Akar-Akar Sosio-Kultural Hadis-Hadis Misoginis 1 Novriantoni Kahar Makalah ini dipicu oleh buku Zakaria Ozwin, J inâyat a-Bukhârîy: Inqâzd al-Ummah min Imâm alMuhadditsîn (Kejahatan al-Bukhari: Menyelamatkan Umat dari Penghulu Para Ahli Hadis). Ozwim membuat beberapa komentar kritis terhadap sebagian hadis yang termuat dalam kitab Shahîh al-Bukhârî. Salah satunya topiknya tentang perempuan. Ozwin adalah intelektual Suriah yang juga telah menulis trilogi kejahatan, yaitu J inâyat Sîbawaih (2002), J inâyat as-Syâfi’ i (2004), dan J inâyat al-Bukhâri (2005). Dua buku terakhirnya adalah Hal al-Islâm Huwa al-Hall (Apakah Islam Merupakan Solusi? 2007), dan Lafaq al-Muslimîn idzâ Qâlû (Hiperbolisme Umat Islam dalam Perkataan, 2008). Kitab J inâyat al-Bukhârîy sebetulnya hanya mengutip 16 hadis tentang perempuan dari Shahîh al-Bukhâri. Tapi keenam belas hadis tersebut memang cukup populer. Misalnya soal ” lemahnya moral dan intelektual perempuan; asal mula pengkhianatan institusi keluarga; tiga pangkal sial dan tiga hal yang membatalkan salat; dan beberapa lainnya. Buku Ozwin ini merupakan kritik dari kalangan yang menginginkan tafsiran Islam yang lebih ramah perempuan. Hanya saja, komentar Ozwin begitu singkatnya, sehingga tidak tampak kedalaman pembahasan. Kita misalnya tidak betul-betul diajak berpetualang ke situasi sosio-kultural yang memungkinkan hadis-hadis seperti itu muncul dan begitu masyhur. Hanya sedikit ulasan dari Ozwin tentang mengapa hadishadis anti-perempuan itu muncul. Globalnya adalah soal kuatnya kungkungan sistem patriarkhi. Penejelasan lebih minor adalah soal siapa perawi hadis-hadis tersebut. Ozwin mencermati, kebanyakan hadis-hadis itu diriwatyatkan laki-laki, terutama Abu Hurairah (6 dari 16 hadis). Sosok Abu Hurairah dalam sejarah Islam memang dinilai kurang bersahabat dengan perempuan (Ozwin, 2005: 65). Suatu kali, Aisyah pernah mendengar Abu Hurairah meriwayatkan hadis 3 hal yang dapat membatalkan salat seseorang, yaitu melintasnya anjing, keledai, dan perempuan. Aisyah pun protes, ” Engkau samakan kami dengan keledai dan anjing?!” Aisyah lalu menuturkan kalau ia sering berbaring di depan Nabi tatkala ia menunaikan salat (Sulaiman al-Nadawi, 2007: 207). Ada beberapa riwayat lain yang menunjukkan ketegangan hubungan antara Aisyah dan Abu Hurairah dalam hal hadis. Saat ditanya Aisyah soal alasan begitu banyaknya ia meriwatkan hadis, Abu Hurairah menjawab: “ … Karena saya tidak disibukkan oleh cermin, celak, dan minyak wangi.” “ Mungkin saja,” jawab Aisyah dingin (Buhindi, 2002: 18). Di luar itu, ada beberapa perbedaan penafsiran antara Abu Hurairah dan Aisyah, misalnya soal tersiksanya perempuan karena kucing, perempuan sebagai salah satu dari tiga sumber malapetaka, dan soal status anak hasil perzinahan (al-Nadawi, 2007: 201-207). Namun terbatasnya pembahasan Ozwin pada aspek yang individual dari sosok Abu Hurairah tidak memungkinkan kita untuk memahami lebih dalam soal kondisi sosio-kultural Islam perdana tempat hadishadis anti-perempuan itu muncul. Untuk itu, makalah ini berusaha melebarkan pembahasan kepada soal hubungan laki-laki dan perempuan di dalam sejarah Islam perdana demi mencari akar-akar sosio-kultural munculnya hadis-hadis yang misoginis. Pertanyaan paradigmatis yang ingin dijawab adalah: apakah teks-teks dasar Islam, terutama Alquran dan hadis yang berbicara soal perempuan, merupakan cerminan atau produk dari situasi sosio-kultural era formatif Islam, atau justru melampauinya? Adakah kontribusi benar-benar berharga dari teks-teks dasar Islam untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan? Refleksi Zaman, Melampaui Zaman, Mengembalikan Zaman Saya mencermati adanya tiga pendekatan dalam melihat relasi antara teks-teks dasar Islam tentang perempuan dengan kenyataan sosio-kultural era formatif Islam, terutama di era Madinah. Pendekatan pertama memandang bahwa teks-teks dasar Islam itu merupakan refleksi dari zamannya, dan karena itu tidak 1
Makalah Diskusi Bulanan J aringan Islam Liberal di Teater Utan Kayu, Selasa, 23 Desember 2008.
