1
Balas Dendam yang Sia-Sia: Analisis dalam Novel Malhaneun Dol Karya Moon Soon Tae Margareth Theresia, Eva Latifah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
[email protected]
Abstrak Penelitian ini mengkaji tema utama dan tema tambahan yang terkandung di dalam novel Malhaneun Dol karya Moon Soon Tae melalui gagasan-gagasan yang ada di dalam novel ini. Malhaneun Dol penting untuk diteliti karena mampu menggambarkan suasana masyarakat desa pada saat Perang Korea dan akibat yang terjadi setelahnya. Metode yang digunakan adalah close reading atau membaca dekat yaitu dengan membaca tekun suatu karya untuk menelitinya lebih lanjut. Dengan latar belakang yang juga penulis pertimbangkan, dapat ditemukan bahwa tema utama dalam novel ini adalah balas dendam yang sia-sia. Tema tambahan dalam novel ini adalah suasana sosial perang, keadaan psikologis perang dan penghormatan kepada orang tua.
A shameful revenge: A theme analysis of Malhaneun Dol novel written by Moon Soon Tae Abstract The research is focused on a study of main theme and supporting theme in the Malhaneun Dol novel written by Moon Soon Tae through its supporting ideas. Malhaneun Dol is important to be researched because this novel can describe the villagers’ atmosphere at Korean War and the time after that. The research method that applied in this thesis is close reading that we have to read a work to understand it more deeply. Historical background is considered and we can find that the main theme of the novel is a shameful revenge. The supporting themes are social atmosphere and psychological state at war, and filial piety.
Key words: main theme, supporting theme, Malhaneun Dol, war, postwar
Pendahuluan
Di dalam dunia kesusastraan Korea, secara umum pengarang dibagi menjadi berbagai bagian zaman, yaitu zaman pencerahan (1894-1910), lalu zaman penjajahan (1910-1945), zaman kemerdekaan (1945-1950), zaman perang (1950-an), dan zaman pascaperang (1960-an
Balas dendam..., Margareth Theresia, FIB UI, 2013
2 ke atas). Kim Byung Ik 1 menyatakan bahwa para pengarang berusia tiga puluh sampai empat puluhan yang debut pada tahun 1970-an biasanya mengalami kegetiran perang pada masa muda mereka sehingga karya-karya sastra mengenai perang mulai muncul kembali. Karya sastra mengenai Perang Korea yang muncul pada tahun 1970-an dibagi menjadi berdasarkan sudut pandang, yaitu kepasrahan tradisional, kesadaran diri, pendekatan sosial sejarah, dan pendekatan berdasarkan kesadaran sejarah. Keempat sudut pandang yang muncul pada novelnovel Korea yang berhubungan dengan Perang Korea memiliki kontribusi besar pada kesadaran nasional bangsa Korea pada tahun 1980-an (Kim Uchang dkk, 2005: 310). Salah satu novel bertema Perang Korea yang muncul pada pasca perang adalah novel 말하는 돌 (Malhaneun Dol). Novel 말하는 돌 (Malhaneun Dol) karya Moon Soon Tae dibuat pada tahun 1981 dengan latar belakang era Perang Korea (1950-1953). Moon Soon Tae adalah seorang sastrawan yang dilahirkan pada tahun 15 Maret 1941 dan lulus dari Universitas Joseon. Karya Moon Soon Tae pada umumnya berhubungan dengan alam, terutama berlatar belakang daerah Sangnyu. Keunikan karya-karyanya adalah tema kehidupan sosial dalam masyarakat melalui balutan latar belakang alam. Ia memberi nafas baru dalam novel pascaperang. Melihat dari empat sudut pandang karya sastra Perang Korea yang muncul pada tahun 1970-an, maka novel 말하는 돌 (Malhaneun Dol) termasuk ke dalam sudut pandang kepasrahan tradisional dan kesadaran diri. Novel ini tidak berdiri secara murni di dalam salah satu sudut pandang, tetapi bercampur di antara kedua sudut pandang itu. Melihat hal itu, penulis tertarik untuk meneliti novel ini. Persoalan yang akan diteliti adalah sebagai berikut: Bagaimana penggambaran tema utama dan tema tambahan dalam novel 말하는 돌 (Malhaneun Dol)? Gagasan apa yang mendukung tema utama dan tema tambahan dalam novel 말하는 돌 (Malhaneun Dol)? Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tema utama dan tema tambahan yang ada di dalam novel 말하는 돌 (Malhaneun Dol).
Tinjauan Teoritis
1
Kim Byung Ik menulisnya dalam artikel yang berjudul The Korean War in Fiction yang dimuat dalam buku Korean Literature: Its Classical Heritage and Modern Breakthroughs (2005)
Balas dendam..., Margareth Theresia, FIB UI, 2013
3 Apabila kita sudah mengetahui waktu pembuatan dan perilisan novel, maka kita bisa langsung menafsirkan isi dari novel tersebut. Suwardi Endraswara (2011: 45) menyatakan bahwa ada empat cara untuk menafsirkan sebuah karya sastra. Pertama menentukan arti langsung yang primer. Kita bisa menentukannya dengan membaca keseluruhan karya sastra lalu menentukan inti umum dari karya sastra itu. Kedua, bila perlu menjelaskan arti-arti implisit. Sebuah karya sastra tidak selalu menampilkan makna karya
tersebut
secara
langsung
atau
eksplisit.
