BAHAR MATTALIOE: SAHABAT DAN SETERU KAHAR MUZAKKAR BAHAR MATTALIOE: FRIEND AND ENEMY OF KAHAR MUZAKKAR 5RVGLDQD+D¿G Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km.7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 883748, 885119, Faksimile (0411) 865166 Pos-el:
[email protected] Handphone: 081355484221 Diterima: 19 Februari 2015; Direvisi: 7 April 2015; Disetujui: 27 Mei 2015 ABSTRACT This study is a history that aims to explain the relationship between Bahar Mattalioe with Kahar Muzakkar (friendly then hostile). To explore it, the writer used historical methods with free in-depth interviews. The data ZHUHDQDO\]HGWKURXJKSUHSDUDWLRQDQGFODVVL¿FDWLRQSURFHVVEDVHGRQWKHPHRUFDWHJRU\7KHUHVHDUFKUHVXOWV showed that %DKDU0DWWDOLRHLVD¿JKWHUFRQWURYHUVLDO¿JXUH)LUVWO\KHVWUXJJOHGIRUWKHQDWLRQLQGHSHQGHQFH met and be friend with Kahar Muzakkar, then defected. When the organization that embodies Kahar Muzakkar and Bahar Mattalioe (KGSS) wanted to merge into Indonesian Army (TNI), there were different views of them. Bahar Mattalioe ran into the forest (desertion) to follow Kahar Muzakkar. In a further development, the relationship between Bahar Mattalioe and .DKDU0X]DNNDUFUDFNHGGXHWRWKHGLIIHUHQWYLVLRQDQGPLVVLRQRI¿JKWLQJ7KH\ ZHUHHQHPLHVDQG¿JKWHGHDFKRWKHUBahar Mattalioe jammed and surrendered to Kahar Muzakkar. It means that Bahar Mattalioe was death and the only way to relive is returning to the Mother Earth. Keywords: Bahar Mattaliu, Kahar Muzakkar, Friend and enemy.
ABSTRAK Kajian ini bersifat historis yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara Bahar Mattalioe dengan Kahar Muzakkar (bersahabat lalu berseteru). Untuk mengungkapkan hal tersebut, digunakan metode sejarah dan wawancara bebas mendalam. Data dianalisis melalui proses penyusunan dan penggolongan data berdasarkan tema atau kategori. Hasil kajian menunjukkan bahwa Bahar Mattalioe adalah sosok pejuang yang kontroversial. Awalnya, ia berjuang untuk kemerdekaan bangsa, bertemu dan bersahabat dengan Kahar Muzakkar, lalu berkhianat. Ketika organisasi yang mewadahi Kahar Muzakkar dan Bahar Mattalioe (KGSS) ingin dilebur ke Tentara Nasional Indonesia (TNI), terjadi perbedaan pandangan di antara mereka. Bahar Mattalioe masuk hutan (disersi) mengikuti Kahar Muzakkar. Dalam perkembangan selanjutnya, hubungan Bahar Mattalioe dengan Kahar Muzakkar retak karena perbedaan visi dan misi perjuangan. Keduanya bermusuhan dan berperang. Bahar Mattalioe terjepit dan apakah harus menyerah kepada Kahar Muzakkar. Hal tersebut berarti bahwa Bahar Mattalioe mati dan satu-satunya jalan untuk hidup kembali adalah ke pangkuan Ibu Pertiwi. Kata kunci: Bahar Mattalioe, Kahar Muzakkar, Sahabat dan Seteru
PENDAHULUAN Setelah proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia dihadapkan pada berbagai macam persoalan yang harus diselesaikan secepat mungkin. Masalah yang mengemuka adalah bagaimana menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai tuntutan kemerdekaan. Hal tersebut merupakan persoalan utama yang harus dipecahkan oleh para pemimpin bangsa Indonesia. Usaha untuk menciptakan tatanan bernegara yang ideal bagi seluruh wilayah Indonesia merupakan
pekerjaan yang akan menempuh waktu yang cukup lama. Apalagi pada awal kemerdekaan, di Sulawesi Selatan masih terdapat berbagai pergolakan yang mengganggu jalannya roda pemerintahan, terutama menyangkut masalah pejuang-pejuang yang belum terorganisir dengan resmi. Empat tahun setelah Indonesia merdeka, yakni pada tanggal 27 Desember 1949 diadakan upacara pengakuan kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah RIS. Atas pengakuan 153
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 153—167 itu, maka berakhirlah kekuasaan Belanda dan berdirilah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Pengakuan ini tidak dengan serta merta menyelesaikan berbagai persoalan, terutama tentang para gerilya yang selama ini berjuang melawan Belanda. Mereka menuntut untuk diterima dalam Tentara Nasional Indonesia, seperti tentara Koninklijke Netherlands Indische Leger (KNIL). Rasionalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia menghambat sebagian besar dari bekas gerilya untuk masuk ke dalam barisan Tentara Nasional Indonesia. Oleh karena itu, Kahar Muzakkar merasa kecewa dan memutuskan untuk bersama-sama para gerilyawan masuk hutan sebagai tanda menolak kebijakan pemerintah. Kahar Muzakkar dikemudian hari, melebur diri dalam satu kesatuan yang dikenal dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pemerintah kemudian melakukan berbagai cara untuk mengajak para gerilyawan itu untuk kembali ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab tidak mau mendengar himbauan pemerintah, sehingga operasi militer dilakukan, namun tidak serta merta membuahkan hasil. Pasukan yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar kemudian terpecah belah seiring dengan gagalnya usaha-usaha perlawanan yang dilakukan DI/TII di berbagai tempat. Para pemimpin gerakan DI/ TII terpecah. Salah seorang tokoh DI/TII yang terkenal sebagai sahabat setia, lalu kemudian berpisah dan berseberangan dengan Kahar Muzakkar adalah Bahar Mattalioe. Sebelum bergabung dengan DI/TII Bahar 0DWWDOLRHPHUXSDNDQ¿JXU\DQJPHQJDEGLNDQGLUL pada perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Bahar Mattalioe pada masa perang kemerdekaan, mengawali kariernya sebagai anggota Badan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) pimpinan Bung Tomo (1945-1946) di Jawa. Pada tahun 1946 sebagai Polisi Tentara dengan pangkat Kopral yang berkedudukan di daerah Malang, Jawa Timur. Tahun 1947 ia bergabung dengan Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) dengan pangkat Letnan Satu sebagai Komandan Kompi Dua Batalion Satu di bawah pimpinan Kahar Muzakkar. Bergabungnya Bahar Mattalioe dalam TRIPS merupakan awal pertemuannya 154
dengan Kahar Muzakkar dalam karier militer. Tahun 1949 Bahar Mattalioe bergabung dalam Batalion Worang dengan jabatan Komandan Kompi Dua. Jabatan tersebut di pegangnya sampai tahun 1950. Pada pertengahan tahun 1950, Bahar Mattalioe kembali ke Sulawesi Selatan dengan bergabung pada Komando Grup Seberang pimpinan Kahar Muzakkar. Kembalinya ke Sulawesi Selatan merupakan langkah yang membawanya ke jalan pemberontakan. Selama bergabung dalam DI/TII, ia pernah menjabat beberapa jabatan penting dalam organisasi tersebut, antaranya sebagai Komando Brigade III Lereng Tjinta DI/TII dan Komando Divisi 40.000 DI/TII. Bahar Mattalioe sebagai salah satu tokoh DI/TII yang cukup berpengaruh pada akhirnya berpisah dengan Kahar Muzakkar. Alasan perpisahannya dengan Kahar Muzakkar sebab terjadinya ketidakcocokan pendapat tentang visi dan misi dalam perjuangan. Perbedaan tersebut antara lain adalah masalah izin poligami yang diberikan kepada seluruh anggotanya untuk mengawini para janda suhada yang meninggal dalam perjuangan. Juga menyangkut pembentukan pasukan Momoc Ansarullah yang berada langsung di bawah kendali Kahar Muzakkar. Perbedaan itulah yang menyebabkan Bahar Mattalioe menyatakan keluar dari DI/TII, dan langkah itulah yang membawanya untuk kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Meskipun kajian ini telah dilakukan oleh beberapa sejarawan, namun kajian yang telah ada itu belum dilakukan secara komfrehensif mengenai kegiatan Bahar Mattalioe sebab masih ditempatkan dalam kerangka kajian yang bersifat umum. Itu terlihat dari kajiannya yang menempatkan sejarah DI/TII yang lebih menonjol dan Kahar Muzakkar sebagai pimpinannya, sementara Bahar Mattalioe hanya ditempatkan sebagai pelengkap dalam kajian yang telah ada tersebut. Kajian yang dimaksud adalah Harvey Barbara Sillars (1989), Anhar Gonggong (1992), 25 tahun Kodam XIV Hasanuddin (1982), AlChaidar (1999). Berdasarkan hal itulah, maka Perjuangan Bahar Mattalioe masih perlu dikaji lebih lanjut dan dibandingkan dengan sumbersumber arisp dan bahan-bahan lisan dari para
Bahar Mattalioe: Sahabat ... 5RVGLDQD+D¿G
pelaku sejarah. Kajian ini bertujuan untuk merekonstruksikan tentang peranan Bahar Mattalioe dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan keterlibatannya dalam pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan. Oleh sebab itu, maka hasil kajian tentang keterlibatan Bahar Mattalioe dalam mempertahankan kemerdekaan dan keterlibatannya dalam pemberontakan DI/TII akan menambah khasanah perbendaharaan sejarah lokal di Sulawesi Selatan. Dengan demikian, maka pokok persoalan kajian ini adalah; Persahabatan dan perseteruan antara Bahar Mattalioe dan Kahar Muzakkar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan serta keterlibatannya dalam pemberontakan DI/TII (1945-1959).
