Bahasa-bahasa Nusantara: Tipologinya dan tantangannya bagi Tatabahasa Leksikal-Fungsional I Wayan Arka Linguistics, RSPAS, ANU 1
Pendahuluan Beragamnya bahasa-bahasa Nusantara menjadikan Nusantara sebagai laboratorium alamiah untuk pengujian dan penerapan teori linguistik apa saja, termasuk Tatabahasa Leksikal-Fungsional (selanjutnya TLF). Nusantara dihuni oleh lebih dari 500 bahasa, yang terbagi dalam dua kelompok besar bahasa: bahasa Austronesia dan bahasa Papua. Kelompok bahasa Austronesia terdapat hampir disuluruh Nusantara sementara kelompok bahasa Papua dijumpai di Irian dan juga pulau-pulau sekitarnya termasuk berapa pulau di Nusa Tenggara Timur (Alor ke Timur) dan Timor Timur. Dalam tulisan singkat ini akan diuraikan beberapa ciri-ciri penting berbagai kelompok bahasa Nusantara dan tantangannya bagi TLF. Karena keterbatasan ruang serta luasnya keragaman bahasa di Nusantara dan kerumitan aspek teoritis yang ada, maka topik yang diangkat bersifat terbatas dan pembahasannya bersifat subjektif karena perspektifnya mencerminkan pemahaman dan pengalaman penulis dalam meneliti bahasabahasa Nusantara. Makalah ini disusun sebagai berikut. Keberadaan dua kelompok utama bahasa di Nusantara (Austronesia dan Papua) diberikan pada subseksi 2.1–2.2, dilanjutkan dengan uraian singkat mengenai TLF (sejarah dan model yang dianut) pada sub-seksi 3.1–3.3. Pembahasan utama mengenai tantangan bahasa Nusantara terhadap TLF diberikan pada 4.1–4.5. Akhirnya, kesimpulan disampaikan pada bagian akhir tulisan ini. 2 2.1
Bahasa-bahasa Austronesia dan non-Austronesia di Nusantara
Kelompok Austonesia Secara genealogis bahasa-bahasa Austronesia di Nusantara ini setidak-tidaknya terdiri dari tiga kelompok: kelompok Malayo-Polynesia Barat, Malayo-Polynesia Tengah dan Halmahera Selatan Papua Barat (lihat gambar 1, Tryon (1994)). Namun secara tipologis ada setidak-tidak empat kelompok (Arka 2002). Keempat kelompok tersebut diuraikan dengan singkat di bawah ini. Pertama, bahasa-bahasa dengan system diatesis morfologis tipikal Austronesia. Kelompok ini terbagi menjadi dua sub-kelompok, yakni bahasa bertipe seperti bahasa Indonesia (selanjutnya akan disebut dengan tipe b.Ind) dan bahasa bertipe seperti bahasa Tagalog (selanjutnya, b.Tag). Tipe b.Ind mendominasi di wilayah Indonesia tengah dan barat (Sulawesi tengah dan selatan, sebelah barat Sumbawa, sampai ke Sumatra dan Kalimantan Indonesia). Sementara itu b.Tag ditemui di Sulawesi utara dan Kalimantan utara. Dari kelompok pertama ini, bahasa-bahasa yang sudah didokumentasikan dengan baik meliputi bahasa Karo Batak (Woollams 1996) and bahasa Nias (Brown 2001) di Sumatra, bahasa Jawa (Sudaryanto 1991) dan bahasa Sunda (Hardjadibrata 1985; Robins 1983) di Jawa, Toratan di Sulawsi (Himmelmann 2002; Himmelmann and Wolff 1999), juga bahasa Bali (Arka 1998, to appear; Arka and Simpson 1998; Artawa 1994; Beratha 1992; Clynes 1995).
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
Figure 1. Nusantara dan sub-kelompok bahasa Austronesia Ada beberapa ciri utama tipe b.Ind. Pertama, bahasa tipe ini mempunyai diatesis simetrikal, artinya alternasi diatesis yang memungkinkan tidak terjadinya perubahan status keintian1 argument Agen atau Pasien dari verba transitif. Dua diatesis tersebut adalah diatesis agentif (DA) dan diatesis objektif (DO).2 Diatesis agentif secara tradisional adalah kalimat ‘aktif’, dicontohkan oleh kalimat (1)a dari bahasa Bali. Dalam kalimat ini, argumen Agen menjadi PIVOT (subyek). Diatesis objektif dicontohkan oleh kalimat (1)b menunjukkan Pasien sebagai PIVOT (PIV). Alternasi diatesis agentifobjektif tidak menurunkan status Agen atau Pasien ke non-inti (Oblik/Oblique) 3. Jadi dalam kedua kalimat ini agen dan pasiennya tetap inti, bukan non-inti. Bukti bahwa keintian sintaksisnya tidak berubah datang dari berbagai test seperti pengikatan, salinan pronomina (pronominal copy) dan quantifier float (lihat Arka 1998). 1
Istilah ‘keintian argumen’ maksudnya klasifikasi argumen atas argumen inti (Core atau Term) dan non-inti (atau non-Core, atau Oblique), lihat juga catatan kaki 3 di bawah. Argumen inti adalah klas argumen yang mencakup Subjek dan Objek. Argumen inti ini biasanya direalisasikan sebagai FN (tidak mendapat markah pre/postposisi). Pada bahasa-bahasa yang mempunyai pemarkah kasus, argumen inti ini mendapat kasus utama seperti nominatif, akusatif, atau ergative. Ada bukti bahwa secara lintas bahasa kelompok argumen inti mempunyai hirarki yang lebih tinggi dari yang non-inti; sehingga ada proses morfoleksikal tertetu yang menurunkan status keintian argumen (dari inti ke non-inti) atau proses yang menaikkan status keintiannya (dari non-inti menjadi inti). Masalah klasifikasi argumen dibahas pada 4.4 - 4.5. 2 Singkatan yang dipakai pada makalah ini adalah sbb.: 1,2,3 (orang pertama, ke dua, ke tiga), APL (aplikatif), D (determiner), DA (diatesis aktif), DEF (definit), DO (diatesis objektif), FUT (future), I (Infeksi), IMP (imperatif), J (jamak), KL (kala), N (nomina), NUM (number), OBJ (objek), OBL (oblik), SUBJ (subjek), P (pre/posposisi), P-A (proto-aktor), P-P (proto-pasien), PAS (pasif), PERF (perfectif), PF (patient focus), PIV (pivot), POS (posesif), REC (regonitional), SS (subjek sama), T (tunggal), TLF (Teori Leksikal-Fungsional), TO (Teori Optimalitas), V (verba). 3 Oblik (Oblique) adalah argumen verba yang secara sintaktis bukan Subjek atau Objek, biasanya dimarkahi oleh pre/posposisi. Dikatakan argumen, karena Oblik mencerminkan partisipan penting yang diminta oleh verba. Jadi, Agen pada verba pasif adalah Oblik. Kehadirannya biasanya (walaupun tidak harus) opsional sehingga Oblik mirip keterangan (adjunct). Beda Oblik dengan Adjucnt adalah yang pertama diminta oleh verba sedangkan yang belakangan tidak. Contoh, Lokatif di meja pada verba taruh seperti taruh buku di meja adalah Oblik sementara Lokatif di dapur pada makan di dapur adalah adjunct. Lokatif yang belakangan bukanlah bagian dari makna ‘makan’; perannya di sini hanyalah memberi situasi tambahan.
2
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
(1) Bahasa Bali a. Cang lakar meli kedis-e 1T FUT DA-beli burung-DEF ‘Saya akan membeli burung itu’ b. Kedis-e nto lakar ∅-beli burung-DEF itu FUT DO-buy ‘Burung itu akan saya beli’
cang 1T
nto itu
[PIV] [non-PIV]
Agen Pasien [PIV] [non-PIV] < INTI, INTI> Agen Pasien
Ciri lain dari tipe b.Ind adalah: a) keberadaan pasif dengan agen oblik, b) keberadaan aplikatif (misalnya –kan dan –i pada bahasa Indonesia), c) pemarkah diatesis lebih terkait dengan peran semantis makro, yakni Actor (A) atau Proto-Agen (P-A) and Undergoer (U) atau Proto-Pasient (P-P) dibandingkan dengan peran semantis mikro seperti Agen, Pasien dan Lokatif.4 (Akan diperlihatkan di bawah bahwa diatesis pada bahasa tipe b.Tag lebih mencerminkan peran semantis mikro) Misalnya, Subjek verba pasif pada b.Ind adalah U; perannya tidak selalu identik dengan Pasien karena bisa Benefaktif/Sasaran (misalnya pada verba diberikan/dilempari), atau bisa juga Lokatif (pada verba ditanami). Bahasa-bahasa Nusantara di Sulawesi utara, seperti Toratàn/Ratahan, (Himmelmann 2002; Himmelmann and Wolff 1999), lebih mirip dengan bahasa tipe b.Tag. Ciri-ciri tipe b.Tag antara lain: i) sistem diatesisnya simetris (seperti tipe b.Ind), ii) tidak ada pasif dengan agen oblik, iii) sistem diatesis multi-dimensi dengan afiks yang menyatakan peran semantis mikro (lihat perbandingan pada tabel 1), biasanya tidak mempunyai afiks aplikatif, (iv) biasanya ada morfologi untuk menyatakan perbedaan MOOD (realis/irrealis) dan (v) biasanya ada pemarkah argumen (misalnya ang pada bahasa Tagalog). Tabel 1 (diadaptasi dari Himmelmann 2002: 126-127) menunjukkan kemiripan bahasa Toratan dengan bahasa Tagalog dalam hal sitem diatesis yang multi dimensi dengan berbagai tipe non-aktif yang terkait dengan peran semantis mikro dan perbedaan realis dengan irrelais. Table 1. Afiks diatesis bahasa Toratan dan Tagalog +REALIS -REALIS Toratan Tagalog Toratan Tagalog ACTOR VOICE -im-/N-um-/N-um-/M-um-/MPATIENT VOICE -in-in-an -in LOCATIVE VOICE -in- -an -in- -an -an -an THEME VOICE i-ini- -in -∅ Bahasa lain di Sulawesi, utamanya di Sulawesi Tengah dan Selatan, seperti bahasa. Balantak (Busenitz 1994), bahasa Makasar (Manyambeang 1996), lebih mirip ke 4
Peran semantis makro A-U yang dimaksudkan di sini menuruti Foley dan Van Valin (1984) dan Van Valin dan LaPolla (1999) dan P-A/P-P menuruti (Dowty 1991); keduanya dianggap disini kurang lebih sama, yakni kelas peran semantis ‘umum’ yang secara lintas verba bisa diidenfikasikan sebagai berbagai peran tematis/semantis yang spesifik seperti Agen, Benefaktif, Pasien, Lokatif dst. Untuk memudahkan pembedaannya, peran semantis yang spesifik saya sebut sebagai peran semantis mikro. Jadi, peran makro A atau P-A dalam verba aksi bisa identik dengan agen, sementara pada verba lain seperti verba yang meyatakan rasa dan pikiran (pikir, lihat, dsb.) A/P-A bisa identik dengan perasa (experiencer). Perlu dicatat bahwa peran makro terkait dengan argumen inti (Core), karena pada hakekatnya argumen inti memang tidak terikat dengan peran semantis mikro tertentu (istilahnya thematically unrestricted, lihat (Bresnan and Kanerva 1989)). Sementara itu, argumen non-inti (oblik) biasanya termarkahi dan mencerminkan peran mikro tertentu; misalnya oleh (untuk agen atau Perasa), dengan (untuk Instrumen), untuk (Benefaktif), di (Lokatif), ke (Sasaran).
3
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
tipe b.Ind dibandingkan dengan tipe b.Tag karena bahasa-bahasa ini umumnya menunjukkan verba non-aktif dengan peran semantis makro dan mempunyai aplikatif. Namun harus diakui bahwa ada diantaranya yang mempunayi system ‘transisi’ antara tipe b.Tag dengan tipe b.Ind. Salah satu bahasa yang demikian adalah bahasa Lauje (termasuk kelompok Tomini-Tolitoli di Sulawsi Tengah bagian utara, Himmlemann 2002) yang menjukkan system diatesis tiga arah dengan perbedaan [+/-REALIS] dan juga mempunyai aplikatif. Yang menarik adalah sufiks aplikatif pada bahasa ini mempunyai distribusi komplementer dengan diatesis lokatif. Maksudnya, seperti dinyatakan oleh Himmelmann (2002: 135) sistem diatesis tiga arah disederhanakan menjadi sistem dua arah (seperti dalam tipe b.Ind) apabila verbanya muncul dengan aplikatif. Kedua, bahasa-bahasa Nusantara dengan sistem diatesis campuran dengan persesuaian pronominal. Bahasa tipe ini ditemui di Sulawesi Tenggara, misalnya bahasa Muna (Van den Berg 1989), Wolio (Albert 2000), and Tukang Besi (Donohue 1995). Bahasa tipe ini mempunyai persesuaian pronominal pada verba atasan/mandiri tetapi mempunyai sistem diatesis tipe b.Ind pada verba bawahan. Prefiks pronominanya terkait secara ajeg dengan peran semantis Aktor dan biasanya ada frasa nomina bebas yang bersesuaian dengan prefiks ini. Frasa nomina bebas ini dapat pula mendapatkan pemarkah. Pada bahasa Tukang Besi, misalnya, ditemui pemarkah frasa nomina na ‘NOM’, yang sangat mirip dengan pemarkah frasa nomina pada bahasa-bahasa Austronesia di Taiwan seperti Puyuma (Teng 2001). Ketiga, bahasa-bahasa isolasi. Bahasa-bahasa yang tergolong dalam tipe ini terdapat utamanya di Flores, tetapi bisa juga ditemukan di Timor (Timur). Bahasa tipe ini tidak mempunyai morfologi pada verbanya dan juga tidak ada afiks persesuaian. Karenanya, urutan kata menjadi sangat penting dalam penentuan relasi gramatikal. Verheijen (1977), Verheijen and Grimes (1995), Arka and Kosmas (2002) membahas bahasa Manggarai (bahasa di Flores Barat. Arka (2000) memberikan laporan penelitian komparatif mengenai bahasa di Flores dan sekitarnya (e.g. Bima, Sikka, Lio, and Lamaholot). Hajek and Bowden (in press) membahas bahasa Waimoa, sebuah bahasa di Timor Timur. Bahasa tipe isolasi seperti bahasa Manggarai biasanya menggunakan strategi analitis untuk menyatakan diatesis. Keempat, bahasa-bahasa dengan persesuaian tanpa sistem diatesis. Bahasa tipe ini utamanya ditemukan di Indonesia Timur (Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara dan Selatan) dan Timor Timur. Termasuk dalam kelompok ini adalah bahasa-bahasa di Maluku seperti bahasa Taba (Bowden 2001) dan bahasa Buru (Grimes 1991), bahasa Kambera di Sumba (Klamer 1998)), bahasa-bahasa di Timor diantaranya Dawan (Arka 2001b, 2001a; Steinhauer 1993, 1996) and Tetun (Van Klinken 1999). Setidak-tidak ada tiga ciri utama bahasa kelompok bahasa ini: i) keberadaan persesuaian pronomina pada verba, ii) ketiadaan diatesis dan iii) kecenderungan adanya serialisasi verba. Umumnya, bahasa tipe ini menggunakan strategi pengedepanan atau pelesapan dengan tetap mempertahankan persesuaian pronomina untuk konstruksi-konstruksi yang pada bahasa tipe b.Ind akan memerlukan diatesis. 2.2
Kelompok Papua Deskripsi singkat kelompok bahasa Papua ini diambil dari Foley (1986). Kelompok bahasa Papua yang jumlahnya tidak kurang dari 750 buah utamanya ditemukan di Papua barat (Irian) dan Papua Nugini. Kelompok bahasa Papua juga di pulau-pulau sekitarnya di Proponsi Nusa Tenggara Timur (di Alor dan Pantar, misalnya bahasa Abui, Blagar, Hamap, Kabola, Kafoa, Kamang, Kolana dan Mauta), di Maluku (misalnya
4
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
Halmahera Utara) dan juga di Timor Timur. Distribusi bahasa Papua di wilayah Nusantara Timur diperlihatkan dengan tanda bintang pada gambar 2 (Grimes et al. 1997).