Sebagian
besar
karya
sastra
menampilkannya secara implisit atau tidak langsung. Ketiga, menentukan tema. Setelah mendalami arti-arti atau makna dalam karya sastra, kita bisa dengan mudah menemukan tema atau jiwa sebuah karya sastra. Keempat mempelajari arti-arti simbolik dalam teks. Sebuah karya sastra biasanya memiliki simbol-simbol tertentu yang memiliki arti untuk memudahkan kita memahami apa yang ingin disampaikan oleh pengarang. Dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel, secara lebih khusus dan rinci, Stanton (1965: 22-23) mengemukakan sejumlah kriteria. Pertama, dalam menafsirkan tema dalam sebuah novel kita harus melihat dan menimbang setiap detil cerita yang ada, terutama yang menonjol. Kedua, dalam menafsirkan tema dalam sebuah novel kita tidak boleh bertentangan dengan detil cerita yang ada. Ketiga, dalam menafsirkan tema dalam sebuah novel sebaiknya tidak berdasar pada bukti-bukti yang tidak ada di dalam novel. Terakhir, dalam menafsirkan tema dalam sebuah novel sebaiknya berdasarkan pada bukti-bukti yang ada di dalam novel yang diteliti. Kriteriakriteria ini sesuai dengan metode penelitian yang penulis gunakan, yaitu close reading, penulis membaca dan mencermati karya sastra dengan teliti lalu menganalisisnya sehingga dapat menemukan tema atau gagasan yang diusung dalam karya sastra tersebut. Selain tema utama dan tema tambahan, Nurgiyantoro juga membagi tema menjadi tema tradisional dan tema nontradisional. Pembagian ini dilakukan berdasarkan sering tidaknya tema itu dipakai oleh para penulis karya sastra. Tema tradisional adalah tema yang selalu ada sejak dahulu hingga sekarang dan pembaca menyukainya karena sesuai dengan pesan moral yang ada di masyarakat dan juga dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Di dalam buku yang sama (halaman 80-82), Nurgiyantoro juga mencantumkan tingkatan tema menurut Shipley yang membedakan tema karya sastra dalam berbagai tingkatan berdasarkan pengalaman jiwa, yang disusun dari tingkat paling sederhana sampai tingkat paling tinggi, yaitu sebagai berikut:
Balas dendam..., Margareth Theresia, FIB UI, 2013
4 Pertama, tingkat fisik manusia sebagai molekul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran atau ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada penjiwaan. [...] Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai protoplasma. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyangkut atau mempersoalkan masalah seksualitas. [...] Ketiga, tema tingkat sosial manusia sebagai makhluk sosial. Kehidupan bermasyarakat mengandung banyak permasalahan, konflik, dan lain-lain yang menjadi objek pencarian tema. [...] Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai individu. Di samping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa menuntut pengakuan atas hak individualitasnya. [...] Kelima, tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi yang belum tentu setiap manusia mengalami atau mencapainya.
Kelima jenis tingkatan tema tersebut dapat kita temukan di berbagai karya sastra yang ada. Akan tetapi di dalam sebuah karya sastra yang ada, biasanya tidak hanya satu jenis tingkatan tema saja yang muncul.
Metode Penelitian
Data yang digunakan adalah novel 말하는 돌 (Malhaneun Dol) yang terdapat dalam buku “20 세기 한국소설 31: 김원일 송기원외” (20 Segi Hanguk Soseol 31: Kim Won Il Song Gi Won We) yang diterbitkan oleh penerbit Changbi pada tahun 2005. Metode penelitian skripsi ini adalah kualitatif dengan metode penulisan ekspositoris dengan teknik penelitian kepustakaan. Dalam menganalisis tema, penulis menggunakan metode close-reading atau membaca dekat, yakni analisis teks
secara detail dan mendalam untuk dapat