1
akan melampaui terlalu jauh tradisi-tradisi yang hidup pada zaman itu. Dalam soal ini, Khalil Abdul Karim, lewat dua bukunya, al-J uzûr at-Târîkhiyyah li as-Syari`ah al-Islâmiyyah (Akar-Akar Sejarah Syariat Islam) dan Mujtama`u Yatsrib: al-`Alâqah Baina al-Rajul wa al-Mar’ ah fi al-`Ahdain al-Muhammadi wa al-Khalîfî (Antropologi Masyarakat Yatsrib: Hubungan Laki-Laki dan Perempuan di Masa Nabi dan Khalifahnya) , telah mengelaborasi tesis ini dengan sangat kaya. Studi Mansour Fahmi, Ahwâl al-Mar’ ah fi al-Islâm (Kondisi Perempuan di Dalam Naungan Islam), juga menunjukkan kecenderungan serupa. Proposisi dasarnya adalah: tradisi masyarakat Arab yang hidup dan dominan sebelum era kenabian Muhammad, masih tetap meninggalkan bekas-bekas yang nyata dan tidak mudah dikikis. Tradisi itu pada gilirannya tidak hanya tergambar pada teks-teks dasar Islam, tapi juga pada perilaku kaum muslim perdana. Karena itu, tesis ini menyimpulkan: pandangan Islam tentang perempuan, mau tidak mau, sangat berkesesuaian dengan pandangan tradisional masyarakat Arab (Abdul Karim, 1990: 45). Posisi pendekatan ini didasarkan pula pada asumsi bahwa ” di dalam sejarah masyarakat Islam, terlalu sekali membedakan antara sudut pandang yang murni agama dan yang murni fenomena sosial. Keduanya menyatu dikarenakan Islam bercita-cita menjadi agama yang meliputi semua aspek kehidupan umat manusia, dunia dan akhirat, serta berambisi menciptakan tatanan paripurna berdasarkan agama itu (Mansour Fahmi, 1997: 22). Kalau mesti harus bernama, saya menyebut pendekatan ini sebagai pendekatan dekonsktuksionis-kritis. Pendekatan kedua dapat disebut sebagai pendekatan rekonstruksionis-reformis. Dalam pandangan pendektaan ini, teks-teks fondasional Islam, bila dipahami secara komprehensif akan membawa kita pada kesimpulan bahwa Islam sesungguhnya membebaskan perempuan, bukan mengekangnya. Kekangan terhadap perempuan, tiada lain adalah hasil bawaan dari tradisi pra-Islam yang dengan sangat disayangkan tidak mampu dengan mudah direformasi oleh umat Islam perdana. Buku Gamal al-Banna al-Mar’ ah al-Muslimah Baina Tahrîr al-Qur’ ân wa Taqyîd al-Fuqahâ (Perempuan Islam: Antara Pembebasan Alqur’ an dan Kekangan Fuqaha) dan Haitsam Manna’ dalam al-Islâm wa Huqûq al-Mar’ ah (Islam dan Hak-Hak Perempuan), termasuk golongan ini. Tesis inti mereka adalah: perilaku masyarakat Arab di masa Rasul, sampaipun kaum Sahabat, masih tetap dipengaruhi oleh tradisi-tradisi pra-Islam yang diskriminatif terhadap perempuan. Tradisi Islam betul-betul belum dapat mengatasi, apalagi mengikis sama sekali kuatnya pandangan yang inferior terhadap perempuan itu, sekipun Islam sangat menginginkannya (al-Banna, 1998: 113). Sementara pendekatan ketiga adalah pendekatan revivalis-salafis. Berbeda dari dua pendekatan pertama, pendekatan ini memandang bahwa teks-teks dasar Islam tentang perempuan bukanlah refleksi dari zamanya, akan tetapi merupakan visi abadi yang telah ditetapkan Allah. Dengan skripturalisme penafsirannya, mereka berpendapat bahwa sesungguhnya tidak ada pergumulan yang serius antara visi Islam yang dibawakan Alquran dan hadis tentang perempuan, dengan tradisi Arab di masanya. Kalaupun ada pergumulan, ia pada akhirnya dimenangkan oleh teks-teks fondasional Islam. Karena itu, di kalangan salafi yang radikal, meski tak lepas dari tradisi pra-Islam, teks-teks tersebut dianggap sebagai tradisi yang sudah direstui dan tinggal diikuti saja oleh muslim saat ini. Kalau teks-teks dasar itu mengafirmasi tradisi tertentu, itulah ” tradisi Islam” yang telah mengatasi rintangan-rintangan sosio-kultural pra-Islam. Buku Syekh al-Ghazali, as-Sunnah anNabawiyyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts (Sunnah Nabi Antara Ahli Fikih dan Ahli Hadis) mewakili sudut pandang ini dalam kadar yang ringan. Buku Khaled Abou Fadl, Atas Nama Tuhan, Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, yang melakukan studi kritis terhadap fatwa-fatwa Salafi-W ahabi seputar perempuan, mewakili kadar yang ekstrem dari pendekatan ini. Intinya, kalangan dekonstruksionis-kritis menganggap teks-teks dasar itu adalah refleksi zamannya, karena itu lebih baik dilihat sebagai bagian dari sejarah perkembangan peradaban umat manusia Islam. Bila sesuai dengan semangat zaman, ia perlu diambil, bila tidak ditinggalkan saja. Sebab jangan kuatir, ” kenyataan sosial lebih kuat pengaruhnya daripada teks-teks suci agama. Bila kenyataan sosial yang koersif ini melihat teks agama sebagai rintangan, maka umat penerima teks itu akan mancari jalan untuk menyingkirkan rintanganrintangan yang diciptakannya, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.” (Abdul Karim, 1992: 18). Di dalam studinya, Khalil Abdul Karim menunjukkan cara-cara dan trik-trik masyarakat Madinah mengelak dari tuntunan-tuntunan teks dasar Islam terutama dalam soal relasi antara laki-laki dan perempuan.
2
Sementara kalangan reformis merasa bahwa visi dasar teks-teks Islam itu tidaklah tergambar dari seberapa taat masyarakat menjalankannya. Visi dasar Islam soal perempuan tetap terkandung di dalam teks walaupun tidak/belum terwujud dalam kenyataan sosial yang nyata. Teks Islam soal perempuan, terutama bagian yang esensialnya, akan tetap melampaui zamannya. Adapun bila ia tidak berhasil diterapkan pada zamannya, itu tak lain karena kondisi darurat (hâlat at-thawâri’ ) dari kenyataan-kenyataan sosial politik yang merintanginya untuk progresif (Haitsam Manna, 2001: 40). Karena itu, semangat dasar Alquran tentang perempuan, apalagi bila dipahami secara komprehensif, akan dapat melampaui zamannya. Sementara itu, kalangan revivalissalafis lebih menekankan pentingnya fotokopi zaman yang telah berlalu itu. Semangat mereka sepertinya ingin mengembalikan zaman yang telah lampau. Sistem Patriarkhi Filosofi Hubungan Suami-Isteri Khalil Abdul Karim menyebutkan bahwa tradisi Arab memang membolehkan poligami tanpa batasan. Karena itu, mereka rata-rata tidak habis pikir dengan adanya pembatasan jumlah istri pada angka empat. Sistem patriarkhi masih dominan di kalangan kabilah-kabilah Arab secara umum. Inti keluarga partiarkhi terdiri dari suami dan beberapa isteri dari perempuan yang merdeka dan beberapa selir yang dalam Alquran disebut ” gandengan sebelah kananmu” ( milk al-yamîn) . ” Dan salah satu ciri kehormatan laki-laki sebelum Islam, adalah kalau sudah menggandeng 10 orang isteri” (Abdul Karim, 1990: 2). Meski kurang akrab di telinga orang non-Arab, tapi penyebutan istilah ba`al bagi suami, seperti yang terekam dalam surat an-Nisa’ 128 dan an-Nur 31, punya pengertian yang sangat akomodatif terhadap sistem pra-Islam tersebut. Secara kebahasaan, ba’ al berarti pemilik (malik) , penguasa (sayyid) dan pengayom (rabb) . Ba`al juga berarti ” dewa yang disembah selain Allah” . Dalam surat as-Shaffat, Allah berfirman, ” Apakah kalian tetap akan menyembah ba’ al sembari mengabaikan Sang Pencipta yang Terhebat?” Ungkapan Arab, man ba`l hâdza alibil berarti ” siapa pemilik unta ini?” Sebuah syair Hatim at-Tha’ i dari zaman jahili menyebutkan,