Figure 2. Nusantara Timur dan kelompok bahasa Papua Istilah ‘bahasa Papua’ sesungguhnya tidak membentuk kelompok bahasa secara genetis seperti halnya rumpun bahasa Austronesia. Ada sekitar tidak kurang dari 60 rumpun secara genetis; karenanya istilah non-Austronesia mestinya lebih tepat. (Saya akan tetap menggunakan istilah kelompok bahasa Papua dalam makalah ini dengan tetap mengingat bahwa istilah ini tidak mengadung implikasi bahwa kelompok bahasa ini membentuk satu rumpun secara genetis.) Secara tipologis ada beberapa karakter yang membedakan kelompok bahasa Papua dengan Austronesia. Dari sudut fonologi, sistem fonemiknya biasanya sangat sederhana. Sistem vokalnya tipikal terdiri dari lima vokal /i, e, a, o, u/. Sistem konsonannya biasanya terdiri dari tiga tempat artikulasi (labial, dental/alveolar, dan velar), sering juga ada palatal. Dari sudut sintaksis, kelompok Papua tipikal mempunyai tataurut dengan poros datang terakhir (head final); jadi yang tipikal adalah klausa dengan verba di akhir kalimat (SOV), dan frasa posposisi (FN +P), bukan frasa preposisi. Berikut ini contoh dari bahasa Mauta (Oka Antara 2001), yang menunjukkan bahwa objek datang sebelum porosnya, misalnya sebelum posposisi ya ‘ke’ pada (2)a atau sebelum verba transitif –kang ‘pukul’ (2)b. Perhatikan pula bahwa, subjek orang ke tiga yaya ‘ibu’ pada (2)a mendapat persesuaian dengan pronomina bebas gang, sementara verba transitif (2)b juga muncul dengan prefix gak- yang bersesuaian dengan objek Laoemaorey. (Persesuaian dinyatakan dengan tanda subskrip i.) (2) Contoh bahasa Mauta a. Yaya ga-ng Ibu 3T-Inti ‘Ibu pergi ke pasar’
ang ya pasar P
si pergi
a. Na-ng Laoemaorey i gak i -kang 1T-Inti NAMA 3T-pukul ‘Saya memukul Laoemaorey ‘
5
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
Verba pada bahasa Papua umumnya kompleks secara morfologis (dengan afiks yang menunjukka persesuaian dengan subjek, dan juga objek serta menyatakan mood/kala) dan urutan argumen verba biasanya tidak kaku. Diatesis aktif dan pasif adalah sesuatu yang sangat tidak lazim. Konstruksi yang lazim ditemui adalah konstruksi klausa beruntun dan serialisasi verba. Dalam konstruksi ini, dua verba (atau lebih) beruntun membentuk struktur yang ketat, yang biasanya ekuivalen dengan satu verba pada bahasa lain. Bahasa dengan serialisasi verba biasanya lebih ekplisit dalam hal menyatakan fase atau sub-kejadian yang membentuk kejadian lain. Misalnya, kata carikan (dua morfem tetapi satu kata dalam bahasa Indonesia,) atau fetch (satu kata satu morfem dalam bahasa Inggris) ekuivalen dengan sejumlah verba beruntun dalam bahasa Kalam (Papua Nugini, Pawley (1980)) seperti terlihat dari contoh (3). (3) Contoh serialisasi dari bahasa Kalam Yad am mon pk d ap ay-p-yn Saya pergi kayu pukul pegang datang taruh-PERF-1T ‘Saya pergi dan potong kayu dan mengambilnya dan datang dan menaruhnya’ Serialisasi serupa (yang tidak sekompleks bahasa Kalam) juga diperlihatkan oleh bahasa Kombai, sebuah bahasa di Irian Jaya Selatan, termasuk Trans Nugini, (Vries 1993). Contoh (4) memperlihatkan bahwa kejadian ‘membawa dan mengambil’ selalu dinyatakan sebagai kombinasi dari sub-kejadian yang mengadung ‘datang dan pergi’ yang juga menunjukkan arah perjalanan. (4) Contoh serialisasi dari bahasa Kombai a. Dunoro fali-me makanan bawa-datang.3T.NonFut ‘Ia membawa makanan’ b. Foro moja-ma-none! bawa.SS pergi-(ke)bawah-datang-IMP.J ‘Bawa (dia) ke bawah!’ Contoh serialisasi (3) dari bahasa Kalam tadi merupakan contoh yang ekstrim. Yang lebih umum biasanya ada konstruksi serialisasi dengan dua verba dan salah satu diantaranya adalah verba dengan arti jenerik seperti ‘lakukan’, ‘katakan’, seperti yang ditemukan di bahasa Asmat di Irian Jaya (5). (5) Contoh serialisasi dari bahasa Asmat (Voorhoeve 1965 dalam Foley (1986)) Atow e- ‘main lakukan = bermain’ Yan e- ‘telinga lakukan =‘mendengar’ Sebelum kita sampai pada uraian bagaimana bahasa-bahasa Nusantara yang telah diuraikan tadi bisa memberi tantangan bagi teori bahasa, khususnya TLF, ada baiknya secara singkat kita ketahui dulu sejarah, model dan prinsip dasar TLF secara singkat. 3
Pengenalan singkat TLF (Tatabahasa Leksikal-Fungsional)
3.1
Nama TLF termasuk tatabahasa generatif non-tranformational yang berbasiskan leksikon. Sebagai tatabahasa jeneratif, TLF termasuk sekelompok dengan tatabahasa 6
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
generatif lain seperti tatabahasa Relasional dan tatabahasa transformasinya Noam Chomsky (Government Binding, Principle and Parameters dan Minialist Program, lihat diantaranya (Chomsky 1965, 1981; Chomsky 1986, 1995; Webelhuth 1995). Konsep dasar yang menggolongkannya kedalam kelompok jeneratif adalah ide bahwa tatabahasa terdiri dari seperangkat modul, prinsip-prinsip tertentu dan kendala-kendala tertentu yang membentuk suatu mekanisme yang mampu menghasilkan ekpressi bahasa yang tidak terbatas jumlahnya. Berbeda dengan tatabahasa transformasional, TLF tidak mengasumsikan adanya transformasi, yakni pengubahan ‘struktur batin’ menjadi ‘struktur lahir’ dengan mekanisme perpindahan (movement). Berbagai alternatif ekspresi ‘lahir’ seperti aktifpasif yang dianalisis sebagai hasil tranformasi oleh GB, dianalisis sebagai hasil proses leksikal oleh TLF. Proses leksikal yang dimaksud mencakup perbedaan proses pemetaan (mapping atau linking), didiskusikan pada subseksi 4 di bawah. Kata ‘leksikal’ pada TLF mengisyaratkan peran yang sangat penting bagi informasi dan proses leksikal. Artinya, leksikon selain mengandung entri leksikal yang menjukkan berbagai informasi yang dibawa oleh unit-unit leksikal (kata atau affix), leksikon juga merupakan tempat terjadinnya berbagai proses pembentukan kata/unit leksikal baru yang berdasarkan berbagai prinsip dan kedala-kendala yang bersistem. Tidak mengherankan representasi unit/entri leksikal dalam TLF menjadi lumayan kompleks. (Lihat pembahasan pada 3.3.2.) Kata ‘fungsional’ lebih dipakai dalam artian ‘fungsi matematis’; tidak persis seperti penggunaan istilah ‘fungsional’ dalam wacana/penggunaan bahasa seperti halnya pada Tatabahasa Sistemik Fungsional (Halliday 1994). Fungsi dalam TLF dikaitkan dengan konsepsi bahwa relasi grammatical (seperti SUBJ, OBJ dsb.) dapat dimodelkan dengan struktur matrik dengan relasi gramatikal dan informasi lainnya membentuk pasangan atribut dan nilai dalam struktur formal yang disebut struktur-fungsional (str-f). (Ada jenis struktur lain yang akan dibahas nanti, misalnya struktur konstituen (str-k) dan struktur argumen (str-a)). Karenanya, SUBJ, OBJ dan OBL adalah fungsi gramatikal dalam TLF. Pada awalnya dalam TLF klasik (Bresnan 1982), fungsi gramatikal ini ‘sangat’ primitif; tidak bisa didekomposisi menjadi fitur yang lebih kecil. Dalam perkembangannya, walaupun ide keprimitifan fungsi masih dipertahankan, fungsi gramatikal dipercaya bisa didekomposisi menjadi fitur yang lebih ‘primitif’, misalnya fitur [+/- r] (r= restricted thematically). Ini akan dibahas pada 4.4–4.5 3.2
Sejarah singkat TLF dirintis oleh dua orang pendirinya, Joan Bresnan (seorang linguis di Stanford University) dan R. Kaplan (seorang ahli matematika/linguis-komputasional, di Pusat Penelitian Xerox Palo-Alto). Joan Bresnan pada awalnya adalah murid Chomsky di MIT, sebelum kepindahannya ke Stanford di pertengahan tahun 70-an. Karena ketidakpuasannya atas ide ‘transformasi’ dan dalam usaha untuk mendapatkan model tatabahasa alternatif yang secara tipologis dapat menjelaskan berbagai fenomena bahasa dari seluruh penjuru dunia (yang kebanyakan sangat berbeda dari bahasa Indo-Eropa) dan yang secara matematis bisa dipakai dan diimplementasikan dalam pemrosesan bahasa secara komputasional maka dia bekerja sama dengan R. Kaplan, yang kebetulan juga mempunyai program riset yang sama. Hasilnya adalah versi pertama/klasik TLF yang dibukukan sebagai Bresnan (1982). Walaupun ada penelitian utamanya dalam bentuk tesis doktor dalam TLF, namun gaungnya tidak begitu kedengaran pada satu dekade berikutnya. Setelah tahun 1990-an, setelah semakin banyak muridnya dan pengikutnya yang tersebar ke berbagai penjuru dunia, maka mulai tahun 1996 (dan setiap tahun setelah
7
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
itu) diadakan konferensi internasional untuk pengembangan TLF dan penerapannya dalam berbagai analisis tipologis dan proyek komputasional. Sejak diadakannya konferensi reguler tahunan, maka TLF telah menjadi salah satu model tata bahasa yang diminati dan berkembang pesat. Ini terbukti dengan banyaknya proyek penelitian yang sedang berlangsung dan semakin banyaknya buku acuan dalam TLF, tiga diataranya yang penting adalah (Bresnan 2001; Dalrymple 2001; Falk 2001).5 Situs internet juga tersedia untuk berbagai informasi yang terkait dengan TLF (http://www-lfg.stanford.edu/lfg/). 3.3
Beberapa prinsip dasar
3.3.1
Model TLF Model TLF secara garis besar dapat digambarkan seperti bagan (6) (dimodifikasi dari Simpson (1991)). (6) Model TLF Leksikon: Entri leksikal
Kaidah struktur frasa
Pembentukan kata Kata
struktur linier/berhirarki Peyelipan leksikal
Struktur fungsional
Struktur konstituen
Interpretasi semantik
Ekspresi fonetis
Model ini memperlihatkan bahwa ada dua komponen penting TLF, yakni leksikon dan kaidah struktur frasa. (Yang belakangan ini nanti menghasilkan struktur konstituen yang disebut dengan struktur-k. Masing-masing akan diuraikan nanti pada 3.3.3dan 3.3.4) Keduanya beperan secara tandem, menghasilkan berbagai konstruksi bahasa (frasa 5
Pada Konferensi internasional pertama diadakan di Xerox Rank, Grenoble 1996, penulis ikut membawakan makalah (Arka and Wechsler 1996); selanjutnya penulis juga ikut presentasi pada konferensi yang ke-3 di Brisbane Australia dengan dua makalah (Arka and Manning 1998; Arka and Simpson 1998). Tesis doktor yang digarap penulis (Arka 1998) juga dalam model ini. Sejak tahun 90-an, ada beberapa mahasiswa Indonesia belajar di Australia yang telah membuat tesis master dalam TLF seperti Sukarno (1994) dan Udayana (1994). Selain itu, sejak kepulangan penulis ke Universitas Udayana tahun 1998 dan dua tahun setelah itu penulis dengan proyek URGE dari Dikti telah pula melakukan riset dalam model ini dan menghasilkan sepuluh tesis master yang membahas berbagai aspek kebahasaan di Indonesia timur dalam model TLF (Japa 2000; Jauhary 2000; Kosmas 2000; Mekarini 2001; Oka Antara 2001; Partami 2001; Sawardi 2000; Sedeng 2000; Suciati 2001; Yudha 2001).
