Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
BAGIAN 6. EKONOMI DAN KEWIRAUSAHAAN INDUSTRIALISASI DAN TANTANGANNYA PADA SEKTOR PENDIDIKAN Arif Unwanullah
UNIROW Tuban
[email protected]
Abstrak Sumbangan pendidikan dalam perubahan dan pembangunan masa lalu telah bergeser dengan kemajuan teknoekonomi dan komunikasi. Perubahan yang terjadi telah menggeser tatanan kehidupan dan pandangan masyarakat. Materialisme, kapitalisme, efisiensi, dan efektivitas telah menjadi tujuan dan semangat hidup. Pergeseran pandangan masyarakat telah mengubah pula pandangan keberhasilan dan mutu pendidikan, di mana pendidikan diukur dari keberhasilan dalam keterserapan lulusan dalam dunia kerja, oleh karenanya pendidikan dianalisis dari karakteristik sebagai investasi (capital-investment). Pergeseran makna dan tanggung jawab pendidikan mendorong dunia pendidikan melakukan pembaruan dengan alternatif: membangun pembaruan penalaran warganya menuju pemerdekaan dan pendewasaan, pendidikan dilaksanakan secara komprehensif dan bekerjasama dengan semua pihak secara kemitraan, dan membangun visi pendidikan secara komprehensif dan simultan dengan semua pihak. Kata kunci: perubahan sosial, materialistik, modernisasi dan kapitalis
PENDAHULUAN Sumbangan pendidikan besar terjadi setelah perang yaitu pada masa-masa pembangunan kembali pasca perang dunia II (PD II), pendidikan menyumbang perubahan dari kekacauan jiwa, raga, sosial dan konstruksi budaya pada kemajuan, keselarasan dan mutu kehidupan. Pendidikan juga telah membuka berbagai alternatif dalam perubahan dan pembangunan masyarakat, pendidikan juga mendorong ditemukannya hasil-hasil penelitian sebagai hasil praksis perubahan. Semangat dan slogan perubahan yang disandang pendidikan menjadi tidak bermakna lagi dengan pergeseran paradigma perubahan sosial, makna tatanan nilai-moral masyarakat, dinamika budaya, kemajuan masyarakat, dulu sering dikaitkan dengan pendidikan namun demikian kemajuan teknoekonomi dan komunikasi telah menjadi agen perubahan baru dalam kehidupan masyarakat. Perubahan sosial yang terjadi secara besar-besaran yang dihadapi oleh mayarakat dunia dengan corak, istilah, tempo, sosok, peluang, hambatan, serta makna yang secara historis berbeda-beda. Seperti Industrialisasi, modernisasi, materialisme, konsumerisme, kapitalisme, pragmatisme dan globalisasi menjadi makna dan pola baru dalam tatanan masyarakat, pelan tapi pasti akan menggeser dan merubah pola dan gaya serta kebiasaan hidup dan berpikir masyarakat dunia, tampak berdiri sendiri-sendiri sesuai dengan eranya, namun demikian satu sama lain tidak pernah lepas dan saling mendukung. Globalisasi yang terjadi dengan ditandai oleh maraknya pertumbuhan industri [ 694 ] P a g e
Industrialisasi Dan Tantangannya… (Arif Unwanullah)
kapitalisme merupakan salah satu istilah yang sering dikemukakan untuk memaknai dan memahami perubahan secara besar-besaran dan saling mendukung dalam membentuk opini, dan akibat bagi tatanan kehidupan baru masyarakat dunia. Tetapi dengan berbagai variasi maknanya globalisasi yang terjadi tidak memberikan kepuasan kepada semua pihak. Perubahan yang terjadi tidak hanya sekedar perubahan tata politik dunia atau tata perimbangan kekuasaan militer, atau suatu dinamika ekonomi dan keuangan. Berbagai perubahan sektor yang terjadi dan menjadi sorotan utama ketika orang berdiskusi tentang masyarakat mutakhir dengan menggunakan istilah-istilah kunci seperti industri, kapitalisme, atau globalisasi. Namun demikian perubahan yang sedang terjadi secara besar-besaran merupakan perubahan yang biasa disebut sebagai kebudayaan, nilai-nilai, selera, gaya hidup, ideologi, solidaritas sosial, gairah, identitas sosial, dan sebagainya. Indonesia sebagai bagian dari mayarakat dunia tidak kebal dari gelombang perubahan besar-besaran itu. Krisis ekonomi dan pertumbuhan gerakan pro-demokrasi (reformasi) itu dapat diambil sebagai bagian dan hasil proses sejarah sosial panjang dan kompleks yang bergerak pada skala dunia. Nasib Indonesia selanjutnya juga tidak sepenuhnya di tangan bangsa Indonesia- apalagi di tangan segelintir elite politik di Jakarta, tetapi merupakan hasil berbagai paduan dan konflik antar berbagai kekuatan sosial yang sebagian lokal, sebagian nasional, tetapi juga sebagian tidak kecil bersifat global. Pranata sosial pendidikan di Indonesia juga terjerat dan sekaligus tergerak dalam berbagai arus perubahan sosial yang menggelisahkan dan membingungkan ini. Pendidikan telah kehilangan jiwanya, dulu sebagai kekuatan pencerahan, penyadaran, menantang kreativitas dan inovasi. Filsafat yang dianutnya, proses maupun integritas para pelaku pendidikan tak mampu lagi sebagai kekuatan perubahan kemajuan warga bangsa namun telah tergerus oleh tuntutan kemajuan ekoteknologi dan komunikasi yang mengarahkan mentalitas bangsa dan warga dunia pada pandangan materialis sehingga ukuran mutu keberhasilan hidup adalah materialistik. Pendidikan pada masa ini adalah pendidikan yang memiliki unsur-unsur perubahan, cepat, efektif, efisien, industri, teknologi, komunikasi, informasi, dunia kerja dan terampil bukan lagi pendidikan yang memerdekakan (Freir, 2002) atau pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia atau humanisasi (Driyarkara, 1980). Perkembangan globalisasi berdampak pada pola pikir dan tatanan kehidupan, dimulai dari kesepakatan dan kerjasama seperti GTO, AFTA dan MEA namun demikian yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita telah siap, baik kemampuan maupun peluang dalam bersaing dalam dunia kompetisi. Uraian berikut memaparkan beberapa pengamatan, dan berupaya memahami beberapa kecenderungan yang terjadi dalam bidang pendidikan formal di Indonesia dalam periode dan proses perubahan yang ditandai oleh kuatnya watak industrialisasi global. Asumsi dasar yang digunakan dalam pembahasan berikut ini dapat dirumuskan
P a g e [ 695 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 sebagai berikut: proses industrialisasi pendidikan sudah dan sedang terjadi di Indonesia, proses ini menjadi gencar dan semakin marak pada tahun-tahun mendatang. OPTIMISME DAN PESIMISME Sikap dan prasangka seseorang selalu menentukan objek dan sifat pembahasannya. Apa yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia seperti di banyak tempat lain, telah dialami dan dibahas secara berbeda-beda oleh berbagai kelompok dalam masyarakat. Dua di antaranya saling bertolak belakang. Di satu pihak, kita menjumpai mereka yang menyaksikan nasib pendidikan dengan wajah muram, dan membahasnya dengan penuh ratapan, penyesalan kalau bukan kemarahan. Antara lain, mereka mengatakan bahwa mutu pendidikan kita semakin merosot (dengan berbagai ukuran dan penyebab yang tidak seragam dalam berbagai uraian mereka) hal-hal seperti industrialisasi atau globalisasi dianggap sebagai sebuah ancaman atau musuh pendidikan. Di pihak lain, juga dijumpai yang dengan giat membuka berbagai wilayah baru dalam dunia pendidikan. Dengan bersemangat mereka menyebarkan berita seakan-akan dunia pendidikan telah menikmati sebuah kebangkitan baru dan kemungkinankemungkinan pertumbuhan yang tak terbayangkan sebelumnya. Teknologi informasi, jaringan kerja antar lembaga pendidikan mancanegara, serta semakin meluasnya kesempatan belajar bagi kaum muda usia sekolah dari berbagai latar belakang sosial dikemukakan sebagai beberapa contoh kemajuan terpenting yang pantas dirayakan dan disyukuri dalam bidang pendidikan. Sejumlah angka statistik dikutip dan dipajang dalam tabel dan grafik. Kontras kedua pandangan itu sengaja dibuat agak kasar dan berlebihan untuk memperjelas rentang perbedaan sikap yang tumbuh dalam masyarakat terhadap perubahan dunia pendidikan di Indonesia. Betapa pun keduanya bertolak belakang, mereka sama-sama sepakat bahwa dunia pendidikan kita telah dan masih sedang mengalami perombakan besar-besaran yang tidak selalu dilaksanakan dengan kesepakatan semua pihak. Bahkan kadang-kadang di luar kendali siapa pun, walau dimanfaatkan oleh beberapa pihak secara tidak merata. Dari pandangan-pandangan demikian manakah yang benar? bukan soal benar atau salah itu sendiri yang menjadi pokok bahasan tetapi pada setiap perubahan sosial ada sebagian pihak yang memperoleh keuntungkan dan sebagian pihak memperoleh kerugian. Sebagaimana Noeng Moehadjir (2001) mengatakan Jika ada inovasi dengan kekuatan tinggi maka perubahan sosial bersifat progresif sebaliknya jika ada inovasi tidak memiliki kekuatan tinggi maka perubahan sosial akan berjalan serkiler bahkan tidak mustahil akan menjadi mati. Hal yang sama terjadi dalam dunia pendidikan, Pihak yang dirugikan cenderung membesar-besarkan atau mempersoalkan hal-hal yang di masa lampau yang indah, Mereka tidak rela dan cenderung bernostalgia ke masa lampau yang tak mungkin kembali. Pihak yang diuntungkan oleh perubahan itu cenderung membesar-besarkan atau hanya mengamati hal-hal yang lebih baik yang dijanjikan oleh [ 696 ] P a g e
Industrialisasi Dan Tantangannya… (Arif Unwanullah)
perubahan yang sedang berlangsung. Kadang-kadang karena asyik, mereka tidak kritis terhadap proses yang masih baru terjadi dan belum sepenuhnya teruji, serta cenderung mengabaikan biaya sosial dan akibat-akibat tak resmi atau sengaja atau berjangka panjang yang tidak segera tampak kasat mata. Walau berisiko menyederhanakan masalah dan berisiko akan disalahpahami, perbedaan kedua sikap dengan dua cara memahami pendidikan yang sangat kontras. Kaum pesimis cenderung mengartikan pendidikan pertama-tama dan utama pada persoalan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, dedikasi, kreativitas, otonomi individu, kebenaran, mungkin juga kesejahteraan umat manusia secara universal. Semua itu jelas serba indah dan mulia. Tetapi, semua yang indah dan mulia itu tidak tiba-tiba hadir di muka bumi dan di luar proses sejarah sosial. Ia merupakan produk dari sebuah sejarah yang sering kali berlumuran darah, penuh dengan korupsi dan imoralitas. Kaum optimis menyambut perubahan besar-besaran (industrialisasi) dalam dunia pendidikan mutakhir cenderung memahami persoalan pendidikan terutama sebagai persoalan angka-angka, hal-hal kebendaan lembaga, proses interaksi indrawi, dan penerapan pengetahuan atau keterampilan dalam dunia kerja industri. Sekarang pendidikan lebih jauh lebih tersebar dan terjangkau oleh berbagai kelompok masyarakat di berbagai pelosok dunia. Perbedaan kesempatan bersekolah antara jenis kelamin, atau antara desa dan kota sudah jauh lebih baik. Tidak salah jika ini dianggap sebagai sebuah proses pemerataan dan demokratisasi pendidikan. Proses belajar mengajar juga jauh lebih fleksibel, bahkan menarik berkat berbagai teknologi informasi. Belajar tidak lagi harus bersusah-payah, memencilkan diri, bertahan dalam kebosanan, atau mengerjakan sesuatu berulang-ulang, lamban dan rumit. Dengan komputer dan internet, pendidikan menjadi penuh warna dan pesona. Semua persoalan itu tidak salah, tetapi proses pemerataan pendidikan juga telah disertai perbedaan jenjang dan gengsi dalam berbagai bentuk baru. Ternyata kemudahan, ketepatan, dan kecepatan proses olah informasi tidak sama dengan peningkatan kecerdasan, kreativitas, apalagi kepekaan, anak belajar terhadap masalah-masalah sosial. Malahan berbagai lembaga pendidikan padat teknologi tinggi telah menumbuhkan sebuah ketergantungan baru pada teknologi yang sangat mencemaskan. Ia juga menumbuhkan penyempitan sikap, minat, serta cakrawala pemahaman persoalan menjadi serba singkat, cepat, dan instrumental. GLOBALISASI DAN INDUSTRIALISASI PENDIDIKAN Sesungguhnya gambaran perbedaan di atas tidak seharusnya menjadi sebuah pertentangan ekstrem yang saling meniadakan. Kapan pun dan di mana pun pendidikan merupakan kedua-duanya: hal-hal yang bersifat nilai, budaya dan etika serta hal-hal yang bersifat materi, kelembagaan, kebendaan, serta duniawi. Tetapi, sejarah masyarakat tidak pernah secara netral menempatkan keduanya sama penting dan secara terpadu. Sejak pemerintahan kolonial Belanda membuka sekolah-sekolah untuk kaum pribumi sebagai bentuk politik etis (untuk kepentingan mencetak pegawai pemerintah P a g e [ 697 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 dan tenaga murah), pendidikan formal tidak pernah terlepas dari kepentingan politik ekonomi kaum yang sedang berkuasa secara politik, ekonomi, maupun budaya. Lebih tegasnya, sekolah tidak pernah semata-mata atau terutama dimaksudkan sebagai upaya “mencerdaskan kehidupan bangsa” atau memajukan ilmu pengetahuan dunia secara abstrak dan universal, atau mensejahterakan rakyat jelata. Pendidikan, seperti halnya pranata sosial apa pun yang lain (agama, ekonomi, politik, kesenian, atau bahkan keluarga) selalu berlangsung dengan unsur-unsur yang saling bertentangan. Tetapi telah terjadi perubahan penting dan makro dalam beberapa tahun belakangan, bukan dalam hal kiblat atau tujuan, tetapi dalam proses dan perangkat kerja yang selanjutnya berpengaruh pada tujuan pendidikan. Selama bertahun-tahun pendidikan di Indonesia bertumbuh dengan modal piranti keras (kelembagaan, birokrasi, sumber dana dan daya) serba pas-pasan, tetapi semua itu diimbangi oleh modal non material (semangat, dedikasi, selain kebanggaan, gengsi lokal serta nasional, juga ilusi dan ideologi) yang tinggi. Semua ini mulai mengalami perubahan besar-besaran selama lebih dari 30 tahun masa pemerintahan orde baru yang menempatkan pertumbuhan ekonomi dan industri sebagai prioritas terpenting. Pertumbuhan pranata pendidikan pada segi badaniah menjadi penting–bersamaan dengan mekarnya militerisme yang memulyakan otot kekar dan kejahatan–dan ditunjang oleh berbagai bantuan dari negeri-negeri blok barat yang menjadi sekutu orde baru dalam perang dingin. Salah satu kelanjutan yang tidak dapat dihindari dari proses semacam itu adalah semakin terkaitnya proses pendidikan di berbagai pelosok tanah air dengan apa yang terjadi di mancanegara. Industrialisasi Indonesia sendiri–seperti halnya legitimasi. Hal ini dapat diamati bukan saja dalam bentuk besarnya beasiswa yang tersedia bagi akademisi Indonesia untuk melanjutkan studi ke negeri-negeri non komunis. Juga sebaliknya kunjungan dari berbagai akademisi dari negara-negara itu untuk membantu pendidikan di Indonesia. Sebagian juga merupakan hasil usaha meminta-minta dari pihak Indonesia. Jadi, tidak dapat dikatakan bahwa yang terjadi adalah imperialisme atau neokolonialisme barat dalam pengertian pemaksaan sepihak di bidang pendidikan. Pendidikan di Indonesia tidak saja mengalami proses Industrialisasi tetapi juga internasionalisasi. Ada perbedaan penting yang layak disimak di antara proses itu dalam bidang ekonomi dan proses serupa dalam bidang pendidikan. Secara lebih khusus, perbedaan yang penting terjadi pada status dan nasib perusahaan-perusahaan dagang dengan status atau nasib lembaga-lembaga pendidikan. Bagi perusahaan besar, globalisasi biasanya merupakan peluang, rejeki, dan impian yang menjadi kenyataan. Tanpa globalisasi, upaya dagang dan akumulasi modal sering kali terbentur oleh batasbatas kedaulatan, birokrasi, atau sentimen kebangsaan–kenegaraan. Globalisasi dalam bentuk pertumbuhan bidang informasi, komunikasi, dan transportasi merupakan sebuah peluang atau jembatan emas bagi pemodal untuk menembus berbagai batas ruang dan waktu bagi akumulasi modal dan perbesaran laba sebesar-besarnya.
[ 698 ] P a g e
Industrialisasi Dan Tantangannya… (Arif Unwanullah)
Seperti telah kita ketahui bersama semua ini menjadi salah satu sumber keunggulan para pemodal besar jika dibandingkan dengan kaum buruh dan birokrasi negara, yakni kemampuan melompat dari suatu wilayah (lokal, negara atau benua) ke wilayah lain. Dengan demikian, ia tidak harus bertahan dengan satu kondisi hubungan industrial di satu lokasi dengan kelompok buruh atau peraturan birokrasi yang menjengkelkan. Kemampuan berpindah-pindah ini atau mobilitas, membuat pemodal sering kali dibutuhkan dari pada membutuhkan baik buruh maupun birokrasi negara tertentu. Kesenjangan serupa barangkali dapat dibandingkan dengan kesenjangan gender pada keluarga tradisional kelas menengah: kaum suami menguasai dunia publik dan memiliki mobilitas tinggi, sementara kaum istri terikat pada dunia domestik. Itu sebabnya berita hengkangnya modal dan pemodal untuk menanamkan kembali modal di negara yang sedang sakit-sakitan, disertai sejumlah janji, perlakuan istimewa, dan kemanjaan supaya mereka kerasan. Hingga sekitar pertengahan dasawarsa 1990-an, mahasiswa dari Asia yang belajar ke negara-negara industrial di Barat dianggap lebih rendah daripada mahasiswa lokal. Para mahasiswa pendatang ini mungkin saja termasuk yang paling cerdas di kelas, tetapi mereka tetap dianggap sebagai makhluk yang berbeda dan tidak akan pernah menjadi sama atau setara dengan anak-anak Barat sendiri. Anak-anak Asia ini dianggap dan sering kali juga menganggap diri sendiri sebagai kaum elite dari negeri terbelakang yang beruntung karena mendapatkan pencerahan dari Barat, sebuah warisan peradaban paling unggul di dunia. Mereka harus belajar pandai-pandai berbahasa bekas penjajah ini, mereka harus paham sopan santun ala Barat, dan memahami seluk-beluk bekerjanya birokrasi di lembaga pendidikan Barat agar mampu menamatkan perkuliahan dan mendapatkan gelar bergengsi di negara bekas penjajah. Anak-anak Asia mendapat perlakuan istimewa dalam berbagai birokrasi pendaftaran dan perkuliahan. Gejala ini tidak merata, dan kini lebih terasa di negeri Australia misalnya, dari pada Amerika Serikat atau Eropa. Tetapi sebagai gejala umum dia dapat dijumpai di berbagai tempat itu dengan kadar berbeda. Seorang rektor sebuah Universitas besar di Australia baru-baru ini menyatakan dengan tegas bahwa pada zaman ini pendidikan merupakan salah satu industri terbesar dan terpenting di dunia. Jadi pendidikan dapat diseret berdampingan dengan industri komputer, telepon genggam, tekstil, minyak, kalau bukan bursa saham. Rektor yang sama dengan rendah hati mengatakan bahwa universitas tidak mampu mengubah dunia dan membuatnya lebih baik. Gejala makro itu menjelmakan diri secara keseharian dalam suasana perkuliahan di kelas-kelas di berbagai tempat di dunia. Hukum pasar yang berlaku di antara pesaing industri pendidikan pada tingkat global juga merebak pada tingkat lokal di kampus dan bahkan di ruang kelas serta bermuara pada interaksi dosen-mahasiswa. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan, fakultas atau jurusan yang laris dianak-emaskan, misalnya ekonomi, bisnis, manajemen, kedokteran, teknik, atau komputer. Adapun bidang pendidikan seperti filsafat, bahasa, sejarah, pendidikan, atau etika diancam tutup P a g e [ 699 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 karena kurangnya peminat. Para mahasiswa sendiri berbondong-bondong memilih bidang studi yang laris bukan berdasarkan minat dan bakat tetapi prospek pasar kerja yang tersedia sesuai dengan lulusan pendidikan. Di masing-masing jurusan yang kering dan kurus, terjadi persaingan dan ancaman serius terhadap status kepegawaian dosen yang kuliahnya kurang diminati mahasiswa. Kelas kecil sama dengan toko yang sepi. Ia harus ditutup karena ia membebani ongkos lembaga yang bersangkutan dan dosennnya diberhentikan atau diminta mengajar bidang lain yang bukan minatnya tetapi punya nilai pasar. Di hampir semua kampus di negara-negara industri, setiap fakultas dihargai dan hanya bisa bertahan hidup apabila berhasil mendatangkan sejumlah mahasiswa peminat dan pembayaran uang kuliah. Akibatnya, setiap dosen yang bekerja di fakultas itu juga dihargai menurut kemampuannya “menjual” perkuliahan yang dihitung menurut jumlah mahasiswa. Semua ini bisa berakibat buruk apabila tidak ada mekanisme kontrol kualitas secara kelembagaan. Untuk menarik mahasiswa sebanyak-banyaknya, para dosen bisa saja berlomba membuat pelajaran seringan mungkin, ujian semudah mungkin, nilai semurah mungkin, pekerjaan rumah sesedikit mungkin dengan lelucon dan bukan analisis kritis. Promosi pangkat, status, bonus tahunan, cuti, dan sejumlah hak kerja sang dosen ditentukan seminimal mungkin, dan beban tugas mereka melimpah. Semua ini demi menekan ongkos produksi pendidikan. Akibat berikutnya, para dosen ini terlalu sibuk mempertahankan status kepegawaiannya, tak pernah punya waktu cukup untuk berinteraksi dengan mahasiswa di luar jam kuliah, atau bahkan untuk mengembangkan diri secara intelektual. KETIDAKJELASAN MASA DEPAN. Perubahan yang digambarkan secara sederhana di atas berlangsung dalam jumlah besar-besaran dan dinamika yang jauh lebih kaya warna serta nuansa daripada yang dapat digambarkan di sini. Tujuan penggambaran itu sederhana, yakni menggarisbawahi sebuah kondisi mutakhir yang bersifat global yang menjadi konteks masa kini bagi lembaga dan watak pendidikan tinggi di Indonesia. Gambaran di atas juga sekaligus menjadi sebuah peringatan dalam bentuk contoh apa yang mirip bisa terjadi di Indonesia di masa depan yang dekat, apabila stabilitas politik dan sosial Indonesia membaik, perekonomian pulih dan industrialisasi melaju dengan gencar. Suka atau tidak, sebuah proses besar-besaran (katakanlah industrialisasi atau kapitalisme global) memukul telak sebuah tata sosial dan tradisi pendidikan yang pra industrial, atau proto-industrial, atau industri-awal di Indonesia dan memaksakan sebuah tata sosial dan tradisi baru yang semakin industrial dan global. Proses ini bukan baru terjadi sekarang. Ia sudah mulai gencar berkembang hingga Indonesia semakin tercekam dalam kancah pasar kapitalisme global yang ditandai oleh kebijakan ekspor non-migas, swastanisasi, dan demiliterisasi. Pada mulanya proses ini berlangsung gencar dalam bidang perdagangan. Tetapi segera melebar ke bidang-bidang lain dalam tempo dan irama yang berbeda-beda: pendidikan, politik, keluarga, kesenian, dan sebagainya. [ 700 ] P a g e
Industrialisasi Dan Tantangannya… (Arif Unwanullah)
Pendidikan Indonesia yang semula lebih banyak bertumpu pada birokrasi yang berpusat pada elite politik yang berkuasa digeser oleh sebuah kompetisi global yang berpusat pada pasar yang juga tidak pernah sepenuhnya bebas dan adil. Apa yang terjadi di Indonesia dapat diibaratkan sebagai sebuah proses perubahan besar-besaran dari negara yang menganut sistem perekonomian komando partai seperti komunis menuju ke pasar setengah bebas. Politik dan birokrasi menjadi panglima (sementara jenderal dan panglima menjadi politikus dan pengusaha). Pendidikan menjadi sebuah ritual propaganda dan produksi slogan sebagai tuntutan industrialisasi kapitalisme global. Apakah perubahan demikian sebagai berkah atau bencana? Yang terjadi adalah bergantinya berkah lama dengan berkah baru dan lenyapnya bencana lama digantikan bencana baru. Dampaknya berbeda-beda bagi berbagai kelompok sosial. Yang jelas dengan merosotnya campur tangan politik dalam pendidikan, tidak berarti pendidikan menjadi serba indah, merdeka, dan otonom. Dalam perubahan yang sedang berlangsung, hukum pasar mendikte dinamika pendidikan dengan berbagai eksesnya. Bagi sejumlah pengamat pendidikan, dunia pendidikan di negara-negara kaya yang sudah lebih suntuk dengan industrialisasi seakan-akan menjadi teladan dan impian. Bagi sebagian akademisi Indonesia serta para orang tua Indonesia yang kaya, pendidikan tinggi di luar negeri ini menjadi alternatif pendidikan yang lebih menjanjikan dari pada yang tersedia di Indonesia. Sebuah angan-angan kedaluwarsa biasanya berarak dalam pandangan mereka tentang kehebatan pendidikan luar negeri. Di sana berbagai karya ilmiah dihasilkan. Kelancaran pengajaran dan kelimpahan sumber daya menjadi salah satu legenda yang menggiurkan para akademisi Indonesia, seakan-akan di sana otonomi kampus–bersamaan dengan kebebasan berpendapat dan belajar–menjadi sebuah kenyataan lumrah; kreativitas dan segala nilai peradaban yang agung seperti disebutkan pada bagian awal tulisan ini seakan-akan berkelimpahan, padahal di Indonesia menjadi barang langka. Mitos semacam ini merupakan salah satu bentuk keberhasilan ideologi pasca-kolonial Barat yang bisa dijual untuk menarik minat anak-anak muda Asia agar bersekolah dan membayar uang sekolah di mancanegara. Di sini ironisnya, di awal tulisan ini dibedakan dua kelompok sikap yang ekstrem dalam memandang perubahan dalam pendidikan. Salah satunya kaum pemuram dan pesimis–suka meratapi merosotnya sistem pendidikan di tanah air dengan membatasi pengertian pendidikan pada hal-hal non material (nilai-nilai sosial, intelektual, etis, dan kreativitas individual). Biasanya kelompok yang sama memandang pendidikan di Barat sebagai sebuah surga akademik. Padahal, justru di Baratlah industrialisasi berlangsung secara menggebu-gebu, juga industrialisasi pendidikan. Di Barat, hukum pasar berlaku untuk banyak bidang kehidupan sosial, juga dalam pendidikan melampaui skala yang bisa dibayangkan di Indonesia. Uraian di atas menunjukkan bahwa globalisasi menjadi semakin kabur walau tidak sepenuhnya lenyap batasan dalam/ luar negeri. Industrialisasi pendidikan bukan sebuah pilihan yang bisa dipeluk atau ditolak secara bebas. Ia sudah dan masih sedang menjadi bagian dari tulang sumsum praktek pendidikan di Indonesia. Karena proses ini P a g e [ 701 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 baru belakangan berlangsung secara gencar, tidak sedikit yang kaget-kagetan. Misalnya semakin lumrahnya sekolah dan pendidikan tinggi dijajakan di iklan dan pusat-pusat perbelanjaan, di antara iklan dan toko yang berjualan shampo, parfum, celana jeans, dan kaset. Ini sama barunya dengan gejala pengiklanan industri warta berita baik cetak maupun televisi. Orang membuat berita bukan karena ada suatu peristiwa penting, dan orang mengikuti berita bukan karena butuh informasi tentang dunia. Yang terjadi adalah orang berjualan berita dan publik membeli hiburan atau gosip. Dalam dunia pendidikan sebelumnya memang sudah ditanamkan semangat kapitalisme dan hukum pasar, walau pada saat itu patrimonialisme dan feodalisme politik masih menjadi payung besarnya. Bentuknya yang paling konkret adalah sistem kredit. Proses pendidikan dipecah-pecah menjadi satuan unit perkuliahan (atau penelitian, atau kerja laboratorium, atau tugas praktek lapangan) dan dijualbelikan secara eceran. Setiap mahasiswa bekerja dan dinilai secara individual dan dihargai secara kumulatif dalam sebuah medan kegiatan yang bersifat kompetitif. Hal yang sama berlaku untuk sebuah medan kegiatan yang bersifat kompetitif. Hal yang sama berlaku untuk sistem penghargaan terhadap kinerja dosen. Juga kinerja fakultas dan jurusan. Proses ini akan dikembangkan secara lebih terbuka dan menyeluruh dalam bentuk otonomi kampus bersamaan dengan melenyapnya otonomi kerja intelektual. Bila otonomi kampus dilancarkan secara sungguh-sungguh dan berlangsung sukses, maka sulit dibendung, apalagi dilawan, melebarnya sebuah kesenjangan sosial dan intelektual yang mencolok. Akan ada sejumlah universitas mahakuat dan mahakaya, ada yang mahalemah dan mahamiskin. Ada bidang studi yang supergiat, gemilang, bergengsi, selain kaya raya, dan ada sejumlah bidang studi yang sangat merana, atau bahkan menjadi punah. Para dosen, dan peneliti akan menempati status, gaji, dan kekuasaan birokrasi kampus dalam sebuah jenjang yang tajam. Sebuah kontradiksi dan konflik kelas akan menjadi lebih gamblang. Proses transformasi sosial besar-besaran yang diuraikan di atas tidak sepenuhnya negatif atau positif bagi semua orang secara seragam. Tetapi dikarenakan kualitas dan kategori pendidikan yang diperoleh pada jenjang pendidikan, jurusan dan bidang tertentu bisa jadi merupakan proses pembebasan dari beban yang tak pernah dibutuhkan: belajar indoktrinasi, pelajaran atau budaya menghafal atau berbelitnya birokrasi pendidikan yang rasialis dan feodalis. Dua pertanyaan berikut tidak pernah mudah dijawab dan juga tidak mudah untuk diabaikan: Pertama, sejauh mana perbaikan nasib dan kekuasaan kaum kapitalis dan kelas menengah profesional itu punya relevansi dan konsekuensi bagi proses panjang demokratisasi yang lebih luas? Sebagaimana Slamet dan Sutarjo; Noeng Muhajir (dalam Noeng Moehajir, 2001) pengelolaan pembangunan dapat dilakukan dengan partisipasi masyarakat dengan determinan tiga fungsi opinion leader inovatif terdiri: 1) fungsi pembinaan (partisipasi, empati, pemanfaatan media komunikasi, pandangan kosmopolit, dan integrasi sosial); 2). fungsi pengarahan (motivasi, aspirasi, keberanian mengambil risiko dan kreativitas) 3) fungsi tanggap disesuaikan dengan program pembangunan [ 702 ] P a g e
Industrialisasi Dan Tantangannya… (Arif Unwanullah)
pedesaan. Dalam proses pembangunan pendidikan kaitannya dengan perubahan secara revolusioner industrialisasi bidang pendidikan perlu melibatkan berbagai pihak. Pertanyaan kedua, Kalau proses industrialisasi akan membawa Indonesia ke keadaan yang tidak lebih baik, atau bahkan lebih buruk, apa pilihan lain yang tersedia? Sejauh mana industrialisasi pada umumnya dan industrialisasi pendidikan pada khususnya dapat ditolak atau diambil alih secara sepotong-sepotong sesuka kita? Sejarah membuktikan bahwa proses pembangunan dengan mengimpor modernisasi Barat secara sepotong-sepotong sesuai misi dan visi penguasa banyak negara yang mengalami kegagalan. Mengimpor ilmu dan teknologi Barat tetapi menolak filsafat, budaya dan etika dominan Barat yang dianggap terlalu individualis, sekuler, kapitalis. Ada yang memintaminta modal asing dan kecanduan utang luar negeri. Tetapi menolak gagasan politik oposisi dan demokrasi liberal. Atau gagasan sosial (seperti feminisme dan hak asasi), dan ekonomi (seperti hak berserikat dan pemogokan). Tampaknya hingga kini berbagai usaha seperti itu gagal, atau banyak gagalnya. Proses perubahan sosial sulit dipilah-pilah karena pada dasarnya kehidupan sosial itu punya tali-temali yang erat, walau tidak selalu menyebar secara seragam dan merata ke berbagai wilayah di dunia. MENUJU PARADIGMA PENDIDIKAN VISIONER Pertama Pendidikan memiliki tugas untuk membangun pembaharuan penalaran warganya menuju pemerdekaan dan pendewasaan, oleh karenanya upaya-upaya pendidikan yang merangsang penalaran menjadi visi yang urgen. Sehingga pengajaran untuk bidang-bidang filsafat, sejarah, humaniora kesusastraan dan bahasa menjadi bagian yang tidak ditinggalkan lagi dalam pengalaman warga pembelajarnya. Oleh karenanya praksis pendidikan seperti menulis, book report, observasi ceramah, diskusi, debat-debat klasik antar peserta didik dan peserta didik dengan pendidik menjadi kegiatan yang ideal dalam menumbuhkan keberanian berpendapat dan mengemukakan ide-ide kreatif. Penalaran akan tumbuh dan berkembang dengan metodologi yang mendukung proses dan menghargai tahapan pertumbuhan penalaran dengan bimbingan yang kondusif dan dinamis berbagai pihak dalam pendidikan. Kedua Pendidikan dilaksanakan secara komprehensif dengan bekerjasama antar berbagai bidang, penalaran dan kepekaan terhadap perubahan tidak akan terjadi jika hanya dilakukan oleh bagian-bagian, oleh karenanya pendidikan juga harus bekerjasama dengan semua pihak baik antar lembaga pendidikan akan tetapi juga dengan dunia kerja dan industri perlu dilakukan. Pada akhirnya masyarakat juga memiliki harapan bahwa mutu pendidikan tergantung pada kemampuan lulusannya dalam memasuki dunia kerja oleh karenanya pendidikan harus mampu bekerjasama dengan dunia kerja utamanya dunia industri dan teknologi dengan asas kemitraan yang saling menguntungkan. Ketiga Pendidikan harus mampu membangun visi pendidikan secara menyeluruh baik secara horizontal dan vertikal dari berbagai jenis tingkatan pendidikan (komprehensif dan simultan) sehingga keterkaitan dan keterpautan antar pendidikan
P a g e [ 703 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 dapat menjamin dinamisasi perkembangan dan mutu kualitas saling mendukung dalam suasana dunia yang berubah. DAFTAR PUSTAKA Agus Suwignyo, 2008. Pendidikan tinggi & goncangan perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Driyakara, N. 1980. Driyakara tentang pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Everet Reimer. 2000. Matinya sekolah (saduran oleh m. soedomo judul asli school is dead) Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widia. Ira Shor dan Paulo Freire, 2001. Menjadi guru merdeka petikan pengalaman. (terjemahan a. nasir budiman judul asli a pedagogi for liberation dialogues on transforming education). Yogyakarta: LKIS Noeng Muhadjir, 2001. Identifikasi faktor-faktor opinion leader inovatif bagi pembangunan masyarakat (suplemen: tes inventori, teori & konstruksi. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin. Paulo Freir, 2002. Kehidupan, karya dan pemikirannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suyanto dan Djihad Hisyam. 2000. Refleksi dan reformasi pendidikan di indonesia memasuki milenium III. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Tilaar, H.A.R. 1998. Beberapa agenda reformasi pendidikan nasional dalam perspektif abad 21. Jakarta: Terra Indonesia.
[ 704 ] P a g e
Pengembangan Kawasan Terpadu… (Nuraini Asriati)
PENGEMBANGAN KAWASAN TERPADU MANDIRI DENGAN PENDEKATAN MODEL ONE VILLAGE ONE PRODUCT (OVOP) DAERAH TRANSMIGRASI RASAU JAYA Nuraini Asriati
Pendidikan Ekonomi FKIP UNTAN Pontianak nuraini_fkip@ yahoo.co.id
Abstrak Penelitian ini merupakan studi pengembangan model Kawasan Terpadu Mandiri dengan pendekatan One Village One Product (OVOP) dalam upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat daerah Transmigrasi menjadi mandiri dengan mengembangkan produk Unggulan berdaya saing tinggi di pasar domestik dan global. Teknik pengumpulan data melalui observasi langsung, penyebaran angket dan wawancara mendalam. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang bersifat eksploratif dan evaluatif. Melalui tiga tahap yaitu tahap pengembangan dan perancangan, tahap uji coba dalam lingkup terbatas dan tahap validasi berupa eksperimental yang lebih luas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model OVOP dengan QFD belum seratus persen berhasil karena belum banyak memiliki jaringan nasional maupun Internasional; upaya pengembangan sentra produk OVOP dilakukan berupa: pelatihan, pendampingan tenaga ahli, bantuan sarana usaha, promosi, pameran, pemasaran, fasilitasi permodalan, dan pemberian penghargaan OVOP; pengembangan sentra produk OVOP di Rasau Jaya merupakan kegiatan ekonomi yang sangat mendukung terwujudnya KTM; dan terbentuknya KITM menumbuhkan perilaku pengusaha transmigrasi yang selalu mengembangkan OVOP. Kata Kunci: One Village One Product (OVOP), Kawasan terpadu mandiri (KTM), Daerah Transmigrasi.
PENDAHULUAN Pembangunan transmigrasi pada hakikatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan pembangunan daerah, sebagai upaya untuk mempercepat pembangunan terutama di kawasan yang masih terisolir atau tertinggal yang sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan para transmigran dan masyarakat sekitar. Konsep Kawasan Terpadu Mandiri (KTM) diharapkan akan dapat mempercepat perkembangan suatu UPT sampai menjadi Ibu Kota Kabupaten atau secara umum menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dalam waktu 10 –15 tahun. Undang-undang Nomor 15 Tahun1997 tentang Ketransmigrasian dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi mengatur bahwa transmigrasi dilaksanakan dengan membangun WPT (Wilayah Pengembangan Transmigrasi) dan LPT (Lokasi Permukiman Transmigrasi). Berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan unit-unit permukiman transmigrasi di antaranya yaitu tingkat aksesibilitas ke lokasi transmigrasi yang rendah, produksi para transmigran yang tidak dapat dipasarkan, lahan transmigrasi yang marginal (tidak subur), sarana dan prasarana sosial-ekonomi kurang mendukung P a g e [ 705 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 pengembangan usaha transmigran, serta adanya masalah sengketa kepemilikan lahan. Hal ini menyebabkan kegiatan ekonomi di lokasi transmigrasi tidak berkembang, pendapatan para transmigran tetap rendah, desa transmigrasi tidak memiliki daya tarik bagi para pemilik modal untuk mengembangkan usahanya, dan kebutuhan masyarakat masih tergantung dari luar permukiman. Permasalahan lainnya yaitu penduduk lokal yang berada di sekitar unit-unit permukiman transmigran masih belum mendapat sentuhan pemberdayaan yang setara, sehingga tingkat produktivitas dan pendapatannya masih relatif rendah, serta timbulnya kecemburuan sosial karena adanya perbedaan perlakuan antara transmigran dan masyarakat lokal. Realitas selama ini menunjukkan bahwa kawasan transmigrasi telah menciptakan pusat-pusat pertumbuhan jauh yang mampu mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi wilayah secara significant, hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya sejumlah ibukota kabupaten, ibukota kecamatan, dan sentra sentra produksi pertanian yang berasal dari permukiman transmigrasi. Namun disadari bahwa proses pertumbuhan tersebut membutuhkan waktu cukup lama, karena rendahnya produktivitas, kurang lancarnya proses distribusi, dan keterbatasan pasar. Daerah Rasau Jaya merupakan daerah transmigrasi yang mempunyai potensi lahan dan usaha yang dilakukan masyarakat dan juga merupakan daerah eks transmigrasi yang cukup berhasil. Ibukota Kecamatan Rasau Jaya merupakan pusat perbelanjaan terutama untuk daerah dari sebelah selatan Kecamatan Rasau Jaya. Letaknya sangat strategis menjadi tempat persinggahan untuk beberapa masyarakat di luar Kecamatan Rasau Jaya. Kondisi ini menambah ramainya berbagai aktivitas dan kegiatan masyarakat di Rasau Jaya . Pertumbuhan penduduk Kecamatan Rasau Jaya mengalami kenaikan dengan tingkat pertumbuhan dari tahun 2008- 2009 mengalami kenaikan sebesar 14,2874%. Lajunya pertumbuhan penduduk menjadi suatu perhatian pihak terkait karena pengendalian pertumbuhan penduduk berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat. Kecamatan Rasau Jaya sangat strategis dan akses ke ibukota Propinsi Kalimantan Barat terjangkau. Kecamatan Rasau Jaya yang memiliki luas 111,07 Km2. cukup berpotensi untuk dikembangkannya satu desa satu produk (OVOP) namun masih banyak tanah yang belum dapat dimanfaatkan dengan optimal. Potensi ekonomi sudah banyak dilirik oleh perusahaan besar untuk membangun perkebunan sawit, jagung, nenas, dan ubi kayu. Salah satu upaya pembangunan perdesaan yang saat ini sedang diperkenalkan di Indonesia adalah pendekatan One Village One Product (OVOP atau Satu Desa Satu Produk). Pendekatan ini merupakan gerakan masyarakat yang mengembangkan potensi yang dimiliki daerah secara terintegrasi untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Pendekatan model One Village One Product ini cocok untuk pengembangan kawasan industri pedesaan. Sentra OVOP merupakan wilayah desa atau kecamatan di mana produk UKM sebagai produk OVOP diproduksi. Model perkembangan kota akan berkembang karena keadaan topografi tertentu atau karena perkembangan [ 706 ] P a g e
Pengembangan Kawasan Terpadu… (Nuraini Asriati)
sosial ekonomi tertentu. Dasar pemilihan model perkembangan satu desa satu produk (OVOP) akan diterapkan pada Kota Terpadu Mandiri Rasau Jaya adalah untuk mendapatkan model kota yang paling ekonomis. Konsep Dasar Pembangunan Kota Terpadu Mandiri (KTM) pada hakikatnya suatu Kota yang tidak mungkin terwujud tanpa didukung kegiatan usaha/ekonomi daerahnya, Demikian juga untuk menumbuhkan atau mewujudkan Kota Terpadu Mandiri (KTM) perlu didukung oleh kegiatan usaha transmigran yang berdasarkan keunggulan lokal wilayah. Oleh karena itu untuk menumbuhkan KTM perlu memberdayakan usaha kecil mikro yang ada di daerah tersebut sehingga mendorong tumbuhnya suatu kota satu produk (OVOP). Wilayah KTM Rasau Jaya meliputi lokasi transmigrasi dan eks lokasi transmigrasi yang memiliki potensi untuk mengembangkan OVOP sebagai berikut: Tabel 1. Kawasan Terpadu Mandiri Daerah Transmigrasi Rasau Jaya No. 1 2 3 4 5 6
Lokasi/Desa Luas Desa (ha) Rasau Jaya Umum 44 Pematang Tubuh 506 Bintang Mas 600 Rasau Jaya III 2130 Rasau Jaya I 1392 Rasau Jaya II 1535 Jumlah Sumber: Kantor Kecamatan Kubu Raya, 2013
Jumlah KK 5206 312 1202 3722 6621 3743 20806
Berdasarkan tabel 1 di atas, menunjukkan adanya potensi yang dimiliki Rasau Jaya untuk dikembangkan OVOP berdasarkan : 1) letak geografis; 2) Letak administrasi lokasi KTM; 3) Luas lokasi KTM dengan jumlah penduduk 4) Aksesibilitas dan Kondisi Fisik Rasau Jaya; 5) Topografi lokasi KTM dan 6) Penggunaan lahan lokasi KTM Rasau Jaya berdasarkan RTRWP Kalimantan Barat. Konsep Pengembangan Kota Terpadu Mandiri, diarahkan pada pengembangan komoditas unggulan wilayah melalui system agribisnis dan agro industri dari hulu ke hilir bekerjasama dengan investor bidang usaha pertanian. Oleh karena itu untuk menumbuhkan KTM perlu melakukan pembangunan Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) yang dapat mendorong tumbuhnya suatu kota/desa (OVOP). OVOP merupakan pendekatan program pengembangan produk unggulan daerah serta meningkatkan nilai tambah produk dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program One Village One product (OVOP) merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia yang pelaksanaannya didasari pada Inpres No. 6 Tahun 2007 Tentang Percepatan Sektor Riil dan Pembangunan Usaha Mikro Kecil dan Menengah tanggal 8 Juni 2007 yang mengamanatkan pengembangan sentra melalui pendekatan OVOP. Program P a g e [ 707 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 ini dilakukan pada produk yang memiliki ciri khas daerah setempat atau produk yang secara kultural masyarakat yang memiliki potensi pasar baik domestik maupun pasar ekspor. Menurut Wayan (2009) ada kriteria yang harus dimiliki lokasi pengembangan program One Village One Product (OVOP) atau satu desa satu produk, dalam rangka pengembangan Kawasan Industri Mandiri Terpadu yaitu berdaya saing tinggi di pasar domestic dan global. Daerah yang menjadi pengembangan program OVOP harus ada keseragaman jenis usaha, memiliki tata ruang yang jelas, serta memiliki infrastruktur yang bagus. Berbagai model menjadi input penyusunan konsep model pemberdayaan masyarakat. melalui pemberdayaan pengusaha di daerah transmigrasi diharapkan applicable bagi unit operasional yang terkait di lingkungan dimana peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah Daerah, pusat maupun masyarakat bahkan Perguruan Tinggi sebagai lembaga pengkajian. Oleh karena itu, peneliti tertarik dan menganggap penting untuk dilakukan penelitian sebagai starting point untuk memberikan kontribusi kepada pemerintah daerah dan solusi kebijakan dengan pengembangan model One Village One Product unggulan dalam membangun Kawasan Industri Terpadu Mandiri Daerah Transmigrasi Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat. Pengembangan Kawasan Terpadu Mandiri Kota Terpadu Mandiri (KTM) adalah kawasan yang direncanakan untuk menciptakan kawasan yang cepat tumbuh di kawasan lokasi eks transmigrasi. Pekerjaan masyarakat di kawasan ini bekerja pada sektor pertanian. Laju pertumbuhan perekonomian di kawasan ini dipacu dengan beberapa sektor, di antaranya sektor jasa, sektor listrik, gas, air bersih, bangunan, keuangan dan komunikasi. Membangun kawasan industri terpadu harus mendapat dukungan penuh dari semua stakeholder terutama Pemerintah Kabupaten sebagai regulator dalam hal ini memiliki peranan yang sangat sentral. Tata kelola yang baik akan menentukan keberhasilan kawasan industri terpadu. Dengan tata kelola yang baik, transparan dan akuntabel, pendirian kawasan industri terpadu akan memberikan manfaat yang optimal bagi semua pihak yang terlibat terutama pelaku industri, masyarakat sekitar kawasan dan pemerintah kabupaten. Sebaliknya tata kelola yang buruk akan menyebabkan investor enggan untuk melakukan investasi. Pembangunan wilayah melalui alternatif transmigrasi harus dilaksanakan secara bersama oleh lintas sektor dan lintas pemerintahan. Membangun kawasan industri akan menghasilkan dampak sosial bagi masyarakat dan dampak lingkungan sehingga risiko konflik sosial, perubahan tatanan sosial sebagai akibat dari pendirian kawasan industri bisa dikelola dengan baik. Sebuah preliminary study yang menyeluruh dan mendalam tentang dampak sosial, lingkungan hidup akibat pendirian kawasan industri pada [ 708 ] P a g e
Pengembangan Kawasan Terpadu… (Nuraini Asriati)
masyarakat sekitar harus dilakukan sehingga pendirian kawasan industri ini memberikan manfaat bagi masyarakat, menjaga kelestarian lingkungan hidup. Kawasan KTM Rasau Jaya seluas 97.710 Ha, berpenduduk 57.204 jiwa, adalah kawasan Transmigrasi yang pertumbuhannya dirancang menjadi pusat pertumbuhan melalui pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan .Luas KTM yang mencapai 97.710 Ha dan terletak pada lokasi strategis mempunyai banyak peluang usaha, hal ini dapat disampaikan karena PDRB Kabupaten yang cukup tinggi yang berasal dari lapangan usaha unggulan yakni pertanian, industri pengolahan, perdagangan. PDRB kabupaten berdasarkan BPS Kabupaten tahun 2004 sebesar Rp. 5.150.285.590.000,Produksi unggulan di KTM ini adalah padi, ubi dan jagung maka peluang untuk membangun One village one product sangat potensial, sesuai prinsip prnsip OVOP. Kawasan Industri Terpadu Mandiri merupakan sebuah kawasan terpadu yang dikelola secara terintegrasi yang menyediakan berbagai macam fasilitas keperluan industri mulai penyediaan gudang, air bersih, listrik, tempat produksi pengelolaan limbah terpadu, infrastruktur seperti jalan atau pelabuhan. Adapun yang menjadi komponen dalam kawasan terpadu mandiri terdiri dari komponen: a) pemukiman penduduk yang sudah ada; b)Permukiman transmigrasi yang sudah diserahkan pembinaannya; c) Lokasi-lokasi transmigrasi yang masih dibina, dan d) Areal yang dapat direncanakan untuk permukiman transmigrasi yang baru. Pendekatan OVOP Pendekatan pembangunan kawasan terpadu mandiri terdiri dari pendekatan eksogenus dan pendekatan endogenus. Pembangunan yang didasarkan pada pendekatan eksogenus atau modernisasi industri adalah dengan mengintroduksi investasi atau sumber daya dari luar, membutuhkan prasyarat jaminan buruh berkualitas tinggi, kecukupan industri klaster, pengembangan infrastruktur (khususnya sarana transportasi) dan daya tarik kebijakan industri yang bermanfaat. Sedangkan pembangunan dengan pendekatan endogenus yaitu pembangunan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya dan modal secara penuh, serta memperhatikan keseimbangan lingkungan. "Pendekatan model One Village One Product ini cocok untuk pengembangan kawasan industri pedesaan. OVOP adalah suatu gerakan masyarakat yang secara integratif berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi dan kekayaan daerah, meningkatkan pendapatan para pelaku usaha dan masyarakat sekaligus meningkatkan rasa percaya diri dan kebanggaan terhadap kemampuan yang dimiliki masyarakat dan daerahnya. Sumber daya alam ataupun produk budaya lokal serta produk khas lokal yang telah dilakukan turun temrun dapat digali dan dikembangkan untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi sesuai tuntutan dan permintaan pasar. I Wayan mengemukakan bahwa ada tiga prinsip dalam pengembangan OVOP itu adalah Pertama, lokal tapi Global, di mana gerakan OVOP ditujukan untuk mengembangkan dan memasarkan produk unggulan yang mampu mendunia dan jadi P a g e [ 709 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 kebanggaan rakyat setempat. Kedua, kemandirian dan kreativitas dengan menggunakan potensi lokal atau regional di wilayah masing-masing. Ketiga, Pengembangan sumber daya manusia sebagai komponen terpenting untuk menjamin pelaksanaan prinsip tersebut. Sedangkan menurut Fauzi untuk mendalami pengembangan OVOP, implementasi konsep itu memerlukan kepemimpinan di daerah yang kuat yang mampu menggerakkan masyarakat berproduksi suatu produk yang memiliki daya saing tinggi. Pengembangan OVOP merupakan solusi terbaik untuk memberdayakan dan membangun masyarakat di daerah sesuai dengan kemampuan daerah tersebut. OVOP salah satu langkah menuju pengelompokan industri di sektor UKM yang bertujuan mengangkat produk unggulan daerah agar dapat berkembang dan masuk ke pasar lebih luas. Dengan fokus pada satu produk unggulan daerah dan padat karya, OVOP juga akan menyerap banyak tenaga kerja lokal. Di Indonesia terdapat sekitar 74 ribu desa yang memiliki keunikan atau ciri khas. Namun, sekitar 65% penduduknya masih tergolong miskin dan berpendapatan rendah. Mayoritas desa tersebut eksis di sektor pertanian. Dengan kultur tersebut, sangatlah potensial OVOP dikembangkan di desa di daerah transmigrasi. Oleh karena itu, untuk menggairahkan ekonomi kerakyatan, diperlukan peluang pengembangan UKM berbasis sumber daya lokal. Dengan kemandirian yang menjadi landasan pengembangan OVOP, konsep ini sesungguhnya tidak akan membebani pemerintah daerah. Justru akan mengurangi beban pemerintah daerah dalam penyelesaian masalah pengangguran dan kesejahteraan rakyat. Keberadaan produk unggulan bisa dijadikan sebagai salah satu kebanggaan pemerintah daerah yang nantinya diharapkan akan terjadi trickle down effect dari inkubator bisnis yang berimbas pada kemajuan UKM di setiap daerah, bahkan bisa meningkatkan pendapatan nasional negara. Dalam upaya mendukung pengembangan OVOP, diperlukan sinergi berkelanjutan di antara para stakeholder dengan pelaku usaha. Pemerintah daerah dengan instansi terkait, seperti Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perindustrian, serta Kemenko Perekonomian, perlu bekerja sama dalam rangka pengembangan OVOP di suatu daerah. Terutama terkait riset dan teknologi produk, desain, hak paten atas produk, pendistribusian teknologi, serta dalam hal menopang aspek promosi produk. Salah satu aspek yang harus benar-benar dipersiapkan ialah teknis pendampingan. Tiap daerah mustahil bisa sukses melakukan program OVOP dengan sekadar mencontoh daerah lain yang menjadi proyek pencontohan tanpa pendampingan, pelaksanaan OVOP hampir pasti sulit berhasil. Sebab, tiap daerah memiliki masalah fundamental seperti keterbatasan teknologi serta penetrasi pasar yang rendah. Keberhasilan OVOP, selain dapat menjadi pilihan untuk membantu pencapaian swasembada dan ketahanan pangan, juga untuk meningkatkan daya saing dan keunggulan produk Indonesia. Produk lokal yang dihasilkan akan diberi sentuhan tren warna, tekstur, dan material agar tampil modern tanpa cita rasa lokal. Para perajin diajak untuk memahami trend dengan mentransformasi desain produk dengan mengombinasikan sentuhan tren baru ini. Dengan demikian, produk-produk yang [ 710 ] P a g e
Pengembangan Kawasan Terpadu… (Nuraini Asriati)
dihasilkan dapat mampu bersaing di tengah pasar global. Pasar modern saat ini memang tengah dijangkiti virus yang berlabel kontemporer. Maka itu, para produsen di daerah harus mampu memahami apa yang diminta oleh pasar global saat ini. (Media Indonesia, 15 September 2011/ humasristek). Sentra OVOP merupakan wilayah desa atau kecamatan di mana produk UKM sebagai produk OVOP diproduksi. Homogenitas produk, lokasi, akses jalan, sumber bahan baku, sumberdaya manusia, serta komitmen pemerintah daerah merupakan pertimbangan utama dalam penentuan wilayah/sentra OVOP. Untuk menentukan sentra OVOP terdapat beberapa criteria antara lain : a) Wilayah yang mempunyai potensi sumberdaya unggulan yang dikembangkan menjadi barang/produk bernilai tambah tinggi berorientasi ekspor; b) Wilayah yang masyarakatnya telah melakukan kegiatan produksi barang/produk yang sama/sejenis ; c) Produk yang diproduksi memiliki keunikan dan kearifan lokal; d) Adanya komitmen dan fasilitasi Pemerintah Daerah terhadap pengembangan produk e)Memiliki pengurus sentra yang dapat berupa kelompok usaha, KUB, koperasi, paguyuban, asosiasi. f) Ketersediaan bahan baku di daerah setempat. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebagai produk OVOP yaitu : 1) Batasan Produk (Memiliki keunikan/kearifan lokal ,kualitas ekspor, diproduksi secara kontinu.; 2)Produsen (memiliki legalitas usaha); 3) Jenis Produk IKM. Unsur-unsur yang dinilai pada ketiga aspek di atas mencakup: Sumber bahan baku, Pengembangan produk/inovasi, Keunikan lokal, Sejarah produk, Kemasan ,Standar yang dimiliki, Teknologi yang digunakan, Kapasitas produksi, Perijinan, Manajemen usaha, Pembukuan, Pemasaran , peningkatan omzet penjualan, Dampak lingkungan. Keterlibatan tenaga kerja dan masyarakat sekitar. Keuntungan yang disumbangkan kepada masyarakat dan lingkungannya. (Kementerian Perindustrian, 2012: 20-22) METODE Penelitian ini berupa Implementasi model One Village One Product dalam pengembangan daerah Kawasan Terpadu Mandiri Rasau Jaya. Teknik pengumpulan data melalui observasi langsung, penyebaran angket dan wawancara mendalam (Bogdan dan Taylor, 1993:27). Pendekatan penelitian digunakan Development Research (Borg & Gall, 1989:781-802) yang diawali dengan pengembangan model One Village One Product dan dilanjutkan dengan tahapan implementasi membangun kawasan industri terpadu mandiri pada daerah transmigrasi. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang bersifat eksploratif dan evaluatif. Penelitian eksploratif dilakukan b e r tujuan untuk pemetaan 50 orang pengrajin /pengusaha yang siap dengan program OVOP di Kawasan Terpadu Mandiri Rasau Jaya. Penelitian evaluatif dilakukan untuk mengetahui hasil pelaksanaan OVOP yang telah dilakukan 50 orang perajin/pengusaha di Kawasan Terpadu Mandiri Rasau Jaya melalui tiga tahap yaitu tahap pengembangan dan perancangan, tahap uji coba dalam lingkup terbatas dan tahap validasi berupa eksperimental yang lebih luas. P a g e [ 711 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
HASIL DAN PEMBAHASAN Kawasan KTM Rasau Jaya terdiri dari empat kecamatan salah satunya adalah Kecamatan Rasau Jaya yang meliputi enam desa antara lain Rasau Jaya umum, Bintang Mas, Rasau Jaya I, rasau Jaya II, rasau Jaya III dan Pematang Tujuh. Secara geografis terletak pada Kawasan Rasau Jaya ini terIetak pacta 109. 14 30,83"-190 26 30,65" Bujur Timur dan 00.11 30,39" - 00.19 39,42" Lintang Selatan Kawasan perencanaan yang akan dijadikan kawasan industri terpadu mandiri Rasau Jaya sekitar 97.710 ha atau 11,83% dari Keseluruhan wilayah yang ada di daerah Kabupaten Pontinak. Kawasan ini sangat strategis dalam bidang kegiatan bisnis karena aksesibilitas cukup baik, di mana produksi unggulan adalah padi dengan luas panen 2.709 Ha, dan rata-rata produksi per hektar 23,06 Kw/Ha. Selain itu adalah jagung dan ubi kayu, luas panen jagung mencapai 246,52 Ha dengan rata-rata produksi per hektar 18,29 Kw/ha, sedangkan ubi kayu seluas 991 Ha dengan rata-rata produksi mencapai 127,25 Kw/ha. Sebagian besar Kawaan KTM Rasau Jaya mempunyai kondisi topografi yang relatif datar dengan kemiringan lahan rata rata antara 0-3%.. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kawasan Industri Terpadu Mandiri Rasau Jaya Dikaitkan dengan prinsip-prinsip mendasar OVOP, program OVOP yang dilaksanakan oleh pemerintah memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Prinsip pertama yaitu Local but Global yang bermakna menghasilkan produk atau jasa yang bernilai lokal dan dapat diterima secara global dalam prinsip OVOP, dilaksanakan dengan cara meningkatkan kualitas produk melalui proses pelatihan teknis, pen damping an, peningkatan mutu produksi dan desain Hasil akhir pelatihan yang dilakukan oleh HW Trans Rasau Jaya tidak mengindikasikan adanya peningkatan dalam produksi produk yang dapat diterima secara global sehingga perlu pendampingan selama 6 bulan oleh HW Trans mulai dari standar produk sampai dengan akses pemasaran. Prinsip dasar kedua OVOP yaitu Self reliance and creativity yang bermakna memanfaatkan potensi yang dimiliki secara kreatif dengan usaha-usaha yang mandiri sudah cukup terlihat dalam pelaksanaan OVOP di Rasau Jaya. Dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam sebagai unggulanya produk yang terbuat dari bahan baku [ 712 ] P a g e
Pengembangan Kawasan Terpadu… (Nuraini Asriati)
beras, dan jagung, sedangkan sumber daya manusia yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Rasau Jaya dalam kehidupan sehari-hari, melalui program OVOP mendapatkan dukungan yang lebih besar dari pemerintah seperti adanya pendampingan oleh HW Trans. Prinsip ketiga yaitu Human resource development memiliki makna mengembangkan potensi masyarakat agar memiliki semangat untuk kreatif dan mampu menghadapi tantangan. OVOP sebagai program pemerintah tidak difokuskan pada pengembangan potensi masyarakat daerah secara menyeluruh sehingga semangat OVOP seolah-olah hanya diperkenalkan pada peserta program yaitu perajin dan pengusaha mikro saja. Pada dasarnya pelaksanaan OVOP di Kawasan Terpadu Mandiri Rasau Jaya belum sesuai dengan prinsip mendasar OVOP yang seharusnya selalu ada dalam penerapan OVOP. Ketidaksesuaian ini disebabkan oleh belum adanya kesadaran masyarakat d a l a m langkah pelaksanaan program OVOP yang disusun pemerintah karena bersifat topdown. Tabel 2. Potensi Yang Dimiliki KTM Rasau Jaya No Komponen Keterangan 1 Luas Wilayah 111.07 Km 2 Desa 6 desa 3 Jumlah Penduduk 23.499 4 Laju Pertumbuhan Penduduk 2,35 5 Kegiatan Masyarakat per Km 212 6 Kegiatan Masyarakat per desa 3.917 Sumber: Olahan, 2014 Dengan menjadinya Kecamatan Rasau Jaya sebagai Kota Terpadu Mandiri (KTM) mengakibatkan bertambahnya jumlah penduduk dari transmigran yang datang ke Rasau Jaya. Bertambahnya jumlah penduduk mengakibatkan meningkatnya aktivitas ekonomi dan dibarengi oleh bertambahnya kebutuhan lahan yang mewadahi aktivitas pembangunan tersebut. Ketersediaan lahan ditentukan berdasarkan produksi aktual setempat dari semua komoditas OVOP yang ada di wilayah tersebut. Berikut sebaran potensi yang dimiliki kawasan KTM Rasau Jaya baik demografi dan sosial masyarakat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2, menunjukkan bahwa kegiatan perdagangan di Kawasan Terpadu mandiri Rasau Jaya tidak terlepas dari kegiatan perdagangan yang ada di pusat kota Pontianak. Pengembangan agribisnis dilakukan dengan membangun jaringan kerja yang dilaksanakan dengan mengembangkan pola kerjasama dan kemitraan dari berbagai komponen dari berbagai komponen dan kekuatan swadaya masyarakat, dunia usaha, dan unsur perguruan tinggi yang memiliki komponen dan kosistensi serta kepedulian untuk membangun secara berkesinambungan.
