BAHAN AJAR ILMU HAMA HUTAN
OLEH SUBYANTO
FAKULTAS KEHUTANAN LTNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2000
Universitas Gadjah Mada
KATA PENTANTAR
Penulisan Buku Ajar mi dimaksudkan untuk dapat membantu mahasiswa S-I Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada khususnya dalarn mempelajari Ilmu Hama Hutan, yang merupakan Mata Kuliah wajib untuk Jurusan Budidaya Hutan. Bahan-bahan ynag digunakan dalam penulisan buku mi bersumber pada Pustaka wajib maupun Pustaka penunjang serta sumber-sumber lain, yaitu Laporan Penelitian, basil pengarnatan lapangan yang dilakukan oleh penulis maurun informasi dan pihak lain, termasuk dan media cetak maupun media elektronika. Dalam Buku Ajar ini akan dibahas 6 (enam) bab (Pokok Bahasan), yaitu 1. Pendahuluan, 2. Struktur Tubuh Serangga dan Fungsi, 3. Taksonomi Serangga, 4. Ekologi Serangga Hama, 5. Pengendalian Serangga Harna Hutan, dan 6. Harnahama Penting pada Hutan Tanaman Industni di Indonesia. Tujuan lnstruksional Umum (TIU) Mata Kuliah mi adalah : setelah mengikuti Mata Kuliah ini mahasiswa akan dapat memahami dan menjelaskan tentang Ilmu Hama Hutan, Serangga Harna Hutan dan Bioekologinya, dan dapat melakukan Pengendalian Harna Hutan, khususnya Serangga Hama Penting pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia. Banyak pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Buku Ajar ini untuk itu atas segala bantuannya diucapkan terima kasih. Walaupun penulisan Buku Ajar mi telah diusahakan sebaik-baiknya, namun demikian disadari bahwa isi maupun tulisan dalam buku mi masih dijumpai banyak kekurangan bahkan kekeliruan. Untuk itu segala kritik
maupun
saran
dan
berbagai
pihak
rnasih
sangat
diharapkan
demi
penyernpurnaan penulisan buku ini. Akhir kata, sernoga buku ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi mahasiswa khususnya maupun pihak lain yang berkecimung di bidang kehutanan.
Yogyakarta, April 2000 Penulis
Universitas Gadjah Mada
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dibahas 4 (empat) sub bab, yaitu (1) Pengertian dan Batasan, (2) Arti Pentingnya Ilmu Harna Hutan, (3) Hubungan antara Serangga dan Tanaman dan (4) Cara Merusak dan Gejala Kerusakan. Tujuan Instruksional Khusus (TIK) bab mi adalah : setelah mengikuti kuliah mi rnahasiswa akan dapat mernahami dan menjelaskan pengertian dan batasan maupun arti penting Ilmu Hama Hutan hubungan antara serangga hama dan tanaman, dan cara merusak dan gejala kerusakan. A. Pengertian dan Batasan Menurut Graham (1963), yang dimaksud dengan Ilmu Hama Hutan adalah ilmu yang mempelajari hal ikhwal tentang binatang-binatang yang menimbulkan gangguan!kerusakan terhadap pohon atau tegakan hutan maupun hasil hutan. Yang dirnaksud dengan istilah binatang di sini adalah semua rnahkluk hidup dan golongan binatang herbivora (pemakan tumbuhan), mulai dan binatang yang memiliki ukuran tubuh sangat kecil (rnisalnya Tungau) sampai dengan binatang yang memiliki ukuran tubuh sangat besar (misalnya Gajah) yang berada di dalam hutan yang aktivitas hidupnya dapat menimbulkan kerusakan / kerugian terhadap hutan. Borror dan DeLong (1970) mengemukakan bahwa dunia binatang dikelompokkan menjadi 14 fila, sernentara itu pengarang lain mengelompokkan dunia binatang menjadi 22 fila. Di antara fila tersebut yang berperan sebagai hama dan menimbulkan gangguanlkerusakan terhadap hutan terutama termasuk ke dalam filum Nemathelminthes/Aschelminthes, filum Mollusca, filum Arthropoda dan filum Chordata. Ketiga fila pertama karena tidak mempunyai tulang belakang dikelompokkan ke dalam Invertebrata, sedangkan filum Chordata yang bertulang belakang dikelompokkan ke dalam Vertebrata. Dalam kenyataannya dapat dikatakan bahwa sebagian besar atau kira-kira 75 % dan jenis binatang yang ada termasuk golongan serangga, filum Arthropoda. Oleh karena itu untuk selanjutnya berkembanglah ilmu khusus yang mempelajari masalah serangga, yang disebut Entomologi (Knight dan Heikkenen, 1980). Entomologi berasal dan bahasa Yunani, terdiri atas dua kata, yaitu entornos adalah irisan/ruas-ruas (hinatang beruas-ruas) dan logos adalah ilmu. Sehingga entomologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bmnatang yang tubuhnya beruas-ruas, dalarn hal ini serangga.