W amâ tasytakînî jâratî ghaira ’ annahâ Idzâ ghâbat `anhâ ba’ luhâ lâ azûruhâ Sayablughuhâ khairî, wayarji`u ba’ luha ilaihâ W a lam tasbul `ala sutûrihâ Istri jiranku tiada mengeluh, kecuali Aku tak menjenguk tatkala suaminya mengembara Kemurahanku tetap kan tiba, meski suaminya Pulang, Ia takkan kuasa menghalang Menurut Khalil Abdul Karim, penggunaan kata ba’ al untuk suami mengandung fungsi psikologis yang tajam. Ia menimbulkan pada diri sang isteri perasaan tidak dianggap, pasrah, menyerah, tunduk total, dan rela mengerjakan tugas yang telah ditetapkan sang patriakh. Terutama soal kenikmatan seksual, reproduksi, pelayanan, dan pengasuhan anak untuk kalangan menengah-bawah. Filosofi seperti ini pada akhirnya memunculkan hadis-hadis seperti ” sujud untuk suami; sempurnanya pengabdian (husnu taba`ul), dan lainlain. Sampai-sampai, dalam persoalan ibadah pun isteri tidak otonom dan sangat bergantung pada suami (misalnya dalam hadis larangan berpuasa bagi isteri kalau suaminya sedang di rumah). J uga hadis-hadis seperti ” tidak beruntungnya kaum yang dipimpin perempuan; perempuan lemah secara moral dan intelektual; dan jatah setengah dalam waris dan kesaksian” . Tidak hanya dalam soal hadis, ayat Quran tentang poligami pun bagi Khalil Abdul Karim sungguh akomodatif terhadap tradisi pra-Islam. Ayat ini dianggap bersikap tidak tegas menyatakan soal poligami karena memang masyarakat Arab tidak habis pikir dengan pembatasan jumlah isteri. Dan empat isteri pun (di luar selir dari kalangan budak yang memang legal) tidak dipahami sebagai pembatasan karena tersedianya mekanisme untuk melepaskan diri dari ketentuan yang empat itu: yaitu longgarnya ketentuan talak. Lebih dari itu, Nabi
3
pun beristerikan sebelas orang, Abu Bakar empat, Umar, Usman, dan Ali masing-masing sembilan. Belakangan, para sahabat seperti Mughirah bin Syu’ bah punya 99 isteri, bahkan cucu Nabi, Hasan bin Ali punya lebih dari dua ratus isteri sehingga digelari thallâq atau mithlâq (tukang cerai). Khalil menyimpulkan, bahwa tradisi yang dominan di jazirah Arab sebelum kenabian Muhammad, pada akhirnya tetap saja meningalkan bekas yang mendalam pada teks-teks suci Islam, bahkan pada teladan para sahabat Nabi sendiri (Abdul Karim, 1992: 42). Kesimpulan semacan ini juga dikemukakan Mansour Fahmi. Persoalannya ada pada ” transendensi ketentuan Islam” itu sehingga pada perkembangannya ia mudah membeku, bahkan mundur. Studi Fahmi menunjukkan, ” sekalipun Islam telah memberikan identitas yang khas bagi kaum perempuan, tapi kondisi perempuan setelah Islam berada pada posisi yang lebih buruk daripada sebelum Islam” . Bagaimana itu terjadi? Menurutnya, ” Identitas yang telah diberikan Nabi Muhammad kepada kaum perempuan muslim telah dikurung dan dikungkung dalam suatu kerangka tertentu yang tak memungkinkannya untuk keluar-berkembang. Sesuatu yang dianggap Ilahi telah ditetapkan dari langit dan perempuan tidak boleh melampaui ketentuan-ketentuan itu. Ini berbeda dengan situasi masyarakat jahiliyah yang masih alamiah; setiap orang dapat tumbuh dan berkembang secara bebas menuju cita-cita yang diinginkannya meskipun kungkungan institusi tribal masih tetap kuat (Mansour Fahmi, 1997: 43).2 Di sini perlu diberi catatan, bahwa sistem kesukuan itu sudah merupakan rintangan tersendiri bagi perempuan untuk berkembang. Hanya saja bagi Fahmi, rintangan itu tetap lebih ringan karena tidak punya klaim ” dari langit” . Karena itu, lebih mudah untuk diubah asalkan infrastruktur sosialnya sudah berubah. Karena determisisme dan kepercayaannya terhadap hukum besi sosiologis ini, Mansour Fahmi dan Khalil Abdul Karim berpandangan bahwa orang-orang yang berusaha melompati atau melampaui, apalagi memalingkan mukanya dari teks dasar Islam soal perempuan, mereka dipastikan akan gagal. Karena teks tersebut—yang nyatanya sudah sangat akomodatif terhadap kondisi sosio-kultural Arab—telah menetapkan arah dan kerangka umumnya dengan sangat cermat: perempuan tetap inferior di hadapan laki-laki dalam urusan-urusan yang konkret, meskipun disetarakan dalam perkara-perkara yang abstrak. Inilah kritik mereka yang paling bernas untuk kalangan rekonstruksionis-reformis. Dan orang yang coba melampauinya tidak akan mampu mengubah kondisi umum sekali pun infrastruktur sosial kemasyarakatannya sudah berubah dan mencukupi (Abdul Karim, 1990: 46). Dalam Mujtama Yatsrib, Khalil lebih elaboratif lagi mengulas tentang trik-trik dan cara-cara kaum muslim awal dalam mempertahankan status dan previlese sosial mereka dalam relasi antara laki-laki dan perempuan, sehingga tampak bahwa teks benar-benar tiada berdaya dan bersifat tidak progresif. Alquran dan Nabi Muhammad bagi kalangan ini tidak cukup revolusioner dalam melakukan advokasi isu perempuan. Pada titik ini, menarik untuk mengutip suatu hadis sangat panjang yang diriwayatkan al-Bukhari, Muslim, atTirmidzi, an-Nasai, dan Ibnu Hanbal tentang sengketa rumah tangga Nabi yang membuat beliau hampir menceraikan para isterinya. Dalam rangka membela Nabi, Umar yang terkenal keras terhadap perempuan, mendatangi Hafsah (anaknya, salah satu isteri Nabi). Dari ungkapan Umar, kita dapat memetik sekelumit cara berpikir Umar tentang perempuan. Umar menunjukkan kegundahannya soal perubahan etika hubungan suami-isteri antara orang Quraiys yang lebih konservatif dan orang Madinah yang lebih liberal (Haitsam Manna, 2001: 35). Umar berkata, ” Kita para pemuka Quraisy, selalu mampu menundukkan isteri-isteri kita. Namun tatkala datang ke orang Anshar, kita menyaksikan mereka ditaklukkan para isterinya. Isteri-isteri kita kini mulai menyontek etiket perempuan Anshar. Aku menghardik isteriku, dia malah membantah. Ketika aku nasehati untuk tidak membantah, dia malah berkata: ’ kenapa kau larang aku membantah? Demi Tuhan, isteriisteri Nabi berani berbantahan dengannya dan salah satu darinya bahkan hari ini akan diboikot (Nabi) seharian penuh’ ” (Ta’ iqat `ala al-Hadîts: 155-157).