8
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
dan kalimat). Secara ‘lahir’ lintas bahasa, konstruksi bahasa mempunyai tata urut kata atau konstituensi yang sangat bervariasi dari satu bahasa ke bahasa lainnya, tetapi dalam tataran yang lebih ‘dalam’, terdapat kesaamaan relasi gramatikal (hubungan argumenpredikat, struktur fungsional) dan relasi semantik. Dalam perkembangannya, selain struktur fungsional dan struktur konstituen, ada struktur lain yang diusulkan (dibahas sekilas di bawah). Yang penting untuk diingat adalah konsepsi bahwa struktur-fungsional (struktur-f) dan struktur-konstituen (strukturk) (dan struktur lainnya) bersifat parallel. Artinya, satu sama lainnya walaupun berkaitan tidak merupakan hubungan ‘derivasi’, masing-masing mempunyai karakteristik sendirisendiri, yang satu tidak bisa didefinisikan dari yang lainnya, dan sifat hubungannya bukan satu-satu. 3.3.2
Leksikon Leksikon merupakan tulang punggung TLF yang menyimpan segala macam informasi (morfologis, gramatikal, semantis, dsb.) yang nantinya sangat penting untuk berbagai operasi leksikal gramatikal yang menentukan ekspresi bahasa. Peran leksikon sangat besar, tidak hanya menyimpan informasi yang tidak bisa diprediksi tetapi juga menjadi tempat berbagai kaidah leksikal yang memungkikan terjadinya operasi leksikal pembentukan kata (infleksi dan derivasi), termasuk bagaimana argumen dipetakan ke fungsi gramatikal. Jadi, leksikon juga termasuk tempat berbagai proses yang beraturan yang menentukan sintaksis. Entri leksikal memberi berbagai informasi yang terkait dengan kata dan afiks yang keberadaan informasinya tidak bisa diprediksi. Informasi minimal termasuk diantaranya bentuk (fonologis), informasi kategori—V(erba), P(reposisi), N(omina), dst., informasi makna dan kepredikatan. Informasi kepredikatan (biasanya terkait dengan verba) menyatakan informasi sintaktis-semantis predikat (disebut juga struktur argumen, misalnya predikat dengan subkategorisaisinya serta peran semantiknya (satu, dua atau tiga argument)). Contoh sederhana entri leksikal dalam TLF diperlihatkan untuk nomina pohon (7)a (tidak mengandung struktur argumen), untuk verba taruh (7)b (dengan struktur argumen), dan untuk determiner (D) itu, (7)c. (7) Contoh entri leksikal dalam bahasa Indonesia Bentuk: Informasi semantis dan gramatikal: a. pohon /pohon/ N (↑PRED) = ‘pohon’ b. taruh /taruh/ V (↑PRED) = ‘pukul’ c. itu /itu/ D (↑DEF) = + Entri (7)a menyatakan bahwa ‘kata pohon mempunyai bentuk fonemis-fonetis /pohon/, tergolong sebagai nomina (N), dan secara semantis mengacu pada entiti ‘pohon’. Entri (7)b menyatkan bahwa kata taruh adalah verba (V) dengan bentuk fonemis-fonetis /taruh/ dan verba ini adalah predikat berargumen tiga, yang secara ekplisit diperlihatkan oleh struktur argumennya (dinyatakan dalam kurung siku <…>). Terlihat bahwa verba ini secara sintaktis transitif karena mengandung dua argumen inti (Agen dan Pasien), direpresentasikan dalam kelompok terpisah dengan argumen non inti (lokatif). Dalam TLF, kata yang mempunyai unit makna denotasi/referensial/leksikal direpresentasikan membawa fitur PRED, seperti terlihat pada contoh (7)a-b. Unit ‘makna’ yang dibawa oleh kata ditulis dalam tanda kutip ‘...’ setelah tanda ekuasi (=). (Perlu dicatat bahwa PRED tidak selalu berarti ‘predikat berargumen’ karena nilai PRED bisa saja tanpa ada struktur argumennya, misalnya (7)a.) Sementara sekelompok kata lain yang tidak 9
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
membawa makna leksikal, tidak membawa PRED; misalnya determiner itu (D) (7)c. Kata ini membawa fitur kedefinitan (DEF) dengan nilai positif (+), artinya ‘definit’. Tanda panah naik seperti pada (↑PRED) dan (↑DEF) disebut metavariabel. (Nanti akan kita lihat juga ada tanda panah naik-turun ↑=↓). Tanda ini berfungsi untuk mengatur aliran informasi pada struktur-k dan keterkaitannya dengan struktur-f. Ini akan dijelaskan secara ringkas pada subseksi 3.3.4. Informasi lainnya yang bisa diprediksi (karena dihasilkan oleh mekanisme pembentukan kata) tidak didaftar sebagai bagian dari entri leksikal; misalnya informasi mengenai keterkaitan peran semantik dengan fungsi grammatikal seperti SUBJ dan OBJ. Informasi ini pada versi TLF klasik (Bresnan 1982) masih merupakan bagian dari entri leksikal, tetapi dalam perkembangannya karena realisasi argumen sebagai SUBJ atau OBJ bisa diprediksi (lihat diskusi mengenai teori pemetaan leksikal, dibahas pada 4.4–4.5 di bawah) maka informasi ini tidak lagi merupakan bagian dari entri leksikal. Demikian juga informasi mengenai unit-unit adverbial (misalnya, temporal atau lokatif) yang memberikan informasi tambahan kepada verba tidak didaftar pada entri leksikal verba bersangkutan. Tetapi perlu dicatat bahwa ada peran lokatif yang diminta oleh leksikal tertentu dan karenanya harus diperlihatkan pada struktur argumen verba di entri leksikalnya. Misalnya, peran lokatif pada kalimat (8)a tidak merupakan bagian dari struktur argumen verba minum sehingga tidak diperlihatkan pada entri leksikalnya (9)a. Namun peran lokatif pada verba taruh pada kalimat (8)a merupakan bagian struktur argumen verba taruh seperti terlihat pada (9)b. (8) Peran lokatif dalam kalimat a. Mereka minum kopi di warung pojok b. Mereka menaruh gelas di meja (9) Entri leksikal minum dan taruh a. minum /minum/ V (↑PRED) = ‘minum’ b. taruh /taruh/ V (↑PRED) = ‘taruh’ Singkatnya, leksikon dalam TLF tidak hanya terdiri dari entri leksikal, tetapi juga berbagai proses pembentukan kata yang menentukan sintaksis. Ini akan lebih jelas saat kita melihat interaksi antara informasi yang dibawa oleh kata (saat terjadinya penyelipan leksikal) dengan informasi lain dari kaidah pembentukan frasa. 3.3.3
Kaidah frasa dan Struktur konstituen (struktur-k) Kaidah frasa menentukan berbagai kemungkinan tataurut kata secara linier dan hirarkhi yang membentuk struktur konstituen (struktur-k). Prinsip kaidah frasa menuruti kaidah yang universal dalam teori X-bar. Misalnya, struktur dikonsepsikan endosentris; artinya selalu ada porosnya (head). Ini bisa digambarkan pada (10). X melambangkan kata untuk kategori manapun, dimengerti sebagai tingkat kosong (Xo). X adalah poros struktur dan diproyeksikan (maksudnya bisa diperluas dengan unit-unit lain selain X) menjadi unit yang lebih luas secara bertingkat (hierarchical). Secara baku, sekarang disetujui ada dua tingkat; tingkat maksimal dilambangkan dengan FX (maksudnya frasa X) dan tingkat antara dilambangkan dengan X’ (dibaca X-bar). Unit-unit perluasan yang membentuk struktur bertingkat, diperlihatkan sebagai FY dan FZ pada (10). (Pada diagram (10), perluasan FY diperlihatkan ke kiri dan perluasa FZ diperlihatkan ke kanan. Perlu dicatat bahwa secara teoritis perluasan untuk FY dan FZ keduanya bisa ke kiri atau
10
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
ke kanan. Terdapat perbedaan dari satu bahasa ke bahasa lainnya mengenai kendala yang khusus apakah perluasan hanya bisa ke kiri saja atau bisa ke kiri dan kenan.) (10)
Proyeksi X-bar FX (FY)
X’ X
(FZ)
X sebagai simbol unit kategori gramatikal (KG) dapat dikelompokkan menjadi dua: i) kategori leksikal: N(omina), V(erba), A(jektiva), P(reposisi/posposisi), ADV(erbia); dan ii) kategori gramatikal: D(eterminer), C(omplementiser), I(nflection). Dengan berdasarkan prinsip X-bar, maka kita bisa mendapatkan proyeksi dengan kategori yang berbeda-beda, misalnya dengan N kita mendapatkan N’ dan FN, dengan D kita mendapatkan D’ dan FD, dst. Perlu diingat bahwa dalam konsepsi X-bar, setiap struktur selalu bersifat endosentris. Tetapi, TLF tidak menganut X-bar secara kaku. Artinya, TLF percaya bahwa struktur bahasa sangat beragam dan tidak selalu endosentris dan kofigurasional (atau bertingkat-tingkat). Jadi, TLF menekankan bukti empiris lebih utama: kalau ada bukti bahwa strukturnya tidak bertingkat atau tidak konfigurasional, seperti bahasa-bahasa aborigin Australia (Austin and Bresnan 1996) dan Tagalog (Kroeger 1993), maka klausa bisa saja direpresentasikan sebagai struktur yang rata (flat) dengan simbol K(lausa) (atau S). Kontras stuktur klausa sebagai stuktur endosentris/konfigurasional dan struktur rata diperlihatkan pada (11). Berbeda dengan struktur konfigurasional (11)a, pada struktur rata (11)b, klausa (K) bisa terdiri dari verba (V), dan sejumlah unit lain *YP (tanda bintang menyatakan jumlahnya lebih dari satu dengan tata urut yang bebas) dan tidak ada bukti proyeksi bertingkat. (Harus diingat pula bahwa struktur rata (11)b juga sedikit konfigurasional jika struktur diatas K diperhitungkan karena struktur FI memperlihatkan hirarki stuktural I’ juga.) (11)
Klausa sebagai struktur konfigurasional (a) dan struktur rata (flat) (b). a.
FI
b.
I’
FI I’
I
FV ...
V’
I
K X
*YP
V ... . Ciri yang unik dari representasi struktur-k dalam TLF adalah notasi tanda panah naik-turun (metavariabel) yang muncul pada simpul diagram pohon seperti terlihat pada contoh (12). Tanda panah ini bisa sederhana seperti ↑=↓, atau bisa juga dilengkapi dengan fungsi grammatikal, misalnya (↑SUBJ)=↓.
11
I Wayan Arka
(12)
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
Contoh str-k beranotasi pada bahasa Indonesia FI (↑SUBJ)=↓ FD ↑=↓ D’
↑=↓ I’ ↑=↓ I
↑=↓ FV ↑=↓ V’
↑=↓ D
↑=↓ V saya (↑PRED)=’pro’ (↑NUM) = T
akan (↑KL)=FUT
datang (↑PRED)= ‘datang’<SUBJ>
Simbol panah ini menyatakan dua hal penting: i) aliran informasi pada struktur-k dan ii) korespondensi atau pementaan struktur-k dengan struktur-f. Efek aliran informasi oleh simbol itu dua arah. Misalnya, tanda ↑=↓ pada simpul FV pada bagan (12) berarti ‘informasi yang ada pada simpul FV ini sama dengan informasi yand ada pada simpul atasannya’. Atau sebaliknya, dapat juga berarti ‘informasi dari simpul atasan FV adalah sama dengan informasi yang dibawa oleh simpul FV itu sendiri’. Jadi, ini adalah notasi ekplisit yang menyatakan bahwa informasi yang dibawa oleh verba yang diproyeksikan ke FV diteruskan ke atas melewati batas proyeksi maksimal kategori, yakni melewati batas frasa. Demikian juga, tanda (↑SUBJ)=↓ pada simpul FD artinya, ‘informasi yang dibawa oleh simpul FD ini adalah informasi mengenai SUBJ dari simpul atasannya’. Atau, ‘simpul atasan FD (yakni FI, kalimat/klausa) mempunyai SUBJ dan informasinya SUBJ ini adalah informasi yang dibawa oleh FD’. Selanjutnya informasi FD ini datangnya dari simpul bawahannya, yakni D’ dan D. Secara matematis, efek aliran informasi ini bisa dibuktikan lewat penghitungan deskripsi persamaan metavariabel, yang akan diuraikan pada korespondensi struktur-k dengan struktur-f pada subseksi 3.3.4 di bawah ini. 3.3.4
Deskripsi dan Struktur fungsional Struktur fungsional adalah struktur yang menyatakan representasi semantisgramatikal yang dimodelkan dengan matriks fungsi yang pada dasarnya mengandung pasangan atribut-nilai seperti terlihat pada (13)a. Atribut bisa berupa fungsi gramatikal, misalnya SUBJ seperti pada (13)b, atribut semantik PRED seperti (13)c, atau fitur tertentu seperti DEF (definit) seperti (13)d. Nilai sebuah atribut bisa merupakan bentuk semantik seperti (13)b, dengan kemungkinan mengandung subkategorisasi seperti (13)c, atau hanya simbol seperti + pada (13)d. Pada kenyataannya nilai sebuah atribut bisa juga sebuah struktur-f lain yang didalamnya terdapat lagi struktur-f secara berlapis; misalnya frasa orang yang datang kemarin itu mempunyai struktur-f seperti yang diperlihatkan pad (13)e. Terlihat di sini, nilai dari atribut ADJ (adjung) adalah struktur-f yang berlapis.
12
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
(Tanda garis melengkung yang menghubungkan SUBJ pada ADJ dengan nilai ‘orang’ menyatakan hubungan ‘kontrol’: kedua atribut itu nilainya sama.) (13) a. b. c. d. e.
Atribut dan nilai dalam struktur-f [Atribut nilai] [SUBJ [PRED ‘Amir’]] [PRED ‘lihat’<SUBJ, OBJ>] [DEF +] PRED
‘orang’
ADJ
SUBJ
__
PRED
‘datang<SUBJ>
ADJ
[PRED
DEF
‘kemarin’]
+
Ada beberapa prinsip/kendala yang harus diperhatikan agar str-f bisa berterima (well-formed). Diataranya, yang penting adalah prinsip konsistensi, kentuntasan dan koherensi. Kosistensi maksudnya, tidak boleh ada nilai yang konflik dalam struktur-f; misalnya ada [TENSE = PRESENT] dan TENSE = PAST dalam satu struktur-f). Ketuntasan maksudnya, semua fungsi gramatikal yang disubkategorisasi oleh predikat mesti diisi. Jadi sebuah struktur-f dengan predikat transitif tidak tuntas kalau hanya atribut fungsi SUBJ saja yang terisi. Sebaliknya, koherensi meminta struktur-f tidak boleh berisi fungsi melebihi dari yang ada di subkategorisasinya. Jadi sebuah struktur-f dengan verba intransitif akan menjadi tidak koheren kalau dalam struktur-f-nya juga terdapat OBJ. Seperti telah disebut terdahulu, struktur-f ini berkorespondensi dengan struktur-k. Korespondensi itu didapatkan melalui deskripsi fungsional berdasarkan metavariabel (↑=↓) pada simpul-simpul struktur-k. Sebagai ilustrasi bagaimana efek korespondensi ini didapatkan, mari kita ambil contoh struktur-k beranotasi yang diperlihatkan pada (12). Yang kita lakukan pertama-tama adalah mengubah setiap metavariabel tersebut menjadi eksuasi yang unik (karena setiap simpul pada struktur-k merupakan simpul yang unik). Untuk ini, setiap simpul bisa kita nomori6, misalnya dari atas ke bawah, ditulis dalam boks. Selanjutnya, tanda panah kita ganti dengan f (untuk menyatakan unit struktur-f yang terkait). Tanda panah ke atas diganti dengan f dengan nomor simpul atasannya, sementara tanda panah turun diganti dengan f dengan nomor simpul itu sendiri. Jadi, (↑SUBJ)=↓ diganti dengan (f1SUBJ)=f2. Penomoran dan penggantian metavariabel ini secara keseluruhan akan memberikan kita diagram pohon seperti yang terlihat pada (14)a. Selanjutnya, kita membuat daftar persamaan semua ekuasi tersebut untuk mendapatkan deskripsi fungsional seperti terlihat pada (15). Deskripsi fungsional ini secara jelas menunjukkan bahwa sejumlah simpul sesungguhnya menyatakan informasi struktur-f yang sama; misalnya: f1=f3=f5=f6=f7. Jika semua bagian struktur-f disatukan maka terbentuklah struktur-f seperti yang terlihat pada (14)b. Agar jelas, maka korespondensi struktur-k dengan struktur-f dinyatakan juga dengan tanda panah. 6
Altenatif lain untuk menunjukkan keunikan simpul ini adalah dengan menggunakan notasi huruf; misalnya mulai dengan f, kita tandai simpulnya dari atas ke bawah dengan f,g,h, i, dst. Dengan demikian tanda (↑SUBJ)=↓; misalnya, akan menjadi (f SUBJ)=g.
