlukan penanganan yang cepat, tepat dan ditangani oleh orang yang ahli. Pikukuh persalinan yang dijalani oleh perempuan Baduy Dalam berisiko menyebabkan kejadian kasus kematian baik pada ibu dan bayi yang dilahirkan terkait kompleksitas permasalahan yang mungkin terjadi selama prosesi persalinan. Pemotongan ari-ari bayi masih sangat sederhana dengan menggunakan hinis atau sembilu yang berasal dari bambu yang berada di atas pintu rumah. Hal tersebut merupakan bagian dari ritual adat, tentunya secara medis penggunaan sembilu tanpa sterilisasi dapat menimbulkan infeksi pada bayi yang yang baru dilahirkan. Seperti telah diuraikan di Bab sebelumnya bahwa pertolongan persalinan dilakukan oleh paraji sehinga bayi yang dilahirkan di Baduy Dalam tidak memperoleh imunisasi. Selain itu imunisasi merupakan salah satu program kesehatan yang belum diterima terkait pikukuh adat Baduy. Sistem imun yang belum terbentuk sempurna pada usia bayi kemudian belum diterimanya imunisasi karena bertentangan dengan pikukuh diperparah dengan tidak dilakukannya pemberian kolustrum dan ASI Eksklusif. Fenomena tersebut menjadikan bayi di masyarakat Baduy Dalam berisiko terhadap kejadian penyakit infeksi yang
227
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dalam kondisi terburuk mengakibatkan kematian, seperti pneumonia berat.
228
BAB 5 TRADISI SELEBRASI ETNIK BADUY DALAM
5.1. Tradisi Selebrasi Etnik Indonesia terdiri atas berbagai Etnik bangsa yang kaya akan keragaman budaya dengan sistem budaya masing-masing. Setiap Etnik bangsa memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan satu dengan yang lainnya. Menurut Koentjaraningrat (1994), suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Ralph Linton mengemukakan bahwa masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas. Dapat diberikan contoh berbagai sistem budaya dari beberapa Etnik di Indonesia, sebagai berikut : Tradisi Upacara Kasada Etnik Tengger yang digelar setiap hari ke-14 dari Bulan Kasada menurut perhitungan kalendar tradisional Hindu. Hari Raya Kasada ini dilakukan sebagai ungkapan syukur Etnik Tengger terhadap sang pencipta, Yang Widi Wasa, atas berkah dan rezeki yang diberikan. Upacara Kasada dilakukan di kaki Gunung Bromo di lembah lautan pasir pada bulan ke-12. Setelah berdoa tengah malam, upacara ini
229
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
diakhiri dengan menyajikan korban ke kawah Gunung Bromo sebagaimana dipesankan oleh leluhurnya, Raden Kusumaputra Rara Anteng dan Jaka Seger. Korban itu berupa buah-buahan dan hasil bumi lainnya demi keselamatan masyarakat dan anak-cucu masyarakat Tengger. Juga penghormatan kepada nenek moyang mereka, yakni Joko Seger dan Roro Anteng, yang rela mengorbankan putra bungsunya demi kedamaian hidup anak keturunannya yang mendiami kawasan Gunung Bromo. Suburnya tanah pertanian dan harmonisnya kehidupan di sini, paling tidak telah menjadi bukti yang dipercaya mereka sebagai berkah dari roh para leluhur yang bersemayam di kawah Gunung Bromo (Indrawasih D, 2012). Di Dataran Tinggi Dieng (Dieng Plateau) ada tradisi rutin tiap tahunnya yang sangat menarik yaitu upacara ruwatan cukur rambut gimbal pada anak-anak. Menurut kepercayaan setempat diadakannya acara ruwatan ini berkaitan dengan legenda Kyai Kolodete yang merupakan cikal bakal pendiri Kabupaten Wonosobo yang konon selalu mengadakan upacara ruwatan terlebih dahulu sebelum mencukur anak-anak yang berambut gimbal karena konon anak-anak yang berambut gimbal dianggap bisa membawa musibah di kemudian hari, tapi bila diruwat anakanak itu dipercaya dapat mendatangkan rezeki. Disamping itu, bila anak yang dicukur tidak melakukan ruwatan terlebih dahulu maka rambut yang akan tumbuh setelah dicukur akan tetap gimbal dan lagi anak tersebut bisa sakit-sakitan (Novita, 2013). Tradisi selebrasi Etnik Tengger dan Upacara Ruwatan Rambut Gimbal, dua dari sekian banyak tradisi selebrasi yang dimiliki Bangsa Indonesia sebagai bukti kekayaan budaya. Setiap tradisi tersebut selalu saja ada makna dan tujuan yang melatarbelakangi tradisi selebrasi tersebut dilakukan. Demikian pula Etnik Baduy yang masih memegang teguh pikukuh atau prinsip aturan adat. Pada Bab ini akan dikupas lebih mendalam
230
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
mengenai dua tradisi selebrasi etnik Baduy baik dari sisi emik maupun sisi perspektif etiknya. 5.2 Tradisi Seba Baduy Etnik Baduy merupakan salah satu Etnik yang memelihara eksistensinya dengan menjalankan tradisi turun temurun. Kurnia (2010) mengungkapkan bahwa Etnik Baduy memegang teguh pikukuh karuhun, yakni suatu doktrin yang mewajibkan mereka melakukan berbagai hal sebagai amanat leluhurnya. Masyarakat Etnik Baduy menyakini bahwa manusia yang pertama kali diciptakan di bumi ini berada di Desa Kanékés sebagai inti jagat, pancer bumi. Mereka menyakini juga agamanya adalah Sunda Wiwitan dengan kiblat ibadah pemujaannya yaitu Arca Domas. Berdasarkan mitos penciptaan semesta ini, Arca Domas yang dipercaya merupakan tempat bersemayamnya Bhatara Tunggal, maka Etnik Baduy melaksanakan ritual penghormatan kepada Bhatara Tunggal setiap tahunnya. Bhatara Tunggal dipercaya melindungi Etnik Baduy dari alam gaib sedangkan Kepala Daerah yaitu Bupati (Kabupaten Lebak) setempat sebagai pelindung Etnik Baduy di wilayahnya. Jika Bhatara Tunggal memberikan perlindungan magis supranatural melalui ruh-ruh nenek moyang , maka Bupati Kabupaten Lebak memberikan jaminan perlindungan Undang-Undang tertulis hak ulayat bagi keberadaan Etnik Baduy yang terletak di Kabupaten Lebak (Octavitri Y, 2010). Masyarakat Etnik Baduy mewujudkan rasa syukur mereka kepada Kepala Daerah setempat tersebut dalam bentuk silaturahim dengan membawa hasil bumi. Kegiatan silaturahim yang dilakukan setiap satu tahun satu kali tersebut dinamai sebagai tradisi Seba Baduy. Sesuai dengan makna katanya Seba yang berarti pergi menghadap (Raja) dimaknai sama oleh
231
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
masyarakat Baduy. Tradisi yang dilakukan satu tahun satu kali ini dilakukan dalam bentuk pergi secara bersama-sama seluruh masyarakat Baduy mendatangi kediaman Pemimpin Daerah baik di tingkat Kabupaten maupun Provinsi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang berjudul “Budaya Politik Etnik Baduy Desa Kanékés Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten” (Kurniawati N, 2011) menyebutkan bahwa tujuan dari Seba adalah ungkapan kesetiaan terhadap pemerintahan Republik Indonesia (Gubernur Banten) yang dilaksanakan dengan memberikan hasil panen yang dihasilkan dengan berjalan kaki sekitar 80 km, tanpa mengharapkan balasan apapun dari pemerintah. Mereka hanya datang dan memberikan hasil panen dengan ikhlas tanpa pengharapan apapun. 5.2.1. Seba Baduy Tahun 2014 Pelaksanaan Seba Baduy di tahun 2014 seperti tahuntahun sebelumnya, silaturahim pertama dilakukan ke Pemda Kabupaten Lebak dan dilanjutkan esok harinya di Pemda Provinsi di Kota Serang Provinsi Banten. Pelaksanaan seremonial di Provinsi digelar di Pendopo Provinsi yang berlangsung malam hari. Hal ini karena menunggu kedatangan Etnik Baduy Dalam yang tidak bersamaan waktu kedatangan dengan Etnik Baduy Luar. Etnik Baduy Dalam, mereka harus menempuh 180 km dengan berjalan kaki dari kampung tempat tinggal mereka untuk sampai di Pendopo Provinsi Banten. Sedangkan Etnik Baduy Luar tiba lebih awal karena menggunakan kendaraan yaitu truk yang disediakan oleh pemerintah kabupaten setempat. Perhelatan satu tahun sekali itu diberi tema “Ngasuh Ratu Ngajayak Menak Mageuhkeun Tali Silaturahim (mengasuh Penguasa dan Mengemong Para Pembesar Negara, Mempererat Tali Silaturahim)” yang terpampang jelas di spanduk yang dipasang di atas Pendopo Gubernur. Silaturahim ini ditandai 232
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
dengan penyerahan upeti berupa hasil bumi yang dihasilkan dari hasil kebun mereka. Upeti yang diserahkan tidak selalu sama, hal ini sangat bergantung pada hasil perolehan dari kebun pada tahun berjalan.