Universitas Gadjah Mada
Senada dengan uraian tersebut, Coulson dan Wilier (1984) mengemukakan bahwa berbicara tentang Ilmu Hama Hutan, maka perhatian kita akan tertujukan pada serangga-serangga dalam hubungannya dengan hutan dan hasil hutan, yang aktivitas hidupnya dapat menimbulkan kerusakan/ kerugian terhadap hutan dan hasil hutan. Telah dikemukakan bahwa di planet bumi ini serangga merupakan organisme yang paling dominan, meliputi lebih kurang 75 % dan jenis binatang yang ada, dan eksistensinya dijumpai di mana-mana, baik di dalam tanah, air dan di permukaan bumi/udara bebas. Kemampuan adaptasi serangga-serangga tersebut terhadap lingkungannya sangat tinggi, hal tersebut disebabkan oleh karena keberadaannya di planet bumi ini lebih dan 300 juta tahun dan telah mengalami evolusi dan beradaptasi pada hampir setiap habitat yang dijumpainya. Sehubungan dengan kenyataan tersebut hampir-hampir orang tidak dapat menyesuaikan segala sesuatu tentang serangga tersebut secara pasti. Lebih lanjut dikemukakan bahwa Ilmu Harna Hutan merupakan suatu subyek yang melukiskan tentang pengetahuan dan berbagai keahlian!akademisi yang berbeda-beda, termasuk Entomologi Umum, Kehutanan dan Ekologi. Ilmu Hama Hutan melibatkan pertimbangan aktivitas serangga yang mernainkan peranan dalarn suatu ekosistem hutan, termasuk di dalamnya pengelolaan hutan dengan tujuan yang khusus, misalnya kebun benih, persemaian maupun hutan-hutan di daerah urban. Aktivitas hidup serangga-serangga tersebut dapat menimbulkan dampak, baik yang bersifat positif maupun negatif terhadap kondisi hutan dan hal tersebut tergantung kepada sistern
nilai
yang
digunakan
yang
berkaitan
dengan
aktivitasnya
yang
merusak/merugikan. Perlu disadari bahwa sebagian dan jenis-jenis serangga tersebut juga memainkan suatu fungsi yang bermanfaat bagi kemanusiaan, dan hal tersebut telah diidentifikasikan rnelalui studi-studi yang mendasar tentang ekobiologi dan perilakunya. Dalam kasus yang lain, serangga dapat mengganggu perencanaan hutan yang diaplikasikan dan dianggap sebagai hama. Sebagai contoh, di Amerika Serikat dalam tiga dekade pertengahan abad XX (tahun 19501970-an), pengetahuan tentang Ekologi Serangga Hutan berkembang sangat hebat. Di bagian lain oleh Coulson dan Witter (1984) dikernukakan bahwa dapat diadakan pembagian yang lebih rinci terhadap Ilmu Hama Hutan yang berkaitan dengan subyek-subyek yang dipelajarinya. Selanjutnya dipisahkan antara Ilmu Hama Hasil Hutan (Forest Product Entomology) dan Ilmu Harna Hutan (Forest
Universitas Gadjah Mada
Entomology).