P a g e [ 713 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Pengrajin dan pengusaha dibangun kesadaran akan pentingnya terus berkreasi dalam mengembangkan potensi produk, baik secara desain, maupun secara teknik produksi dan tidak terus menerus tergantung pada desain yang diberikan pembeli. Pengrajin dan pengusaha harus memahami dengan pasti pasar luar negeri yang akan dituju, sehingga berbagai pengetahuan mengenai desain, selera dan trend akan target pasar menjadi sangat penting. Pengembangan desain berdasarkan permintaan perantara (buyer) harus dibatasi. Desainer memiliki peran yang sangat signifikan dalam mengembangkan desain yang dapat mempertahankan nilai-nilai tradisional. Program pendampingan dititikberatkan pada pengembangan desain tidak terbatas pada proses pelatihan teknis saja, tetapi juga pendampingan oleh desainer professional yang berfungsi sebagai ‘bank’ desain dan konsultan. Pelaksanaan rangkaian program OVOP lebih efektif dalam setiap tahun, termasuk tahap monitoring dan evaluasi. Pelaksanaan evaluatif menunjukkan bahwa 1) memanfaatkan semua prinsip OVOP bukan hanya sebagai sebuah pendekatan untuk memajukan potensi UKM tetapi juga sebagai sebuah upaya untuk membangun suatu daerah.; 2) Melibatkan masyarakat daerah secara meluas dalam melakukan identifikasi permasalahan yang dihadapi oleh U KM dan masyarakat agar seluruh masyarakat merasa memiliki dan terlibat dalam pelaksanaan program OVOP. Pendekatan OVOP harus mampu memunculkan motivasi masyarakat untuk mandiri, dengan cara membuat pengklasifikasian yang lebih spesifik mengenai perajin atau pengusaha yang akan diikutsertakan dalam program OVOP agar perajin atau pengusaha yang memenuhi persyaratan saja yang akan diikutsertakan program OVOP. Salah satu andalan KTM Rasau Jaya adalah industri rumah tangga yang mampu mengolah beragam komoditas pertanian menjadi produk pangan dengan pasar yang mampu menembus luar daerah. Produk olahan pangan itu di antaranya marning, rengginang, maupun kerupuk ubi. Namun, walau masih terdapat sejumlah kendala untuk mengembangkan produk olahan pangan tersebut. Misalnya modal, teknologi kemasan, hingga jangkauan pasar yang lebih luas. Kawasan transmigrasi Rasau Jaya tidak terlepas dari kegiatan budidaya pertanian yang menghasilkan beragam bahan pangan, termasuk untuk industri rumah tangga sebagai nilai tambah dari hasil kegiatan usaha tani yang dilakukan masyarakat. Salah satu persoalan utama, ketika ada yang tertarik terhadap produk yang dihasilkan dan perlu dalam jumlah banyak, industri rumah tangga tak jarang kesulitan untuk memenuhinya karena kapasitas industri yang masih kecil dengan sumber daya dan sumber dana yang terbatas serta alih teknologi untuk peningkatan kualitas kemasan dan produk. Setiap pengusaha produk OVOP selalu meningkatkan jenis produknya, kemasan dan labelnya dan saling bersinergi antara pengusaha satu dengan lainnya sehingga setiap desa memiliki potensi yang sama dalam satu kecamatan. Hal ini dapat pada tabel 3 berikut: Tabel 3.Pemetaan Produk OVOP Berdasarkan Lokasi KTM Rasau Jaya Jenis No Nama Desa Jlh [ 714 ] P a g e
Pengembangan Kawasan Terpadu… (Nuraini Asriati)
Usaha
Rasau Rasau Jaya I Jaya II
Rengginan 3 3 gMarning 1 Kerupuk 6 3 Keripik 3 1 Torratello Kue Dodol Minuman Kerajinan Jumlah 13 7 Sumber: Ketua HW-Trans, 2013 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Rasau Jaya III 2 2 1 1 6
Rasau Jaya Umum 2 1 3 1 2 1 1 2 1 14
Pematan Bintan g Tujuh g Mas 1 1 1 1 2 6
1 1 1 1 4
12 2 16 7 2 2 2 2 5 50
Kota Terpadu Mandiri (KTM) Rasau Jaya menjadi pusat pertumbuhan yang mampu mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Industri rumah tangga (home industry) menjadi salah satu andalan daerah eks transmigrasi itu. Keberadaan KTM Rasau Jaya sebagian besar dari kegiatan usaha tani, sehingga teknologi pengolahan hasil pertanian memberi nilai tambah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Industri rumah tangga tersebut mampu mengolah beragam komoditas pertanian menjadi produk industri olahan pangan dengan pasar yang sudah mampu menembus luar daerah. Produk olahan pangan itu di antaranya marning, rengginang, berbagai macam rasa kerupuk, torratello, keripik, kerajian, aneka kue basah dan kering , batako dan gerabah keramik. Berdasarkan sebaran angket kepada pengusaha/perajin di Kawasan Terpadu Mandiri Rasau Jaya berkaitan dengan pendekatan OVOP diperoleh ada beberapa kriteria penilaian yang digunakan dalam aspek produksi seperti sumber utama bahan baku, kapasitas produksi, nilai tambah produksi, dan lingkungan secara berturut turut dapat dilihat pada Gambar 1,2,3,4. Berdasarkan gambar 1,2,3 dan 4 menunjukkan bahwa 90% sumber utama lokal yang menjadi ciri khas Rasau Jaya yaitu ubi dan jagung. Peningkatan kapasitas produksi di atas30% per tahun sebanyak 90% pengusaha Rasau Jaya. Produk yang diolah dari sumber utama Rasau jaya memiliki nilai tambah produksi diatas 60% walau tidak berbasis ekspor sebanyak 75%. Sebagian besar dalam memproduksi pengusaha memperhatikan dampak lingkungan.
P a g e [ 715 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
Selain itu kriteria OVOP menilai konsistensi kualitas dan kuantitas produk, pengembangan produk, merek seperti dideskripsikan pada Gambar 5,6,7. Konsistensi kualitas dan kuantitas produk setiap produksi pada jumlah yang sama baik ada pesanan maupun tidak pesanan. Pengembangan produk selalu dilakukan oleh pengusaha/perajin berdasarkan hasil kreativitas dan inovasi produk sebanyak 30% dan selebihnya masih produk asli yang diversifikasi rasa dan bentuk. Penggunaan merek produk sudah mendapat PRT dan didaftar namun belum memiliki HKI sebanyak 60%.
Peran pengusaha dalam kelompok dan partisipasi serta organisasi /manajemen secara rinci dapat di lihat pada Gambar 8, 9, dan 10. Sebagian besar (70%) pengusaha menjadi anggota kelompok HW Trans KTM Rasau Jaya sedangkan 25 % tidak tergabung dalam Himpunan Wirausaha Kawasan Terpadu Mandiri. Hal ini disebabkan keterbatasan waktu untuk mengikuti kegiatan yang dilakukan HW Trans. Namun untuk mengembangkannya lebih lanjut, masih terdapat sejumlah kendala, di antaranya permodalan, teknologi pengeringan kerupuk maupun keripik jika musim hujan, kemasan, dan jangkauan pasar luar negeri yang menjadi ciri khas OVOP. Berdasarkan wawancara kepada sebagian pengusaha terdapat sejumlah kendala dalam mengembangkan kegiatan industri rumah tangga dan membutuhkan penanganan komprehensif sehingga usaha [ 716 ] P a g e
Pengembangan Kawasan Terpadu… (Nuraini Asriati)
pengembangan bisa sejalan dengan hasil yang akan diperoleh masyarakat. Rasau Jaya merupakan salah satu kawasan transmigrasi yang berhasil berkat dukungan dari pemerintah dan kemauan masyarakatnya untuk maju dan berkembang. Motivasi yang mereka miliki diharapkan bisa menular kepada kawasan transmigrasi lainnya, terutama kawasan baru sehingga bisa maju dan berkembang, serta mampu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
Tenaga kerja 100% diperoleh dari daerah Kawasan Terpadu Mandiri Rasau Jaya sehingga memberikan keuntungan kepada masyarakat setempat walau masih kecil kontribusinya. Manajemennya masih belum memiliki struktur organisasi sebanyak 98 % sedangkan 2 % memiliki struktur tetapi belum adanya job description pada setiap tenaga kerja. Begitu juga pembukuannya belum dilakukan pembukuan terpisah antara keuangan usaha dengan keuangan rumah tangga, hanya 1 % yang sudah membuat pembukuannya. Wilayah pemasaran produk hanya di wilayah propinsi belum mengglobal. Kenaikan produksi hanya sebatas 25%-50% untuk memenuhi langganan menghadapi hari raya hari raya umat Islam maupun umat nasrani, sehingga pelanggannya membeli tidak tetap dan dilakukan sendiri pemasarannya belum melibatkan pihak ketiga. Hal ini dapat ditunjukkan pada Gambar 11, 12 , 13,14 dan 15.
Produk yang dihasilkan 100% dari keunggulan lokal dan ada pengembangan kreatif yang dilakukan oleh masing-masing pengusaha. Hal inilah yang mendukung program satu desa satu Produk (OVOP) di kawasan terpadu mandiri Rasau Jaya. Sebagian P a g e [ 717 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 pengusaha sudah mengikuti pelatihan GMP (50%) namun hanya sebagian besar yang sudah menerapkan GMP sehingga hanya 65 % yang memperhatikan kemasan berlabel dan rata-rata masih menggunakan alat teknologi sederhana. Hanya 2% yang menggunakan peralatan modern. Menurut Ketua HW Trans Abdul Manan, pengembangan industri rumah tangga juga perlu alih teknologi untuk meningkatkan kualitas. Salah satunya adalah teknologi kemasan selain teknologi pengolahan hasil, untuk kemasan memang harus dibuat semenarik mungkin sehingga bisa memberikan nilai tambah. Standar produksi yang dihasilkan belum mempunyai standar lokal berbasis ekspor atau ber-SNI sehingga inilah kendala yang dialami pada program OVOP. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 17, 18, 19, 20, 21 dan 22.
Kawasan transmigrasi Rasau Jaya ini tidak terlepas dari kegiatan budi daya pertanian yang menghasilkan beragam bahan pangan sehingga industri rumah tangga untuk mengolah bahan pangan itu bisa menjadi pilihan utama dalam meningkatkan nilai tambah dari hasil kegiatan usaha tani yang dilakukan masyarakat dan didukung adanya himpunan wirausaha (HW Trans) yang bisa melaksanakan fasilitasi dalam upaya meningkatkan kapasitas SDM pelaku industri rumah tangga ini. Berikut rekapitulasi kriteria penilaian pengembangan OVOP di kawasan terpadu Mandiri Rasau Jaya. Tabel 4. Rekapitulasi Kriteria Penilaian Pendekatan OVOP KTM Rasau Jaya ASPEK
DIMENSI
Produksi
Sumber Bahan Baku Utama
INDIKATOR >Bahan baku utama lokal kurang dari 60%
Kapasitas Produksi
[ 718 ] P a g e
SKOR -
> Bahan baku utama lokal 60% - 90%
10%
> Bahan baku utama lokal lebih dari 90%
90%
>Tidak ada peningkatan kapasitas produksi
-
Pengembangan Kawasan Terpadu… (Nuraini Asriati)
ASPEK
DIMENSI
INDIKATOR
SKOR
>Peningkatan kapasitas produksi kurang dari 30%
10%
>Peningkatan kapasitas produksi lebih dari 30%
90%
> Nilai tambah produksi kurang dari 20% Nilai tambah Produksi
Lingkungan
5%
> Nilai tambah produksi 20% - 60%
20%
> Nilai tambah produksi lebih dari 60%
75%
>Tidak memperhatikan dampak terhadap lingkungan
15%
>Produksi berdampak terhadap lingkungan tetapi terkendali
3%
>Produksi tidak berdampak terhadap lingkungan >Tidak dapat diproduksi dalam kuantitas dan kualitas yang sama Konsistensi kualitas dan >Dapat diproduksi dalam kuantitas dan kualitas yang hampir kuantitas produk sama > Dapat diproduksi dalam kuantitas dan kualitas yang sama >Diprodksi sesuai aslinya (tidak ada pengembangan) Pengembanga n Produk
Pengembangan Produk
Merek
Peran dalam Kelompok Pengembanga n Masyarakat
Organisasi
Pembukuan
Produk Pemasaran Riwayat Poduk
Pelanggan
Cara Pemasaran
> Tidak mempunya merek
40%
>Mempunyai merek belum didaftarkan di HKI
98%
>Tidak menjadi anggota kelompok
25%
>Sebagai anggota kelompok
70% 5% 100%
>Memberikan sebagian keuntungan kpd masyarakat
20%
>Mendengarkan/menerima masukan dr masyarakat
40%
>Tidak ada struktur organisasi
98%
>Ada struktur oraganisasi tanpa pembagian tugas yang jelas
2%
>Ada struktur organisasi dengan pembagian tugas yang jelas
-
>Tidak ada pembukuan
99%
>Pembukuan sederhana
1% 100%
> Wilayah pemasaran utama antar provinsi
-
> Wilayah pemasaran utama Internasional
-
>Kenaikan tidak lebih dari 25%
25%
> Kenaikan 25%-50%
60%
> Kenaikan 51% atas lebih
15%
> Mempunyai pelanggan yang membeli tidak tetap
75%
>Mempunyai pelanggan yang membeli secara tetap
20%
>Mempunyai pelanggan yang membeli secara tetap dan meningkat > Pemasaran dilakukan sendiri
75%
> Pemasaran menggunakan agen/distributor
25%
> Pemasaran menggunakan Online Legenda dari Produk
2% 30%
>Wilayah pemasaran utama di provinsi
Peningkatan hasil Penjualan
40%
>Merupakan hasil kreativitas dan inovasi produk
>Pembukuan mengikuti sistem akuntansi Wilayah Pemasaran
50%
68%
>Tenaga kerja sebagian dari masyarakat setempat
Manajemen
10%
> Dikembangkan dari produk asli (diversifikasi)
>Sebagai Pengurus Kelompok Partisipasi Masyarakat
82%
>Mempunyai riwayat produk tetapi tidak ada dokumentasi
5%
80%
P a g e [ 719 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 ASPEK
DIMENSI
INDIKATOR >Mempunyai riwayat produk dan didokumentasi
Kearifan Lokal
Kemasan Label
-
>Berasal dari tempat lain dan tidak dikembangkan lebih lanjut
-
>Berasal dari tempat lain dan dikembangkan lebih lanjut
-
Peralatan/Teknologi
25%
>Sudah mengikuti pelatihan GMP dan diterapkan sebagian
50%
>Sudah mengikuti pelatihan GMP dan menerapkan secara penuh
25%
>Mempunyai kemasan dan label masih sederhana
30%
>Mempunyai kemasan dan label menarik dan sudah sesuai ketentuan label
65%
75%
>Peralatan semi otomatis
23% 2%
>Tidak mempunyai standar
89%
>Mempunyai stndar perusahaan
10%
>Mempunyai standar perusahaan & memenuhi SNI >Mempunyai stndar perusahaan dan memenuhi Standar Internasional Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu
5%
>Peralatan manual
>Peralatan Modern Standar Produk
100%
>Sudah mengikuti pelatihan GMP tetapi belum diterapkan
>Mempunyai kemasan dan label menarik sesuai ketentuan label dan sudah tercamtum info tentang nutrisi Ketentuan Umum Produk
20%
>Mempunyai riwayat produk ada dokumentasi dan dipubikasikan
>Merupakan asli kearifan lokal dan ada pengembangan kreatif lebih lanjut Penerapan GMP
SKOR
1% 99%
>Tidak ada >Ada
1%
SIMPULAN Kajian ini menyimpulkan bahwa 1) Penerapan model OVOP belum seratus persen berhasil dilakukan karena belum banyak memiliki jaringan yang luas secara nasional atau internasional; 2) Upaya pengembangan produk OVOP sudah dilakukan berupa: Pelatihan, Pendampingan tenaga ahli, Bantuan sarana usaha, Promosi dan Pameran, Fasilitasi HKI. Fasilitasi Permodalan, dan Pemberian penghargaan OVOP; 3) Pengembangan sentra produk One Village One dengan 50 jenis produk sangat mendukung terwujudnya KTM karena mampu menggali potensial daerah Rasau Jaya. 4) Terbentuknya KTM akan menumbuhkan mindset atau perilaku pengusaha transmigrasi Rasau Jaya yang selalu ingin mengembangkan daerahnya melalui penggalian potensi kearifan local dengan mengembangkan Onde Village One Product. Rekomendasi penelitian ini: 1) Diharapkan pengusaha terus mengembangkan usahanya dengan menggali keunggulan lokal utama sehingga tercipta one village one product (OVOP); 2) Diharapkan dinas perindustrian dan UMKM terus menggiring pengusaha lokal untuk memproduksi produk One Village One Product berbasis ekspor; 3) Hendaknya pemerintah daerah terus berkomitmen terhadap pengembangan produk One Village One Product yang dilakukan oleh masyarakat sehingga terwujudnya Kawasan [ 720 ] P a g e
Pengembangan Kawasan Terpadu… (Nuraini Asriati)
Industri Terpadu Mandiri Rasau Jaya yang benar-benar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Ade Latifa, 2007, Penduduk dan Kemiskinan di daerah Perbatasan Sulawesi Utara dan Kalimantan Timur, http://www.jurnalnasional.com/diakses 9 Maret 2009. Biro Pusat Statistik, 2008, Kondisi Sosial Ekonomi Daerah Perbatasan Kalimantan BaratSerawak, Biro Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak. Borg. W & Gall, 1989, Educational Research Introduction, New York. Direktorat Jenderal Insudtri Kecil dan Menengah, 2012, Buku Petunjuk Teknis Penilaian, Klasifikasi dan Pembinaan Produk OVOP, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. Eko Bambang Subiyantoro, 2005, Perempuan Miskin di Ujung Negeri, Jurnal Perempuan Edisi 4 Tahun 2005, ISSN: 1410-153x. http://egismy.wordpress.com/ 2009/09/ 08/kawasan-industri-terpadu-upaya-peningkatan-daya-saing-produknasional/ Http:www: goegle, 2010, Sekilas Kabupaten Pontianak, Diakses tanggal 12 Maret 2012. I Wayan, 2010, Kawasan Industri Terpadu Mandiri, Harian Kompas, 2010 Jawahir Thontowi, 2009, Masyarakat Marginal Perbatasan di Kalimantan Barat, Publikasi, diakses 15 September 2009. Muchtar, 2007, Masalah dan Kebutuhan Keluarga Daerah Perbatasan, Publikasi, diakses 20 Agustus 2007. Rakhma Oktavina, Model Manajemen Strategis Evaluasi Kinerja Usaha Mikro dan Kecil Menengah Makanan Ringan Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Gunadarma Sahat M. Pasaribu, 2011, Pengembangan Agro Industri Perdesaan Dengan Pendekatan One Village One Product (OVOP) Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 29 No. 1, Juli 2011 : 1 - 11 , Sugiharto, Y. & Rizal, S. 2008. Gerakan OVOP sebagai Upaya Peningkatan Pembangunan Daerah, Jakarta: Benchmark. UU No. 20 Tahun 2008, Undang Undang tentang Usaha Kecil Mikro Menengah, Bandung Penerbit Alfabeta UU Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi, Jakarta; PT. Rajagrafindo Persada. Wayan, 2010, Kawasan Industri Terpadu Mandiri, Harian Kompas, 2010
P a g e [ 721 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
PENGARUH KOMPENSASI, KOMPETENSI DAN KOMITMEN ORGANISASIONAL TERHADAP KEPUASAN KERJA DAN KINERJA KARYAWAN KOPERASI Yudi Supiyanto
Universitas PGRI Ronggolawe Tuban
[email protected]
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh kompensasi, kompetensi dan komitmen organisasional terhadap kepuasan kerja dan kinerja karyawan koperasi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan KSP (Koperasi Simpan Pinjam) yang tersebar di Kabupaten Tuban. Adapun teknik sampling yang akan digunakan adalah gabungan teknik Area sampling dan Random Sampling Sederhana dengan jumlah sampel 103 karyawan. Analisis data menggunakan teknik Path Analysis dengan model trimming. Temuan penelitian menunjukkan bahwa 1) kompensasi, kompetensi dan komitmen organisasi secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan; 2) kompensasi berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan; 3) kompetensi berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan; komitmen organisasional berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan; 5) kompensasi, kompetensi, komitmen organisasi dan kepuasan kerja secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan; 6) kompensasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan; 7) kompetensi berpengaruh tidak signifikan terhadap kinerja karyawan; 8) komitmen organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan; dan 9) kepuasan kerja berpengaruh tidak signifikan terhadap kinerja karyawan. Kata kunci: Kompensasi, Kompetensi, Komitmen Organisasional, Kepuasan Kerja Dan Kinerja Karyawan.
PENDAHULUAN. Koperasi idealisnya menjadi soko guru ekonomi nasional sebagaimana sering disebutkan maka diharapkan koperasi menjadi kekuatan ekonomi yang utama dan melebihi kekuatan dari pada dua pelaku ekonomi lainnya. Hal ini tercermin di dalam peran koperasi dimana koperasi selain sebagai alat untuk mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat juga merupakan alat untuk memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional (Rintuh, 1995). Namun dalam kenyataaannya koperasi justru berada pada level paling bawah terutama jika dilihat dari berapa besar sumbangan koperasi terhadap Pendapatan Nasional dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya (http://studensite.gunadarma.ac.id). Rendahnya kinerja koperasi seperti yang diuraikan di atas tidaklah terlepas dari peran SDM (sumber daya manusianya) yakni karyawan di mana mereka bekerja dan memberikan seluruh kemampuannya guna mencapai kinerja yang diharapkan. Peran sumber daya manusia dari waktu ke waktu semakin mendapat tempat yang strategis dalam aktivitas bisnis koperasi. Beberapa ahli SDM mengajukan peran-peran tersebut sebagai peran baru SDM (Schuler & Jackson, 1987) yang terkait dengan strategi organisasi. Perspektif resource-based view berpandangan bahwa kapabilitas sumberdaya [ 722 ] P a g e
Pengaruh Kompensasi, Kompetensi… (Yudi Supiyanto)
manusia adalah sumberdaya potensial untuk sustainable competitive advantage bagi organisasi. Hal tersebut digambarkan sebagai kapabilitas SDM yang dapat membantu perusahaan memperoleh keunggulan kompetitif dengan praktik-praktik manajemen sumber daya manusia dan mendorong fokus pada pelanggan.(Schuler dan Jackson, 1994). Untuk itulah Ulrich ( 1997) menyarankan 4 peran baru yang harus dimainkan oleh Fungsi SDM dan para praktisinyanya, agar dapat memberikan hasil dan menciptakan keuntungan dari keberadaan mereka di dalam perusahaan, yaitu :1). Mitra bisnis strategis sebagai mitra bisnis strategis, Fungsi SDM dan para praktisinya dituntut untuk mempunyai kemampuan dalam menterjemahkan strategi bisnis yang ditetapkan perusahaan, menjadi tindakan-tindakan yang nyata di lapangan, 2) Ahli di bidang administrasi, sebagai ahli di bidang administrasi, Fungsi SDM dan para praktisinya harus mampu melakukan rekayasa ulang terhadap proses-proses kerja yang dilakukannya selama ini, 3). Pendukung dan pendorong kemajuan karyawan, dalam perannya sebagai pendukung dan pendorong kemajuan karyawan, 4). Agen perubahan, dalam kapasitasnya sebagai agen perubahan, Fungsi SDM dan para praktisinya dituntut untuk mampu menjadi katalisator perubahan di dalam perusahaan. Fungsi SDM dan para praktisinya harus mampu berperan dalam mempercepat dan mengelola proses perubahan yang dicanangkan oleh perusahaan secara efektif. Di samping itu, mereka dituntut pula untuk mampu mengenali hambatan-hambatan yang mungkin dihadapi oleh perusahaan bila perubahan dilakukan. Dengan demikian dapat mencegah terjadinya gejolak sosial, yang kontra produktif di dalam perusahaan dan tentu saja tampilan kinerja SDM yang diharapkan terus meningkat dalam jangka panjang meskipun dalam perjalanannya mengalami permasalahan penurunan kinerja. Masalah penurunan kinerja dari SDM karyawan telah banyak diteliti oleh para peneliti bukan saja dikaitkan dengan faktor kompetensi namun juga beberapa faktor atau variabel manajemen sumber daya manusia dan perilaku organisasi serta motivasi Keith Davis dan McCleland dalam Mangkunegara, 2011). Selain itu masalah pengelolaan sumber daya manusia (SDM) di koperasi khususnya menyangkut profesionalisme dan moral personel koperasi begitu juga masalah pemanfaatan teknologi (Dinas KUMKM Jatim, 2013). Dalam penelitian ini beberapa factor manajemen sumber daya manusia dan perilaku organisasi yang diduga mempengaruhi kinerja karyawan adalah kompensasi, kompetensi, komitmen organisasional, dan kepuasan kerja. Kompensasi merupakan suatu yang diterima karyawan sebagai pengganti kontribusi jasa mereka kepada organisasi Rivai (2005). Untuk menyusun sistem pemberian kompensasi yang adil, manajemen perlu melakukan “evaluasi pekerjaan”. Dengan evaluasi, manajemen berupaya mempertimbangkan dan mengukur masukan karyawan (ketrampilan, usaha, tanggung jawab dan sebagainya) untuk menetapkan kinerja minimum dan merubah ukuran dalam satuan uang. Kompensasi juga merupakan pendorong utama karyawan untuk bekerja, karena dengan kompensasi berupa Financial para karyawan dapat memenuhi kebutuhannya. Sehingga kompensasi berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Kompensasi dipandang sebagai salah satu factor SDM yang P a g e [ 723 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Hal ini diperkuat oleh Rivai (2011) bahwa kompensasi antara lain untuk menghargai kinerja karyawan. Sutrisno (2011) mengatakan bahwa ada semacam imbal balik harapan antara perusahaan pemberi kompensasi dengan karyawan yang menerimanya yakni tujuan seorang pekerja bekerja adalah untuk memperoleh kompensasi dan pihak perusahaan mengharapkan karyawan memberikan kinerja yang terbaik bagi organisasinya. Kompetensi terkait dengan peran SDM dalam organisasi atau perusahaan mempunyai arti yang sama pentingnya dengan pekerjaan itu sendiri, mengingat pentingnya peran Sumber Daya Manusia dalam organisasi atau koperasi dalam hal ini, SDM sebagai faktor penentu organisasi atau perusahaan maka kompetensi menjadi aspek yang menentukan keberhasilan organisasi atau perusahaan. Dengan Kompetensi yang tinggi yang dimiliki oleh SDM dalam suatu organisasi atau perusahaan tentu hal ini akan menentukan kualitas SDM yang dimiliki yang pada akhirnya akan menentukan kualitas kompetitif perusahaan itu sendiri. Konsep kompetensi sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Menurut Organisasi Industri Psikologi Amerika (Mitrani, Palziel and Fitt, 1992: 14) gerakan kompetensi telah dimulai pada tahun 1960 dan awal 1970. Apakah yang dimaksud dengan Kompetensi? Menurut Spencer and Spencer, (1993 : 9) Kompetensi adalah sebagai karakteristikyang mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektifitas kinerja individu dalam pekerjaannya (an underlying characteristic’s of an individual which is causally related to criterion – referenced effective and or superior performance in a job or situation). Ruky (2003) selanjutnya mengatakan bahwa kompetensi dibutuhkan untuk melaksanakan peran tertentu untuk menghasilkan kinerja berupa prestasi kerja yang memuaskan. Hasil penelitian Mc. Clelland (dalam Umara, 2002) menunjukkan bahwa kompetensi berhasil memprediksi kinerja atau prestasi kerja individu dalam pekerjaan. Komitmen organisasional menurut Meyer dkk (1997) tidak hanya berhubungan dengan tingkat keluar masuknya karyawan, melainkan juga berkaitan dengan tingkat kerelaan karyawan untuk berkorban bagi perusahaan. Komitmen organisasional menurut Allen dan Meyer (dalam Dunham dkk, 1994) dapat diartikan sebagai kelekatan emosi, identifikasi dan keterlibatan individu dengan organisasi serta keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi.. Sistem tanggapan yang disediakan oleh organisasi terkadang kurang mendapat perhatian dari para karyawan untuk lebih menumbuhkan sikap loyal terhadap karyawan, hal ini disebabkan adanya rasa khawatir dari para karyawan akan mendapatkan sanksi bila menyampaikan keluhannya. Oleh karena itu perlunya kepercayaan yang tinggi serta dukungan organisasi terhadap karyawan menjadi suatu hal yang penting bagi tiap-tiap anggota organisasi (Buchanan dan Boswell,2002). Steers (dalam Oktorita, Rossyid, Lestari, 2001) menyebutkan bahwa komitmen yang kuat dapat membawa dampak positif, antara lain: peningkatan prestasi kerja, motivasi kerja, masa kerja, produktivitas kerja, dan karyawan lebih rajin masuk kerja sehingga mengurangi absensi dan menurunkan turn over. Kepuasan kerja karyawan menurut Robbins (dalam Wibowo, 2007:323) didefinisikan sebagai sikap umum terhadap pekerjaan seseorang yang menunjukkan [ 724 ] P a g e
Pengaruh Kompensasi, Kompetensi… (Yudi Supiyanto)
perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Demikian juga pernyataan Vroom mengandung petunjuk mengapa kepuasan kerja dan kinerja saling berkaitan meskipun kenyataan bahwa keduanya disebabkan oleh hal yang berbeda (Lawler, 2003). Dalam beberapa penelitian terdapat banyak fakta bahwa kepuasan kerja berpangaruh pada kinerja personel dan kinerja koperasi. Bahkan Robbins (2007) menyatakan bahwa hubungan antara keduanya lebih tepat disebut ”mitos manajemen” dan sulit untuk menetapkan ke arah mana hubungan sebab akibat di antara keduanya. Namun dari berbagai penelitian ditemukan pula bukti bahwa organisasi yang memiliki karyawan yang lebih puas cenderung lebih efektif dibandingkan organisasi yang memiliki karyawan yang kurang puas. Penelitian Latif Dkk (2013) memperkuat bagaimana peran kepuasan kerja terhadap kinerja organisasi di mana dalam penelitian keduanya memiliki pengaruh yang positif signifikan. Gibson, et.al (1995) menjelaskan bahwa kinerja organisasi tergantung pada kinerja pegawainya, atau dengan kata lain kinerja pegawai akan memberikan kontribusi pada kinerja organisasi. Apa yang dikemukakan Gibson tersebut dapat diartikan bahwa perilaku anggota organisasi baik secara individu ataupun kelompok dapat memberikan kekuatan atau pengaruh atas kinerja organisasinya. Kinerja menurut Mathis dan Jackson (2002) mendefinisikan bahwa kinerja sebagai apa yang dilakukan dan tidak dilakukan personel yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi yang antara lain meliputi kuantitas output, kualitas output, jangka waktu output, kehadiran di tempat kerja dan sikap kooperatif. Kinerja karyawan dalam penelitian ini dipandang memiliki pengaruh yang kuat terhadap keberhasilan kerja. Dalam penelitian Rusdarti (2009) ditemukan bahwa kemampuan kinerja karyawan adalah aspek kemampuan yang sangat menentukan keberhasilan kerja. Pada gilirannya dari hasil kerja yang efektif, karyawan akan dapat mendapat penghargaan dari para anggotanya yang berupa kepercayaan. Pendapat ini jelas bagaimana kontribusi kinerja personel terhadap kinerja organisasi. Pada gilirannya dari hasil kinerja yang efektif, SDM karyawannya maka KSP akan dapat mendapat penghargaan dari para anggotanya yang berupa kepercayaan. Penelitian ini mengambil objek di KSP (Koperasi Simpan Pinjam) wilayah Tuban. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1). Adakah pengaruh signifikan Kompensasi, Kompetensi, dan Komitmen Organisasi secara simultan terhadap Kepuasan Kerja karyawan KSP di Tuban? 2). Adakah pengaruh signifikan Kompensasi terhadap Kepuasan Kerja karyawan KSP di Tuban?.3). Adakah pengaruh signifikan Kompetensi terhadap Kepuasan Kerja karyawan KSP di Tuban? 4), Adakah pengaruh signifikan Komitmen Organisasional terhadap Kepuasan Kerja karyawan KSP di Tuban? 5). Adakah pengaruh signifikan Kompensasi, Kompetensi, Komitmen Organisasi, dan Kepuasan Kerja secara simultan terhadap Kinerja Karyawan KSP di Tuban? 6) Adakah pengaruh signifikan Kompensasi terhadap Kinerja Karyawan KSP di Tuban? 7) Adakah pengaruh. signifikan Kompetensi terhadap Kinerja Karyawan KSP di Tuban? 8). Adakah pengaruh signifikan Komitmen Organisasional terhadap Kinerja Karyawan KSP di Tuban? P a g e [ 725 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 9). Adakah pengaruh signifikan Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Karyawan KSP di Tuban? METODE Penelitian ini tujuannya adalah untuk mengkaji pengaruh kompensasi (X1), Kompetensi (X2), Komitmen organisasional (X3), dan Kepuasan kerja (X4) dan variabel terikat (dependent variabel) Y satu variabel yakni: Kinerja Karyawan (Y). Oleh karena itu maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan desain atau rancangan korelasional. Hal ini seperti yang dikatakan oleh More (1983) dan Arikunto (1995) bahwa penelitian korelasional tidak saja menunjukkan antar hubungan, di samping itu dapat juga menyatakan hubungan kausal. Kuncoro (2009) mengatakan bahwa penelitian korelasional berusaha untuk menentukan apakah terdapat hubungan (asosiasi) antara dua variable atau lebih serta seberapa jauh korelasi yang ada antara variabel yang diteliti. Inti dari analisis korelasi adalah mengukur kekuatan hubungan namun juga jika ada hubungan yang kuat di antara variable maka dengan analisis selanjutnya bisa diketahui hubungan sebab akibat yang ada. Sedangkan kerangka konseptual penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1. dibawah ini:
Gambar 3.1. Kerangka Konseptual Penelitian Berdasarkan pada latar belakang masalah, perumusan masalah, dan tinjauan pustaka serta kerangka konseptual yang telah dirumuskan maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Kompensasi, Kompetensi SDM, dan Komitmen Organisasi secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Kepuasan Kerja karyawan KSP di Tuban. 2. Kompensasi berpengaruh signifikan terhadap Kepuasan Kerja karyawan KSP di Tuban. 3. Kompetensi SDM berpengaruh signifikan terhadap Kepuasan Kerja karyawan KSP di Tuban. 4. Komitmen Organisasional berpengaruh signifikan terhadap Kepuasan Kerja karyawan KSP di Tuban. [ 726 ] P a g e
Pengaruh Kompensasi, Kompetensi… (Yudi Supiyanto)
5. Kompensasi, Kompetensi SDM, Komitmen Organisasi, dan Kepuasan Kerja secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Karyawan KSP di Tuban. 6. Kompensasi berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Karyawan KSP di Tuban. 7. Kompetensi SDM berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Karyawan KSP di Tuban. 8. Komitmen Organisasional berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Karyawan KSP di Tuban. 9. Kepuasan Kerja berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Karyawan KSP di Tuban. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah sebanyak 159 orang karyawan KSP yang tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Tuban. Adapun tehnik sampling yang akan digunakan adalah gabungan teknik Area sampling dan Random sampling sederhana. Area sampling adalah teknik sampling yang digunakan jika data atau populasi sangat luas misalnya penduduk atau karyawan perusahaan yang tersebar di seluruh propinsi, atau kabupaten (Sugiono, 2007; Arikunto, 2010). Berdasarkan kombinasi teknik sampling di atas maka akan didapat sampel sebesar 108 karyawan KSP. Teknik Pengambilan Data.Tehnik pengambilan data adalah dengan menggunakan angket atau Kuisioner. Angket digunakan untuk mengumpulkan data keseluruhan dari variabel penelitian ini. Kemudian skala jawaban yang digunakan dalam angket adalah menggunakan Skala Likert. Skala Likert mengukur sikap pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial (Sekaran, 2000; Suprapto, 2004, Sugiono, 2009). Dalam skala Likert mengunakan angka 1 sampai 5 dimana angka 1 menunjukkan skor terendah sedang angka 5 menunjukkan skor tertinggi. Adapun kuisioner dikembangkan dari : Dalam penelitian ini penulis menggunakan indicator kompensasi Simamora (2004:443) yakni langsung dan tidak langsung, indikator kompetensi SDM menurut Susilo dkk (2007:17). yakni: 1) Fisik, 2) Emosi dan 3) Spritual, indikator dari komitmen organisasional Meyer dan Allen (1997) yakni Komitmen afektif, Komitmen kontinuitas :dan Komitmen normative, indikator Smith dkk untuk mengukur kepuasan kerja karyawan koperasi yaitu : 1). Pekerjaan itu sendiri, 2). gaji, 3). kesempatan promosi, 4), penyelia dan 5), rekan kerja. Dan indikator kinerja menurut pendapat Bernadin.(1998) yakni: Kualitas, Kuantitas, Ketepatan Waktu, Efektivitas, dan Kemandirian. Selanjutnya untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan dalam penelitian ini maka metode analisis data inferensialnya adalah menggunakan analisis jalur atau path analysis. Analisis Jalur atau Path Analysis adalah dilakukan dengan analisis regresi ganda secara terstandar atau bertahap (Sundjoto dkk, 2014; Hasan, 1996; Kerlinger 1986; Joreskog dan Sorbom, 1996; Johnson dan Wichern, 1992). HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk melihat besaran pengaruh secara simultan kompensasi, kompetensi SDM dan komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja dapat dilihat dari perhitungan tabel summary dan Anova pada hasil hitung SPSS. Kaidah pengujian signifikansi :
P a g e [ 727 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 a) Jika nilai probabilitas 0.05 lebih kecil atau sama dengan nilai probabilitas sig atau (0.05 < sig), maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya tidak signifikan. b) Jika nilai probabilitas 0.05 lebih besar atau sama dengan nilai probabilitas sig atau
(0.05 > sig), maka Ha diterima dan Ho ditolak, artinya signifikan. Hipotesisnya sebagai berikut : Ho1 = Tidak ada pengaruh yang signifikan secara bersama antara kompensasi, kompetensi SDM dan komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja Ha1 = Ada pengaruh yang signifikan secara bersama antara kompensasi, kompetensi SDM dan komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja Tabel model summary diperoleh nilai R square = 0.914, selanjutnya tabel Anova diperoleh nilai F sebesar 349.417 dengan nilai probabilitas (sig) sebesar 0.000. Karena nilai sig < dari 0.05 maka Ha1 diterima dan Ho1 ditolak. Dari hasil perhitungan signifikansi tabel F menunjukkan bahwa ada pengaruh antara kompensasi, kompetensi SDM dan komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja, hasil yang diperoleh di nilai R square dapat dikatakan bahwa besaran pengaruh kompensasi, kompetensi SDM dan komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja adalah sebesar 0.914 atau 91.40%, sisanya px4€1 atau variabel lain di luar variabel kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual adalah sebesar 1 – 0.914 = 0.086 atau 8.60% dihitung dengan rumus 1 – R2x4x1x2x3. Hasil penelitian ini sesuai dengan temuan empiric dari Mardahleni (2013) yang menyatakan bahwa kompensasi berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja, Windra Mei (2014) bahwa komitmen berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja, %. Hasil penelitian ini relevan dengan hasil penelitian Akhmadi, Nanang Tia (2009) yang menyatakan bahwa komitmen berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan. Hasil penelitian ini relevan dengan hasil penelitian Wardani, Kusuma (2007) di mana hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan dengan kontribusi sebesar 56,7%, sedangkan 43,3% dipengaruhi oleh faktor lain. Pengaruh Kompensasi terhadap Kepuasan Kerja Hipotesisnya adalah sebagai berikut: Ho2 = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kompensasi terhadap kepuasan kerja Ha2 = Ada pengaruh yang signifikan antara kompensasi terhadap kepuasan kerja Dari hasil yang terlihat di tabel coefficient. (table 5.16) Dapat dilihat nilai hasil dari beta untuk variabel kompensasi sebesar 0.380 dan besaran thitung sebesar 7.850 dengan besaran sig sebesar 0.000, karena sig < dari 0.05 maka Ha2 diterima dan Ho2 ditolak. Dari hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa kompensasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja dibuktikan dengan nilai thitung sebesar 7.850 yang signifikan dan besaran pengaruh yang diberikan terlihat dari kolom beta adalah sebesar 0.380 atau 38.00%. Hasil penelitian ini relevan dengan temuan penelitian Mardahleni (2013) yang menemukan bahwa kompensasi berpengaruh signifikan terhadap kepuasan [ 728 ] P a g e
Pengaruh Kompensasi, Kompetensi… (Yudi Supiyanto)
kerja. Juga hasil penelitian Pebriyanti dkk (2011) di mana kompensasi berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja hal ini ditunjukkan dari signifikansi kompensasi terhadap kepuasan kerja karyawan 0,000 < 0,05 atau nilai t-hitung > t-tabel yaitu5,073 > 1,6634 dengan persentase pengaruhnya sebesar 23,7%. Selain itu temuan penelitian ini relevan dengan teori Blum (dalam As’ad, 2001) bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yakni faktor individu, faktor sosial dan faktor utama dalam pekerjaan. Faktor utam dalam pekerjaan yang mempengaruhi kepuasa kerja karyawan di antaranya; gaji atau kompensasi, pengawasan, ketenteraman kerja, kondisi kerja dan kesempatan untuk maju. Selanjutnya Gilmer (1996) juga menyatakan bahwa salah satu yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah kompensasi. Pengaruh Kompetensi SDM terhadap Kepuasan Kerja Hipotesisnya adalah sebagai berikut: Ho3 = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kompetensi SDM terhadap kepuasan kerja Ha3 = Ada pengaruh yang signifikan antara kompetensi SDM terhadap kepuasan kerja Dari hasil yang terlihat di tabel coefficient. Dapat dilihat nilai hasil dari beta untuk variabel kompetensi SDM sebesar 0.214 dan besaran t hitung sebesar 3.871 dengan besaran sig sebesar 0.000, karena sig < dari 0.05 maka Ha3 diterima dan Ho3 ditolak. Dari hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi SDM berpengaruh terhadap kepuasan kerja dibuktikan dengan nilai thitung sebesar 3.871 yang signifikan dan besaran pengaruh yang diberikan terlihat dari kolom beta adalah sebesar 0.214 atau 21.40%. Hasil penelitian ini relevan dengan hasil penelitian Wardani dan Kusuma (2007) di mana hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan dengan kontribusi sebesar 56,7%, sedangkan 43,3% dipengaruhi oleh faktor lain. Pengaruh Komitmen Organisasi terhadap Kepuasan Kerja Hipotesisnya adalah sebagai berikut: Ho4 = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja Ha4 = Ada pengaruh yang signifikan antara komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja Dari hasil yang terlihat di tabel coefficient. Dapat dilihat nilai hasil dari beta untuk variabel komitmen organisasi sebesar 0.467 dan besaran t hitung sebesar 10.498 dengan besaran sig sebesar 0.000, karena sig < dari 0.05 maka Ha4 diterima dan Ho4 ditolak. Dari hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa komitmen berpengaruh terhadap kepuasan kerja dibuktikan dengan nilai t hitung sebesar 10.498 yang signifikan dan besaran pengaruh yang diberikan terlihat dari kolom beta adalah sebesar 0.467 atau 46.70%. Hasil penelitian ini relevan dengan hasil penelitian Akhmadi, Nanang Tia (2009) P a g e [ 729 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 yang menyatakan bahwa komitmen berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan. Menguji pengaruh kompensasi, kompetensi SDM, komitmen organisasi dan kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan secara simultan. Tabel model summary diperoleh nilai R square = 0.877, selanjutnya tabel ANOVA diperoleh nilai F sebesar 175.016 dengan nilai probabilitas (sig) 0.000, karena nilai sig < dari 0.05 maka Ha5 diterima dan Ho5 ditolak. Dari hasil perhitungan signifikansi tabel F (table. 5.18) sebesar 175.016 menunjukkan bahwa ada pengaruh antara kompensasi, kompetensi SDM, komitmen organisasi dan kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan, dan dari hasil yang diperoleh dinilai R square dapat dikatakan bahwa besaran pengaruh kompensasi, kompetensi SDM, komitmen organisasi dan kepuasan kerja secara bersama terhadap kinerja karyawan adalah sebesar 0.877 atau 87.70%, sisanya py€2 atau variabel lain di luar variabel kompensasi, kompetensi SDM, komitmen organisasi dan kepuasan kerja adalah sebesar 1 – 0.877 = 0.123 atau 12.30% dihitung dengan rumus 1 – R2yx4x1x2x3. Hasil penelitian ini relevan dengan hasil temuan Haryanto, Mai (2012) yang menyatakan bahwa komitmen organisasi dan kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan, Penelitian Wirda Aryuningrum menyatakan terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kompetensi sumber daya manusia dengan kinerja karyawan; Penelitian Akmal, dkk ( 2014) juga menyatakan kompensasi TPK berpengaruh terhadap kinerja pegawai Sekretariat Daerah Aceh. Kemudian Penelitian Hadiyatno (2012) menyatakan bahwa secara simultan variabel kompetensi, kompensasi, dam kepuasan kerja mempunyai pengaruh terhadap kinerja karyawan, secara parsial kompetensi mempunyai pengaruh terhadap kinerja, kompensasi mempunyai pengaruh terhadap kinerja karyawan dan kepuasan kerja mempunyai pengaruh terhadap kinerja Menguji pengaruh kompensasi, kompetensi SDM, komitmen organisasi dan kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan secara parsial. Untuk mencari tahu besaran pengaruh kompensasi, kompetensi SDM, komitmen organisasi dan kepuasan kerja, menggunakan perhitungan dari signifikansi tabel t, dan besaran pengaruhnya dapat dilihat di kolom Beta tabel coefficient pada hasil hitung spss. Kaidah pengujian signifikansi: 1. Jika nilai probabilitas 0.05 lebih kecil atau sama dengan nilai probabilitas sig atau (0.05 < sig), maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya tidak signifikan. 2. Jika nilai probabilitas 0.05 lebih besar atau sama dengan nilai probabilitas sig atau (0.05 > sig), maka Ha diterima dan Ho ditolak, artinya signifikan. Pengaruh Kompensasi terhadap Kinerja Karyawan Hipotesisnya adalah sebagai berikut: Ho6 = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kompetensi terhadap kinerja karyawan Ha6 = Ada pengaruh yang signifikan antara kompetensi terhadap kinerja karyawan [ 730 ] P a g e
Pengaruh Kompensasi, Kompetensi… (Yudi Supiyanto)
Dari hasil yang terlihat di tabel coefficient (table 5.19) dapat dilihat nilai hasil dari beta untuk variabel kompensasi sebesar 0.367 dan besaran t hitung sebesar 4.957 dengan besaran sig sebesar 0.000, karena sig < dari 0.05, maka Ha6 diterima dan Ho6 ditolak. Dari hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara kompensasi terhadap kinerja karyawan dibuktikan dengan nilai t hitung sebesar 4.957 yang signifikan dan besaran pengaruh yang diberikan terlihat dari kolom beta adalah sebesar 0.367 atau 36.70%. Hasil penelitian ini relevan dengan Penelitian Akmal, dkk( 2014) menyatakan bahwa menunjukkan kompensasi TPK berpengaruh terhadap kinerja pegawai Sekretariat Daerah Aceh. Pengaruh Kompetensi SDM terhadap Kinerja Karyawan Hipotesisnya adalah sebagai berikut: Ho7 = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kompetensi SDM terhadap kinerja karyawan Ha7 = Ada pengaruh yang signifikan antara kompetensi SDM terhadap kinerja karyawan Dari hasil yang terlihat di tabel coefficient dapat dilihat nilai hasil dari beta untuk variabel kompetensi SDM adalah -0.073 dengan t hitung sebesar -1.023 dan sig sebesar 0.309, karena nilai sig > dari 0.05 maka Ho7 diterima dan Ha7 ditolak. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara kompetensi SDM terhadap kinerja karyawan, Hasil penelitian ini tidak relevan dengan penelitian Wirda Aryuningrum yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kompetensi sumber daya manusia dengan kinerja karyawan. Namun hasil penelitian ini relevan dengan hasil temuan penelitian Dhermawan dkk (2012) yang menyatakan bahwa kompetensi berpengaruh tidak signifikan terhadap kinerja pegawai sementara lingkungan kerja. Pengaruh Komitmen Organisasi terhadap Kinerja Karyawan Hipotesisnya adalah sebagai berikut: Ho8 = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara komitmen organisasi terhadap kinerja karyawan Ha8 = Ada pengaruh yang signifikan antara komitmen organisasi terhadap kinerja karyawan Dari hasil yang terlihat di tabel coefficient, dapat dilihat nilai hasil dari beta untuk variabel komitmen organisasi sebesar 0.496 dan besaran t hitung sebesar 6.390 dengan besaran sig sebesar 0.000, karena sig < dari 0.05, maka Ha8 diterima dan Ho8 ditolak. Dari hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara komitmen organisasi terhadap kinerja karyawan dibuktikan dengan nilai t hitung sebesar 6.390 yang signifikan dan besaran pengaruh yang diberikan terlihat dari kolom beta adalah sebesar 0.496 atau 49.60%. Hasil penelitian ini relevan dengan hasil penelitian Penelitian Haryanto, Mai (2012) yang menyatakan bahwa ada pengaruh yang P a g e [ 731 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 signifikan antara komitmen organisasi dengan kinerja karyawan. Kemudian Penelitian Sugiono (2009), menyatakan juga bahwa secara langsung atau tidak langsung komitmen berpengaruh positif signifikan terhadap Kinerja Tugas. Diperkuat juga oleh penelitian Penelitian Verawati dan Utomo (2011) yang menyatakan bahwa secara simultan organization commitment, participation and motivation are influence on work performance. Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Karyawan Hipotesisnya adalah sebagai berikut: Ho9 = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan Ha9 = Ada pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan Dari hasil yang terlihat di tabel coefficient dapat dilihat nilai hasil dari beta untuk variabel kepuasan kerja adalah 0.224 dengan t hitung sebesar 1.855 dan sig sebesar 0.067, karena nilai sig > dari 0.05 maka Ho9 diterima dan Ha9 ditolak. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh namun tidak signifikan antara kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan. Hasil penelitian ini tidak relevan dengan hasil temuan Penelitian Haryanto,. Penelitian ini juga tidak relevan dengan hasil Engko (2006) this study are the positive effect of job satisfaction and self esteem, job satisfaction and self efficacy, job satisfaction and job performance, self esteem and self efficacy, Penelitian ini relevan dengan penelitian Ostrof pada tahun 1992 dan meta analisis yang dilakukan Iffaldano dan Mochinsky pada tahun 1986 menemukan bukti empiris bahwa hubungan kepuasan kerja dengan kinerja tidak signifikan ( dalam Engko, 2008; Ostroff, C. (1992). Pengujian koefisien model : koefisien Q Uji kesesuaian model menguji apakah model yang diusulkan memiliki kesesuaian (fit) dengan data atau tidak. Pengambilan keputusan koefisien Q : Jika W hitung > X2 = (df;a), berarti matriks korelasi sampel berbeda dengan matriks korelasi estimasi. Jika W hitung < X2 = (df;a), berarti matriks korelasi sampel sama dengan matriks korelasi estimasi. Penghitungan koefisien Q untuk kedua model di atas adalah sebagai berikut : R2m
= 1 – (1 – R21).(1 – R22)…(1 – R2p)
M
= R2m setelah dilakukan trimming 1 – R2m
Q= 1–M [ 732 ] P a g e
Pengaruh Kompensasi, Kompetensi… (Yudi Supiyanto)
W hitung R2m
= - (N-d) lnQ
= 1 – (1 – 0.914) . (1 – 0.877)
M
= 1 – (0.086) . (0.123)
Q
= 1 – (1 – 0.914) . (1 – 0.873) = 1 – (0.086) . (0.127)
= 1 – 0.010578
= 1 – 0.010922
= 0.989422
= 0.989078
= 1 – 0.989422 = 1 – 0.989078 = 0.010578 = 0.010922 = 0.998659
W hitung
= - (103 – 2). Ln 0.998 = - 101 . – 0.020020026707 = 2.022022697407
X2
= (2;0.05)
= 5.991
W hitung < X2 = (2;0.05) = 2.022 < 5.991 Matriks korelasi estimasi kedua model tidak berbeda (sama) dengan matriks korelasi sampel. Dapat diambil kesimpulan bahwa model empiris yang diperoleh dapat menggeneralisasikan tentang fenomena yang ada. Dengan demikian akan tampak model analisis jalur akhir (hasil uji model) sebagaimana gambar berikut.