Gambar 5.1. Etnik Baduy Dalam Berjalan Kaki Menuju Lokasi Seba Baduy di Pemda Kabupaten Lebak Sumber : Dokumentasi Peneliti
Gambar 5.2. Etnik Baduy Luardalam Truk Menuju Lokasi Seba Baduy di Pemda Kabupaten Lebak Sumber : Dokumentasi Peneliti
233
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Gambar 5.3. Foto Bersama Wagub Provinsi Banten H. Rano Karno Tradisi Seba Baduy di Pendopo Provinsi Banten , 2014 Sumber : Dokumentasi Peneliti
Dapat digambarkan bagaimana suasana saat prosesi silaturahmi disertai penyerahan upeti kepada petinggi yaitu di bangsal atau pendopo semakin riuh dengan mulainya tamu undangan berdatangan yang mengisi tempat yang telah disediakan dengan cara lesehan dengan formasi berhadapan antara pemerintah dan masyarakat Etnik Baduy. Acara segera dimulai setelah Wakil Gubernur Provinsi Banten H. Rano Karno hadir dan menempati tempat duduk yang sudah disediakan pukul 19.55 WIB. Susunan acara diawali dengan pembacaan laporan panitia yang dibacakan oleh staf dari Dinas Pendidikan Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten, yang melaporkan bahwa Etnik Baduy Dalam yang hadir sebanyak 17 orang dan 1.025 Etnik Baduy Luar. Adapun tamu undangan antara lain : tokoh masyarakat, Pangdam III/ Siliwangi, alim ulama, tokoh budaya dan keluarga petinggi Provinsi Banten. Setelah laporan
234
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
panitia dilanjutkan dengan pembacaan pantun oleh Jaro Tangkesan Saidi Putra (Etnik Baduy Luar) dan dilanjutkan dengan penyerahan simbolis “Laksa” oleh Wagub Provinsi Banten (H. Rano Karno) ke Ayah Mursyid (Kokolot Baduy Dalam); Jaro Dainah (Ketua Pemerintahan Adat Etnik Baduy) dan Jaro Tangkesan Saidi Putra. Puncak acara adalah sambutan kadeudeuh oleh wakil dari Pemerintah Wagub Provinsi Banten. Sebelum acara ditutup dengan doa, secara simbolis dilakukan penyerahan “wayang golek” ke tokoh budaya di Provinsi Banten. Acara Seba selesai pukul 21.00 WIB dan disuguhi hiburan wayang golek semalaman, dan warga Etnik Baduy baru pulang pada esok harinya.
Gambar 5.4. Prosesi Seremonial Seba Baduy di Pendopo Provinsi Banten, 2014 sumber : Dokumentasi Peneliti
Kembali disinggung tentang Seba, Seba dimaknai selain silaturahim ke pemerintah juga ajang silaturahim individu Etnik Baduy ke beberapa relasi mereka di luar Baduy sehingga pada 235
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
saat Seba tidak semua Etnik Baduy Dalam hadir di Pemda Kabupaten atau Provinsi. 5.3. Tradisi Sunatan Lobaan Sirkumsisi (circumcision/khitan) atau dalam Bahasa Indonesia lebih dikenal dengan istilah “sunat” atau “supit”, merupakan tuntunan syariat Islam yang sangat mulia dan disyariatkan baik untuk laki-laki maupun perempuan dan tidak hanya orang Islam tetapi orang-orang Yahudi, Nasrani dan agama lainnya sekarang juga banyak yang menjalaninya karena terbukti memberikan manfaat terhadap banyak masalah kesehatan (Hana, 2008).
Gambar 5.5. Perbedaan Bentuk Alat Kelamin Sebelum dan Sesudah Disunat Sumber : http://teroponginfo.blogspot.com/2012/02/metode-metode-yangdi-gunakan-untuk_02.html [diakses 17-07-2014]
Pengertian sirkumsisi sendiri adalah membuang prepusium penis sehingga glans penis menjadi terbuka. Tindakan ini merupakan tindakan bedah minor yang paling banyak dikerjakan
236
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
di seluruh dunia, baik dikerjakan oleh dokter, paramedis, ataupun oleh dukun sunat (Purnomo, 2003). Secara medis sirkumsisi ini dimaksudkan untuk: 1) Menjaga higiene penis dari smegma dan sisa-sisa urine. 2) Mencegah terjadinya infeksi pada glans atau prepusium penis. 3) Mencegah timbulnya karsinoma penis. Tradisi sunat juga termasuk salah satu pikukuh bagi masyarakat Baduy. Bahkan sunat merupakan satu tahapan penting dalam kehidupan setiap warga Baduy. Hal ini ditampakkan dalam bentuk selebrasi pelaksanaan tradisi sunat tersebut. Berbeda dengan pelaksanaan sunat dimasyarakat pada umumnya, tradisi sunat di masyarakat Baduy dilakukan secara secara massal baik pada anak laki-laki dan perempuan yang disebut juga dengan tradisi Sunatan Lobaan. Istimewanya pelaksanaan tradisi Sunatan Lobaan tidak selalu ada di setiap tahunnya. Demikian pula dengan penentuan bulannya, hanya pada bulan-bulan tertentu menurut penanggalan kalender Baduy. Bulan yang dipilih untuk pelaksanaan Sunatan Lobaan yaitu di Bulan Kalima dan Kapitu, Bulan Kanem tidak dilakukan karena dipercaya sebagai masa paceklik atau bukan merupakan musim panen sehingga ditakutkan tidak tersedia bahan makanan sebagai suguhan pada saat tradisi Sunatan Lobaan dilakukan. 5.3.1. Makna Sunatan Lobaan Sunat sendiri dimaknai sebagai tahapan kehidupan dari seorang Etnik Baduy menuju peningkatan status sosial untuk memperoleh hak dan wewenangnya secara adat.
237
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“… Boleh ikut-ikut resmi ke tempat ritual setelah disunat, misalkan disini kan ada huma serang, ada puasa kalau belum resmi disunat mah belum wajib ikut… ke huma serang, puasa jadi patokannya tetep di sunat itu…” [AM, 44 tahun]
Artinya bahwa anak laki-laki dan perempuan setelah selesai melaksanakan upacara, maka akan mendapatkan hak dan kewajiban sosial sebagai warga Etnik Baduy. Diantaranya berhak untuk menikah, berhak memperoleh perlindungan hukum adat, berhak mengelola ladang dalam wilayah hak ulayat. Kemudian tentang kewajiban diantaranya tampak dalam gotong royong dalam membuka ladang pertanian adat/desa, gotong royong memperbaiki atau membangun rumah warga kampung, gotong royong memperbaiki atau membangun jembatan bambu sebagai penghubung wilayahnya. Wajib hadir bila ada keluarga, kerabat atau tetangga ketika dalam kesusahan seperti meninggal dunia, sakit. Wajib hadir ketika warga ada yang melaksanakan sunatan atau pernikahan. 5.3.2. Para Pelaku Ritual Sunatan Lobaan Berbicara tentang sunat tentunya membicarakan tukang sunatnya. Tukang sunat dalam tradisi sunatan massal di masyarakat Baduy Dalam melibatkan beberapa pelaku ritual adat yang pemilihannya berdasarkan keahlian dan adanya teureuh atau darah/keturunan. Pemilihan diusulkan oleh sesama tukang sunat pada Jaro (Kepala Pemerintah Adat) yang disahkan oleh Puun (Ketua Adat). Sebutan tukang sunat di Kampung Tangtu untuk tukang sunat laki-laki disebut Bengkong, sedangkan untuk tukang sunat perempuan disebut Peper. Bengkong secara struktur terdiri dari ketua dan anggota. Pemilihan ketua dilakukan oleh anggota para Bengkong jauh
238
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
sebelum pelaksanaan sunatnya. Adapun kriteria yang layak dipilih jadi ketua dilihat dari keilmuan tentang sunat itu sendiri. Fungsi ketua, apabila terjadi hal-hal yang tidak diharapkan dari anak yang disunat maka ditangani oleh Bengkong terlebih dahulu sebelum ke dukun.
Gambar.5.6. Ketua Bengkong Kampung Cibeo Tahun 2014 Sumber : Dokumentasi Peneliti
Adalah Ayah Ardi (45 tahun) Ketua Bengkong dari 5 Bengkong yang dimiliki salah satu Kampung Tangtu Cibeo Etnik Baduy Dalam. Kronologis terpilih menjadi Bengkong, awalnya dipilih oleh anggota sesama Bengkong sebelumnya dan kemudian diusulkan ke Jaro untuk disahkan oleh Puun. Menurut silsilah Ayah Ardi ada teureuh atau darah Bengkong juga dalam keluarga, yaitu ayahnya (Jakam) dan Kakeknya (Kadut), pada prinsipya masih ada pertalian darah dengan leluhurnya. Seperti yang dikemukakan informan bernama Ayah Ardi sudah 15 tahun menjadi Bengkong :
239
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“...untuk menjadi Bengkong seperti saya tidak bisa langsung, tetapi harus belajar terlebih dahulu. Saya belajar pada ayah saya dan ayah saya belajar dari aki saya. Awalnya hanya mengikuti ayah yang sedang menyunat, disitulah saya melihat. Lama kelamaan diajari bagaimana cara memegang bambu penjepit kulup ketika akan disunat, selanjutnya diajari cara menyayat kulit kulup...”
Bengkong tidak hanya mengandalkan kekuatan secara fisik ketika melakukan tugasnya, namun juga kekuatan non fisik. Kekuatan fisik seperti sudah disebutkan di atas, sedangkan kekuatan non fisik harus mengetahui dan belajar doa-doa (jampe-jampe) yang harus dikuasai agar ketika melaksanakan tugasnya berjalan dengan baik. Seperti disebutkan oleh informan sebagai berikut: “...untuk melaksanakan tugas menyunat itu tidak bisa hanya mengandalkan fisik saja, namun harus dibarengi dengan kekuatan non fisik. Untuk menimbulkan kekuatan non fisik tersebut harus menguasai jampejampe agar tugas kita dapat dilaksanakan dengan baik tanpa ada gangguan-gangguan fisik maupun non fisik....”
Sebagai obat bahan-bahan yang digunakan untuk menyembuhan luka sunat dapat dilihat secara kasat mata yaitu berupa tumbuhan antara lain panglay, sirih kapur, daun rane, jahe dan kencur, kunyit, kelapa muda, pisau lipat, bambu. Fungsi masing-masing dari kelengkapan tersebut adalah: panglay, sirih, daun rane, jahe dan kencur, kunyit menurut informan digunakan untuk menyembuhkan luka si pasien. Daun rane, kencur dan jahe dikunyah oleh Bengkong yang selanjutnya disemburkan pada luka pasien selesai disunat. Air kelapa muda dipergunakan untuk membersihkan pisau dan bambu sebelum dan sesudah digunakan untuk menyunat.
240
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Para Bengkong selain melakukan sunat untuk masyarakatnya sendiri Kampung Tangtu juga diberi tanggung jawab untuk melakukan sunat di kampung lain, yaitu di Kampung Panamping (Baduy Luar).
