Bagian Kesatu HAK PENGUSAHAAN PERAIRAN PESISIR: TINJAUAN ASPEK EKONOMI, LINGKUNGAN, DAN SOSIAL* Lukman Adam, S.Pi., M.Si.**
*
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2012. Peneliti bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik di Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data dan Pelayanan Informasi Setjen DPRRI.
**
BAB I PENDAHULUAN
Perairan pesisir merupakan wilayah transisi antara daratan dan lautan. Di dalamnya terdapat ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan ikan. Karakteristik sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya sangat beragam, terdapat penduduk asli atau pendatang, berpenghidupan dengan mengeksploitasi sumber daya alam atau jasa lingkungan, relatif sejahtera atau masih tertinggal. Perairan pesisir sangat tergantung pada lingkungan, baik di hulu maupun hilir. Kerusakan dalam salah satu wilayah akan menyebabkan ketidakstabilan lingkungan, dan menyebabkan masyarakat yang bergantung hidup pada sumber daya alam dan lingkungan menjadi terganggu. Saat ini, kondisi sumber daya alam di wilayah pesisir sudah sangat memprihatinkan, karena ketergantungan yang tinggi pada sumber daya alam. Jumlah desa pesisir mencapai 10.666 desa,1 dari jumlah keseluruhan desa di Indonesia mencapai 66.650 desa.2 Kesejahteraan wilayah pesisir dapat ditinjau dari cara-caranya dalam memanfaatkan sumber daya alam. Ketika suatu daerah telah menjadi suatu daerah pertambangan, maka hanya sebagian masyarakat yang memanfaatkannya, bahkan sangat jarang masyarakat lokal yang memperoleh manfaat. Ditinjau dari dua aspek tersebut, yaitu: potensi wilayah pesisir, dan pilihan untuk melakukan eksploitasi atau konservasi, maka kajian dalam tulisan ini dilakukan di dua kabupaten yang mempunyai potensi pesisir sangat besar dan memanfaatkan sumber daya pesisir melalui eksploitasi yang bertanggung jawab. Kedua kabupaten tersebut adalah Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu kabupaten yang 97 persen wilayahnya merupakan lautan dan sisanya adalah daratan. Wilayah Wakatobi termasuk dalam zona Wallacea yang dikenal kaya keanekaragaman hayati,
1
2
Disampaikan oleh Halim (2011) dalam Focus Group Discussion “Tantangan Indonesia sebagai Negara Kepulauan di Era Globalisasi”, yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI. 3 Agustus 2011. Jakarta. Kementerian Dalam Negeri, 2009.
3
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial
baik di laut maupun di darat3. Salah satu keunikan Wakatobi adalah seluruh wilayahnya merupakan wilayah Taman Nasional Laut Wakatobi.4 Sedangkan Provinsi NTT dengan dukungan The Nature Conservation tengah menyiapkan kajian dan perancangan guna penetapan Perairan Laut Sawu sebagai Taman Nasional. Kajian dan perancangan sudah dilakukan sejak tahun 2009. Taman nasional ini meliputi Provinsi NTT, 10 kabupaten, dan 178 desa dengan luas wilayah mencapai 3,5 juta hektar.5 Didalamnya juga termasuk 4 dari 5 pulau terdepan, dan termasuk Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Alor dengan luas cadangan mencapai 400.008 hektar.6 Dalam kaitannya dengan wilayah pesisir, maka pengelolaannya terkait dengan sumber daya pesisir dan masyarakat yang hidup di wilayah tersebut. Ketika terjadi korelasi antara subjek yang memanfaatkan dan sumber daya yang ada, maka terjadi interaksi ekonomi. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebutkan bahwa pengusahaan perairan pesisir adalah bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk kegiatan pemanfaatan sumber daya pesisir yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Legislasi yang mengatur mengenai pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Di dalamnya termuat mengenai hak pengusahaan perairan pesisir. Pada tahun 2011, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hak pengusahaan perairan pesisir bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hak ini dikhawatirkan akan mengakibatkan wilayah perairan pesisir dikuasai oleh pemodal besar, sehingga nelayan tradisional yang telah menggantungkan kehidupannya pada sumber daya pesisir akan tersingkir. Menurut Mahkamah Konstitusi, pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil dilakukan dengan tujuan untuk: (i) melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulaupulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan, (ii) menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta (iii) memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif
3 4
5
6
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi. 2011, hal 1. Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap), Satker Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, dan CV Wahana Bahari. 2009. Hasil wawancara dengan Tim Pengkajian Penetapan dan Perancangan Pengelolaan Laut Sawu, 22 Juli 2012. Hasil wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor, 23 Juli 2012.
4
Lukman Adam, S.Pi., M.Si.
masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan dan keberlanjutan. Menurut Mahkamah Konstitusi, untuk menghindari pengalihan tanggung jawab penguasaan negara atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta, maka negara dapat memberikan hak pengelolaan tersebut melalui mekanisme perizinan. Pemberian izin kepada pihak swasta tersebut tidak dapat diartikan mengurangi wewenang negara untuk membuat kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di samping itu, negara tetap dimungkinkan menguasai dan mengawasi secara utuh seluruh pengelolaan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Melalui mekanisme perizinan, pemberian hak pengelolaan kepada swasta tidak merupakan pemberian hak kebendaan yang mengalihkan penguasaan negara secara penuh kepada swasta dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian, wilayah perairan pesisir dan pulau-pulai kecil tetap dapat dikelola secara terintegrasi dan membangun sinergi berbagai perencanaan sektoral, mengatasi tumpang tindih pengelolaan, konflik pemanfaatan dan kewenangan serta memberikan kepastian hukum.7 Atas dasar tersebut, maka kajian ini hendak mencari pengusahaan perairan pesisir yang sesuai dengan karakteristik masyarakat pesisir Indonesia. Tujuan dari kajian ini adalah menentukan pengelolaan wilayah pesisir yang mengakomodasi kepentingan masyarakat pesisir, dengan memperhatikan pemanfaatan secara ekonomi berkelanjutan dan penerimaan secara sosial, sekaligus memberikan masukan bagi perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
7
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010, hal 164-165.
5
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN
Sumber daya pesisir memiliki potensi dan permasalahan. Dalam kaitannya dengan aspek ekonomi, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah mengatur dalam bentuk hak pengusahaan perairan pesisir. Dibatalkannya pasal mengenai Hak Pengusahaan Perairan Pesisir merupakan masalah tersendiri, mengingat undang-undang ini menjadi landasan bagi Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Selain itu, di beberapa daerah terdapat Peraturan Daerah yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti di Sulawesi sebanyak 16 Perda, Kalimantan terdapat 7 Perda, Sumatera sebanyak 10 Perda, dan Jawa sebanyak 2 Perda. Dalam pengusahaan perairan pesisir, terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan, yaitu aspek sosial, perikanan, jasa-jasa lingkungan, dan keseimbangan lingkungan hidup. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup dalam proses pembangunan adalah prinsip yang senantiasa harus menjadi dasar utama bagi seluruh stakeholder. Secara umum prinsip pengelolaan sumber daya meliputi empat hal, yaitu (Suseno, 2007:123-126): 1. Prinsip kehati-hatian Hal ini termasuk dalam Code of Conduct for Responsible Nature 1995, yang menyebutkan negara harus memberlakukan pendekatan yang bersifat kehati-hatian secara luas demi konservasi, pengelolaan, dan pengusahaan sumber daya hayati guna melindungi dan mengawetkan lingkungannya. 2. Prinsip Tanggung Jawab Pengelolaan yang bertanggung jawab tidak memperbolehkan hasil tangkapan melebihi jumlah potensi lestari yang boleh ditangkap. 3. Prinsip Keterpaduan Keterpaduan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat dalam proses perencanaan, pelasanaan dan pengawasan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya. 7
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial
4. Prinsip Berkelanjutan Konsep pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mengintegrasikan komponen ekologi, ekonomi dan sosial. Setiap komponen itu saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu kekuatan dan tujuan.
Fauzi (2010: 143-161) secara khusus menyebutkan bahwa pengelolaan pengaturan atau regulasi merupakan proses evolusi yang cukup panjang. Lima fase regulasi adalah: 1) fase hak pemilikan, monopoli, dan kedaulatan; 2) regulasi berbasis biologi; 3) pembatasan melalui lisensi; 4) regulasi berbasis kuota; 5) hak pemilikan eksklusivitas. Selain itu, fase tersebut juga ada regulasi dalam bentuk perizinan, kuota dan pajak. Instrumen kebijakan dan regulasi tersebut tergolong dalam instrumen kebijakan rasionalisasi yang berbasis pasar. Kebijakan tersebut lebih diarahkan pada pengendalian pemanfaatan sumber daya dari sisi pelaku atau industri itu sendiri. Sedangkan instrumen pengendalian yang diarahkan pada pengendalian stok berupa: daerah perlindungan laut atau marine protected area, marine ranching, restocking, dan kebijakan pengendalian pencemaran dan perlindungan habitat. Selain itu, terdapat instrumen yang berbasis non-pasar yang juga diarahkan pada pengendalian sumber daya melalui berbagai mekanisme tanpa harus menggunakan mekanisme insentif dan disinsentif, seperti: pengukuhan hak masyarakat tradisional, konsumsi selektif, community awareness, ecolabelling, custodial management, dan livelihood approach. Analisis dalam penulisan ini menggunakan proses hirarki analitis dengan memerhatikan tiga atribut, yaitu atribut lingkungan, sosial dan ekonomi. Ketiga atribut ini harus menjadi satu kesatuan dalam menganalisis pengusahaan perairan pesisir. Mengingat aspek ekonomi merupakan aspek penting dalam pemanfaatan perairan pesisir, dengan memerhatikan penerimaan terhadap masyarakat sekitar, serta daya dukung lingkungan. Aspek lingkungan sangat penting diperhatikan di wilayah pesisir, karena pesisir rentan dengan kerusakan lingkungan. Wilayah pesisir sangat tergantung terhadap keberadaan hutan mangrove dan terumbu karang. Salah satu sumber daya alam tersebut hilang atau rusak akan menyebabkan abrasi dan terganggunya kestabilan lingkungan pesisir, dan berdampak pada kehidupan masyarakat. Kerangka pemikiran penulisan ini lebih lengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.
8
Lukman Adam, S.Pi., M.Si.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran dalam Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
9
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari wawancara dengan stakeholder terkait, seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Badan Lingkungan Hidup Daerah, WWF Indonesia, Tim Pengkajian Penetapan dan Perancangan Pengelolaan Laut Sawu, Kepala Daerah, dan LSM lokal. Data sekunder bersumber dari hasil laporan yang terkait dengan tujuan penulisan. Dari kerangka pemikiran dan tujuan yang dirumuskan, maka tulisan ini menggunakan proses hirarki analitis sebagai analisis data. Untuk penentuan prioritas suatu kegiatan yang jumlahnya banyak, maka asumsi-asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) harus terdapat sedikit kemungkinan tindakan, yakni: 1, 2, 3,..., n yang merupakan tindakan positif; 2) responden diharapkan akan memberikan nilai dalam angka terbatas untuk memberikan tingkat urutan (skala) pentingnya tujuan-tujuan; 3) skala yang digunakan dapat bermacam-macam bentuknya, namun dalam kajian ini digunakan metode skala angka Saaty mulai dari 1 yang menggambarkan antara satu tujuan terhadap tujuan lainnya sama penting dan untuk tujuan yang sama selalu bernilai satu, atau 9 yang menggambarkan satu tujuan ekstrim penting terhadap tujuan lainnya. Tabel 1 disajikan skala angka Saaty beserta definisi dan penjelasannya. Tabel 1: Skala Angka Saaty
Intensitas/ Pentingnya 1 3
Definisi
Keterangan
Sama penting
Perbedaan penting yang lemah antara yang satu terhadap yang lain
11
Dua aktivitas memberikan kontribusi yang sama kepada tujuan
Pengalaman dan selera sedikit menyebabkan yang satu lebih disukai daripada yang lain
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial
5
Sifat lebih pentingnya kuat
7
Menunjukkan sifat sangat penting
9 2, 4, 6, 8
Resiprokal
Rasional
Pengalaman dan selera sangat menyebabkan penilaian yang satu lebih dari yang lain, yang satu lebih disukai dari yang lain Aktivitas yang satu sangat disukai dibandingkan dengan yang lain, dominasinya tampak dalam kenyataan
Bukti antara yang satu lebih disukai daripada yang lain menunjukkan kepastian tingkat tertinggi yang dapat dicapai
Ekstrim penting Nilai tengah antara dua penilaian
Diperlukan kesepakatan (kompromi)
Jika aktivitas i, dibandingkan dengan j, mendapat nilai bukan nol, maka j jika dibandingkan dengan i, mempunyai nilai kebalikannya
Asumsi yang masuk akal Jika konsistensi perlu dipaksakan dengan mendapatkan sebanyak n nilai angka untuk melengkapi matriks
Rasio yang timbul dari skala
Sumber: Saaty (1988)
12
BAB IV POTENSI KABUPATEN WAKATOBI DAN KABUPATEN ALOR
Potensi Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor ditinjau dari besaran lapangan usaha yang memengaruhi PDRB. Data pada Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan bahwa sektor pertanian sangat memengaruhi PDRB kedua kabupaten tersebut. Sektor pertanian terdiri dari sub sektor tanaman pangan, perikanan, peternakan, dan kehutanan. Di Kabupaten Wakatobi, sektor yang memengaruhi PDRB selain sektor pertanian adalah sektor perdagangan. Hal ini diindikasikan dari banyaknya jenis usaha perdagangan yang berupa perdagangan produk elektronik dan alat rumah tangga yang diimpor dari negara lain, seperti Singapura. Dari hasil wawancara dengan Direktorat Polisi Air, Provinsi Sulawesi Tenggara, pelaku usaha dengan modus seperti ini dilakukan oleh banyak pihak dan dapat dikategorikan sebagai penyelundupan. Bahkan saat ini, Pemerintah Kabupaten Wakatobi sedang menyiapkan peraturan daerah mengenai perdagangan barang-barang hasil selundupan ini.8 Upaya yang dilakukan oleh sebagian pelaku usaha perdagangan di Kabupaten Wakatobi merupakan tindakan pelanggaran hukum, karena menyebabkan kerugian negara. Kerugian tersebut akibat tidak adanya penerimaan pajak. Tabel 2: PDRB Kabupaten Wakatobi Atas Dasar Harga Konstan menurut Lapangan Usaha
No.
8
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tahun 2008 78,986.36 10,117.53 11,013.37 1,626.52 12,757.76 33,059.04
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Minum Bangunan/Konstruksi Perdagangan
2009 86,048.58 11,141.01 12,485.50 1,871.96 15,984.37 42,878.30
Hasil wawancara dengan Direktorat Polisi Air Provinsi Sulawesi Tenggara, 6 Juli 2012.
13
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial 7. 8. 9.
Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Jasa-Jasa PDRB Satuan: Jutaan Rupiah
6,205.72 18,446.91 43,818.36 220,571.48
Tahun Dasar: 2000
7,516.41 19,339.0 47,934.87 250,716.09
Sumber: BPS Kabupaten Wakatobi (2011)
Seandainya penegakan hukum diberlakukan terhadap kegiatan ini, akan menyebabkan terjadinya gangguan terhadap perekonomian daerah, banyak pelaku usaha kecil yang terkena dampak dan dampak sosial lainnya. Oleh karena itu, sosialisasi bahwa kegiatan perdagangan produk dari luar negeri merupakan tindakan yang mengakibatkan kerugian negara harus terus dilakukan. Apabila Pemerintah Kabupaten Wakatobi jadi menerbitkan Peraturan Daerah, sangat besar kemungkinan peraturan daerah ini dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri karena bertentangan dengan undang-undang mengenai pajak dan undang-undang mengenai hukum acara pidana. Tabel 3: PDRB Kabupaten Alor Atas Dasar Harga Konstan menurut Lapangan Usaha
No.
Lapangan Usaha
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Minum Bangunan/Konstruksi Perdagangan Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Jasa-Jasa PDRB Satuan: Jutaan Rupiah Tahun Dasar: 2000
2009 150,018.17 5,288.38 7,682.30 1,748.69 21,570.43 65,144.57 24,312.62 17,522.14 115,943.67 409,230.97
Sumber: BPS Kabupaten Alor (2012)
Tahun 2010 153,879.85 5,557.44 7,912.97 1,884.80 22,199.31 69,942.10 25,209.02 18,674.44 123,866.12 429,126.05
2011 155,912.83 5,776.30 7,956.29 2,027.25 22,387.19 76,558.19 26,223.60 19,655.32 134,320.70 450,817.68
Di Kabupaten Alor, sektor jasa juga berkontribusi terhadap PDRB, selain sektor pertanian. Hal ini diindikasikan bahwa jasa lingkungan dan pariwisata bahari sangat menunjang bagi kehidupan perekonomian di Kabupaten 14
Lukman Adam, S.Pi., M.Si.
Alor. Oleh karena itu, Kabupaten Alor yang memiliki potensi kelautan dan perikanan sangat besar harus memerhatikan lingkungan sebagai pendukung penting bagi keberlanjutan kedua sektor ini. Sektor pertanian dan jasa-jasa sangat bergantung pada kualitas dan daya dukung lingkungan. Dukungan anggaran bagi pembangunan daerah Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor sangat ditentukan dari tiga sumber, yaitu pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan pendapatan lain yang sah. Dari ketiga sumber tersebut, komponen pendapatan terbesar berasal dari dana perimbangan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua kabupaten ini sangat tergantung pada pemerintah pusat. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5. Tabel 4: Komponen Pendapatan Daerah Kabupaten Wakatobi
No.
Jenis Pendapatan
1. Pendapatan Asli Daerah 2. Pendapatan Transfer a. Transfer Pemerintah Pusat-Perimbangan b. Transfer Pemerintah Pusat-Lainnya c. Transfer Pemerintah Provinsi 3. Lain-Lain Pendapatan yang sah Pendapatan Hibah Pendapatan Lainnya Satuan: Juta Rupiah Sumber: BPS Kabupaten Wakatobi (2011)
Tahun
2009 8,508,88 335,065,58 274,282,54 56,281,67 4,201,36 40,55 0 40,55
2010 12,037,64 338,298,80 266,611,91 67,530,003 4,156,43 1,605,34 0 1,605.34
Tabel 5: Realisasi Pendapatan Kabupaten Alor Menurut Jenis Pendapatan pada Tahun Anggaran 2008 dan 2010
No. 1. 2. 3.
Jenis Pendapatan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu
Pendapatan Asli Daerah Dana Perimbangan Bagi Hasil Pajak dan a. bukan pajak b.
2008 18,120,883
Tahun 2010
2011
30,734,745
53,096,588,438
3,260,613
19,481,907
16,239,894 355,844,463
16,349,229 361,491,171
Subsidi Daerah Otonom 284,632,877 (DAU)
299,323,003
18,968,386
15
20,221,404 489,503,883 416,727,121
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial c.
4.
Bantuan Pembangunan (DAK)
Bagi hasil pajak dan d. bantuan keuangan dari propinsi Penerimaan lainnya yang sah Total
Satuan: Ribuan Rupiah
52,243,200
41,137,583
50,341,800
2,207,867
12,649,120
2,953,055
399,837,513
396,218,684
509,725,287
9,632,273
Sumber: BPS Kabupaten Alor (2012 dan 2009)
2,468,550
-
Pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Wakatobi lebih rendah daripada Kabupaten Alor pada tahun 2010. Hal ini terjadi karena seluruh wilayah Kabupaten Wakatobi merupakan bagian dari Taman Nasional Laut Wakatobi, sehingga pemanfaatan terhadap bagian tertentu dari wilayah kabupaten ini harus diperhatikan agar tidak mengganggu kelestarian terumbu karang. Bagi daerah yang mempunyai ekosistem terumbu karang dengan keanekaragaman tinggi dan mempunyai kawasan konservasi, seharusnya pemerintah memberikan dana perimbangan memadai agar dapat membiayai kegiatan pembangunan di daerahnya. Namun, pendapatan asli daerah juga bisa ditingkatkan melalui pemungutan pajak dan retribusi daerah bagi wisatawan yang berkunjung atau dari kegiatan penunjang pariwisata lainnya, seperti hotel dan restoran. Kabupaten yang menjadi lokasi penelitian merupakan kabupaten yang berada di daerah kepulauan. Karenanya potensi sumber daya pesisir yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat adalah produksi hasil perikanan. Di Kabupaten Wakatobi, jenis ikan yang banyak diperoleh adalah ikan tuna, ikan layang-layang, dan ikan kakap. Di Kabupaten Alor, ikan yang banyak dimanfaatkan merupakan ikan laut. Lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7. Tabel 6. Produksi Hasil Perikanan di Kabupaten Wakatobi Tahun 2006-2010
No. 1.
Komponen Ikan Ikan tuna Ikan layang Kakap
2006 7.324,7 822,1 2.563 275,2
2007 7.071,8 821,1 2.432 264,5
16
Tahun 2008 6.953,2 797,1 1.973 198,5
2009 8.437,1 830,1 2.512 272,5
2010 8.925,2 875,1 2.765 298,5
Lukman Adam, S.Pi., M.Si. Lain-lain 2. Rumput Laut Satuan: Ton
3.664,4 1.819,5
3.554,2 2.036,2
3.984,6 2.175,5
4.822,5 2.189,67
4.987 927,2
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi (2011)
Tabel 7. Produksi Perikanan Menurut Sektor di Kabupaten Alor
No. 1. 2.
Sektor
Satuan: ton
Jumlah
Perikanan Laut Perikanan Darat Perairan Umum Tambak Kolam Total
18.891 17.003 8 3,7 35.894
Sumber: BPS Kabupaten Alor (2011)
Posisi geografis Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor yang berada di wilayah perairan menyebabkan mayoritas penduduk bekerja dalam bidang usaha pertanian. Pertanian yang dimaksud disini termasuk didalamnya sektor perikanan. Oleh karena itu, pemanfaatan ekonomi wilayah pesisir harus dilakukan dengan bijaksana agar tidak merusak lingkungan pesisir. Lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8 dan Tabel 9. Tabel 8. Persentase Pekerja Menurut Lapangan Pekerjaan di Kabupaten Wakatobi Tahun 2010
No. Lapangan Usaha 1. Pertanian 2. Penggalian 3. Industri 4. Listrik dan Air 5. Konstruksi 6. Perdagangan dan Akomodasi 7. Transportasi dan Komunikasi 8. Keuangan dan Persewaan 9. Jasa Kemasyarakatan dan Sosial Sumber: BPS Kabupaten Wakatobi (2011)
17
Jumlah 55,91 1,01 3,74 0,33 3,62 13,12 6,67 0,23 15,37
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial
Tabel 9. Penduduk Berumur 15 Tahun ke atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan di Kabupaten Alor Tahun 2010 No. Lapangan Usaha 1. Tenaga Profesional 2. Tenaga Kepemimpinan 3. Pejabat Pelaksana 4. Tenaga Usaha Penjualan 5. Tenaga Usaha Jasa 6. Tenaga Usaha Pertanian 7. Tenaga Produksi, Angkutan, Pekerja Kasar 8. Lainnya Sumber: BPS Kabupaten Alor (2011)
18
Jumlah 4.577 964 4.128 7.386 1.493 53.902 13.638 156
BAB V PERMASALAHAN EKONOMI DAN SOLUSINYA
Bentang alam Kabupaten Wakatobi menyediakan keragaman potensi sumber daya perikanan yang dapat dimanfaatkan melalui kegiatan penangkapan ikan dan usaha budidaya, yang semuanya telah memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan daerah sampai saat ini.9 Sedangkan Kabupaten Alor termasuk dalam salah satu diantara 92 pulau-pulau kecil terluar di Indonesia yang termasuk dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2005 dan memiliki 15 pulau, diantaranya 9 pulau berpenghuni.10 Potensi yang dimiliki di Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor menyebabkan banyak permasalahan yang dihadapi. Permasalahan ekonomi yang dihadapi terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam pesisir di Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor, yaitu: 1. Masih adanya eksploitasi sumber daya alam yang merusak, seperti penambangan pasir laut, penggunaan batu karang, penangkapan ikan menggunakan bahan peledak, dan penangkapan terhadap jenis ikan yang dilarang. Di Kabupaten Wakatobi, jenis ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) termasuk dalam jenis ikan yang dilindungi, namun banyak ditangkap, baik oleh masyarakat setempat maupun pendatang. Harga ikan napoleon di Kabupaten Wakatobi mencapai Rp 600 ribu/kilogram, sedangkan apabila dijual di Hongkong mencapai Rp 2 juta/kilogram. Ikan napoleon hanya bisa diperoleh dengan cara menggunakan obat bius, dan tidak menggunakan alat pancing. Ikan napoleon bersimbiosis dengan terumbu karang, bentuknya adalah ikan napoleon memakan bintang laut yang menempel di terumbu karang.11 Di Indonesia, pengaturan mengenai ikan napoleon dilakukan melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 375 Tahun 1995 tentang Larangan Penangkapan Ikan Napoleon Wrasse dan Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Nomor 330 Tahun
Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap), Satker Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, dan CV Wahana Bahari. 2009, hal 2. 10 Bahan tertulis dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor Tahun 2012. 11 Hasil wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, 3 Juli 2012. 9
19
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial
1995 tentang Ukuran, Lokasi, dan Tata Cara Penangkapan Ikan Napoleon Wrasse. Pengaturan mengenai ikan napoleon sudah tidak sesuai lagi dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ikan napoleon termasuk dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 2004 dan appendix II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES) pada tahun 2005, karena keberadaannya menurun drastis. Sedangkan di Kabupaten Alor pengambilan pasir laut masih terjadi.12 Perdagangan terumbu karang dan penangkapan ikan menggunakan bahan beracun alamiah masih sering dilakukan.13 Bahan beracun alamiah ini berasal dari jenis tumbuh-tumbuhan yang banyak terdapat di Pulau Alor. Penangkapan ikan menggunakan bahan peledak masih banyak ditemukan.14 Nelayan yang menggunakan bom ikan banyak berasal dari luar Wakatobi. Hasil penangkapan oleh aparat keamanan menunjukkan bahwa nelayan yang menggunakan bom ikan berasal dari Suku Bajo yang bertempat tinggal di sekitar Kendari.15 Penangkapan ikan menggunakan bahan peledak juga masih ditemukan di perairan Alor. Hasil dari ikan yang diperoleh akibat terkena peledakan bom dikumpulkan oleh pengumpul lokal di provinsi dan penggunaan bahan peledak hanya untuk jenis ikan konsumsi, sedangkan untuk ikan hias menggunakan obat bius.16 Penangkapan ikan dengan menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkungan bertentangan dengan UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 2. Penurunan kuantitas dan kualitas sumber daya ikan.17 Telah terjadi penangkapan ikan secara berlebihan, khususnya jenis ikan karang dalam dua tahun terakhir. Jenis ikan yang banyak dicari adalah ikan kerapu dan ikan kakap, khususnya dalam keadaan hidup. Potensi sumber daya ikan di Kabupaten Alor mencapai 164.604 ton/ tahun, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan mencapai 131.683 14 15 16
Hasil wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor, 23 Juli 2012. Hasil wawancara dengan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Alor, 24 Juli 2012. Hasil wawancara dengan Bappeda Kabupaten Wakatobi, 4 Juli 2012. Hasil wawancara dengan WWF, 4 Juli 2012. Hasil wawancara dengan Tim Pengkajian Penetapan dan Perancangan Pengelolaan Laut Sawu, 22 Juli 2012. 17 Hasil wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, 3 Juli 2012. 12 13
20
Lukman Adam, S.Pi., M.Si.
ton/tahun, sedangkan tingkat pemanfaatan tahun 2011 mencapai 19.399 ton.18 Berdasarkan Laporan dari Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan Tahun 2010, perairan sekitar Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor termasuk dalam WPP-RI 714, dengan status overfishing hanya untuk ikan tuna mata besar. Ikan demersal, pelagis kecil, madidihang, dan cumi-cumi berada dalam status fully dan moderately fishing. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan ikan tuna mata besar mesti dikendalikan, sehingga mata pancing yang khusus menangkap jenis ikan ini dihindari, termasuk pemberian perizinan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan setempat. 3. Kemiskinan masyarakat pesisir.19 Persentase penduduk miskin di Kabupaten Wakatobi terus mengalami penurunan. Pada tahun 2011, sejumlah 18,52 persen dengan garis kemiskinan mencapai Rp 191.496/ kapita/bulan. Persentase penduduk miskin tahun 2011 di Indonesia mencapai 12,49% dan garis kemiskinan Indonesia tahun 2011 mencapai Rp 230.000/kapita/bulan. Indeks kedalaman kemiskinan pada tahun 2010 mencapai 3,21 dan indeks keparahan kemiskinan mencapai 0,96. Bandingkan dengan keadaan tahun 2006, dengan indeks kedalaman kemiskinan yang mencapai 3,84 dan indeks keparahan kemiskinan yang mencapai 0,87 (BPS Kabupaten Wakatobi, 2011).20 Jumlah rumah tangga miskin di Kabupaten Alor pada tahun 2008 mencapai 26.670 orang, dengan penduduk miskin terbanyak di Kecamatan Alor Barat Laut sejumlah 3.232 rumah tangga (BPS Kabupaten Alor, 2012). 4. Keberadaan Masyarakat Adat yang melakukan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.21 Pemanfaatan sumberdaya laut oleh masyarakat adat di Kabupaten Wakatobi, yaitu Suku Bajo telah mengalami pergeseran yang diindikasikan oleh: tidak berlakunya sistem buka tutup kawasan, terjadi pemanfaatan jenis yang dilindungi dan penggunaan alat tangkap yang bertentangan dengan peraturan pengelolaan taman nasional; pembangunan perumahan yang menggunakan karang sebagai landasan dan fondasi dasar rumah permanen; dan sebagian besar masyarakat tidak lagi menggunakan peralatan peralatan tangkap tradisional.22 Dokumen tertulis dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor Tahun 2012. Hasil wawancara dengan Bupati Wakatobi, 3 Juli 2012. 20 Penurunan nilai indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung semakin mendekati Garis Kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran juga semakin menyempit. 21 Hasil wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, 3 Juli 2012. 22 Baharudin, S. 2011. Pergeseran Nilai Tradisional Suku Bajo dalam Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut Taman Nasional Wakatobi, hal 67. 18 19
21
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial
Suku Bajo merupakan suku yang biasa hidup di lautan dan bergantung pada sumber daya perikanan. Tindakan sebagian masyarakat Suku Bajo yang melakukan eksploitasi sumber daya perikanan dengan cara merusak merupakan tindakan yang harus dihadapi dengan bijaksana. Sosialisasi oleh pemerintah daerah harus terus dilakukan, termasuk didalamnya adalah: eksploitasi sumber daya alam dengan cara yang bijaksana, pola kehidupan yang sehat, dan pengembangan pendidikan lingkungan. 5. Menutup akses masyarakat setempat ke wilayah pesisir, seperti terjadi di Wakatobi Dive Resort.23 Penyebab pengaturan mengenai hak pengusahaan perairan pesisir dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi disebabkan memberikan kesempatan yang sama antara masyarakat lokal dan pihak swasta untuk mengusahakan perairan pesisir. Mahkamah mengkhawatirkan pihak swasta yang mendapatkan kesempatan akan menutup akses masyarakat terhadap wilayah pesisir yang ada dalam penguasaannya. Akses tersebut adalah akses terhadap pariwisata pesisir, pemanfaatan sumber daya perikanan, dan melewati wilayah pantainya. Kekhawatiran lain adalah pihak asing yang bekerjasama dengan swasta lokal akan membuat masyarakat lokal menjadi terabaikan. Namun, di beberapa daerah juga ditemui adanya pihak asing yang menyewa daerah tertentu dan memberikan manfaat terhadap ekosistem pesisir. Sebagai contoh, di Provinsi NTT, keberadaan orang asing yang menyewa pulau telah membentuk kesadaran terhadap kawasan konservasi. Hal ini terjadi di Pulau Kenawa, Kabupaten Manggarai Barat24. Pemerintah semestinya memberikan perlakuan khusus antara masyarakat lokal dan pihak swasta, mengingat terdapat ketidaksetaraan antara masyarakat lokal dan swasta dari aspek permodalan dan jejaring sosialekonomi. Pemerintah harus melakukan pemberdayaan dan pendampingan kepada masyarakat agar membentuk kelompok, sehingga dapat mempunyai posisi tawar apabila berhadapan dengan pihak swasta terhadap pemanfaatan sumber daya yang sama di wilayah pesisir. 6. Belum ada perhatian dari pemerintah pusat terhadap kebijakan konservasi di daerah. Kabupaten Alor yang telah menjadi Kawasan Konservasi Laut Daerah dengan luas cadangan mencapai 400.008 hektar tidak memperoleh dana dari tugas perbantuan Kementerian Kelautan Hasil wawancara dengan Bappeda Kabupaten Wakatobi, 4 Juli 2012. Hasil wawancara dengan Tim Pengkajian Penetapan dan Perancangan Pengelolaan Laut Sawu, 22 Juli 2012.
23 24
22
Lukman Adam, S.Pi., M.Si.
dan Perikanan atau Kementerian Negara Lingkungan Hidup.25 Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Wakatobi, padahal seluruh kabupaten ini merupakan wilayah Taman Nasional Laut Wakatobi sehingga pendapatan asli daerah sangat minim. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka solusi yang harus dilakukan adalah: a. Penanganan lintas daerah. Wilayah pesisir tidak bisa dipisahkan berdasarkan kewenangan pemerintah daerah. Dalam pengelolaan wilayah pesisir, penanganan semestinya didasarkan pada kesamaan ekosistem, geografis, dan karakteristik wilayah, termasuk karakteristik sosial-budaya masyarakat, sehingga bisa dilakukan secara terpadu dan terencana. b. Regulasi di nasional dan daerah, contohnya adalah penerbitan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2007 tentang Penggunaan Alat Tangkap yang Diperbolehkan dan Tidak Diperbolehkan.26 Peraturan Daerah di Kabuptan Alor mengenai wilayah pesisir sudah ada, yaitu Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2007 tentang Wilayah Pesisir. Perda ini mengatur mengenai larangan menangkap ikan dengan cara yang merusak, seperti menggunakan bahan peledak dan obat bius. Namun, dalam Perda ini tidak ada sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku. Di Provinsi NTT terdapat Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2010 tentang Terumbu Karang yang mengatur mengenai upaya pelestarian terhadap terumbu karang.27 Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2006 yang mengawasi ketat eksploitasi pasir laut juga telah dimiliki oleh kabupaten ini.28 Pemerintah Daerah Kabupaten Alor mempunyai Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Sumber Daya Lingkungan Hidup Kawasan Pesisir dan Laut yang berupaya menangani berbagai potensi pencemaran dan perusakan wilayah pesisir.29 Masih ditemukannya pelanggaran terhadap peraturan ini menunjukkan bahwa penegakan hukum dan sosialisasi terhadap aturan ini masih sangat lemah. Mungkin saja, eksploitasi terjadi karena masyarakat tidak memiliki pilihan selain melakukan eksploitasi pasir laut. Karena itu, pemberdayaan masyarakat agar masyarakat dapat melakukan mata pencaharian
Hasil wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor, 23 Juli 2012. Hasil wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, 3 Juli 2012. 27 Hasil wawancara dengan Tim Pengkajian Penetapan dan Perancangan Pengelolaan Laut Sawu, 22 Juli 2012. 28 Hasil wawancara dengan Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Alor, 24 Juli 2012. 29 Bahan tertulis dari Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Alor Tahun 2012. 25 26
23
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial
alternatif harus dilakukan. Pemerintah daerah dapat memberikan bantuan modal agar masyarakat melakukan alih pekerjaan, sekaligus memberikan sanksi ketat bagi pelaku utama atau pemberi modal. c. Mempersiapkan kelembagaan, aturan main, dan pedoman teknis.30 Kelembagaan yang mengatur mengenai pesisir harus lintas daerah dengan mempertimbangkan kesamaan ekosistem dan sosial budaya masyarakat. Pemerintah daerah dapat melakukan pemberdayaan agar lembaga ini terbentuk. Pemberdayaan yang dilakukan meliputi: pembuatan aturan main, norma dan pedoman teknis. Termasuk didalamnya peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Kelembagaan yang dilakukan bisa berbentuk koperasi atau kelompok masyarakat d. Pemberian anggaran, berupa insentif fiskal.31 Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah didefinisikan sebagai dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Aturan pelaksana dari norma ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 209 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum dan Alokasi DAK Tahun Anggaran 2012. Alokasi DAK dilakukan untuk membantu daerah mendanai kebutuhan fisik sarana-prasarana dasar yang merupakan prioritas nasional. Prioritas nasional ditentukan sebanyak 16 bidang, mulai dari pendidikan sampai sarana-prasarana kawasan perbatasan. Sampai tahun 2011, dari Laporan Bappenas (2011), sebaran DAK yang mengucur ke wilayah Nusa Tenggara hanya mencapai 6,53 persen atau lebih rendah dibandingkan tahun 2008 yang mencapai 7,18 persen. Bagi Sulawesi, sebaran DAK yang diperoleh tahun 2011 mencapai 14,81 persen atau lebih rendah daripada tahun 2008 yang mencapai 17,41 persen. Faktor yang memengaruhi besaran DAK didasarkan pada jumlah penduduk, luas wilayah (termasuk didalamnya luas perairan), kemahalan konstruksi, PDRB per kapita, dan indeks pembangunan manusia. Namun kategorisasinya masih menimbulkan masalah. Seperti daerah pesisir atau daerah
Hasil wawancara dengan Armand, Koordinator Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir, 1 Juli 2012. 31 Hasil wawancara dengan Bupati Wakatobi, 3 Juli 2012. 30
24
kepulauan, bisa dipandang sebagai potensi, bisa juga sebagai isolasi geografis. Pemerintah juga belum memberikan perhatian terhadap daerah yang memberikan prioritas bagi upaya konservasi, seperti Kabupaten Wakatobi yang keseluruhan wilayah merupakan taman nasional, mestinya mendapatkan DAK lebih besar ditinjau dari aspek lingkungan atau konservasi. e. Dorongan agar tidak melakukan eksploitasi terhadap sumber daya pesisir, seperti pasir laut. Sebagai contoh, saat ini sedang disosialisasikan dengan pihak pemerintah daerah untuk pembangunan gedung yang berasal dari APBN menggunakan pasir dari luar Kabupaten Wakatobi.32 Penggunaan pasir laut dan karang untuk pembangunan gedung, rumah, dan jalan menyebabkan eksploitasi sumberdaya pesisir yang sangat besar. Akibatnya kerugian lingkungan dalam jangka panjang yang ditimbulkan sangat besar.
Hasil wawancara dengan WWF, 4 Juli 2012.
32
25
BAB VI STRATEGI MENINGKATKAN KEHIDUPAN MASYARAKAT PESISIR
Pasal 10 dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebutkan bahwa rencana zonasi wilayah pesisir dialokasikan dalam bentuk: kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan strategis nasional tertentu, dan alur laut. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang melakukan perubahan terhadap hak pengusahaan perairan pesisir menjadi izin pemanfaatan perairan pesisir. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara holistik. Tidak bisa dipisahkan antara pemanfaatan ekonomi semata, namun juga harus ditinjau dari aspek lingkungan dan sosial. Eksploitasi sumber daya pesisir tidak boleh dilakukan dengan cara merusak, dan harus mempertimbangkan pemanfaatan secara berkelanjutan. Terumbu karang dan pasir laut tidak boleh dimanfaatkan mengingat akan mengganggu keseimbangan ekologis terhadap keseluruhan ekosistem pesisir. Nilai dan prioritas dari pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu menggunakan Proses Hirarki Analitis dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10: Penentuan Pengelolaan Wilayah Pesisir Menggunakan Proses Hirarki Analitis
No.
Tujuan
1 2
Mengutamakan masyarakat lokal Penataan kelembagaan lokal
4
Sinkronisasi dengan peraturan perundangundangan terkait
3
Perubahan paradigma pembangunan daerah dengan berorientasi pada sumber daya kelautan
Nilai (%) 81,1 69,67 55,53 51,1
Prioritas P1 P2 P3 P4
Strategi dalam pengusahaan perairan pesisir ditinjau dari aspek ekonomi adalah: 27
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial
I.
Keterpaduan Antara Aspek Lingkungan, Ekonomi, dan Sosial Pengelolaan wilayah pesisir tidak hanya dilihat dari satu aspek saja, namun juga harus dilihat dari keseluruhan aspek yang terkait, yaitu aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Lingkungan pesisir sangat rentan terhadap kerusakan iklim. Apabila satu sumber daya mengalami tekanan akan menimbulkan gangguan terhadap sumber daya lain. Oleh karena itu, pertumbuhan penduduk harus dikendalikan dan pemanfaatan sumber daya mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan. Wilayah pesisir memiliki potensi ekonomi yang sangat tinggi, karena kaya akan sumber daya ikan, minyak bumi dan gas, pariwisata bahari, pelayaran, serta bahan baku kosmetik. Menurut Rompas (2011), potensi ekonomi wilayah pesisir mencapai 56 milyar US$ per tahun dilihat dari besarnya potensi terumbu karang, hutan mangrove dan pasir laut di Indonesia.33 Belum termasuk diantaranya potensi perikanan, wisata bahari dan arus laut. Namun, pemanfaatannya harus dilakukan dengan bijaksana. Pemanfaatan oleh masyarakat lokal dan pendatang harus dikendalikan melalui sosialisasi dan penegakan hukum yang tegas dan adil. Selain itu, pemanfaatan terhadap sumber daya pesisir harus memperhatikan penerimaan dari masyarakat lokal, dengan melakukan pemberdayaan masyarakat dan kajian terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat.