KOMPENSASI
(X1) 0,367 0,380 KOMPETENSI SDM (X2)
0, 214 0.914
KEPUASAN KERJA (X4)
0.467
KINERJA KARYAWAN (Y) 0.877 0.496
KOMITMEN ORG. (X3)
Gambar 5.1.Model Analisis Jalur setelah Uji Model P a g e [ 733 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pengujian hipotesis yang telah dilakukan, serta tujuan yang hendak dicapai dari penelitian, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Kompensasi, kompetensi SDM dan komitmen organisasi secara bersama sama berpengaruh positif signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan KSP di kabupaten Tuban, sehingga apabila kompensasi, kompetensi SDM dan komitmen organisasi karyawan tinggi maka kinerja karyawan juga tinggi, sebaliknya akan terjadi jika ketiga variable rendah maka kinerja juga rendah, 2. Kompensasi berpengaruh positif signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan KSP di kabupaten Tuban, sehingga apabila kompensasi tinggi maka kepuasan kerja karyawan juga tinggi dan sebaliknya jika kompensasi rendah maka kepuasan kerja juga rendah. 3. Kompetensi SDM berpengaruh positif signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan KSP di kabupaten Tuban, sehingga apabila kompetensi SDM tinggi maka kepuasan kerja karyawan juga tinggi dan sebaliknya jika kompetensi SDM rendah maka kepuasan kerja karyawan juga rendah. 4. Komitmen organisasional berpengaruh positif signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan KSP di kabupaten Tuba, sehingga apabila komitmen organisasi tinggi maka kepuasan kerja karyawan juga tinggi dan sebaliknya jika komitmen organisasi rendah maka kepuasan kerja rendah. 5. Kompensasi, kompetensi SDM, komitmen organisasi dan kepuasan kerja secara simultan berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja karyawan KSP di kabupaten Tuban, sehingga jika kompensasi, kompetensi SDM, komitmen organisasi dan kepuasan kerja tinggi maka kinerja karyawan juga tinggi. Sebaliknya jika kompensasi, kompetensi SDM, komitmen organisasi dan kepuasan kerja rendah maka kinerja karyawan juga rendah. 6. Kompensasi berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja karyawan KSP di kabupaten Tuban, sehingga jika kompensasi tinggi maka kinerja karyawan juga tinggi dan sebaliknya jika kompensasi rendah maka kinerja karyawan juga rendah. 7. Kompetensi SDM berpengaruh tidak signifikan terhadap kinerja karyawan KSP kabupaten Tuban, sehingga perubahan dalam kompetensi SDM tidak akan berdampak terhadap kinerja Karyawan. 8. Komitmen organisasi berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja karyawan KSP kabupaten Tuban, sehingga jika komitmen organisasi tinggi maka kinerja karyawan juga tinggi dan sebaliknya jika komitmen organisasi rendah maka kinerja karyawan juga rendah. 9. Kepuasan kerja berpengaruh tidak signifikan terhadap kinerja karyawan KSP kabupaten Tuban, sehingga perubahan dalam kepuasan kerja tidak akan berdampak terhadap kinerja Karyawan.
[ 734 ] P a g e
Pengaruh Kompensasi, Kompetensi… (Yudi Supiyanto)
Saran-saran. 1. Saran untuk Dinas Perekonomian dan Pariwisata Tuban. 1. Dinas Dinas Perekonomian dan Pariwisata Tuban selaku Pembina gerakan koperasi dan kepanjangan tangan pemerintah perlu untuk meningkatkan pembinaannya terutama terhadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang ada di KSP Tuban agar kualitas sumberdaya manusianya semakin baik dan selanjutnya dapat meningkatkan kinerja karyawan KSP Tuban khususnya.. 2. Mengusahakan program-program yang dapat meningkatkan kinerja karyawan khususnya dengan memberikan pengarahan, pelatihan, pendampingan, dan pengawasan agar kompetensi mereka meningkat dan selanjutnya akan meningkatkan kinerja mereka para karyawan KSP di Tuban. 2. Saran untuk Pengurus KSP. a. Untuk meningkatkan kinerja karyawan koperasi salah satunya perlu ditingkatkan komitmen organisasi agar karyawan lebih memiliki keterikatan dan kesetiaan terhadap koperasinya melalui peningkatan partisipasi dan kesadaran akan pentingnya pemahaman visi dan misi koperasinya. b. Agar diperhatikan tingkat kepuasan kerja karyawan yang masih rendah dengan jalan mengkaji kembali sistem rekrutmen dan seleksi serta penempatan yang sesuai dengan bakat, minatnya serta perlunya ditingkatkan kesejahteraan karyawan melalui pengkajian sistem kesejahteraan semacam gaji yang diperolehnya . 3. Saran untuk penelitian yang akan datang. a. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang variabel lain yang berpengaruh pada kepuasan kerja dan kinerja karyawan di luar variabel yang diteliti semisal OCB karyawan pada penelitian ini, atau menggunakan model konseptual pada penelitian ini yang dilakukan pada objek penelitian yang lain dengan meletakkan variabel komitmen organisasional bukan kepuasan kerja sebagai variabel antara . b. Perlu dilakukan penelitian lanjut yang mengkaji hubungan tidak langsung antara variabel eksogen dan endogen yang merupakan temuan lain atau baru yang ditemukan dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Akmal, Zaldy. A.Rahman Lubis, Mukhlis Yunus.( 2014) . Pengaruh Kompensasi terhadap Motivasi dan Disiplin serta dampaknya pada Kinerja Pegawai Sekretariat Daerah Aceh. Laporan Penelitian. Unsyiah. PPS. Aceh. (http://prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmm/index.php/jurnal/11-november/28zaldiakmal, diakses tanggal 15 april 2015) As’ad, Mohamad.,(2001). Kepemimpinan Efektif dalam Perusahaan, Suatu Pendekatan Psikologik, EdisiKedua, Yogyakarta : Liberty. Ayuningrum, Wirda. (2012). Pengaruh Kompetensi Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja Karyawan di PT.PP. London Sumatra Tbk Medan. Laporan Penelitian. Bernadin,H. John and Russel,Joice E.A (1999), Human Recources Management, International Edition,Singapure, McGrawhill Inc. hal. 379. P a g e [ 735 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Boston: McGraw-Hill Companies, Inc. Dhermawan, Anak Agung Ngurah Bagus, I Gde Adnyana Sudibya dan I Wayan Mudiartha Utama. (2012). Pengaruh Motivasi, Lingkungan Kerja, Kompetensi,Dan Kompensasi Terhadap Kepuasan Kerja Dan Kinerja Pegawai Di Lingkungan Kantor Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali. Jurnal Manajemen, Strategi Bisnis, dan Kewirausahaan Vol. 6, 173 No. 2 Agustus 2012 Dunham, R. B., Grube, J. A. and Castaneda, M. B. (1994), “Organizational Commitment. The Utility of anIntegrative Definition”, Journal of Applied Psychology, Vol.79, No.3, pp.370-380. .
Engko, Cecilia, ( 2006). Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Individual Dengan Self Esteem Dan Self Efficacy Sebagai Variabel Intervening. Jurnal bisnis dan akuntansi, vol. 10. No. 1. 1pril 2008, 1-12. Gibson, Ivancevich dan Donelly. (1995) Organisasi, Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Binarupa Aksara. Gilbert, Thomas F (1996). Human Competence, HRD Amherst, Massachusetts.Journal of Behavioral Studies in Business Organizational Citizenship, Page 1. Hannel (1989), Organisasi Koperasi, Universitas Pajajaran, Bandung. Haryanto, Windra Mai (2012) Analisis pengaruh motivasi, komitmen organisasi dan kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan (studi kasus pt bank dki). Masters thesis, Institut Pertanian Bogor. Hasibuan, Malayu. SP. (2005). Manajemen Sumber Daya manusia. Edisi Revisi. Jakarta: Pt. Bumi Aksara I Wayan Bagja. (2005). Pengaruh Modal Intelektual dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RepublikIndonesia (Kemenkop UKM). Tanpa Tahun Rekapitulasi Data Koperasi Berdasarkan Propinsi 2000 s.d. 2010. (Online), (http://www.depkop.go.id). Diakses tgl. 11 Pebruari 2014. Kuncoro, Mudrajad. (2009). Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta: Erlangga. Latif, Muhammad Shahzad Mushtaq Ahmad ,Muhammad Qasim . (2013) .Impact of employee’s job satisfaction on organizational performance. European Journal of Business and Management www.iiste.org ISSN 2222-1905 (Paper) ISSN 2222-2839 (Online) Vol.5, No.5, 2013 Lawler III,( 1998), Job Satisfaction and Expression Of Emotion in Organizations. Lyle M. Spencer, Jr. Phc. and Signe M. Spencer,(1993), Competence At Work Models For Superior Performance, John Wiley & Sons,Inc. USA. Mangkuprawira. A.P.( 2007). Evaluasia Kinerja Sumber Daya Manusia. Bandung: PT. refika Avitama. Mathis, R.L., & Jackson, J.H. (2000). Human resource management. Australia: SouthWestern: College Publishing. Meyer, J. P. Allen, N. J. Smith, C. A. (1993). “Commitment to Organizations and Occupations: Extensionand Test of a Three-Component Conceptualization”. Journal of Applied Psychology, 78, 538-552. [ 736 ] P a g e
Pengaruh Kompensasi, Kompetensi… (Yudi Supiyanto)
Meyer, J.P.,& Allen, N.J. (1997). Commitment in the workplace. Thousand Oaks, CA: Sage. Mudrajad, Kuncoro( 2009). Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi, Bagaimana Meneliti dan Menulis Tesis? Edisi 3. Jogyakarta: Erlangga. Rintuh, Cornelis. (1995). Perekonomian Indonesia. Yogyakarta: Liberty Offset. Rivai, Vetsal. (2011). Manajemen Sumber Daya manusia Untuk Perusahaan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Robbins, S. P. (1993). OrganizationalBehavior : Concept,Controversies andApplications. Sixth Edition.New Jersey : Prentice Hall International, Inc Robbins, Stephen, (2007), Perilaku Organisasi. Terj: Benyamin Molan. New Jersey.Prentice Hall, Inc. Ruky, Akhmad. (2003). Sumber Daya Manusia Berkualitas. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama. Sekaran, U. (2000). Research methods for business. (3th ed.). New York: Jojn Willey and Sons,Inc. Sevilla, C. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI Press. Simamora, Henry (1999) Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi 2. Yogyakarta: YKPN. Simamora, Henry . (2004), Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta STIE YKPN. Steers, R. M., (1977). “Antecedents and Outcomes of Organizational Commitment”, Administrative ScienceQuarterly, Vol.22, pp.46-56., 16 , 201-228. Sudjana.( 1986). Metode Statistik (Edisi IV).Bandung:Tarsito. Sugioko, Sofian. 2009.Pengaruh Variabel Anteseden dan Perantara terhadap Hubungan Komitmen Organisasi dan Kinerja Tugas. Jakarta: Akuntabilitas Maret-2009, hal. 182-188. Sugiono (2009). Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta. Sugiono. (1994). Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. Supranto. J.A. (2004). Analisisi Multi Variat : Art dan Interpretasi. Ed. Pertama. Cet. Pertama. Gramedia, Jakarta. Sutrisno, Edy. (2011). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Tulus, Tambunan. (2007). Prospek Koperasi Pengusaha dan Petani di Indonesia dalam Tekanan Globalisasi Ekonomi dan Liberalisasi Perdagangan Dunia. Kadin-Pusat Studi Indutri dan UKM, Jakarta : Universitas Tri-sakti. Ulrich. D. (1997). Human Resource Champion. Harvard Business School Press. Boston:Massachusett. Wardani, Anastasia Poppy Kusuma. (2007). Pengaruh Kompetensi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Pada Rumah Sakit ATMA JAYA Jakarta Divisi Sumber Daya Manusia. (https://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=176647) diakses 1 Maret 2015. Wibowo. (2013). Perilaku dalam Organisasi. Jakarta: Rajawali Pers.
P a g e [ 737 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
JATI DIRI BANGSA DAN POTENSI SUMBER DAYA KONSTRUKTIF SEBAGAI ASET EKONOMI KREATIF DI INDONESIA Zumrottus Sa’adah
Program Pascasarjana, UNESA
[email protected]
Abstrak Di tengah era pasar bebas ASEAN, menjadi negara yang unggul kompetitif adalah tugas masyarakat bersama dengan jati diri yang kokoh dengan memanfaatkan kekayaan budaya. Penelitian ini bertujuan untuk memahami peran jati diri bangsa dan potensi sumber daya konstruktif yang dapat dijadikan aset ekonomi kreatif di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diperlukan sebuah identitas tentang jati diri bangsa yang dapat ditempuh melalui pendidikan karakter sehingga dapat menciptakan sumber daya manusia yang kreatif. Sedangkan untuk menumbuhkembangkan industri kreatif dapat ditempuh dengan strategi kolaborasi antara nilai budaya lokal dengan kebutuhan global menjadi produk globalisasi. Kata Kunci: jati diri bangsa, sumber daya konstruktif, ekonomi kreatif.
PENDAHULUAN Hampir semua orang pernah mendengar istilah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), namun tidak banyak orang yang paham dengan maksud tersebut. MEA adalah komunitas ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community (AEC) yang disepakati oleh Pemerintah RI dalam KTT ASEAN ke-12, di Cebu, Filipina, 13 Januari 2007. Pembentukan komunitas tersebut diharapkan dapat mewujudkan tercapainya suatu kawasan yang berdaya saing tinggi di kancah internasional. Perbawa (2012) menyatakan ada tiga indikator untuk melihat posisi Indonesia dalam MEA. Pertama, pangsa ekspor Indonesia ke negara-negara utama ASEAN (Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina) cukup besar yaitu 13.9% dari total ekspor. Dua indikator yang lain merupakan penghambat yaitu, daya saing ekonomi Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan Singapura, Malaysia dan Thailand sedangkan percepatan investasi di Indonesia tertinggal jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Namun kekayaan sumber alam Indonesia merupakan local-advantage yang tetap menjadi daya tarik kuat, di samping jumlah penduduk terbesar yang dapat menyediakan tenaga kerja murah. Terkait dengan hal tersebut pemerintah dituntut untuk segera mempersiapkan langkah dan strategi menghadapi ancaman ekonomi Masyarakat Ekonomi ASEAN dengan menyusun dan menata kembali kebijakan-kebijakan yang terarah agar lebih mendorong dan meningkatkan daya saing (competitiveness) sumber daya manusia dan industri di Indonesia. Dalam penataan kebijakan, pemerintahan sekarang ini telah membentuk Badan Ekonomi Kreatif (BEK) sebagai wujud kesiapan bangsa dalam menghadapi AEC. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 6 tahun 2015 dalam pasal 2 disebutkan Badan [ 738 ] P a g e
Jati Diri Bangsa… (Zumrottus Sa’adah)
Ekonomi Kreatif mempunyai tugas membantu presiden dalam merumuskan, menetapkan, mengoordinasikan, dan sinkronisasi kebijakan di bidang ekonomi kreatif. Sementara dalam meningkatkan daya saing SDM, di bidang pendidikan telah diwarnai dengan adanya pelaksanaan 2 kurikulum dalam 1 tahun ajaran, pergantian kembali KTSP dari semula Kurikulum 2013 dikarenakan pergantian kabinet dalam pemerintahan. Namun, sebenarnya antara kedua kurikulum tersebut sama-sama memiliki arti penting dalam menyiapkan generasi yang berkarakter. Internalisasi karakter bangsa seharusnya tetap melekat hingga sekarang sebagai perwujudan nilai-nilai bangsa yang patut dijunjung tinggi. Namun, hal tersebut mulai terkikis dengan adanya akulturasi budaya yang perlahan menggeser keaslian budaya bangsa, juga cerminan etika para pejabat tinggi negara yang menyebabkan identitas bangsa ini semakin melemah. Seharusnya, pejabat tinggi seperti mereka mampu menjadi public figure bagi masyarakat dan menjadi suri tauladan yang baik untuk menjaga keutuhan bangsa yang bermartabat. Mengembalikan jati diri bangsa menjadi negara yang terdiri dari manusia yang berideologi kuat, menanamkan nilai Pancasila dan preambule undang-undang dasar dalam diri masyarakatnya telah diupayakan pemerintah, melalui sosialisasi empat pilar kebangsaan yang dilakukan oleh MPR ke berbagai kampus di perguruan tinggi di Indonesia. Namun, upaya tersebut tidaklah cukup mengembalikan jati diri bangsa ini dalam jangka pendek, di berbagai elemen dan jenjang pendidikan perlu menerapkannya, tidak hanya di sekolah saja, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari utamanya dalam keluarga karena bagaimanapun seorang anak (sebagai bibit bangsa) karakter dan perilaku pertama kali dibentuk dalam keluarga. Untuk itulah pendidikan dielu-elukan sebagai garda utama maju tidaknya generasi bangsa. Menurut Ki Hajar Dewantara, dalam asas pendidikan terdapat asas kebudayaan, yaitu pendidikan berakar dari kebudayaan bangsa, namun mengikuti kebudayaan luar yang telah maju sesuai dengan zaman. Kemajuan dunia terus diikuti, namun kebudayaan sendiri tetap menjadi acuan utama (jati diri). Menurut Arif (2012), Pendidikan akan bertahan dan diminati oleh masyarakat apabila pendidikan memiliki mutu dan mampu menanamkan dan menjaga nilai-nilai karakter yang baik, selain penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta keterampilan yang memadai. Indonesia adalah negara demokratis dengan Pancasila sebagai dasar negara, dewasa ini berkembang sosialisasi empat pilar kebangsaan yang dilaksanakan di seluruh penjuru tanah air, objek sosialisasinya adalah kaum intelektual yang berada di setiap perguruan tinggi. Sejatinya pendidikan karakter tidak jauh dari empat pilar kebangsaan ini, pilar-pilar tersebut meliputi: Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika. Indonesia adalah negara majemuk, jumlah penduduk yang tinggi seharusnya dapat dijadikan kekuatan menghadapi perlawanan bangsa lain. Selain itu, sumber daya alam yang melimpah tentu menjadi peluang emas bagi negara ini untuk maju menjadi negara motor utama dalam perdagangan dunia. Namun, melimpahnya sumber daya alam P a g e [ 739 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 dan manusia kurang menjadikan bangsa ini dapat mencapai tujuan tersebut. Peningkatan hanya terjadi secara kuantitas saja, diperlukan peningkatan kualitas supaya negara ini tidak hanya jalan di tempat. Ekspor yang dilakukan selama ini berupa ekspor barang primer/ barang mentah saja, padahal jika kita bisa ekspor barang jadi/ siap pakai tentu akan meningkatkan perolehan devisa kita. Selanjutnya, ketika ekspor meningkat apresiasi nilai mata uang kita perlahan akan meningkat pula. Hal yang dianggap menarik oleh negara lain adalah bangsa Indonesia kaya akan ragam suku, budaya, adat istiadat, hasil tradisional berupa kain khas daerah, makanan tradisional, dan kesenian tradisional lainnya. Selain itu, eksplorasi pariwisata yang melimpah akhir-akhir ini menjadi kebanggaan tersendiri, sehingga mampu menarik para wisatawan yang berkunjung ke Indonesia. Dibandingkan dengan wisata yang disediakan oleh negara lain, panorama alam Indonesia mampu menyita waktu dan receh para turis, dan juga di sisi lain banyak penduduk yang kreatif dewasa ini hingga menjadikan beragamnya Usaha Kecil Menengah (UKM) yang seharusnya mampu menjadi penggerak utama dalam meningkatkan nilai tambah negara di mata dunia. Menurut Fajri (2015), orang Indonesia sangat kreatif, terbukti dengan berjamurnya pelaku industri kreatif berbasis rumahan dan kelompok seperti kerajinan, pasar barang seni, usaha bidang penerbitan dan percetakan, seni pertunjukan, busana muslim dan batik nusantara, kelompok musik indie, kelompok fotografi, kuliner rumahan, animasi dan game lokal serta software house dan jasa IT lokal. Dari beberapa latar belakang di atas penulis merumuskan masalah yang dapat dikaji antara lain bagaimana peran jati diri bangsa dapat menjadi aset ekonomi kreatif di Indonesia? Dan bagaimana potensi sumber daya konstruktif yang dapat dijadikan aset ekonomi kreatif di Indonesia? PANCASILA SEBAGAI JATI DIRI BANGSA Pancasila dan jati diri bangsa adalah bagian yang tak terpisahkan. Pancasila yang menjadi filsafat dan pandangan hidup bangsa Indonesia itu, sebenarnya digali dari tradisi masyarakat berbangsa sepanjang sejarahnya. Menurut Efendi (2008), Pancasila sebagai dasar falsafah negara merupakan model ideal pluralisme ala Indonesia. Pancasila adalah hasil perpaduan dari keberhasilan para Bapak Pendiri yang berpandangan toleran dan terbuka dalam beragama dan perwujudan nilai-nilai kearifan lokal, adat, dan budaya warisan nenek moyang. Jati Diri Bangsa Indonesia merupakan pencerminan atau tampilan dari karakter Bangsa Indonesia. Karakter bangsa merupakan akumulasi atau sinergi dari karakter individu anak bangsa yang bergabung menjadi satu membentuk bangsa Indonesia. Karakter bangsa akan ditampilkan sebagai nilai-nilai luhur yang digali dari kehidupan nyata oleh founding fathers dan dirumuskan dalam suatu tata nilai yang kita kenal sebagai Pancasila. Dengan demikian Jati Diri Bangsa Indonesia adalah Pancasila. Menurut Somantri dalam Seminar Etnopedagogik dan Pengembangan Budaya Sunda yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Bahasa dan Budaya Sunda Sekolah [ 740 ] P a g e
Jati Diri Bangsa… (Zumrottus Sa’adah)
Pascasarjana UPI (2010), Jati diri bukan suatu yang genetik dalam sebuah bangsa, dia hadir dalam sejarah, dan sejarah pun bukan sesuatu yang singular. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dengan kesejarahannya masing-masing, kesejarahan tersebut membentuk jati diri primordial yang berbeda satu dengan lainnya. Sesungguhnya kalau dicermati lebih dalam pada jati diri bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila, ternyata memiliki makna yang sangat luar biasa bahkan melebihi prinsip-prinsip dasar, yang membuat bangsa bisa menjadi maju. Dengan kata lain, apabila Bangsa Indonesia mengamalkan Jati Diri bangsanya, maka bangsa Indonesia pun dapat maju seperti bangsa-bangsa lainnya di dunia. Pancasila dan Jati Diri tidak boleh dipisahkan dan tidak terpisahkan. Pancasila sebagai landasan idiil, landasan filosofis bangsa, sumber dari segala hukum di negeri Indonesia ini, sedangkan jati diri adalah implementasi sehari-hari, sebagai perilaku insan Indonesia. PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI ASET EKONOMI KREATIF DI INDONESIA Ekonomi kreatif adalah pemanfaatan cadangan sumber daya yang bukan hanya terbarukan, bahkan tak terbatas, yaitu ide, gagasan, bakat atau talenta dan kreativitas. Nilai ekonomi dari suatu produk atau jasa di era kreatif tidak lagi ditentukan oleh bahan baku atau sistem produksi seperti pada era industri, tetapi lebih kepada pemanfaatan kreativitas dan penciptaan inovasi melalui perkembangan teknologi yang semakin maju. Industri tidak dapat lagi bersaing di pasar global dengan hanya mengandalkan harga atau kualitas produk saja, tetapi harus bersaing berbasiskan inovasi, kreativitas dan imajinasi. Konsep ekonomi kreatif merupakan sebuah konsep ekonomi di era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan stock of knowledge dari Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya. Struktur perekonomian dunia mengalami transformasi dengan cepat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, dari yang tadinya berbasis Sumber Daya Alam (SDA) menjadi berbasis Sumber Daya Manusia (SDM), dari era genetik dan ekstraktif ke era manufaktur dan jasa informasi serta perkembangan terakhir masuk ke era ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif membutuhkan sumber daya manusia yang kreatif tentunya, yang mampu melahirkan berbagai ide dan menerjemahkannya dalam bentuk barang dan jasa yang bernilai ekonomi, proses produksinya memang mengikuti kaidah ekonomi industri, tetapi proses ide awalnya adalah kreativitas. Menurut Alma (2010) kreativitas adalah menghadirkan suatu gagasan baru bagi anda. Berbicara kreativitas ada hubungannya dengan inovasi, inovasi merupakan kemampuan untuk menerapkan atau mengimplementasikan sesuatu yang baru dan berbeda. Menurut Carol Kinsey Goman dalam Alma (2010) inovasi adalah penerapan secara praktis gagasan yang kreatif. Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kreativitas merupakan sebuah ide sedangkan inovasi adalah implementasi dari adanya ide tersebut. Dalam menuangkan ide kreatif, sebuah kurikulum pada abad 21 ini telah dirancang dengan baik, dan semua aspek terintegrasi dalam pendidikan karakter. P a g e [ 741 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Pelaksanaan integrasi karakter dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan bermacammacam strategi dengan melihat kondisi siswa serta lingkungan sekitarnya, oleh sebab itu Menurut Kay dalam Wagiran (2010) pelaksanaan integrasi karakter dalam pendidikan memiliki prinsip-prinsip umum seperti: (1) tidak mengubah sistem pendidikan yang berlaku, (2) tidak mengubah kurikulum, (3) pembelajaran menggunakan prinsip learning to know, learning to learn, learning to be, dan learning to live together, dan (4) dilaksanakan secara kontekstual sehingga terjadi pertautan antara pendidikan dan kebutuhan nyata peserta didik. Sebenarnya jika berbicara tentang pendidikan karakter sama halnya berbicara tentang penanaman nilai-nilai dasar yang terdapat dalam batang tubuh Pancasila. Dalam sila pertama Pancasila mengandung nilai ketuhanan atau dalam hal ini bisa disebut sebagai nilai religius, dalam sila kedua pancasila mengandung nilai kemanusiaan atau bisa disebut nilai moral, pada sila ketiga Pancasila mengandung nilai persatuan, sedangkan pada sila keempat mengandung nilai kerakyatan, dan sila kelima mengandung nilai keadilan. Kelima nilai dasar Pancasila tersebut terdapat dalam aspek-aspek pendidikan karakter sebagaimana menurut Maemonah (2012) ada 3 aspek dalam pendidikan karakter, antara lain: (1) Aspek Moralitas, (2) Aspek Religiusitas, dan (3) Aspek Psikologi. Dalam aspek moralitas menurut buah pemikiran Maemonah (2012), Moral dapat diklasifikasi sebagai berikut: (1) Moral sebagai ajaran kesusilaan, berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan tuntutan untuk melakukan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan jelek yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam suatu masyarakat. (2) Moral sebagai aturan, berarti ketentuan yang digunakan oleh masyarakat untuk menilai perbuatan seseorang apakah termasuk baik atau sebaliknya buruk. (3) Moral sebagai gejala kejiwaan yang timbul dalam bentuk perbuatan, seperti: berani, jujur, sabar, gairah, dan sebagainya. Sedangkan dalam aspek religiusitas selain dipandang sebagai fondasi juga menjadi kontributor bagi rumusan tolok ukur batasan-batasan good character yang dimaksudkan. Dan dalam aspek psikologi, pendidikan karakter tanpa melihat dimensi kejiwaan manusia akan muspro karena rancangan bangun karakter manusia ada dan berfondasi pada dimensi kejiwaan manusia. Dewasa ini pemerintah tengah giat membangun target dengan rasio jumlah siswa SMK lebih besar dibandingkan rasio jumlah siswa SMA Menurut peta perencanaan yang dibuat pemerintah, ditargetkan, rasio jumlah siswa SMA : SMK pada tahun 2010 sekitar 50:50, dan pada tahun 2015 sekitar 70:30 (Depdiknas: 2006b dalam Sunyoto: 2007). Dengan jumlah target demikian tentunya pemerintah memiliki alasan sendiri mengapa memproyeksikan rasio jumlah siswa SMK lebih besar, tentunya dalam rangka membangun sumber daya manusia dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang mampu bersaing dalam MEA tahun ini. Dalam pembekalan materi di sekolah, selain siswa SMK diajarkan keterampilan melalui praktik baik yang dilakukan di sekolah maupun di tempat di mana siswa dilatih untuk terjun di dunia kerja secara langsung, tentu dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkarakter penting demi membangun kualitas [ 742 ] P a g e
Jati Diri Bangsa… (Zumrottus Sa’adah)
bangsa tanpa melupakan jati diri bangsanya, maka melalui pendidikan karakter inilah pembangunan sumber daya manusia yang handal dapat diwujudkan. Manusia merupakan modal terbesar yang dapat berperan sebagai penyelamat dan penghancur sebuah bangsa. Human capital yang dimiliki Indonesia bisa dibentuk menjadi penyelamat apabila diberikan pendidikan dengan penanaman moral yang tinggi serta menjunjung tinggi nilai luhur Pancasila. Namun, ada kalanya human capital tersebut dapat menjadi penghancur apabila sudah tidak dapat dibedakan lagi mana kebaikan dan mana keburukan seakan semua sama. Pendidikan karakter merupakan salah satu modal dalam pembentukan Sumber Daya Manusia dalam MEA ini. Dalam penelitiannya, Wagiran (2010) menyatakan Di Korea Selatan Human Capital dapat dibentuk melalui dua variabel utama yaitu level of science and technology dan work ethic, sehingga Korea Selatan menjadi negara yang maju dan disegani dalam aspek ekonomi. Sedangkan di Jerman memiliki keunggulan terletak pada etos/karakter kerja Protestan yang terdiri dari enam prinsip, yakni: (1) bertindak rasional, (2) berdisiplin tinggi, (3) bekerja keras, (4) berorientasi pada kekayaan material, (5) menabung dan berinvestasi, dan (6) hemat, bersahaja dan tidak mengumbar kesenangan. Penanaman karakter merupakan aspek penting dalam pembangunan sumber daya manusia suatu bangsa. Oleh karena itu menjadi tugas kita bersama untuk membangkitkan kembali nilai-nilai khas karakter bangsa Indonesia sebagai sarana menuju kemajuan di masa datang. Dalam konteks pendidikan maka perlu dikaji berbagai hal menyangkut karakter tenaga kerja seperti apa yang perlu ditanamkan dan bagaimana upaya menanamkan karakter kerja tersebut. KONTRIBUSI EKONOMI KREATIF TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian secara makro dalam jangka panjang. Menurut Sukirno (2010) pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat dihitung dari berbagai segi, di antaranya dari total pengeluaran, total pendapatan, dan total produksi. Dewasa ini, ekonomi kreatif tumbuh menjadi sektor yang mampu menopang perekonomian Indonesia. Dimulai sejak tahun 2006 presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan program Indonesia Design Power di jajaran Departemen Perdagangan RI, suatu program pemerintah yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing produkproduk Indonesia di pasar domestik maupun ekspor. Program ini terus bergulir dengan dicanangkannya tahun 2009 (Inpres No.6/2009) sebagai Tahun Indonesia Kreatif oleh Presiden SBY yang ditandai dengan penyelenggaraan pameran virus kreatif yang mencakup 14 sub-sektor industri kreatif dan pameran pangan nusa 2009 mencakup kreativitas industri pangan Indonesia oleh UKM. Menurut Azis (2012) dalam artikelnya menyebutkan bahwa ada 14 subsektor industri kreatif di Indonesia berdasarkan pemetaan industri kreatif yang telah dilakukan oleh Departemen Perdagangan Republik Indonesia, yakni periklanan, arsitektur, pasar P a g e [ 743 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 barang seni, kerajinan, desain, fesyen, video, film dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan peranti lunak, televisi dan radio, serta riset dan pengembangan. Berdasarkan data yang diperoleh sejak tahun 2006-2009 bahwa kontribusi dari 14 sub sektor industri kreatif didominasi oleh Fesyen sebesar 43,02 persen dan kerajinan sebesar 25,12 persen, dan pada interval tahun tersebut pula pertumbuhan ekspor industri kreatif berpengaruh positif sebesar 2,9 persen terhadap perekonomian nasional. Pada tahun 2012 Ekonomi Kreatif menempati posisi ke-7 dari 10 sektor ekonomi nasional dengan menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) 6,9 persen atau senilai 573 Triliun Rupiah dari total kontribusi ekonomi nasional. Dan di tahun yang sama Ekonomi Kreatif menempati posisi ke-4 dari 10 sektor ekonomi dalam kategori jumlah tenaga kerja pada tahun 2012. Ekonomi Kreatif menyumbang 11.79 juta orang atau 10,65 persen pada total angkatan kerja nasional. Dan ekonomi kreatif menempati posisi ke-3 dari 10 sektor ekonomi dengan 5,39 juta usaha atau menyumbang sebesar 9,72 persen dari total jumlah usaha. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh berita online harian okezone yang ditulis oleh Athurtian (2014) bahwa pada tahun 2013, ekonomi kreatif menempati posisi yang sama dengan tahun 2012 yaitu posisi ke-7 sebesar 6,9 persen atau senilai Rp573 triliun dari sektor-sektor ekonomi nasional lainnya. Ekonomi kreatif juga telah menyerap 11,8 juta tenaga kerja sebesar 10,72 dari total tenaga kerja nasional pada tahun 2013. Ekonomi kreatif telah menciptakan 5,4 juta usaha atau sekitar 9,68 persen dari total jumlah usaha nasional. Hingga semester I-2014 nilai tambah dari sektor ekonomi kreatif diestimasi mencapai Rp111,1 triliun. Penyumbang nilai tambah tertinggi antara lain subsektor mode, kuliner, kerajinan, penerbitan dan percetakan. Keempat subsektor ini juga erat dengan kaitannya dengan sektor pariwisata. SUMBER DAYA YANG KONSTRUKTIF SEBAGAI ASET EKONOMI KREATIF INDONESIA Indonesia memiliki potensi sumber daya yang dapat dikembangkan menjadi identitas negara dengan keanekaragaman hayati dan manusianya. Nenek moyang kita telah mewariskan beraneka ragam kesenian tradisional yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama sebagai penerus untuk melestarikannya. Agar di kemudian hari kesenian-kesenian tersebut menjadi identitas bangsa kita, sehingga jika di kemudian hari ada negara seperti kasus sebelumnya yang menimpa kita tentang pengklaiman reog oleh Malaysia tidak terjadi kembali. Sudah bukan rahasia umum bahwa negara kita adalah negara dengan kekayaan alam yang melimpah namun sumber daya manusianya termasuk dalam kategori rendah. Hal ini sesuai dengan berita yang dimuat oleh harian haluan secara online bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan berat. Salah satunya posisi daya saing Indonesia yang kembali turun. Dalam laporan The Global Competitiveness Index 20122013, Indonesia menempati posisi ke-50 dari 144 negara di dunia dengan skor 4,4, atau [ 744 ] P a g e
Jati Diri Bangsa… (Zumrottus Sa’adah)
turun 4 level dari tahun lalu yang berada di posisi 46. Data ini selaras dengan realitas sumber daya manusia khususnya pemuda. Berkaca pada data tersebut, kekuatan daya saing pemuda memegang peran penting dan strategis membawa arah perjalanan bangsa, termasuk dalam menghadapi MEA 2015 ini. Pemuda dapat bertindak nyata dan menjadi faktor kebangkitan bangsa. Sayangnya, dari sejumlah indikator, daya saing pemuda belum menunjukkan potensi yang sebenarnya. Dalam menghadapi persaingan yang sudah di depan mata ini tentu kita akan kalah jika hanya mengandalkan sumber daya tersebut. Selain dua sumber daya di atas, Indonesia juga memiliki sumber daya yang dapat dijadikan sebagai sumber daya dengan nilai jual unggul, sumber daya tersebut dapat dinamakan sebagai sumber daya konstruktif. Dalam kamus bahasa Indonesia online, Sumber daya didefinisikan sebagai segala sesuatu, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang digunakan untuk mencapai hasil, sedangkan konstruktif memiliki arti bersifat membangun. Jadi, dapat diartikan bahwa sumber daya yang konstruktif adalah segala sesuatu yang dapat membangun. Arti membangun dalam hal ini dilihat dari sudut pandang ekonomi bahwa Negara Indonesia juga memiliki sumber daya dari hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang dapat memperbaiki kehidupan perekonomian masyarakatnya. Sumber daya yang konstruktif yang dimiliki Indonesia sebenarnya sangat melimpah, bagaimana tidak, penduduk bangsa ini sudah nyata dengan berbagai macam suku dan kebudayaan yang terdapat di dalamnya. Unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat berupa kesenian tradisional, dan kerajinan tangan khas daerah. Berbincang seputar kesenian tradisional, negara kita mempunyai beraneka ragam kesenian di antaranya mulai dari pertunjukan tradisional seperti reog ponorogo, ketoprak, ludruk, lenong, wayang kulit dan masih banyak pertunjukan lainnya, juga kerajinan tradisional seperti adanya kain tradisional, tas atau dompet karya anak bangsa, dan mebel yang bernilai jual tinggi seperti yang ada di Jepara. Kain tradisional yang kita miliki seperti kain songket, batik, ulos (Batak), tenun ikat, gringsing, sasaringan, tapis, tenun dayak, dan masih banyak kain tradisional lainnya dapat menjadi peluang yang besar di pasaran internasional. Merancang beberapa kain tersebut dalam bentuk gaun yang cantik, kemeja yang elegan, atau pakaian resmi dan santai lainnya tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat luar negeri, tentunya dengan mengikuti standar produk di setiap negara yang akan kita tuju. Dapat juga memanfaatkan lokasi pariwisata sebagai pasar dalam negeri karena kita tahu banyak wisatawan asing yang selalu tertarik dengan panorama alam yang ada di negeri ini. Pemikiran semacam ini perlu disadari, sebelum menggapai tentang adanya inovasi teknologi yang ada. Eksplorasi kekayaan budaya negeri ini menjadi industri kreatif bangsa sungguh sangat luar biasa hasilnya dengan memadukan kekuatan nilai budaya lokal dengan tuntutan kebutuhan global. Pasar bebas dalam era MEA ini memerlukan kecerdasan kreatif untuk menghasilkan hasil yang berbeda dengan bangsa lainnya yang dapat menciptakan nilai tambah yang lebih optimal. Menurut hasil penelitian Marizar (2012) Mengkolaborasikan antara potensi budaya sebagai kekuatan local genius dengan P a g e [ 745 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 mempertemukan elemen globalisasi maka akan menghasilkan produk yang bisa disebut glokalisasi yang memiliki nilai jual yang tinggi. Dengan strategi tersebut diharapkan secara signifikan akan tumbuh industri-industri kreatif yang muncul dan berkembang secara cepat, progresif, dan kompetitif. SIMPULAN Menjadi bangsa yang unggul di era kompetitif seperti MEA ini bukanlah hal yang sulit di tengah pemikiran bahwa kita harus menciptakan inovasi ini dan itu. Jika terlalu melihat ke atas rasanya menjadi diri kita sendiri sangatlah hina dibandingkan menjadi bangsa lain. Memang sumber daya manusia kita rendah jika dibandingkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, dan negara maju lainya. Pemikiran yang terlalu rumit tersebut memang diperlukan tetapi dengan menengok ke belakang sebenarnya banyak sekali yang dapat dimanfaatkan dari warisan nenek moyang kita berupa kekayaan budaya yang kita miliki. Diperlukan ide kreatif dan satu identitas yang khas tentang bangsa kita, menjadi negara yang berbeda dari negara lainnya dengan memiliki Pancasila sebagai falsafah negara adalah satu identitas khas tanpa merubah jati diri bangsa kita. Melalui pendidikan karakter dengan memasukkan nilai dan butir Pancasila sebagai upaya mencetak generasi berikutnya bangsa ini akan berdiri sebagai bangsa yang kuat tanpa melupakan jasa para pahlawan yang telah merumuskan kemerdekaan selama 70 tahun silam. Dengan demikian, Indonesia bisa memiliki sumber daya manusia yang kokoh sebagai bangsa dengan jati diri bangsa yang gagah. Selain itu, mendongkrak industri kreatif dengan memadukan kekuatan nilai budaya lokal dengan tuntutan kebutuhan global akan melahirkan produk dengan nilai tambah tinggi yang dapat memacu industri baru dan berkembang menjadi industri yang kompetitif. Para pengambil kebijakan perlu membangun strategi tepat dalam menghadapi era MEA ini. Sebab, menjadi bangsa yang memiliki ciri khas dibanding negara lain diperlukan pula agar jati diri bangsa ini terbangun secara kokoh dan kuat. Sudah saatnya pemerintah mampu mengaplikasikan pemikiran strategi dengan memadukan kekuatan local genius dan elemen globalisasi menjadi produk glokalisasi yang tinggi. DAFTAR PUSTAKA Alma, Buchari. (2010). Kewirausahaan: untuk Mahasiswa dan Umum. Bandung: Alfabeta. Arif, Arifudin M. (2012). Education for Generation. Sulawesi Tengah: EnDeCe Press. Arthurian. (2014). Ekonomi Kreatif Berkontribusi 7% ke PDB Indonesia. Diakses dari http://economy.okezone.com/read/2014/10/21/320/1054971/ekonomikreatif-berkontribusi-7-ke-pdb-indonesia pada tanggal 30 April 2015. Azis, Fauzan. (2012). Perkembangan Industri dan Ekonomi Kreatif di Indonesia. Diakses dari https://fauzanaziz.wordpress.com/tag/ekonomi-kreatif/ pada tanggal 30 April 2015. [ 746 ] P a g e
Jati Diri Bangsa… (Zumrottus Sa’adah)
Bank Indonesia, Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter. Metadata Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Diakses dari http://www.bi.go.id/id/statistik/metadata/ sekda/Documents/8PDRBSEKDA1.pdf pada tanggal 18 April 2015. Creatips. (2014). Kontribusi Ekonomi Kreatif Terhadap PDB. Diakses dari http://creatips.net/kontribusi-ekonomi-kreatif-terhadap-pdb/ pada tanggal 30 April 2015. Efendi, Taufiq. (2008). Jati Diri Bangsa Indonesia Menuju Indonesia Jaya. Jakarta: Exatama Mediasindo. Maemonah. (2012). Aspek-aspek dalam Pendidikan Karakter. Jurnal Tarbiyah, Vol. 10, No. 1, Juni 2012. Marchaela. (2015). Yuk Kenali 10 Kain Tradisional Indonesia. Diakses dari http://klikhotel.com/blog/yuk-kenali-10-kain-tradisional-indonesia/ pada tanggal 20 April 2015. Marizar, Eddy Supriyatna. (2012). Pengembangan Industri Kreatif di Era Pasar Bebas Asean. Laporan Penelitian. Jakarta: Universitas Tarumanegara. Perbawa, Arip. (2012). Kesiapan Masyarakat Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi Asean 2015. Artikel. Manajemen FEB Unpad. Setiawan, Edi. (2014). Peran Pemuda Hadapi Pasar Asean. Diakses dari http://www.harianhaluan.com/index.php/opini/33284-peran-pemuda-hadapipasar-asean pada tanggal 30 April 2015. Somantri, Gumilar Rusliwa, Rektor Universitas Indonesia. (2010). Jati Diri Bangsa. Disampaikan pada Seminar Etnopedagogik dan Pengembangan Budaya Sunda yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Bahasa dan Budaya Sunda Sekolah Pascasarjana UPI, pada tanggal 23 September 2010. Sukirno, Sadono. (2008). Mikro Ekonomi.Teori Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sunyoto. (2007). Perluasan Sekolah Menengah Kejuruan dan Implikasinya terhadap Kebutuhan Guru. Jurnal Ilmu Kependidikan, Jilid 36, No. 2, Desember 2007. Wagiran (2010). Implementasi Pendidikan Karakter dalam Menyiapkan Tenaga Kerja Kejuruan Menghadapi Tantangan Global. Laporan Penelitian. Yogyakarta: LPPM UNY.