langsung dipergunakan sebab tidak ditemukan data bandingan. Data sekunder yang langsung dipergunakan adalah dari buku-buku dengan jalan hanya membandingkan dengan sumber lain, itupun jika ada. Setelah dilakukan interpretasi untuk memberikan makna kepada fakta sejarah, yang dilakukan secara cermat dan teliti agar sedapat mungkin terhindar dari subjektifitas dalam penulisan. Interpretasi dilakukan terhadap fakta atau data yang masih terpisah-pisah dan berdiri sendiri lalu dihubungkan antara satu dengan yang lainnya. Setelah itu, langkah terakhir membuat ODSRUDQSHQHOLWLDQDWDXKLVWRULRJUD¿EHUGDVDUNDQ urutan waktunya atau runtut berdasarkan waktunya.
METODE
PEMBAHASAN Setting Lokasi
Temporal kajian ini antara tahun 1945-1959 dengan lokasi Sulawesi Selatan. Penelitian ini adalah penelitian sejarah. Menurut Notosusanto (1971:17) bahwa penelitian sejarah seharusnya menggunakan metode sejarah yang meliputi empat tahapan langkah penelitian yaitu Heuristik, .ULWLN,QWHUSUHWDVLGDQ+LVWRULRJUD¿3HQHUDSDQ keempat langkah tersebut dalam kajian ini adalah: heuristik adalah tahap pencarian atau pengumpulan data, berupa data sekunder dari berbagai karya atau tulisan. Selain metode tersebut, kajian ini juga mempergunakan metode wawancara melalui tanya jawab dengan tokoh pejuang maupun tokoh masyarakat serta orang-orang yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang sosok Bahar Mattalioe. Selain wawancara, pengumpulan data juga ditempuh melalui penelaahan sumber sekunder, berupa buku, hasil penelitian, jurnal, dan makalah seminar. Data-data tersebut diperoleh dari beberapa lembaga yang ada di Sulawesi Selatan, seperti Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, Perpustakaan Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar. Serta Perpustakaan Kota Makassar yang terletak di Jalan Lamadukkelleng dan Sultan Hasanuddin, Makassar. Untuk tahapan kritik yang terdiri atas dua langkah yaitu intern dan ekstern, hanya dilakukan kritik secara intern saja. Itulah sebabnya sehingga ada sebagian data sekunder
Desa Citta, Kabupaten Soppeng secara JHRJUD¿VWHUOHWDNGLOHUHQJ*XQXQJCitta, yang terpencil dan cukup terisolir karena letaknya dibatasi oleh Sungai Welanae. Desa ini terletak di sebelah timur ibu kota Kabupaten Soppeng, yang berbatasan dengan Kabupaten Bone dan Wajo. Keterpencilannya ini menjadikan Desa Citta jauh dari kebisingan lalu lintas dan hiruk pikuk keramaian kota. Untuk mencapai wilayah ini dapat ditempu melalui dua jalur dari Kota Makassar yang berjarak kurang lebih 187 km. Jalur pertama dari Makassar lewat Maros terus ke Camba belok kiri hingga kota Soppeng dan jalur kedua adalah lewat Bulu Dua yaitu dari Makassar ke arah barat Kabupaten Barru, sampai Kampung PekkaE belok kanan dan terus hingga memasuki wilayah Kabupaten Soppeng. Alasan pemilihan lokasi tersebut adalah karena tokoh utama yang menjadi fokus kajian ini dilahirkan di daerah tersebut. Bukan hanya karena itu, tetapi wilayah ini menjadi basis pertahanan beliau semasa perjuangan. Wilayah ini dahulu merupakan salah satu kerajaan kecil sebagai bagian dari Kerajaan Soppeng. Tidak ditemukan data secara pasti kapan Kerajaan Citta mulai eksis di pentas sejarah Soppeng secara khusus dan Sulawesi Selatan secara umum. Eksistensi Kerajaan Citta dalam percaturan sejarah Sulawesi Selatan, memang tidak terlalu banyak disebutkan dalam sumber-sumber lokal, 155
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 153—167 baik sumber primer maupun sekunder. Nanti nama kerajaan ini mencuat ke permukaan sehingga banyak disebutkan ketika berbagai pemberitaanpemberitaan dalam beberapa sumber lokal terutama ketika Arung Palakka menjadi tawanan perang Kerajaan Gowa. Terlebih lagi ketika Arung Palakka kembali ke Makassar untuk melakukan pembalasan dendam terhadap Kerajaan Gowa. Penyebutan nama Citta dalam berbagai sumber lebih banyak dimulai pada masa pemerintahan datu Citta yang bernama La Pabila yang kawin dengan We Tasi Arung Rappang ke-10 dan Datu Suppa ke-11, yaitu orang tua dari Todani Arung Bakke dan datu Citta. Todani Arung Bakke atau datu Citta kemudian menjadi tokoh penomenal pada zamannya sebab dia adalah sahabat baik Arung Palakka dan sebagai Letnan kepercayaan Arung Palakka (Andaya, 2004:279). Ia juga terkenal sebagai saudara ipar Arung Palakka. Todani Arung Bakke dikawinkan oleh Arung Palakka dengan saudara perempuannya yang bernama We Kacimpurung. Namun perkawinan itu tidak membuahkan keturunan sehingga dikemudian hari ia bercerai dengan istrinya. Perkawinan itu menyebabkan Citta menjadi palili daripada Bone sebab Citta dan seluruh isinya dijadikan sebagai mahar atau sompa labu (Latif, 2012:114: baca juga; Lontarak Akkarungeng Sawitto:18). Citta seharusnya menjadi milik istri Todani Arung Bakke atau keluarga Arung Palakka. Sebab kalau disimak bahwa Citta dijadikan mahar atau sompa oleh Todani Arung Bakke ketika kawin dengan saudara perempuan Arung Palakka, dengan demikian seharusnya Citta itu menjadi milik istri Todani Arung Bakke bukan milik Arung Palakka apalagi Kerajaan Bone. Sampai sekarang bekas Kerajaan Citta masih dikenal di kalangan masyarakat setempat, bahkan tidak sulit bagi siapapun untuk mencari tahu latar belakang sejarah perjuangan Bahar Mattalioe. Wilayah ini berada di atas pegunungan yang berhawa sejuk. Nama bekas kerajaan ini tidak berubah dan tetap dipergunakan sebagai nama kampung atau desa yaitu Desa Citta, dan sebagai kecamatan yaitu Kecamatan Citta. Bahkan ketika penelitian ini dilakukan di daerah Citta, yang menjadi kepala desa adalah teman 156
seperjuangan beliau, bahkan sekretaris desa adalah sepupu satu kali beliau. Juga salah satu anggota pasukannya yang menjabat sebagai bagian intelijen pada masa perjuangan, diangkat menjadi ketua Rukun Warga (RW). Latar Kehidupan Di Desa Citta pada tanggal 29 Oktober 1924, atau 10 Dzulhijjah, lahir seorang anak yang oleh orang tuanya diberi nama Abu Huraerah yang dikemudian hari lebih dikenal dengan nama Bahar Mattalioe. Nama inilah yang akan dibahas dalam penulisan ini. Ia merupakan anak pertama dari empat bersaudara, pasangan La Mattalioe dengan Imarupappa (Mattalioe, 1994:2). Bahar Mattalioe berasal dari keluarga sangat sederhana. Orang tuanya dalam menghidupi keluarganya bekerja sebagai tukang kayu. Sebagai anak sulung, Bahar Mattalioe mendapat posisi panutan terhadap saudara-saudaranya. Kehidupan keluarga yang sangat sederhana ini kemudian membentuk kepribadian Bahar Mattalioe untuk berusaha meringankan beban keluarganya dikemudian hari. Itulah sebabnya sehingga keluarganya pindah ke daerah Pattojo dengan harapan pekerjaan orang tuanya akan lebih gampang mendapatkan pelanggan dibandingkan di Desa Citta. Pada usia tujuh tahun, yaitu pada tahun 1931, Bahar Mattalioe menempuh pendidikan formal di sekolah desa (volkschool) Pattojo selama tiga tahun. Di sekolah ini tidak tampak lagi perbedaan yang menyolok antara anak-anak bangsawan lainnya karena pakaiannya sama semua. meskipun jumlah dan kualitas pakaian mereka lebih baik dan banyak dibanding orang biasa. Bahar Mattalioe jadi puas karena bebas bergaul dengan anak-anak bangsawan dan anak-anak awam lainnya (Mattalioe, 1994:6). Setelah tamat di sekolah Volkschool, Bahar Mattalioe dihadapkan pada dua pilihan. Ibunya menginginkan agar ia melanjutkan studi di Watan Soppeng, yaitu ke sekolah lanjutan (vervolschool), sedangkan ayahnya menginginkan melanjutkan studi di Madrasah Annajahiyah di Desa Pattojo. Adapun keputusan akhirnya, Bahar Mattalioe memilih mengikuti kehendak ibunya untuk melanjutkan studi di Watang Soppeng. Di sekolah itu ia gagal sehingga kemudian