Gambar 2. Keterpaduan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Disampaikan oleh Rompas (2011) dalam Focus Group Discussion “Tantangan Indonesia sebagai Negara Kepulauan di Era Globalisasi”. Diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI. 3 Agustus 2011. Jakarta.
33
28
Lukman Adam, S.Pi., M.Si.
II. Keberpihakan terhadap Masyarakat Lokal Dibatalkannya hak pengusahaan perairan pesisir oleh Mahkamah Konstitusi membuat terjadinya perubahan dalam pengusahaan/pemanfaatan perairan pesisir. Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini memandang bahwa hak pengusahaan perairan pesisir yang diberikan akan berbentuk izin pemanfaatan perairan pesisir. Kementerian Kelautan dan Perikanan beranggapan bahwa setiap pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir harus melalui kementerian tersebut dalam bentuk izin lokasi.34 Hal ini menimbulkan permasalahan perizinan yang ego-sektoral. Sektor energi dan sumber daya mineral, pelayaran, dan pariwisata mempunyai kementerian sendiri yang mengatur mengenai masing-masing sektor tersebut. Sedangkan KKP beranggapan bahwa pemanfaatan terhadap wilayah pesisir melalui perizinan yang diterbitkan oleh institusi mereka. Seharusnya apabila bersifat lintas sektoral seperti ini pengaturannya berbentuk peraturan pemerintah, dan hanya satu kementerian yang akan mengatur atau bisa juga diberikan kewenangan kepada pemerintah daerah melalui satuan kerja perangkat daerah. Izin pemanfaatan yang dibuat di banyak kementerian atau lembaga akan kontraproduktif bagi iklim investasi dan akan membuat daya saing Indonesia menjadi rendah. Oleh karena itu, kehendak dari KKP yang menginginkan dikeluarkannya izin dari KKP terkait pemanfaatan wilayah pesisir harus dicermati dan dibicarakan dengan seksama antar kementerian. Pengusahaan/pemanfaatan wilayah pesisir kepada masyarakat lokal yang sudah menetap cukup lama diberikan kepada masyarakat melalui kelembagaan yang sudah ada, seperti koperasi atau kelompok nelayan. Bentuk yang bisa diberikan dapat berupa hak atau izin, terpenting adalah definisi yang diberikan harus selaras dengan undang-undang lain yang terkait seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam masyarakat pesisir pemanfaatan sumberdaya milik bersama dibatasi dan dilandasi beberapa hak yang memberikan jaminan bagi pemegangnya. Hak-hak tersebut adalah sebagai berikut : a. Hak akses yaitu hak untuk masuk ke dalam sumberdaya yang memiliki batas-batas fisik yang jelas. b. Hak memanfaatkan yaitu hak untuk memanfaatkan sumberdaya dengan cara-cara dan teknik produksi sesuai dengan ketetapan dan peraturan yang berlaku. http://www.bisnis.com/articles/izin-pemanfaatan-pesisir-berlaku-untuk-semuabidang-investasi diakses tanggal 31 Agustus 2012.
34
29
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial
c. Hak mengatur yaitu hak untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya serta meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya melalui upaya pengkayaan stok ikan serta pemiliharaan dan perbaikan lingkungan.
Dalam pemanfaatannya harus dihindari hak sebagai berikut, yaitu: d. Hak Eksklusif yaitu hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan apakah hak akses tersebut dapat dialihkan kepada orang lain, dan e. Hak mengalihkan yaitu hak untuk menjual atau menyewakan keempat hak tadi kepada orang lain
Dalam konteks legal, hak memiliki pengertian tentang milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan dengan undang-undang, kekuasaan atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat. Padahal wilayah pesisir merupakan milik bersama sehingga siapapun dapat memanfaatkannya. Karena itu, yang memegang hak terhadap sumber daya pesisir adalah negara. Masyarakat atau pihak swasta dapat memanfaatkan dengan melalui mekanisme yang ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Sepertinya antara Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tidak melalui proses sinkronisasi sehingga terjadi tumpang tindih pengaturan yang membuat pemerintah daerah mengalami kesulitan dalam membuat peraturan pelaksana. Hal ini bisa dilihat dari berurutannya kedua undang-undang ini terbit. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan mengenai perlunya dibuat peraturan daerah mengenai tata ruang, demikian juga dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mengamanatkan pembuatan peraturan daerah mengenai rencana zona wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sehingga pemerintah daerah, wajib membuat kedua perda ini. Hal ini menyebabkan mungkin terjadi tumpang tindih antara zonasi wilayah pesisir dan daratan.
III. Penataan Kelembagaan Lokal Kelembagaan lokal seperti koperasi dan kelompok masyarakat/nelayan mesti terus diberdayakan dan ditingkatkan peranannya agar mampu memberikan daya guna bagi kesejahteraan masyarakat pesisir. Lembaga ini merupakan lembaga ekonomi yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat lokal dan disesuaikan dengan kearifan lokal. Pemerintah daerah 30
Lukman Adam, S.Pi., M.Si.
melakukan penguatan melalui pendampingan pembuatan aturan main, kemitraan serta pemberdayaan lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir.
IV. Perubahan Paradigma Pembangunan Daerah Mayoritas wilayah di Indonesia terkait dengan pesisir dan pulau-pulau kecil. Dengan luas lautan mencapai 2,5 kali luas daratan, memiliki garis pantai sebesar 104 ribu km, dan jumlah pulau yang dimiliki adalah 17.504 pulau (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011)35, maka sedikit sekali daerah di Indonesia yang tidak terkait dengan pesisir. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah daerah mulai fokus pada pengembangan wilayah pesisir dalam rencana pembangunan daerahnya. Kabupaten Wakatobi dapat mengandalkan pengembangan jasa lingkungan, sehingga menurut Bappeda, yang harus dipersiapkan adalah rencana tata ruang dan grand strategy.36 Penetapan zonasi dalam bentuk daerah konservasi di beberapa daerah mesti dilakukan agar terjadi keseimbangan lingkungan antara zona pemanfaatan dan alur laut. Sebagai contoh, zona inti di Taman Nasional Laut Wakatobi saat ini ditetapkan pada daerah yang: tidak ada penduduk, banyak disinggahi burung migran, mempunyai hutan mangrove dengan kerapatan sangat tinggi, dan mewakili ragam jenis terumbu karang.37 Demikian juga di Provinsi Nusa Tenggara, dengan zona inti dari rencana Taman Nasional Perairan Laut Sawu sebesar 0,2 persen dari luas perairan taman nasional. Zona ini terdapat di Pulau Batek, Pulau Dana, dan Pulau Satu Tanjung.38
37 38 35
36
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011, hal 1. Hasil wawancara dengan Bappeda Kabupaten Wakatobi, 4 Juli 2012. Hasil wawancara dengan WWF, 4 Juli 2012. Hasil wawancara dengan Tim Pengkajian Penetapan dan Perancangan Pengelolaan Laut Sawu, 22 Juli 2012.
31
BAB VII MASUKAN BAGI AMANDEMEN UU NO. 27 /2007
Hak pengusahaan perairan pesisir dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Akibatnya semua aturan yang terkait dengan hak pengusahaan perairan pesisir harus dilakukan perubahan. Tabel 11 mengulas mengenai klasifikasi hak tersebut dan rekomendasi yang diberikan. Tabel 11: Klasifikasi Hak Pengusahaan Perairan Pesisir dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Usulan Perubahannya terkait dengan Pemanfaatan Secara Ekonomi, Lingkungan dan Sosial
Klasifikasi Ruang Lingkup Dasar pertimbangan Subjek
Uraian Permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut.
Kepentingan: kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat adat, dan kepentingan nasional, serta hak lintas damai bagi kapal asing.
Orang perseorangan warga negara Indonesia, Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia, atau masyarakat adat
33
Rekomendasi Tetap Tetap
Tetap
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial Klasifikasi
Uraian
Jangka waktu
20 tahun. Dapat diperpanjang
Persyaratan
Teknis, administratif dan operasional Teknis: kesesuaian dengan rencana Zona dan/atau Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, hasil konsultasi publik sesuai dengan besaran dan volume pemanfaatannya, dan pertimbangan hasil pengujian dari berbagai alternatif usulan atau kegiatan yang berpotensi merusak Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Administratif: penyediaan dokumen administratif, penyusunan rencana dan pelaksanaan pemanfaatan Sumber daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan daya dukung ekosistem, pembuatan sistem pengawasan dan pelaporan hasilnya kepada pemberi HP-3, dan dalam hal HP-3 berbatasan langsung dengan garis pantai, pemohon wajib memiliki hak atas tanah Operasional: memberdayakan Masyarakat sekitar lokasi kegiatan, mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat dan/atau Masyarakat lokal, memperhatikan hak Masyarakat untuk mendapatkan akses ke sempadan pantai dan muara sungai, dan melakukan rehabilitasi sumber daya yang mengalami kerusakan di lokasi HP-3.
34
Rekomendasi Perlu dilakukan sinkronisasi dengan peraturan perundangundangan lain, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria. Tetap
Tetap
Dokumen administratif yang diajukan harus dirinci bentuknya. Terdapat persetujuan dari DPRD dan Kepala Daerah, serta kajian mengenai penerimaan masyarakat dan dampaknya.
Tetap
Lukman Adam, S.Pi., M.Si. Klasifikasi Larangan
Uraian Pemberian di Kawasan Konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.
Rekomendasi Tetap
Hak pengusahaan perairan pesisir sebaiknya dirubah menjadi pemanfaatan perairan pesisir, dan dalam pemanfaatannya dapat diberikan izin dengan mengutamakan pemberian izin kepada masyarakat lokal yang bergabung dalam bentuk kelompok masyarakat atau koperasi. Jangka waktu pemberian izin mesti dilakukan sinkronisasi dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Izin pemanfaatan diberikan hanya untuk hak guna usaha, tidak berbentuk hak guna bangunan. Dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, hak guna usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun (Pasal 29 ayat 1). Patut dihindari pemikiran adanya perbedaan rezim antara daratan dengan lautan, mengingat konteks pesisir sendiri merupakan wilayah peralihan antara daratan dengan lautan. Namun, berapapun jangka waktu yang diberikan sebenarnya tidak menjadi masalah, karena yang terpenting adalah pelaksanaan terhadap aturan tersebut dan tidak terjadi perbedaan dengan aturan pelaksana atau aturan di daerah. Pemanfaatan perairan pesisir merupakan upaya menggunakan bagianbagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha ekonomi terhadap sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Usaha ekonomi termasuk didalamnya untuk usaha pertambangan, minyak dan gas, perhubungan, perikanan, pariwisata bahari, dan pemanfaatan lainnya. Dalam perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang terpenting adalah penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan. Izin pemanfaatan perairan pesisir yang diberikan oleh pemerintah dikoordinasikan oleh kementerian koordinasi, bukan dari kementerian teknis agar tidak terjadi ego-sektoral dalam proses perizinan agar memudahkan penanaman modal.
35
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
I.
Kesimpulan Dalam pengusahaan perairan pesisir yang perlu dilakukan adalah: memadukan aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Harus dihindari pengelolaan wilayah pesisir hanya dilihat dari satu aspek saja, namun juga ditinjau dari keseluruhan aspek yang terkait, yaitu aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Lingkungan pesisir sangat rentan terhadap kerusakan iklim. Apabila satu sumber daya mengalami tekanan akan menimbulkan gangguan terhadap sumber daya lain. Dibatalkannya hak pengusahaan perairan pesisir oleh Mahkamah Konstitusi membuat perlunya pengusahaan/pemanfaatan wilayah pesisir diberikan kepada masyarakat lokal yang sudah menetap cukup lama melalui kelembagaan yang sudah ada atau dibentuk baru, seperti koperasi atau kelompok nelayan. Koperasi atau kelompok ini harus ditingkatkan keberadaannya melalui pemberdayaan dan pendampingan.
II. Saran Hak pengusahaan perairan pesisir sebaiknya dirubah menjadi pemanfaatan perairan pesisir, dan dalam pemanfaatannya dapat diberikan izin dengan mengutamakan pemberian izin kepada masyarakat lokal yang bergabung dalam bentuk kelompok masyarakat atau koperasi. Patut dihindari pemikiran adanya perbedaan rezim antara daratan dengan lautan, mengingat konteks pesisir sendiri merupakan wilayah peralihan antara daratan dengan lautan. Namun, berapapun jangka waktu yang diberikan sebenarnya tidak menjadi masalah, karena yang terpenting adalah pelaksanaan terhadap aturan tersebut dan tidak terjadi perbedaan dengan aturan pelaksana atau aturan di daerah. Pemanfaatan perairan pesisir merupakan upaya menggunakan bagianbagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha ekonomi terhadap sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Usaha ekonomi termasuk didalamnya untuk usaha pertambangan, minyak dan 37
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial
gas, perhubungan, perikanan, pariwisata bahari, dan pemanfaatan lainnya. Dalam perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang terpenting adalah penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan. Izin pemanfaatan perairan pesisir yang diberikan oleh pemerintah dikoordinasikan oleh kementerian koordinasi, bukan dari kementerian teknis agar tidak terjadi ego-sektoral dalam proses perizinan agar memudahkan penanaman modal.
38
BIBLIOGRAFI
Buku Badan Pusat Statistik Kabupaten Alor. 2012. Alor dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik Kabupaten Alor. Kalabahi.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi. 2011. Wakatobi dalam Angka 2011. Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi dengan Badan Perencanaan Pembangunan, Penanaman Modal, Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Wakatobi. Wangi-Wangi. Fauzi, A. 2010. Ekonomi Perikanan: Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011. Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Saaty, T.L. 1988. Decision Making for Leaders:The Analytical Hierarchy Process for Decisions in a Complex World. RWS Publication, Pittsburgh. Suseno. 2007. Menuju Perikanan Berkelanjutan. Cetakan Pertama. Penerbit Pustaka Cidesindo. Jakarta.
Laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), GIZ GmbH Good Governance/Decentralisation Program, dan Provincial Governance Strengthening Programme (PGSP). 2011. Analisis Perspektif, Permasalahan dan Dampak Dana Alokasi Khusus (DAK): White Paper. November 2011. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), GIZ GmbH Good Governance/Decentralisation Program, dan Provincial Governance Strengthening Programme (PGSP). Jakarta.
39
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial
Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap), Satker Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, dan CV Wahana Bahari. 2009. Laporan Akhir Penelitian Tingkat Kabupaten. Wakatobi. Sulawesi Tenggara. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi. 2011. Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II (Coremap II) Kabupaten Wakatobi 2011. Wangi-Wangi. Kabupaten Wakatobi. Provinsi Sulawesi Tenggara. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010.
Skripsi Baharudin, S. 2011. Pergeseran Nilai Tradisional Suku Bajo dalam Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut Taman Nasional Wakatobi. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan. Wawancara 1. Wawancara dengan Armand, Koordinator Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir, Kendari, Sulawesi Tenggara, 1 Juli 2012.
2. Wawancara dengan Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Alor, Kalabahi, Alor, Nusa Tenggara Timur, 24 Juli 2012. 3. Wawancara dengan Bappeda Kabupaten Wakatobi, Wangi-Wangi, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 4 Juli 2012.
4. Wawancara dengan Bupati Wakatobi, Wangi-Wangi, Sulawesi Tenggara, 3 Juli 2012. 5. Wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, Wangi-Wangi, Sulawesi Tenggara, 3 Juli 2012.
6. Wawancara dengan Direktorat Polisi Air Provinsi Sulawesi Tenggara, 6 Juli 2012. 7. Wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor, Kalabahi, Alor, Nusa Tenggara Timur, 23 Juli 2012. 8. Wawancara dengan Tim Pengkajian Penetapan dan Perancangan Pengelolaan Laut Sawu, Kalabahi, Alor, Nusa Tenggara Timur, 22 Juli 2012. 9. Wawancara dengan WWF, Wangi-Wangi, Sulawesi Tenggara, 4 Juli 2012. 40
Bagian Kedua NILAI STRATEGIS CORAL TRIANGLE INITIATIVE BAGI MASYARAKAT WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DI INDONESIA* Lisbet Sihombing, S.Ip., M.Si.**
*
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2012 Peneliti Pertama pada Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Hubungan Internasional Sekretariat Jenderal DPR RI. Dapat dihubungi melalui
[email protected]
**
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Wilayah segitiga terumbu karang (coral triangle) sering kali disebut sebagai wilayah yang kaya akan keberagaman (mega diversity) sumberdaya alam di laut. Wilayah coral triangle merupakan tempat ideal bagi berbagai jenis ikan untuk bertelur dan membesarkan anaknya karena memiliki perairan relatif hangat dengan arus kuat. Wilayah ini pun diperkuat dengan adanya aneka ekosistem lain yang juga turut mendukung kekayaan alam di wilayah tersebut seperti, mangrove dan lamun. Terumbu karang terdapat banyak bahan-bahan kimia sehingga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi karena mempunyai potensi untuk obat-obatan (bioaktif) dan untuk bahan kosmetik yang bermutu tinggi.1 Sebagai contoh, di perairan laut banyak terdapat bakteri-bakteri yang menghasilkan eksopolisakarida (ESP), yaitu suatu polimer karbohidrat yang dapat digunakan dalam industri kosmetika, farmasi, pangan, dan bioremediasi, atau dipergunakan sebagai bahan plastik yang ramah lingkungan. Dari berbagai potensi tersebut dapat diperkirakan bahwa nilai keseluruhan pelayanan dan sumberdayanya sendiri mencapai setidaknya 61,9 miliar dollar AS per tahun.2 Terumbu karang juga sangat berperan penting dalam melindungi pantai serta menyediakan pekerjaan bagi masyarakat pesisir. Sekitar 500 juta orang di dunia menggantungkan nafkahnya pada terumbu karang, termasuk di dalamnya 30 juta yang bergantung secara total pada terumbu karang sebagai penghidupan. Terumbu karang di Indonesia memberikan keuntungan pendapatan sebesar 1,6 miliar dollar AS per tahun. Tidak hanya itu saja, para ahli juga memperkirakan terumbu karang yang sehat dapat menghasilkan 25 ton ikan per tahunnya. Selain itu, objek wisata terumbu karang yang sehat dan bagus akan menarik minat wisatawan untuk berkunjung dan diperkirakan sekitar 20 juta penyelam, menyelam dan menikmati terumbu karang per tahun.3
1
2 3
Wawancara dengan Kepala Bagian Hidrologi Laut Institut Pertanian Bogor, Dietriech G Bengen di Jakarta tanggal 16 November 2011. “CTI-CFF Langkah Maju Pelestarian Terumbu Karang”, Business News, 8176/2-11-2011, hal 6-7. Ibid.
43
Nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi Masyarakat Wilayah Pesisir
Sayangnya, keberagaman tersebut akan punah karena pola hidup masyarakat pesisir. Pola hidup masyarakat pesisir yang merusak itu menyangkut cara penangkapan ikan yang masih menggunakan bom, obat bius (potasium), pukat harimau, serta adanya pembangunan pesisir yang destruktif. Sebagai contoh, di Kota Kendari, Kabupaten Wakatobi maupun Kabupaten Alor, masyarakat pesisir masih banyak yang membangun pondasi rumahnya dengan mengambil karang-karang laut.4 Selain itu, masih banyak terdapat pelanggaranpelanggaran penangkapan ikan dengan dengan menggunakan cara-cara yang destruktif seperti dengan menggunakan bom maupun obat bius (potasium) padahal wilayah-wilayah tersebut merupakan wilayah-wilayah yang seharusnya dilindungi (Taman Nasional). Jumlah terumbu karang sehat yang ada di Indonesia, tapi lama kelamaan justru semakin menurun. Kerusakan atau hilangnya ekosistem terumbu karang memiliki dampak besar bagi perikanan dunia. Apabila terumbu karang di daerah-daerah tersebut tidak dapat terkelola dengan baik maka tidak mungkin selama beberapa tahun ke depan, jumlahnya akan terus meningkat. Sebesar 37.1 % terumbu karang di Indonesia berada pada status cukup. Jumlah ini hanya sedikit melampaui jumlah terumbu karang yang memiliki status kurang yakni sebesar 31.45%. Sedangkan yang berada pada status baik hanya mencapai 25.89% bahkan status sangat baik hanya sebesar 5.56%. Kondisi terumbu karang terparah berada pada wilayah Indonesia bagian Timur yakni sebesar 40.69%.5 Lebih lanjut, Sebesar tiga puluh % dari ekosistem terumbu karang ini telah rusak, hanya sejumlah enam puluh % yang masih bisa pulih. Padahal, keberlanjutan ekosistem itu mempengaruhi sekitar 120 juta masyarakat yang hidupnya tergantung pada laut.6 Indonesia telah menjadi negara pengekspor biota laut terbesar. Komoditi ekspornya yang terutama adalah karang hias yang menjadi elemen penting dalam akuarium biota laut. Total ekspor karang Indonesia pada 2008 telah mencapai 973.003 potong. Dari jumlah itu, hanya 29% atau 282.006 potong yang berasal dari koral hasil cangkok. Sebanyak 690.937 potong masih diambil langsung dari alam. Kondisi itu perlu diwaspadai, karena pasar semakin sadar akan kelestarian lingkungan. Bahkan, saat ini Filipina melakukan moratorium pengambilan
4
5 6
Wawancara dengan Koordinator program jaringan wilayah pesisir, di Kendari tanggal 1 Juli 2012 dan wawancara dengan Dirpolair Kendari, Wayan Pinatih dan jajarannya, di Kendari tanggal 6 Juli 2012. Marine and Fisheries in Figures Year 2010, hal 98. “Terumbu Karang Sumber Ikan Dunia”, Kompas, 4 November 2011 hal 14.
44
Lisbeth Sihombing, S.IP., M.Si.
karang alam sambil mengembangkan proyek transplantasi karang. Sayangnya, Indonesia masih beranggapan bahwa moratorium pengambilan karang ini tidak perlu dilakukan di Indonesia. Kendati demikian, Indonesia tetap memandang penting adanya komitmen untuk mengembangkan transplantasi karang serta mendorong sertifikasi ecolabelling untuk biota laut. Ecolabelling inilah yang nantinya akan memastikan bahwa proses budi daya karang di alam ataupun transplantasi memenuhi standar kelayakan lingkungan. Memang hal ini akan menambah biaya produksi bagi produsen, tapi dalam jangka panjang, ecolabelling akan menjadi branding yang membedakan karang asal Indonesia dengan produk negara lain apalagi dengan kualitas karang yang bagus.7 Terumbu karang ditempati oleh 25% biota laut dunia, 350 spesies biota laut dunia. Terumbu karang dan ekosistem lain yang terkait, seperti padang lamun, rumput laut dan mangrove adalah ekosistem laut terkaya di dunia. Sekitar 0,7% dari luas laut dunia atau sekitar 284,300 km2 adalah terumbu karang.8 Terumbu karang di Indonesia pada umumnya terletak disekeliling pulaupulau kecil karena tidak ada beban dari daratan yang dapat membebani laut karena airnya tidak keruh dan tidak ada sedimen.9 Dengan kondisi yang demikian, seharusnya kondisi terumbu karang ini masuk kedalam kategori sangat baik. Namun, faktanya, status kondisi terumbu karang di Indonesia pada tahun 2009 lebih banyak masuk ke dalam kategori cukup. Hal ini dapat terlihat dengan jelas pada tabel di bawah ini. Tabel 1: Status Kondisi Terumbu Karang di Indonesia Tahun 2009 Status (Dalam persentase)
Lokasi
Sangat Baik
Baik
Cukup
Barat 444 5.86 27.48 34.01 Tengah 274 5.11 30.29 44.89 Timur 290 5.52 19.31 34.48 Indonesia 1008 5.56 25.89 37.1 Sumber: Marine and Fisheries in Figures Year 2010, hal 98. Keterangan: Sangat baik Baik 9 7 8
: 75 – 100 % tutupan karang hidup : 50 – 74 % tutupan karang hidup
Kurang 32.66 19.71 40.69 31.45
Total Luas 100 100 100 100
“Hobi Yang Terus Tumbuh”, Koran Tempo, 28 Juli 2011, hal. A13. “CTI-CFF Langkah Maju Pelestarian Terumbu Karang”, loc. cit. Wawancara dengan Kepala Bagian Hidrologi Laut Institut Pertanian Bogor, Dietriech G Bengen di Jakarta tanggal 16 November 2011.
45
Nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi Masyarakat Wilayah Pesisir Cukup Kurang
: 25 – 49 % tutupan karang hidup : 0 – 24 % tutupan karang hidup
Sebagaimana yang terlihat pada tabel diatas, sebesar 37.1% terumbu karang di Indonesia berada pada status cukup. Jumlah ini hanya sedikit melampaui jumlah terumbu karang yang memiliki status kurang yakni sebesar 31.45%. Sedangkan yang berada pada status baik hanya mencapai 25.89% bahkan status sangat baik hanya sebesar 5.56%. Dari tabel tersebut dapat terlihat kondisi terumbu karang terparah berada pada wilayah Indonesia bagian Timur yakni sebesar 40.69%. Apabila terumbu karang di daerahdaerah tersebut tidak dapat terkelola dengan baik maka tidak mungkin selama beberapa tahun ke depan, jumlahnya akan terus meningkat.
B. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Terumbu karang yang seyogyanya memberikan banyak manfaat tersebut saat ini telah berada dalam ancaman. Ancaman yang dimaksud antara lain kegiatan penangkapan ikan secara destruktif, penangkapan ikan secara berlebihan (overfishing), dan adanya perubahan iklim. Penangkapan ikan secara destruktif atau dengan menggunakan bom dilansir merupakan penyebab kerusakan yang utama. Kendati demikian, penangkapan ikan secara berlebihan dengan jaring muro-ami dan penambangan karang untuk kapur bangunan juga merupakan penyebab kerusakan karang. Adanya perubahan iklim (climate change) global dan tekanan eksploitasi pun telah menyudutkan ekosistem terumbu karang di tempat yang sangat rentan. Salah satu dampak dari perubahan iklim terhadap kehidupan biota laut adalah terjadinya pemutihan karang (bleaching). Pada tahun 1998 tercatat antara 10-15% terumbu karang dunia mengalami kematian yang berdampak lanjut hingga saat ini sekitar 15% dari karang dunia rusak setiap tahun.10 Oleh karena itu, sebagai negara Maritim, Indonesia perlu memberikan perhatian serius terhadap kerusakan terumbu karang sebagai dampak perubahan iklim. Inisiatif Indonesia dalam mewujudkan kerja sama Regional Coral Triangle Initiative (CTI) menunjukkan betapa besar perhatian dan peran Indonesia dalam upaya meyelamatkan sumber daya pesisir dan laut di wilayah Indonesia maupun wilayah pusat segitiga karang dunia tersebut. Inisitatif tersebut juga merupakan upaya dalam melakukan langkah-langkah nyata dalam menghadapi perubahan iklim yang sedang terjadi.11 Hal ini adalah wajar Freddy Numberi, “Perubahan Iklim; Implikasinya terhadap Kehidupan di Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”, (Jakarta: Fortuna Prima Makmur, 2009), hal 52. 11 Ibid, hal 117-125. 10
46
Lisbeth Sihombing, S.IP., M.Si.
mengingat Indonesia memiliki 14.000 jenis terumbu karang yang tersebar di 243 lokasi di seluruh kepulauan Nusantara dengan total luas mencapai lebih dari 85.000km2.12 Namun, tindakan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai bentuk respons terhadap kondisi ini dianggap masih belum optimal. Sudah banyak terdapat info ataupun pemberitaan mengenai keindahan alam laut Indonesia (terumbu karang) baik di media elektronik maupun cetak. Bahkan, tidak jarang pula diberitakan bahwa kondisinya (terumbu karang) saat ini telah semakin memprihatinkan. Di samping itu, manfaat dari keikutsertaan Indonesia di kerja sama CTI belum dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia terutama masyarakat pesisir. Sebagai contoh, Salah satu proyek CTI di Indonesia, Sulu Sulawesi Marine Ekoregion (SS-ME) yang disepakati Indonesia, Malaysia dan Filipina pada tanggal 13 Februari 2004. Pelaksanaannya, pengelolaan Laut Sulu Sulawesi justru menempatkan nelayan dan masyarakat pesisir, dengan kearifan lokal dan tradisi kebahagiaannya, sebagai pelengkap saja.13 Padahal, akan lebih baik apabila masyarakat pesisir juga dilibatkan dalam proses pelestarian dan pengelolaan terumbu karang. Sebagai negara yang memiliki wilayah terumbu karang terbesar di dunia, Pemerintah seyogyanya mengajak masyarakat serta para pemangku kepentingan lainnya untuk bersama-sama melestarikan keindahan alam terumbu karang tersebut. Oleh karena itu, tulisan ini hendak meneliti tentang apa yang menjadi nilai strategis CTI bagi masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia? Adapun pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut: 1. Apakah yang dimaksud dengan Coral Triangle Initiative? 2. Apa nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia? C. Maksud dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Apa yang dimaksud dengan Coral Triangle Initiative? 2. Apa nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia?
Andy A. Zaelany dan Ary Wahyono, “Konflik Pengelolaan Konservasi Laut COREMAP dengan Adat di Perairan Buton”, LIPI: Jurnal Masyarakat Indonesia Edisi XXXVI, No., 2, 2010, hal 158. 13 “Segitiga Terumbu Karang Dunia; Inisiatif Pengelolaan Belum Tampak”, Kompas, 31 Oktober 2011, hal 13. 12
47
Nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi Masyarakat Wilayah Pesisir
Selain itu, kegunaan dari penelitian ini ditujukan bagi parlemen RI yang memiliki peranan penting untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap program-program pelestarian terumbu karang terutama yang menyangkut dalam kerangka kerja sama Coral Triangle Initiative.
D. Kerangka Pemikiran Penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran kerja sama regional. Menurut Andrew Hurrell, regionalisme dibedakan menjadi lima kategori14 yaitu pertama, regionalization. Regionalization merupakan perkembangan suatu integrasi sosial dalam suatu kawasan yang secara tidak langsung merupakan suatu proses interaksi sosial dan ekonomi. Kedua, kesadaran dan identitas regional (regional awareness and identity), adalah suatu persepsi bersama (shared perception) yang dimiliki oleh komunitas khusus yang didasarkan oleh faktor-faktor internal, sering didefinisikan sebagai suatu kesamaan budaya, sejarah maupun tradisi agama. Juga dapat didefinisikan sebagai bentuk ancaman keamanan maupun tantangan budaya sebagai pengaruh factor eksternalnya. Ketiga, kerjasama antar negara dalam kawasan (regional interstate cooperation) merupakan kerjasama yang dibentuk untuk beberapa tujuan tertentu seperti upaya untuk menghadapi tantangan eksternal serta melakukan koordinasi terhadap kondisi regional dalam lembaga-lembaga internasional maupun dalam perundingan-perundingan internasional. Selain itu kerja sama regional akan dapat meningkatkan stabilitas keamanan, pemahaman terhadap nilai-nilai bersama serta mengatasi masalah-masalah bersama, terutama terhadap masalahmasalah yang timbul akibat adanya peningkatan rasa saling tergantung antara satu negara dengan negara lainnya dalam kawasan tersebut. Keempat, integrasi regional yang dikembangkan oleh negara (state-promoted regional integration). Adapun penekanan dari integrasi ini lebih kepada integrasi ekonomi regional. Integrasi regional meliputi suatu pengambilan kebijakan khusus oleh pemerintahpemerintah suatu negara yang dibentuk untuk mengurangi adanya kendalakendala terhadap pergerakan barang, jasa, modal serta tenaga kerja. Kelima, kohesi regional. Kohesi regional merupakan gabungan dari keempat proses sebagaimana yang telah disebutkan diatas yang akan menciptakan adanya suatu kepaduan (kohesi) serta konsolidasi suatu unit regional. Kohesi dapat dipahami melalui dua pengertian, yakni pertama, ketika sutu kawasan memainkan peranan penting bagi kawasan tersebut maupun terhadap kawasan Teuku May Rudy SH, “Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin”, (Bandung: PT Refika Aditama, 2002), hal 84-85.
14
48
Lisbeth Sihombing, S.IP., M.Si.
lainnya dan kedua, yaitu ketika suatu kawasan membentuk suatu pengaturan yang didasarkan atas suatu kebijakan yang mencakup suatu isu tertentu. Kerja sama regional merujuk kepada adanya interdependensi antar negara yang dikembangkan untuk memecahkan masalah bersama –dalam hal ini menjaga kelestarian terumbu karang.15 Lebih lanjut, kerjasama regional memiliki beragam bentuk mengacu pada isu-isu yang menjadi kesepakatan bersama.16 Adapun tingkat-tingkat kerjasama regional dapat dibagi menjadi lima jenis, yakni:17 Pertama, asosiasi. Asosiasi merupakan pertemuan negaranegara untuk membahas suatu isu tertentu namun belum sampai pada tingkat merumuskan aturan bersama. Kedua, koordinasi. Koordinasi adalah pertemuan antar negara yang sudah terdapat kesepakatan dari masing-masing negara untuk saling membantu dalam menangani isu-isu tertentu. Ketiga, harmonisasi. Harmonisasi yaitu suatu tingkatan dimana masing-masing negara saling melakukan adaptasi dan penyesuaian-penyesuaian terhadap kebijakan luar negeri negara-negara lain namun belum sampai terdapat kesepakatan menyangkut masalah kewenangan otoritas, norma-norma yang akan dipakai bersama, apalagi mengenai struktur kerjasama. Keempat, integrasi yang sudah mengarah pada pembentukan norma bersama serta terwujud dalam sebuah organisasi regional yang diserahi semacam otoritas wewenang. Integrasi yang bersifat sepenuhnya seperti Uni Eropa yang telah memiliki organ-organ yang lengkap dan mengarah pada terbentuknya supranasional. Namun ada juga yang bersifat sebagian seperti ASEAN yang hanya terintegrasi pada aspek-aspek tertentu saja. CTI masuk ke dalam kategori jenis kerjasama yang terintegrasi namun hanya sebagian.
Nuraeini S, Deasy Silvya, Arfin Sudirman, “Regionalisme; Dalam Studi Hubungan Internasional”, (Yogyakarta; Putaka Pelajar, 2010), hal 9. 16 Ibid, hal 79. 17 Ibid, hal 82-85. 15
49
BAB II METODOLOGI PENELITIAN
I.
Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di dua provinsi. Pertama adalah Provinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 1 Juli 2012-7 Juli 2012. Di Sulawesi Tenggara, penelitian dilakukan dengan pejabat-pejabat di Kendari dan Wakatobi. Di Kendari, wawancara dilakukan ke Dinas Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Sulawesi tenggara. Selain di Kendari, wawancara juga dilakukan di Kabupaten Wakatobi. Di Wakatobi, wawancara dilakukan ke Bupati Wakatobi, LSM seperti World Wildlife Fund (WWF), Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Lingkungan Hidup Daerah dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten. Selain itu, penelitian juga dilakukan di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tanggal 22 Juli 2012-28 Juli 2012. Di Propinsi Nusa Tenggara Timur, penelitian dilakukan dengan pejabatpejabat di Kupang dan Kabupaten Alor. Di Kupang, wawancara dilakukan ke LSM The Nature Conservancy (TNC) serta Tim Pengkajian Penetapan dan Perancangan Pengelolaan Laut Sawu. Sedangkan di Kabupaten Alor, wawancara dilakukan di Dinas Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Lingkungan Hidup Daerah, Bupati dan pejabat dinas di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. II. Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dari berbagai media cetak maupun elektronik, internet serta laporan-laporan mengenai kondisi terumbu karang dan kegiatan-kegiatan Coral Triangle Initiative. Selain itu, pengumpulan data juga dilakukan melalui forum discussion group dengan nara sumber dari para pejabat Pemerintah seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan maupun Lembaga Swadaya Masyarakat seperti WWF dan TNC. Setelah mendapatkan gambaran tentang perkembangan terkini tentang halhal tersebut, penulis melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) dengan pihak-pihak terkait seperti para Pejabat dari Kementerian Kelautan dan Perikanan baik di Pusat maupun di daerah dan pendapat pakar dari 51
Nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi Masyarakat Wilayah Pesisir
Institut Pertanian Bogor di Bogor dan Jakarta. Hal ini dilakukan agar penulis mendapatkan gambaran komprehensif bagi para Anggota Parlemen.
III. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena bersifat menggambarkan tentang perkembangan kegiatan Coral Triangle Initiative maupun kondisi terkini terumbu karang yang ada di Indonesia. Selain itu, metode ini dilakukan melalui analisis data primer dan data sekunder. Analisis data primer dilakukan melalui penelitian ke lapangan (field research) dan melakukan wawancara langsung dengan para penjabat yang terkait dengan kegiatan Coral triangle Initiative dan pelestarian terumbu karang di Indonesia. Sedangkan analisis data sekunder dilakukan melalui pencarian data serta informasi di laporan-laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta media cetak maupun elektronik.
52
BAB III CORAL TRIANGLE INITIATIVE
Kawasan Coral Triangle Initiative merupakan kawasan perlindungan laut yang sangat kaya akan keanekaragaman sumber daya alam bawah laut. DIantara keenam negara anggota CTI, Indonesia yang memiliki kawasan paling luas dan yang paling beragam jenis terumbu karangnya. Hal ini dapat menjadi keuntungan bagi Indonesia selama terumbu karang dapat terawat dengan baik. Sayangnya kondisi terumbu karang saat ini di beberapa tempat masih ada yang kurang baik. Di Teluk Kendari beberapa waktu yang lalu, masih terdapat terumbu karang tapi sekarang sudah tidak ada karena sedimentasi teluk. Saat ini, ada banyak substrat terumbu karang yang tertutup oleh lumpur. Selain itu terdapat dilema yakni penggunaan alat tangkap “linggis” untuk menangkap ikan abalon masih diperbolehkan padahal alat tangkap ini dapat merusak terumbu karang.18 Masyarakat pesisir membangun rumahnya dengan menggunakan batu karang karena lebih murah. Padahal hal ini bisa menyebabkan abrasi. Direktorat polisi air tidak secara spesifik memantau berapa banyak bongkahan batu karang yang telah diambil tapi saat ini sudah semakin banyak jumlah penduduk di pesisir yang membangun rumahnya menggunakan batu karang.19 Kabupaten Wakatobi terdiri dari 142 pulau tapi yang berpenghuni dan hanya tujuh pulau yang berpenghuni. Pemerintah Pusat sampai saat ini masih belum menganggap bahwa terumbu karang itu sangat penting penting. Hal ini dikarenakan masih tidak adanya insentif bagi daerah yang menjaga terumbu karangnya. Pemerintah Pusat hanya memikirkan pendapatan yang disetorkan ke sana. Daerah pesisir yang melindungi taman nasional atau cagar biosfer yang punya nilai harus punya perlakuan khusus dari negara (anggaran khusus). Kabupaten Wakatobi mempunyai luas yang merupakan seluas taman nasional. Wakatobi terdiri dari 97% lautan sedangkan daratan 3%. Wawancara dengan Koordinator Program Jaringan Wilayah pesisir, di Kendari tanggal 1 Juli 2012. 19 Wawancara dengan Dirpolair Kendari, Wayan Pinatih dan Jajarannya, di Kendari tanggal 6 Juli 2012. 18
53
Nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi Masyarakat Wilayah Pesisir
Untuk itu, diperlukan adanya cara pandang visioner untuk membangun daerah. Potensi dasar laut sangat tinggi: berdasarkan penelitian dari walace ada 942 jenis ikan dan 750 hard coral dan soft coral. Jumlah yang banyak dari total 850 jenis yang ada di dunia. Oleh karena itu disebut biodiversity: CTI. Pesisir menjadi barometer penting pembangunan di wilayah indonesia. Hal ini disentuh dengan UU. Harus ada reorientasi dari daratan ke lautan. Wakatobi terima penghargaan sebagai cagar biosfer di Paris tanggal 9-11 juli 2012. Wakatobi mendapat penghargaan karena menjaga biota laut. Penambangan yang merupakan sumber APBD dinomor sekiankan. Wakatobi juga mendapat insentif fiskal sebagai pendapatan daerah. Kabupaten Wakatobi menyerap karbon paling tinggi. Pemda wakatobi tidak menjadikan pembangunan jalan dan jembatan sebagai prioritas. Penganggaran Dana Alokasi Khsusu masih kurang karena wakatobi dipandang sebagai daerah kepulauan padahal dari jumlah penduduk dan wilayah kalo dihitung berasarkan hal itu, wakatobi dianggap sebagai continent. Pemerintah daerah Wakatobi sedang berupaya membangun daerahnya, melalui: 1. Ecotourism. Yang dimaksud dengan ecotourism adalah bidang pariwisata yang ramah lingkungan. Bidang pariwisata sangat diminati karena keindahan bawah lautnya yang sangat menarik. 2. Fishery and marine. Selain di bidang pariwisata, upaya lain yang dilakukan adalah bidang perikanan dan kelautan. Hal ini dilakukan karena jumlah ikan yang melimpah.
Wakatobi merupakan bisa menjadi pusat penelitian dunia. Tidak ada reward dari pemerintah/perlindungan dalam UU. Kabupaten Wakatobi sedang membangun Sekolah Tinggi Marine dan Protected Area Management. Sekolah tinggi ini dibangun seluas 45 km2. Untuk 6 negara CTI. Bekerjasama dengan universitas dari negara2 lain dimana semua periset akan berkumpul di sekolah ini. Awalnya ingin didirikan di Bali tapi paling pas ada di wakatobi karena terletak antara laut Flores dan laut Banda: wakatobi terletak ditengahtengahnya. Pakai biaya Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atas kerjasama pemerintah pusat dan daerah. Sekolah ini diharapkan mejadi kekuatan besar bagi indonesia sebagai pusat pendidikan kelautan.20 Wakatobi merupakan salah satu daerah yang terkenal dengan objek wisata bawah lautnya. Jumlah wisatawan meningkat menjadi 200 %. Tantangan di pariwisata wakatobi adalah penerbangan yang terbatas jumlahnya. Wisatawan manca negara paling banyak datang ke wakatobi dari inggris karena tomia dive Wawancara dengan Bupati Wakatobi, Hugua, di Wakatobi tanggal 3 Juli 2012.
