Bagian Dua Welcome to Kabul “Welcome to Kabul,” demikian sambut sopir taksi yang kami tumpangi dengan ramah. Aku sendiri akhirnya menghela nafas lega, setelah perjalanan panjang Khyber-Torkham, yang berdebu dan menyiksa itu, berakhir sudah. Chevrolet biru yang kami tumpangi dari Torkham tadi, berhenti di sebuah terminal di luar kota Kabul. Dan begitu kami turun, sudah ada puluhan supir taksi yang menarik-narik kami. Kami berdua sudah sangat lelah, dan aku hanya menyebut nama “Spinzar”, sebuah hotel yang terletak di tepi Sungai Kabul. Seorang supir taksi menawarkan sebuah harga. Setelah tawar-menawar yang berlangsung dengan bantuan kalkulator sakuku, akhirnya harga pun disepakati. Dan kami pun berada di dalam taksi yang nyaman ini. Taksi pun meluncur dengan cepatnya menuju ke arah kota. Aku pun akhirnya bisa menghempaskan badanku ke sofa taksi yang lumayan empuk. Sedangkan Adam duduk di depan di samping sang supir. Sopir ini rupanya bisa berbicara bahasa Inggris yang lumayan lancar. Setelah menanyakan kebangsaan kami berdua, dia tak henti-hentinya menceritakan tentang kotanya tercinta. “Welcome to our city, Kabul. We love our city very much.” Dan dia pun bertindak sebagai tour guide kami. “Lihatlah kolam yang indah itu, inilah Pashtunistan Square yang terkenal itu,” katanya sembari menunjuk sebuah kolam air mancur yang hanya nampak bentuknya namun sama sekali tak berair di tengah jalan itu. “Lihatlah bangunan yang megah itu,” katanya sambil menunjuk sebuah bangunan tinggi empat lantai yang arsitekturnya teramat sangat biasa, “Ini Bank Jepang. Dan di sampingnya adalah bank nasional kita, Da Afghanistan Bank” “Dan ini Hotel Kabul.” Sedangkan yang nampak di sebelah jalan adalah bangunan hotel yang sudah hampir ambruk seperti pernah kena serangan bom. Namun nuansa Kabul yang aku rasakan, masih dipenuhi misteri mistis yang penuh dengan tanda tanya. Bahkan masih sulit untuk meyakinkan diriku sendiri, bahwa aku telah benar-benar berada di sini. Semua bayanganku tentang Afghanistan, seakan-akan dihadapkan pada kenyataan yang terpampang jelas di balik jendela taksi. Semua prasangkaku terhadap Afghanistan seakan disangkal habis-habisan oleh sosok Kabul yang tampil lugas apa adanya di kanan kiri jalan. Bukan, Kabul bukanlah kota mati yang terseok-seok setelah dihantam perang berkepanjangan. Kabul bukanlah kota hantu yang sudah ditinggal pergi oleh semua penduduknya. Kabul bukan juga tempat menyeramkan di mana peluru berdesingan dan mesiu berterbangan. Kabul adalah kota yang benar-benar hidup dan sedang berlari tanpa henti. Orang-orang hilir mudik di jalan, lalu lintas yang ramai yang dipenuhi pejalan kaki, perempuan-perempuan berburqa yang berjalan cepat-cepat sambil menundukkan kepala mereka, serta taksi-taksi yang berseliweran tanpa henti di jalan. Bahkan, kemacetan pun terjadi di sekitar Pashtunistan Square. Kabul benar-benar kota yang hidup. Aku pun terhenyak. Perjalanan panjang menyusuri jalanan kota Kabul pun berakhir sudah. Taksi kami berhenti di depan gedung Hotel Spinzar yang berwarna hijau dan nampak megah itu. Hotel Spinzar seakan sudah menjadi landmark kota ini. Namun tentu saja menginap di hotel ini bukanlah kelas yang sesuai bagi dompet kami berdua.