13
I Wayan Arka
(14)
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
Contoh korespondensi struktur-k ↔ struktur-f (bahasa Indonesia) a. struktur-k FI
2 (f1SUBJ)=f2 FD
b. struktur-f 1
f1=f3 3 I’ f3=f4 4 I
f1 f3 f4 f5 f6 f7
f3=f5 5 FV f5=f6 V’ f6=f7 V
SUBJ f2 PRED ‘pro’ NUM T PRED
‘datang’<SUBJ>
KL
FUT
6 7
saya akan datang (f2PRED)=’pro’ (f4KL)=FUT (f7PRED)= ‘datang’<SUBJ> f2NUM) = T (15) Deskripsi dan kalkulasi persamaan berdasarkan struktur-k (14)a a. f1SUBJ = f2 d. f1=f3 g. f3=f5 j. f7 PRED = ‘datang’ <SUBJ> b. f2 PRED = ‘pro’ e. f3=f4 h. f5=f6 c. f2 NUM = T f. f4 KL = FUT i. f6=f7 3.3.5
Sistem dengan truktur parallel Dalam TLF, tatabahasa dikonsepsikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari struktur yang parallel. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pada TLF klasik, ada dua struktur penting, yakni struktur konstituen (struktur-k/str-k) dan struktur fungsional (struktur-f/str-f). Ide yang melatabelakangi pemisahan kedua struktur ini adalah untuk menangkap sifat tipologis bahasa. Di satu sisi, tidak dapat disangkal bahwa ekpresi lahir (misalnya, tata urut dan kompleksitas morfologis) bahasa-bahasa di dunia sangat beragam. Namun di pihak lain, penelitian kebahasaan juga menunjukkan bahwa bahasa-bahasa di dunia mempunyai banyak kesamaan sehingga suatu generalisasi dan kesemestaan/keuniversalan bahasa bisa diformulasikan. TLF menangkap keberagaman dalam kesemestaan ini melalui struktur-k dan struktur-f. Struktur-k mengatur ekspresi tata urut kata, yang lebih nyata dan bisa sangat bervariasi dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Sementara struktur-f mengatur relasi gramatikal (dan semantis) yang dianggap lebih konsisten dan berisi properti yang bersifat (kurang lebih) ajeg secara lintas bahasa. Jadi, dalam banyak bahasa kita bisa berbicara relasi-relasi seperti ‘subjek dari’, ‘objek dari’, ‘predikat dari’ dsb. walaupun kenyataannya relasi ini dinyatakan oleh ekspresi bahasa yang beraneka ragam (misalnya beda urutkata, beda pemarkahan, dsb.). Karenanya. relasi seperti predikat, subjek dan objek, yang merupakan bagian dari struktur-f merupakan relasi yang dianggap universal dalam TLF. 14
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
Dalam perkembangannya, riset-riset dari berbagai bahasa dengan aneka tipologi mengarah perlunya proliferasi konsepsi struktur dalam TLF. Struktur-f mesti dipisahkan dari struktur semantis (struktur-s), dan untuk menagkap kesaaman bahasa ergatif/akusatif, struktur argument (struktur-a) mesti dikonsepsikan sebagai struktur antara struktur-s dengan struktur-f. (Pentingnya ide struktur-a untuk analisis bahasa Nusantara dibahas dalam (Arka 1998), dan hanya akan disinggung sepintas pada 4.5.) Yang perlu dicatat dari sistem dengan struktur paralel ini adalah konsepsi bahwa masing-masing struktur mempunyai sifat dan kendala-kendalanya sendiri-sendiri. Misalnya, tata urut linear bahasa adalah sifat struktur-k; bukan struktur-f. Butir-butir informasi pada struktur yang satu dengan struktur yang lainnya saling terkait. Keterkaitan ini tidak bersifat kaku dan tidak ada hubungan yang satu-satu. Dalam kaitan inilah pentingnya ide bahwa SUBJ sebagai relasi gramatikal bersifat ‘primitif’. Artinya, secara teoritis SUBJ tidak bisa didefinisikan (dengan properti dari struktur lain). TLF tidak mengasumsikan bahwa SUBJ mempunyai posisi yang unik secara lintas bahasa. Bisa saja SUBJ muncul di awal kalimat pada satu bahasa, bisa juga di tengah atau di akhir kalimat di bahasa lain. TLF tidak menyangkal bahwa relasi gramatikal kemungkinan mempunyai sifat-sifat tertentu yang umum ditemukan secara lintas bahasa, tetapi sifat-sifat itu (misalnya relatifisasi, kontrol dsb.) dianggap kecenderungan tipikal, bukan properti absolut untuk mendifinsikan SUBJ secara lintas bahasa. 4
Beberapa Tantangan penerapan TLF pada bahasa-bahasa Nusantara
4.1
Masalah proses leksikal: Peran dan konsepsinya TLF, seperti namanya, adalah tatabahasa yang memberi peran yang sangat penting pada leksikon. Pada tatabahasa lain (seperti tatabahasa transformasi) proses seperti pasifisasi merupakan operasi sintaksis, tetapi pada TLF pasifisasi adalah operasi leksikal. Ide utamanya adalah sintaksis diproyeksikan dari leksikon. Poros utamanya predikat. Jadi, predikat atau verba muncul dari leksikon lengkap dengan ‘pemetaan argumen ke fungsi gramatikal’ dan mengisi ‘ujung-ujung’ simpul (terminal nodes) pada struktur-k. Dalam konsepsi TLF (bandingkan dengan konsepsi Transformasi), afiks tidak bisa mengisi ujung simpul struktur-k. Sebagai contoh, verba dipukul dan memukul muncul dari leksikon dengan pemetaan yang lengkap seperti pada (16)b dan (16)c. (Pemetaan digambarkan dengan garis yang menghubungkan argumen.) Perbedaan pemetaan argumen dikarenakan afiksasi yang berbeda, afikasi meN- dan di-, yang diterapkan atas dasar verba pukul yang bisa direpresentasikan sebagai (16)a. Singkatnya, pemetaan sudah selesai di leksikon, sehingga sebuah verba muncul lengkap dengan kategori fungsi gramatikalnya, misalnya memukul muncul sebagai ‘(aktif).pukul’ <SUBJ, OBJ> (dengan SUBJ=Agen, dan OBJ = pasien). Selanjutnya, SUBJ menduduki posisi struktural SUBJ (pada struktur-k) seperti terlihat pada (17)b, yang dihasilkan oleh kaidah frasa (17)a. (Terlihat di sini keunikan TLF, yang memperlihatkan kaidah frasa dan diagram pohon lengkap dengan anotasi fungsi gramatikal.) (16)
Contoh entri leksikal dan pemetaan fungsi gramatikal sederhana a. pukul b. memukul
| | SUBJ OBJ
15
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
c. dipukul
(17)
| | OBL SUBJ
Contoh kaidah struktur frasa TLF dengan notasi metavariabel fungsi
a. FI (S) I’
FN I’ (↑SUBJ)=↓ ↑=↓ I ↑=↓
FV ↑=↓
FV
FN
V’ ↑=↓
V’
V ↑=↓
FN (↑OBJ)=↓
b.
FI ↑=↓ I’
(↑SUBJ)=↓ FN ↑=↓ I
↑=↓ FV FN
↑=↓ V’ ↑=↓ (↑OBJ)=↓ V FN
Dalam konsepsi TLF, tidak ada perpindahan. Efek ‘pindah’ terlihat sebagai konsekuensi logis karena perbedaan pemetaan. Dalam verba aktif Pasien dipetakan ke OBJ, seperti terlihat pada pemetaan (16)b. Karena fungsi OBJ datang setelah verba (kendala struktur bahasa Indonesia) maka muncullah OBJ disana. Sebaliknya, dalam verba pasif, Pasien dipetakan ke SUBJ dan karena fungsi SUBJ datang pada posisi SUBJ maka muncullah pasien-SUBJ di posisi tersebut. Singkatnya, dalam TLF, argumen Pasien ‘langsung’ muncul di posisi SUBJ (di depan verba) pada verba pasif; tidak muncul terlebih dahulu di posisi OBJ lalu pindah ke posisi SUBJ. Ingat dalam konsepsi transformasi, karena konstruksi aktif biasa dianggap ‘dasar’ dan pasif dianggap ‘derivasi’ dari aktif secara struktural, maka pasifisasi terlihat membawa efek perpindahan Pasien dari OBJ (posisi setelah verba) ke SUBJ (posisi sebelum verba). Dalam konsepsi TLF, tidak ada tuntutan bahwa Pasien yang menjadi SUBJ verba pasif harus dipetakan terlebih dahulu ke OBJ. 4.1.1
Tantangan dari bahasa-bahasa isolasi: studi kasus bahasa Manggarai (Flores) Konsepsi dalam TLF bahwa pemetaan terjadi di leksikal sangat baik untuk bahasabahasa yang menunjukkan proses morfoleksikal seperti bahasa Indonesia. Dalam bahasa seperti ini terlihat jelas bahwa verba dengan pemarkah morfologis tertentu muncul dari leksikon membawa kendala pemetaan tertentu. Dengan demikian, ide bahwa sintaksis diproyeksikan dari leksikon terlihat jelas buktinya. Namun, konsepsi yang demikian tampaknya mendapat tantangan dari kelompok bahasa isolasi seperti bahasa-bahasa di Flores. Pada bahasa tipe ini, verba tidak mempunyai morfologi. Dengan kata lain, secara morfologis tidak ada pembeda antara verba aktif dengan pasif. Tetapi, pada tataran klausa (secara analitis), terbukti ada perbedaan diatesis. Ini terlihat jelas pada contoh (18) dari bahasa Manggarai (Arka and Kosmas 2002). Kalimat (18)a menyatakan struktur aktif dengan Pasien latung sebagai OBJ datang setelah verba dan terdapat enklitik =k yang bersesuaian dengan SUBJ aku. Kalimat (18)b menyatakan struktur pasif, dengan Pasiennya muncul sebagai SUBJ dan mendapatkan persesuaian enklitik =i. Bukti bahwa
16
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
pada kalimat semacam (18) telah terjadi alternasi aktif-pasif diberikan secara rinci oleh Arka dan Kosmas (2002) (dan tidak diuraikan lebih lanjut di sini). (18)
Aktif-pasif dalam bahasa Manggarai a. Aku cero latung=k 1T goreng jagung-1T ‘I menggoreng jagung’ b. Latung hitu cero l=aku=i jagung itu goreng oleh=1T=3T ‘Jagung itu digoreng oleh saya’
Yang menjadi masalah bagi TLF dari contoh di atas adalah kenyataan bahwa verba pada kedua kalimat tersebut secara morfologis sama. Secara kasar, verba cero (dan semua verba transitif pada bahasa Manggarai) bisa mendapat pemetaan alternatif seperti terlihat pada (19). Untuk membedakannya, kedua verba ini dinomori dengan subskript 1 dan 2. (19)
Pemetaan verba transitif verba b. Manggarai a. cero1 ‘goreng’ | | SUBJ OBJ b. cero2
‘goreng’ | | OBL SUBJ
Pertanyaannya sekarang bagaimana menganalisisnya? Ini terkait dengan pertanyaan lain, mana yang lebih dasar? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dari sudut morfologis, karena keduanya bentuknya sama. Kemungkinan analisisnya bisa dipaparkan sebagai berikut. Analisis pertama. Analisis ini tetap mempertahankan ide TLF bahwa pemetaan terjadi secara leksikal. Secara intuitif, mungkin cero2 (pasif) dianggap diderivasi dari cero1. Ini misalnya diambil berdasarkan bukti bahwa klausa dengan verba cero2 (konstruksi pasif) secara pragmatis bermarkah (marked). Dalam analisis ini, hanya cero1 yang didaftar di entri leksikon, cero2 tidak. cero2 lahir dari proses ‘(morfo)leksikal’. Jadi, dalam pemetaan kanonis, berdasarkan cero1, maka Agen dipetakan ke SUBJ dan Pasien ke OBJ. Ini tentu tidak bermasalah sepanjang pemetaan kanonis yang diberlakukan (karena diberbagai bahasa lain, hal yang sama juga terjadi). Analisis ini bermasalah karena berlawanan dengan konsepsi operasi baku TLF, yakni untuk mendapatkan cero2, harus dilakukan operasi morfoleksikal dengan pemarkah terntentu. Namun lagi-lagi tidak ada bukti bahwa proses yang demikian telah terjadi. Ini mungkin bisa deselamatkan dengan dua cara. Yang pertama, kita mengatakan bahwa telah ada operasi dengan pemarkah/afikasi kosong (zero). Tetapi ini menjadi aneh, karena di bahasa ini tidak ada afiksasi lain. Yang kedua, kita bisa menggunakan operasi leksikal yang berupa ‘kaidah leksikal’ (lexical rules) yang mengkonversi cero1 menjadi cero2. Pemecahan yang kedua ini tampaknya kurang menarik karena operasi ini bersifat ad hoc, sama halnya operasi transformasional awal 70-an yang terlalu tak berkendala (powerful) dan tidak dilandasi oleh motivasi linguistis yang jelas. Analisis kedua adalah mengadopsi konsepsi TLF klasik dengan mendaftar kedua verba tadi di entri leksikalnya sebagai verba dengan dua subkategori. Ini mirip dengan 17
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
penanganan verba give bahasa Inggris yang mempunyai dua subkategorisasi: (i) <SUBJ(Agen), OBJ(Theme),OBL(Goal)> dan (ii) <SUBJ(Agen), OBJ (Goal), OBJ(Theme)>. Menurut analisis ini (yang meniru penanganan dalam bahasa Inggris), bahasa Manggarai mempunyai satu entri leksikal cero dengan dua subkategorisasi: (i) <SUBJ(Agen), OBJ(Pasien)> dan (ii) <SUBJ(Pasien), OBL(Agen)>. (Sesungguhnya analisis ini pada hakikatnya sama dengan mengatakan bahwa ada dua verba cero.) Analisis dengan pendaftaran di entri leksikal in mungkin sangat baik untuk bahasa Inggris karena pada bahasa Inggris keberadaan verba dengan bentuk morfologis yang sama seperti give ini sangat sedikit. Tetapi untuk kasus bahasa Manggarai, analisis ini kurang menarik dan sulit dipertahankan karena keberadaan verba yang demikian sangat sistematis. Jumlahnya sangat banyak karena pada prinsipnya setiap verba transitif bersifat demikian. Analisis ketiga. Analisis ini agak radikal, karena mengubah konsepsi standar TLF, yakni mengadopsi konsepsi bahwa pemetaan tidak harus bersifat leksikal. Maksudnya, sebuah verba diijinkan untuk muncul di sintaksis underspecified, tanpa spesifikasi yang menunjukkan pemetaan argumennya ke fungsi gramatikal. Degan kata lain, pemetaannya terjadi di ‘sintaksis’, berdasarkan informasi yang datang diantaranya dari pragmatis. Dengan demikian, dalam konsepsi ini, setiap verba mempunyai satu entri; misalnya verba cero ‘goreng’ mempunyai entri seperti terlihat pada (20). (20)
Cero ‘goreng’
Verba ini muncul dan mengisi simpul akhir di sintaksis tanpa pemetaan ke fungsi gramatikal. Selanjutnya, informasi dari tataran pragmatik dan sintaksis yang menentukan pemetaannya. Misalnya, jika dalam suatu penggunaannya, nomina Pasiennya tidak definit dan Agennya definit maka struktur aktif yang muncul, yakni struktur kalimat (18)a. Agen menempati posisi Subjek (datang sebelung verba) dan Pasien posisi Objek (datang setelah verba). Sebaliknya, apabila Pasiennya definit dan karena alasan tertentu Agennya ditempatkan dalam latar belakang (backgrounded) dengan pemarkah le, maka struktur kalimat pasif (18)b yang muncul. Singkat kata, pemetaan peran semantik dengan fungsi gramatikal pada bahasa-bahasa tipe analitik (seperti bahasa Manggarai), dipaksakan (enforced) ke verba secara top-down oleh sintaksis; misalnya pemetaan Agen ke OBL pada (18)b ditentukan oleh frasa preposisi l=aku yang muncul pada klausa. Sementara itu, pada bahasa-bahasa dengan diatesis mofologis seperti bahasa Indonesia, kendala pemetaan bisa dua arah (bottom-up dan top-down). 4.2
