BALANCED SCORECARD (BSC) Luqman Arif Baihaqi Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Jember e-mail :
[email protected] Abstract : This scientific article aims to explain a brief history and the concept of the balanced scorecard as a performance measurement tool, outlines related balanced scorecard perspective, the benefits, advantages, weaknesses and the failure of a balanced scorecard, as well as the development of the concept of the balanced scorecard.
Keywords : Balanced Scorecard, performance measurement
Pendahuluan Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi yang dialami oleh perusahaan mengakibatkan iklim persaingan bisnis semakin ketat. Hal ini akan mendorong kebutuhan akan suatu informasi menjadi suatu hal yang esensial, sehingga iklim persaingan bisnis berubah dari persaingan teknologi atau industrial competition menjadi persaingan informasi (information competition). Tidaklah mengherankan jika persaingan informasi ini menjadi suatu hal yang esensial karena dengan adanya informasi yang dihasilkan untuk setiap aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan akan diperoleh data dan gambaran aktivitas yang telah dilakukan sehingga berdasarkan informasi tersebut akan diambil suatu keputusan yang mempengaruhi kehidupan dan aktivitas perusahaan secara keseluruhan di masa yang akan datang. Suatu keputusan yang baik dapat diambil atas dasar informasi yang akurat, relevan dan tepat waktu, namun masih banyak manajer-manajer perusahaan yang menjalankan usahanya dengan sistem manajemen yang seakan-akan berorientasi pada masa yang lalu (backward) dan belum berorientasi pada masa depan (forward). Sistem yang lebih menitikberatkan pada aspek keterukuran objek yang menimbulkan biaya ini tampak dari adanya pengambilan keputusan yang didasarkan pada informasi-informasi yang dibuat berdasarkan laporan-laporan historis secara periodik. Sistem manajemen yang dilaksanakan oleh banyak perusahaan sekarang ini lebih memfokuskan pada kinerja keuangan yang diukur secara periodik dimana indikator-indikator yang terpenting adalah biaya-biaya yang dikeluarkan. Konsep Balanced Scorecard telah lama dikembangkan oleh Robert S.Kaplan dan David P.Norton (Harvard Business Review, January,1992). Konsep Balanced Scorecard ini dikembangkan untuk melengkapi pengukuran kinerja finansial (atau dikenal dengan pengukuran kinerja tradisional) dan sebagai alat yang cukup penting bagi organisasi perusahaan untuk merefleksikan pemikiran baru dalam era
1
competitiveness dan efektivitas organisasi. Dalam artikel ini akan dijelaskan bagaimana konsep dan sejarah Balanced Scorecard, implementasi Balanced Scorecard, dan bagaimana balanced scorecard mempengaruhi manajemen strategi suatu perusahaan
Sejarah Balanced Scorecard Istilah Balanced Scorecard digunakan pertama kali oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton yang menuangkannya dalam artikel “Balanced ScorecardMeasures that Drive Performance” dalam Harvard Business Review tahun 1992. Konsep Balanced Scorecard tersebut muncul dengan berbasis penelitian atas 12 (dua belas) perusahaan besar di USA dan Kanada, dilanjutkan dengan diskusidiskusi rutin sepanjang tahun. Kajian intensif tersebut membuahkan konsep Balannced Scorcard sebagai sistem pengukuran kinerja yang bersifat komprehensif dan integral. Balanced Scorecard dikembangkan sebagai sistem pengukuran yang dapat memudahkan pengambil keputusan melihat organisasi secara multi atau beberapa perspektif. Perspektif-perspektif dalam Balanced Scorecard terdiri atas perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Penyusunan Balanced Scorecard dimulai dari penerjemahan visi dan misi perusahaan ke dalam sasaransasaran strategis dan indikator-indikator terkait. Dari hal tersebut, Norton dan Kaplan menemukan pentingnya memilih indikator berdasarkan keberhasilan strategis, yang ditulis pada artikel berikutnya yang juga dimuat dalam Harvard Business Review (September-Oktober 1993) dalam artikelnya yang berjudul "Putting the Balanced Scorecard to Work". Perkembangan Balanced Scorecard selanjutnya adalah sebagai sebuah sistem manajemen strategi, dimana keberhasilan Balanced Scorecard sebagai sistem manajemen strategi dituangkan dalam tulisan mereka yang berjudul ”Balanced Scorecard as a Strategic Management System” dalam Harvard Business review tahun 1996. Tulisan tersebut berbasis pada praktek penerapan yang dilakukan Renaissance Solution, Inc. yang dimiliki David P Norton pada berbagai perusahaan sejak pertengahan tahun 1993. Praktek-praktek tersebut berkaitan dengan penerjemahan dan pengimplementasian visi dan misi ke dalam sasaran-sasaran strategis.
Definisi dan Konsep Balanced Scorecard Balanced Scorecard (Kartu Skor Berimbang) adalah suatu konsep untuk mengukur apakah aktivitas – aktivitas operasional suatu perusahaan dalam skala yang lebih kecil sejalan dengan sasaran yang lebih besar dalam hal visi dan strategi. [15] Balanced Scorecard terdiri dari dua kata yaitu, Balanced yang berarti berimbang dan Scorecard yang berarti kartu skor. Jadi Balanced Scorecard dapat disebut juga sebagai “kartu skor berimbang”. Sedangkan kartu skor merupakan kartu yang digunakan untuk mencatat skor hasil kinerja seseorang. Sedangkan berimbang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kinerja personel diukur
2
secara seimbang dari aspek keuangan dan non-keuangan, jangka pendek dan djangka panjang, intern dan ekstern (Mulyadi (2001:1-2) dalam Tandiontong (2011)). Menurut Kaplan dan Norton (1996) (dalam Hanuma, 2011), Balanced Scorecard merupakan alat pengukur kinerja eksekutif yang memerlukan ukuran komprehensif dengan empat perspektif, yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif bisnis internal, dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Sementara itu Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) (dalam Hanuma, 2011) mendefinisikan Balanced Scorecard sebagai: “a measurement and management system that views a business unit’s performance from four perspectives: financial, customer, internal business process, and learning and growth.” Supriyono (2000:143) (dalam Tandiontong, 2011), menyatakan bahwa “Balanced scorecard adalah salah satu alat pengukuran kinerja yang menekankan pada keseimbangan antara ukuran-ukuran strategis yang berlainan satu sama lain dalam usaha untuk mencapai keselarasan tujuan sehingga mendorong karyawan bertindak demi kepentingan terbaik perusahaan.” Sedangkan definisi lainnya yang dikemukakan oleh Suwardi, Luis, dkk (2008) (dalam Effendi, 2012) menyatakan bahwa “balanced scorecard adalah suatu alat manajemen kinerja (performance management tool) yang dapat membantu organisasi untuk menerjemahkan visi dan strategi ke dalam aksi dengan memanfaatkan sekumpulan indikator finansial dan nonfinansial yang kesemuanya terjalin dalam suatu hubungan sebab akibat.”
Perspektif dalam Balanced Scorecard Terdapat 4 (empat) perspektif dalam balanced scorecard, yaitu : (1)Perspektif Keuangan, (2)Perspektif Pelanggan, (3)Perspektif Proses Bisnis Internal, (4)Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran.