Sedangkan Zar Negar Hotel, salah satu hotel paling murah di Kabul, nampak di seberang hotel Spinzar ini. Beberapa traveler memang menganjurkan hotel yang satu ini, karena harganya yang paling murah, letaknya yang strategis di jantung kota, serta dilengkapi dengan restoran. Memasuki hotel ini benar-benar membuatku teringat akan pasar Glodok sebelum masa kerusuhan dulu. Di bagian bawah hotel banyak kios-kios yang berjualan aneka macam barang, mulai dari jam tangan, sepatu, sampai batu baterai. Ada tangga kayu kecil ke lantai dua, menuju restoran dan hotel. Sesosok tubuh yang dibalut burqa berwarna biru duduk di sandaran tangga sambil menengadahkan kedua belah tangannya, sedangkan seulas bibir di balik kerudungnya tak hentinya memelas dalam bahasa Parsi. Kami pun berlekas menapaki anak tangga yang sangat kecil ukurannya itu. Nyaris beberapa kali aku terpeleset, kalau tangan kananku tidak meraih pegangan tangga. Begitu sampai di lantai dua, kami langsung disambut oleh beberapa orang yang menunjukkan di mana kantor hotel itu berada. Seorang pria Afghan, dengan bahasa Inggris yang sangat pas-pasan, menerima kami di kantor itu. “Kamar? Lima belas dolar per malam,” katanya membuka harga. “Lima belas dollar? Tidak bisa lebih murah?” Aku sendiri kaget mendengar harga yang dibuka. Dari informasi yang kudapat tahun kemarin, harga kamar di hotel ini seharusnya tiga dollar saja per malam. Akhirnya, lagi-lagi dengan bantuan kalkulatorku, kami mendapatkan harga sepuluh dollar saja. Untunglah aku bersama Adam, sehingga harga kamar hotel yang mencekik ini bisa ditanggung berdua. Apalagi fasilitas kamar yang sangat apa adanya ini, susah dipercaya bahwa kami harus membayar sekitar sembilan puluh ribu rupiah untuk kamar seperti ini, dan ini bukan di Eropa, tapi di Afghanistan. Dia pun meminta kami untuk menyerahkan paspor untuk dicatat data-datanya. Tidak seperti di Pakistan di mana proses pencatatan data biasanya berlangsung cepat, di sini hanya untuk menyalin nama saja rasanya bertahun-tahun. “Adam Smith,” kata Adam spontan ketika pemilik hotel nampak kesulitan menyalin namanya. “Adam ,,,,?” tanya pemilik hotel tidak yakin. “Smitih, S-M-I-T-H”. “Adam Smis? Please...., how do you read this again?” tanya pemilik hotel lagi. “Adam Smith, Adam Smith, Smith...” Adam sampai menyebutkan namanya berkali-kali. Astaghfirullah, ternyata nama yang tertera dalam huruf Latin itu harus ditransliterasikan ke dalam huruf Arab dalam catatan pak pemilik hotel itu. Pantas saja dia terus-terusan menanyakan bagaimana cara membacanya. Kalau untuk nama Adam saja harus begitu ribetnya, bisa diduga ketika tiba giliranku, yang punya nama asli Indonesia ini, proses pencatatan nama ini serasa berabad-abad..... Akhirnya kami pun bisa masuk kamar kami di lantai dua. No kamar, 204, seperti yang tertera di kunci. Tapi, nomor yang tertera di setiap pintu menggunakan angka dalam bahasa Arab semua. Sebenarnya ada tiga kasur di sini, ditambah lagi dua buah sofa dan meja kecil di tengah ruangan. Ruangannya cukup besar, namun tidak ada lagi hal yang istimewa dari kamar ini. Ada sebuah jendela besar yang menghadap ke jalan, di mana kita bisa melihat jalanan utama kota Kabul yang seakan tidak pernah berhenti dari aliran pejalan kaki.
