Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
BAGIAN 7 PENGANGKUTAN SAMPAH Bagian ini menjelaskan secara teoritis metode pengangkutan sampah, pola dan operasional pengangkutan sampah, serta perhitungan optimasinya. Dijelaskan pula peralatan serta penentuan rute. Walaupun metode transportasi sampah di Indonesia belum berkembang, mahasiswa ditugaskan untuk mengamati bagaimana sistem transfer sampah dari TPS ke pengangkut serta kendala yang mungkin dihadapi dalam pengangkutan. 7.1
Pengangkutan Sampah secara Umum
Pengangkutan sampah adalah sub-sistem yang bersasaran membawa sampah dari lokasi pemindahan atau dari sumber sampah secara langsung menuju tempat pemrosesan akhir, atau TPA. Pengangkutan sampah merupakan salah satu komponen penting dan membutuhkan perhitungan yang cukup teliti, dengan sasaran mengoptimalkan waktu angkut yang diperlukan dalam sistem tersebut, khususnya bila: Terdapat sarana pemindahan sampah dalam skala cukup besar yang harus menangani sampah Lokasi titik tujuan sampah relatif jauh − Sarana pemindahan merupakan titik pertemuan masuknya sampah dari berbagai area − Ritasi perlu diperhitungkan secara teliti − Masalah lalu-lintas jalur menuju titik sasaran tujuan sampah Dengan optimasi sub-sistem ini diharapkan pengangkutan sampah menjadi mudah, cepat, dan biaya relatif murah. Di negara maju, pengangkutan sampah menuju titik tujuan banyak menggunakan alat angkut dengan kapasitas besar, yang digabung dengan pemadatan sampah, seperti yang terdapat di Cilincing Jakarta. Persyaratan alat pengangkut sampah antara lain adalah: − Alat pengangkut sampah harus dilengkapi dengan penutup sampah, minimal dengan jaring. − Tinggi bak maksimum 1,6 m. − Sebaiknya ada alat ungkit. − Kapasitas disesuaikan dengan kondisi/kelas jalan yang akan dilalui. − Bak truk/dasar kontainer sebaiknya dilengkapi pengaman air sampah. Beberapa jenis/tipe truk yang dioperasikan pada subsistem pengangkutan ini, yaitu seperti ditampilkan pada Gambar 7.1, Gambar 7.2 dan Tabel 7.1 berikut.
Gambar 7.9: Contoh kontainer dan truk pengangkut di negara maju
Gambar 7.10: Jenis truk pengangkut multi-loader, arm-roll dan roll-on
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
59
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Jenis Peralatan
Truck biasa terbuka
Dump truck/tipper truck
Arm roll truck
Compactor truck
Multi loader
Truck with crane
Mobil penyapu jalan (street sweeper)
Tabel 7.1 : Peralatan subistem pengangkutan [50, 52] Konstruksi/bahan Kelebihan Kelemahan - Bak konstruksi - Harga relatif - Kurang sehat. kayu. murah. - Memerlukan waktu - Bak konstruksi plat - Perawatan relatif pengoperasian lebih besi lebih mudah dan lama. murah. - Estetika kurang. - Bak plat baja. - Tidak diperlukan - Perawatan lebih sulit. - Dump truck dengan banyak tenaga - Kurang sehat peninggian bak kerja pada saat - Kurang estetis. pengangkutnya. pembongkaran. - Relatif lebih mudah - Pengoperasian berkarat. lebih efisien dan - Sulit untuk efektif. pemuatan. - Truk untuk - Praktis dan cepat - Hidrolis sering rusak. mengangkut dalam - Harga relatif mahal. membawa pengoperasian. - Biaya perawatan kontainer-kontainer - Tidak diperlukan lebih mahal. hidrolis tenaga kerja yang - Diperlukan lokasi banyak. (areal) untuk - Lebih bersih dan penempatan dan sehat. pengangkatan. - Estetika baik. - Penempatan lebih fleksibel. - Truk dilengkapi - Volume sampah - Harga relatif mahal. dengan alat terangkut lebih - Biaya investasi dan pemadat sampah banyak. pemeliharaan lebih - Lebih bersih dan mahal. hygienis. - Waktu pengumpulan - Estetika baik. lama bila untuk - Praktis dalam sistem door to door. pengoperasian. - Tidak diperlukan banyak tenaga kerja. - Truk untuk - Praktis dan cepat - Hidrolis sering rusak. mengangkat / dalam - Diperlukan lokasi membawa pengoperasian. (areal) untuk kontainer-kontainer - Tidak diperlukan penempatan dan secara hidrolis. banyak tenaga pengangkatan. kerja. - Penempatan lebih fleksibel. - Truk dilengkapi - Tidak memerlukan - Hidrolis sering rusak. dengan alat banyak tenaga - Sulit digunakan di pengangkat untuk menaikkan daerah yang sampah. sampah ke truk. jalannya sempit dan - Cocok untuk tidak teratur. mengangkut sampah yang besar (bulky waste). - Truck yang - Pengoperasian - Harga lebih mahal. dilengkapi dengan lebih cepat. - Perawatan lebih alat penghisap - Sesuai untuk jalanmahal. sampah. jalan protokol yang - Belum memerlukan memungkinkan untuk pekerjaan cepat. kondisi jalan di - Estetis dan Indonesia umumnya. hygienis. - Tidak memerlukan tenaga kerja yang banyak.
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
Catatan - Banyak dipakai di Indonesia. - Diperlukan tenaga lebih banyak. - Perlu modifikasi bak.
- Cocok pada lokasilokasi dengan jumlah sampah yang relatif banyak.
- Cocok untuk pengumpulan dan angkutan secara komunall
- Cocok pada lokasilokasi dengan produksi sampah yang relatif banyak. - Pernah digunakan di Makasar. - Telah digunakan di DKI Jakarta.
- Baik untuk jalanjalan protokol : yang rata, tidak berbatu, dan dengan batas jalan yang baik.
60
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengoperasian sarana angkutan sampah kemungkinan penggunaan stasiun atau depo container layak diterapkan. Dari pusat kontainer ini truk kapasitas besar dapat mengangkut kontainer ke lokasi pemrosesan atau ke TPA, sedangkan truk sampah kota (kapasitas kecil) tidak semuanya perlu sampai ke lokasi tersebut, hanya cukup sampai depo container saja. Dengan demikian jumlah ritasi truk sampah kota dapat ditingkatkan. Usia pakai (lifetime) minimal 3 5-7 tahun. Volume muat sampah 6-8 m , atau 3-5 ton. Ritasi truk angkutan per hari dapat mencapai 4-5 kali untuk jarak tempuh di bawah 20 km, dan 2-4 rit untuk jarak tempuh 20-30 km, yang pada dasarnya akan tergantung waktu per ritasi sesuai kelancaran lalu lintas, waktu pemuatan, dan pembongkaran sampahnya. 7.2
Metode Pengangkutan Sampah
Bila mengacu pada sistem di negara maju, maka pengangkutan sampah dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu [4]: a. Hauled container system (HCS) Adalah sistem pengumpulan sampah yang wadah pengumpulannya dapat dipindah-pindah dan ikut dibawa ke tempat pembuangan akhir. HCS ini merupakan sistem wadah angkut untuk daerah komersial. Untuk menghitung waktu ritasi dari sumber ke TPS atau ke TPA:
THCS = (PHCS+S+ h)
........................................................................................
(7.1)
Keterangan: THCS = waktu per ritasi (jam/rit). PHCS = waktu pengambilan (jam/rit). S = waktu di tempat (TPS atau TPA) untuk bongkar muat (jam/rit). h = waktu pengangkutan dari sumber → TPS atau TPA. P dan S relatif konstan h → tergantung kecepatan dan jarak, yang dapat dihitung dengan : h = a + bx ....... (7.2) a dan b = konstanta empiris. a = jam/ritasi. b = jam/jarak. x = jarak pulang pergi (km). sehingga: THCS = PHCS + S + a + bx ........................................................................................................ (7.3) PHCS = pc + uc + dbc .............................................................................................................. (7.4) PHCS = waktu pengambilan/rit. pc = waktu untuk mengangkut kontainer isi (jam/rit). uc = waktu untuk mengosongkan kontainer. dbc = waktu untuk menempuh jarak dari kontainer ke kontainer lain (jam/rit). Catatan: pada pelayanan dengan gerobak lain → PHCS = waktu mengambil sampai mengembalikan bin kosong di TPS. Jumlah ritasi per kendaraan per hari untuk sistem HCS dapat dihitung dengan:
Nd =
[ H (1"w )"(t1 +t 2 ) T HCS
.........................................................................................................
(7.5)
Keterangan: Nd = jumlah ritasi/hari (rit/hari). H = waktu kerja (jam/hari). ! w = off route faktor (waktu hambatan → sebagai friksi). t1 = waktu dari pool kendaraan (garasi) ke kontainer 1 pada hari kerja tersebut (jam). t2 = waktu dari kontainer terakhir ke garasi (jam). THCS = waktu pengambilan/ritasi (jam/rit). Jumlah ritasi/hari dapat dibandingkan dengan perhitungan atas jumlah sampah yang terkumpul/hari.
Nd =
!
Vd c. f
.................................................................................................................................
(7.7)
Keterangan: Vd = jumlah sampah terkumpul (volume/hari). c = ukuran rata-rata kontainer (volume/hari). f = faktor penggunaan kontainer. Hauled container system dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1). Konvensional Wadah sampah yang telah terisi penuh akan diangkut ke tempat pembongkaran, kemudian setelah dikosongkan wadah sampah tersebut dikembalikan ke tempatnya semula. 2). Stationary container system (SCS)
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
61
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Wadah sampah yang telah terisi penuh akan diangkut dan tempatnya akan langsung diganti oleh wadah kosong yang telah dibawa. b. Stationary container system (SCS) Sistem pengumpulan sampah yang wadah pengumpulannya tidak dibawa berpindah-pindah (tetap). Wadah pengumpulan ini dapat berupa wadah yang dapat diangkat atau yang tidak dapat diangkat. SCS merupakan sistem wadah tinggal ditujukan untuk melayani daerah pemukiman. Untuk stationary container system (dengan mechanical loaded collection vehicles), maka: TSCS = (PSCS + s + a + bx) ................................................................................................. (7.8) PSCS = CT (Uc) + (np-1)(dbc) Keterangan: CT = jumlah kontainer yang dikosongkan/rit (kontainer/rit). Uc = waktu pengosongan kontainer (jam/rit). Np = jumlah lokasi kontainer yang diambil per rit (lokasi/rit). Dbc = waktu terbuang untuk bergerak dari satu lokasi ke lokasi kontainer lain (jam/lokasi). Jumlah kontainer yang dapat dikosongkan per ritasi pengumpulan:
CT =
V .r c. f
.............................................................................................................................
(7.9)
Keterangan: CT = jumlah kontainer yang dikosongkan/rit (kontainer/rit). 3 V = volume mobil pengumpul (m /rit). R = rasio kompaksi. 3 ! C = volume kontainer (m /kontainer). F = faktor penggunaan kontainer. Jumlah ritasi per hari :
Nd =
Vd V .r
................................................................................................................................
(7.10)
Keterangan : 3 Vd = jumlah sampah yang dikumpulkan/hari (m /hari) Waktu yang diperlukan per hari:
!
!
H=
(t +t )+Nd .(TSCS ) [ 1 2 ] (1"w )
................................................................................................
(7.11)
Contoh: Untuk mengangkut sampah dari beberapa lokasi kontainer di suatu daerah digunakan sistem HCS. Data yang diberikan: T1 = 15’ T2 = 20’ W = 0,15 (pc+ uc) = 0,4 jam/ritasi • Waktu rata-rata untuk bergerak dari kontainer ke kontainer = dbc = 6’ = 0,1 jam. • Tentukan jumlah kontainer yang dapat dikosongkan per hari, bila jam kerja = 8 jam. Penyelesaian: a). PHCS = pc + uc + dbc = (0,4 + 0,1)jam/ritasi = 0,5 jam/rit. b). THCS = (PHCS + s + a + bx) Asumsi: a = 0,016 jam/rit. b = 0,018 jam/mil. s = 0,133 jam/rit. → THCS = [(0,5 + 0,133 + 0,016 + 0,018(31)] jam = 1,21 jam c). Jumlah ritasi/kendaraan dengan rumus (7.5), dengan: H = 8 jam. w = 0,15 jam. t1 = 0,25 jam. t2 = 0,33 jam. THCS = 1,21 jam.
Nd =
[
8(1"0,15)"(0,25+0,331) ] 1,21 jam / rit
= 5,14 rit/jam
Nd → diambil ≈ 5 rit → artinya diperlukan waktu sekitar 7,8 jam.
!
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
62
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
7.3 Operasional Pengangkutan Sampah Untuk mendapatkan sistem pengangkutan yang efisien dan efektif maka operasional pengangkutan sampah sebaiknya mengikuti prosedur sebagai berikut: − Menggunakan rute pengangkutan yang sependek mungkin dan dengan hambatan yang sekecil mungkin. − Menggunakan kendaraan angkut dengan kapasitas/daya angkut yang semaksimal mungkin. − Menggunakan kendaraan angkut yang hemat bahan bakar. − Dapat memanfaatkan waktu kerja semaksimal mungkin dengan meningkatkan jumlah beban kerja semaksimal mungkin dengan meningkatkan jumlah beban kerja/ritasi pengangkutan. Untuk sistem door-to-door, yaitu pengumpulan sekaligus pengangkutan sampah, maka sistem pengangkutan sampah dapat menggunakan pola pengangkutan sebagai berikut (Gambar 7.3): − Kendaraan keluar dari pool dan langsung menuju ke jalur pengumpulan sampah. − Truk sampah berhenti di pinggir jalan di setiap rumah yang akan dilayani, dan pekerja mengambil sampah serta mengisi bak truk sampah sampai penuh. − Setelah terisi penuh, truk langsung menuju ke tempat pemrosesan atau ke TPA − Dari lokasi pemrosesan tersebut, kendaraan kembali ke jalur pelayanan berikutnya sampai shift terakhir, kemudian kembali ke pool.
Pemerosesan/TPA
Pool
Sumber Sampah
Gambar 7.3: Skema pola pengangkutan sampah secara langsung (door-to-door) [4, 7, 51] Untuk sistem pengumpulan secara tidak langsung, yaitu dengan menggunakan Transfer Depo/TD), maka pola pengangkutan yang dilakukan adalah sebagai berikut (Gambar 7.4): − Kendaraan keluar dari pool langsung menuju lokasi TD, dan dari TD sampah-sampah tersebut langsung diangkut ke pemrosesan akhir − Dari pemrosesan tersebut, kendaraan kembali ke TD untuk pengangkutan ritasi berikutnya. Dan pada ritasi terakhir sesuai dengan yang ditentukan, kendaraan tersebut langsung kembali ke pool.
Pool
Pemerosesan/TPA
TPS/TD
Gambar 7.4: Skema pola pengangkutan secara tidak langsung [4,7, 51] 7.4 Pola Pengangkutan Sampah Pengangkutan sampah dengan sistem pengumpulan individual langsung (door to door) adalah seperti terlihat pada sekema Gambar 7.5 berikut ini.
Kontong Plastik +/- 30 ltr Dump Truck
Sumber timbulan sampah
Bin/Tong +/- 40 ltr
Pemeroses an/TPA
Compactor Truck Bin Plastik +/- 120 ltr
Gambar 7.5 : Pola pengangkutan sampah sistem individual langsung [7, 51]
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
63
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Penjelasan ringkas dalam sistem tersebut adalah: − Truk pengangkut sampah berangkat dari pool menuju titik sumber sampah pertama untuk mengambil sampah − Selanjutnya truk tersebut mengambil sampah pada titik-titik sumber sampah berikutnya sampai truk penuh sesuai dengan kapasitasnya. − Sampah diangkut ke lokasi pemrosesan atau ke TPA − Setelah pengosongan sampah di lokasi tersebut, truk menuju kembali ke lokasi sumber sampah berikutnya sampai terpenuhi ritasi yang telah ditetapkan. Sebagaimana telah dibahas pada Bagian 6 (lihat Tabel 6.5) terdapat 3 jenis sistem transfer, yaitu Tipe I, II dan III. Pengumpulan sampah melalui sistem pemindahan di transfer depo Tipe I dan II, pola pengangkutannya dapat dilihat pada Gambar 7.6: Pool Kendaraan
Transfer Depo Tipe I dan II
Pemerosesan/TPA
Pengangkutan sampah. Kembali lagi ke transfer depo untuk rit berikutnya.