Gambar 5.7. Pisau Lipat Sunat yang Usianya Sudah Lima Generasi Sumber : Dokumentasi Peneliti
Para Bengkong untuk melaksanakan tugasnya harus menunggu pembagian tugas dari dukun yang telah ditentukan oleh Puun. Perihal seperti ini sudah berlaku secara turun temurun dan tidak bisa dilanggar. Apabila ada yang melanggar, menurut kepercayaan masyarakat Etnik Baduy maka akan mendapatkan tulah atau karma yang dapat mengenai diri sendiri atau keluarga dan kerabatnya. Berikut pembagian wilayah kerja Bengkong Kampung Tangtu : 1) Wilayah sunatan lobaan Bengkong Kampung Cikeusik disebut wilayah Kaum Dalem ada 17 kampung Baduy Luar : Cipiit, Cikadu, Babakan Eurih, Cijangkar, Cijengkol, Cisagu, Ciranji, Cijambe, Cibaglut, Batu Belah, Ciwuni, Cilame, Cisadane, Pamoean, Cibogo, Cikadu, Landeuh, Cikulingseng. 2) Wilayah sunatan lobaan Bengkong Kampung Cibeo dan Cikartawana disebut D Jaro 7, ada 42 kampung Baduy 241
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Luar, diantaranya Kadu Ketug, Gazeboh, Balimbing, Morenggo, dst. Berbeda dengan sunat pada anak perempuan, prosesinya disebut dengan istilah “peperan”. Sedangkan tukang sunatnya disebut dengan Peper yang dilakukan oleh Juru Aes, jadi Peper dan Juru Aes adalah orang yang sama. Untuk pemilihan Peper atau Juru Aes sama dengan pemilihan Bengkong, diusulkan oleh anggotanya ke Jaro kemudian oleh Jaro diteruskan ke Puun untuk disahkan. Selain bertugas melakukan sunat juga merias anak sunat baik laki-laki dan perempuan. Dalam menjalankan tugasnya, baik Bengkong dan Juru Aes selalu bersama-sama atau satu paket. 5.3.3. Pra-Sunatan Lobaan : Prosesi Geser, Peperan dan Helaran Tradisi sunatan lobaan berlangsung selama dua hari dimana sering disebut di hari kedua sebagai hari puncak pelaksanaan sunat. Pada hari pertama ada 3 ritual yang dilakukan, yaitu Geser, Peperan dan Helaran. Namun sebelum ke tiga ritual tersebut dilaksanakan, keluarga yang hendak melakukan sunatan, melakukan ziarah yang merupakan tradisi masyarakat Baduy Dalam. Kegiatan ziarah dilakukan oleh keluarga yang putra atau putrinya hendak disunat. Sebagaimana layaknya suatu keluarga mau punya hajat. Ziarah disini dimaksudkan “minta terang” kepada sanak keluarga atau rekan yang sering berinteraksi baik dengan keluarga maupun dengan putra atau putrinya. Keyakinan warga Baduy Dalam, apabila anak yang disunat proses kesembuhannya mengalami kendala seperti lama waktu sembuh luka sunat, maka kemungkinan salah satu penyebabnya adalah ada salah yang tidak sengaja dilakukan orang tua anak yang disunat pada sanak keluarga atau teman yang belum terselesaikan. Untuk itu,
242
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
harapan dengan ritual ziarah ini sunatan pada anak mereka berjalan lancar tidak ada hambatan, anak yang disunat sehat tidak terjadi hal-hal yang ditakutkan pada saat atau setelah prosesi sunatan. 5.3.3.1. Geser Dalam kehidupan masyarakat Baduy Dalam, anak laki-laki maupun anak perempuan sebelum disunat wajib dilakukan ritus geser (potong gigi). Geser yaitu menggosok gigi menggunakan batu yang dibentuk segi empat tipis menyerupai girinda, alat untuk menggergaji sehingga mudah pada saat digosokkan. Pelaksanaan potong gigi ini memiliki makna estetika dan etika. Estetika berarti dalam tampilan gigi dianggap menjadi lebih bagus, dan secara etika yakni mematuhi adat yang mengharuskan geser. Seandainya anak akan disunat belum digeser maka dipercaya akan menemui bala selama hidupnya. Oleh karena itu sampai kapanpun, selama menjadi warga masyarakat Etnik Baduy harus tetap melakukan geser tersebut. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan bernama Ayah Armah yaitu Bengkong dari Cikartawana: “...geser itu harus dilakukan bapak, jangan sampai ditinggalkan, karena eta sudah menjadi adat kami. Kalau sampai meninggalkan berarti sama dengan tidak mematuhi adat yang sudah turun temurun kami hormati...”
Gigi yang digosok hanya gigi bagian depan atas berjumlah 6 buah saja dengan frekuensi penggosokan sebanyak tiga kali gosokan. Bengkong sebagai orang yang melaksanakan geser menjelaskan bahwa pelaksanaan geser dilakukan H-1 sebelum sunat, dan dilakukan pada sore hari. Anak yang di geser tidak
243
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
hanya anak laki-laki tapi juga anak perempuan, kemudian di rias oleh Juru Aes kaum wanita. 5.3.3.2. Peperan Peperan adalah sunatan lobaan pada anak perempuan, merupakan satu tahapan dari daur hidup seorang Etnik Baduy sebagai titik awal menuju tahap legitimasi (pengakuan) sebagai individu. Legitimasi secara sosial ini bermakna dalam, dimana sebagai seorang wanita diperbolehkan menuju pintu tahapan kesempurnaan yaitu pernikahan. Menurut Ketua Juru Aes di salah satu Kampung Tangtu (AN, 45 tahun) menuturkan sebagai berikut, “Anak perempuan yang belum mengalami haid boleh dinikahkan tetapi apabila belum disunat tidak boleh dinikahkan…” Usia anak yang disunat sebaiknya pada hitungan ganjil, paling muda usia 5 tahun atau usia 7 tahun meski ada pula lebih muda atau lebih diatas usia 7 tahun. Kesiapan keluarga secara materi dan mental anak menjadi salah satu pertimbangan. Ritual sunatan tidak selalu ada karena tidak setiap tahun diselenggarakan. “…di Baduy mah mun teu lima tujuh… kalau kata orang tua kalau tidak ganjil nanti hambatannya banyak… ya otaknya, apa jiwanya sakitan bae… gtu kan itu harus ganjil…” [D, 50 tahun] Artinya : “...di Baduy kalau tidak lima tujuh... kalau kata sesepuh kalau tidak ganjil nanti banyak hambatannya banyak, ya otaknya, apa jiwanya sakit-sakitan terus... gtu kan itu harus ganjil...”
244
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Pelaksanaan Peperan (sunat perempuan) dilakukan sore hari bersamaan waktunya di saat anak laki-laki yang hendak disunat dimandikan di sungai. Namun sebelum pelaksanaan peperan, minta widhi (restu) ke Puun yang dilakukan oleh orang yang ditunjuk atau bisa juga oleh Jaro. Sedangkan pada sore hari anak perempuan yang hendak disunat dimandikan di sungai oleh orang tuanya masing-masing sambil dilakukan angiran atau keramas dan badannya dilulur menggunakan koneng atau kunyit. Selesai bebersih, kemudian sunat pada anak perempuan dilakukan walaupun, tidak dilakukan sebenarnya sifatnya hanya simbolis saja. Selanjutnya ritual yang dilakukan adalah mencukur rambut halus anak perempuan. Setelah pelaksanaan ritual mencukur rambut selesai anak dirias atau (Jawa : didandani). Bahan yang digunakan pun sederhana yaitu bahan-bahan yang ada disekitar permukiman Etnik Baduy Dalam. Beras yang ditumbuk digunakan sebagai bedak atau pupur. Apu digunakan untuk merias wajah anak perempuan yang dirias. Pucuk pinang dibentuk untuk menghias bagian belakang rambut yang disebut Ambrang. Anak perempuan yang disunat selesai dihias kemudian diHelar (dipajang) di alun-alun kampung. Tahap ini merupakan puncak seremonial dari keseluruhan upacara sunatan yang ditonton oleh seluruh warga masyarakat setempat. Helaran tidak terlalu lama dan diakhiri dengan mandi lagi. Secara tradisi, peperan sering disebut sebagai “di-Islamkan”, selain kunci menuju ke tahapan penting bagi seorang wanita sebagaimana diuraikan di atas, peperan juga merupakan tahapan peningkatan status sosial bagi seseorang. Secara adat seorang wanita yang telah melalui tahap peperan dapat mengikuti acara-acara keagamaan (religi) antara lain puasa, ke huma dan acara-acara lainnya.
245
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
5.3.3.3. Helaran Setelah dirias oleh Juru Aes kemudian anak-anak tersebut didudukkan di depan balai adat untuk dipertontonkan ke seluruh warga yang disebut helaran. Bahan yang digunakan untuk menghias adalah tepung beras dicampur dengan koneng bau. Baik laki-laki maupun perempuan yang dihias menggunakan bahan-bahan riasan tersebut dibagian wajah. Sedangkan hiasan untuk perempuan disebut ambrang yaitu daun jambe muda yang diletakkan dibelakang kepala. Sedangkan untuk laki-laki disebut penduk yaitu dipasang keris di pinggang. Selesai heleran selanjutnya anak-anak dibawa ke sungai untuk dimandikan.
Gambar 5.8. Prosesi Helaran, Kampung Kaduketug, Baduy Luar Sumber : Dokumentasi Peneliti
Pendokumentasian sunatan lobaan yang dilakukan oleh peneliti di salah satu Kampung Panamping (Baduy Luar) yaitu di Kampung Kaduketug. Kaduketug merupakan salah satu kampung
246
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Baduy Luar kampung terdekat dari Ciboleger pintu masuk menuju wilayah Etnik Baduy. Permukiman disini begitu padat, terbagi menjadi dua yaitu Kampung Kaduketug Kidul dan Kaler yang dipimpin oleh Ketua Rumah Tangga-nya Ayah Rusdi dan Pak Juned. Kampung Kaduketug terdiri dari 148 KK, 120 rumah dengan jumlah penduduk lebih dari 500 jiwa. Proporsi jenis kelamin didominasi oleh perempuan di usia remaja dan anakanak. Menurut informasi dari Pangiwa (pembantu Kades/tangan kanan Kades) Sajum ,Bengkong , Juru Aes dan Juru Pantun yang ditugaskan di Kampung Kaduketug berasal dari Kampung Cikartawana. Susunan sebagai berikut : 1) Bengkong : Ayah Armah, Ayah Salma, Ayah Zakri. 2) Juru Aes : Ambu Arti, Ambu Pulung. 3) Keluarga Bengkong dan Juru Aes: Ayah Ardi, Ayah Sarmin, Ayah Pulung.