Masalah keuniversalan relasi gramatikal TLF menganut paham bahwa relasi gramatikal seperti SUBJ dan OBJ yang merupakan bagian dari struktur-f bersifat ‘universal’. Salah satu dari interpretasi keuniversalan ini adalah bahwa relasi ini ditemukan di setiap bahasa. Untuk bahasabahasa yang bertipe b.Ind, hal ini mungkin tidak terlalu menjadi masalah, karena setidaktidaknya ada bukti —misalnya dari tes sintaktis seperti relativisasi dan kontrol sintaksis— bahwa bahasa-bahasa ini memperlihatkan relasi gramatikal SUBJ (sering juga disebut PIVOT). Tetapi, konsepsi keuniversalan ini bermasalah jika kita melihat bahasa-bahasa Indonesia Timur, baik dari kelompok Austronesia maupun kelompok Papua. Seperti telah diuraikan pada 2.1 dan 2.2, bahasa-bahasa Indonesia Timur ini pada umumnya mempunyai afiks pronominal yang menunjukkan persesuaian dan tidak menunjukkan diatesis. Tidak ada bukti yang jelas bahwa bahasa-bahasa ini mempunyai relasi gramatikal seperti SUBJ and OBJ seperti halnya bahasa-bahasa Austronesia di
18
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
Indonesia barat. Sebagai contoh, Bowden (2001)menunjukkan bahwa ‘relasi gramatikal’ bahasa Taba terkait dengan peran semantis Aktor (A) dan Pasien (P/O). Tidak seperti kelompok Austronesia tipe b.Ind/b.Tag, Taba mengijinkan argumen Aktor dan Pasien untuk direlatifkan tanpa ada perubahan bentuk verba/diatesis. Pada contoh (21) klausa relatif dicetak miring. Kalimat (21)a menunjukkan relatifisasi argumen Aktor verba intransitif dan kalimat (21)b relatifisasi argumen Pasien untuk verba transitif. Dalam kedua kasus relatifisasi ini, verbanya masih tetap mempertahankan prefiks pronominanya. Demikian juga contoh dari bahasa Mauta (dari Alor, termasuk kelompok Papua, (Oka Antara 2001)) yang diperlihatkan pada contoh (22). Kalimat (22)a adalah kalimat kanonis dengan struktur SOV, dan kalimat (22)b adalah kalimat dengan pengedepanan pasien. Terlihat disini, permutasi argumen Pasien ke posisi awal kalimat tidak mengubah relasi gramatikal karena bentuk persesuaian pada verba tetap sama. (21) Contoh relativisasi bahasa Taba a. Lcayang mamatuosi ltagil lahates l=syang mamatuo=si l=tagil l=ahates 3J-sayang orangtua=J 3J=jalan 3J=tak.bisa ‘Mereka sayang orangtua yang tidak bisa jalan lagi’
do do REAL
b. Lahon yan mon ya lwagik lai mo ya l=ha-hon l=wag-ik 3J=KAUS-makan ikan orang REC 3J=jual-APL barusan datang REC ‘Mereka makan ikan yang barusan orang itu jual kepada mereka’ (22) Contoh dari bahasa Mauta a. Na-ng Lamoeryi gaki -kang 1T-Inti NAMA 3T-pukul ‘Saya memukul Lamoery ’ b. Lamoeryi na-ng gaki-kang NAMA 1T-Inti 3T-pukul ‘Lamoery saya memukulnya ’
(SOV)
(OSV)
Secara sepintas, bukti empiris ini melemahkan klaim keuniversalan TLF. Orang bisa berargumen, untuk mendeskripsikan bahasa tipe ini, cukup dengan mengacu pada peran semantis seperti Agen dan Pasien. Dalam pandangan ini, tidak ada relasi gramatikal pada bahasa tipe ini. Klaim ini mungkin ada benarnya, tetapi tidak seluruhnya benar, setidak-tidaknya kalau pengertian universal yang dianut tidak seekstrem tadi. (Saya akan kembali ke masalah ini pada 4.5 di bawah.) 4.3
Masalah Objek-Agen Secara tradisional fungsi OBJ terkait dengan non-aktor. Agen pada banyak bahasa tidak dipetakan ke OBJ. Pada teori pemetaan dalam TLF, disebut teori pemetaan leksikal atau LMT (Lexical Mapping Theory, (Bresnan and Kanerva 1989; Bresnan and Moshi 1990) hal ini dijadikan salah satu properti intrinsik yang bisa digambarkan sebagai (23). Properti [+/-o] maksudnya properti ‘keobjekan’; [+o] berarti secara intrinsik menjadi objek atau pelengkap verba, sementara [-o] tidak demikian. (Properti lain untuk klasifikasi fungsi adalah [+/-r] (r= restricted, argumen yang secara tematis terbatas), akan
19
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
dibahas pada 4.4 di bawah). Agen diklasifikasikan sebagai [-o] berarti Agen hanya boleh dipetakan ke fungsi yang [-o], yakni SUBJ atau OBL. (23)
Klasifikasi intrinsik Agen Agen | [-o]
Kalau bahasa-bahasa tipe b.Ind dan b.Tag diperiksa dengan seksama, maka klasifikasi di atas mendapat tantangan serius. Misalnya, sudah diketahui sekarang bahwa kalimat berdiatesis Objektif seperti contoh (1)b bahasa Bali, diulang sebagai contoh (24)b di bawah, mempunyai Agen (cang ‘saya’) yang masih tergolong argumen inti, secara gramatikal bukan SUBJ dan bukan OBL, diperlihatkan disini sebagai [non-PIVOT]. Secara teknis, Agennya bisa disebut sebagai OBJ (dalam definisi yang akan dibahas dibawah). Bahwa Agen bisa OBJ sudah diusulkan oleh Kroeger (1993) untuk bahasa Tagalog. (24) Bahasa Bali a. Cang lakar meli kedis-e 1T FUT DA-beli burung-DEF ‘Saya akan membeli burung itu’ b. Kedis-e nto lakar ∅-beli burung-DEF itu FUT DO-buy ‘Burung itu akan saya beli’
cang 1T
nto itu
[PIV] [non-PIV] Agen Pasien [PIV] [non-PIV]
< INTI, INTI> Agen Pasien
Kalau kita menerima pendapat seperti Kroeger—yang saya kira benar—maka teori dengan kendala seperti (23) bersifat terlalu restriktif, dan perlu direvisi. Ini yang dilakukan oleh Manning (1996) dan Arka (1998). Setidak-tidaknya ada dua cara revisi, yang keduanya pada prinsipnya akhirnya mengijinkan adanya pemetaan Agen-OBJ.7 Yang pertama adalah meninggalkan kendala yang melarang pemetaan agen ke OBJ seperti (23) di atas. Untuk menginjinkan prinsip pemetaan Agen ke OBJ, Arka (1998) (mengikuti Manning (1996)) menggunakan struktur argument (struktur-a) sintaktis (syntacticised argument-structure) yang menjembatani antara peran semantis (Aktor dan Pasien) dan fungsi gramatikal (PIVOT dan nonPIVOT). Representasi pemetaan dengan struktur-a secara kasar terlihat disebelah kanan kalimat pada contoh (24); dan akan dibahas lagi pada 4.5. Jalan keluar yang kedua adalah tetap mempertahankan kendala (23) di atas, tetapi dikonsepsikan dalam mekanisme TO (Teori Optimalitas, Optimality Theory). Dalam konsepsi TO, kendala-kendala bersifat i) universal, ii) bisa dilanggar tetapi tidak membuat struktur tidak berterima (ini yang membuatnya berbeda dengan teori lain), dan iii) bahasabahasa di dunia berbeda dalam hal pemeringkatan (ranking) kendala-kendala (lihat Aissen (2001) dan Sell (2001)). Dalam konsepsi TO, perbedaan antara tipe b.Ind/b.Tag yang memperlihatkan OBJ-agen dengan b. Inggris yang tidak memperlihatkan fenomena ini bisa dijelaskan sebagai berikut. Pertama, kendala (23) bisa dihipotesiskan sebagai kendala negatif seperti (25)a, diantara beberapa kendalan lain (25)b-d. Jadi, *a=OBJ 7
Memang, banyak orang belum siap menerima analisis bahwa Agen bisa OBJ; ini membingungkan secara luas. Dalam analisis saya untuk bahasa Bali (Arka 1998), saya memakai istilah Komplemen Inti (term/core complement) agar tidak terlalu membingungkan.
20
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
artinya ‘a(gen) tidak boleh dipetakan ke OBJ’. Secara universal, kendala ini ada pada setiap bahasa; akan tetapi efeknya tidak selalu sama karena setiap bahasa memberi peringkat dengan signifikansi yang berbeda-beda. Akan kita lihat nanti, ide pemeringkatan ini sangat penting karena pelanggaran terhadap kendala negatif yang peringkatnya sangat rendah tidak mendapat penalti yang keras. Oleh karena itu pelanggaran ini tidak sampai membuat suatu struktur tidak berterima. Semakin tinggi peringkat suatu kendala negatif, semakin keras penalti yang diberikan dan semakin bermarkah ekspresi bahasa yang diminta untuk memenuhinya. (25) a. b. c. d.
Kendala negatif dalam TO (diadaptasi dari Sell 2001) Agen tidak boleh OBJ, dinyatakan dengan *a=OBJ Pasien tidak boleh OBJ, dinyatakan dengan *p=OBJ Agen tidak boleh OBL, dinyatakan dengan *a=OBL Pasient tidak boleh OBL, dinyatakan dengan *p=OBL
Dalam konteks TO, sebagai ilustrasi secara kasar, perbedaan bahasa Indonesia atau bahasa Bali dengan bahasa Inggris adalah pada pemeringkatan yang terkait dengan *a=OBJ dan *p=OBJ. Ini bisa diperlihatkan seperti (26). Tanda >> artinya ‘dominasi’; kendala yang di sebelah kiri >> mendominasi kendala yang disebelah kanan >>. Terlihat di sini, pemeringkatan *a=OBJ pada bahasa Inggris sangat tinggi dan mendominasi kendala-kendala yang lain. (26)
Beda pemeringkatan bahasa Indonesia vs. bahasa Inggris a. b. Inggris *a=OBJ >> *p=OBL >> *a=OBL >> *p = OBJ b. b.Indonesia/Bali *p=OBL >> *a=OBL >> *p = OBJ >> *a=OBJ
Pada bahasa Inggris, pelanggaran atas *a=OBJ lebih tinggi penaltinya dari pelanggaran atas *p=OBJ. Terlihat di sini, pelanggaran *a=OBJ adalah pelanggaran yang fatal, sangat tinggi peringkatnya, secara konvensional ditaruh paling kiri.8 Dalam TO, kalimat yang berterima adalah kalimat yang paling optimal diantara beberapa kandidat yang dihasilkan oleh tatabahasa berdasarkan masukan (input) yang ada. Kalimat yang optimal tadi belum tentu bersih dari pelanggaran. Boleh saja ada pelanggaran tetapi pelanggarannya mungkin merupakan pelanggaran atas kendala yang peringkatnya sangat rendah. Sebagai contoh, apabila informasi masukan yang ada adalah predikat berargumen ‘pukul’ dengan argumen a dan p sama-sama definit (misalnya, ‘saya’ dan p = ‘Joni’), maka luaran (output) yang dihasilkan yang optimal dan tidak bermarkah akan berbeda antara bahasa Inggris dengan bahasa Bali karena perbedaan pemeringkatan atas kendala-kendala seperti yang diperlihatkan pada (26). Perbedaan ini diperlihatkan dalam Tableau (27) dan (28). Untuk bahasa Inggris, yang paling optimal dan tidak bermarkah adalah struktur aktif I hit John (27)a sedangkan untuk bahasa Bali adalah struktur objektif Joni jagur cang (28)b. Struktur optimal ditunjukkan oleh gambar tangan menunjuk ). Terlihat bahwa kedua struktur optimal tadi adalah struktur yang melanggar salah satu kendala; bukan struktur yang betul-betul bersih dari pelanggaran. Misalnya, struktur aktif (27)a untuk bahasa Inggris melanggar melanggar *p=OBJ (berterima) dan struktur objektif (28)b untuk bahasa Bali melanggar *a=OBJ (juga berterima). Terlihat pula struktur objektif untuk bahasa Inggris melanggar kendala secara fatal (dinyatakan dengan *!; sehingga tidak berterima.
8
Sell (2001) memberikan analisis yang berbeda dan lebih kompleks tanpa menaruh kendala *a=OBJ pada posisi yang sangat dominan seperti diperlihatkan pada (26)a.
21
I Wayan Arka
(27) a.) b. c. (28) a. b.) c.
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
Tableau untuk ‘pred
Singkatnya, dalam analisis TO, bahasa Bali sebenarnya juga ‘mewarisi’ kendala universal larangan pemetaan Agent ke SUBJ (*a=OBJ); tetapi larangan ini peringkatnya sangat rendah. Pelanggarannya dalam bahasa Bali tidak fatal, sementara pelanggarannya pada bahasa Inggris fatal karena kendala ini pada bahasa Inggris mempunyai peringkat yang sangat tinggi. Dengan kata lain, dalam bahasa Bali, struktur objektif (28)b adalah struktur yang yang paling optimal diatara struktur-struktur lainnya karena struktur lain ini juga setidak-tidaknya melanggar satu kendala lain yang penaltinya lebih berat. 4.4
Masalah klasifikasi fungsi: Objek-theta Fungsi gramatikal dalam TLF dengan hirarkinya diperlihatkan pada (29). Dalam tulisan singkat ini hanya masalah OBJ theta saja yang dibahas. (Tanda > menyatakan hirarki ‘... lebih tinggi dari ...’.) (29)
SUBJ > OBJ > OBJθ > OBLθ > (X)COMP > (X)ADJUNCT9
OBJθ dibaca ‘objek theta’ adalah objek khusus yang terikat dengan peran theta tertentu (peran theta = peran semantis). Konsepsi OBJ ini terkait dengan konsepsi dalam Teori Pemetaan Leksikal/Lexical Mapping Theory (LMT) (Bresnan and Kanerva 1989; Bresnan and Moshi 1990) yang menyatakan bahwa fungsi gramatikal terbentuk dari dua fitur: [+/- r] (secara thematis terbatas atau tidak, r=restricted) dan [+/-o] (secara intrinsik bersifat ‘objektif/menjadi komplemen verba transitif’ atau tidak). Klasifikasi fungsi berdasarkan kedua fitur ini digambarkan pada (30). (30)
Klasifikasi fungsi berdasarkan fitur [+/-r], [+/-o] -r -o +o
SUBJ OBJ
+r OBLθ OBJθ
Dalam konsepsi ini, fungsi gamatikal membentuk klas-klas alamiah, misalnya SUBJ dan OBJ tergolong satu klas (sama-sama [-r]), demikian juga SUBJ dan OBL satu klas (sama-sama [-o]). Hal ini dipakai untuk menjelaskan adanya alternasi fungsi yang 9
Simbol X disini menyatakan fungsi grammatikal yang mengandung kontrol, yakni argumennya (biasanya SUBJ) tidak (boleh) muncul secara ‘lahir’ dalam struktur-k, tetapi secara fungsional ‘ada’. Misalnya, untuk XCOMP (fungsi komplemen dengan kontrol) dicontohkan oleh komplemen dengan verba berdagang dalam kalimat saya mencoba berdagang. Dalam struktur ini SUBJ dari berdagang dikontrol oleh SUBJ verba mencoba. Contoh XADJUNCT adalah klausa datang terlambat dalam kalimat datang terlambat, dia minta maaf. SUBJ dari XADJUNCT datang terlambat ini dikontrol oleh SUBJ verba minta, yakni dia.