P a g e [ 747 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
ANALISIS LAPORAN KEUANGAN UNTUK MENENTUKAN TINGKAT KESEHATAN KEUANGAN BANK PADA PT. BANK PERKREDITAN RAKYAT CHRISTA JAYA PERDANA DI KOTA KUPANG TAHUN 2012-2014 Jacob Abolladaka
Pendidikan Ekonomi, FKIP-Undana Kupang-NTT
[email protected]
Abstrak Pihak-pihak terkait dapat menggunakan kondisi keuangan bank untuk mengevaluasi kinerja bank dalam menerapkan prinsip kehati-hatian, kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dan manajemen risiko. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesehatan keuangan bank pada PT. BPR Christa Jaya Perdana berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/10/PBI/2004 dengan menggunakan lima (5) alat analisis yaitu Cash Ratio, Loan to Deposit Ratio, Return of Assets, Return of Equity, dan Capital Adequacy Ratio. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dokumentasi dengan mengumpulkan data yang berupa laporan keuangan PT. BPR Christa Jaya Perdana tahun 2012-2014. Hasil analisis data dengan menggunakan lima (5) alat rasio diketahui bahwa perhitungan Cash Ratio, Return of Assets, Return of Equity, dan Capital Adequacy Ratio berada di atas standar PBI dan dinyatakan sehat. Sedangkan perhitungan Loan to Deposit Ratio diketahui berada di bawah standar PBI dan dinyatakan tidak sehat dengan rata-rata sebesar 72,62%. Kata kunci: likuiditas, profitabilitas, dan solvabilitas
PENDAHULUAN Pada umumnya bank dikenal sebagai lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menerima Simpanan, Giro, Tabungan dan Deposito. Bank merupakan lembaga perantara yang menghimpun dana dan menempatkannya dalam bentuk aktiva produktif misalnya kredit. Penempatan dalam bentuk kredit akan memberikan kontribusi pendapatan bunga bagi bank. Kontribusi pendapatan bunga kredit di Indonesia masih mendominasi pendapatan bank. Hal ini dapat diartikan bahwa aktivitas perkreditan sangat besar di lembaga perbankan. Meskipun demikian harus diingat bahwa selain memberikan kontribusi pendapatan bunga tertinggi bagi pendapatan bank, risiko yang ditimbulkan oleh perkreditan juga sangat tinggi. Oleh karena itu penyajian secara akurat dan berkala tentang perkreditan menjadi sangat penting bagi bank untuk memantau setiap kualitas kredit yang diberikan. Aktivitas utama PT. BPR Christa Jaya Perdana sesuai dengan UU Perbankan No.10 Tahun 1998 dan sesuai tercantum dalam Pasal 3 Anggaran Dasar Bank adalah menjalankan usaha-usaha dalam bidang Bank Perkreditan Rakyat antara lain menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk deposito dan tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dan memberikan kredit atau pinjaman kepada masyarakat. [ 748 ] P a g e
Analisis Laporan Keuangan… (Jacob Abolladaka)
Sebagai salah satu lembaga perbankan resmi yang berkomitmen untuk memajukan perekonomian masyarakat ekonomi menengah ke bawah di Kota Kupang pada sektor perdagangan, pertanian, jasa angkutan dan sektor lainnya, PT. BPR Christa Jaya Perdana yang mulai beroperasi pada tanggal 23 Desember 2008 ini telah berhasil menghimpun dana pihak ketiga selama tahun 2012-2014 (lihat Tabel 1). Tabel 1. Data Keuangan BPR Christa Jaya Perdana Berdasarkan Produk Yang Diberikan Jenis Produk Tabungan Deposito Jumlah
2012 ( Rp ) 5.357.180 18.518.100 23.875.280
Jmlh Nasabah 715 83 798
% 89,60 10,40 100
2013 ( Rp ) 5.961.535 35.787.258 41.748.793
Jmlh Nasabah 990 114 1104
% 89,70 10,30 100
2014 ( Rp ) 7.635.666 55.982.842 63.618.508
Jmlh Nasabah 1.372 143 1515
% 90,60 9,40 100
Sumber Data: Data Olahan & Laporan Keuangan Tahunan 2012-2014 (Dalam Ribuan) Keberhasilan suatu usaha Bank Perkreditan Rakyat dapat dicerminkan dari peranannya terhadap kebijakan ekonomi rakyat. Untuk mengetahui keberhasilan Bank Perkreditan Rakyat perlu diadakannya penilaian terhadap tingkat kesehatan keuangan bank secara menyeluruh. Hasil dari rasio keuangan digunakan untuk menilai tingkat kesehatan keuangan bank dalam suatu periode apakah mencapai target seperti yang telah ditetapkan. Dari penilaian tingkat kesehatan keuangan bank yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai evaluasi hal-hal yang perlu dilakukan ke depan agar kinerja manajemen dapat ditingkatkan atau dipertahankan sesuai target perbankan. Tidak hanya itu, di dalam pengelolaan perbankan dibutuhkan tenaga-tenaga terdidik, terampil dan cakap, sehingga BPR akan mampu menjadi pelaku ekonomi yang kuat dan akan mampu memberikan pelayanan kepada para nasabahnya. METODE Teknik Pengumpulan Data yang digunakan adalah dokumentasi. Teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data yang berupa laporan keuangan PT. BPR Christa Jaya Perdana tahun 2014-2014. Metode analisis data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan formula keuangan khususnya rasio Cash Ratio, Loan To Deposit Ratio, Return Of Assets, Return Of Equity, dan Capital Adequacy Ratio. Analisis Rasio Likuiditas Rasio modal kerja atau likuiditas adalah rasio yang digunakan untuk menganalisa kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya pada saat ditagih. Untuk menilai posisi keuangan jangka pendek (likuiditas) ada beberapa ratio yang dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisa dan menginterpretasikan data tersebut. 1. Cash Ratio (CR) Cash Ratio merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam melunasi kewajiban yang harus segera dibayar dengan harta likuid yang dimiliki bank tersebut (Kasmir,2002:224). Ratio ini menunjukkan kemampuan bank P a g e [ 749 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 untuk membayar kembali simpanan para nasabahnya dengan alat-alat yang paling likuid yang dimiliki bank tersebut. Adapun rumus yang digunakan sebagai berikut :
2. Loan to Deposit Ratio (LDR) LDR adalah rasio antara seluruh jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima bank. LDR menggambarkan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan nasabah dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. LDR dapat dirumuskan sebagai berikut:
Analisis Rasio Profitabilitas Rasio profitabilitas adalah rasio untuk mengetahui kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba dari berbagai kebijakan dan keputusan yang telah diambil. Adapun perhitungan rasio tersebut adalah sebagai berikut: 1. Return of Assets (ROA) Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan. Semakin besar ROA suatu bank, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai oleh bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan asset. Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut
2. Return of Equity (ROE) ROE adalah perbandingan antara laba bersih bank dengan rata-rata modal. Rasio ini merupakan indicator bagi para pemegang saham dan calon investor untuk mengukur kemampuan bank dalam memperoleh laba yang dikaitkan dengan pembayaran deviden. Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Analisis Rasio Solvabilitas Rasio solvabilitas adalah rasio untuk mengukur seberapa jauh aktiva perusahaan dibiayai oleh hutang. Adapun perhitungan rasio tersebut adalah Capital Adequacy Ratio (CAR). CAR adalah rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung risiko, misalnya kredit yang diberikan. Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut. [ 750 ] P a g e
Analisis Laporan Keuangan… (Jacob Abolladaka)
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Rasio Likuiditas Rasio likuiditas adalah rasio yang digunakan untuk menganalisa kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya pada saat ditagih. Rasio ini diukur dengan menggunakan dua perhitungan, yaitu Cash Ratio (CR) dan Loan to Deposit Ratio (LDR). CR ini menunjukkan kemampuan bank untuk membayar kembali simpanan para nasabahnya dengan alat-alat yang paling likuid yang dimiliki bank tersebut. Besarnya Cash Ratio pada tahun 2012-2014 mengalami peningkatan yang menunjukkan bahwa PT. BPR Christa Jaya Perdana mampu memenuhi kewajiban jangka pendeknya dengan aktiva lancar yang dimiliki. Tahun 2012 di dapat persentase Cash Ratio sebesar 27,6%, yang berarti bahwa setiap Rp.1 hutang lancar dijamin dengan Rp. 0,276. Tahun 2013 persentase Cash Ratio sebesar 31,7%, yang berarti bahwa setiap Rp. 1 hutang lancar dijamin dengan Rp. 0,317. Dan pada tahun 2014 persentase Cash Ratio sebesar 46% yang berarti bahwa setiap Rp.1 hutang lancar dijamin dengan Rp. 0,46. Dari hasil perhitungan, diperoleh nilai Cash Ratio selama tahun 2012-2014 dengan rata-rata 35%, yang berarti bahwa Cash Ratio PT. BPR Christa Jaya Perdana masuk dalam kategori sehat. LDR menggambarkan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Rasio LDR PT. BPR Christa Jaya Perdana mengalami penurunan. Rasio LDR di tahun 2012 adalah 77,69%. Pada tahun 2013 rasio LDR turun menjadi 75,40%, dan pada tahun 2014 rasio LDR sebesar 64,78%. Hal ini dikarenakan kredit yang diberikan lebih kecil dibandingkan penghimpunan dana pihak ketiga. Tahun 2012 besarnya rasio LDR adalah 77,69%, yang berarti setiap Rp. 1 dana yang diterima bank akan diberikan kredit sebesar Rp. 0,776. Tahun 2013 rasio LDR sebesar 75,40% yang berarti bahwa setiap Rp.1 dana yang diterima bank akan diberikan kredit sebesar Rp. 0,754. Dan pada tahun 2014 rasio LDR sebesar 64,78% yang berarti bahwa setiap Rp. 1 dana yang diterima akan diberikan kredit sebesar Rp. 0,6478. Dari hasil perhitungan, diperoleh nilai LDR dengan rata-rata sebesar 72,62%, yang berarti bahwa nilai LDR PT. BPR Christa Jaya Perdana selama tahun 2012-2014 masuk dalam kategori tidak sehat. Analisis Rasio Profitabilitas Rasio profitabilitas adalah rasio untuk mengetahui kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba dari berbagai kebijakan dan keputusan yang telah diambil. Rasio ini diukur dengan dua perhitungan yaitu Return of Assets (ROA) dan Return of Equity (ROE). Rasio ROA digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan. P a g e [ 751 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Penelitian ini menemukan bahwa perhitungan ROA tahun 2012 sebesar 7,8%, yang berarti bahwa setiap Rp. 1 aktiva dapat menghasilkan laba kotor sebesar Rp. 0,078. Tahun 2013 perhitungan ROA sebesar 5,85% yang berarti bahwa setiap Rp. 1 aktiva dapat menghasilkan laba kotor sebesar Rp. 0,0585. Dan pada tahun 2014 perhitungan rasio ROA PT. BPR Christa Jaya Perdana sebesar 6,26% yang berarti bahwa setiap Rp. 1 aktiva dapat menghasilkan laba kotor sebesar Rp. 0,0626. Dari hasil perhitungan diatas diperoleh nilai ROA dengan rata-rata sebesar 6,63%. Hal ini berarti bahwa nilai ROA pada PT. BPR Christa Jaya Perdana tahun 2012-2014 masuk dalam kategori sehat. Rasio ROE merupakan indikator bagi para pemegang saham dan calon investor untuk mengukur kemampuan bank dalam memperoleh laba yang dikaitkan dengan pembayaran deviden. Pada tahun 2012 nilai ROE sebesar 49,23% yang berarti setiap Rp. 1 modal dapat menghasilkan laba bersih sebesar Rp. 0,4923. Tahun 2013 nilai ROE sebesar 33% yang artinya bahwa setiap Rp. 1 modal dapat menghasilkan laba bersih Rp. 0,33. Dan pada tahun 2014 nilai ROE sebesar 25% yang berarti setiap Rp. 1 modal dapat menghasilkan laba bersih sebesar Rp. 0,25. Dari hasil perhitungan diatas diperoleh nilai ROE dengan rata-rata sebesar 35,7%. Hal ini berarti bahwa nilai ROE pada PT. BPR Christa Jaya Perdana tahun 2012-2014 masuk dalam kategori sehat. Rasio Solvabilitas Rasio Solvabilitas adalah rasio untuk mengukur seberapa jauh aktiva perusahaan dibiayai oleh hutang. Rasio ini diukur dengan perhitungan Capital Adequacy Ratio (CAR) yang adalah rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung risiko, misalnya kredit yang diberikan. Penelitian ini menemukan bahwa nilai CAR pada tahun 2012 sebesar 20,08, yang artinya setiap Rp. 1 ATMR dijamin dengan Rp. 0,2008 modal bank. Pada tahun 2013 nilai CAR sebesar 19,94% yang berarti setiap Rp.1 ATMR dijamin dengan Rp. 0,1994 modal bank. Tahun 2014 nilai rasio CAR sebesar 18,44% yang berarti setiap Rp. 1 ATMR dijamin dengan Rp. 0,1844. Dari hasil perhitungan, didapat nilai CAR dengan rata-rata sebesar 19,49% yang berarti bahwa PT BPR Christa Jaya Perdana telah memenuhi syarat rasio kecukupan modal yaitu melebihi persyaratan lebih dari 8,0 %. Dari segi kecukupan modal, PT BPR Christa Jaya Perdana dikategorikan sebagai BPR yang sehat dan dinyatakan mampu untuk menunjang kredit yang diberikan. Tabel 2. Tingkat Kesehatan Keuangan Bank Menurut PBI No: 6/10PBI/2004 RataTahun Rasio Standar BI Keterangan 2012 2013 2014 rata Cash Ratio > 3% 35% 27,6% 31,7% 46% Sehat LDR 85%-100% 72,62% 77,69% 75,40% 64,78% TidakSehat ROA 0,25%-1,25% 6,63% 7,8% 5,85% 6,26% Sehat ROE 5%-12,5% 35,7% 49,23% 33% 25% Sehat CAR > 8% 19,49% 20,08% 19,94% 18,44% Sehat
[ 752 ] P a g e
Analisis Laporan Keuangan… (Jacob Abolladaka)
Dari hasil perhitungan di atas, maka tingkat kesehatan keuangan PT. BPR Christa Jaya Perdana menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/10/PBI/2004 dapat dilihat pada tabel 2. Dari tabel tersebut ditemukan bahwa perhitungan rata-rata selama tiga periode untuk empat rasio yang terdiri dari Cash Ratio, Return on Asset, Return on Equity dan Capital Adequacy Ratio dinyatakan sehat. Hal ini berdasarkan di mana hasil rata-rata perhitungan rasio selama tiga tahun PT BPR Christa Jaya Perdana lebih tinggi dibandingkan dengan standar Bank Indonesia. Kemudian dari data di atas perhitungan rata-rata selama tiga periode untuk satu rasio yaitu Loan to Deposit Ratio dinyatakan tidak sehat. Hal ini berdasarkan hasil ratarata perhitungan rasio selama tiga tahun PT. BPR Christa Jaya Perdana lebih rendah dibandingkan dengan standar Bank Indonesia. SIMPULAN 1. Perhitungan Cash Ratio secara rata-rata selama tiga periode diketahui berada di atas standar kesehatan Bank Indonesia yang berarti PT. BPR Christa Jaya Perdana dikatakan sehat dari sisi Cash Ratio dengan rata-rata sebesar 35%. 2. Perhitungan Loan to Deposit Ratio secara rata-rata selama tiga periode diketahui masih di bawah standar Bank Indonesia yang berarti PT. BPR Christa Jaya Perdana dikatakan tidak sehat dari sisi Loan to Deposit Ratio dengan rata-rata sebesar 72,62%, 3. Perhitungan Return of Assets secara rata-rata selama tiga periode diketahui berada di atas standar Bank Indonesia yang berarti PT. BPR Christa Jaya Perdana dikatakan sehat dari sisi Return of Assets dengan rata-rata sebesar 6,63%. 4. Perhitungan Return of Equity secara rata-rata selama tiga periode diketahui berada di atas standar Bank Indonesia yang berarti PT. BPR Christa Jaya Perdana dikatakan sehat dari sisi Return of Equity dengan rata-rata sebesar 35,7%. 5. Perhitungan Capital Adequacy Ratio secara rata-rata selama tiga periode diketahui berada di atas standar Bank Indonesia yang berarti PT. BPR Christa Jaya Perdana dikatakan sehat dari sisi Capital Adequacy Ratio dengan rata-rata sebesar 19,49%. Beberapa saran yang dapat diajukan terkait dengan temuan ini adalah: 1. Untuk Cash Ratio diharapkan PT. BPR Christa Jaya Perdana lebih meningkatkan jumlah aset mereka agar dapat menjaga dana pihak ketiga yang terdiri dari Tabungan, Simpanan Berjangka dan Giro sehingga memperkecil risiko kehilangan. 2. PT. BPR Christa Jaya Perdana perlu meningkatkan kinerjanya untuk mencapai Loan to Deposit Ratio hingga mencapai 85% ke atas agar dapat dikategorikan sehat sesuai standar BI Nomor: 6/10/PBI/2004. 3. Peningkatan Loan to Deposit Ratio juga dibarengi dengan peningkatan pemberian kredit terutama pada usaha mikro dan usaha kecil karena mengingat kredit merupakan sumber pendapatan bank yang utama. 4. PT. BPR Christa Jaya Perdana lebih meningkatkan kinerjanya untuk tahun-tahun ke depan karena mengingat persaingan industri perbankan lebih ketat.
P a g e [ 753 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 5. Diharapkan kredit yang dikelola dan diberikan lebih tepat sasaran terutama pada usaha mikro dan usaha kecil sehingga pembangunan dapat dirasakan dampaknya bagi masyarakat kecil. DAFTAR PUSTAKA Irham Fahmi, S.E.,M.Si. 2012. Analisis Kinerja Keuangan. Alfabeta. Bandung. Kasmir. 2002. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Keenam. PT. Raja GrafindoPersada. Jakarta. Lukman, Syamsudin. 2004. Manajemen Keuangan Perusahaan (Konsep Aplikasi Dalam Perencanaan, Pengawasan, dan Pengambilan Keputusan). PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Mudrajad Kuncoro, Suhardjono. 2002. Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi. Edisi Pertama. BPFE Yogyakarta Munawir, 2004. Analisa Laporan Keuangan, Edisi Keempat. Liberty, Yogyakarta. Munawir. 2012. Analisa Laporan Keuangan. Yogyakarta: Liberty. Prihadi,
Toto. 2012. Jakarta.
Analsis
Laporan
Keuangan
Teori
dan
Aplikasi.
PPMi.
Soemarso. 2005. Akuntansi Suatu Pengantar. Jakarta: Salemba Empat. Sofyan, Syafri. 2004. Analisis Kritis Atas Laporan Keuangan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Taswan, S.E, M.Si, 2005. Akuntansi Perbankan, Edisi Kedua. UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Taswan, S.E., M.Si. 2006. Manajemen Perbankan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN Yogyakarta. Undang - Undang Bank No.10 Tahun 2001 Undang–Undang Bank No. 10 Tahun 2002 UU Perbankan Nomor 7 Tahun 1992
[ 754 ] P a g e
Model Analytical Network… (Sukidin & Pudjo Suharso)
MODEL ANALYTICAL NETWORK PROCESS (ANP) DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA DI JEMBER Sukidin & Pudjo Suharso FKIP Universitas Jember.
[email protected]
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian terhadap kebijakan pengembangan pariwisata di Jember, terutama kebijakan pengembangan agrowisata perkebunan kopi dengan menggunakan Jember Fashion Carnival (JFC) sebagai event marketing. Metode penelitian yang dipergunakan adalah soft system methodology dengan menggunakan metode analitis jaringan (Analytical Network Process). Hasilnya, pengembangan pariwisata di Jember masih dilakukan dengan menggunakan pendekatan konvensional, belum terkoordinasi dengan baik, dan lebih mengandalkan satu even (atraksi) pariwisata, yakni JFC, sebagai lokomotif daya tarik pariwisata Jember. Model pengembangan konvensional ini ke depan perlu dirancang kembali untuk memperoleh pariwisata Jember yang berkesinambungan. Kebijakan pengembangan pariwisata di luar pariwisata fashion, yakni pengembangan agrowisata perkebunan kopi belum menjadi perhatian serius Pemerintah Kabupaten Jember. Kata kunci: pergeseran paradigma, industry pariwisata, even pariwisata, agrowisata
PENDAHULUAN Seiring dengan terjadinya pergeseran paradigma pembangunan, dari paradigma pembangunan yang mengacu pada pertumbuhan (growth paradigm) ke arah paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development paradigm), banyak negara sedang berkembang menjadikan industri pariwisata sebagai an alternative development option (Burns and Hoden, l995; Nelson, l993). Bahkan menurut Burns dan Holden, untuk beberapa negara yang tidak mempunyai sumber daya alam, kedua ahli manajemen pariwisata itu menyatakan not to have tourism is not an option. Selanjutnya Burns dan Holden (l995:95) menyatakan : Worldwide, tourism is looked upon as a smokeless industry with strong and stable economic impacts on host areas ... Tourism is viewed as the new wave of economic opportunity and is promoted heavily for this reason alone. Pembangunan industri pariwisata di samping dinilai ramah lingkungan juga memberikan makna ekonomis yang signifikan bagi perkembangan perekonomian suatu negara. Di Indonesia makna ekonomis kehadiran industri pariwisata ditandai dengan sumbangan yang cukup signifikan dalam perolehan devisa, yang pada tahun 2010 mencapai hampir 15,23 miliar US $. Di Kawasan Asia Pasifik perolehan devisa pariwisata Indonesia pada tahun 2010 menduduki urutan ke 7 setelah Hongkong, China, Thailand, Singapura, Australia dan Korea Selatan (Kementrian Pariwisata dan Kebudayaan, 2012). Mengingat pentingnya sector pariwisata maka pemerintah Indonesia kemudian P a g e [ 755 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 menjadikan industri pariwisata sebagai “ideologi dominan”1 dalam reproduksi perekonomian baik pada tingkat nasional maupun daerah. Pada aras ide, ide disosialisasikan baik oleh pemerintah maupun korporasi swasta pariwisata tentang betapa pentingnya mengembangkan industri pariwisata. Masyarakat disosialisasi dengan idiom-idiom yang berhubungan dengan industri pariwisata seperti “Sapta Pesona Pariwisata”, “Industri ramah lingkungan” dan sebagainya termasuk menciptakan sloganslogan modernism. Di Jember diciptakan idiom “Naturally Jember” . Industri pariwisata di Jember berkembang pesat setelah ada Jember Festival Carnaval (JFC) yang telah mendunia. JFC ini mampu memperkenalkan Jember – kota kecil di pojok Jawa Timur – yang semula tidak dikenal, menjadi salah satu kiblat festival karnaval fashion yang kemudian mengilhami kota-kota lain di Indonesia untuk menirunya. JFC merupakan produk fashion Carnaval pertama di Indonesia. Jember yang awalnya merupakan sebuah kota sebagai pengembangan industri perkebunan, dengan adanya JFC saat ini telah menjadi kota salah satu tujuan favorit wisatawan. Karnaval peragaan busana yang dilakukan pada catwalk sepanjang 3,6 kilometer ini setiap tahun pergelarannya selalu menarik perhatian masyarakat dan media, hal ini karena setiap busana yang dipamerkan selalu memberikan sentuhan estetika sehingga membentuk genre seni pertunjukan baru yang berbasis peragaan busana. Tidak dapat dipungkiri bahwa JFC saat ini telah mendunia, berbagai prestasi di kancah Internasional telah didapat. Akibat dari prestasi-prestasi yang diperoleh, JFC saat ini telah menjadi produk andalan wisata utama Kabupaten Jember. JFC telah berhasil menjadikan Jember sebagai kota wisata budaya dan membawa dampak yang besar bagi perekonomian Jember. Data Kantor Pariwisata menunjukkan tren peningkatan kunjungan wisatawan dalam negeri, dari 741.279 orang pada 2012, meningkat menjadi 841.148 orang pada 2013, dan 882.826 pada 2014. Namun angka kunjungan wisatawan mancanegara meningkat tak terlalu tajam, yakni 1.018 orang pada 2012, meningkat menjadi 1.155 orang pada 2013, dan 1.212 orang pada 2014. Total wisatawan yang berkunjung ke Jember pada rentang 2012-2014 adalah 2.247.858 orang(Kabupaten Jember Dalam Angka, 2013) Pada tahun 2008, PAD Kabupaten Jember dari sektor pariwisata hanya Rp 2,5 Miliar. Namun tahun 2013 mampu menembus angka Rp 12 Miliar. Dari jumlah ini yang dihasilkan restoran atau wisata kuliner mencapai Rp1,2 miliar. Melalui wisata kreatif yang diwujudkan dalam JFC, APBD Jember meningkat mencapai Rp 3 triliun. Dalam sarana dan prasarana pariwisata, saat ini Jember sudah memiliki hotel berbintang tiga dengan jumlah kamar 500 - 600 kamar. Dan hotel melati sekitar 1.200 kamar. Semakin banyaknya tamu mendesak pengelola hotel untuk menambah jumlah kamar atau mendorong pertumbuhan hotel baru. Pasalnya, Tahun 2013 saja sebanyak 2.159 media dan fotografer dunia hadir di Jember. Tahun 2014, sudah 3.073 media dan fotografer “ideoogi dominan” dimaksudkan sebagai pengejawantahan kebijakan pemerintah yang menempatkan pembangunan pariwisata sebagai ideologi(Arief Budiman, l990:12). Triwikromo menyebutnya sebagai “budaya dominan” untuk memberikan penjelasan bagi kebijakan, ideologi ataupun cara-cara yang dipergunakan pemerintah dalam pembangunan. 1
[ 756 ] P a g e
Model Analytical Network… (Sukidin & Pudjo Suharso)
yang mendaftar untuk hadir. JFC menjadi magnet pariwisata Jember yang sangat penting dan memberikan efek pengganda (multiplier effect) bagi perkembangan ekonomi Jember (Kantor Pariwisata Kabupaten Jember, 2014). JFC dan daya tarik pariwisata Jember adalah dua sisi dalam satu mata uang. Namun menarik wisatawan hanya mengandalkan JFC di masa depan bukan tidak mungkin pariwisata Jember akan mengalami kemerosotan. Sebab banyak sekali daerah yang meniru festival semacam JFC. Di Sola terdapat Solo Batik Festival, di Yogyakarta ada Yogyakarta Clasical Festival, di Jakarta terdapat Festival Budaya Jakarta, di Malang terdapat Batu Festival Carnaval, dan tetangga kota dekatnya, Banyuwangi juga telah mengadakan Banyuwangi Traditional Festival, yang kesemuanya berbasis pada fashion. Oleh karena itu apabila pengembangan pariwisata Jember tetap berbasis pada fashion maka pariwisata di Jember setidaknya akan menghadapi kompetitor potensial, Banyuwangi, yang saat ini tengah mengintensifkan bandaranya. Bandara Blimbingsari Banyuwangi telah memperpendek aksesibiltas dari Surabaya ke Banyuwangi, yang semula naik angkutan darat sekitar 6-7 jam dari Surabaya, maka dengan adanya bandara dan penerbangan langsung, Surabaya – Banyuwangi hanya ditempuh selama 40 menit. Dengan aksesibilitas yang makin mudah, wisatawan pertam-tama akan ke Banyuwangi dengan objek pantai dan alamnya, baru kemudian ke Jember. Itupun kalau tidak langsung ke Bali. Oleh karena itu dalam rangka pengembangan pariwisata di Jember, model pengembangan pariwisata yang lebih komprehensif, lengkap, perlu dikembangkan sebagai pariwisata alternative selain JFC karena Jember sebenarnya mempunyai banyak destinasi wisata yang layak dikembangkan baik wisata pantai, wisata pegunungan, atau wisata agro. Dalam pengembangan pariwisata Jember harus diperhatikan bahwa semua unsur penunjang pariwisata seperti perhotelan, biro perjalanan wisata, atraksi, sarpras, kebijakan, destinasi, dan sebagainya. Permasalahannya adalah sinergi antar pemangku kepentingan seperti pemerintah daerah Jember, Event Organizer, pihak perhotelan (PHRI), Biro perjalanan wisata, penyedia transportasi dan sebagainya belum membuat rancang bangun model pengembangan pariwisata alternative selain JFC untuk masa depan. Sampai saat ini kebijakan pengembangan pariwisata di Kabupaten Jember masih bertumpu pada fashion melalui JFC. Unsur-unsur penunjang pariwisata yang ada di Jember seperti PHRI, Biro Perjalanan Wisata, Event Organizer belum diotimalkan perannya dalam menyusun rancangan kebijakan pengembangan pariwisata non fashion, yakni agrowisata perkebunan kopi yang justru menjadi sector pariwisata potensial. Dalam perspektif teori pembangunan pariwisata, kebijakan pengembangan agrowisata merupakan manifestasi dari implementasi paradigm pariwisata berkelanjutan. Secara konseptual pariwisata berkelanjutan akan menyatukan kepentingan ekonomi, lingkungan dan sosial (Burn and Holden, 1995).
P a g e [ 757 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan Soft System Mododology dengan teknik proses analisis jaringan/Analitycal Network Process (ANP) (Nugroho, 2013). Proses analisis jaringan (ANP) digunakan untuk menetapkan faktor-faktor yang menjadi prioritas dalam pengembangan model pariwisata di Jember. Penggunaan ANP ini memerlukan proses knowledge aquisition dilakukan untuk mendapatkan konsensus ahli di bidang pariwisata sebagai thinking respondents atau subject matters expert. Selain itu penelitian ini dibantu dengan metode FGD/sarasehan untuk mengidentifikasi komponen dan pengembangan pariwisata di Jember. Aktor yang dilibatkan dalam FGD antara lain Pemerintah Kabupaten Jember, PHRI, Biro Perjalanan Wisata, Agen Wisata, Event Organizer, LSM Pariwisata dan perwakilan masyarakat terutama yang berasal dari daerah tujuan wisata perkebunan kopi di Jember. Setelah mengetahui identifikasi komponen pariwisata dan identifikasi pengembangan pariwisata di Jember kemudian digunakan teknik ANP untuk pengambilan keputusan prioritas pariwisata yang akan dikembangkan. HASIL DAN PEMBAHASAN Jember merupakan daerah yang kaya akan keindahan alam serta budaya, dikelilingi oleh Pegunungan Argopuro dengan sejumlah air terjun di sebelah utara, perkebunan dan hutan lindung di sebelah timur dan barat, serta di sebelah selatan berbatasan langsung dengan lautan Indonesia. Perpaduan semuanya menyajikan pemandangan alam yang sangat indah serta nuansa petualangan yang sangat mempesona. Saat ini Kabupaten Jember setidaknya mempunyai 24 destinasi pariwisata, yang dapat dikunjungi dan dinikmati setiap saat. Tidak seperti ketika diadakan perhelatan JFC pada setiap bulan Agustus, destinasi pariwisata lain di Jember dapat dikunjungi setiap hari. Untuk mengetahui destinasi pariwisata di Jember, dapat disimak pada Peta Pariwisata Jember pada Gambar 1, 2 dan 3.
Gambar 1. Peta Pariwisata Kabupaten Jember [ 758 ] P a g e
Model Analytical Network… (Sukidin & Pudjo Suharso)
Gambar 2. Pantai Papuma : Eksotik, salah satu keindahan di Jember.
Gambar 3, Salah satu kostum/fashion JFC Pengembangan kepariwisataan di Jember memanfaatkan keberadaan JFC sebagai event marketing dalam rangka meningkatkan brand awareness kepariwisataan di Jember. Ada beberapa aktor kepariwisataan yang terlibat atau dilibatkan oleh Pemerintah Kabupaten Jember untuk memasarkan pariwisata Jember melalui JFC. Yakni, media massa, Manajemen JFC, PHRI, Biro Perjalanan, dan Penyedia kuliner. Masing-masing pihak ini mempunyai jaringan sendiri-sendiri untuk memasarkan pariwisata Jember melalui JFC. Kerjasama antar jaringan inilah yang membuat Jember melalui JFC menjadi terkenal dan menjadi salah satu destinasi pariwisata menarik di Jawa Timur selain Bromo, Kawah Ijen, dan Kawasan Hutan Merubetiri. Pada saat diadakan perhelatan JFC yang dihadiri oleh para ahli dan penikmat pariwisata, Pemerintah Kabupaten Jember melakukan sarasehan/FGD untuk meminta pendapat para ahli dan penikmat wisata yang menghadiri JFC dalam pengembangan kepariwisataan di Jember. Sebagian para ahli dan media massa yang terlibat dalam sarasehan atau FGD memang sengaja diundang oleh Pemerintah Kabupaten Jember agar memberikan sumbang saran dan pemikiran dalam pengembangan pariwisata di Jember. Dalam sarasehan atau FGD diperoleh hasil pengembangan pariwisata di Jember yang mencakup factor pendukung dan jenis pariwisata yang menjadi prioritas P a g e [ 759 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 dikembangkan di masa mendatang selain JFC. Melalui analisis berjenjang diperoleh hasil penelitian sebagai berikut. IDENTIFIKASI FAKTOR PENGEMBANGAN PARIWISATA DI JEMBER: APA YANG DIPERLUKAN. Untuk mengidentifikasi faktor pengembangan pariwisata di Jember dilakukan dengan menggunakan teknik analisis Delphi yang melibatkan peserta sarasehan/FGD yang diterapkan dalam analisa stake holder sebelumnya. Para peserta sarasehan atau FGD mengeluarkan pendapat mengenai kesetujuan atau ketidaksetujuan mereka terhadap kebutuhan faktor pengembangan yang telah dirumuskan untuk pengembangan pariwisata yang terintegrasi dengan JFC di Kabupaten Jember. Artinya, setelah menikmati JFC, para wisatawan yang datang ke Jember, terutama yang berasal dari luar Jember, khususnya dari mancanegara,tidak dibiarkan terus pulang, tetapi dikoordinasi oleh Pemerintah Kabupaten Jember dan bekerjasama dengan Biro Perjalanan Wisata serta PHRI, para wisatawan ini diajak “tour de Jember”, menjelajah tempat-tempat wisata di Jember yang jumlahnya cukup banyak, baik di pantai, pegunungan, perkebunan, atau situs-situs budaya Jember. Hasil eksplorasi dari beberapa sarasehan dan FGB diperoleh pendapat dari para ahli dan pemerhati pariwisata Jember mengenai kebutuhan faktor pengembangan pariwisata di Kabupaten Jember. 1. Pembentuk daya tarik wisata Semua pihak setuju bahwa daya tarik wisata suatu kawasan yang terkait dengan keberadaan serta kondisi dari sumberdaya alam dan sumberdaya budaya untuk diadakan. Kebanyakan peserta sarasehan/FGD yang diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Jember memiliki pemahaman yang sama bahwa daya tarik wisata merupakan sebuah poin penting yang harus dimiliki oleh setiap kawasan wisata agar dapat menarik minat para wisatawan untuk mengunjungi kawasan wisata di Kabupaten Jember. Di sini pengembangan daya tarik pariwisata Jember belum semenarik penyelenggaraan JFC, sehingga banyak yang dating ke Jember hanya menyaksikan JFC. Ini berimplikasi pada lama tinggal (length of stay) wisatawan yang pendek di Jember. Rata-rata para penikmat wisata mempunyai lama tinggal di Jember hanya1,6 hari. Artinya, malam dating, nginap di hotel, besok sudah meninggalkan Jember. 2. Ketersediaan prasarana wisata Seluruh peserta sarasehan dan FGD menyatakan setuju bahwa ketersediaan prasarana dalam suatu kawasan perlu dijadikan sebagai faktor pengembangan kawasan wisata di Kabupaten Jember. Alasan yang diungkapkan cukup memperlihatkan bahwa kondisi prasarana wisata di Kabupaten Jember tidak layak bahkan tidak semua kawasan wisata terfasilitasi dengan prasarana yang cukup. Faktor aksesbilitas ke tempat-tempat tujuan pariwisata di Jember menjadi kendala utama bagi pengembangan pariwisata di Jember saat ini. [ 760 ] P a g e
Model Analytical Network… (Sukidin & Pudjo Suharso)
3. Ketersediaan sarana wisata Ketersediaan sarana wisata di sini berkaitan dengan adanya fasilitas penunjang dan fasilitas pendukung seperti akomodasi, aksesibilitas dan galeri-galeri yang berisikan ciri khas dari masing-masing kawasan wisata. Dari sarasehan/FGD terungkap kesetujuannya mengenai ketersediaan sarana tersebut. Selain dapat mempermudah akses para wisatawan dengan tersedianya transportasi umum, dikarenakan juga akses transportasi menuju ke kawasan wisata di Kabupaten Jember yang menggunakan kendaraan pribadi. Untuk akomodasi seperti penginapan dan rumah makan tidak semua tempat wisata memilikinya.Transportasi public berupa taksi memang ada, namun dinilai kurang layak dan seringkali para wisatawan dikenai harga sewa yang tinggi, belum terstandar dengan baik 4. Partisipasi masyarakat Dalam sarasehan atau FGD dinyatakan perlunya partisipasi masyarakat yang mendukung kegiatan wisata di kawasan wisata Jember. Masyarakat harus mempunyai “sense of tourism” (Holden, 1995). Hal ini akan menuntun masyarakat menjadi “ramah” terhadap wisatawan yang dating di Jember. Para peserta sarasehan/FGD menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat sangat menguntungkan baik untuk pengelola, pengunjung, pemerintah hingga kepada masyarakatnya sendiri. Dengan bergabungnya masyarakat ke dalam kegiatan wisata tersebut, masyarakat juga akan mendapatkan penghasilan dari kebudayaan lokal yang ada di kawasan wisata yang bisa ditunjukkan oleh masyarakat sekitar kawasan. Bisa dengan mempertunjukkan adat istiadat sehari-hari di daerah masing-masing. 5. Kelembagaan Dalam sarasehan? FGD tidak semua peserta setuju dengan adanya peran serta suatu lembaga sebagai faktor pengembangan kawasan wisata di Kabupaten Jember. Beberapa peserta FGD yang menyatakan tidak setuju menjelaskan bahwa sebaiknya untuk peningkatan, pengelolaan dan pengembangan di kawasan wisata cukup dipegang dan dikendalikan oleh satu badan pengelola saja. Di sisi lain, peserta lain yang setuju menyatakan bahwa peran serta suatu lembaga sangat dibutuhkan dalam pengembangan pariwisata di Jember. 6. Kesempatan investasi Seluruh peserta FGD/sarasehan menyatakan setuju bahwa diperlukan adanya kesempatan investasi para investor yang ingin mengembangkan kawasan wisata di Kabupaten Jember. Selain dapat menunjang pengembangan dan pengelolaan kawasan wisata, segala kendala dalam pembiayaan juga dengan mudah dapat teratasi dalam pengembangannya. 7. Kebijakan Kebijakan yang dimaksud di sini yaitu peraturan dari pemerintah daerah yang mendukung pengembangan kawasan wisata di Kabupaten Jember. Semua peserta sarasehan/FGD menyatakan setuju dengan adanya kebijakan dari pemerintah terkait pengembangan kawasan wisata. P a g e [ 761 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 8. Pemasaran Dalam sarasehan/FGD terungkap bahwa para ahli dan pemerhati pariwisata Jember setuju dengan adanya pemasaran yang digunakan sebagai faktor pengembangan. Hal ini dikarenakan pemasaran yang ada saat ini hanya diprioritaskan kepada satu kawasan wisata bahari saja sehingga tidak adanya pemerataan dalam hal pemasaran. Para peserta sarasehan atau FGD mengatakan bahwa event JFC dapat dijadikan ajang pemasaran pariwisata di Jember yang efektif. ANALISIS PROSES JARINGAN PENGEMBANGAN PARIWISATA JEMBER Dalam tahap berikutnya analisis faktor kebutuhan pengembangan pariwisata digunakan analisis proses jaringan atau analytical network process. Hasilnya dapat dilihat pada tiga aras pengembangan pariwisata di Jember. Pertama, pada aras strategic pengembangan pariwisata di Jember belum didasari oleh rencana strategis (renstra) pengembangan pariwisata Jember secara terintegrasi dan komprehensif. Ini ditandai dengan (1) Keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan pengembangan pariwisata yang mencakup 8 kebutuhan pengembangan pariwisata seperti dijelaskan pada uraian sebelumnya. Contoh, pemasaran pariwisata selama ini lebih banyak ditangani oleh pemerintah Kabupaten Jember; (2) Integrasi, sikronisasi dan sinergi program pengembangan pariwisata (antar instansi daerah, antar fungsi pemerintah daerah). Contoh unit-unit satuan kerja pemerintah yang ada masih menganggap bahwa pengembangan pariwisata merupakan domain Kantor Pariwisata. Padahal untuk mengembangkan pariwisata butuh kerjasama Dinas PU, Bappeda, Dinas Perhubungan, Badan Penanaman Modal Daerah untuk investasi, dan sebagainya. Kedua, pada aras taktikal, pengembangan pariwisata Jember memerlukan koordinasi antar pelaku pembangunan industry pariwisata dan penataan kelembagaan (pemda, pelaku bisnis pariwisata, masyarakat) yang dalam FGD masih berkembang pro dan kontra penataan kelembagaan. Realitas ini memberikan implikasi bahwa pengembangan industry pariwisata Jember tidak dapat menyusun rancangan dan impelemntasi program prioritas pengembangan pariwisata Jember. Ketiga, pada aras operasional yang fokusnya pada pengembangan sumber daya manusia industry pariwisata dan peningkatan sarana dan prasarana pendukung pariwisata (jalan, hotel, tempat-tempat kuliner, atraksi, dsb) pada akhirnya menjadi tidak optimal untuk dikembangkan karena pada aras strategi dan taktikal juga masih dijumpai persoalan mendasar. Dengan kata lain apabila renstra dan road map pengembangan pariwisata di Jember belum tersedia atas dasar kebutuhan yang diperlukan dalam pengembangan pariwisata di Jember, maka pengembangan pariwisata di Jember akan tetap bertumpu pada daya pikat pelaksanaan JFC, yang sustainabilitasnya tidak berjangka panjang karena hadirnya kompetitor lain dengan angle yang sama, karnaval fashion.
[ 762 ] P a g e
Model Analytical Network… (Sukidin & Pudjo Suharso)
SIMPULAN Melalui model analisis proses jaringan/analytical network process (ANP), pengembangan pariwisata di Jember masih dilakukan dengan pendekatan konvensional, di mana pelaksanaan JFC menjadi ujung tombak daya tarik pariwisata di Jember. Pendekatan konvensional yang meletakkan JFC sebagai factor tunggal pengembangan pariwisata Jember sangat rentan terhadap kesinambungan pariwisata di Jember. Artinya apabila JFC tidak lagi menjadi daya tarik pariwisata Jember, maka penurunan jumlah wisatawan dan efek pengganda (multiplier effect) yang muncul akan mengalami masalah cukup serius. Rekomendasi yang diberikan adalah pengembangan pariwisata di Jember tidak dapat hanya diletakan pada satu event wisata, JFC, tetapi harus dikembangkan jenis dan model pariwisata lain seperti agrowisata perkebunan kopi yang banyak terdapat di Kabupaten Jember. DAFTAR PUSTAKA Budiman, Arief, 1991, Negara dan Pembangunan, Jakarta, Yayasan Padi Kapas. Bull, Janeth, 1991, The Economic of Travel and Tourism, Melboune, Pittman. Burns, S and Holden, G, 1995, Tourism, New Perspective, London, PrinticeHall Dinas Pariwisata Kabupaten Jember, 2010, Profil Pariwisata Jember, Jember. Nash, D, 1996, Anthropology of Tourism, Washington, Oxford University Press Nelson, H, 1993, Tourism and Sustainable Development, Harlow, University of Waterloo Press Nugroho, H, 2013, Industrialisasi Sektor Pariwisata, Kelola, UGM Bussiness Review, 16/VI:28-38 Pearce, D, 1998, Tourist Development, Harlow, Longman Group Ltd
P a g e [ 763 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
MODEL PENGEMBANGAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR BERBASIS CO-MANAGEMENT SUMBERDAYA PERIKANAN DI KABUPATEN PONTIANAK Witarsa
Prodi Pendidikan Ekonomi FKIP Universitas Tanjungpura
[email protected]
Abstrak Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui permasalahan umum yang dihadapi masyarakat pesisir di Kabupaten Pontianak. mengidentifikasi komponen urgen pengelolaan sumberdaya pesisir, mengidentifikasi faktorfaktor internal yang mempengaruhi pemberdayaan masyarakat pesisir, mengidentifikasi faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pemberdayaan masyarakat pesisir, serta mengidentifikasi peringkat prioritas co-management sumberdaya perikanan. Metode yang digunakan adalah PRA (Participatory Rural Appraisal), SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunities, and Treats), dan alur pikir PMPK (pemecahan masalah dan pengambilan keputusan). Hasil yang ada menunjukkan bahwa dari aspek biofisik belum adanya batas wilayah tangkap dan kurangnya peralatan modal; dari aspek teknologi penangkapan belum memadai; dari aspek pasar belum adanya manajemen distribusi, belum adanya armada angkut yang dilengkapi dengan cool storage, dan masih rendah modal usaha; dari aspek sosial ekonomi pemegang kepentingan masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia; kurangnya sarana dan prasarana; adanya kerusakan fisik habitat; kesejahteraan masyarakat pesisir; kurangnya pemahaman terhadap nilai sumberdaya; dan masalah kelembagaan, belum melibatkan masyarakat dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir, sehingga program-program di wilayah pesisir tidak dapat berjalan secara optimal. Kata kunci: ekonomi masyarakat pesisir, co-management, sumberdaya perikanan
PENDAHULUAN Pesatnya perkembangan wilayah pesisir dan sumberdaya laut di Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat pada posisi strategis akan menghasilkan keuntungan ekonomi berupa devisa hasil ekspor, namun juga telah memberikan efek negatif terhadap perairan, terutama wilayah pesisir dan laut itu sendiri. Kontribusi yang demikian akan terus berlangsung, apalagi terdapat berbagai aktivitas masyarakat yang tidak sesuai dengan kemampuan dan daya dukung lingkungan, seperti kegiatan perikanan tangkap, budidaya perikanan, dan industri pariwisata yang berbagai aktivitasnya hanya mengejar keuntungan ekonomi semata. Berbagai upaya pemanfaatan harus dilakukan secara terencana dan tepat, agar dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan terutama terakomodasinya kesejahteraan masyarakat pesisir. Pembangunan ekonomi masyarakat pesisir pada kecamatan yang terletak di wilayah pantai Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat hendaknya dilakukan sebagai suatu proses sosial yaitu pertama perubahan yang terjadi terus menerus. Kedua usaha meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat dengan implikasi menaikkan [ 764 ] P a g e
Model Pengembangan Ekonomi… (Witarsa)
pendapatan per kapita yang terus berlangsung dalam jangka panjang. Ketiga, perbaikan dan atau penataan sistem kelembagaan di berbagai bidang (ekonomi, sosial, hukum, politik, budaya, dan lain-lain) terutama dari aspek perbaikan organisasi dan regulasi. Dengan demikian pembangunan ekonomi di wilayah pesisir harus dipandang sebagai suatu mekanisme di mana saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya pembangunan ekonomi di daerah tersebut (Lembaga Survey dan Kajian Kalimantan Barat, 2013) Hasil kajian Lembaga Survey dan Kajian Kalimantan Barat, 2013 bahwa pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Barat yang terus meningkat justru tidak linier dengan peningkatan pendapatan masyarakat pesisir, sehingga berbagai komoditi ekonomi hasil laut yang sangat potensial seperti berbagai jenis ikan yang bisa diolah menjadi dendeng, abon, kerupuk, bakso, ikan asin, ikan teri, dan udang ebi, budi daya ikan dan rumput laut serta komoditi lain belum memberikan kontribusi nilai ekonomi masyarakat pesisir yang signifikan dengan komoditi sumber laut. Kondisi ini tidak mencerminkan fenomena seperti adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi tidak disertai dengan ketidakselarasan pendapatan sosial yang tinggi. Meningkatnya investasi tetapi pengangguran justru tidak berkurang. Meningkatnya anggaran pembangunan tetapi kemiskinan dan ketertinggalan, merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Dari hasil survey terhadap jumlah penduduk di Kecamatan Mempawah Hilir yang berjumlah 56.612 orang (laki-laki sebanyak 28.594 orang, perempuan sebanyak 28.018), di mana sebagian besar atau 68 persen dari jumlah penduduk laki-laki bekerja sebagai nelayan, sedangkan sisanya 32 persen bekerja pada sektor lain. Sementara 79 persen penduduk wanita bekerja sambilan membantu suami, berjualan dan lain. Carlssona (2005) menyatakan bahwa ketika ekonom melihat organisasi ekonomi secara keseluruhan mereka kemudian mengajukan banyak pertanyaan tentang efisiensi. Namun, selama beberapa dekade, ekonom tidak bertanya tentang biaya dan manfaat dari menurunnya atau kerusakan lingkungan (modal alam) wilayah pesisir laut akibat kegiatan proses produksi. Hal ini juga dapat mengakibatkan suatu kondisi di mana kegiatan produktif melebihi kemampuan ekosistem untuk mendukung produksi ekonomi. Ketika batas ekologi terlampaui dari waktu ke waktu, sebuah kesulitan sosial akhirnya dapat terjadi melalui runtuhnya sumber daya terkait seperti perikanan. Spektrum yang luas dari informasi tentang proses ekosistem, kesehatan, manfaat dan nilai-nilai ekonomi pesisir sangat penting dikelola dengan baik dan benar dalam mempertahankan modal alam di wilayah pesisir untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang. Tujuan penelitian (1) untuk mengetahui permasalahan umum yang dihadapi masyarakat pesisir di Kabupaten Pontianak. (2) Mengetahui komponen urgen pengelolaan sumberdaya pesisir, (3) Mengidentifikasi faktor-faktor internal yang mempengaruhi pemberdayaan masyarakat pesisir, (4) Mengidentifikasi faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pemberdayaan masyarakat pesisir, (5) Mengidentifikasi Peringkat prioritas co-management sumberdaya perikanan. P a g e [ 765 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Ekonomi masyarakat pesisir merupakan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Pengaturan wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil pada tahun 2011, Mahkamah Konstitusi (2010:164-165) menyatakan bahwa hak pengusahaan perairan pesisir bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hak ini dikhawatirkan akan mengakibatkan wilayah perairan pesisir dikuasai oleh pemodal besar, sehingga nelayan tradisional yang telah menggantungkan kehidupannya pada sumber daya pesisir akan tersingkir. Menurut Mahkamah Konstitusi, salah satu tujuan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan dan berkelanjutan. Dalam pengusahaan perairan pesisir, menurut Suseno (201:27-8) terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan, yaitu aspek sosial, perikanan, jasa-jasa lingkungan, dan keseimbangan lingkungan hidup. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup dalam proses pembangunan adalah prinsip yang senantiasa harus menjadi dasar utama bagi seluruh stakeholder. Secara umum prinsip pengelolaan sumber daya meliputi empat hal, yaitu 1) prinsip kehati-hatian. Hal ini termasuk dalam Code of Conduct for Responsible Nature 1995, yang menyebutkan negara harus memberlakukan pendekatan yang bersifat kehati-hatian secara luas demi konservasi, pengelolaan, dan pengusahaan sumber daya hayati guna melindungi dan mengawetkan lingkungannya, 2) prinsip tanggung Jawab, pengelolaan yang bertanggung jawab tidak memperbolehkan hasil tangkapan melebihi jumlah potensi lestari yang boleh ditangkap, 3) prinsip Keterpaduan, yaitu keterpaduan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya, 4) prinsip Berkelanjutan yaitu konsep pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mengintegrasikan komponen ekologi, ekonomi dan sosial. Setiap komponen itu saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu kekuatan dan tujuan. Alasan pentingnya tujuan pengelolaan ekonomi pesisir bahwa ekonomi ekologi meneliti hubungan antara ekosistem, ekonomi, dan kesejahteraan manusia. Hal ini bisa dibilang salah satu daerah yang paling cepat berkembang dalam bidang ekonomi. Sweeden et al (2008) menyatakan pemahaman ekonomi pesisir memberikan kontribusi ekonomi penting dari ekosistem untuk perekonomian karena beberapa alasan. Pertama, ekosistem pesisir yang sangat produktif dan memberikan kontribusi sejumlah besar nilai ekonomi terhadap perekonomian pesisir. Kedua, semua negara pada umumnya, dan ekonomi pesisir khususnya, memiliki sistem yang kompleks dari kepemilikan, pasar, organisasi produktif, dan pemerintah yang menentukan siapa yang menerima manfaat ekonomi dan yang membayar biaya produksi. Carlssona (2005) menyatakan,“co-management, or the joint management of the commons, is often formulated in terms of some arrangement of power sharing between the State and a community of resource users. In reality, there often are multiple local interests [ 766 ] P a g e
Model Pengembangan Ekonomi… (Witarsa)
and multiple government agencies at play, and co-management can hardly be understood as the interaction of a unitary State and a homogeneous community”. (Berkes 1998:12). Singleton (1998:7) menyatakan, ”co-management as ‘the term given to governance systems that combine state control with local, decentralized decision making and accountability and which, ideally, combine the strengths and mitigate the weaknesses of each”. Grazia et al (2007) menyatakan, ”co-management a situation in which two or more social actors negotiate, define and guarantee amongst themselves a fair sharing of the management functions, entitlements and responsibilities for a given territory, area or set of natural resources”. Arifin (2004:6) menyatakan co-management memadukan antara unsur masyarakat pengguna (kelompok nelayan, pengusaha perikanan, dll) dan pemerintah yang menghindari peran dominan yang berlebihan dari satu pihak dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut sehingga pembiasaan aspirasi pada satu pihak dapat dieliminasi. Dalam jangka panjang, pelaksanaan co-management ini diyakini akan memberikan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik yaitu: 1) meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya sumberdaya pesisir dan laut dalam menunjang kehidupan, 2) meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga mampu berperan serta dalam setiap tahapan pengelolaan secara terpadu, 3) meningkatkan pendapatan masyarakat dengan bentuk-bentuk pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan. Seperti yang dikatakan oleh Cundill dan Christo (2009) co-management is a relationship between a resource-user group and another organization or entity (usually a government agency) for the purposes of fisheries management in which some degree of responsibility and/or authority is conferred to both parties. Co-management presupposes that parties have, in a formal or semi-formal way, agreed on a process for sharing management rights and responsibilities. But getting to co-management involves institution building, the development of trust and social capital, and generally a long voyage on a bumpy road. Co-management emerges out of extensive deliberation and negotiation, and the actual arrangement itself evolves over time. Menjamin keadilan dan berkelanjutan sumberdaya perikanan perlu diperhatikan untuk menjaga ekosistem pesisir. Luky dan Dede (2009:41) menyatakan one of the key factors in understanding the dynamics between fishers, fish farmers and the economic and social environment is the concept of fishing rights. Prior to introducing a fisheries comanagement arrangement, and in order to ensure fairness and sustainability in the management of fishing communities, the rights-based fisheries concept must be considered. Agus et al (2010:2) menegaskan secara alamiah, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri. Terkait dengan tiga dimensi tersebut, pengelolaan perikanan saat ini masih belum mempertimbangkan keseimbangan ketiga dimensi tersebut, di mana P a g e [ 767 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 kepentingan pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar dibanding dengan misalnya kesehatan ekosistemnya. Dengan kata lain, pendekatan yang dilakukan masih parsial belum terintegrasi dalam sebuah batasan ekosistem yang menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target pengelolaan. Dalam konteks inilah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries) menjadi sangat penting. A. Muluk et al (2009) menyatakan Hirarki Co-Management Perikanan muncul karena adanya berbagai kemungkinan proses pengambilan keputusan yang melibatkan masyarakat lokal dan pemerintah. Terdapat 3 hal yang menentukan variasi bentuk CoManagement serta hirarkinya yaitu: (1) Peranan pemerintah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan; (2) Bentuk tugas dan fungsi manajemen yang dapat atau akan dikelola bersama oleh pemerintah dan masyarakat atau didistribusikan di antara kedua pihak; (3) tahapan proses manajemen ketika secara aktual kerjasama pengelolaan betulbetul terwujud (sebagai contoh, pada tahapan perencanaan, implementasi atau evaluasi). METODE Jenis penelitian adalah penelitian partisipatif. Lokasi penelitian di Kecamatan Sungai Kunyit dan Kecamatan Mempawah Hilir, dan Kecamatan Mempawah Timur. Subyek penelitian 26 kelompok nelayan dengan jumlah anggota 473 orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam studi ini adalah kombinasi instrumen langsung dan tidak langsung, serta studi dokumenter. Kombinasi instrumen langsung berupa wawancara tersetruktur dengan masyarakat nelayan dan atau masyarakat pesisir yang mengikutsertakan tenaga penyuluh dan penanggung jawab perikanan dan kelautan di Kecamatan Mempawah Hilir, Kecamatan Mempawah Timur, dan Kecamatan Sungai Kunyit, Tim Pengawas, Ketua Persatuan Nelayan, dan pihak Kelurahan. Kombinasi instrumen pengumpulan data tidak langsung berupa kuesioner yang berisi Kunci Model Pengembangan Ekonomi Masyarakat Berbasis Ko-Manajemen Sumberdaya Perikanan yang dilakukan dengan cara membagikan dan menjelaskan materi kuesioner. Studi dokumenter dilakukan dengan cara mencari, mengumpulkan data melalui dokumen dan literatur yang relevan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir berbasis co-management. Hasil pengumpulan data bertujuan membantu dalam: (1) Inventarisasi data, konsultasi publik, dan survey potensi sumberdaya berdasarkan aspek biogeofisik, sosial ekonomi, dan budaya. (2) Identifikasi permasalahan yang mungkin timbul dan berdampak langsung pada pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir berbasis co-management.(3) Analisis dan sintesis data dan informasi dalam upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir berbasis comanajemen. Data yang akan dikumpulkan dalam pekerjaan ini dikelompokkan menjadi 4 (empat) bagian, yaitu (1) Data Biofisik, (3) Data Teknologi, (3) Data Pasar, dan (4) Data Sosial-Ekonomi Budaya. Kedua kelompok data diperoleh, baik dari pengamatan di lapangan maupun dari data sekunder yang didapatkan dan publikasi lembaga yang [ 768 ] P a g e
Model Pengembangan Ekonomi… (Witarsa)
relevan. Langkah-langkah proses menjaring data penelitian dikelompokkan menjadi 4 (empat) bagian, yaitu (1) Data Biofisik, (3) Data Teknologi, (3) Data Pasar, dan (4) Data Sosial-Ekonomi Budaya. Kedua kelompok data diperoleh, baik dari pengamatan di lapangan maupun dari data sekunder yang didapatkan dan publikasi lembaga yang relevan. PARAMETER VARIABEL PRASYARAT TUJUAN
DATA BIOFISIK
DATA TEKNOLOGI
1. 2. 3. 4. 5. 6.