3
Perspektif Keuangan (Financial Perspective) dalam balanced scorecard tetap menjadi fokus utama karena ukuran keuangan merupakan ikhtisar dari konsekuensi ekonomi yang terjadi akibat keputusan dan tindakan ekonomi yang diambil. Berdasarkan pengukuran kinerja keuangan ini dapat menunjukkan apakah implementasi strategi perusahaan dalam pelaksanaannya memberikan peningkatan atau perbaikan. Dari sudut pandang secara finansial ini berkaitan dengan masalah profitabilitas, pertumbuhan dan nilai pemegang saham yaitu untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan yang diukur dengan perubahan arus kas dan untuk memperoleh keberhasilan perusahaan yang diukur dengan pertumbuhan pendapatan operasi per divisi, serta untuk memperoleh kesejahteraan atau kemakmuran perusahaan yang diukur dengan peningkatan market share per produk dan return on equity. Antara perusahaan satu dengan perusahaan lainnya memiliki perbedaan sasaran finansial yang bergantung pada masing – masing tahap siklus bisnis perusahaan tersebut. Menurut Kaplan dan Norton yang dialihbahasakan oleh Peter R. Yosi (1996:42) (dalam Tandiontong, 2011), siklus bisnis terbagi menjadi 3 tahap, yaitu: a) Tahap Bertumbuh (Growth), Tahap Growth merupakan tahap awal dalam siklus suatu bisnis. Pada tahap ini diharapkan suatu bisnis memiliki produk baru yang dirasa sangat potensial bagi bisnis tersebut. Untuk itu, maka pada tahap growth perlu dipertimbangkan mengenai sumber daya untuk mengembangkan produk baru dan meningkatkan layanan, membangun serta mengembangkan fasilitas yang menunjang produksi, investasi pada sistem, infrastruktur dan jaringan distribusi yang akan mendukung terbentuknya hubungan kerja secara menyeluruh dalam mengembangkan hubungan yang baik dengan pelanggan. Secara keseluruhan tujuan fmansial pada tahap ini adalah mengukur persentase tingkat pertumbuhan pendapatan, dan tingkat pertumbuhan penjualan di pasar sasaran; b) Tahap Bertahan (Sustain), Pada tahap ini perusahaan berupaya untuk mempertahankan pangsa pasar yang dimilikinya, sehingga semua aktivitas ditujukkan untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada. Investasi dan reinvestasi dilakukan dengan mengisyaratkan tingkat pengembalian yang terbaik. Investasi yang dilakukan umumnya untuk meningkatkan kapasitas dan penyempurnaan proses operasional secara konsisten.pada tahap ini sasaran keuangan lebih diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi yang dilakukan, sehingga tolok ukur yang umumnya dipakai adalah besarnya pendapatan operasional (operating income), besarnya laba kotor (gross profit), tingkat pengembalian investasi (ROI), tingkat pengembalian modal (Return on Capital), atau besarnya nilai tambah ekonomis (EVA); c) Tahap Memanen (Harvest), Tahap Harvest merupakan suatu tahap di mana perusahaan telah mencapai titik jenuh atas barang dan jasa yang dihasilkan. Perhatian dipusatkan pada upaya meningkatkan efisiensi untuk memaksimalkan arus kas sebagai hasil atas investasi yang telah dilakukan. Perusahaan tidak lagi melakukan investasi lebih jauh, sehingga dalam tahap ini besarnya arus kas masuk dari kegiatan operasional dan tingkat penurunan modal kerja (reduction rate working capital) dijadikan sebagai tolok ukur kinerja financial perusahaan. Perspektif Pelanggan (Customer Perspective), Pada masa lalu seringkali perusahaan mengkonsentrasikan diri pada kemampuan internal dan kurang memperhatikan kebutuhan pelanggan. Sekarang strategi perusahaan telah bergeser 4
fokusnya dari internal ke eksternal. Jika suatu unit bisnis ingin mencapai kinerja keuangan yang superior dalam jangka panjang, mereka harus menciptakan dan menyajikan suatu produk atau jasa yang bernilai dari biaya perolehannya, dan suatu produk akan semakin bernilai apabila kinerjanya semakin mendekati atau bahkan melebihi dari apa yang diharapkan dan persepsikan oleh pelanggan. Tolak ukur kinerja dalam perspektif pelanggan dibagi ke dalam dua kelompok, kelompok pertama disebut kelompok inti (Customer Core Measurement Group), dan kelompok kedua disebut dengan kelompok penunjang (Customer Value Propotions). Kelompok inti menurut Effendi (2012) menyatakan bahwa “Tolak ukur yang digunakan hendaknya yang mencermnkan key-factors, yaitu : (1)Market Share, Ukuran market share adalah kelompok customer yang menjadi target atau segmen pasar yang terspesifikasi. Kelompok industri, statistik pemerintah atau sumber publik lainnya sering menyediakan data mengenai total market size, selain mengukur segmen pasar, perusahaan diharapkan melakukan pengukuran second market sharenya, yaitu account share (customer wallet). Pengukuran yang dapat dilakukan meliputi segment by segment, yaitu berapa segmen pasar yang telah dicapai atas produk yang ditawarkan kepada customer, sedangkan “share of wallet-nya”, yaitu prosentase atas total transaksi keuangan yang dilakukan customers. (2) Customer Retention, Cara yang dapat ditempuh meningkatkan market share dimulai dengan mempertahankan customers yang ada, disamping itu perusahaan wajib melakukan pengukuran terhadap customer loyalty. (3) Customer Acquisition, Customer acquisition dapat diukur dengan berapa jumlah customer baru atau total sales dibanding dengan customers baru pada masing-masing segmen. (4) Customer Satisfaction, Customer satisfaction merupakan ukuran menilai seberapa jauh perusahaan telah memberikan pelayanan yang baik kepada customers-nya. Beberapa riset akhir-akhir ini memperlihatkan dengan score yang cukup pada customer satisfaction tidak cukup menjamin pencapaian yang tinggi terhadap loyalitas, retensi dan profitabilitas, dan hanya dengan tingkat kepuasan yang tinggi akan mempengaruhi perilaku customers untuk melakukan pembelian kembali. Oleh karena itu survei perlu dilakukan untuk mengetahui berapa besar tingkat kepuasan customers terhadap pelayanan yang telah diberikan. (5) Customer Profitability, Perusahaan perlu meningkatkan kepuasan customer-nya, sehingga customers tidak mempunyai pikiran untuk menyeberang ke perusahaan lain. Hal tersebut akan menciptakan profitable customers. Sedangkan kelompok penunjang atau kelompok pengukuran nilai pelanggan menurut Tandiontong (2011) menyatakan bahwa ”Kelompok pengukuran nilai pelanggan (Customer Value Proposition) digunakan untuk mengetahui bagaimana perusahaan mengukur nilai pasar yang mereka kuasai dan pasar potensial yang mungkin bisa mereka masuki. Kelompok pengukuran tersebut juga dapat menggambarkan pemacu kinerja yang menyangkut apa yang harus disajikan perusahaan untuk mencapai tingkat kepuasan, loyalitas, retensi, dan akuisisi pelanggan yang tinggi. Value proposition menggambarkan atribut yang disajikan perusahaan dalam produk/jasa yang dijual untuk menciptakan loyalitas dan kepuasan pelanggan. Kelompok pengukuran nilai pelanggan tersebut terdiri dari: (1)Atribut produk, (2)Hubungan dengan Pelanggan, (3) Citra dan Reputasi.”