Gambar 7.6: Pola pengangkutan sistem transfer depo Tipe I dan II [7, 51] Keterangan sistem: − Kendaraan pengangkut sampah keluar dari pool langsung menuju lokasi pemindahan di transfer depo untuk mengangkut sampah langsung ke pemrosesan atau TPA. − Selanjutnya kendaraan tersebut kembali ke transfer depo untuk pengambilan pada rit berikutnya. Untuk pengumpulan sampah dengan sistem kontainer (transfer tipe III), pola pengangkutannya adalah sebagai berikut: a. Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer Cara-1 (Gambar 7.7) dengan keterangan: Kendaraan dari pool menuju kontainer isi pertama untuk mengangkut sampah ke pemrosesan atau ke TPA. Kontainer kosong dikembalikan ke tempat semula. Menuju ke kontainer isi berikutnya untuk diangkut ke pemrosesan atau ke TPA. Kontainer kosong dikembalikan ke tempat semula. - Demikian seterusnya sampai rit terakhir. Isi
Kosong
a
a
b
Kontainer
b
1
c
c
7
4
10
Pool
ke Pool
3
5
6
8
2
9 Pemero sesan/ TPA
Gambar 7.7: Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer Cara-1 [7, 51] Keterangan gambar: angka 1,2,3,…,10 adalah rute alat angkut. b. Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer Cara-2 (Gambar 7.8): Isi
Kontainer
1 Pool
3
4
5
2
6 Pemero sesan/ TPA
Ke Lokasi Kontainer Awal
7
Gambar 7.8 : Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer Cara-2 [7,51] Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
64
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Keterangan sistem: − Kendaraan dari pool menuju kontainer isi pertama untuk mengangkut sampah ke pemrosesan − Dari sana kendaraan tersebut dengan kontainer kosong menuju ke lokasi kedua untuk menurunkan kontainer kosong dan membawa kontainer isi untuk diangkut ke pemrosesan. − Demikian seterusnya sampai pada rit terakhir. − Pada rit terakhir dengan kontainer kosong dari pemrosesan atau TPA menuju ke lokasi kontainer pertama. − Sistem ini diberlakukan pada kondisi tertentu, misal pengambilan pada jam tertentu atau mengurangi kemacetan lalu lintas. c. Pola pengangkutan sampah dengan sistem pengosongan kontainer Cara-3 (Gambar 7.9) dengan keterangan sebagai berikut: − Kendaraan dari pool dengan membawa kontainer kosong menuju ke lokasi kontainer isi untuk mengganti/mengambil dan langsung membawanya ke Pemrosesan atau ke TPA. − Kendaraan dengan membawa kontainer kosong dari TPA menuju ke kontainer isi berikutnya. − Demikian seterusnya sampai dengan rit terakhir. Kosong
Isi
Kontainer
1 Pool
2
3
4
5 6
Pemero sesan/ TPA
Ke Pool
7
Gambar 7.7: Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer Cara-3 [7, 51] d. Pola pengangkutan sampah dengan sistem kontainer tetap dapat dilihat pada Gambar 7.10: Kontainer tetap biasanya untuk kontainer kecil serta alat angkut berupa truk compactor. Keterangan sistem adalah: − Kendaraan dari pool menuju kontainer pertama, sampah dituangkan ke dalam truk compactor dan meletakkan kembali kontainer yang kosong. − Kendaraan menuju ke kontainer berikutnya sehingga truk penuh, untuk kemudian langsung ke pemrosesan atau ke TPA. − Demikian seterusnya sampai dengan rit terakhir. Pengangkutan sampah hasil pemilahan yang bernilai ekonomi dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati. Isi
Kosong
Kontainer
Truk dari Pool
Pemero sesan/ TPA
Gambar 7.10: Pola Pengangkutan dengan sistem kontainer tetap [7, 51] Penentuan rute pengangkutan sampah dimaksudkan agar kegiatan operasional pengangkutan sampah dapat terarah dan terkendali dengan baik. Untuk menentukan rute pengangkutan ini, maka perlu diperhatikan: − Lebar jalan yang akan dilalui. − Peraturan lalu lintas yang berlaku. − Waktu-waktu padat. Dengan selalu mengikuti peraturan lalu lintas yang berlaku, diusahakan agar rute pengangkutan adalah yang sependek mungkin. Untuk Indonesia yang menggunakan peraturan lalu lintas jalur kiri (left way system), maka rute pengangkutan diusahakan untuk menghindari belokan ke kanan, namun karena panjangnya rute, maka belokan melawan sistem ini seringkali tidak dapat dihindari. Akan tetapi diusahakan agar hal tersebut terjadi sesedikit mungkin. Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
65
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
BAGIAN 8 PENGOLAHAN SAMPAH Bagian ini menjelaskan beragam jenis pengolahan sampah secara umum. Penjelasan lanjut lebih diarahkan pada pengenalan teknologi pengomposan dan insinerasi, dua teknologi yang paling banyak digunakan. 8.1 Pengolahan Sampah Secara Umum Seperti dibahas pada Bagian sebelumnya, sistem operasional pengelolaan sampah mencakup juga sub-sistem pemrosesan dan pengolahan sampah, yang perlu dikembangkan secara bertahap dengan mempertimbangkan pemrosesan yang bertumpu pada pemanfaatan kembali, baik secara langsung, sebagai bahan baku maupun sebagai sumber enersi. Teknologi pengolahan sampah yang saat ini berkembang dan sangat dianjurkan bertujuan bukan hanya untuk memusnahkan sampah tetapi untuk me-recovery bahan dan/atau enersi yang terkandung di dalamnya. Pemanfaatan enersi merupakan salah satu teknologi yang paling banyak dikembangkan dan diterapkan, khususnya dalam bentuk teknologi waste-to-energy, yang menghasilkan enersi panas atau gas-bio yang berhasil dikeluarkan untuk kebutuhan enersi terbarukan. Namun perlu ditekankan bahwa hasil enersi yang dihasilkan tidak aka pernah dapat menghasilkan uang yang dapat menutup biaya pengembalian modal dan operasipemeliharaan sistem tersebut. Teknologi tersebut tetap diposisikan sebagai pengolah sampah, bukan sebagai pembangkit enersi sebagai peran utamanya. Hasil penjualan listrik digunakan sebagai upaya menurunkan biaya yang dibutuhkan dalam menjalankan teknologi tersebut. Pembangunan sistem persampahan yang lengkap dan dikelola secara terpadu, selain memerlukan modal investasi awal yang cukup besar, juga memerlukan kemampuan manajemen operasional yang baik. Untuk mewujudkan maksud tersebut dapat dijalin hubungan kerjasama antar daerah dan atau bermitra usaha dengan sektor swasta yang potensial dan berpengalaman. Teknik-teknik pemrosesan dan pengolahan sampah yang secara luas diterapkan di lapangan, khususnya di negara industri antara lain adalah: − Pemilahan sampah, baik secara manual maupun secara mekanis berdasarkan jenisnya − Pemadatan sampah (baling) − Pemotongan sampah − Pengomposan sampah baik dengan cara konvensional maupun dengan rekayasa − Pemrosesan sampah sebagai sumber gas-bio − Pembakaran dalam Insinerator, dengan pilihan pemanfaatan enersi panas Melihat komposisi sampah di Indonesia yang sebagian besar adalah sisa-sisa makanan, khususnya sampah dapur, maka sampah jenis ini akan cepat membusuk, atau terdegradasi oleh mikroorganisme yang berlimpah di alam ini. Pengomposan merupakan salah satu teknik pengolahan limbah organik (hayati) yang mudah membusuk. Kompos dapat disebut berkualitas baik bila mempunyai karakteristik sebagai humus dan bebas dari bakteri patogen serta tidak berbau yang tidak enak. Sampah yang telah membusuk di sebuah timbunan sampah misalnya di landfill sebetulnya adalah kompos anaerob yang dapat dimanfaatkan pada pasca operasi. Alasan utama utama kegagalan pengomposan selama ini adalah pemasaran. Aktivitas daur-ulang sampah dapat dimulai dari rumah-rumah, misalnya penggunaan komposter individual. Cara ini diperkenalkan dan telah diuji coba oleh Puslitbang Permukiman – Departemen Pekerjaan Umum beberapa tahun yang lalu. Dengan volume kontainer sekitar 60 Liter, ternyata sampah dapur khususnya sisa-sisa makanan, akan dapat ditahan di alat ini karena terjadi pengurangan volume sampah akibat pembusukan. Tipikal alat ini dapat menerima sampah dari sebuah keluarga selama lebih dari 6 bulan sebelum penuh. Setelah penuh, yang dihasilkan adalah kompos yang perlu penanganan lebih lanjut. Sampah juga merupakan sumber biomas sebagai pakan ternak atau sebagai pakan cacing. Khusus untuk pakan cacing, jenis sampah yang cocok adalah sampah hayati, khususnya sampah yang berasal dari dapur. Dalam skala kota, dimana sistem pengumpulan dan pengangkutan sampah masih tercampur, maka upaya ini sulit untuk tercapai baik. Dari upaya ini akan dihasilkan vermi-kompos yang berasal dari casting-nya serta bioamas cacing yang kaya protein [11]. Sampah yang terbuang, sebetulnya menyimpan enersi yang dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan enersi sampah dapat dilakukan dengan cara: a. menangkap gasbio hasil proses degradasi secara anaerobik pada sebuah reaktor (digestor) b. menangkap gas bio yang terbentuk dari sebuah landfill c. menangkap panas yang keluar akibat pembakaran, misalnya melalui insinerasi.
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
66
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Ide lain yang telah diterapkan di beberapa negara industri seperti Jepang adalah membuat ‘pelet’ sampah sebagai bahan bakar. Biasanya produk ini digabungkan dengan insinerasi waste-to-energy yang enersinya dimanfaatkan. Pemanfaatan panas dari insinerator dapat dipertimbangkan bila karakteristik dan jumlah sampah yang akan dibakar mencukupi [4]. Penelitian lain khususnya di negara industri seperti Amerika Serikat adalah mencoba membuat alkohol dari sampah organik ini. Salah satu jenis pengolah sampah yang sering digunakan sebagai alternatif penanganan sampah adalah insinerator. Saat ini teknologi insinerator dengan penangkap panas (enersi) dikenal sebagai waste-toenergy. Khusus untuk sampah kota, sebuah insinerator akan dianggap layak bila selama pembakarannya tidak dibutuhkan subsidi enersi dari luar. Jadi sampah tersebut harus terbakar dengan sendirinya. Sejenis sampah akan disebut layak untuk insinerator, bila mempunyai nilai kalor sebesar paling tidak 1200 kcal/kg-kering. Untuk sampah kota di Indonesia, angka ini umumnya merupakan ambang tertinggi. Disamping itu, sampah kota di Indonesia dikenal mempunyai kadar air yang tinggi (sekitar 60 %), sehingga akan mempersulit untuk terbakar sendiri. Hambatan utama penggunaan insinerator adalah kekhawatiran akan pencemaran udara. Insinerasi modular juga sering disebut-sebut sebagai alternatif dalam mengurangi massa sampah yang akan diuangkut ke TPA. Beberapa Dinas Kebersihan di Indonesia juga mempunyai minat yang serius dengan pembakaran sampah di tingkat kawasan sebelum sampah diangkut ke TPA. Persoalan yang timbul adalah bagaimana mencari lokasi yang cocok, dan yang paling penting adalah bagaimana mengurangi dampak negatif dari pencemaran udara, termasuk adanya asap, bau pembakaran, dsb. Dari sekian banyak jenis pencemaran udara yang mungkin timbul, maka tampaknya yang paling dikhawatirkan adalah munculnya dioxin, yang dapat diminimalkan bila bahan plastik, khususnya PVC, tidak ikut terbakar di insinerator ini [11]. Tabel 8.1 merupakan gambaran umum tentang beberapa pengolahan. Tabel 8.1: Kelebihan dan kelemahan alternatif sistem pengolahan sampah [50] Jenis Pengolahan Composting (Pengomposan): 1. High Rate (modern) 2. Windrow Composting (sederhana)
Baling (Pemadatan) Incinerator (Pembakaran)
Recycling (Daur Ulang)
Kelebihan - Proses pengomposan lebih cepat. - Volume sampah yang terbuang berkurang. - Tidak memerlukan banyak peralatan. - Sesuai untuk sampah yang banyak mengandung unsur organik. - Volume sampah yang terbuang berkurang. - Biaya investasi lebih murah. - Volume sampah yang terbuang dapat dikurangi. - Praktis/efisien dalam pengangkutan ke TPA. - Untuk kapasitas besar hasil sampingan dari pembakaran dapat dimanfaatkan antara lain untuk pembangkit tenaga listrik. - Volume sampah menjadi sangat berkurang. - Hygienis. - Pemanfaatan kembali bahanbahan (anorganik) yang sudah terpakai. - Merupakan lapangan kerja bagi pemulung sampah (informal). - Volume sampah yang terbuang berkurang, menghemat lahan pembuangan akhir.
-
-
Kelemahan Memerlukan peralatan lebih banyak dan kompleks. Biaya investasi mahal.
Catatan - Harga kompos yang dihasilkan lebih mahal daripada pupuk kimia. - Biaya operasi lebih tinggi dari harga jual.
Perlu perawatan yang baik dan kontinu. Proses pengomposan lebih lama. Memerlukan tenaga lebih banyak.
-
Biaya investasi, operasi, dan pemeliharaan relatif mahal.
- Dianjurkan bila jarak ke pemrosesan akhir lebih dari 25 km.
-
Biaya investasi dan operasi mahal. Dapat menimbulkan polusi udara.
Ada 2 (dua) tipe : - Sistem pembakaran berkesinambungan untuk kapasitas besar (>100 ton/hari). - Sistem pembakaran terputus untuk kapasitas kecil (<100 ton/hari) - Dianjurkan pemisahan mulai dari sumber sampahnya.
-
-
Tidak semua jenis sampah bisa didaurulang. Memerlukan peralatan yang relatif mahal bila dilaksanakan secara mekanis. Kurang sehat bagi pemulung sampah (informal).
8.2 Pengomposan (Composting) Proses pengomposan (composting) adalah proses dekomposisi yang dilakukan oleh mikroorganisme terhadap bahan organik yang biodegradable, atau dikenal pula sebagai biomas. Pengomposan dapat dipercepat dengan mengatur faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga berada dalam kondisi yang optimum untuk proses pengomposan. Secara umum, tujuan pengomposan adalah: a. Mengubah bahan organik yang biodegradable menjadi bahan yang secara biologi bersifat stabil b. Bila prosesnya pembuatannya secara aerob, maka proses ini akan membunuh bakteri patogen, telur serangga, dan mikroorganisme lain yang tidak tahan pada temperatur di atas temperatur normal Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
67
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
c.
Menghasilkan produk yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat tanah
Beberapa manfaat kompos dalam memperbaiki sifat tanah adalah: − Memperkaya bahan makanan untuk tanaman − Memperbesar daya ikat tanah berpasir − Memperbaiki struktur tanah berlempung − Mempertinggi kemampuan menyimpan air − Memperbaiki drainase dan porositas tanah − Menjaga suhu tanah agar stabil − Mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara − Dapat meningkatkan pengaruh pupuk buatan Kompos kurang tepat bila disebut sebagai pupuk, walaupun dikenal pula sebagai pupuk organik, karena zat hara yang dikandungnya akan tergantung pada karakteristik bahan baku yang digunakan. Oleh karena sampah kota karakteristiknya sangat heterogen dan fluktuatiif maka kualitasnya akan mengikuti karakteristik sampah yang digunakan sebagai bahan kompos setiap saat. Klasifikasi pengomposan antara lain dapat dikelompokkan atas dasar: a. Ketersediaan oksigen: − Aerob bila dalam prosesnya menggunakan oksigen (udara) − Anaerob bila dalam prosesnya tidak memerlukan adanya oksigen b. Kondisi suhu: − Suhu mesofilik: berlangsung pada suhu normal, biasanya proses anaerob o − Suhu termofilik: berlangsung di atas 40 C, terjadi pada kondisi aerob c. Teknologi yang digunakan: − Pengomposan tradisional (alamiah) misalnya dengan cara windrow − Pengomposan dipercepat (high rate) yang bersasaran mengkondisikan dengan rekayasa lingkungan proses yang mengoptimalkan kerja mikroorganisme, seperti pengaturan pH, suplai udara, kelembaban, suhu, pencampuran, dsb. Pengomposan aerobik lebih banyak dilakukan karena tidak menimbulkan bau, waktu pengomposan lebih cepat, temperatur proses pembuatannya tinggi sehingga dapat membunuh bakteri patogen dan telur cacing, sehingga kompos yang dihasilkan lebih higienis. Adapun perbedaan antara keduanya dapat dilihat pada Tabel 8.2 berikut ini. Proses pembuatan kompos adalah dekomposisi material organik limbah padat (sampah) secara biologis, di bawah kontrol kondisi proses yang berlangsung. Dalam produk akhir, materi organik belumlah dapat dikatakan stabil, namun dapat disebut stabil secara biologis. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Tabel 8.2: Perbandingan pengomposan aerob dan anaerob [4, 40] Karakteristik Aerob Anaerob Reaksi pembentukannya Eksotermis, butuh enersi luar, Endotermis, tidak butuh enersi dihasilkan panas luar, dihasilkan gas-bio sumber enersi Produk akhir Humus, CO2, H2O Lumpur, CO2, CH4 Reduksi volume Lebih dari 50% Lebih dari 50% Waktu proses (20-30) hari (20-40) hari Tujuan utama Reduksi volume Produksi energi Tujuan sampingan Produksi kompos Stabilisasi buangan Estetita Tidak menimbulkan bau Menimbulkan bau
Karena pertimbangan di atas, maka biasanya proses pengomposan dilakukan secara aerob. Secara umum, transformasi umum buangan aerob dapat dijelaskan sebagai berikut [4]: Input: Materi organik + O2 + nutrisi + bakteri Materi organik belum terdegradasi + biomass sel bakteri + CO2 + H2O + NH3 + ........ + panas Bila materi organik adalah CaHbOcNd, bila sel biomas bakteri diabaikan, dan bila materi orgnanik belum terdegradasi adalah CwHxOyNz , maka konsumsi reaksi yang terjadi adalah [4]: !
CaHbOcNd + 0,5 (ny + 2s + r –c) O2 → nCwHxOyNz + sCO2 + rH2O + (d-nx) NH 3 .............. (8.1) Dengan:
r = 0,5 [b – nx – 3(d – nx)] s = a - nw Bila terjadi reaksi sempurna, maka [4]: C aH bO c N d +
4 a +b"2c"3d 4
!
O2 → aCO2 + (b - 3d)/2 + H2O + dNH 3 ............................