Ada dua buah kamar mandi ada di luar kamar, yang diperuntukkan bagi semua penghuni kamar di lantai ini. Satu untuk laki-laki dan satunya untuk perempuan. Tapi lagi-lagi papan petunjuknya dalam huruf Arab. Aku pun tak tahu apakah kamar mandi yang selalu aku masuki itu kamar mandi cowok atau cewek. Apalagi interiornya yang 100% sama. Sebuah drum besar berisi air dingin, sebuah lubang kakus, dan sebuah pot air. Di hotel Zar Negar ini sama sekali tidak ada air mengalir. Ya cuma air di drum besar tadi. Setelah membilas diri dengan air yang sangat menyejukkan itu, sembari menunggu Adam mandi, aku pun tidur-tiduran di kamar sambil membaca catatan-catatan tentang Afghanistan yang aku peroleh dari internet. Tiba-tiba pintu terbuka, masuklah pelayan hotel yang tadi mengatnarkan kami ke kamar, melongok-longokkan kepalanya, melihat-lihat sebentar barang-barang di atas meja kami, menyemprotkan deodoran Axe milikku ke tubuhnya yang memang agak bau itu, kemudian baru menoleh ke arahku sambil mengucapkan “Tashakur (terima kasih),” lengkap dengan senyumnya yang lebih mirip menyeringai itu. Sebenarnya aku sangat marah dengan kelakuannya yang tidak menghargai keberadaan tamu sama sekali itu. Aku hanya mendengus saja, sambil menganggukkan kepala. “Tashakur,” katanya lagi, kemudian lenyap begitu saja di balik pintu. “Dasar wong edan,” batinku. Baru aku teringat sebuah nasehat yang sangat bijaksana, “Selalu kuncilah kamar Anda selama di Afghanistan, karena kalau kita mengetuk dulu sebelum membuka pintu, maka orang Afghan ini membuka pintu dulu sebelum mengetuk.” Bagi mereka mungkin pintu ada untuk dibuka, bukan diketuk. Sore itu, kami berdua berjalan santai menuju Sungai Kabul. Dari yang pernah aku baca, Sungai Kabul dulunya adalah sebuah sungai indah yang subur dan mengalir deras. Namun yang tersisa kini adalah sungai kering yang nyaris tak berair sama sekali, dan dipenuhi onggokan sampah di sana-sini. Sedangkan sepanjang aliran sungai terdapat Kabul Bazaar, di mana ribuan orang tumpah ruah di seluruh sudut jalan. Hari ini adalah hari pertamaku di Afghanistan. Dan seperti biasa, pada setiap hari pertamaku di setiap negara yang pertama kali aku kunjungi, aku selalu diliputi kewaspadaan yang luar biasa. Kameraku aku genggam erat-erat, dan aku masih belum sanggup untuk menjepretkan kamera dengan leluasa. Mengingat persediaan Afghaniku yang memang sudah habis, aku pun segera mencari tempat penukaran uang. Menukar uang di Kabul? Gampang sekali, tidak perlu ke bank, tidak perlu paspor, tidak perlu formulir ini itu. Ada ratusan penukar uang gelap di Kabul, khususnya di Sungai Kabul. Cukup cari orang-orang yang membawa segepok uang dan kalkulator besar, sambil menawarkan “dagangannya” ke sana ke mari. Mirip dengan money changer di Khyber Bazaar, Peshawar. Namun bedanya, di Kabul sini para money changer ini tidak memiliki kios tetap. Nilai tukar dari semua pedagang uang di sini pun rata-rata sama, 48 Afghani per 1 Dolar Amerika Serikat (Juli 2003). Setelah dihantam perang bertahun-tahun, dapat dipahami bahwa negeri ini sangat jarang menjadi tujuan para turis yang melancong. Bahkan bagi WARGA Kabul pun, orang asing masih merupakan tontonan yang luar biasa menariknya. Ketika aku menukarkan uangku, sudah ada puluhan orang yang mengelilingiku sambil memperhatikan segala gerak-gerikku, tak lupa berbisik-bisik satu sama lain berdiskusi dengan semangatnya, dalam bahasa yang sama sekali tak aku pahami. Di hari pertamaku di negeri Afghan ini, tentu saja hal ini semakin menambah kecemasanku. Apalagi saat itu mau tidak mau aku harus menukarkan uang dalam jumlah yang lumayan besar. Setelah menghitung lembar-lembar Afghani yang aku terima, kami berdua pun menyusuri jalanan di tepi aliran sungai. Jalanan sepanjang Sungai Kabul ini dijubeli ribuan orang yang lalu lalang. Atmosfer ke-Afghanistan-an terasa sangat kental di sini. Hampir semua orang di Kabul masih dengan bangganya mengenakan pakaian tradisional mereka masing-masing. Afghanistan, adalah sebuah