Gambar 5.9. Suasana Pra-Helaran, Kampung Kaduketug, Baduy Luar Sumber : Dokumentasi Peneliti
247
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Suasana sebelum prosesi helaran digelar terdengar sangat riuh, tampak pada gambar 5.11 dan 5.12 masing-masing ayah atau ibu yang anaknya disunat sibuk mempersiapkan anaknya masing-masing di saung pesajen atau papajangan. Setelah lokasi untuk helaran sudah siap, maka ritual helaran dimulai. Helaran dimulai dengan keluarnya salah seorang palawari (panitia) yang ditunjuk untuk membawa perwanten (wadah berisi sesajen). Adapun isi dari Perwanten yaitu sabun/wadah berisi air; hanjuang beureum (hanjuang merah); kembang mancirang; wera; katomas; toropong (alat tenun untuk perempuan); corokan (alat untuk bikin koja untuk laki-laki); dan uang. Perwanten dibawa menuju balai adat, di dalam balai adat sudah ada Jaro dan Puun kampung setempat dan Puun Cikartawana sebagai Kampung Tangtu yang dikukuhkan sebagai pusat pengobatan. Prosesi di dalam Balai Adat dilakukan secara tertutup, hanya tercium bau kemenyan sebagai pertanda ritual sudah dimulai. Setelah prosesi di dalam Balai Adat selesai, dilanjutkan dengan acara puncak helaran yaitu keluarnya anak laki-laki dan perempuan yang sudah dirias satu per satu didampingi oleh salah satu orang tuanya. Setelah memenuhi tempat yang telah disiapkan dengan membentuk lingkaran dengan posisi anak duduk di depan orang tuanya. Selanjutnya Kokolot Kampung yang dipilih untuk melakukan ritual doa atau jampe atau mantera menghampiri anak-anak sunat satu per satu dengan menyemburkan panglay hasil kunyahannya ke empat arah yaitu atas, bawah, kiri dan kanan anak yang disunat. Kegiatan memberikan doa pada semua anak perempuan yang selesai disunat dan anak laki-laki yang baru esok hari disunat diakhiri dengan saweran. Adapun isi saweran berupa uang logam dengan nominal bervariasi bahkan ada uang yang sudah tidak diedarkan lagi.
248
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Prosesi helaran diakhiri dengan acara nanggung yaitu ritual mendoakan dengan jampe-jampe dengan menaikkan anak ke alat nanggung. Nanggung dikhususkan untuk anak yang lahir di Bulan Sapar kalender Baduy. Ritual nanggung adalah ritual dengan mendoakan bagi si anak yang dilahirkan pada bulan Sapar dengan tujuan agar anak yang bersangkutan menjadi anak yang tidak temperamental.
Gambar 5.10. Alat “Nanggung” Kampung Kadeketug, Baduy Luar Sumber : Dokumentasi Peneliti
5.3.4. Prosesi Sunatan Lobaan Inti pelaksanaan sunatan lobaan diselenggarakan pada hari kedua yang merupakan puncak prosesi. Menurut hukum adat setempat, pelaksanaan sunat di Kampung Tangtu dilaksanakan lebih dulu. Setelah pelaksanaan sunat di Kampung Tangtu selesai, menyusul untuk dijadwalkan pelaksanaan sunat di
249
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Kampung Panamping (Baduy Luar). Penjadwalan terkait pembagian bengkong, peper dan juru pantun yang ada Kampung Tangtu untuk disebar sesuai dengan pembagian wilayah kerja yang sudah diatur dan ditentukan oleh Puun. Ritual sunat juga berlaku bagi pelaku atau aktor utama tukang sunat yaitu Bengkong. Berikut beberapa ritual yang wajib dilakukan oleh Bengkong sebelum melakukan sunat, yaitu: 1) Bebersih Kegiatan bebersih dilakukan di sore hari, satu hari sebelum sunat dilakukan. Bengkong melakukan kegiatan membersihkan diri dalam artian fisik, yaitu sebagaimana layaknya mandi besar membersihkan badan mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. 2) Rajah/Jampe Alat Ritual membersihkan alat yang digunakan untuk sunat dilakukan dengan jampe-jampe yang disebut di rajah. Salah seorang informan [AA, 42 tahun] sewaktu diwawancarai mengaku memiliki 6 alat yang digunakan untuk menyunat, 3 beli sendiri dan 3 lainnya yang diperoleh secara turun temurun. Alat yang digunakan untuk memotong kulub adalah pisau lipat tipis. Selain itu juga digunakan cepit awi yaitu alat yang berfungsi untuk menjepit kulit luar bagian ujung penis yang akan disunat. Cepit awi terbuat dari bambu, yang dibelah menjadi tiga bagian dengan menajamkan dibagian ujungnya. Sunatan lobaan di setiap kampung Tangtu dilakukan di suatu bangunan yang disebut saung pesajen atau papajangan. Saung ini didirikan 1-2 hari sebelum pelaksanaan sunatan. Saung didirikan secara bergotong-royong dengan memilih tempat di alun-alun Kampung Tangtu (Gambar 5.9. dan 5.10). Bahan untuk membuat saung tidak jauh berbeda dengan bahan untuk
250
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
mendirikan rumah adat masyarakat Baduy, yaitu terdiri ateup dari daun kiray; bambu dan tali teureup untuk mengikat terutama untuk menyatukan bambu-bambu sebagai kerangka bangunan.
Gambar 5.11. Tampak Samping Saung Pesajen/Papajangan Kampung Kaduketug, Baduy Luar Sumber : Dokumentasi Peneliti
Pelaksanaan prosesi sunatan diawali dengan anak laki-laki yang hendak disunat di-keueum atau direndam di sungai pada pagi hari buta yaitu (sekitar jam lima pagi). Anak-anak yang hendak disunat dibawa ke sungai untuk direndam beramai-ramai kurang dari satu jam. Maksud dari prosesi ini adalah sebagai teknik anestesi atau dalam bahasa masyarakat Baduy disebut baal (mati rasa). Sebelum direndam disungai anak-anak diberi makan dan minum seperti biasa. Setelah itu, anak-anak di kumpulkan untuk dibawa ke saungpesajen atau papajangan. Tahap selanjutnya anak yang akan disunat dipanggil bergantian untuk menjalani prosesi sunatan. Ketika nama anak disebut atau
251
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dipanggil berarti anak yang bersangkutan mendapat giliran untuk disunat, dan masuk ke saung pasajen/papajangan melalui taraje (tangga) dimana sudah menanti seorang paliwara (panitia sunat) yang bertugas memangku anak yang hendak disunat. Setelah anak didudukkan di pangkuan, selanjutnya paliwara dengan menggunakan sarung yang dikenakan sang anak untuk menutup bagian muka atau wajah si anak dengan tujuan agar anak yang hendak disunat tidak ketakutan menyaksikan prosesi sunat yang ia alami. Sehingga pelaksanaan prosesi sunat lancar.
Gambar 5.12. Bagian Dalam Saung Pesajen/Papajangan Kampung Kaduketug, Baduy Luar Sumber : Dokumentasi Peneliti
Posisi Bengkong berhadapan dengan si anak dengan ketinggian disesuaikan dengan posisi anak yang hendak menjalani sunat. Sebelum dilakukan pemotongan kulub, Bengkong ngaburakeun ramuan yang telah dikunyah dari mulutnya ke bagian penis. Adapun ramuan berisi panglay, daun harane, jahe, pedes, sirih kapur, kencur, dan kunyit.
252
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Ada dua teknik sunatan yang dilakukan di masyarakat Baduy Dalam yaitu Sopak Lodong dan Tilas Pacing, namun teknik yang masih dipakai sampai dengan saat ini hanyalah teknik Sopak Lodong. Pertama-tama Cepit awi yang dibelah menjadi tiga bagian di mana bagian tengah diletakkan di bagian bawah penis dengan diberi alas koneng atau kunyit. Dua bagian bambu di samping kiri dan kanan digunakan untuk menjepit penis, setelah itu bagian atas kulit kulub disayat sampai terbuka dengan menggunakan pisau lipat. Apabila dengan satu kali sayatan kulit kulub belum terbuka maka dilakukan penyayatan kembali. Prosesi sunat dikatakan berhasil ketika kulit kulub sudah terbuka.
Gambar 5.13. Prosesi Sunatan Lobaan di Kampung Balimbing Baduy Luar Tahun 2014 Sumber : Dokumentasi Peneliti
Tahapan selanjutnya setelah kulit kulub berhasil disayat, Bengkong ngaburakeun (menyemburkan) ramuan yang dikunyahnya dari mulut yaitu ramuan yang sama ketika diawal sebelum disunat ke bagian yang dilukai. Ramuan ini disebut penyecep yang dimaksudkan menghentikan perdarahan, lukanya
253
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
cepat kering sehingga cepat sembuh bisa beraktifitas seperti sedia kala. Selain bagi kesembuhan pada saat ngaburakeun ramuan Bengkong sambil mengucapkan jampe-jampe dengan tujuan supaya tidak diganggu oleh makhluk gaib lain.
Gambar 5.14. Gambar Teknik Sunat Sopak Lodong Sumber : http://kulup.info/sunat/memilih-metode-sunat-terbaik-danaman/#sthash.AqpGeiCe.dpuf [diakses 17-07-2014]
Pada saat prosesi sunat darah dan jika ada bagian kulit kulub anak yang terkelupas ditampung dalam wadah berupa cangkir yang disiapkan oleh masing-masing keluarga anak yang disunat. Setelah cangkir digunakan untuk menampung darah, ditandai dan diletakkan di tempat yang telah disiapkan panitia sunat. Pada saat bersamaan ketika anak disunat, salah satu anggota keluarga menyembelih kotok atau ayam kemudian diolah dan dimakan oleh anak yang telah disunat. Anak yang bersangkutan memakannya harus sampai habis. Makna penyembelihan ayam adalah sebagai hadiah bagi anak yang sudah melalui tahapan sunat. Prosesi makan daging ayam 254
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
dilakukan secara ngariung atau bersama-sama dengan anak yang disunat lainnya di saung pesajen atau papajangan. Setelah selesai makan ngariung baru anak diperbolehkan untuk keluar dari saung dan kembali ke keluarga masing-masing.