Jauh
sebelumnya
Anderson
(1960)
juga
telah
menyajikan
pembahasan yang lebih khusus tentang Ilmu Hama Hutan dan Pohon-pohon Pelindung (Forest and Shade Tree Entomology). Yang dimaksud dengan pohon pelindung adalah pohon-pohon yang secara berkelompok atau secara individu tumbuh pada sebidang lahan tertentu, misalnya pada hutan-hutanl taman-taman kota, pohon-pohon di tepi jalan maupun pohon-pohon hias (ornamental trees) yang tumbuh di halaman rumah ataupun gedung-gedung perkantoran dan lainnya. Kaitan antara Ilmu Hama Hutan dengan Ahli Ilmu Hama (Entomologist) adalah dalam hal yang sering tarripak dan dialamina, yaitu bahwa hama-hama tersebut dapat menimbulkan kerusakan terhadap pohon dan semak maupun interaksi antara serangga dengan tanaman, binatang-binatang yang lain maupun lingkungan fisiknya. Sehubungan dengan hal tersebut maka pelajaran yang diaplikasikan dalam Ekologi Serangga Hutan harus dikerjakan secara bersamasama dengan Silvikultur, Manajemen, Kebijakan, Tujuan Ekonomi Pengusahaan Hutan dan Sumber Daya Hutan. OIeh karena itu seorang Ahli Ekologi harus mempunyai dasar yang kuat tentang Ilmu Kehutanan dan Entomologi. Atau dalam kata lain bahwa dalam mempelajari Ilmu Hama Hutan diperlukan ilmu-ilmu pendukung, baik ilmu dasar maupun ilmu terapan, antara.. lain Biologi (beserta cabang-cabang ilmunya, yaitu Botani, Zoologi, Anatomi, Fisiologi, Genetika dan Ekologi), Timu Kimia, Ilmu Fisika, Matematika, Silvikultur dan Ilmu Ekonomi. B. Arti Pentingnya Ilmu Hama Hutan Arti penting secara ekonomis serangga hutan di Indonesia sampai sekarang belum/tidak banyak terungkap. Kemungkinan besar hal tersebut merupakan bukti ulang sejarah Entomologi (Ilmu Hama). Sebagai contoh di Amerika Serikat yang waktu itu Entomologi belum berkembang sebagai akibat masih begitu luasnya hutan alam yang dimilikinya. Di Indonesia luas hutan dan kawasannya pada saat ini kira-kira 140 juta ha. Dan luas tersebut sebagian terbesar merupakan hutan alam yang karena memiliki diversitas biotis yang tinggi sehingga menciptakan keseimbangan biologis yang mantap,
maka
entomologis.
ekosistem
Tentu
saja
hutan dengan
alam
tidak
kondisi
menimbulkan
demikian
tidak
permasalahan akan
memacu
kelembagaan yang mampu diserahi tugas dan bertanggung jawab mengemban misi arti dan pentingnya Ilmu Hama Hutan pada ruang lingkup yang lebih luas, yaitu Perlindungan Hutan yang cakupannya meliputi permasalahan-permasalahan tentang hama hutan, penyakit hutan, kebakaran hutan, penggembalaan ternak
Universitas Gadjah Mada
dalam hutan, gulma hutan maupun kegiatan/ aktivitas manusia yang lain yang merusak di dalam hutan. Akibat lebih lanjut belum berkembangnya penanganan hama hutan tidak terpacu pula tenaga yang profesional dalam bidang Ilmu Hama Hutan beserta segala sarana dan prasarana kerja yang dibutuhkan. Dalam hal yang lain karena diketahuinya status populasi hama yang merugikan sering seakan-akan muncul dengan tiba-tiba dan munculnya wabah ini sering hanya terpantau oleh perorangan (rimbawan), maka akibatnya adalah penanganan dan pengendalian hama tersebut sudah menjadi terlambat, populasinya telah menjadi melimpah sehingga konsekuensinya