Bahar Mattalioe: Sahabat ... 5RVGLDQD+D¿G
pindah di sekolah Annajahiyah seperti keinginan ayahnya dulu. Setelah tamat, ia kemudian mencoba dagang kecil-kecilan dengan membuku toko kelontong dan mengambil barang dari Parepare dan Kota Soppeng. Dalam tahun 1940, ia melanjutkan sekolah di Normal Islam Majene, tetapi hanya tiga bulan lamanya lalu ia pindah ke Makassar dan masuk sekolah Madrasah Muallimin Muhammadiyah (Wawancara Mursalim, tgl. 12 Maret 2013 di Desa Citta). Selama menempuh studi di Makassar, ia banyak menerima informasi tentang perjuangan untuk merebut kemerdekaan. Di Makassar pula Bahar Mattalioe menyaksikan ekspoloitasi besar-besaran penduduk pribumi oleh penjajah. Bahkan Bahar Mattalioe juga menyaksikan bagaimana kekejaman Jepang dalam menerapkan kebijakan pemerintahannya. Bertemu dengan Kahar Muzakkar Kahar Muzakkar dengan Bahar Mattalioe sebenarnya tidak saling mengenal ketika keduanya masih berada di Sulawesi Selatan, nanti ketika keduanya berada di Solo. Ketika itu, Kahar Muzakkar sekolah di Muallim Muhammadyah Solo, dan kost di belakang tempat tinggal Bahar Mattalioe sehingga hampir setiap hari keduanya bertemu muka. Sebelum Kahar Muzakkar ke Solo, ia juga pernah sekolah di Palopo. Pertemuan antara keduanya kembali terjadi pada saat Bahar Mattalioe habis masa dinasnya sebagai Corps Polisi Militer di Sidoarjo, lalu ditarik ke markasnya di Malang, Jawa Timur. Ketika itu, datang seorang perwira TRIPS yang bernama Kapten Usman Massese mengantar sepucuk surat dari Komandan TRIPS, yaitu Kahar Muzakkar. Surat itu berisi suatu permintaan kepada Komandan CPM Kapten Bambang Soepeno agar membebaskan Bahar Mattalioe dan Toelada dari kesatuannya dan selanjutnya dipindahkan ke satuan TRIPS yang berkedudukan di Jogya. Ternyata Soepeno tidak keberatan atas permintaan Kahar itu sehingga Bahar Mattalioe dan Toelada meninggalkan Malang menuju ke Jogya untuk bergabung dengan TRIPS yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Kedatangan kedua orang yang sudah berpengalaman di bidang militer itu disambut dan diterima dengan baik. Dalam pertemuan itu, Kahar Muzakkar
menyampaikan bahwa “Sebab saudara berdua sudah berpengalaman, maka kami harapkan pengalaman itu dipindahkan atau ditransper kepada prajurit-prajurit kita yang dipersiapkan ke Sulawesi Selatan untuk mengadakan perlawanan kepada Westerling” (Mattalioe, 1994:88). Tahun 1947, pasca gagalnya Perundingan Linggarjati, Belanda kembali berusaha untuk menguasai Indonesia. Pada saat itu, Kahar Muzakkar membentuk lagi Barisan Berani Mati disingkat BBM. Salah seorang personilnya tentu Bahar Mattalioe yang selama bergabung dengan TRIPS mendapat kepercayaan penuh sebab memiliki keahlian di bidang militer. Peran Bahar Mattalioe dalam wadah tersebut, sering mengalami kontak senjata dengan Belanda. Salah satu pertempuran hebat yang dilakukan pasukan BBM itu adalah yang terjadi di Singosari yang terjadi sehari penuh pada tanggal 20 Juli 1947. Pada sore harinya, pasukan BBM mundur ke Kota Malang, sedang pihak Belanda juga mundur hingga batas Kota Blimbing yang jaraknya kurang lebih 9 km. dari Kota Malang (Mattalioe,1994:92). Dua hari setelah pertempuran di atas, atau tanggal 22 Juli 1947 BBM kemudian dibubarkan. Memasuki tahun 1948, Bahar Mattalioe diangkat menjadi Komandan Kompi II Batalyon I Resimen Hasanuddin yang berkedudukan di Kepanjen, Jawa Timur. Oleh sebab itu, karena kondisi keamanan yang kurang menguntungkan karena terjadinya peristiwa Madium yang mengakibatkan segala aktivitas di kota itu lumpuh total. Kondisi itu dipergunakan oleh Bahar Mattalioe kembali ke Jogyakarta untuk bertemu dengan Kahar Muzakkar, tujuannya adalah untuk meminta izin melanjutkan pendidikan di Sumatera Barat. Dalam kaitan itu, maka Bahar Mattalioe ke Surabaya untuk mengurus surat-surat yang dibutuhkan nanti dalam perjalanan. Iapun mengurus karta tanda penduduk (KTP) dengan memakai nama Bahar Mattalioe, bukan Abu Huraera nama aslinya. Perubahan nama itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa Sumatera Barat adalah wilayah pendudukan sehingga dengan memakai nama Abu Huraera akan menyulitkan nanti sehingga harus diubah (Wawancara Muh.Radjey A.Capa tgl.25 Maret 2013; bandingkan dengan: Mattalioe, 1994:108). Sejak saat itulah nama Abu Huraera diganti 157
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 153—167 menjadi Muhammad Bahar Mattalioe, dan nama itu pula yang lebih dikenal di Sulawesi Selatan. Selain alasan keraguan tersebut, kemungkinan paling besar adalah nama Abu Huraera sudah dikenal sebagai pemuda pejuang yang pro republik dan tidak mau bekerjasama dengan Belanda ketika itu. Dengan demikian, untuk menghindari rintangan dan penangkapan dari pihak Belanda, maka nama itu harus diganti. Bagi Belanda sendiri bahwa kesatuan-kesatuan yang ditempati bertugas oleh Bahar Mattalioe adalah momok yang sangat menakutkan. Apalagi kesatuan Batalyon Keselamatan Rakyat (BKI) yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar yang di dalamnya juga ada Bahar Mattalioe sebagai salah satu unsur pimpinan. Batalyon ini kebanyakan anggota-anggotanya adalah bekas tahanan politik dan narapidana Nusakambangan. Kegiatannya Setelah Kembali ke Sulawesi Selatan KGSS yang lahir di Sulawesi Selatan atas prakarsa Saleh Syahban, sebenarnya tidak perlu dilakukan oleh beliau sebab ia dikirim atas nama Komanda Group Seberang (KGS) pimpinan Letkol Kahar Muzakkar. Seharusnya ketika ia tiba di Sulawesi Selatan dan berhasil menemui para pimpinan pemuda pejuang, cukup ia menjadi koordinator KGS saja. Saleh Syahban berangkat ke Sulawesi Selatan pada bulan Februari 1949 dengan tujuan mengumpulkan semua gerilyawan untuk dihimpun dalam satu wadah yang kemudian dikenal dengan nama Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). KGSS ini kemudian dipimpin sendiri oleh Saleh Syahban (Al-Chaidar, 1999:137). Sementara Bahar Mattalioe berangkat ke Sulawesi Selatan menyusul kemudian, tujuan diberangkatkannya adalah juga untuk mengumpulkan para gerirya yang masih berada di dalam hutan. Ketika Bahar Mattaluioe tiba di daerah ini, terlebih dahulu menemui Saleh Syahban yang ketika itu sudah berhasil menghubungi pemimpin-pemimpin gerilya dan menghimpunnya dalam wadah KGSS, dan ia sendiri sebagai koordinator wadah tersebut. Bahar Mattalioe selanjutnya bergabung dalam wadah itu, dan selanjutnya menghubungi para gerilyawan, 158