(8.2)
Bila proses berlangsung anaerob, misalnya dalam landfilling yang berlangsung secara alamiah, maka transformasinya adalah : CaHbOcNd → nCwHxOyHz + mCH4 + sCO2 + (d - nz)NH3 + rH2O ...................................... (8.3) Dengan : s = a – nw – m ! r = c – ny - 2s Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
68
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengomposan, antara lain [4, 53]: a. Bahan yang dikomposkan: apakah mudah terurai atau sulit terurai, misalnya makin banyak kandungan kayu atau bahan yang mengandung lignin, maka akan makin sulit terurai b. Mikroorganisme: mikroorganisme seperti bakteri, ragi, jamur yang sesuai dengan bahan yang akan diuraikan akan dapat menguraikan bahan organik c. Ukuran bahan yang dikomposkan : bila ukuran sampah makin kecil, akan makin luas permukaan, sehingga makin baik kontak antara bakteri dan materi organik, akibatnya akan makin cepat proses pembusukan. Namun bila diameter terlalu kecil, kondisi bisa menjadi anaerob karena ruang untuk udara mengecil. Diameter yang baik adalah antara (25-75) mm. d. Kadar air (lihat Tabel 8.3): − Timbunan kompos harus selalu lembab, biasanya sekitar nilai 50-60%. Nilai optimum adalah = 55%, kurang lebih selembab karet busa yang diperas. − Adanya panas yang terbentuk, menyebabkan air menguap, sehingga tumpukan menjadi kering. − Bila terlalu basah, maka pori-pori timbunan akan terisi air, dan oksdigen berkurang sehingga proses menjadi anaerob. Biasanya pengadukan atau pembalikan kompos pada proses konvensional akan mengembalikan kondisi dalam timbunan menjadi normal kembali. Bulking agent, seperti zeolit, dedak atau kompos matang, banyak digunakan untuk mempertahankan kadar air agar tidak terlalu lembab. − Timbunan akan berasap bila panas mulai timbul. Pada saat itu bagian tengah tumpukan dapat menjadi kering, dan proses pembusukan dapat terganggu. − Untuk mengukur suhu secara mudah, tancapkan bambu ke tengah tumpukan. Bila bambu basah dan hangat, serta tidak berbau busuk, maka proses pengomposan berjalan dengan baik. − Kadang-kadang diperlukan penambahan air ke dalam timbunan setiap 4 – 5 hari sekali. Sebaliknya, untuk daerah yang mempunyai curah hujan yang tinggi, maka timbunan kompos harus dilindungi dari hujan, misalnya diberi tutup plastik atau terpal. e. Ketersediaan oksigen: − Pada proses aerob selalu dibutuhkan adanya oksigen. Pada proses konvensional, suplai oksigen dilakukan dengan pembalikan tumpukan sampah. Pembalikan menyebabkan distribusi sampah dan mikroorganisme akan lebih merata. Secara praktis, pembalikan biasanya dilakukan setiap 5 hari sekali. − Pada pengomposan tradisional, tersedianya oksigen akan dipengaruhi tinggi tumpukan. Tinggi tumpukan sebaiknya 1,25 - 2 m. − Pada proses mekanis, suplai oksigen dilakukan secara mekanis, biasanya dengan menarik udara yang berada dalam kompos, sehingga udara dari luar yang kaya oksigen menggantikan udara yang ditarik keluar yang kaya CO2. Untuk hasil yang optimum, diperlukan udara yang mengandung lebih dari 50% oksigen. f. Kandungan karbon dan nitrogen (lihat Tabel 8.3): − Karbon (C ) adalah komponen utama penyusun bahan organik sebagai sumber enersi, terdapat dalam bahan organik yang akan dikomposkan seperti jerami, batang tebu, sampah kota, daundaunan dsb. − Nitrogen (N) adalah komponen utama yang berasal dari protein, misalnya dalam kotoran hewan, dan dibutuhkan dalam pembentukan sel bakteri. − Dalam proses pengomposan, 2/3 dari karbon digunakan sebagai sumber energi bagi pertumbuhan mikroorganisme, dan 1/3 lainnya digunakan untuk pembentukan sel bakteri. Perbandingan C dan N awal yang baik dalam bahan yang dikomposkan adalah 25-30 (satuan beratnkering), sedang C/N di akhir proses adalah 12 – 15. Pada rasio yang lebih rendah, ammonia akan dihasilkan dan aktivitas biologi akan terhambat, sedang pada ratio yang lebih tinggi, nitrogen akan menjadi variabel pembatas. − Harga C/N tanah adalah 10 – 12, sehingga bahan-bahan yang mempunyai harga C/N mendekati C/N tanah, dapat langsung digunakan. − Waktu pengomposan dapat direduksi dengan proses pencampuran dengan bagian yang sudah terdekomposisi sampai (1-2)% menurut berat. Buangan lumpur dapat juga ditambahkan dalam penyiapan sampah. Jika lumpur ditambahkan, kadar air akhir merupakan variabel pengontrol. g. Kondisi asam basa (pH): − pH memegang peranan penting dalam pengomposan. Pada awal pengomposan, pH akan turun sampai 5, kemudian pH akan naik dan stabil pada pH 7 - 8 sampai kompos matang. − Bila pH terlalu rendah, perlu penambahan kapur atau abu. Untuk meminimalkan kehilangan nitrogen dalam bentuk gas ammonia, pH tidak boleh melebihi 8,5. h. Temperatur: − Suhu terbaik adalah 50º-55ºC, dan akan mencapai (55-60)ºC pada periode aktif. Suhu rendah, menyebabkan pengomposan akan lama. Suhu tinggi (60-70)ºC menyebabkan pecahnya telur insek, dan matinya bakteri-bakteri patogen yang biasanya hidup pada temperatur mesofilik. − Pada pengomposan tradisional, bila tumpukan terlalu tinggi, terjadi pemadatan bahan-bahan dan akan terjadi efek selimut. Hal ini akan menaikkan temperatur menjadi sangat tinggi, dan oksigen menjadi berkurang.
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
69
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Tabel 8.3: Perbandingan C/N dan kadar air [4] Jenis Bahan Harga C/N Kadar Air (%) Kayu 200-400 75-90 Jerami padi 50-70 75-85 Kertas 50 55-65 Kotoran ternak 10-20 55-65 Sampah kota 30 50-60 i.
Tingkat dekomposisi: dapat diperkirakan melalui pengukuran penurunan suhu akhir, tingkat kapasitas panas, jumlah materi yang dapat didekomposisi. Kenaikan potensial redoks, kebutuhan oksigen, pertumbuhan jamur, dsb dapat digunakan juga sebagai indikator tingkat dekomposisi.
Sistem Windrow merupakan teknologi yang relatif paling sederhana melalui penumpukan bahan kompos secara tradisional. Suplai oksigen dari udara bebas dimasukkan dari bawah tumpukan, dengan melengkapi drainase penyalur udara di bawahnya. Materi kompos dibiarkan terdekomposisi secara alamiah dan oleh kegiatan bakteri yang menghasilkan panas pada tumpukan kompos. Panas terbentuk selain membunuh bakteri patogen juga membantu proses perbaikan dan pengeringan secara perlahan. Proses ini membutuhkan waktu sekitar 2 - 3 minggu untuk mencapai kompos setengah matang, dan membutuhkan 3 - 4 bulan berikutnya untuk menghasilkan kompos matang. Contoh lain dari proses pengomposan sederhana dapat dilihat pada gambar berikut, yang dikembangkan oleh PPT ITB. Sejak awal tahun 1980-an Pusat Studi Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) ITB memperkenalkan pengomposan sederhana, bersamaan dengan dikembangkannya Kawasan Industri Sampah. Pada pengomposan ini, disamping penambahan air untuk menjaga kelembaban, ditambahkan juga kapur , sekam padi dan diperkaya dengan pembubuhan urea dan NPK. Cara pengomposan ini kemudian diterapkan dibeberapa tempat, antara lain di Kebun Binatang Ragunan. Langkah yang digunakan seperti terlihat dalam Gambar 8.1. Disamping itu, pembuatan kompos dengan menggunakan cacing dapat pula diterapkan, dikenal sebagai Vermikultur. Cara ini adalah penerapan vermikultur dengan skala yang memadai untuk memproduksi volume cacing yang diperlukan oleh petani untuk mampu mengkonsumsi sekitar 3-5% kompos kasar produksi TPA. Kompos adalah makanan yang ideal bagi vermikultur sehingga tidak ada biaya tambahan produksi yang diperlukan [41]. Di negara industri, pengomposan sampah kota sudah biasa dilaksanakan secara mekanis, dikenal sebagai pengomposan dipercepat (accelerated composting). Percepatan ini dilaksanakan pada proses pembuatan kompos setengah matang, yang pada pengomposan tradisional (konvensional) membutuhkan waktu sekitar 3 minggu. Pada pengomposan ini, waktu yang dibutuhkan dipercepat sampai menjadi 1 minggu. Prinsip yang digunakan adalah bagaimana agar bahan baku kompos menjadi lebih baik, dan bagaimana agar mikroorganisme pengurai menjadi lebih aktif dalam menguraikan kompos. Beberapa catatan dalam pengomosan dipercepat adalah [56]: − Bahan yang akan dikomposkan disortir dari logam, kaca, plastik dan bahan lain yang tidak dapat dikomposkan. Untuk pemisahan bahan tersebut dapat digunakan alat pemisah mekanis atau manual. − Proses pengomposan dilakukan dalam reaktor, dengan pasokan oksigen dan air untuk menjamin kondisi tetap aerob. Disamping itu dilakukan pembalikan/ pengadukan secara mekanikal. Beberapa teknologi menyalurkan uap panas hasil pengomposan pada bagian sampah yang baru masuk. Pembibitan mikroorganisme dilakukan dengan resirkulasi air lindi yang terbentuk. Beberapa jenis reaktor pengomposan modern adalah [54]: − Vertikal (menara): diperkenalkan pada tahun 1939 di Amerika, dikenal dengan metoda EarpThomas. Sampah dimasukkan dari bagian atar reaktor. Fermentasi terjadi selama transport material dari bagian atas sampai ke dasar reaktor yang terdiri dari beberapa tahap. Metode sejenis adalah jenis Triga, dimana materi sampah dimasukkan dari atas, dan sampah turun ke bawah karena adanya putaran pada reaktor. − Horisontal: cara yang paling dikenal adalah metoda Dano. Metoda ini berasal dari Denmark (1933). Fermentasi dilakukan dalam reaktor bertipe rotary kiln. Sampah diputar secara perlahan dalam kiln. Dengan pemutaran ini, materi asing yang tidak bisa dikomposkan akan terpisahkan di ujung akhir kiln. − Metode Siloda adalah menggunakan alat yang secara sistematis dan berkala memindahkan kompos ke sisi lain, sehingga terjadi pengadukan secara sempurna Dengan sistem reaktor tersebut, maka variabel yang dapat mempertinggi kerja mikroorganisme diatur secara sistematis dan menerus. Contoh-contoh pengomposan dipercepat dalam reaktor dapat dilihat dalam Gambar 8.2 sampai 8.4 berikut.
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
70
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Gambar 8.1: Pengomposan dengan cetakan model PPLH ITB [55]
Gambar 8.2: Metode pengomposan Siloda [54]
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
71
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Gambar 8.3 : Metode pengomposan Dano [54]
Gambar 8.4 : Skema pengomposan vertikal Triga dan Tower [54] 8.3 Insinerator Insinerator Skala Kota Teknologi insinerasi merupakan teknologi yang mengkonversi materi padat (dalam hal ini sampah) menjadi materi gas (gas buang), serta materi padatan yang sulit terbakar, yaitu abu (bottom ash) dan debu (fly ash). Panas yang dihasilkan dari proses insinerasi juga dapat dimanfaatkan untuk mengkonversi suatu materi menjadi materi lain dan energi, misalnya untuk pembangkitan listrik dan air panas. Insinerasi adalah metode pengolahan sampah dengan cara membakar sampah pada suatu tungku pembakaran. Di beberapa negara maju, teknologi insinerasi sudah diterapkan dengan kapasitas besar (skala kota). Teknologi insinerator skala besar terus berkembang, khususnya dengan banyaknya penolakan akan teknologi ini yang dianggap bermasalah dalam sudut pencemaran udara. Salah satu kelebihan yang dikembangkan terus dalam teknologi terbaru dari insinerator ini adalah pemanfaatan enersi, sehingga nama insinerator cenderung berubah seperti waste-to-energy, thermal converter [33] . Gambar 8.5 dan 8.6 berikut adalah skema insinerator.
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
72
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Suplai air pendingin
Suplai Buangan
Air Pollution Control (APC)
Unit Penerima (Ruang Bakar)
Suplai udara
Unit pemisah
Gambar 8.5: Prinsip proses Insinerasi
Udara/gas
Cerobong
Udara BBM Pemasok
LIMBAH
Penerima
Gas
Tungku
Debu Terbang
Tungku
BBM
APC
Udara Pemisah
Landfill
Pengolah air
Gambar 8.6: Unit-unit pada Insinerator Skala Kota [5] Meskipun teknologi ini mampu melakukan reduksi volume sampah hingga 70%, namun teknologi insinerasi membutuhkan biaya investasi, operasi, dan pemeliharaan yang cukup tinggi. Fasilitas pembakaran sampah dianjurkan hanya digunakan untuk memusnahkan/membakar sampah yang tidak bisa didaur ulang, ataupun tidak layak untuk diurug. Alat ini harus dilengkapi dengan sistem pengendalian dan kontrol untuk memenuhi batas-batas emisi partikel dan gas-buang sehingga dipastikan asap yang keluar dari tempat pembakaran sampah merupakan asap/gas yang sudah netral. Abu yang dihasilkan dari proses pembakaran bisa digunakan untuk bahan bangunan, dibuat bahan campuran kompos, atau dibuang ke landfill. Sedangkan residu dari sampah yang tidak bisa dibakar seperti sisa logam bisa didaur ulang. Insinerasi merupakan proses pengolahan buangan dengan cara pembakaran pada temperatur yang sangat tinggi (>800ºC) untuk mereduksi sampah yang tergolong mudah terbakar (combustible), yang sudah tidak dapat didaurulang lagi. Sasaran insinerasi adalah untuk mereduksi massa dan volume buangan, membunuh bakteri dan virus dan meredukdi materi kimia toksik, serta memudahkan penanganan limbah selanjutnya. Insinerasi dapat mengurangi volume buangan padat domestik sampai 85-95 % dan pengurangan berat sampai 70-80 %. Proses insinerasi berlangsung melalui 3 (tiga) tahap, yaitu:
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
73
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Mula-mula membuat air dalam sampah menjadi uap air, hasilnya limbah menjadi kering yang akan siap terbakar. − Selanjutnya terjadi proses pirolisis, yaitu pembakaran tidak sempurna, dimana temperatur belum terlalu tinggi − Fase berikutnya adalah pembakaran sempurna. Agar terjadi proses yang optimal maka ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam menjalankan suatu insinerator, antara lain: − Aspek keterbakaran: menyangkut nilai kalor, kadar air, dan kadar abu dari buangan padat, khususnya sampah. − Aspek keamanan: menyangkut titik nyala, tekanan uap, deteksi logam berat, dan operasional insinerator. − Aspek pencegahan pencemaran udara : menyangkut penanganan debu terbang, gas toksik, dan uap metalik. −
Terdapat 3 parameter utama dalam operasi insinerator yang harus diperhatikan, yaitu 3-T (Temperature, Time dan Turbulence) [5]: − Temperature (Suhu): Berkaitan dengan pasokan oksigen (melalui udara). Udara yang dipasok akan menaikkan temperature karena proses oksidasi materi organik bersifat eksotermis. Temperatur ideal o untuk sampah kota tidak kurang dari 800 C. − Time (waktu): Berkaitan dengan lamanya fasa gas yang harus terpapar dengan panas yang telah ditentukan. Biasanya sekitar 2 detik pada fase gas, sehingga terjadi pembakaran sempurna. − Turbulensi: Limbah harus kontak sempurna dengan oksigen. Insinerator besar diatur dengan kisi-kisi atau tungku yang dapat bergerak, sedang insinerator kecil (modular) tungkunya adalah statis. Skema insinerator kapasitas besar untuk sampah kota umumnya terdiri atas bagian-bagian sebagai berikut (lihat Gambar 8.6): − Unit Penerima: perlu untuk menjaga kontinuitas suplai sampah. − Sistem Feeding/Penyuplai: agar instalasi terus bekerja secara kontinu tanpa tenaga manusia. − Tungku pembakar: harus bisa mendorong dan membalik sampah. − Suplai udara: agar tetap memasok udara sehingga sistem dapat terbakar. Pasokan udara dari bawah adalah suplai utama. Udara sekunder perlu untuk membakar bagian-bagian gas yang tidak sempurna. − Kebutuhan udara: tergantung dari jenis limbah − Pembubuhan air: mendinginkan residu/abu dan gas yang akan keluar stack agar tidak mencemari lingkungan. − Unit pemisah: memisahkan abu dari bahan padat yang lain. − APC (Air Pollution Control): terdapat beragam pencemaran yang akan muncul, khususnya: o Debu atau partikulat o Air asam o Gas yang belum sempurna terbakar: CO o Gas-gas hasil pembakaran seperti CO2, NOx , SOx, o Dioxin o Panas Setiap jenis pencemar, membutuhkan APC yang sesuai pula, sehingga bila seluruh jenis pencemar ini ingin dihilangkan, maka akan dibutuhkan serangkaian unit-unit APC yang sesuai. Pada insinerator modular yang sering digunakan di kota-kota di Indonesia, dapat dikatakan sarana ini belum dilengkapi unit APC, paling tidak untuk mengurangi partikel-partikel debu yang keluar. − Cerobong (stack): semakin tinggi akan semakin baik, terutama untuk daerah sekitarnya, tetapi tidak berarti tidak mengotori udara. Dengan cerobong yang tinggi maka terjadi pendinginan-pengenceran. − Dinding insinerator harus tahan panas, dan tidak menyalurkan panas keluar. Nilai kalor sampah Indonesia mencapai 1.000 – 2.000 kkal/kg-kering. Dapat dicapai proses insinerasi yang ekonomis bila sampah memiliki nilai kalor paling tidak 2.000 kkal/kg-kering, sehingga tidak dibutuhkan enersi tambahan dari luar. Kebutuhan oksigen dan nilai kalor yang dikandungnya dapat dihitung berdasarkan metode pendekatan kadar unsur sampah, misalnya dengan rumus kimia sampah Indonesia dengan dominasi rata–rata kandungan sampah organik sekitar 60%, sampah plastik 17%, dan sampah kertas 16% adalah C351,42H2.368,63O1.099,65N13,603S. Teknologi insinerasi mempunyai beberapa sasaran, yaitu: a. Mengurangi massa / volume: proses insinerasi adalah proses oksidasi (dengan oksigen atau udara) limbah combustible pada temperatur tinggi. Akan dikeluarkan abu, gas, limbah sisa pembakaran dan abu, dan diperoleh pula enersi panas. Bila pembakaran sempurna, akan tambah sedikit limbah tersisa dan gas yang belum sempurna terbakar (seperti CO). Panas yang tersedia dari pembakaran limbah sebelumnya akan berpengaruh terhadap jumlah bahan bakar yang dipasok. Insinerator yang bekerja terus menerus akan menghemat bahan bakar. b. Mendestruksi komponen berbahaya: insinerator tidak hanya untuk membakar sampah kota. Sudah diterapkan untuk limbah non-domestik, seperti dari industri (termasuk limbah B3), dari kegiatan Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
74
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
c.
medis (untuk limbah infectious). Insinerator tidak hanya untuk membakar limbah padat. Sudah digunakan untuk limbah non-padat, seperti sludge dan limbah cair yang sulit terdegradasi. Teknologi ini merupakan sarana standar untuk menangani limbah medis dari rumah sakit. Sasaran utamanya adalah mendestruksi patogen yang berbahaya seperti kuman penyakit menular. Syarat utamanya o adalah panas yang tinggi (dioperasikan di atas 800 C). Dalam hal ini limbah tidak harus combustible, sehingga dibutuhkan subsidi bahan bakar dari luar Insinerasi adalah identik dengan combustion, yaitu dapat menghasilkan enersi yang dapat dimanfaatkan. Faktor penting yang harus diperhatikan adalah kuantitas dan kontinuitas limbah yang akan dipasok. Kuantitas harus cukup untuk menghasilkan enersi secara kontinu agar suplai enersi tidak terputus.