JENIS IKAN SIFAT SUMBER DAYA STATUS HABITAT BATAS-BATAS ALAT TANGKAP PERIKANAN INDUSTRI/ARTISAN
1. TINGKAT TEKNOLOGI 2. POLA TANGKAPAN
TATA RUANG WIL. PESISIR
OPTIMALISASI SDA
KELAYAKAN ALAT TANGKAP
INVENTARISASI DAN PENILAIAN KAWASAN PESISIR
INVENTARISASI DAN PENILAIAN ALAT TANGKAP
KERAMPILAN
DATA PASAR
DATA SOSEK
1. PERIKANAN SUB SISTEM ATAU KOMERSIAL 2. STRUKTUR PASAR 3. ORIENTASI PASAR 4. NILAI PRODUK
1. KESERAGAMAN PEMANFAAT 2. KETERGANTUNGAN 3. MOTIVASI 4. SIKAP AKSES 5. TINGAT PENGETAHUAN
INFRA STRUKTUR
KELEMBAGAAN EKONOMI
INVENTARISASI DAN PENILAIAN STRUKTUR USAHA
PERMODALAN
KEADILAN DAN EFISIENSI
PENGEMBANGAN EKONOMI PRODUKTIF
Gambar 1. Langkah-Langkah Proses Menjaring Data Penelitian Sesuai dengan ilustrasi Gambar 1, di atas dapat dinyatakan, bahwa jenis dan jumlah data yang akan dihimpun ditentukan menurut kebutuhan penggunaan dalam pekerjaan ini yaitu sebagai basis informasi dalam perencanaan pengembangan ekonomi mayarakat pesisir berbasis ko-manajemen sumber daya perikanan, serta pembangunan sumber daya manusia secara optimal dan berkelanjutan dengan cara menentukan sebagian dan kawasan pesisir di Kabupaten Pontianak pengembangan ekonomi mayarakat pesisir berbasis co-management sumber daya perikanan Metode yang digunakan dalam kegiatan ini adalah PRA (Participatory Rural Appraisal), SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunities, and Treats), dan alur pikir PMKP (pemecahan masalah dan pengambilan keputusan). PRA bila diartikan secara harfiah adalah pengkajian/pemahaman keadaan desa secara partisipatif, artinya PRA merupakan cara yang digunakan dalam melakukan kajian untuk memahami keadaan desa dengan P a g e [ 769 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 melihat partisipasi masyarakat. Dengan menerjemahkan secara harfiah menunjukkan adanya kelemahan PRA. Teknik PRA sebenarnya alat pembelajaran masyarakat untuk meneliti keadaannya sendiri di mana proses belajar tersebut diterapkan melalui kegiatan bersama (ARMP-II Badan Litbang Pertanian dan PSW-UGM, 2000). Melihat istilah PRA, semua orang akan mempunyai persepsi yang sama bahwa luas sasaran mencakup satu wilayah kecamatan. Bagaimana seandainya kelompok sasaran tersebut lebih dipersempit, seperti halnya pada kajian ini yaitu berdasarkan kelompok (bidang penangkapan, pengolahan, pengumpul dan pemasaran, pengolahan hasil perikanan). Salah satu teknik yang dikembangkan dalam proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan adalah SWOT. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam SWOT adalah mengidentifikasi faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman), membuat strategi kebijakan dari kombinasi keempat faktor yang mempengaruhi. Strategi S-O, yaitu memaksimumkan kekuatan dan peluang; strategi W-O, yaitu meminimumkan kelemahan dan memaksimumkan peluang; strategi S-T, yaitu memaksimumkan kekuatan dan meminimumkan ancaman; strategi WT, yaitu meminimumkan kelemahan dan ancaman. Keempat strategi tersebut jika disederhanakan akan menjadi dua, yaitu memaksimumkan faktor pendorong (SO) dan meminimumkan faktor penghambat (WT). Selanjutnya untuk lebih memepertajam dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan digunakan alur pikir PMKP (pemecahan masalah dan pengambilan keputusan) seperti yang telah dirumuskan oleh Nies, SUK. (2000). Alur pikir PMKP adalah sebagai berikut: (1) identifikasi masalah, (2) analisa masalah-masalah, (3) perumusan masalah, (4) analisa masalah, (5) analisa alternatif pemecahan masalah, (6) pemilihan alternatif pemecahan masalah, (7) keputusan pilihan pemecahan masalah, (8) rencana pelaksanaan hasil pemecahan masalah, (9) menjamin sukses pelaksanaan. Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir di Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir berbasis Ko-Manajemen Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Sungai Kunyit, Kecamatan Mempawah Hilir, dan Kecamatan Mempawah Timur di Kabupaten Pontianak juga memperhatikan aspek pendukung yaitu kegiatan yang berwawasan lingkungan, sehingga dalam survey dan kajian disertakan pentingnya Mangrove. Nilai penting komunitas hutan mangrove digunakan untuk memberikan deskripsi mengenai fungsi suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitasnya. Untuk mendapatkan nilai penting, terlebih dahulu dilakukan pengambilan contoh untuk mendapatkan data mengenai jenis, jumlah tegakan, dan diameter pohon. Data tersebut kemudian dianalisis lebih lanjut untuk mendapatkan kerapatan jenis, frekuensi jenis, luas penutupan, dan nilai penting jenis, dengan rumusan-rumusan sebagai berikut: (i) Kerapan Jenis (D) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area, dengan rumusan Di = ni / A Dimana [ 770 ] P a g e
Model Pengembangan Ekonomi… (Witarsa)
Di = Kerapatan Jenis i n
= Jumlah Total Tegakan dan jenis i
A
= Luas total Areal pengambilan contoh (luas total petak plot)
(ii) Kerapan Relatif Jenis (RDi) adalah perbandingan antara jumlah tegakan jenis i (ni) dan jumlah total tegakan seluruh jenis (Zn), dengan rumus:
RDi ni / n x100 (iii) Frekuensi Jenis (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam petak contoh/plot yang diamati, dengan rumus:
Fi pi / p Dimana Fi = Frekuensi Jenis i pi = Jumlah petak contoh plot di mana ditemukan jenis i dan ∑p = Jumlah total petak contoh/plot yang diamati (iv) Frekuensi Relatif Jenis (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i (Fi) dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (∑F), dengan rumus RFi = (Fi /∑F)x 100 (v) Penutupan Jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit area, dengan rumus: Ci =∑BA/A Di mana BA
= DBH2/4 (dalam Cm2)
= 3,1416 adalah (konstanta dalam DBH) diameter pohon dan jenis i
A
= Luas total areal pengambilan contoh
DBH
= CBH / (dalam cm), CBH adalah lingkaran pohon setinggi dada.
(vi) Penutupan Relatif Jenis (RCi) adalah perbandingan antara luas areal penutupan jenis i (Ci) dan luas total Area penutupan untuk seluruh jenis (∑C), dengan rumus: RCi =(Ci/∑C)x 100 Jumlah nilai Kerapatan Relatif Jenis (RDi), Frekuensi Relatif Jenis (RFi), dan Penutupan jenis (RCi) menunjukkan Nilai Penting Jenis (IVi), dengan rumus: IVi = RDi + RFi + RCi Nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 - 300.
P a g e [ 771 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 HASIL PEMBAHASAN Berdasarkan analisis informasi wilayah kecamatan Mempawah timur, serta identifikasi faktor-faktor eksternal dan internal masyarakat pesisir, selanjutnya dilakukan analisis SWOT. Lingkungan eksternal setiap saat berubah dengan cepat sehingga berpotensi menimbulkan berbagai ancaman baik yang datang dari pesaing utama maupun dari lingkungan bisnis yang senantiasa berubah. Konsekuensi perubahan faktor eksternal tersebut akan mengakibatkan perubahan faktor internal masyarakat pesisir, seperti perubahan pada kekuatan maupun kelemahan yang telah dimiliki. Kemudian dilakukan evaluasi paramater merupakan faktor yang sangat penting untuk mengukur berbagai potensi sumberdaya yang dimiliki wilayah pesisir di Kabupaten Pontianak, dengan tujuan agar indikator faktor strategi eksternal dan faktor strategi internal dapat diidentifikasi secara tepat. Hasil EFAS (External Strategic Factors Analysis) dan IFAS (Internal Strategic Factors Analysis) yaitu Hasil analisis pada level komponen SWOT, menunjukkan bahwa komponen weaknesses menempati urutan teratas dalam program pemberdayaan masyarakat pesisir, yang kemudian diikuti oleh beberapa level komponen SWOT yang lain, yaitu threats, strength, dan opportunities. Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa program pemberdayaan masyarakat pesisir mempunyai kelemahan dan tantangan yang besar jika dibandingkan dengan peluang dan kekuatannya. Faktor-faktor kelemahan (weaknesses) dalam pemberdayaan masyarakat pesisir jumlahnya cukup banyak, namun kelemahan yang paling utama adalah kualitas sumberdaya masyarakat pesisir yang rendah. Sedangkan faktor ancaman utama dalam pemberdayaan masyarakat pesisir adalah adanya penetapan prioritas pembangunan sektor perikanan, yang seringkali, lebih rendah apabila dibandingkan dengan sektor lainnya. Bagaimanapun akhir-akhir ini pemerintah terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir telah menunjukkan perhatian yang cukup meningkat dibandingkan dengan waktu sebelumnya. Sedangkan faktor kekuatan pemberdayaan masyarakat pesisir adalah masih banyaknya masyarakat pesisir, yaitu nelayan, pembudidaya, pengolah dan pedagang ikan, yang perlu diberdayakan baik dari aspek ekonomi, sosial dan politik. Sementara itu, faktor yang paling rendah adalah faktor peluang dalam kaitannya dengan pemberdayaan. Meskipun demikian, perhatian pemerintah yang cukup tinggi terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir ini merupakan peluang yang paling utama. Dari hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat pesisir masih sangat bergantung kepada dukungan pemerintah, walaupun peluang pendanaan dari pihak lain masih banyak, misalnya dana dari Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi Badan Usaha Milik Negara (PUKK BUMN) dan dari swasta Konsep pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir dilakukan melalui pendekatan wilayah. Konsep ini dapat dikatakan merupakan konsep kombinasi dari beberapa program dalam suatu wilayah dan setiap program yang dilakukan dapat saling terkait antara satu program dengan program yang lain. Hal ini dikarenakan, pada suatu [ 772 ] P a g e
Model Pengembangan Ekonomi… (Witarsa)
wilayah, dapat saja mempunyai beberapa permasalahan dan setiap permasalahan dapat diselesaikan secara terpadu dan terintegrasi. Berdasarkan komponen data yang dijumpai di lapangan melalui EFAS (External Strategic Factors Analysis) dan IFAS (Internal Strategic Factors Analysis), kemudian dilakukan analisis hasil berdasarkan instrumen survey sebagai berikut: 1. Aspek biofisik meliputi perikanan multispesies atau unispesies, sifat sumberdaya ikan, tingkat ekploitasi sumberdaya, status habitas, batas-batas, perikanan alat tunggal atau jamak, perikanan industri atau artisan (buatan). 2. Aspek teknologi yang meliputi tingkat teknologi, dan pola penangkapan ikan. 3. Aspek pasar yang mencakup perikanan sub sistem atau komersial, struktur pasar, orientasi pasar, dan nilai produk. 4. Aspek sosial ekonomi budaya pemegang kepentingan yang mencakup keseraman pemanfaatan sumberdaya, ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah, sikap nelayan, dan tingkat informasi atau pengetahuan tentang perikanan dan penglolaannya. Dari Tabel 1, dapat dilihat bahwa tingkatan biofisik di Kecamatan Sungai Kunyit, Kecamatan Mempawah Hilir, dan Kecamatan Mempawah Timur adalah sebagai berikut: 1. Jenis ikan yang di tangkap pada ketiga wilayah studi memang beragam atau multispesies yaitu antara 11 – 20 jenis ikan. 2. Dilihat dari gugusan pulau-pulau kecil, ada sumber daya ikan yang cenderung tidak bermigrasi terutama udang, sedangkan ikan kembung, tongkol, tenggiri, bawal, ukan kakap merah atau ikan lain cenderung bermigrasi terutama pada bulan-bulan tertentu yang hasil tangkapan menurun. Hal ini bisa dilihat dari fluktuasi hasil tangkapan yang berfluktuasi berkisar 5-15 persen. 3. Tingkat eksploitasi hasil tangkapan cukup baik yaitu ada peningkatan, walaupun masih di bawah 59 persen. Upaya peningkatan hasil tangkapan juga cukup baik yaitu dengan cara menambah waktu melaut, memperbaiki alat tangkap dan mengetahui lokasi ikan berdasarkan pengalaman nelayan. Pendugaan stock sulit dilakukan karena hasil tangkapan yang telah disortir langsung didistribusikan ke pasar sekitar, Pontianak, dan Sanggau, serta belum didukung oleh cool storage. 4. Status habitat di lokasi studi bisa dikategorikan masih cukup baik, walaupun pemanfaatan hutan bakau belum optimal dilakukan.
P a g e [ 773 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Tabel 1. Aspek Biofisik Kecamatan Sungai Kunyit, Kecamatan Mempawah Hilir, dan Kecamatan Mempawah Timur
Atribut Perikanan multispesies atau unispesies Sumberdaya berimigrasi atau menetap Tingkat Eksploitasi sumberdaya Status habitat
Batas-batas
Indikator
Tingkatan Aspek Biofisik 1 2 3
Spesies jenis ikan apa yang ditangkap
2
Sumberdaya ikan menetap atau bermigrasi
2
1. 2. 3. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5.
6. Perikanan 1. Alat Tunggal 2. atau jamak 1. Perikanan Industri atau 2. artisan 3. (buatan) 4.
Hasil tangkapan meningkat atau menurun Upaya meningkatkan hasil tangkapan Hasil untuk pendugaan stock ikan Persentase karang hidup Sumberdaya ikan dan tumbuhan laut bisa disebut sehat. Air telah mengalami polusi Pemanfaatan hutan bakau Batas geografis untuk suatu perikanan Penentuan batas-batas tersebut Ketentuan siapa menangkap ikan dalam batasan tertentu untuk produksi Bagaimana batasan penangkapan ikan ditentukan. Batasan lain yang relevan dengan batas penangkapan Cara menentukan batasan relevan tsb. Jenis alat tangkap ikan yang digunakan Kecenderungan perkembangan alat-alat tangkap tersebut Tipe kapal dan alat tangkap ikan yang digunakan Struktur alat tangkap dan kapal Dapatkan perikanan dibagai menjadi industri dan artisanal Cara melakukan industri dan artisanal
1 1
2 2 2 3
1
Belum Terdefinisi
1
2 2
1 1 1
2
Mendukung hasil penelitian Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pontianak tahun 2007, bahwa ekosistem sumberdaya pesisir tentang alternatif penentuan kawasan di wilayah perairan pesisir dan Puiau-Pulau Kecil Kecamatan Sungai Kunyit dan Kecamatan Mempawah Hulu yang peruntukannya diprioritaskan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pontianak adalah kawasan yang memiliki beberapa kriteria sebagai berikut (1) memiliki ekosistem terumbu karang dengan keanekaragaman [ 774 ] P a g e
Model Pengembangan Ekonomi… (Witarsa)
yang lebih bervariasi, namun dalam kondisi rentan dengan perilaku destruktif oleh oknum nelayan yang tidak bertanggung jawab, (2) Ekosistem terumbu karang pada lokasi alternatif secara faktual telah mengalami degradasi, namun ada sebagian yang masih dalam kondisi alami dengan tutupan yang terkategori baik, (3) Ekosistem terumbu karang alternatif kawasan konservasi memiliki kelimpahan sumberdaya perikanan karang yang beragam dan melimpah dan kondisinya masih baik, namun mengandung potensi kepunahan apabila tidak dilakukan upaya perlindungan, (4) ekosistem dan kawasan yang dijadikan sebagai lokasi alternatif juga merupakan lokasi mendarat dan bertelurnya spesies yang mendapatkan prioritas perlindungan, seperti penyu Laut dan atau ekosistem sumberdaya yang terkategori unik, (5) Ekosistem dan kawasan alternatif yang dilindungi Memiliki bentang alam yang berasosiasi dengan habitat (flora dan fauna) dan masih relatif cukup terbebas dan aktivitas manusia yang beragam dan kompleks, (6) Ekosistem yang dijadikan sebagai alternatif konservasi bertolak dari ketentuan yang berlaku dan mendapatkan dukungan dari komunitas nelayan yang menjadikan alternatif kawasan konservasi sebagai daerah tangkap (fishing ground), (7) Faktor pendukung penentuan alternatif lokasi sebagai kawasan yang dilindungi berorientasi pada fungsi dan arahan peruntukan lahan yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir, baik dalam skala Provinsi Kalimantan Barat maupun Kabupaten Pontianak. Alternatif ini didasarkan pada kondisi bahwa sampai saat ini ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Dato dan Pulau Setinjang beserta spesies Penyu yang masih seringkali ditemukan nelayan, sesuai dengan kriteria biota dan ekosistem yang layak mendapatkan upaya perlindungan, saat ini dalam kondisi terancam. Apabila tidak dilindungi akan berpotensi untuk mengalami degradasi yang lebih parah dan bahkan kepunahan bagi spesies dimaksud, terutama di wilayah pesisir dan laut Kecamatan Mempawah Hilir dan Sungai Kunyit, Kabupaten Pontianak. 1. Batas walayah penangkapan yang belum terdefinisi. Batas wilayah ini sangat penting terutama untuk mengatasi konflik apabila budaya tangkap semakin maju dan modern, dan agar nelayan bisa mengetahui secara jelas area lokasi penangkapan, serta bisa menjaga perairan secara bersama jika ada kapal penangkap asing yang masuk ke batas wilayah tangkapan. 2. Pada perikanan tunggal atau jamak, nelayan menggunakan jenis alat tangkap yang beragam yaitu gill net nylon dan plastik, bubu/pancing, papayang, pukat cincin, jaring insang, bagan perahu rakit, long line, pancing lain/rawai dan lainnya. Alat tangkap yang digunakan diketiga lokasi studi cenderung sama. 3. Pada perikanan industri atau artisan (buatan), nelayan menggunakan tipe kapal yang beragam berupa kapal motor 0-5 gt, kapal motor lebih 0-5 gt, namun ada nelayan yang menggunakan sampan tanpa mesin. Struktur alat tangkap dihitung dalam satuan ton. Di Kecamatan Sungai Kunyit hasil tangkapan berjumlah 206,2 ton, di Kecamatan Mempawah Hilir hasil tangkapan berjumlah 26.268,65 ton, dan di Kecamatan Mempawah Timur hasil tangkapan berjumlah 1.214 ton. Hasil tangkapan akan menambah nilai ekonomi jika ada industri cool storage dan industri pengalengan ikan. P a g e [ 775 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Sifat industri perikanan berpeluang melalui budi daya tambak, sebab ketiga lokasi studi yaitu Kecamatan Sungai Kunyit luas areal tambak 79 Ha, di Kecamatan Mempawah Hilir areal tambak seluas 194 Ha, dan Kecamatan Mempawah Timur luas areal tambak 86 Ha. Tabel 2. Aspek Teknologi Di Kecamatan Sungai Kunyit, Kecamatan Mempawah Hilir, dan Kecamatan Mempawah Timur Tingkat Teknologi tribut Indikator 1 2 3 1. Tingkat teknologi untuk kapal dan alat 2 tangkap Tingkat 2. Teknologi untuk penanganan, Teknologi pengolahan, dan preservasi (pelestarian) 1 ikan Pola 1. Kegiatan penangkapan ikan bersifat 1 penangkapan musiman ikan yang 2. Penangkapan ikan dilakukan di lokasi 2 menyebar tertentu saja atau 3. Penangkapan ikan dilakukan di perairan 2 terkonsentrasi lepas pantai Dari Tabel 2, dapat dilihat bahwa tingkatan teknologi di Kecamatan Sungai Kunyit, Kecamatan Mempawah Hilir, dan Kecamatan Mempawah Timur adalah sebagai berikut: 1. Tingkat teknologi untuk alat kapal dan alat tangkap tidak memadai. Selama ini atau dalam 7 tahun terakhir nelayan masih menggunakan teknologi lama yaitu perahu bermotor yang kebanyakan belum dilengkapi dengan sonar. Di Kecamatan Sungai Kunyit terdapat 222 kapal motor yang mencakup 73 perahu tempel, 75 kapal motor (0-5 Gt), 76 kapal motor ( > 0-5 Gt). Di Kecamatan Mempawah Hilir terdapat 299 kapal motor yang mencakup 244 perahu tempel, 39 kapal motor (0-5 Gt), 14 kapal motor ( > 0-5 Gt). Di Kecamatan mempawah Timur terdapat 461 kapal motor yang mencakup 176 perahu tempel, 118 kapal motor (0-5 Gt), 167 kapal motor ( > 0-5 Gt). Teknologi untuk penangan ikan lebih mengandalkan ruang pendingin yang diberi es balok. 2. Kegiatan atau pola penangkapan ikan cenderung dilakukan secara musiman yaitu berkisar antara 1- 4 minggu. Penangkapan ikan masih dilakukan di lokasi atau perairan tertentu yaitu di antara pulau-pula, sebab selain tingkat teknologi kapal yang belum memadai juga keterbatasan nelayan dalam batas-batas penangkapan. 3. Pada umumnya nelayan tidak melakukan penangkapan di lepas pantai disebabkan teknologi penangkapan. Keterbatasan pengetahuan dan teknologi ini bisa menjadi sumber potensi kerusakan biota laut.
[ 776 ] P a g e
Model Pengembangan Ekonomi… (Witarsa)
Tabel 3. Aspek Pasar Di Kecamatan Sungai Kunyit, Kecamatan Mempawah Hilir, dan Kecamatan Mempawah Timur Tingkatan Pasar Atribut Indikator 1 2 3 Perikanan Persentase hasil tangkapan yang dijual atau 1 subsistem atau dipasarkan komersial 1. Jumlah pembeli 3 2. Jumlah penjual 3 3. Hubungan antara pembeli dan penjual 3 Struktur pasar 4. Pada segmen pasar tertentu wanita lebih 2 berperan dari pria 5. Dalam hal apa peran wanita 2 Orientasi pasar Ikan atau produk perikanan dijual di pasar lokal, 1 domestik, atau internasional 1. Perkembangan harga ikan 3 2. Hubungan harga ikan antar musim, antar 2 lokasi, dan antar spesies 3. Tinggi atau rendah nilai jual yang diterima 2 Nilai Produk nelayan 4. Nilai tambah ekonomi jika ikan dijual dalam 1 produk alternatif seperti ikan asin, abon, kerupuk, amplang, dll. Dari Tabel 3, dapat dilihat bahwa tingkatan pasar di Kecamatan Sungai Kunyit, Kecamatan Mempawah Hilir, dan Kecamatan Mempawah Timur adalah sebagai berikut : 1. Dari aspek hasil tangkapan 90 persen dijual atau dipasarkan oleh pengumpul melalui agen hingga ke pengecer yang berada di Kuala Mempawah dan sekitarnya. Prosepek pemasaran ikan sangat baik dalam memenuhi permintaan untuk kota Pontianak, dan Sanggau. Bahkan Ikan Merah, ikan Bambangan dan ikan Kerapuh, diekspor hingga ke Malaysia. 2. Jumlah pembeli relatif banyak, hal ini bisa dilihat bahwa 90 persen hasil tangkapan berada di tangan pembeli. Di tingkat lokal sekitar Kabupaten Pontianak ad 4 agen besar dan 59 pengecer. Di Kota Pontianak terdapat 4 agen dan 115 pengecer. Di Kabupaten Sanggau terdapat 3 agen (jumlah pengecer belum diperoleh), dan di Malaysia ada 2 agen yang langsung mendistribusikan ikan ke restoran dan hotel. Sehingga pada musim-musim tertentu bisa kekurangan stock. 3. Jumlah penjual relatif banyak yaitu di Kecamatan Sungai Kunyit terdapat 97 pengusaha/penjual ikan, Kecamatan Mempawah Hilir terdapat 827 pengusaha/ penjual ikan, dan Kecamatan Mempawah Timur terdapat 21 pengusaha/ penjual ikan. 4. Hubungan antara pembeli dan penjual sangat baik di mana hubungan tersebut lebih bermuatan kearifan lokal yaitu saling percaya dan bertanggung jawab atas transaksi perdagangan, dan selama ini tidak ada konflik antara pembeli dan penjual.
P a g e [ 777 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 5. Pada segmen pasar tertentu, perempuan ikut berperan dalam membuat produk komoditi dari ikan yang memberi nilai tambah lain melalui upaya yang telah dilakukan oleh kelompok perempuan pesisir dalam mengelola ikan menjadi produk abon, ikan asin, amplang, bakso, dan kerupuk. Upaya ini memang perlu mendapat bantuan terutama mesin dan sistem pengepakan yang belum memenuhi kriteria pasar. Saat ini oleh Ketua PKK dan Kantor Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Pontianak juga telah dilakukan langkah-langkah pemberdayaan perempuan pesisir, hingga produk pengolahan abon dan hasil olahan ikan lainnya telah banyak dikenal oleh masyarakat luas. 6. Orientasi pasar sudah sangat baik, di mana pemasaran selain untuk memenuhi permintaan di Kabupaten Pontianak, juga di Ibu kota Provinsi Kalimantan Barat, Kabupaten Sanggau, dan Ke Malaysia khusus pemasaran Ikan Merah, ikan Bambangan dan ikan Kerapuh. Tentu saja untuk meningkatkan kualitas hasil tangkapan sangat dibutuhkan alat yang representatif guna menjaga kesegaran ikan. 7. Nilai produk mengindikasikan bahwa perkembangan harga ikan sangat kondusif. Di Kecamatan Sungai Kunyit nilai harga ikan laut tahun 2014 mencapai Rp607.750.000,00, Kecamatan Mempawah Timur nilai harga ikan laut tahun 2014 mencapai Rp12.140.000.000,00. 8. Hubungan harga ikan antar musim, antar lokasi, dan antar spesies tidak terlalu berpengaruh sebab harga ikan terutama ikan kualitas ekspor tidak terpengaruh oleh musim seperti ikan kakap merah pada musim ikan banyak harganya tetap tinggi yaitu antara Rp39.500,00 – Rp47.000,00/Kg. 9. Pada tingkat nelayan harga jual ikan relatif baik yaitu rata-rata 50-75 persen dari harga pasar. Namun rata-rata nelayan sebelum melaut sudah memiliki pinjaman uang dari toko, hingga hasil tangkapan tersisa 10 persen, bahkan sampai pulang pokok. 10. Nilai tambah ekonomi jika ikan dijual dalam produk alternatif seperti ikan asin, abon, kerupuk, amplang, memang menjanjikan atau memiliki prospek baik, terutama produk olahan ikan yang memiliki karakter khas daerah, seperti udang ebi, ikan asin talang, abon, dan lain-lain. Pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa ada 10 kelompok aspek sosial ekonomi pemegang kepentingan sangat pada umumnya tergantung dengan perikanan sebagai sumber utama mencari nafkah. Pemberdayaan masyarakat pesisir khususnya di Kecamatan Mempawah Timur, berpotensi untuk diteruskan dan dikembangkan dengan alasan bahwa adanya keseragaman pemanfaatan sumberdaya, tingginya harapan dan motivasi nelayan untuk tetap mencari ikan sebagai satu-satunya sumber ekonomi dalam meningkatkan pendapatan. Sikap positif dan pro aktif nelayan, baik dalam bekerja sama dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pontianak, maupun terhadap pihak luar. Keberhasilan pengelolaan dengan model co-management ini sangat dipengaruhi oleh kemauan pemerintah untuk mendesentralisasikan tanggung jawab dan wewenang dalam pengelolaan kepada nelayan dan stakeholder lainnya. Oleh karena co-management [ 778 ] P a g e
Model Pengembangan Ekonomi… (Witarsa)
membutuhkan dukungan secara legal maupun finansial seperti formulasi kebijakan yang mendukung ke arah Co-management, mengijinkan dan mendukung nelayan dan masyarakat pesisir untuk mengelola dan melakukan restrukturisasi peran para pelaku pengelolaan perikanan. Tabel 4. Aspek Sosial Ekonomi Pemegang Kepentingan Di Kecamatan Sungai Kunyit, Kecamatan Mempawah Hilir, dan Kecamatan Mempawah Timur Tingkat Sosial Pemegang Atribut Indikator Kepentingan 1 2 3 1. Jumlah kelompok yang memanfaatkan 3 sumberdaya 2. Apa kelompok berbeda menurut agama, 2 Keseragaman kesejahteraan, alat atangkap, daerah asal, Pemanfaatan dan tempat tinggal Sumberdaya 3. Struktur kepemilikan kapal, alat tangkap, 1 dan teknologi Ketergantungan 1. Persentase pendapatan rumah tangga pada Perikanan yang berasal dari perikanan sebagai sumber 2. Sumber mata pencaharian lainnya. nafkah 1. Motivasi nelayan dan pemegang kepentingan lainnya dalam memanfaatkan sumberdaya Motivasi 2. Apakah mereka memanfaatkan sumberdaya untuk tujuan komersial atau peningkatan pendapatan 1. Sikap masyarakat terhadap risiko, inovasi, dan aksi kolektif: kuat, lemah, atau tidak ada perbedaan di antara Sikap terhadap mereka risiko, inovasi, 2. Apa ada perebedaan sikap di antara dan aksi masyarakat. kolektif 3. Adakah mekanisme sosial politik yang mencegah pengambilan risiko, mencegah inovasi, dan mencegah aksi kolektif 4. Jenis aksi kolektif yang dijalankan Tingkat 1. Cara memperoleh informasi sumberdaya informasi dan perikanan pengetahuan 2. Jenis informasi yang tersedia : secara tentang lokal, atau harus diambil dari luar. perikanan dan 3. Pengetahuan ilmiah yang dimanfaatkan pengelolaannya oleh masyarakat.
2 1 3 2 2
2 1 1 1 1 1
Pengelolaan Co-management menggabungkan antara pengelolaan sumberdaya yang sentralistis yang selama ini banyak dilakukan oleh pemerintah (government based P a g e [ 779 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 management) dengan pengelolaan sumberdaya yang berbasis masyarakat (community based management). Hirarki tertinggi berada pada tataran hubungan saling kerjasama (cooperation), baru kemudian pada hubungan consultative dan advisory. Hubungan kerjasama yang dilakukan dapat mencakup kerjasama antar sektor, antar wilayah, serta antar aktor yang terlibat. 1. Kerjasama Lintas Sektor Pada kawasan pesisir, tidak hanya sektor perikanan yang berperan besar. Sektorsektor lainnya pun memiliki peranan besar karena saling terkait untuk dapat memecahkan permasalahan yang ada. Misalnya saja yang berkaitan dengan perekonomian masyarakat pesisir, sektor industri dan jasa menjadi sektor yang memiliki kontribusi besar dalam pengembangan usaha produktif masyarakat. Yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan juga tidak lepas dari peran serta dan keterlibatan sektor industri di mana biasanya limbah industri dibuang ke perairan. Infrastruktur pendukung juga menjadi hal penting untuk dapat mengembangkan wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan. Untuk itu, kerjasama lintas sektor sangat perlu diperhatikan karena masing-masing sektor memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Masing-masing sektor harus saling mendukung. Peran pemerintah daerah dalam hal ini sangat besar agar terjadi sinergi yang baik dalam pengembangan setiap sektor, sehingga tidak ada yang saling merugikan. 2. Kerjasama Antar wilayah Kawasan pesisir pada dasarnya tidak dapat dibatasi secara administratif. Berkaitan dengan hal ini, maka wilayah yang termasuk dalam suatu kawasan (adanya homogenitas baik secara ekologis maupun ekonomis) haruslah saling bekerjasama untuk meminimalisir konflik kepentingan. Kerjasama antar wilayah dapat digalang melalui pembentukan forum kerjasama atau forum komunikasi antar pemerintah daerah yang memiliki kawasan pesisir dan laut untuk mengantisipasi sejak dini timbulnya perkembangan terburuk seperti konflik antar nelayan. Kesepakatan dan penetapan norma-norma kolektif tentang pemanfaatan sumberdaya lokal sesuai dengan semangat otonomi daerah harus disosialisasikan secara luas dan benar kepada masyarakat nelayan agar mereka memiliki cara pandang yang sama. 3. Kerjasama Antar Aktor (stakeholders) Upaya pengurangan kesenjangan sektoral dan daerah jelas memerlukan strategi khusus bagi penanganan secara komprehensif dan berkesinambungan. Untuk itu, diperlukan adanya kebijakan dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah untuk menjembatani persoalan kemiskinan dan kesenjangan sektoral dan daerah tersebut, melalui mekanisme kerjasama antar aktor (stakeholders) yang melibatkan unsur-unsur masyarakat (kelompok nelayan), pihak swasta/pengusaha perikanan (Private Sector), dan pemerintah (Government). Sebagai anak bangsa yang prihatin melihat kondisi yang menjadi potret buram dalam pengelolaan kawasan pesisir dan laut yang belum memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya tersebut, maka diperlukan perhatian yang serius berupa terobosan [ 780 ] P a g e
Model Pengembangan Ekonomi… (Witarsa)
pemikiran bagi upaya percepatan pembangunan dan pengembangan ekonomi lokal yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses dan pelaksanaan pengelolaannya. Upaya penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan sektoral dan daerah tersebut yang berintikan suatu paradigma baru, di mana inisiatif pembangunan daerah tidak lagi digulirkan dari pusat, namun merupakan inisiatif lokal (daerah) untuk memutuskan langkah-langkah yang terbaik dalam mengimplementasikan rencana pengelolaan kawasan dan rencana aksi yang sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas yang dimiliki. SIMPULAN 1. Permasalahan umum yang dijumpai dalam kajian dan pengembangan ekonomi masyarakat pesisir di Kecamatan Sungai Kunyit, Kecamatan Mempawah Hilir, dan Kecamatan Mempawah Timur adalah dari aspek biofisik belum adanya batas wilayah tangkap dan kurangnya peralatan modal; dari aspek teknologi penangkapan belum memadai; dari aspek pasar belum adanya manajemen distribusi, belum adanya armada angkut yang dilengkapi dengan cool storage, dan masih rendah modal usaha; dari aspek sosial ekonomi pemegang kepentingan masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia; kurangnya sarana dan prasarana; adanya kerusakan fisik habitat; kemiskinan penduduk pesisir; kurangnya pemahaman terhadap nilai sumberdaya; dan masalah kelembagaan. Masalah lain dalam pembangunan dan pengembangan wilayah pesisir adalah kurangnya pelibatan masyarakat dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir, sehingga programprogram di wilayah pesisir tidak dapat berjalan secara optimal. 2. Berdasarkan hasil analisis pada wilayah studi bahwa komponen weaknesses menempati urutan teratas dalam program pemberdayaan masyarakat pesisir, kemudian diikuti berturut-turut oleh komponen threats, strength dan opportunities. Hal tersebut menunjukkan bahwa program pemberdayaan masyarakat pesisir mempunyai kelemahan dan tantangan yang besar jika dibandingkan dengan kekuatan dan peluangnya. 3. Faktor-faktor internal yang mempengaruhi pemberdayaan masyarakat pesisir mencakup faktor-faktor kekuatan dan kelemahan. Faktor-faktor kekuatan yang paling utama adalah banyaknya jumlah nelayan dan pembudidaya yang diberdayakan; potensi kelautan dan perikanan, khususnya di Kabupaten Pontianak masih tinggi; potensi lahan budidaya tambak dan laut masih luas; dan banyaknya kearifan lokal yang mendukung pemberdayaan. Sedangkan faktor-faktor kelemahan yang paling utama adalah kualitas SDM masyarakat pesisir masih sangat rendah; sarana dan prasarana perikanan dan kelautan masih rendah; degradasi sumberdaya alam dan lingkungan pesisir dan laut; kurangnya modal dalam usaha perikanan; dan kapasistas kelembagaan masyarakat pesisir masih rendah. 4. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi adalah faktor peluang dan ancaman. Faktor-faktor peluang mencakup adanya perhatian dari pemerintah cukup tinggi; P a g e [ 781 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
5.
6.
1.
2.
peluang pendanaan pemberdayaan masih banyak; dan permintaan produk perikanan dalam dan luar masih tinggi. Sedangkan faktor-faktor ancaman adalah prioritas pembangunan sektor perikanan lebih rendah dari sektor lain; adanya pencemaran limbah industri, pertanian dan rumah tangga; tingginya pencurian ikan; dan adanya tekanan kelembagaan nelayan tradisional seperti juragan/tengkulak. Berdasarkan faktor-faktor internal dan eksternal pada lokasi studi kebijakan pengembangan dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat pesisir sesuai dengan peringkatnya/prioritasnya adalah sebagai berikut: (a) peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir; (b) peningkatan kualitas sumberdaya manusia; dan (3) konservasi dan perlindungan sumberdaya kelautan dan perikanan (SDKP). Prioritas program pemberdayaan masyarakat pesisir sesuai dengan urutannya adalah sebagai berikut: (1) pemberdayaan masyarakat berbasis perikanan tangkap pada wilayah yang sudah terjadi over fishing; (2) pemberdayaan masyarakat berbasis budidaya pada wilayah yang sumberdaya yang lahannya terbatas; (3) pemberdayaan masyarakat pada wilayah yang terjadi degradasi sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan; (4) pemberdayaan masyarakat pada kawasan konservasi dan pariwisata bahari; (5) pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis perikanan tangkap pada wilayah yang sumberdayanya masih melimpah; dan (6) pemberdayaan masyarakat berbasis budidaya pada wilayah yang sumberdayanya masih tinggi. Beberapa saran yang dapat diajukan adalah: Seyogyanya pengelolaan wilayah pesisir perlu mengatasi komponen, pertama: weaknesses dengan cara memperbaiki atau memperbaharui dan menambah peralatan tangkap, pengelolaan manajemen perikanan, memberikan bantuan modal dan pelatihan manajemen keuangan, memberikan pendidikan dan keterampilan nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan, memperbaiki pemukiman nelayan, bantuan akses pasar, dan membentuk kelembagaan ekonomi oleh dan untuk nelayan. Kedua, threats dengan cara memanaj biaya pengelolaan sumber daya, kemampuan akses pasar, penangkapan illegal oleh kapal asing, mengawasi penggunaan jaring cantrang, kelestarisan lingkungan, dan menambah jumlah armada pengawasan. Ketiga, strength yaitu penguatan keinginan masyarakat untuk mandiri dan penguatan kelompok ekonomi masyarakat pesisir produktif, pengelolaan dan pemasaran keberagaman ikan, penguatan keamanan wilayah pesisir. Keempat, opportunities penguatan pada potensi pasar, pertumbuhan tingkat pendapatan, potensi sumber daya kelautan dan pesisir, dan penguatan perkembangan bisnis perikanan yang semakin baik Agar pemberdayaan di wilayah pesisir tetap berkelanjutan, maka pemerintah hendaknya bekerjasama dengan swasta atau BUMN dari sejak mulai dilaksanakan. Kemitraan tersebut mulai dari aspek pendanaan, bantuan teknis, manajemen, dalam bidang penyediaan input, pemasaran produk perikanan, dan pengolahan produk
[ 782 ] P a g e
Model Pengembangan Ekonomi… (Witarsa)
3.
4.
5.
6.
perikanan. Sehingga “proyek” pemberdayaan ini tidak berhenti setelah pemberdayaan dari pemerintah selesai. Prasyarat efektivitas pemberdayaan masyarakat menuntut kepastian substansi sistem hukum yang berlaku. Selain itu juga perlunya kegiatan fasilitasi melalui suatu upaya pendampingan secara bertahap, sesuai dengan tingkat kesiapan atau kematangan masyarakat setempat. Dalam hal ini, pendampingan lebih berorientasi kepada pengembangan keswadayaan dan kemandirian berbasis pada potensi, permasalahan dan kebutuhan masyarakat. Metode yang relatif sesuai dalam hal ini adalah pendekatan yang bersifat partisipatif. Pengembangan melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, seyogyanya dilakukan secara terpadu dalam suatu lokasi, baik antara masyarakat dengan pemerintah melalui pendekatan pengelolaan yang berbasis wilayah. Program pemberdayaan tersebut seharusnya disesuaikan dengan permasalahan dan potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam di wilayah tersebut sehingga permasalahan dalam suatu wilayah dapat diatasi. Program pemberdayaan seyogyanya dilakukan berdasarkan pendekatan wilayah dan hanya pada wilayah-wilayah tertentu saja di mana potensi sumberdaya alamnya masih banyak, jumlah masyarakatnya yang miskin masih banyak dan dilakukan uji coba selama 2 – 3 tahun, kemudian setelah berhasil baru program tersebut disosialisakan pada wilayah-wilayah pesisir lainnya. Pola pemberdayaan masyarakat seyogyanya diserahkan kepada kewenangan daerah, namun daerah juga harus menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan, yang lebih bersifat partisipatif, desentralistik terhadap kemampuan komunitas dan berorientasi pada hasil. Kewenangan Pusat lebih pada supervisi dan perencanaan serta kebijakan makro dan pengembangan prinsip-prinsip pemberdayaan baik secara teknis maupun non teknis yang dapat dijadikan sebagai rambu-rambu yang jelas bagi daerah didalam pemberdayaan masyarakat. Sedangkan daerah perlu mendapat kewenangan serta sepenuhnya bertanggungjawab atas kewenangan itu dengan sistem hukum dengan penegakan sanksi yang jelas.
DAFTAR PUSTAKA A. Muluk, Alains., Seprianti Eka Putri., Prilia Haliawan. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) melalui Model Co-Management Perikanan. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 10, No.2, Desember 2009, h, 172 – 198 Agus, Apun, Budhiman., Hary, Christijanto., Siti., Kamarijah, Ganef, Hari, Budoyo. (2010) Penentuan Insikator Pendekatan Ekosistem Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosyste m Approach To Fisheries Management). Bogor: Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan, WWF-Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.