biaya pengendalian hama menjadi mahal dan usaha pengendalian hampir selalu tidak mungkin dapat dilaksanakan. Ekosistem hutan tanaman hasil rekayasa/budidaya manusia merupakan ekosistem binaan yang rentan dari segi entomologis dan fitopathologis, sebagai akibat miskinnya keaneka ragaman jenis, umur dan keanekaragaman kondisi yang lain. Sebaliknya, adanya kelimpahan jenis terpilih yang dibudidayakan (secara monokultur dan luas, seringkali menggunakan jenis exote dan cepat tumbuh) menyebabkan berlimpahnya, secara terus-menerus, prsediaan makanan (nutrisi) bagi serangga hama yang berinangkan jenis terpilih tersebut. Tanaman budidaya dengan ekosistem binaan seperti yang sudah berkembang lama di pertanian dan perkebunan telah diantisipasi dengan konsekuensi penyiapan tenaga yang profesional maupun sarana dan prasarana yang diperlukan dalam suatu lembaga yang telah mapan untuk menghadapi masalah hama dan penyakit. Dengan dicanangkannya program Hutan Industri (HTI) oleh Pemerintah Indonesia seluas 6,2 juta ha yang dimulai sejak 1986, dengan luas penanaman per tahun mencapai kira-kira 250-300 ribu ha, tentu saja adanya sifat-sifat yang melekat pada HTI tersebut
akan
mengundang
munculnya
permasalahan,
khususnya
dalam
mengelola hutan tersebut dari aspek perlindungan, yang mencakup perlindungan hutan terhadap hama, penyakit, kebakaran, penggembalaan ternak dalam hutan, gulma dan aktivitas manusia yang merugikan hutan. Seperti diketahui bahwa sebagian besar serangga adalah pemakan tanaman/jaringan tanaman (fitofagu). Serangga yang bertindak sebagai hama perlu ruang hidup untuk memperoleh makanan, tempat berbiak dan tempat berlindung. Karena serangga mempunyai bermacam macam potensial biotik (‘biotic potential) dengan daya reproduksi dan daya tahan (survival) yang tinggi, maka populasinya dapat meningkat dengan cepat dan menjadi sangat banyak, dan merugikan. Dalam
Universitas Gadjah Mada
kondisi seperti ini manusia akan berkompetisi dengan serangga dalam memperoleh komoditi tanaman budidaya dan dalam hal inilah serangga tertentu dianggap sebagai pengganggu tanaman atau sebagai hama. Masalah yang menyangkut arti pentingnya hama sebagai penyebab kerusakan hutan bukan diukur berdasarkan pada besar kecilnya ukuran fisik/ tubuh serangga hama, tetapi diukur berdasarkan tingkat kepadatan populasi serangga hama tersebut. Semakin tinggi tingkat kepadatan populasi serangga hama akan semakin besar pula kerusakan/kerugian yang ditimbulkan pada tanaman/tegakan hutan. Kerugian yang disebabkan oleh hama dapat diukur secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Disebut kerugian kuantitatif apabila terjadi penurunan masa produk kayu/hasil hutan lain yang dipungut, sementara kerugian kualitatif merupakan kerugian yang tidak dapat dinilai secara langsung, misalnya akibat serangan kumbang penggerek kayu menjadi berlubang-lubang sehingga harganya menjadi rendah/murah. Adanya serangan hama pemakan daun menyebabkan menurunnya nap, nilai estetika hutan atau fungsi hutan yang lain, dan dalam pemuliaan pohon hutan. Peranan merusak hama pada tegakan dan hasil hutan dapat dilihat pada contoh klasik berikut ini.