terutama yang ada di daerah Soppeng untuk dipersatukan yang dilanjutkan dengan melatih anggota gerilyawan tersebut, sebab umumnya mereka buta tentang kemiliteran (Wawancara Muhammad Idris Hakim pada tgl. 25 Maret 2013). Setelah ekspedisi TRIPS dari Pulau Jawa, gerakan KGSS sudah semakin meluas dan keberhasilan sebagian dari pendaratan itu banyak mendapat bantuan dari KGGS yang dipimpin oleh Saleh Syahban. Dalam perkembangannya kemudian, Bahar Mattalioe diberikan amanah untuk memimpin KGSS di daerah asalnya, Soppeng. Dengan demikian, berarti bahwa Bahar Mattalioe sebagai pimpinan KGSS Soppeng, juga sebagai bawahan dari Kahar Muzakkar. Kegiatannya sebagai pimpinan KGSS Soppeng adalah melakukan pembersihan dengan cara menangkap dan melucuti senjata para polisi, raja dan bangsawan yang prokolonial dan anti kemerdekaan. Dalam menjalankan tugas tersebut, Bahar Mattalioe menugaskan kepada wakilnya yang bernama Syamsuddin Laima untuk menangkap dan memenjarakan raja-raja pro kolonial di seluruh daerah Soppeng serta melucuti polisi-polisinya (Mattalioe, 1994:1350). Pada perkembangan selanjutnya, KGSS yang dipimpin oleh Saleh Syahban mengalami kemajuan yang begitu pesat dalam artian anggotaanggotanya bertambah begitu cepat. Persoalan itu menimbulkan masalah dikemudian hari, terutama ketika ingin diintegrasikan ke dalam tubuh TNI. Itu pula sebabnya sehingga mendapat perhatian serius dari pimpinan APRI yang ada di Jakarta. Masalah itu muncul sebab tidak ketemunya keinginan para gerilyawan dengan keinginan TNI ketika itu.TNI berdasarkan aturan dari pusat menginginkan bahwa anggota gerilyawan yang ingin direkrut ke dalam TNI harus diseleksi melalui persyaratan perorangan yang ketat dan tidak secara keseluruhan anggota KGSS. Artinya bahwa persyaratan yang diajukan oleh TNI mustahil akan dipenuhi oleh anggota gerilyawan sebab sebagian besar dari mereka tidak memiliki pendidikan atau buta huruf. Untuk mencari jalan pemecahan tentang masalah yang dihadapi oleh gerilyawan di Sulawesi Selatan dan TNI, maka Kahar Muzakkar
Bahar Mattalioe: Sahabat ... 5RVGLDQD+D¿G
meminta kepada pimpinan APRI (S) di Jakarta agar diizinkan berangkat ke Sulawesi Selatan untuk menyelesaikan persoalan tersebut (Gonggong, 1992:95). Ketika itu Kahar Muzakkar sebagai pengambil inisiatif reorganisasi dan pembentukan KGSS di Sulawesi Selatan, sehingga dengan kedudukan yang dimiliki itu memungkinkan ia akan dapat menyelesaikan masalah tersebut. Selanjutnya disebutkan bahwa atas permintaan tersebut, atas nama pimpinan TNI di Jakarta mengizinkan Kahar Muzakkar yang ditemani oleh Letkol Mursito berangkat ke Sulawesi Selatan pada tanggal 22 Juni 1950 (Harvey, 1989:174). Setelah tiba di Sulawesi Selatan, beliau lalu mengadakan perjalanan keliling daerah KGSS untuk meminta tanggapan tentang langkah apa yang akan diambil selanjutnya, namun anggotaanggota KGSS tetap pada pendiriannya yang semula. Perjalanan keliling yang dilakukan oleh Kahar Muzakkar ke daerah-daerah KGSS, kemudian dilaporkan kepada Panglima TT VII/Wirabuana, yaitu Kolonel Kawilarang dalam sebuah rapat. Akan tetapi laporan yang diberikan oleh Kahar Muzakkar tidak ditanggapi secara positif oleh Kawilarang. Di dalam rapat yang diadakan pada tanggal 1 Juli 1950, Panglima Kawilarang mengeluarkan suatu dekrit yang dikenal dengan nama dekrit Kawilarang yang isinya menyebutkan bahwa KGSS dan organisasi gerilya di luar APRIS dianggap telah bubar dan segala usaha untuk melanjutkan dan menghidupkan organisasi tersebut, termasuk larangan untuk menjadi tentara (Djarwadi, dkk. 1972:65). Hal-hal yang disampaikan oleh Kahar Muzakkar dalam laporannya yang ditolak oleh Kawilarang adalah mengajukan permohonan agar mereka (anggota KGSS) dijadikan Brigade atau Resimen Hasanuddin dari TNI, dan ia sendiri sebagai komandannya. Hal inilah yang menyebabkan Kahar dan pengikutnya akhirnya memutuskan hubungannya dengan TNI dan menanggalkan tanda-tanda pangkatnya dan melemparkannya di atas meja di depan Kawilarang, setelah itu beliau berkata ”Ini tidak ada gunanya”. Reaksi sangat keras itu diperlihatkan Kahar Muzakkar sebagai tanda kekecewaannya terhadap
TNI, terutama Panglima TT VII/Wirabuana, yaitu Kawilarang (Mattalioe,1994:141). Akibat ditolaknya permohonan Kahar Muzakkar untuk membentuk satu Devisi atau resimen Hasanuddin di Sulawesi Selatan yang anggota-anggotanya berasal KGSS, akhirnya ia memutuskan lari masuk hutan untuk melakukan perang gerilya melawan TNI yang juga diikuti oleh sebagian besar para pengikutnya. Keputusan itu ternyata sangat besar pengaruhnya terhadap para gerilyawan di Sulawesi Selatan. Ketika itu, Bahar Mattalioe yang juga sebagai bawahan dari Kahar Muzakkar memperlihatkan loyalitasnya atau kesetiaannya kepada pimpinan sehingga iapun bersama seluruh anggota KGSS yang dipimpinnya mengikuti jejak pemimpinnya lari masuk hutan. Sejak saat itulah Bahar Mattalioe tidak mau lagi kembali ke dalam ke TNI, sebaliknya ia menyusun kekuatan untuk mengadakan perlawanan terhadap TNI dan pemerintah Republik Indoensia (Wawancara dengan Mursalim tgl. 27 Maret 2013). Bergabung dengan DI/TII Anggota KGSS dengan TNI telah ada persetujuan sementara tentang akan dilakukannya peleburan ke dalam tubuh TNI tanpa melalui suatu seleksi yang ketat terhadap mereka. Itulah sebabnya sehingga sebagian besar dari mereka telah berkumpul pada suatu tempat atau rayon untuk menunggu perintah dari atasan mereka masing-masing bagaimana langkah selanjutnya. Namun pasca pertemuan antara Kolonel Kawilarang dengan Letkol Kahar Muzakkar, keadaan berbalik seratus derajat sebab permohonan Kahar Muzakkar ditolak. Itulah sebabnya sehingga Letkol Kahar Muzakkar memutuskan hubungannya dengan TNI dan memilih ikut bersama anak buahnya melakukan perang gerilya. Rupanya dari persoalan itulah ditarik garis pemisah yang jelas, kedudukan hukum pasukanpasukan gerilya dalam hubungannya dengan tindakan polisionil Angkatan Darat. Sebaliknya juga, dengan pernyataan ini Kahar Muzakkar dapat secara langsung memberikan pimpinan pada pasukan gerilya. Dan memang benar, sejak saat itu KGSS dengan seluruh pasukannya menarik diri 159
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 153—167 kembali ke hutan-hutan dengan membawa lari Kahar Muzakkar. Tindakan ini dianggap sebagai protes atas dikeluarkannya Dekrit Kawilarang. Isi dekrit inilah dikemudian hari menjadi penyebab retaknya hubungan antara kedua pihak. Akhirnya KGSS pimpinan Kahar Muzakkar masuk hutan bersama anak buahnya, termasuk Bahar Mattalioe. Hal itu dilakukan sebagai reaksi atas penolakan terhadap permintaan mereka akhirnya sampai dan menjelma menjadi gerakan Darul Islam /Tentara Islam Indonesia yang disingkat DI/TII. Kekuatan inti dari DI/ TII di Sulawesi Selatan adalah gerilyawan yang tergabung dalam KGSS. Pendukungnya terdiri atas dua golongan yaitu pendukung pasif dan pendukung aktif yaitu mereka yang mempunyai kedudukan serta peranan tertentu dalam menjalankan roda organisasi gerakan DI/ TII. Dengan demikian Bahar Mattalioe termasuk pendukung aktif. Sedang pendukung tidak aktif adalah mereka yang memberikan dukungan secara tidak langsung dan tidak menentang keberadaan gerakan itu. Bergabungnya Bahar Mattalioe dalam gerakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar memperlihatkan keteguhan sikap dan sifat menjunjung tinggi nilai setia kawan. Sikap itulah yang kemudian mendasarinya sehingga ia bersedia meninggalkan TNI lalu bergabung dengan Kahar Muzakkar dalam gerakan DI/TII. Setelah bergabung dalam gerakan tersebut, maka Bahar Mattalioe dengan sekuat tenaga mendukung Kahar Muzakkar dalam memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII). Ia melakukan hal itu sebab ia yakin bahwa hanya dengan ideologi Islam sajalah dia baru mungkin dapat menguasai massa Sulawesi Selatan (Arsip Koleksi Saleh Lahade 1937-1973, No.Reg.480). Keikutsertaan Bahar Mattalioe dalam gerakan DI/TII sangat mempengaruhi situasi keamanan di Sulawesi Selatan. Pengaruh Bahar Mattalioe sebagai pasukan DI/TII sangat besar, karena Bahar Mattalioe memegang jabatan penting dalam gerakan tersebut. Di sisi lain, Bahar Mattalioe merupakan anggota eks TRIPS yang mempunyai keahlian dan pengalaman lebih, dibanding dengan pasukan DI/TII lainnya. Pada umumnya tingkat pendidikan rendah dan 160