menginterpretasikan serta menarik kesimpulan berdasarkan apa yang tertulis di dalam teks karya sastra yang penulis teliti.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Novel 말하는 돌 (Malhaneun Dol) adalah novel yang ditulis oleh Moon Soon Tae pada tahun 1980-an dengan mengambil latar belakang Perang Korea tahun 1950-1953 dan suasana tiga puluh tahun setelahnya. Novel dan pengarang ini cukup terkenal serta cukup mewakili kekhasan novel pascaperang yang mengambil tema mengenai perang. Walaupun Moon Soon Tae bukanlah seorang pengarang yang sangat terkenal di Korea dan novel 말하는 돌 (Malhaneun Dol) bukanlah novel yang meledak di pasaran, tetapi novel ini memiliki daya tarik sendiri kepada penulis. Novel 말하는 돌 (Malhaneun Dol) cukup menggambarkan suasana yang ada di Korea pada saat perang serta keadaan psikologis pada saat perang dan
Balas dendam..., Margareth Theresia, FIB UI, 2013
5 sesudahnya. Ia mewakili generasi kedua penulis sastra pasca perang yang memiliki karakteristik novel dengan sudut pandang masyarakat desa sebagai korban. Generasi kedua perang mengalami perang pada masa anak-anak sehingga mereka tidak mengerti makna di balik perang itu sendiri walaupun mereka mengalami perang secara langsung. Penulis sendiri merasa cerita novel ini membantu penulis untuk memahami suasana perang dan keadaan psikologis orang-orang Korea pada masa Perang Korea. Novel 말하는 돌 (Malhaneun Dol) menceritakan mengenai perjuangan tokoh “aku” yang kehilangan ayah semasa perang. Pada umur sepuluh tahun, tokoh “aku” melihat sendiri ayah dibawa empat pemuda dan pada saat menemukan ayah, tokoh “aku” melihat ayah sudah meninggal. Terbakar oleh dendam, tokoh “aku” berjuang keras agar menjadi orang sukses dan ingin menjadikan warga desa sebagai suruhannya untuk memperbaiki makam ayah. Pada saat pekerjaan membangun kembali makam ayah selesai, bukannya mendapati bahwa dendammya telah terpenuhi, tokoh “aku” malah merasa malu karena warga desa bukannya merasa bersalah karena telah membiarkan ayah meninggal, tetapi malah biasa saja menghadapinya. Hal ini terjadi karena kematian adalah sesuatu yang biasa di masa perang dan tidak ada satu orangpun yang bisa menghindarinya. Tema utama dalam novel 말하는 돌 (Malhaneun Dol) adalah balas dendam yang siasia. Di dalam perang sudah biasa ada kematian tanpa sebab. Ayah tokoh “aku” diceritakan meninggal setelah dituduh membunuh wakil kepala desa. Kemudian ia dibawa oleh empat pemuda ke Gunung Kkachi. Tokoh “aku” merasa hal itu tidak pantas terjadi kepada ayah dan ingin membalaskan kematian ayah kepada warga desa yang seakan-akan membiarkan ayah meninggal, juga kepada empat pemuda yang membawa ayah ke Gunung Kkachi dan menurut tokoh “aku” memiliki andil paling besar dalam kematian ayah. Warga desa juga digambarkan ingin membalaskan dendam akan kematian anggota keluarganya kepada orang-orang yang mereka anggap bertanggung jawab. Namun, pembalasan dendam tokoh “aku” menjadi sia-sia karena warga desa tidak menganggap kematian ayah tokoh “aku” adalah sesuatu hal yang salah pada masa perang. Kematian adalah hal yang biasa. Melihat sikap warga yang malah menyambutnya dengan baik, tokoh “aku” merasa malu akan dendamnya yang dianggapnya tidak pantas, sehingga balas dendamnya hanya menjadi kesia-sian belaka. Tokoh “aku” merasa dendamnya akan terbalaskan pada saat warga desa merasa kaget dan bersalah pada saat mengetahui siapa tokoh “aku” yang sebenarnya. Maka dari itu, setelah selesai menyuruh warga desa untuk membangun makam ayah, tokoh “aku” ingin memberitahukan siapa dirinya yang sebenarnya. Tokoh “aku” yakin kalau semua orang pasti
Balas dendam..., Margareth Theresia, FIB UI, 2013
6 akan kaget dan ketakutan setelah mengetahui siapa tokoh “aku” yang sebenarnya. Setelah melihat kekagetan itu, tokoh “aku” merasa dendamnya akan terbalaskan sehingga tokoh “aku” akan merasa puas dan tidak merasa sia-sia kembali lagi ke desa tempatnya dilahirkan. Keinginan melihat kekagetan warga desa pada saat tahu siapa tokoh “aku” sebenarnya tergambarkan pada kutipan berikut. […중략…] 나는 계획대로 내 신분을 밝혔다. 나는 그들이 내 신분을 알고 얼마나 놀라서 까무러칠까 하는, 일종의 달콤한 복수심을 생각하면서 자랑스럽고 떳떳하게 내 아버지의 이름을 말했다. [7 항, 174 쪽] Terjemahan bebas: […] Aku memberitahukan siapa diriku sesuai dengan rencana. Aku menyebutkan nama ayahku dengan bangga dan hormat sambil membayangkan balas dendam manis yang kulakukan. Aku membayangkan mereka semua tekejut sampai pingsan (paragraf 7, halaman 174).
Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan kebencian dan keinginan tokoh “aku” untuk membalas dendam kepada warga desa. Tokoh “aku” menganggap balas dendamnya adalah balas dendam sempurna kepada orang-orang yang berkontribusi dalam kematian ayah. Jika warga desa mengetahui bahwa tokoh “aku” adalah anak dari seseorang yang meninggal sewaktu perang, tokoh “aku” pikir bahwa warga desa akan merasa kaget dan ketakutan. Pikiran tokoh “aku” yang digambarkan di sini semakin menguatkan bukti bahwa tema utama dari novel ini adalah balas dendam. Pikiran tokoh utama “aku” yang diutarakan secara eksplisit menggambarkan hal itu. Balas dendam yang tokoh “aku” bayangkan selama ini ternyata hanyalah balas dendam yang sia-sia. Balas dendam yang dilakukan oleh tokoh “aku” malah membawa rasa malu yang begitu besar kepada tokoh “aku” sehingga merasa tidak pantas lagi bertemu dengan warga desa di masa depan. Perasaan hampa karena menyadari kesalahpahaman yang ada di masa lalu tergambarkan dengan jelas pada kutipan berikut. 나는 마치 내 심장을 떼어서 아버지의 유골 부스러기와 함께 속에 파묻어버린 것처럼 마음이 공허해졌다. 우울하고 공허한 마음때문에 말 한마디 없이 산을 내려왔다. 장돌식이가 부면장 아들과 약속한 대로 하룻밤 더 묵고 가라고 붙잡는 것을 탈탈 뿌리쳤다. 내가 저지른 브끄러움 때문에 마을 사람들의 얼굴을 다시 볼 수가 없을 것 같았다. (1 항, 178 쪽) Terjemahan bebas: Aku merasa hatiku hampa seperti sisa-sisa jasad ayah yang terlupakan di makamnya karena hatiku yang jantungku yang berdetak. Aku turun dari gunung tanpa bicara karena hatiku terasa hampa dan resah. Aku membiarkan dengan perasaan berat kalau si lengan buntung akan menginap semalam di rumah anak kepala desa sesuai dengan janji. Aku merasa tidak akan bisa melihat wajah-wajah warga desa lagi setelah rasa malu yang sudah kubuat sendiri ini. (paragraf 1, halaman 178)
Kehampaan dan rasa berat yang tokoh “aku” rasakan merupakan perasaan bersalah kepada warga desa yang sudah tokoh “aku” benci selama puluhan tahun. Kehampaan itu juga merupakan salah satu penggambaran rasa kesia-siaan karena sesuatu yang tidak terpenuhi
Balas dendam..., Margareth Theresia, FIB UI, 2013
7 karena tidak ada hasil yang bagus. Hasil yang dimaksud di sini adalah perasaan lega karena balas dendam yang terbalaskan. Balas dendam yang sudah dipikirkan dengan sempurna ini malah sia-sia karena kesalahpahaman yang tokoh “aku” rasakan. Dari kutipan-kutipan dan penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa pembalasan dendam yang tokoh “aku” ingin lakukan malah diakhiri dengan rasa malu yang menerpanya karena warga desa tidak bersikap sesuai dengan yang tokoh “aku” inginkan. Alih-alih merasa malu karena tahu tokoh “aku” adalah anak dari seseorang yang terbunuh di masa lalu, warga desa malah merasa bahagia karena tokoh “aku” sudah sukses dan kembali ke desa. Balas dendam sempurna yang sudah direncanakan matang selama tiga puluh tahun yang panjang ternyata hanyalah kesia-siaan belaka. Maka dari itu, penulis menyimpulkan bahwa tema utama dari novel 말하는 돌 (Malhaneun Dol) karya Moon Soon Tae adalah balas dendam yang sia-sia. Ada tiga tema tambahan di dalam novel 말하는 돌 (Malhaneun Dol). Tema tambahan pertama di dalam novel ini adalah mengenai suasana perang. Suasana perang digambarkan kacau balau dan kematian ada dimana-mana. Kematian adalah hal yang biasa terjadi pada masa perang sehingga masyarakat menganggap kematian adalah suatu hal yang wajar terjadi di medan perang. Suasana kacau balau juga digambarkan pada saat masyarakat pontang panting mencari tempat perlindungan untuk mengungsi. Hal yang digambarkan di dalam novel 말하는 돌 (Malhaneun Dol) ini adalah keadaaan kacau balau dalam warga yang terkena imbas dari peperangan. Warga ketakutan mulai pada saat mereka tahu perang sudah dimulai, tidak hanya pada saat perang saja. Kekacauan terjadi setelah warga tahu bahwa perang sudah dimulai. Suasana perang yang mencekam terlihat pada saat warga yang ketakutan mulai mengungsi karena takut terbunuh. Warga yang merasa berat meninggalkan rumahnya memilih untuk bersembunyi di tempat yang menurut mereka aman di desanya. Semua orang mencari tempat berlindung yang menurut mereka aman. Kutipan berikut membuktikan latar belakang novel 말하는 돌 (Malhaneun Dol) yang menggambarkan situasi perang: 전쟁이 터졌다고들 했다. 미처 피란을 못 간 부면장 부자가 언겁결에 집 뒤 대밭에 숨었으며 그 큰 집을 아버지와 둘이서 지켰다. (5 항, 154 쪽) Terjemahan bebas: Perang pecah. Wakil kepala desa kami yang tidak bisa pergi ke tempat pengungsian bersembunyi di semak bambu yang ada di belakang rumahnya sedangkan aku dan ayahku diperintahkan untuk menjaga rumahnya yang besar. (Paragraf 5, halaman 154)
Balas dendam..., Margareth Theresia, FIB UI, 2013