P a g e [ 783 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Arifin, Rudyanto (2004) Kerangka Kerjasama dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut. Jakarta: Bappenas. Berkes, F., Folke, C. (Eds.), (1998). Linking Social and Ecological Systems, Management Practices and Social Mechanisms for Building Resilience. Cambridge University Press, Cambridge. Berkes, F., Folke. Evolution of co-management: Role of knowledge generation, bridging organizations and social learning. Journal of Environmental Management 90 (2009) 1692–1702 Carlssona, Lars & Berkesb Fikret. Co-management: concepts and methodological implications. Journal of Environmental Management 75 (2005) 65–76 Cundill, Georgina & Christo Fabricius. Monitoring in adaptive co-management: Toward a learning based approach. Journal of Environmental Management 90 (2009) 3205– 3211 Grazia Borrini-Feyerabend., M. Taghi Farvar., Jean Claude Nguinguiri and Vincent Awa Ndangang. (2007). Co-management of Natural Resources Organising, Negotiating and Learning-by-Doing. Heidelberg (Germany) : Reprint 2007 [first publication) Lembaga Survey dan Kajian Kalimantan Barat 2013 Lukman Adam. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan dan Sosial. Jakarta: Peneliti bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik di Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data dan Pelayanan Informasi Setjen DPRRI. 2012, h 7-8 Luky Adrianto & Dede Hartoto (2009) Fundamentals of fisheries co-management in Indonesia. Course book. Rome, Italy : Electronic Publishing Policy and Support Branch Communication Division Nies, Suk. (2000) Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan. Lembaga dministrasi Negara Republik Indonesia. LAN. Jakarta. Putusan Mahkamah Konstitusi No 3/PUU-VIII/2010, h, 164-165 Singleton, S. (1998) Constructing Cooperation: the Evolution of Institutions of Comanagement. University of Michigan Press, Ann Arbor. Suseno. (2007) Menuju Perikanan Berkelanjutan. Cetakan Pertama. Jakarta : Penerbit Pustaka Cidesindo. Sweeden, Paula., Batker Deve., RadtkeHans., Boumans Roelof., Willer Chuck. An Ecological Economics Approach to Understanding Oregon’s Coastal Economy and Environment. Oregan: Coast Range Association.2008, h, 37
[ 784 ] P a g e
Pengaruh Pendidikan Ekonomi… (Dwi Wulandari & Bagus Shandy Narmaditya)
PENGARUH PENDIDIKAN EKONOMI KELUARGA TERHADAP PERILAKU KONSUMSI MAHASISWA Dwi Wulandari & Bagus Shandy Narmaditya Universitas Negeri Malang
[email protected]
Abstrak Fenomena kegiatan konsumsi yang semakin beragam, memerlukan pemikiran dalam menentukan pilihan yang cerdas. Pendidikan ekonomi keluarga melalui pembiasaan, contoh dan penjelasan akan membentuk pola pikir. Pendidikan yang terbentuk di dalam keluarga merupakan fondasi bagi pendidikan selanjutnya. Pemerolehan pengetahuan seseorang bermula dari lingkup individu sebagai peristiwa internalisasi. Pola pikir membentuk pola sikap dan pola tindak sebagai bentuk perilaku dalam mengkonsumsi. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pendidikan ekonomi keluarga dengan perilaku konsumsi di Fakultas Ekonomi. Hasil menunjukkan bahwa pendidikan ekonomi keluarga memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku konsumsi Kata kunci: perilaku konsumsi, pendidikan ekonomi keluarga
PENDAHULUAN Di akhir 2015 Indonesia akan menghadapi persaingan yang tinggi dalam arus masuk barang jasa maupun faktor produksi. Hal ini disebabkan mulai diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Implikasi dari hal ini adalah semakin beragamnya barang dan jasa yang masuk ke Indonesia dengan tanpa adanya pembatasan perdagangan dan hal ini menyebabkan pilihan yang semakin beragam kepada konsumen. Meskipun hal ini juga membuka pangsa pasar bagi Indonesia, tetapi dengan karakteristik bangsa kita yang cenderung konsumtif dan tidak produktif, maka ini akan mempengaruhi perilaku konsumsi terutama di kalangan generasi muda yang masih mudah tergiur oleh beragamnya barang dan jasa dan membeli tidak didasarkan kebutuhan melainkan karena keinginan. Tinjauan mengenai perilaku konsumsi, dipengaruhi faktor intern antara lain motivasi, sikap hidup, pendapatan sedangkan faktor eksternal dipengaruhi lingkungan sosial ekonomi, besar kecilnya keluarga, kebudayaan, tinggi rendah pendidikan dan harga. Selain itu pemahaman konsumsi dapat dilihat dari perilaku konsumen dalam membeli dipengaruhi beberapa faktor antara lain; faktor budaya, sosial, pribadi dan psikologis. Faktor pribadi meliputi umur dan tahapan siklus, pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup, keyakinan, dan sikap. Gaya hidup didefinisikan sebagai pola di mana orang hidup dan menghabiskan waktu serta uang mereka (Engel dkk, 1994; Kotler, 2002; Setiadi, 2008). Perilaku konsumsi yang terjadi di kalangan remaja dipengaruhi oleh pendidikan di keluarga. Keluarga melalui pembiasaan, keteladanan dan penjelasan akan membentuk sebuah pola pikir. Dengan pola pikir yang baik akan membentuk sebuah pola sikap dan pola tindak yang diwujudkan dalam perilaku (Siswoyo, 2005). Pendidikan yang diberikan orang tua memberikan dasar bagi pengetahuan anak. Orang tua mempunyai tugas P a g e [ 785 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 sebagai pendidik, sebagai tempat belajar seseorang paling dini sehingga pendidikan di keluarga merupakan wadah yang paling mendasar dalam membentuk sikap dan nilainilai baik itu dimulai dari kegiatan ekonomi yang paling kecil. Pola sikap, perilaku, dan nilai-nilai yang ditanamkan orang tua pada anak merupakan landasan bagi perkembangan tingkah laku anak selanjutnya. METODE Secara umum penelitian ini termasuk penelitian kuantatif. Rancangan penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian asosiatif kausalitas. Digolongkan asosiatif karena penelitian ini untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antar variabel yang diteliti. Dikategorikan kausalitas, karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah variabel yang diamati mempunyai hubungan sebab akibat tertentu yang diduga secara teoretis. Penelitian ini dilakukan dengan cara menjelaskan gejala yang timbul oleh suatu objek penelitian. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini ada 4, yaitu Pendidikan Ekonomi Keluarga (X), Perilaku Konsumsi (Y). Sedangkan teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis regresi Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang. Teknik pengambilan sampel adalah proportional random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan metode kuesioner dan tes. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan mayoritas mahasiswa FE UM memiliki perilaku konsumsi yang termasuk dalam kategori rasional yaitu sebanyak 41%, namun masih terdapat perilaku konsumsi yang cukup rasional sebanyak 54% di mana ini dapat mengindikasikan perilaku yang tidak rasional dan ke arah perilaku yang konsumtif. Namun demikian, hasil lain sebanyak 4% memiliki perilaku konsumsi yang sangat rasional. Penjelasan lain tentang tingkat pendidikan ekonomi keluarga mahasiswa FE UM cenderung baik yaitu sebanyak 67% dan cukup baik sebesar 25%. Hanya sebagian kecil yang memperoleh pendidikan ekonomi di keluarga yang sangat kurang yaitu sebesar 8%. Pendidikan di dalam keluarga menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional adalah termasuk jalur informal. Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Bentuk dari pendidikan ekonomi keluarga meliputi pembiasaan, keteladanan, dan penjelasan pada setiap aktivitas ekonomi. Pendidikan ekonomi di lingkungan keluarga lebih bersifat pembiasaan, maka prosesnya lebih banyak menuntut keteladanan dan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari (Wahyono, 2001). Dengan pembiasaan, keteladanan, dan penjelasan akan membentuk pola sikap dan pola tindak sebagai wujud dari perilaku dalam hal berkonsumsi (Siswoyo, 2005). Pembiasaan, keteladanan, dan penjelasan berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa pendidikan ekonomi keluarga yang mampu diserap mahasiswa tergolong dalam [ 786 ] P a g e
Pengaruh Pendidikan Ekonomi… (Dwi Wulandari & Bagus Shandy Narmaditya)
kategori baik sebanyak 93%. Dari ketiga indikator di atas, variabel pembiasaan menyumbangkan average tertinggi. Dengan pendidikan ekonomi keluarga yang bersifat informal tersebut tentu berpengaruh terhadap pola pikir ekonominya. Sebagai contoh pemberian uang saku yang tidak berlebih akan membuat anak lebih selektif dalam menggunakan uangnya. Pembiasaan membeli barang yang sesuai kebutuhan kepada anak akan mewujudkan pola pikir yang baik. dengan pola pikir yang baik akan berpengaruh terhadap pola tindak dalam berkonsumsi. Selain itu peran dan fungsi keluarga erat kaitannya dengan sosialisasi anak sebagai konsumen. Sosialisasi yang diberikan kepada anak sebagai konsumen diartikan sebagai proses di mana seorang anak memperoleh pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang relevan dengan fungsinya sebagai konsumen di pasar. Proses sosialisasi tersebut juga diartikan sebagai proses bagaimana seorang anak memperoleh pengetahuan tentang barang dan jasa serta pengetahuan konsumsi, pencarian informasi dan ketrampilan untuk menawar barang dan jasa (Schiffman & Kanuk, 2008). Di sisi lain perilaku konsumsi diindikasikan dari pola pemenuhan kebutuhan, strategi dalam berkonsumsi dan motif perilaku konsumsi. Berdasarkan analisis, perilaku konsumsi yang dimiliki mahasiswa Ekonomi Pembangunan FE UM tergolong dalam kategori rasional dari keseluruhan. Dari ketiga indikator di atas, indikator pola pemenuhan kebutuhan memperoleh nilai tertinggi. Dengan demikian, pola sikap yang positif ini akan berlanjut pada pola tindak yang positif pula. Dengan penanaman nilai-nilai dalam keluarga yang baik maka akan terbentuk perilaku konsumsi yang rasional pula. Berdasarkan uraian di atas maka telah terbukti secara signifikan pendidikan ekonomi keluarga berpengaruh terhadap perilaku konsumsinya. Dengan demikian untuk meningkatkan perilaku konsumsi mahasiswa dapat dilakukan dengan meningkatkan pendidikan ekonomi keluarga dengan memperhatikan variabel pembiasaan karena variabel tersebut memberikan sumbangan yang tertinggi. SIMPULAN Bertolak dari temuan dan pembahasan, hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pendidikan ekonomi keluarga berpengaruh terhadap perilaku konsumsi mahasiswa Fakultas Ekonomi. Peran dan fungsi keluarga erat kaitannya dengan sosialisasi anak sebagai konsumen. Sosialisasi yang diberikan kepada anak sebagai konsumen diartikan sebagai proses di mana seorang anak memperoleh pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang relevan dengan fungsinya sebagai konsumen di pasar. Proses sosialisasi tersebut juga diartikan sebagai proses bagaimana seorang anak memperoleh pengetahuan tentang barang dan jasa serta pengetahuan konsumsi, pencarian informasi dan ketrampilan untuk menawar barang dan jasa. Dengan penanaman nilai-nilai dalam keluarga yang baik maka akan terbentuk perilaku konsumsi yang rasional pula.
P a g e [ 787 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 DAFTAR PUSTAKA Engel, J.F., Blackwell, Roger D., Miniard, Paul W. 1994. Perilaku konsumen (jilid 1) (terj. F.X. Budiyanto). Jakarta: Binarupa Aksara. Kotler, P. Manajemen Pemasaran edisi millennium. Alih bahasa hendra Teguh dkk.2002. Jakarta: PT Prenhallindo. Santrock, J.W. 2007. Remaja, edisi kesebelas. Jakarta: Penerbit Erlangga Schiffman, L & Kanuk L. 2008. Perilaku Konsumen. Jakarta: PT Indeks Setiadi, J.N. 2008. Perilaku Konsumen: Konsep dan Implikasi untuk Strategi dan Penelitian Pemasaran. Jakarta: Kencana. Siswoyo, 2005. Ideologi Perkoperasian Indonesia. Seminar Regional jawa timur di Unmer Malang. Siswoyo, B.B. 2005. Perilaku Organisa- sional Anggota Koperasi dan Pengaruh nya terhadap Partisipasi Anggota serta manfaat yang diperoleh Anggota Koperasi. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: PPS Universitas Brawijaya Malang Suryani, T. 2008. Perilaku Konsumen; implikasi pada strategi pemasaran. Yogyakarta: graha ilmu Wahyono, H. 2001. Pengaruh Perilaku Ekonomi Kepala Keluarga Terhadap Intensitas Pendidikan Ekonomi di Lingkungan Keluarga. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: PPS UM. Walstad, W. 1998. Why it's Important to Understand Economics. Journal, (online)http://www.minneapolisfed.org/ diakses 17 Pebruari 2015
[ 788 ] P a g e
Analisis Perkembangan Perubahan… (Fachruddiansyah Muslim)
ANALISIS PERKEMBANGAN PERUBAHAN BUDAYA MASYARAKAT KOTA JAMBI DAN PENGEMBANGAN POLA PEREKONOMIAN MASYARAKAT BERBASIS EKONOMI KREATIF Fachruddiansyah Muslim
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi
[email protected]
Abstrak Terjadinya asimilasi antara kebudayaan tua di provinsi Jambi dengan hadirnya kebudayaan baru menjadikan pergeseran nilai-nilai kebudayaan itu sendiri. Mata pencaharian masyarakat Jambi adalah bertani, berjualan, panen getah dan melaut. Melalui kebijakan pemerintah pusat pengembangan ekonomi kreatif dapat diterapkan dan berdampingan dengan nilai-nilai budaya, yang mana masyarakat kota Jambi memiliki banyak potensi budaya yang dapat dikembangkan, potensi ini harus bersentuhan dengan industri kreatif, dalam rangka mempertahankan kebudayaan ekonomi masyarakat dari isu ekonomi global yang telah merambah di berbagai level kehidupan. Pengembangan ekonomi maju dan kuat harus disertakan dengan ide kreatif dalam segala bentuk pengembangan nilai-nilai kebudayaan, mengingat kreativitas manusia mampu menciptakan budaya, dan dengan kreativitas pula manusia mampu mempertahankan kebudayaannya. Dan salah satu bentuk kebudayaan yang kuat harus disertai dengan lahirnya ekonomi kreatif yang berbasis pada kebudayaan, dan kebudayaan yang kuat mampu berdampingan dengan kebudayaan lain dalam kurun waktu yang lama. Kata kunci: Perubahan budaya, ekonomi kreatif
PENDAHULUAN Provinsi Jambi memiliki luas wilayah 50.058,16 km2 dengan jumlah penduduk 3.406.178 jiwa, dengan memiliki banyak suku yang mendiaminya, di antaranya adalah suku kerinci, suku kubu, suku batin, suku Melayu, dan beberapa suku minoritas lainnya. Suku-suku tersebut menyebar di 9 kabupaten, 2 kota, 138 kecamatan, 163 kelurahan, dan 1.398 desa, yang umumnya mendiami di wilayah pinggiran sungai batang hari sebagai pusat perekonomian dari masa lalu hingga masa sekarang (menurut sumber Permendagri Nomor 39 Tahun 2015). Jauh sebelum abad masehi etnis Melayu setelah mengembangkan suatu corak kebudayaan Melayu pra-sejarah di wilayah pegunungan dan dataran tinggi. Masyarakat pendukung kebudayaan Melayu pra-sejarah adalah suku Kerinci dan suku Batin. Orang Kerinci diperkirakan telah menepati caldera danau Kerinci sekitar tahun 10.000 SM sampai tahun 2000 SM. Suku Kerinci dan termasuk juga suku Batin adalah suku tertua di Sumatera. Mereka telah mengembangkan kebudayaan batu seperti kebudayaan Neolitikum. Kehadiran agama Budha sekitar abad 4 M telah mendorong lahir dan berkembang suatu corak kebudayaan Buddhis. Kebudayaan ini diidentifikasikan sebagai corak kebudayaan Melayu kuno. Masyarakat pendukung kebudayaan Melayu Buddhis yang P a g e [ 789 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 masih ada di Jambi adalah suku anak dalam (kubu). Namun peninggalan momental kebudayaan Melayu Buddishis adalah bangunan candi-candi yang tersebar di kawasan daerah aliran Sungai Batanghari, salah satu di antaranya ialah situs candi muara Jambi. Pada masa kebudayaan Buddhis sedang mengalami kemunduran sekitar abad 11-14 M, maka bersamaan waktunya di daerah Jambi mulai berkembang suatu corak kebudayaan Islam. Kehadiran Islam diperkirakan pada abad 7 M dan sekitar abad 11 M Islam mulai menyebar ke seluruh lapisan masyarakat pedalaman Jambi. Dalam penyebaran Islam ini maka pulau berhala di pandang sebagai pulau yang sangat penting dalam sejarah Islam di Jambi. Karena sejarah mencatat bahwa dari pulau berhala itulah agama Islam disebarkan keseluruh pelosok daerah Jambi. Kehadiran Islam ini membawa perubahan mendasar bagi kehidupan sosial masyarakat Melayu Jambi. Agama Islam pelan-pelan tapi pasti, mulai mengeser kebudayaan Melayu buddhis sampai berkembangnya corak kebudayaan Melayu Islam. Kebudayaan daerah tidak lain adalah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat lokal sebagai pendukungnya. Sedangkan yang dimaksud dengan kebudayaan Melayu jambi adalah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah etnis Melayu Jambi. Terjadinya asimilasi antara kebudayaan tua di provinsi Jambi dengan hadirnya kebudayaan baru menjadikan pergeseran nilai-nilai kebudayaan itu sendiri, yang mana setiap kebudayaan itu bersifat dinamis akan perubahan, bahkan mungkin hilang sama sekali. Penyebabnya adalah perkembangan kebudayaan, pengaruh budaya luar, kurangnya kesadaran masyarakat, dan lemahnya jiwa kebudayaan para remaja sebagai generasi penerus nilai-nilai kebudayaan yang telah terjadi di Provinsi Jambi dari masa ke masa. Menurut Arnold J. Toynbee, terdapat 3 aspek penyebaran budaya yaitu; (1) Kekuatan untuk menembus suatu kebudayaan berbanding terbalik dengan nilainya, misalnya masuknya nilai-nilai religius dalam pengaruh pola kebudayaan yang berada di masyarakat, (2) Jika suatu unsur budaya masuk maka akan menarik unsur budaya lainnya, (3) Unsur budaya di tanah asalnya tidak berbahaya, bisa menjadi berbahaya bagi masyarakat lainnya yang didatanginya, misalnya peralihan masyarakat Melayu kuno Jambi yang menganut Budhisme justru melarikan diri ke hulu sungai Batanghari, akibat masuknya nilai-nilai ajaran Islam, hal ini terjadi karena masyarakat Melayu kuno terus mempertahankan kebudayaannya dan mempertahankan nilai-nilai sebagai suatu adab dan kepercayaan yang telah lahir secara turun temurun. Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat Jambi dewasa ini merupakan gejala yang normal. Pengaruhnya bisa menjalar dengan cepat ke bagian-bagian seluruh lapisan masyarakat, hal ini diakibatkan arus modernisasi melalui media komunikasi modern yang sangat baik. Dengan basis teknologi, komunikasi mampu menjelajah kejadian di suatu tempat, dan dengan cepat dapat diketahui oleh masyarakat lain yang berada jauh dari tempat tersebut.
[ 790 ] P a g e
Analisis Perkembangan Perubahan… (Fachruddiansyah Muslim)
Para sosiologi pernah mengadakan klasifikasi antara masyarakat-masyarakat statis dan dinamis. Masyarakat yang statis adalah masyarakat yang sedikit sekali mengalami perubahan dan berjalan lambat. Masyarakat yang dinamis adalah masyarakat yang mengalami berbagai perubahan dengan cepat. Jadi setiap masyarakat, pada suatu masa dapat dianggap sebagai masyarakat yang statis. Sedangkan pada masyarakat yang lainnya, dianggap sebagai masyarakat yang dinamis. Perubahan-perubahan bukanlah semata-mata berarti suatu kemajuan (progress) namun dapat pula berarti kemunduran dari bidang-bidang kehidupan tertentu. Menurut Gillin perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Secara singkat Samuel Koening mengatakan bahwa perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Dengan demikian, secara umum dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial adalah perubahan unsur-unsur sosial dalam masyarakat, sehingga terbentuk tata kehidupan sosial yang baru dalam masyarakat. Perubahan dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku, organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, dan lain sebagainya, hingga membawa pengaruh pada perubahan budaya di mana perubahan unsur-unsur kebudayaan karena perubahan pola pikir masyarakat sebagai pendukung kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan yang berubah adalah sistem kepercayaan/religi, system mata pencaharian hidup, sistem kemasyarakatan, sistem peralatan hidup dan teknologi, bahasa, kesenian, serta ilmu pengetahuan. Oleh karena itu tulisan ini dibuat, untuk memberikan informasi terhadap perubahan atas kebudayaan hingga mengalami perkembangannya, dan diberi judul “Analisis Perkembangan Perubahan Budaya Masyarakat Kota Jambi dan Pengembangan Pola Perekonomian Masyarakat Berbasis Ekonomi Kreatif”. Tujuan Penulisan ini adalah memberikan gambaran mengenai Analisis Perkembangan Perubahan Budaya Masyarakat Kota Jambi dan Pengembangan Pola Perekonomian Masyarakat Berbasis Ekonomi Kreatif. PEMBAHASAN Pola Pemukiman Dan Tata Ruang Melayu Jambi Kota Jambi alias kota istana terbentuk semenjak hadirnya kerajaan Melayu Jambi pada abad ke-18, di pinggiran Sungai Batanghari. Kota Jambi pun dikenal sebagai kota sungai (riverfront city), yang memiliki keunikan tersendiri. Keunikan tersebut timbul karena keberadaan Sungai Batanghari yang membelah kota Jambi menjadi dua bagian kota, yaitu: kota yang berkembang dan daerah seberang yang merupakan kantung (enclave) orang Melayu Jambi.
P a g e [ 791 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Kondisi tersebut menjadikan Kota Jambi seperti dua sisi mata koin; antara perkembangan peradaban dan pelestarian budaya lokal dengan sungai Batanghari sebagai batasnya. Hal ini terjadi karena Kota Jambi dibentuk oleh kebudayaan material dan spiritual dari berbagai etnik, strata sosial, ekonomi dan sistem pemerintahan pada masa lalu, yang dapat kita lihat pada bentuk-bentuk bangunan dengan suasana, rona, serta tata ruang pemukiman yang menyesuaikan dengan lingkungan pinggiran sungai. Keberadaan masyarakat asli Melayu Jambi di daerah seberang kota Jambi seperti suatu kantung tersendiri, karena kondisinya yang berawa-rawa sehingga tidak perlu untuk dikembangkan menjadi kota. Infrastruktur juga tidak perlu dikembangkan. Di satu sisi menjadi tidak berkembang namun di sisi lain justru merupakan wilayah yang masih terjaga keasliannya. Telah dibangunnya jembatan Genta Arrsy sebagai penghubung makin membawa pengaruh yang kuat pada ketahanan keaslian orang Melayu Jambi di wilayah seberang. Karena kondisi di atas, kemudian pola tata ruang pada kawasan Jambi menjadi terbagi tiga, yaitu pola mengelompok, pola menyebar, dan pola memanjang. Dengan pola tata ruang permukiman yang terbentuk terbagi menjadi dua, yaitu pola lahan permukiman pinggiran sungai membentuk pola linier dan pola lahan permukiman pada kawasan darat berbentuk grid yang orientasi permukimannya cenderung mengarah pada jalan lingkungan. Masa dan bentuk bangunan terbagi dua yaitu pola linier yang dibentuk oleh susunan permukiman yang berkembang di pinggiran sungai Batanghari bagi masyarakat Melayu Jambi, sedangkan pola grid dibentuk oleh pengaturan deret bangunan permukiman dan pertemuan jalur-jalur sirkulasi pada kawasan darat. Seluruh kampung di daerah seberang merupakan daerah rawa sehingga bentuk rumah penduduknya berupa rumah panggung dibuat dari bahan kayu, walaupun saat ini ada beberapa yang sudah berubah dengan menggunakan bahan baku permanen: batu merah, batako, dll. Dengan konstruksi tanah yang cenderung rawa, maka pola tata ruang permukiman Melayu Jambi terbentuk dengan adanya jalan sungai, pohon-pohon, bambu, atau pohon kelapa, dan jalan darat sebagai batas. Lapangan dan masjid sebagai tempat berkumpul masyarakat biasanya terdapat pada pusat desa. Keberadaan sungai Batanghari selain menjadi batas kebudayaan, bagi masyarakat Melayu Jambi, menjadi sandaran sarana transportasi yang efektif guna menyokong aktivitas perekonomian mereka. Rata-rata aktivitas perekonomian Mayarakat Melayu Jambi bergerak di bidang, pertanian, perikanan, kerajinan, berdagang, dll. Setiap daerah di kota Jambi memiliki potensi dan kearifan lokal tersendiri dalam pengolahannya. Meskipun demikian tidak ada istilah pembangunan tidak merata yang sampai pada titik ekstrem, karena kondisi ekonomi masyarakat Jambi secara keseluruhan di dukung oleh sektor yang berbeda namun memiliki potensi yang sama kuat. Dan perbedaan konstruksi, tata ruang dan infra struktur di Jambi bukanlah karena adanya diskriminasi pembangunan, melainkan karena sikap dan pemahaman masyarakat Melayu Jambi yang kuat memegang adat dan budaya nenek moyangnya.
[ 792 ] P a g e
Analisis Perkembangan Perubahan… (Fachruddiansyah Muslim)
Untuk generasi berikutnya, sebaiknya harus melihat dan belajar dari masyarakat Melayu Jambi dalam mengatur tata ruang dan bentuk bangunannya, yang mana sampai saat ini masih dipertahankan meskipun perkembangan budaya di sebrang sungai Batanghari (kota Jambi) secara perlahan berinovasi mengikuti perkembangan zaman. Hal ini karena masyarakat Melayu Jambi memang telah mempertimbangkan dan arif menyikapi kondisi alam dan lingkungan sosial budayanya. Berdasarkan Cerita Rakyat Jambi, nama Jambi berasal dari perkataan "jambe" yang berarti "pinang". Nama ini ada hubungannya dengan sebuah legenda yang hidup dalam masyarakat, yaitu legenda mengenai Raja Putri Selaras Pinang Masak, yang ada kaitannya dengan asal-usul provinsi Jambi. Pengaruh Kebudayaan Mayarakat Kota Jambi Terhadap Perekonomian Mata pencaharian masyarakat Jambi adalah bertani, berjualan, panen getah dan melaut (istilah dalam bahasa Jambi mencari ikan di Sungai Batanghari). Di Jambi sendiri kebanyakan daerahnya adalah berupa hutan. Sehingga mata pencaharian mereka di dominasi oleh para petani. Dalam hal bertani, sama seperti kota-kota lainnya yang terletak di daratan rendah, adalah bertanam padi pada lahan kosong. Sedangkan dalam hal melaut, mencari ikan di sungai merupakan mata pencaharian tambahan, begitu juga mencari dalam hal mencari hasil hutan. Usaha-usaha tambahan ini biasanya dilakukan sambil menunggu panen atau menunggu musim tanam berikutnya. Karena di Jambi sendiri juga dihuni oleh masyarakat keturunan TiongHua, maka di zaman sekarang ini banyak pula warga masyarakat keturunan Cina di Jambi yang mencari pendapatan melalui proses berdagang. Ada yang berdagang emas, berdagang sembako dan ada pula yang berdagang bahanbahan material. Orang Jambi tradisional menamai tempat mereka bertani di antaranya adalah; 1. Sawah, Terdapat 3 model sawah, berupa (1) sawah payau, adalah sawah yang dibuat di atas sebidang tanah yang secara alamiah telah mendapat air dari suatu sumber air, atau tanahnya sendiri telah mengandung air; (2) sawah tadah hujan, adalah sebidang tanah kering yang diolah dengan mengunakan cangkul atau bajak yang diberi galangan atau pematang sedangkan pengairannya sangat tergantung pada hujan; dan (3) sawah irigasi, adalah sejenis tanah yang digarap dengan sistem irigasi, tanah ini diolah dengan cara memakai sumber air dari mata air atau sungai. 2. Ladang Terdapat 2 macam ladang, berupa (1) umo renah, adalah ladang yang cukup luas yang terbentang pada sebidang tanah yang subur dan rata. Tanah tersebut terdapat di pingir-pingir sungai dan di lereng-lereng bukit yang mendatar; dan (2) umo talang, adalah ladang yang dibuat orang di dalam hutan belukar yang letaknya jauh dari pedesaan, dan biasanya pada umo talang orang akan membuat pondok yang biasa digunakan untuk menunggu panen tiba. P a g e [ 793 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Ternyata dalam mereka melakukan hal dalam mata pencaharian ada memiliki adat istiadat yang digunakan, contoh dalam anak undang nan dua belas terdapat ayat yang menyatakan seperti ini, “umo berkandang siang, ternak berkandang malam”. Yang memiliki arti adalah para petani harus menjaga sawah atau tanamannya pada siang hari, bagi yang punya kerbau mengurung pada malam hari. Dan apabila tanaman padi petani dimakan atau dirusak pada siang hari maka pemilik ternak tidak dapat diminta ganti rugi, namun bila tanamannya dirusak pada malam hari maka pemilik ternak dapat dimintai ganti rugi. Selain aktivitas utamanya di sawah dan di ladang masyarakat Jambi juga memiliki keterampilan lain dalam bentuk kerajinan tangan di antaranya: 1. Anyaman, yang berkembang dalam bentuk aneka ragam. Kerajinan anyaman di buat dari daun pandan, daun rasau, rumput laut, batang rumput resam, rotan, daun kelapa, daun nipah, dan daun rumbia. Hasil anyaman ini bermacam–macam, mulai dari bakul, sumpit, ambung, tikar, kajang, atap, ketupat, tudung saji, tudung kepala dan alat penangkap ikan yang disebut Sempirai, Pangilo, lukah dan sebagainya. 2. Tenun dan batik bermotif flora, dahulu batik Jambi hanya dipakai sebagai pakaian adat bagi kaum bangsawan/raja Melayu Jambi. Hal ini berawal pada tahun 1875, Haji Muhibat beserta keluarga datang dari Jawa Tengah untuk menetap di Jambi dan memperkenalkan pengolahan batik. Motif batik yang diterapkan pada waktu itu berupa motif-motif ragam hias seperti terlihat pada ukiran rumah adat Jambi dan pada pakaian pengantin, motif ini masih dalam jumlah yang terbatas. Penggunaan motif batik Jambi, pada dasarnya sejak dahulu tidak dikaitkan dengan pembagian kasta menurut adat, namun sebagai produk yang masih eksklusif pemakaiannya dan masih terbatas di lingkungan istana. Dengan berkembangnya waktu, motif yang dipakai oleh para raja dan keluarganya saat ini tidak dilarang digunakan oleh rakyat biasa. Keadaan ini menambah pesatnya permintaan akan kain batik sehingga berkembanglah industri kecil rumah tangga yang mengelola batik secara sederhana. Perkembangan batik sempat terputus beberapa tahun, dan pertengahan tahun 70an ditemukan beberapa lembar batik kuno yang dimiliki oleh salah seorang pengusaha wanita “Ibu Ratu Mas Hadijah” dan dari sanalah batik Jambi mulai digalakkan kembali pengembangannya. Salah seorang ibu yang turut juga membantu perkembangan pembatikan di Jambi adalah Ibu Zainab dan Ibu Asmah yang mempunyai keterampilan membatik di Seberang Kota. Pada mulanya pewarnaan batik Jambi masih menggunakan bahan-bahan alami dari tumbuh-tumbuhan yang terdapat di dalam hutan daerah Jambi, seperti kayu Sepang menghasilkan warna kuning kemerahan, kayu Ramelang menghasilkan warna merah kecokelatan, kayu Lambato menghasilkan warna kuning, dan kayu Nilo menghasilkan warna biru. Warna-warna tersebut merupakan warna tradisional batik Jambi, yang mempunyai daya pesona khas yang berbeda dari pewarna kimia. 3. Ukir kayu betung, Merupakan kerajinan ukir kayu yang terdapat di Desa Betung. Kabupaten Batanghari. Para perajin memanfaatkan produk kayu hutan yang banyak [ 794 ] P a g e
Analisis Perkembangan Perubahan… (Fachruddiansyah Muslim)
terdapat di Jambi. Jenis kayu yang banyak dipakai sebagai bahan baku adalah rengas, meranti dan jelutung. Sebagian besar produknya untuk perabot rumah tangga seperti meja, kursi dan tempat tidur. Industri Kreatif Solusi Mempertahankan Kebudayaan Lokal Pemerintah Indonesia mulai mengembangkan industri kreatif melalui kebijakannya berupa Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2009 tentang Ekonomi Kreatif, kebijakan ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka menggerakkan dan menstimulus industri kecil melalui kebijakan industri kreatif, selanjutnya dengan terdapat perubahan kebijakan atas Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang ditandai dengan diterbitkannya Perpres No. 92 Tahun 2011, semakin memberi ruang kepada industri kecil untuk mengembangkan industri kreatif. Menurut Jhon Howkins (2001) dalam makalah Usman, mendefinisikan ekonomi kreatif sebagai ekonomi yang menjadikan kreativitas, budaya, warisan budaya, dan lingkungan sebagai tumpuan masa depan, mengingat manusia senantiasa hidup dalam kreasi untuk mencipta melalui pengembangan ide-ide kreatif hingga melahirkan suatu mekanisme budaya yang hadir dalam kelompok manusia yang memiliki ide-ide, pandangan ini tidak terlepas dari indikator penciptaan kebudayaan. Hal ini senada dengan pandangan Geertz (2010) yang mengungkapkan bahwa kebudayaan sebagai sekumpulan ide dalam proses kreatif dari akal budi yang diwariskan kemudian mewarnai kehidupan sebuah kemasyarakatan, yang mana kebudayaan akan menciptakan tata kehidupan manusia, dan manusia akan membentuk suatu inovasi kebudayaan yang membentuknya untuk melahirkan kebudayaan yang lebih bermartabat. Manusia yang hidup dan bergerak akan menciptakan kebudayaannya sendiri melalui pengembangan ide-ide yang kreatif dan dapat di terima oleh manusia lain sehingga membentuk suatu komunitas yang sering disebut dengan masyarakat, selanjutnya akan melahirkan nilai dan mewujudkannya dalam berbagai bentuk. Dan puncaknya dari ide tersebut akan membentuk karakteristik yang dituangkan dalam berbagai wujud baik yang konkret maupun yang abstrak. Dengan kreativitas manusia mampu menciptakan budaya, dan dengan kreativitas pula manusia mampu mempertahankan kebudayaannya, kedua hal ini akan membentuk suatu nilai ekonomis yang mampu mengembangkan budaya warisan lokal yang melekat pada dirinya. Dan bila pengembangan nilai ekonomi tersebut dikembangkan melalui industri kreatif dengan berbasis pada kebudayaan lokal maka akan menjadi suatu kekuatan yang mengakar dan secara turun temurun basis ekonomi akan menjadi semakin kuat dan kebudayaan akan bertahan meskipun harus berdampingan dengan kebudayaan lain. Masyarakat kota Jambi memiliki banyak potensi budaya yang dapat dikembangkan, potensi ini harus bersentuhan dengan industri kreatif, yang mana isu ekonomi global telah merambah di berbagai level kehidupan masyarakat, yang tentunya perlu diperhatikan secara serius, jika tidak secara perlahan kebudayaan asli akan P a g e [ 795 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 mengalami pergeseran secara perlahan, maka akan menyebabkan kehilangan nilai-nilai dasar yang dimiliki, dan tidak terdapat lagi pengontrolan terhadap pola pikir masyarakat dan melumpuhkan dari bentuk-bentuk kreativitas itu sendiri. SIMPULAN Kota Jambi dibentuk oleh kebudayaan material dan spiritual dari berbagai etnik, strata sosial, ekonomi dan sistem pemerintahan pada masa lalu, yang dapat kita lihat pada bentuk-bentuk bangunan dengan suasana, rona, serta tata ruang pemukiman yang menyesuaikan dengan lingkungan pinggiran sungai, sentuhan kebudayaan telah mampu membentuk pola nilai yang dituangkan dalam aktivitas ekonomi. Pengembangan ekonomi maju dan kuat harus disertakan dengan ide kreatif dalam segala bentuk pengembangan nilai-nilai kebudayaan, mengingat kreativitas manusia mampu menciptakan budaya, dan dengan kreativitas pula manusia mampu mempertahankan kebudayaannya. Dan salah satu bentuk kebudayaan yang kuat harus disertai dengan lahirnya ekonomi kreatif yang berbasis pada kebudayaan, dan kebudayaan yang kuat mampu berdampingan dengan kebudayaan lain dalam kurun waktu yang lama. DAFTAR PUSTAKA Buku Sejarah Kota Jambi Pada Masa Lampau, Masa Sekarang, Dan Yang Akan Datang; diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Tk II Kotamadya Jambi, Dan Lembaga Adata Tanah Pilih Kotamadya Jambi; Tahun 1992. Clifford Geerzt, 2010. Biographical Memories. Proccedings of the American Philoshopical Society. Vol. 145, No 1. Internet; http://wennyastaria.blogspot.com/2009/04/kebudayaan-jambi.html; diakses tanggal 7 April 2015. Internet; www.wahanabudayaindonesia.com; diakses tanggal 7 April 2015. Rianse Usman, dkk, 2013; Peran Pemerintah dan Perguruan Tinggi Dalam Pengembangan Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya Lokal; Makalah Seminar Nasional. Somad, Arsyad. 2003; Mengenal Adat Jambi Dalam Perspektif Modern; Dinas Pendidikan Provinsi Jambi. Susanto. S., Astrit., 1992; Pendidikan Sosiologi Dan Perubahan Sosial; Bumi Aksara.
[ 796 ] P a g e
Analisis Tingkat Pengembalian… (Losina Purnastuti, Daru Wahyuni & Mustofa)
ANALISIS TINGKAT PENGEMBALIAN INVESTASI PENDIDIKAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Losina Purnastuti, Daru Wahyuni & Mustofa Universitas Negeri Yogyakarta
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar tingkat pengembalian investasi pendidikan tenaga kerja di DIY. Model yang digunakan untuk melakukan estimasi adalah model Mincerian Earning Function Model (1974). Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder Sakernas 2013 yang diperoleh dari BPS. Data yang dianalisis adalah data tentang pendapatan, tahun pendidikan, potensi pengalaman, gender, status perkawinan dan domisili tenaga kerja di DIY. Jumlah sampel tenaga kerja yang diperoleh yaitu 1184 tenaga kerja. Hasil penelitian menunjukkan tahun pendidikan, potensi pengalaman kerja, potensi pengalaman kerja kuadrat, perempuan menikah dan domisili tenaga kerja secara bersama-sama berpengaruh terhadap pendapatan. Perubahan yang terjadi pada pendapatan dijelaskan oleh variabel tahun pendidikan, potensi pengalaman kerja, potensi pengalaman kerja kuadrat, perempuan menikah dan domisili tenaga kerja sebesar 27 % dan 73 % sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diajukan dalam penelitian ini. Tahun pendidikan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan yang berarti setiap kenaikan lama pendidikan 1 tahun akan menaikkan pendapatan sebesar 4,96%. Kata kunci: Pengembalian Investasi Pendidikan, Model fungsi pendapatan Mincer
PENDAHULUAN Pendidikan sering dianggap sebagai penentu utama keberhasilan ekonomi dan sosial seseorang. Investasi di bidang pendidikan memberikan keuntungan baik langsung maupun tidak langsung bagi individu yang menerima pendidikan dan masyarakat sekitarnya. Menyadari besarnya manfaat pendidikan, pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan akses pendidikan yang pada akhirnya akan meningkatkan partisipasi sekolah. Sejak 1970-an, angka partisipasi sekolah telah meningkat secara signifikan sebagai hasil dari upaya berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, salah satunya melalui pembangunan sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Hasilnya sangat mengesankan : angka partisipasi murni sekolah dasar meningkat dari 72 persen pada tahun 1975 menjadi 91 persen di tahun 1995. Angka partisipasi murni untuk pendidikan menengah pertama menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan, yaitu naik dari 18 persen pada tahun 1970 menjadi sekitar 62 persen pada tahun 2005. Angka partisipasi sekolah menengah atas juga telah meningkat, meskipun pada tingkat yang lebih kecil. Mengingat banyaknya sumber daya yang dicurahkan untuk investasi di bidang pendidikan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun para orang tua, dirasa penting untuk mengevaluasi apakah pendidikan menghasilkan tingkat pengembalian (return to schooling) yang memadai. Bagi pemerintah selaku pembuat kebijakan besarnya tingkat P a g e [ 797 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 pengembalian investasi pendidikan memberi beberapa manfaat. Misalnya, return to schooling memberikan indikasi pada tingkat pendidikan mana pemerintah harus berinvestasi. Dari perspektif kebijakan, tantangannya adalah untuk menentukan cara terbaik untuk mengalokasikan sumber daya yang langka di berbagai jenis pendidikan. Apakah manfaat lebih tinggi jika diinvestasikan di sekolah-sekolah, pendidikan teknik dan kejuruan, atau universitas? Analisis pengembalian investasi pendidikan juga dapat membantu dalam evaluasi kebijakan pendidikan yang luas. Terkait dengan hal tersebut, Ranis dkk (2000) mengatakan bahwa “human capital is crucial to economic development.” Oleh karena itu pemerintah harus berupaya mengadopsi kebijakan yang konsisten dengan pengembangan sumber daya manusia. Kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh individu merupakan salah satu kegiatan yang dapat meningkatkan human capital. Menurut Bellante (1983), human capital adalah dana atau pengeluaran individu yang diinvestasikan dalam stock tenaga penghasilannya atau disebut earning power. Oleh karena itu ada tiga kategori biaya dalam human capital menurut Ehrenberg (2003:267): 1). Pengeluaran yang langsung dialokasikan untuk keperluan sekolah, seperti buku, komputer dan peralatan sekolah lainnya; 2). Pendapatan yang hilang (forgone earning), yaitu kesempatan untuk memperoleh uang dari suatu pekerjaan karena waktunya dialokasikan untuk sekolah; 3). Kehilangan fisik karena belajar sering mengalami kesulitan dan membosankan. Ketiga kategori biaya tersebut diringkas lagi oleh Perkins (2001:334) ke dalam biaya eksplisit (kategori 1) dan biaya implisit (kategori 2 dan 3). Baik Bellante (1983), Ehrenberg (2003) maupun Perkins et al. (2001) menyatakan bahwa keputusan individu untuk melanjutkan sekolah ditentukan oleh perbandingan biaya dan manfaat yang didiskonto ke periode waktu sekarang dengan asumsi individu tersebut berperilaku rasional dan sempurnanya informasi tentang biaya pendidikan dan penghasilan di pasar kerja. Menurut Perkins et al. (2001) dengan menggunakan asumsi sebelumnya, keputusan individu untuk melanjutkan sekolah atau bekerja bergantung pada tingkat pengembalian internal (internal rate of return). Rumusan Bellante (1983) dan Perkins et al. (2001) seolah-olah sama, namun Bellante (1983) membedakan antara internal rate of time preference dengan rate of return. Bagi Bellante (1983), seorang individu akan memutuskan investasi atas pendidikan jika tingkat pengembalian (rate of return) atas investasinya lebih besar dibandingkan internal rate of time preference. Model yang sering digunakan untuk menjelaskan pengaruh pendidikan dan training terhadap pendapatan atau upah adalah Mincerian Earning Function. Model Mincerian menjelaskan mengapa seorang individu dengan tingkat bersekolah berbeda akan mendapat pendapatan yang berbeda. Mincer mengasumsikan bahwa seseorang akan mengambil tingkat pendidikan yang sesuai dan memberikan present value dengan discount rate individual (r) tertentu yang didapat dari pendapatan selama hidupnya (life time earnings) yang tertinggi. Fungsi ini hanya menghitung private return dari benefit private yang diterima.
[ 798 ] P a g e
Analisis Tingkat Pengembalian… (Losina Purnastuti, Daru Wahyuni & Mustofa)
Beberapa hasil penelitian menunjukkan tingkat pengembalian investasi pendidikan yang trennya semakin menurun, maka perlu untuk mengevaluasi penyebab penurunan tersebut. Jika tingkat pengembalian investasi pendidikan tinggi tapi tingkat partisipasi sekolah rendah, hal tersebut merupakan indikasi bahwa orang tidak berinvestasi secara optimal dalam pendidikan. Dengan demikian, studi tentang pengembalian investasi pendidikan memiliki implikasi kebijakan yang sangat penting (Kimenyi et al., 2006). Berbagai penelitian dari berbagai belahan dunia menunjukkan tingkat pengembalian investasi pendidikan berkisar antara 5 persen di negara maju dan 29 persen di negara berkembang (Psacharopoulos, 1985; 1994). Untuk Indonesia, ada beberapa studi tentang pengembalian investasi pendidikan. Duflo (2001) memperkirakan keuntungan ekonomi dari investasi pendidikan di Indonesia berkisar 6,8-10,6 persen pada tahun 1995. Sementara itu Psacharopoulos (2002) melaporkan bahwa tingkat pengembalian investasi pendidikan adalah 17,0 persen pada tahun 1981. Mengingat tidak terdapat titik temu dari berbagai kajian tersebut di atas, maka estimasi yang lebih akurat mengenai seberapa besar tingkat pengembalian investasi pendidikan perlu dilakukan untuk memberi masukan pembuatan kebijakan di sektor pendidikan. Oleh karena itu, estimasi tingkat pengembalian investasi pendidikan dengan menggunakan data terkini akan sangat bermanfaat. Evaluasi semacam ini penting karena tingkat pengembalian pendidikan di Indonesia bervariasi dari waktu ke waktu dan, karena itu, estimasi dengan menggunakan data yang tidak up to date mungkin tidak berguna untuk membantu pengambilan kebijakan saat ini. Meskipun di atas sudah disebutkan bahwa telah banyak penelitian tentang tingkat pengembalian investasi pendidikan dilakukan di berbagai negara. Akan tetapi penelitian dengan berbasis data Indonesia masih relatif jarang. Selain itu penelitian yang ada saat ini biasanya berbasis skala nasional. Masih amat jarang penelitian yang dilakukan dengan basis propinsi atau basis kewilayahan yang bukan skala negara. Padahal penelitian dengan basis propinsi sangat penting mengingat kondisi masing-masing provinsi di Indonesia amatlah beragam. METODE Paradigma penelitian ini adalah positivistik (positivistic paradigm) karena penelitian ini berupaya mencari fakta-fakta atau penyebab dari fenomena sosial dari pernyataan individu-individu dari hasil sebuah survei. Penelitian ini menggunakan jumlah sampel yang besar, menggunakan data kuantitatif dan analisis kuantitatif dengan alat ekonometri. Data diperoleh dari hasil Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) yang merupakan sumber utama informasi tentang ketenagakerjaan di Indonesia. Penelitian ini mengadopsi model Mincerian yang dimodifikasi. Model dasar Mincerian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
P a g e [ 799 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Di mana Wi, adalah pendapatan individu i. Edui adalah tahun sekolah individu i, Expi adalah pengalaman kerja individu i, and adalah “error term”. Selain variabel dasar tersebut, beberapa variabel kontrol akan diintegrasikan ke dalam model, seperti: tempat tinggal, gender yang diinteraksikan dengan status perkawinan. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis regresi. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat pengembalian investasi pendidikan (rate of return to education) di DIY dari data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 2013. Hasil penelitian disajikan melalui analisis deskriptif antara variabel terikat dan variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah pendapatan, sedangkan variabel bebas yang dimaksud adalah tahun pendidikan, potensi pengalaman kerja, potensi pengalaman kerja kuadrat, gender, status perkawinan, dan tempat tinggal. Sampel data sejumlah 1184 responden SAKERNAS berusia 15-65 tahun yang berstatus bekerja, memiliki upah, dan memberikan informasi lengkap tentang variabel-variabel yang diperlukan dalam penelitian. Tabel 1. Deskripsi Data Variabel Penelitian Deviasi Variabel Mean Standard Pendapatan Per Bulan 1.376.379 1.544.165 Tahun Pendidikan 10.52 10.52 Pengalaman Kerja 23.97 23.97 Gender (Laki-laki) 0.60 0.49 Status Perkawinan (Menikah) 0.77 0.42 Tempat Tinggal (Urban) 0.72 0.45 Jumlah observasi: 1184 Pendapatan per bulan adalah pendapatan per bulan tenaga kerja yang diterima dari hasil bekerja yang berbentuk upah/gaji atau keuntungan dari pekerjaan utama responden, tidak termasuk penerimaan yang diterima dari sewa, bunga, pensiunan dan bentuk kekayaan lainnya serta penerimaan dari pekerjaan sampingan. Rata-rata upah tenaga kerja adalah 1.376.379 dengan nilai standard deviasi yang cukup besar, yaitu 1.544.165. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan atau perbedaan yang besar di dalam distribusi data pendapatan tenaga kerja di DIY. Dalam model returns to education digunakan variabel ln earning atau logaritma natural dari variabel pendapatan per bulan. Tahun pendidikan tenaga kerja diwakili oleh variabel jumlah tahun sekolah. Jumlah tahun sekolah dihitung dengan mengolah data jenis pendidikan tertinggi dengan tingkat/kelas tertinggi yang pernah atau sedang ditempuh. Rata-rata pendidikan tenaga kerja adalah 10,52 tahun, artinya rata-rata tenaga kerja telah menempuh pendidikan sampai dengan kelas 1 sekolah menengah atas. Nilai standard deviasi 10,52
[ 800 ] P a g e
Analisis Tingkat Pengembalian… (Losina Purnastuti, Daru Wahyuni & Mustofa)
menunjukkan adanya ketimpangan cukup tinggi dalam distribusi data tahun pendidikan tenaga kerja di DIY. Potensi pengalaman tenaga kerja memiliki nilai rata-rata pengalaman tenaga kerja adalah 23,97 tahun. Nilai standard deviasi yang besar yaitu 23,97 menunjukkan adanya perbedaan cukup besar dalam distribusi data pengalaman tenaga kerja. Untuk melihat apakah terjadi diminishing (penurunan) pengaruh potensi pengalaman kerja terhadap pendapatan dipergunakan variabel potensi pengalaman kerja kuadrat. Gender atau jenis kelamin tenaga kerja diwakili dengan variabel dummy male. Angka 1 untuk tenaga kerja laki-laki dan angka 0 untuk tenaga kerja perempuan. Ratarata usia responden 0,6 artinya responden berjenis kelamin laki-laki sebesar 60 persen sedangkan sisanya 40 persen responden berjenis kelamin perempuan. Tempat Tinggal atau domisili tenaga kerja diwakili oleh variabel dummy urban. Rata-rata variabel urban adalah 0,6 artinya domisili tenaga kerja adalah 60 persen tinggal di kota sedangkan sisanya 40 persen tenaga kerja tinggal di desa. Status perkawinan tenaga kerja diwakili dengan dummy married. Angka 1 untuk tenaga kerja yang berstatus kawin dan angka 0 untuk tenaga kerja berstatus belum kawin/tidak kawin. Rata-rata status perkawinan 0,77 artinya responden berstatus kawin sebesar 77 persen sedangkan sisanya 23 persen tenaga kerja berstatus belum/tidak kawin. Hasil Analisis Deskriptif Analisis deskriptif hasil penelitian ini difokuskan pada peran tahun pendidikan terhadap pendapatan dapat dilihat dari gambar 1.
Gambar 1. Jenjang Pendidikan dan Pendapatan Tenaga Kerja Gambar 1 menunjukkan bahwa kecenderungan pendapatan pada kelompok jenjang pendidikan. Tidak lulus SD memiliki rata-rata pendapatan yang paling rendah yaitu 661.944,44. Dari gambar 1 menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan maka rata-rata pendapatan yang dimiliki semakin besar. Tenaga kerja lulusan perguruan P a g e [ 801 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 tinggi memiliki rata-rata pendapatan yang paling tinggi. Hal ini sesuai dengan teori human capital yang menyatakan semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi pendapatan yang dimiliki. Potensi pengalaman kerja menunjukkan hubungan yang positif terhadap pendapatan tenaga kerja. Namun pada titik tertentu akan mengalami penurunan. Hal tersebut dapat diamati seperti pada gambar 2.