5
Perspektif Proses Bisnis Internal (Internal Business Process Perspective), Perspektif ini mengacu pada proses bisnis internal, dimana memungkinkan para manajer untuk mengetahui seberapa baik bisnis mereka berjalan, dan apakah produk mereka sesuai dengan persyaratan pelanggan (misi perusahaan). Perspektif proses bisnis internal juga menampilkan proses kritis yang memungkinkan unit bisnis untuk memberi Value Proposition yang mampu menarik dan mempertahankan pelanggannya di segmen pasar yang diinginkan dan memuaskan harapan para pemegang saham melalui financial returns (Simon, 1999 (dalam Tandiontong, 2011)). Tiap-tiap perusahaan mempunyai seperangkat proses penciptaan nilai yang unik bagi pelanggannya. Secara umum, Kaplan dan Norton (1996) (dalam Tandiontong, 2011) membaginya dalam 3 prinsip dasar, yaitu: (1)Proses Inovasi, Proses Inovasi adalah bagian terpenting dalam keseluruhan proses produksi. Tetapi ada juga perusahaan yang menempatkan inovasi di luar proses produksi. Di dalam proses inovasi itu sendiri terdiri atas dua komponen, yaitu: identifikasi keinginan pelanggan, dan melakukan proses perancangan produk yang sesuai dengan keinginan pelanggan. Bila hasil inovasi dari perusahaan tidak sesuai dengan keinginan pelanggan, maka produk tidak akan mendapat tanggapan positif dari pelanggan, sehingga tidak memberi tambahan pendapatan bagi perasahaan bahkan perasahaan haras mengeluarkan biaya investasi pada proses penelitian dan pengembangan; (2)Proses Operasi, Proses Operasi adalah aktivitas yang dilakukan perusahaan, mulai dari saat penerimaan order dari pelanggan sampai produk dikirim ke pelanggan. Proses operasi menekankan kepada penyampaian produk kepada pelanggan secara efisien, dan tepat waktu. Proses ini, berdasarkan fakta menjadi fokus utama dari sistem pengukuran kinerja sebagian besar organisasi; (3)Pelayanan Purna Jual, Adapun pelayanan purna jual yang dimaksud di sini, dapat berupa garansi, penggantian untuk produk yang rusak. Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran (Learning dan Growth Perspective), dalam perspektif ini digambarkan upaya suatu perusahaan untuk melakukan inovasi terus menerus. Tolak ukur perspektif pertumbuhan dan pembelajaran adalah tingkat produktivitas pegawai atau karyawan, misalnya tingkat keterlibatan karyawan dalam proses pengambilan keputusan dan kemudahan akses karyawan terhadap informasi yang menunjang pekerjaan mereka, tingkat pengakuan prestasi karyawan, dan tingkat retensi atau penolakan karyawan, yang diukur melalui jumlah turn over staff atau karyawan yang potensial. 3 (tiga) prinsip kapabilitas yang terkait dengan kondisi internal perusahaan, yaitu: (1)Kapabilitas Pekerja, yang merupakan bagian dari kontribusi pekerja pada perusahaan. Dalam kapabilitas pekerja ini yang perlu diperhatikan oleh manajemen suatu perusahaan yaitu: a)Kepuasan pekerja merupakan prakondisi untuk meningkatkan produktivitas, tanggungjawab, kualitas, dan pelayanan kepada konsumen; b)Retensi pekerja adalah kemampuan untuk mempertahankan pekerja terbaik dalam perusahaan; c)Produktivitas pekerja merupakan hasil dari pengaruh keseluruhan dari peningkatan keahlian dan moral, inovasi, proses internal, dan kepuasan pelanggan. (2)Kapabilitas Sistem Informasi, dimana tingkat ketersediaan informasi, tingkat ketepatan informasi yang tersedia, dan jangka waktu untuk memperoleh informasi terkait yang dibutuhkan. (3)Iklim Organisasi yang Mendorong Timbulnya Motivasi, dan
6
Pemberdayaan, ditujukan untuk menciptakan pekerja yang berinisiatif dengan tolak ukur berupa jumlah saran yang diberikan pekerja. Dalam metode pengukuran kinerja Balanced scorecard, ada 3 prinsip yang memungkinkan strategi dapat diterjemahkan kedalam berbagai tujuan dalam setiap perspective, dalam perencanaan strategis, yaitu sebagai berikut ini: (1)Hubungan sebab dan akibat. Rantai sebab dan akibat harus mencakup keempat faktor BSC diatas, jadi setiap pengukuran yang dipilih dalam BSC harus menjadi elemen dari rantai hubungan sebab dan akibat yang mengkomunikasikan arti dari strategi pada sebuah perusahaan; (2)Ukuran hasil dan ukuran pemicu kinerja. Tolok ukur inilah yang berfungsi sebagai alat untuk mengetahui perubahan kinerja perusahaan (lebih baik, lebih buruk, atau tetap); (3)Keterkaitan dengan masalah financial. Hubungan sebab akibat semua ukuran dalam sebuah Balanced Scorecard harus terkait dengan setiap tujuan financial perusahaan. Manfaat Balanced Scorecard Aplikasi Balanced Scorecard, menurut Nanang Sasongko (2007:45) (dalam Tandiontong, 2011), memberikan manfaat yaitu: (1)Memungkinkan perusahaan untuk terus memantau hasil-hasil dalam bidang keuangan yang dicapainya, dengan tetap memantau perkembangan dalam membangun keunggulan kompetitif dan meningkatkan nilai aktiva tak berwujud yang dibutuhkan bagi masa depan perusahaan. (2)Menjaga agar tidak timbul pandangan yang sempit atas kinerja perusahaan yang akan terjadi hanya digunakan tolok ukur tunggal dalam memotivasi dan mengevaluasi kinerja unit bisnis. (3)Menerjemahkan sebuah visi menjadi tema-tema kunci strategi yang dapat dikomunikasikan dan dilaksanakan oleh seluruh anggota organisasi. Adapun manfaat balanced scorecard yang lain adalah sebagai berikut: (1)Balanced scorecard sebagai sistem pengukuran yang mengarahkan kinerja, (2)Balanced scorecard sebagai sistem manajemen strategik, (3)Balanced scorecard menerjemahkan visi dan strategi menjadi aksi atau tindakan, (4)Balanced scorecard sebagai alat memetakan strategi, (5)Balanced scorecard sebagai alat penghubung aset tak berwujud dengan nilai pemegang saham.[2]
Keunggulan Balanced Scorecard Balanced Scorecard memiliki keunggulan yang menjadikan sistem manajemen strategik saat ini berbeda secara signifikan dengan sistem manajemen strategik dalam manajemen tradisional (Mulyadi,2001 (dalam Hanuma, 2011)). Manajemen strategik tradisional hanya berfokus pada sasaran-sasaran yang bersifat keuangan, sedangkan sistem manajemen strategik kontemporer mencakup perspektif yang lebih luas yaitu pada keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Selain itu berbagai sasaran strategik yang dirumuskan dalam sistem manajemen strategik tradisional tidak koheren satu dengan lainnya, sedangkan berbagai sasaran strategik dalam sistem manajemen strategik kontemporer dirumuskan secara koheren. Di samping itu, Balanced