20
54
Lisbeth Sihombing, S.IP., M.Si.
ressort yang dikelola oleh Loren. Sedangkan Tomia punya bandara sendiri. Ada paket paling murah 3000 US $ dengan paket hotel, restoran dan penerbangan dengan jet dari bali langsung ke tomia. Sekarang mau bidik wisatawan dari asia karena eropa lagi krisis. Bikin pameran di Jepang dan Malaysia. Para divers menjaga lingkungan, tidak akan merusak terumbu karang.21 Sektor andalan yang ada di Wakatobi adalah Pariwisata dan perikanan tapi masih terdapat kendala-kendala terhadap sektor andalan tersebut seperti masih adanya penambangan pasir dan masih banyak yang menggunakan bom untuk menangkap ikan. Kegiatan-kegiatan CTI tidak terjangkau di Wakatobi karena masih bersifat inisiatif. Yang dilakukan hanya berupa pertemuan-pertemuan Bupati dan di wilayah Coral Triangle. Harapan dari CTI: pemerintah memberikan adanya peningkatan kapasitas kepada masyarakat local diluar bantuan yang ada. Kapasitas: memberikan keahlian atau pendampingan supaya masyarakat mandiri. Adapun peran dari CTI: bisa mengisi kekurangan dari program Pemda yang sudah ada karena masih lemah dalam pendampingan. Reef health monitoring and survey bleeching dari WWF dan TNC yang terdapat di Wakatobi: tingkat pemulihan terumbu karang cukup bagus karena kondisi perairan masih jauh dari industri. Jadi, Kondisi terumbu karang di wakatobi masih cukup bagus ketimbang wilayah lain.22 Kerja sama CTI tidak ada implementasi langsung ke masyarakat berbeda dengan IMAX dan Coremap karena kebijakan masih dilevel atas padahal kalau presentasi di kongres-kongres hasilnya bagus. Saat ini, CTI nebeng dengan kegiatan Coremap (Coremap-CTI) akibat beberapa masukan di kongres yakni para ahli yang menangani CTI. Presentasi bagus tapi implementasi kurang. Wakatobi dapat menjadi pusat terumbu karang dunia (terletak di segitiga karang dunia). CTI harus masuk sampai ke level desa seperti kecamatan dan kelurahan sehingga tidak hanya pada level atas. Saat ini hanya sampai Bupati.23 Yang jadi kekuatan dari Wakatobi adalah keindahan bawah lautnya termasuk terumbu karang. Antara rehabilitasi dan pemberdayaan bentrok karena fokus dari pembangunan ada di bidang jasa tapi bukan eksploitasi dan yang mau diperhatikan adalah wilayah laut. Oleh karena itu, Wakatobi diharapkan nantinya akan menjadi pusat penelitian kelautan bertaraf internasional. Tahun 2010, pertemuan para bupati yang wilayahnya terkenal dengan terumbu karang (CTI). Peran Bapeda: fasilitator para bupati yang terlibat Wawancara dengan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Wakatobi, Tawaka, di Wakatobi tanggal 3 Juli 2012. 22 Wawancara dengan Project Leader WWF Kantor Wakatobi, Sugianto, di Wakatobi tanggal 5 Juli 2012. 23 Wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Wakatobi, Hajifu, di Wakatobi tanggal 3 Juli 2012. 21
55
Nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi Masyarakat Wilayah Pesisir
sebagai implementasi dari SKPD yakni mengawal kerjasama regional pada tempatnya. pemengarah ke laboratorium di pulau hoga. TNC desin lab yang dibiayai PEMDA di Pulau Hoga. Marine Protected Area Management (taraf Strata 2) yang biayai APBN tapi pembebasan lahan seluas 30 hektar adalah bagian PEMDA. Tantangan terkait CTI: implementasi untuk program CTI belum terjamah ke bawah. Masih sekedar wacana hanya berupa pertemuanpertemuan saja. Ada internalisasi terhadap masyarakat dan pemerintah untuk melakukan visi wakatobi 2009. Kalau terumbu karang tidak rusak walau hanya bagian kecil tapi untuk merehabilitasinya butuh waktu lama dan dana yang besar.24 Orang luar wakatobi sering masuk ke wilayah wakatobi dan melakukan pengrusakan lingkungan seperti pengeboman karang, penggunaan bius (potasium), dan pukat harimau pada tahun 2009. Wakatobi bukan hanya milik indonesia tapi juga dunia. Tantangan BLH: BLH sudah 6 bulan memberikan edukasi dan penyuluhan tentang pentingnya menjaga terumbu karang. Harus memperbanyak petugas lapangan dan diperlengkapi senjata di pos penjagaan. BLH masih tergantung pada hasil riset lembaga asing untuk melihat kondisi laut dan dalam pengendalian masyarakat.25 Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF) merupakan kerja sama regional dari enam negara yang memiliki wilayah yang berdekatan dan memiliki tujuan untuk melestarikan dan pengelolaan terumbu karang, perikanan dan ketahanan pangan yang penting dan modern. CTI dideklarasikan pada pertemuan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di Sydney, Australia pada tanggal 9 September 2007. Adapun Enam negara anggota CTI adalah Indonesia, Filipina, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon. Wilayah Segitiga terumbu karang yang melingkupi keenam negara tersebut telah diakui oleh pakar kelautan dan perikanan sebagai center of marine megabiodiversity. Hal ini dikarenakan luas wilayah CTI ini adalah 75.000 km2. Selain itu, wilayah ini juga memiliki 500 spesies terumbu karang dan 3.000 spesies ikan.26 Dalam rangka penyusunan Regional Plan of Action (RPoA) telah disepakati bahwa Indonesia sebagai Sekretariat regional CTI memiliki tugas pokok yaitu memfasilitasi pelaksanaan Pertemuan Pejabat Tinggi (Senior Official Wawancara dengan Sekertaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDA) Wakatobi, Abdul Halim, di Wakatobi tanggal 4 Juli 2012. 25 Wawancara dengan Badan Lingkungan Hidup Daerah Wakatobi, H Ibrahim SE, MM, di Wakatobi tanggal 4 Juli 2012. 26 Freddy Numberi, op.cit. 24
56
Lisbeth Sihombing, S.IP., M.Si.
Meeting/SOM) dan Pertemuan Koordinasi Komite (Coordination Committee Conference/CCC) untuk menyelesaikan Plan of Action tersebut. Untuk itu telah dilaksanakan sebanyak tiga kali pertemuan tingkat SOM di Indonesia dan Filipina. Pada SOM-2 di Manila, Filipina, Draft Regional Plan of Action secara prinsip telah dapat diterima oleh seluruh negara anggota CTI dan juga telah disepakati Resolusi Manila yang pada intinya berisikan tentang menegaskan kembali komitmen masing-masing negara untuk melindungi dan mengelola sumberdaya pesisir dan laut di kawasan CTI dengan mengimplementasikan rencana aksi yang terkandung di dalam RPoA. Resolusi tersebut juga telah menyepakati untuk menghadirkan kepala negara dalam pertemuan CTI Summit di Manado yang akan didahului dengan pertemuan tingkat Menteri pada Maret 2009 di Port Moresby, Papua New Guinea. 27 Sehubungan dengan itu, CTI juga telah menyepakati adanya sembilan prinsip dasar yang sudah diterapkan pada SOM-1 di Bali. Kesembilan prinsip dasar ini penting untuk digunakan sebagai acuan bagi para anggota CTI dalam mengimplementasikan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan CTI di negaranya masing-masing. ini Adapun, sembilan prinsip dasar CTI, antara lain: 28 1. Berfokus pada masyarakat, pembangunan berkelanjutan, pengurangan kemiskinan dan keadilan. 2. Berdasarkan pada hasil-hasil telaah ilmiah. 3. Memiliki tujuan yang kuantitatif dan jadwal kerja yang dapat diadopsi oleh pemerintah dengan tingkatan politik tertinggi. 4. Menggunakan forum-forum yang ada dan yang akan dibentuk untuk promosi implementasinya. 5. Sejalan dengan komitmen-komitmen internasional dan regional. 6. Bahwa sumber daya laut penting dan dan komunitas bersifat lintas batas. 7. Mengedepankan daerah-daerah geografis yang bersifat penting. 8. Bersifat inklusif dan melibatkan semua pemangku kepentingan. 9. Mengakui adanya keunikan, kerapuhan dan keterancaman eksosistem pulau.
Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (selanjutnya akan disingkat dengan SBY) telah mengeluarkan sebuah pesan resmi pada pertemuan kedelapan pihak dalam Konvensi Keanekaragaman hayati (COP-8 Convention on Biological Diversity) di Brazil pada Maret 2006. Pesan ini menekankan arti pentingnya Coral Triangle. Tak hanya itu, pada Agustus 2007, Ibid, hal 120-121. Ibid, hal 123.
27 28
57
SBY juga menulis surat kepada tujuh kepala negara yakni Filipina, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea, Kepulauan Solomon, Australia dan Amerika Serikat. Pada surat tersebut, SBY mengusulkan adanya inisiatif segitiga karang untuk terumbu karang, perikanan dan ketahanan pangan (Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security). 29
Ibid, hal 119-120.
29
BAB IV RUSAKNYA TERUMBU KARANG
Wilayah segitiga terumbu karang (coral triangle) sering kali disebut sebagai wilayah yang kaya akan keberagaman (megadiversity) sumber daya alam di laut. Wilayah ini merupakan tempat ideal bagi berbagai jenis ikan untuk bertelur dan membesarkan anaknya karena memiliki perairan relatif hangat dengan arus kuat. Wilayah ini pun diperkuat dengan adanya aneka ekosistem lain yang juga turut mendukung kekayaan alam di wilayah tersebut seperti, mangrove dan lamun. Sayangnya, keberagaman tersebut akan punah karena pola hidup masyarakat pesisir. Pola hidup masyarakat pesisir yang merusak itu menyangkut cara penangkapan ikan yang masih menggunakan bom, obat bius (potasium), pukat harimau, serta adanya pembangunan pesisir yang destruktif. Sebagai contoh, di Kota Kendari, Kabupaten Wakatobi maupun Kabupaten Alor, masyarakat pesisir masih banyak yang membangun pondasi rumahnya dengan mengambil karang-karang laut.30 Selain itu, masih banyak terdapat pelanggaran-pelanggaran penangkapan ikan dengan dengan menggunakan cara-cara yang destruktif seperti dengan menggunakan bom maupun obat bius (potasium) padahal wilayah-wilayah tersebut merupakan wilayah-wilayah yang seharusnya dilindungi (Taman Nasional). Jumlah terumbu karang sehat yang ada di Indonesia, lama kelamaan justru semakin menurun. Sebesar 37.1 % terumbu karang di Indonesia berada pada status cukup. Jumlah ini hanya sedikit melampaui jumlah terumbu karang yang memiliki status kurang yakni sebesar 31.45%. Sedangkan yang berada pada status baik hanya mencapai 25.89% bahkan status sangat baik hanya sebesar 5.56%. Kondisi terumbu karang terparah berada pada wilayah Indonesia bagian Timur yakni sebesar 40.69%.31 Lebih lanjut, Sebesar tiga puluh % dari ekosistem terumbu karang ini telah rusak, hanya sejumlah Wawancara dengan Koordinator program jaringan wilayah pesisir, di Kendari tanggal 1 Juli 2012 dan wawancara dengan Dirpolair Kendari, Wayan Pinatih dan jajarannya, di Kendari tanggal 6 Juli 2012. 31 Marine and Fisheries in Figures Year 2010, hal 98. 30
59
Nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi Masyarakat Wilayah Pesisir
enam puluh % yang masih bisa pulih. Padahal, keberlanjutan ekosistem itu mempengaruhi sekitar 120 juta masyarakat yang hidupnya tergantung pada laut.32 Indonesia telah menjadi negara pengekspor biota laut terbesar. Komoditi ekspornya yang terutama adalah karang hias yang menjadi elemen penting dalam akuarium biota laut. Total ekspor karang Indonesia pada 2008 telah mencapai 973.003 potong. Dari jumlah itu, hanya 29 % atau 282.006 potong yang berasal dari koral hasil cangkok. Sebanyak 690.937 potong masih diambil langsung dari alam. Kondisi itu perlu diwaspadai, karena pasar semakin sadar akan kelestarian lingkungan. Bahkan, saat ini Filipina melakukan moratorium pengambilan karang alam sambil mengembangkan proyek transplantasi karang. Sayangnya, Indonesia masih beranggapan bahwa moratorium pengambilan karang ini tidak perlu dilakukan di Indonesia. Kendati demikian, Indonesia tetap memandang penting adanya komitmen untuk mengembangkan transplantasi karang serta mendorong sertifikasi ecolabelling untuk biota laut. Ecolabelling inilah yang nantinya akan memastikan bahwa proses budi daya karang di alam ataupun transplantasi memenuhi standar kelayakan lingkungan. Memang hal ini akan menambah biaya produksi bagi produsen, tapi dalam jangka panjang, ecolabelling akan menjadi branding yang membedakan karang asal Indonesia dengan produk negara lain apalagi dengan kualitas karang yang bagus.33 Kerusakan atau hilangnya ekosistem terumbu karang ini berdampak besar bagi perikanan dunia. Segitiga terumbu karang berperairan relatif hangat dengan arus kuat dan biodiversitas yang tinggi karena merupakan tempat ideal bagi berbagai jenis ikan untuk bertelur dan membesarkan anaknya. Kondisi ini diperkuat aneka ekosistem tetangga yang mendukung, seperti mangrove dan lamun. Sayangnya, tiga puluh % dari ekosistem terumbu karang ini telah rusak. Hanya sejumlah enam puluh % yang masih bisa pulih apabila masyarakat mau mengubah gaya hidupnya. Pola hidup itu menyangkut cara penangkapan ikan yang masih menggunakan bom, pukat harimau, dan menagkap anakan serta adanya pembangunan pesisir yang destruktif. Keberlanjutan ekosistem itu mempengaruhi sekitar 120 juta masyarakat yang hidupnya tergantung pada laut.34 Indonesia menjadi negara pengekspor biota laut terbesar, khususnya karang hias yang menjadi elemen penting dalam akuarium biota laut. Total ekspor karang Indonesia pada 2008 telah mencapai 973.003 potong. Dari jumlah itu, hanya 29 % atau 282.006 potong yang berasal dari koral hasil cangkok. Sebanyak 690.937 “Terumbu Karang Sumber Ikan Dunia”, Kompas, 4 November 2011 hal 14. “Hobi Yang Terus Tumbuh”, Koran Tempo, 28 Juli 2011, hal. A13. 34 “Terumbu Karang Sumber Ikan Dunia”, op.cit. 32 33
60
Lisbeth Sihombing, S.IP., M.Si.
potong masih diambil langsung dari alam. Kondisi itu perlu diwaspadai, karena pasar semakin sadar akan kelestarian lingkungan. Saat ini Filipina melakukan moratorium pengambilan karang alam sambil mengembangkan proyek transplantasi karang. Sedangkan Indonesia beranggapan bahwa moratorium ini tidak perlu dilakukan di Indonesia tapi harus ada komitmen untuk mengembangkan transplantasi karang serta mendorong sertifikasi ecolabelling untuk biota laut. Ecolabelling ini memastikan bahwa proses budi daya karang di alam ataupun transplantasi memenuhi standar kelayakan lingkungan. Sepintas hal ini akan menambah biaya produksi, tapi dalam jangka panjang akan menjadi branding yang membedakan karang asal Indonesia dengan produk negara lain. Yayasan Alam Lestari ini sedang mengupayakan agar proses ecolabeling itu bisa dilakukan di dalam negeri –sebagaimana yang telah dilakukan di India– sehingga biayanya lebih murah. Pada saat ini lembaga sertifikasi memang masih berada di negara-negara maju. Salah satu kendala lain adalah soal harga. Direktur Eksekutif Asosiasi Koral, Kerang, dan ikan hias Indonesia menyatakan masih terdapat anomaly karena kerang alami dihargai lebih mahal ketimbang karang transplantasi. Padahal biaya karang transplantasi lebih mahal.35 Karang transplantasi mulai dilirik para pengusaha koral hias, karena karang hasil pencangkokan tidak mudah stress, sehingga hasil transplantasinya di akuarium lebih baik. Mereka juga dapat membuat stok jenis karang hias yang laris di pasar tanpa bergantung pada alam. Transplantasi karang dilakukan dengan mengambil karang induk dan membelahnya menjadi beberapa potongan karang berukuran 5-7 sentimeter. Potongan karang itu direkatkan pada media substrat menggunakan lem. Karang yang telah direkatkan pada substrat dimasukkan ke laut dengan kedalaman satu meter untuk aklimatisasi, sebelum dipindahkan ke tempat yang lebih dalam. Lokasi peletakan karang dipilih kawasan yang relative terlindung dari ombak besar, dengan dasar perairan yang relative datar, berpasir, dan dekat terumbu karang yang masih baik sebagai pelindung dengan temperature air optimal 26-30 derajat Celcius. Kedalaman air pada saat surut tidak boleh kurang dari 60 cm, sedangkan saat pasang bisa mencapai 1,5–2 meter. Kedalaman air sangat penting karena lokasi transplantasi karang tidak boleh kekeringan ketika air surut. Jenis karang transplantasi yang telah memperoleh rekomendasi budi daya dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mencapai 24 jenis. Jenis karang rekomendasi LIPI: Acropora sp, Hydnophora rigida, Merulina ampliata, Montipora sp, Pocillopora eydouxi, Pocillopora Verrucosa, Porites Nigrescens, Seriatopora hystrix, Stylophora pistillata, Caulastrea sp, “Hobi Yang Terus Tumbuh”, Op. Cit.
35
61
Echinophyllia aspera, Echinopora lamellosa, Euphyllia Glabrescens, Euphyllia Ancora, Galaxea Astreata, Galaxea fascicularis, Turbinaria mesenterina, Turbinaria peltata, Turbinaria reniformis, dan Turbinaria stellulata.36
“Pencangkokan Karang”, Koran Tempo, 28 Juli 2011, hal. A13.
36
BAB V NILAI STRATEGIS CTI BAGI MASYARAKAT PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
Indonesia mendapat apresiasi atas kepemimpinannya dalam membentuk Prakarsa Segitiga Terumbu Karang yang bersifat multilateral. Indonesia (dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) telah menerima penghargaan 21st Century Economic Achievement Award dari komunitas bisnis US-ASEAN Business Council pada tanggal 24 September 2012 di New York. CTI telah melestarikan sumber daya laut dan pesisir pantai di enam negara yakni Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste. Kawasan ini merupakan salah satu daerah paling beragam secara biologis yang menjadi tempat bagi 75% species karang dan 37% ikan terumbu karang.37 Terumbu karang banyak menyumbangkan manfaat bagi masyarakat di kawasan pesisir. Adapun Manfaat dari terumbu karang antara lain sebagai habitat bagi berbagai jenis biota laut yang bernilai ekonomi tinggi seperti ikan, teripang, lobster, rumput laut, kima, kerang, siput, bulu babi, bahkan untuk karangnya sendiri. Selain itu terumbu karang juga dapat menjadi sumber devisa yang diperoleh dari wisata bahari karena merupakan kawasan yang indah dengan panorama bawah lautnya. Bahkan terumbu karang juga bermanfaat sebagai bahan obat-obatan dan kosmetik. Terumbu karang pun memiliki daya tarik tersendiri bagi penelitian. Indonesia memandang penting untuk melindungi, melestarikan serta mengelola terumbu karang. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan satu-satunya negara yang memiliki wilayah terumbu karang terluas dan yang paling beragam di dunia. Terumbu karang di Indonesia memiliki luas mencapai 42.000 km2 atau sekitar 16,5% dari bagian terumbu karang dunia yang mencapai 255.300 km2.38 Sebagian besar terumbu karang Indonesia terletak di wilayah Indonesia bagian Barat seperti ujung barat daya pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan “SBY Terima Penghargaan Lingkungan”, Suara Pembaruan, 25 September 2012, hal 11. Andy A. Zaelany dan Ary Wahyono, “Konflik Pengelolaan Konservasi Laut COREMAP dengan Adat di Perairan Buton”, LIPI: Jurnal Masyarakat Indonesia Edisi XXXVI, No., 2, 2010, hal 157.
37 38
63
Nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi Masyarakat Wilayah Pesisir
Kepulauan Riau. Sedangkan di wilayah Indonesia bagian Tengah seperti di Nusa Tenggara, Sulawesi, Bali dan Lombok; serta di wilayah Indonesia bagian Timur seperti Papua. Keseluruhan lingkungan ekosistem terumbu karang tersebut memiliki keanekaragaman hayati yang masih sangat tinggi di dunia. Misalnya saja terdapat lebih dari 2,500 jenis ikan, 590 jenis karang batu, 2500 jenis moluska, dan 1500 jenis udang-udangan.39 Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu Kabupaten yang terkenal dengan keindahan bawah lautnya. Bahkan, Taman Nasional Wakatobi (TNW) di Sulawesi Tenggara, Indonesia merupakan salah satu dari beberapa tempat yang memiliki terumbu karang dengan biodiversitas tertinggi di dunia. Sejak tahun 2003, kawasan Wakatobi secara administrasi telah menjadi Kabupaten Wakatobi dengan luasan yang sama dengan luas kawasan TNW. Berdasarkan Reef health monitoring and survey bleeching dari WWF dan TNC, kondisi kesehatan karang sejak tahun 2009-2011 di TNW secara signifikan lebih tinggi di zona larang ambil dibandingkan di zona pemanfaatan, dengan kondisi paling baik di tipe habitat pulau utama. Kondisi karang tahun 2011 pun sudah lebih baik daripada tahun 2010, meskipun tidak sebaik tahun kondisi terumbu karang tahun 2009. Hal ini membuktikan bahwa penetapan kawasan sebagai zona larang ambil dapat memberikan manfaat bagi proses perbaikan kondisi terumbu karang.40 Tingkat pemulihan terumbu karang di Wakatobi cukup bagus karena kondisi perairannya yang masih jauh dari industri. Selain itu, hampir sebanyak 105.000 jiwa penduduk menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut di lokasi ini.41 Ketergantungan penduduk terhadap sumberdaya laut ini dikarenakan sebagian besar penduduk di Wakatobi adalah nelayan, baik sebagai mata pencaharian utama maupun sampingan. Kendati demikian, pemutihan karang masih ditemukan selama pemantauan, meskipun dalam prosentase yang relatif rendah. Ancaman lain yang muncul terhadap terumbu karang di TNW adalah pengambilan karang dari rataan terumbu untuk bahan bangunan. Masyarakat mengambil karang untuk bahan bangunan rumah mereka karena harganya yang murah. Kondisi terumbu karang di Wakatobi masih cukup bagus ketimbang wilayah lain. Wakatobi dapat menjadi pusat terumbu karang dunia (terletak di segitiga karang dunia). Seyogyanya, Kabupaten Wakatobi termasuk ke dalam
“CTI-CFF Langkah Maju Pelestarian Terumbu Karang”, loc. cit. TNC-WWF Joint Program Wakatobi bekerja sama dengan Balai Taman Nasional, “Draft Laporan Pemantauan Kesehatan Terumbu Karang di Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi, Indonesia Tahun 2009-2011”, hal 40. 41 Ibid. 39 40
64
Lisbeth Sihombing, S.IP., M.Si.
kegiatan-kegiatan Coral Triangle Initiative (CTI). Kenyataannya, Wakatobi tidak termasuk ke dalam daftar kegiatan-kegiatan CTI karena memang kegiatan-kegiatan CTI sampai saat ini hanya berupa pertemuan-pertemuan antar Bupati yang ada di wilayah Coral Triangle. Padahal, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Wakatobi memiliki harapan besar dengan adanya kerja sama CTI ini. Pemerintah berharap, dengan diikutsertakannya Kabupaten Wakatobi dalam kegiatan-kegiatan CTI maka akan memberikan adanya peningkatan kapasitas kepada masyarakat lokal (masyarakat pesisir) diluar dari bantuan yang sudah diberikan. Selama ini, Pemerintah Daerah telah memberikan program-program bantuan kepada masyarakat namun masih terkendala dalam hal pendampingan. Bantuan ini sangat penting supaya ke depan masyarakat bisa semakin mandiri. Bantuan yang dapat diberikan antara lain berupa keahlian atau pendampingan. Selain itu, sektor andalan yang ada di Kabupaten Wakatobi adalah Pariwisata dan Perikanan. Akan tetapi, sampai saat ini masih terdapat kendalakendala terhadap sektor andalan tersebut seperti masih adanya penambangan pasir dan masih banyak yang menggunakan bom untuk menangkap ikan.42 Senada dengan LSM di Wakatobi, Pemerintah Daerah Wakatobi pun menginginkan agar kerja sama CTI dapat menyentuh ke masyarakat pesisir. Kerja sama CTI dirasakan tidak memiliki implementasi langsung ke masyarakat. Kerja sama CTI masih berada sampai Bupati. CTI harus masuk sampai ke level desa seperti kecamatan dan kelurahan sehingga tidak hanya pada level atas. Kerja sama CTI berbeda dengan IMAX dan Coremap karena kebijakan masih dilevel atas padahal kalau presentasi di kongres2 hasilnya bagus. Lebih jauh, saat ini, kerja sama CTI telah bergabung dengan kegiatankegiatan Coremap sehingga disebut Coremap-CTI. 43 Sebelum adanya kerja sama CTI, sebetulnya Pemerintah daerah sudah menunjukkan kepedulian. Sebagai contoh, Pemerintah Daerah Alor pun sudah menunjukkan kepeduliannya terhadap terumbu karang. Pada bulan Maret Tahun 2003, Selat Pantar telah ditetapkan menjadi Taman Laut Daerah berdasarkan Surat Keputusan Bupati Alor. Pada awalnya Taman Laut Daerah Selat Pantar hanya seluas 4000 km2 saja tapi sekarang diperluas menjadi seluas 400.008 km2. Bahkan, Taman Laut Selat Pantar kini telah diperluas menjadi kawasan konservasi laut daerah walaupun masih dalam proses zonasi. Kepedulian pemerintah daerah Kabupaten ALor terhadap terumbu karang dan biota laut
Wawancara dengan Project Leader WWF Kantor Wakatobi, Sugianto, di Wakatobi tanggal 5 Juli 2012. 43 Wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Wakatobi, Hajifu, di Wakatobi tanggal 3 Juli 2012. 42
65
Nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi Masyarakat Wilayah Pesisir
serta mencadangkan wilayah seluas 400.008 km2 untuk konservasi taman laut daerah selat pantar ini mendapat apresiasi sehingga mendapatkan penghargaan di Manado dalam acara WOC tahun 2009.44 Kendati demikian, setelah adanya CTI juga terdapat perubahan-perubahan yang cukup signifikan seperti pada komitmen di luar negeri. Indonesia mendapat dana bantuan dari USAID. USAID menambahkan kerjasamanya dengan Bappenas di bidang kelautan. Selain itu, pada komitmen di dalam negeri adalah sekarang sudah terdapat laut nasional yang sudah bisa dikonversi 15 juta km2 sedangkan terdapat target 20 juta km2 di tahun 2020.45 Di dalam pembahasan regional, terdapat regional plan of action di level menteri sedangkan ada pembagian secara bilateral dan multilateral ada kesepakatan dari level menteri atau dirjen untuk mengatasi permasalahanpermasalahan di wilayah negara anggota. Kelebihan dari wakatobi adalah dapat dikenal oleh dunia dan pemicu bagi Indonesia untuk lebih serius mengurus taman nasionalnya, ada insentif bagi Indonesia untuk mengurus sarana dan prasarana. Wakatobi dapat lolos menjadi cadangan biosfer dan betul-betul dipilih dari UNESCO tanggal 9 juli 2012-07-24 karena keindahan, kesiapan dokumen, sudah ada yang urus (UPT wakatobinya), dinas dan pemda sudah ada, ada masyarakat yang mengamankan.46
Wawancara dengan Kepala Dinas plt Kementerian Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor, Mesakh Blegur, di Alor tanggal 23 Juli 2012. 45 Ibid. 46 Wawancara dengan Marine and Marine Species Program Director WWF, Wawan Ridwan di Jakarta tanggal 25 Juni 2012. 44
66
BAB VI KESIMPULAN
Kerusakan atau hilangnya ekosistem terumbu karang memiliki dampak besar bagi perikanan dunia. Apabila terumbu karang di daerah-daerah tersebut tidak dapat terkelola dengan baik maka tidak mungkin selama beberapa tahun ke depan, jumlah terumbu karang yang rusak akan terus meningkat. Adapun pentingnya kerja sama Coral Triangle Initiative (CTI) ini bagi Indonesia adalah untuk mempertahankan keberadaan sumber daya alam laut dan pantai yang luar biasa indahnya yang terdapat di Indonesia dengan cara memfokuskan terhadap isu-isu seperti ketahanan pangan, perubahan iklim, dan keanekaragaman laut. Mengingat pentingnya kerja sama CTI bagi Indonesia, Pemerintah Indonesia perlu mengajak negara-negara anggota Coral Triangle Initiative (CTI) lainnya untuk membuat komitmen dalam melestarikan dan mengelola terumbu karang secara bersama-sama. Hal ini penting untuk keberlangsungan terumbu karang serta masyarakat pesisir yang tergantung pada sumberdaya kelautan. CTI tidak hanya semata-mata merupakan pertemuan-pertemuan para pemimpin dari keenam kepala negara untuk memonitoring dan memberitahukan perkembangan terumbu karang di negaranya masing-masing. Tapi akan lebih baik jika, kebijakan-kebijakan CTI juga dapat menyentuh hingga ke masyarakat di daerah pesisir.
67
BIBLIOGRAFI
Buku Freddy Numberi, “Perubahan Iklim; Implikasinya terhadap Kehidupan di Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”, (Jakarta: Fortuna Prima Makmur, 2009).
Nuraeini S, Deasy Silvya, Arfin Sudirman, “Regionalisme; Dalam Studi Hubungan Internasional”, (Yogyakarta; Putaka Pelajar, 2010).
Teuku May Rudy SH, “Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin”, (Bandung: PT Refika Aditama, 2002). Dokumen Marine and Fisheries in Figures Year 2010.
TNC-WWF Joint Program Wakatobi bekerja sama dengan Balai Taman Nasional, “Draft Laporan Pemantauan Kesehatan Terumbu Karang di Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi, Indonesia Tahun 2009-2011”. Koran “SBY Terima Penghargaan Lingkungan”, Suara Pembaruan, 25 September 2012. “Terumbu Karang Sumber Ikan Dunia”, Kompas, 4 November 2011.
“CTI-CFF Langkah Maju Pelestarian Terumbu Karang”, Business News, 8176/2-11-2011. “Segitiga Terumbu Karang Dunia; Inisiatif Pengelolaan Belum Tampak”, Kompas, 31 Oktober 2011. “Hobi Yang Terus Tumbuh”, Koran Tempo, 28 Juli 2011. “Pencangkokan Karang”, Koran Tempo, 28 Juli 2011. 69
Nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi Masyarakat Wilayah Pesisir
Majalah Andy A. Zaelany dan Ary Wahyono, “Konflik Pengelolaan Konservasi Laut COREMAP dengan Adat di Perairan Buton”, LIPI: Jurnal Masyarakat Indonesia Edisi XXXVI, No., 2, 2010. Wawancara Wawancara dengan Kepala Bagian Hidrologi Laut Institut Pertanian Bogor, Dietriech G Bengen di Jakarta tanggal 16 November 2011. Wawancara dengan Koordinator program jaringan wilayah pesisir, di Kendari tanggal 1 Juli 2012 dan wawancara dengan Dirpolair Kendari, Wayan Pinatih dan jajarannya, di Kendari tanggal 6 Juli 2012.
Wawancara dengan Kepala Bagian Hidrologi Laut Institut Pertanian Bogor, Dietriech G Bengen di Jakarta tanggal 16 November 2011. Wawancara dengan Koordinator Program Jaringan Wilayah pesisir, di Kendari tanggal 1 Juli 2012 Wawancara dengan Dirpolair Kendari, Wayan Pinatih dan Jajarannya, di Kendari tanggal 6 Juli 2012
Wawancara dengan Bupati Wakatobi, Hugua, di Wakatobi tanggal 3 Juli 2012. Wawancara dengan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Wakatobi, Tawaka, di Wakatobi tanggal 3 Juli 2012.
Wawancara dengan Project Leader WWF Kantor Wakatobi, Sugianto, di Wakatobi tanggal 5 Juli 2012. Wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Wakatobi, Hajifu, di Wakatobi tanggal 3 Juli 2012.
Wawancara dengan Sekertaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDA) Wakatobi, Abdul Halim, di Wakatobi tanggal 4 Juli 2012. Wawancara dengan Badan Lingkungan Hidup Daerah Wakatobi, H Ibrahim SE, MM, di Wakatobi tanggal 4 Juli 2012.
Wawancara dengan Koordinator program jaringan wilayah pesisir, di Kendari tanggal 1 Juli 2012 dan wawancara dengan Dirpolair Kendari, Wayan Pinatih dan jajarannya, di Kendari tanggal 6 Juli 2012. 70
Lisbeth Sihombing, S.IP., M.Si.
Wawancara dengan Project Leader WWF Kantor Wakatobi, Sugianto, di Wakatobi tanggal 5 Juli 2012. Wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Wakatobi, Hajifu, di Wakatobi tanggal 3 Juli 2012. Wawancara dengan Kepala Dinas plt Kementerian Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor, Mesakh Blegur, di Alor tanggal 23 Juli 2012.
Wawancara dengan Marine and Marine Species Program Director WWF, Wawan Ridwan di Jakarta tanggal 25 Juni 2012.
71
Bagian Ketiga PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT INTERNASIONAL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL* Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.**
*
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2012 Adirini Pujayanti adalah Peneliti Madya bidang Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Setjen DPR RI. Alamat email adirini.pujayanti@ dpr.go.id.
**
BAB I PENDAHULUAN
Perserikatan Bangsa Bangsa telah menetapkan 8 Juni sebagai Hari Laut Sedunia. Laut merupakan tempat hidup hampir 200.000 species yang terindentifikasikan, menyerap sekitar 30% karbondioksida (CO2) yang memicu pemanasan global dan sumber nafkah bagi lebih dari tiga miliar orang yang bergantung pada keanekaragaman hayati laut dan pesisir.1 Sedemikian besar sumberdaya alam dari laut, namun manusia belum mampu menjelajahi dan memanfaatkan secara optimal seluruh sumberdaya yang ada tersebut. Sekretaris-Jenderal PBB Ban Ki-moon, dalam pesannya untuk Hari Laut Sedunia 2011 menyatakan semua kegiatan dan kebijakan berkaitan dengan Laut dan lingkungan laut perlu mengakui dan memasukkan tiga pilar pembangunan berkelanjutan yaitu isu lingkungan, sosial dan ekonomi agar tujuan pembangunan berkelanjutan yang ditetapkan oleh masyarakat dunia dapat tercapai.2 Optimalisasi sumber daya laut perlu mempertimbangkan kualitas dan daya dukung lingkungan (carrying capacity). Aspek inilah yang dapat membuat sektor kelautan tidak hanya penting bagi ekonomi, tetapi juga bagi keseimbangan ekosistem dunia.3 Keseimbangan untuk menjaga kelestarian alam dan aktivitas produksi akan menentukan keberlanjutan proses produksi. Oleh sebab itu proses produksi yang cenderung eksploitatif dan menghasilkan kerusakan lingkungan perlu dihindari. Saat ini kelangkaan ikan, sebagai salah satu sumberdaya laut yang terpenting, mulai terasa akibat kerusakan lingkungan laut. Penyebab kerusakan lingkungan laut tersebut ialah eksploitasi berlebihan atas sumberdaya laut, praktek penangkapan ikan yang destruktif, pembangunan
1
2
3
Bernard Limbong,”Ekonomi Hijau-Biru dan Perintah Konstitusi”, Suara Pembaharuan, 9 Juli 2012, hal. 4. "Selamat Hari Laut Se-Dunia, Our Oceans: Greening Our Future", http://kp3k.kkp. go.id/mitrabahari/index.php?option=com_content&view=article&id=295%3A selamat-hari-laut-se-dunia-our-oceans-greening-our-futureq&catid=1%3Aterkini& Itemid=69&lang=in, diakses 2 Agustus 2012. Firmanzah,”VisiEkonomi Berbasis Kelautan”, Kompas, 14 Juli 2012, h.al. 4.
75
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional
kawasan pesisir, limpasan dari praktek tata guna lahan yang buruk dan kegiatan pariwisata yang tidak terkendali. Perubahan iklim yang menjadi ancaman yang serius bagi terumbu karang di dunia juga menjadi salah satu penyebab berkurangnya ikan.4 Pentingnya laut bagi kehidupan manusia menjadi tanggungjawab seluruh umat manusia. Secara khusus pesisir pantai memiliki peran penting bagi dunia.Walaupun luas pesisir hanya 8% dari luas dunia, tetapi hasil dari pesisir mencapai 40% dari pasokan dunia. Beberapa sektor yang bersumber dari wilayah pesisir antara lain pertambangan, pelabuhan, perikanan dan pariwisata.5 Oleh karena itu perhatian dunia terhadap masalah kelautan, khususnya kawasan pesisir sangat besar. LSM internasional seperti WWF dan TNC merupakan bagian dari masyarakat dunia yang turut berperan dalam upaya pelestarian laut dan pesisir diseluruh dunia, termasuk di Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan potensi sumberdaya laut yang sangat besar. Indonesia memiliki kurang lebih 17.500 pulau. Luas laut 3,1 juta km2 dengan garis pantai mencapai 81.000 km. Laut Indonesia mampu menyerap 44% CO2 dan menyediakan pekerjaan bagi 50 juta orang. Letak Indonesia di wilayah tropis dengan tingkat perubahan suhu lingkungan relatif rendah memungkinkan berkembangnya berbagai keanekaragaman hayati laut dan menjadikan Indonesia sebagai negara megadiversity kelautan dunia. Indonesia mengusulkan konsep ekonomi biru (blue ekonomi) yang bermuara pada perlunya konservasi dan pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran, memperkuat ketahanan pangan, memperluas kesempatan kerja, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi dan kesejahteraan Indonesia ke depan perlu melihat laut sebagai sektor strategis penyumbang produktifitas nasional, karena potensi kekayaan pesisir dan laut Indonesia dapat menjadi basis keunggulan persaingan di era globalisasi saat ini. Upaya memperkuat posisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki laut sebagai basis pembangunan nasionalnya merupakan salah satu tujuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-undang ini akan mengalami revisi karena dipandang belum menerapkan pendekatan integrated coastal management. Undang-Undang ini juga dianggap menyisakan beberapa permasalahan, yang dapat disebut di sini adalah: Pertama, ia selalu mengkaitkan dengan adaptasi terhadap situasi global, namun tidak jelas apa konteks global
4
5
Joanne Wilson dkk,Rancangan Ilmiah Jejaring Kawasan Konservasi Laut Yang Tangguh, Program kelautan TNC, Laporan No.2/11, Maret 2011, hal. 2-3. Zonasi Pesisir Masih Tertinggal, Kompas, 7 Agustus 2012, hal. 19.
76
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.
yang dimaksud. Jika ditelisik lebih dalam, konsep global di sini lebih mendukung globalisasi; Kedua, terjadinya privatisasi dalam ranah yang harusnya dikuasai negara, serta meningglakan persoalan tata ruang; Ketiga, munculnya masalah perlindungan kelompok rentan di pedesaan pesisir; Keempat, munculnya masalah kemiskinan dan ancaman atas kedaulatan negara di pulau kecil; Kelima, perlunya sinkronisasi dengan peraturan perundangan lainnya yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir.6 Sebagai negara kepulauan, laut dan wilayah pesisir memiliki nilai strategis dengan berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya sehingga berpotensi menjadi prime mover pengembangan wilayah nasional. Bahkan secara historis menunjukan bahwa wilayah pesisir ini telah berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat karena berbagai keunggulan fisik dan geografis yang dimilikinya. Agar pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir dapat terselenggara secara optimal, diperlukan upaya penataan ruang sebagai salah satu bentuk intervensi kebijakan dan penanganan khusus dari pemerintah dengan memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya. Selain itu, implementasi penataan ruang perlu didukung oleh program-program sektoral baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat, termasuk dunia usaha. Penataan/tata ruang sebagai wujud struktural ruang dan pola penggunaannya secara terencana atau tidak dari bagian permukaan bumi di laut dan pesisir. Karena laut sebagai sumber dan objek dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Sehingga menjadi penting untuk melakukan pengaturan tata ruang laut guna menjawab isu strategis masalah tata ruang dan untuk mencapai tujuan penataan ruang laut nasional. Pengelolaan wilayah laut tidak sebatas pada bagaimana kita menata wilayah laut, namun lebih dari pada itu diperlukan adanya suatu pengaturan mengenai tata ruang wilayah laut yang dilakukan secara terpadu. Bagi Indonesia pengelolaan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi penting karena terdapat aspek sumber daya manusia, khususnya pemberdayaan masyarakat lokal dan konservasi. Meski merupakan amanat Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil masalah zonasi laut untuk pengelolaan tata ruang laut di Indonesia hingga kini masih tertinggal. Peran serta daerah untuk membentuk peraturan daerah tentang zonasi laut juga masih rendah. Zonasi laut sangat diperlukan untuk tata ruang laut bila pemerintah ingin mengarahkan pulau
6
Mahkamah Konstitusi, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/ putusan/ putusan_sidang_ Nomor % 20 3% 20PUU%- 20pesisir%202010-TELAH%20BACA.pdf, diakses tanggal 27 Juli 2011.