Kesimpulan Mansour Fahmi ini sangat relevan ketika kita menyaksikan perjuangan berat yang dialami kalangan reformis Islam masa kini untuk memperbarui hukum keluarga di banyak negeri muslim, karena kuatnya anggapan tentang ” permanensi” ketentuan Tuhan tentang perempuan. 2
4
Mencari Maghzâ Sebuah Teks Para reformis Islam percaya bahwa memang ada semacam zona bersama (al-mantiqah al-musytarakah) antara tradisi pra-Islam yang dianggap bias kepentingan laki-laki dengan visi Islam tentang perempuan dalam teksteks dasar Islam. Zona bersama itu, meminjam Nasr Hamid Abu Zayd, terbagi dalam dua bentuk. Pertama, zona pertemuan (mantiqah al-iltiqâ’ ) , yaitu zona di mana kepentingan-kepentingan Islam sebagai agama baru dan belum mapan berjumpa dengan tradisi yang masih dominan dan tetap ingin dipertahankan masyarakat Islam perdana. Contohnya adalah soal hak untuk menikmati hamba sahaya (milk al-yamîn) dan bolehnya mut’ ah. Tapi di samping itu juga terdapat zona penghubung atau tempat penyeberangan (mantiqah al-jusr atau ma`bar) di mana Islam memberi sarana penyeberangan kepada suatu bentuk perubahan pola relasi antara laki-laki dengan perempuan. Kedua hal itu dapat terlihat baik dari redaksi ayat-ayat Alquran maupun hadis. Dan dua kecenderungan itu pula yang tampak pada ” pesan revolusioner” Nabi Muhammad dalam membawa Islam. Pertama, (jika mungkin) keinginan untuk menghancurkan yang lama, dan kedua, keinginan untuk menjaga yang masih eksis di dalam sistem sosio-kultural masyarakat Arab. Kaum reformis percaya bahwa pada tiap-tiap ayat Alquran maupun hadis, terdapat bukan hanya sekadar makna, tetapi juga maghzâ (esensi) yang mungkin tidak mampu dilihat generasi Islam masa lampau karena mereka tidak berjarak dengan sistem sosial di masanya. Di sini kalangan rekonstruksionis-reformis bersimpangan jalan dengan kalangan revivalis-salafis yang menganggap bahwa generasi Islam perdana adalah yang paling tahu tentang apa yang terbaik bagi Islam dan bagi perempuan. Ketika menghadapi ayat-ayat Alquran ataupun hadis yang dianggap tidak berlaku adil kepada perempuan, kaum reformis bertanya: apakah ini yang benar-benar diinginkan Islam, bahkan untuk perempuan masa kini? Asumsi mereka ini ditopang pula oleh tidak sedikit hadis Nabi yang dinilai amat ramah perempuan. Pergumulan Antara Pengekangan dan Pembangkangan Kepribadian Nabi Muhammad yang sudah akrab dengan lingkungan perempuan sejak kecilnya dianggap sebagai faktor yang menunjang sikap-sikapnya yang ramah terhadap perempuan. Namun itu saja tidak membantu karena memang kondisi sosialnya jauh lebih determinan dalam menentukan corak hubungan lakilaki dan perempuan. Kaum reformis merasa ada baiknya mengutip banyak aspek positif hubungan Nabi dengan kaum perempuan. Suatu kali, terjadi percekcokan antara dua isteri Nabi, Aisyah dan Shafiyyah binti Huyay, sampai-sampai Aisyah mengejek Shafiyyah yang Yahudi sambil membanggakan bapaknya, orang kepercayaan Nabi, Abu Bakar ” si pembenar” Nabi. Nabi tidak menunjukkan kemarahan. Dia justru memberikan inspirasi kepada Shafiyyah untuk mengatakan, “ Tidakkah engkau jawab bahwa suamiku Muhammad, bapakku Harun, dan pamanku Musa?!” (Manshou Fahmi, 1997: 16). Salah satu isteri Nabi, Ummu Salamah bahkan pernah mendamprat Nabi tatkala ia menggunakan jatah harinya untuk berbincang dengan Shafiyyah. Saking marahnya, Ummu Salamah mengatakan, “ Engkau mencuri waktu untuk berbincang-bincang dengan anak Yahudi di hari jatahku, sementara engkau adalah Rasulullah?” Dalam kasus yang ekstrem ini, Nabi pun tidak menjawab. Kasusnya mungkin berbeda bila itu terjadi pada Umar bin Khattab. Di kasus lain, terjadi pula pertengkaran antara Aisyah dan Nabi. Sebagaimana biasa, Abu Bakar, bapak Aisyah didatangkan untuk menengahi. “ Engkau memulai pembicaraan atau aku?” tanya Nabi. “ Silahkan lebih dulu, asal Engkau berkata jujur!” jawab Aisyah ketus. Mendengar itu, Abu Bakar marah dan menampar Aisyah sambil berkata, “ Mungkinkah Nabi mengatakan sesuatu yang tidak jujur?!” Tapi, lagi-lagi Nabi menunjukkan sikap ramah perempuan, “ Engkau tidak kami datangkan untuk bertindak demikian!” (Mansour Fahmi, 1997: 16). Sikap Nabi yang lemah lembut terhadap perempuan ini pada akhirnya cukup sohor dan menjadi alibi bagi para isteri yang bertikai dengan suaminya di Madinah. Tatkala isteri Umar mengeluh akan kerasnya perlakuan Umar terhadapnya, sang isteri pun berontak. “ Mengherankan sekali penolakan Ibnu Khattab ini untuk
5
berdiskusi deganku. Padahal anakmu, Hafsah, senantiasa berdiksusi dan berbantahan dengan suaminya yang Nabi, sampai membuat beliau marah. Anakmu berhak berbantahan dengan Nabi sehingga seharian penuh mereka dongkol dan tidak berteguran!” Umar yang dikenal kurang apresiatif terhadap perempuan, tentu saja tidak menanggapi (Mansour Fahmi, 1997: 17). Suatu ketika, Nabi menjumpai seorang suami yang memukul isterinya sebagaimana kebiaasanya. Ia berpetuah: “ Di antara kalian ada saja yang suka memukul isterinya seperti seorang budak, tapi kemudian memeluknya tanpa rasa malu” . Yang mungkin tidak terbayangkan oleh umat Islam masa kini, dalam soal-soal yang ada wahyu pun, perempuan seperti Aisyah berani membantah Nabi. Inilah yang terkadang menjadikan sosok Aisyah kurang disenangi di lingkungan Syiah, selain pertikaian dengan Ali dalam kasus Hadîts al-’ Ifk. Konon, Nabi pernah memboikot para isterinya karena