negeri yang didiami oleh beragam suku bangsa, yang masing-masing masih memegang teguh tradisi mereka. Sungai Kabul, memiliki arti yang lebih dari sekedar sebuah sungai kering di jantung kota. Di sinilah terjadi interaksi berbagai suku yang mendiami bumi Afghanistan. Di sinilah para pedagang jalanan berkumpul menawarkan dagangannya, dan para pembeli sibuk memilih barang kebutuhannya. Di sebuah negeri di mana tidak ada department store, aksi jual beli masih dilakukan di tempat terbuka di tepi aliran sungai. Saudagar permadani yang menggelar barang dagangannya seraya berteriak-teriak menarik perhatian pembeli, pedagang mangga yang juga tidak kalah kuat teriakannya, juga ratusan anak kecil yang menawarkan air minum di sore hari yang masih saja panas itu. Bangsa Pashtun, Hazara, Uzbek, Turkmen, ...., semua ada di sini, dan masing-masing memainkan perannya sendiri-sendiri. Seakan semua corak yang mewarnai seluruh negeri Afghan, ditumpahkan di bazaar sepanjang aliran sungai ini. Dan tiap sosok wajah dari semua suku itu, tersenyum ramah kepada kami, seakan berusaha menyampaikan, “Welcome to Afghanistan.” Menjelang senja, kami bertemu lagi pria Afghan yang tadi bersama-sama di Torkham. Dengan bahasa Inggris yang cukup lancar, ia menawarkan bantuan, atau bisa dibilang memaksakan bantuannya, kepada kami mencari peta kota Kabul. Sepanjang perjalanan dia menceritakan masa-masa pengungsiannya di Peshawar dulu. Rupanya pria ini berasal dari Kandahar, dan hendak pulang ke kampung halamannya di selatan sana. Kandahar adalah daerah kekuasaan Taliban, bahkan hingga kini pun kota ini masih cukup berbahaya bagi turis asing. Namun pemuda ini cukup ramah, hanya saja didengar dari omongan-omongannya dia masih merindukan masa-masa kejayaan Taliban dulu. Bersama ini kami menyusuri jalan-jalan di sekitar Sungai Kabul ini, yang juga tetap ramai. Bahkan dengan bangganya ia menunjukkan kepada kami, “Inilah Kabul Subway”. Aku dan Adam sempat bertanya-tanya, apakah subway yang dimaksudnya adalah kereta api bawah tanah, karena setahu kami Afghanistan masih belum memiliki kereta subway. Ternyata subway yang dimaksud adalah penyeberangan bawah tanah, untuk menghindari perempatan yang memang sudah sangat gawat sekali lalu lintasnya. Kabul subway sendiri merupakan lorong gelap dan pengap, pengemis-pengemis cacat, yang mungkin korban perang, meringsek lambat-lambat sembari meminta sedekah. Juga anak-anak kecil dengan wajah diliputi kesedihan luar biasa, merengek-rengek dengan suara-suara pedih mereka. Kabul subway, yang hanya sepanjang beberapa meter itu saja, kemuramannya telah cukup kuat untuk menyibakkan sisi lain dari Afghanistan. Wajah sedih dan penuh derita negeri ini, benar-benar mengejutkan aku yang baru saja mengenalnya. Lega rasanya ketika kami menapaki tangga keluar dari jalur bawah tanah itu. Di daerah ini, orangorang masih berlalu lalang dengan tanpa hentinya. Kibaran burqa perempuan-perempuan Afghanistan seakan mempecepat ritme kehidupan di sini, yang tanpa kusangka, setara cepatnya dengan denyut Jakarta.
Matahari mulai terlihat lelah berdiri di atas sana, perlahan-lahan mulai bergerak lambat menuju paraduannya. Nampak juga di jalan mobil-mobil pasukan penjaga perdamaian dari Jerman menyeruak dengan angkuhnya, ditambah lagi beberapa orang tentara duduk dengan gagah di atap mobil, sambil mengarahkan moncong senapannya ke arah jalan. Pemandangan ini benar-benar mengingatkanku, bahwa aku sekarang berada di medan perang, aku berada di jantung negeri Afghan. Bicara tentang perang, bangsa Afghan pun punya patriot yang dipuja di seluruh negeri. Ahmad Shah Massoud namanya. Di salah satu sudut kota Kabul, terpampang sebuah foto raksasa dari sang patriot ini. Massoud adalah seorang pemimpin pejuang Mujahiddin yang paling ternama di seantero negeri. Dia adalah