Gambar 5. Pengalaman Kerja dan Pendapatan Tenaga Kerja Gambar 2 menunjukkan bahwa kecenderungan pendapatan pada potensi pengalaman kerja 0-10 tahun paling rendah. Pendapatan tertinggi diperoleh pada potensi pengalaman kerja 11-20. Pada gambar 2 juga menunjukkan bahwa semakin tinggi potensi pengalaman kerja seseorang maka akan meningkatkan pendapatan. Akan tetapi kenaikan pendapatan itu juga akan menurun setelah mencapai titik puncak. Titik puncaknya pada potensi pengalaman kerja 11-20 tahun. Hasil Estimasi dan Pembahasan Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui tingkat pengembalian investasi pendidikan (rate of return to education) di DIY tahun 2013. Analisis dilakukan dengan aplikasi software stata 12. Hasil analisis disajikan pada tabel 2. Uji signifikansi pengaruh semua variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen dengan menggunakan uji F. Uji F ini digunakan untuk mengetahui kemampuan variabel independen tahun pendidikan, potensi pengalaman kerja, potensi pengalaman kerja kuadrat, wanita menikah dan domisili (urban) dalam menjelaskan variabel dependen yaitu pendapatan. Apabila probabilitas tingkat kesalahan uji F-hitung lebih kecil dari tingkat signifikansi tertentu (signifikansi 5%), maka model yang diuji adalah signifikan. Hasil olah data dengan software stata menunjukkan nilai Fhitung sebesar 88,83 dengan probabilitas tingkat kesalahan sebesar 0,000 lebih kecil dari tingkat signifikansi yang diharapkan (0,0%<5%), maka dapat dikatakan bahwa variabel tahun pendidikan, potensi pengalaman kerja, potensi pengalaman kerja kuadrat, wanita
[ 802 ] P a g e
Analisis Tingkat Pengembalian… (Losina Purnastuti, Daru Wahyuni & Mustofa)
menikah dan domisili (urban) tenaga kerja berpengaruh secara simultan terhadap pendapatan tenaga kerja di DIY. Tabel 2. Hasil Analisis Regresi Label Yearedu Pexp Pexp2 F*married Urban Cons Adjusted R2 F Hitung Prob > F Jumlah observasi
Variabel Tahun pendidikan Pengalaman kerja Pengalaman kerja2 Dummy perempuan menikah (1= menikah; 0 = lainnya) Dummy tempat tinggal (kota = 1; desa = 0) Konstanta
Koefisien 0,0496*** 0,0118*** -0,0002* -0,1624***
Standard Error 0,0031 0,0025 0,0001 0,0209
0,1284***
0,02161
5,2951*** 0,2707 88,83 0,000 1184
0,0216
Uji signifikansi (significance test) pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara individual dengan menggunakan uji t. Hasil olah data dengan menggunakan software stata mendapatkan hasil dengan probabilitas tingkat kesalahan sebesar 0,000 lebih kecil dari taraf signifikansi yang diharapkan (0,0%<5%), maka variabel tahun pendidikan, potensi pengalaman kerja, potensi pengalaman kerja kuadrat, wanita menikah dan domisili (urban) tenaga kerja secara parsial signifikan mempengaruhi pendapatan. Pengujian pengaruh tahun pendidikan terhadap pendapatan menghasilkan koefisien regresi sebesar 0,0496, diperoleh juga t-hitung sebesar 14,58 dengan probabilitas tingkat kesalahan sebesar 0,000 lebih kecil dari taraf signifikansi yang diharapkan (0,0%<5%), maka tahun pendidikan tenaga kerja memiliki pengaruh positif terhadap tingkat pendapatan di Provinsi DIY. Hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh positif dan signifikan antara tahun pendidikan terhadap pendapatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa koefisien regresi tahun pendidikan sebesar 0,0496 menunjukkan bahwa lama pendidikan mempunyai arah koefisien regresi positif yang berarti setiap kenaikan lama pendidikan 1 tahun akan menaikkan pendapatan sebesar 4,96%. Hasil penelitian ini didukung oleh Purnastuti, Miller dan Salim (2012) yang menyatakan bahwa pendapatan juga dipengaruhi oleh pendidikan dengan hasil koefisien regresi sebesar 0,055. Pengujian pengaruh potensi pengalaman kerja terhadap pendapatan menghasilkan koefisien regresi sebesar 0,011. Hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh positif dan signifikan potensi pengalaman kerja terhadap pendapatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa koefisien regresi potensi pengalaman kerja sebesar 0,011 menunjukkan bahwa potensi pengalaman kerja mempunyai arah koefisien regresi positif yang berarti setiap kenaikan potensi pengalaman kerja 1 tahun akan menaikkan pendapatan sebesar 1,1%. Hasil penelitian ini didukung oleh Purnastuti, Miller dan Salim P a g e [ 803 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 (2012) yang menyatakan bahwa pendapatan juga dipengaruhi oleh potensi pengalman kerja dengan hasil koefisien regresinya sebesar 0,006. Pengujian pengaruh potensi pengalaman kerja kuadrat terhadap pendapatan menghasilkan koefisien regresi sebesar -0,0001, diperoleh juga t-hitung sebesar -3,08 dengan probabilitas tingkat kesalahan sebesar 0,002 lebih kecil dari taraf signifikansi yang diharapkan (0,0%<5%), maka potensi pengalaman kerja kuadrat tenaga kerja memiliki koefisien negatif, yang mengidentifikasi marginal return yang semakin menurun. Hasil analisis menunjukkan bahwa kenaikan marginal potensi pengalaman kerja akan diikuti dengan kenaikan marginal pendapatan yang semakin menurun. Profil pendapatan-pengalaman kerja akan mencapai puncak pada pengalaman kerja di tahun 29,5. Hal ini mengindikasikan bahwa pekerja dengan pengalaman kerja kurang dari 29,5 tahun pendapatan marginalnya akan semakin meningkat dengan meningkatnya tahun pengalaman kerja, setelah pengalaman kerja mencapai 29,5 tahun kenaikan pendapatan marginal akan semakin menurun. Pengujian pengaruh perempuan menikah terhadap pendapatan menghasilkan koefisien regresi sebesar -0,16, diperoleh juga t-hitung sebesar -7,79 dengan probabilitas tingkat kesalahan sebesar 0,000 lebih kecil dari taraf signifikansi yang diharapkan (0,0%<5%), maka tenaga kerja perempuan yang menikah memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat pendapatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa koefisien regresi perempuan menikah sebesar -0,16 menunjukkan bahwa perempuan menikah mempunyai arah koefisien regresi negatif yang berarti perempuan yang menikah memiliki pendapatan yang lebih rendah dibandingkan dengan pekerja perempuan tidak menikah dan pekerja laki-laki baik yang berstatus menikah ataupun tidak. Bukti ini sesuai dengan teori spesialisasi pembagian kerja domestik dan publik. Perempuan menikah cenderung akan semakin terbebani dengan pekerjaan domestik yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja di ranah publik. Pengujian pengaruh domisili (urban) terhadap pendapatan menghasilkan koefisien regresi sebesar 0,128, diperoleh juga t-hitung sebesar 5,94 dengan probabilitas tingkat kesalahan sebesar 0,000 lebih kecil dari taraf signifikansi yang diharapkan (0,0%<5%), maka domisili memiliki pengaruh positif terhadap tingkat pendapatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa koefisien regresi urban sebesar 0,128 menunjukkan bahwa tenaga kerja yang tinggal di kota memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan tenaga kerja yang tinggal di desa. Penilaian goodness of fit dari model regresi dengan menggunakan ukuran Adjusted R-Square. Nilai Adjusted R-Square dari hasil regresi OLS adalah 0,27 artinya variabelvariabel independen di dalam model mampu menjelaskan variabel dependen sebesar 27 persen. Hal ini berarti kelima variabel independen (tahun pendidikan, potensi pengalaman kerja, potensi pengalaman kerja kuadrat, perempuan menikah dan domisili tenaga kerja) mampu menjelaskan perubahan variabel dependen (pendapatan) sebesar 27 % sedangkan sisanya 73 % dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diajukan dalam penelitian ini. [ 804 ] P a g e
Analisis Tingkat Pengembalian… (Losina Purnastuti, Daru Wahyuni & Mustofa)
SIMPULAN Berdasarkan hasil permodelan tingkat pengembalian investasi pendidikan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pendapatan dipengaruhi oleh tahun pendidikan, potensi pengalaman kerja, potensi pengalaman kerja kuadrat, wanita menikah dan domisili. Variabel tahun pendidikan, potensi pengalaman kerja, potensi pengalaman kerja kuadrat, perempuan menikah dan domisili tenaga kerja secara bersama-sama berpengaruh terhadap pendapatan. Perubahan yang terjadi pada pendapatan dijelaskan oleh variabel tahun pendidikan, potensi pengalaman kerja, potensi pengalaman kerja kuadrat, perempuan menikah dan domisili tenaga kerja sebesar 27 % dan 73 % sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diajukan dalam penelitian ini. Tahun pendidikan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan yang berarti setiap kenaikan lama pendidikan 1 tahun akan menaikkan pendapatan sebesar 4,96%. Semakin tinggi pendidikan, semakin besar pendapatannya. Sebaliknya semakin rendah pendidikan, maka semakin kecil pula pendapatannya. Potensi pengalaman kerja mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat pendapatan yang berarti setiap kenaikan potensi pengalaman kerja 1 tahun akan menaikkan pendapatan sebesar 1,1%. Semakin lama pengalaman kerja, maka akan semakin tinggi pendapatan. Kenaikan marginal pengalaman kerja akan diikuti dengan kenaikan marginal pendapatan yang semakin menurun yang berarti setiap kenaikan potensi pengalaman kerja 1 tahun akan diikuti kenaikan marginal pendapatan yang semakin menurun sebesar -0,01%. Perempuan yang menikah memiliki koefisien regresi yang negatif sebesar -0,16 sehingga pendapatan tenaga kerja perempuan yang menikah 16% lebih rendah dibandingkan perempuan tidak menikah dan pekerja laki-laki baik yang menikah maupun tidak menikah. Domisili (urban) secara signifikan berpengaruh terhadap pendapatan dengan koefisien regresi sebesar 0,128. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja yang tinggal di kota memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan tenaga kerja yang tinggal di desa. DAFTAR PUSTAKA Bellante, Don and Jackson, Mark. 1983. Labor Economics: Choice in Labor Market. Mc. Graw- Hill, Inc. Second Edition Duflo, Esther. 2001. “Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Unusual Policy Experiment”. The American Economic Review. Vol. 91 No. 4 795-813. Ehrenberg, R.G and R.S. Smith. 2003. Modern Labor Economics: Theory and Public Policy. Scott, Foresman and Company. Boston Kimenyi, S Mwangi., Mwabu, Germano., and Manda, Kulundu. 2006. “Human Capital Externalities and Private Returns to Education in Kenya”. Eastern Economic Journal, Vol. 32, No. 3, 493-513. Mincer, J. 1974. Schooling, Earnings and Experience. Columbia University Press: New York
P a g e [ 805 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Mustofa. 2011. Returns to Education Tenaga Kerja di Indonesia: Analisis Data IFLS 2000:2007. Tesis. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Perkins, D.H, Radelet, S, Snograss, R.R, Gillis, M, and Roemer, M. 2001. Economics of Development. WW. Norton & Company, Inc. United States of America. Psacharopoulos, G. 1985. “Returns to education: A further international update and implication”. The Journal of Human Resources, 20 (4), 583-597. Psacharopoulos, George 1994 “Returns to Investment in Education: A Global Update”. World development vol. 22 no. 9 pp 1325-43. Psacharopoulos, George and Patrinos, Harry Anthony. 2002. “Returns to Investment in Education: A Further Update”. World Bank Policy Research Working Paper 2881. Purnastuti, Losina., Miller, Paul., and Salim, Ruhul (2012). Economic Returns to Schooling in A Less Developed Country: Evidence for Indonesia. Journal of European Economy. Vol. 11. Sepecial Issue. Purnastuti, Losina., Miller, Paul., and Salim, Ruhul (2013). Declining rates of return to education: evidence for Indonesia, Bulletin of Indonesian Economic Studies. Ranis, G., Stewart, F. and Ramirez, A. 2000. "Economic Growth and Human Development". World Development, Vol. 28, No. 2, 197-219.
[ 806 ] P a g e
Urgensi Penguatan Budaya… (Agus Prianto)
URGENSI PENGUATAN BUDAYA WIRAUSAHA UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING INDONESIA DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) Agus Prianto Program Studi Pendidikan Ekonomi STKIP PGRI Jombang
[email protected]
Abstrak Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan diberlakukan mulai Desember 2015. Berbagai hambatan yang selama ini menghalangi pergerakan berbagai sumber daya dan aktivitas ekonomi seperti kebijakan tarif dan non tarif mulai ditiadakan. Konsekuensinya tingkat persaingan di kawasan ASEAN akan semakin ketat. Pertanyaannya adalah apakah Indonesia sudah siap menghadapi MEA? Budaya wirausaha yang belum kuat dikhawatirkan akan mempengaruhi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkan potensi pasar domestik yang sangat besar. Hal ini menjadi peringatan bahwa dalam MEA nanti penetrasi produk luar ke pasar dalam negeri akan semakin massif. Untuk memperkuat daya saing bangsa, pemerintah harus mendorong agar kewirausahaan menjadi budaya baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar sampai dengan pendidikan tinggi; meningkatkan anggaran penelitian dan pengembangan, serta menggalakkan pelatihan kewirausahaan. Kata kunci: Daya saing, Masyarakat Ekonomi ASEAN, budaya wirausaha
PENDAHULUAN Implementasi ASEAN Economic Community (AEC), atau boleh disebut sebagai pasar tunggal ASEAN akan segera diberlakukan pada akhir 2015. Ini merupakan tonggak awal dari diberlakukannya kawasan perdagangan bebas di kawasan ASEAN. Pemberlakuan AEC membawa implikasi pada adanya kebebasan arus barang, jasa, modal, dan sumber daya manusia untuk keluar masuk (free exit and free entry) di berbagai negara kawasan ASEAN. Berbagai hambatan yang selama ini menghalangi pergerakan berbagai sumber daya dan aktivitas ekonomi di kawasan ASEAN, seperti kebijakan tarif dan non tarif mulai ditiadakan. Dengan demikian semua negara di kawasan ASEAN memiliki peluang yang sama untuk menjadi basis kegiatan produksi barang dan jasa, apabila menurut kalkulasi ekonomi dinilai menguntungkan (www.asean.org/communities). Hingga saat ini masih terdengar suara kegalauan tentang kesiapan Indonesia untuk menghadapi AEC. Sebenarnya keraguan untuk menghadapi AEC tidak hanya dirasakan oleh Indonesia, tetapi juga dirasakan oleh Thailand (www.kriengsak.com), Phillipina (www.veteransbank.com), dan Vietnam (www.icird.org). Meskipun demikian dari berbagai media online kita membaca berbagai upaya dilakukan oleh negara tetangga tersebut untuk mempersiapkan diri menghadapi AEC. Pembangunan berbagai sarana infrastruktur seperti jalan, rel kereta api, pelabuhan, dan telekomunikasi terus dikembangkan. Bahkan Thailand dan Vietnam juga mengembangkan soft infrastruktur, berkaitan dengan kemampuan berbahasa Inggris dari para warganya. Untuk menyiapkan P a g e [ 807 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 warganya menghadapi AEC, Thailand meluncurkan “English Speaking Year 2012” (www.etc-thai.com). Thailand menyadari sangat tertinggal dalam hal penguasaan bahasa Inggris yang sudah menjadi bahasa pergaulan di tingkat global. Oleh karena itu, melalui program “English Speaking Year 2012” pemerintah Thailand berharap akan dapat mendorong para warganya untuk mampu berinteraksi dengan sesama bangsa di kawasan dan di tingkat global. Indonesia sesungguhnya memiliki keunggulan komparatif bila dibandingkan dengan sesama negara anggota ASEAN. Hal ini terutama berkaitan dengan jumlah penduduk terbesar dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Indonesia juga kaya dengan sumber daya alam, kaya budaya, dan kaya dengan berbagai tempat-tempat yang indah dan eksotis yang bila mampu dikemas dengan sungguh-sungguh dapat dijual dalam kegiatan kepariwisataan. Lokasi Indonesia yang sangat strategis, yang berada di antara dua samudra dan dua benua seharusnya juga bisa mendudukkan Indonesia sebagai pusat perdagangan di kawasan ASEAN. Pertanyaannya adalah apakah para pelaku usaha bisnis dan sumber daya manusia di Indonesia sudah memiliki kesiapan untuk bersaing secara head to head dengan pelaku usaha sejenis dari negara kawasan ASEAN? Artikel ini bermaksud untuk melakukan analisis kesiapan Indonesia dalam menyongsong kehadiran AEC yang akan efektif diberlakukan pada akhir tahun 2015. Untuk menganalisis kesiapan Indonesia menghadapi AEC, tulisan ini akan menyajikan berbagai data, terutama yang berkaitan dengan kinerja perekonomian Indonesia. Berbagai data tersebut kemudian secara head to head akan dikomparasikan dengan data sejenis dari beberapa negara anggota ASEAN. Hasil komparasi berbagai data inilah yang dijadikan sebagai dasar untuk melihat kesiapan Indonesia dalam menghadapi AEC. SEKILAS TENTANG KEKUATAN PEREKONOMIAN INDONESIA Berbagai analisis dari berbagai lembaga keuangan internasional memprediksi Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Pada saat ini Indonesia masuk dalam kelompok G20, yaitu kelompok negara yang merepresentasikan 90% GDP global, 80% volume perdagangan internasional, dan 2/3 total jumlah penduduk dunia (www.G20.org). Potensi Indonesia untuk menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia sangat besar. Di antara negara anggota G20 pada tahun 2012 dan 2013, Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua setelah China. Selama 5 tahun, antara 2009-2013 pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata mencapai 5,9% per tahun. Dengan didukung oleh wilayah yang luas, mayoritas jumlah penduduk dalam kelompok usia produktif, dan sumber daya alam yang melimpah; maka peluang Indonesia untuk menjadi kekuatan ekonomi dunia sangat terbuka lebar (www.bbc.co.uk/indonesia). Tabel 1 menggambarkan indikator utama perekonomian Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara anggota ASEAN.
[ 808 ] P a g e
Urgensi Penguatan Budaya… (Agus Prianto)
Tabel 1. Indikator Utama Daya Saing Negara ASEAN Indikator Utama Daya Saing Jumlah GDP IPC Proporsi Negara Penduduk ($ miliar) ($) GDP Dunia (%) (juta) Indonesia 242,3 878,2 3.592 1,46 Malaysia 28,9 303,5 10.304 0,60 Singapura 5,2 276,5 51.162 0,39 Thailand 69,5 365,6 5.678 0,78 Phillipina 94.95 250,4 2.614 0,51 Vietnam 87,8 138,1 1.528 0,39 Sumber: The Global Competitiveness Report 2013-2014, WEF 2013 Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif selama beberapa tahun terakhir berdampak langsung terhadap meningkatnya pendapatan per kapita (IPC) dan penurunan angka pengangguran. Peningkatan rerata IPC dan berkurangnya angka pengangguran merupakan indikator meningkatnya kesejahteraan masyarakat. IMF melaporkan adanya peningkatan pendapatan per kapita penduduk dari $2,329 (2009) menjadi $3,660 (2012). Artinya selama 3 tahun ada peningkatan IPC sebesar 57.15%. Pada akhir tahun 2013, diperkirakan IPC meningkat pada kisaran $4.400-$4.500 (www.imf.org).Peningkatan IPC berdampak pada pengeluaran konsumsi, dan selanjutnya berdampak pada tumbuhnya kegiatan usaha-bisnis. Tumbuhnya kegiatan usaha berpengaruh pada besaran produk domestik bruto (PDB). Pada tahun 2010 World Bank melaporkan PDB Indonesia sebesar $834.300 miliar, dan berada pada urutan 17 dari kelompok negara G20. Tahun 2011 PDB Indonesia tercatat $845.680 miliar dan menempatkan Indonesia pada urutan 16 dari kelompok negara G20 (www.worldbank.org). Selanjutnya IMF memprediksi pada tahun 2015 PDB Indonesia akan mencapai $1,172.10 miliar dan diprediksi akan masuk 10 besar dunia (www.imf.org). Meningkatnya rerata IPC telah membentuk kelompok masyarakat yang masuk dalam kategori kelompok kelas menengah (middle class economy). Jumlah orang di Indonesia dengan pengeluaran rumah tangga di atas Rp. 5 juta per bulan diprediksi akan bertambah hingga 250%. Menurut Antony Suwandy, Direktur Retail Banking PT Bank ANZ Indonesia; jumlah populasi untuk segmen ini akan mencapai 23,4 juta jiwa pada tahun 2020. Kaum elit dengan pengeluaran lebih dari Rp. 7,5 juta per bulan juga akan naik menjadi 6,9 juta jiwa (www.tempo.com). Secara keseluruhan, populasi kelas menengah hingga kaum elit di Indonesia pada tahun 2020 diprediksi mencapai 141 juta jiwa (www.tempo.com). Hingga saat ini, kelompok masyarakat berpendapatan menengah inilah yang berkontribusi pada semaraknya kegiatan konsumsi di dalam negeri. Sebagaimana dilaporkan oleh BPS, sampai dengan tahun 2013, kontribusi kegiatan konsumsi masyarakat bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kisaran angka 50% (www.bps.go.id). P a g e [ 809 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Bank Indonesia membuat laporan senada. Jumlah kelas menengah di Indonesia telah melampaui angka 60% dari total penduduk Indonesia (www.investor.co.id), dan hal ini akan menjadi penggerak konsumsi domestik, sekaligus menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. BPS melaporkan bahwa antara tahun 2010 sampai dengan 2012 konsumsi masyarakat menyumbang pertumbuhan PDB masing-masing sebesar 56,6%; 54,6%; dan 54,8% (www.bps.go.id). Namun demikian, meningkatnya konsumsi domestik bila tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas di sektor domestik menjadi penyebab membengkaknya angka impor. Dengan demikian ada satu permasalahan penting yang harus dijawab oleh Indonesia seiring dengan meningkatnya jumlah kelas menengah, yaitu apakah meningkatnya jumlah kelas menengah segera diiringi dengan meningkatnya produktivitas nasional. Meningkatnya pendapatan per kapita dalam 3 tahun terakhir sebesar 57.15% pasti akan berdampak langsung pada meningkatnya pengeluaran konsumsi masyarakat. Data dari Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa dalam rentang 3 tahun, antara 2010 sampai dengan 2012 pengeluaran konsumsi masyarakat merupakan komponen utama pembentuk PDB, dengan kontribusi sebesar 55% (www.bps.go.id). Dengan menggunakan asumsi rerata pengeluaran kelas menengah Rp. 5 juta per bulan; dengan jumlah kelas menengah sebanyak 150 juta jiwa maka besaran konsumsi agregat per bulan akan setara Rp. 750 triliun atau Rp. 9.000 triliun per tahun. Nilai konsumsi ini adalah hampir setara dengan lima kali lipat jumlah belanja negara pada APBN 2013 sebesar Rp. 1.683,011 triliun (Data Pokok APBN 2007-2013, Kemenkeu RI). Meningkatnya jumlah kelas menengah di Indonesia berdampak besar pada ukuran ekonomi Indonesia. Hal ini juga menggambarkan betapa besarnya potensi aktivitas ekonomi yang dapat dikreasikan oleh para pelaku usaha di Indonesia. Selain mendorong pertumbuhan ekonomi melalui aktivitas konsumsi, kelompok masyarakat kelas menengah yang memiliki latar belakang pendidikan memadai diharapkan mampu memanfaatkan kesempatan untuk mengembangkan kegiatan usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam konteks inilah keberadaan kelompok masyarakat yang memiliki spirit entrepreneurship sangat diharapkan kehadirannya. Hal ini merupakan pekerjaan rumah bagi perekonomian Indonesia, bagaimana caranya agar spirit entrepreneurship menjadi gaya hidup baru; terutama bagi para kawula muda. Spirit entrepreneurship yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat sangat diperlukan agar membesarnya potensi ekonomi Indonesia benarbenar dapat dimanfaatkan oleh para pelaku ekonomi domestik. Kelompok inilah yang kelak akan ikut menggelembungkan aktivitas ekonomi di Indonesia, sehingga dapat dihadirkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Indonesia sangat membutuhkan keberadaan para entrepreneur dalam skala besar, karena kelompok inilah yang akan mampu menciptakan budaya kerja baru dan meningkatkan produktivitas kerja. Dalam artikelnya yang berjudul “How to avoid middleincome traps? Evidence from Malaysia” (www.voxeu.org), Aaron Flaaen, Ejaz Ghani, dan Saurabh Mishra juga memberikan penjelasan bahwa untuk menghindari jebakan kelas [ 810 ] P a g e
Urgensi Penguatan Budaya… (Agus Prianto)
menengah maka diperlukan adanya budaya kerja baru dan kemampuan berinovasi guna mendukung peningkatan produktivitas nasional. Penguatan budaya wirausaha merupakan salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produktivitas nasional. PENTINGNYA PENGUATAN BUDAYA WIRAUSAHA Data-data berikut ini juga dapat dijadikan pertimbangan pentingnya mendorong kelompok kelas menengah untuk memiliki life style baru di bidang kewirausahaan. Meskipun pada saat ini lebih dari 50% dari penduduk Indonesia termasuk dalam kelompok kelas menengah, dan pada tahun 2015 Indonesia diprediksi oleh IMF akan masuk dalam kelompok negara dengan PDB 10 besar dunia; namun hingga tahun 2011 kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tertinggal bila dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN. Tabel 6 menjelaskan tentang perbandingan kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan beberapa negara ASEAN. Tabel 2. Peringkat Kualitas Perekonomian Indonesia dan Beberapa Negara ASEAN Tahun 2011 (Dari 110 Negara di Dunia) Kualitas Kualitas Aktifitas Kewirausahaan Negara Pertumbuhan Ekonomi dan Peluang Kerja Singapura 16 1 14 Malaysia 43 17 36 Thailand 45 13 53 Vietnam 62 40 78 Phillipina 66 43 70 Indonesia 70 44 80 Sumber: www.prosperity.com/rankings.aspx Tabel 2 menunjukkan adanya keterkaitan antara peringkat aktivitas kewirausahaan dengan terbukanya peluang kerja, kualitas pertumbuhan, dan kualitas aktivitas ekonomi. Spirit kewirausahaan di Indonesia masih tertinggal bila dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN. Saat ini jumlah pewirausaha di Indonesia dinilai masih kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk. Idealnya, minimal 2% dari 247 juta jiwa penduduk Indonesia merupakan kaum pewirausaha. Kalau harapan minimal ini bisa diwujudkan, maka akan ada sekitar 5 juta pewirausaha di Indonesia. Data per Januari 2012 menunjukkan bahwa jumlah pewirausaha di Indonesia baru sebesar 1,56% dari total penduduk. Sebagai perbandingan, komposisi pewirausaha dibandingkan jumlah penduduk di Singapura sebesar 7,2%, Malaysia sebesar 4%, dan Thailand sebesar 4,1% dari total penduduk (www.pikiran-rakyat.com). Seiring dengan menggelembungnya ukuran ekonomi Indonesia, yang ditandai dengan meningkatnya rerata IPC dan PDB, ada satu pekerjaan utama yang harus dibangun oleh Indonesia; yaitu menumbuhkan semangat berwirausaha. P a g e [ 811 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Peningkatan spirit berwirausaha sangat diperlukan agar kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat ditingkatkan. Peningkatan pertumbuhan ekonomi, IPC, dan PDB akan lebih bermakna apabila diikuti dengan terbukanya peluang kerja di dalam negeri. Hingga saat ini masih muncul situasi paradoks, karena meningkatnya pertumbuhan ekonomi, IPC, dan PDB masih diikuti dengan besarnya jumlah pengangguran. Mengacu data yang dipublikasikan oleh BPS, Jumlah pengangguran terbuka di Indonesia per Agustus 2013 tercatat 7.39 juta orang (www.tribunnews.com). Untuk mengatasi problem ketenagakerjaan dalam jangka panjang, dan dalam rangka memperkuat perekonomian Indonesia dalam menghadapi AEC, gerakan kewirausahaan nasional harus menjadi prioritas utama, dilakukan secara masif, dan perlu dijadikan headline dalam pengembangan ekonomi nasional. Untuk itu diperlukan penguatan sinergi antara pemerintah (mulai dari pemerintah pusat sampai pada level desa), lembaga pendidikan (mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi), dan berbagai lembaga swadya masyarakat; agar terbangun persepsi yang kuat di masyarakat tentang pentingnya lifestyle baru: menjadi pewirausaha. Dengan angka koefisien kewirausahaan di Indonesia yang baru mencapai 1,56% dari total jumlah penduduk yang mencapai 250 juta, maka diasumsikan jumlah pewirausaha hanya mencapai 3,9 juta pewirausaha. Dengan jumlah angkatan kerja yang mencapai 118,2 juta jiwa, maka diasumsikan setiap pewirausaha harus menanggung beban ketenagakerjaan mencapai 30 tenaga kerja. Beban pewirausaha di Indonesia untuk menampung tenaga kerja menjadi sangat berat. Tabel 3. Kemampuan Berwirausaha Indonesia dan Beberapa Negara Kawasan ASEAN Negara Variabel Indonesia Malaysia Thailand Phillipina Singapura Peringkat dan Koefisien 75-79 55-57 64-65 91-92 11-13 GEDI (0,21) (0,27) (0,24) (0,17) (0,53) Entrepreneurial 95-96 58-59 83-84 64-66 27-29 Attitudes (0,18) (0,32) (0,24) (0,29) (0,43) 46-55 38-39 44-45 92-99 12-14 Entrepreneurial Ability (0,30) (0,35) (0,31) (0,17) (0,58) Entrepreneurial 66-72 73-79 61-64 110-114 3 (0,56) Aspirations (0,15) (0,14) (0,18) (0,06) Sumber: Global Entrepreneurship and Development Index, 2013 Masalah pengangguran dan kemiskinan di Indonesia dapat diurai bila dapat dikreasikan koefisien kewirausahaan minimal2,5% dari total penduduk. Semakin tinggi jumlah pewirausaha di Indonesia, semakin besar pula jumlah lapangan pekerjaan yang dapat diciptakan, sehingga angka pengangguran dapat dikurangi; dan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan. Dalam era AEC keberadaan pewirausaha akan menjadi penyangga utama penggerak perekonomian dan penopang daya saing bangsa. Indonesia [ 812 ] P a g e
Urgensi Penguatan Budaya… (Agus Prianto)
dituntut bekerja keras untuk membuat kewirausahaan sebagai lifestyle baru untuk menghadapi datangnya AEC. Untuk itu, pengembangan kewirausahaan yang selama ini sudah berjalan, baik di lingkup lembaga pemerintahan, di masyarakat, dan di kampus perlu lebih diintensifkan. Bagaimanakah potret kewirausahaan Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara di kawasan ASEAN? Data berikut ini menggambarkan kemampuan berwirausaha Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara di kawasan ASEAN terpilih, yang berpotensi menjadi pesaing utama Indonesia dalam kancah persaingan di tingkat ASEAN. Data diambil dari Global Entrepreneurship and Development Index tahun 2013. Peringkat kewirausahaan Indonesia unggul dibandingkan dengan Phillipina, tetapi berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Dalam pengembangan kewirausahaan, Indonesia lemah dari sisi proses inovasi, kualitas sumber daya manusia, faktor budaya, program pengembangan kewirausahaan, kualifikasi pendidikan, risiko bisnis, pemanfaatan teknologi internet, tingkat korupsi, kesiapan menghadapi era global, ketrampilan memulai usaha, keberanian menghadapi risiko kegagalan, kemampuan membangun jejaring, ketersediaan sumber daya, kemampuan produktivitas, dan orientasi global. Lima variabel yang meliputi: proses inovasi, kualitas sumber daya manusia, faktor budaya, program pengembangan kewirausahaan, dan kualifikasi pendidikan merupakan titik lemah utama yang membuat spirit entrepreneurship belum mengakar kuat di Indonesia. Indonesia dinilai berpeluang untuk berkembangnya kegiatan kewirausahaan berkaitan dengan potensi pasar yang besar dan berkembangnya teknologi baru yang mendukung kegiatan kewirausahaan. Keunggulan beberapa negara tetangga (misalnya Malaysia dan Thailand) dibandingkan dengan Indonesia adalah terletak pada faktor kemampuan berkompetisi, kemampuan membangun jejaring, kemampuan memulai usaha, dominasi pasar, ketersediaan sumber daya manusia yang terampil dan terlatih, kualitas SDM, kemampuan berinovasi, dan risiko bisnis yang lebih rendah (GEDI, 2013). Dengan demikian dapat diidentifikasi bahwa secara head to head indeks kewirausahaan Indonesia adalah relatif unggul dibandingkan dengan Phillipina, relatif setara dengan Thailand; tetapi tertinggal dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura. Kewirausahaan merupakan faktor penting yang akan menentukan apakah sebuah negara mampu bersaing dalam pasar global. Dengan memperhatikan posisi peringkat kewirausahaan Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN terpilih, maka Indonesia harus berjuang keras untuk menghadapi Singapura, Malaysia, dan Thailand dalam AEC. Untuk memperkuat posisi Indonesia dalam AEC, Indonesia harus meningkatkan kemampuan dalam bidang kewirausahaan. Di tangan para pewirausaha inovasi akan terus tumbuh dan kegiatan ekonomi akan terus berkembang. PENGUATAN INOVASI UNTUK MENDUKUNG KEWIRAUSAHAAN Daya saing bangsa juga ditentukan oleh kemampuan melakukan inovasi. Rendahnya dana yang dialokasikan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan P a g e [ 813 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 menjadi salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya kemampuan untuk melakukan inovasi. Para pewirausaha di Indonesia belum mampu bergerak pada bidang usaha yang sarat dengan teknologi dan inovasi. Hingga kini, bidang garapan para pewirausaha di Indonesia masih berada pada sektor bisnis ritel, industri makanan dan olahan, jasa perikanan, pertanian, dan pertambangan. Dalam tahun 2012, sebanyak 57% GDP Indonesia disumbang oleh kegiatan usaha para pewirausaha di berbagai sektor tersebut (The EY G20 Entrepreneurship Barometer 2013). Pendidikan di Indonesia dinilai belum mampu menciptakan budaya inovasi yang kuat, sebuah kondisi yang dibutuhkan bagi tumbuhnya budaya wirausaha. Terdapat situasi yang paradoksal dalam perekonomian Indonesia. Pada saat pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh dengan cepat, namun pada saat yang sama peran pendidikan dalam melahirkan para pewirausaha baru masih sangat lemah. Kebanyakan lulusan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi belum memiliki spirit yang kuat untuk menjadi pewirausaha. Setelah lulus pendidikan, umumnya mereka masuk ke pasar kerja untuk mencari kerja, dan bukan menciptakan pekerjaan (www.worldbank.org, 25/6/2013). Sebagaimana dilaporkan dalam “The EY G20 Entrepreneurship Baromater 2013”, kegiatan pendidikan dan latihan; terutama yang diarahkan untuk menumbuhkan spirit berwirausaha; dinilai masih sangat lemah. Lemahnya kegiatan pendidikan dan latihan berdampak lemahnya budaya berwirausaha dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia (www.ey.com). Untuk melihat sejauh mana pemerintah memperkuat budaya wirausaha sebagai lifestyle baru, terutama bagi kelompok penduduk usia muda; Bank Dunia menggunakan ukuran besaran pengeluaran untuk kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D) dan artikel dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipublikasikan pada jurnal. Sebagai gambaran, pengeluaran untuk R&D Indonesia adalah 0,1% dari total GDP; dan ini di bawah rata-rata pengeluaran dari negara anggota G20 lainnya sebesar 1,6% dari total GDP. Jumlah publikasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi Indonesia adalah 0,0 artikel per 10.000 penduduk. Bandingkan dengan negara anggota G20 lainnya yang mencapai 3,3 artikel per 10.000 penduduk (www.ey.com). Tabel 4. Pengeluaran Negara Anggota ASEAN Terpilih untuk R&D (% dari PDB) Tahun Negara 2009 2010 2011 Indonesia 0,08 Malaysia 1,01 1,07 1,07 Thailand 0,25 Singapura 2,43 2,09 Sumber: www.worldbank.org Bank Dunia memberikan data proporsi pengeluaran terhadap PDB untuk kegiatan R&D, sebagaimana tampak pada tabel 4. Pengeluaran negara untuk kegiatan R&D akan berdampak pada kemampuan negara untuk mengembangkan inovasi (Ulku, 2004). Dari berbagai kajian teoretik dan hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa kemampuan [ 814 ] P a g e
Urgensi Penguatan Budaya… (Agus Prianto)
berinovasi dan kreativitas merupakan salah satu variabel utama pembentuk perilaku kewirausahaan (Drucker, 1985; Baron, 2004; Zampetakis, Gotsi, Andriopoulos & Moustakis, 2011). Malaysia, Thailand, dan Singapura memiliki pengeluaran untuk R&D lebih tinggi dari Indonesia, dan hal ini terbukti berdampak pada peringkat kewirausahaannya yang lebih tinggi dari Indonesia. Studi yang dilakukan oleh Ulku (2004) pada berbagai negara di dunia menemukan bahwa R&D merupakan faktor utama yang menumbuhkan inovasi, dan inovasi yang berkembang dengan baik terbukti mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kajian yang dilakukan Yanyun dan Mingqian dari The Center for Applied Statistics, Renmin University of China (www.kdi.re.kr/upload); juga menemukan adanya keterkaitan yang sangat kuat antara pengeluaran negara untuk R&D dengan terciptanya pertumbuhan ekonomi. PEMANFAATAN IT DALAM KEGIATAN USAHA Dalam era sekarang, kualitas kewirausahaan suatu bangsa dapat diukur dari familiaritas penduduk dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk kegiatan bisnis. Pemanfaatan teknologi informasi memungkinkan terciptanya efisiensi ekonomi dan meningkatkan produktivitas. Data pada tabel 5 menggambarkan kemampuan Indonesia dalam memanfaatkan teknologi informasi dalam rangka memperkuat jejaring kegiatan usaha bisnis dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Tabel 5. Indeks Kemampuan Membangun Jejaring Peringkat 2013 Peringkat 2012 Negara Koefisien Indeks (dari 144 Negara) (dari 142 Negara) 2 Singapura 5.98 3 30 Malaysia 4.82 29 57 Brunei 4.11 54 74 Thailand 3.87 77 76 Indonesia 3.84 80 84 Vietnam 3.74 83 86 Phillipina 3.73 86 Sumber: The Global Information Technology Report, 2013; WEF 2013 Secara head to head dengan sesama negara anggota ASEAN, Indonesia pada posisi relatif setara dengan Thailand, relatif unggul di atas Vietnam dan Phillipina; tetapi berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Brunei Darusalam. Meskipun demikian, Indonesia berpotensi untuk memperbaiki posisi karena dari sisi pemanfaatan IT Indonesia lebih unggul dibandingkan dengan Vietnam, Phillipina, dan Thailand. Tabel 6 menjelaskan peringkat pemanfaatan IT dibandingkan dengan beberapa negara di kawasan ASEAN. Perangkat IT oleh lembaga bisnis di Singapura dan Malaysia jauh lebih intensif dibandingkan dengan Indonesia. Dilihat dari skor indeks, bisa dikatakan intensitas pemanfaatan IT di Singapura dan Malaysia dua kali lipat dibandingkan dengan Indonesia. Hal yang sama juga terjadi pada lembaga pemerintahan, di mana Indonesia menduduki P a g e [ 815 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 posisi keempat di bawah Singapura, Malaysia, dan Brunei. Sedangkan pemanfaatan IT oleh individu di Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, Brunei, Vietnam, dan Thailand. Pemanfaatan IT oleh individu di Indonesia hanya unggul dibandingkan dengan Phillipina. Tabel 6. Indeks Pemanfaatan IT Beberapa Negara ASEAN Rank
Negara
Skor
Individual Usage
Business Usage
Rank Skor Rank Skor 3 Singapura 5.86 11 6.13 14 5.18 29 Malaysia 4.83 46 4.44 26 4.49 41 Brunei 4.21 49 4.32 59 3.56 70 Indonesia 3.58 92 2.74 40 3.81 73 Vietnam 3.52 78 3.08 88 3.30 76 Philipina 3.46 95 2.69 47 3.65 83 Thailand 3.39 88 2.84 63 3.50 Sumber: The Global Information Technology Report, 2013; WEF 2013
Goverment Usage Rank Skor 1 6.29 7 5.57 33 4.75 58 4.20 62 4.16 67 4.04 86 3.84
Pemanfaatan IT secara intensif akan mempengaruhi kegiatan bisnis. Semakin intensif pemanfaatan IT pada sebuah negara, maka kegiatan bisnis di negara tersebut akan semakin berkembang. Berkembangnya kegiatan bisnis menandakan berkembangnya budaya kewirausahaan, dan hal ini akan mempengaruhi kehidupan sosial. Tabel 7. Pemanfaatan IT dan Dampaknya Terhadap Dimensi Sosial Ekonomi Dampak Ekonomi Dampak Sosial Rank Negara Skor Rank Skor Rank Skor 1 Singapura 6.13 2 5.98 1 6.28 27 Malaysia 4.52 29 4.02 25 5.02 39 Brunei 4.07 48 3.43 35 4.71 68 Phillipina 3.50 56 3.37 76 3.62 75 Vietnam 3.39 89 2.97 64 3.81 86 Indonesia 3.30 101 2.85 72 3.74 88 Thailand 3.28 108 2.77 72 3.74 Sumber: The Global Information Technology Report, 2013; WEF 2013 Tabel 7 menjelaskan pemanfaatan IT di Indonesia dan dampaknya terhadap kegiatan sosial dan ekonomi. Data tersebut menunjukkan posisi Indonesia masih berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Brunei; serta di atas Vietnam, Phillipina, dan Thailand; namun pemanfaatan IT baik oleh individu, lembaga bisnis, dan lembaga pemerintahan belum memberikan dampak sosial ekonomi yang optimal. Dampak pemanfaatan IT terhadap aktivitas ekonomi masih menempatkan Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, Brunei, Phillipina, dan Vietnam. Sedangkan dampak pemanfaatan IT bagi terbangunnya kehidupan sosial masih menempatkan Indonesia sejajar dengan Thailand, dan berada di bawah Singapura, Malaysia, Brunei, dan Vietnam. Berbagai fakta tersebut [ 816 ] P a g e
Urgensi Penguatan Budaya… (Agus Prianto)
menunjukkan bahwa keberadaan IT di Indonesia belum mampu dimanfaatkan untuk kegiatan yang lebih produktif. Kemampuan Indonesia dalam memanfaatkan IT guna mendukung kemampuan memperebutkan peluang pasar terlihat berada di bawah Singapura, relatif setara dengan Malaysia dan Thailand; dan relatif unggul dibandingkan dengan Vietnam. Indonesia harus memperkuat sarana infrastruktur di bidang IT untuk mendukung tumbuh suburnya budaya wirausaha. PERBANDINGAN DAYA SAING INDONESIA DENGAN NEGARA ASEAN TERPILIH Berdasarkan paparan data di atas, maka dibuat perbandingan daya saing Indonesia dengan Negara ASEAN lainnya. Sebagai perbandingan pertama, Malaysia pada tahun 2013 memiliki daya saing pada peringkat 24 (dari 148 negara). Malaysia sampai dengan tahun 2013 dinilai telah mampu menciptakan efisiensi ekonomi, dan sedang berada pada masa transisi menuju pada perekonomian yang digerakkan oleh kekuatan inovasi (transisi dari grade 2 ke grade 3). Bukti bahwa Malaysia telah mampu menciptakan efisiensi dapat dilihat dari kegiatan memulai usaha bisnis hanya 3 prosedur (peringkat 10) dengan jumlah hari yang diperlukan hanya 6 hari (peringkat 16). Berbagai pilar penentu daya saing Malaysia juga jauh lebih baik dibandingkan dengan Indonesia (WEF, 2013). Keberhasilan Malaysia untuk melewati masa transisi menuju pada perekonomian yang digerakkan oleh inovasi akan memberikan kekuatan besar dalam menghadapi AEC. Secara head to head kualitas perekonomian Indonesia masih berada di bawah Malaysia. Artinya, dalam arena AEC Indonesia harus bersaing sangat keras dengan Malaysia untuk memperebutkan pasar. Perbandingan kedua, Thailand pada tahun 2013 memiliki daya saing pada peringkat 37 (dari 148 negara). Peringkat daya saing Thailand berimbang dengan Indonesia yang berada pada peringkat 38. Namun Indonesia berhasil melakukan lompatan peringkat sampai 12 level dari peringkat 50 pada tahun 2012, sedangkan Thailand naik satu level dari peringkat 38 pada tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan daya saing Indonesia menjadi lebih baik bila dibandingkan dengan Thailand. Sebagaimana Indonesia, perekonomian Thailand juga berada dalam tahap efisiensi ekonomi (grade 2). Lima faktor menyumbang lebih dari 70% yang menjadi penyebab terhambatnya kegiatan bisnis. Kelima faktor tersebut meliputi: korupsi (20,2%), instabilitas pemerintahan (16,5%), kebijakan pemerintah yang tidak stabil (13,5%), inefisiensi birokrasi pemerintahan (13,4%), dan keterbatasan kemampuan berinovasi (7,5%). Thailand memiliki keunggulan dalam hal ukuran pasar (market size) pada peringkat 22, kondisi makro ekonomi pada peringkat 31, pasar keuangan peringkat 32, dan efisiensi pasar barang peringkat 34. Ada 4 prosedur (peringkat 20) yang harus dilalui untuk memulai kegiatan bisnis dengan waktu yang diperlukan sebanyak 29 hari (peringkat 106) (WEF, 2013). Berdasarkan data-data tersebut, maka kemampuan perekonomian Indonesia dan Thailand relatif berimbang. Indonesia tentu memiliki keunggulan dalam hal ukuran pasar yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Thailand. P a g e [ 817 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Dapat dikatakan, Thailand memiliki level yang relatif sama dengan Indonesia untuk menghadapi AEC. Perbandingan ketiga, Vietnam pada tahun 2013 memiliki daya saing pada peringkat 70 (dari 148 negara). Vietnam berhasil melakukan lompatan peringkat 5 level dari peringkat 75 pada tahun 2012. Perekonomian Vietnam masih sangat tergantung pada ketersediaan faktor produksi (grade 1). Hingga saat ini keunggulan Vietnam hanya pada ukuran pasar (market size) yang berada pada peringkat 36. Selebihnya Vietnam masih harus berjuang keras untuk meningkatkan daya saing. Lima faktor menyumbang lebih dari 70% yang menjadi penyebab terhambatnya kegiatan bisnis. Kelima faktor tersebut meliputi: akses keuangan (18,4%), kebijakan pemerintah tidak konsisten (11,4%), keterbatasan tenaga kerja terdidik (10%), inflasi (9,9%), dan keterbatasan sarana infrastruktur, regulasi perpajakan, dan korupsi (25,2%). Ada 10 prosedur (peringkat 116) yang harus dilalui untuk memulai kegiatan bisnis dengan waktu yang diperlukan sebanyak 34 hari (peringkat 114) (WEF, 2013). Berbagai data tersebut menunjukkan bahwa perekonomian Vietnam masih jauh dari efisien. Bila diukur pada saat ini, daya saing Vietnam dalam kancah AEC berada di bawah Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Phillipina. Dengan demikian secara head to head kualitas perekonomian Indonesia relatif lebih unggul dibandingkan dengan Vietnam. Perbandingan keempat, Phillipina pada tahun 2013 memiliki daya saing pada peringkat 59 (dari 148 negara). Bersama dengan Indonesia, Phillipina berhasil melakukan lompatan peringkat daya saing, karena pada tahun 2012 masih berada pada peringkat 65 (dari 144 negara), dan tahun 2011 pada peringkat 75 (dari 142 negara). Sampai dengan tahun 2013, Phillipina masih sedang berjuang untuk bertransisi dari perekonomian yang tergantung pada ketersediaan faktor produksi menuju pada efisiensi ekonomi (transisi dari grade 1 ke grade 2). Ada lima faktor yang membuat kegiatan bisnis di Phillipina menjadi tidak mudah. Kelima faktor tersebut bahkan menyumbang terjadinya kesulitan bisnis hingga lebih dari 70%. Kelima faktor tersebut meliputi: sarana infrastruktur belum memadai (21,1%), korupsi (17,8%), inefisiensi birokrasi (16,9%), regulasi perpajakan (8,6%), dan regulasi perburuan yang tidak kondusif (8,4%). Ada 16 prosedur (peringkat 145) yang harus dilalui untuk memulai kegiatan bisnis dengan waktu yang diperlukan sebanyak 36 hari (peringkat 118) (WEF,2013). Berbagai faktor inilah yang menyebabkan Phillipina belum mampu mencapai efisiensi ekonomi. Problem di Phillipina sebenarnya hampir sama dengan di Indonesia, namun Indonesia beruntung memiliki ukuran pasar yang sangat besar dan mampu menciptakan kondisi makro ekonomi yang relatif stabil. Dengan demikian secara head to head kualitas perekonomian Indonesia relatif lebih unggul dibandingkan dengan Phillipina. Dengan menggunakan berbagai parameter yang dikeluarkan oleh WEF 2013, maka secara head to head daya saing Indonesia masih berada di bawah Singapura dan Malaysia, selevel dengan Thailand, dan berada di atas Phillipina dan Vietnam. Dapat dikatakan, pesaing utama Indonesia pada AEC nanti adalah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Meskipun demikian, Vietnam dan Myanmar akan menjadi ancaman serius, [ 818 ] P a g e
Urgensi Penguatan Budaya… (Agus Prianto)
karena akir-akhir ini mulai mampu menarik minat para investor global untuk menanamkan kegiatan investasinya (2011-12 & 2013 ASEAN-BAC Survey On ASEAN Competitiveness). Tabel 8 menggambarkan bahwa daya tarik Indonesia di mata investor global berada di bawah Singapura, Vietnam, dan Malaysia. Pada tahun 2012, daya tarik Indonesia sejajar dengan Thailand, dan berada di atas Laos, Myanmar, Kamboja, Phillipina, dan Brunei. Sedangkan tahun 2013, daya tarik Indonesia berada di bawah Myanmar, Malaysia, Singapura; tetapi berada di atas Vietnam, Thailand, Laos, Kamboja, Phillipina, dan Brunei. Tabel 8. Daya Tarik Negara ASEAN Di Mata Investor Global 2011-2014 2013-2015 Negara Peringkat Negara Peringkat (%) (%) Singapura 7,9 1 Myanmar 12,4 1 Vietnam 7,9 2 Malaysia 11,4 2 Malaysia 7,3 3 Singapura 8,1 3 Thailand 3,8 4 Indonesia 6,8 4 Indonesia 3,8 5 Vietnam 6,2 5 Laos 2,2 6 Laos 3,9 6 Myanmar 1,9 7 Thailand 3,3 7 Kamboja 0,6 8 Kamboja 3,3 8 Phillipina 0,6 9 Phillipina 1,3 9 Brunei 0,3 10 Brunei 0,3 10 Total 37,5 Total 57 Sumber: 2011-12 & 2013 ASEAN-BAC Survey On ASEAN Competitiveness Malaysia dan Singapura adalah dua negara ASEAN yang konsisten mampu menarik para investor global. Negara ASEAN yang mengalami peningkatan daya tarik adalah Myanmar dan Indonesia. Negara ASEAN yang mengalami penurunan daya tarik adalah Vietnam dan Thailand. Meskipun demikian, pada tahun 2011 Vietnam juga secara fenomenal mampu mengungguli Malaysia dalam menarik investor global. Sedangkan negara ASEAN yang tetap dinilai kurang menarik oleh para investor adalah Laos, Kamboja, Phillipina, dan Brunei. Selain Indonesia, Myanmar merupakan negara di ASEAN yang paling fenomenal dalam meningkatkan daya tarik bagi investor global. Hal ini menunjukkan bahwa ada upaya serius yang dilakukan oleh Myanmar untuk menghadapi persaingan. Data-data terdahulu seolah-olah menunjukkan bahwa persaingan dalam masyarakat ASEAN cenderung hanya melibatkan Malaysia, Thailand, Indonesia, dengan Singapura sebagai top leader. Kini muncul negara Vietnam dan Myanmar yang mulai mampu mengusik kemapanan Malaysia, Thailand, dan Indonesia dalam urusan membangun daya tarik kegiatan investasi. Dengan kata lain, dalam AEC nanti selain harus bersaing keras dengan Singapura, Malaysia, Thailand; Indonesia akan mendapatkan tekanan yang kuat dari Vietnam, Myanmar, dan Phillipina. Bila menggunakan parameter P a g e [ 819 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 tahun 2013, pada saat ini daya saing Indonesia berada di bawah Singapura dan Malaysia, sejajar dengan Thailand; tetapi berada pada di atas negara anggota ASEAN lainnya. SIMPULAN Berdasarkan sajian berbagai data tentang kinerja perekonomian Indonesia dan berbagai variabel yang mempengaruhi daya saing negara-negara di kawasan ASEAN, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Hingga saat ini, Indonesia adalah merupakan negara yang memiliki ukuran pasar paling besar di kawasan ASEAN. Dengan proporsi jumlah penduduk dan GDP mencapai 40% dari total penduduk dan GDP negara ASEAN, dan didukung dengan rerata pendapatan per kapita lebih dari $3.500 (kelompok negara berpendapatan menengah), membuat Indonesia ibarat sebuah pasar yang berukuran jumbo. Pertumbuhan ekonomi positif selama beberapa tahun terakhir membuat Indonesia berpotensi menjadi pusat bisnis di kawasan ASEAN. 2. Meningkatnya rerata pendapatan per kapita penduduk Indonesia telah meningkatkan daya beli masyarakat. Konsumsi nasional meningkat sangat pesat, dan hal ini menjadi salah faktor yang menggerakkan perekonomian nasional. Peningkatan konsumsi nasional juga membuka peluang usaha yang sangat besar. Negara-negara ASEAN telah memanfaatkan peluang pasar ini yang ditandai dengan membanjirkan produk-produk barang impor ke dalam pasar di Indonesia. Hal ini mengindikasikan ada persoalan daya saing yang dialami oleh pelaku usaha di dalam negeri. 3. Indonesia harus berupaya keras untuk memperkuat budaya wirausaha. Peningkatan produktivitas dan kemampuan menciptakan produk berkualitas akan digerakkan oleh para pewirausaha. Tingkat produktivitas sangat berkaitan dengan kegiatan research and development (R&D). R&D merupakan pilar utama dari inovasi, dan kemampuan berinovasi akan mempengaruhi terciptanya budaya wirausaha. Di kawasan ASEAN, budaya wirausaha Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand. Hal ini menjadi tantangan bagi Indonesia untuk memperkuat budaya wirausaha. Untuk menghadapi AEC, negara dengan budaya wirausaha yang kuat merupakan persyaratan utama harus bisa dipenuhi. Budaya wirausaha yang kuat merupakan salah satu faktor utama pembentuk daya saing bangsa 4. Kualitas kewirausahaan pada sebuah negara berkaitan erat dengan kemampuan memanfaatkan IT untuk membangun jejaring usaha dan meningkatkan produktivitas. Sarana IT membuat berbagai aktivitas bisnis akan dapat berjalan dengan cepat, efektif, dan efisien. Penguasaan IT yang optimal oleh para pewirausaha akan memungkinkan mereka untuk menangkap peluang usaha. Indonesia harus mendorong para warganya untuk memanfaatkan IT untuk meningkatkan produktivitas kerja, menciptakan efektivitas dan efisiensi kerja; sehingga dapat tercipta daya saing. 5. Kemampuan Indonesia untuk berkiprah dalam era AEC dapat dipotret dari daya saing Indonesia pada saat ini dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN. Daya [ 820 ] P a g e
Urgensi Penguatan Budaya… (Agus Prianto)
1.
2.
3.
4.
saing Indonesia pada saat ini berada di bawah Singapura dan Malaysia, relatif setara dengan Thailand; dan relatif unggul dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Beberapa saran yang diajukan adalah sebagai berikut: Pelaku usaha di dalam negeri harus memahami, mengerti, dan mengetahui berbagai konsekuensi hadirnya era AEC. Untuk itu, pemerintah perlu berkomunikasi lebih intensif dengan para pelaku usaha tentang segala hal yang berkaitan dengan AEC. Potensi pasar di dalam negeri yang sangat besar, seiring dengan meningkatnya GDP dan IPC; tidak akan memberikan manfaat optimal bagi perekonomian nasional apabila para pelaku usaha di dalam negeri kalah bersaing dengan pelaku usaha dari negara lain. Oleh karena itu semua pihak, baik pemerintah maupun pelaku usaha harus terus berupaya untuk meningkatkan daya saing. Budaya wirausaha harus diperkuat dan dijadikan lifestyle baru dalam kehidupan masyarakat. Pemerintah bersama-sama dengan segenap komponen masyarakat, terutama lembaga pendidikan tinggi harus memiliki program riil untuk memperkuat budaya wirausaha. Penguatan budaya wirausaha harus dilaksanakan secara masif, dan menjadi program nasional yang menyentuh sampai level pelosok desa; sebagaimana pemerintah melaksanakan program keluarga berencana pada masa lampau. Institusi pendidikan tinggi harus mengambil peran nyata untuk meningkatkan daya saing bangsa, ikut menumbuhkan budaya wirausaha bagi para mahasiswanya, dan meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan guna menciptakan inovasi guna ikut mendorong tumbuh suburnya budaya wirausaha. Pemerintah harus memiliki komitmen kuat untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan berkembangnya budaya wirausaha. Hal ini dapat dilakukan dengan memperluas dan memperkuat jaringan IT dan menyediakan dana yang memadai untuk berkembangnya kegiatan inovasi melalui kegiatan penelitian dan pengembangan.