meningkatnya tekanan ekonomi rumah tangga dan perseteruan Aisyah dan Hafsah terhadap Maria Koptik yang telah memberikan keturunan kepada Nabi. Nabi bersumpah tidak akan mengunjungi para isterinya selama sebulan penuh. Tepat di hari ke-29, Nabi mengakhiri masa boikotnya dengan mendatangi Aisyah. ” Bukankah Engkau sudah bersumpah tidak akan mendatangi kami selama sebulan penuh?” kata Aisyah. Nabi menjawab, ” Ada 29 hari dalam sebulan,” bukan 30 hari sebagaimana dipersepsi Aisyah (Bintus Syathi, 2005: 53-54). Komentar Aisyah paling terkenal terhadap Nabi yang kembali akan mempersunting isteri baru yang diafirmasi Alquran adalah: ” Kalau kuperhatikan, tampaknya Tuhanmu tergesa-gesa membenarkan suara hatimu!” Konon, ungkapan tersebut dikemukakan Aisyah saat turunnya ayat 50-51 Surat al-Ahzab yang membolehkan Nabi untuk menikahi Ummu Syarik ad-Dusi nan cantik setelah penaklukan Khaibar. Aisyah memprotes keputusan Nabi tersebut karena Ummu Syarik-lah yang lebih dulu menawarkan diri (Abdul Raziq Id, 2003: 127-128). Sebagian berpendapat bahwa komentar yang menjadi argumen para orientalis dalam kritik mereka terhadap klaim keilahian Alquran itu turun tatkala Nabi direstui Tuhan untuk menikahi Zaynab binti J ahsy, bukan Ummu Syarik ad-Dusi yang memang tidak tercatat sebagai isteri Nabi (Bintus Syathi, 2005: 51). Ketika Aisyah dianggap tidak bersalah oleh Alquran dalam skandal Hadîs al-’ Ifk, dia lalu disuruh orangtuanya untuk menghadap Nabi. Tapi dia menolak: ” Demi Tuhan, aku tidak akan beranjak menemuinya. Aku tidak akan memuja selain Allah. Karena dialah yang menurunkan ketidakbersalahanku (dalam surat an-Nur ayat 1119)” (Bintus Syathi, 2005: 58-59). Dan Nabi tahu betul watak kritis Aisyah dan kapan Aisyah sedang marah dan sedang gembira. J ika sedang dalam suasana hati ceria, ia akan bersumpah dengan nama ” Tuhan Muhammad” , tapi tatkala ia marah, ia akan bersumpah dengan ” Tuhan Ibrahim” . Pada sikap egaliter Nabi Muhammad di hadapan para isterinya itu, pendekatan dekonstruksionis melihat wajarlah bila para isteri Nabi lebih bisa berontak terhadap Nabi. Sebab, sebagian dari mereka, seperti Aisyah adalah anak pemuka Quraisy yang dikecualikan oleh lingkungan dan sistem patriarkhi untuk bisa mengekspresikan dirinya dengan lepas. Kedua, pada akhirnya, yang berlaku pada akhirnya tetaplah keputusan yang telah diambil oleh Nabi, bukan aspirasi yang mereka keluhkan. Bagi kalangan dekonstruksionis, selama ini yang dilakukan kaum muslim hanya mencari-cari justifikasi, apologi, dan hikmah yang terkandung dalam Sunnah Nabi. Namun, meski ada juga beberapa ungkapan dan sikap Nabi yang tampak tidak berada di pihak perempuan, seperti dalam beberapa kumpulan kitab hadis, kaum reformis percaya bahwa posisi perempuan pada masa Nabi masih hidup memang jauh lebih dinamis dan kurang tertindas daripada posisinya setelah mangkatnya Nabi. Apalagi bila itu dibandingkan dengan posisinya saat ini, misalnya di Arab Saudi ataupun Afghanistan. Karena itu, kaum reformis masih berharap bahwa mengutip suritauladan Nabi akan berguna bagi perbaikan posisi perempuan. Tapi lagi-lagi, posisi kaum reformis ini vis a vis dengan revivalis-salafis yang juga mampu mengutip berbagai riwayat yang bernuansa misoginis sebagai pembenaran posisi mereka. Karena itu, menurut Nasr Hamid Abu Zayd, antara kaum reformis dan revivalis-salafis sesungguhnya terjadi perang tafsir (tafsîr wa tafsîr mudlâdl) yang bersifat selektif dalam mengutip teks dan sejarah Islam perdana (Abu Zayd, 2000: 241) Previlese Laki-Laki Tetap Terjaga
6
Yang aneh dalam perkembangan sejarah Islam perdana bagi kalangan dekonstruksionis-kritis adalah fakta bahwa previlese kaum laki-laki tetap terjaga dengan sempurna sekalipun banyak ketentuan teks-teks dasar Islam yang coba menertibakannya. Ini memunculkan sejumlah pertanyaan seperti: apakah Nabi serius dalam mereformasi ketimpangan relasi gender, terutama dalam soal hak-hak kaum perempuan? Sampai tahun V H, masih banyak laki-laki yang memaksa budak-budak untuk menjadi pekerja seks komersial, karena itu muncul ayat yang melarang pemaksaan terhadap anak gadis untuk melacurkan diri jika mereka memang ingin mensucikan diri. Di Madinah, bahkan masih terdapat rumah bordir dengan bendera putih sebagai pertanda. Praktik nikah mut’ ah masih dikerjakan secara luas dalam musim peperangan sampai tahun VII H. Bahkan tidak dilarang melakukan aktivitas seksual dengan perempuan budak yang telah hamil, dan belum ada perbincangan tentang perlunya senggama terputus (`azal) sebagai mekanisme untuk menghindari keturunan yang tidak diinginkan (Haitsam Manna’ , 2001: 36-38). Ada banyak kisah yang dapat dijadikan gambaran tentang tetap longgarnya sistem sosial di masa Nabi dibandingkan di masa sesudahnya. Seorang sahabat pernah mengikuti salah satu penaklukan Nabi. Di saat istirahat, dia menyempatkan waktu untuk berhias kalung dan bersenda gurau dengan beberapa perempuan yang ingin ia kenal. Tapi ketika Nabi bertanya sedang apa ia gerangan, dia menjawab ” sedang mangawasi untanya” . Nabi tahu betul bahwa yang terjadi justru hal lain. Sejak saat itu, saban kali berjumpa dengannya, Nabi selalu bertanya: apa yang terjadi dengan ” untamu” ? (Khalil Abdul Karim, 1990: 21). Abdul Hamid bin Zaid bin Khattab juga mengisahkan soal Umar. Konon, Umar punya isteri yang selalu menghindar ketika diajak berhubungan