seorang cakap yang berpendidikan tinggi, yang menggerakkan bangsa Afghan melawan kekuatan Sovyet, pengacau keamanan, bahkan Taliban. Massoud terbunuh pada tahun 2001, hanya dua bulan sebelum 11 November. Pembunuhan ini pun masih merupakan misteri alam. Ada yang mengatakan bahwa pembunuhnya adalah anggota Al Qaeda, ada pula yang mengatakan Massoud terbunuh karena dia anti Amerika. Bagaimanapun juga, Massoud masih hidup di sanubari setiap bangsa Afghan, sebagai pemimpin besar mereka. Dan di jantung kota ini, foto besar sang pahlawan, dengan sorot matanya yang tajam, seakan mengingatkan bahwa perjuangan masih belum berakhir. Kami tak sempat berlama-lama mengagumi keagungan dari sang patriot, karena pemuda Kandahar tadi sudah berjalan jauh di depan. Aku terpaksa berlari kecil mengejarnya. Sebenarnya kami tidak terlalu butuh bantuannya untuk mencari peta, karena seharusnya tidak sulit bagi kami untuk menemukan sendiri. Namun pemuda itu bersikeras untuk mengantarkan kami, dan dengan terpaksa kami pun harus mengikuti kecepatan berjalannya yang luar biasa tinggi itu. Dengan nafas memburu akhirnya terkejar juga pria itu. Sampai di ujung jalan, tiba-tiba dia berhenti. “Wah, tokonya tutup,” katanya. Kemudian dia juga menjelaskan bahwa ada toko buku lain yang menjual peta Kabul, dan menawarkan apakah kami butuh bantuannya lagi. Adam dengan halus menolak tawarannya. Sebenarnya aku pun sudah tidak terlalu antusias dengan peta Kabul. Aku hanya ingin merebahkan diri setelah perjalanan berat yang ditempuh hari ini dari Peshawar. Dan kami pun bernafas lega, setelah orang Kandahar itu meninggalkan kami. Niat baiknya tentu saja sangat mengharukan, namun ada kalanya kami ingin sendiri, perlahan-lahan mengalami dan merasakan kota Kabul. Menjelang malam, “penemuan” kami yang istimewa, ternyata es krim Kabul jauh lebih enak daripada es krim Pakistan, atau bahkan mungkin es krim terenak yang pernah kucicip dalam hidupku. Luar biasa, es krim yang dibuat hanya dengan tenaga manual dan hanya berbahan dasar khavaa (teh hijau) dan jahe ini, ternyata mampu menghasilkan rasa yang jauh lebih nikmat dan alami daripada es krim yang dibeli di supermarket. Kabul ice cream atau mungkin lebih cocok disebut sebagai es putar Kabul, dapat diperoleh seharga 15-20 Afghani di warung-warung es krim yang
berjajar sepanjang Sungai Kabul. Dan setelah melewati hari yang panjang, panas, mendebarkan, dan melelahkan ini, es krim Kabul seakan merupakan obat mujarab untuk memulihkan stamina. Seperti layaknya di seluruh penjuru Afghanistan, warung-warung adalah tempat penting untuk berinteraksi dan bersosialisasi. Bangsa Pakhtan, mayoritas penduduk Afghanistan, adalah bangsa yang terkenal dengan keramahannya dan kesetiakawanannya. Mereka tidak segan-segan untuk menghampiri orang asing untuk menawarkan bantuan atau sekedar mengajak berkenalan. Seperti halnya di warung es krim ini, tiba-tiba kami dihampiri oleh dua orang yang mengaku sebagai mahasiswa Universitas Kabul. “Are you from Bangladesh, Sir?” tanya salah satu dari mereka kepadaku dengan ramah. Aku terhenyak. Selama ini tidak pernah ada orang yang menebakku sebagai orang Bangladesh. Palingpaling sebagai orang Jepang atau China, karena wajahku memang Mongoloid. “No, I’m from Indonesia,” jawabku. “And you, Sir?” tanya mereka kepada Adam. Demikianlah percakapan kami dimulai. Muhammad Thahir Ghazi, nama pemuda itu, serta Siddiqur Rahman, temannya, adalah mahasiwa yang sekaligus bekerja di Sekretariat WHO, Kabul. “Do you know, Sir, temanku itu mengira kalau Anda orang Bangladesh,” kata Ghazi yang sedari tadi bicara, karena hanya dia yang berbahasa Inggris. “Kalau saya sendiri mengira bahwa Anda adalah orang Afghan, karena wajah Anda benar-benar mirip bangsa Hazara, apalagi ditunjang dengan pakaian yang Anda kenakan sekarang. Dan menurut tebakan saya, Anda adalah penerjemah bagi turis teman Anda ini, Mr Adam.” Aku benar-benar