77
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional
pulau kecil untuk menopang industrialisasi perikanan. Berbagai aspek tersebut semestinya memperoleh perhatian dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
II. Permasalahan Saat ini telah terjadi kompetisi antar negara untuk memperebutkan sumber daya alam, termasuk sumberdaya kelautan yang ada di sepanjang pantai dan pulau-pulau kecil. Sebagaimana diketahui bersama, pendekatan keamanan semata kurang efektif untuk mengamankan pulau-pulau terluar NKRI. Pendekatan ini akan lebih efektif bila diikuti upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian masyarakat yang tinggal di kawasan pulau terluar, melalui pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) maupun pendekatan lingkungan (environment approach). Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan pengelolaan sumber daya pesisir seharusnya dilakukan secara berkelanjutan dan bersifat sinergis. Implikasi dari bersifat sinergis adalah pemanfaatan sumber daya alam pesisir tersebut harus dilakukan secara bijaksana dengan menerapkan kaidahkaidah pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut patut menjadi perhatian mengingat eksistensi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebar di banyak wilayah di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang luas dengan garis pantai yang panjang dan posisi pulau-pulau terluarnya berbatasan langsung dengan banyak negara tetangga. Ancaman keamanan yang terjadi di sana, terutama yang berasal dari luar (negara lain) akan merupakan ancaman terhadap kedaulatan Indonesia. Dalam konsep Wawasan Nusantara, seluruh pulau-pulau, termasuk pesisir dan pulau kecil, adalah merupakan bagian yang utuh dan terintegrasi secara ideologi, politik, ekonomi, budaya dan pertahanan-keamanan. Sehingga, sebuah masalah, apalagi ancaman, dengan satu pulau kecil, sekalipun di wilayah yang jauh sekali dari Jakarta, pusat pemerintahan, terkait dengan cara pengelolaannya dan nasib penduduknya, dapat merupakan pula ancaman atas kedaulatan nasional, yang dapat diaktegorikan sebagai ancaman nasional (national threat). Jadi, masa depan pulau-pulau pesisir dan kecil di wilayah perbatasan menjadi sangat penting untuk diperhatikan, sebab ia akan segera menjadi isu internasional, tidak hanya nasional, jika muncul klaim kepemilikan dari negara lain.
78
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.
III. Pertanyaan Penelitian Dalam era globalisasi saat ini tidak ada satu negara pun yang bisa mengisolasi diri dan memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa kerjasama dengan negara lain. Hal tersebut memperlihatkan kesalingterhubugan atau interdependensi antar-negara. Dalam masalah kelautan kerja sama antar negara dalam pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pun terjadi. Mengingat masalah kelautan telah menjadi perhatian bersama seluruh masyarakat dunia kerjasama internasional dalam menjaga kelestarian lingkungan telah menjadi kebutuhan. Dalam kerjasama internasional ini peran aktif LSM internasional di bidang lingkungan hidup, sebagai salah satu aktor internasional, patut diperhitungkan. Untuk menjawab dan menemukan solusi atas permasalahan di atas, maka diajukan pertanyaan penelitian sebagaimana diuraikan bawah ini: Bagaimana kerjasama internasional, khususnya peran LSM internasional di bidang lingkungan hidup, dalam membantu pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia?
IV. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini akan membantu DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah dalam mengelola masalah-masalah kelautan, serta menyiapkan berbagai peraturan perundang-undangan pendukung terkait, diantaranya RUU mengenai kelautan, RUU mengenai perubahan undang-undang tentang perjanjian internasional, RUU mengenai perubahan undang-undang tentang perikanan. Secara lebih khusus laporan penelitian ini juga akan sangat berguna dalam membantu anggota DPR melakukan amandemen terhadap UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dengan demikian, laporan penelitian tim atau kelompok yang komprehensif ini dapat dimanfaatkan untuk anggota Komisi I, Komisi IV dan Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) yang membidangi masalah-masalah antar negara dan pertahanan dan keamanan nasional. Secara khusus, laporan penelitian adapat dikontribusikan bagi Badan Legislasi, yang tugasnya bertanggung jawab dan berperan dalam penyusunan legislasi, dan Panitia Khusus RUU mengenai masalah-masalah kelautan dan kejahatan transnasional.
V. Kerangka Pemikiran Secara politik, Indonesia memiliki nillai strategis karena menyangkut posisi tawar Indonesia di mata dunia internasional. menurut Muchtar Kusumaatmaja, terdapat empat golongan yang berkepentingan dengan prinsip-prinsip negara kepulauan Indonesia. Pertama, negara-negara tetangga 79
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional
terutama ASEAN dan Australia. Kedua, negara yang berkepentingan terhadap perikanan dan pemasangan kabel komunikasi di dasar laut. Ketiga, negara maritim yang berkepentingan terhadap lalu lintas pelayaran laut. Keempat, negara maritim besar yang mempunyai kepentingan terhadap strategi militer, seperti AS, China.7 Di era globalisasi saat ini munculnya isu keamanan non-tradisionil mengalihkan perhatian dari negara sebagai satu-satunya obyek acuan keamanan. Dalam laporan tahunan UNDP Human Development Report 1994 dinyatakan keamanan lingkungan menjadi salah satu dari tujuh dimensi untuk menciptakan keamanan manusia.8 Hal ini dipicu oleh pertumbuhan penduduk yang pesat setelah berakhirnya Perang Dingin, yang kemudian memunculkan kekuatiran terhadap kian terbatasnya daya dukung sumber daya alam untuk mendukung kehidupan manusia agar dapat hidup layak. Dalam konteks inilah berkembang konsep keamanan yang relatif berbeda, yakni konsep keamanan yang menjadikan manusia secara individual sebagai acuannya (human security). Konsep keamanan manusia inilah yang membuat konsep keamanan tradisional (negara) mengalami perubahan, seiring dengan meningkatnya perhatian masyarakat dunia terhadap isu lingkungan hidup dan semakin berkurangnya peristiwa-peristiwa kedaulatan, militer dan perdamaian. Hal ini yang menjadi dasar mengapa isu lingkungan hidup menjadi bagian dari studi keamanan dalam ilmu hubungan internasional. Atau secara lebih khusus, inilah yang menjadikan isu lingkungan hidup sebagai agenda baru dalam ilmu hubungan internasional. Isu lingkungan hidup menjadi kepentingan bersama karena permasalahan lingkungan hidup selalu mempunyai efek global dan bersifat transnasional. Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan yang terjadi di satu negara dapat berdampak negatif ke negara lain.9 Lebih lanjut isu lingkungan sudah menjadi kekuatan politik yang kuat. Dalam realitas politik global hal ini mempunyai pengaruh bagi setiap negara dan entitas lainnya yang ingin memegang kendali dan mendominasi kekuasaan. Lebih lanjut dapat dijelaskan, isu lingkungan hidup menjadi faktor yang
7
8
9
Andi Iqbal Burhanuddin, The Sleeping Giant – Potensi dan Permasalahan Kelautan, Surabaya; Brilian Internasional, 2011, hal. 201. Bob Sugeng Hadiwinata,”Transformasi Isu dan Aktor di dalam Studi Hubungan Internasional: dari Realisme hingga Konstruktivisme”, dalam Transformasi dalam studi Hubungan Internasional, Yulius P. Hermawan (ed,)Yogyakarta, Graha Ilmu, 2007, hal. 13 John Baylis dan Steve Smith, The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. UK; Oxford University Press, 1999, h.314-315 dalam Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Hubungan Internasional, Bandung; Remaja Rosdakarya, 2005, hal. 144.
80
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.
harus diperhatikan karena aktivitas sosial dan ekonomi manusia seringkali berlangsung dengan cara yang mengancam lingkungan hidup. Globalisasi ekonomi yang cenderung mengurangi kontrol negara atas aliran sumberdaya ekonomi akan memberi keuntungan kepada bangsa yang menguasai teknologi. Sedangkan negara yang tidak menguasai teknologi akan hanya menjadi penonton karena negara maju akan memonopoli eksploitasi sumber daya alam. Melalui kemitraan global yang diamanatkan oleh KTT Bumi 1992, semua pihak diharapkan dapat berperan penuh untuk memperbaiki lingkungan hidup. Tanpa kerjasama kemitraan tidak ada negara atau entitas bukan negara yang dapat bekerja memperbaiki lingkungan. Hal ini merupakan pendirian etis universalis yang dikenal sebagai kosmopolitanisme. Tanggung jawab etis untuk menjaga lingkungan global berlaku dimana saja dan bagi semua pelaku moral yang mampu memikulnya, bukan hanya bagi para anggota dari tradisi yang satu atau komunitas lainnya; dan bahwa faktorfaktor yang memberi alasan-alasan untuk bertindak pada suatu pelaku, entah itu perseorangan ataupun korporasi, juga memberikan alasan-alasan untuk tindakan serupa bagi setiap pelaku lain yang sama tempatnya tanpa memandang komunitas atau kepercayaan mereka.10 Era globalisasi yang dicirikan oleh semakin meningkatnya hubungan saling ketergantungan lintas batas negara, telah menyebabkan transformasi besar dalam hubungan internasional. Isu lingkungan hidup menjadi menjadi topik dalam berbagai fora internasional dan mempengaruhi hakekat interaksi aktor-aktor hubungan internasional. Dalam isu lingkungan hidup negara semakin tunduk kepada kekuatan pasar global dan tekanan-tekanan aktor non-negara, dimana LSM merupakan salah satunya. Menurut Daniel S.Papp, LSM yang bergerak secara global telah memperoleh pengakuan sebagai aktor dalam hubungan internasional sejak Perang Dunia II berakhir. Interaksi dalam hubungan internasional tidak hanya terjadi antar negara, tetapi juga antara negara dengan LSM internasional, interaksi semua aktor internasional tersebut membentuk sistem internasional. Secara bersamaan, sistem internasional mempengaruhi cara tindakan aktor dan cara mereka melihat diri mereka sendiri dan pihak lain. Berbagai aktor internasional dan interaksi mereka menciptakan sebuah ruang gema yang luas. Saling keterkaitan aktor dan minat mereka menciptakan sebuah sistem internasional yang dinamis. Pada akhirnya hal tersebut turut mempengaruhi cara para aktor bertindak dan berinteraksi berdasarkan pada cara pandang Robert Attfield, Etika Lingkungan Global, (terjemahan Saut Pasaribu), Bantul; Kreasi Wacana, 2010, hal. 32-33.
10
81
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional
mereka melihat sistem internasional, peran dan posisi mereka dan peran dan posisi orang lain dalam sistem internasional. Pengambilan keputusan secara internasional sangat dipengaruhi oleh interaksi dan proses informasi diantara para aktornya. .Dengan demikian saat ini negara tidak dapat mengabaikan kritik dan saran LSM internasional. 11 VI. Metodologi Penelitian A. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di dua lokasi, yaitu Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian Kabupaten Wakatobi dilakukan pada 1 – 7 Juli 2012, sedangkan penelitian ke Kabupaten Alor dilakukan pada 22 – 28 Juli 2012. Penelitian lapangan akan dilakukan di dua pulau pesisir yang memiliki sumber kekayaan hayati di bidang kelautan dan memiliki permasalahan dalam pengelolaannya, yang ditandai dengan maraknya eksploitasi sumber daya alam dan pengelolaan oleh pihak asing. Semakin kompleks indikasi permasalahan yang dihadapi dan semakin tingginya ancaman yang dihadapi terkait dengan kepentingan nasional dan stakeholders dan akan semakin baik untuk dipilih sebagai lokasi penelitian. Representasi yang berimbang antara wilayah barat, tengah, atau timur Indonesia juga akan dipertimbangkan. Dalam hal ini, Kepulauan Wakatobi, di Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Alor di Provinsi Nusa Tenggara Timur dipilih sebagai lokasi penelitian. Keduanya merupakan wilayah yang kaya dengan sumber daya alam, terutama terumbu karang dan ikan, namun ekosistem terancam rusak parah secara menyeluruh oleh maraknya eksploitasi pertambangan dan sumber daya alam lainnya secara ilegal. Kedua wilayah tersebut terletak di kawasan Segitiga Karang Dunia (The Coral Triangle) yang juga merupakan kawasan konservasi, yang selain merupakan aset nasional, juga internasional (dunia). Di kedua lokasi tersebut peran LSM internasional seperti WWF dan TNC dalam pengelolaan lingkungan hidup kelautan juga cukup besar. B. Cara Pegumpulan Data Sumber data dalam penelitian ini terbagi atas data primer yang berasal dari wawancara mendalam (indepth interview) yang bersifat terbuka dengan pihak dinas terkait baik di tingkat kabupaten maupun provinsi dan kalangan akademis/pakar. Data sekunder diperoleh melalui pengumpulan dokumen Kabupaten Dalam Angka, draft Rencana Tata Ruang Wilayah, dokumen Daniel S.Papp, contemporary international relations, fifth edition, bosto ; Allyn an Bacon, 1997, hal. 109 -150.
11
82
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.
Renstra, peraturan daerah, serta tulisan dan hasil kajian yang berhubungan dengan judul penelitian.
C. Metode Analisis Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif–analisis. Penelitian kualitatif dimulai dengan identifikasi masalah yang menjadi sasaran dalam penelitian. Identifikasi masalah menyangkut spesifikasi isu yang hendak dipelajari. Selanjutnya, melakukan pembahasan atau penelusuran kepustakaan; mengutarakan maksud dan tujuan penelitian; mengumpulkan data; menganalisa dan menafsirkan data; dan menyusun laporan.
83
BAB II MEGADIVERSITY LAUT INDONESIA
Indonesia adalah negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau, diantaranya 92 pulau kecil yang berada di kawasan perbatasan.12 Sebagai negara kepulauan yang memiliki wilayah cukup luas, saat ini Indonesia telah mendepositkan 13.487 pulaunya ke PBB.13 Indonesia merupakan negara yang mempunyai keanekaragaman hayati sangat tinggi atau megadiversity, terutama di bidang kelautan karena jumlah pulau dan perairan lautnya yang sangat luas. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor biogeografi, iklim, arus dan sejarah geologi Indonesia. Wilayah yang secara geologis lebih tua akan memiliki lebih banyak keanekaragam hayati daripada wilayah yang lebih muda. Penyebabnya wilayah yang lebih tua memiliki lebih banyak waktu menerima spesies yang tersebar dari bagian lain dunia dan lebih banyak waktu bagi spesies yang ada untuk menjalani proses adaptasi terhadap kondisi lokal. Salah satu contohnya tingkat kekayaan spesies terumbu karang di Samudera Indonesia dan Pasifik Barat lebih tinggi dari pada di Samudera Atlantik yang secarageologis lebih muda. Laut dengan spesies terkaya terumbu karang terdapat di segitiga kepulauan di Pasifik Barat yang meliputi wilayah negara Indonesia, Filipina dan Malaysia. Penyebaran jenis-jenis ikan laut juga lebih banyak di kawasan ini. Diperkirakan di kawasan tersebut terdapat hampir 39% dari jumlah ikan karang dunia atau setara dengan 2.057 species.14 Keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia merupakan world heritage yang menjadi milik dunia, Indonesia tidak secara mutlak memilikinya karena masyarakat dunia berhak ikut memiliki dan menjaganya agar tidak punah.15 Kawasan terumbu karang di Indonesia merupakan salah satu kawasan laut yang menjadi prioritas dunia saat ini karena merupakan kawasan Andi Iqbal Burhanuddin, The Sleeping Giant – Potensi dan Permasalahan Kelautan, Surabaya; Brilian Internasional, 2011, hal. 200. 13 FGD P3DI dengan Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA, pada tanggal 16 November 2011. 14 Jatna Supriatna, Melestarikan Alam Indonesia, Jakarta;Yayasan Obor Indonesia, 2008, hal. 44-46. 15 Wawancara dengan Marine species program WWF, Bapak Wawan Ridwan pada tanggal 25 Juni 2012. 12
85
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional
laut terkaya di wilayah Indo-Pasifik. Beberapa pusat endemis terdapat Indonesia yaitu di Nusa Tenggara, Sulawesi bagian timur laut dan Papua. Di daerah tersebut jumlah jenis yang endemik atau tidak ditemukan dinegara lain mencapai 76 jenis. Dalam peta keanekaragaman hayati yang dibuat oleh World Wild Fund for Nature (WWF) yang dikenal sebagai Global 200 Ecoregions, Indonesia merupakan wilayah penting karena terdapat 19 wilayah keanekaragaman hayati dalam wilayah politik Indonesia. Program pelestarian di Indonesia terdapat pada 25 situs yang tersebar di 17 provinsi, di bidang kelautan, ekosistem air tawar dan hutan. Memperhatikan konfigurasi Kepulauan Indonesia serta letaknya pada posisi silang yang sangat strategis, juga dilihat dari kondisi lingkungan serta kondisi geologinya, keunggulan komparatif Mega Biodiversity Indonesia berupa wilayah perairan Indonesia memiliki keragaman hayati yang tidak ternilai baik dari segi komersial maupun saintifiknya harus dikelola dengan bijaksana. Laut Indonesia memiliki luas lebih kurang 5,6 juta km2 dengan potensi sumberdaya, terutama perikanan laut yang cukup besar, baik dari segi kuantitas maupun diversitasnya. Selain itu Indonesia tetap berhak untuk berpartisipasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam di laut lepas di luar batas 200 mil laut ZEE, serta pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam dasar laut perairan internasional di luar batas landas kontinen. Indonesia yang merupakan negara kepulauan, dipisahkan banyak laut dan terdiri dari pulaupulau ini disebut juga lokasi kepulauan atau insolar location.16 Konsekuensinya dari kondisi tersebut diperlukan pengawasan dan penanganan yang cermat dalam pembangunan untuk tetap menjaga kelestarian laut. Tanpa gangguan dari manusia, fenomena alam yang ada dapat mengakibatkan perubahan batas wilayah laut dengan adanya abrasi pantai, pendangkalan, erosi pulau dan sebagainya. Dengan kondisi yang pulau-pulau yang terpencar tersebut, masalah lain yang terjadi adalah kualitas sumberdaya manusia dan tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat yang rendah. Kesadaran masyarakat untuk turut menjaga kelestarian lautnya masih terkendala oleh kepentingan ekonomi. Seperti yang terjadi dengan pengurukan Teluk Kendari yang merusak ekosistem pesisir dan mengakibatkan musnahnya ikan di pesisir Kendari, sehingga nelayan harus mencari ikan ke tengah laut dengan keterbatasan peralatan. Kemiskinan nelayan di Kendari sulit teratasi karena keterbatasan alat dan kemampuan yang menyebabkan mereka tidak mampu bersaing di Suryo Sakti Hadiwijoyo, Batas Wilayah Negara Indonesia, Yogyakarta; Penerbit Gava Media, 2009, HAL. 46-47.
16
86
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.
laut lepas.17 Pertumbuhan ekonomi dengan memanfaatkan potensi ekologi dan ekonomi sumberdaya alam, serta potensi jasa lingkungan masih sulit dilakukan karena kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan masih kurang. Hal ini seringkali berakibat pada kerawanan sosial dan perusakan lingkungan demi mencukupi kebutuhan ekonomi masyarakat.
Wawancara dengan beberapa LSM lokal di Kendari pada tanggal 1 Juli 2012.
17
87
BAB III UPAYA PELESTARIAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
Indonesia belum memiliki master plan pengembangan wilayah kelautan secara nasional yang dapat dijadikan arahan bagi mengembangkan wilayah laut dan pesisir ke arah yang lebih baik.18 Lebih lanjut, tata ruang terbentuk atas unsur sumber daya alam, sumber daya buatan, sumber daya manusia, dan aktivitas. Dalam hal ini, wilayah laut dan pesisir memiliki keempat unsur tersebut. Penataan ruang bertujuan untuk mencapai pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia. Penataan ruang merupakan sebuah pendekatan dalam pengembangan wilayah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup. Dalam mencapai tujuan tersebut, dilakukan upaya pengelolaan kawasan melalui pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat pada kawasan-kawasan budidaya dan pelestarian kawasan-kawasan lindung, termasuk yang terdapat di ruang lautan dan kawasan pesisir. Mengembangkan upaya konservasi tidak hanya membutuhkan dukungan tingkat lokal saja namun pula regional dan nasional, agar upaya yang direncanakan dapat didukung melalui berbagai aspek, baik aspek legal maupun aspek anggaran. Melalui tata ruang, rakyat sedari awal telah diarahkan untuk menempati lokasilokasi yang aman. Ini perlindungan awal yang bisa diberikan oleh Negara kepada rakyatnya sebagai konsekuensi posisi Indonesia di wilayah rawan gempa dan bencana alam. Tsunami di Aceh telah mengajarkan bahwa hidup di tepi laut tanpa adaptasi dan zonasi yang terukur sangat membahayakan. Perlindungan awal sangat dibutuhkan oleh rakyat negeri ini karena setiap saat bencana alam dapat terjadi di wilayah Nusantara ini. Pembangunan di Indonesia selama ini lebih memanfaatkan potensi sumberdaya daratan daripada potensi sumberdaya perairan laut. Harus ada perubahan pola pikir yang menjadikan potensi kelautan sebagai kekuatan FGD dengan Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tanggal 16 November 2011.
18
89
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional
utama pembangunan di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang memiliki potensi laut yang besar. Hal tersebut harus diikuti dengan adanya perlakukan khusus (reward) bagi daerah kepulauan berupa penganggaran khusus yang lebih besar bagi daerah dengan mempertimbangkan luas wilayahnya.19 Sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia mesti menekankan pentingnya manajemen terhadap pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir di Indonesia. Pulau-pulau yang dimiliki oleh negara pantai sangat penting karena dua alasan, yaitu; sebuah pulau memiliki nilai intrinsik dalam hal wilayah dan nilainya dalam kaitannya dengan zona maritime yang bisa diklaim di sekitarnya.Meskipun pulau tersebut berukuran kecil, tidak berpenghuni dan tidak signifikan dari segi luas daratan, pulau itu menjadi penting karena bisa mengklaim zona maritime yang signifikan luasnya. Zona maritim yang diklaim bisa jauh lebih luas dari luas daratannya sendiri.20 Oleh sebab itu melakukan upaya marine cadastre yang pada hakikatnya merupakan proses pengadministrasian pulau-pulau terluar di suatu negara dan pemanfaatannya berdasarkan Konvensi Hukum laut PBB tahun 1982 merupakan hal mutlak bagi negara kepulauan Indonesia.Kegiatan yang termasuk marine cadastre adalah termasuk penamaan, pengukuran dan pemetaan wilayah termasuk batas-batasnya. Penetapan fungsi ruang laut bagi pemerintah dan masyarakat juga termasuk dalam marine cadastre.21 Untuk negara kepulauan seperti Indonesia, pulau terluar memiliki peran yang sangat signifikan dalam penentuan garis pangkal kepulauan. Hal ini adalah salah satu alasan mengapa Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden (PP) No.78 tahun 2005 tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.22 Pulau-pulau kecil di perbatasan negara merupakan titik pangkal dan garis terdepan nusantara yang memiliki nilai ekonomis dan dasar penentuan wilayah kedaulatan sehingga sangat rentan timbulnya konflik dengan negara yang berbatasan. Menurut UNCLOS sebuah pulau berhak mengklaim zona maritime secara penuh, meliputi laut territorial, ZEE, Zona tambahan dan landas kontinen. Oleh karena itu, sebuah pulau dapat berlaku sebagai bagian dari garis pangkal bagi negara pantai yang memiliki kedaulatan atas pulau tersebut. Wawancara dengan Bupati Wakatobi, Hugua, pada tanggal 3 Juli 2012. I Made Arsana, op.cit. hal.66. 21 Bonggas Adhi Chandra,”Mencari Foprmat Manajemen Perbatasan yang Komprehensif”, dalam Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa Batas: Isu, Permasalahan dan Pilihan Kebijakan, Ludiro Madu dkk (Editor), Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010, hal.31. 22 I Made Andi Arsana, Batas Maritim Antarnegara, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2007, hal.66. 19 20
90
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.
Menurut Undang-undang No.27 Tahun 2007 tentang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), pulau kecil didefinisikan sebagai pulau dengan luasan kecil atau sama dengan 2000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Karena terpisah dari pulau besar dan dikelilingi oleh lautan, pulau kecil umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim laut, bukan daratan sehingga sangat rentan terhadap perubahan alam seperti Tsunami, badai gelombang, dan gempa dasar laut. Pulau kecil juga sangat rentan terhadap perubahan lingkungan akibat perbuatan manusia dalam mengeksploitasi pulau secara berlebihan, polusi dan kenaikan suhu permukaan laut.23 Kerusakan lingkungan yang terjadi di pulau-pulau terluar Indonesia dapat membawa kehancuran, bahkan bagi pulau-pulau kecil (tiny Islands) dengan luas kurang lebih atau sama 2000 km2 dapat membawa kemusnahan. Musnahnya pulau-pulau yang menjadi dasar penghitungan titik pangkal wilayah Indonesia merupakan ancaman bagi keamanan nasional. Dalam rangka memanfaatkan sumberdaya pulau kecil secara berkelanjutan, Pasal 23 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 menyatakan, pemanfaatan pulaupulau kecil perbatasan dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomi secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya, diperlukan adanya prinsip partisipasi yakni kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk saling berbagi kelebihan, khususnya berkaitan dengan kekuatan sumberdaya manusia. Penduduk pulau perlu didayagunakan secara maksimal untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antarwilayah. Dengan perencanaan yang baik dan investasi yang cukup, pulau-pulau kecil perbatasan tersebut dapat dirancang agar tumbuh menjadi kota pantai yang berfungsi sebagai pusat perdagangan antar pulau maupun yang berorientasi ekspor. Dalam pandangan continental state yang tradisional, daerah atau kepulauan yang tidak subur dipersepsikan sebagai daerah yang tidak penting, kecuali di dalam tanahnya terkandung sumber mineral dan minyak bumi. Seiring dengan kelangkaan sumberdaya dan energi serta kemajuan teknologi eksplorasi laut, laut menjadi harta karun yang tidak ternilai harganya. Dengan demikian, konsep monopolitik negara daratan tidak lagi cocok dengan konsep kekinian yang semakin menunjukan relativitas konsep darat dan lautan.24 Pulau kecil yang sebelumnya diperlakukan sebagai daerah pinggiran secara ekonomi dan hanya dianggap penting secara politik dan militer, kini terbukti mampu menjadi salah satu aset ekonomi yang penting. Pulau kecil terdepan Ibid., 207. Herman Khaeron, Transformasi Politik Kelautan Indonesia untuk Kesejahteraan Rakyat, Jakarta, Pustaka Cidesindo, 2012, hal.169-170.
23 24
91
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional
Nusantara memiliki potensi laut yang luar biasa meskipun wilayah daratannya tidak subur. Bahkan Potensi bawah laut yang dimilikinya dapat lebih besar dibandingkan darat. Pulau-pulau tersebut dapat dibangun menjadi daerah industri bahari atau pariwisata yang menguntungkan. Keberadaan pulau-pulau kecil di negara kepulauan sangat penting tidak hanya secara kewilayahan (politik), tetapi juga secara ekonomi. Secara sosiobudaya, keberadaan pulau kecil menjadi mata rantai yang menghubungkan dengan pulau-pulau lain sehingga semuanya seolah-olah membentuk satu wilayah, satu kekuatan ekonomi, dan sosial dengan pulau lain di sekitar, bahkan mungkin lebih penting karena letak dan potensi yang dikandungnya. Atas dasar tersebut konsep negara kepulauan dianut konsep kesatuan wilayah yang tidak lagi membedakan daratan dan lautan, pulau besar dan kecil. Dalam konsep ini pulau kecil memiliki nilai geologi dan geostrategis yang besar peranannya.
92
BAB IV DUKUNGAN INTERNASIONAL DALAM PELESTARIAN LINGKUNGAN
Laut merupakan fenomena alam yang tersusun dalam suatu sistem yang kompleks, terdiri dari komponen-komponen sumberdaya hayati dan non hayati dengan keragaman dan nilai ekonomi yang tinggi. Setiap sumberdaya laut tersusun dalam suatu ekosistem dengan karakteristik tertentu. Interaksi antar ekosistem ini membentuk suatu keseimbangan lingkungan laut. Ekosistem laut beraksi relatif lebih sensitif dan selalu berupaya mencari keseimbangan baru terhadap adanya perubahan. Hal ini berarti bahwa adanya perubahan pada suatu ekosistem di laut dapat berdampak pada kawasan yang luas atau bahkan hingga tingkat global. Masalah lingkungan hidup dapat memberi tekanan pada negara untuk terlibat dalam kerjasama internasional yang lebih besar. Degradasi lingkungan hidup merupakan ancaman terhadap lingkungan global yang merupakan sistem pendukung kehidupan bagi manusia, sehingga degradasi lingkungan hidup secara khusus merupakan ancaman terhadap manusia secara keseluruhan. Dibutuhkan kerjasama global agar dapat mengatasi ancaman tersebut, karena isu lingkungan hidup melintasi pembatas antara politik domestik dan politik internasional. Indonesia mempunyai kewajiban untuk memperhatikan aspek kelestarian lingkungan di wilayah laut dan menjamin kelestarian keanekaragaman hayati yang ada. Pada saat ini program-program tersebut tertuang dalam kegiatan konservasi alam, yang terimplementasikan dalam kegiatan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan. Sistem konservasi yang dilakukan di Indonesia mengikuti ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam strategi konservasi dunia. Dalam program tersebut termasuk upaya untuk melindungi serta meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat.Kekayaan laut Indonesia yang belum banyak termanfaatkan untuk kepentingan nasional, seringkali justru dimanfaatkan dengan cara ilegal oleh pihak asing untuk kepentingan mereka tanpa mempedulikan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut. Upaya pelestarian lingkungan laut membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga tanpa bantuan internasional akan sulit bagi negara berkembang berbentuk kepulauan seperti Indonesia melakukan upaya pelestarian lautnya. 93
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional
Lingkungan hidup menjadi salah satu topik yang cukup dominan dalam hubungan internasional dewasa ini, karena berkaitan dengan kelangsungan kehidupan manusia di bumi. Realitas tersebut telah menjadikan isu lingkungan hidup sebagai topik penting ketiga dalam hubungan internasional, setelah isu keamanan internasional dan ekonomi global, sehingga setiap negara harus memberikan perhatian serius terhadap masalah ini.25 Dukungan internasional terhadap pengamanan kekayaan laut Indonesia cukup besar. Dunia semakin menyadari bahwa eksploitasi sumberdaya alam yang hanya berorientasi ekonomi akan terjadinya degradasi lingkungan yang pada akhirnya dapat berdampak negatif bagi kehidupan manusia. Secara internasional pada tahun 1970-an mulai timbul upaya untuk menangani masalah ini bersama-sama dan secara kelembagaan.26 Diawali dengan Konferensi Lingkungan Hidup Manusia (UN Conference on the Human Environment/UNCHE) di Swedia tahun 1972. Salah satu hasil pentingnya adalah lahirnya Program Lingkungan PBB ( UN Envinronment Program – UNEP). Lembaga ini dibentuk sebagai katalisator untuk meningkatkan kesadaran dan aksi yang berkaitan dengan isu lingkungan dalam sistem PBB. UNEP memunculkan gagasan pembangunan yang berkelanjutan atau berwawasan lingkungan. (sustainable development). Makin disadari bahwa lingkungan hidup yang baik merupakan salah satu aspek yang diperlukan agar kebijaksanaan di bidang pembangunan dan pertumbuhan bisa dipertahankan.27 Paradigma pembangunan berkelanjutan, yang mengedepankan unsur lingkungan hidup dari seluruh proses pembangunan, diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan untuk semua negara. Namun hingga kini paradigma tersebut belum banyak diimplementasikan, bahkan masih belum luas dipahami dan diketahui.28 Keanekaragaman hayati di laut merupakan kekayaan alam yang menjadi milik seluruh umat manusia dan generasi mendatang sehingga semua pihak harus menjaganya. Dukungan terhadap upaya pelestarian keanekaragaman hayati laut mendapat dukungan besar dari masyarakat internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui United Nation Environment Program (UNEP) mensponsori World Monitoring and Conservation Center (WCMC) melakukan pencatatan jumlah jenis biota laut dan lingkup distribusi penyebarannya di seluruh dunia. Kepunahan keanekaragaman hayati merupakan kerugian besar bagi umat manusia. Hal tersebut berarti hilangnya kesempatan Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional ,(terjemahan Suryadipura), Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2005; hal.324. 26 Addinul Yakin, Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan – Teori dan kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1997., hal. 11-16. 27 Ibid, hal. 15-16 28 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Jakarta; Kompas,2002, hal. 166-167. 25
94
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.
mempelajari spesies tersebut yang mungkin dapat sangat berguna bagi kehidupan manusia, seperti untuk kepentingan pangan, pengobatan maupun kebutuhan industri lainnya. Kerusakan hingga musnahnya keanekaragaman hayati seringkali dianalogikan sebagai penghancuran perpustakaan dunia yang menyimpan buku-buku yang belum terbaca.29 Oleh karena itu, upaya pelestarian keanekaragaman hayati saat ini tidak memandang batas-batas nasional atau kultural. Masyarakat dunia akan membantu pelestarian keanekaragaman hayati karena mengetahui manfaat yang sangat besar dari spesies yang bersangkutan bagi kelangsungan hidup manusia. Pemanasan global telah membuat ekosistem terumbu karang mengalami pemutihan dan penurunan populasi biota laut. Ancaman tenggelam terjadi terhadap pulau-pulau kecil yang merupakan kawasan rentan terhadap perubahan iklim. Pulau-pulau kecil memiliki fungsi dan peranan ekosistem sebagai penunjang kehidupan seperti pengatur iklim global, siklus hidrologi dan biogeokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah, sehingga hilangnya kawasan ini menjadi kerugian besar bagi umat manusia.30 Di lain pihak, manusia mempercepat kerusakan tersebut dengan melakukan penebangan hutan mangrove yang selama ini menjadi pelindung pulau dari ancaman angin dan gelombang tinggi dan tempat berkembang biak biota laut, termasuk habitat burung dan hewan lainnya. Sebagian besar kerusakan keaneragaman hayati terjadi di negara-negara. Hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang merupakan potensi sumberdaya hayati dan jasa lingkungan yang memiliki peran dalam mengendalikan keseimbangan ekosistem perairan laut. Upaya menjaga kelestarian laut kian berat dengan semakin meningkatnya abrasi pantai, pencemaran lingkungan laut maupun punahnya keanekaragaman hayati di laut. Melindungi habitat berupa komunitas hayati yang utuh merupakan cara efektif untuk melestarikan lingkungan dapat dilakukan dengan membuat kawasan konservasi atau kawasan yang dilindungi yang merupakan wilayah darat maupun laut yang dicanangkan dan diwujudkan untuk melindungi keanekaragaman hayati dan budaya terkait, serta dikelola secara legal dan efektif. Perlindungan komunitas ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya mewujudkan kawasan konservasi, mengelola kawasan tersebut secara efektif di kawasan perbatasan maupun pulau terluar.31 Pelestarian keanekaragaman hayati memerlukan biaya besar, mencakup program-program pemulihan untuk wilayah-wilayah yang rusak dan kerjasama
Robin Attfield, ibid, hal.189. D.G. Bengen, Menuju Pembangunan Pesisir dan Kelautan Berkelanjutan Berbasis Ekosistem, Jakarta; Pusat Pembelajaran dan Pembangunan Pesisir dan Laut, 2004. 31 Mohamad Indrawan dkk, Biologi Konservasi, Jakarta; Yayasan Obor; 2007, h. 287 29 30
95
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional
dengan penduduk lokal. Dengan kenyataan tersebut masyarakat dunia berupaya membantu dengan menyediakan sumber dana teknologi bagi pemulihan pelestarian alam. Untuk melindungi keanekaragaman hayati dari kepunahan perlu dikembangkan rencana pemulihan. Rencana pemulihan ini dapat dilakukan secara sukarela, atau dengan cara dikontrakan melalui badan internasional yang bergerak dalam bidang perlindungan dan pelestarian alam, swasta, atau oleh suatu tim pemulihan yang diangkat oleh pemerintah. Pada umumnya proyekproyek ini mendapat bantuan keuangan dari badan-badan internasional yang bergerak dalam bidang perlindungan dan pelestarian alam, karena pelestarian keanekaragaman hayati memerlukan biaya besar, mencakup program-programn pemulihan untuk wilayah-wilayah yang rusak dan kerjasama dengan penduduk lokal.
96
BAB V PERUBAHAN POLA PIKIR MASYARAKAT LOKAL
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berskala internasional yang bergerak di bidang lingkungan hidup berperan aktif dalam upaya pelestarian lingkungan di negara-negara berkembang. Sejauh ini, lembaga asing seperti LSM internasional yang memiliki kantor program di Indonesia telah dijalin melalui MoU dengan kemenetian kehutanan diantaranya TNC (The Nature Conservancy), CII (Conservation International Indonesia) dan WWF IP (World Wildlife Fund for Nature and Natural Resources – Indonesia Program), serta beberapa LSM nasional yang berafiliasi dengan pihak asing seperti Burung Indonesia. Dukungan mitra sing maupun nasional ini berada pada wilayah pengembangan pengelolaan kawsan konservasi dan keanekaragaman hayati serta dukungan pengembangan masyarakat lokal.32 Dua LSM yang menjadi bahan penelitian di sini adalah WWF dan TNC. Visi WWF-Indonesia adalah ”Pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia untuk kesejahteraan generasi sekarang dan di masa mendatang”. Misi kami adalah melestarikan keanekaragaman hayati dan mengurangi dampak yang disebabkan manusia. WWF-Indonesia memiliki tujuan kerja menghentikan dan memperbaiki kerusakan lingkungan yang terjadi serta membangun masa depan, dimana manusia hidup selaras dengan alam. Pola kerja WWF IP adalah melalui kerjasama dan dialog, melakukan program pendidikan pelestarian secara berkesinambungan. Sedangkan TNC atau The Nature Conservancy adalah organisasi konservasi berbasis ilmuwan yang bekerja di lebih dari 30 negara untuk pelestarian alam di wilayah darat dan perairan demi kepentingan manusia. Dalam bekerja TNC menggunakan pendekatan non-konfrontatif dan memberikan solusi pragmatis terhadap tantangan konservasi. TNC menekankan bekerja sama dengan mitra, yaitu dengan masyarakat, perusahaan, instansi pemerintah, lembaga-lembaga multilateral, individu dan organisasi nirlaba di seluruh dunia. Wawancara dengan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, Ir.Sonny Partono MA, pada tanggal 13 Agustus 2012.
32
97
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional
Keberadaan LSM kedua tersebut dapat lebih mudah diterima oleh masyarakat karena merekrut warga negara Indonesia sendiri sehingga lebih mudah beradaptasi dengan masyarakat setempat. Dukungan finansial yang kuat juga membantu pelaksanaan program kerja mereka dapat segera diaplikasikan di masyarakat. Hal tersebut menjadi faktor penting karena penekanan dalam kerjasama internasional di bidang lingkungan adalah mengupayakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil secara terpadu. Dimulai dengan tahap perencanaan proses pengelolaan dilakukan secara terus menerus dalam membuat keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan wilayah pesisir. Keberhasilan pengelolaan pesisir terpadu dapat mendorong keberhasilan berbagai kegiatan pembangunan kelautan lainnya. Kendala yang masih dihadapi adalah merubah kesemrawutan menjadi keteraturan yang memiliki nilai tambah. WWF dan TNC membantu melakukan pengawasan dan sosialisasi kepada masyarakat agar peduli pada lingkungan laut yang menjadi sumber nafkah mereka. Peran pengawasan lebih banyak dilakukan dengan pemberian bantuan operasional, seperti peminjaman kapal maupun biaya operasional pelayaran. Namun sejak tahun 2002 bantuan yang bersifat operasional tersebut mulai dialihkan kepada pembinaan SDM, khususnya pemberdayaan masyarakat pesisir melalui berbagai program pendampingan. Pemberian bantuan tanpa program pendampingan masyarakat dinilai tidak akan berhasil. Selain mendidik masyarakat agar tidak manja, pembinaan kepada masyarakat lebih berdaya guna dan berkelanjutan, karena ilmu yang diberikan melalui program pendampingan dapat diturunkan dan disebarkan kepada masyarakat secara lebih luas.33 Dalam pelaksanaannya fokus kerjasama ini banyak melibatkan masyarakat lokal, khususnya di daerah pesisir karena SDM yang rendah dan konsentrasi kemiskinan berada di kawasan tersebut. Mereka berkeyakinan bahwa ikan tidak akan habis sehingga tidak siap saat terjadi penurunan kuantitas ikan yang dapat terjadi akibat cara penangkapan yang buruk maupun lingkungan laut yang rusak. Selain itu mereka juga harus dipersiapkan menghadapi fenomena perubahan iklim yang seringkali tidak mereka sadari.34 Dalam pandangan LSM internasional yang bergerak di bidang lingkungan seperti WWF dan TNC, bantuan diutamakan pada pembinaan SDM, khususnya masyarakat lokal, untuk mengubah pola pikir agar lebih berwawasan Wawancara dengan Bapak Sugianto, perwakilan WWF dan TNC di Wakatobi padatanggal 4 Juli 2012. 34 Wawancara dengan Kepala Dinas KKP Wakatobi, Drs Laode Ibijufu, Msi, pada tanggal 3 Juli 2012 33
98
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.
lingkungan. Pelestarian lingkungan mengedepankan prinsip keseimbangan alam, keberlangsungan lingkungan, keadilan dan pengakuan serta kesejahteraan masyarakat lokal. Masyarakat lokal yang hidup di pesisir dan mengandalkan laut sebagai sumber mata pencahariannya, merupakan merupakan komponen utama dalam rangka menunjang konservasi. Konservasi bukan sekedar saluran dimana kepentingan ekonomi lebih dikalahkan dibandingkan pemeliharaan dan pemanfaatan lingkungan, masih terdapat titik temu antara kepentingan ekonomi dan pelestarian alam misalnya melalui ecotourisme. Upaya pemberdayaan masyarakat lokal dan memperkuat kemampuan ekonomi mereka dengan membuka berbagai alternatif sumber penghasilan tanpa merusak alam sangat ditekankan oleh para pemberi bantuan luar negeri. Hal ini dapat diterapkan Pemda dengan mengangkat budaya lokal menjadi daya tarik turisme, seperti yang dilakukan Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi dengan budaya suku Bajou.35 I.