8 Seperti yang kita lihat di dalam kutipan di atas, tokoh wakil kepala desa yang tidak bisa mengungsi akhirnya berlindung di balik semak bambu karena ia menganggap tempat itulah yang teraman untuknya. Orang dewasa yang sudah mengerti mengenai perang dan akibatnya sudah pasti ketakutan dan khawatir mengenai kehidupan keluarganya. Mereka sudah paham mengenai kengerian perang yang bisa membuat diri mereka atau bahkan keluarganya terbunuh. Ketakutan inilah yang mendorong rakyat desa berbondong-bondong mencari tempat yang menurut mereka aman. Tema tambahan kedua adalah keadaan psikologis masyarakat Korea pada saat perang. Ada beberapa keadaan psikologis yang digambarkan disini yaitu penasaran, perubahan sikap secara tiba-tiba, kecurigaan, hilang kepercayan, kewaspadaan, kesedihan, kemarahan, trauma, kepasrahan, dan kesalahpahaman. Keadaan psikologis yang negatif ini muncul di masa perang dan digambarkan secara detail di dalam novel ini. Tema tambahan ketiga adalah penghormatan orang tua. Korea mengenal kata 효 (hyo) atau penghormatan orang tua yang dipelajari bangsa Korea melalui ajaran Konfusius. Penghormatan kepada orang tua yang digambarkan di dalam novel ini adalah mengenai pemindahan makam yang dilakukan oleh tokoh “aku”. Pemakaman memiliki cara tersendiri yang unik di Korea agar dianggap layak dan mampu mengantarkan leluhur ke kehidupan berikutnya. Tokoh “aku” juga melakukan hal yang sama dengan memindahkan makam ayahnya. Selain memindahkan makam ayahnya, tokoh “aku” juga membalas budi kepada ayahnya dengan membalaskan dendam ayahnya yang sudah mati sia-sia. Padanan frasa yang paling tepat untuk menjelaskan 효 (hyo) atau filial piety dalam bahasa Indonesia adalah penghormatan kepada orang tua. Penghormatan kepada orang tua sudah dikenal bangsa Korea sejak jaman dahulu kala. Penghormatan kepada orang tua dilakukan untuk membalas budi kepada orang tua yang telah membesarkan mereka. Menurut Joo Gang Hyeon2, penghormatan yang paling sering muncul adalah penghormatan kepada leluhur yang sudah meninggal, terutama dalam pemakaman leluhur yang sudah meninggal (2007: 373-374). Tokoh “aku” yang hanya merupakan anak kecil yang berumur sepuluh tahun sudah mengerti mengenai penghormatan terhadap orang tua. Terutama setelah “aku” menjadi dewasa tiga puluh tahun kemudian. Orang tua sangat dihormati di Korea karena dianggap
2
dalam kamusnya yang berjudul 100 가지 민족문화 상징 사전 (100 gaji minjokmunhwa sangjing sajeon/Kamus 100 Jenis Simbol dalam Kebudayaan Masyarakat)
Balas dendam..., Margareth Theresia, FIB UI, 2013
9 pelindung mereka. Hal ini juga terlihat dari ajaran Konfusianisme yang dipercaya bangsa Korea mengenai penghormatan kepada orang tua. Tokoh “aku” juga ingin ayahnya dimakamkan dengan layak setelah meninggal sehingga ia mencoba memakamkan ayahnya sendiri. Kita bisa melihatnya dengan membaca kutipan berikut. 그날 우리들은 썩은 돌비늘 이 두껍게 깔린 땅을 파고 아버지를 묻었다. 흙을 져 나를수도, 떼를 뜰 수도 없어 평장을 하고 둘이서 끙끙거리며 돌을 날라다 무덤 위에 덮었다 (4 항, 164 쪽). Terjemahan bebas: Pada hari itu kamu mengubur ayah dengan menumpukkan tanah. Aku juga menutupnya dengan tanah, namun aku tidak bisa mengubur ayah dengan menggunakan nisan dan gundukan sepeti layaknya makam pada umumnya. Kami hanya bisa mengangkat sebuah batu yang berat ke atas makam ayah (paragraf 4, halaman 164).
Orang Korea memiliki cara tertentu untuk membuat sebuah makam. Sebuah makam yang tepat harus dikelilingi oleh gunung tinggi atau lereng di sebelah utara, bukit di sebelah kanan disebut “harimau putih” dan sebelah kiri disebut “naga biru.” Di depan sebuah makam haruslah berupa lapangan terbuka atau sebuah sungai (Lee Kwang Kyu, 2003: 197). Sebuah makam memiliki makna tersendiri bagi orang Korea. Tokoh “aku” pun sebenarnya ingin memberikan pemakaman yang layak kepada ayahnya, tetapi itulah pemakaman terbaik yang bisa ia berikan kepada ayahnya pada usia sepuluh tahun. Setelah tiga puluh tahun berlalu, tokoh “aku” yang diceritakan sudah memiliki banyak uang ingin memindahkan makam (이장/ijang) ayahnya menjadi lebih layak. Tokoh “aku” ingin ayahnya dikuburkan seperti layaknya kuburan orang Korea pada umumnya. Tokoh “aku” juga menyewa seorang ahli feng shui untuk menentukan letak makam ayah yang lebih layak. Novel Malhaneun Dol (말하는 돌) memakai sudut pandang orang pertama, yaitu tokoh “aku” dengan dua aspek. Aspek pertama adalah sudut pandang tokoh “aku” saat masih anakanak dan sudut pandang tokoh “aku” saat sudah dewasa. Kedua sudut pandang ini memberikan pengaruh yang penting di dalam novel ini. Sudut pandang tokoh “aku” di saat masih anak-anak menunjukkan pengetahuan yang minim dan kepolosan seorang anak kecil dalam menghadapi sebuah perang. Sudut pandang tokoh “aku” di saat dewasa menunjukkan pemahaman yang sudah cukup tinggi mengenai makna di balik perang yang terjadi. Sudut pandang tokoh “aku” sebagai anak kecil digambarkan sebagai anak-anak pada umumnya yang masih polos dan memandang dunia seperti yang dilihat saja. Dunia hanya ada di Wolgogni, desanya. Semua yang terbaik ada di sana. Ketika perang pecah, tokoh “aku” tidak mengerti akan hadirnya perang. Yang tokoh “aku” tahu hanyalah ada sesuatu yang berbeda di desanya. Salah satu pembuktian mengenai kepolosan dan sudut pandang tokoh “aku” saat masih kecil ditunjukkan dari kutipan berikut ini.