badan. Alasan yang selalu dia gunakan adalah ” datang bulan” . Suatu ketika, Umar tidak percaya dan memaksanya untuk berhubungan badan. Alamak, dia rupanya jujur. Ketika Umar menceritakannya kepada Nabi, Nabi memerintahkan untuk bersedekah sebanyak lima dinar. Sejak saat itu, Nabi selalu berpesan kepada Umar: berhati-hatilah terhadap perempuan datang bulan (Abdul Karim, 1990: 22). Ketika terjadi banyak sekali penaklukan, Nabi tampaknya serius menghadapi masalah hubungan laki-laki dan perempuan, tapi masih dalam perspektif kepentingan yang mungkin lebih besar, terutama agenda membentangkan wilayah kekuasaan dan menjaga moral para prajuritnya. Khalil Abdul Karim menyebut soal fenomena mughayyabât (isteri yang ditinggal suaminya yang berperang bersama Nabi) sebagai problem sosial yang serius. Dari sinilah aturan-aturan ketat dan bersifat darurat perang diberlakukan terhadap perempuan, sementara kepentingan laki-laki tetap terjaga. Maklum saja, ada sekitar 38 peperangan dan ekspedisi yang dikirimkan Nabi selama lebih kurang sepuluh tahun masa hidupnya di Madinah. Di antaranya, 27 kali dipimpin Nabi sendiri. Dalam statistik Ibnu Hisyam, rata-rata setiap ekspedisi dan peperangan memakan waktu 50 hari. Dan yang ikut bisa ribuan orang laki-laki. Problem sosial muncul ketika para isteri ditinggal berperang oleh suaminya. J ika suaminya dibolehkan nikah mut’ ah dan bahkan mencari selir khususnya ketika menang perang, bagaimana dengan mereka? Dari sinilah Madinah mengenal cerita perselingkuhan. Dalam tradisi pra-Islam, perselingkuhan dikenal dengan istilah nikâh al-khaddan yang berlangsung wajar. Namun di Madinah, perselingkuhan dipahami sebagai bentuk reaksi kaum perempuan terhadap kekangan yang dilakukan terhadap hak-hak mereka, sehingga mereka diam-diam mencari pria idaman lain.3 Tapi demi menjaga spirit dan loyalitas para prajuritnya, Nabi harus memastikan bahwa rumah dan isteri yang mereka tinggalkan aman sentosa. Hanya saja, jalan yang ditempuh adalah mengemukakan kutukan yang keras terhadap praktek perselingkuhan itu. Beberapa hadis dikemukakan, antara lain, ” Barangsiapa yang menyakiti seorang mujahid dengan merusak keluarganya, maka ia akan berada di neraka dan kekal di dalamnya, kecuali diberi ampunan oleh mujahid yang ia khianati.” Selain itu, ada lagi hadis yang menyamakan antara perselingkuhan bagaikan tindakan perzinahan dengan ibu kandung sendiri. Tidak imbang antara pembelaan Nabi terhadap hak-hak perempuan dibandingkan dengan previlese kaum laki. Sementara itu, masyarakat Islam perdana Madinah tetaplah jauh dari kesan masyarakat tertutup secara Dalam Alquran, istilah yang dipakai adalah ” muttakhidzât al-akhzân” yang kemudian dilarang. Ada beberapa penyikapan dalam tradisi Arab terhadap perselingkuhan, mulai dari status tahanan rumah sampai menganggapnya zina (Haitsam Manna’ , 2001: 24). 3
7
seksual, apalagi masyarakat utopian yang suci tiada bercela. Berbagai penyimpangan dalam status hubungan laki-laki dan perempuan tetap terjadi, seperti pemerkosaan, perzinahan, perselingkuhan, penyelinapan ke dalam rumah isteri yang ditinggal perang suaminya (mughayyabât) . Bahkan ada beberapa kasus persetubuhan di siang Ramadan, ketika ihram, dan tatkala perempuan datang bulan, yang dikisahkan secara anekdotal oleh Khalil Abdul Karim. Konon, seorang pemuda tampan membuat seluruh perempuan Madinah terpana. Dia lalu dititahkan menggunduli rambutnya. Celakanya, setelah plontos ia justru tampak jauh lebih tampan. Malang baginya, ia pun diasingkan karena membuat perempuan Madinah tergoda. Pada titik ini, Khalil Abdul Karim dengan mantap menyimpulkan bahwa masyarakat Yatsrib tiada berubah sedikit pun dan hubungan antara laki-laki dan perempuan tetaplah berada dalam koridor dan skema hubungan antara dua jenis kelamin yang saling mendamba (Abdul Karim, 1990: 11). Di sini dia menerapkan perspektif psiko-analisis sebagai pisau bantu untuk menganalisis impuls-impuls terdalam masyarakat Madinah. Kesimpulannya: semakin tak wajar dan timpang aturan-aturan dalam relasi gender, akan semakin banyak terjadi penyimpangan seksual. Semakin ditekan, ia akan semakin liar mencari sarana-sarana pelepasan diri. Lebih jauh, Khalil Abdul Karim mengemukakan kasus nikah mut’ ah sebagai previlese kaum laki yang tetap terjaga. Ini pula yang ia jadikan argumen soal tidak mampunya Nabi mengubah kebiasaan masyarakat Yatsrib, terutama sahabat-sahabatnya. Bagi Khalil Abdul Karim, itu justru menandakan bahwa beliau mampu menyelami apa yang sebenarnya terkandung di alam bawah sadar masyarakat maskulin Madinah (Khalil Abdul Karim, 1990: 16). Adapun ia kemudian dilarang di masa Umar, itu tiada lain karena perkembangan ekonomi-politik Madinah yang sedang mengalami surplus budak perempuan yang datang dari berbagai wilayah taklukan Islam. Ketika itu, setidaknya di setiap rumah seorang muslim terdapat seorang budak perempuan yang bisa diperlakukan secara konvensional. Dengan perkembangan demikian, bagi Umar—ini yang kemudian dikecam kalangan Syiah—tiada lagi alasan yang memadai untuk menjustifikasi nikah mut’ ah (Khalil Abdul Karim, 1990: 16). Faktor-Faktor Kemunduran Nontekstual Pada masa Nabi, kondisi perempuan relatif lebih longgar. Tapi setelah Nabi wafat, kondisi agak berubah. Khaulah binti Qais menuturkan, ” Di masa Nabi, Abu Bakar, dan sebagian masa Umar, di pekarangan masjid kaum perempuan masih diperkenankan mencukur rambut (tahallalna) , menenun, dan sebagian mengobati sebagian yang lain. Sampai tibalah masa Umar mengatakan sesuatu, ’ Aku ingin kalian menjadi golongan perempuan merdeka!’ Lalu ia mengeluarkan kami dari situ. Meski begitu, kami masih dapat menjalankan salat (di masjid) pada waktunya (Haitsam Manna’ , 2001: 36). Riwayat di atas menunjukkan setidaknya dua hal. Pertama, adanya perkembangan isu perempuan setelah wafatnya Nabi. Kedua, adanya anomali karena menjadi perempuan merdeka dan terhormat ternyata berarti mengalami domestifikasi. Perkembanganperkembangan Islam kini beranjak ke arah penempatan perempuan di dalam posisi yang terjepit dan makin terkekang. Banyaknya penaklukan dan perluasan wilayah Islam rupanya berimplikasi luas dan langsung pada status perempuan. Manna’ menyebutnya sebagai ” turunya status dan prestise kekuatan-kekuatan produktif di dalam masyarakat, terutama kalangan perempuan, lalu digantikan kekuatan militer yang disertai pengetatan yang tinggi terhadap aturan sosial-kemasyarakatan. Dan korban pertamanya adalah kaum perempuan. Sebetulnya, pada penghujung hayat Nabi telah muncul suara-suara kritis dari kalangan perempuan mengenai perubahan sosial ekonomi yang begitu cepat itu. Namun setelah nabi mangkatlah ia menjadi lebih terasa. Konon, tatkala turun ayat laki-laki adalah qawwam (pemimpin/pengayom) perempuan, seorang perempuan datang menghadap Nabi dengan klaim sebagai utusan perempuan untuk menuntut kesetaraan. ” Aku datang menyatakan suara hati kaum perempuan. Sesungguhnya Tuhan telah mengutusmu untuk laki-laki maupun perempuan. Karena itu kami beriman kepadamu dan kepada Tuhanmu. Tapi kami, kalangan perempuan tetaplah terkurung (mahshûrât) dan terkekang (maqshûrât) sekalipun kami menjadi pilar-pilar penyangga rumah tangga kalian. Kamilah yang telah mengandung anak-anak kalian. Kalian kaum laki telah mendapat keistimewaan salat J um’ at dan salat berjamaah, membesuk orang sakit dan mengantar jenazah, dan naik haji berkali-kali pula. Lebih dari itu adalah jihad di jalan Allah. J ika salah seorang dari kalian berangkat haji, umrah, ataupun jihad, kami senantiasa menjaga harta benda dan menyiapkan pakaian kalian. Kami juga yang
8
mendidik anak-anak kalian. Apakah pahala kami setara dengan pahala kalian?” (Haitsam Manna’ , 2001: 36).4 Beberapa studi menunjukkan faktor-faktor yang menyebabkan posisi perempuan semakin terjepit dan terkungkung setelah fase kenabian. Invasi Islam yang berkembang makin pesat, sistem perbudakan yang tetap eksis, pembagian kelas sosial, poligami, dan pemerintahan tiranik dianggap faktor-faktor penting oleh Mansour Fahmi. Haitsam Manna’ mengkategorikannya menjadi tiga hal utama. Pertama, dominasi pengetahuan dan pendidikan oleh kalangan agamawan, sehingga tafsir agama mengalami banyak bias gender. Kedua, ditutupnya sektor publik hanya untuk laki-laki sehingga perempuan tidak mungkin mendapatkan otonomi diri. Dan ketiga, sebagaimana biasanya dalam sistem masyarakat tribalistik, ketentuan tentang ” kepentingan umum” diputuskan dari atas (Haitsam Manna’ , 2001: 58). Di luar faktor-faktor itu, kalangan rekonstruksionis-reformis punya penjelasan apologis lainnya. Sebagai misal, pendeknya masa karir Nabi di Madinah. W aktu sepuluh tahun dianggap sebagai fase yang sangat singkat untuk melakukan perubahan yang progresif terhadap tradisi misoginis yang sudah tertanam kuat di Yatsrib. Di era belakangan, muncul permusan konsep-konsep yang lebih ekstem tentang ghadd albashar, zina mata, dan kesucian perempuan, khususnya yang berlaku bagi kalangan perempuan merdeka. Dari berbagai riwayat Islam, Haitsam Manna’ menyimpulkan bahwa sesungguhnya konsep hijab pun sebetulnya bukan muncul dari motif ingin menutup dan mengundurkan diri dari dunia (rahbanat al-hayât addunyâ) , tapi lebih tepat dipahami sebagai instrumen pembedaan kelas sosial di antara para perempuan (merdeka, hamba sahaya, atau ahli dzimmah). Buktinya, para budak di masa sahabat tetap berkeliaran di jalan dengan kepala terbuka, serta dapat berinteraksi secara wajar dengan kaum laki-laki. Dari sinilah kemudian muncul penilain bahwa menjadi budak berarti lebih memiliki otonomi diri daripada menjadi perempuan merdeka karena mendapat kebebasan di sektor publik dan akses untuk mengembangkan diri. Di antara mereka kemudian muncul para penyair, penyanyi, perawat, dan tentu saja, pelacur. Nanti, tiba masanya ketika para pemimpin Islam di Konstantinopel, Andalusia, dan Kesultanan Mamluk, berasal dari anak-keturunan budak yang lebih berbudaya dan berwawasan.5 Al-Baihaqi meriwayatkan dari Anas bahwa ” budaknya Umar pernah melayani kami dengan rambut yang terurai dan dada yang bergoncang.” Bahkan al-Albani mengatakan, salah satu ketentuan tentang ahli dzimmah pada masa-masa awal Islam adalah agar kalangan perempuannya tetap terlihat kaki dan betisnya supaya tidak tampil serupa dengan perempuan muslim. Riwayat semacam ini menunjukkan bahwa latar belakang hijab jauh sekali dari konsep belakangan tentang fitnah dan ketertutupan total (as-satr al-`âm). Bahkan, para peneliti yang serius menyimpulkan bahwa pada masa wafatnya Nabi sekalipun, perempuan yang berjilbab jauh lebih sedikit dibandingkan yang tak berjilbab karena jilbab dianggap anjuran untuk para isteri Nabi saja.6 Kondisi darurat militer yang tak kunjung berakhir, hegemoni sistem