Insinerator dapat dibagi berdasarkan perbedaan: a. Cara pengoperasian: batch atau kontinu b. Tungku yang digunakan: − Statis (insinerator modular atau kecil, seperti insinerator RS) − Mechanical stoker : biasanya untuk sampah kota − Fluiduized bed : biasanya untuk limbah homogen − Rotary kiln : untuk limbah industri (limbah padat atau cair) − Multiple hearth : untuk limbah industri c. Cara penyuplaian limbah: dikaitkan dengan fasa limbah (padat, gas, sludge, slurry) Masing-masing jenis kemudian berkembang lagi, misalnya dalam insenarator modular dikenal insinerator kamar-jamak, yang kemudian dibagi lagi menjadi: − Multi chambre − Multi chambre – starved control-air Insinerator Modular Di Indonesia, penggunaan insinerator skala kota baru dilaksanakan di Surabaya. Namun karena permasalahan teknis yang sejak awal telah terjadi, insinerator ini cendererung kurang berfungsi. Insinerator skala modular (skala kecil), banyak dicoba di beberapa kota di Indonesia, walaupun ternyata mengalami beberapa permasalahan, seperti mahalnya biaya operasi, timbulnya permasalahan lingkungan yang terlihat nyata secara visual seperti asap dan bau. Beberapa informasi di bawah ini menjelaskan secara ringkas tentang insinerator jenis modular dengan: a. Pemasokan limbah dapat dilakukan: − Secara manual: khususnya untuk insinerator kecil − Secara mekanis/hidrolis: memperpanjang waktu operasi − Bila pemasokan limbah dilakukan secara kontinu tanpa mematikan dan mendinginkan ruang pembakaran, akan dihemat bahan bakar dan kontinuitas operasi dapat dijamin. b. Pengoperasian: − Pengoperasian secara batch dengan pemasokan manual − Pengoperasian secara batch dengan pemasokan semi kontinu − Pengoperasian secara kontinu: untuk skala di atas 40 ton/hari. − Pengeluarkan abu: bila abu dapat dikeluarkan secara terus menerus, ruang pembakaran akan tetap tersedia untuk limbah yang baru. Pengeluaran abu dapat dilakukan: − Secara manual − Secara mekanis: biasanya di atas 20 ton/hari c. Insinerator yang paling sederhana adalah 1 kamar. Selanjutnya dikenal insinerator kamar-jamak dengan sasaran: − Menghemat bahan bakar − Menghemat enersi untuk suplai udara − Mempertahan temperatur − Kontrol pencemaran udara d. Kapasitas nominal tungku pembakaran: dinyatakan sebagai Kg/jam, Ton/hari atau m3/jam untuk 8 jam kerja per shift. Kapasitas pembakaran biasanya digunakan tidak lebih dari 75%. e. Pasokan oksigen dilakukan dengan memasukkan udara secara: − Manual: untuk insinerator sederhana − Blower: memasok udara dengan debit tetap atau debit yang disesuaikan dengan kebutuhan. f. Limbah yang baru dimasukkan (dingin) membutuhkan pasokan api melalui burner (pembakar bahan bakar). Bila limbahnya combustible maka limbah selanjutnya berfungsi sebagai bahan bakar. Jumlah burner, konsumsi dan jenis bahan bakar, perlu diperhatikan dalam memilih incinerator. Tambah besar kapasitas insinerator, tambah sedikit bahan bakar yang dibutuhkan per satuan limbah yang akan dibakar. g. Dinding Isolasi panas berfungsi untuk menghemat bahan bakar dan mempertahankan temperatur. Dinding insinerator yang baik biasanya berlapis-lapis, yang terdiri dari: − Lapis luar: baja tahan karat dengan ketebalan tertentu (mis 6 mm), dicat dengan cat tahan temperatur tinggi
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
75
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Lapis tengah: isolator panas dengan ketebalan tertentu, dengan baha seperti asbes, atau kalsium silikat dsb − Lapis dalam: langsung kontak dengan temperatur tinggi, misalnya dari bahan bata tahan api Tinggi dan bahan cerobong: tambah tinggi cerobong, udara panas yang keluar akan tambah terencerkan dan tersebar secara baik di lingkungan. Panel pengontrol dan petunjuk: digunakan untuk mengetahui debit udara, temperatur, alat untuk mengontrol waktu operasi (timer), dsb. Bangunan pelindung: untuk melindungi dari hujan dsb Perlengkapan pengendali pencemaran udara: biasanya dijual terpisah dari insinerator. Dikenal beberapa pengontrol, seperti: pengontrol partikulat (bag house, scruber, dsb), pengontrol uap asam (scruber basa, dsb), pengontrol gas-gas spesifik, dsb. −
h. i. j.
k.
Recovery Panas dan Permasalahan Lingkungan [57, 58] Enersi panas yang dapat dikonversi menjadi listrik dan recovery panas merupakan salah satu keunggulan yang ditawarkan dari insinerator jenis baru. Enersi tersebut berasal dari panas dalam tungku, yang biasanya didinginkan dengan air, dan uap air yang terjadi dapat digunakan sebagai penggerak turbin pembangkit listrik. Namun perlu pemahaman bahwa: − Produk panas yang nanti dikonversi menjadi listrik, akan tergantung dari nilai kalor sampah itu sendiri. Nilai kalor sampah Indonesia biasanya sulit mencapai angka 1200 Kcal/kg-kering, bandingkan dengan sampah dimana teknologi insinerator itu berasal, yaitu paling tidak 2000-2500 kkal/kg-kering. Komponen sampah yang dikenal mempunyai nilai kalor tinggi adalah kertas dan plastik. Dilemna yang muncul adalah, bila yang dikejar adalah nilai kalor tinggi, maka upaya daurulang tidak mendukung teknologi ini. − Sampah Indonesia mengandung banyak sisa makanan (bisa mencapai 70%) yang dikenal mempunyai kadar air tinggi. Ditambah musim hujan, serta sistem pewadahan sampah yang tidak tertutup, akan menambah tingginya kadar air. Secara logika, tambah tinggi kadar air, maka akan tambah banyak enersi yang dibutuhkan untuk memulai sampah itu terbakar. − Proses termal menawarkan destruksi massa limbah secara cepat. Namun semua proses termal tetap akan menghasilkan residu ( bagian non-combustible) yang tidak bisa terbakar pada temperatur operasi. Tambah tinggi panas, maka residu-nya akan tambah sedikit. Residu ini berada dalam bentuk abu, debu dan residu lain. Abu biasanya dikenal mempunyai potensi sebagai bahan bangunan, karena mengandung silikat tinggi. Sampah Indonesia mengandung abu sampai mencapai 30% berat. Debu atau partikulat akan merupakan salah satu permasalahan pencemaran udara yang perlu diperhatikan. Biasanya jalan terakhir yang dilakukan adalah diurug − Dalam proses termal, beberapa logam berat yang berada dalam sampah, akan teruapkan seperti Zn dan Hg, yang tergantung dari titik uapnya. Merkuri (Hg) pada temperatur kamarpun akan menguap. Tambah tinggi temperatur, akan tambah banyak jenis logam berat yang akan menguap. Agak sulit menangani jenis pencemar ini. − Dioxin akan muncul sebagai proses antara dalam pembakaran material, bukan hanya pada insinerator. Tambah tinggi temperatur, maka biasanya tambah sedikit bahan antara ini. Bila terjadi kegagalan dalam mempertahankan panas, atau pada awal operasi atau di akhir operasi, dimana temperatur berada pada level yang rendah, maka masalah ini dapat muncul. − Apapun teknologinya, maka dalam proses oskidasi (pembakaran) akan dihasilkan produk oksidasi, yang diantaranya berupa gas-buang. Bila sistem tidak tercampur sempurna dan pembakaran menjadi tidak sempurna, maka akan dihasilkan gas-gas yang belum terbakar sempurna. − Bila material berbasis khlor terbakar, maka akan dihasilkan produk gas khlor, yang sangat berbahaya karena korosif maupun karena toksik. Namun dengan adanya uap air, gas yang sangat reaktif ini dengan mudah menangkap uap air menjadi HCl. Ini juga perlu diklarifikasi dalam teknologi yang ditawarkan dalam air pollution control, guna mengurangi terjadinya hujan asam. − Bila pemanasan dilakukan tanpa oksigen, maka proses ini dikenal sebagai pirolisis. Modivikasi dari pirolisis adalah gasifikasi yang memasukkan sedikit udara dalam proses. Akan dihasilkan 3 jenis produk, yaitu (a) gas hasil oksidasi tanpa oksigen seperti CH4 dan H2 (b) C2H4 (ethyelene) dan tar dan (c) arang atau karbon. Seperti halnya insinerasi, maka karena yang digunakan sebagai bahan adalah sampah yang sangat heterogen, maka akan dihasilkan by-product lain seperti gas pencemar, dioxin, residu yang belum dapat terurai. Proporsi produk yang dihasilkan (gas, cair atau padat) tergantung dari temperatur dan waktu pembakaran. − Terdapat serangkaian upaya konversi enersi dalam sistem insinerator penghasil panas, mulai dari combustor – boiler – steam generator sampai ke electric generator, yang tidak akan mampu mengkonversi enersi secara mulus 100%. Bila sampah yang digunakan adalah sejenis sampah di negara industri, maka enersi listrik sebesar 20 MW/1000 ton-kering sampah dapat dicapai. Dengan kondisi sampah Indonesia yang mempunyai nilai kalor hanya sekitar 1000 kkal/kg-kering, apalagi bila kertas dan plastiknya dikeluarkan untuk didaur-ulang, serta kadar air yang cukup tinggi, maka sebetulnya berdasarkan perhitungan yang konvensional akan diperoleh paling sekitar 4 MW per kg sampah-basah.
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
76
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
8.4 Instalasi Waste-to-Energy di Negara Industri [59, 60] Sistem Waste-to-energy (WTE) membakar sampah kota non-B3 untuk menghasilkan listrik dan/atau uap air, dan sekaligus mensteril dan mengurangi volume sampah yang dibutuhkan untuk landfill. Data tahun 2007 [59] mengungkapkan bahwa di USA sistem ini digunakan untuk memproses sekitar 95.000 ton sampah perhari atau 35 juta ton per tahun, yang merupakan 17% dari total sampah yang dihasilkan, dan menghasilkan sekitar 2.500 MW listrik. Di Eropa, fasilitas WTE memproses sekitar 56 juta ton per-tahun. Denmark memproses lebih dari 80% sampahnya dengan WTE, sedang di Jepang lebih dari 60%. WTE dianggap sebagai alternatif sumber enersi terbarukan dan US-EPA menyimpulkan bahwa WTE dinilai menghasilkan listrik dengan dampak lingkungan terendah dibandingkan pembangkit listrik dari sumber yang lain. WTE saat ini bukan lagi sekedar membakar mix-waste tanpa pemilahan, tetapi sistem WTE melalui refused-derived-fuel (FDR), dimana sampah dipilah, dirajang, dan dibuat pelet (briket) bahan bakar. Di Jepang misalnya, mereka melarang sampah berbahan PVC, atau bahan plastik mengandung chloride lainnya masuk ke sistem pembakaran. Sistem WTE yang sekarang banyak digunakan dianggap perlu ditingkatkan, misalnya dengan sistem pelelehan (melting) pada temperatur yang lebih tinggi yang memungkinkan abu direduksi menjadi elemen-elemen pembentuknya, yang selanjutnya dapat direcovery (lihat gasifikasi plasma). Reduksi panas yang akan diemisikan ke luar cerobong juga dirancang berlangsung secara sangat cepat, karena dianggap penurunan panas yang biasa akan berpotensi kembali terbentuknya dioxin. WTE bekerja layaknya pembangkit listrik biasa, yang membedakannnya adalah bahan bakarnya adalah sampah, bukan solar, batu-bara atau gas. Prinsip WTE adalah sejalan dengan pembangkit listrik tenaga batubara (coal fire power plant), yaitu: • Bahan bakar dibakar, menghasilkan panas • Panas terbentuk menguapkan air • Uap dengan tekanan tinggi memutar sudu (blade) generator turbin untuk menghasilkan listrik • Listrik yang dihasilkan digunakan untuk berbagai keperluan Di USA, sejak tahun 2000 fasilitas WTE sudah disesuaikan dengan standar pengendalian pencemaran dari Clean Air Act Section 129, dengan peralatan kontrol standar, yaitu: • Baghouse: bekerja layaknya vacuum cleaner raksasa, dengan fabric filter bag yang membersihkan udara dari asap dan logam berat • Scrubber: menyemprotkan bubur kapur dan air ke dalam uap panas, yang menetralkan gas asam, dan meningkatkan penangkapan merkuri pada udara yang ke luar • Selective non-catalytic reduction: mengkonversi NOx, penyebab kabut asap (smog), menjadi nitrogen, dengan menyemprotkan ammonia atau urea ke dalam tungku panas • Sistem carbon injection: menyemprotkan karbon aktif ke dalam exhaust gas untuk menjerab (sorbsi) logam berat ldan sekaligus mengontrol emisi organik lain seperti dioxin • Abu hasil pembakatan, sekitar 10% volume, sesuai uji pelindian di USA leaching test aman untuk digunakan kembali dan diurug, atau sebagai bahan penutup landfill, karena mempunyai sifat seperti mortar yang mengeras bila telah dipakai. • Sejumlah WTE dirancang/dioperasikan sebagai co-generation, yang memanfaatkan juga uap sebagai pemanas, sehingga sistem ini dianggap lebih unggul dibandingkan pembangkit listrik tradisional. Listrik yang dihasilkan dari WTE Sistem WTE tergantung pada sumber enersi terbarukan, yaitusampah yang tidak dapat didaur-ulang atau yang non-B3. Di negara industri dimana sampahnya banyak mengandung kertas dan plastik, serta sistem pengumpulan yang tertutup sehingga kadar air sampah lebih kecil, diperkirakan sekitar 1 ton sampah mempunyai nilai panas sekitar 0,5 ton batubara, sehingga paling banyak menghasilkan listrik setara 0,5 ton batu-bara. US-EPA telah mengembangkan web-site Clean Energy untuk informasi perbandingan dampak beragam sumber enersi terhadap lingkungan, yaitu sumber gas alam, batu-bara, minyak, enersi nuklir, sampah kota, hydroelectricity, dan non-hydroelectricity-renewable energy seperti terlihat pada Tabel 8.4. Sampah dianggap sebagai sumber enersi terbarukan, yang terdiri dari sisa makanan, kertas, dan kayu, termasuk bahan non-renewable yang berasal dari bahan bakar fosil seperti plastik dan karet. Namun sampah bukanlan bahan bakar, sehingga enersi yang dapat digunakan tidak bisa disamakan dengan sumber enersi biasa seperti minyak bumi dan batu-bara. Pada pembangkit listrik, sampah di-unloaded dari truk, dicacah, atau diproses agar memudahkan penanganannya, lalu dipasok pada boiler untuk menghasilkan uap, yang dapat memutar turbin uap yang menghasilkan listrik. Di USA instalasi pembangkit listrik diatur oleh peraturan Federal dan Negara bagian, dan beragam variasi dampak yang dapat ditimbulkan. Walaupun sampah termasuk sumber enersi terbarukan, tetapi kehadirannya banyak menimbulkan kontroversi, karena emisi pencemar yang dihasilkan. Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
77
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Bahan bakar Bahan fosil - Batubara - Minyak - Gas alam Nuklir Hydroelectric Terbarukan - Sampah kota Lain-lain Total
Tabel 8.4 Produksi enersi di USA 2003 [59] Ribu MW-hours Persen 2.743.051 71 1.973.737 51 119.406 3 649.908 17 763.733 21 275.806 7 87.410 2 21.900 0,6 13.185 …. 3.883.185 100
Perbandingan emisi pencemar udara Membakar sampah akan menghasilkan NOx dan SOx serta sejumlah pencemar seangin lain, seperti senyawa merkuri dan dioxin. WTE sampah akan menghasilkan CO2, sumber utama green-house gas (GHG). Terdapat 2 pendapat yang berbeda dalam hal GHG ini, yaitu: • Diabaikan karena dianggap bagian dari siklus karbon bumi (earth’s natural carbon cycle) • Diperhitungkan, karena pembakaran sampah juga menghasilkan CO2 yang dianggap bukan bagian dari earth’s atmosphere untuk jangka panjang. Disamping itu, komponen sampah juga mengandung bahan yang berasal dari sumber enersi fosil Variasi komposisi sampah menaikkan perhatian terhadap pembakaran sampah kota, karena dapat mengandung batere, ban-bekas, dan bahan toksik lain yang terkandung dalam sampah kota. Oleh karenanya, sejumlah variasi teknologi pengendali pencemaran udara ketat diterapkan pada WTE sampah kota di negara-negara Jepang, Eropa di USA. Emisi rata-rata di USA untuk pembakaran sampah kota adalah sekitar [60]: • 2.988 lb/MWh: bila memasukkan CO2 dari emisi kedua jenis sumber yang ada dalam sampah, yaitu biomas dan bahan bakar fosil • 837 lb CO2 /MWh: bila CO2 dari emisi biomas sampah diabaikan dalam perhitungan, karena bukan berasal dari bahan bakar fosil. • 0,8 lbSO2/MWh • 5,4 lb NOx/MWh
Bahan bakar Sampah kota Batubara Minyak Gas alam
Tabel 8.5 Perbandingan emisi udara [60] CO2 SO2 NOx lb/MWh 837 0,8 5,4 2.249 13 6 1.672 12 4 1.135 0,1 1,7
8.5 Pirolisa dan Gasifikasi Di luar proses pembakaran sampah dengan insinerator, maka proses lain yang banyak digunakan dalam konversi biomas secara termal adalah pirolisis dan gasifikasi, yaitu proses destruksi menggunakan panas tanpa kehadiran oksigen, atau sedikit oksigen. Proses ini bertujuan mengkonversi biomas padat menjadi gas, cair (tar) dan padat (arang): • Pirolisis: berlangsung tanpa kehadiran oksigen sama-sekali, menggunakan sumber enersi dari luar untuk menggerakan reaksi pirolisa yang bersifat endotermis • Gasifikasi bersifat self sustaining, menggunakan udara atau oksigen yang terbatas untuk pembakaran sebagian dari biomas Sebagian besar meteri organik secara termal tidak stabil, sehingga dapat dipanaskan tanpa kehadiran oksigen dan akan menghasilkan gas, liquid, padat. Produk yang dihasilkan adalah tergantung pada panas yang berlangsung dalam reactor (lihat Tabel 8.6), yaitu: • Gas/uap: mengandung hidrogen, metan, CO CO2, dan beraneka ragam gas, yang tergantung dari • •
karakteristik biomasnya Bagian cair: mengandung tar atau oil stream yang mengandung asam asetat, aseton, metanol, dan hidrokarbon kompleks, yang dapat digunakan sebagai bahan bakar Arang (char) yang berupa karbon murni, disertai materi-materi solid lain dari biomas asal.