Gambar 5.15. Gambar Ayah Memangku Anak Selesai Sunat di Kampung Balimbing, Baduy Luar Tahun 2014 Sumber : Dokumentasi Peneliti
Saweran yaitu tradisi melempar uang logam ke warga masyarakat yang menyaksikan prosesi sunatan lobaan juga dilakukan pada saat setiap anak telah selesai menjalani sunat. Selain saweran tradisi lain yang dilakukan adalah digelarnya tarian Baksa yang dilakukan oleh Bengkong setelah menjalankan tugas melayani jasa sunatan, selesai. Sebagai hiburan. Dalam rangka menjaga kebersihan alat sunat, sebelum dan sesudah pelaksanaan sunat dilakukan pencucian pisau lipat dan cepit awi. Air yang digunakan untuk mencuci adalah air kelapa muda hijau (Gambar 5.16.). Setelah alat sunat selesai 255
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dibersihkan, cangkir tempat darah dan bagian kulit yang dikumpulkan boleh diambil oleh masing-masing orang tua untuk dikuburkan. Tempat untuk menguburkan tidak disembarang tempat, sebaiknya di pinggir kampung atau tempat yang jarang dilewati orang. Alasan pemilihan di pinggir kampung supaya tidak terlangkahi oleh anak yang bersangkutan yang telah disunat, karena apabila hal itu terjadi dipercayai dapat menyebabkan sakit lagi atau kambuh atau lukanya tidak kunjung sembuh, istilah setempat kanceuh. Tempat yang dianggap paling aman untuk mengubur yaitu dibuang atau ditanam di pohon pisang gembor. Lokasi tersebut dipercayai “dingin” dan paling aman tidak akan terlangkahi oleh si anak dan orang tuanya.
Gambar 5.16. Gambar Cuci Pisau Lipat (Alat) Sunat dengan Air Kelapa di Kp. Balimbing, Baduy luar Tahun 2014 Sumber : Dokumentasi Peneliti
Kesembuhan setelah sunat secara cepat ini ternyata ada beberapa persyaratan larangan yang tidak boleh dilanggar oleh pasien, beberapa diantaranya;
256
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
a. b.
Selama tiga hari tidak diperbolehkan keluar rumah. Bagi pasien dan Ibu (Ambu) tidak diperbolehkan melangkahi cangkir yang berisi darah dan potongan kulup. Bila dilanggar si pasien dan keluarganya akan kena tulah sehingga kambuh dan sembuhnya lama. Oleh karena itu cangkir ditanam di pinggiran kampung. c. Melangkahi kotoran ayam, karena dianggap menyebabkan lukanya tidak kunjung sembuh (kanceuh). d. Si pasien harus mau makan bakakak (ayam utuh yang dibakar) sampai habis. Tentu saja ketika makan tidak sesaat langsung habis, tetapi bisa dimakan sebagai lauk dalam beberapa hari berikutnya. e. Tidak boleh makan ikan asin, ikan laut, nangka, sambal, buah yang asam-asam seperti asem.
Gambar 5.17. Kondisi Anak Setelah Sepuluh jam di Sunat, Kampung Kaduketug, Baduy Luar tahun 2014 Sumber : Dokumentasi Peneliti
Para Bengkong ketika sudah menyelesaikan tugasnya, maka oleh warga yang anak-anaknya disunat diberi suatu imbalan jasa berupa bakakak (ingkung ayam utuh), congcot (tumpeng nasi putih beserta lauk yang dibungkus dengan janur), beas (beras) yang bungkus dengan janur, pisang, angel (bantal)
257
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
ayam hidup (kotok), beras (beas), tikar (samak), bantal (angel), uang (duwit) antara Rp 15.000 sd Rp 50.000,-. Beberapa barang sebagai ucapan terimakasih tersebut tampak dalam gambar sebagai berikut:
Gambar 5.18. Barang Ucapan Terimakasih yang Diberikan Kepada BengkongKetika Selesai Melaksanakan Tugasnya Sumber: Dokumentasi Peneliti
Setiap warga Baduy Dalam, mulai usia muda sampai dengan yang usia lanjut, baik laki-laki dan perempuan terlibat secara langsung ketika diselenggarakan kegiatan ritus. Bentuk partisipasi masing-masing warganya terwujud dalam pelaksanaan tanggung jawab yang diberikan oleh Jaro dan Kokolot. Namun demikian bagi warga yang tidak terlibat langsung dalam upacara, tetap menunjukkan perannya dalam terselenggaranya ritus dengan turut membantu sanak saudara atau tetangga yang memang terlibat langsung dalam acara yang sakral. Kondisi
258
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
demikian menunjukkan begitu kuatnya rasa gotong-royong pada masyarakat Etnik Baduy Dalam. 5.3.5. Perspektif Etik Sopak Lodong dalam Sunatan Lobaan Secara epidemiologi tindakan sirkumsisi pada pria (dewasa dan neonatus) memiliki risiko lebih kecil menderita infeksi saluran kemih, penyakit genitalia ulseratif, karsinoma penis, dan infeksi HIV dibandingkan dengan pria yang tidak disirkumsisi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan khitan bisa mengurangi tingkat HIV (virus penyebab AIDS), sipilis, dan borok pada alat kelamin (American Academy of Pediatrics, 1999); (WHO, 2007). Dewasa ini, teknik sunat mengalami perkembangan cukup pesat mulai dari teknik klasik sampai menggunakan metode laser CO2. Dari beberapa metode tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan yang ada yaitu sunat tanpa perdarahan, tanpa jahitan, tidak perlu pembungkusan menggunakan perban dan ada pula yang cepat sembuh. Namun disamping kelebihan-kelebihan tersebut tentunya mempunyai konsekuensi logis, antara lain biaya lebih mahal dan tidak semua dokter atau perawat dapat melakukannya. Ada pula yang tergantung dengan ketersediaan aliran listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN), apalagi jika aliran listrik padam maka pelaksanaan atau tindakan penyunatan tidak bisa dilakukan. Metode sunat klasik salah satu yang sudah banyak ditinggalkan tetapi masih bisa kita temui di daerah-derah pedalaman. Metode klasik ini lebih dikenal oleh masyarakat sunda dengan sebutan teknik sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Etnik Baduy. Khitan atau sunat dengan metode sopak lodong merupakan khitan atau sunat standar yang paling kuno namun masih banyak dijalankan sampai saat ini, baik oleh tenaga
259
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
medis maupun non medis (paraji sunat, calak (Jawa), dll). Teknik sunat demikian umumnya bekas luka tidak dijahit walaupun beberapa ahli sunat sudah memodifikasi dengan melakukan pembiusan lokal dan jahitan minimal untuk mengurangi risiko perdarahan. Adapun kelebihannya antara lain peralatan yang digunakan lebih murah dan sederhana, prosesnya memakan waktu cukup singkat, biaya relatif murah serta bisa digunakan untuk bayi/anak usia dibawah 3 tahun dimana pembuluh darahnya masih kecil. Sedangkan kekurangannya adalah memungkinkan terjadinya risiko kepala (glan) terpotong/ tersayat sangat tinggi, terutama jika sayatan dibawah klem koher, mukosa kadang lebih panjang sehingga membutuhkan pemotongan ulang, bisa terjadi nekrosis jika jepitan koher terlalu lama, risiko perdarahan tinggi apabila tanpa dilakukan penjahitan operasi. Seperti yang telah diuraikan bahwa kekurangan dari metode sopak lodong yang memungkinkan terjadi risiko perdarahan apabila dilakukan tanpa penjahitan. Namun fakta yang ada di masyarakat Etnik Baduy Dalam dari hasil penelitian ini berbeda dengan apa yang disebutkan mengenai kekurangankekurangan pada praktek sunat dengan metode sopak lodong. Meskipun alat yang digunakan sangat sederhana hanya dengan menggunakan pisau lipat yang usianya lebih dari lima generasi, tidak dilakukan pembiusan lokal dan tanpa penjahitan, tidak ditemukan adanya kasus infeksi atau perdarahan yang ditimbulkan. Berdasarkan informasi yang diperoleh tim peneliti, kondisi demikian dapat dijelaskan bahwa ramuan yang digunakan berupa campuran daun sirih dan kunyit merupakan ramuan yang berfungsi sebagai anti inflamasi dan anti perdarahan (Anonimous, 2012).