patriarkhi, telah menimbulkan ketentuan-ketentuan yang makin ketat terhadap perempuan. Seiring perkembangan zaman, pada abad I-III H, gambaran tentang perempuan dalam kitab-kitab hadis dan fikih semakin suram. Lihatlah misalnya bagaimana kaum Maliki mendifenisikan nikah: kontrak untuk mengecap kenikmatan dengan seorang perempuan. Kaum Hanbali berdefinisi, ” Kontrak berlafazkan nikah dengan manfaat kemikmatan.” Sementara kaum Hanafiyah mendefenisikannya sebagai, ” Kontrak yang dilakukan dengan sengaja, yang berfungsi untuk mendapatkan kenikmatan. Subjeknya adalah laki-laki, bukan Lihatlah, tuntutannya adalah pahala yang sama di akhirat kelak, bukan perlakuan yang setara. Inilah salah satu kritik kalangan dekonstruksionis terhadap kalangan rekonstruksionis-reformis. Intinya: Quran menyetarakan laki dan perempuan hanya dalam persoalan yang abstrak-abstak, dan membedakannya dalam perkara yang konkret-konkret. 4 Lihatlah, tuntutannya adalah pahala yang sama di akhirat kelak, bukan perlakuan yang setara. Inilah salah satu kritik kalangan dekonstruksionis terhadap kalangan rekonstruksionis-reformis. Intinya: Quran menyetarakan laki dan perempuan hanya dalam persoalan yang abstrak-abstak, dan membedakannya dalam perkara yang konkret-konkret. 5 Mereka inilah yang disebut oleh Ahmad Amin dalam Dluha al-Islâm sebagai bagian dari kaum peranakan (taulîd) yang akan memperkaya lini-lini peradaban Islam. 6 Ada perdebatan panjang seputar isu ini. Antara lain, mereka yang mewajibkan jilbab menafsirkan anjuran untuk isteri Nabi yang merupakan teladan perempuan Islam juga merupakan anjuran untuk yang lainnya. Yang lain mengatakan tidak, dengan alasan, isteriisteri Nabi bukanlah seperti perempuan lainnya (lastunna ka sâ’ iri nisâ’ i al-`âlamîn) . 4
9
perempuan.” Definisi terakhir ini punya kesamaan dengan definisi Syiah Imamiyah yang sampai saat ini masih membolehkan nikah mut’ ah (Haitsam Manna’ , 2001: 40). Karena itu, tidak mengherankan bila al-Baihaqi pun pernah meriwayatkan hadis yang diklaim dari Nabi. Isinya, ” Pernikahan adalah sejenis perbudakan. (Karena itu) hendaklah kalian mencermati betul di mana ia harus menempatkan kemurahan hatinya.” At-Tirmidzi meriwayatkan hadis tentang sujud kepada laki-laki. Muslim meriwayatkan hadis tentang Hawa sebagai penyebab pengkhianatan perempuan terhadap laki-laki; perlunya waspada terhadap dunia dan wanita; tidak ada petaka yang lebih besar bagi laki-laki selain perempuan; dan perempuan datang dan pergi seperti setan. Al-Munzdiri dalam at-Targhîb wa at-Tarhîb menyebut perempuan tali jerat setan; dan hendaklah tidak berkhalwat antara laki-laki dan perempuan kecuali pihak ketiganya adalah setan (Haitsam Manna’ , 2001: 44). Puncaknya adalah ketiga Imam al-Ghazali berpetuah tentang seperti apa wanita ideal itu. ” Perempuan memiliki sepuluh lapisan aurat. Ketika ia menikah, suaminya telah menutup salah satu lapisan auratnya. Ketika ia mangkat, kuburan yang akan menutupi keseluruhan auratnya.” Ia banyak sekali mengutip hadis-hadis misoginis. Di dalam Ihyâ Ulum ad-Dîn, dia menuliskan, ” Ringkasnya, tanpa berpanjang-panjang tentang etiket perempuan adalah: ia haruslah tetap menjadi sendi yang tidak keluar dari rumahnya. Tidak banyak menuntut dan menonjolkan diri. Sedikit bicara pada tetangga. Tidak bertandang kecuali memang diperlukan. Menjaga kehormatan suami ketika ia sedang bepergian dan meneyenangkannya dalam banyak perkara. Tidak mengkhianti kesetiaan dan harta bendanya. Tidak keluar rumah kecuali seizinnya. Kalau diizinkan keluar, ia sedapat mungkin mesti mengendap-endap. Ia mesti mencari jalangan yang sepi sambil menghindari jalan raya dan keramaian pasar. Dan, dan, dan....” (Haitsam Manna’ , 2001: 46). Ini berbeda sekali dengan pendapat filosof tercerahkan seperti Ibnu Rusyd yang cermat mengamati ketimpangan gender dan akar persoalan sosial yang muncul darinya. Ibnu Rusyd misalnya menganggap potensi perempuan memang tidak tampak karena memang tidak diberi kesempatan. ” W ajar bila separuh dari populasi masyarakat kita dianggap sebagai beban atau petaka karena mereka memang tidak diberi kebebasan untuk menopang otonomi dirinya. Tampak di sini, kelompok masyarakat yang tercerahkan seperti Ibnu Rusyd sangat hati-hati dan memendam curiga maha besar terhadap upaya domestifikasi perempuan, sekalipun dengan alasan-alasan yang tampak mulia.
Daftar Pustaka: Abdul Raziq `Id, 2003, Sidnat Hayâkil al-W ahm: Naqd al-`Aql al-Fiqhîy , Beirut: Dar at-Thalî`ah. Bintus Syathi, 2005, Nisâ’ un Nabîy , Cairo: Darul Ma’ arif. Gamal al-Banna, 1998, al-Mar’ ah al-Muslimah Baina Tahrîr al-Qur’ ân wa Taqyîd al-Fuqahâ’ , Cairo: Dar alFikr al-Islâmî. Haitsam Manna’ , 2001, al-Islâm wa Huqûq al-Mar’ ah, Cairo: Markazul Qahirah li Dirâsat Huqûq al-Insân. Khalil Abdul Karim, 1990, al-Djuzûr at-Târîkhiyyah li as-Syarî`ah al-Islâmiyyah, Cairo: Dar Sina li an-Nasyr. Khalil Abdul Karim, 1992, Mujtama`u Yatsrib: al-`Alâqah bain al-Rajul wa al-Mar’ ah fi al-` Ahdain alMuhammadîy wa al-Khalîfîy. Cairo: Dar Sina li an-Nasyr. Mansour Fahmi, 1997, Ahwâl al-Mar’ ah fî al-Islâm (terj. Rafidah Miqdadi), Cologne: Mansyurat al-J umal. Nasr Hamid Abu Zayd, 2000, Dawâir al-Khauf: Qirâah fi Khitâb al-Mar’ ah, Dar al-Baidlâ’ : al-Markaz alTsaqâfi al-`Arabîy. Sulaiman an-Nadawi, 2007, Aisyah: The Greatest W oman in Islam (terj. Iman Firdaus), J akarta: Qisthi Press.
10