Kabupaten Wakatobi Kawasan Taman Nasional Wakatobi dengan luas kurang lebih 1.390.000 Hektar memiliki kekayaan sumber daya alam perairan yang penting bagi manusia, khususnya bagi masyarakat sekitarnya. Pemda Kabupaten Wakatobi sangat responsif dalam melindungi kekayaan hayati yang dimilikinya, namun upaya penyusunan perda tentang RTRW belum juga terselesaikan. Seperti juga kawasan konservasi lainnya, TNW juga tidak terlepas dari permasalahan klasik berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam dikarenakan ketergantungan masyarakat pesisir terhadap sumber daya alam kelautan yang ada. Diantaranya penangkapan biota laut yang dilarang, penambangan batu karang dan pasir pantai. Kegiatan tersebut dapat bersifat ekstratif bila dilakukan dengan cara-cara yang merusak lingkungan, seperti penggunaan bom, pembiusan, atau penggunaan bahan kimia yang merupakan penyebab utama kerusakan terumbu karang. Kegiatan perusakan oleh masyarakat tersebut akan terus berlangsung selama kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan tidak mengalami perubahan ke tingkat yang lebih baik. Dukungan dan partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga kelestarian kawasan akan sulit terwujud tanpa diimbangi dengan upaya nyata peningkatan kesejahteraan. Investasi baru di bidang pariwisata dan kelautan di kabupaten ini diupayakan dapat menjadi pilar dinamika perekonomian, salah satunya membuka investasi pariwisata di pulau-pulau kecil. Namun, penyewaan pulau kepada orang asing di Wakatobi ini merugikan warga lokal karena Wawancara dengan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi, Bapak Tawakkal , pada tanggal 3 Juli 2012.
35
99
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional
melarang nelayan di kecamatan Tomia mendekati Pulau One Mobaa disewa Lorens Moders, warga negara Swiss, sejak 15 tahun lalu. Ia menyewa dari warga bernama Haji Baharuddin untuk masa 75 tahun.36 Daerah tangkapan ikan nelayan setempat menjadi berkurang, pihak Pemda juga sulit mendapat ijin untuk melakukan pengawasan ke sana. Masalah keamanan juga patut menjadi pertimbangan karena para tamu resort tersebut merupakan warga asing yang datang menggunakan alat transportasi udara langsung ke resort tersebut sehingga pihak Pemda sulit melakukan pendataan. Pengelola pulau tersebut juga tidak pernah melaporkan atau memberikan data tamunya kepada Pemda Wakatobi. Kabupaten Wakatobi memiliki kekhususan karena seluruh wilayahnya merupakan kawasan taman nasional. Sosialisasi pelestarian lingkungan terus diupayakan oleh Pemda dibantu oleh LSM asing. LSM WWF dan TNC melakukan upaya pendampingan terhadap kelompok-kelompok nelayan Wakatobi agar tidak menangkap ikan dengan merusak terumbu karang. Tantangan justru datang dari pencurian ikan oleh nelayan dari luar daerah yang masih menggunakan bom dan racun untuk penangkapan ikan serta penambangan pasir. Upaya pengawasan terhadap kegiatan ilegal di laut juga terkendala minimnya sarana pengamanan maupun personil aparat pengaman. Upaya penegakan hukum dan kemampuan aparat untuk menanggulangi masalah ini terkendala kurangnya sarana telekomunikasi, kapal patroli dan BBM.37 Tidak konsistennya kebijakan antar instansi maupun di pihak pemerintah pusat juga menyebabkan upaya pelestarian ikan yang dilindungi seperti napoleon mengalami kendala.38 Kerjasama LSM, khususnya WWF dan TNC, saat ini diarahkan kepada revisi zonasi Taman Nasional Wakatobi yang ditetapkan tahun 1996. Revisi ini dilakukan karena penetapan zonasi sebelumnya kurang diterima masyarakat karena ditetapkan di belakang meja tanpa mempertimbangkan kondisi di daerah. Di Kabupaten Wakatobi upaya menjaga kelestarian lingkungan banyak dilakukan melalui kerjasama yang sangat baik dengan Pemda Wakatobi, khususnya Bupati Wakatobi, Bapak Hugua, yang sangat terbuka terhadap program pelestarian lingkungan. Keberhasilan pelestarian laut di Wakatobi dinilai berhasil dan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurus masalah pendidikan dan kebudayaan, UNESCO, menetapkan ”Pulau Disewa Asing, Nelayan tersingkir”, Media Indonesia, 14 September 2012, hal.12. Wawancara dengan Kepala seksi pengelolaan Taman Nasional Wilayah I, Bapak Laode Ahyar Thamrin Mukti pada tangal 5 Juli 2012 dan Komandan Polisi Air Kendari , bapak Wayan Pinatih pada tanggal 6 Juli 2012. 38 Wawancara dengan Kepala Dinas KKP Wakatobi, Drs Laode Ibijufu, Msi, pada tanggal 3 Juli 2012. 36 37
100
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.
kawasan Taman Nasional (TN) Laut Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra), sebagai salah satu kawasan cagar biosfer dunia yang ada di Indonesia, tanpa syarat. Ada tiga kepentingan yang dilindungi UNESCO dalam menetapkan TN Wakatobi sebagai pusat cagar biosfer dunia tersebut, yaitu kearifan lokal masyarakat Wakatobi, kelestarian lingkungan, dan kepentingan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan. Tantangan yang dihadapi Kabupaten Wakatobi selanjutnya adalah upaya kemandirian untuk menjaga kelestarian lautnya setelah bantuan TNC dan WWF tidak ada dan pergantian bupati. Terdapat kesenjangan kemampuan pemahaman antara bupati dengan jajaran pemda dibawahnya sehingga dikhawatirkan terjadi penurunan kebijakan lingkungan setelah terjadi pergantian bupati Wakatobi.
II. Kabupaten Alor Keragaman terumbu karang di NTT cukup banyak dan potensinya hampir merata di semua perairan wilayah ini. Namun ekosistem terumbu karang di wilayah perairan NTT terus terancam akibat aktivitas manusia yang merusak karang seperti melakukan penangkapan ikan menggunakan bom dan potasium. Pemerintah Provinsi NTT mendukung upaya pelestarian laut di wilayahnya denga berbagai kebijakan, diantaranya Gerakan Masuk Laut (GEMALA),PERDA NO 4 TAHUN 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan Laut, dan juga PERDA NO 1 Tahun 2011 tentang RTRW provinsi NTT yang mengintegrasikan pengelolaan wilayah darat dan laut termasuk pengalokasian TNP Laut Sawu didalamya serta PERATURAN GUBERNUR NO 38 TAHUN 2010 tentang Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang yang mana kesemua regulasi yang ada tersebut dapat menjadi landasan kebijakan bagi peningkatan pengelolaan sumber daya laut dan pesisir di Nusa Tenggara Timur. Namun hal tersebut diragukan karena PERDA NO 4 TAHUN 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan Laut maupun PERATURAN GUBERNUR NO 38 TAHUN 2010 tentang Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang tidak memiliki saksi yang dapat memberikan efek jera.39 Setelah diterbitkannya UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil. Laut Sawu di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) akan dideklarasikan sebagai kawasan konservasi nasional untuk perlindungan mamalia laut, khususnya ikan paus. Sebagai Taman Nasional Perairan yang terletak di dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan berbatasan dengan wilayah pesisir Barat Timor Leste. Kawasan ini perlu penanganan dengan seksama karena termasuk dalam kawasan segitiga karang dunia (the Coral Triangle) yang memiliki keanekaragaman Wawancara dengan TNC dan pihak P4 Taman Nasional Laut Sawu pada tanggal 22 Juli 2012.
39
101
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional
hayati laut yang sangat tinggi dengan sebaran terumbu karang yang luas dan keragaman hayati spesies sekaligus merupakan habitat kritis sebagai wilayah perlintasan 14 jenis paus, termasuk 2 spesies paus yang langka, paus biru dan paus sperma. Selain itu Laut Sawu juga merupakan habitat yang penting bagi lumba-lumba, duyung, ikan pari manta dan penyu. Masyarakat setempat menjadikan ikan paus tersebut sebagai satwa buru sehingga jika tidak segera dilindungi maka ikan paus jenis langka bisa punah. Pengelolaannya akan berbagi peran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah setempat. Harus adanya sinergitas antara pemerintah Pusat dan daerah dalam mengelola Taman Nasional Perairan Laut Sawu ini, yang kesemuanya harus bermuara kepada upaya peningkatan kesejahtreaan masyarakat Nusa Tenggara Timur. Dalam proses pengkajiannya LSM TNC dan WWF bekerjasama dengan tim Pengkajian Percepatan Penetapan Pengelolaan Taman Nasional Laut Sawu yang terdiri dari berbagai unsur SKPD, Polri, Universitas, LSM lokal dan berbagai asosiasi masyarakat. Bantuan LSM asing kepada Pemda NTT diberikan dalam bentuk non fisik, baik berupa pelatihan maupun pendokumentasian dan pendataan. Sebagai contoh LSM TNC memberi dukungan finansial dan memberikan arahan program, tetapi duduk bersama semua unsur P4 Laut Sawu membahas perencanaan program yang akan dilaksanakan. Dalam kerjasama ini setiap pihak mampu melepaskan ego sektoralnya dan bekerja bersama, terutama dalam menghadapi tantangan terkait masalah sosial budaya dari masyarakat. Dalam implementasinya TNC lebih bergerak di bidang teknis, dengan cara memperkuat kapasitas staf, meningkatkan kerjasama tim, menyerahkan desentralisasi kewenangan pengawasan kepada Pemda dan menjadi fasilitator dari staf maupun LSM lokal yang menjadi ujung tombak dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat.40 Provinsi NTT memiliki 1.192 pulau, tetapi baru dihuni sekitar 50 pulau. Sisanya tidak dihuni dan belum memiliki nama. Pulau-pulau tersebut sangat indah tetapi belum dikelola.41 Pulau tak berpenghuni di wilayah NTT terbilang banyak, karena itu BKPMD menggagas untuk menjadikan pulau-pulau tersebut masuk dalam investasi baru di bidang pariwisata dan kelautan sehingga bisa menjadi pilar dinamika perekonomian, salah satunya membuka investasi di pulau tak berpenghuni.42 Provinsi NTT mempunyai
Wawancara dengan bapak Alexander S. Tanody, Project Leader TNC untuk Indonesia Marine Program Savu Sea Marine Protected Areas Development Project pada tanggal 22 Juli 2012. 41 “Pulau di Sikka Terlantar”, Kompas, 13 September 2012, hal. 22 42 Banyak Pulau Tanpa Penghuni, NTT Bidikan Investasi, 19 Juli 2012, http://www.beritasatu. com/ ekonomi/60891-banyak-pulau-tanpa-penghuni-ntt-bidikan-investasi.html. 40
102
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.
potensi pariwisata yang sangat besar, diantaranya keindahan laut dan darat, hewan langka komodo maupun kebudayaan yang sangat beragam. Seluruh potensi pariwisata NTT belum terkelola dengan baik sehingga belum menjadi andalan perekonomian daerah. Pulau-pulau kecil di NTT memiliki keunikan pemandangan bawah laut dan berpotensi besar menjadi tempat wisata. Namun pulau-pulau tersebut seringkali tidak terawat karena tidak dikelola. Jika pulau-pulau ini tidak mendapat perhatian pemerintah akan sangat mudah diklaim kelompok masyarakat tertentu kemudian dijual kepada warga negara asing. Orang asing cenderung menikahi gadis lokal kemudian berupaya membeli pulau yang ada untuk kegiatan bisnis pariwisata.43 Pulau-pulau yang telah disewakan kepada pihak asing dikhawatirkan tidak akan memberi akses kepada warga lokal untuk turut mempergunakannya karena dianggap merusak privacy para tamu resort dan merusak keindahan terumbu karang dikawasan tersebut. Gugusan pulau terindah terdapat di Kabupaten Alor yang tidak hanya memiliki tumbuhan dan hewan yang unik, tetapi juga taman laut yang sangat indah. Kabupaten Alor sebagai salah satu dari 16 Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah wilayah kepulauan dengan 15 pulau yaitu 9 pulau yang telah dihuni dan 6 pulau lainnya belum atau tidak berpenghuni.44 Alor memiliki taman laut yang ditengarai merupakan salah satu yang terindah di dunia. Di perairan sekitar Alor setidaknya ada lebih dari 60 titik menyelam dengan 20 di antaranya berkualitas terbaik di dunia. Titik-titik menyelam tersebut tersebar mulai dari Alor Besar, Alor Kecil, Dulolong, Pulau Buaya, Pulau Kepa, Pulau Ternate, Pulau Pantar, dan Pulau Pura. Selama ini beberapa pulau dengan titik penyelaman yang indah berada dalam wilayah yang disewa oleh orang asing. Demi menjaga kelestarian terumbu karang di daerah tersebut, tidak sembarang orang dapat berkunjung atau mendaratkan perahunya di kawasan tersebut. Perairan laut dan pesisir Kepulauan Alor, terutama perairan Laut Selat Pantar memiliki ekosistem perairan yang menarik dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Pada musim tertentu, perairan Selat Pantar juga merupakan jalur migrasi paus yang merupakan daya tarik kawasan. Karena keunikan tersebut, maka kawasan Selat Pantar dan sekitarnya telah ditetapkan sebagai Taman Laut melalui Surat Keputusan Bupati No. 5 Tahun 2002. Selain itu, Bupati Alor juga menetapkan Selat Pantar sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah melalui Peraturan Bupati Alor No. 12 Tahun 2006 pada tanggal 17 Juli 2006. Dikarenakan “Pulau di Sikka Terlantar”, Kompas, 13 September 2012, hal.22. Wawancara dengan PLT Kasid KKP Kabupaten Alor, Bapak Mesak Blegur, pada tanggal 23 Juli 2012.
43 44
103
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional
ada perluasan kawasan konservasi, maka pada tanggal 6 Maret 2009 dikeluarkan peraturan Peraturan Bupati Alor No. 6 Tahun 2009 yang mengubah Perbup Alor No. 12 Tahun 2006. Adapun tujuan perluasan Selat Pantar sebagai KKLD, yaitu: (a) mendukung pengelolaan stok yang perlindungan tahapan kehidupan tertentu (larva nursery ground), fungsi-fungsi kritis populasi yang dieksploitasi (feeding ground, spawning ground), pusat dispersi untuk perekrutan larva jenis-jenis yang dieksploitasi; (b) mendukung stanilitas perikanan; (c) pengganti ekologi yang hilang karena dampak ekosistem; dan (d) meningkatkan hasil sosial ekonomi masyarakat.? Luas Kawasan 400,008.30 km2. Pemda Alor mendapat penghargaan CTI di tahun 2009 karena telah mencadangkan wilayah perairannya untuk konservasi. Program kerjasama CTI tidak teraplikasikan di Kabupaten Alor, sehingga program pelestarian lingkungan lebih banyak merupakan inisiatif dari Kabupaten Alor sendiri.45 Anggaran Kabupaten Alor untuk melakukan pelestarian lingkungan minim dan lebih banyak digunakan untuk pelaksanaan tugas rutin.46 Pemda Alor bersama dengan FAO juga bekerjasama memperkuat kemandirian masyarakat pesisir untuk ketahanan pangan yang tidak merusak alam. Masyarakat berinisiatif secara berkelompok melakukan pengawasan lingkungan dengan kearifan lokal melalui cara buka tutup daerah penangkapan ikan. Upaya pelestarian lingkungan dilakukan Pemda Kabupaten Alor bekerjasama dengan WWF sejak tahun 2008. WWF juga melakukan koordinasi dengan pihak TNI AL dalam program GEMALA yang digagas oleh pihak Pemda Provinsi.47 Dengan kondisi masyarakat yang telah sadar lingkungan tersebut, WWF memberikan bantuan melalui berbagai pelatihan peningkatan kualitas SDM untuk meningkatkan kesadaran pelestarian lingkungan, diantaranya membantu dalam penetapan zonasi, sosialisasi pembentukan dan pembuatan draft akademis Perda tahun 2010, upaya penyuluhan di sekolah dasar maupun bantuan pembiayaan pendidikan terkait pelestarian lingkungan.48 Dalam kerjasama pemberdayaan masyarakat juga dilakukan pelatihan industri rumah tangga, pertanian rumput laut. Pelatihan yang diberikan WWF, TNC maupun FAO merupakan menjadi bantuan sekunder bagi Pemda karena lebih kepada peningkatan kapasitas SDM. Sebagai contoh WWF membantu pelatihan penanaman dan pengolahan rumput laut, selanjutnya Pemda memberikan Wawancara dengan Bupati Alor, Bapak Drs.Simeon TH Pally, pada tanggal 25 Juli 2012 Wawancara dengan Kadis BLDH Kabupaten Alor, Bapak Marzuki dan jajarannya, pada tanggal 24 Juli 2012. 47 Wawancara dengan Kolonel Habri dari Dinas Potensi Maritim Lantamal VII pada tanggal 27 Juli 2012 48 Wawancara dengan Sekertaris Bappeda Kabupaten Alor, Bapak Obeth Bolang, S,Sos pada tanggal 24 Juli 2012. 45 46
104
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.
bantuan pendanaan. Upaya pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi harus menjadi perhatian penting karena masyarakat lokal umumnya adalah nelayan tradisional dengan kemampuan terbatas yang tidak mampu melaut di laut lepas. Harus ada peluang usaha sampingan bagi mereka agar disaat cuaca buruk mereka masih tetap dapat mencari nafkah tanpa merusak lingkungan laut.
105
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
I.
Kesimpulan Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki nilai strategis bagi pengembangan ekonomi nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap kerusakan dan perusakan. Oleh karenanya diperlukan pengelolaan yang bijaksana dengan menempatkan kepentingan ekonomi secara proporsional dengan kepentingan lingkungan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menghadapi tantangan pembangunan yang kompleks mengingat sifat ekosistemnya yang kaya akan sumber daya dan bersifat open access. LSM asing juga membantu menangani permasalahan di wilayah laut dan pesisir agar dikembangkan pendekatan yang mengintegrasikan pengaturan pemanfaatan ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta seluruh sumber daya yang ada di dalamnya, termasuk dalam meningkatkan kualitas SDM. Dengan demikian pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui pemanfaatan sumber daya secara optimal dan efisien dengan memperhatikan prinsip-prinsip keterpaduan, pendekatan bottom-up, kerjasama antar-daerah, penegakan hukum, dan konsistensi dalam memanfaatkan rencana tata ruang wilayah. Kerjasama di bidang lingkungan dengan LSM asing relatif berjalan baik. LSM asing yang memberikan bantuan menyerahkan pembuatan program kepada Pemda, sehingga program yang dibuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. LSM juga mengusulkan program baru, tetapi menyerahkan pilihan tersebut kepada Pemda dan lebih menitikberatkan pada dukungan dana. Dalam pelaksanaan programnya LSM asing menggunakan tokoh masyarakat sehingga masyarakat lebih percaya dan bersikap terbuka dibandingkan petugas instansi pemerintah. Setiap LSM asing harus melaporkan program yang dilaksanakannya kepada kantor pusatnya di negara luar negeri untuk dievaluasi untuk kesinambungan program selanjutnya. Data dari hasil laporan tersebut dapat dimanfaatkan oleh pihak penyandang donor untuk sumber 107
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional
data bagi riset-riset yang dilakukan negara donor demi kepentingan mereka. Tetap perlu kewaspadaan nasional agar data kekayaan alam hayati di wilayah pesisir maupun pulau kecil tidak dimanfaatkan pihak asing dan merugikan Indonesia sendiri.
II. Rekomendasi Upaya penegakan hukum dan pemberdayaan masyarakat di bidang kelautan merupakan faktor-faktor utama yang masih harus diutamakan dalam menjaga kelestarian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Bantuan LSM asing hendaknya tetap dalam posisi sekunder, karena pada intinya pelestarian lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia tetap merupakan tanggung jawab pemerintah Indonesia.
108
BIBLIOGRAFI
Buku Addinul Yakin, Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan – Teori dan kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1997. Andi Iqbal Burhanuddin, The Sleeping Giant – Potensi dan Permasalahan Kelautan, Surabaya; Brilian Internasional, 2011.
Daniel S.Papp, Contemporary International Relations, fifth edition, Boston; Allyn an Bacon, 1997. Jatna Supriatna, Melestarikan Alam Indonesia, Jakarta;Yayasan Obor Indonesia, 2008. I Made Andi Arsana, Batas Maritim Antarnegara, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2007. Robert Attfield, Etika Lingkungan Global, (terjemahan Saut Pasaribu), Bantul; Kreasi Wacana, 2010
Ludiro Madu dkk (Editor), Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa Batas: Isu, Permasalahan dan Pilihan Kebijakan, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010. Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Hubungan Internasional, Bandung; Remaja Rosdakarya, 2005
D.G. Bengen, Menuju Pembangunan Pesisir dan Kelautan Berkelanjutan Berbasis Ekosistem, Jakarta; Pusat Pembelajaran dan Pembangunan Pesisir dan Laut, 2004. Suryo Sakti Hadiwijoyo, Batas Wilayah Negara Indonesia, Yogyakarta; Penerbit Gava Media, 2009
Jemadu, Aleksius, Politik Global dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta; Graha Ilmu, 2008. 109
Strauss, Anselm dan Juliet Corbin, dasar-dasar Penelitian Kualitatif Prosedur, Tehnik dan Teori Grounded, Alih bahasa H.M Djuanidi Ghony, Surabaya:PT Bina Ilmu, 1997 Herman Khaeron, Transformasi Politik Kelautan Indonesia untuk Kesejahteraan Rakyat, Jakarta, Pustaka Cidesindo, 2012 Keraf, A. Sonny, Etika Lingkungan, Jakarta; Kompas,2002.
Buzan, Barry, et.al, Security:A new Framework for Analysis, Boulder; lynne Rienner Publisher, 1998. Indrawan, Mohamad dkk, Biologi Konservasi, Jakarta; Yayasan Obor; 2007.
Jackson, Robert dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional , (terjemahan Dadan Suryadipura), Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2005 Yulius P. Hermawan (ed,) Transformasi dalam studi Hubungan Internasional Yogyakarta, Graha Ilmu, 2007.
Portal Tentang Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI) http://kp3k. kkp.go.id/webbaru/ditjen/kkji diakses 2 januari 2012
Selamat Hari Laut Se-Dunia, “Our Oceans: Greening Our Future ”, http:// kp3k.kkp.go.id/mitrabahari/index.php?option=com_content&view= article&id=295%3Aselamat-hari-laut-se-dunia-our-oceans-greeningour-futureq&catid=1%3Aterkini&Itemid=69&lang=in, diakses 2 Agustus 2012.
Mahkamah Konstitusi, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/ putusan/ putusan_sidang_ Nomor % 20 3% 20PUU%- 20pesisir%202010-TELAH%20 BACA.pdf, diakses tanggal 27 Juli 2011. Banyak Pulau Tanpa Penghuni, NTT Bidikan Investasi, 19 Juli 2012, http:// www.beritasatu.com/ ekonomi/60891-banyak-pulau-tanpa-penghunintt-bidikan-investasi.html
Dokumen Rencana Induk pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan tahun 2011 – 2014, Seri BNPP 025-0111, Jakarta: BNPP RI, 2011 110
Joanne Wilson dkk,Rancangan Ilmiah Jejaring Kawasan Konservasi Laut Yang Tangguh, Program kelautan TNC, Laporan No.2/11, Maret 2011, h.2-3.
FGD FGD P3DI dengan Prof. Dr. Rizald Max Rompas, pada tanggal 3 Agustus 2011.
FGD P3DI dengan Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA, pada tanggal 16 November 2011. FGD P3DI dengan Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tanggal 16 November 2011. FGD dengan bapak Robert Simbolon, MPA Asdep Penataan Ruang Kawasan Perbatasan BNPP tanggal 2 November 2011
Koran Bernard Limbong,”Ekonomi Hijau-Biru dan Perintah Konstitusi”, Suara Pembaharuan, 9 Juli 2012. ”Pulau Disewa Asing, Nelayan tersingkir”, Media Indonesia, 14 September 2012
Fimansyah”Visi Ekonomi Berbasis Kelautan”, Kompas, 14 Juli 2012 Zonasi Pesisir Masih Tertinggal, Kompas, 7 Agustus 2012 “Pulau di Sikka Terlantar”, Kompas, 13 September 2012
Wawancara Wawancara dengan Marine species program WWF, Bapak Wawan Ridwan pada tanggal 25 Juni 2012. Wawancara dengan beberapa LSM lokal di Kendari pada tanggal 1 Juli 2012. Wawancara dengan Bupati Wakatobi, Hugua, pada tanggal 3 Juli 2012.
Wawancara dengan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, Bapak Ir. Sonny Partono MA, pada tanggal 13 Agustus 2012
Wawancara dengan Bapak Sugianto, perwakilan WWF dan TNC di Wakatobi pada tanggal 4 Juli 2012. 111
Wawancara dengan Kepala Dinas KKP Wakatobi, Drs Laode Ibijufu, Msi, pada tanggal 3 Juli 2012 Wawancara dengan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi, Bapak Tawakkal, pada tanggal 3 Juli 2012.
Wawancara dengan Kepala seksi pengelolaan Taman Nasional Wilayah I, Bapak Laode Ahyar Thamrin Mukti pada tangal 5 Juli 2012 Wawancara dengan Komandan Polisi Air Kendari , bapak Wayan Pinatih pada tanggal 6 Juli 2012
Wawancara dengan Kepala Dinas KKP Wakatobi, Drs Laode Ibijufu, Msi, pada tanggal 3 Juli 2012 Wawancara dengan TNC dan pihak P4 Taman Nasional Laut Sawu pada tanggal 22 Juli 2012.
Wawancara dengan PLT Kasid KKP Kabupaten Alor, Bapak Mesak Blegur, pada tanggal 23 Juli 2012 Wawancara dengan Bupati Alor, Bapak Drs.Simeon TH Pally, pada tanggal 25 Juli 2012 Wawancara dengan Kadis BLDH Kabupaten Alor, Bapak Marzuki dan jajarannya, pada tanggal 24 Juli 2012.
Wawancarad dengan Kolonel Habri dari Dinas Potensi Maritim Lantamal VII pada tanggal 27 Juli 2012 Wawancara dengan Sekertaris Bappeda Kabupaten Alor, Bapak Obeth Bolang, S,Sos pada tanggal 24 Juli 2012.
Wawancara dengan bapak Alexander S. Tanody, Project Leader TNC untuk Indonesia Marine Program Savu Sea Marine Protected Areas Development Project pada tanggal 22 Juli 2012.
112
Bagian Keempat PERAN PEMERINTAH DAERAH (PEMDA) DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DI KABUPATEN WAKATOBI DAN KABUPATEN ALOR* Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.**
*
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2012. Peneliti pada Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data dan Pelayanan Informasi Setjen DPRRI.
**
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Secara geografis letak kepulauan Indonesia sangat strategis yakni di daerah tropis yang diapit oleh dua benua (Asia dan Australia), dua samudera (Pasifik dan India), serta merupakan pertemuan tiga lempeng besar di dunia (Eurasia, India-Australia dan Pasifik) menjadikan kepulauan Indonesia dikaruniai kekayaan sumberdaya kelautan yang berlimpah, baik berupa sumberdaya hayati dan non-hayati, maupun jasa-jasa lingkungan. Oleh karena itu Indonesia merupakan suatu karakteristi unik yang di dalamnya terdapat jutaan potensi sumber daya alam yang bisa termanfaatkan untuk kepentingan bangsa dan anak cucu bangsa yang akan datang. Sebagai negara yang terdiri atas kepulauan terbesar di dunia, pastinya pelayanan oleh pemerintah pusat terhadap seluruh wilayah yang ada di Indonesia sangat memiliki banyak kendala, yang berefek kepada disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan minimnya pembangunan sumber daya manusia (SDM), dan lambannya angka kesejahteraan masyarakat. Maka dengan itu, untuk menyiasati seperti yang disebutkan di atas, maka pemerintah pusat mengambil sebuah kebijakan yang dikenal dengan Otonomi Daerah. Dalam otonomi daerah yang terdiri atas UU no 32 tahun 2004, tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 tahun 1999, tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, bahwa daerah diberikan hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus daerahnya masing-masing sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh daerah untuk dikembangkan, sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, pemerintah daerah diharapkan memiliki kemampuan mengidentifikasi dan mengelola potensi-potensi yang ada di daerahnya, untuk dimanfaatkan secara efektif dan efisien guna terselenggaranya aktifitas pembangunan dalam rangka peningkatan kualitas hidup masyarakat dan daerahnya. Dengan demikian pemerintah daerah berkewajiban secara konsisten mengelola potensi-potensi yang bisa dikembangkan, yang diharapkan 115
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
dapat meningkatkan pendapatan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan Negara. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut pada dasarnya memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkelanjutan, terutama komunitas masyarakat lokal yang bermukim di wilayah pesisir (coastal zone). Oleh karena itu, dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir, aspek ekologi dalam hal kelestarian sumberdaya dan fungsi-fungsi ekosistem harus dipertahankan sebagai landasan utama untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Pemanfaatan sumberdaya pesisir diharapkan tidak menyebabkan rusaknya fishing ground, spawning ground, maupun nursery ground ikan. Selain itu juga tidak merusak fungsi ekosistem hutan bakau (mangrove), terumbu karang (coral reefs), dan padang lamun (sea grass) yang memiliki keterkaitan ekologis dengan keberlanjutan sumberdaya di wilayah pesisir. Berlakunya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memberikan nuansa baru pembangunan di daerah, maka upaya pemanfaatan dan pengembangan berbagai potensi daerah, termasuk potensi sumberdaya di wilayah pesisir, mulai mendapat perhatian. Arti penting dari UU tersebut adalah bahwa daerah memiliki otoritas yang lebih besar terhadap pengelolaan sumberdaya di wilayah laut. Seperti diketahui bahwa selama rezim orde baru (1966-1998) pengelolaan sumberdaya tersebut cenderung bersifat sentralistik, sehingga telah terjadi pelemahan peran masyarakat lokal dan berbagai kerusakan sumberdaya hayati laut, seperti gejala tangkap lebih (overfishing), degradasi ekosistem terumbu karang dan hutan mangrove akibat praktik penangkapan ikan yang berlebihan dan merusak ekosistem perairan laut seperti pengeboman dan bahan-bahan beracun menjadi kurang terkontrol. Dengan diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004, kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan sudah bergeser dari sentralistik ke desentralistik. Perubahan paradigma pembangunan pesisir dan lautan dari pola sentralistik ke desentralistik atau istilah lainnya kebijakan kelautan berbasis otonomi daerah, maka sebagai konsekuensinya pemerintah kabupaten/kota kini telah memiliki kewenangan (authority) yang lebih besar dalam sistem pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Dalam kebijakan pembangunan masyarakat pesisir, Pemerintah Daerah diharapkan akan lebih berupaya untuk mengedepankan aspirasi, kebutuhan dan kepentingan masyarakat pesisir, khususnya masyarakat lokal (local coastal community), dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir setempat, terutama masyarakat adat. 116
Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.
Potensi sumber daya pesisir dan laut merupakan karunia yang harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kesejahteraan masyarakat. Sumberdaya pesisir di Negara Indonesia memang sangatlah istimewa. Namun pada kenyataanya pengelolaan ini belum optimal dilakukan sehingga di perlukan pengelolaan melalui konsep suatu pendekatan yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (intergrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Sehingga yang utama harus diperhatikan adalah keseimbangan antara pembangunan dan aspek konservasi yang tetap harus dilakukan. Banyaknya pemanfaatan dan berbagai aktifitas yang terus berlangsung dampak negatif pun muncul. Dampak-dampak utama saat ini berupa polusi, abrasi, erosi dan sedimentasi, kerusakan kawasan pantai seperti hilangnya mangrove, degradasi daya dukung lingkungan dan kerusakan biota laut. Termasuk diantaranya isu administrasi, hukum seperti otonomi daerah, peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), konflik-konflik daerah dan sektoral merupakan persoalan yang harus dipecahkan bersama melalui manajemen kawasan pesisir terpadu. Namundalamupayapemanfaatanpotensi,terkadangmunculpermasalahan yang berakar dari adanya kesenjangan kondisi lingkungan dan sistem sosial. Oleh karena itu, pemerintah daerah sebagai perencana, pelaksanan, dan pengontrol dalam sebuah kebijakan daerah diharapkan mampu menganalisis dan memetakan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat sehingga dalam mengeluarkan kebijakannya tidak terkesan sepihak, akan tetapi sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan penjelasan umum UU Nomor: 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, bahwa tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah yang hendak dicapai, maka pemerintah wajib melakukan pembinaan berupa pemberian pedoman, dalam hal penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Untuk itu pemerintah pusat wajib memberikan fasilitas berupa pemberian kemudahan, bantuan dan dorongan kepada pemerintah daerah agar dapat melaksanakan otonomi daerah secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan, diluar yang menjadi urusan pemerintah pusat yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan serta prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. 117
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
Dengan adanya otonomi daerah, sangat diharapkan daerah mampu memainkan peranannya dalam membuka peluang memajukan daerahnya dengan melakukan identifikasi dan mengelola sumber-sumber yang berpotensi untuk dapat meningkatkan pendapatan asli daerah, karena besar kecilnya pendapat daerah sangat berefek kepada keberhasilan pelaksanaan otonomi tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan konsep otonomi dan desentralisasi yang pada hakekatnya memberikan kekuasaan, kewenangan dan keleluasaan kepada pemerintah daerah. Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor merupakan salah satu daerah kepulauan di Indonesia yang memiliki potensi pesisir dan kelautan yang sangat besar. Potensi sumberdaya pesisir dan kelautan yang perlu di kembangkan dalam pemanfaatannya guna kesejahteraan masyarakat. Keberadaan terumbu karang, hutan mangrove, serta keanekaragaman flora dan fauna laut merupakan potensi yang memiliki nilai ekonomi yang menjanjikan, baik di bidang produksi maupun di bidang pariwisata. Saat ini ekosistem pantai terancam kelestariannya terutama oleh kegiatan manusia. Sumber daya pantai merupakan anugerah alam yang sangat berharga bagi mahluk hidup yang perlu dikelola dan dikembangkan secara baik untuk kepentingan saat ini dan dimasa yang akan datang. Untuk tetap menjaga potensi sumber daya pesisir Wakatobi dan Alor, maka diperlukan suatu pengelolaan yang dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan agar sumber daya yang ada tersebut tetap terjaga. B. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah Peranan pemerintah daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir khususnya di Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor ditinjau dari segi persfektif otonomi daerah ?. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari tulisan ini adalah: 1. Untuk mengetahui peranan pemerintah daerah, dalam hal pemberdayaan masyarakat berbasis pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil khususnya di Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil khususnya di Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor. 118
Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.
Adapun manfaat yang dapat diambil dari tulisan ini adalah : 1. Dapat memberikan masukan bagi pemerintah daerah dan masyarakat dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil khususnya di Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor 2. Memberikan kontribusi pengetahuan, pemikiran, dan wawasan terhadap pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil khususnya di Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor.
D. Metode Penelitian 1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian lapangan dilakukan di dua wilayah pesisir, terutama yang memiliki permasalahan dalam pengelolaannya, ditandai dengan maraknya eksploitasi sumber daya alam dan pengelolaan oleh pihak asing. Semakin kompleks indikasi permasalahan yang dihadapi dan semakin tingginya ancaman yang dihadapi terkait dengan kepentingan nasional dan kepentingan stakeholders akan semakin baik untuk dipilih sebagai lokasi penelitian. Dalam hal ini, Kepulauan Wakatobi, di Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Alor di Provinsi Nusa Tenggara Timur dipilih sebagai lokasi penelitian. Keduanya merupakan wilayah yang kaya dengan sumber daya alam, terutama terumbu karang dan ikan, namun ekosistem terancam rusak parah oleh maraknya eksploitasi pertambangan dan sumber daya alam lainnya secara ilegal. Kedua wilayah tersebut terletak di kawasan Segitiga Karang Dunia (The Coral Triangle) yang juga merupakan kawasan konservasi, yang selain merupakan aset nasional, juga internasional (dunia).
2. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi dan lain-lain secara holistik dan dengan cara diskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah1.
1
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung, Penerbit Remadja Rosdakarya, 2004, hal. 6.
119
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
a. Teknik Pengumpulan Data dan Informan Penelitian Teknik pengumpulan data yang utama dilakukan adalah observasi terhadap obyek penelitian, utamanya hal-hal yang terkait dengan pemerintah daerah setempat, seperti Bappeda, Dinas Pariwisata, Dinas Kelautan dan Perikanan, WWF. CNI, Dinas Taman Nasional Wakatobi dan Alor. Konteks dari setiap proses pengamatan ini diharapkan dapat memahami secara lebih utuh terkait dengan masalah yang akan dianalisis lebih lanjut pada fokus pada penelitian ini. Melalui observasi pula, diharapkan bahwa setiap unsur yang dapat diperoleh dari pengamatan di lapangan akan mendukung penelitian agar tidak menjadi sekedar bersandar pada data-data atau informasi yang bersifat formal. Unsur “natural setting” menjadi kekuatan dari pengamatan yang dilakukan, dengan berusaha menangkap setiap makna dari proses pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ini sesuai dengan pengertian observasi dalam penelitian kualitatif adalah pengamatan langsung terhadap objek untuk mengetahui keberadaan objek, situasi, konteks, dan maknanya dalam pengumpulan data penelitian.2 Hasil observasi akan diperdalam dengan melakukan indepth interview. Wawancara mendalam (indepth interview) terhadap informan penelitian dilakukan berdasarkan berdasarkan panduan wawancara yang telah dipersiapkan untuk pelaksanaan penelitian. Hasil penelitian yang didapat melalui kedua teknik pengumpulan data ini, kemudian dianalisis secara deskriptif. Informan penelitian pada penelitian ini didapat dengan menggunakan teknik purposive yaitu teknik penentuan sampel untuk tujuan tertentu saja3. Informan penelitian yang dipergunakan sebagai sumber data primer dalam penelitian ini yaitu: Bappeda, Dinas Pariwisata, Dinas Kelautan dan Perikanan, WWF. CNI, Dinas Taman Nasional Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor. b. Metode Analisis Analisa penelitian ini diawali dengan mempelajari referensi terkait pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Referensi yang dimaksud bisa dalam bentuk dokumen-dokumen dan hasil wawancara. Bentuk referensi lainnya adalah berita dan artikel surat kabar terkait dengan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Juga mempelajari bukubuku, jurnal terkait dengan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulaupulau kecil. Data yang berhasil digali di lapangan kemudian dianalisis dengan menggunakan teori-teori yang digunakan dalam proposal penelitian.
2
3
Jam’an Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2009, hal. 105. Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Penerbit CV Alfabeta, Bandung, 2005, hal. 62.
120
Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.
Selain itu analisa dilakukan dengan menggunakan metode triangulasi, yakni dengan cara melakukan check and cross check atas informasi yang diterima untuk melihat persamaan dan keselarasan dan juga perbedaan. Hasil triangulasi selanjutnya disusun kedalam suatu rangkuman secara deskriptif, dengan melihat persamaan dan perbedaan dari informan. Setelah deskripsi analisa disusun, selanjutnya dilakukan pengambilan kesimpulan dan rekomendasi. Untuk melihat peranan pemerintah daerah, maka Penulis menggunakan pendekatan proses dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi program pemerintah daerah dalam pemberdayaan masyarakat kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu faktor manajemen pengelolaan. Apabila faktor tersebut membantu dalam pelaksanaan program pemerintah daerah, maka faktor tersebut dikategorikan sebagai faktor pendukung. Sebaliknya apabila faktor tersebut tidak membantu/menghambat dalam pelaksanaan program pemerintah daerah, maka disebut sebagai factor penghambat.
121
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Pengertian dan Krakteristik Wilayah Pesisir Definisi wilayah pesisir bisa berbeda-beda, karena belum ditemukan suatu istilah paten untuk mengartikannya. Sesuai dengan Kep. 10/MEN/2002, wilayah pesisir telah didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem daratan dan laut yang ditentukan oleh 12 mil batas wilayah ke arah perairan dan batas kabupaten/kota kearah pedalaman. Menurut Kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Dalam Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil disebutkan bahwa wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosisitem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, sedangkan pulau-pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km² beserta kesatuan ekosistemnya. Menurut Emmy Hafid4 bahwa di wilayah pesisir terdapat sekurangkurangnya dua bentuk ekosistem, yaitu: 1) ekosistem alamiah meliputi terumbuh karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, laguna, delia dan lain-lain; 2) ekosistem buatan meliputi tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, agroindustri, permukiman dan lain-lain. Sumber daya wilayah pesisir terdiri atas sumber daya alam terdiri dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui meliputi berbagai biota laut yang tumbuh dan hidup disekitar wilayah pesisir termasuk terumbuh karang. Sedangka sumber daya yang tidak dapat diperbaharui meliputi minyak, gas, mineral, baru-batuan, pasir dan sebagainya. Keadaan demikian tercermin sepenuhnya dalam wilayah Taman Nasional Takabonerate yang oleh pemerintah telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut. Oleh karena wilayah tersebut menyimpan bagitu banyak potensi alam laut, maka
4
Emmy Hafid, Potret Kelautan di Masa Kin. Artikel ilmiah Majalah Tanah Air Walhi Nomor 3 Tahun XXI, Jakarta, 2006, hal 174.