22
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
terkait dengan argumen tertentu. Misalnya, Agen yang secara intriksik adalah [-o] seperti yang diperlihatkan oleh (23), bisa beralternasi antara SUBJ-OBL (seperti pada kasus pasifisasi). (Tetapi, kita telah diskusikan pada subseksi 4.3 bahwa klasifikasi intrinsik agen ini sangat restriktif, setidak-tidaknya dari sudut pandang analisis yang tidak mengadopsi Teori Optimalitas.) OBJθ biasanya ditemukan dalam konstruksi ditransitif; peran semantisnya terbatas pada peran theme. Konsepsi OBJθ juga sering dipakai untuk menjelaskan mengapa OBJ jenis ini tidak berlaternasi dengan SUBJ, karena SUBJ [-o, -r] dan OBJθ [+o, +r] tidak termasuk satu klas; keduanya tidak mempunyai fitur bersama. Efek ini terlihat, misalnya pada bahasa Indonesia; contoh (31). Baju bisa dianggap sebagai OBJθ karena tidak bisa beralternasi dengan SUBJ pasif, terbukti dari ketidakberterimaan kalimat (31)c. (31)
Contoh OBJθ bahasa Indonesia a. Ayah membelikan Amir baju b. Amir dibelikan baju (oleh Ayah) c. *Baju itu dibelikan Amir (oleh Ayah)
Menurut hemat saya, konsepsi OBJθ sedikit bermasalah. Di satu sisi, konsepsi ini bisa menerangkan mengapa salah satu OBJ dari struktur ditransitif —dalam hal ini OBJθ— tidak bisa menjadi SUBJ verba pasif, misalnya untuk bahasa-bahasa seperti bahasa Inggris dan Indonesia. Tetapi di sisi lain, keterkaitan dengan peran semantis tertentu (yakni fitur [+r]) tampaknya bukan satu-satunya penyebab boleh tidaknya argumen ini beralternasi dengan SUBJ. Ini terlihat jelas kalau kita lihat bahasa-bahasa lain yang memungkinkan objek ganda simetris, seperti bahasa Bali, Jawa (dialek tertentu)10 dan Tukang Besi. Bandingkan contoh (31)c dengan contoh yang ekuivalen dari bahasa Jawa dialek Tegal (32)c di bawah. Kalimat (32)a adalah struktur aktif, (32)b struktur pasif dengan peran Benefaktif sebagai SUBJ dan (32)c juga struktur pasif dengan peran Theme sebagai SUBJ. Singkatnya, bahasa Jawa dialek Tegal mengijinkan kedua argumen non-aktor dari verba ditransitif dipetakan ke SUBJ pada konstruksi pasif. (32)
Contoh bahasa dengan objek ganda simetris (bahasa Jawa, dialek Tegal)11 a. Bapak-ne arep n-(t)uku-kaken anak-e umah kuwe bapak-POS akan DA-beli-kan anak-POS rumah itu ‘Bapaknya akan membelikan anaknya rumah itu’ b. Anak-e arep di-tuku-kaken umah kuwe (daning bapak-ne) 3Anak-POS akan PAS-beli-kan rumah itu oleh ayah-3TPOS) ‘Anaknya akan dibelikan rumah itu oleh bapaknya’ c. Umah kuwe arep di-tuku-kaken anak-e (daning rumah itu akan PAS-beli-kan anak-POS oleh ‘Rumah itu akan dibelikan anaknya (oleh bapaknya)’
bapak-ne) ayah-3TPOS
10
Tampaknya tidak semua dialek bahasa Jawa memungkinkan kesimetrisan Objek. Sawardi (2001) misalnya menunjukkan bahwa bahasa Jawa dalam dialek lain (dialek Solo?) menunjukkan Objek yang tidak simetris. Dalam dialek ini, dari dua Objek verba intransitif (Objek yang berperan Benefaktif dan Tema), hanya satu, yakni Objek Benefaktif, yang bisa beralternasi dengan Subjek verba pasif. Jadi, kalimat (32)c akan tidak berterima dalam dialek ini. 11 Data ini berasal dari data lapangan dari makalah tugas mahasiswa Ida Ayu Agung Ekasriadi untuk mata kuliah sintaksis yang penulis asuh di S2 Linguistik Universitas Udayana.
23
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
Pada bahasa yang menganut sistem OBJ ganda simetris seperti bahasa Jawa di atas, sesungguhnya kita juga mengatakan bahwa konstruksi ditransitifnya juga mempunyai keterkaitan argumen peran semantis dan fungsi yang sama dengan bahasabahasa yang menganut sistem OBJ ganda asimetris, yakni . Maksudnya, terlepas apakah sistemnya simetris atau asimetris, pada konstruksi aktif, agennya adalah SUBJ; OBJ yang pertama biasanya terbatas sebagai Benefaktif (atau Goal/penerima/sasaran) dan OBJ yang kedua terbatas pada Theme. Secara kaku, kita bisa mengiterpretasikan bahwa keduanya adalah OBJ yang terbatas. (Klaim ini tentu terlalu keras dan tidak benar setidak-tidaknya dari sudut empiris karena salah satu OBJ ini mesti [-r] karena bisa beralternasi dengan SUBJ. Untuk bahasa Indonesia/Inggris, yang [-r] adalah argumen Benefaktifnya (karena OBJ ini yang beralternasi dengan SUBJ pasif), sedangkan argumen Themenya adalah OBJθ. Untuk bahasa Jawa, keduanya mesti diinterpretasikan tak terbatas [-r]. Akhirnya, di sini sedikit terjadi kontradiksi, dalam pengertian misalnya pada bahasa dengan sistem OBJ simetris terdapat pula ‘OBJ yang secara semantis terbatas, [+r] tetapi OBJ ini bisa beralternasi dengan SUBJ (artinya, OBJ ini sesungguhnya juga [-r]). Masalah kesimetrisan OBJ ganda ini oleh LMT ditangani dengan mengijinkan kedua argumen non-aktor mendapatkan [-r] untuk bahasa-bahasa terntetu. Alsina (1992) mengusulkan adanya klasifikasi khusus untuk argumen non-aktor, yang disebut dengan klasifikasi argumen internal (Internal Argument Classification, IAC) seperti terlihat pada (33). (Istilah ‘internal’ di sini dikaitkan dengan ide klasifikasi argumen ke dalam dua kelompok berdasarkan realisasi sintaksisnya dalam kaitannya dengan projeksi kategorinya: internal argumen (non-aktor) muncul dalam FV (frasa verba) dan sementara eksternal argumen (Aktor) muncul diluar FV.) (33)
Internal Argument Classification (IAC). θ or [-r]
(34)
θ
≤ goal [+o]
Hirarki Peran semantis (Thematic hierarchy) Agen > Benfaktif > Sasaran/pengalam (Goal/experiencer> Instrument >Theme/Pasien> Lokatif
(33) memberikan alternatif kepada argumen internal (non-aktor): pertama, argumen ini pada prinsipnya boleh mendapatkan [-r] (sehingga bisa beralternasi dengan SUBJ); atau kedua, [+o] (sehingga tidak bisa beralternasi dengan SUBJ). Pilihan kedua ada kendalanya, yakni [+o] diberikan hanya kepada argumen yang lebih rendah dari (atau sama dengan) sasaran (goal). (Prinsip penting dalam teori pemetaan leksikal adalah konsepsi bahwa peran semantis membentuk hirarki seperi terlihat pada (34) (Alsina 1992; Bresnan and Kanerva 1989; Bresnan and Mchombo 1987; Bresnan and Moshi 1990) Pilihan kedua ini terdapat pada bahasa-bahasa tertentu yang menampilkan sistem OBJ ganda asimetris. Dengan demikian, dalam struktur aplikatif ditransitif dalam bahasa dengan sistem ini, argumen Theme selalu mendapat [+o] dan tidak bisa menjadi SUBJ verba pasif. Sementara pada bahasa lain (seperti bahasa Jawa), hanya pilihan pertama yang ada sehingga bila ada dua argumen internal, keduanya bisa mendapatkan [-r] dan keduanya bisa beralternasi dengan SUBJ pada konstruksi pasif. Ringkasnya, OBJθ adalah OBJ yang secara thematis terbatas dan tidak bisa beralternasi dengan SUBJ. Dari diskusi tadi, khususnya adanya variasi yang ditangkap 24
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
oleh IAC pada (33), jelas bahwa ketidakbolehan OBJ jenis ini beralternasi dengan SUBJ bukanlah semata-mata ditentukan oleh ‘peran semantisnya yang terbatas’. Sebab, dalam bahasa lain yang juga mempunyai sifat yang mirip, argumen yang demikian bisa beralternasi dengan SUBJ. Walaupun solusi yang diberikan dalam hal ini dengan memberikan kedua argumen internal/non-aktor fitur [-r], harus diingat bahwa hal ini terkait dengan perbedaan ‘sistem bahasa dalam hal OBJ ganda’, bahwa ada bahasa yang mempunyai OBJ ganda simetris dan ada yang asimetris. Karena itu, saya cenderung memakai istilah yang lebih netral, kembali ke TLF klasik: OBJ1 dan OBJ2. Kendala alternasi dengan SUBJ, walau ada benarnya bahwa peran semantiknya penting, saya percaya ada kendala sistem gramatikal yang lebih luas yang bertanggung jawab atas variasi ini. 4.5
Masalah klasifikasi fungsi: semua sama? Bagi orang yang ingin menerapkan analisis TLF terkadang merasa ‘dipaksa’ untuk mempunyai struktur-f dengan fungsi-fungsi yang telah disebutkan pada (29). Salah satu tantangan mengenai hal ini telah disinggung sebelumnya dalam kaitan dengan apakah harus selalu ada SUBJ pada setiap bahasa. Demikian juga untuk fungsi yang lainnya; kita sudah kritisi pembedaan dua jenis OBJ (menjadi OBJ dan OBJθ), dan sampai pada kesimpulan bahwa OBJθ tidak selalu harus ada pada setiap bahasa. Sesungguhnya TLF tidak memaksakan bahwa relasi gramatikal dan klasifikasinya mesti sama seperti yang terlihat pada (29). TLF mengelompokkan fungsi-fungsi tersebut ke dalam kelas-kelas yang luas seperti terlihat pada (35). Terlihat di sini, fungsi-fungsi itu pada tataran yang paling umum terbagi menjadi fungsi argumen (fungsi yang diminta oleh predikat, bagian dari subkategorisasi) dan fungsi non-argumen. Argumen secara semantis adalah partisipan dari suatu kejadian yang dinyatakan oleh predikat dan secara sintaktis adalah unit-unit yang kehadirannya diminta oleh predikat. Sedangkan non-Argumen, seperti Adjung, bukan merepresentasikan partisipan suatu kejadian; secara sintaktis kehadirannya hanyalah memberikan tambahan situasi kepada predikat. Dalam representasi entri leksikal fungsi argumen ditulis dalam kurung siku <…>, misalnya ‘pukul<SUBJ,OBJ>. Karena fungsi non-argumen tidak diminta oleh predikat maka fungsi non-argumen tidak didaftar dalam entri leksikal. Jadi entri leksikal seperti *‘makan’<SUBJ, OBJ, ADJ> tidak berterima. Selanjutnya, fungsi argumen diklasifikasikan lebih lanjut menjadi fungsi inti (core atau term) dan non-inti (non-core atau non-term). Pentingnya ide keintian ini dalam klasifikasi fungsi akan dibahas di bawah. (35)
Klasifikasi relasi gramatikal dalam TLF ARGUMEN 64444444474444448 INTI NON-INTI 64474448 6447448 SUBJ > OBJ > OBJ > OBL > (X)COMP >
NON-ARGUMEN 64748 (X)ADJUNCT
Ide klasifikasi fungsi seperti disebutkan di atas sangat penting. Ide ini memungkinkan TLF sangat fleksibel untukmenangkap tipologi bahasa. Klasifikasi fungsi yang demikian juga cukup ampuh untuk menolak logika yang sering membawa masalah dalam hal keuniversalan fungsi. Dalam logika yang salah (karena sempit) ini, impilkasi yang diambil adalah bahwa kalau klasifikasi argumen seperti SUBJ, OBJ, OBL dan 25
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
(X)COMP bersifat universal maka klasifikasi tersebut ditemukan pada semua bahasa. Kalau logika ini yang dianut, maka jelas sangat restriktif dan dari sudut tipologis tidak menarik. Bahasa-bahasa Nusantara akan memberi bukti yang berlawanan, seperti yang telah kita diskusikan tentang keberadaan SUBJ serta perbedaan dua juenis OBJ pada subseksi sebelumnya. Posisi yang lebih baik adalah mengadopsi pemikiran dekomposisi fungsi gramatikal dalam TLF, yang menyatakan bahwa dua atau lebih fungsi sesungguhnya dapat membentuk klas alamiah yang lebih luas. Dalam hal ini, fungsi gramatikal didekomposisi oleh fitur yang lebih primitif. Di atas kita telah kiritisi ide dekomposisi fungsi berdasarkan fitur [+/-r] dan [+/-o]. Yang perlu digarisbawahi dari ide dekomposisi fungsi ini adalah suatu fungsi argumen bisa saja ‘underspecified’ dalam realisasinya. Hal ini bisa diilustrasikan dari kontras antara memukul dan dipukul pada (36): (36)
Pemetaan dengan fitur [+/- r] dan [+/-o] a. aktif b. Pasif memukul ‘pukul’ dipukul ‘pukul [-o] [-r] PASS: ∅ [-r] [-r] ___________ __________ SUBJ OBJ SUBJ
Pada kedua verba di atas (aktif dan pasif), Pasien secara intrinsik mendapat [-r]. Kalau verbanya aktif seperti (36)a, maka argumen Agen yang secara intrinsic mendapatkan [-o] (artinya tidak boleh objek, lihat (23)), mendapatkan fitur [-r] (fitur yang diberikan kepada argumen yang paling tinggi secara tematis12). Karena Agen mendapatkan [-o, -r], lihat (30), maka Agen menjadi SUBJ. Selanjutnya, argumen Pasien yang sudah [-r], tidak mempunyai pilihan lain dan menjadi OBJ. Ingat fungsi lain selain SUBJ, hanya OBJ yang berfitur [-r]. Pada verba pasif (36)b, pemarkah pasif di- menandai proses morfoleksikal penghilangan Agen (ditandai dengan ∅). Sekarang tinggal Pasien, yang karena secara intrinsik (dan karena argumen internal (lihat (33)) sudah mendapat [-r], akhirnya menjadi SUBJ. (Ada kondisi dalam Teori Pemetaan Leksikal bahwa setiap predikat mesti ada SUBJ-nya. Saya percaya ini tidak universal, setidak-tidaknya dari sudut analisis yang tidak mengadopsi Teori Optimalitas.) Butir ide yang penting yang perlu diingat adalah bahwa Pasien sebagai OBJ pada verba aktif (36)a dan sebagai SUBJ pada verba pasif (36)b sesungguhnya ditentukan oleh sifat pemetaanya yang underspecified; artinya Pasien hanya mendapat [-r], tidak mendapatkan semua fitur yang diminta untuk realisasi sebuah fungsi. Ide dekomposisi fungsi kedalam fitur yang lebih primitif pada dasarnya sangat baik. Usulan lain dekomposi fungsi untuk menangkap variasi realisasi fungsi lintas bahasa adalah dengan properti keintian ([+/-INTI]) dan ke-PIVOT-an ([+/-PIV]), seperti terlihat pada (37) (Arka 1998).