7
Scorecard menjadikan sistem manajemen strategik kontemporer memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh sistem manajemen strategik tradisional, yaitu dalam karakteristik keterukuran dan keseimbangan. Menurut Mulyadi (2001) (dalam Hanuma, 2011), keunggulan pendekatan Balanced Scorecard dalam system perencanaan strategik adalah mampu menghasilkan rencana strategic yang memiliki karakteristik sebagai berikut: (1)Komprehensif, Balanced Scorecard menambahkan perspektif yang ada dalam perencanaan strategik, dari yang sebelumnya hanya pada perspektif keuangan, meluas ke tiga perspektif yang lain, yaitu : pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Perluasan perspektif rencana strategik ke perspektif nonkeuangan tersebut menghasilkan manfaat sebagai berikut: a)Menjanjikan kinerja keuangan yang berlipat ganda dan berjangka panjang, b)Memampukan perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompleks. (2)Koheren, Balanced Scorecard mewajibkan personel untuk membangun hubungan sebab akibat di antara berbagai sasaran strategik yang dihasilkan dalam perencanaan strategik. Setiap sasaran strategik yang ditetapkan dalam perspektif nonkeuangan harus mempunyai hubungan kausal dengan sasaran keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung.Dengan demikian, kekoherenan sasaran strategik yang dihasilkan dalam sistem perencanaan strategik memotivasi personel untuk bertanggung jawab dalam mencari inisiatif strategik yang bermanfaat untuk menghasilkan kinerja keuangan. Sistem perencanaan strategic yang menghasilkan sasaran strategik yang koheren akan menjanjikan pelipatgandaan kinerja keuangan berjangka panjang, karena personel dimotivasi untuk mencari inisiatif strategik yang mempunyai manfaat bagi perwujudan sasaran strategik di perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan. Kekoherenan sasaran strategic yang menjanjikan pelipatgandaan kinerja keuangan sangat dibutuhkan oleh perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompetitif. (3)Seimbang, Keseimbangan sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik penting untuk menghasilkan kinerja keuangan berjangka panjang. Jadi perlu diperlihatkan garis keseimbangan yang harus diusahakan dalam menetapkan sasaran-sasaran strategic di keempat perspektif. (4)Terukur, Keterukuran sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik menjanjikan ketercapaian berbagai sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem tersebut. Semua sasaran strategik ditentukan oleh ukurannya, baik untuk sasaran strategik di perspektif keuangan maupun sasaran strategik di perspektif nonkeuangan. Dengan Balanced Scorecard, sasaran-sasaran strategik yang sulit diukur, seperti sasaran-sasaran strategik di perspektif nonkeuangan, ditentukan ukurannya agar dapat dikelola, sehingga dapat diwujudkan. Dengan demikian keterukuran sasaran-sasaran strategik di perspektif nonkeuangan tersebut menjanjikan perwujudan berbagai sasaran strategik nonkeuangan, sehingga kinerja keuangan dapat berlipat ganda dan berjangka panjang.
8
Yang menjadikan Balanced Scorecard memiliki nilai lebih dibandingkan dengan pengukuran kinerja tradisional adalah karena dia memiliki karakteristik sebagai berikut[]: (1)Balanced scorecard merupakan suatu turunan dari strategi dan misi perusahaan secara top-down. Sebaliknya, ukuran kebanyakan perusahaan adalah secara bottom-up: yaitu diperoleh dari aktivitas di bawah datau bersifat adhoc, sehingga seringkali tidak relevan dengan strategi secara keseluruhan; (2)Balanced scorecard bersifat memandang ke depan (forward looking). Hal tersebut memperhitungkan keberhasilan bukan hanya saat ini namun juga bagaimana perkiraannya di masa depan. Ini berbeda dengan pengukuran kinerja keuangan tradisional yang hanya menunjukkan kinerja periode yang telah lewat; (3)Balanced scorecard mengintegrasikan pengukuran internal dan eksternal. BSC tidak hanya mengukur net operating income, misalnya (eksternal) namun juga mengukur mengenai produk baru (internal). Ini membantu para manajer melihat di mana mereka telah melakukan trade-off di antara aspek pengukuran kinerja di masa lalu, dan membantu mereka memastikan bahwa keberhasilan masa mendatang untuk satu aspek bukan dengan merugikan aspek lainnya; (4)Balanced scorecard membantu perusahaan lebih fokus karena membuat para manajer mencapai kesepakatan hanya pada aspek pengukuran yang benar-benar kritikal terhadap trategi perusahaan; (5)Balanced scorecard memberikan pengukuran yang lebih komprehensif dan seimbang dengan memasukkan perspektif non keuangan, yang selama ini tidak diperhitungkan dalam pengukuran kinerja tradisional. Padahal sesungguhnya justru ketiga perspektif itulah yang menghasilkan apa yang diukur dalam perspektif keuangan; (6)Balanced scorecard memiliki perspektif yang koheren, dimana perspektif pembelajaran dan pertumbuhan akan mempengaruhi proses internal yang akan memperbaiki nilai kepada pelanggan dan pada akhirnya memperbaiki pula nilai pemegang saham; (7)Balanced scorecard memberikan perspektif yang semuanya terukur. Ini akan memenuhi keyakinan ‘if we can measure it, we can manage it, if we can manage it, we can achieve it’. Sedangkan menurut artikel Harvard Business Review (1996) (dalam Nugroho, 2013), keunggulan balanced scorecard adalah sebagai berikut: (1)Pengukuran dengan metode BSC ini jauh lebih komprehensif apabila dibandingkan dengan metode konvensional karena dengan metode BSC ini para eksekutif perusahaan menyadari bahwa bahwa perspektif keuangan sesungguhnya merupakan hasil dari 3 perspektif lainnya yaitu customer, proses bisnis, dan pembelajaran pertumbuhan bukan hanya perspektif keuangan; (2)Koheren, koheren adalah adanya hubungan sebab akibat sehingga dalam BSC dapat disimpulkan semua sasaran strategik yang terjadi di perusahaan harus bisa dijelaskan; (3)Keseimbangan dalam balanced scorecard juga tercermin dengan selarasnya scorecard personal staff dengan scorecard perusahaan sehingga setiap personal yang ada di dalam perusahaan bertanggungjawab untuk memajukan perusahaan; (4)Sasaran strategik yang sulit diukur seperti pada perspektif customer, proses bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan dengan menggunakan balanced scorecard dapat dikelola sehingga dapat diwujudkan.