260
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Kunyit berasal dari akar tanaman Curcuma longa yang memiliki kulit coklat dan daging berwarna oranye. Kunyit telah lama digunakan sebagai anti-inflamasi di kedokteran Cina dan India. Menurut Journal of American Chemical Society, kunyit mengandung berbagai macam antioksidan, antivirus, antibakteri, antijamur, antikarsinogenik, antimutagenik dan anti-inflamasi. Kunyit merupakan salah satu antiseptik dan antibakteri alami yang dapat membantu penyembuhan luka. Penggunaan kunyit pada luka bakar dengan cara menaburkan pada daerah yang terluka dapat mempercepat proses penyembuhan. Selain itu kunyit juga bermanfaat dalam membantu memperbaiki kerusakan yang terjadi pada kulit. Senyawa kimia yang terkandung dalam kunyit adalah kurkumin (sejenis senyawa polifenol) dan minyak atsiri. Kurkumin memiliki khasiat meredakan nyeri, sebuah penelitian menunjukkan efektivitas kurkumin sebagai pereda inflamasi pada sendi. Bagian yang sering dimanfaatkan sebagai obat adalah rimpang; untuk, antikoagulan, antiedemik, menurunkan tekanan darah, obat malaria, obat cacing, obat sakit perut, memperbanyak ASI, stimulan, mengobati keseleo, memar dan rematik. Kurkuminoid pada kunyit berkhasiat sebagai antihepatotoksik (Kiso et al., 1983) enthelmintik, antiedemik, analgesic. Selain itu kurkumin juga dapat berfungsi sebagai antiinflamasi dan antioksidan (Masuda, et al., 1993). Menurut Supriadi, kurkumin juga berkhasiat mematikan kuman dan menghilangkan rasa kembung karena dinding empedu dirangsang lebih giat untuk mengeluarkan cairan pemecah lemak. Minyak atsiri pada kunyit dapat bermanfaat untuk mengurangi gerakan usus yang kuat sehingga mampu mengobati diare. Selain itu, juga bisa digunakan untuk meredakan batuk dan antikejang (Anonimous, 2012). Manfaat minyak esensial dari kunyit pada industri farmasi atau obat-obatan merupakan antibiotik topical yang sangat kuat
261
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
yang dapat membantu mencegah infeksi infeksi dan sepsis pada luka. Kunyit juga bermanfaat untuk membantu menghentikan rasa sakit dan bengkak yang diakibatkan oleh luka serta membantu penyembuhan jaringan kulit yang rusak (Lutony & Rahmayati, 1994). Daun sirih yang juga digunakan dalam ramuan untuk sunat di masyarakat Baduy Dalam, pada pengobatan tradisional India daun sirih dikenal sebagai zat aromatik yang menghangatkan, bersifat antiseptik, dan bahkan meningkatkan gairah seks. Dengan sifat antiseptiknya, sirih sering digunakan untuk menyembuhkan luka padakaki karena mengandung styptic untuk menahan pendarahan dan vulnerary.
262
BAB 6 PENUTUP
6.1. Simpulan Etnik Baduy Dalam merupakan salah satu Etnik di Indonesia yang tinggal di sekitar pegunungan Kendeng (Banten Selatan). Etnik ini masih memegang teguh adat-istiadat secara turun-temurun yang diwarisi dari nenek moyang mereka untuk menyelaraskan hidup dengan sumber daya alam yang ada dan melestarikannya. Masyarakat Etnik Baduy Dalam sangat kuat memegang teguh pikukuh yang dilandasi adat-istiadat sebagai prinsip hidup yang dijalani agar bisa tetap melestarikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pikukuh sebagai sistem nilai budaya yang melandasi falsafah hidup yang merasuk ke semua aspek kehidupan masyarakat Etnik Baduy Dalam termasuk aspek kesehatan diantaranya sistem budaya pelayanan kesehatan. Dalam kehidupan masyarakat Etnik Baduy Dalam, walaupun lebih mengacu pada sistem budaya pelayanan kesehatan tradisional, namun penerimaan terhadap sistem budaya pelayanan kesehatan modern sudah mulai tampak meski hanya pada penerimaan obat-obat dan penyakit tertentu. Konsep sakit yang diyakini bahwa tidak semua penyakit dapat disembuhkan secara pengobatan modern, hal ini mempengaruhi perilaku pencarian pengobatan warga masyarakat Baduy Dalam. Mereka lebih memilih berobat ke dukun, paraji (dukun bayi) setempat, sedang
263
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
pengobatan modern sebagai pilihan sekunder, bahkan upaya pelayanan kesehatan modern untuk ibu dan anak belum teradopsi oleh warga masyarakat Etnik Baduy Dalam. Proses persalinan dilakukan secara mandiri dan pertolongan persalinan dipercayakan pada paraji (dukun bayi) merupakan pikukuh yang harus ditatati dan dijalani sampai saat ini. Sentuhan medis bagi kesehatan ibu dan anak seperti imunisasi dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap pikukuh yang ada. Namun demikian pikukuh adat bukanlah harga mati bahwa sentuhan medis tidak dapat masuk ke masyarakat Etnik Baduy Dalam. Upaya tenaga kesehatan setempat membuktikan dengan pendekatan kreatif dan inovatif, beberapa program kesehatan dapat dilaksanakan seperti Pekan Imunisasi Nasional (PIN), pemberian Kapsul Vitamin A dan pengendalian penyakit Frambusia. Pneumonia merupakan salah satu penyakit menular yang pernah menimbulkan KLB di wilayah permukiman Etnik Baduy Dalam. Kematian pada bayi dan balita kembali terjadi pada tahun 2012 akibat pneumonia. Beberapa faktor risiko penyebabnya diduga karena faktor lingkungan, yaitu bentuk rumah adat yang kurang memenuhi persyaratan sebagai rumah sehat karena kurangnya lubang ventilasi untuk sirkulasi udara dalam rumah. Dengan kondisi demikian sirkulasi udara yang terjadi tidak berjalan dengan baik ditunjang pula oleh hasil pembakaran kegiatan memasak penghuninya yang menggunakan hawu (tungku). Selain itu belum diterima sepenuhnya program imunisasi, dan kurangnya kesadaran masyarakat untuk memberikan ASI secara eksklusif pada bayi baru lahir menjadikan sistem imun bayi dan balita yang belum terbentuk merupakan salah satu faktor risiko. Sunat pada anak laki-laki dengan metode sopak lodong yang dilakukan tanpa tanpa pembiusan (anestesi) dan penjahitan
264
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
terbukti tidak mengakibatkan komplikasi perdarahan. Penyembuhannya hanya menggunakan ramuan tradisional dengan memanfaatkan berbagi jenis tumbuhan di sekitar permukiman yang terbukti mujarab dapat menyembuhkan luka akibat sunat. 6.2. Rekomendasi 1) Pihak-pihak terkait baik swasta ataupun pemerintah, di dalam menentukan kebijakan diharapkan bisa memahami cita-cita luhur Etnik Baduy sesuai adat yang turun temurun sejak karuhun-nya yang terdahulu. Bentuk upaya yang dilakukan adalah dengan menyelaraskan sesuai kebutuhan warga Baduy tanpa bertentangan dengan adat-istiadatnya. Kejadian pneumonia yang menimbulkan kematian pada bayi dan balita dimana bentuk rumah adat yang minim ventilasi menjadi salah satu faktor risiko penyebab maka saran yang dapat diberikan adalah perlu dibuat prototipe rumah yang tidak menyimpang dari konsep-konsep dan nilai-nilai tradisional dari bentuk rumah adat masyarakat Etnik Baduy Dalam, dengan memodifikasi/membuat celah pada atap bangunan rumah yang fleksibel tepat diatas Paraseneu (bagian dari tungku), sehingga dapat berfungsi memperlancar sirkulasi udara. Contoh penggunaan hateup dinamis dapat diperhatikan dalam Gambar 6.1. 2) Kondisi geografis naik turun bukit menuju perkampungan Etnik Baduy Dalam yang hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki, tentunya memerlukan perhatian khusus dari Pemerintah setempat bagi para tenaga kesehatannya. Salah satu bentuk reward yang dapat diberikan sebagai bentuk motivasi dan menumbuhkan loyalitas adalah kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi dan
265
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
atau diberikan izin pindah kerja setelah mengabdi selama kurun waktu tertentu.
Gambar 6.1. Satu Lembar Hateup (tanda panah) yang Dibuka/Tutup untuk Sirkulasi Udara Ketika Memasak. Sumber: Visualisasi Peneliti
3) Perlunya pembekalan kepada para tenaga kesehatan sehingga mampu melakukan pendekatan lebih intensif kepada masyarakat Baduy Dalam untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem budaya pelayanan modern disamping sistem budaya pelayanan tradisional yang selama ini mereka anut dan dipercaya serta terbukti dapat memperbaiki kondisi kesehatan masyarakat setempat. 4) Pengobatan masyarakat Baduy Dalam yang kental dengan kearifan lokalnya merupakan salah satu fakta yang perlu diteliti lebih lanjut secara ilmiah.