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
78
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
(%) 480°C 920°C
Tabel 8.6: Contoh pengaruh panas terhadap % produk gasifikasi [33] H2 CH4 CO2 C2 H4 CO 5,56 32,48 (%) 480°F 920°F
12,43 10,45
33,50 35,25
Gas 12,33 24,36
44,77 18,31
Asam-asam dan tar 61,08 58,70
0,45 2,43
C2 H6 3,03 1,07
Karbon 21,71 17,76
8.6 Proses Termal dengan Gasifikasi Plasma [59] Filosofi Zero-Waste (Tanpa-Limbah), yaitu daur-ulang seluruh bahan kembali ke alam atau ke pasar sebagai unsur ekonomi, dengan penekanan pada perlindungan kesehatan manusia dan alam, tampaknya mendekati produk yang dihasilkan melalui proses gasifikasi plasma. Teknologi plasma merupakan teknologi yang telah mapan. Industri baja sejak lama menggunakan teknologi ini untuk melelehkan baja. Plasma adalah gas yang terionisasi dalam udara super-panas. Sebuah busur (torch) plasma memanaskan udara secara reguler. Temperatur di dalam busur sampai o mencapai 14.000 C. Akibatnya, temperatur di luar yang berkontak dengan bahan yang akan didestruksi o akan mempunyai temperatur sampai 4.400 C. Sumber enersi dari busur adalah listrik. Udara super panas ini akan secara termal mendegradasi material yang kontak dengannya. Gasifikasi plasma menggunakan sumber panas dari luar untuk menggasifikasi material. Temperatur yang sangat tinggi o tersebut kemudian perlu diturunkan sampai 300 C atau kurang sesuai dengan standar yang berlaku. Dengan demikian akan terjadi penurunan sensible heat, yang akan menghasilkan uap bertekanan tinggi yang kemudian dapat diumpankan pada turbin uap untuk menghasilkan enersi listrik. Sampah diumpankan ke transformer termal yang dikenal sebagai reaktor atau plasma gasifier. Busur (torches) plasma yang terletak di dasar reaktor akan menghasilkan panas, dengan suhu berkisar antara o o 2.750 - 4.400 C (5.000 – 8.000 F), bandingkan dengan WTE modern yang baik, yang hanya bekerja o dengan temperatur paling tinggi 1.200 C. Karena prosesnya destruksi total secara termal, maka tidak dibutuhkan pemilahan atau pre-treatment sampah terlebih dahulu, kecuali pemotongan untuk menyesuaiakan dengan kebutuhan reactor, seperti kulkas, AC dsb. Barang-barang elektrik-elektronik tersebut merupakan hal yang biasa dijumpai dalam rantai pengelolaan sampah di negara maju, walaupun mereka sudah menerapkan upaya daur-ulang dengan teknologi canggih. Freon pada AC harus dikeluarkan terlebih dahulu. Limbah medical biasanya diolah terpisah dari sampah. Teknologi ini dapat memproses segala jenis bahan, tidak membutuhkan pemilahan dan tidak terpengaruh oleh kadar air bahan yang dimasukkan. Temperatur tinggi dari busur plasma, akan melelehkan seluruh bahan anorganik yang ada. Tanah kaca dsb akan leleh menjadi unsur-unsur membentuk vitrified (molten) glass. Unsur-unsur logam juga leleh dan membentuk unsure-unsur logam, yang dapat dipisahkan dari residu berbentuk gelas. Hampir seluruh karbon yang terkandung dari material yang diolah akan dikonversi menjadi bahan bakar gas. Produk tar dan arang tidak terjadi, karena semuanya dikonversi menjadi gas. Tidak terbentuk furan atau dioxin. Sebagian besar partikulat dikembalikan kembali ke proses, sehingga dapat bergabung menjadi vitrified glass. Praktis tidak ada abu seperti dalam proses insinerasi/WTE, sehingga tidak butuh lagi landfill, kecuali untuk bahan dasar yang belum mempunyai nilai ekonomi. Gas keluar dari cerobong juga akan menjadi bersih karena tidak dihasilkan partikulat atau fly ash. Gas buang yang dihasilkan lebih bersih dibanding proses gasifikasi biasa, dan hanya mengandung sangat sedikit elemen-elemen dalam partikulat. Elemen-elemen pencemar udara yang masih tersisa seperti HCl, sulfur tetap perlu ditangani sebagaimana layaknya seperti dalam proses WTE. Perbedaan dasar teknologi gasifikasi plasma dengan gasifikasi biasa adalah pada temperatur yang o digunakan untuk mendestruksi material. Gasifikasi biasa bekerja pada rentang temperatur 370 – 815 C. Gasifikasi merupakan partial combustor dimana hanya sebagian karbon yang di-”bakar” untuk mendukung reaksi, karena temperatur rendah tidak akan dapat menguraikan seluruhnya. Produk yang dihasilkan tidak sebersih gasifikasi plasma. Permasalahan utama gasifikasi adalah timbulnya tar yang sulit dikeluarkan dari reaktor. Adanya arang sebagai residu membutuhkan landfill. Selain itu, sampah harus cukup kering, berukuran yang relatif homogen. Seperti halnya pirolisis dan gasifikasi, pada gasifikasi plasma material organik tidak terbakar seperti di WTE, tetapi langsung ditransformasi menjadi gas sebagai CO, H2, nitrogen dan uap air, yang sebagian masih mengandung enersi. Gas ini merupakan sumber enersi lain, selain panas yang dihasilkan. Bila mengadung komponen khlor, maka elemen ini dengan cepat akan bereaksi dengan H+ membentuk HCl.
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
79
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
BAGIAN 9 PENGURUGAN (LANDFILLING) SAMPAH Bagian ini menjelaskan metode yang selalu digunakan dalam pengelolaan sampah yaitu TPA. Dijelaskan tentang peran TPA, jenis landfilling, aspek engineering yang perlu diperhatikan khususnya dalam pengendalian lindi dan gasbio. Dijelaskan pula tentang kondisi TPA di Indonesia yang sampai saat ini selalu bermasalah. 9.1 Pemrosesan Akhir Sampah (TPA) secara Umum Penyingkiran limbah ke dalam tanah (land disposal) merupakan cara yang paling sering dijumpai dalam pengelolaan limbah. Cara penyingkiran limbah ke dalam tanah dengan pengurugan atau penimbunan dikenal sebagai landfilling, yang diterapkan mula-mula pada sampah kota. Cara ini dikenal sejak awal tahun 1900-an, dengan nama yang dikenal sebagai sanitary landfill, karena aplikasinya memperhatikan aspek sanitasi lingkungan. Definisi yang sederhana tentang sanitary landfill adalah [4]: Metode pengurugan sampah ke dalam tanah, dengan menyebarkan sampah secara lapis-perlapis pada sebuah site (lahan) yang telah disiapkan, kemudian dilakukan pemadatan dengan alat berat, dan pada akhir hari operasi, urugan sampah tersebut kemudian ditutup dengan tanah penutup. Metode tersebut dikembangkan dari aplikasi praktis dalam peyelesaian masalah sampah yang dikenal sebagai open dumping. Open dumping tidak mengikuti tata cara yang sistematis serta tidak memperhatikan dampak pada kesehatan. Metode sanitary landfill kemudian berkembang dengan memperhatikan juga aspek pencemaran lingkungan lainnya, serta percepatan degradasi dan sebagainya, sehingga terminologi sanitary landfill sebetulnya sudah kurang relevan untuk digunakan. Landfilling dibutuhkan karena: − Pengurangan limbah di sumber, daur-ulang, atau minimasi limbah, tidak dapat menyingkirkan limbah semuanya − Pengolahan limbah biasanya menghasilkan residu yang harus ditangani lebih lanjut − Kadangkala sebuah limbah sulit untuk diuraikan secara biologis, atau sulit untuk dibakar, atau sulit untuk diolah secara kimia Metode landfilling saat ini digunakan bukan hanya untuk menangani sampah kota. Beberapa hal yang perlu dicatat adalah: – Banyak digunakan untuk menyingkirkan sampah, karena murah, mudah dan luwes. – Digunakan pula untuk menyingkirkan limbah industri, seperti sludge (lumpur) dari pengolahan limbah cair, termasuk limbah berbahaya. – Bukan pemecahan masalah limbah yang baik. Dapat mendatangkan pencemaran lingkungan, terutama dari lindi (leachate) yang mencemari air tanah. – Untuk mengurangi dampak negatif dibutuhkan pemilihan lokasi yang tepat, penyiapan prasarana yang baik dengan memanfaatkan teknologi yang sesuai, dan dengan pengoperasian yang baik pula. 9.2 Perkembangan Landfill Berikut ini adalah uraian tentang perkembangan landfilling mulai dari awal keberadaannya sebagai sarana penanganan sampah kota: Mengisi lembah Pada awalnya landfilling sampah dilaksanakan pada lahan yang tidak produktif, misalnya bekas pertambangan, mengisi cekungan-cekungan (lihat Gambar 9.1). Cara ini dikenal dengan metode pit atau canyon atau quarry. Dengan demikian terjadi reklamasi lahan, sehingga lahan tersebut menjadi baik kembali. Mengupas site Dengan terbatasnya site yang sesuai , maka dilakukan pengupasan site sampai kedalaman tertentu (lihat Gambar 9.2). Dikenal sebagai metode slope (ramp). Perlu diperhatikan: • tinggi muka air tanah • struktur batuan / tanah keras • peralatan pengupasan / penggalian yang dimiliki Dengan demikian akan diperoleh tanah untuk bahan penutup. Kadangkala pengupasan site tidak dilakukan sekaligus, tetapi dilakukan secara bertahap. Terbentuk parit-parit tempat pengurugan sampah (lihat Gambar 9.3 di bawah). Cara ini dikenal sebagai metode parit (trench)
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
80
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Gambar 9.1 Landfilling mengisi lembah / cekungan
Gambar 9.2 Landfilling dengan mengupas site
Gambar 9.3 Pengupasan serta menimbun sampah
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
81
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Untuk daerah yang datar, dengan muka air tanah tinggi, sulit untuk mengupas site. Maka cara yang dilakukan adalah menimbun sampah di atas area tersebut (lihat Gambar 9.4). Cara ini dikenal sebagai metode area.
Gambar 9.4 Landfilling dengan menimbun ke atas 9.3 Jenis landfill Berdasarkan penanganan sampahnya Dilihat dari bagaimana sampah ditangani sebelum diurug, maka dikenal beberapa jenis aplikasi ini, yaitu: • Pemotongan sampah terlebih dahulu [62]: − Sampah dipotong dengan mesin pemotong 50-80 mm sehingga menjadi lebih homogen, lebih 3 padat (0,8 – 1,0 ton/m ), dapat ditimbun lebih tebal (> 1,5 M) − Dapat digunakan sebagai pengomposan (aerobik) in-situ dengan ketingian sel-sel 50 cm, sehingga memungkinkan proses aerobik yang menghasilkan panas sehingga dapat menghindari lalat − Binatang pengerat (tikus dsb) berkurang karena rongga dalam timbunan berkurang / dihilangkan, dan timbunan lebih padat − Bila tidak ada masalah bau, maka tidak perlu tanah penutup − Degradasi (pembusukan) lebih cepat sehingga stabilitas lebih cepat − Butuh alat pemotong sehingga biaya menjadi mahal •
Pemadatan sampah dengan baling (Gambar 9.5): − Banyak digunakan di Amerika Serikat − Sampah dipadatkan dengan mesin pemadat menjadi ukuran tertentu (misalnya bervolume 1 3 3 m ). Kepadatan mencapai 1,0 ton/m atau lebih − Transportasi lebih murah karena sampah lebih padat, dan benbentuk praktis − Pengurugan di lapangan lebih mudah (dengan fork-lift) − Pengaturan sel lebih mudah dan sistematis − Butuh investasi dan operasi alat/mesin. Biaya menjadi sangat mahal − Dihasilkan lindi hasil pemadatan yang perlu mendapat perhatian
•
Landfill tradisional: − Cara yang dikenal di Indonesia sebagai sanitary landfill − Sampah diletakkan lapis perlapis (0,5-0,6m) sampai ketinggian 1,2 - 1,5 m − Urugan sampah membentuk sel-sel (Gambar 9.6) dan membutuhkan ketelitian operasi alat berat agar teratur − Kepadatan sampah dicapai dengan alat berat biasa (dozer atau loader) dan mencapai 0,6 - 0,8 3 ton/m − Membutuhkan penutupan harian 10 - 30 cm, paling tidak dalam 48 jam − Kondisi di lapisan (lift) teratas bersifat aerob (ada oksigen), sedang bagian bawah anaerob (tidak ada oksigen) sehingga dihasilkan gas metan − Bagian-bagian sampah yang besar diletakkan di bawah agar tidak terjadi rongga
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
82
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
(a) Peletakan sampah di landfill
(b) Mesin pengepres sampah
Gambar 9.5 Landfilling dengan baling [62]
Gambar 9.6 Pembuatan sel-sel sampah [4] •
Landfill dengan kompaksi (Gambar 9.7): − Banyak digunakan untuk lahan-urug yang besar dengan dozer khusus yang bisa memadatkan sampah pada ketebalan 30 - 50 cm, dan dicapai densitas timbunan 0,8 - 1,0 ton/m3 − Proses yang terjadi menjadi anaerob − Karena densitas tinggi, serangga dan tikus sulit bersarang − Keuntungan dibanding lahana-urug tradisional adalah tanah penutup menjadi berkurang, truk mudah berlalu lalang dan masa layan lebih lama − Biaya operasi menjadi meningkat
Gambar 9.7 Dozer kaki-kambing
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
83
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Berdasarkan kondisi site: Dilihat dari kondisi topografi site, maka literatur USA membagi landfill dalam beberapa kelompok yaitu: • Metode area: − Dapat diterapkan pada site yang relatif datar, − Sampah membentuk sel-sel sampah yang saling dibatasi oleh tanah penutup − Setelah pengurugan akan membentuk slope − Penyebaran dan pemadatan sampah berlawanan dengan kemiringan • Metode slope/ram : − Sebagian tanah digali − Sampah kemudian diurug pada tanah − Tanah penutup diambil dari tanah galian − Setelah lapisan pertama selesai, operasi berikutnya seperti metode area • Metode parit (trench): − Site yang ada digali, sampah ditebarkan dalam galian, dipadatkan dan ditutup harian − Digunakan bila airtanah cukup rendah sehingga zone non-aerasi di bawah landfill cukup tinggi ( ≥ 1,5 m) − Digunakan untuk daerah datar atau sedikit bergelombang − Operasi selanjutnya seperti metode area • Metode pit/canyon/quarry: − Memanfaatkan cekungan tanah yang ada (misalnya bekas tambang) − Pengurugan sampah dimulai dari dasar − Penyebaran dan pemadatan sampah seperti metode area − Kenyataan di lapangan, cara tersebut dapat berkembang lebih jauh sesuai dengan kondisi yang ada. Berdasarkan ketersediaan oksigen dalam timbunan [66]: Seperti halnya pengomposan, maka pada dasarnya landfilling adalah pengomposan dalam reaktor yang luas. Oleh karenanya terdapat kemungkinan pembusukan sampah secara aerobik maupun secara anaerobik. • Landfill anaerobik (Gambar 9.8): − Landfill yang banyak dikenal saat ini, khususnya di Indonesia. Timbunan sampah dilakukan lapis perlapis tanpa memperhatikan ketersediaan oksigen di dalam timbunan. − Kondisi anaerob menghasilkan gas metan (gas bakar). Dihasilkan pula uap-uap asam-asam organik, dan H2S yang menyebabkan jenis landfill ini berbau bila tidak ditutup tanah. − Karena kondisinya anaerob, stabilitas sampah tidak cepat tercapai, dan dihasilkan lindi (leachate) dengan konsentrasi tinggi − Perkembangan berikunya berkembang improved sanitary landfill
Improved Sanitary Landfill
• •
Sarana dilengkapi dengan sistem drainase air permukaan, pengumpul dan penampung lindi. Lindi yang tertampung kemudian diolah sebelum dilepas ke lingkungan.
Gambar 4.8a Perkembangan landfill : improved sanitary landfill [66] •
Landfill aerobik: − Mengupayakan agar timbunan sampah tetap mendapat oksigen. Dengan demikian proses pembusukan lebih cepat, seperti halnya pengomposan biasa. − Leachate yang dihasilkan relatif lebih baik dibanding landfill anaerob. Juga bau akan banyak berkurang. Disamping itu, tidak dibutuhkan penutup tanah harian. − Pencapaian kondisi aerobik dapat dilakukan dengan pendekatan : lapisan sampah dibiarkan beberapa hari berkontak dengan oksigen, sebelum diatasnya dilapis sampah lain. Bila perlu dilakukan pembalikan pada lapisan sampah tersebut.
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
84
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
•
Dibutuhkan area yang luas.Cara lain adalah memasukkan udara ke dalam timbunan secara sistematis, sehingga proses pembusukan berjalan secara aerob.