9
Kelemahan Balanced Scorecard Beberapa kelemahan Balanced scorecard telah dijelaskan oleh beberapa penulis, diantaranya adalah Anthony & Govindarajan (2005:180) (dalam Tandiontong, 2011) yang menjelaskan beberapa kelemahan balanced scorecard yaitu: (1)Korelasi yang buruk antara ukuran non keuangan dengan hasilnya. Tidak adanya jaminan bahwa profitabilitas masa depan akan mengikuti pencapaian target dibidang non keuangan manapun. Hal ini menjadi masalah karena adanya asumsi yang melekat bahwa profitabilitas masa depan mengikuti pencapaian individual; (2)Terpaku pada hasil keuangan. Sering kali para manejer terbiasa dan terlatih dengan ukuran keuangan, tetapi mereka juga sering mendapatkan tekanantekanan dari pemegang saham berkaitan dengan kinerja keuangan perusahaan mereka. Program insentif dapat menciptakan suatu tekanan tambahan bagi para manajer senior karena adanya pemberian kompensasi yang diberikan dengan berdasarkan kinerja keuangan; (3)Ukuran-ukuran yang tidak diperbarui. Masih banyak perusahaan yang tidak memiliki mekanisme formal untuk memperbarui ukuran-ukuran tersebut agar selaras dengan perubahan strategistrateginya; (4)Terlalu banyaknya pengukuran yang dilakukan hal tersebut dapat mengakibatkan manajer kurang fokus karena mencoba melakukan banyak hal pada waktu yang sama.
Kegagalan Balanced Scorecard Menurut Schneiderman (1998) (dalam Nugroho, 2013) memaparkan faktorfaktor yang menyebabkan balanced scaorecard gagal. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: (1)Kurang didefinisikan dengan tepat faktor independen pada Balanced scorecard khususnya pada perspektif non keuangan, padahal faktor non finansial ini sebagai indikator utama yang memberikan kepuasan bagi stakeholder di masa yang akan datang; (2)Metrik didefinisikan secara minim (poor). Umumnya metrik finansial lebih mudah didefinisikan karena berhubungan dengan angka secara kuantitatif, sedangkan untuk non finansial tidak ada standar yang pasti. Pendefinisian metrik dalam bentuk kongkretnya adalah penentuan ukuran dari masing-masing objektif dalam setiap perspektif Balanced scorecard; (3)Terjadi "negosiasi" dalam penentuan improvement goal dan tidak berdasarkan stakeholder requirement, fundamental process limits dan improvement process capabilities. Istilah negosiasi ini dalam prakteknya diistilahkan dengan "penghijauan" skor, artinya supaya kelihatan performanya bagus bisa jadi target yang diturunkan atau timeframenya disesuaikan. Penerapan Balanced scorecard tidak selalu berjalan lancar, menurut Ittner dan Larcker (1998) (dalam Anas, 2011) memaparkan dari hasil survey mereka bahwa masalah yang sering dihadapi ketika mengimplementasikan Balanced scorecard antara lain kuantifikasi data kualitatif, kebutuhan akan sistem informasi yang canggih, banyaknya ukuran yang dimasukkan, kesulitan dalam evaluasi terkait pentingnya ukuran yang relatif, kesulitan dalam menurunkan sasaran (goal) ke tingkat bawah (lower level) organisasi, serta banyaknya waktu dan biaya yang dibutuhkan. Malina dan Selto (2001) (dalam Anas, 2011) menambahkan beberapa kesulitan yang berpengaruh negatif terhadap persepsi tentang Balanced scorecard 10
dan menyebabkan konflik antara atasan dan bawahan yaitu ukuran yang tidak akurat atau subjektif, komunikasi tentang Balanced scoredcard yang bersifat satu arah dan benchmark yang tidak tepat dalam evaluasi. Ittner, Larcker dan Meyer (2003) (dalam Anas, 2011) berpendapat bahwa subjektivitas dalam penilaian kinerja yang menggunakan Balanced scorecard memungkinkan atasan untuk sewenang-wenang dalam memberikan penilaian. Salah satu penyebab lain keterbatasan atau kegagalan Balanced scorecard yang mendapat perhatian lebih dari beberapa peneliti yaitu mengenai keterbatasan kognitif manajer dalam evaluasi kinerja (Lipe & Salterio, 2000 (dalam Anas, 2011)).
Perbandingan Balanced Scorecard dan Pengukuran Tradisional Menurut Mulyadi (2007) (dalam Nugroho, 2013), ada 4 (empat) perbedaan mendasar antara manajemen strategik tradisional dengan manajemen strategik berbasis Balanced Scorecard, yaitu: (1) Orientasi, Manajemen strategik tradisional tidak berfokus ke customer. Strategi yang berorientasi ke dalam menyebabkan perusahaan tidak mampu memantau perubahan kebutuhan customer. Manajemen strategik dalam manajemen tradisional menggunakan pandangan luas terhadap pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan. Semua stakeholders dipandang sama pentingnya bagi perusahaan dalam manajemen strategik tradisional. Manajemen strategik dipacu oleh pesaing, bukan customer, sehingga strategic initiatives yang dipilih lebih didominasi dengan langkahlangkah yang ditempuh untuk mengalahkan pesaing, bukan untuk memuaskan kebutuhan customer. Manajemen strategik berbasis Balanced Scorecard berorientasi ke customer. Manajemen strategik berbasis Balanced Scorecard dipacu oleh usaha untuk menghasilkan value terbaik bagi customer, sehingga dikenal pula dengan nama customer value-based model of strategic management. Tiga pertanyaan yang harus dicari jawabannya dalam proses manajemen strategik berbasis Balanced Scorecard adalah: (a)Apa yang disediakan untuk customer?; (b)Bagaimana kita dapat menyediakan value customer tersbut?; (c)Apa yang dapat kita peroleh dari penyediaan value tersebut? Pertanyaan pertama menunjukkan bahwa proses manajemen strategik merupakan customer-driven process, proses yang dipacu oleh usaha untuk memenuhi kebutuhan tertentu customer; bukan proses yang dipacu oleh kebutuhan internal perusahaan, sebagaimana proses manajemen strategik dalam manajemen tradisional. Oleh karena dipacu oleh usaha untuk memenuhi kebutuhan customer, manajemen strategik menuntut manajemen untuk melakukan eksplorasi ke lingkungan makro dan lingkungan industri yang akan dijadikan tempat beroperasinya perusahaan. Hasil eksplorasi ini akan menghasilkan misi yang menjawab tiga pertanyaan mendasar berikut ini: (1) what need do we meet, (2) who is our customer? dan (3) what business are we in? Pertanyaan kedua menuntut manajemen untuk mencari inisiatif strategik yang mampu menghasilkan value terbaik untuk memuasi kebutuhan customer, kemudian menjabarkan inisiatif tersebut ke dalam langkah-langkah tactical dan operational. Pertanyaan ketiga menuntut manajemen untuk melipat gandakan laba perusahaan dari hasil pemenuhan kebutuhan customer, agar perusahaan mampu 11