terkejut mendengarnya, dan tak dapat menahan tawa. Demikian pula Adam. Mungkin benar apa kata mereka, dengan pakaian Shalwar Khameez yang melekat di tubuhku ini, serta syal putih yang melingkar di leherku, benar-benar membuatku mirip dengan suku Hazara yang juga berwajah Mongoloid itu. “Hanya saja topi yang Anda pakai itu membuat saya sedikit ragu,” katanya sembari menunjuk ke arah kopiahku, “makanya kami memberanikan diri untuk menanyakan dan memastikan apakah Anda berasal dari Bangladesh.” Memang semenjak di Pakistan, kopiah ini hampir tak pernah berpisah dari kepalaku. Walaupun tubuhku senantiasa mengenakan pakaian nasional Pakistan, namun aku selalu ingin mempertahankan identitas ke-Indonesia-anku. Dan berkat kopiah ini pulalah aku memperoleh banyak teman baru di Pakistan, juga teman baru di warung es krim di Kabul ini. Pembicaraan kami berlangsung cukup lama. Dari mereka aku mengetahui bahwa Salang Pass, yang menghubungkan antara Kabul dan Mazhar-e-Sharif, tersumbat karena longsor. Hal ini sangat mengejutkanku, karena kerinduanku untuk menyaksikan Masjid Biru yang luar biasa di kota Mazhar itu bakal hanya menjadi kerinduan semata. Sebelum berpisah, mereka pun mengundang kami untuk mengunjungi Universitas Kabul. Dan ketika meninggalkan warung, hari sudah teramat gelap di luar sana. Jalanan yang tadinya sibuk luar biasa, kini perlahan-lahan menjadi sepi kembali. Dan kami pun kembali ke hotel kami. Di lantai dua ada restoran Zar Negar. Makanan di sini, seperti yang kemudian kami jumpai di rumah makan-rumah makan lainnya di Kabul, hanya menyodorkan menu yang ala kadarnya, palau dan kabab. Aku sendiri sudah tidak terlalu bernafsu untuk makan lagi, sehingga hanya Adam yang memesan sepiring palau, ditambah semangkuk sup. Rupanya supnya terlalu berlemak dan kurang sedap, sedangkan palau (nasi Kabuli) terasa sangat hambar. Akhirnya makanan yang dipesan pun jadi mubazir juga, apalagi harganya jauh lebih mahal daripada makanan di Pakistan.
Di restoran itu, kami bertemu dengan traveler dari Inggris yang sebelumnya pernah aku temui di Peshawar. Traveler Inggris yang tidak aku ketahui namanya ini, dialiri separuh darah Iran dalam tubuhnya, dan mampu berbicara bahasa Parsi dengan fasih, sehingga tidak memiliki kesulitan sama sekali dalam berkomunikasi dengan orang Afghanistan. Dia, bersama rekan dari Swiss, berencana melintasi Afghanistan Utara, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Tajikistan. Setelah mengobrol beberapa saat, kami memutuskan untuk undur diri dan kembali ke kamar. Demikianlah hari yang panjang, melelahkan, namun penuh cerita ini, berakhir. Aku langsung terlelap begitu merebahkan badanku di atas kasur. Dan kami memasuki malam yang sunyi dan penuh kebisuan di ibukota negeri Afghan. Ooooppss...., hari ini masih belum berakhir. Tiba-tiba pintu kamar diketuk dengan kerasnya. Dilihat dari model mengetuknya, pastilah aparat polisi atau orang lain yang benar-benar sok berkuasa. Benar juga, begitu pintu dibuka, nampak dua tubuh kekar yang berkata dengan agak kasar, “Paspor!” Dengan memelihara senyum tersungging aku menyerahkan pasporku. “Where from?” kata polisi itu lagi. “Indonesia...,” dan rekan di sampingnya mulai mencatat. “Name?” Aku pun menyebutkan namaku. Seperti halnya pemilik hotel, lagi-lagi namaku harus dicatat dalam huruf Arab, sehingga aku harus berulang kali membacakan namaku pelan-pelan. Kemudian tangannya membalik-balik halaman pasporku dengan kasarnya. Setelah beberapa saat, tanpa menemukan yang dicari, ia pun bertanya, “Visa?” Dan proses yang sama pun berulang sama persis pada diri Adam. “OK, Sir. Good night.” Dan kedua polisi itu pun undur diri. Kami berdua pun kembali memasuki malam yang sunyi dan sepi di Kabul. Dan Kabul seakan benarbenar menjadi kota mati ketika malam mulai menunjukkan taring keperkasaannya. Gelap, tanpa suara, namun masih penuh dengan tekanan. Selamat malam, Kabul.