123
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
sudah barang tentu diminati oleh sebagian kalangan untuk berinvestasi, berwisata termasuk untuk bermukim baik kalangan pendatang dari wilayah lain disekitarnya, maupun yang memang penduduk asli setempat. Selanjutnya oleh Monoarva5 berpendapat pada masyarakat nelayan jaringan aktivitas sangat terbatas hanya pada kegiatan penangkapan ikan. Sistem pengetahuan yang berkembang adalah berhubungan erat dengan kegiatan penangkapan dan sumber daya lautan, sementara jaringan sosial hanya terbatas pada jaringan kerja (network) ponggawa sawi (Patronklien). Dalam masyarakat pesisir, umumnya dikenal sebagai masyarakat nelayan (penghasil ikan) baik dalam skala besar maupun dalam skala kecil. Kelompok masyarakat nelayan dalamskala besar adalah mereka yang melakukan pembudidayaan ikan yang umumnya di tambak, sedangkan kelompok yang berskala kecil adalah mereka yang dalam menghasilkan ikan atau yang dipersamakan dengan itu sangat bergantung pada penangkapan langsung dilaut. Meski kedua kelompok masyarakatpesisir tersebut samasama sebagai penghasil ikan atau yang sejenis atau yang dipersamakan dengan itu, namun titik perbedaannya adalah terletak pada pola kerjanya. Secara umum, wilayah pesisir dapat didefinisikan sebagai wilayah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut, dan ekosistem udara yang saling bertemu dalam suatu keseimbangan yang rentan. 6 Kerentanan tersebut dipengaruhi karena kawasan pesisir dan laut memiliki karakteristik khusus, baik dalam sifat ekologis maupun keanekaragaman sumberdayanya, sehingga perlu mendapatkanperhatian yang khusus. Secara ekologis daerah pesisir terdiri dari karakteristik perairan yang terdapat pada sub sistem perairan pesisir (coastal water) dan karakteristik daratan yang terdapat pada sub sistem daratan pesisir (shoreland). Kedua sub sistem tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, namun karena lokasinya yang berada dalam satu kawasan maka kedua sub sistem tersebut saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Secara teoritis, batasan pengertian wilayah pesisir dapat dijelaskan dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu pendekatan ekologis, pendekatan perencanaan dan pendekatan administratif. Pendekatan ekologis yaitu wilayah pesisir merupakan kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh prosesproses kelautan seperti pasang surut dan intrusi air laut dan kawasan laut
5
6
Monoarva, Karakter Studi dan Budaya dalam Pengembangan Perikanan Berskala Kecil. UI Press, Jakarta, 1999, hal. 16. Adi Wiyana, 2004, Faktor Berpengaruh Terhadap Keberlanjutan Pengelolaan Pesisir Terpadu (P2T), http://tumoutou.net/702_07134/adi_wiyana.htm, di akses pada tanggal 25 Agustus 2012.
124
Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.
yang masih dipengaruhi oleh proses-proses daratan, seperti sedimentasi dan pencemaran.7 Berdasarkan pendekatan secara administrasi, wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administrasi pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten atau kota yang mempunyai wilayah laut dan ke arah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk propinsi atau sepertiganya untuk kabupaten atau kota. Pendekatan dari segi perencanaan, wilayah pesisir merupakan wilayah perencanaan pengelolaan sumber daya yang difokuskan pada penanganan suatu masalah yang akan dikelola secara bertanggung jawab.8 Konsep pengaturan pengelolaan wilayah pesisir terpadu di Indonesia terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengertian wilayah pesisir terdapat dalam Pasal 1 poin 2 yang berbunyi: Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Batasan ruang lingkup yang di maksud dalam Undang-Undang pesisir ini terdapat dalam pasal yang sama (Pasal 1) poin 7, yaitu Perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna. 2. Pengelolaan Wilayah Pesisir Begitu banyaknya definisi yang berbeda tentang wilayah pesisir, namun untuk kepentingan pengelolaan, penetapan batas-batas fisik wilayah pesisir secara statis (kaku) kurang begitu penting untuk kepentingan pengelolaan. Penetapan secara dinamis lebih diharapkan, artinya wilayah pesisir dapat berkembang dan bertambah luas karena interaksinya mengalami perkembangan. Akan lebih berarti lagi apabila penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir didasarkan atas faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan (pemanfaatan) dan pengelolaan ekosistem pesisir dan lautan beserta segenap sumber daya yang ada di dalamnya, serta tujuan dari pengelolaan itu sendiri. Adapun tujuan dari pengelolaan tersebut adalah:9
7
8
9
Lazarus Tri Setyawanto, Masalah-Masalah Hukum di Wilayah Pesisir dan Laut, (Semarang : Syclosundip, 2005) hal. 84. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan tahun 2001, Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir, hal. I-5. Rokhmin Dahuri, Jacub Rais, Sapta Putra Ginting, M.J Sitepu, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1996), hal. 10.
125
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
a. Jika tujuan pengelolaan adalah untuk mengendalikan atau menurunkan, tingkat pencemaran perairan pesisir yang dipengaruhi oleh aliran sungai, maka batas wilayah pesisir ke arah darat hendaknya mencakup suatu daratan DAS (Daerah Aliran Sungai) dimana buangan limbah di sini akan mempengaruhi kualitas perairan pesisir. Sedangkan kearah laut hendaknya meliputi daerah laut yang masih dipengaruhi oleh pencemaran yang berasal dari darat tersebut atau suatu daerah laut dimana kalau terjadi pencemaran, misalnya tumpahan minyak, secara otomatis minyaknya akan mengenai perairan pesisir b. Jika tujuan pengelolaan adalah untuk mengendalikan laju sedimentasi di wilayah pesisir akibat pengelolaan lahan atas yang kurang bijaksana seperti penebangan hutan secara semena-mena dan bertani pada lahan dengan kemiringan lebih dari 40%, batasan wilayah pesisirnya adalah sama dengan point di atas c. Jika pengelolaan wilayah pesisir adalah untuk mengendalikan erosi (abrasi) pantai, maka batas kearah darat cukup hanya sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi, dan batas kearah laut daerah yang terkena pengaruh distribusi sediment akibat proses abrasi, yang biasanya terdapat pada daerah pemecah gelombang (breakwater zone) yang paling dekat dengan garis pantai.
Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral biasanya berkaitan dengan hanya satu macam pemanfaatan sumberdaya atau ruang pesisir oleh satu instansi pemerintah untuk memenuhi tujuan tertentu seperti perikanan tangkap, tambak, pariwisata, pelabuhan atau industri minyak dan gas. Pengelolaan semacam ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar sektor yang berkepentingan yang melakukan aktivitas pembangunan pada wilayah pesisir dan lautan yang sama. Pendekatan sektoral seperti dalam penjelasan di atas pada umumnya tidak atau kurang mengindahkan dampaknya terhadap yang lain, sehingga dapat mematikan usaha sektor lain.10 Contohnya yaitu perusakan kawasan mangrove untuk perluasan areal tambak menjadikan pantai semakin terbuka sehingga dengan mudah terkena abrasi. Contoh lainnya adalah perusakan karang menjadikan berkurangnya berbagai jenis ikan karang yang mempunyai bentuk fisik dan ragam yang unik. Pengelolaan wilayah pesisir meliputi kegiatan-kegiatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sektoral diantaranya sektor pertanahan, Ibid, hal. 11.
10
126
Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.
pertambangan, perindustrian dan perhubungan, perikanan, pariwisata, pertanian serta sektor kehutanan. Visi sektoral pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir telah mendorong departemen-departemen atau instansi teknis berlomba-lomba membuat peraturan perundang-undangan untuk mengelola sumberdaya alam atau jasa-jasa lingkungan pesisir sesuai dengan kepentingannya masing-masing yang bermuara pada peningkatan pendapatan asli daerahnya. Dampak buruk dari visi sektoral juga menyebabkan adanya kecenderungan daerah akan membuat peraturanperaturan daerah berdasarkan kepentingan daerahnya masing-masing. Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir yang demikian ini, telah dan akan melahirkan ‘ketidakpastian’ hukum bagi semua kalangan yang berkaitan dan berkepentingan dengan wilayah pesisir (stakeholders).11 4. Hak dan Kewajiban Masyarakat Lokal Atas Sumber daya Alam Pesisir Pemanfaatan wilayah pesisir tidak bisa dilepaskan pengaruhnya terhadap perubahan lingkungan wilayah pesisir. Dampak dari perubahan lingkungan yang terjadi maka yang pertama merasakannya adalah masyarakat yang berdiam di sekitar wilayah pesisir, maka dalam pemanfaatan atau pengelolaan wilayah pesir mesti harus melibatkan peran serta masyarakat. Pengaturan tentang hak, kewajiban dan peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan termasuk lingkungan di wilayah pesisir terdapat dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup utamanya dalam Pasal 5, 6 dan 7, serta Peraturan lainnya seperti Undang-undang Nomor 26 tahun 2006 tentang Penataan Ruang, Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan ekosistemnya serta Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Masyarakat pesisir/nelayan adalah sekelompok masyarakat yang bertempat tinggal di daerah pesisir pantai atau daerah kepulauan, yang struktur ekonominya tergantung pada laut. Potensi, laut adalah modal utama bagi kehidupan mereka. Norma-norma lokal sangat mempengaruhi cara kerja mereka dalam penangkapan ikan maupun dalam pola penguasaan sumber-sumber perikanan mereka. Pemanfaatan wilayah pesisir sering dilakukan dengan pola pemanfaatan yang tidak teratur serta tidak memperhatikan norma-norma kearifan lokal Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir , Direktorat Jenderal Pesisir dan PulauPulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan tahun 2001, hal. 1-5.
11
127
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
pengelolaan sumber-sumber bahari, juga kerap kali tidak memperhatikan kepentingan masyarakat di wilayah pesisir yang menjadikan laut sebagai sumber mata pencahariannya, akibatnya timbul kerusakan dan pencemaran di wilayah pesisir, misalnya berupa perusakan hutan bakau (mangrove), hancurnya teurmbu karang dan pembuangan limbah industri Kegiatan pemanfaatan di kawasan pesisir untuk pembangunan pariwisata dan industri di satu sisi merupakan pembangunan sosial ekonomi untuk kesejahteraan penduduk namun di sisi lain dilakukannya reklamasi dan pengerukan pantai berdampak rusaknya fungsi pantai sebagai penyanggah abrasi air laut. Menurut Koesnadi Hardjasumantri12 bahwa setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal tersebut memberikan kepada yang mempunyai suatu tuntutan yang sah guna meminta kepentingannya akan suatu lingkungan hidup yang baik dan sehat itu dihormati, suatu tuntutan yang didukung oleh prosedur hukum, dengan perlindungan hukum oleh pemerintah dan perangkat-perangkat lainnya. Pada dasarnya upaya meningkatkan peran serta masyarakat utamanya di wilayah pesisir harus dimulai dengan sikap yang terbuka terhadap berbagai masalah yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan pesisir. Sikap keterbukaan ini untuk mencapai pengelolaan kawasan pesisir yang terpadu, di mana keterpaduan itu mencakup hubungan antara instansi pemerintah, antara instansi pemerintah dengan masyarakat. Masyarakat disini berperan sebagai mitra pemerintah dalam proses pembangunan. Aspek kelautan merupakan hal yang relatif baru berkembang, sehingga untuk pembangunannya diperlukan penanganan yang lintas sektoral13 Aspek peran serta masyarakat memiliki peranan yang sangat besar dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam wilayah pesisir. Peran serta masyarakat secara formal telah diakui hanya saja mekanismenya belum jelas seperti acara dengar pendapat untuk membahas masalah ganti rugi. Oleh Rokhmin Dahuri14 melihat peran masyarakat dalam bentuk 1) peran serta sebagai kebijakan; 2) peran serta sebagai strategi; 3) peran serta sebagai komunikasi; 4) peran serta sebagai terapi sosial. Dari segi urgensi/pentingnya suatu peran serta masyarakat dapat dilihat sebagai berikut: a). Memberi informasi masyarakat kepada pemerintah; b) meningkatkan kesediaan
Koesnadi Hardjasumantri, Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2004, hal. 93 13 Julianti.,. Aspek Hukum Penggunaan Bom dan Bius Ikan di Taman Nasional Takabonerate. Jurnal Ilmiah Hukum Clavia, Volume II, Universitas 45 Makassar, 2005, hal.1. 14 Rokhmin Dahuri, Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir dan Lautan. Gadjah mada University Press, Yogyakarta, 2004, hal.192. 12
128
Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.
masyarakat untuk menerima keputusan; c) membantu perlindungan hukum; d) mendemokratisasikan pengambilan keputusan. Menurut Mochtar Kusuma Atmadja15 bahwa sejalan dengan adanya ancaman terhadap pelestarian lingkungan laut maka perlu dilakukan usaha perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, sebab ini berkaitan dengan pihak atau kepentingan yang mendapat manfaat dengan adanya lingkungan laut yang lestari, yaitu 1) pemukiman penduduk dan kesehatan umum; 2) kepentingan rekreasi dan wisata; 3) kepentingan perikanan dan kekayaan hayati lainnya. Dalam hal pengelolaan sektor kelautan dan perikanan terutama dengan kehadiran Dinas Kelautan dan Perikanan di Era Otonomi Daerah menurut Irwandi Idris16 bahwa harus dilihat bagaimana masing-masing pihak baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memainkan peran dan fungsinya masing-masing sesuai dengan kewenangan yang dimiliki serta tatap memberikan kepastian bahwa pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir itu tetap akan memenuhi rasa keadilan masyarakat dan memihak pada kelestarian lingkungan. Jadi kehadiran Dinas Kelautan dan Perikanan membawa visi pembangunan sumber daya pesisir dan laut adalah wilayah pesisir dan laut beserta segenap sumber daya alam dan jasa lingkungan yang terkandung di dalamnya, merupakan sumber penghidupan dan sumber pembangunan yang harus dimanfaatkan secara berkelanjutan, guna meningkatkan kemakmuran rakyat menuju terwujudnya bangsa Indonesia yang sejahtera, maju dan mandiri. Menurut Sudirman Saad17 bahwa sering kali dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir tidak memperhatikan kepentingan masyarakat di wilayah pesisir, bahkan mata pencaharian yang salam ini menjadi tulang punggung kehidupan mereka terabaikan dan tidak tergantikan oleh pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir yang dibangun, masyarakat lebih sering tergusur daripada diikutsertakan dalam proses pembangunan. Bahkan menurut Aidah Husain,18 bahwa masyarakat terutama masyarakat adat yang masih memegang teguh nilai-nilai dasar lokal pengelolaan sumber Mochtar Kusuma Atmadja, Perlindungan dan Pencemaran Lingkungan Laut di Lihat daei sudut Hukum Internasional, Regional dan Nasional. Sinar Grafika, Bandung, 2003, hal. 90. 16 Irwansi Idris, Ko-Manajemen Perikanan Pantai Masyarakat Adat dan Pemerintahan di Indonesia. Makalah pada Konvensi Nasional Pembangunan Benua Maritim Indonesia Dalam Rangka Mengaktualisasikan Wawasan Nusantara. Dewan Pertahanan Nasional, Jakarta, 2002, hal. 39. 17 Sudirman Saad, Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Laut. Prosiding Lokakarya Regional Pulau Sulawesi. Makassar 12-14 Maret 2001, hal. 293. 18 Aidah Husain, Studi Optimalisasi Zonasi Taman Nasional Laut Takabonerate. Makalah Seminar Kelautan, Unhas, Makassar, 2006, hal.444. 15
129
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
daya pesisir dan laut sering kali tidak terwakili aspirasinya dalam proses pembangunan atau mendapatkan keuntungan dari proses itu, padahal mereka memiliki hak untuk melindungi diri dan budayanya serta menolak perubahan yang berdampak negatif bagi diri dan lingkungannya. Dengan demikian, dalam pengelolaan kawasan pesisir, seluruh aspek sumber daya yang ada di dalamnya harus dapat secara sinergis dimanfaatkan secara optimal untuk berbagai tujuan pemanfaatan yang multiguna. Dalam dekade terakhir pengelolaan kawasan pesisir menjadi perhatian penting sebagai salah satu sumber daya untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Pendekatan yang harus dilakukan adalah antara lain pendekatan ekosistem dan ekonomis serta kelembagaan yang dimaksudkan agar kegiatan pemanfaatan dan penggunaan kawasan pesisir dapat dilaksanakan secara lestari dan berkesinambungan antar generasi.
5. Konsep Peranan Pemerintah Daerah Secara filosofis, landasan yang mendasari implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah otonomi dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah. Melalui kewenangan ini diharapkan akan tumbuh prakarsa atau inisiatif dan kreatifitas daerah untuk mendayagunakan potensi setempat, dan menjadi semakin responsif terhadap permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Dengan kata lain, melalui implementasi otonomi daerah ini, pemerintah daerah diharapkan akan semakin mampu bekerja secara efektif dan efisien dalam melayani dan merespons segala tuntutan masyarakat, dan dalam menyelesaikan permasalahan yang ada19. Menurut Thoha20 “Dalam bahasa organisasi peranan diperoleh dari uraian jabatan. Uraian jabatan itu merupakan dokumen tertulis yang memuat persyaratan-persyaratan dan tanggung jawab atas suatu pekerjaan“. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa hak dan kewajiban dalam suatu organisasi diwujudkan dalam bentuk uraian jabatan atau uraian tugas. Oleh karena itu, maka dalam menjalankan peranannya seseorang/lembaga, uraian tugas/ uraian jabatan merupakan pedomannya. Pemerintah merupakan satu badan penyelenggaraan atas nama rakyat untuk mencapai tujuan negara, sedangkan proses kegiatannya disebut Prof. Drs. Budi Winarno, MA, PhD, Kebijakan Publik (Teori, Proses, dan Studi Kasus), 2002, hal: 367 20 Thoha, Miftah, Pembinaan Organisasi; Proses Diagnosa dan Intervensi, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1997, hal :80. 19
130
Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.
pemerintahan dan besar kecilnya kekuasaan pemerintah berasal dari rakyat, dengan demikian pemerintah dalam menjalankan proses kegiatan Negara harus berdasarkan kemauan rakyat, karena rakyatlah yang menjadi jiwa bagi kehidupan dan proses berjalannya suatu negara. Menurut Taliziduhu Ndraha21, pemerintah adalah: Organ yang berwenang memproses pelayanan publik dan berkewajiban memproses pelayanan civil bagi setiap orang melalui hubungan pemerintahan, sehingga setiap anggota masyarakat yang bersangkutan menerimanya pada saat yang diperlukan sesuai dengan tuntutan (harapan) yang di perintah. Dalam hubungan itu sah (legal) dalam wilayah Indonesia, berhak menerima layanan civil tertentu dan pemerintah wajib melayaninya. Sedangkan Pemerintah daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004, adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan RI sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1994.22 Maka dari itu, peran Pemerintah Daerah sebagai lembaga organisasi pemerintah merupakan fungsi dalam menunjang program pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut juga pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor, dan untuk melaksanakan peranannya tersebut, pemerintah daerah harus melaksanakan fungsinya yang merupakan tugas atau pekerjaan yang harus dilaksanakan. Kesejahteraan masyarakat haruslah diwujudkan oleh Pemerintah Daerah dengan jalan mengelola segala potensi yang dimiliki, melalui sebuah manajemen dan penerapan konsep pengembangan yang strategis, salah satunya adalah dalam bidang kepariwisataan, sehingga kesenjangan ekonomi yang selama ini terjaadi di masyarakat dapat teratasi. Peran pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam merupakan konsekuensi dari tugas negara untuk menguasai sumber daya alam untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Dalam menjalankan perannya, pemerintah berkewajiban mewujudkan, menumbuhkan, engembangkan, serta meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dan masyarakat dalam pengelolaan kawasan pesisir dan laut. Hal itu dapat dilakukan dengan mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Beberapa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan upaya pengendalian pencemaran dan perusakan kawasan pesisir dan laut meliputi Taliziduhu Ndraha, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Jilid 1, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2003, hal : 6 22 UU No.32 tahun 2004 ttg Pemerintahan Daerah, Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1, point 2. 21
131
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri hingga peraturan daerah, dan keputusan gubernur/bupati/walikota telah banyak disiapkan bersamaan dengan perangkat pendukungnya. Melalui Otonomi daerah ini, Pemerintah Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor, haruslah sedapat mungkin mengoptimalisasi segala pengelolaan wilayah pesisir, yang sampai saat ini belum dikelola secara efektif dan efisien.
132
BAB III PROFIL WILAYAH PENELITIAN
1. Kabupaten Wakatobi Wakatobi adalah nama yang diambil dari kependekan pulau terbesar yakni Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko yang terletak di sebelah tenggara Sulawesi. Dahulu, orang menyebutnya di Kepulauan Tukang Besi. Kawasan seluas 1,39 juta hektare itulah yang kemudian dijadikan taman nasional laut pada tahun 1996. Luas kawasan itu pula yang menjadi disahkan sebagai Kabupaten Wakatobi pada tahun 2004. Wakatobi, sebuah kabupaten kepulauan di Sulawesi Tenggara, mencoba menangkap sinyal yang menempatkan laut sebagai harapan untuk masa depan kehidupan. Kepulauan Wakatobi memiliki 25 gugusan terumbu karang. Terumbu karang tersebar di antara 37 pulau yang ada. Di kepulauan ini, baru enam pulau saja yang dihuni. Sementara hanya 11 pulau yang memiliki nama. Sisanya, 31 pulau masih tak bernama dan belum dikelola. Para wisatawan yang datang, umumnya melakukan kegiatan selam, snorkeling, berenang, berkemah dan wisata budaya. Keindahan alam Wakatobi memang berasal dari kekayaan sumber daya alamnya. Menurut Hugua, Bupati Wakatobi menyatakan bahwa : “Wakatobi memiliki 90 persen dari sekitar 850 jenis terumbu karang dunia dengan 914 spesies ikannya, kekayaan laut inilah yang ingin dijadikan pusat keunggulan Wakatobi.”23 Sebagai wilayah yang terletak di jantung segitiga karang dunia, meliputi enam negara: Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Niugini, Kepulauan Salomon, dan Timor Leste, Wakatobi memang dikaruniai keragaman jenis biota laut yang tak ternilai. Berangkat dengan visi besar yang terkesan ambisius, ”terwujudnya surga nyata bawah laut di jantung segitiga karang dunia”, Wakatobi pun menempatkan sektor perikanan, kelautan, dan pariwisata sebagai fokus pembangunan mereka24. Untuk itu, sejumlah langkah berikut penyediaan sarana dan prasarana penopang mulai dibenahi, Hasil Wawancara dengan Hugua, Bupati Kabupaten Wakatobi, pada 2 Juli 2012 Hasil Wawancara dengan Abdul Halim, The Nature Concervancy (TNC) Jakarta pada tanggal
23 24
133
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
termasuk pembangunan bandar udara sebagai pintu gerbang masuk calon wisatawan. Agar kekayaan alam yang dimiliki Wakatobi tetap lestari dan berkelanjutan, kepulauan Wakatobi ditunjuk sebagai Taman Nasional dengan luas 1.39 juta ha, berdasarkan Keputusan Menhut No. 393/Kpts-VI/1996 dan Keputusan Menhut No. 7651/Kpts-II/2002. Tujuannya adalah untuk melestarikan sumber daya hayati dan ekosistemnya, guna memenuhi fungsinya sebagai daerah perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis flora dan fauna, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Terbentuknya Kabupaten Wakatobi ini diharapkan kualitas dan kuantitas pembangunan dan pelayanan pada masyarakat akan semakin baik sebagai akibat dari semakin pendeknya rentang kendali antara pemerintah Kabupaten dengan masyarakat. Wakatobi sebagai daerah otonom yang baru diperhadapkan pada berbagai peluang dan tantangan dalam upaya memanfaatkan dan memaksimalkan berbagai potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimilikinya untuk kemakmuran masyarakat. 2. Kabupaten Alor Kabupaten Alor sebagai salah satu dari 16 Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah wilayah kepulauan dengan 15 pulau yaitu 9 pulau yang telah dihuni dan 6 pulau lainnya belum atau tidak berpenghuni. Luas wilayah daratan 2.864,64 km², luas wilayah perairan 10.773,62 km² dan panjang garis pantai 287,1 km251. Secara geografis daerah ini terletak di bagian utara dan paling timur dari wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur pada 8º6’LS - 8º36’ LS dan 123º48’ BT - 125º48’ BT. Batas alam Kabupaten Alor disebelah utara dengan Laut Flores, sebelah selatan dengan Selat Ombay, sebelah timur dengan Selat Wetar dan perairan Republik Demokratik Timor Leste dan sebelah barat dengan Selat Alor (Kabupaten Lembata)26. Perairan laut Alor cukup kaya dengan keanekaragaman biota laut, karena fungsi natural bawah laut masih tersinyalir alamiah dan menjadi obyek wisata bahari dengan 26 titik diving (Selat Pantar), yang digemari wisatawan mancanegara. Disamping itu, potensi lestari sumber daya perikanan Kabupaten Alor diperkirakan 164.604 ton per tahun dengan jumlah tangkapan yang
Pokok-pokok Kebijakan dan Strategi Pembangunan Daerah dalam rangka percepatan dan emantapan pelaksanaan pembangunan daerah tertinggal Kabupaten Alor tahun 2005-2009 Provinsi Nusa Tenggara Timur (Materi Expose Bupati Alor pada Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Departemen/Lembaga terkait lainnya di Jakarta pada tanggal, 31 Mei 2005). Pemerintah Kabupaten Alor, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 2005. hal 1 26 Ibid, hal 1. 25
134
Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.
diperbolehkan sebanyak 131.683,44 to per tahun. Total produksi perikanan di Kabupaten Alor baru mencapai 19.701 ton (14,96%) dari jumlah potensi penangkapan masih sangat besar yakni 111.982 ton per tahun (85,04%).27 Selain itu, arus laut berpotensi untuk pengembangan energy listrik tenaga arus. Perairan Lau Alor (Selat Ombay) juga tersimpan sumber daya tambang migas. Hasil investigasi Dinas Pertambangan Provinsi Nusa Tenggara Timur (tahun 2003), menemukan adanya dua titik rembesan minyak bumi, yakni di Sifala-Kecamatan Alor Barat Daya dan Beang-Kecamatan Pantar Barat. Adanya juga Galian C berupa Batu Hitam (Batu Alor) yang sudah dieksploitasi sebagai salah satu komoditi ekspor di Kabupaten Alor.
Liputan Humas Alor, http://humasalorblogspot.blogspot.com/2010/12/gambaranumum-kabupaten-alor.html, diakses pada tanggal 25 Agustus 2012
27
135
BAB IV PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
Peran pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam merupakan konsekuensi dari tugas negara untuk menguasai sumber daya alam untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Dalam menjalankan perannya, pemerintah berkewajiban mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, serta meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dan masyarakat dalam pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal itu dapat dilakukan dengan mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Beberapa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan upaya pengendalian pencemaran dan perusakan kawasan pesisir dan laut meliputi undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri hingga peraturan daerah, dan keputusan gubernur/bupati/walikota telah banyak disiapkan bersamaan dengan perangkat pendukungnya. Peranan pemerintah daerah sangat diperlukan dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya alam terutama dalam rangka perlindungan dari bencana ekologis. Sejalan dengan otonomi daerah, kontrol masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan hal yang penting. Dengan demikian hak dan kewajiban masyarakat untuk memanfaatkan dan memelihara keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan harus dapat dioptimalkan. Secara alamiah potensi wilayah pesisir di daerah khususnya di Wakatobi dan Alor, dimanfaatkan langsung oleh masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan tersebut yang pada umumnya terdiri dari nelayan. Nelayan di pesisir memanfaatkan kekayaan laut mulai dari ikan, rumput laut, terumbu karang dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada umumnya potensi wilayah pesisir dan kelautan yang di manfaatkan oleh nelayan terbatas pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Pemanfaatan potensi daerah wilayah pesisir secara besar-besaran untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomis dalam rangka peningkatan 137
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
pertumbuhan perekonomian rakyat belum banyak dilakukan. Pemanfaatan wilayah pesisir untuk usaha ekonomi dalam skala besar baru dilakukan pada sebagian Kabupaten dan Kota yang berada di daerah pesisir. Pada umumnya usaha ekonomi pemanfaatan daerah pesisir ini bergerak disektor pariwisata. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah berupaya untuk memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Disamping itu Pemerintah Daerah juga memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan pertumbuhan dan perekonomian masyarakat di daerah. Mengingat kewenangan daerah untuk melakukan pengelolaan bidang kelautan yang termasuk juga daerah wilayah pesisir masih merupakan kewenangan baru bagi daerah maka pemanfaatan potensi daerah wilayah pesisir ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten atau kota yang berada di pesisir. Jadi belum semua Kabupaten dan Kota yang memanfaatkan potensi daerah pesisir, pada umumnya usaha ekonomi pemanfaatan daerah pesisir ini bergerak di sektor pariwisata. Sejalan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah berupaya untuk memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di Kabupaten Wakatobi, untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bupati dan Pemerintah Daerah setempat mangadakan peningkatan pada sektor pariwisata seperti Sail Wakatobi, Pernikahan bawah laut, diving di keindahan alam bawah laut Wakatobi. 28 Sedangkan di Kabupaten Alor, untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bupati dan Pemerintah Daerah setempat mangadakan peningkatan pada sektor pariwisata seperti Wisata Taman Laut, Perkampungan Tradisional, Keajaiban Alam, Taman Wisata Perburuan, Penangkaran/Budi Daya Rusa, Hutan Kenari Alam, Hutan Wisata Nostalgia, Museum Daerah, serta Panorama Alam Pegunungan dan Pantai.29 Peran pemerintah yang direpresentasikan melalui pemerintah daerah dalam menggali potensi sumber daya alam untuk sebanyak-banyaknya dilakukan demi kemakmuran masyarakat. Peran tersebut tersurat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Implementasi dari ketentuan pengaturan kawasan pesisir dan laut Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor telah di lakukan dengan aturan pola pemanfaatan ruang (zoning regulation) dalam rangka menjabarkan rencana detail tata ruang Hasil Wawancara dengan Hugua, Bupati Kabupaten Wakatobi dan Kepala Dinas Pariwisata Wakatobi, pada 2 Juli 2012 29 http://alorkab.go.id/newalor/index.php?option=com_content&task=view&id=52&Itemid =61 28
138
Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.
(RDTR). Selanjutnya rencana operasional pemanfaatan ruang dapat dijadikan acuan dalam setiap kegiatan pembangunan di kawasan tersebut. Pedoman tersebut dapat digunakan untuk mengoordinasikan, mengintegrasikan, dan melaksanakan program pemanfaatan ruang yang dilaksanakan oleh pemerintah, industri/swasta, dan masyarakat secara operasional. Dengan kebijakan zonasi yang jelas, mekanisme pemanfaatan ruang yang terkait pemberian perizinan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang memiliki kepastian bagi masyarakat, pemerintah, dan sektor industri/swasta. Peran pemerintah dalam menunjang aspek pengendalian pencemaran lingkungan hidup di kawasan pesisir Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor dapat lebih terarah dengan adanya kebijakan zonasi kawasan karena pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang lebih terukur seperti dalam prosedur perizinan dan pengawasan serta penindakan hukum. Apabila dalam penerapan kebijakan peraturan perundangan, aspek penegakan hukum yang dilaksanakan secara konsisten, degradasi lingkungan hidup akan dapat dikurangi sampai batas yang dapat diterima oleh daya dukung lingkungan. Peran pemerintah dalam mengatur pemanfaatan zonasi kawasan sangat menentukan perkembangan kawasan tersebut. Kepatuhan terhadap kebijakan tata ruang wilayah dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam dapat dijadikan ukuran terhadap komitmen pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Peta zonasi pemanfaatan kawasan dapat memudahkan peran pemerintah dalam pengendalian pemanfaatan ruang kawasan. Pemanfaatan kawasan sesuai dengan kesepakatan zonasi tersebut akan memberikan implikasi positif terhadap aspek pengendalian pencemaran lingkungan hidup. Hal ini disebabkan penetapan zonasi tersebut telah disepakati oleh para pihak terkait dalam upaya mengidentifikasi penggunaanpenggunaan yang diperbolehkan atas kepemilikan lahan dan peraturanperaturan yang berlaku atasnya. Dalam melaksanakan perannya, pemerintah memiliki kewenangan dalam pengaturan kebijakan pemanfaatan potensi sumber daya yang tersedia yang pada umumnya dikelola oleh kelompok industri atau bisnis. Pendapatan hasil pemanfaatan potensi sumber daya digunakan kembali untuk sebanyak-banyaknya dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat pesisir/nelayan yang pada umumnya berada dalam kondisi yang marginal.
139
BAB V IMPLIKASI OTONOMI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR
Pada masa pemerintahan orde baru, eksploitasi sumberdaya alam (termasuk sumberdaya pesisir dan laut) lebih banyak memberikan manfaat terhadap Pemerintah Pusat dibandingkan Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat yang merupakan pemilik sumberdaya. Dengan dalih kepentingan nasional, sumberdaya alam yang ada di daerah dieksploitasi tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan, dan bahkan menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan masyarakat yang ada di daerah bersangkutan. Oleh karena itu, wajar apabila muncul tuntutan dari berbagai daerah untuk memperoleh kewenangan yang lebih luas dalam mengelola sumberdaya mereka termasuk sumberdaya kelautan. Seiring dengan napas reformasi, pemerintah membuat undang-undang pemerintahan daerah (UUPD) No. 32 tahun 2004 yang memberikan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab, yang diwujudkan dengan pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional serta adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan pemerataan. Pengaturan mendasar yang dibuat dan untuk pertama kalinya dimuat dalam peraturan perudang-undangan di Indonesia yang termuat dalam UUPD ini adalah mengenai otonomi daerah dalam pengelolaan sumberdaya kelautan, yang mencakup kewenangan sampai dengan 12 mil laut dari garis pantai pasang surut terendah untuk perairan dangkal, dan 12 mil laut dari garis pangkal ke laut lepas untuk Daerah Propinsi dan sepertiga dari batas propinsi untuk Daerah Kabupaten. Kewenangan Daerah terhadap sumberdaya kelautan meliputi kewenangan dalam: (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; (b) pengaturan kepentingan administratif; (c) pengaturan tata ruang; (d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; dan (c) bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara khususnya di laut. Jika selama ini terdapat kesan bahwa Pemerintah Daerah tidak peduli terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan termasuk pesisir secara 141
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
berkelanjutan sangatlah wajar mengingat manfaat terbesar dari sumberdaya tersebut tidak mereka nikmati, melainkan dinikmati oleh Pemerintah Pusat. Namun dengan adanya pemberian wewenang kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya kelautan yang berada dalam batas-batas yang telah ditetapkan, maka manfaat terbesar dari sumberdaya kelautan akan diperoleh Pemerintah Daerah dan masyarakat. Berdasarkan otonomi daerah ini, Pemerintah Daerah sudah memiliki landasan yang kuat untuk mengimplementasikan pembangunan pesisir secara terpadu mulai dari aspek perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dalam upaya menerapkan pembangunan kelautan secara berkelanjutan. Pembangunan kelautan berkelanjutan pada dasarnya adalah pembangunan untuk mencapai keseimbangan antara manfaat dan kelestariannya sumberdaya kelautan. Artinya, bahwa sumberdaya kelautan dapat dieksploitasi untuk kemaslahatan manusia namun tidak menjadikan lingkungan termasuk sumberdaya itu sendiri menjadi rusak. Salah satu permasalahan yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan di daerah selama ini adalah adanya konflik-konflik pemanfaatan dan kekuasaan. Upaya penanganan masalah tersebut diharapkan dapat dilakukan secara reaktif dan pro-aktif. Secara reaktif, artinya Pemerintah Daerah dapat melakukan resolusi konflik, mediasi atau musyawarah dalam menangani masalah tersebut. Upaya proaktif adalah upaya penanganan konflik pengelolaan sumberdaya kelautan secara aktif dan dilakukan untuk mengantisipasi atau mengurangi potensi-potensi konflik pada masa yang akan datang. Penanganan seperti ini dilakukan melalui penataan kembali kelembagaan Pemerintah Daerah, baik dalam bentuk konsep perencanaan, peraturan perundang-undangan, sumberdaya manusia, sistem administrasi pembangunan yang mengacu pada rencana pengelolaan sumberdaya kelautan secara terpadu. Adapun dalam permasalahan penataan ruang di wilayah pesisir Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor, peran serta Masyarakat dan pelaku pembangunan penataan ruang dapat dilihat sebagai kebijakan publik yang mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam pemanfaatan ruang laut pesisir dan pulaupulau kecil, sehingga di dalam proses perencanaan tata ruang yang demokratis dan akomodatif terhadap semua kepentingan pelaku pembangunan. Penataan ruang merupakan sebuah pendekatan dalam pengembangan wilayah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup. Dalam mencapai tujuan tersebut, dilakukan upaya pengelolaan kawasan melalui pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat 142
pada kawasan-kawasan budidaya dan pelestarian kawasan-kawasan lindung, termasuk yang terdapat di ruang lautan dan kawasan pesisir.30 Pemerintah Daerah di Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor, telah dilakukan penyusunan tata ruang pesisir, laut dan pulau-pulau kecil pada skala regional, provinsi, kabupaten/kota dan kawasan, serta penyusunan rencana detail lokasi kawasan unggulan.31 Pengalaman-pengalaman masa lalu banyak menunjukkan bahwa perencanaan yang prosedural, normatif dan kurang mengakomodasikan kepentingan para pelaku pembangunan yang ada di dalam proses penyusunannya, menjadi kurang dapat diimplentasikan karena menghadapi berbagai kendala dilapangan. Rencana-rencana seperti itu selain kurang aspiratif juga cenderung tidak diakui, tidak diterima dan tidak ditaati didalam pelaksanaannya.32 Dengan demikian kompensasi masyarakat selama ini dimungkinkan tidak mengetahui ataupun diberi hak untuk menegosiasikan penyelesaian konflik, ataupun aspek kompensasi terhadap konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat diberlakukannya rencana tata ruang pada suatu kawasan, baik terhadap timbulnya dampak lingkungan fisik ataupun sosialekonomi. Manfaat langsung lainnya dari otonomi daerah adalah Pemerintah Daerah memiliki sumber pendapatan dan pendanaan yang berasal dari (a) sharing Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan di wilayah pesisir, (b) biaya-biaya dari proses perijinan dan usaha, pajak pendapatan dan pajak lainnya, retribusi daerah, dan (c) pendapatan tidak langsung akibat pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian pembangunan kawasan pantai (desa-desa), pelabuhan, kawasan industri dan lain-lain dapat dibiayai oleh Pemerintah Daerah. Apabila sumber pendapatan dari pemanfaatan sumberdaya pesisir dan kelautan belum sepenuhnya tergali dengan baik, daerah dapat membiayai pembangunan pesisir melalui dana APBD. Penggunaan dana APBD dapat digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan dan pengembangan masyarakat pantai/nelayan, pemantauan dan pengawasan pemanfaatan sumberdaya kelautan, penelitian kelautan, pengumpulan dan analisis data kelautan, serta perencanaan pembangunan kelautan. Tinjauan Aspek Penata Ruang Dalam Pengelolaan Wilayah Laut dan Pesisir, Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, disampaikan dalam Seminar Umum Dies Natalies ITS ke-43 di Surabaya, 8 Oktober 2003 31 Hasil wawancara dengan Bapedda Kabupaten Wakatobi, pada tanggal 4 Juli 2012 dan Hasil Wawancara dengan Bapedda Provinsi NTT, pada tanggal 27 Juli 2012 32 Hasil wawancara dengan Bapedda Kabupaten Wakatobi, pada tanggal 4 Juli 2012 30
143
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
Selain itu, pembiayaan pembangunan pesisir dapat juga diupayakan dari sumber APBN (subsidi pemerintah) maupun bantuan luar negeri yang umumnya dalam bentuk-bentuk proyek kelautan yang dimaksudkan untuk pengembangan sumberdaya pesisir. Dengan Undang-undang otonomi daerah ini diharapkan proyek-proyek pesisir dan kelautan sudah dapat didesentralisasikan ke daerah yang nantinya menjadi sumber pembiayaan pembangunan pesisir dan kelautan di daerah.
144
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah berupaya untuk memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Disamping itu Pemerintah Daerah juga memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan pertumbuhan dan perekonomian masyarakat di daerah. Mengingat kewenangan daerah untuk melakukan pengelolaan bidang kelautan yang termasuk juga daerah wilayah pesisir masih merupakan kewenangan baru bagi daerah maka pemanfaatan potensi daerah wilayah pesisir ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten atau kota yang berada di pesisi. Peran pemerintah yang direpresentasikan melalui pemerintah daerah dalam menggali potensi sumber daya alam untuk sebanyak-banyaknya dilakukan demi kemakmuran masyarakat. Peran tersebut tersurat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Implementasi dari ketentuan pengaturan kawasan pesisir dan laut Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor telah di lakukan dengan aturan pola pemanfaatan ruang (zoning regulation) dalam rangka menjabarkan rencana detail tata ruang (RDTR). Selain itu, Peran pemerintah dalam mengatur pemanfaatan zonasi kawasan sangat menentukan perkembangan kawasan tersebut. Kepatuhan terhadap kebijakan tata ruang wilayah dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam dapat dijadikan ukuran terhadap komitmen pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Peta zonasi pemanfaatan kawasan dapat memudahkan peran pemerintah dalam pengendalian pemanfaatan ruang kawasan. Berdasarkan otonomi daerah, Pemerintah Daerah sudah memiliki landasan yang kuat untuk mengimplementasikan pembangunan pesisir secara terpadu mulai dari aspek perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dalam upaya menerapkan pembangunan 145
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
kelautan secara berkelanjutan. Pembangunan kelautan berkelanjutan pada dasarnya adalah pembangunan untuk mencapai keseimbangan antara manfaat dan kelestariannya sumberdaya kelautan. Dengan demikian manfaat langsung dari otonomi daerah adalah Pemerintah Daerah memiliki sumber pendapatan dan pendanaan yang berasal dari (a) sharing Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan di wilayah pesisir, (b) biaya-biaya dari proses perijinan dan usaha, pajak pendapatan dan pajak lainnya, retribusi daerah, dan (c) pendapatan tidak langsung akibat pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian pembangunan kawasan pantai (desa-desa), pelabuhan, kawasan industri dan lain-lain dapat dibiayai oleh Pemerintah Daerah.