taraf pengetahuan militernya masih rendah bila dibanding dengan Bahar Mattalioe. Keberhasilan Bahar Mattalioe dalam mengorganisasikan pasukan bersenjata juga didukung oleh para pasukan yang merupakan bekas anak buahnya ketika masih aktif di KGSS. Kedudukan itu kemudian menjadikan Bahar Mattalioe menduduki jabatan sebagai komandan Brigade III Lereng Tjinta di daerah selatan. Selama menjabat sebagai komandan Brigade III Lereng Tjinta (1952-1956), Bahar Mattalioe semakin gencar dalam menghimpun kekuatan dan melakukan berbagai aktivitas yang mengganggu keamanan baik di pedalaman maupun di kota. Daerah Operasi Brigade III Lereng Tjinta meliputi “Kota Makassar, Soppeng, Maros plus Pangkajene, Goa, dan Jeneponto serta Bulukumba” (Arsip Koleksi Saleh Lahade, No. Reg. 191, berkas mengenai kegiatan gerombolan DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan Tenggara 1953-1957). Hal tersebut mengindikasikan bahwa wilayah operasi Brigade III Lereng Tjinta meliputi daerah selatan. Tahun 1957-1959 Bahar Mattalioe menjabat sebagai Komandan Divisi 40.000. Pengangkatan Bahar Mattalioe sebagai Komandan Divisi 40.000 terkait dengan pemekaran fungsi ketentaraan DI/TII. Berdasarkan hal tersebut, maka Kahar Muzakkar merencanakan membentuk empat divisi yang akan bertugas di Indonesia Bagian Timur. Divisi-Divisi yang akan dibentuk adalah; “Divisi I Hasanuddin dengan daerah Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara; Divisi 40.000 dengan daerah tugas Sulawesi Selatan; Divisi III dengan daerah tugas Nusa Tenggara; Divisi IV dengan daerah tugas Maluku dan Irian Barat” (Wawancara Muh.Radjey A.Capa tgl.25 Maret 2013). Tahun 1957 Kahar Muzakkar mengundang seluruh bawahannya untuk berkumpul di Rante Balla, yang terletak di kaki Gunung Latimojong. Pada pertemuan itu Kahar Muzakkar melantik panglima-panglima divisi, antaranya adalah “Syamsul Bahri Fatta sebagai Panglima Divisi I/ KW I Hasanuddin, M. Bahar Mattalioe sebagai Panglima Divisi/KW II 40.000, sedangkan untuk Divisi III dan IV masih dalam persiapan”. Pengangkatan Bahar Mattalioe sebagai Panglima
Bahar Mattalioe: Sahabat ... 5RVGLDQD+D¿G
Divisi, sehingga seluruh daerah Sulawesi Selatan menjadi wilayah kekuasaanya. Sedangkan kedudukan Kahar Muzakkar ketika itu adalah Panglima Besar Angkatan Perang RII, di bawah Panglima Tertinggi Angkatan Perang RII Kartosuwirjo. Bertempur dengan Tentara Nasional Indonesia Setelah Bahar Mattalioe membelot dari TNI, maka kini ia dan pasukannya adalah menjadi musuh TNI yang harus saling berhadapan kelak. Iapun menjadi buruan Tentara Nasional Indonesia. Pasca membelotnya Bahar Mattalioe bersama Kahar Muzakkar, maka pemerintah mengeluarkan perintah untuk melakukan pengejaran terhadap beliau bersama pasukannya. Akibatnya terjadi pertempuran antara kedua pihak. Pertempuranpertempuran yang dilakukan melawan TNI, umumnya dilakukan di Sulawesi Selatan sebagai basis wilayah dari gerakan beliau. Pertempuran yang dilakukan tidak secara terus menerus, tetapi dilakukan secara berpindah-pindah secara sporadis maupun secara terencana. Pada umumnya pertempuran dilakukan dengan cara melakukan penghadangan-penghadangan terhadap TNI di daerah hutan-hutan yang dikuasai oleh pasukan DI/TII. Salah satu pertempuran yang cukup besar dilakukan di daerah Camba yang dipimpin oleh Oddang Malaka, namun beliau gugur dalam pertempuran tersebut. Pertempuran di daerah Camba terjadi pada tanggal 1 November 1953 dan berlangsung sehari penuh dari jam 5 pagi hingga jam 8 malam. Pasukan Bahar Mattalioe terdiri atas 250 orang yang dipersenjatai dan di antaranya 8 brem, serta kira-kira 300 orang tidak bersenjata. Serangan mereka lakukan dari lima jurusan dan setelah melakukan penyerangan lalu mundur ke daerah Patanjamang dan daerah Balocci atau Lanne yang diduga bahwa pusat komando ada di daerah tersebut. Pada pertempuran itu, jatuh korban pada kedua pihak yang cukup besar. Diperkirakan ada 40 orang korban dari kedua pihak, belum termasuk yang ada di jalanan Patanjamang dan hutan-hutan (Arsip Pemerintah Sulawesi Selatan 1953-1959 No.Reg. 331). Gugurnya Oddang Malaka dalam pertempuran tersebut, sangat mempengaruhi
kondisi Brigade III Lereng cinta pimpinan bahar Mattalioe. Oleh sebab itu, beliau akhirnya diganti posisinya oleh Kadir Yasin sebagai Komandan Batalyon II. Sementara itu, pos komando yang berada di di Lanne akhirnya dipindahkan ke daerah Mallawa, Maros. Perpindahan ini dilakukan sebab di Lanne terjadi musim kemarau sehingga terjadi gagal panen, sebaliknya di daerah Mallawa panen berhasil dengan sangat baik. Selain itu karena daerah ini dianggap sangat strategis sebab berdekatan dengan beberapa wilayah seperti Bone, Soppeng dan Polombangkeng, Takalar. Di daerah ini, ada masalah yang sering dialami oleh karena adanya gangguan dari pengacau yang mengatasnamakan DI/TII pimpinan Bahar Mattalioe. Oleh sebab itu tidak dapat dibiarkan dan menugaskan kepada Komandan Batalyon Ali Damang untuk menumpasnya (Mattalioe, 1994:193-194). Kelompok pengacau itu akhirnya dapat ditumpas dan pimpinannya yang bernama Nurdin Pisot lalu bergabung dengan DI/TII pimpinan Bahar Mattalioe. Keberhasilan yang dicapai pasukannya mengakibatkan pusat perjuangannya menjadi tidak aman sebab dengan mudahnya dapat dijangkau oleh pasukan TNI. Itulah sebabnya sehingga pada tahun 1955, ia pindahkan ke daerah Gattareng Matinggi, Maros yang jaraknya cukup jauh dari ibukota Maros. Pada tahun itu pula ingin diselenggarakan suatu pertemuan oleh DI/TII di daerah Wanua Waru, namun tidak terlaksana sebab telah diketahui oleh pasukan TNI dan dihancurkannya dengan dua Brigade pasukan. Daerah ini meskipun telah dipertahankan mati-matian oleh Bahar Mattalioe dan Kahar Muzakkar dalam suatu pertempuran dahsyat, tetapi akhirnya jatuh juga ke tangan TNI dan dapat dikuasai sepenuhnya (Wawancara Muhammad Idris Hakim, Tgl. 29 Maret 2013). Setelah pertempuran di Wanua Waru, Bahar Mattalioe memindahkan lagi markas ke daerah Lapakka (masih wilayah Maros).Dan pada akhir tahun 1955, DI/TII melaksanakan suatu pertemuan yang dinamakan Pertemuan Urgensi Pejuang Islam Revolusioner (PUPIR) yang melahirkan Piagam Makalua. Isinya 161