Balas dendam..., Margareth Theresia, FIB UI, 2013
10 열 살이 되던 해, 아버지가 내 다리를 부러뜨려 내쫓을 까봐서 슬금 슬금 아버지를 배돌던 그해 여름 […중략…] 마을 앞 신작로에 수많은 탱크들이 으르렁거리며 지나갔다. (4 항, 154 쪽) Terjemahan bebas: Di saat usiaku mencapai sepuluh tahun, aku menjauh dai ayah karena takut kakiku akan dipatahkan olehnya […] di depan jalan baru di depan desa banyak tank yang berjalan pelan-pelan. (paragraph 4, halaman 154)
Dari kutipan di atas, dapat dimengerti mengenao kepolosan tokoh “aku” lewat sudut pandang anak kecil. Tokoh “aku” yang baru berusia sepuluh tahun, malah lebih takut kepada ancaman pura-pura ayahnya dibandingkan perang yang jelas-jelas akan terjadi di depan mata. Tokoh “aku” masih belum dapat memahami hakikat perang dan akibatnya bagi warga desa, juga akibatnya bagi dirinya. Oleh karena itu, pada saat ayah dibunuh, tokoh “aku” menyimpan dendam yang begitu besar kepada warga desa yang dianggap membiarkan ayahnya mati. Sudut pandang tokoh “aku” pada usia dewasa ditunjukkan pada saat tokoh “aku” kembali ke desa tiga puluh tahun setelah kematian ayah. Dendam yang dipendam sejak kecil terus dibawa hingga dewasa. Pada saat dewasa dan bertemu dengan warga desa yang dibencinya, akhirnya tokoh “aku” sadar bahwa pemikirannya selama ini salah. Tokoh “aku” memandang perang dari sudut pandang dirinya sebagai anak kecil. Pada saat dirinya sudah dewasa, akhirnya tokoh “aku” memahami bahwa pandangannya selama ini salah. “내가 아무래도 잘못 생각했었던 갓 같구만. 이렇게까지 하지 않았어도 되는 건데 말일세. 이제 부끄러워서 다시는 고향에 올 수가 없겠어. 내가 크게 잘못했네. 아버지의 한을 풀어주기는커녕 되래 아버지를 욕되게 하고 말았어.” ( 11 항, 177-178 쪽) Terjemahan bebas: “Bagaimanapun juga, sepertinya aku salah sangka. Seharusnya aku tidak perlu sampai begini. Sekarang aku malu sehingga tidak mungkin lagi bias kembali ke desa kelahiranku ini. Aku sudah membuat kesalahan besar. Bukannya membalaskan kepedihan ayah, aku malah membuat ayah dimaki.” (paragraf 11, halaman 177-178)
Dai kutipan di atas, tokoh “aku” yang sudah dewasa mengerti bahwa apa yang dilakukan adalah sesuatu yang salah. Sudut pandang tokoh “aku” yang sudah dewasa membuatnya mengerti pemikiran warga desa pada zaman perang yang menganggap bahwa kematian adalah hal yang biasa. Tokoh “aku” juga akhirnya paham mengenai pandangannya yang sempit di masa lalu. Kedua pemikiran ini memperjelas tema utama mengenai balas dendam yang sia-sia. Tokoh “aku” merasa malu karena melakukan balas dendam yang salah. Sudut pandang tookh “aku” dari kecil dan dewasa merupakan sesuatu hal yang penting dalam membantu pembaca memahami perubahan benci karakter tokoh “aku” hingga dendam yang terbawa hingga dewasa. Pada saat dewasa, tokoh “aku” akhirnya sadar akan kesalahannya dan memahami makna sedih dari perang yang sesungguhnya. Ini juga sekaligus menggambarkan pesan
Balas dendam..., Margareth Theresia, FIB UI, 2013
11 penting dari penulis untuk pembaca, yaitu pemberian maaf di masa perang akan kesalahankesalahan yang sudah berlalu. Makna sebongkah batu bagi orang Korea yang bukan hanya benda mati saja sejak jaman dahulu yang masih terbawa sampai sekarang. Hal ini juga terlihat pada judul novel 말하는 돌 (Malhaneun dol). Secara harafiah, judul buku ini berasal dari kata 말하다 (malhada) yang berarti berbicara dan 돌 (dol) yang berarti batu. Judul novel yang berupa “Batu yang Berbicara” mempresentasikan makna lain dari sekedar sebongkah batu yang ada di atas tanah. Batu itu mempunyai kepentingan tertentu. Moon Soon Tae menggambarkan bahwa batu bukanlah sesuatu yang sederhana, tetapi penghubung antara diri tokoh “aku” dengan tokoh “ayah” yang sudah meninggal. Tokoh “aku” menganggap jiwa ayah ada di dalam batu itu sehingga membawa batu pulang. Batu adalah representasi jiwa ayah yang bisa tokoh “aku” bawa pulang ke rumah untuk dihormati. Itulah makna batu yang sesungguhnya bagi tokoh “aku”. “어쩐지 그 돌에 우리 아버지의 혼이 들어 있을 것 같아서...... 