266
INDEKS
A adat · 1, 3, 8, 9, 11, 14, 15, 16, 17, 20, 24, 26, 27, 28, 29, 31, 32, 33, 38, 39, 41, 46, 48, 50, 51, 53, 54, 55, 60, 62, 63, 65, 67, 72, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 81, 83, 85, 86, 87, 88, 89, 92, 93, 96, 98, 101, 112, 113, 169, 171, 173, 174, 177, 180, 181, 183, 186, 192, 196, 206, 217, 219, 222, 224, 225, 227, 237, 238, 243, 248, 265, 273 ambu · 76, 90, 164, 166, 167 Angka Kematian Bayi · 2 Angka Kematian Ibu · 2 ari-ari · 164, 165, 166, 210, 227 ASI · 4, 170, 219, 227, 280
B Baduy Dalam · 6, 7, 8, 9, 10, 13, 14, 18, 19, 20, 21, 24, 26, 32, 33, 37, 38, 39, 40, 41, 44, 46, 47, 48, 50, 51, 53, 54, 65, 67, 78, 89, 93, 94, 95, 96, 98, 101, 108, 113, 115, 116, 124, 138, 147, 155, 156, 157, 163, 169, 170, 172, 173, 174, 176,
177, 178, 180, 181,륈182, 184, 185, 186, 189, 191, 194, 195, 196, 199, 201, 203, 206, 212, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 233, 236, 238, 239, 253, 265 Baduy Luar · 8, 14, 38, 40, 41, 46, 48, 78, 94, 95, 96, 100, 102, 103, 104, 108, 109, 113, 115, 131, 184, 193, 197, 207, 224, 233, 246, 247, 249, 251, 252, 253, 257 balita · 3, 11, 15, 47, 172, 174, 175, 177, 189, 190, 191, 195, 214, 219, 265 bambu · 3, 26, 28, 38, 41, 43, 48, 49, 50, 51, 54, 56, 66, 86, 93, 99, 106, 109, 111, 165, 167, 179, 182, 185, 210, 227, 238, 240, 253, 273 Banten · 6, 7, 8, 9, 15, 22, 23, 24, 34, 35, 58, 71, 76, 82, 84, 88, 105, 112, 185, 186, 189, 234, 235, 277, 279, 280, 281, 282 baresan · 33, 46, 80, 84 bayi · 2, 3, 4, 11, 59, 63, 65, 142, 164, 165, 166, 167, 170, 171, 172, 181, 189, 190, 195, 206, 208, 209, 212, 214, 218, 219, 227, 265
267
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Bengkong · 87, 238, 239, 240, 247, 258 bidan · 3, 6, 87, 211, 212, 213 butul · 186, 188 Buyut · 26, 64
E
C
F
cacing · 47, 197, 198, 200 Cibeo · 8, 14, 19, 20, 21, 22, 33, 37, 38, 40, 41, 44, 47, 48, 61, 62, 70, 73, 76, 78, 80, 84, 85, 89, 92, 104, 113, 189, 190, 193, 202, 223, 239 Ciboleger · 19, 44, 106, 181, 247 Cijahe · 40, 48, 181 Cikartawana · 8, 19, 21, 22, 34, 37, 38, 40, 44, 47, 48, 61, 70, 73, 76, 78, 80, 84, 104, 200, 247, 248 Cikeusik · 8, 20, 21, 22, 33, 37, 38, 47, 61, 62, 70, 73, 76, 78, 80, 84, 85, 104, 155, 157, 173, 176, 182, 192 Cisimeut · 35, 37, 124, 198, 211, 212, 213, 218, 281 cukuran · 59, 175
Frambusia · 185, 186, 187, 277, 278, 279
D dukun · 2, 3, 11, 59, 60, 65, 83, 84, 87, 163, 164, 166, 167, 169, 203, 208, 209, 212, 217, 224, 226, 237, 239
268
Etnografi · 1, 6, 7, 13, 24, 277, 279, 282 eungap · 195
G geser · 67, 243
H harane · 40, 48 harendong · 40, 48, 90 hateup · 43, 54, 99, 181, 182, 265, 271 hawu · 168 helaran · 248 hinis · 165, 166, 167, 227, 271 huma · 20, 33, 81, 91, 92, 97, 107, 164, 169, 174, 175, 181, 202, 208, 226, 227, 238, 271
I Ibu nifas · 167, 169 imah · 38, 41, 51, 52, 68, 177, 181, 193 imunisasi · 173, 195, 212, 218, 219, 220, 224, 227
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
informan · 7, 10, 11, 12, 22, 40, 47, 48, 53, 62, 68, 103, 169, 170, 186, 187, 188, 196, 200, 202, 214, 216, 224, 239, 240
kontrasepsi · 169, 216 Kutil · 200, 201, 277
J
Lebak · 6, 7, 8, 9, 16, 22, 26, 34, 64, 71, 105, 112, 181, 185, 186, 189, 190, 196, 219, 233, 279, 281 lembur · 82, 84, 221 Leuwidamar · 8, 19, 34, 35, 104, 112, 185, 186, 280 lisung · 40, 53, 55, 272
jampe-jampe · 166, 188, 240, 254 Jaro · 20, 29, 33, 38, 44, 55, 70, 74, 82, 83, 84, 89, 96, 221, 222, 238, 239 Juru Aes · 78, 247 Juru Basa · 79
K Kanekes · 8, 9, 10, 15, 20, 21, 25, 29, 34, 44, 46, 70, 76, 77, 83, 84, 88, 89, 96, 104, 105, 106, 109, 112, 182, 183, 185, 186, 189, 190, 280, 282 kapuru · 60, 171 karuhun. · 25, 77 Kebudayaan · 1, 16, 279, 280, 282 kecacingan · 197, 200 kehamilan · 3, 169, 215, 216, 218, 219, 220, 226, 282 kele · 38, 41, 51, 110, 185 Kesehatan Ibu dan Anak · 5, 6, 18, 65, 153, 206, 214, 220, 221, 223 kiray · 181, 271 kokolot · 55, 59, 60, 76, 78, 80, 82, 84, 85, 87, 88 Kokolot · 147, 221, 248
L
M Mantri · 211, 213 medis · 87, 163, 172, 185, 201, 206, 222, 225, 226, 227, 237 modern · 18, 86, 88, 117, 129, 173, 182, 211, 214, 217, 224,
N neonatus · 171, 195, 214, 215 ngaburakeun · 253 ngored · 26, 107 nyacar serang · 46, 98
P Panamping · 28, 32, 44, 52, 70, 87, 89, 114, 115 pandangan hidup · 1, 15 pangkeng · 51, 181 Panglay · 137 269
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
papangge · 51, 56, 111 Papilloma · 201 paraji · 59, 65, 163, 164, 166, 167, 169, 172, 206, 208, 209, 212, 217, 218, 219, 226, 227 Penyakit Menular · 5, 6, 185 Penyakit Tidak Menular · 5, 6, 203 peper · 67, 78 Peperan · 242, 244 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat · 4, 5, 6, 179 perinatal · 217, 219 persalinan · 2, 3, 4, 163, 164, 195, 206, 208, 211, 212, 213, 215, 216, 217, 218, 219, 226, 227, 277 pesajen · 55, 248 peureuhan · 171, 210 Pikukuh · 18, 29, 31, 65, 86, 227, 273 Pneumonia · 188, 189, 190, 191, 192, 219, 278, 282 Puun · 54, 67, 70, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 87, 88, 89, 93, 171, 221, 238, 239,
R Rajah · 250 ramuan · 42, 99, 167, 169, 170, 172, 188, 198, 200, 217, 222, 226, 253 Rangkasbitung · 19, 82
S samping · 37, 55, 106, 167, 169, 175, 209, 225, 253 sangu beuweung · 170 Sasaka Domas · 70, 76, 79 saung · 20, 33, 40, 53, 55, 97, 163, 227, 248 Seba Baduy · 233, 234, 235 sesak nafas · 195 sirkumsisi · 4, 236 Sopak Lodong · 253, 254, 259 sosoro · 50, 181, 273 sunat lobaan · 55, 78, 79 sunatan lobaan · 79, 176, 222 Sunda · 9, 15, 23, 25, 42, 58, 72, 76, 77, 79, 83, 88, 91, 93, 99, 108, 206, 222, 223, 279, 282 sunda wiwitan · 58, 59 Sungai Ciujung · 23, 24, 36, 93,
T tali teureup · 166, 182 Tangtu · 20, 28, 31, 38, 44, 47, 51, 52, 65, 70, 73, 80, 87, 89, 104, 107, 114, 120, 185, 188, 203, 212, 213, 214, 222, 224, 238, 239 taraje · 51, 56, 274 teureuh · 210, 238, 239 tuak · 43, 99, 198, 200, 274 Tungku · 93, 180
U ulayat · 34, 39, 185, 211, 238 270
GLOSARIUM A Aka Ambu Ancak-Ancak Anok Ararateul Angiran Asup Angin B Baris Baraya Boboko Bebene Biwir Beuheung Beuteung Birit Bitis Babajeg Bun-Bunan Buuk C Ceng Ceuli Cangkoak Cacingeun Curug
: panggilan untuk kakak laki-laki : Ibu : Pelan-pelan : panggilan untuk anak perempuan : gatal : keramas : masuk angin : tempat menyimpan nasi : saudara/keluarga : fungsi sama seperti baris tapi ukuran lebih kecil : Pacar : bibir : leher : perut : pantat : betis : bagian atas tumit : ubun ubun kepala rambut : Panggilan untuk anak laki-laki : Telinga : alat untuk menangkap ikan di musim kemarau : Cacingan : Telunjuk 271
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Curug Bugang Cingir Cingir Etnik Coak D Dede Dampal Etnik G Gado H Hawu Hateup Hinis Huma Halis Honje Haneut Haseum I Imah Indung Leungeung Indung Etnik J Jaro Jampe Janggot Jariji Jalumpang Juru Aes
272
: : : :
jari tengah jari manis jari manis kaki dilubangi
: :
panggilan untuk laki-laki remaja telapak kaki
: dagu : kompor untuk memasak menggunakan kayu bakar : penutup rumahnya terbuat dari daun kiray : bamboo : Ladang : Alis : : Hangat : masam : Rumah : jempol tangan jempol kaki : : : : :
pimpinan mantera janggut jari manis sebutan untuk alas kaki pada lumbung padi : Juru rias
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
K Kekenceng : Kepek Kaluas Kanceuh Kotok Keuneung Karembong Koja Kokolot Karuhun L Lisung Lieur Lambe Landep Leuweung Lembur Leuit Lebu Lobaan M Mejer Mumuluk Muriang Panas Mumuncangan N Naib Nganjang Nyeri beuteung Nyeri huntu Ngaragap beuteung
: : : : : : : : : :
Katel tempat untuk nyimpen baju anemia kambuh ayam tumit bahan kain yang digunakan untuk rok tas yang terbuat dari kulit kayu Sesepuh/ tokoh masyarakat Leluhur
: : : : : : : : :
alat untuk menumbuk padi sakit Kepala lidah gigi hutan desa/kampung halaman lumbung abu hasil pembakaran kayu massal
: : : :
Diare Makan Demam mata kaki
: Penghulu : apel : sakit perut : sakit gigi : memijat perut
273
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Nyeri hulu Ngarereb Ngarunghal O ongong P Papangge Pangkeng Para Palupuh Pikukuh pangambung palipis pakundangan pingping R Ramo ramo Etnik S Se’eng Somong Sosoy Sosoro Sirah Salesma Soca Sakit Koneng Suluh Susu
274
: sakit kepala : tidur : melangkahi kakak untuk menikah lebih dahulu : panggilan untuk anak laki-laki yang masih kecil : teras rumah : bagian rumah : atap terbuka : lantai terbuat dari bambu : prinsip/aturan adat : hidung : pelipis : penis : paha jari jari kaki : alat untuk memasak nasi : gelas terbuat dari bambu : alat untuk menangkap ikan di air terjun : bagian depan rumah (r.keluarga) : kepala : flu : mata : Liver : kayu bakar : payudara
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Etnik T Tangtu Teteh Tabe Tepas Taraje Tuak Tarang Taktak Tuur Tonggong
: kaki : : : : : : : : :
Baduy Dalam panggilan untuk kakak perempuan maaf tempat menerima tamu tangga, bagian dari rumah air dahi bahu lutut punggung
275
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
276
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja. 2000. Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air Pemelihara Sungai, Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, hal 47–59. Ahimsa. 2005. Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Sosial Budaya dalam Masalah Kesehatan dalam Kajian Ilmu Sosial Budaya. Kepel Press, Jogjakarta Al Mushowwir. 2013. Komunikasi Ritual Adat Seba Masyarakat Baduy. Alwi et al. 2004. Budaya persalinan Etnik Amungmedan Etnik Kamoro. J.Kedokteran Trisakti. Vol. 23 No. 4:141-149. American Academy of Pediatrics. Circumcision policy statement. Pediatrics 1999;103:686-93. Anonimous. 2008. Tanaman Obat : Panglai. http://myunusw. files.wordpress.com/2008/04/panglai.png [disitasi Juli 2014]. Anonimous. 2010. Model Analisis Etnografi dalam Penelitian Kualitatif, . Anonimous. 2011. Frambusia. http://nusapenida3. Diskesklungkung.net [disitasi Juli 2014]. Anonimous. 2014. Penyakit Kutil. [http://penyakitkutil.com/] [disitasi Juli 2014].