Landfill semi-aerobik − Hindari leachate tergenang dalam timbunan, dengan drainase leachate dan ventilasi gasbio yang baik − Tanah penutup tidak terlalu kedap -
Sanitary Landfill Aerob
Gambar 4.8b Perkembangan landfill: semi aerobic landfill [18]
• • •
Untuk mempercepat proses, udara disuplai ke timbunan sampah Proses berlangsung sepenuhnya secara aerob seperti pengompsoan biasa Bau dan gas metan dihindari. Proses degradasi optimal. Gambar 9.8 Perkembangan landfill: aerobic landfill [66]
Berdasarkan karakter lahan (site): Di Perancis misalnya, hubungan karakter permeabilitas site dengan limbah dijadikan dasar pembagian landfill, yaitu [62]: • Site landfill kelas 1 : –7 − site kedap dengan nilai permeabilitas (k) < 10 cm/detik − migrasi leachate dapat diabaikan − untuk limbah industri, termasuk limbah B3 • Site landfill kelas 2 : –4 –7 − site semi-kedap dengan nilai permeabilitas (k) antara 10 sampai 10 cm/detik − migrasi leachate lambat − untuk limbah sejenis sampah kota • Site landfill kelas 3 : –4 − site tidak kedap dengan nilai permeabilitas (k) > 10 cm/detik − migrasi leachate cepat untuk limbah inert dengan pencemaran diabaikan Berdasarkan jenis limbah yang akan diurug Di beberapa negara maju, pembagian landfill saat ini dilakukan berdasarkan jenis limbah yang akan diurug, seperti: • Landfill sampah kota dan sejenisnya • Landfill limbah industri • Landfill yang menerima kedua jenis limbah tersebut, dikenal sebagai co-disposal Di Jepang, landfill dibagi menjadi [63]: • Landfill sampah domestik (sampah kota) • Landfill industri, yang dibagi menjadi :
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
85
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
− − −
landfill untuk limbah industri yang stabil : limbah sisa bangunan, plastik, karet, logam dan keramik (Gambar 9.9) landfill dengan shut-off : dengan mengisolasi kontak air dari luar seperti air hujan dan air tanah (Gambar 9.10). landfill limbah terdegradasi : oli, kertas, kayu, residu hewan / tanaman; diperlukan adanya pengolah lindi (Gambar 9.11)
Gambar 4.9: Landfill limbah stabil [63]
Gambar 4.1 : Landfill dengan shut-off [63]
Landfill limbah B3 di Indonesia Peraturan Bapedal – Indonesia tentang landfill (untuk limbah B3) membagi katagori landfill limbah B3 menjadi 3 jenis, yaitu [19]: • Landfill katagori I: Landfill dengan liner ganda dari geomembran HDPE, digunakan untuk limbah yang dinilai sangat berbahaya • Landfill katagori II: seperti katagori I, namun dengan liner geomembran tunggal. • Landfill katagori III: untuk limbah B3 yang dianggap tidak begitu berbahaya. Liner yang –7 digunakan adalah clay dengan nilai permeabilitas lebih kecil dari 10 cm/detik. Landfill jenis ini identik dengan landfill sampah kota (sanitary landfill) yang baik. -
Gambar 4.11 : Landfill limbah terdegradasi [63] Berdasarkan aplikasi tanah penutup dan penanganan leachate: Di Jepang, landfill sampah kota dibagi berdarkan aplikasi tanah penutup, yang menjadi keharusan dari sanitary landfill standar, serta penanggulangan leachate. Pembagian tersebut adalah sebagai berikut [63]: a. Controlled tipping: − Peningkatan dari open dumping. Calon lahan telah dipilih dan disiapkan secara baik. − Aplikasi tanah penutup tidak dilakukan setiap hari − Konsep ini banyak dianjurkan di Indonesia, dikenal sebagai controlled landfill b. Sanitary landfill with a bund and dailiy cover soil: − Peningkatan controlled tipping. − Lahan penimbunan dibagi menjadi berbagai area, yang dibatasi oleh tanggul ataupun parit. − Penutupan timbunan sampah dilakukan setiap hari, sehingga masalah bau, asap dan lalat dapat dikurangi. c. Sanitary landfill with leachate recirculation: − Masalah lindi (leachate) sudah diperhatikan.
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
86
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Terdapat sarana untuk mengalirkan lindi dari dasar landfill ke penampungan (kolam) Lindi kemudian dikembalikan ke timbunan sampah melalui ventilasi biogas tegak atau langsung ke timbunan sampah. d. Sanitary landfill with leachate treatment: − Lindi dikumpulkan melalui sistem pengumpul − Kemudian diolah secara lengkap seperti layaknya limbah cair − Pengolahan yang diterapkan bisa secara biologi maupun secara kimia. − −
9.4 Aplikasi Landfill Pengembangan landfill mencakup berbagai langkah aktivitas, baik yang bersifat teknis, maupun yang sifatnya non-teknis, seperti kesesuaian dengan regulasi terkait. Perencanaan yang mengutamakan kehati-hatian oleh pengelola atau calon pengelola sangat penting dikedepankan. Disamping permasalahan sosial dan lingkungan yang selalu menyertai aplikasi landfill, pengembangan landfill membutuhkan investasi dana untuk periode waktu yang cukup lama. Elemen biaya yang harus menjadi pertimbangan adalah: • Penentuan site, desain, analisis dampak lingkungan dan tahap konstruksi, paling tidak dibutuhkan waktu 2 tahun • Operasi, monitoring, dan administrasi : sesuai umur landfill • Aktivitas penutupan : 1 sampai 2 tahun • Monitoring dan pemeliharaan pasca-operasi : tergantung regulasi yang berlaku di sebuah negara. Di Indonesia belum ada pengaturan untuk landfill sampah kota, tetapi paling tidak diperlukan monitoring selama 5 tahun. Untuk landfill limbah B3, regulasi di Indonesia mensyaratkan 30 tahun • Kegiatan remediasi : perlu dilakukan untuk menyehatkan kembali site atau air tanah yang tercemar. • Terdapat beberapa langkah yang dibutuhkan, yang dapat dikelompokkan menjadi 4 fase, yaitu: Fase-1 Penentuan site merupakan fase tahapan studi kelayakan, yang terdiri dari langkah-1 sampai langkah-6, yaitu : • Langkah-1 : estimasi volume landfill yang dibutuhkan • Langkah-2 : investigasi dan pemilihan calon site • Langkah-3 : penentuan regulasi yang terkait • Langkah-4 : penilaian opsi landfill sebagai sumber enersi dan recoveri bahan • Langkah-5 : pertimbangan penggunaan site pasca operasi • Langkah-6 : penentuan kecocokan site Fase-2 Tahap desain dan analisis dampak lingkungan berdasarkan rancangan aktivitas, terdiri dari langkah-7 sampai langkah 12: • Langkah-7 : desain area pengurugan dan pengembangan • Langkah-8 : pengembangan rencana pengelolaan lindi • Langkah-9 : pengembangan rencana monitoring lingkungan • Langkah-10 : pengembangan rencana pengelolaan gas • Langkah-11 : penyiapan spesifikasi tanah penutup • Langkah-11 : penyiapan panduan pengoperasian • Langkah-12 : analisa dampak lingkungan Fase-3 Tahapan pengoperasian, terdiri dari langkah-13 sampai langkah-14 • Langkah-13 : kajian finansial untuk rencana pengoperasian, jaminan penutupan dan pasca operasi • Langkah-14 : pengoperasian landfill dan monitoring aktivitas Fase-4 Tahapan pasca-operasi yang terdiri dari langkah-15 sampai langkah-16 • Langkah-15 : Penutupan landfill • Langkah-16 : Pemantauan pasca operasi Data site ini merupakan data utama, dengan catatan dapat berasal dari studi terdahulu yang dapat dipertanggung jawabkan, dan memang merupakan studi di titik (lokasi) tersebut. Beberapa data harus dikaji (diobservasi) ulang untuk mendukung perancangan nanti, yang antara lain mencakup: Pengukuran topografi • Peta situasi/kontur dengan level 0,5 m (minimum), disertai profil memanjang, melintang khususnya rencana jalan akses • Situasi bangunan-2 yg ada, • Situasi jalan eksisting, Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
87
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
• •
Situasi mata air/badan air lain Situasi tanaman/pohon
Data hidrogeologi • Bila tersedia : data geolistrik • Data dari hasil bor tangan dan atau bor mesin tentang jenis tanah/batuan, sifat-sifat fisik, kedalaman, posisi muka air tanah. • Data laboratorium analisa tanah dari hasil bor log di atas, menyangkut informasi akurat tentang : gradasi butiran, indeks plastisitas, bulk density, kadar air, porositas, permeabilitas, jenis mineral, kapasitas sorpsi (KTK). • Data hidrologi dan kualitas air: − lokasi badan air dan sumber air − arah aliran : dapat diperoleh dengan melakukan observasi sumur-sumur penduduk − melakukan sampling air di hulu dan hilir rencana, dan analisa kualitas airnya di lab • Data klimat dari stasiun meteorologi terdekat : data curah hujan lengkap selama paling tidak 10 tahun terakhir, arah angin, potensi evaporasi dsb • Bila tersedia : data hasil sondir untuk kebutuhan struktur bangunan. Kalau mungkin geolistrik: untuk menduga akuifer di bawah. Untuk area 1 Ha dibutuhkan sekitar 4 titik
Untuk memperpanjang umur pemakaian TPA, maka salah satu solusi adalah pengolahan dan daur-ulang sampah sebelum diurug, melalui reduksi volume sampah yang akan diurug, misalnya [9]: − Pendaurulangan sampah (Reuse, Recycling, Recovery). − Pembuatan kompos (Composting) − Insinerasi. Proses daur ulang berupa pemanfaatan kembali bahan-bahan yang ada pada sampah biasanya dilaksanakan oleh pemulung. Bila dibandingkan dengan TPS, pemulungan sampah di TPA di beberapa kota di Indonesia rata-rata memiliki persentase yang lebih besar, yaitu kira-kira 5% dari sampah yang tiba di TPA. Proses pendaur-ulangan pada tingkat sumber memiliki tingkat keberhasilan yang relatif rendah. Sehingga masih banyak dijumpai bahan/material bernilai guna yang masih terangkut bersama sampah ke TPA. Kegiatan pendaurulangan yang efektif justru banyak terdapat pada lahan TPA. Pelakunya adalah para lapak dan pemulung yang mengkonsentrasikan kegiatan di TPA. Di sisi lain, keberadaan para pemulung seringkali menimbulkan masalah terhadap pengelolaan sampah di TPA karena kegiatan pemulung memang belum diatur, sehingga keberadaannya dapat mengganggu operasional lahan TPA. Sebelum isu pemanasan global mencuat luas, maka isu dampak negatif aplikasi landfilling lebih banyak ditujukan pada pencemaran akibat leachate, dan timbulnya bau serta gangguan lingkungan, kesehatan dan estetika lainnya. Sejak isu pemanasan global mendunia, maka sorotan penggunaan landfill untuk sampah yang mengandung bahan organik tinggi mendapat perhatian besar. Landfill bisa dipastikan akan mengemisi gas metan, gas yang dianggap mempunyai potensi gas rumah kaca sebesar 21 kali gas CO2. Landfill dianggap sumber utama gas rumah kaca dari kegiatan pengelolaan limbah. Dengan adanya isu ini, maka negara-negara maju sangat membatasi kadar organik limbah yang boleh masuk ke landfill: − Negara Eropa membatasi kadar organik yang boleh terkandung dalam limbah yang akan di-landfill yaitu maksimum 5%. Upaya yang banyak diterapkan di negara-negara tersebut adalah insinerasi limbah, atau melakukan proses reduksi bahan organik melalui konsep Mechanical Biological Treatment (MBT), yaitu sebagai pretreatment sampah yang akan diurug, melalui pemotongan, dilanjutkan dengan aerasi sampah, yang pada dasarnya adalah proses pengomposan. Produk dari proses MBT ini di negara Eropa dianggap bukan kompos, karena kualitasnya yang tidak memenuhi persyaratan. Produk ini setelah memenuhi batas kadar organik, baru boleh diurug dari sebuah landfill − Sejalan dengan negara Eropa, maka Jepang sangat membatasi aplikasi landfilling. Hanya abu insinerasi saja yang boleh diurug dari sebuah landfill. Karena dalam abu insinerasi tersebut terkonsentrasi logam berat, maka aplikasi landfilling yang digunakan menganut landfilling limbah B3, termasuk penggunaan closed landfill, yaitu seluruh penimbunan sampah dilaksanakan di dalam area tertutup dengan menggunakan atap. Setelah dilakukan penutupan final yang kedap, maka struktur atap tersebut kemudian dapat dipindahkan ke area atau sel lain yang akan aktif. Berdasarkan UU18/2008, penanganan sampah di TPA yang selama ini umum diterapkan di Indonesia yaitu dengan open dumping harus diubah secara keseluruhan. Bab XVI (Peralihan) Ps 44 dari UU tersebut mengamanatkan bahwa: (1) Pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan TPA sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya UU tersebut (2) Pemerintah daerah harus menutup TPA sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak berlakunya UU tersebut. Ada berbagai dampak merugikan yang dapat ditimbulkan oleh landfilling ini, yaitu [55]:
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
88
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
a. b. c.
d.
e.
Pencemaran air tanah yang disebabkan oleh lindi (leachate). Tidak adanya lapisan dasar dan tanah penutup akan menyebabkan leachate yang semakin banyak dan akan dapat mencemari air tanah Pencemaran udara akibat gas, bau dan debu. Ketiadaan tanah penutup akan menyebabkan polusi udara tidak teredam. Produksi gas yang timbul dari degradasi materi sampah akan menyebabkan bau yang tidak sedap dan juga ditambah dengan debu yang beterbangan. Resiko kebakaran cukup besar. Degradasi materi organik yang terdapat dalam sampah akan menimbulkan gas yang mudah terbakar seperti metan. Tanpa penanganan yang baik gas ini dapat memicu kebakaran di TPA. Kebakaran selalu terjadi dalam lahan TPA yang menggunakan metode open dumping. Berkembangnya berbagai vektor penyakit seperti tikus, lalat dan nyamuk. Berbagai vektor penyakit senang bersarang ditimbunan sampah karena merupakan sumber makanan mereka. Salah satu fungsi dari penutupan sampah dengan tanah adalah mencegah tumbuh dan berkembangbiaknya vektor penyakit tersebut. Berkurangnya estetika lingkungan. Karena lahan tidak dikelola secara baik, maka dalam jangka panjang lahan tidak dapat digunakan kembali secara baik.
9.5 Langkah Kerekayasaan dalam Aplikasi Landfilling Karena metode landfilling sensitif terhadap terjadinya pencemaran, khususnya akibat timbulnya lindi, maka aplikasi landfilling membutuhkan serangkaian langkah engineering (rekayasa), yang bersasaran mengurangi dampak tersebut, yaitu [61]: − Pemilihan site agar dampak negatif dapat dikurangi − Perancangan secara rakayasa sarana dan prasarana landfill − Pengoperasian landfill dengan kaidah-kaidah yang benar − Pemantauan sarana baik selama masa operasi, maupun pada pasca operasi Pemilihan Calon Lokasi Pengurugan Tahapan dalam proses pemilihan lokasi landrilling adalah menentukan satu atau dua lokasi terbaik dari calon lokasi yang dianggap potensial. Dalam proses ini kriteria digunakan semaksimal mungkin guna proses penyaringan. Guna memudahkan evaluasi pemilihan sebuah lahan yang dianggap paling baik, digunakan beberapa tolok ukur untuk merangkum semua penilaian dari parameter yang digunakan. Biasanya hal ini dilakukan dengan cara pembobotan. Ada beberapa metode penilaian calon lokasi yang diterapkan di Indonesia, yang paling sederhana adalah SNI T-11-1991-03 [64], khususnya untuk site di kota kecil. Metode lain antaranya adalah Metode Le Grand [65].
Gambar 9.6 Pengurugan Sampah pada Lahan Tersedia Secara umum pemilihan site landfilling dalam SNI T-11-1991-03 dibagi berdasarkan 3 (tiga) tahapan, yaitu [64, 65]: a. Tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan.
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
89
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
b.