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 153—167 adalah pemisahan secara tegas antara wilayah TNI dan wilayah DI/TII sejauh 5 kilometer dari kota-kota dan jalan raya. Pasca pertemuan inilah (1956) yang merupakan puncak pengrusakan di wilayah Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh tentara DI. Dalam bulan Januari 1956, diputuskan bahwa politik bumi hangus adalah merupakan satu-satunya jalan untuk menang dan mulai 5 kilometer (Harvey, 1989:210). Pasca dilaksanakannya pertemuan PUPIR, dan untuk melaksanakan amanah dan isi dari pertemuan tersebut, maka Bahar Mattalioe memindahkan lagi markasnya dari Lapakka ke Gunung Ponre, Kabupaten Bone. Di daerah ini Bahar Mattalioe kembali menyusun kekuatan dan strategi untuk melawan pasukan TNI yang kemungkinan besar akan terjadi perang yang lebih besar. Benar saja bahwa pasca pertemuan tersebut terjadi pertempuran antara pasukan Bahar Mattalioe dan pasukan TNI. Pertempuran itu terjadi di daerah Takkalalla, Soppeng dan pasukan Bahar Matalioe dengan gemilang dapat menghancurkan pertahanan pasukan TNI serta berhasil merampas senjata berat (watermantel) setelah terlebih dahulu membunuh penembaknya (Wawancara Muhammad Radjey A.Capa, Tgl. 25 Maret 2013). Keberhasilan-keberhasilan yang dicapai itu menunjukkan suatu kerjasama yang baik antara Bahar Mattalioe dengan Kahar Muzakkar, terutama antara tahun 1950-1956. Tetapi memasuki tahun 1957-1959, persahabatan itu akhirnya retak karena persoalan visi dan misi dalam perjuangan berikutnya. Berseteru dengan Kahar Muzakkar Awal hubungan antara Kahar Muzakkar dengan Bahar Mattalioe, berjalan seperti apa adanya antara bawahan dan atasan, hal ini terutama terjadi antara tahun 1950-1956. Namun pada tahun-tahun berikutnya, hubungan antara keduanya mulai terlihat retak, terutama ketika gerakan TI/TII mulai memantapkan misi dan visi serta tujuan yang ingin dicapai dari gerakan yang mereka lakukan. Mereka beranggapan bahwa gerakan yang dilakukan oleh pasukan DI/ TII haruslah mempunyai tujuan dan sasaran yang tepat serta harus mendapat dukungan penuh dari masyarakat.Selain itu, gerakan perjuangan DI/TII 162
harus dapat memberikan jaminan kesejahteraan dan keamanan bagi masyarakat. Sejak Bahar Mattalioe menyatakan diri keluar dari TNI dan bergabung dengan gerakan Kahar Muzakkar lalu lari masuk hutan, maka pemerintah mengeluarkan instruksi untuk mengatasi masalah tersebut. Angkatan Perang kemudian aktif melakukan operasi-operasi untuk melemahkan posisi-posisi gerombolangerombolan DI/TII Kahar Mauzakkar. Terlebih lagi ketika dikeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 yang mengharuskan negara kembali ke Undang Undang Dasar 1945. Dekrit itu muncul akibat kegagalan menyusun Undang-Undang Dasar yang baru. Saat itu sangat menggoyang sendi-sendi keyakinan pada sementara pimpinan DI/TII yang ada di Sulawesi Selatan (Jarah Dam XIV/Hasanuddin, 1982:293). Lahirnya dekrit tersebut memberikan indikasi bahwa tujuan dan cita-cita dari gerakan DI/ TII tidak mungkin akan tercapai. Oleh sebab itulah sehingga pimpinan DI/TII menyelenggarakan suatu konperensi puncak yang dihadiri oleh tokoh-tokoh penting dari DI/TII, termasuk Bahar Mattalioe. Tujuan pertemuan itu adalah untuk mencapai konsensus dalam kesatuan sikap dalam menghadapi Dekrit Presiden tersebut. Tetapi apa yang diharapkan dari pertemuan tersebut, justru berbalik sebab bukannya kesatuan sikap yang dicapai tetapi malah pertentangan sebab adanya perbedaan pandangan yang sulit untuk dipertemukan. Pertentangan yang mengarah ke arah benturan kekuatan yang dimiliki masing-masing pihak pasti tidak dapat dielakkan kedua pihak. Hal ini disebabkan oleh berbagai aspek masalah yang tidak dapat dipertemukan ujungnya. Pertentangan awal yang memicu kedua belah mempertahankan keyakinannya adalah masalah dari isi pertemuan PUPIR yang termuat dalam Piagam Makalua (Hamid, 2009:96). Kenapa mesti kedua sahabat itu silang pendapat? Sebabnya adalah karena isi Piagam Makalua, terutama Pasal 41 yang intinya menghendaki bahwa setiap pengikut gerakan DI/TII diharuskan mempertanggungkan 2 orang janda syuhada dan 3 orang anak yatim. Dan diharuskan mencarikan jodoh setiap orang janda syuhada tersebut. Kepada mereka yang menolak
Bahar Mattalioe: Sahabat ... 5RVGLDQD+D¿G
untuk dipertanggungkan, maka kepadanya dapat dipaksa atau dimasukkan ke dalam camp interniran. Kalau dicermati isi piagam tersebut, maka nampaknya masalah poligami kemungkinan dapat dilakukan bagi setiap anggota DI/TII. Hal ini terbukti dikemudian hari di mana anggotaanggota DI/TII berlomba-lomba melakukan kawin poligami dengan janda-janda syuhada maupun dengan para gadis. Banjir hawa nafsu ini deras sekali sebab Kahar Muzakkar mempelopori “mode” itu. Ketika itu, selain Cori van Stenus sebagai istri Kahar Muzakkar, ia juga kawin dengan seorang janda bernama Sitti Haliah, sesudah itu ia mengawini lagi seorang janda usahawan yang bernama Sitti Hamie. Kemudian kawin lagi dengan seorang gadis belasan tahun yang terhitung masih famili dekatnya. Alasanalasan perkawinan poligami tersebut, adalah untuk melaksanakan amanah dari pasal 41 Piagam Makalua itu (Mattalioe,1994:236). Sebaliknya, kebijakan poligami itu oleh Bahar Mattalioe dianggap suatu kesalahan yang seharusnya tidak dilakukan meskipun dalam suasana perang pada masa itu. Beliau tidak setuju atas kebijakan itu sebab sangat rawan disalahgunakan oleh sebagian anggota DI/TII dengan berlindung dibalik isi Piagam Makalua Pasal 41 tersebut. Bahar Mattalioe menganggap bahwa kebijakan poligami disebutnya sebagai “tindakan keiblisan dan kenafsuan” (Gonggong, 1992:187). Sikap Bahar Mattalioe yang menentang kebijakan yang dikeluarkan oleh Kahar Muzakkar itu, ditanggapi serius oleh Kahar Muzakkar dan menganggap Bahar Mattalioe sebagai penghianat organisasi sehingga harus diperangi. Dengan penentangan yang dilakukan itu, maka Bahar Mattalioe akhirnya berseberangan dengan Kahar Muzakkar karena masalah keyakinan (Wawancara Mappiare, Tanggal 24 Maret 2013). Silang pendapat antara keduanya tetap berlanjut. Menurut penuturan salah seorang mantan anggotanya menyatakan bahwa ”Bahar Mattalioe mengkritik Kahar Muzakkar tentang sikapnya yang tidak mau menerima tamu. Kritikan itu didasarkan pada Sabda Nabi yang berbunyi”. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia memuliahkan
tamunya. Barang siapa beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian, maka hendaklah ia menjalin tali silaturrahim”. Berdasarkan hadist itulah lalu muncul kritikan terhadap beliau. Masa seorang pemimpin sentral tidak mau menerima tamu. Selain bertentangan dengan hadis tersebut, juga sangat bertentangan dengan semangat organisasi yang memakai slogam Islam dalam perjuangan (Wawancara Mursalim, tgl.24 Maret 2013). Perseteruan antara kedua tokoh berpengaruh itu belum menemui titik temu, kemudian muncul lagi persoalan baru yaitu menyangkut pembentukan pasukan khusus yang diberi nama Momoc Ansarullah. Pasukan Momoc ini rencananya dibentuk untuk menjadi pengawal khusus Kahar Muzakkar yang anggota-anggotanya ditarik dari pasukan TII. Oleh sebab itu, Bahar Mattalioe keberatan atas rencana itu sebab menurutnya bukan sekedar membentuk pasukan khusus, tetapi tujuannya adalah untuk merasionalisasi atau membubarkan pasukan DI/TII yang ada selama ini. Bahar Mattalioe menentang rencana itu dan tidak bersedia meleburkan pasukannya ke dalam pasukan Momoc Ansarullah itu.Sikap Bahar Mattalioe itu dianggap oleh Kahar Muzakkar sebagai sikap menghalang-halangi rencana pembentukan Momoc Ansarullah. Membaca pernyataan tersebut menandakan bahwa jurang perseteruan antara kedua tokoh tersebut semakin terjal dan sulit untuk dipertemukan. Meskipun Bahar Mattalioe keberatan atas pembentukan pasukan khusus tersebut, namun kenyataannya tetap diwujudkan oleh Kahar Muzakkar. Bahkan pasukan Momoc Ansarullah ini pada periode 1957-1959 merupakan pasukan kebanggaan Kahar Muzakkar yang sangat ditakuti dan disegani oleh lawan-lawannya. Persenjataan yang dimiliki juga cukup kuat, bahkan ada jenis senjata tertentu yang dimiliki, belum dimiliki oleh TNI. Persenjataan yang dimiliki pasukan elit ini ditarik dari beberapa pasukan-pasukan teritorial dan semua senjata berat serta lima persen dari semua senjata ringan dari untuk melengkapi persenjataan pasukan elit ini (Harvey, 1989:311312). Komando tertinggi dalam pasukan elit tersebut berada langsung di bawah kendali Kahar Muzakkar. 163