Universitas Gadjah Mada
Pada tabel tersebut tampak bahwa peranan merusak serangga, baik pada tegakan hutan maupun kayu gergajian, masing-masing mencapai angka 25 % dan 26 %. Peranan penting Ilmu Hama Hutan dikemukakan oleh Graham dan Knight (1965) yang menyatakan bahwa 90 % pekerjaan pengelolaan hutan sebetulnya merupakan kegiatan perlindungan. Tanpa usaha perlindungan, khususnya terhadap hama, maupun penyakit, kebakaran, penggembalaan ternak dalam hutan, gulma atau pencurian, maka sulit dibayangkan bagaimana akan mencapai keberhasilan pengelolaan hutan yang baik. Berbicara tentang serangga khususnya, dapat dikatakan bahwa tidak semua jenis berperanan dalam menimbulkan gangguan terhadap hutan. Sebaliknya, juga banyak dijumpai serangga-serangga yang justru bermanfaat bagi kehidupan manusia di atas planet bumi ini. Jenis-jenis serangga yang disebutkan pada uraian terakhir di atas dikelompokkan menjadi serangga berguna (useful insects) dan serangga bermanfaat (beneficial insects) (Coulson dan Witter, 1984), meliputi: (1) Serangga yang menghasilkan produk
yang bermanfaat/berguna bagi
manusia, misalnya ulat sutera, kutu lak, lebah madu dan jenis-jenis kutu yang menghasilkan zat pewarna alami. (2) Serangga penyerbuk, misalnya lebah madu (Apis spp.) kumbang penyerbuk bunga kelapa sawit dan lainnya. (3) Serangga sebagai bahan makanan, baik untuk manusia maupun hewan, misalnya laron, pupa ulat jati, belalang, gangsir dan lainnya. (4) Serangga yang membantu mengendalikan hama/perusak tanaman, yaitu predator dan parasit, misalnya capung, belalang sembah dan Curinus coerulius dan lainnya. (5) Serangga saprofagus (pemakan sampah/sisa bahan organik), misalnya rayap tanah, ekor pegas, dung beetle (pemakan kotoran ternak di padang rumput Australia).
Universitas Gadjah Mada
(6) Serangga pemakan gulma dan sebagai vektor penyakit. (7) Serangga sebagai makanan ikan di perairan air tawar (sungai, dll) dan serangga sebagai makanan ternak (unggas : ayam, burung dll). (8) Serangga sebagai indikator terjadinya polusi lingkungan. (9) Nilai estetis dan pendidikan/penelitian dan serangga serta manfaat yang lain. C. Hubungan Antara Serangga Hama dengan Tanaman Hubungan antara serangga hama dengan tanaman adalah sangat erat, dan hampir-hampir bentuk hubungan tersebut tidak dapat dipisahkan. Seperti diketahui bahwa bagi serangga-serangga fitofagus, perkembangan dan kehidupan serangga tersebut sangat dipengaruhi oleh tanaman sebagai sumber makanannya atau tempat untuk berlindung dan berbiak. Kecenderungan serangga hama dalam memilih suatu tanaman untuk memperoleh makanan (inang) tergantung pada sifatsifat yang dimiliki oleh tanaman itu sendiri yang disukai oleh serangga hama, melalui indera yang dimiliki oleh serangga tersebut, misalnya indera pembau, penglihatan dan pendengaran (yang berupa antena), mata faset, cerci, ovipositor, tarsus dan palpus. Karena adanya variasi sifat-sifat tanaman serta perilaku serangga dalam memilih inangnya, maka tidak setiap tanaman dapat dijadikan inang, tetapi sebaliknya tiap-tiap serangga hama mempunyai kisaran inang (hostrange) tertentu. Berdasarkan inangnya serangga hama dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu: (1) Serangga monofagus yaitu golongan serangga hama yang hanya mempunyai satu jenis tanaman untuk makanannya. Contoh ulat sutera (Bombyx mori) (Lepidoptera: Bombicydae) yang hanya memakan daun murbei (Morus sp.), kutu loncat lamtoro Heteropsylla cubana (Homoptera : Psyllidae) yang menyerang tanaman Lamtoro (Leucaena leucocephala). (2) Serangga oligofagus yaitu golongan serangga hama yang mernpunyai beberapa jenis tanaman untuk makanannya yang termasuk di dalam satu famili. Contoh ulat daun jati yaitu Hyhlaea puera (Lepidoptera : Noctuidae) dan Pyrausta machaeraiis (Lepidoptera: Pyralidae) dengan inang pengganti Tembelekan (Lantana camara) Fam. Verbenaceae, maupun jenis-jenis mangrove Rhizophora sp. dan Avicenia sp.