277
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Anonimous.2012.http://herulegowo.files.wordpress.com/2012/1 2/peta.jpg [disitasi 4 Agustus 2014]. Anonimous. 2012. Metode yang DIgunakan untuk Sunat. http://teroponginfo.blogspot.com/2012/02/metodemetode-yang-di-gunakan-untuk_02.html [disitasi Juli 2014]. Anonimous.2013. [disitasi 4 Agustus2014]. http://petatematikindo.iles.wordpress.com/2013/03/administrasi-banten.jpg. Anonimous. 2014. Kunyit (Curcuma longa Linn). [http://ccrc. farmasi.ugm.ac.id/?page_id=345][disitasi September 2014] Anonimous. 2014. Memilih Metode Sunat Yang Baik dan Aman. http://kulup.info/sunat/memilih-metode-sunat-terbaikdan-aman/#sthash.AqpGeiCe.dpuf [disitasi Juli 2014]. Anwar F dan Riyadi H. 2008. Status Gizi Dan Status Kesehatan Etnik Baduy. Bintari, FP.2006. 2006. Kehidupan Berkelanjutan Masyarakat Etnik Baduy. Bina Karta Lestari Foundation. Boedisusantoet al. 2009. Analisis Kondisi Rumah, Sosial Ekonomi Dan Perilaku Sebagai Faktor Risiko Kejadian Frambusia Di Kota Jayapura Tahun 2007. Berita Kedokteran Masyarakat Vol. 25, No. 2, Juni 2009, Hal 82-87. Depkes RI. 2001. Yang Perlu diketahui Petugas Kesehatan tentang Kesehatan Reproduksi, Depkes, Jakarta. Depkes, R.I.2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita, Ditjen PPM-PLP. Jakarta. Dinas Kesehatan. 2012. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak Tahun 2012.
278
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Dinas Kesehatan. 2014. Laporan Bulanan Surveilans P2 Frambusia. Dinas Kesehatan Kab Lebak. Ekadjati, Edi S.1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta: Pustaka Jaya. Faisal Sanapiah. 1990. Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang : YA3. Garna, Judhistira, 1988. Perubahan Sosial Budaya Baduy Dalam Nurhadi Rangkuti (Peny.). Orang Baduy dari Inti Jagat. Bentara Budaya, KOMPAS, Yogyakarta: Etnodata Prosindo. Garna, Y. 1993. “Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia”, Editor: Koentjaraningrat & Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama. Hana, A. 2008. Mengenal 7 Metode Sunat/Khitan (Sirkumsisi). http://www.kaahil.wordpress.com [disitasiJuli 2014 2010]. Harris, Marvin. 1968. The Rise of Anthropological Theory. New York : Crowell. Indrawasih, D. 2012. Tradisi Upacara Kasada-BromoProbolinggo.http://dieena.wordpress.com [disitasi Agustus 2014]. Kalangie, Nico. S. 1994. Kebudayaan dan Kesehatan. Penerbit Kesaint Blanc Indah Corp, Jakarta. Kemenkes RI. 2013. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Koentjaraningrat, 1980. Pengantar Antropologi, Aksara Baru. Jakarta.
279
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Koentjaraningrat, 1987. Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Penerbit Djambatan. Jakarta. Koentjaraningrat, 1993. “Masyarakat Baduy”, Yudistira Garna dalam Masyarakat Terasing di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Koentjaraningrat, 1994. Kebudayaan Mentalitas Pembangunan. Jakarta : PT Gramedia Pusaka Utama.
dan
Kurniawati, N. 2011. Budaya Politik Etnik Baduy Desa Kanékés Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Provinsi Banten. Unesa. Semarang [Tesis]. Lutony, T.L. & Rahmayati, Y. 1994. Produksi Dan Perdagangan Minyak Atsiri. Jakarta: Penerbit Penebar Swadaya. Hal. 79 – 82 Makmur, A. 2001. Pamarentahan Baduy di Desa Kanékés: Perspektif kekerabatan.
Malinowski, Bronislaw. 1922. Argonauts of the western pacific. London : Routledge. Martaadisoebrata, D. 2005. Bunga Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Media et al, 2007. Faktor-Faktor Sosial Budaya Yang Melatarbelakangi Pemberian ASI Eksklusif . Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 4.No 2 Agustus: 241-246. Melalatoa, Junus. 1997. Sistem Budaya di Indonesia. Penerbit PT Pamator. Jakarta. Mosley, W.H. and Chen, L.C. 1984. An analytical framework for the study of child survival in developing countries. Population and Development Review 10: 25-45.
280
Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Mulyanto, et al.2010. Perilaku Konformitas Masyarakat Baduy. http://humaspdg.wordpress.com/2010/05/04/perilakukonformitas-masyarakat-Baduy/. [sitasi Juli 2014]. Novita. 2013. Upacara Cukur Rambut Gimbal di Dataran Tinggi Dieng. http://arsipbudayanusantara.blogspot.com [disitasi Agustus 2014]. Octavitri, Yollanda. 2012. Persepsi Masyarakat Kabupaten Lebak Provinsi Banten Terhadap Upacara Seba Etnik Baduy. Permana et al. 2011. Kearifan Lokal Tentang Mitigasi Bencana pada Masyarakat Baduy. Permana, R. Cecep Eka, 1996. Tata Ruang Masyarakat Baduy. Tesis Antropologi Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pramana, Ivan. 2008. Pengertian Budaya Patriakhi. http://id.scribd.com/doc/58728320/Pengertian-budayapatriakhi. [disitasi Juli 2014]. Prameswari,F.M, 2007. Kematian Perinatal di Indonesia dan Faktor yang Berhubungan Tahun 1997-2003. Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol. 1,No.4, Februari 2007 Puskesmas Cisimeut. 2012. Profil Puskesmas Cisimeut 2012. Sehgal VN, Jain S, Bhattacharya SN, Thappa DM, Yaws Control/Eradication, International Journal of Dermatology, 1994;33(1) Januari: 16-20 Setiawati, Gita. 2010. Modal Sosial Dan Pemilihan Dukun Dalam Proses Persalinan: Apakah Relevan?. Makara, kesehatan vol 14, no.1 Juni 2010 : 11-16. Singarimbun, M, 1988. Kelangsungan Hidup Anak. Gadjah Mada University Press, Jogjakarta
281
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Soetardjo, Desa. 1984. Desa. Balai Pustaka. Cetakan 1. Jakarta Spradley, James. 1997. Metode Etnografi. Penerbit Tiara Wacana, Jogyakarta Wahid, Masykur.2010. Sunda Wiwitan Baduy: Agama Penjaga Alam Lindung Di Desa Kanékés Banten. WHO, 2001. Dibalik Angka. Pengkajian Kematian Maternal dan komplikasi untuk mendapatkan kehamilan yang lebih aman. WHO, 2006. Regional Strategy on Eradication of Yaws 2006-2010, WHO Press, Geneva. WHO, 2006. Unicef. Pneumonia: The Forgotten Killer of Children. WHO Press, Geneva. WHO, 2007. Male circumcision Global trends and determinants of prevalence, safety and acceptability. WHO Press, Geneva Wilodati. Sistem Tatanan Masyarakat dan Kebudayaan Orang Baduy Yuwono, TA. 2008. Faktor-Faktor Lingkungan Fisik Rumah Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia Pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap.Undip : Semarang.[Tesis]
282
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga buku ini dapat diselesaikan. Kami menyadari bahwa buku ini tidak dapat selesai sesuai rencana tanpa masukan, bimbingan, dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu, kami menghaturkan terima kasih kepada : 1) Prof. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K), MARS, DTM&H, DTCE selaku Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2) Bapak drg. Agus Suprapto, SKM, M.Si. selaku Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk melaksanakan kegiatan Riset Etnografi Kesehatan (REK) ini. 3) Bapak Lukman Hakim, SKM, M.Epid., selaku Kepala Loka Litbang P2B2 Ciamis, yang telah memberikan izin untuk melaksanakan kegiatan riset ini. 4) Ibu Dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc, selaku ketua pelaksana dalam penelitian ini, yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan kegiatan ini. 5) Bapak Drs. Kasnodihardjo sebagai Koordinator Wilayah dan reviewer atas bimbingan dan masukannya selama kegiatan REK berlangsung hingga terselesaikannya buku ini. 6) Semua Tim Teknis dan Reviewer yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada kami. 7) Bapak H.M Soekirman, S.Sos, M.Si, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak yang telah memberikan tenaga daerah dan dukungannya.
283
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
8) Jaro Dainah, selaku Kepala Desa Kanekes yang telah memberikan ijin, masukan dan dukungan selama pegumpulan data penelitian REK. 9) Bapak Undang, SKM selaku Kepala Puskesmas Cisimeut dan seluruh staf. 10) Ayah Mursyid selaku Kokolot Etnik Baduy Dalam atas bantuan dan dukungannya selama pengumpulan data penelitian REK serta semua warga Etnik Baduy Dalam yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu. 11) Semua pihak yang telah membantu terlaksananya riset ini baik secara langsung dan tidak langsung mulai dari persiapan sampai dengan tersusunnya buku ini, yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu. Akhir kata, besar harapan kami buku ini dapat dimanfaatkan oleh para pengambil kebijakan kesehatan sehingga upaya intervensi kesehatan yang dilakukan dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Etnik Baduy Dalam khususnya.
September 2014
Tim Peneliti
284