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 153—167 Keberhasilan Kahar Muzakkar mewujudkan pasukan elit Momoc Ansarullah itu, diimbangi oleh Bahar Mattalioe dengan melakukan konsolidasi dengan beberapa komandan batalyon. Hal ini dilakukan oleh beliau mengingat Kahar Muzakkar telah mulai menyingkirkan beberapa orang komandan batalyon dengan dalih tugas belajar ke luar negeri. Misalnya Syamsul Bahri Fatta diberi tugas belajar keluar negeri dan seluruh pasukan dan senjata anak buahnya dialihkan ke dalam pasukan Momoc Ansarullah. Selanjutnya, Kahar Muzakkar juga melakukan penyusupan ke dalam pasukan yang dipimpin oleh Bahar Mattalioe dan ini disadari sepenuhnya oleh beliau, sehingga Bahar Mattalioe juga bersikap atas tindakan itu. Sikap Bahar Mattalioe menghadapi tindakan Kahar Muzakkar adalah dengan kontak seluruh komandan pasukan di bawah naungan DI/TII. Mereka membicarakan tentang kejadian-kejadian yang terjadi sebagai ulah Kahar Muzakkar. Bahkan beliau menghubungi seluruh perwira dalam jajaran Resimen II untuk mengadakan suatu rapat untuk menghadapi tindakan Kahar Muzakkar. Hasil pertemuan tersebut merekomendasikan kepada Bahar Mattalioe untuk mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menghadapi kebijakan Kahar Muzakkar yang dianggap bertentangan dengan garis Dharma Bhakti. Akibatnya, keretakan antara keduanya semakin meruncing sebab banyaknya masalah-masalah yang terjadi di antara mereka yang sulit untuk dipertemukan ujungnya. Sebaliknya Kahar Muzakkar menyelidiki tentang penolakan-penolakan yang dilakukan oleh Bahar Mattalioe sehubungan dengan setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Kahar Muzakkar selalu ditolak oleh Bahar Mattalioe. Kahar Muzakkar beranggapan bahwa bahar Mattalioe ingin melakukan pemberontakan terhadap kekuasaannya, oleh sebab itu ia memberikan pilihan kepada Bahar Mattalioe. Pilihan itu meliputi; ia ditawarkan untuk tugas belajar keluar negeri ataukah ia bersedia untuk menggantikan dirinya sebagai Menteri Muda Pertahanan Republik Islam Indonesia (RII). Tawaran itu sebenarnya adalah untuk meredam aksi penolakan Bahar Mattalioe atas semua kebijakan yang dikeluarkan oleh Kahar Muzakkar (wawancara 164
Muhammad Idris Hakim, tgl.29 Maret 2013). Selain perseteruan-perseteruan tersebut di atas, paling diperuncing adanya kehadiran Pasukan Permesta dari Resimen Team Pertempuran (RTP) - Anoa yang dipimpin oleh Gerungan. Kelompok Permesta ini adalah kelompok yang menyatakan diri berseberangan dengan pemerintah sebagai akibat dari pelaksanaan pembangunan berotonomi di daerah. Kelompok RTP – Anoa ini kemudian bergabung dengan DI/TII yang dipimpin Kahar Muzakkar. Bergabungnya kelompok RTP- Anoa ini ditentang oleh Bahar Mattalioe dengan alasan bahwa kelompok ini bertentangan dengan garis perjuangan DI di Sulawesi Selatan. Kahar Muzakkar memberikan perlakuan khusus bagi kelompok RTP - Anoa ini, terutama yang beragama Kristen untuk memakan babi dan anjing. Menurut Bahar Mattalioe bahwa sikap itu tidak konsisten dan bertentangan Negara Islam (Harvey, 1989:312). Perseteruan-perseteruan itulah yang mengantar keduanya dalam perang kelompok dengan pasukan yang dipimpinnya. Bahar Mattalioe tetap pada prinsipnya sendiri, sedang Kahar Muzakkar menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Bahar Mattalioe adalah suatu pembangkangan yang serius dan harus diperangi. Perseteruan itu kemudian berkembang menjadi konflik antara keduanya.Kegagalan membuat konsensus damai menimbulkan terjadinya kontak VHQMDWDDWDXNRQÀLN¿VLN.RQÀLNEHUVHQMDWDLWX menjadi nyata dalam rapat 6 Juli 1959 ketika Bahar Mattalioe menuntut agar senjata yang dibawa oleh pasukan Gerungan dibagi rata ke dalam pasukan DI/TII. Kahar menolak dengan alasan bahwa senjata itu dibutuhkan oleh pasukan Momoc Ansarullah (Harvey, 1989:313). Pada perkembangan kemudian, Bahar Mattalioe mengeluarkan suatu manifesto yang dilatari oleh situasi ketika itu yang sudah tidak kondusif lagi sebab adanya pasukan Gerungan yang diintegrasikan ke dalam tubuh DI/TII. Selain itu, karena pembentukan pasukan elit Momoc Ansarullah yang tidak sesuai dengan keputusan PUPIR II. Garis besar isi manifesto tersebut menuntut agar Momoc Ansarullah dibubarkan dan anggota pasukan yang telah diintegrasikan dikembalikan pada kesatuan asalnya, yaitu DI/
Bahar Mattalioe: Sahabat ... 5RVGLDQD+D¿G
TII (Mattalioe,1994:266). Sementara itu, Kahar Muzakkar juga mengeluarkan manipesto dari dirinya sendiri yang menuduh Bahar Mattalioe merasa iri terhadap Momoc Ansarullah dan pasukan RTP - Anoa, dan menjadi penghianat. Perseteruan ini berkembang menjadi pertempuran bersenjata yang menimbulkan korban antara kedua pihak. Menurut salah seorang bekas Intelejen Bahar Mattalioe bahwa ”Ketika situasi dan kondisi antara Bahar Mattalioe dan Kahar Muzakkar tidak kondusif lagi, maka Bahar Mattalioe mengatur strategi pertahanan di wilayah operasinya dengan menggerakkan semua elemen-elemen yang dimiliki. Batalyon yang dipimpinnya kemudian dipecah menjadi dua, sebagian di wilayah perbatasan untuk membendung serangan yang akan dilakukan Kahar Muzakkar, sebagian lagi untuk menjaga markas komando.Tetapi ternyata Kahar Muzakkar tidak melakukan serangan mendadak seperti yang prediksi oleh Bahar Mattalioe. Bahkan Kahar Muzakkar masih berusaha untuk bernegosiasi dengan Bahar Mattalioe dengan cara beberapa kali mengirim utusan untuk menemui beliau. Tetapi upaya Kahar Muzakkar itu ternyata tidak pernah dihiraukan oleh Bahar Mattalioe dan bahkan beliau menyatakan bahwa “Kalau bukan Kahar Muzakkar yang hancur bersama pasukan Momocnya, maka akulah yang hancur bersama TII” (Wawancara Muh.Idris Hakim, Tgl. 29 Maret 2013). Posisi Bahar Mattalioe ketika itu mulai lemah karena membeloknya dua orang unsur pimpinan pasukannya yaitu Mayor Patawari dan Rahman Tiro. Kedua orang ini lalu bergabung dengan Kahar Muzakkar lalu menangkapi beberapa orang anggota pasukan Bahar Mattalioe. Kenyataan itu menyebabkan berkurangnya kekuataan Bahar Mattalioe serta semakin sempitnya wilayah operasi. Sementara pihak Kahar Muzakkar bersama pasukan Momocnya dibantu oleh pasukan Gerungan mulai melintasi wilayah Bahar Mattalioe dan mulai menyerang. Pertempuran tidak dapat dielakkan, pasukan Bahar Mattalioe berhasil dipukul mundur. Lebih lanjut, pasukan Bahar mulai terkepung di salah satu gunung di wilayah Bone, dan berbagai upaya yang