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan bertumbuh. Setelah ditetapkan kebutuhan yang akan dipenuhi, diidentifikasi customer yang akan dilayani, dan dipilih bisnis yang akan dijalankan, manajemen kemudian merumuskan kompetensi inti (core competence) yang diperlukan untuk menjalankan bisnis. Core competence adalah kompetensi modal manusia perusahaan dalam memanfaatkan sumber daya, yang sulit untuk ditandingi oleh pesaing dalam menghasilkan produk/jasa bagi customer. (2) Tahapan, Manajemen strategik tradisional terdiri dari empat tahap: perencanaan strategik, penyusunan program, penyusunan anggaran, pengimplementasian, dan pengendalian. Perencanaan dibagi menjadi dua: perencanaan laba jangka panjang dan perencanaan laba jangka pendek. Dalam manajemen tradisional, perencanaan laba jangka panjang disusun melalui dua tahap: 1).perencanaan strategik dan 2).penyusunan program. Perencanaan strategik menghasilkan rencana laba jangka panjang yang berupa misi, visi, keyakinan dasar, nilai dasar, tujuan, strategi, sasaran strategik, dan inisiatif strategik. Penyusunan program merupakan proses penjabaran inisiatif strategik ke dalam program. Perencanaan laba jangka pendek berupa penyusunan anggaran yang merupakan penjabaran program yang akan dilaksanakan dalam tahun tertentu. Anggaran yang dihasilkan kemudian dilaksanakan pada tahap pengimplementasian dan dikendalikan pada tahap pengendalian. Manajemen strategik berbasis Balanced Scorecard terdiri dari enam tahap: perumusan strategi, perencanaan strategik, penyusunan program, penyusunan anggaran, pengimplementasian, dan pemantauan. Perencanaan laba jangka panjang dalam manajemen strategik berbasis Balanced Scorecard dipecah ke dalam tiga tahap yang terpisah: perumusan strategi, perencanaan strategik, dan penyusunan program. Perencanaan laba jangka panjang dimulai dari langkah pertama berupa perumusan strategi yang menghasilkan misi, visi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar, dan strategi, berdasarkan hasil trendwatching dan SWOT analysis. Langkah berikutnya adalah perencanaan strategik yang berupa proses penerjemahan misi, visi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar, dan strategi ke dalam sasaran dan inisiatif strategik yang komprehensif, koheren, terukur, dan berimbang. Langkah terakhir adalah penyusunan program berupa proses penjabaran inisiatif strategik ke dalam program, rencana kegiatan jangka panjang disertai dengan sumber daya yang diperoleh dari dan dikorbankan untuk perwujudan sasaran-sasaran strategik. Pemisahan rencana laba jangka panjang ke dalam tiga tahap tersebut disebabkan oleh pemanfaatan Balanced Scorecard pada tahap perencanaan strategik untuk menjadikan sasaran strategik yang dihasilkan pada tahap tersebut memiliki karakteristik: komprehensif, koheren, terukur, dan seimbang. Oleh karena tahap perencanaan strategik dengan rerangka Balanced Scorecard harus dapat menghasilkan rencana strategik yang memiliki empat karakteristik tersebut, maka tahap perencanaan strategik harus dipisahkan sebagai langkah tersendiri yang terpisah dari tahap sebelumnya (perumusan strategi) dan tahap sesudahnya (tahap penyusunan program). Dengan dimanfaatkannya rerangka Balanced Scorecard dalam perencanaan strategik, perencanaan laba jangka panjang dipecah menjadi tiga tahap terpisah dengan fungsi setiap tahap sebagai berikut: (a).Tahap perumusan strategi berfungsi sebagai alat untuk trendwatching, analisis SWOT, envisioning, dan pemilihan strategi. Sebagai alat trendwatching, tahap perumusan
12
strategi digunakan untuk memantau trend perubahan lingkungan makro, lingkungan industri, dan lingkungan persaingan. Hasil trendwatching digunakan untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman dan hasil analisis internal digunakan untuk mengidentifkasi kekuatan dan kelemahan melalui analisis SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, and threats). Sebagai alat envisioning, tahap perumusan strategi ini digunakan untuk merumuskan misi, visi, tujuan, keyakinan dasar, dan nilai dasar berdasarkan hasil analisis SWOT. Tahap ini juga berfungsi sebagai alat pemilihan strategi berdasarkan hasil analisis SWOT. (b).Tahap perencanaan strategik berfungsi sebagai alat untuk menerjemahkan keluaran yang dihasilkan oleh tahap perumusan strategi. Kerangka Balanced Scorecard digunakan pada tahap perencanaan strategik sebagai penerjemah misi, visi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar, dan strategi ke dalam sasaran-sasaran strategik yang komprehensif, koheren, terukur, dan berimbang. Setelah sasaran strategik yang memiliki empat karakteristik tersebut dirumuskan, kemudian dipilih inisiatif strategik untuk mewujudkan setiap sasaran strategik tersebut. (c).Tahap penyusunan program berfungsi sebagai: 1.Alat untuk menjabarkan inisiatif strategik ke dalam program; 2.Alat untuk mengevaluasi ketercapaian sasaran strategik; 3.Alat untuk mengevaluasi efektivitas inisiatif strategik dalam mewujudkan sasaran strategik; 4.Alat untuk mengalokasikan sumber daya dalam jangka panjang (long-range resource allocation tool). Oleh karena setiap tahap dalam penyusunan rencana laba jangka panjang tersebut merupakan pekerjaan besar yang memiliki fungsi sangat menentukan bagi bisnis, manajemen strategik berbasis Balanced Scorecard memisahkan perumusan strategi, perencanaan strategik, dan penyusunan program sebagai kegiatan yang terpisah yang terkait satu dengan lainnya. Perumusan strategi menentukan bisnis yang dipilih dan arah yang dituju oleh perusahaan dalam perjalanannya menuju ke masa depan. Hasil tahap perumusan strategi menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan perusahaan. Di samping itu, tahap perumusan strategi menetapkan strategi yang dipilih untuk mewujudkan visi perusahaan. Strategi ini menjadi landasan penentuan sasaran dan inisiatif strategik yang akan ditempuh oleh perusahaan dalam mewujudkan visinya. Perencanaan strategik menentukan kualitas penerjemahan keluaran yang dihasilkan tahap perumusan strategi. Pekerjaan besar yang dilaksanakan pada tahap perencanaan strategik adalah (a)perumusan sasaransasaran strategik yang komprehensif, koheren, dan berimbang, (b)penentuan ukuran hasil dan ukuran pemacu kinerja untuk setiap sasaran strategik yang dirumuskan, (c)penentuan target yang diharapkan dapat diwujudkan dalam mencapai sasaran strategik, dan (d)pemilihan inisiatif strategik untuk mewujudkan setiap sasaran strategik. Penyusunan program merupakan pekerjaan besar berikut ini: 1.penjabaran inisiatif strategik ke dalam program, 2.pengevaluasian ketercapaian sasaran strategik, 3.pengevaluasian efektivitas inisiatif strategik untuk mewujudkan sasaran strategik, 4.pengalokasian sumber daya. (3) Lingkup, Manajemen strategik tradisional mencakup lingkup yang sempit atau hanya berfokus ke perspektif keuangan. Di lain pihak, manajemen strategik berbasis Balanced Scorecard mencakup lingkup yang luas, melampaui perspektif keuangan. Dengan digunakannya Balanced Scorecard sebagai alat penerjemah misi, visi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar, dan strategi, perencanaan strategik menghasilkan sasaran strategik yang komprehensif,