그리고 자네와 나 두 사람의 우정과, 월곡리 마을 사람들의 마음도...... 그 돌이라도 집에 갖다 놔야 고향을 잊어버리지 많을 것 같아서......” (9 항, 177 쪽) Terjemahan bebas: “Bagaimanapun juga sepetinya jiwa ayahku ada di dalam batu itu....... Selain itu persahabatan antara kau dan aku, juga perasaan seluruh warga desa Wolgongni...... Aku ingin membawa batu itu pulang ke rumah agar aku tidak melupakan kampung halamanku.” (paragraf 9, halaman 177)
Lee Seung Hoon
3
menyebutkan bahwa batu merupakan
lambang dari keabadian,
keamanan, perubahan, dan kematian (2009: 157). Menurut penulis, Moon Soon Tae memilih batu menjadi judul novel ini karena batu itu melambangkan kematian yang banyak terjadi di masa perang. Selain itu batu juga merupakan lambang keabadian, yaitu saksi bisu sejarah perang yang kelam dan batu itu tetap ada di tempat ia berdiri selamanya. Batu melihat kematian dan kesedihan yang terjadi pada masa perang. Ia menjadi saksi bisu yang bisa menceritakan kepedihan yang terjadi pada masa perang. Kematian ayah yang disaksikan oleh batu sebagai saksi bisu menampilkan bahwa batu bisa menampilkan kejadian di masa lalu yang ada di depannya.
3
Lee Seung Hoon dalam kamusnya yang berjudul 문학으로 읽는 문화상징사전 (Munhakero Ilgneun Munhwasangjingsajeon/ Kamus Simbol Kebudayaan yang Dibaca melalui Sastra) menuliskan bahwa 돌은 응집, 불멸성, 영원성, 안정을 상징한다. [...] 돌은 통일성과 강한 힘을 상징하고 부서진 돌은 해체, 삼리적 분열, 무정형, 죽음, 전명 등을 상징한다 (157).
Balas dendam..., Margareth Theresia, FIB UI, 2013
12 Kesimpulan
Tema utama dalam novel 말하는 돌 (Malhaneun Dol) adalah balas dendam yang siasia. Tema utama yang diangkat oleh pengarang termasuk ke dalam tema tingkat sosial dan tema tingkat egoik berdasarkan tingkatan tema yang diungkapkan oleh Shipley. Penulis memasukkan tema utama berupa balas dendam yang sia-sia ke dalam tema tradisional karena tema ini adalah tema yang ada sepanjang masa dan merupakan salah satu tema yang populer dipakai oleh para pengarang. Ada tiga tema tambahan di dalam novel 말하는 돌 (Malhaneun Dol). Tema tambahan pertama di dalam novel ini adalah mengenai suasana perang. Tema suasana perang termasuk ke dalam tema tingkat sosial dan tema tradisional. Tema tambahan kedua adalah keadaan psikologis masyarakat Korea pada saat perang. Tema keadaan psikologis pada masa perang adalah tema tingkat egoik karena berhubungan dengan psikologis manusia sebagai individual dan tema nontradisional. Tema tambahan ketiga adalah penghormatan orang tua. Tema penghormatan terhadap orang tua termasuk ke dalam tema tradisional. Tema penghormatan terhadap orang tua juga masuk ke dalam tema tingkat sosial karena berhubungan dengan hubungan antara dua manusia. Dalam novel 말하는 돌 (Malhaneun Dol), sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama, yaitu tokoh “aku”. Sudut pandang tokoh “aku” digambarkan memiliki dua sisi, yaitu sudut pandang tokoh “aku” dari sisi anak kecil yang belum menyadari makna perang dan sudut pandang tokoh “aku” dari sisi orang dewasa yang sudah menyadari makna perang. Kedua sudut pandang ini penting dalam menggambarkan tema utama yang berupa balas dendam sia-sia.