Universitas Gadjah Mada
(3) Serangga polifagus yaitu golongan serangga hama yang mempunyai banyak jenis
tanaman
untuk
makanannya.
Contoh
Belalang
kayu
(Valanga
nigricornis). Di satu sisi dijumpai adanya hubungan yang erat antara tanaman dengan serangga hama, sedangkan di sisi lain dijumpai pula adanya jenis-jenis tanaman yang memiliki sifat-sifat yang dapat menolak/ tidak disukai bahkan tahan (resisten) terhadap serangga hama, seperti adanya rambut-rambut yang panjang dan rapat pada daun dan batang, karena daun bersifat liat dan kuat sehingga tidak mudah ditembus oleh alat mulut serangga, juga karena adanya zat kimia beracun ataupun zat resin di dalam tanaman yang tidak disukai serangga hama. D. Cara Merusak dan Gejala Kerusakan Dalam membicarakan kerusakan yang ditimbulkan oleh hama tidak dapat lepas dari pembicaraan morfologi alat mulut serangga. Pada serangga khususnya dikenal 2 tipe dasar alat mulut, yaitu tipe pengunyah (mandibulala) dan pengisap (haustelate). Pada tipe pengunyah terdapat satu pasang mandibula yang dapat digerakkan ke samping dan dapat digunakan untuk menggigit dan mengunyah makanannya. Pada tipe pengisap alat mulut merupakan bagian yang memanjang, disebut proboscis, yang digunakan untuk mengisap makanan berbentuk cair. Pada tipe ini mandibula mengalami modifikasi menjadi bentuk memanjang, membentuk stilet dan bahkan kadang-kadang mandibula tidak berkembang. Kedua tipe dasar alat mulut serangga tersebut dapat mengalarni modifikasi dan bervariasi dalam berbagai
macam
tipe
alat
mulut,
seperti
tipe
penggigit
-
pengunyah,
pengunyah/penggigit - pengisap, penjilat - pengisap, pencucuk - pengisap dan pengisap. Gejala kerusakan yang ditimbulkan serangan hama dapat digunakan sebagai alat identifikasi serangga hama penyebab kerusakan dan rnenafsirkan ukuran populasi serangga hama yang rnenyerang dan selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menetapkan cara pengendaliannya. Menurut cara merusaknya, hama tanaman dapat digolongkan ke dalam beberapa kelompok, yaitu hama penyebab gejala puru (bengkak pada bagian tanaman yang diserang), hama pemakan, hama penggerek dan hama pengisap. Sementara gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh hama dapat terjadi pada berbagai bagian tanaman, yaitu pada akar, batang dan kulit, cabang dan ranting, pucuk atau titik tumbuh, daun, buah dan biji.
Universitas Gadjah Mada
Bentuk kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh suatu hama pada pohon atau tegakan hutan dapat digolongkan sebagai berikut. 1. Kerusakan langsung, meliputi: (1) Mematikan pohon, (2) Merusak sebagian dan pohon, (3) Menurunkan kualitas hasil-hasil hutan, (4) Menurunkan pertumbuhan pohon! tegakan dan (5) Merusak biji dan buah. 2. Kerusakan tidak Iangsung, meliputi: (1) Merubah suksesi atau komposisi tegakan, (2) Menurunkan umur tegakan, (3) Menimbulkan kebakaran hutan, (4) Mengurangi nilai keindahan (estetika) dan (5) Membawa penyakit. Semua bagian pohon, yaitu akar, batang, daun, bunga, buah dan bijinya dapat diserang hama. Semua tingkat umur pohon/ tegakan, yaitu biji dan buah, kecambah, bibit tanaman di persemaian sampai pohon-pohon tua atau masak tebang dan bahkan produk-produknya yang telah digunakan sebagai bahan konstruksi maupun perabot rumah tangga atau bahkan yang berada di dalam gudang selalu mungkin dapat dirusak oleh hama. Hama yang merusak daun, hama yang merusak batang dan hama yang merusak bagian pohon lainnya biasanya tidak sama. Pada buku ini yang akan dibahas lebih lanjut adalah serangga hama yang menimbulkan kerusakan terhadap hutan/ tegakan hutan.