Tahap penyisihan yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik di antara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap regional. Pada tahap ini disusun beberapa parameter penentu disertai bobot dan nilainya. c. Tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi tepilih sesuai dengan kebijaksanaan instansi yang berwenang setempat dan ketentuan yang berlaku. Persyaratan umum lokasi pembuangan akhir berdasarkan cara tersebut adalah sebagai berikut: − Sudah tercakup dalam perencanaan tata ruang kota dan daerah. − Jenis tanah kedap air. − Daerah yang tidak produktif untuk pertanian. − Dapat dipakai minimal untuk 5 - 10 tahun. − Tidak membahayakan/mencemarkan sumber air. − Jarak dari daerah pusat pelayanan ± 10 km. − Daerah yang bebas banjir. Penilaian berdasarkan Metode Le Grand [65] digunakan untuk menilai suatu calon lokasi, khususnya ditinjau dari sudut hidrogeologi. Terdapat 10 langkah dalam penilaian tersebut, yaitu: Langkah 1: menentukan jarak horizontal antara lokasi dengan sumber air minum. Langkah 2: menentukan jarak vertikal (kedalaman) muka air tanah terhadap dasar lahan urug. Langkah 3: menentukan kemiringan hidrolis air tanah dan arah alirannya. Langkah 4: menetukan potensi pencemaran dan kemampuan sorpsi. Langkah 5: catatan tentang keakuratan data. Langkah 6: catatan tentang kondisi sekitar. Langkah 7: penentuan deskripsi hidrogeologi calon lokasi berdasarkan langkah 1 sampai 6 Langkah 8: penentuan kaitan jenis limbah dengan media tanah di bawah site. Langkah 9: penentuan Protection of Aquifer Rating (PAR) berdasarkan langkah 7 dan langkah 8 Langkah 10: iterasi ulang bila terjadi perbaikan site dengan masukan teknologi 9.6 Penyiapan Sarana dan Prasarana Lahan di lokasi TPA yang direncanakan biasanya dibagi menjadi: a. Lahan Efektif: merupakan bagian lahan yang digunakan sebagai lokasi pengurugan atau penimbunan sampah. Lahan efektif direncanakan sebesar ± 70% dari luas total keseluruhan TPA b. Lahan Utilitas: merupakan bangunan atau sarana lain di TPA khususnya agar pengurugan dan kegiatan lainnya dapat berlangsung, seperti jalan, jembatan timbang, bangunan kantor, hanggar, bangunan pengolah leachate, bangunan pencucian kendaraan, daerah buffer (pohon-pohon) lingkungan, dan sebagainya. Lahan utilitas direncanakan luasnya mencapai sekitar 30% dari lahan yang tersedia. Lahan utilitas ini akan mengakomodasi berbagai sarana dan prasarana penunjang yang diperlukan dalam pengelolaan site. Sarana dan prasarana di sebuah kegiatan TPA akan terdiri dari: a. Sarana untuk perlindungan terhadap lingkungan: − Sistem liner dasar dan dinding yang kedap − Drainase sekeling TPA dan dalam area pengurugan sampah − Sarana penangkap, pengumpul dan pengolah lindi − Sumur pemantau − Ventilasi gasbio − Sarana analisa air − Jalur hijau penyangga − Pengendali vektor b.Peralatan untuk pengoperasian: − Alat berat: trackloader dan bulldozer − Stok tanah penutup − Alat transportasi lokal − Cadangan bahan bakar − Cadangan insektisida − Pelataran pengurugan c. Sarana penunjang: − Pagar dan papan nama site − Jembatan timbang − Pos penjaga, kantor, garasi, rumah penjaga, gudang, workshop, bengkel, tempat cuci mobil − Jalan akses dan operasi − Fasilitas pengolahan selain pengurugan : daur ulang, pengomposan, insinerasi, dan lain-lain − Prasarana penunjang (hidrant kebakaran, reservoir penampungan air, sumur pemantauan, dan lainlain). − Lahan penunjang kegiatan lain, seperti transit sampah, dsb
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
90
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Sistem Pengelolaan Lindi (Leachate) Lindi (Leachate) adalah cairan yang merembes melalui tumpukan sampah dengan membawa materi terlarut atau tersuspensi terutama hasil proses dekomposisi materi sampah atau dapat pula didefinisikan sebagai limbah cair yang timbul akibat masuknya air eksternal ke dalam timbunan sampah, melarutkan dan membilas materi terlarut, termasuk juga materi organik hasil proses dekomposisi biologis. Secara teoritis leachate tidak akan keluar dari timbunan sampah sebelum kapasitas serap air dari sampah terlampaui. Kualitas dan kuantitas leachate tergantung dari banyak faktor, antara lain karakteristik dan komposisi sampah, jenis tanah penutup, iklim, kondisi kelembaban dalam timbulan sampah serta waktu penimbunan sampah. Tanah penutup yang baik dapat mencegah atau meminimasi air yang masuk kedalam lahan urug, terutama berasal dari air hujan. Penetrasi air yang masuk merupakan sumber terbentuknya leachate yang merupakan pencemar bagi lingkungan. Semakin banyak air yang masuk maka semakin banyak pula leachate yang ditimbulkan dan yang harus dikelola. Secara umum leachate mengandung zat organik dan anorganik dengan konsentrasi tinggi, terutama pada timbunan sampah yang masih baru. Oleh karena itu dalam pengelolaan sebuah TPA yang baik tidak terlepas dari pengelolaan leachatenya [61]. Gambar 9.7 merupakan skema umum dalam memprediksi timbulan lindi. Beberapa perangkat lunak tersedia di pasar untuk mempermudah perhitungan tersebut. Presipitasi (P) Evapotranspirasi (ET) Run Off (RO)
Moisture Storage (ST) Perkolasi Lindi = P - RO - ET - ST
Gambar 9.7: Neraca Air [61] Untuk meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan lindi, ada beberapa cara yang dapat digunakan, antara lain: − Penggunaan lapisan tanah penutup, baik lapisan tanah penutup harian, antara, maupun akhir. − Pemakaian lapisan dasar/liner untuk mencegah lindi berinfiltrasi ke air tanah. − Penyediaan sarana pengolah lindi yang dihasilkan, termasuk di antaranya pemasangan saluran lindi di lapisan dasar, pembangunan saluran drainase, dan penerapan pengolah lindi. Pengolah lindi yang banyak digunakan di Indonesia hingga saat ini adalah kontak stabilisasi, kolam oksidasi, yang dipilih berdasarkan kesederhanaan serta tersedianya sinar matahari. Pengadaan sistem pengolahan leachate sangat diperlukan untuk mengurangi beban pencemaran terhadap badan air penerima. Lindi yang telah terkumpul diolah terlebih dahulu sehingga mencapai standar aman untuk kemudian dibuang ke dalam badan air penerima. Diharapkan setelah dilakukan pengolahan tidak terjadi pencemaran terhadap lingkungan sekitar, baik terhadap sungai maupun air tanah. Masalah yang dihadapi adalah bahwa debit lindi yang keluar dari timbunan sampah sangat berfluktuasi. Sistem Pengelolaan Gas Dekomposisi sampah, khususnya zat organik dalam kondisi anaerobik mengakibatkan produksi gas. Gas bio adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian materi organik oleh mikroorganisme dalam kondisi anaerob. Gas-gas yang dihasilkan dari proses penguraian antara lain gas metan (CH4), karbondioksida (CO2), uap air (H2O), gas nitrogen (N2), dan lain-lain. Dalam perencanaan suatu landfill, pembentukan gas perlu diperhatikan. Metan merupakan gas yang eksplosif, dapat meledak jika terkonsentrasi hingga 5 sampai 15% di udara. Karbondioksida dapat menjadi penyebab peningkatan mineral pada air tanah serta membentuk asam karbonik. Untuk menghilangkan pengaruh negatif yang ditimbulkan maka perlu pengelolaan gas bio yang dihasilkan oleh landfill. Gas bio ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembantu. Produksi gas metan dapat diperkirakan secara stoichiometri. Kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
91
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
mikroorganisme, khususnya bakteri metanogene, antara lain : pH (optimum 6,6-7,6), temperatur (optimum 35-55ºC), kandungan air (optimum 45-60%), dan ketersediaan makro-mikro nutrisi yang dibutuhkan (ratio C/N antara 35-40). Sebelum dimanfaatkan, gas bio harus melalui proses pemurnian agar didapatkan hasil yang memuaskan. Proses pemurnian ini mempunyai sasaran untuk menghilangkan uap air dalam gas, dan memisahkan gas-gas yang tidak diinginkan. Selain memiliki nilai ekonomis untuk menghemat pemakaian bahan bakar utama, pemanfaatan gas bio pada insinerator dari penelitian yang ada ternyata dapat juga mengurangi potensi terjadinya pencemaran udara pada proses insinerasi. Aplikasi penangkapan gas bio dari suatu landfill bersasaran ganda, yaitu untuk mengontrol emisi gas-gas yang terbuang dan untuk memanfaatkan biogas yang dihasilkan. Sistem penangkapan gas bio terdiri atas 3 (tiga)jenis, yaitu: sistem horizontal, sistem vertikal, dan sistem gabungan horizontal dan vertikal. 9.7 Pengoperasian Landfill di TPA Lahan yang tersedia di sebuah TPA tidak semua dapat digunakan untuk pengurugan atau penimbunan sampah. Prasarana lain perlu dipertimbangkan seperti : area pengolah lindi, jalan akses dan operasi, jalur hijau/area penyangga, dan sebagainya. Diperkirakan sekitar 20-30 % dari luas lahan yang ada akan terpakai untuk kebutuhan tersebut, di luar kebutuhan untuk pengurugan dan penimbunan. Pengupasan dinding dan dasar lahan jelas akan menambah kapasitasnya di samping akan diperoleh tanah penutup. Namun pengupasan tanah dasar memerlukan kehati-hatian. Beberapa pertimbangan yang membutuhkan observasi lapangan terlebih dahulu guna menentukan seberapa dalam dasar sebuah TPA boleh dikupas, adalah muka air tanah, struktur geologi, dan kemampuan pengelola untuk melaksanakan. Jarak yang dipersyaratkan antara dasar landfill dengan muka air tanah adalah 3,0 meter atau lebih, sehingga memungkinkan adanya zone penyangga dari tanah tersebut andaikata lindi dari sampah di -6 atasnya merembes ke bawah. Lapisan tersebut harus mempunyai kelulusan minimum sebesar 10 cm/detik, sehingga dibutuhkan waktu yang relatif lama bagi lindi tersebut untuk mencapai air tanah. Struktur geologi (litologi) perlu mendapat perhatian. Pengupasan yang tidak disertai data lapangan akan mengakibatkan masalah misalnya: − Terdapatnya lapisan yang sulit untuk dikupas. − Terdapatnya lapisan yang tidak diinginkan. Di atas kertas memang tidak ada masalah untuk mengupas lahan rencana sampai kedalaman berapapun, namun kenyataan di lapangan mungkin akan berbeda terutama bila pengelola TPA tidak disiapkan untuk itu, misalnya tidak tersedianya alat berat untuk melaksanakannya. Keuntungan lain yang diperoleh dengan pengupasan dasar adalah tersedianya slope dasar dengan besar dan arah kemiringan yang diinginkan, sehingga memudahkan pengelolaan lindi. Konsekuensinya, pengupasan yang kurang sistematis akan mengubah rancangan dari dasar landfill sehingga dapat menimbulkan masalah dalam mengalirkan lindi. Ketinggian maksimum timbunan sampah akan menentukan lanskap akhir dari landfill tersebut kelak. Tentunya diinginkan sebuah landfill yang bila telah ditutup akan menyatu dengan lingkungannya serta sesuai dengan fungsinya. Di samping itu. ketinggian maksimurn juga hendaknya mempertimbangkan kemampuan operasi penimbunan sampah serta kestabilan dari timbunan tersebut. Grading final dari sebuah landfill tidak ditentukan secara sembarang, namun hendaknya dirancang dari awal disesuaikan dengan kondisi lanskap sekitarnya atau kegunaan lahan tersebut setelah pasca operasi. Oleh karena pengukuran timbulan sampah yang diterapkan di Indonesia adalah dengan. satuan volume (basah), maka pengukuran ini membutuhkan dibedakannya kepadatan (bulk density) sampah dalam berbagai keadaan. Kepadatan sampah pada bak sampah di rumah adalah tidak sama dengan kepadatan sampah di gerobak (yang kadangkala diperpadat dengan penginjakan oleh petugas). Selanjutnya, kepadatan pada alat transportasi akan ditentukan oleh jenis truk dan mekanisme pemadatannya. Demikian pula kepadatan di urugan akan ditentukan oleh aplikasi alat berat serta jenisnya. Secara teoritis, kepadatan sampah di suatu tempat akan tergantung pada ketinggian sampah tersebut. Dengan demikian estimasi kebutuhan site landfilling yang langsung dihitung dari timbulan di sumber akan menghasilkan prakiraan yang berlebihan bila landfill tersebut dioperasikan secara lapis per lapis dan dipadatkan dengan alat berat. Secara praktis kepadatan di urugan dapat dihitung berdasarkan angka 3 3 0,60-0,65 ton/m . Sedang kepadatan sampah di truk pengangkut sekitar 0,30-0,35 ton/m . Ketersediaan tanah penutup memegang peranan sangat penting agar landfilling tersebut dapat beroperasi secara baik. Biasanya sebuah landfill yang dirancang secara baik akhimya menjadi open dumping akibat masalah tanah penutup yang tidak diterapkan karena berbagai alasan. Pengamatan di landfill TPA Sukamiskin pada tahun pertama aplikasi lahan-urug saniter dengan tanah penutup harian menghasilkan rasio tanah penutup antara 19-31 % dari volume sampah yang masuk (untuk kapasitas 3 operasi 500-1000 m per hari). Tambah tinggi kapasitas operasi, tambah kecil rasio tersebut. Angka tersebut masih terlalu tinggi mengingat di sektor inilah biaya operasi sebuah TPA banyak terserap. Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
92
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Penelitian di pilot skala kecil di TPA Bogor menghasilkan angka sekitar 15-20 %. Angka ini akan mengecil lagi pada lahan urug terkendali yang mengaplikasikan tanah penutup tidak setiap hari [65]. Penanganan sampah yang baik di area penimbunan akan meningkatkan masa layan lahan. Pembagian lahan menjadi beberapa area kerja akan memudahkan dalam pengelolaan lahan secara keseluruhan, di sarnping dapat mendata jumlah dan jenis sampah yang masuk ke dalam area kerja tersebut. Peranan pengurugan, penyebaran, dan pemadatan sampah secara lapis per lapis akan menambah kepadatan sampah dibandingkan bila dilakukan sekaligus sampai ketinggian tertentu. Di samping itu, aplikasi timbunan sampah semacarn itu akan memungkinkan berlangsungnya fase aerobik yang lebih larna, sehingga akan mempercepat stabilitas sampah. Penelitian pada timbunan sampah setinggi 2,0 meter yang ditutup tanah penutup setebal 20 cm terungkap bahwa timbunan tersebut akan tetap 0 memungkinkan fase aerobik yang ditandai dengan panas timbunan di sekitar 50 C. Konsep timbunan aerobik tersebut sebetulnya dapat pula dikembangkan lebih jauh misalnya dengan mengatur agar suatu timbunan sampah dibiarkan sampai sekitar 10-15 hari sebelum di atasnya ditimbun sampah baru. Adanya penurunan permukaan (settlement) timbunan sampah, baik secara mekanis maupun biologis, akan menambah kapasitas lahan sehingga memperlama masa layan. Namun sebaiknya asumsi settlement karena proses biologis tidak diperhitungkan dalam perancangan, karena [65]: Degradasi yang terjadi belurn tentu diikuti oleh settlement. Andaikata terjadi akan mernbutuhkan waktu yang sulit diukur, Penelitlan sekala pilot menunjukkan bahwa settlement mekanis maksimum adalah sebesar 15-25% dari tinggi awal, yang terjadi pada minggu pertama. Penurunan ini terjadi akibat konsolidasi sampah. Setelah itu tinggi permukaan landfill relatif stabil. Pemadatan sampah di timbunan dengan mengandalkan alat berat dozer atau loader yang biasa 3 digunakan di TPA Indonesia akan menghasilkan kepadatan timbunan sampai 0,70 ton/m . Masalah ketersediaan liner dan tanah penutup merupakan kendala yang berkaitan dengan biaya OM. Tanah penutup antara lain efektif untuk mencegah adanya lalat. Penelitian yang dilaksanakan di Bogor menunjukkan bahwa populasi lalat akan turun dengan sendirinya di timbunan yang telah berumur lebih dari 7 hari. Oleh karena itu, bila dalam sebuah lahan-urug belum dapat mensyaratkan aplikasi tanah penutup harian, maka paling tidak aplikasi tanah penutup dilaksanakan setidak-tidaknya sebelum 5 hari. Berbeda halnya dengan liner, maka tanah penutup disarankan untuk tidak terlalu kedap agar proses penguraian sampah secara aerobik masih bisa berlangsung dengan baik pada sel timbunan teratas. Nilai -4 5 kelulusan antara 10 sampal 10- cm/det cukup baik untuk itu. Di samping itu agar tanah penutup tidak retak pada saat panas, maka Indeks Plastisitas (IP) tanah yang baik adalah lebih kecil dari 40%. Bila tidak, maka sebaiknya tanah tersebut dicampur dengan tanah tertentu (seperti pasir) agar memperkecil IP tersebut. Pemantauan dan Pemanfaatan Lahan TPA Pasca Operasi Selama pengoperasian, perlu dilakukan pemantauan terus menerus, khususnya terhadap kualitas sampah yang masuk, kuantitasi kualitas lindi yang dihasilkan, kualitas lindi hasil pengolahan, kuantitas dan kualitas gasbio dan penyebarannya, kualitas lingkungan lainnya sekitar lokasi TPA, khususnya masalah bau, air tanah dan sumur-sumur penduduk, air sungai, kemungkinan terjadinya longsor, dsb. Pemantauan juga perlu dilaksanakan setela pasca operasi, paling tidak selama 10 tahun terhadap leachate, gasbio dan settelement. Lahan TPA setelah pengoperasian akan berupa suatu areal kosong yang cukup luas. Keberadaan area ini dapat difungsikan menjadi berbagai macam kegunaan, diantaranya area rekreasi, taman, lahan penghijauan, lahan pertanian atau perkebunan, fasilitas komersial. Operasi penambangan kembali sampah yang sudah tua dalam urugan (landfill mining) untuk diolah dijadikan kompos, dan tanah penutup juga sudah banyak diterapkan sehingga lahannya dapat dijadikan lahan TPA lagi. 9.8 Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah Kota di Indonesia [67] Sampah perkotaan akan tetap merupakan salah satu persoalan yang rumit yang dihadapi oleh pengelola kota dalam menyediakan sarana dan prasarana perkotaannya. Di samping persoalan bagaimana menyingkirkan sampah secara baik agar kota tersebut menjadi bersih dan tidak mengganggu lingkungan, namun pula bagaimana daerah yang kebetulan terpilih untuk lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) tidak mengalami degradasi kualitas lingkungan akibat adanya TPA tersebut. Kegiatan umum yang dilaksanakan di sebuah TPA adalah pengurugan atau penimbunan sampah di lahan yang tersedia. Untuk mendapatkan lokasi TPA yang cocok dari sudut biaya dan teknis memang terasa makin sulit, namun aplikasi pengurugan sampah ke dalam tanah tersebut agaknya akan tetap merupakan pilihan bagi kota-kota di Indonesia pada masa mendatang. Di samping alasan bahwa landfilling adalah relatif
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
93
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
mudah, luwes, dan murah, maka alasan lainnya adalah bahwa cara ini dianggap tuntas dalam menangani sampah. Masyarakat luas di lndonesia agaknya sampai sekarang masih menganggap sebuah TPA yang aktivitas utamanya adalah landfilling selalu identik dengan open dumping, sehingga metode yang lebih baik, semacam sanitary landfill akan dicurigai sebagai open dumping. Hal ini tidak mengherankan, karena sampai saat ini masih banyak pengelola persampahan yang menganggap bahwa sebuah TPA hanyalah sekedar tempat untuk menyingkirkan sampah agar kotanya menjadi bersih. Banyak dijumpai bahwa sebuah TPA hanya dioperasikan oleh seorang sopir bulldozer, atau hanya mengandalkan sopir truk sampah dalam menuang sampahnya. Tidak terdapat rencana pengelolaan lahan yang baik dan sistematis agar TPA tersebut bisa berfungsi dengan baik dan tidak mengganggu Iingkungan. Alasan yang biasa terdengar adalah karena tingginya biaya dari sebuah TPA yang baik. Kontrol terhadap aplikasi inipun masih sangat lemah. Tidak jarang dijumpai, bahwa sebuah TPA sampah kota menerima buangan industri, atau bahkan dari jenis limbah B-3 yang berkatagori infectious misalnya dari rurnah sakit, yang tentunya akan dapat mendatangkan dampak yang tidak diinginkan. Sebuah TPA yang telah dirancang dan disiapkan sebagai lahan-urug saniter akan dengan mudah berubah menjadi sebuah open dumping bila pengelola TPA tersebut tidak secara konsekuen menerapkan aturan-aturan yang berlaku. TPA tersebut akan menjadi semrawut, bau, berasap, dan lindinya menyebar ke arah yang tidak diinginkan. Pencemaran sumber air minum penduduk sekitarnya oleh lindi merupakan salah satu masalah yang paling serius dalam aplikasi pengurugan sampah ke dalam tanah. Pada awal tahun 1990-an metode transisi yaitu lahan-urug terkendali (controlled landfill) diperkenalkan oleh Dept PU terutama untuk kota-kota kecil dan sedang, antara lain dengan menunda kriteria waktu penutupan harian menjadi 5 – 7 hari sesuai dengan siklus lalat. Tetapi ternyata sampai saat ini metode inipun tetap dianggap mahal oleh pengelola kota atau pengelola persampahan. Pilihan lain yang saat ini banyak menarik perhatian adalah mengaitkan pengelolaan sampah yang berada di TPA dengan mekanisme pembangunan bersih, atau dikenal sebagai clean mechanisme development (CDM) yang dikaitkan dengan Kyoto Protocol dalam upaya global mereduksi emisi gas rumah kaca. Indonesia telah meratifikasi protocol ini sehingga dapat memanfaatkan peluang ‘perdagangan’ karbon yang saling menguntungkan. Prinsip umum dalam CDM adalah, negara-negara industri yang termasuk dalam negara ‘Annex’ dari protokol tersebut mempunyai komitmen pengurangan emisi CO2 di negara masing-masing. Namun penurunan CO2 berarti akan terkait dengan upaya peningkatan efisiensi industri di negara tersebut atau melalui pengurangan aktivitas ekonomi yang mungkin sulit dilakukan. Oleh karenya, negara berkembang yang meratifikasi protokol tersebut dapat melaksanakan penurunan emisi gas rumah kaca di negaranya, yang dapat ‘dijual’ kepada negara inustri tersebut. Salah satu kegiatan yang dianggap berpotensi dalam upaya tersebut adalah bila gas metan yang dihasilkan di sebuah TPA tidak dibiarkan terlepas tanpa kontrol ke udara bebas. Dengan perbaikan TPA dan pemasangan sistem penangkap gas, maka gas bio yang dihasilkan akan dapat diarahkan untuk dimanfaatkan, atau paling tidak melalui pembakaran sehingga terkonversi menjadi CO2. Gas CH4 dikenal mempunyai potensi gas rumah kaca 21 kali dibandingkan CO2. Banyaknya CH4 yang dapat dikonversi menjadi CO2 inilah yang di ‘hargai’ dengan harga tertentu oleh negara pembeli. Tentu saja, proses ini membutuhkan sebuah mekanisme verifikasi yang panjang untuk sampai pada kesepakatan perdagangan CO2 tersebut. Sampai saat diktat ini ditulis, maka terdapat 4 TPA di Indonesia yang sedang dalam proses kelayakan teknis yang dilaksanakan oleh calon investor masing-masing untuk mendapatkan sertifikat emisi karbon dari PBB, yaitu: − TPA Suwung di Denpasar: status potensinya telah terdaftar pada badan dunia (UN-FCCC No. 0938), sehingga menunggu persetujuan metodologi dan verivikasi untuk mendapatkan sertifikat − TPA Pontianak, TPA Kota Bekasi dan TPA Palembang: potensinya sedang dalam proses verivikasi secara intensif Secara finansial, bila ‘perdagangan’ emisi gas rumah kaca ini akhirnya disepakati oleh pembeli, maka untuk setiap ton ekivalen CO2 tersebut akan mendapatkan kompensasi, yang menurut perhitungan akan dapat menutup biaya operasional TPA tersebut, disamping adanya keuntungan bagi investor/operator yang melaksanakan kegiatan tersebut sesuai dengan kaidah bisnis komersial biasa.