Saran
Sastra merupakan bidang yang jarang diteliti di dalam jurusan Bahasa dan Kebudayaan Korea Universitas Indonesia. Penelitian mengenai tema dalam sastra perang dan pascaperang merupakan bidang yang jarang disentuh oleh peneliti sastra di jurusan Bahasa dan Kebudayaan Korea Universitas Indonesia karena banyak yang menganggap bidang ini sulit. Penulis berharap agar peneliti sastra mengenai tema dalam sastra perang dan pascaperang
Balas dendam..., Margareth Theresia, FIB UI, 2013
13 akan bertambah dalam beberapa tahun ke depan karena bidang ini merupakan bidang yang sangat menarik. Dengan meneliti sastra perang dan sastra pasca perang, kita bisa lebih memahami sejarah Korea dan bisa lebih dekat dengan keadaan psikologis yang masyarakatnya alami pada masa perang.
Daftar Referensi
Sumber buku: Adi, Ida Rochani. 2011. Fiksi Populer: Teori dan Metode Kajian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Adnyana, Putu Pramania. 2010. Kritik Terhadap Kolonialisme Dalam Chisuk Karya Ch’ae Mansik: Analisis Tema. Universitas Indonesia: Skripsi. Budianta, Melani, dkk. 2002. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Tera. Choi, Wonsuk. 2005. 20 Segi Hanguksoseol 31: Kim Won Il, Song Gi Won Woe. Hanguk: Changbi. Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta. Fahmarani, Wina. 2012. Tokoh, Penokohan, dan Tema dalam Novel A Toy City Karya Lee Dong Ha. Universitas Indonesia: Skripsi. Joo, Kang Hyeon. 2007. 100 Gaji Minjokmunhwa Sangjing Sajeon. Seoul: Hangyeoreaideul. Keraf, Gorys. 1980. Komposisi. Flores: Nusa Indah. Kim, Chong Un. 1983. Postwar Korean Short Stories: An Anthology. Seoul: Seoul National University Press. Kim, Tae Kil. 1990. Values of Korean People Mirrored in Fiction Volume II. Seoul: Daekwang Munhwasa. Kim, Uchang dkk. 2005. Korean Literature: Its Classical Heritage and Modern Breakthroughs. Korea: Hollym. Kwon,
Yong
Min.
2004.
Hangukhyeondaemunhakdaesajeon.
Seouldaehakkyochulphanbu.
Balas dendam..., Margareth Theresia, FIB UI, 2013
Seoul:
14 Latifah, Eva. 2012. Hangukgwa Indonesia Jonhusoseol Bigyo Yeongu: Hwang Sun Wongwa Nugrohoeui Jakphumeul Jungsimeuro. Universitas Kyunghee: Disertasi. Lee, Hee Seung. 1988. Gukodaesajeon. Seoul: Minjungseorim. Lee, Kwangkyu. 2003. Korean Traditional Culture. Korea: Jimoondang. Lee, Namho, Woo Chanje, Lee Kwangho dan Kim Mihyeon. 2005. Twentieth-century Korean Literature. Korea: Eastbridge Library of Korea. Lee, Peter H. A History of Korean Literature. 2006. New York: Cambridge University Press. Lee, Seung Hoon. 2009. Munhakeuro Ilgneun Munhwasangjingsajeon. Seoul: Phureunsasang. Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, dan Willem G, Weststeijn. 1982. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia. McCann, David Richard dan Barry S. Strauss. 2001. War and Democracy: A Comparative Study of the Korean War and the Peloponnesian War. New York: M. E. Sharpe. Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Robinson, Michael E. 2007. Korea’s Twentieth-Century Odyssey: A Short Story. America: University of Hawai’i Press. Seo, Joong Seok. 2007. Contemporary History of South Korea-60 Years. Seoul: The Korea Democracy Foundation. Shin, Young Duk. 2007. Jeonjaenggwa Soseol. Seoul: Doseochulphan Yeollak. Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. Song, Moon Kim dkk. 2009. 20 Segi Hanguksoseol 31. Gyeonggido: Changbi. Sudjiman, Panuti. 1988. Pengkajian Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Sumardjo, Jakob dan K.M, Saini. 1991. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Sung, Kyu Taik. 2005. Care and Respect for the Elderly in Korea. Gyeonggi: Jimoondang. Syafarina, Siti. 2009. Tema Kemanusiaan Dalam Lima Cerpen pada Lelaki Kabut dan Boneka Karya Helvy Tiana Rosa. Universitas Indonesia: Skripsi. Tim Penyusun Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga.Jakarta: Balai Pustaka.
Balas dendam..., Margareth Theresia, FIB UI, 2013
15 Teew, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Wellek, Rene,dan Austin Warren. 1977. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. West, Philip dan Suh Ji Moon, dkk. 2000. Remembering the “Forgotten War”: The Korean War Through Literature and Art. New York: M.E. Sharpe.
Sumber internet: http://terms.naver.com/entry.nhn?docId=1233065&mobile&categoryId=200001082
(30
November 2012, 21:02) http://www.koreatimes.co.kr/www/news/nation/2013/01/181_29719.html (18 April 2013, 10:33) www.koreaweb.ws/ks/kr/ksr98-01.htm (14 Juni 2013, 11:36) www.tomrchambers.com/index-96.html (27 Februari 2013, 09:32)
Balas dendam..., Margareth Theresia, FIB UI, 2013