12
Ingat TLF menganut paham bahwa argumen secara tematis mempunyai peringkat, dengan Agen sebagai peran yang tertinggi, lihat (34).
26
I Wayan Arka
(37)
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
Dekomposisi fungsi gramatikal berdasarkan [+/-INTI], [+/-PIV] +INTI -INTI
+PIV SUBJ (?)13
-PIV OBJ OBL
Analisis berdasarkan dekomposisi (37) memberikan beberapa keutungan, yang susah untuk didapatkan dari klasifikasi sebelumnya berdasarkan fitur [+/-o]. ([+/-INTI] secara kasar ekuivalen dengan [+/-r].) Keuntungan pertama, misalnya, klasifikasi ini memprediksikan bahwa OBJ dan OBL berada dalam satu klas (karena sama-sama [-PIV]). Dengan demikian, diprediksikan bahwa OBJ dan OBL kemungkinan dimarkahi sama dalam suatu bahasa. Ini mendapat dukungan dari kenyataan bahwa tidak selalu mudah membedakan OBJ dengan OBL dalam bahasa tertentu. Misalnya, ng pada bahasa Tagalog kemungkinan memarkahi [-PIV] saja sebab kita bisa dapatkan kalimat seperti (38) berikut. (38)
Bahasa Tagalog (Foley and Valin 1984) Bilh-an ng lalake ng isda ng pera ang tindahan beli-LF orang.laki ikan uang toko ‘Orang (laki-laki) itu membeli ikan di toko itu dengan uang’
Dalam bahasa Tagalog, PIV dimarkahi dengan ang, sementara ng dianggap pemarkah argumen inti yang bukan PIV (lihat misalnya Kroeger (1993: 40–48) yang menunjukkan bukti bahwa Agen dan Pasien yang dimarkahi ng (ng lalake dan ng isda pada (38)) adalah argumen inti. Akan tetapi di sini terlihat juga bahwa peran instrumen juga dimarkahi dengan ng (ng pera); dan peran instrumen ini tampaknya bukanlah argumen yang diminta oleh verba ‘beli’. Jika instrumen ini dianggap inti karena dimarkahi ng, maka verba ‘beli’ ini mempunyai empat argumen inti (termasuk argument PIV ang tindahan); sebuah analisis yang aneh. Tetapi jika kita mengatakan bahwa ng hanya memarkahi [-PIV], maka tidak ada implikasi bahwa verba ‘beli’ ini mempunyai empat argumen inti. (Analisis ini tentu tidak menjawab pertanyaan mengapa non-argumen juga dimarkahi sama dengan argumen (inti), dengan ng.) Penelitian lebih jauh diperlukan untuk melacak subklasifikasi argumen (dan non-argumen) yang termasuk kelompok [-PIV], sifat-sifatnya dan pemarkahannya. Keuntungan ke dua dari klasifikasi dengan fitur [+/-INTI] dan [+/-PIVOT] di atas adalah penjelasan secara alamiah dua oposisi pemetaan lintas bahasa, yakni akusatif (39)a dan ergatif (atau inverse) (39)b. Ide utamanya adalah, [+/-INTI] adalah fitur sintaksis yang berada pada struktur argumen (struktur-a) yang menjembatani antara tataran semantik dan tararan sintaktis lahir. Dalam analisis ini, SUBJ adalah [+PIVOT, +INTI], dan OBJ adalah [-PIV, +INTI]. Dengan demikian, SUBJ dan OBJ betul-betul tidak terkait dengan kendala peran semantis tertentu sehingga secara teoritis tidak ada halangan mengapa Agen tidak boleh diklasifikasikan atau mendapatkan [-PIV, +INTI]. Ini yang ditunjukkan oleh pemetaan ergatif pada (39)b. (Ingat pemetaan ergative ini tidakdiperbolehkan oleh Teori Pemetaan Leksikal.) 13
Secara teoritis berdasarkan fitur klasifikasi ini, kombinasi [+PIV,-INTI] adalah sesuatu kemungkinan, tetapi di sini diperlihatkan sebagai kemungkinan yang masih ‘tanda tanya’. Belum jelas betul apakah ini merupakan gap tipologis belaka atau memang penelitian bahasa tahap ini belum menemukan bahasa yang demikian. Tampaknya isu keintian pada bahasa Tagalog (lihat diskusi mengenai kalimat (38)dan status PIV yang oleh Sell (2001) dianggap statusnya klausa ekternal (bukan argumen), argumen sesungguhnya adalah semacam argumen kosong secara klausa internal. Jika ini benar, maka [+PIV, -INTI] bukanlah lagi tanda tanya seperti yang dikemukan dalam (37).
27
I Wayan Arka
(39)
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
a. Pemetaan akusatif
b. Pemetaan ergatif
+PIVOT -PIVOT str-a: <+INTI +INTI Agen
+PIVOT -PIVOT >
Pasien
<+INTI
+INTI >
Agen
Pasien
Keuntungan analisis dengan str-a seperti (39) diuraikan dalam Manning (1996), Arka (1998) dan Arka dan Wechsler (1998) dalam kaitan dengan pengikatan refleksif (reflexive binding). Analisis yang demikian meramalkan bahwa pengikatan terjadi pada struktur-a, sehingga walaupun diadakan perubahan diatesis (aktif-objektif) maka perubahan diatesis tersebut tidak mempengaruhi pengikatan refleksif. Kejadian bahwa SUBJ atau PIVOT bisa diikat adalah sesuatu yang diprediksi dalam analisis ini. Ini dicontohkan oleh kalimat (40). (40)
Pengikatan refleksif dan perubahan diatesis (bahasa Indonesia) a. Dia membenci dirinya b. Dirinya yang dia benci
Pada (40)a, refleksif OBJ dirinya diikat oleh SUBJ. Pengikatan OBJ oleh SUBJ ini adalah sesuatu yang sudah umum. Tetapi pada, (40)b, SUBJ dirinya diikat oleh non-SUBJ, dia. Pengikatan atas SUBJ oleh non-SUBJ ini tidak berterima untuk bahasa lain, umumnya pada bahasa akusatif seperti bahasa Inggris. Dalam analisis yang bersandarkan struktur-a seperti usulan yang dikemukakan disini, kedua kalimat pada (40) mempunyai struktur-a seperti yang diperlihatkan pada (41): (41)
Struktur-a kalimat (40) ‘benci’ <’dia’i, ‘dirinya’i> (INTI)(INTI)
Kedua argumen dari verba benci adalah INTI. Terlihat di sini refleksif dirinya diikat oleh dia (pengikatan dinyatakan dengan indeks i). Pengikatnya (binder) adalah argumen aktor, secara semantis lebih tinggi dari yang diikat. Selanjutnya pemetaan akusatif dan ergatif seperti yang diperlihatkan pada memberikan dua struktur yang berbeda (yakni kalimat aktif dan pasif) tanpa mengubah pengikatan. Ini diperlihatkan pada pemetaan berikut: (42)
Pemetaan atas str-a (41) yang menghasilkan struktur aktif dan objektif (40) a. kalimat aktif (40)a: b. kalimat objektif (40)b: +PIV -PIV ‘benci’ <’dia’i, ‘dirinya’i>
+PIV -PIV ‘benci’ <’dia’i, ‘dirinya’i>
Seperti terlihat pada (42)b, refleksif dirinya yang muncul sebagai PIV, tetapi dapat diikat oleh non-PIV dia karena pengikatan dilakukan pada str-a, bukan str-f.
28
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
Keuntungan lebih jauh dari dekomposisi dengan [+/-PIV] dan [+/-INTI] terkait dengan isu keuniversalan fungsi gramatikal. Dengan bersandar pada ide underspecification of function dan hubungan pemetaan yang tidak selalu sama lintas bahasa kita bisa menjelaskan bagaimana suatu bahasa seperti bahasa Taba di Indonesia Timur bisa memperlihatkan relasi gramatikal yang agak berbeda, tanpa ada bukti yang jelas mengenai SUBJ dan OBJ. Untuk ini, ide utama penjelasannya adalah bahwa fitur [+/-PIV], atau oposisi PIVOT dan non-PIVOT, tidak mesti terrealisasi dalam semua bahasa walaupun fitur ini merupakan khasanah yang universal. Ini sama halnya dengan mengatakan bahwa fitur [+/-voiced] dalam fonologi bisa dikatakan ‘universal’, dalam artian bahwa fitur itu merupakan salah satu dari gugus fitur-fitur lintas bahasa. Tetapi, ini tidak berarti bahwa dalam setiap bahasa fitur [+/-voiced] terealisasi dengan cara yang sama. Dalam bahasa tertentu (dan domain tertentu) oposisi itu mungkin tidak fungsional, sehingga misalnya oposisi antara /s/ dan /z/, /f/ dan /v/ dinetralisasi. Demikian juga halnya dengan fitur [+/PIV] dalam sintaksis. Dalam kaitan ini, kita bisa katakan bahwa pada bahasa-bahasa Indonesia Timur oposisi [+/-PIV] ‘dinetralisir’. Ketiadaan oposisi pada fitur ini menyebabkan sistem relasi gramatikalnya menjadi ‘satu tingkat’ lebih sederhana, seperti terlihat pada (43). (43)
Klasifikasi relasi gramatikal pada bahasa tanpa [+/-PIV] +INTI -INTI
SUBJ
OBJ OBL
Klasifikasi di atas memperlihatkan bahwa yang fungsional adalah properti [+/-INTI]. Diharapkan bahasa dengan sistem ini menunjukkan sifat-sifat morfosintaksis (persesuaian dan relatifisasi terkait) yang sensitif terhadap perbedaan antara argumen INTI dan nonINTI. Memang demikianlah kenyataan yang kita dapati; misalnya bahasa Taba (Bowden 2001), hanya argumen inti yang mendapat persesuaian, non-inti (OBL) tidak. Lebih lanjut, dengan memasukkan peran semantis makro, Proto-Aktor (P-A) dan Proto-Pasient (P-P)14 serta pemarkahan pada verba pada bahasa-bahasa Indonesian Timur kita bisa mendapatkan gambaran seperti yang terlihat pada (44). Pemetaan yang kita dapatkan menggambarkan bahwa oposisi [+/-PIV] tidak relevan; yang relevan adalah [+/INTI] dan peran semantis (makro). Karena SUBJ dan OBJ sama-sama [+INTI], maka properti pembedanya adalah peran semantis makronya; yakni P-A dan P-P. Pemarkahan perbedaan ini bisa dilakukan cukup dengan memarkahi salah satu saja, biasanya dengan memarkahi P-A seperti pada bahasa Kei, atau juga sekaligus memarkahi keduanya (P-A dan P-P), seperti pada bahasa Muna. (44)
Pemetaan/asosiasi tipikal Peran semantis dan relasi gramatikal di bahasa-bahasa Indonesia Timur
[+INTI] Fungsi gramatikal SUBJ Peran semantis makro Proto-Aktor Pemarkahan Pronominal prefiks
OBJ Proto-Pasien (Pronominal sufiks)
[-INTI] OBL (peran mikro) Preposition
14
Istilah Proto-Aktor (P-A) dan Proto-Pasien (P-P) dipakai di sini menuruti Dowty (1991) untuk menyatakan peran semantis yang umum (marko) sebagai lawan peran thematis (mikro) seperti Agen, pengalam dsb.