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
94
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
DAFTAR
REFERENSI
1. 2. 3. 4. 5. 6.
E.
Damanhuri
(Editor):
Teknik
Pengelolaan
Persampahan
–
Modul
A
dan
Modul
B,
Disiapkan
untuk
PT
Freeport
Indonesia,
Teknik
Lingkungan
ITB,
Agustus
1999
Pemerintah
Indonesia:
Undang‐Undang
Pengelolaan
Sampah,
7
Mei
2008
E.
Damanhuri:
Pengelolaan
Limbah
dalam
Life
Cycle
Analysis
(LCA)
‐
Tinjauan
Limbah
Cair,
Limbah
Padat
dan
B3,
Pelatihan
Product
Life
Cycle
Analysis,
PPLH
ITBH,
3–15Mei
1999
G.H.
Tchobanoglous,
H.
Theissen,
S.A.
Vigil:
Integrated
Solid
Waste
Management,
McGraw
Hill,
1993
D.G.
WILSON
(Editor):
Handbook
of
Solid
Waste
Management,
Van
Nostrand
Reinhold
Company,
1977
BPPT:
Model
Pengelolaan
Persampahan
Perkotaan,
Deputi
Pengkajian Kebijakan Teknologi,
Oktober 2002 SK SNI 19-2454-1991 dan SNI 19-3242-1994 : Tata Cara Pengelolaan Sampah Perkotaan Kementrian Lingkungan Hidup: Statistik Pengelolaan Sampah Tahun 2008. E. Damanhuri: Permasalahan dan Alternatif Teknologi Pengelolaan Sampah
Kota
di
Indonesia,
Seminar Teknologi untuk Negeri – BPPT, Jakarta 20-22 Mei 2003 10. E. Damanhuri: Pembahasan tentang Pedoman Pengelolaan Sampah, Workshop Pembahasan Rancangan Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum 10-8-2001 di Jakarta.
11. E.
Damanhuri:
Pengelolaan
Sampah
di
Kawasan
Metropolitan
‐
Minimasi
Sampah
Terangkut
7. 8. 9.
dan
Optimasi
TPA
,
Workshop
Pengelolaan
Sampah
Jakarta,
Jakarta
15‐11‐2001
12. E.
Damanhuri:
Solid
and
Hazardous
Waste
Management
in
Indonesia,
Proceedings
on
Environmental
Technology
&
Management
Seminar,
January
9‐10,
2002
13. H.
Poerbo:
Konsep
Kawasan
Industri
Terpadu
Sampah
sebagai
Sistem
Pengelolaan
Sampah
14. 15. 16. 17. 18.
Terpadu,
Seminar
Konsep
Alternatif
Pengelolaan
Sampah
Mencari
Jawaban
untuk
Kota‐kota
di
Indonesia,
PPT
–
PPLH
ITB,
1991
Departemen
Permukiman
dan
Prasarana
Wilayah:
Pedoman
Pengelolaan
Persampahan
Perkotaan
bagi
Pelaksana,
2003
E.
Damanhuri,
T.
Padmi,
N.
Azhar,
L.T.
Meilany
:
Pengkajian
Laju
Timbulan
Sampah
di
Indonesia,
Pus.Lit.Bang.Pemukiman
Dept
PU
‐
LPM
ITB,
1989
SNI
S
04‐1993‐03
Standar
Spesifikasi
Timbulan
Sampah
untuk
Kota
Kecil
dan
Kota
Sedang
di
Indonesia
E.
Damanhuri
dan
Tri
Padmi:
Probleme
de
Dechets
Urban
en
Indonesie,
TFE
ENTPE
(Perancis),
1982
LIPI:
Komposisi
dan
Karakteristik
Sampah
Bandung,
PD.
Kebersihan
Bandung,
LIPI
dan
Jurusan
TL‐
ITB,
1994
19. E. Damanhuri, W. Handoko, T. Padmi: Municipal Solid Waste Management in Indonesia, in Municipal Solid Waste Management in Asia and the Pacific Islands - Editors: Agamuthu P, Masaru Tanaka, Penerbit ITB, 2010
20. S.
J.
Cointreau:
Environmental
Management
of
Urban
Solid
Wastes
in
Developing
Countries,
the
World
Bank,
June
1982
21. SNI
19‐3964‐1995
dan
SNI
M
36‐1991‐03
Metode
Pengambilan
dan
Pengukuran
Contoh
Timbulan
dan
Komposisi
Sampah
Perkotaan
nd 22. N.C.
Thanh
(Editor):
Waste
Disposal
and
Resource
Recovery,
Proceedind
2
Regional
Seminar
on
Solid
Waste
,
Bangkok,
1979
23. A.
Hasbul:
Pengaruh
Timbulan
dan
Karakteristik
Sampah
terhadap
Sistem
Pewadahan
dan
Pengangkutannya,
Tugas
Akhir
pada
Jurusan
TL
ITB,
1988
24. E. Damanhuri, I Made Wahyu, T. Padmi: Evaluation of waste recycling potential in Bandung Municipal Solid Waste, World Review of Science, Technology and Sust. Development, Vol. 7, No. 3, 2010 , Copyright © 2010 Inderscience Enterprises Ltd., pp 282-295
25. T.
Padmi,
E.
Rachmawati
:
Timbulan
dan
Karakteristik
Sampah
Kota
Bandung,
Jurusan
Teknik
Lingkungan
ITB
–
PD
Kebersihan
Kodya
Bandung,
1988
26. US‐EPA:
SWM
in
Residential
Complexes,
Greenleaf/Teleska
‐
Planners,
Engineers
and
Architect,
Washington
DC,
USEPA,
SW
35C,
1971
27. E.
Damanhuri:
Diktat
Kuliah
Pengelolaan
Limbah
B3
TL‐352,
Teknik
Lingkungan
ITB,
Edisi
Semeter
II
1993/1994
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
95
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
28. E.
Damanhuri:
Minimasi
Limbah
Domestik,
Pelatihan
Minimasi
Limbah
B3
PPLH
ITB,
4‐11‐ 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38.
39. 40. 41. 42.
43.
44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54.
1997
Minsitry
of
Environment:
Japan’s
Experience
in
Promotion
of
the
3Rs,
Japan,
April
2005
CRC
Mohanty:
3R
Initiative
in
Asia
and
Best
Practice,
UNCRD,
6‐7
September
2006,
Jakarta
A.F.M.
Barton:
Resource
Recovery
and
Recycling,
John
Wiley
&
Sons,
1979
nd G.
Tchobanoglous,
F.
Kreith:
Handbook
of
Solid
Waste
Management
,
McGrawHill,
2
Edition;
2002
P.A.
Vesilind,
A..E.
Rimer:
Unit
Operations
in
Resource
Recovery
Engineering,
Prentice‐Hall
Inc.,1981
H.F.
Lund:
The
McGraw‐Hill
Recycling
Handbook,
McGraw‐Hill,
1993
Yayasan
Waskita
Dian
Persada:
Perumusan
Konsep
Integrasi
Sistem
Informal
Daur‐ulang
Sampah
ke
Dalam
Sistem
Manajemen
Persampahan
Formal,
Laporan
Interim,
Bandung,
1998
State
Ministry
for
Environment
RI:
Agenda
21
Indonesia
‐
A
national
Strategy
for
Sustainable
Development,
UNDP,
1997
M.
Oepen:
Waste
Recycling
in
Indonesia,
Seminar
on
Waste
and
Sustainable
Development
‐
a
Challenge
to
Environmental
Education,
Goethe‐Institut
–
BPPT,
Dec.
1992
R.
Ismaria:
Studi
Mekanisme
dan
Interaksi
Daur‐ulang
terhadap
Sistem
Pengelolaan
Sampah
dengan
Pengembangan
Model
Dinamik
‐
Studi
Kasus
Kotamadya
Bandung,
Tesis
Program
Magister
pada
Teknik
Lingkungan
ITB,
2000
L.T.
Meilany
:
Studi
Kinetika
Degradasi
Komponen
Sampah
Organik,
Tesis
Program
Magister
pada
Teknik
Lingkungan
ITB,
2000
E.
Damanhuri,
T.
Padmi
:
Pengolahan
Sampah
Secara
Individual
dan
Kajian
Potensi
Enersi
yang
Dikandungnya,
Lembaga
Penelitian
ITB,
1993
Damanhuri
E.
et
al.
:
Uji
Coba
Pemusnahan
Sampah
dengan
Vermi‐Kompos
Skala
Lingkungan,
LPM
ITB
–
Departemen
Pekerjaan
Umum,
1999
E.
Damanhuri,
T.
Padmi:
Reuse
and
Recycling
as
a
Solution
to
Urban
Solid
Waste
Problems
in
Indonesia,
ISWA
International
Symposium
on
Waste
Management
in
Asia
Cities,
Hongkong
23–26
Oktober
2000
E.
Damanhuri:
Waste
Minimization
as
Solution
of
Municipal
Solid
Waste
Problem
in
Indonesia,
th the
6
ASIAN
Symposium
on
Academic
Activities
for
Waste
Management,
Padang
–
Indonesia,
11‐13
Sept
2004
W.
Handoko,
E.
Damanhuri,
E.
Setyaningrum:
Draft
Panduan
Pengelolaan
Sampah,
Laporan
untuk
Kementerian
LH,
2004
E.
Damanhuri:
Pedoman
Aspek
Teknis‐Operasional
Pengelolaan
TPA,
Usulan
Draft
pada
Penyusunan
SK
MenLH
,
26‐4‐2004
P.A.
Vesilind,
W.
Worrell,
D.
Reinhart:
Solid
Waste
Engineering,
Brooks/Cole
–
Thomson
Learning,
2002
I
.M.
Wahyu
Widyarsana:
Kajian
Integrasi
Sistem
Pembuangan
Akhir
Sampah
di
Wilayah
Sarbagita,
Tugas
Akhir,
Departemen
Teknik
Lingkungan
ITB,
2004
BPLHD
Jawa
Barat:
Rumusan
Workshop‐1
Greater
Bandung
Waste
Management
Corporation,
BPLHD
–
Jawa
Barat,
Bandung,
28
April
2004
Departemen
Pekerjaan
Umum:
Petunjuk
Umum
Perencanaan
Tehnis
Persampahan,
Direktorat
PLP
‐
Direktorat
Jendral
Cipta
Karya
–
PU,
1987
_________________
:
Kriiteria
Perencanaan
Persampahan,
Direktorat
PLP
–
Direktorat
Jendral
Cipta
Karya
–
PU,
1989
F.
Flintoff:
Management
of
Solid
Waste
in
Developing
Countries,
Regional
Publication
South
East
Asia
Series
no
1,
WHO,
New
Delhi
1976
Departemen
Pekerjaan
Umum:
Desiminasi
Petunjuk
Teknis
Persampahan,
Diklat
PU
Binamarga,
Kanwil
Jawa
Barat,
1998
Gotaas
H.B
,:
Composting
:
Sanitary
Disposal
and
Reclamation
of
Organic
Waste,
WHO,
Geneve,1973
R.
Gillet:
Traite
de
Gestion
des
Dechets
Solides
–
et
son
Application
aux
Pays
en
Voie
de
Developpement,
WHO
–
UNDP,
Copenhage,
1983
55. Purwasmita, M. et al .: Teknik Pengelolaan Sampah Terpadu dengan Konsep KIS, Pusat Penelitian Teknologi ITB, 1989 56. ANRED
:
Guide
pour
l'Elimination
de
Dechets
Menageres
et
la
Valorisation
des
Dechets
Industriels,
Ministere
de
l'Environnement
–
ANRED,
1982
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
96
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
57. World Bank Technical Guidence Report: Municipal Solid Waste Incineration, the World Bank, Washington, D.C., 1999
58. E.
Damanhuri:
Beberapa
Catatan
tentang
Usulan
Calon
Investor
untuk
IPST
Sarbagita
dalam
59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69.
70. 71. 72. 73. 74. 75. 76.
Dialog
Publik,
BPK
SARBAGITA,
BHESG,
Yayasan
GUS,
Clean
–
Up
Bali,
JALA
–
SAMPAH,
Wantilan
DPRD
Propinsi
Bali,
24
Desember
2003
http://recoveredenergy.com/seeaplant.html:
The
complete
recovery
of
energy
from
waste
using
current
technologies
including
plasma
gasification
Waste‐to‐energy‐‐‐dari:
Integrated
waste
services
association
(IWSA‐USA)
E.
Damanhuri
:
Diktat
Kuliah
TPA,
Teknik
Lingkungan
ITB
1995/1966
ANRED
:
La
Decharge
Controlee
de
Residus
Urbains,
Ministere
de
l'Environnement,
ANRED,
1981
Ebara
Hatakeyama
Memorial
Fund
:
Solid
Waste
Landffill
Sites
and
Leachate
Treatment,
Seminar
Pengelolaan
Limbah
Padat,
Teknik
Lingkungan
ITB,
4
–
6
Maret
1997
SK
SNI
91
dan
SNI
19‐3241‐1994
Tata
Cara
Pemilihan
Lokasi
Tempat
Pembuangan
Akhir
Sampah
H.E.
LeGrand,
H.E
:
A
Standardized
System
for
Evaluating
Waste
Disposal
Sites,
National
Water
Well
Association,
1980
Matsufuji:
Semi‐Aerpobic
Landfill
Fukuoka
Methode,
JICA,
2001
E.
Damanhuri
:
Landfills
as
Mainstay
for
Solid
Waste
Management
in
Indonesia,
Second
Asian
‐
Pasific
Landfill
Symposium,
Seoul
Sept.
25
–
27,
2002
World
Bank
:
Municipal
Solid
Waste
Incineration,
World
Bank
Technical
Guidance
Report,
WB
Washington
DC,
1999
E.
Damanhuri:
Perbandingan
antara
Metode
Hagerty
dengan
Metode
LeGrand
dalam
Penentuan
Lokasi
Landfill
Limbah,
Studi
Kasus
Calon
Lokasi
di
Cinangsi,
Gunung
Masigit
dan
Cileungsi
–
Bandung,
Jurnal
ITENAS
Vol
.....
,
2002
A.
Bagchi
:
Design,
Construction
and
Monitoring
of
Landfills,
John
Wiley
&
Sons,
Inc,
1994
E.A.
McBean,
F.A.
Rovers,
G.J.
Farquhar
:
Solid
Waste
Landfill
Engineering
and
Design,
Prentice
Hall
PTR,
1995
E.
Damanhuri
et
al:
Pengkajian
Pemilihan
Lokasi
dan
Pengelolaan
TPA
yang
Tepat
Guna,
PusLitBang
Pemukiman
PU
‐
LPM
ITB,
1989
Parametrix
Inc
:
Solid
Wastes
Landfill
Design
Manual,
Washington
State
Department
of
Ecology,
June
1987
H.
Alte
:
Materials
Recovery
from
Municipal
Waste,
Marcel
Dekker,
Inc,
1983
R.E.
Hester
and
R.M.
Harrison
(Editors):
Environmental
and
health
impact
of
Solid
Waste
Management
Activities,
the
Royal
Society
of
Chemistry,
2002
T.
Padmi
:
Analisa
dan
Pengolahan
Buangan
Padat,
Bahan
Kuliah
Jurusan
Teknik
Lingkungan,
ITB,
2001
77. Anonymous: Developing Integrated Solid Waste Management Plant, Training Manual, Volume 1: Waste Characterization and Quantification with Projection for Future, Compiled by UNEP, Osaka/Shiga, Japan, 2009
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
97