13
mencakup perspektif keuangan, customer, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Perluasan cakupan ke perspektif customer, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan ini dimaksudkan untuk memfokuskan usaha ke pemacu sesungguhnya kinerja keuangan perusahaan, sehingga perusahaan mampu menjadi institusi pelipatganda kekayaan. (4) Koherensi, Dalam manajemen tradisional, koherensi keluaran yang dihasilkan oleh tahap perencanaan strategik, penyusunan program, dan penyusunan anggaran tidak dipandang penting. Sebagai akibatnya, perencanaan strategik hanya menghasilkan daftar sasaran sasaran strategik, dan di antara sasaran strategik yang satu dengan sasaran strategik yang lain tidak dibangun hubungan sebab akibat. Bahkan di antara misi, visi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar, dan strategi tidak dibangun keterkaitan erat dengan sasaran strategik dan inisiatif strategik. Dalam manajemen strategik berbasis Balanced Scorecard, ada lima koherensi berikut ini yang dengan sengaja dibangun: 1. Koherensi antara hasil trendwatching dan analisis SWOT dengan misi, visi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar, dan strategi. 2. Koherensi antara misi, visi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar, dan strategi yang dirumuskan pada tahap perumusan strategi dengan sasaran-sasaran strategik yang dirumuskan pada tahap perencanaan strategik. 3. Koherensi antara inisiatif strategik yang dipilih pada tahap perencanaan strategik dengan program yang dirumuskan pada tahap penyusunan program. 4. Koherensi antara program yang dipilih pada tahap penyusunan program dengan anggaran yang dirumuskan pada tahap penyusunan anggaran. 5. Koherensi di antara sasaran strategik di berbagai perspektif: keuangan, customer, proses bisnis intern, pembelajaran dan pertumbuhan. Tabel 1. Perbandingan Sistem Pelaporan Manajemen Tradisional vs Manajemen Balanced Scorecard Pelaporan Pengendalian (Manajemen Tradisional) Pengendalian melalui anggaran
Pelaporan Strategis (Manajemen Balanced Scorecard) Umpan balik dan pembelajaran
Berfokus pada fungsi – fungsi dalam organisasi Mengabaikan pengukuran kinerja atau pengukuran kinerja dilakukan secara terpisah
Fokus pada fungsi tim fungsional silang Pengukuran kinerja terintegrasi yang dilakukan berdasarkan hubungan sebab akibat
Balanced Scorecard dalam Information Technology (IT) Balanced Scorecard telah berkembang pesat dan telah diaplikasikan ke dalam dunia Information Technology dan lebih dikenal dengan IT BSC (Information Technology Balanced Scorecard). Konsep Balanced scorecard diharapkan mampu menghasilkan rencana strategi yang memiliki karakteristik sebagai berikut: Komprehensif, Koheren, Seimbang, dan Terukur; dalam keempat perspektif balanced scorecard yang diantaranya: perspektif keuangan, perpektif
14
pelanggan, perspektif proses bisnis internal, dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Berbeda dengan balanced scorecard yang pada umumnya memiliki 4 (empat) perspektif yang telah disebutkan sebelumnya, IT BSC menerapkan 4 (empat) perspektif yang dikembangkan dari keempat perspektif balanced scorecard tersebut. 4 (empat) persepektif tersebut adalah: (1)Corporate Contribution, yang mencakup kebijakan, struktur oragnisasi, investasi dan arus kas; (2)Customer Orientation, mencakup kepuasan pelanggan, keunggulan layanan, hubungan dengan pelanggan, dan kerjasama dengan partner bisnis lain; (3)Operation Excellence, mencakup ketersediaan akses jaringan dan kualitas jaringan; (4)Future Orientation, mencakup manajemen SDM, kepuasan karyawan, knowledge management, dan proyek IT yang dikerjakan.
Gambar 2. Perubahan perspektif Balanced Scorecard menjadi IT BSC
Indikator Balanced Scorecard pada Pengelolaan Sumber Daya Alam Balanced scorecard dapat digunakan sebagai tolok ukur di dalam kinerja suatu perusahaan dengan menerapkan berbagai rencana strategi yang akan di implementasikan. Salah satu rencana strategi dalam bidang sumber daya alam adalah dengan dilakukannya pengelolaan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan. Hal tersebut berarti bahwa pengelolaan sumber daya tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan kemampuan kita untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengabaikan kepentingan generasi di masa mendatang. Mengelola lingkungan sekitar juga bertujuan untuk melestarikan lingkungan agar tidak terkena dampak buruk dari aktifitas yang dilakukan dan dapat diwariskan pada generasi selanjutnya. Tujuan konservasi ini adalah inti lahirnya pandangan sustainable development. Pengelolaan sumber daya alam terfokus pada para manusianya atau masyarakat, pelaku ekonomi, pada strategi apa yang perlu ditempuh agar sumber daya alam tetap lestari dan secara optimal dimanfaatkan dengan berkelanjutan. Pengelolaan sumber daya alam tingkat Negara, melibatkan berbagai pihak seperti: Pemerintah sebagai regulator dan koordinator, pengusaha sebagai pelaku usaha, dan masyarakat sebagai pengguna dan pengontrol. Indikator pengelolaan sumber daya alam untuk setiap pihak memiliki kesamaan visi namun misi yang diembannya berbeda. Maka indikator pengelolaan strategisnya pun berbeda-beda. Disamping pihak Pemerintah yang berperan sebagai regulator dan koordinator, peran pengusaha sebagai pelaku usaha, tentunya masyarakat sebagai pengguna dan pengontrol aktifitas yang dilakukan
15
dan kebijakan yang diterapkan akan sangat menentukan keberhasilan penerapan indikator pengelolaan sumber daya alam tersebut. Masing-masing pihak akan saling berinteraksi dan memiliki ciri strategi pengelolaan lingkungan tersendiri dengan kesamaan umum yaitu visi bersama mewujudkan kondisi sustainable development (Purwanto, 2003) (dalam Bastian, 2012).[3] Visi pengelolaan sumber daya alam secara global adalah mencapai kondisi sustainable development dalam praktek kehidupan masyarakat sehari-hari. Kondisi sustainable development dapat tercapai dengan syarat: Para aktor ekonomi bersama-sama bekerjasama, adanya kerjasama didukung pembagian tanggung jawab yang jelas, kerjasama didorong kesamaan visi dan pandangan. Selanjutnya jenis dan ukuran indikator tersebut tergantung pada misi spesifik dan strategi spesifik dari para pelaku ekonomi di masyarakat. Indikator di dalam konsep balanced scorecard ada 2 yaitu: indikator leading dan lagging. Indikator lagging adalah suatu pengukuran yang menjelaskan sesuatu telah terjadi (pengukuran kinerja masa lalu), sedangkan indikator leading menceritakan sesuatu mengenai masa depan (pengukuran kinerja masa depan).