Rangkuman Ilmu Hama Hutan adalah ilmu yang mempelajari hal ikhwal tentang binatang, khususnya serangga, yang aktivitasnya menimbulkan kerusakan/ kerugian terhadap hutan/tegakan hutan. Dalam pembuatan tanaman hutan yang menerapkan sistem silvikultur intensif maka pengenalan maupun pemahaman tentang serangga hama hutan harus ditangani secara proporsional. Untuk itu perlu pemahaman tentang hal-hal yang berkaitan dengan arti pentingnya hama hutan, hubungan antara serangga hama dengan tanaman dan cara merusak serta gejala kerusakan oleh serangga hama.
Latihan
Universitas Gadjah Mada
1.
Tulislah definisi Ilmu Hama Hutan menurut Coulson dan Witter (1984). Jelaskan perbedaan antara Ilmu Hama Hutan menurut Graham (1963) maupun menurut Coulson dan Witter (1984).
2.
Berikan paling tidak 2 (dua) alasan mengapa Ilmu Hama Hutan sering diidentikkan dengan Ilmu Serangga Hutan (Forest entomology)?
3.
Hubungan antara serangga herbivora dengan tanaman tertentu adalah sangat erat dan bahkan hampir tidak dapat dipisahkan. Sebutkan 3 (tiga) bentuk hubungan keeratan tersebut, sebutkan pula 3 (tiga) pengelompokan serangga hama berdasarkan makanannya dan berikan masing-masing penjelasannya secara singkat disertai contohnya.
4.
Tidak semua serangga yang berada di dalam hutan bertindak sebagai hama hutan, tetapi sebaliknya banyak di antaranya bermanfaat atau berguna bagi hutan maupun bentuk kehidupan yang lain. Sebutkan paling tidak 5 (lima) contoh serangga yang bermanfaat/ berguna tersebut dan berikan masingmasing penjelasannya secara singkat.
5.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh serangga hama terhadap tegakan hutan dapat berbentuk kerusakan langsung maupun kerusakan tidak Iangsung. Jelaskan dan berikan masing-masing contohnya.
6.
Pembangunan hutan tanaman industri (HTI) dalam skala luas di luar Pulau Jawa dimungkinkan akan berhadapan dengan masalah gangguan hutan, khususnya dari ganggann hama. Jelaskan mengapa HTI relatif lebih rentan terhadap gangguan hama, dan berikan. paling tidak 3 (tiga) alasannya.
Daftar Pustaka Anderson, R. F., 1960. Forest and Shade Tree Entomology. John Wiley and Sons, Inc. New York-London-Sydney. 428 p. Borror, D. J. and D. M. DeLong. 1970. An Introduction to The Study of insect. Third Edition. Reinhart and Winston. New York — Chicago — San Francisco — Atlanta — Dallas — Montreal - Toronto — London - Sydney. Coulson, N. C. and J. A. Witter, 1984. Forest Entomology. Ecology and Management. A Wiley - Interscience Publication. John Wiley and Sons. New York — Chichester — Brisbane — Toronto - Singapore. 665 p. Graham, K., 1963. Concepts of Forest Entomology. Reinhold Publishing Corp. New York. Chapman and Hall, Ltd. London. 388 p.
Universitas Gadjah Mada
Graham, S. A. and F. B. Knight, 1965. Principles of Forest Entomology. Fourth Edition. McGraw-Hill Book Company. New York - St.Louis — San Francisco — Toronto — London - Sydney. 417 p. Knight, F.B. dan H.J. Heikkenen, 1980. Principles of Forest Entomology. Fifth ed. McGraw-Hill Book Co. New York. 461 p.
Universitas Gadjah Mada