B. Saran Otonomi daerah sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, merupakan landasan yang kuat untuk mencapai pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan secara berkelanjutan. Agar otonomi daerah memberikan dampak positif terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, maka perlu adanya keinginan dan komitmen serta adanya kerjasama antara Pemerintah Daerah bersama masyarakat dan kait pihak-pihak untuk mengelola sumberdaya pesisir dan kelautan yang berada dalam wilayah kewenangannya secara berkelanjutan.
146
BIBLIOGRAFI
Buku Lexy J Moleong, 2004, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung, Penerbit Remadja Rosdakarya.
Jam’an Satori dan Aan Komariah, 2009, Metodologi Penelitian Kualitatif, Penerbit Alfabeta, Bandung. Sugiyono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif, Penerbit CV Alfabeta, Bandung.
Emmy Hafid, Potret Kelautan di Masa Kin. Artikel ilmiah Majalah Tanah Air Walhi Nomor 3 Tahun XXI, Jakarta, 2006. Monoarva, 1999, Karakter Studi dan Budaya dalam Pengembangan Perikanan Berskala Kecil. UI Press, Jakarta.
Lazarus Tri Setyawanto, Masalah-Masalah Hukum di Wilayah Pesisir dan Laut, (Semarang: Syclosundip, 2005) hal. 84.
Rokhmin Dahuri, Jacub Rais, Sapta Putra Ginting, M.J Sitepu, 1996, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Jakarta, Pradnya Paramita Koesnadi Hardjasumantri, 2004, Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Julianti, 2005, Aspek Hukum Penggunaan Bom dan Bius Ikan di Taman Nasional Takabonerate. Jurnal Ilmiah Hukum Clavia, Volume II, Universitas 45 Makassar. Rokhmin Dahuri, 2004, Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir dan Lautan. Gadjah mada University Press, Yogyakarta.
Mochtar Kusuma Atmadja, Perlindungan dan Pencemaran Lingkungan Laut di Lihat daei sudut Hukum Internasional, Regional dan Nasional. 2003, Sinar Grafika, Bandung. 147
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
Aidah Husain, 2006, Studi Optimalisasi Zonasi Taman Nasional Laut Takabonerate. Makalah Seminar Kelautan, Unhas, Makassar. Prof. Drs. Budi Winarno, MA, PhD, 2002, Kebijakan Publik (Teori, Proses, dan Studi Kasus), Media Presindo, Yogyakarta
Miftah Thoha, 1997, Pembinaan Organisasi; Proses Diagnosa dan Intervensi, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada.
Taliziduhu Ndraha, 2003, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Jilid 1, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Laporan Pokok-pokok Kebijakan dan Strategi Pembangunan Daerah dalam rangka percepatan dan pemantapan pelaksanaan pembangunan daerah tertinggal Kabupaten Alor tahun 2005-2009 Provinsi Nusa Tenggara Timur (Materi Expose Bupati Alor pada Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Departemen/Lembaga terkait lainnya di Jakarta pada tanggal, 31 Mei 2005). Pemerintah Kabupaten Alor, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 2005. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi. 2011. Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II (Coremap II) Kabupaten Wakatobi 2011. Wangi-Wangi. Kabupaten Wakatobi. Provinsi Sulawesi Tenggara. Tinjauan Aspek Penata Ruang Dalam Pengelolaan Wilayah Laut dan Pesisir, Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, disampaikan dalam Seminar Umum Dies Natalies ITS ke-43 di Surabaya, 8 Oktober 2003. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan tahun 2001, Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir Bahan Tertulis dari Bappeda Wakatobi dan Alor Tahun 2012.
Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan tahun 2001, Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir, hal. I-5. Irwansi Idris, Ko-Manajemen Perikanan Pantai Masyarakat Adat dan Pemerintahan di Indonesia. Makalah pada Konvensi Nasional Pembangunan Benua Maritim Indonesia Dalam Rangka Mengaktualisasikan Wawasan Nusantara. Dewan Pertahanan Nasional, Jakarta, 2002, hal. 39. 148
Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.
Sudirman Saad, 2001, Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Laut. Prosiding Lokakarya Regional Pulau Sulawesi. Makassar 12-14 Maret 2001. Internet Adi Wiyana, 2004, Faktor Berpengaruh Terhadap Keberlanjutan Pengelolaan Pesisir Terpadu (P2T), http://tumoutou.net/702_07134/adi_wiyana. htm, di akses pada tanggal 25 Agustus 2012.
Direktur Penataan Ruang Nasional Ditjen Penataan Ruang. Perenanaan Batas Wilayah Laut dan Darat Dalam Konteks Otononomi Daerah. http:// www.penataanruang.net/taru/Makalah/DirPRN_RatuPlaza 090501_ Bataslaut.ppt, di akses pada tanggal 25 Agustus 2012 Website Resmi Kabupaten Alor http://alorkab.go.id/newalor/index. php?option=com_content&task=view&id=52&Itemid=61, di akses pada tanggal 25 Agustus 2012
Liputan Humas Alor, http://humasalorblogspot.blogspot.com/2010/12/ gambaran-umum-kabupaten-alor.html, diakses pada tanggal 25 Agustus 2012 Undang-Undang UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah UU No. 27 Tahun 2007
Wawancara 1. Wawancara dengan Hugua, Bupati Kabupaten Wakatobi, pada 2 Juli 2012. 2. Wawancara dengan Abdul Halim, The Nature Concervancy (TNC) Jakarta pada tanggal 8 Juni 2012.
3. Wawancara dengan Bapedda Kabupaten Wakatobi, pada tanggal 4 Juli 2012. 4. Wawancara dengan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, 3 Juli 2012.
5. Wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor, 23 Juli 2012. 149
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
6. Wawancara dengan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Alor, 24 Juli 2012. 7. Wawancara dengan Bapedda Provinsi NTT, pada tanggal 27 Juli 2012.
8. Wawancara dengan WWF & TNC Kabupaten Wakatobi, pada tanggal 4 Juli 2012.
150
Bagian Kelima ANCAMAN KEAMANAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL: PERSPEKTIF TRADISIONAL DAN NON-TRADISIONAL* Dr. Phil. Poltak Partogi Nainggolan, M.A.**
*
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2012. Peneliti Utama di Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data dan Informasi (P3DI Setjen DPRRI).
**
BAB I PENDAHULUAN
I.
Permasalahan Sebagai sebuah negara kepulauan yang terdiri dari lebih dari 13 ribu pulau-pulau besar dan kecil yang sudah dikonfirmasikan dan daftarkan ke PBB, Indonesia memiliki cakupan wilayah pesisir yang begitu luas. Dengan lokasi yang begitu strategis di antara 2 benua dan samudera, dan memiliki garis pantai yang termasuk salah satu yang terpanjang di dunia, serta rangkaian pulau-pulau terluar yang berbatasan dengan banyak negara di kawasan, posisi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi sangat penting untuk menjamin eksistensi Indonesia dewasa ini dan di masa depan. Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA), flora dan fauna yang beragam menjadikan keberadaan wilayah dan pulua-pulau tersebut rawan dari ancaman keamanan yang bersifat tradisional dan non-tradisional, yang bersumber dari dalam maupun luar negeri. Belakangan ini, baik dalam rencana strategis pembangunan pendek, menengah, maupun panjang, pembangunan sektor kelautan, dan pulau-pulau kecil, pesisir dan terluar telah memperoleh perhatian besar dari pemerintah. Sayangnya, dalam alokasi APBN tahun yang berjalan, seperti juga 2012 ini, mengalami penurunan, atau tidak sebanding dengan sektor yang tidak dijadikan prioritas dalam berbagai renstra yang ada.1 Ini artinya, janji dan realisasi tidak sejalan, atau komitmen masih rendah, kebijakan pemerintah, seperti dalam berbagai kebijakan lainnya, baru bersifat pencitraan. Menurut Perpres 78/2005, Menko Polkam adalah Ketua Tim Kordinasi Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar, sedangkan Menteri Kelautan dan Perikanan adalah Wakil Kordinasi Harian, dengan 17 kementerian di bawah kordinasi mereka. Menurut data, terdapat 92 pulau-pulau kecil terluar, 31 berpenduduk dan 61 tidak berpenduduk. Untuk Pulau Nipah, yang luasnya sekitar 62 hektar, Presiden SBY telah memutuskan untuk mengamankan pulau
1
FGD dengan Direktur Kelautan dan Perikanan Bappenas, Sriyanti, dan Direktur Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Agus Dermawan di DPR, Jakarta, pada 6 Juni 2012.
153
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir
terluar yang berbatasan dengan Singapura itu dengan pembangunan 1 Yon marinir berkekuatan sekitar 90 orang.2 Pengamanan tersebut akan berguna juga untuk menjaga keamanan wilayah Indonesia, yakni pulau-pulau kecil dan pesisir di sekitar Selat Malaka dan Selat Singapura yang ramai dan rawan, selain dari ancaman klaim negara tetangga, juga dari kejahatan transnasional seperti pencurian dan penyelundupan. Satuan pengaman Pulau Nipah tersebut berasal dari Satuan Tugas Marinir Pengamanan Pulau-pulau Terluar Wilayah Barat, yang dibantu pasukan TNI AD.3 Harus diperhatikan, wilayah pesisir merupakan wilayah pemukiman utama penduduk, karena di kawasan inilah kota-kota utama dibangun. Dengan demikian, kawasan pesisir merupakan sumber tersedianya bahan makanan bagi penduduk, baik untuk makanan utama seperti padi, sayuran, dan biji-bijian, maupun dari pertanian dan industri skala kecil perikanan (sebanyak 4.512.191 ton), akuakultur (sebanyak 1.228.559 ton) dan lainlainnya. Berdasarkan data, terdapat 2.625.909 orang dan 2.284.208 orang yang mengandalkan hidup mereka masing-masing dari sektor perikanan dan akukultur.4 Sisanya hidup dari kegiatan pariwisata dan berbagai industri lainnya. Studi di salah satu kabupaten pesisir, yaitu Indramayu, mengungkapkan bahwa pada tahun 2011, terdapat 58-59% penduduknya berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah ini meningkat menjadi hampir 70% pada tahun 2003, atau hanya selang waktu 2 tahun. Sementara, dilihat dari latar belakang pendidikan, kondisi masyarakat pesisir turut memprihatinkan. Sekitar 79,5% dari mereka tidak tamat SD, sedangkan yang tamat SD hanya 19,6%. Kemudian, yang tamat SLTP hanya 1,9%, SLTA hanya 1,4% dan perguruan tinggi jauh lebih kecil angkanya, yakni 0,003%.5 Dapat dikatakan, kebanyakan dari mereka memiliki basis pengetahuan tradisional, yang diturunkan oleh generasi sebelum mereka. Karena itu, keterbelakangan dan kemiskinan adalah masalah utama yang dihadapi penduduk pulau-pulau kecil, pesisir, dan terluar Indonesia. Tidak adanya regulasi yang jelas untuk penangkapan SDA ikan telah membuat beberapa wilayah laut memiliki potensi ikan yang kain surut dan minim. Banyak tempat yang lemah regulasi dan pengawasan implementasinya oleh aparat di lapangan, dalam kondisi berlebihan dieksploitasi (overfishing), terutama oleh alat-lat tangkap besar dan modern. Belum tuntasnya masalah
2
5 3 4
Direktur Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Agus Dermawan di DPR, Jakarta, pada 6 Juni 2012. “SBY Kunjungi Nipah,” Kompas, 3 Juni 2012, hal. 2. Ibid. Ibid.
154
Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M. A.
perbatasan laut dengan negara tetangga, terutama Malaysia, dan penangkapan ikan secara ilegal oleh nelayan asing (illegal fishing) merupakan pula masalah yang membuat nelayan Indonesia, sebagai bagian dari penduduk pesisir, semakin terbatas peluang untuk melakukan kegiatan di laut.6 Begitu pula, dengan kian agresifnya aparat keamanan laut Australia melakukan penindakan atas wilayah laut yang selama ini biasa mereka lalui dan upayakan untuk mencari ikan dan SDA laut lainnya, misalnya tripang, membuat economic security penduduk pesisir semakin terancam oleh kondisi dan berbagai perubahan lingkungan sekitar mereka. Orientasi dan bentuk pengelolaan kawasan pesisir dan pulaupulau kecil akan memberikan dampak lebih lanjut pada kehidupan dan masa depan penduduknya. Pengelolaan yang padat modal dan semata bertumpu pada investor, kian membuat tidak nyaman dan menyuramkan kehidupan penduduk pesisir. Apalagi, jika pola investasi dan kerja sama dengan kalangan swasta, termasuk asing, tidak pro-lingkungan hidup dan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan pengelolanya (Corporate Social Responsibility –CSR).7 Sebelum dibatalkannya HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) dalam UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil oleh Mahkamah Konstitusi, UU tersebut menciptakan ancaman yang tinggi atas keamanan ekonomi masyarakat pesisir. Sebab, 4 hak konstitusional nelayan tidak dilindungi, yakni hak untuk melintas akses laut secara bebas, hak untuk memanfaatkan SDA laut, hak untuk mengelola SDA laut berdasarkan kearifan lokal dan tradisi bahari secara bergenerasi, serta hak mendapatkan lingkungan dan perairan tradisional yang bersih dan sehat.8 Hak terakhir yang terancam ini juga merupakan bentuk ancaman yang nyata terhadap keamanan lingkungan (environmental security) masyrakat pesisir. Kelangkaan infrastruktur dan minimnya pasokan listrik amat parah dihadapi pulau-pulau kecil di wilayah pesisir, bahkan di Kepulauan Morotai dan Kepulauan Raja Ampat, yang diandalkan untuk dikembangkan sebagai sumber devisa dari pariwisata karena potensi alam dan kekayaaan habitat lautnya. Sebagai solusi, PLN berusaha memanfaatkan potensi matahari dan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 600 kilowatt peak (kWp). Di Pulau Sebatik, PLN telah mengoperasikan PLTS berkapasitas 350 kWp, dan
6
7 8
Pada tahun 2009 ada 11 kasus pengakapan nelayan Indonesia oleh aparat Malaysia, dan sampai September 2010 sebanyak 9 kasus, dengan jumlah yang ditangkap sebanyak 100 orang. Lihat, Abdul Halim,”Mengelola Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Berdasarkan Konstitusi,” makalah presentasi dalam FGD di P3DI Setjen DPRRI pada 19 Maret 2012. Adhuri, 2012, loc.cit. Halim, 2012, loc.cit.
155
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir
100 kWp di Pulau Miangas, yang masing-masing merupakan pulau-pulau terdepan yang berbatasan dengan Malaysia dan Filipina.9 Dalam kasus lain, di Pulau Maratua, Berau, Kalimantan Timur, dilaporkan, rumah penduduk yang belum teraliri listrik mencapai 75%. Padahal, pulau ini termasuk salah satu pulau terluar Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, Malaysia.10 Perbedaan perkembangan yang mencolok dengan negara tetangga dikuatirkan berdampak pada merosotnya moralitas atau semangat integritas mereka dengan pemerintah pusat (NKRI). Listrik menjadi masalah yang juga perlu memperoleh prioritas bagi pengembangan pulau-pulau pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya di wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar. Diketahui, dewasa ini fasiitas dan suplai listrik di sana masih belum merata; ada daerah yang baru memiliki fasilitas dan pasokan 30%, dan ada yang sudah mencapai 60%. Pemerintah melalui Kementerian Daerah Tertinggal menargetkan pada tahun 2014, sebanyak 100% masyarakat di kawasan tersebut telah dapat menikmati listrik. Untuk itu, anggaran sebesar Rp. 400 miliar telah disiapkan pemerintah pusat.11 Selain masalah ini, tentu saja menjadi sangat penting diketahui, masalah-masalah lain apa saja yang dihadapi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, yang merupakan ancaman keamanan dewasa ini dan di masa depan, dilihat dari dua perspektif berlainan yang bersifat saling melengkapi, yakni tradisional dan non-tradisional. II. Pertanyaan Penelitian Dalam penelitian mengenai kondisi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil ini dikemukakan dua pertanyaan mendasar, yakni: 1. Bagaimana kondisi wilayah pesisisr dan pulau-pulau kecil dilihat dari perspektif ancaman keamanan tradisional yang dihadapinya dewasa ini dan di masa depan? Apa saja ancaman keamanan tradisional yang muncul di sana? 2. Bagaimana pula kondisi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilihat dari perspektif ancaman keamanan non-tradisional yang lebih kompleks? Apa juga jenis-jenis ancaman keamanan non-tradisional yang ada? 3. Bagaimana pemerintah pusat dan daerah harus merespon dan mempersiapkan kebijakan untuk menanganinya secara komprehensif dan efektif?
“Ambisi Melistriki 100 Pulau Terdepan,” Media Indonesia, 16 April 2012, hal. 17. Koran Jurnal Nasional, edisi online, Jurnas.com, 10 Juli 2012. 11 “Listrik jadi prioritas di Pulau Terluar,” Kompas, 18 Juli 2012, hal. 23. 9
10
156
Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M. A.
III. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian bertujuan mengumpulkan data dan masukan mengenai kondisi aktual wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, dengan melihat tantangan dan ancaman keamanan yang dihadapinya dewasa ini dan di masa depan. Hasil penelitian dalam bentuk laporan penelitian lengkap akan dikontribusikan bagi komisi-komisi DPR, terutama Komisi IV yang mengurus masalah kelautan dan perikanan, serta lingkungan hidup, dan Komisi II yang mengurus masalah-masalah kedaerahan dan wilayah. Laporan penelitian ini juga akan berguna untuk disumbangkan bagi Komisi I dan BKSAP, yang fokus pada tupoksinya di bidang keamanan dan pertahanan negara, dan kerja sama luar negeri antar-parlemen (pelaksanaan diplomasi parlemen) serta aparat-aparat pelaksananya, dan Badan Anggaran yang memiliki tupoksi dalam melakukan sinkronisasi anggaran untuk berbagai wilayah/daerah di Indonesia. Selain dapat dipergunakan untuk bahan rapatrapat kerja dalam menjalanakan fungsi pengawasan dan anggaran, secara khusus, laporan penelitian yang dihasilkan dapat dikontribusikan bagi Badan Legislasi untuk penyusunan RUU mengenai masalah kelautan dan kejahatan transnasional IV. Pemahaman Wilayah dan Ancaman Wilayah pesisir selalu identik dengan wilayah yang memiliki garis dan kawasan pantai, serta laut. Sebuah negara kepulauan seperti Indonesia dapat dipastikan tidak hanya terdiri dari banyak pulau besar dan kecil, namun juga memiliki wilayah pesisir yang luas. Dalam konteks ini, pulau-pulau terluar atau yang terletak di perbatasan dengan negara-negara tetangga, yang kebanyakan terdiri dari pulau-pulau kecil, kecuali untuk Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua, juga mempunyai kawasan pesisir yang tidak kecil ruangnya. Bahkan, untuk Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor, wilayah pesisir mereka begitu dominan, yang bahkan, untuk yang disebut pertama, melampaui luas wilayah daratnya. Lebih lanjut wilayah pesisir didefinisikan sebagaimana beirkut ini. Idris, Ginting, dan Budiman, dalam Membangunkan Raksasa Ekonomi menjelaskan bahwa wilayah pesisir adalah kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan ekosistem laut, yang sangat rentan terhadap perubahan akibat aktivitas manusia di darat dan di laut.12 Letaknya dapat diukur ke arah darat sejauh pasang tertinggi dan ke arah laut sejauh pengaruh dari darat. Untuk kepastian hukum, ukuran administrasi wilayahnya dihitung, ke arah
Lihat, Idris, I., S. P. Ginting, dan Budiman. 2007. Membangunkan Raksasa Ekonomi. Bogor: Penerbit PT Sarana Komunikasi Utama, 2007.
12
157
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir
darat sejauh batas yang mempunyai peranan laut dan ke arah laut sejauh 12 mil dari garis pantai.13 Terkait dengan eksistensi pulau-pulau kecil, Abubakar dalam Menata Pulau-Pulau Kecil Perbatasan, secara harfiah mendefinisikan mereka sebagai kumpulan pulau berukuran kecil, yang secara fungsional saling berinteraksi, baik dari sisi ekologi, ekonomi, sosial, maupun budaya. Interaksi tersebut menyebabkan pulau-pulau kecil terpisah dari pulau induknya (mainland area).14 Sedangkan, Beller dalam How to Sustain Small Island, dalam Beller, d’Ayala, and Hein (Eds.), Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands, memberikan paling sedikit 5 karakteristik pulau-pulau kecil yang sangat menonjol, yakni:15 1. Terpisah dari habitat pulau induk, sehingga bersifat insuler (tersebar, menjadi banyak pulau); 2. Memiliki persediaan air tawar yang terbatas, termasuk air tanah/ air permukaan; 3. Rentan terhadap gangguan eksternal, baik alami maupun akibat kegiatan manusia; 4. Memiliki spesies endemik yang memiliki fungsi ekologi yang tinggi; 5. Tidak memiliki daerah hinterland.
Sementara, H.C. Brookefield, dalam “An Approach to Islands,” dalam W.P. d’Ayala dan P. Hein (Eds.), Sustainable Development and Environmental Management, Man and Biosphere, menyusun kategori sendiri untuk pulaupulau kecil. Brookefield mengatakannya sebagai pulau-pulau yang luasnya sekitar 1.000 km2 dan berpenduduk lebih kecil dari 100.000 orang.16 Batasan ukuran untuk definisi Brookefield ini, dalam kenyataannya, telah diadopsi di negara Jepang.17 Untuk perbandingan, negara Indonesia seperti tampak dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000 memberikan kategori sendiri untuk pulau-pulau kecil, dengan mendefinisikannnya sebagai pulau yang ukuran luasnya kurang dari 10.000
Ibid. Lihat, M. Abubakar, M. Menata Pulau-Pulau Kecil Perbatasan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2006. 15 W. Beller, “How to Sustain Small Island”, dalam W. Beller, d’Ayala, and Hein (Eds.), Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands, France: Unesco, 1990. 16 Lihat, H.C. Brookefield, “An Approach to Islands,” dalam W.P. d’Ayala dan P. Hein (Eds.), Sustainable Development and Environmental Management, Man and Biosphere Series, Vol. 5, 1990. 17 Lihat T. Nakajima dan M. Machida. 1990. “Island in Japan,” dalam W.P. d’Ayala and P. Hein (Eds.), Sustainable Development and Environmental Management. Man and Biosphere Series, Vol. 5, 1990. 13 14
158
Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M. A.
km persegi, dengan jumlah penduduk sekitar 500.000 jiwa.18 Dengan demikian, ukuran yang dipakai Indonesia jauh lebih luas, dengan jumlah penduduk yang jauh lebih banyak. Sementara itu, dalam hubungannya dengan potensi dan kakayaan alam yang dimilikinya, diungkapkan bahwa potensi sumber daya alam dan jasa lingkungan di pulau-pulau kecil terdiri dari sumber daya hayat, sepertii padang lamun, terumbu karang, dan hutan mangrove. Keberadaan sumber daya alam itu selama ini diketahui sangat berperan dalam mengendalikan keseimbangan ekosistem, termasuk kelestarian biota-biota perairan. Tidak kalah pentingnya, di lain pihak, potensi sumber daya non-hayati, seperti bahan tambang, energi laut, dan jasa lingkungan yang ada di kawasan itu dapat dimanfaatkan untuk medorong pertumbuhan ekonomi.19 Terkait dengan eksistensi ancaman, dalam studi keamanan dan hubungan internasional telah lama didiskusikan munculnya ancaman keamanan baru, di luar yang telah banyak dikenal selama ini. Karena itulah, dewasa ini telah dipilah adanya ancaman keamanan tradisional (konvensional) dan yang non-tradisional (non-konvensional). Ancaman keamanan yang dikategorikan tradisional bersifat tidak berubah, yakni berasal dari militer dan para aktornya, sedangkan yang dikategorikan non-tradisional (nonkonvensional) berasal dari unsur-unsur non-militer, mencakup masalahmasalah kesehatan, lingkungan hidup, ketersediaan air bersih, ancaman endemik, ketersediaan rumah sakit dan fasilitas kesehatan dan obat-obatan, ketersediaan SDA, ancaman bencana alam, dan sebagainya. V. Metodologi Penelitian A. Jenis Penelitian Penelitian mengenai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptis-analitis. Penelitian mendeskripsikan secara komprehensif dan jelas berbagai permasalahan, tantangan, dan ancaman yang dihadapi berbagai wilayah dan pulau-pulau tersebut dari perspektif keamanan tradisioal dan non-tradisional. Data dan temuan penelitian yang diperoleh, selanjutnya, dianalisis secara cermat dan kritis, untuk dapat dibuat kesimpulan dan rekomendasi kebijakan yang relevan untuk mengatasinya.
Lihat, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011. Jakarta: Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011. 19 Lihat R. Dahuri, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Bogor: Penerbit IPB Press. 1998. 18
159
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir
B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian lapangan (field researches) dilakukan di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, dan Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Penelitian lapangan di Kabupaten Wakatobi dilaksanakan pada Juli 2012, sedangkan di Kabupaten Alor dilakukan pada Agustus 2012. Kunjungan on the spot dijalankan ke wilayah-wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di sekitar kedua kabupaten tersebut, termasuk yang terletak di wilayah provinsi maupun yang sudah mendekati wilayah perbatasan antar-provinsi dan antar-kabupaten.
C. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan dan melakukan teknik wawancara (interview) mendalam secara langsung pada berbagai narasumber. Setelah itu, pengumpulan data-data primer dan tertulis melalui studi kepustakaan dilanjutkan dengan melakukan wawancara secara mendalam. Untuk kepentingan wawancara mendalam ini, narasumber yang akan diwawancari sudah ditentukan sebelumnya atau dipilih, dengan melihat kriteria kedudukan (posisi/jabatan mereka) dan relevansinya dengan tugas-tugas mereka di lapangan. Pihak-pihak yang akan diwawancarai adalah dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten (pemkab), Dinas-dinas di tingkat Provinsi dan Kabupaten, kalangan akademisi/pakar, terutama dai IPB, serta LSM seperti WWF (Wild World Fund) dan Kiara, dan juga aparat keamanan yang bertugas di Lantama, Kepolisian, dan Jagawana (Polisi Kehutanan) . D. Teknik Analisis Data Data-data diperoleh melalui studi kepustakaan dan penelitian lapangan, dari hasil kompilasi data-data tertulis serta hasil wawancara mendalam dan pengamatan lapangan (observasi). Berbagai jenis data itu kemudian direduksi secara selektif, dengan memilah dan memisahkan bagian-bagian yang relevan dan memang dibutuhkan untuk pembahasan dan analisis. Proses seleksi dan reduksi data-data tertulis (primer) yang diperoleh dari studi kepustakaan dan penelitian lapangan dilakukan dengan melakukan cross-check yang cermat melalui kegiatan wawancara mendalam. Selanjutnya, baik data-data primer maupun sekunder tersebut dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif.
160
BAB II PERSPEKTIF KEAMANAN EKONOMI
Sebagai dikatakan Agus Dermawan dari KKP, masalah utama yang dihadapi pulau-pulau kecil, pesisir dan terluar, selain kemiskinan dan keterbelakangan, kelangkaan air bersih, serta ancaman bencana alam adalah akses menuju ke sana atau hubungan dengan pulau-pulau lain, di samping harga BBM --dan juga kebutuhan pokok lainnya-- jauh lebih mahal. Konsentrasi kemiskinan pada umumnya terdapat di kawasan pesisir.20 Dari sisi keamanan ekonomi, warga pesisir menghadapi kesulitan memperoleh pasokan bahan pokok secara teratur dan dengan harga terjangkau. Keterbatasan alat transportasi dan tingginya harga BBM merupakan masalah utama. Selain itu, tantangan alam, yang menyulitkan angkutan perairan (laut) akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim, yang menyebabkan sering terjadinya angin kencang dan gelombang pasang dan membuat jalur pelayaran ke pulau-pulau kecil ditutup, membuat terhambatnya pengiriman pasukan bahan pokok. Tidak heran, harga-harga bahan pangan bisa meningkat 5 kali lipat, atau bahan pangan tidak tersedia sama sekali, jika pulau-pulau pesisir itu terisolasi akibat kondisi alam. Sehingga, jika sudah tidak ada pasokan telur, ayam dan sayur, penduduk makan dengan garam.21 Buruknya kondisi perekonomian di pulau-pulau pesisir dan kecil juga disebabkan oleh masih banyak pelabuhan perikanan yang belum ada ataupun beroperasi sama sekali. Selain karena dilatarbelakangi belum terbentuknya kelembagaan pengelola sebagai penanggungja- wab, juga akibat fasilitas pelabuhan perikanan yang belum memadai. Kelangkaan anggaran belanja besar milik Pemerintah Daerah untuk mendukungnya menjadi dasar dari semua hambatan yng terjadi. Padahal, pengembangan dan peningkatan fasilitas pelabuhan adalah bagian dari program industrialisasi kelautan dan perikanan. Sementara, pelabuhan perikanan perlu memberikan pelayanan dan pembinaan terhadap pelabuhan perikanan swasta dalam pemanfaatan potensi ikan, termasuk ikan yang didaratkan. Konektifitas dan sistem informasi pelabuhan Wawancara dengan Kadis KKP Kabupaten Wakatobi, Drs. Laode Hajifu, M.Si, di Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 1 Juli 2012. 21 “Dibuka Lagi Jalur ke Pulau-pulau Kecil,” Kompas, 26 Maret 2012, hal. 21. 20
161
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir
yang belum menjangkau semua pelabuhan perikanan menambah buruk kondisi dukungan infrastruktur pulau-pulau pesisir dan kecil. Sehigga, banyak pelabuhan kecil (tangkahan) yang dibangun perusahaan swasta untuk kebutuhan sendiri, dan berkembang menjadi pelabuhan swasta dan tempat ikan nelayan lokal. Diketahui, maraknya tangkahan turut dipicu oleh sangat sedikitnya sarana pelabuhan ikan yang dibangun pemerintah selama ini.22 Masalah lain yang dihadapi oleh penduduk pulau-pulau pesisir adalah anak-anak mereka, yang terancam putus sekolah. Langkanya infrastruktur, terutama bangunan sekolah, hingga ke tingkat menengah dan lanjutan atas, dan kemiskinan selama ini telah menghentikan langkah anak-anak mereka melanjutkan sekolah. Kenaikan harga BBM yang diperparah oleh faktor cuaca dan lingkungan, mempersulit penduduk dalam membiayai transportasi anak-anak mereka. Sekalipun sekolah tidak dipungut biaya (gratis), namun ongkos transportasi laut yang tinggi membuat orang tua siswa semakin terbebani, di luar tergerusnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar lainnya.23 Ancaman keamanan ekonomi datang pula dari aspek penguasaan atau kepemilikan oleh asing atas pulau-pulau pesisir dan kecil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Selama ini telah dilaporkan adanya penguasaan warga negara asing atas (pengelolaan) pulau-pulau di NTT, Bali, Nias Barat, dan lain-lain.24 Sehingga, aspek penguasaan selama ini tidak hanya atas pengelolaan resor-resor kecil dan lokasi penyelaman (diving). Salah satu indiaksi buruk atas perkembangan ini adalah, ditutupnya akses masuk untuk publik dan juga aparat negara ke pulau-pulau atau resor-resor yang dikuasai itu. Dengan demikian, kondisi wilayah tempat lokasi pulau-pulau atau resor-resor tersebut seperti ‘negara dalam negara’ atau menyerupai wilayah negara asing yang tidak boleh dimasuki oleh orang dari Indonesia.
“Pelabuhan Perikanan Belum Memadai,” Kompas, 7 Juli 2012, hal. 18. Lihat,”Anak-anak Pesisir Terancam Putus Sekolah,” Media Indonesia, 22 Maret 2012, hal. 8. 24 Lihat misalnya,“Dua Pulau Dikuasai Asing,” Koran Tempo, 22 Juni 2012, hal. A8. 22 23
162
BAB III DAMPAK PERUBAHAN IKLIM
Abrasi menjadi ancaman besar bagi pulau-pulau pesisir dan kecil akibat perubahan iklim. Akibat naiknya permukaan laut sebagai implikasi atas pemanasan global, yang menyebabkan terjadinya abrasi di banyak pantai, banyak pulau pesisir dan kecil yang terancam tenggelam. Sehingga, sebagai contoh, sekitar 120 pulau terancam tenggelam dihantam abrasi di Provinsi Kepulauan Riau, yang sebagian besar terletak di wilayah Natuna dan Anambas.25 Mengingat dewasa ini permukaan laut Indonesia naik paling rendah 3 mm per tahun, kenaikan ini dapat merusak kawasan pesisir dengan ketinggian sampai 0,6 m, sehingga wilayah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang terancam tenggelam, sangat luas. Patut diketahui, kehilangan pulau juga berarti kerusakan ekosistem bagi kawasan sekitarnya, karena kehilangan daya dukung bagi kawasan itu, yang sebelumnya ada. Untuk wilayah perbatasan, tentu saja dampaknya menjadi lebih serius, karena akan mengkibatkan lenyapnya titik perbatasan. Padahal diketahui banyak pulau kecil yang terletak di gugusan terdepan garis perbatasan Indonesia dengan negara lain. Masalah serius yang juga dihadapi penduduk pulau-pulau pesisir dan kecil adalah cuaca buruk yang belakangan kian sering terjadi akibat dampak perubahan iklim global yang berdampak pada terjadinya cuaca ekstrim. Hujan deras disertai angin kencang yang berlangsung selama seminggu secara terus-menerus telah mengganggu pelayaran dari Pelabuhan Tanjung Bira, Kabupaten Bulukumba, Sulsel menuju Sultra dan NTT, yang di perairan Selayar telah menyebabkan terjadinya gelombang setinggi 3,5 meter.26 Akibatnya, pelayaran kapal ferry penghubung antar-pulau dihentikan. Dilaporkan, ribuan warga yang bermukim di pulau-pulau kecil dan terpencil di NTT terkurung cuaca buruk, karena kapal-kapal tidak bisa beroperasi. Sebagai konsekuensinya, mereka tidak bisa melakukan aktifitas ekonomi. Karena sulitnya pelayaran akibat cuaca buruk ini, harga-harga komoditas “Abrasi, 120 Pulau Bisa Tenggelam,” Kompas, 11 Juni 2012, hal. 12. “Pelayaran Terganggu: Warga Pulau Kecil Terkurung Cuaca Buruk,” Kompas, 7 Juli 2012, hal. 22.
25 26
163
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir
kebutuhan pokok pun melambung tinggi, sehingga kondisi perekonomian pulau-pulau pesisir dan kecil, terutama penduduknya, sangat terganggu. Akibat cuaca buruk ini, upaya memaksakan diri untuk berlayar, seringkali berdampak fatal. Dalam beberapa kasus, cuaca buruk telah menyebabkan terjadinya kecelakaan kapal. Dalam sebuah kasus, puluhan penumpang kapal motor Putri Ayu tenggelam di perairan Pulau Tiga, Maluku Tengah, Provinsi Maluku pada 17 Juni 2012. Kapal tersebut berangkat dari pelabuhan Kota Ambon menuju Namrole, Pulau Buru. Gelombang yang tinggi, mencapai 3 meter, yang disertai angin kencang, selain telah menenggelamkan kapal motor itu, juga telah menyulitkan pencarian korban yang tenggelam.27 Dampak pemanasan global dan perubahan iklim yang drastis dapat dilihat pada kawasan Segitiga Terumbu Karang (The Coral Triangle region) dunia, yang meliputi 6 negara, terutama Indonesia, di sebagian besar perairan dan pesisir Indonesia Timur, termasuk pulau-pulau kecilnya. Dilaporkan, lebih dari rata-rata 60%,28 bahkan mencapai hingga 90% seperti di Aceh dan Wakatobi,29 kawasannya terancam kerusakan akibat aktifitas manusia, secara langsung maupun tidak langsung yang berdampak pada pemanasan global dan kondisi terumbu karang. Padahal kawasan “jantung terumbu karang dunia” yang disebut “lautnya Amazon” itu merupakan tempat koleksi sekitar 30% terumbu karang dunia, dengan koleksi sekitar &5% ikan-ikan karang, dan lebih 3.000 species ikan. Adapun kawasan ini mendukung kehidupan sekitar 100 juta penduduk yang ada di sana.
“Data Penumpang Simpang Siur: Cuaca Buruk Menebar Ancaman,” Kompas, 19 Juni 2012, hal. 21. 28 “Coral Triangle Threatened by Human Activites,” the Jakarta Post, July 10, 2012, hal. 4. 29 “Memulihkan Karang dari Pemutihan,” Media Indonesia, 28 Juli 2012, hal. 23. 27
164
BAB IV KEJAHATAN TRANSNASIONAL
Masalah atau ancaman keamanan lebih luas berasal dari kejahatan transnasional, yang memanfaatkan pulau-pulau pesisir dan kecil, apalagi di (perbatasan) terluar, sebagai wilayah transit, dan bahkan basis kejahatan mereka. Pulua-pulau pesisir dan kecil di Kepulauan Riau (Kepri), misalnya, terdapat ratusan tempat pendaratan jaringan penyelundupan narkoba. Kasus penyelundupn semakin sering, contohnya, selama Januari sampai Maret 2012, terdapat 3 kasus penyelundupan narkoba asal Johor Baru, Malaysia. Pulaupulau di lepas pantai selatan Pulau Jawa belakangan ditengarai telah dijadikan basis produksi dan transportasi narkoba, yang dibawa ke darat mellaui Ujung Genteng, Jawa Barat. Di wilayah perairan tersebut, aparat kepolisian (Polisi Air) telah menyita 100 kg narkoba dari tersangka warga Iran.30 Ancaman lainnya terhadap pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir berasal dari aksi perompakan dan pembajakan kapal. Laporan Biro Maritim Internasional menunjukkan rawannya wilayah pulau-pulau kecil dan perairan di Indonesia. Diketahui, jumlah perompakan di wilayah perairan Indoensia meningkat dari 10 kasus pada tahun 2008, menjadi 15 kasus pada tahun 2009, dan 40 kasus pada tahun 2010.31 Wilayah mereka rawan dipergunakan sebagai basis perompak untuk menyiapkan, mengkordinasikan, dan menutupi aksiaksi mereka. Para perompak dapat menggunakan pulau-pulau kecil di wilayah pesisir untuk bersembunyi dan melanjutkan aksi-aksi mereka lebih banyak lagi di kemudian hari, jika masalah kemiskinan dan keterbelakangan penduduknya tidak dibantu diatasi pemerintah pusat. Sekalipun belum diketahui seberapa banyak dan sejauh mana keterlibatan penduduk di pulau-pulau kecil di wilayah pesisir dalam berbagai aksi perompakan yang muncul selama ini, tetapi perlu diantisipasi kemungkinan dimanfaatkannya kondisi kemiskinan mereka untuk mendukung atau meneruskan aksi-aksi perompakan di masa depan. Karena “Indonesia Desak Malaysia Perketat Penjagaan Perbatasan,” Kompas, 12 April 2012, hal. 4. “Kiprah Indonesia Tidak Lagi Terdengar,” Kompas, 7 April 2012, hal. 22.