[3] Tabel 2. Contoh Penerapan Balanced Scorecard pada SDA (pengelolaan perkebunan teh) Perspektif pengukuran Lag indikator Lead indikator Financial : Peningkatan keuntungan Pendapatan (revenue) Pertumbuhan nilai (laba) meningkat penjualan Pengembalian kepada ROI meningkat Biaya produksi turun shareholder Customer : Meningkatkan kepuasan Kesetiaan pelanggan pada Survei pelanggan (misal: dan pelayanan kepada produk ketepatan waktu pelanggan (produk aman pengiriman) dikonsumsi, harga terjangkau, terwujudnya produk yang unggul di pasar Internal Business Process: Meningkatnya produktivitas Ketetapan pelaksanaan Penilaian ketepatan kebun prosedur di kebun pelaksanaan prosedur di kebun (misal: pelaksanaan pemupukan berdasarkan dosis dan frekuensi, pengendalian gulma, pelanggaran dalam pemetikan pucuk, serta pengendalian hama) Perbaikan proses : efisiensi Mengurangi biaya produksi Penghematan biaya + efektifitas agar terwujud dengan penghematan biaya dengan mengkonversi Cost Effectiveness produksi bahan bakar bahan bakar minyak dengan bahan bakar dari cangkang kelapa sawit
16
Learning and Growth : Meningkatnya komitmen Kepuasan kerja karyawan karyawan
Kepuasan karyawan diukur dengan memberikan kuisioner Prosedur menjamin Produktifitas dan keluhan Penghargaan terkait kepuasan karyawan dan karyawan produktifitas penghargaan Sumber : indikator BSC pada agroindustri teh PT. Mitra Kerinci (dalam Bastian, 2012)
Kesimpulan Balanced Scorecard (Kartu Skor Berimbang) adalah suatu konsep untuk mengukur apakah aktivitas – aktivitas operasional suatu perusahaan dalam skala yang lebih kecil sejalan dengan sasaran yang lebih besar dalam hal visi dan strategi. Balanced scorecard juga merupakan suatu konsep pengukuran kinerja suatu perusahaan. Balanced scorecard memiliki 4 (empat) perspektif yang saling terkait antara satu perspektif dengan perspektif lainnya, yaitu: perspektif keuangan (financial), perspektif pelanggan (customer), perspektif proses bisnis internal (internal business process), dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran (learning and growth). Adapun manfaat, keunggulan, kelemahan, dan kegagalan pada Balanced scorecard adalah sebagai berikut: -manfaat diantaranya: (1)Balanced scorecard sebagai sistem pengukuran yang mengarahkan kinerja, (2)Balanced scorecard sebagai sistem manajemen strategik, (3)Balanced scorecard menerjemahkan visi dan strategi menjadi aksi atau tindakan, (4)Balanced scorecard sebagai alat memetakan strategi, (5)Balanced scorecard sebagai alat penghubung aset tak berwujud dengan nilai pemegang saham; -keunggulan diantaranya: (1)Komprehensif, (2)Koheren, (3)Seimbang, (4)Terukur; -kelemahan diantaranya: (1)Korelasi yang buruk antara ukuran non keuangan dengan hasilnya, (2)Terpaku pada hasil, (3)Ukuran-ukuran yang tidak diperbarui, (4)Terlalu banyaknya pengukuran yang dilakukan; -kegagalan: (1)Kurang didefinisikan dengan tepat faktor independen pada Balanced scorecard khususnya pada perspektif non keuangan, (2)Metrik didefinisikan secara minim (poor), (3)Terjadi "negosiasi" dalam penentuan improvement goal dan tidak berdasarkan stakeholder requirement, fundamental process limits dan improvement process capabilities. Dengan perkembangan teknologi, konsep Balanced scorecard juga mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut dapat dilihat pada perbandingan sistem pelaporan manajemen tradisional dengan manajemen balanced scorecard, balanced scorecard juga mengalami perkembangan dalam IT (teknologi informasi) dengan mengembangkan 4 (empat) perspektif dasar balanced scorecard, serta penggunaan indikator balanced scorecard sebagai pengelolaan sumber daya alam terlepas dari pengukuran kinerja suatu perusahaan.
17
Daftar Pustaka : [1.] Anas, Syaiful dan Sholihin, Mahfud. 2011. “Pengaruh Keterlibatan Dalam Pemilihan Inisiatif Strategis Dan Laporan Strategis Terhadap Evaluasi Inisiatif Strategis Dan Kinerja Manajer Divisi Yang Menggunakan Balanced Scorecard”. Jurnal Simposium Nasional Akuntansi 14 Aceh. 21-22 Juli 2011. [2.] Auditorinternal. 2010. Balanced Scorecard – dari Performance Measurement hingga Strategy-focused Organization. Dari http://auditorinternal.com/2010/01/19/balanced-scorecard-%E2%80%93dari-performance-measurement-hingga-strategy-focused-organization/, 29 April 2015. [3.] Bastian, Aneke. 2012. “Balanced Scorecard Sebagai Indikator Pengelolaan Sumber Daya Alam”. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Akuntansi. Vol. 1, Nomor 2, Maret 2012. [4.] Bone, Hariman dan Sholihin, Mahfud. “Pengaruh Perspektif Dan Jenis Ukuran Dalam Balanced Scorecard Terhadap Evaluasi Kerja”. Jurnal Simposium Nasional Akuntansi 15 Banjarmasin. 20-23 September 2012. [5.] Effendi, Rizal. 2012. “Pengukuran Kinerja Sektor Publik Dengan Menggunakan Balanced Scorecard (Studi Kasus Kanwil DJP Sumsel Dan Kep. Babel)”. Jurnal Ilmiah STIE MDP. Vol. 1, Nomor 2, Maret 2012. [6.] Hanuma, Soraya dan Kiswara, Endang. (2011). “Analisis Balance Scorecard Sebagai Alat Pengukur Kinerja Perusahaan (Studi Kasus Pada PT Astra Honda Motor)”. Jurnal Ilmiah UNDIP. 2011. [7.] Krisna, Alit. 2013. Pengertian Balanced Scorecard. Dari http://alit159a.blogspot.com/2013/01/pengertian-balanced-scorecard.html, 29 April 2015. [8.] Maula, khimatul dan Ghozali, Khakim. 2012. “Evaluasi Kinerja IT Pada PT.XYZ Menggunakan IT Balanced Scorecard”. Jurnal Tehnik POMITS. Vol. 1, Nomor 1, 2012. [9.] Nugroho, Wayan Adhitya. 2013. “Analisis Pengukuran Kinerja Perusahaan Dengan Konsep Balance Scorecard (Studi Kasus PT. Wijaya Karya)”. Skripsi Sarjana pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah. 2013. [10.] Rita, Sartika Putri. 2010. Sejarah Balanced Scorecard. Dari http://ritasartikaputri.blogspot.com/2010/05/sejarah-balancedscorecard.html, 29 April 2015. [11.] Singgih, Moses L., Damayati, Kristina Asih, dan Octavia, Renny. 2001. “Pengukuran Dan Analisa Kinerja Dengan Metode Balanced Scorecard Di PT. X”. Jurnal Teknik Industri. Vol. 3, Nomor 2, Desember 2001. [12.] Sofian, Jonathan. 2006. Berkenalan dengan Balanced Scorecard (BSC). Dari https://jsofian.wordpress.com/2006/07/19/berkenalan-dengan-balancedscorecard-bsc/, 29 April 2015. [13.] Sulisworo, Dwi dan Nurmaningsih, Sari. 2011. “Pembobotan Sasaran Strategis Perspektif Balanced Scorecard (BSC) Pada Perusahaan Air Minum”. Jurnal Ilmiah Teknik Industri. Vol. 10, Nomor 1, Juni 2011. [14.] Tandiontong, Mathius dan Yoland, Erna Rizki. 2011. “Penerapan Balanced Scorecard Sebagai Alat Pengukuran Kinerja Yang Memadai (Sebuah Studi
18
Pada Perusahaan Bio Tech Sarana di Bandung)”. Akurat Jurnal Ilmiah Akuntansi. Nomor 5, Mei-Agustus 2011. [15.] Wikipedia. (2013). Kartu Skor Berimbang. Dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kartu_skor_berimbang, 29 April 2015
19