dilakukan barulah ia dapat lolos dari kepungan pasukan Kahar Muzakkar itu (Wawancara Muh. Radjey A.Capa, Tgl.25 Maret 2013). Ketika itu, Bahar Mattalioe diperhadapkan pada dua masalah yang harus dipilih salah satunya. Rupanya ia diperhadapkan pada jalan terjal yang sulit untuk dilalui oleh beliau bersama pasukannya. Memang sangat dilematis sebab kalau masuk hutan lagi, maka dia harus berhadapan dengan Kahar Muzakkar bersama pasukannya yang jauh lebih besar dari jumlah pasukan yang dimilikinya. Sementara itu, seandainya ia masuk kota, maka ia juga harus berhadapan dengan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kedua situasi itu sama-sama beratnya dan harus dipilih salah satunya. Oleh karena itu ia memutuskan akan memilih salah satu dari dua alternatif yang memiliki resiko lebih kecil. Resiko yang lebih kecil itu adalah menyerah kepada pemerintah sebab ketika itu masih berlaku tawaran amnesti. Memilih untuk menyerah kepada pemerintah masih jauh lebih baik dibandingkan menyerah atau berperang melawan Kahar Muzakkar bersama pasukannya. Menyerah kepada Kahar Muzakkar berarti memilih kematian sebab Kahar Muzakkar telah menutup pintu damai, sedang memilih untuk menyerah kepada pemerintah berarti bebas dari kejaran TNI dan masih terbuka kemungkinan untuk mendapatkan pengampunan sesuai dengan tawaran yang selama ini diberikan kepada semua anggota DI/TII untuk segera menyerah dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Akhirnya Bahar Mattalioe menyerah kepada TNI setelah berkonsolidasi dengan komandan-komandan pasukannya. Pada tanggal 11 September 1959, Bahar Mattalioe mengirim surat kepada Panglima Kodam XIV Hasanuddin, yaitu Andi Mattalatta yang menyampaikan keinginannya untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Sikap itu diterima baik oleh Panglima Andi Mattalatta lalu mengutus Mayor Andi Lantara untuk menemuinya (Harvey,1989:314). Sehari setelah surat itu dikirim, atau pada 12 September 1959, Bahar Mattalioe menyatakan diri kembali ke pangkuan ibu pertiwi yang dijemput langsung oleh Panglima Kodam XIV Hasanuddin M. Jusuf. Ini berarti Bahar Mattalioe 165
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 153—167 telah meninggalkan kesatuan komandonya, yaitu DI/TII (Jarah Dam XIV Hasanuddin, 1982:296). Kembalinya Bahar Mattalioe ke pangkuan ibu pertiwi adalah merupakan sinar harapan lebih lanjut bagi keamanan di daerah ini. Sejak menyatakan diri kembali ke pangkuan ibu pertiwi, maka sudah datang bergabung anggota pasukannya sebanyak 12.734 orang dengan persenjataan sebanyak 2.056 pucuk. Hingga tanggal 20 Oktober 1959, jumlah pengikut Bahar Mattalioe yang turun dari gunung sebanyak 390.000 orang. Jumlah pengikut yang begitu besar turun dari gunung merupakan tamparan besar bagi kekuataan Kahar Muzakkar sebab sangat berpengaruh dalam perjuangan selanjutnya (Jarah Dam XIV Hasanuddin, 1982:296). Sejak tanggal 12 September 1959, berakhir sudah pengembaraan Bahar Mattalioe bersama pengikutnya di dalam hutan bersama gerakan pemberontakaan DI/TII.Tinggal pasukan Kahar Muzakkar yang menjadi target operasi TNI sebab yang bersangkutan belum mau menyerah dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Operasioperasi penghancuran tetap dilakukan terhadap basis-basis pertahanan Kahar Muzakkar sambil diserukan agar bias insyaf dan segera turun gunung dan ikut bersama dalam pembangunan masyarakat.Terutama untuk Kahar Muzakkar yang tidak pernah mau menyerah hingga yang bersangkutan menemui ajalnya dalam suatu operasi yang dilakukan oleh TNI. PENUTUP Bahar Mattalioe berasal dari Desa Citta, sebuah desa di Kecamatan Pattojo Kabupaten Soppeng, dilahirkan dengan nama Abu Huraerah. Pendidikan formalnya diselesaikan pada sekolah Islam. Situasi keluarga yang serba sederhana, lingkungan masyarakat di alam penjajahan, dan kentalnya budaya Bugis sangat mempengaruhi watak atau karakternya. Pada usia kanak-kanak sampai remaja, Bahar Mattalioe telah mengenal kehidupan yang keras. Tentang dirinya, kadang dianggap sosok yang berkemauan keras dan humanis. Kesemua itu terbentuk melalui interaksi dari lingkungan keluarga, lingkungan sosial, dan pendidikan yang ia peroleh. Sejak kecil ia tidak pernah berniat untuk 166
menjadi seorang pejuang, namun karena panggilan jiwa sehingga ketika revolusi kemerdekaan memuncak, Bahar Mattalioe ikut ambil bagian dan memulainya di Pulau Jawa. Ia menjalani perjuangannya secara berjenjang dengan bergabung pada beberapa organisasi perjuangan pro pemerintah. Ia kembali ke kampung halamannya pada tahun 1949 untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan di bawah bendera pemerintah Republik Indonesia. Namun dalam perjalanan hidup dan kariernya, ia kemudian memberontak terhadap kesatuannya mengikuti Kahar Muzakkar yang juga adalah komandannya. Ketika DI/TII melakukan pemberontakan, secara nyata Bahar Mattalioe juga ikut terlibat sebab ia adalah salah satu unsur pimpinan. Pada akhir perjalanan dan perjuangannya, terjadinya perselisihan yang berujung pada meletusnya perang terbuka antara keduanya. Perselisihan dan perang terbuka itu terjadi sebab adanya perbedaan pendapat tentang; Kebijakan poligami, di mana menurut Kahar Muzakkar sebagai satu-satunya jalan menyelesaikan persoalan janda syuhada, sementara Bahar Mattalioe menilai kebijakan tersebut adalah proyeksi yang melegitimasi kawin mawin, pembentukan pasukan Momoc Ansharullah oleh Kahar Muzakkar, dimana Bahar Mattalioe memandang implementasi dari pembentukan pasukan Momoc Ansharullah tidak sesuai dengan Piagam Makalua; dan masalah bergabungnya pasukan Gerungan-RTP Anoa (Permesta) ke dalam TII, dimana Bahar Mattalioe menilai sebagai suatu penghianatan terhadap perjuangan DI/TII yang beridiologi Islam, sementara Pasukan Permesta mayoritas non Islam. DAFTAR PUSTAKA Al-Chaidar. 1999. Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo. Jakarta: Darul Falah. Arsip Koleksi Saleh Lahade, 1937-1973 No. Reg. 480 (Masalah keamanan –proses perkembangan gerakan Kahar). Arsip Koleksi Saleh Lahade, No. Reg. 191, berkas mengenai kegiatan gerombolan DI/ TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan Tenggara 1953-1957.
Bahar Mattalioe: Sahabat ... 5RVGLDQD+D¿G
Arsip Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan No. Reg. 333 berkas mengenai gerombolan DI/ TII di daerah Sulawesi Selatan 1953-1959. Arsip Pemerintah Provinsi Sulawesi No. Reg. 331 berkas mengenai gerombolan DI/TII di Sulawesi Selatan tahun 1953-1954. Andaya. 2011. Warisan Arung Palakka. Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17. (terjemahan). Makassar: Ininnawa. Djarwadi, Radik, dkk. 1972. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka. Gonggong, Anhar. 1992. Abdul Qahhar Mudzakkar Dari Patriot Hingga Pemberontak. Jakarta: Grasindo. Harvey, Barbara Sillars. 1989. Pemberontakan Kahar Muzakkar; Dari Tradisi ke DI/TII. -DNDUWD3XVWDND8WDPD*UD¿WL Latif, Abd. 2012. “Konfederasi Ajatappareng 1812-1906: Sejarah Sosiopolitik Orang Bugis di Sulawesi Selatan”. (Disertasi) Program Pascasarjana Universitas Kebangsaan Malaysia, Bangi, Malaysia. Lontarak Akkarungeng Sawitto. Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Mattalioe, M. Bahar. 1994. Pemberontakan Meniti Jalur Kanan, Jakarta : PT. Grasindo. Notosusanto, Nugroho. 1971. Norma-norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sejarah. Jakarta: Pusat Sejarah ABRI. DAFTAR INFORMAN 1. Nama Umur Kedudukan/Jabatan Alamat 2. Nama Umur Kedudukan/Jabatan Alamat 3. Nama Umur Kedudukan/Jabatan Alamat 4. Nama Umur Kedudukan/Jabatan Alamat
: Muh.Radjey A. Capa : 79 tahun : Pasukan biasa : Desa Citta : Muh. Idris Hakim : 77 tahun : Intelijen : Desa Citta : Mursalim : 61 tahun : Tokoh masyarakat : Desa Citta : Mappiare : 67 tahun : Tokoh masyarakat : Desa Citta
167