29
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
Sekarang mari kita kembali ke pertanyaan semula: dalam bahasa-bahasa Indonesia Timur, karena relasi predikat-argumen bisa dijelaskan secara semantis seperti P-A dan PP, apakah masih relevan kita bicara SUBJ, OBJ, OBL? Apakah bahasa yang bersangkutan bisa dikatakan tidak mempuyai struktur-f? Bolehkah ada TLF tanpa struktur-f? Untuk ini ada dua pendekatan. Pertama, lupakan saja struktur-f. Sesungguhnya, menurut hemat saya, struktur-f hanyalah salah satu dari sekian struktur paralel dalam TLF. Secara teoritis tidak ada alasan mengapa salah satu struktur yang tidak muncul secara empiris mesti dimunculkan dalam representasi. Pendekatan ini mungkin baik untuk deskripsi sederhana bahasa yang bersangkutan secara mandiri, tetapi tidak dalam koteks komparatif tipologis. Dari sudut TLF, ini mungkin terlalu ektrem karena akan terjadi model TLF tanpa struktur-f. Pendapat kedua, tetap ada struktur-f. Analisis kedua ini (saya sendiri cenderung dengan yang ini) mesti didasari pada prinsip/model TLF berikut yang secara jelas membedakan dua pengertian keuniversalan bahasa: keuniversalan absolut dan relatif. Pertama, keuniversalan oposisi semantis P-A dan P-P bersifat absolut; artinya, tidak ada bahasa yang tidak bisa membedakan P-A dengan P-P. Kedua, keuniversalan oposisi klasklas fungsi gramatikal bersifat relatif. Artinya, walaupun klas fungsi seperti [+/-PIV] dan [+/-INTI] bagian dari khasanah fungsi universal, tidak semua bahasa menunjukkan oposisi tersebut secara utuh. Hal ini sudah saya singgung tadi dalam kaitan dengan analogi dengan fitur [+/-voiced] dalam fonologi. Demikian juga, walaupun dalam bahasa Indonesia ada bukti keberadan SUBJ (atau argumen [+PIV]) tetapi tidak berarti setiap kalimat bahasa Indonesian mesti ada SUBJ/PIVOT-nya. Keharusan atau kemanasukaan hadirnya suatu fungsi gramatikal tertentu tidak menjadi alasan untuk mendukung/menolak ide keuniversalan fungsi gramatikal. Karenanya, pembicaraan dengan menggunakan istilah SUBJ/OBJ secara lintas bahasa merupakan pembicaraan pada level yang agak ‘abstrak’. TLF tidak mengasumsikan SUBJ/OBJ bahasa Inggris mempunyai sifat sintaksis yang ‘(persis) sama’ dengan SUBJ/OBJ bahasa Indonesia. Ini terkait dengan konsepsi bahwa fungsi gramatikal bersifat ‘primitif’; tidak bisa didefinisikan dengan/dari properti struktur lain. Penggunaan fungsi gramatikal seperti SUBJ dan OBJ mencerminkan relasi predikat-argument pada tataran yang abstrak yang tidak selalu mudah dinyatakan apabila kita hanya menggunakan istilah semantis. Misalnya, walaupun ciri sintaksis SUBJ bahasa Inggris dan Indonesia secara spesifik tidak sama, tetapi kesamaan relasi argumen SUBJ dalam kaitanannya dengan predikatnya pada kedua bahasa itu bisa ditangkap: SUBJ verba aktif baik pada bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia (dan juga bahasa-bahasa didunia lainnya) adalah P-A; atau SUBJ dari verba pasif adalah P-P. Konsepsi penting dari TLF perlu diingat adalah hubungan semantis dan sintaksis yang tidak selalu ajeg satu-satu secara lintas bahasa. Artinya, pemetaan argument P-A dan P-P dengan ekpresi/relasi gramatikal bervariasi dari satu bahasa ke bahasa lainnya, walapun variasinya sendiri masih tetap mengikuti prinsip-prinsip pemetaan (linking) yang bersifat universal. Pada pembicaraan sebelumnya, kita telah berbicara tentang prinsip pemetaan dengan fitur [+/-o] dan [+/-r] atau fitur [+/-INTI] dan [+/-PIVOT] dalam kaitannya dengan bahasa yang menunjukkan diatesis. Dalam hal ini, kita menunjukkan situasi yang memungkinkan argumen mendapat pemetaan alternatif (yakni lebih dari satu). Mari kita sebut ini pemetaan argumen yang fleksibel. Secara teoritis dan tipologis, model tatabahasa yang baik adalah yang tidak menutup kemungkinan pemetaan argumen yang tidak fleksibel. Dalam kaitannya dengan inilah, kita mengatakan bahwa bahasaBahasa Indonesia Timur bisa tergolong pada kelompok bahasa dengan pemetaak tak fleksibel. Jadi sekali sebuah argumen dipetakan ke fungsi gramatikal, tidak ada alternatif
30
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
lain yang ekuivalen dengan diatesis seperti pada bahasa-bahasa Indonesia Barat. Singkat kata, argument dipetakan secara kaku ke posisi fungsi terntentu. Dengan pandangan tadi, bahwa terdapat kemungkinan pemetaannya bersifat ajeg (fixed) tadi, saya berargumentasi bahwa pada bahasa-bahasa Indonesia timur seperti Taba, kita bisa tetap mempertahankan SUBJ, OBJ dan OBL, tanpa menimbulkan implikasi teoritis yang serius. Yang mesti diingat, walaupun kaku, pemetaan tersebut menuruti prinsip pemetaan universal pula. Misalnya, seperti halnya bahasa Inggris atau bahasa Indonesia, kalau ada dua argumen, P-A dan P-P pada bahasa Taba; maka P-A yang utama dan menjadi SUBJ sementara P-P menjadi OBJ; tidak sebaliknya. Ini disebabkan oleh keuniversalan prinsip pemetaan yang cenderung harmonis: argument yang lebih tinggi pada suatu tataran cenderung dipetakan ke argumen yang lebih tinggi pada tataran lain. PA dan SUBJ sama-sama merupakan argumen tertinggi pada tatarannya masing-masing. Pada bahasa bahasa dengan pemetaan yang ajeg, seperti bahasa Taba, maka ada dua kosekuensi logis yang terjadi: (a) SUBJ selalu dikaitakan dengan P-A dan (b) tidak ada kejelasan perbedaan antara relasi gramatikal dan relasi semantis. Dengan tetap menggunakan istilah SUBJ dan OBJ pada bahasa ini, maka pada tataran lintas bahasa, kita masih bisa berbicara tentang ‘kesamaan relasi predikat-argumen’ yang dikandung. Kita bisa membuat generalisasi, misalnya, pernyataan seperti ‘SUBJ kanonisnya adalah P-A’. Generalisai ini berlaku untuk ketiga bahasa ini tadi (Inggris, Indonesia, dan Taba) yang secara tipologis sangat berbeda. Keuntungan untuk mendapatkan generalisasi yang demikian akan susah kalau analisis yang disodorkan tidak mengunakan tataran yang agak abstrak, dalam hal ini tataran/struktur fungsional. 5
Ringkasan dan Kesimpulan Tulisan singkat ini telah membahas keragaman morfosintaksis kebahasaan Nusantara yang sangat ideal sebagai laboratorium untuk ujicoba teori bahasa kontemporer. Tulisan ini telah mengangkat beberapa isu yang terkait dengan keragaman tadi yang mungkin membawa masalah bagi penerapan teori TLF. Klarifikasi atas beberapa asumsi telah diberikan dan alternatif pemecahan atas isu-isu yang muncul juga disodorkan dan dibahas. Dalam apliakasi TLF untuk bahasa-bahasa Nusantara, ada beberapa asumsi/konsepsi yang mesti dibuat ekplisit, diantaranya adalah sbb.: (a) Fungsi gramatikal adalah abstraksi/netralisasi relasi atau oposisi tertentu yang realisasi konkretnya (tata urut, pemarkahan, dsb.) bervariasi dari satu bahasa ke bahasa lainnya. (b) Fungsi gramatikal membentuk klas-klas fungsi alamiah, yang komposisi internalnya bisa membentuk klas dan subklas fungsi. Ini bisa dibuat ekplisit dalam pendekatan dekomposisi fungsi dalam fitur-fitur primitif. (c) Realisasi suatu fitur dasar pembentuknya bisa jadi tidak selalu terwujud pada suatu bahasa. Keuntungan yang kita dapat dari konsepsi tadi adalah, i) pada tataran lintas bahasa, kita masih bisa berbicara tentang relasi gramatikal (seperti SUBJ dan OBJ) untuk bahasa bahasa yang tidak sejara jelas menunjukkan fitur yang lebih primitif pembentuk fungsi gramatikal, ii) tidak ada tuntutan bahwa suatu jenis fungsi gramatikal terntetu harus menunjukkan properti tataurut, kasus, dan semantik yang sama karena dalam kosenpsi ini yang ada hanyalah keterkaitan atau pemetaan antara berbagai struktur lain ke struktur-f. Dan sifat pemetaan itu sendiri tidak harus persis sama untuk semua bahasa walaupun diatur oleh prinsip-prinsip yang universal.
31
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
DAFTAR PUSTAKA Aissen, J. 2001. Markedness and subject choice in Optimality Theory. In OptimalityTheoritic Syntax, edited by G. Legendre, J. Grimshaw and S. Vinker, 61-96. Cambridge, Massachusetts: The MIT Press. Alsina, A. 1992. On the Argument Structure of Causatives. Linguistic Inquiry. Arka, I W., and S. Wechsler. 1996. Argument structure and linear order in Balinese binding. Arka, I W. 1998. From Morphosyntax to Pragmatics in Balinese. PhD Dissertation, Linguistics Department, University of Sydney, Sydney. Arka, I W., and C.D. Manning. 1998. Voice and grammatical relations in Indonesian: a new perspective. In The Proceedings of the LFG '98 Conference, edited by M. Butt and T. H. King. Stanford: CSLI: http://cslipublications.stanford.edu/LFG/3/lfg98-toc.html. Arka, I W., and J. Simpson. 1998. Control and Complex arguments in Balinese. In The Proceedings of the LFG '98 Conference, edited by M. Butt and T. H. King. Stanford: CSLI: http://csli-publications.stanford.edu/LFG/3/lfg98-toc.html. Arka, I W. 2000. On the Theoretical and Typological Aspects of Termhood in (Eastern) Indonesian Languages.(First Year Report, seminar paper). Jakarta: Directorate General of Higher Education, Ministry of Education and Culture. ———. 2001a. On the Theoretical and Typological aspects of Termhood in (Eastern) Indonesian languages (The second year research report). Jakarta: Directorate General of Higher Education, Ministry of Education. ———. 2001b. Nominative Marking and Linking in Dawan, at Canberra. ———. 2002. Voice systems in the Austronesian languages of Nusantara: Typology, symmetricality and Undergoer orientation, at Bali. Arka, I W., and J. Kosmas. 2002. Passive without passive morphology? Evidence from Manggarai, at Canberra. Arka, I W. to appear. Voice and the syntax of =a/-a verbs in Balinese. In Voice and Grammatical Relations in Austronesian Languages, edited by P. K. Austin and S. Musgrave. Stanford: CSLI. Artawa, K. 1994. Ergativity and Balinese Syntax. Ph.D, Linguistics, La Trobe University, Bundoora, Australia. Austin, P., and J. Bresnan. 1996. Nonconfigurationality in Australian Aboriginal Languages. Natural Language and Linguistic Theory 14:215-68. Beratha, N. L. Sutjiati. 1992. Evolution of Verbal Morphology in Balinese. Ph.D dissertation, Australian National University, Canberra. Bowden, J. 2001. Taba. Description of A south Halmahera language. Canberra: Pacific Linguistics. Bresnan, J., and J. Kanerva. 1989. Locative Inversion in Chichewa: A Case study of factorization in Grammar. Linguistic Inquiry 20:1-50. Bresnan, J., and L. Moshi. 1990. Object Asymmetries in Comparative Bantu Syntax. Linguistic Inquiry 21 (2):147-185. Bresnan, J. 2001. Lexical Functional Syntax. London: Blackwell. ———, ed. 1982. The Mental Representation of Grammatical Relations. Cambridge, Massachusetts: the MIT Press. Bresnan, J. , and S. Mchombo. 1987. Topic, Pronoun , and Agreement in Chichewa. Language (63):741-82. Brown, L. 2001. A Grammar of Nias Selatan. PhD, Linguistics Department, the University of Sydney, Sydney. 32
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
Chomsky, N. 1986. The Barriers. Cambridge, Massachusetts: MIT Press. ———. 1995. The minimalist program. Cambridge, Mass.: The MIT Press. Chomsky, N. 1965. Aspects of the Theory of Syntax. Cambridge, Massachusetts: MIT Press. ———. 1981. Lectures on Government and Binding Theory. Dordrecht: Foris. Clynes, A. 1995. Topics in the Phonology and Morphosyntax of Balinese. Ph.D dissertation, Australian National University, Canberra. Dalrymple, M. 2001. Lexical Functional Grammar, Syntax and Semantics. San Diego: Academic Press. Donohue, M. 1995. The Tukang Besi language of southeast Sulawesi, Indonesia. PhD thesis, Linguistics Department, ANU, Canberra. Dowty, D. 1991. Thematic Proto-roles and Argument selection. Language 67:547-617. Falk, Y. 2001. Lexical-Functional Grammar. Stanford: CSLI. Foley, W. A. 1986. Papuan Languages of New Guinea. London: Cambridge University Press. Foley, W.A., and R. Van Valin. 1984. Functional Syntax and Universal Grammar. Cambridge: Cambridge University Press. Grimes, C.E. 1991. The Buru language of Eastern Indonesia. PhD thesis, Linguistics, Australian National University, Canberra. Grimes, C.E., T. Therik, B.D Grimes, and M. Jacob. 1997. A guide to the people and languages of Nusa Tenggara. Kupang: Artha Wacana Press. Halliday, M.A.K. 1994. An introduction to functional grammar. London: E. Arnold. Hardjadibrata, R.R. 1985. Sundanese : a syntactical analysis. Canberra: Linguistic Circle of Canberra, ANU. Himmelmann, N.P, and J.U Wolff. 1999. Toratàn (Ratahan). München: Lincom Europa. Himmelmann, N.P. 2002. Voice in two northern Sulawesi languages. In The history and typology of western Austronesian voice systems, edited by F. Wouk and M. D. Ross, 123-142. Canberra: Pacific Linguistics. Japa, I W. 2000. Properti Argumen Inti, Interpretasi Tipologis dan Struktur Kausatif Bahasa Lamaholot Dialek Nusa Tadon, S2 Linguistik, Universitas Udayana, Denpasar. Jauhary, E. 2000. Pasif bahasa Bima. Master thesis, Linguistik, Udayana, Denpasar. Klamer, M. 1998. A Grammar of Kambera. Berlin: Mouton de Gruyter. Kosmas, Jaladu. 2000. Argumen aktor dan pemetaannya, S2 Linguistik, Universitas Udayana, Denpasar. Kroeger, P. 1993. Phrase Structure and Grammatical Relations in Tagalog. Stanford: CSLI Publications. Manning, C.D. 1996. Ergativity: Argument Structure and Grammatical Relations. Stanford: CSLI. Mekarini, N. W. 2001. Diatesis dan pengikatan bahasa Dawan, PS Linguistik, Pascasarjana Unud, Denpasar. Oka Antara, I M. 2001. Keintian argumen dan keselarasan pemarkahan bahasa Mauta, PS Linguistik, Pascasarjana Unud, Denpasar. Partami, N.L. 2001. Relasi gramatikal dan perelatifan bahasa Buna, PS Linguistik, Pascasarjana, Unud, Denpasar. Pawley, A. K. 1980. On meeting a language that defies description by ordinary means, at Lae. Robins, R.H. 1983. Sistem dan struktur bahasa Sunda. Jakarta: Jambatan. Sawardi, F.X. 2000. Argumen kompleks bahasa Lio (Complex arguments in Lio). MA thesis, Linguistics, Udayana University, Denpasar. ———. 2001. Kesimetrisan objek bahasa Jawa. Nuansa Indonesia 16 (15):16-22. 33
I Wayan Arka
TLF: prinsip dasar dan tantangannya
Sedeng, I N. 2000. Kalimat Kompleks dan Relasi Gramatikal Bahasa Sikka. Master Thesis, S2 Linguistik, Universitas Udayana, Denpasar. Sells, P. 2001. Form and function in the typology of grammatical voice systems. In Optimality-Theoritic Syntax, edited by G. Legendre, J. Grimshaw and S. Vinker, 355-391. Cambridge, Massachusetts: The MIT Press. Simpson, J. 1991. Warlpiri-Morpho Syntax. Dordrecht: Kluwer. Steinhauer, H. 1993. Notes on verbs in Dawanese. In Topics in descriptive Austronesian linguistics, edited by G. P. Reesink, 130-158. Leiden: Department of languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania. ———, ed. 1996. Morphemic Metathesis in Dawanese (Timor). Edited by H. Steinhauer. Vol. no.3, Papers in Austronesian linguistics. Canberra: Pacific Linguistics. Suciati, N .L. G. 2001. Alinasi gramatikal dan diatesis bahasa Tetun dialek Fehan, PS Linguistik, Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar. Sudaryanto, ed. 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Teng, S. 2001. An introduction to Puyuma (Nanwang dialect). a seminar handout. Deparment of Linguistics, RSPAS, ANU. Canberra. Tryon, D.T., ed. 1994. Comparative Austronesian Dictionary. An Introduction to Austronesian Studies. Berlin: Mouton de Gruyter. Van den Berg, R. 1989. A Grammar of the Muna Language. Dordrecht-Holland: Forris Publications. Van Klinken, Catharina L. 1999. A grammar of the Fehan dialect of Tetun, an Austronesian language of West Timor. Canberra: Pacific Linguistics. Van Valin, R.D. , and R.J. LaPolla. 1999. Syntax. Structure, meaning and function. Cambridge: Cambridge University Press. Verheijen, J.A.J. 1977. The lack of formative in affixes in the Manggarai language. NUSA 5:35-37. Verheijen, J.A.J., and C.E. Grimes. 1995. Manggarai. In Comparative Austronesian Dictionary. An Introduction to Austronesian Studies., edited by D. T. Tryon, 585592. Berlin: Mouton de Gruyter. Vries, Lourens de. 1993. Forms and functions in Kombai, an Awyu language of Irian Jaya. Canberra: Pacific Linguistics. Webelhuth, G, ed. 1995. Government and Binding Theory and the Minimalist Program. Oxford: Blackwell. Woollams, G. 1996. A Grammar of Karo Batak, Sumatra, Pacific Linguistics Series C130. Canberra.: Department of Linguistics, Australian National University,. Yudha, I K. 2001. Fungsi gramatikal argumen inti dalam sistem terpilah bahasa Kolana, Master thesis, PS Linguistik, Pascasarjana Unud, Universitas Udayana, Denpasar.
34