30
31
165
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir
tingginya angka kejahatan trans- nasional yang terjadi di laut, negara sulit mencapai target melakukan 20% konservasi laut.32 Dari wawancara dengan Kadis Pariwisata dan Kebudayaan terungkap bahwa wilayah perairan Wakatobi rawan dari upaya penyelundupan barangbarang elektronik, sepeda motor, dan baju bekas (dikenal dengan istilah RB atau rombengan). Kadis Pariwisata dan Kebudayaan berperan dalam pelestarian budaya lokal, terutama Bajo, dengan membuka desa wisata, dimana turis bisa tinggal di rumah-rumah tradisional mereka yang sudah direnovasi dengan bantuan pusat (Menteri Kelautan Fadel Muhammad). Program pariwisata yang dipromosikan di dunia internasional dikaitkan dengan upaya pelestarian lingkungan dan budaya lokal, seperti memperkenalkan tarian setempat, permainan tradisional rakyat dan lain-lain. Selain penting untuk konservasi, upaya ini juga berguna untuk membantu Suku Bajo, suku tradisional yang hidup dari biota laut di Wakatobi, keluar dari keterbelakangan.33
Wawancara dengan Drs. Laode Hajifu, M.Si, Kadis KKP Kabupaten Wakatobi, di Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 1 Juli 2012. 33 Wawancara dengan Drs. Tawakkal, Kadis Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wakatobi, di Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 1 Juli 2012. 32
166
BAB V KEAMANAN LINGKUNGAN
Sebagaimana dijelaskan oleh Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung Kementerian Kehutanan, keamanan lingkungan di pulau-pulau kawasan pesisir dan kecil, jauh lebih sulit diawasi daripada kawasan konservasi alam (hutan) yang terletak di sebuah pulau (daratan) yang luas, mengingat luasnya wilayah kepulauan dan perairan yang harus diawasi.34 Kebijakan pemekaran wilayah yang marak dan tidak mengikutsertakan mereka dalam perencanaannya sejak awal semakin menyulitkan mereka dalam mengawasi penyimpangan yang cenderung mudah dilakukan akibat kewenangan yang tidak terkontrol. Padahal, aparat perlindungan konservasi hutan memiliki keterbatasan sarana dan prasarana. Kesulitan semakin dirasakan dalam pengamanan kawasan konservasi taman laut, terutama di wilayah Indonesia Tmur, yang lebih luas cakupan wilayah pengawasannya, dengan kondisi personil dan alat kerja yang jauh lebih terbatas, seperti di Kabupaten Kepulauan SangirTalaud. Sementara biaya operasional di darat dan laut sama saja besarannya, tidak ada SBK (Standar Biaya Khusus).35 Adapun kasus-kasus penyimpangan yang sering dijumpai di kawasan konservasi adalah illegal logging, pemburuan satwa liar, pemboman ikan, dan pencurian SDA alam (laut) lainnya. Selanjutnya, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil amat rentan atas bencana alam karena tidak adanya adaptasi yang terencana dan manajemen kondisi darurat yang komprehensif dari pemerintah pusat sejak awal, termasuk dalam hal kesiapan dan respons terhadap pemulihan dan mitigasi bencana. Terhadap bencana banjir, jumlah penduduk yang terkena dampak meningkat drastis mengingat penduduk yang tinggal di kawasan pesisir meningkat pesat, yaitu dari 7.000 desa pesisir menjadi 12.000 desa pesisir yang ditempati.36 Mereka selama ini menjadi korban yang tragis dari kasus Wawancara dengan Sonny Partono, Direktur Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung Kemenhut, di Jakarta, pada 13 Agustus 2012. 35 Wawancara dengan Nicko, Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung Kemenhut, di Jakarta, pada 13 Agustus 2012. 36 Dedi S. Adhuri,”Kerentanan Masyarakat Pesisir di Indonesia dan Masalah Perbatasan: Identifikasi Konsen Pengelolaan Pesisir dan Pp Kecil,” makalah presentasi dalam FGD di 34
167
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir
kasus bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami, dan akan menjadi korban yang besar dari pemanasan global dan perubahan iklim yang ekstrim. Naiknya permukaan air laut, penurunan permukaan tanah, perubahan musim yang tidak menentu, dan meluasnya pemukiman penduduk sebagai konsekuensi dari ledakan penduduk yang tidak terkontrol menyebabkan terjadinya perubahan habitat dimana mereka tinggal dan terancam rusaknya sumber-sumber kehidupan mereka seperti pertanian, perikanan, keberadaan sumber air bersih, serta terganggunya aktifitas pencaharian mereka di daratan dan laut. Ini artinya, ancaman terhadap keamanan lingkungan (environmental security) dan keamanan insani (human security) penduduk pesisir begitu tinggi. Permasalahan besar yang dihadapi pulau-pulau kecil, pesisir dan terluar juga adalah semakin berkurangnya SDA yang ada, terutama hutan dan ikan. Hal ini disebabkan oleh eksploitasi SDA yang berlebihan, termasuk tambang dan mineral, yang dampak eksploitasinya menambah tingkat degradasi lingkungan yang terjadi. Kasus yang serius menimpa, misalnya, kawasan Taman Wisata Perairan Pulau Pieh dan sekitarnya, di Kabupaten Padang Pariaman, lokasi terdapatnya banyak ikan dan gurita.37 Eksploitasi kawasan yang sudah berlangsung puluhan tahun itu dilaporkan tidak memberi keuntungan bagi penduduk lokal. Karena itu, keterlibatan LSM asing, seperti TNC, adalah membantu terpeliharanya keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup, dengan kampanye, pendidikan, dan membantu program pengelolaan SDA secara berkesinambungan, dengan memanfaatkan pengetahuan, riset, dan teknologi yang berkembang.38 Program konservasi lingkungan hidup di kawasan perairan laut, terutama yang kaya terumbu karang, yang diluncurkan negara asing, seperti AS, melalui Coral Triangle Initiative (CTI), dalam kenyataannya, menimbulkan ancaman ekonomi (economic security) terhadap masyarakat pesisir. Karena, agenda CTI membuka luas pintu dan peluang bisnis bagi banyak sektor swasta multinasional. Padatnya investasi asing yang ditawarkan melalui serbuan beragam MNCs yang bergerak di sektor pertanian, kelautan dan pertambangan, terutama MNcs besar milik negara tetangga dan AS, misalnya Exxon Mobil Exploration dan Anova Food, LLC, yang berbasis di Tampa, Florida, memberikan ancaman yang masif baik bagi dimensi keamanan ekonomi maupun keamanan lingkungan (hidup) masyarakat pesisir Indonesia yang hidup di kawasan proyek multilateral P3DI Setjen DPRRI pada 19 Maret 2012. “127.024 Hektar di NTT Rusak,” Kompas, 6 Juli 2012, hal. 23. 38 Wawancara dengan Direktur The Nature Conservation (TNC) Abdul Hakim di Departemen Pertanian, Jakarta, pada 8 Juni 2012. 37
168
Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M. A.
CTI dengan sponsor utamanya AS. Sementara itu, masih dalam kerangka CTI, Regional Exchange Program-nya yang didukung pendanaannya oleh AS membuat pwerkembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau di kawasan proyek CTI itu mudah dikontrol oleh kepentingan AS, mulai di Anambas, Natuna, Wakatobi, Bird Head Seascape, Raja Ampat, Bali, dan seterusnya.39 Demikian pula dengan proyek tambahannya, yaitu World Ocean Council (WCO), yang menggaungkan akses swasta yang bebas ke ekosistem dan SDA laut sejak awal kampanyenya, yang diketahui melibatkan Rio Tinto, dan MNCs Barat lainnya seperti Shell dan BP.40 Padahal patut diketahui, proyek CTI dan WCO tidak melibatkan suara masyarakat pesisir dan laut di lokasi tujuan yang hidupnya secara langsung tergantung dari SDA di kawasan tersebut, yang sebesar 80% terletak di wilayah terumbu karang perairan Indonesia. CTI dan WCO juga mengabaikan kebijakan lokal (local wisdom) masyarakat pesisir dalam mnejaga kelestarian habitat dimana dan dari mana mereka tinggal dan hidup. CTI sendiri selama ini tidak memberikan perlindungan bagi aktifitas perikanan tangkap tradisional dan hak-hak nelayan tradisional Indonesia. Secara kontras, proyek ini justru tidak menawarkan upaya nyata untuk mengatasi dampak pemanasan dan perubahan iklum global.41 Masyarakat pesisir mengalami kesulitan air bersih. Di Pulau Sebatik, Kalimantan Timur, penduduk menghadapi kesulitan memperoleh air bersih, selain karena kondisi lingkungan yang tidak mendukung, juga akibat tidak berfungsinya fasilitas PDAM secara baik. Akses air bersih juga tidak ada sama sekali di pulau-pulau terluar di provinsi Kepulauan Riau. Di sisi lain, meluasnya krisis air bersih disebabkan oleh musim kemarau dan kekeringan yang melanda banyak wilayah di Indonesia, terutama di pulau-pulau pesisir dan kecil di wilayah Indonesia bagian Timur seperti Provinsi NTT. Negara melalui pemerintah tidak menyediakan akses air bersih kepada warga pesisir dan pulau-pulau kecil. Ini juga dinilai sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM terkait tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan dasar warganya.42 Perkembangan environmental security semakin buruk, karena terus terjadi penghancuran ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil secara masif lewat aktifitas eksploitasi pertambangan, reklamasi pantai untuk pembangunan perumahan dan bisnis (pariwisata), serta pembukaan kebun kelapa sawit yang menghnacurkan hutan bakau (mangrove). Untuk hutan bakau, misalnya, dalam sebuah kasus yang menimpa Pulau Nusakambangan, hampir separuh, atau 4 41 42 39 40
Lihat pula, http://www.uscti.org/uscti/pip/Webpages/CTSPriorityMAP.aspx. Lihat pula, http://www.oceancouncil.org/site/members.php/. Lihat “Lima Cela CTI,” ibid. “Warga di Pesisir pun Kesulitan Air Bersih,” Suara Pembaruan, 24 Maret 2012, hal. 6.
169
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir
ribu hektar dari total 8 ribu hektar, hutan bkaunya mengalami kerusakan yang parah.43 Kondisi ini tentu saja berdampak pada kehidupan biota laut dan ikan yang hidup dari ekosistem hutan bakau itu. Selanjutnya, kebijakan pemerintah dengan membuka keran impor lebar-lebar menghancurkan penghasilan nelayan dari kegiatan menjual ikan, dan di lain pihak, tidak melindungi mereka dari dampak pemanasan global dan perubahan iklim, dan praktek korup dalam kebijakan pemberdayaan nelayan menambah berat beban masyarakat pesisir secara menyeluruh. Data-data berikut turut memberikan gambaran mengenai seberapa jauh ancaman terhadap keamanan ekonomi dan lingkungan yang dihadapi masyarakat pesisir di seluruh Indonesia. Dalam perkembangan terakhir tercatat, 23.282.799 hektar perairan laut negeri ini mengalami pencemaran, dengan 42 pulau teridentifikasi tengah dan telah menghadapi resiko bencana akibat kegiatan pertambangan, serta ditemukannya lebih dari 422.263 hektar hutan bakau di 6 provinsi terkonversi menjadi perkebunan sawit, dan seluas 5.775 hektar wilayah pesisir akan direklamasi menjadi kawasan perdagangan dan bisnis. Di luar itu, 20 pulau kecil, baik di pedalaman maupun perbatasan, terancam di bawah pengelolaan tangan-tangan swasta dana asing.44 Ancaman keamanan ekonomi dan lingkungan ini secara langsung mengakibatkan semakin sulitnya masyarakat pesisir, terutama nelayan tradisional, memperoleh hasil tangkapan ikan, baik secara kuantitas maupun kualitas, dan beratnya beban ekonomi yang ditanggung masyarakat pesisir pada umumnya, mengingat perkembangan ini dalam jangka panjang berpengaruh pada aktifitas dan kondisi pasar lokal, koperasi dan bentuk-bentuk usaha derivatif lainnya. Dalam hal ini, dengan eksistensinya yang berpengaruh di dunia internasional, TNC berperan dalam menekan pasar internasional agar tidak mendukung eksploitasi SDA di pulau-pulau kecil, pesisir, atau terluar secara tidak terkontrol atau melawan hukum (ilegal). Dengan aksi jaringannya dan kampanye globalnya, TNC dapat menekan konsumen dan pasar internasional untuk tidak menerima impor SDA yang tidak memperhatikan princip-prinsip keberlangsungan (sustainability) atau melawan hukum. Dengan mempengaruhi perilaku konsumen dan pasar internasional, produsen atau eksportir lokal dan internasional juga akan tunduk pada keinginan pasar internasional, sehingga berbagai pengelolaan SDA di pulaupulau kecil, pesisir, dan terluar, yang sulit diawasi, yang melawan hukum, dapat dihentikan. TNC tidak melarang penduduk pulau-pulau kecil dan terluar untuk mengeksploitasi SDA yang mereka miliki. TNC memberikan pendidikan “Separuh Hutan Mangrove Nusakambangan Rusak,” Kompas, 17 Juli 2012, hal. 22. Ibid.
43 44
170
Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M. A.
dan advokasi bagi penduduk untuk mengintroduksi manajemen SDA yang berkesinambungan, mengingat Indonesia sebagai kawasan megabiodiversity. Dalam hal ini, peran pemda sangat penting, agar kelestarian lingkungan hidup dan keberadaan SDAnya terpelihara baik untuk mendukung kehidupan penduduk pulau-pulau kecil dan terluar dalam jangka panjang (berkesinambungan). Sementara, komitmen yang dijanjikan pemerintah di berbagi fora internasional, khususnya terkait dengan masalah pelestarian lingkungan hidup, belum sesuai dengan yang telah direalisasikan, atau kalah jauh dibandingkan dengan upaya yang telah dilakukan LSM dalam dan luar negeri, termasuk dalam melindungi SDA di pulau-pulau kecil, pesisir, dan terluar. Upaya budidaya ikan merupakan upaya taktis untuk mengatasi kesulitan hidup penduduk pesisir (nelayan), terutama di pulau-pulau kecil dan terluar, untuk melaut pada waktu ombak besar dan cuaca tidak menentu. Demikian pula, budidaya ikan juga merupakan salah satu upaya dan solusi untuk mencegah dan mengakhiri eksploitasi SDA ikan. Upaya ini mulai populer diperkenalkan sejak tahun 2000. Teknisnya bisa dilakukan dengan menggunakan keramba di danau, sungai dan laut. Dengan demikian persediaan (stock) dapat dijaga, dan sisi lain, perilaku konsumen dan eksportir, serta pasar dapat dikontrol. Sehingga, monopoli pasar ataupun eksploitasi SDA ikan yang kian susut atau langka persediaannya dapat diakhiri. Sebaliknya, kesejahteraan mayoritas penduduk --nelayan-- yang hidup di pulau-pulau kecil, dan terluar dapat dilindungi dan diperbaiki dari keterancaman SDA yang semakin habis. Dengan kultur budidaya, kebutuhan pasar dan ketersediaan produksi ikan dapat disesuaikan. Demikian pula, konsumen global semakin banyak yang dapat menikmati SDA yang dibutuhkan, sedangkan harga dapat dikendalikan, karena monopoli pasar tidak terjadi. Namun, perlu diketahui, kultur budidaya SDA, termasuk ikan, membutuhkan pendidikan dan teknologi yang tinggi, sehingga adakalanya membutuhkan biaya yang besar.45 Karena itu, dibutuhkan kehadiran organisasi nelayan yang fokus pada aktifitas budidaya, dalam bentuk koperasi, dan juga dukungan dan kerja sama dengan pemerintah daerah dan perusahaan swasta, untuk pengembangan lebih luas ke pasar nasional dan internasional. Kegiatan budidaya ikan juga membutuhkan dukungan pengamanan laut dari aparat keamanan, terutama kepolisian air dan TNI AL. Di kawasan Laut Natuna dan Morotai, misalnya, budidaya ikan kerapu dan rumput laut, sangat rawan dari aksi kejahatan perompakan. Wawancara dengan Kepala Program Pengembangan Budidaya Ikan di Dirjen Budidaya Departemen Pertanian, Irianto Elyas, di Departemen Pertanian, Jakarta, pada 14 Juni 2012.
45
171
BAB VI KETERBATASAN PENGAMANAN PULAU TERLUAR
Diketahui, luas wilayah laut kepulauan Nusantara yang harus diamankan TNI AL seluas 5,9 juta kilometer persegi. Ironisnya, TNI AL hanya memiliki sekitar 150 kapal perang.46 Karena keterbatasan alat pengamanan laut, TNI AL kewalahan dalam mengawasi berbagai aksi pencurian ikan yang melibatkan kapal berbendera asing. Berbagai kasus pencurian ikan meningkat akibat maraknya penyalahgunaan ijin oleh kapal asing. Sementara, dari alat pengamanan yang terbatas itu, terutama kapal-kapal, tingkat kesiapan operasional tidak selalu 100%, karena terbatasnya anggaran operasional dan suplai bahan bakar minyak. Pulau-pulau kecil di bagian terluar perairan Indonesia yang kaya SDA ikan sulit diawasi dan menjadi terus rawan dari aksi-aksi pencurian ikan. Di kawasan Laut Natuna yang berhadapan dengan Laut Cina Selatan, misalnya, yang hanya dapat dijaga secara rutin oleh 4 kapal perang, terus terjadi pencurian ikan di kawasan lebih dari 250 ribu kilometer persegi.47 Sedangkan Dirjen Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan hanya memiliki 24 kapal pengawas, dari idealnya 90 kapal yang dibutuhkan, dengan usia operasi 8-10 tahun. Pulau-pulau kecil di sekitar perairan Laut Natuna Kepulauan Riau, Laut Bitung Sulawesi Utara, Tanjung Keramat di Gorontalo, Selat Karimata, perairan Kalimantan Barat, Morotai, Halmahera Tengah, Halmahera Selatan, dan lain-lain belakangan ini sangat rawan dari berbagai aksi pencurian ikan nelayan Filipina, Viet Nam, Malaysia, dan lain-lain yang menggunakan pump boat.48 Kehadiran siaran radio asing di pulau-pulau pesisir dan kecil di wilayah perbatasan, menjadi ancaman baru terhadap integritas wilayah Indonesia. Dilaporkan, sebagian besar frekuensi dari 30-an stasiun radio di, sebagai contoh, Bengkalis,dikuasai oleh radio Malaysia.49 Sementara itu, hanya 2 radio asal atau bersiaran (bahasa) Indonesia. Itupun keduanya bersuara tidak 48 49 46 47
“Di Laut Kita Kalah,” Kompas, 5 Juni 2012, hal. 1. Ibid. “Ikan Indonesia Terus Dicuri,” Kompas, 4 Juni 2012, hal. 1. “KPI Desak Penguatan Frekuensi Siaran,” Koran Tempo, 18 Juni 2012, hal. A22.
173
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir
jernih. Dominasi kehadiran radio milik atau berbahasa asing dikuatirkan akan menggangu kedaulatan negara. Karena itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah mendesak pemerintah melakukan penguatan frekuensi siaran radio di wilayah perbatasan. Akumulasi kehadiran radio milik atau berbahasa asing di pulau-pulau pesisir dan kecil di wilayah perbatasan yang melebihi 20%, ataupun intervensi frekeunsi radio asal atau milik Indonesia, diantisipasi sangat mengancam kedaulatan negara.
174
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Dalam pengusahaan perairan pesisir yang perlu dilakukan adalah memadukan aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Harus dihindari pengelolaan wilayah pesisir hanya dilihat dari satu aspek saja, namun juga ditinjau dari keseluruhan aspek yang terkait, yaitu aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Lingkungan pesisir sangat rentan terhadap kerusakan iklim. Apabila satu sumber daya mengalami tekanan akan menimbulkan gangguan terhadap sumber daya lain. Dibatalkannya hak pengusahaan perairan pesisir oleh Mahkamah Konstitusi membuat perlunya pengusahaan/pemanfaatan wilayah pesisir diberikan kepada masyarakat lokal yang sudah menetap cukup lama melalui kelembagaan yang sudah ada atau dibentuk baru, seperti koperasi atau kelompok nelayan. Koperasi atau kelompok ini harus ditingkatkan keberadaannya melalui pemberdayaan dan pendampingan. Upaya pengendalian atas eksploitasi SDA kelautan mutlak harus segera dilakukan untuk melindungi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dari ancaman kerusakan lingkungan lebih banyak lagi. Sementara, upaya menjual pulau-pulau pesisir dan kecil untuk pariwisata harus memikirkan upaya pengendaliannya, agar tidak dieksploitasi berlebihan. Harus diingat, bahwa pulau-pulau kecil tidak cocok untuk pariwisata massal dan masif (besarbesaran). Ekosistem di pulau-pulau pesisir dan kecil harus tetap dijaga melaui pengendalian (kontrol) atas frekuensi kunjungan wisata. Perlu pula perhatian seksama terhadap upaya reklamasi yang dilakukan selama ini. Sebab, kebijakan reklamasi yang tidak terkontrol justru dapat mengakibatkan pendangkalan dan tertutupnya terumbu karang. Selain, itu, tanpa perhitungan yang hati-hati, penggunaan dana yang besar untuk reklamasi menjadi terbuang percuma. Pemakaian enerji terbarukan untuk nelayan, yang mulai diperkenalkan baru-baru ini, perlu digalakkan. Dengan demikian, keperluan penerangan dan motor penggerak perahu nelayan dengan pembangkit enerji angin skala kecil --yaitu sistem konversi enerji angin dans el surya fotovoltaik—dapat 175
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir
ditingkatkan. Demikian pula, kebutuhan listrik untuk kapal-kapal nelayan, paling tidak untuk yang memuat sampai 4 orang, dapat terpenuhi. Daya listrik enerji terbarukan ini dapat dimanfaatkan untuk motor penggerak, lampu penerangan, dan kotak pembeku atau pendingin (cold storage). Penggunaan sel surya juga dapat dipakai untuk penerangan di rumah nelayan dan menggerakkan kincir aerasi tambak. Hak pengusahaan perairan pesisir sebaiknya dirubah menjadi pemanfaatan perairan pesisir, dan dalam pemanfaatannya dapat diberikan izin dengan mengutamakan pemberian izin kepada masyarakat lokal yang bergabung dalam bentuk kelompok masyarakat atau koperasi. Patut dihindari pemikiran adanya perbedaan rezim antara daratan dengan lautan, mengingat konteks pesisir sendiri merupakan wilayah peralihan antara daratan dengan lautan. Namun, berapapun jangka waktu yang diberikan sebenarnya tidak menjadi masalah, karena yang terpenting adalah pelaksanaan terhadap aturan tersebut dan tidak terjadi perbedaan dengan aturan pelaksana atau aturan di daerah.
176
BIBLIOGRAFI
Abubakar, M. 2006. Menata Pulau-Pulau Kecil Perbatasan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Ayu Arman, Lelaki Itu Hugua: Bertindak Lokal Berefek Global, Tangsel: Nala, 2011. Badan Pusat Statistik Kabupaten Alor. 2012. Alor dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik Kabupaten Alor. Kalabahi.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi. 2011. Wakatobi dalam Angka 2011. Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi dengan Badan Perencanaan Pembangunan, Penanaman Modal, Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Wakatobi. Wangi-Wangi. Beller, W. 1990. How to Sustain Small Island. In Beller, d’Ayala, and Hein (Eds.). Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. Unesco. France.
Brookefield, H.C. 1990. “An Approach to Islands,” W.P. d’Ayala and P. Hein (Eds.). Sustainable Development and Environmental Management, Man and Biosphere Series, Vol. 5. Dahuri, R. 1998. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Penerbit IPB Press. Bogor. Fauzi, A. 2010. Ekonomi Perikanan: Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Holsti, K. J.1988. “International Politic:; A Framework for Analysis. Fifith Edition”,. New Jersey: Prentice Hall. Idris, I., S. P. Ginting, dan Budiman. 2007. Membangunkan Raksasa Ekonomi. Penerbit PT Sarana Komunikasi Utama. Bogor.
177
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011. Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Nakajima, T. and M. Machida. 1990. “Island in Japan,” W.P. d’Ayala and P. Hein (Eds.). Sustainable Development and Environmental Management. Man and Biosphere Series, Vol. 5.
Saaty, T.L. 1988. Decision Making for Leaders:The Analytical Hierarchy Process for Decisions in a Complex World. RWS Publication, Pittsburgh. Suseno. 2007. Menuju Perikanan Berkelanjutan. Cetakan Pertama. Penerbit Pustaka Cidesindo. Jakarta.
Teuku May Rudy. 2002. Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca-Perang Dingin. Bandung: PT Refika Aditama. Makalah: Dedi S. Adhuri,”Kerentanan Masyarakat Pesisir di Indonesia dan Masalah Perbatasan:Identifikasi Konsen Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,” makalah presentasi FGD di P3DI Setjen DPRRI pada 19 Maret 2012.
Laporan: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), GIZ GmbH Good Governance/Decentralisation Program, dan Provincial Governance Strengthening Programme (PGSP). 2011. Analisis Perspektif, Permasalahan dan Dampak Dana Alokasi Khusus (DAK): White Paper. November 2011. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), GIZ GmbH Good Governance/Decentralisation Program, dan Provincial Governance Strengthening Programme (PGSP). Jakarta.
Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap). 2009. Satker Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi. CV Wahana Bahari. 2009. Laporan Akhir Penelitian Tingkat Kabupaten. Wakatobi. Sulawesi Tenggara. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi. 2011. Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II (Coremap II) Kabupaten Wakatobi 2011. Wangi-Wangi. Kabupaten Wakatobi. Provinsi Sulawesi Tenggara. 178
Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M. A.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010.
Skripsi Baharudin, S. 2011. Pergeseran Nilai Tradisional Suku Bajo dalam Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut Taman Nasional Wakatobi. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan. Surat Kabar: “Abrasi, 120 Pulau Bisa Tenggelam,” Kompas, 11 Juni 2012: 12.
Abdul Halim,”Mengelola Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Berdasarkan Konstitusi,” makalah presentasi FGD di P3DI Setjen DPRRI pada 19 Maret 2012. “Ambisi Melistriki 100 Pulau Terdepan,” Media Indonesia, 16 April 2012: 17.
”Anak-anak Pesisir Terancam Putus Sekolah,” Media Indonesia, 22 Maret 2012: 8. “Coral Triangle Threatened by Human Activites,” the Jakarta Post, July 10, 2012: 4. “Data Penumpang Simpang Siur: Cuaca Buruk Menebar Ancaman,” Kompas, 19 Juni 2012: 21. “Dibuka Lagi Jalur ke Pulau-pulau Kecil,” Kompas, 26 Maret 2012: 21. “Di Laut Kita Kalah,” Kompas, 5 Juni 2012: 1.
“Dua Pulau Dikuasai Asing,” Koran Tempo, 22 Juni 2012: A8.
“Gemala Mendadak Bergema Kembali,” Victory News, 26 Juli 2012: 1. http://www.uscti.org/uscti/pip/Webpages/CTSPriorityMAP.aspx. http://www.oceancouncil.org/site/members.php/.
“Ikan Indonesia Terus Dicuri,” Kompas, 4 Juni 2012: 1.
“Indonesia Desak Malaysia Perketat Penjagaan Perbatasan,” Kompas, 12 April 2012: 4.
179
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir
“Keindahan Terumbu Karang Alor Harus Dijaga,” Ombay News, Edisi 144, Tahun II, Juli 2012: 3.“Kiprah Indonesia Tidak Lagi Terdengar,” Kompas, 7 April 2012: 22.
Koran Jurnal Nasional, edisi online, Jurnas.com, 10 Juli 2012.
“KPI Desak Penguatan Frekuensi Siaran,” Koran tempo, 18 Juni 2012: A22. “Lebu Raya Tantang Kritik Demam,” Victory News, 23 Juli 2012: 1. “Listrik jadi prioritas di Pulau Terluar,” Kompas, 18 Juli 2012: 23. “Menggiring Lumba-lumba,” Kompas, 30 Juli 2012: 13.
“Memulihkan Karang dari Pemutihan,” Media Indonesia, 28 Juli 2012: 23. “Pelabuhan Perikanan Belum Memadai,” Kompas, 7 Juli 2012: 18.
“Pelayaran Terganggu: Warga Pulau Kecil Terkurung Cuaca Buruk,” Kompas, 7 Juli 2012: 22.
“Penanganan Tumpahan Minyak Timor Telantarkan Hak Korban,” Victory News, 27 Juli 2012: 11. “SBY Kunjungi Nipah,” Kompas, 3 Juni 2012: 2..
“Separuh Hutan Mangrove Nusakambangan Rusak,” Kompas, 17 Juli 2012: 22. “WALHI dan PMKRI Tolak Tambang,” Victory News, 23 Juli 2012: 2.
“Warga di Pesisir pun Kesulitan Air Bersih,” Suara Pembaruan, 24 Maret 2012: 6. “127.024 Hektar di NTT Rusak,” Kompas, 6 Juli 2012: 23.
Wawancara FGD dengan Direktur Perikanan dan Kelautan Bappenas, Sriyanti, dan Direktur Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Agus Dermawan di DPR, Jakarta, pada 6 Juni 2012.
Wawancara dengan Direktur The Nature Conservation (TNC), Abdul Hakim, dan Deputi Direktur Operasi TNC, Dr. Arwan Drija, di Departemen Pertanian, Jakarta, pada 8 Juni 2012. 180
Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M. A.
Wawancara dengan Kepala Program Pengembangan Budidaya Ikan di Dirjen Budidaya Departemen Pertanian, Irianto Elyas, di Departemen Pertanian, Jakarta, pada 14 Juni 2012.
Wawancara dengan, Kordinator Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir, LSM Kiara, Arman, di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 1 Juli 2012. Wawancara dengan Ketua Kelompok Nelayan, Sultan, di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 1 Juli 2012. Wawancara dengan perwakilan LSM Perkumpulan Yayasan Cinta Alam, Mirzan, di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 1 Juli 2012.
Wawancara dengan perwakilan LSM Yayasan Bahari, Naslim Sarlito, di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 1 Juli 2012. Wawancara dengan perwakilan LSM Jaringan untuk Hutan dan Lembaga Kelestarian Lingkungan dan Pembangunan Masyarakat, La Ode Mangki, di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 1 Juli 2012. Wawancara dengan Hagua, Bupati Wakatobi, di Wakatobi, pada 3 Juli 2011.
Wawancara dengan Drs. Tawakkal, Kadis Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wakatobi, di Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 3 Juli 2012.
Wawancara dengan Drs. Laode Hajifu, M.Si, Kadis KKP Kabupaten Wakatobi, di Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 3 Juli 2012.
Wawancara dengan Ir. Abdul Halim, M.Si, Sekretaris Bappeda Kabupaten Wakatobi, di Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 4 Juli 2012. Wawancara dengan Ibrahim, SE, MM, Kepala BLH Kabupaten Wakatobi, di Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 4 Juli 2012. Wawancara dengan Ibrahim, SE, MM, Kepala BLH Kabupaten Wakatobi, di Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 4 Juli 2012.
Wawancara dengan Sugiyanto, Project Officer WWF Waakatobi, di Wakatobi, pada 4 Juli 2012. Wawancara dengan Laode Ahyar Thamrin Mufti, Kasubag Pengelola Balai Taman Nasional Wilayah I Wanci, di Wakatobi, pada 5 Juli 2012.
181
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir
Wawancara dengan Syamsuddin Makka, Kasat Pelayanan Masyarakat Terpadu Polres Wakatobi, di Wakatobi, pada 5 Juli 2012.
Wawancara dengan Kompol Karjono LIwang, Kabagops Polres Wakatobi, di Wakatobi, pada 5 Juli 2012. Wawancara dengan Kombes Wayan Pinatih, Danpolair Wakatobi, di Kendari, pada 6 Juli 2012.
Wawancara dengan AKP Mohammadong, Kabagops Polair Wakatobi, di Kendari, pada 6 Juli 2012.
Wawancara dengan Ismail, Bagian Intel Polair Wakatobi, di Kendari, pada 6 Juli 2012.
Wawancara dengan Muhammad Syukril, Kasubbid Tata Ruang Provinsi Sulawesi Tenggara, di Kendari, pada 6 Juli 2012. Wawancara dengan Jotham Ninef, Ketua Tim P4KKP Laut Sawu,, di Kupang, pada 22 Juli 2012.
Wawancara dengan Gaspar Enga, Kabid III Fisik dan Prasarana Seksi Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, Bappeda, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), di Kupang, pada 22 Juli 2012. Wawancara dengan Effer R. Lodoay, Direktorat Kepolisian Air Kupang, di Kuipang, pada 22 Juli 2012.
Wawancara dengan Alexander S. Tanody, Project Leader TNC, Indonesian Marine Program Sawu Sea Marine Protected Area, Development Project, di Kupang, pada 22 Juli 2012. Wawancara dengan Izaak Angwarmasse, Kaseksi Pengelolaan Pesisir dan Pulau Kecil, Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) NTT, di Kupang, pada 23 Juli 2012. Wawancara dengan Mesak Blegur, Kabid Perikanan Laut Pemkab Alor, di Pulau Alor, pada 23 Juli 2012. Wawancara dengan Obeth Bolang, Sekretaris Bappeda Pemkab Alor, di Pulau Alor, pada 24 Juli 2012.
Wawancara dengan Melkisedek Beli, SH, MH, Kabid Litbang Pemkab Alor, di Pulau Alor, pada 24 Juli 2012. 182
Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M. A.
Wawancara dengan Abdurrahman Sang, Kabid Pariwisata Pemkab Alor, di Pulau Alor, pada 24 Juli 2012. Wawancara dengan Marzuki Nampira, SH, Kepala BLHD Pemkab Alor, di Pulau Alor, pada 24 Juli 2012.
Wawancara dengan Albert Ouepoly, Sekretaris BLHD, di Pulau Alor, pada 24 Juli 2012. Wawancara dengan Briptu I Nyoman Wardhana, anggota petugas penjaga, KP3L O Pelabuhan Pulau Alor, di Pulau Alor, pada 24 Juli 2012. Wawancara dengan Drs. Dominicus S. Yempornase, Kapolres Alor, di Pulau Alor, pada 25 Juli 2012.
Wawancara dengan Christ Bagaifu, Wakapolres Alor, di Pulau Alor, pada 25 Juli 2012. Wawancara dengan Marcel Barbafo, Kepala Satuan Kepolisian Air,, di Pulau Alor, pada 25 Juli 2012.
Wawancara dengan R.Pius, Kasat Perencanaan Polres Alor, di Pulau Alor, pada 25 Juli 2012.
Wawancara dengan Drs. Simeon Th. Pally, Bupati Kabupaten Alor, di Pulau Alor, pada 25 Juli 2012. Wawancara dengan Hopni Bukang, Asisten II kantor Kabupaten Alor, di Pulau Alor, pada 25 Juli 2012.
Wawancara dengan pejabat BKKBN Provinsi NTT di Pulau Alor, pada 26 Juli 2012. Wawancara dengan Talo Thomas, Kabid Fisik dan Prasarana Bappeda NTT, di Provinsi NTT, pada 28 Juli 2012.
Wawancara dengan Gaspar, Pejabat Fungsional Perencana Anggaran, di Provinsi NTT, pada 28 Juli 2012. Wawancara dengan Mayor Laut Habri, Pamen Potensi Maritim Lantamal VII, di Provinsi NTT, pada 28 Juli 2012. Wawancara dengan Kapten Laut Rusdi Rivai Mai, Pamen Ditpotmar Lantamal VII, di Provinsi NTT, pada 28 Juli 2012. 183
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir
Wawancara dengan Letda Laut , Ribero Flavio, Kasintel Lantamal VII, di Provinsi NTT, pada 28 Juli 2012. Wawancara dengan Kolonel Laut Sunarno Adi, Asisten Operasi Lantamal VII, di Provinsi NTT, pada 28 Juli 2012. Wawancara dengan Sonny Partono, Direktur Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung Kemenhut, di Jakarta, pada 13 Agustus 2012.
Wawancara dengan Nicko, Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung Kemenhut, di Jakarta, pada 13 Agustus 2012.
184
Lampiran:
DAFTAR PERTANYAAN
1.
Menurut instansi/Bapak, apa masukan daerah bagi perbaikan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil?
2. Menurut instansi/Bapak, apa yang bisa dikembangkan dalam kerja sama dengan negara lain untuk pembangunan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil? 3. Menurut instansi/Bapak, apa hambatan selama ini yang dijumpai dalam pengembangan kerja sama dengan negara lain dalam pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil? 4. Menurut instansi/Bapak, adakah proyek kerja sama dengan negara lain yang sudah berjalan dalam pembangunan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil selama ini?
5. Menurut instansi/Bapak, bagaimana pengimplementasian dari kerja sama luar negeri (CTI) di daerah ini?
6. Menurut instansi/Bapak, apa saja manfaat yang didapat oleh Indonesia secara umum maupun daerah secara khusus dari kerja sama luar negeri (CTI) ini? 7. Menurut instansi/Bapak, peluang kerja sama luar negeri apa sajakah atau bagaimanakah yang cocok untuk daerah ini? 8. bagaimana proses awal kerjasama lingkungan di wilayah ini ?
9. bagaimana dampak lingkungan setelah adanya kerjasama tersebut?
10. apakah masyarakat dan pemda merasakan dampak positifnya / negatifnya?
11. apakah kerjasama tertebut memiliki jangka waktu? apa tindak lanjut bila jangka waktu kerjasama tersebut telah habis ? 185
12. Apakah ada pengawasan rutin dari pemerintah pusat berupa peninjauan langsung ke lokasi secara rutin?
13. Bagaimana pemanfaatan yang ideal dari perspektif ekonomi terhadap sumber daya di wilayah pesisir dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan budaya masyarakat lokal? 14. Bagaimana peran Pemda setempat dalam pemanfaatan Sumber Daya Kelautan sebagai salah satu sumber PAD? 15. Bagaimanakah pembagian bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam dibawah/didasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan?
16. Bagaimanakah upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan sumber daya laut (perekonomian) sebagai mata pencarian masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil?
17. Bagaimanakah peran dan kinerja Pemda terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dan pendidikan, apakah ada peningkat dalam setiap tahunnya? 18. Sejauhmanakah sikap pemerintah dalam menangani berbagai potensi pencemaran dan perusakan terhadap wilayah pesisir, perairan dan pulau-pulau kecil akibat pengelolaan wilayah berdasarkan kewenangan daerah? 19. Bagaimanakah sikap Pemda dalam menangani isu tentang kerusakan terumbu karang dan wilayah pesisir karena over fishing? 20. Bagaimana peran Pemda dalam menanggapi isu tentang penguasaan dan penjualan pulau ke orang asing?
21. Bagaimanakah sikap Pemda dalam menanggapi isu ttg pulau lepas dari Indonesia karena diambil negara lain? 22. Bagaimana sikap Pemerintah Daerah setempat terhadap penangan konflik-konflik daerah dan sektoral yang terjadi di wilayah pesisir, perairan dan pulau-pulau kecil?
23. Bagaimana upaya Pemda dalam menangani isu tentang pulau tenggelam karena Global Warming?
186
KETERANGAN PENULIS
Adirini Pujayanti, Dra, M.Si adalah Peneliti Muda bidang Masalah-masalah Hubungan Internasional di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRRI). Menyelesaikan studi S1 di Fisip Universitas Nasional tahun 1999. Selanjutnya menyelesaikan S2 di Kajian Wilayah Amerika di Universitas Indonesia. Anggota tim penulis buku, yaitu Berbagai Perspektif Mengenai Memorandum untuk Presiden Abdurrahman Wahid, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2000; Respons IPU Terhadap Masalah-Masalah Global Pasca-Perang Dingin, Jakarta; Sekretariat Jenderal DPR RI, 2000; Terorisme dan Tata Dunia Baru, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2002; Konflik Dan Perkembangan Kawasan Pasca-Perang Dingin, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2004, Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan Indonesia: Ancaman Terhadap Integritas Teritorial, Jakarta: Tiga Putra Utama, 2004; TKI dan Hubungan Indonesia – Malaysia, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2005; Hubungan Bilateral dan Masalah Perbatasan RI–Timor Leste, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2008. Mengikuti program pelayanan informasi dan riset yang dilaksanakan di Australia (1999) dan Amerika Serikat (2008). Dedeh Haryati, S. Sos, M. Si. lahir di Jakarta pada tanggal 17 Maret 1974. Masuk Sekretariat Jenderal DPR RI pada 1 Maret 1998 dan ditempatkan Wakil Sekjen DPR-RI sampai tahun 2001, Panitia Anggaran DPR-RI tahun 2001-2004, Komisi IX DPR-RI tahun 2004-2006, Ketua DPR-RI tahun 20062008 dan di P3DI tahun 2008 sampai sekarang dengan jabatan Pengumpul dan Pengolah Data. Selanjutnya diangkat sebagai PNS pada 1 Maret 1999 dan diangkat menjadi Peneliti pada bulan Agustus 2009 dengan jabatan Peneliti Pertama bidang Politik Dalam Negeri bidang Ilmu Politik. Menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Krisnadwipaya dengan jurusan Administrasi Negara pada tahun 2001 dan S2 di Universitas Indonesia, Jakarta pada tahun 2004. Saat ini menjadi Peneliti Pertama di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Penelitian yang sudah pernah dilakukan antara lain tentang Peran Panwas pada Pemilukada tahun 187
2010. Dapat dihubungi di nomor telepon 0813-17458573 atau lewat email:
[email protected] Lisbet, S.IP, M.Si adalah Peneliti Pertama untuk Masalah-masalah Hubungan Internasional di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRRI). Bekerja di Bidang Pengkajian P3DI DPRRI sejak tanggal 8 Februari 2010. Menyelesaikan studi S1 di FISIP Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Indonesia pada tahun 2005. Kemudian, menyelesaikan studi S2 di Program Pasca Sarjana FISIP Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Indonesia pada tahun 2008. Penulis dapat dihubungi pada alamat email:
[email protected];
[email protected]
Lukman Adam, S.Pi, M.Si adalah Peneliti Pertama untuk bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRRI). Bekerja di Bidang Pengkajian P3DI DPRRI sejak tanggal 8 Februari 2010. Menyelesaikan studi sarjana dan magister di Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 2007, aktif terlibat sebagai tim asistensi dalam penyusunan dan pembahasan beberapa Rancangan Undang-Undang. Pada tahun 2006 pernah membawakan makalah pada seminar nasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dari tahun 2000 sampai saat ini terlibat dalam berbagai penelitian bidang ekonomi, lingkungan hidup, pertanian, dan perikanan. Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, MA adalah Peneliti Utama/IV/e bidang Masalah-Masalah Hubungan Internasional di Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPRRI. Pada tahun 1986 menyelesaikan studi S-1 di Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Jurusan Hubungan Internasional, Program Studi Perbandingan Politik. Pada tahun 1999 menyelesaikan studi pasca-sarjana (S-2) di Graduate School of Political Science and International Relations di the University of Birmingham, Inggris bidang Security Studies. Pada Pebruari tahun 2011 menuntaskan program doktor ilmu politik Albert-Ludwigs-Universitaet Freiburg, Jerman dengan tesis The Indonesian Military Response to Reform during Democratic Transition: A Comparative Analysis of Three Civilian Regimes 1998-2004. Menulis buku antara lain Reformasi Struktur Ekonomi RRC Era Deng Xiao-ping, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1995; Co-penulis dan editor buku Panduan Parlemen Indonesia, Jakarta, Yayasan API, 2001; dan Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan Indonesia: Ancaman terhadap Integritas Teritorial, Jakarta: Tiga Putra Utama, 2004. Dapat dihubungi di
[email protected]. 188