DAFTAR PUSTAKA Aaron Flaaen, Ejaz Ghani, & Saurabh Mishra. (2013). “How to avoid middle-income traps? Evidence from Malaysia”, dalam www.voxeu.org, diakses 2/12/2013 ASEAN. (2014). ASEAN Economic Community www.asean.org/communities, diakses 2/1/2014
(AEC)
Blueprint,
dalam
Asnet. (2013). R&D in ASEAN, dalam www.asnet.asean.org, diakses 12/12/2013 Bank Dunia. (2013). Worldwide Governance Indicators, www.data.bankdunia.org, diakses 1/10/2013 Baron, R.A. (2004). The Cognitive Perspective: A Valuable Tool for Answering Entrepreneurship’s Basic “Why” Question. Journal of Business Venturing. Vol. 19 pp. 221-239 BBC. (2013). Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Capai Angka Tertinggi-BBC Indonesia, dalam www.bbc.co.uk , diakses 19/12/2013 P a g e [ 821 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Berita Resmi Statistik. (2013). Ekspor dan Impor Indonesia, dalam Berita Resmi Statistik No. 49/Th.XVI, 1 Agustus 2013 Beritasatu. (2013). Persiapan Indonesia Menghadapi Pasar Bebas ASEAN Masih Belum Optimal, dalam www.m.beritasatu.com/ekonomi, diakses 18/12/2013 Bisnis. (2013). Kewirausahaan Indonesia Dan Negara ASEAN, dalam www.bisnis.com, diakses 28/12/2013 BPS (2013). Data Ekspor dan Impor Indonesia, www.bps.go.id , diakses 14/11/2013 BPS (2013). Jumlah Angkatan Kerja 2013 Capai 118,2 Juta, dalam www.investor.co.id, diakses 9/1/2014 BPS. (2013). Jumlah Penduduk Miskin Sampai September 2013 Capai 28,55 Juta, dalam www.bps.go.id, diakses 8/1/2014 BPS. (2013). Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2013, dalam www.bps.go.id, diakses 20/12/2013 Drucker, P.F. (1985). Innovation and Entrepreneurship. New York: Harper & Row Etc-thai. (2012). Thailand 2012: The Year of English Speaking, dalam www.etc-thai.com, diakses 8/11/2013 Ey. (2013). The EY G20 Entrepreneurship Baromater 2013, dalam www.ey.com, diakses 3/1/2014 Icird. (2013). Assesing the Integration of Vietnam’s Distribution Services in AEC, dalam www.icird.org, diakses 2/12/2013 IMF. (2011). GDP and IPC Data in 2011, dalam www.imf.org, diakses 9/11/2012 Investor. (2013). Kelas Menengah Capai www.investor.co.id , diakses 14/12/2013
60%
Penduduk
Indonesia,
dalam
Kpmg. (2013). 2013 Change Readiness Index, Assesing Countries’ Ability to Manage Change and Cultivate Opportunity, dalam www.kpmg.com/global, diakses 2/1/2014 Kriengsak. (2013). Thailand’s Readiness for the ASEAN Economic Community, dalam www.kriengsak.com, diakses 20/12/2013 Lkyspp. (2012). 2011-12 & 2013 ASEAN-BAC Survey On ASEAN Competitiveness, dalam www.lkyspp.nus.edu.sg/2013-ASEAN-BAC-Survey, diakses 3/1/2014 Okezone. (2013). Investasi Asing Terus Tumbuh, dalam www.m.okezone.com, diakses 11/11/2013 Pikiran Rakyat. (2014). Kewirausahaan Indonesia Tertinggal, dalam www.pikiranrakyat.com, diakses 7/1/2014 Ppusdatinaker (2013). Pengangguran Terbuka Nasional Menurut Pendidikan dan Lokasi tempat Tinggal, dalam www.pusdatinaker.balitfo.depnakertrans.go.id, diakses 12/12/2013 Prosperity. (2013). The 2011 Legatum Prosperity www.prosperity.com/rankings.aspx, diakses, 13/12/2013
Index,
dalam
Republika. (2013). Jumlah Penduduk Indonesia 2013 diperkirakan 250 juta jiwa, www.republika.co.id, diakses 11/12/2013 [ 822 ] P a g e
Urgensi Penguatan Budaya… (Agus Prianto)
Seneviratne, Dulani and Sun, Yan. 2013. Infrastructure and Income Distribution in ASEAN-5: What are the link. IMF Working Paper Tempo. (2013). Kelas menengah Indonesia Akan Melonjak 250%, dalam www.tempo.com, diakses 21/11/2013 Thegedi. (2014). Global Entrepreneurship and Development Index, 2013, dalam www.thegedi.org, diakses 3/1/2014 Tribunnewes. (2014). TPT Sampai Dengan www.tribunnews.com, diakses 8/1/2014
Agustus
2013
6,25%,
dalam
Tribunnews. (2014). Pengangguran di Indonesia Mencapai 7,39 Juta, dalam www.tribunnews.com, diakses 6/1/2014 Ulku, Hulya. 2004. R&D, Innovation, and Economic Growth: An Empirical Analysis. IMF Working Paper, dalam www.imf.org , diakses 7/1/2014 UNESCO. (2013). UNESCO Institute for Statistics, July 2011, dalam www.en.unesco.org, diakses 3/3/2012 Unescobkk. (2013). Entrepreneurship in Indonesia: The Importance of Educational institutions, dalam www.unescobkk.org/education, diakses 20/10/2013 Veteransbank. (2013). PHL Urged to Be Ready for ASEAN Integration dalam www.veteransbank.com, diakses 2/12/2013 Voxeu. (2013). How to avoid middle-income traps? Evidence from Malaysia” www.voxeu.org, diakses 23/7/2013 Weforum. (2013). The Global Information Technology Report, 2013, WEF 2013, dalam www.weforum.org/reports, diakses 1/1/2014 Weforum. (2013). The Travel & Tourism Competitiveness Report 2013, WEF 2013, dalam www.weforum.org/reports , diakses 1/1/2014 Wikipedia. (2013). G20 Major Economies-Wikipedia, The Free Encyclopedia, dalam www.en.wikipedia.org, diakses 20/10/2013 Worldbank. (2010). GDP (current US$) Data in 2010, dalam www.worldbank.org, diakses 11/11/2013 Worldbank. (2012). Research dan Development Expenditure % to GDP, dalam www.worldbank.org, diakses 17/11/2012 Yanyun, Zhao; Mingqiang, Zhang. Tanpa Tahun. R&D and Economic Growth, Panel Data Analysis in ASEAN+3 Countries. The Center for Applied Statistics, Renmin University of China, dalam www.kdi.re.kr/upload, diakses 2/1/2014 Zampetakis, Leonidas A; Gotsi, Manto; Andriopoulos, Constantine & Moustakis, Vassilis. 2011. Creativity and Entrepreneurial Intention in Young People. Entrepreneurship and Innovation. Vol. 12 pp. 189-199
P a g e [ 823 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
PRINSIP 6C (CHARACTER, CAPACITY, CAPITAL, CONDITION OF ECONOMY, COLLATERAL DAN CONSTRAINT) DALAM WIRAUSAHA MAHASISWA Henny Sri Astuty
PE Unirow Tuban
[email protected]
Abstrak Kegiatan wirausaha yang sekarang banyak dilakukan oleh mahasiswa memiliki sisi positif maupun negatif, dari yang berhasil kuliah dan wirausahanya hingga yang gagal semuanya. Untuk ini diperlukan pemahaman tentang prinsip enam C (character, capacity, capital, condition of economy, collateral and constraint) yang akan membantu mahasiswa sebagai bekal dalam melakukan kegiatan usahanya. Banyak faktor yang diperoleh dalam prinsip ini yaitu aspek manajemen, pemasaran, produksi, dan keuangan; dan juga pengetahuan tentang jaminan sebagai bentuk seandainya mahasiswa sebagai pelaku usaha meminjam dana dari pihak lain baik berupa jangka panjang maupun jangka pendek; serta hambatan dan risiko yang akan dihadapi. Kata Kunci: prinsip 6c, wirausaha, mahasiswa
PENDAHULUAN Semaraknya kegiatan mahasiswa dalam menambah pengetahuannya tidak menutup kemungkinan seorang mahasiswa juga melakukan kegiatan yang lain, baik mereka memiliki alasan untuk mengurangi beban orang tua, menambah uang saku, maupun sebagai sarana penghilang rasa jenuh, sehingga mereka lupa pada kegiatan yang sebenarnya mereka lakukan yaitu menuntut ilmu di bangku kuliah yang pada akhirnya membawanya hingga tidak segera menyelesaikan kuliahnya. Banyaknya kegiatan yang dilakukan baik dalam naungan Unit Kegiatan Mahasiswa ataupun kegiatan wirausaha yang dilakukan akan membawa dampak baik positif maupun negatif kalau mahasiswa tersebut tidak dapat menganalisa, menelaah, dan mengevaluasi kegiatan yang dijalankan. Pada satu sisi kegiatan yang dilakukannya dapat meningkatkan skill yang harus dimiliki, tetapi pada sisi yang lain mereka masih kurang memaknai bahwa kegiatan yang dilakukan khususnya yang berkaitan dengan perekonomian (wirausaha) mereka dan dengan alasan apapun mereka belum dapat memperkecil risiko yang akan dihadapi. Seiring dan sejalan dengan kegiatan perekonomian Indonesia yang menuju ke Masyarakat Ekonomi ASEAN, maka mahasiswa diharapkan dapat bersaing baik dalam keilmuan maupun skill yang harus dimiliki. Hal ini sering terjadi dan dialami oleh mahasiswa untuk segera berusaha mencari pekerjaan ataupun peluang usaha tanpa melakukan proses pemikiran secara matang; sehingga dari beberapa yang mencoba peruntungan di bidang usaha hanya beberapa saja yang tetap berjalan menjalankan usahanya. Mereka ini adalah mahasiswa yang cerdas, tanggap, dan memiliki empati serta kreativitas dan inovasi yang tinggi. Beberapa pertimbangan yang mereka miliki saat [ 824 ] P a g e
Prinsip 6C… (Henny Sri Astuty)
seorang mahasiswa melakukan kegiatan wirausaha sambil kuliah adalah susahnya mencari lapangan kerja sehingga mereka berusaha untuk mencari peluang kerja senyampang menjadi mahasiswa. Untuk ini mahasiswa dipandang perlu untuk mengetahui prinsip 6C sebagai bahan pertimbangan dalam menyongsong masyarakat ekonomi ASEAN dalam kegiatan kewirausahaan yang dijalankannya. PEMBAHASAN Kegiatan kewirausahaan yang dilakukan oleh mahasiswa memang baik untuk dilaksanakan mengingat kondisi di Indonesia dilihat dari kegiatan entrepreneur masih kalah jika dibandingkan dengan negara lain, namun terlebih dahulu diperlukan beberapa hal yang diperhatikan misalnya pengertian wirausaha, permodalan, pengelolaan/ manajemen usahanya yang dalam melakukan kegiatan biasanya asal melakukan penjualan atau membuat sesuatu yang memang bermanfaat tetapi pelaku tidak memiliki modal sesuai dengan yang diharapkan, sehingga kelemahan mereka ini merupakan peluang bagi mereka yang memiliki modal lebih. Kelemahan dalam permodalan inilah yang sering menjadi bumerang bagi pelaku wirausaha mahasiswa. Dalam kegiatan ini sering hanya ada dua hal dalam diri mahasiswa yaitu ada modal berarti juga ada kegiatan wirausaha, yang pada kenyataannya untuk mendapatkan modal dalam pengertian uang tidak semudah yang dibayangkan karena modal yang sesungguhnya adalah modal yang dikaruniai oleh Tuhan YME Pendapat konvensional menyatakan bahwa kewirausahaan merupakan bakat yang dibawa sejak lahir, entrepreneurs are born not made, sehingga kewirausahaan dipandang bukanlah hal yang penting untuk dipelajari dan diajarkan. Dalam perkembangannya, ternyata kewirausahaan bukan hanya bakat sejak lahir dan bersifat praktek lapangan saja. Kewirausahaan merupakan suatu disiplin ilmu yang perlu dipelajari. Kematangan seorang wirausaha dapat dimatangkan selama dalam proses pendidikan. Adapun mengenai definisi tentang kewirausahaan Suryana (2003:1) mengatakan “kewirausahaan merupakan kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar manusia dalam mengelola sumberdaya untuk mencari peluang menuju sukses”. Hal ini diperkuat oleh Kasmir yang menyatakan arti wirausahawan (entrepreneur) adalah orang yang berjiwa berani mengambil risiko untuk membuka usaha dalam berbagai kesempatan. Berjiwa berani mengambil risiko artinya bermental mandiri dan berani memulai usaha, tanpa diliputi rasa takut atau cemas sekalipun dalam kondisi tidak pasti (Kasmir, 2007:18). Sedangkan menurut Drucker (1996), kewirausahaan merupakan kemampuan dalam menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Pengertian ini mengandung maksud bahwa seorang wirausahawan adalah orang yang memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, berbeda dari yang lain atau mampu menciptakan sesuatu yang berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya.
P a g e [ 825 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Berdasarkan beberapa definisi kewirausahaan di atas, dapat disimpulkan kewirausahaan lebih menekankan kepada sifat-sifat atau jiwa kewirausahaan. Seorang yang memiliki jiwa kewirausahaan ditandai oleh pola tingkah laku sebagai berikut : 1. Keinovasian (menciptakan, menemukan dan menerima ide baru). 2. Keberanian menghadapi risiko dalam menghadapi ketidakpastian dan pengambilan keputusan. 3. Kemampuan manajerial (perencanaan, pengkoordiniran, pengawasan dan pengevaluasian usaha). 4. Kepemimpinan (memotivasi, melaksanakan dan mengarahkan terhadap tujuan usaha). Beberapa ahli lainnya mengemukakan tentang definisi istilah wirausaha dan wiraswasta. Wirausaha berasal dari kata wira/perwira dan usaha. Wira/perwira berarti berani, sedangkan usaha berarti kegiatan untuk menghasilkan keuntungan. Jadi menurut asal katanya wirausaha adalah orang yang memiliki keberanian untuk menjalankan kegiatan guna menghasilkan keuntungan. Hal ini sejalan dengan pendapat Kasmir (2007:16) bahwa wirausahawan adalah orang yang berjiwa berani mengambil resiko untuk membuka usaha baru dalam berbagai kesempatan. Sedangkan pendapat Zimmerer yang dikutip oleh Dewanti (2008:8), wirausaha adalah hasil dari suatu disiplin, proses sistematis penerapan kreativitas dan inovasi dalam memenuhi kebutuhan dan peluang di pasar. Terkait dengan definisi wirausaha, Wiratmo (1995) menggunakan istilah wiraswastawan. Istilah wiraswastawan (entrepreneurs) berasal dari Perancis yang secara harfiah diterjemahkan sebagai perantara, sedang kewiraswastaan secara lebih luas didefinisikan sebagai proses penciptaan sesuatu yang berbeda nilainya dengan menggunakan usaha dan waktu yang diperlukan, menanggung risiko finansial, psikologi, dan sosial yang menyertainya, serta menerima jasa moneter dan kepuasan pribadi. Di dalam kewiraswastaan disepakati adanya tiga jenis perilaku yaitu: (1) memulai inisiatif, (2) mengorganisasi dan mereorganisasi mekanisme sosial/ekonomi untuk mengubah sumberdaya dan situasi dengan cara praktis, (3) diterimanya resiko atau kegagalan. Wiraswastawan umumnya mempunyai sifat yang sama yaitu orang yang memiliki energi, keinginan untuk terlibat dalam inovasi, kemauan untuk menerima tanggung jawab pribadi dan keinginan untuk berprestasi yang sangat tinggi. Prestasi tinggi inilah yang akan membawa seseorang untuk tertarik dan kesungguhan para calon wirausahawan, sehingga akan mengantarkannya sebagai profesi wirausaha. Sebagaimana dikemukakan Zimmerer (2008) bahwa wirausaha memiliki keunggulan-keunggulan sebagai berikut: (1) Memiliki peluang untuk mengendalikan nasib sendiri, (2) Memiliki kesempatan untuk melakukan perubahan, (3) Memiliki peluang untuk menggunakan potensi sepenuhnya, (4) Memiliki peluang untuk memperoleh pendapatan tanpa batas, (5) Memiliki peluang untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat, (6) Memiliki peluang untuk melakukan sesuatu yang disukai
[ 826 ] P a g e
Prinsip 6C… (Henny Sri Astuty)
Sedangkan kekurangan profesi wirausaha adalah: (1) Pendapatan yang tidak pasti, (2) Memiliki resiko kehilangan seluruh modal, (3) Perlu kerja keras dalam waktu yang lama, (4) Mutu hidup rendah sampai bisnis mapan, (5) Memiliki tanggungjawab penuh terhadap keberhasilan usaha Dengan melihat berbagai keunggulan dan kelemahan di atas, menunjukkan bahwa keberhasilan dan kesuksesan wirausaha harus diperjuangkan. Sukses tidak datang sendiri tanpa diusahakan. Hal ini menyadarkan kita bahwa untuk bisa meraih keberhasilan dalam hidup, maka setiap orang harus berjuang. Perjuangan yang sangat keras dan dilengkapi dengan ikhtiar dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menghasilkan kesuksesan. Perjuangan yang selalu dilakukan biasanya berkaitan dengan pendanaan atau sering disebut dengan modal, dan modal yang dihadapi oleh calon wirausaha yang dalam hal ini adalah mahasiswa adalah mencari modal dari pihak lain selain orang tua. Oleh karena itu diperlukan adanya pemahaman terhadap beberapa faktor yang berkaitan dengan modal, yang di dalam mencari atau memberi permodalan terdapat syarat yaitu character/sifat , capacity/kemampuan manajemen, capital/posisi keuangan, condition of economy/kondisi ekonomi, collateral/jaminan, dan constraint/hambatan) yang sering disebut dengan prinsip 6C. Prinsip 6C ini pada dasarnya sering digunakan oleh dunia perbankan, tetapi semua kegiatan perekonomian tidak akan lepas dari bank, sehingga dipandang perlu untuk mengadopsi prinsip ini dalam kegiatan wirausaha mahasiswa. Kegiatan perekonomian ini tidak lepas dari pemberian kredit atau melakukan pencairan dana melalui kredit sehingga terdapat beberapa hal yang harus dipikirkan baik oleh kreditur atau juga debitur secara umum dan itu sudah menjadi penilaian secara umum, yaitu yang biasa dikenal dengan enam C (6C). Prinsip 5C Menurut Munawir (2007:235) adalah sebagai berikut: 1. Character Mencari data tentang sifat-sifat pribadi, watak dan kejujuran dari pimpinan perusahaan dalam memenuhi kewajiban – kewajiban finansialnya. Adapun beberapa petunjuk untuk mengetahui karakter adalah: a. Mengenal dari dekat b. Mengumpulkan keterangan mengenai aktivitas calon debitur c. Mengumpulkan keterangan dan meminta pendapat dari rekan- rekannya, pegawai dan sainganya mengenai reputasi, kebiasaan pribadi, pergaulan sosial dan lainlain. 2. Capacity Menerangkan tentang kemampuan dalam manajemen maupun keahlian dalam bidang usahanya, dilakukan dengan jalan mengetahui: a. Angka-angka hasil produksi. b. Angka-angka penjualan dan pembelian. c. Perhitungan rugi laba perusahaan saat ini dan proyeksinya. P a g e [ 827 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 d. Data-data finansiil diwaktu-waktu yang lalu, yang tercermin di dalam laporan keuangan perusahaan 3. Capital Ini menunjukkan posisi finansiil perusahaan secara keseluruhan yang ditunjukkan oleh ratio finansiilnya dan penekanan pada komposisi “Tangible net worth”nya, dapat dilakukan dengan menganalisa neraca selama sedikitnya dua tahun terakhi, dan mengadakan analisis ratio untuk mengetahui likuiditas, solvabilitas, rentabilitas dari perusahaan calon peminjam kredit. 4. Collateral Collateral berarti jaminan. Ini menunjukkan besarnya aktiva yang akan diikatkan sebagai jaminan, dan hal ini dapat dilakukan dengan cara: meneliti mengenai pemilikan jaminan, mengukur stabilitas dari pada nilainya, memperhatikan kemapuan untuk dijadikan uang dalam waktu relatif singkat tanpa terlalu menguurangi nilainya, memperhatikan pengikatan barang yang benar- benar menjamin kepentingan bank, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. 5. Conditions of Economy Melihat kondisi ekonomi secara umum serta kondisi pada sektor usaha sipeminta kredit, dengan cara melihat keadaan ekonomi yang akan mempengaruhi perkembangan usaha calon peminjam, kondisi usaha calon peminjam, perbandingannya dengan usaha sejenis lainnya di daerah dan lokasi lingkungannya; keadaan pemasaran dari hasil usaha calon peminjam, prospek usaha dimasa yang akan datang untuk kemungkinan bantuan kredit, kebijaksanaan pemerintah yang mempengaruhi terhadap prospek industri dimana perusahaan pemohon kredit termasuk didalamnya. 6. Constraint Constraint (Yuenita Maya: 2012)adalah batasan dan hambatan yang tidak memungkinkan suatu bisnis untuk dilaksanakan pada tempat tertentu. Berdasarkan pengertian prinsip 6 C (character/sifat , capacity/kemampuan manajemen, capital/posisi keuangan, condition of economy/kondisi ekonomi, collateral/jaminan, dan constraint/hambatan) ini mahasiswa benar-benar harus mengetahui kemampuan dirinya. Sifat atau karakter diri dalam menghadapi permasalahan yang akan dihadapi selama berwirausaha. Kemampuan manajemennya dalam mengelola usaha. Posisi keuangan saat mulai usaha sampai saat melakukan usaha, apakah dalam posisi yang aman (dalam arti tidak memiliki pinjaman atau tagihan yang berarti). Kemudian kondisi perekonomian secara makro atau mikro, baik internal usaha hingga eksternal usaha yang dijalankan. Ke 4 (empat) faktor dan prinsip ini jika tidak dipertimbangkan secara baik tidak menutup kemungkinan akan membawa mahasiswa wirausaha memiliki pinjaman atau tagihan yang harus ada jaminannya. Sehingga dengan adanya pinjaman dan tagihan yang memiliki jaminan akan dapat berpengaruh pada kegiatan mahasiswa dalam berwirausaha sehingga dapat juga menjadi hambatan jika tidak memiliki pengetahuan bahwa dengan jaminan yang ada sebenarnya bukan [ 828 ] P a g e
Prinsip 6C… (Henny Sri Astuty)
hambatan yang harus diterima tetapi cambuk untuk lebih berhasil. Untuk menguatkan kegiatan usaha yang dilakukan dan untuk menilai kelayakan suatu usaha, diperlukan pemahaman terhadap beberapa aspek yaitu meliputi: 1. Aspek umum Dalam hal ini harus diteliti masalah-masalah: Bentuk, nama dan alamat perusahaan; Susunan manajemen; Bidang usaha; Keterangan tentang jumlah pegawai atau buruh; Kebangsaan; Bank langganan; Bagan organisasi 2. Aspek ekonomi atau komersiil, Aspek ini meliputi masalah : Pemasaran dan keadaan harga; Persaingan; Jumlah penjualan dari tiap-tiap jenis produk; Dan cara penjualan; Taksiran permintaan dan sebagainya 3. Aspek teknik ; Aspek yang harus diteliti adalah : Bahan baku dan penolong yang dibutuhkan; Tanah dan tempat pabrik; Bangunan (milik, sewa, umum, harga); Urut-urutan proses produksi; Perincian mesin dan peralatan; Jumlah produksi; Tersedianya tenaga kerja (keahlian, pendidikan, tingkat upah); Dan lain-lain misalnya mengenai tenaga penggerak (diesel atau PLN), tersedianya air (sumur atau PAM) dan sebagainya. 4. Aspek yuridis ; Aspek yang memenuhi ketentuan hukum yang berlaku termasuk izin-izin yang diperlukan. 5. Aspek kemanfaatan dan kesempatan kerja ; Hal –hal yang harus diperhatikan adalah : Manfaat ekonomi bagi pendudukan dan pengaruhnya terhadap struktur perekonomian setempat; Jumlah tenaga kerja yang dapat diserap oleh proyek yang bersangkutan; Termasuk sektor yang diprioritaskan oleh pemerintah. 6. Aspek terakhir yang harus dianalisa yang merupakan aspek paling penting adalah aspek keuangan. Dengan melakukan penilaian terhadap aspek keuangan, di samping akan dapat diketahui likuiditas, solvabilitaas, rentabilitas, serta stabilitas, usaha juga akan diketahui berapa lama suatu investasi akan dapat dikembalikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keputusan atau kesimpulan yang diambil dalam pemberian kredit didasarkan atas kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian aspek keuangan. Jadi aspek keuangan didalam pertimbangan kredit memegang peranan penting, yaitu merupakan titik berat dalam analisa kredit. Selain itu untuk mempertimbangkan pemberian kredit ada juga yang disebut dengan 7P, 5P, dan 3R. Prinsip 7P menurut Thamrin Abdullah dan Francis Tantri (2012:174) adalah: 1. Personality
P a g e [ 829 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Yaitu menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau tingkah lakunya sehari-hari maupun masa lalunya. Personality juga mencakup sikap, emosi, tingkah laku dan tindakan nasabah dalam menghadapi suatu masalah. 2. Party Yaitu mengklasifikasikan nasabah kedalam klasifikasi tertentu atu golongan-golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas serta karakternya. 3. Purpose Yaitu untuk mengetahui tujuan nasabah dalam pengambilan kredit, termasuk jenis kredit yang diinginkan nasabah. Tujuan pengambilan kredit dapat bermacam-macam apakah tujuan untuk konsumtif atau untuk tujuan produktif atau untuk tujuan perdagangan. 4. Prospect Yaitu untuk menilai usaha nasabah di masa yang akan datang apakah menguntungkan atau tidak, atau dengan kata lain mempunyai prospek atau sebaliknya. 5. Payment Merupakan ukuran bagaimana cara nasabah mengembalikan kredit yang telah diambil atau dari sumber mana saja dana untuk pengembalian kredit yang diperolehnya. 6. Profitability Untuk menganalisis bagaimana kemampuan nasabah dalam mencari laba. Profitability diukur dari periode ke periode apakah akan tetap sama atau akan semakin meningkat, 7. Protection
1. 2. 3. 4.
1.
Tujuannya adalah bagaimana menjaga kredit yang dikucurkan namun melalui suatu perlindungan. Perlindungan dapat berupa jaminan barang atau orang atau jaminan asuransi. Berbeda lagi prinsip 5P menurut Tjoekam (1999:97), yaitu: People, yaitu suatu penilaian terhadap calon debitur, termasuk dalam hal ini mitra usahanya, orang, lembaga yang membackup debitur, customer Purpose, yaitu penilaian terhadap maksud permohonan kredit dari calon debitur. Payment, yaitu penilaian bilamana usaha debitur mengalami kegagalan. Perspective, yaitu penilaian atas kondisi usaha debitur di masa yang akan datang apakah mampu mengikuti kondisi ekonomi, keuangan dan fiskal. Demikian pula prinsip 3R menurut Hasibuan (2002:108), yaitu: Returns, adalah penilaian atas hasil yang akan dicapai perusahaan calon debitur setelah memperoleh kredit. Apabila hasil yang diperoleh cukup untuk membayar pinjamannya dan sekaligus membantu perkembangan usaha calon debitur bersangkutan maka kredit diberikan. Akan tetapi jika sebaliknya maka kredit jangan diberikan.
[ 830 ] P a g e
Prinsip 6C… (Henny Sri Astuty)
2. Repayment, adalah memperhitungkan kemampuan, jadwal, dan jangka waktu pembayaran kredit oleh calon debitur. 3. Risk Bearing Anility, adalah memperhitungkan besarnya kemampuan perusahaan calon debitur untuk menghadapi risiko, apakah perusahaan calon debitur resikonya besar atau kecil. Kemampuan perusahaan menghadapi risiko ditentukan oleh besarnya modal dan strukturnya, jenis bidang usaha, dan manajemen perusahaan bersangkutan. Jika Risk Bearing Anility perusahaan besar maka kredit tidak diberikan, tetapi apabila Risk Bearing Anility perusahaan kecil maka kredit juga akan dicairkan. Untuk membuat analisis kelayakan tersebut menjadi lebih kuat maka perlu juga diperhatikan hal-hal di bawah ini, yaitu selain prinsip-prinsip 6C (Character, Capacity, Capital, Condition of economy, Collateral dan Constraint) ada beberapa aspek –aspek yang tidak bisa dihilangkan dalam kajian kelayakan ini menurut (Irham F ahmi dan Y ovi L avianti hadi 2010:34) yaitu : 1. Aspek Manajemen (Management Aspect) Aspek manajemen ini mencakup pada kapabilitas dari manajer dan karyawan yang berada di proyek atau usaha tersebut. Penulusan aspek manajemen ini akan dimulai dari sisi yang paling dasar mulai dari karekter yang dimiliki oleh manajer dan para karyawan yang terlibat disana hingga sampai dengan latar belakang pandidikan yang mereka tempuh dengan tidak mengecualikan kualitas universitas/institute/akademi yang pernah dijalaninya. Analisis karakter ini dilakukan utnuk melihat apakah mereka memiliki jiwa berwirausaha atau tidak, atau apa yang dilakukanya ini lebih pada usaha ikut-ikutan karena melihat tren usaha yang berkembang pada saat itu atau memang ia benar-benar mamiliki konsep serta modal pemikiran berwirausaha. Adapun dari segi education (pendidikan) berkaitan dengan wawasan dan susunan menejemen administrasi yang dimiliki sehingga itu akan terlihat kualitasnya pada saat menjelaskan suatu masalah yang berkaitan dengan proyek/usaha yang sedang dirintisnya dengan kemampuan penjelasan yang jauh lebih sistematis dan berbobot ilmiah, apalagi jika education yang dimiliki sesuai dengan proyek/usaha yang sedang dibangunnya. 2. Aspek Keuangan Pada aspek ini berkaitan degan faktor kemampuan seoarang menajer dalam memproyeksikan cash flow-nya (arus kas) yang menunjukkan adanya kondisi yang meyakinkan bahwa nasabah tersebut mampu untuk memenuhi kewajibankewajiban finansialnya, termasuk yang paling utama adalah sanggub mengembalikan pinjaman tepat pada waktunya tanpa ada macet atau tunggakan. Penting sekali bagi pihak bank memahami masalah ini dengan serius karena masalah perbankan terbesar yang timbul adalah ketika para nasabah tidak mampu untuk melunasi atau mengalami kendala dalam membayar cicilan pinjaman beserta pokok bunganya. Sehingga dalam kasus seperti ini perbankan melihat ini sebagai bad debt atau piutang tak tertagih. 3. Aspek Pemasaran (Marketing Aspect) P a g e [ 831 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Keandalan marketing yang dimiliki oleh suatu perusahaan/lembaga tentunya akan mampu mendorong, manjangkau dan memasarkan produknya sampai ke tempattempat yang terjauh sekalipun. Maka bagus tidaknya manajemen pemasaran yang dimiliki berhubungan erat dengan terdistribusikanya barang dan jasa yang dihasilkan ke tangan konsumen tepat pada waktu yang disepakati dan juga mampu terjual sesuai dengan target yang diharapkan. Adapun pengertian pemasaran itu sendiri menurut William J. Stanton (2001:10) adalah suatu sistem dari keseluruhan, dari kegiatan-kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli yang potensial. Dalam marketing dikenal dengan yang namanya marketing mix atau bauran pemasaran. Marketing mix ini mencakup product (produk), place (tempat), price (harga), dan promotion (promosi) atau yang biasa dikenal dengan 4P. bagi suatu perusahaan sangat penting untuk memperhatikan, memahami, dan melaksanakan marketing mix ini, karena marketing mix adalah elemen internal penting yang mampu membentuk suatu program pemasaran perusahaan (program of marketing company). Seorang analis kredit ketika mengkaji aspek pemasaran (marketing aspek) suatu perusahaan atau klien yang menjadi calon penerima kreditnya adalah sangat penting untuk tidak mengesampingkan marketing mix, karena dengan mengkaji 4P ini ia akan dapat di pahami bagaimana kesiapan suatu perusahaan untuk menetapkan, memuaskan keinginan pasar, dan menghadapi persaingan para pesaing khususnya untuk produk atau jasa yang sejenisnya. 4. Aspek Produksi (production aspect) Aspek produksi bekaitan dengan kemampuan proyek atau usaha yang bersangkutan menghasilkan dan menyelesaikan pekerjaannya dalam ukuran jangka waktu. Dalam aspek produksi ini yang tidak boleh dilupakan adalah ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan apakah termasuk langkah hingga harus dipesan dulu atau mudah tersedia. Maka jika berkaitan dengan faktor bahan baku yang sulit tersedia perlu ditanyakan juga apa tindakan pihak manajemen perusahaan dalam mengatasi masalah seperti itu. Karena keterlambatan datangnya bahan baku akan menyebabkan keterlambatan dari produksi barang yang akan dihasilkan dan tentu berpengaruh pada sisi keterlambatan pada saat penjualan. 5. Aspek Teknis (Technical Aspect) Aspek ini berkaitan dengan keberadaan dari penerapan teknologi yang dipergunakan apakah sesuai dengan kemampuan/skill karyawan yang mengerjakan proyek/usaha tersebut. Jika proyek tersebut mempergunakan perangkat teknologi komputer dalam perencanaan dan control manajemennya maka tertentu di sana akan dibutuhkan seorang yang mampu memahami komputer dengan sangat baik termasuk dengan tidak mengesampingkan hadirnya seorang programmer computer. Atau jika proyek tersebut berkaitan dengan pembuatan jalan dan jembatan maka sangat tidak bisa dikesampingkan mengenai kebutuhan seorang sarjana teknik sipil guna merumuskan [ 832 ] P a g e
Prinsip 6C… (Henny Sri Astuty)
permasalahan baik di tahap perencanaan hingga di lapangan. kontrol pengerjaan adalah penting, tanpa ada kontrol pengerjaan dengan baik maka pemborosan dan keterlambatan pengerjaan proyek akan mungkin sekali terjadi. 6. Aspek Kemanfaatan (Benefit Aspect) Bahwa proyek/usaha yang dikerjakan tersebut nantinya diharapkan akan bermanfaat bagi masyarakat (Public) dan juga telah turut membantu menyesuaikan program pemerintah (Government Program) dalam pembangunan. Oleh karena itu, pada dasarnya setiap pengajuan dan pencairan kredit yang dilakukan oleh sebuah perbankan adalah mengacu kepada target, tujuan, dan prioritas pembangunan pemerintah yaitu memberikan suatu arti berupa pencapaian dari target pembangunan ekonomi, seperti target pembangunan ekonomi untuk jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Sehingga proyek/usaha tersebut masuk ketegori mana : jangka pendek, menengah, atau panjang. 7. Aspek Yuridis (Juridical Aspect) Aspek yuridis di sini berkaitan dengan apa proyek/usaha yang dilakukan tersebut sudah mematuhi berbagai ketentuan yang berlaku atau yang ditetapkan oleh pemerintah (Goverment) atau pemerintah daerah (Local Goverment) dimana proyek/usaha tersebut dilaksanakan atau tidak. Jika aspek yuridis ini tidak dilaksanakan dengan sungguh- sungguh maka akan dipastikan bahwa masalah yang akan timbul di kemudian hari adalah berupa gugatan yang akan timbul dari berbagai pihak yang merasa dirugikan oleh faktor keberadaaan proyek/usaha tersebut. Misalnya proyek/usaha tersebut tidak memindahkan factor environtment (lingkungan) maka dampak pencemaran, polusi, kebisingan dan lainnya adalah sesuatu yang suatu saat akan menjadi ancaman bisa terangkat ke permukaan. Sehingga pada saat kasus tersebut di bawa ke pengadilan akan menimbulkan beberapa cost yang harus dikeluarkan oleh perusahaan baik untuk menbayar biaya pengacara atau bahan untuk menganti kerugian yang tibul karena faktor keputusan pengadila yang mengharuskan pihak perusahaan membayar ganti rugi kepada pihak penggugat. 8. Aspek Kesempatan Kerja (Opportunity Job Aspect) Di sini diharapkan bahwa proyek/usaha yang dikerjakan tersebut mampu untuk membuka lapangan pekerjaan baru kepada masyarakat yang otomasis itu dapat membantu pemerintah untuk mengurangi jumlah angka pengangguran. Misalnya pada usaha uang bersifat padat karya, jelas untuk usaha seperti ini penyerapan jumlah tenaga kerja akan terasa sangat signifikan terjadi. Dari beberapa pengertian di atas pada hakikatnya tujuan pemberian kredit adalah untuk memperlancar jalannya usaha atau operasi perusahaan di berbagai sektor. Kredit menyebabkan modal yang berada di masyarakat menjadi lebih produktif, memperlancar peredaran barang dari produsen dan ke konsumen Tujuan kredit mencakup ruang lingkup yang luas menurut Kasmir (2012:88) ada dua fungsi pokok yang saling berkaitan dari kredit adalah: P a g e [ 833 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 1. Profitability, yaitu tujuan untuk memperoleh hasil dari kredit yang berupa keuntungan yang diperoleh dari pemungutan bunga. 2. Safety, yaitu keamanan dari prestasi atau fasilitas yang diberikan harus benarbenar terjamin sehingga tujuan profitability dapat benar-benar tercapai tanpa hambatan-hambatan yang berarti. Perkreditan melibatkan beberapa pilihan yaitu kreditur, debitur, otoritas moneter dan bahkan masyarakat pada umumnya. Oleh sebab itu tujuan perkreditan berbeda-beda. dan tergantung pada pihak-pihak tersebut. 1. Bagi Kreditur : a. Perkreditan merupakan sumber utama pendapatanya. b. Pemberian kredit merupakan perangsang pemasaran untuk produk lainnya. c. Perkreditan merupakan instrumen penjaga likuiditas, solvabilitas, dan profitabilitas perusahaan. 2. Bagi Debitur a. Kredit meningkatkan minat berusaha dan keuntungan sebagai jaminan kelanjutan hidup perusahaan. b. Kredit berfungsi sebagai sarana untuk membuat kegiatan untuk makin lancar dan performance (kinerja) usaha semakin meningkat dari sebelumnya. c. Kredit memperluas kesempatan berusaha dan bekerja dalam perusahaan. 3. Bagi Otoritas Moneter a. Kredit sebagai instrumen moneter. b. Kredit berfungsi untuk menciptakan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja yang memperluas sumber pendapatan negara. c. Kredit berfungsi sebagai instrumen untuk ikut serta meningkatkan mutu manajeman dunia usaha, sehingga terjadi efisiensi dan mengurangi pemborosan di semua lini. 4. Bagi Masyarakat a. Kredit dapat menimbulkan backward dan foreword dalam kehidupan perekonomian. b. Kredit mengurangi pengangguran, karena membuka peluang berusaha, bekerja dan pemerataan pendapatan. c. Kredit meningkatkan fungsi pasar, karena ada peningkatan daya beli (social buying power) Adanya tujuan yang sudah diketahui maka perlu juga diketahui adanya unsur– unsur kredit di mana menurut Irham Fahmi dan Yovi Lavianti Hadi (2010:7) adalah sebagai berikut: 1. Kepercayaan (Trust) Adalah sesuatu yang paling utama dari unsur kredit yang harus ada karena tanpa ada rasa saling percaya antara kreditur dan debitur maka akan sangat sulit terwujud suatu sinergi kerja yang baik. Karena dalam konsep sekarang ini kreditur dan debitur adalah mitra bisnis. [ 834 ] P a g e
Prinsip 6C… (Henny Sri Astuty)
2. Waktu (Time) Adalah bagian yang paling sering dijadikan kajian oleh bagian analisis finance khususnya oleh analisis kredit. Ini dapat dimengerti karena bagi pihak kreditur saat ia menyerahkan uang kepada debitur maka juga harus diperhitungkan juga saat pembayaran kembali yang akan dilakukan oleh debitur itu sendiri, yaitu limit waktu yang tersepakati dalam perjanjian yang telah ditandatangani kedua belah pihak. Analisis waktu bagi pihak kreditur menyangkut dengan analisis dalam bentuk calculation of time value of money (hitungan nilai waktu dari uang) yaitu nilai uang pada saat sekarang adalah berbeda dengan nilai uang pada saat yang akan datang. 3. Risiko Risiko di sini menyangkut persoalan seperti degree of risk. Di sini yang paling banyak dikaji adalah pada keadaan yang terburuk yaitu pada saat kredit tersebut tidak kembali atau timbulnya kredit macet ini menyangkut dengan persoalan seperti lamanya waktu pemberian kredit yang menyebabkan naiknya tingkat risiko yang timbul, karena para pebisnis menginginkan adanya ketepatan waktu dalam proses pemberian kredit ini. Lamanya proses pemberian kredit ini tidak terlepas dari berbagai masalah seperti menyangkut dengan kajian dan analisis apakah kredit tersebut layak diberikan dan ukuran kelayakanya sejauh mana untuk pantas dicairkan. Jadi sisi kajian risiko di sini menjadi bagian yang paling penting dikaji, sehingga dengan begitu muncullah penempatan jaminan (collateral) dalam pemberian kredit. 4. Prestasi Prestasi yang dimaksud di sini adalah prestasi yang dimiliki oleh kreditur untuk diberikan debitur. Pada dasarnya bentuk atau objek dari kreditur itu sendiri adalah tidak selalu dalam bentuk uang tapi juga boleh dalam bentuk uang atau jasa (good and service). Namun pada saat sekarang ini pemberian kredit dalam bentuk uang adalah lebih dominan terjadi dari pada bentuk barang. Maka bagi pihak kreditur akan sangat menilai akan bagaimana tindakan yang dilakukan oleh pihak kreditur dalam usahanya atau prestasinya mengelola kredit yang diberikan tersebut. Jadi disini dikaji dari segi prestasi dan wanprestasi. 5. Adanya kreditur Kreditur yang dimaksud di sini adalah pihak yang memiliki uang (money) barang (goods) atau jasa (service) untuk dipinjamkan kepada pihak lain, dengan harapan dari hasil pinjaman itu akan diperoleh keuntungan dalam bentuk interest (bunga) sebagai balas jasa dari uang , barang atau jasa yang telah dipinjam tersebut . 6. Adanya debitur Debitur yang dimaksud di sini adalah pihak yang memerlukan uang (money) barang (goods) atau jasa (service) yang berkomitmen untuk mampu mengembalikannya tepat sesuai dengan waktu yang disepakati serta bersedia menanggung berbagai
P a g e [ 835 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 risiko jika melakukan keterlambatan sesuai dengan ketentuan adminitrasi dalam kesepakatan perjanjian yang tertera di sana. Kemudian di dalam pemberian atau pengambilan kredit terdapat jaminan yaitu dengan jaminan (Secured Loans), dan kredit tanpa jaminan (Unsecured Loans) 1. Kredit Dengan Jaminan (Secured Loans). Kredit dengan jaminan ini merupakan kredit yang kepemilikan dananya berasal dari bank dan debitur bertugas untuk menjamin risiko yang timbul ke depan nantinya. Kredit ini terdiri atas: a. Jaminan Kebendaan yang Bersifat Tangible Ini terdiri dari benda-benda bergerak seperti mesin, kendaraan bermotor, dan lainlain, maupun yang tidak bergerak seperti tanah (land), bangunan (building) dan lainlainnya. b. Jaminan Perseorangan (Borgtocht) Yaitu kredit yang jaminannya dijamin oleh seorang atau badan di mana ia bertindak sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk menjamin bahwa kredit tersebut akan mampu untuk melunasi tepat pada waktunya. c. Jaminan Berbentuk Commercial Paper (Surat Berharga) Seperti stock (saham), bond (obligasi) yang didaftarkan dan diperdagangkan di bursa efek. 2. Kredit Tanpa Jaminan (Unsecured Loans) Sering disebut kredit blangko. Kredit ini diberikan kepada debitur tanpa adanya jaminan tapi atas dasar kepercayaan saja karena debitur dianggap mampu untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Sedangkan ditinjau berdasarkan kualitasnya, maka pada saat kredit disalurkan ke masyarakat maka artinya telah melakukan kebijakan perputaran piutang (receivable turnover) dalam jumlah tertentu dan siap untuk melakukan penarikan receivable tersebut denga ditambah keuntungan dalam bentuk interest (bunga) yang akan diterimanya setiap bulan. Tentunya dari receivable turnover tersebut akan terlihat mana debitur yang lancar membayar cicilan plus bunganya dengan tepat waktu setiap bulannya dan mana debitur yang tidak tepat waktu atau masuk kategori bermasalah. Kajian kelancaran kredit bagi pihak perbankan memposisikan kredit tersebut berdasarkan pada kualitas kredit, sehingga secara umum ada dua jenis kredit berdasarkan kualitas yaitu : 1. Kredit Performing Performing Credit atau kredit performing ini dikategorikan pada dua kualitas yaitu pertama kredit dengan kualitas lancar dan kedua kredit dengan kualitas yang harus mendapat perhatian khusus. 2. Kredit Nonperforming Nonperforming credit ini adalah kredit yang dikategorikan dalam tiga kualitas yaitu pertama kredit dengan kualitas yang kurang lancar, kedua kredit dengan kualitas yang diragukan dan ketiga kredit macet atau yang biasa disebut dengan bad debt
[ 836 ] P a g e
Prinsip 6C… (Henny Sri Astuty)
Sedangkan menurut Kasmir (2012:93) jaminan yang dapat dijadikan kredit oleh calon debitur adalah sebagai berikut: 1. Dengan Jaminan a. Jaminan benda berwujud yaitu barang-barang yang dapat dijadikan jaminan seperti :Tanah, Bangunan, Kendaraan, Mesin-mesin/peralatan, Barang dagangan, Tanaman/kebun/sawah, Dan lainnya b. Jaminan benda tidak berwujud yaitu benda-benda yang merupakan surat-surat yang dijadikan jaminan seperti : Sertifikat saham, Sertifikat obligasi, Sertifikat tanah, Sertifikat deposito, Rekening tabungan yang dibekukan, Rekening giro yang dibekukan, Promes, Wesel, dan surat tagihan lainnya c. Tanpa orang yaitu jaminan yang diberikan oleh seseorang dan apabila kredit tersebut macet, maka orang yang memberikan pinjaman itulah yang menanggung risiko. 2. Tanpa Jaminan Kredit tanpa jaminan maksudnya bahwa kredit yang diberikan bukan denga jaminan barang tertentu. Biasanya diberikan untuk perusahaan yang memag benar-benar bonafit dan professional sehingga kemungkinan kredit tersebut macet sangat kecil. Dapat pula kredit tanpa jaminan hanya dengan penilaian terhadap prospek usahanya dengan pertimbangan untuk pengusaha-pengusaha ekonomi lemah. Demikian pula jika jenis kredit ditinjau menurut bentuknya, menurut Taswan(2006:218) jenis kredit menurut bentuknya dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Kredit Rekening Koran Dalam hal ini debitur diberi hak untuk menarik dana dalam rekening korannya sampai dengan sebesar plafon yang ditetapkan bank. Pelunasan pokok kredit dilaksanakan pada saat jatuh tempo, dengan bunga kredit secara umum dihitung secara harian berdasarkan baki debet (outstanding credit) atau dengan nilai rata – rata baki setiap bulannya. 2. Installment Loan Kredit ini adalah kredit yang angsuran pokoknya dan bunganya dilakukan secara teratur menurut jadwal waktu yang telah disepakati antara bank dengan debitur, dengan nilai konstan selama berlangsungnya masa kredit tersebut. Pada kredit installment angsuran pokok meningkat dan angsuran bunga menurun, sehingga total angsuran menjadi konstan sepanjang masa kredit. Menurut Kasmir (2012:91), jenis kredit ditinjau dari tujuan kredit adalah : 1. Kredit produktif: Kredit yang digunakan untuk peningkatan usaha atau produksi atau investasi. 2. Kredit konsumtif: kredit yang digunakan digunakan untuk dikonsumsi secara pribadi. 3. Kredit perdagangan: kredit yang digunakan untuk perdagangan, biasanya untuk membeli barang dagangan yang pembayarannya diharapkan dari hasil penjualan barang dagangan tersebut. P a g e [ 837 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Menurut Thamrin Abdullah dan Francis Tantri (2012:172), jenis kredit ditinjau dari kegiatan usahanya adalah: 1. Kredit pertanian: merupakan kredit yang dibiayai untuk sektor perkebunan atau pertanian rakyat. 2. Kredit peternakan: dalam hal ini untuk jangka pendek, misalnya peternakan ayam dan jangka panjang kambing atau sapi. 3. Kredit industri: yaitu untuk membiayai industri kecil, menengah atau besar. 4. Kredit pertambangan: jenis usaha tambang yang dibiayai biasanya dalam jangka panjang seperti tambang emas, minyak atau timah. 5. Kredit pendidikan: kredit yang diberikan untuk membangun sarana dan prasarana pendidikan atau kredit untuk mahasiswa. 6. Kredit profesi: diberikan kepada para profesional seperti dosen, dokter atau pengacara. 7. Kredit perumahan: yaitu kredit untuk membiayai pembangunan atau pembelian perumahan. Pengambilan ataupun pemberian kredit akan membawa yang bersangkutan ke arah kemampuan ataupun ketidakmampuan suatu perusahaan, institusi, lembaga maupun pribadi dalam menyelesaikan kewajiban- kewajibannya secara tepat waktu baik pada saat jatuh tempo maupun sesudah jatuh tempo dan itu semua sesuai dengan aturan dan kesepakatan yang berlaku, dan dengan demikian terdapat beberapa risiko yang harus siap diterimanya; yaitu berupa risiko kredit jangka pendek dan jangka panjang. Keputusan menyalurkan kredit ke berbagai sektor bisnis tidak selalu seperti terjadi sesuai seperti yang diharapkan, karena ada berbagai bentuk risiko yang akan dialami di sana baik risiko yang bersifat jangka pendek maupun panjang. Adapun pengertian kedua risiko tersebut menurut Irham Fahmi Dan Yovi Lavianti Hadi(2010:80) adalah: 1. Risiko Yang Bersifat Jangka Pendek (Short Term Risk) adalah risiko yang disebabkan karena ketidakmampuan suatu perusahaan memenuhi dan menyelesaikan kewajibannya yang bersifat jangka pendek terutama kewajiban likuiditas. 2. Risiko Yang Bersifat Jangka Panjang (Long Term Risk) adalah ketidakmampuan suatu perusahaan menyelesaikan berbagai kewajibannya yang bersifat jangka panjang, seperti kegagalan untuk menyelesaikan utang perusahaan yang bersifat jangka panjang dan kemampuan untuk menyelesaikan proyek hingga tuntas. SIMPULAN Kewirausahaan mahasiswa merupakan kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa yang pada dasarnya belum banyak memahami apa pengertian wirausaha yang sebenarnya karena pada praktiknya mereka asal menjual dan membuat sesuatu yang sering dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki dana lebih. Dengan pemahaman prinsip 6 C (character/sifat, capacity/kemampuan manajemen, capital/posisi keuangan, condition [ 838 ] P a g e
Prinsip 6C… (Henny Sri Astuty)
of economy/kondisi ekonomi, collateral/jaminan, dan constraint/hambatan) benar-benar dan dilakukan dalam kegiatan wirausaha dapat diketahui beberapa aspek mulai dari manajemen pengelolaan usahanya hingga manajemen keuangan, demikian pula risiko risiko yang harus dihadapi, dan tidak lupa pula jaminan baik dilihat dari jangka waktunya maupun bentuk jaminan tersebut terhadap dana yang digunakan dari pihak lain. Di samping itu dengan dipahaminya prinsip 6 C nantinya mahasiswa yang melakukan kegiatan wirausaha akan hati-hati dan waspada dalam bertindak yang pada akhirnya kegiatan mereka akan sebagai pendorong perekonomian negara. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Thamrin dan Francis Tantri, 2012. Bank dan Lembaga Keuangan. Jakarta: Rajawali Pers Dewanti, R. 2008. Kewirausahaan. Jakarta: Mitra Wacana Media. Drucker, P. F. 1996. Innocation and Entrepreneurship dialih bahaskan oleh Naib, R. Inovasi dan Kewiraswastaan, Praktik dan Dasar-Dasar. Jakarta: Erlangga Fahmi, Irham. Dan Hadi, Yovi Lavianti. 2010. Pengantar Manajemen Hasibuan, Malayu, S.P. 2002. Dasar-Dasar Perbankan. Bumi Aksara. Jakarta Kasmir. 2007. Kewirausahaan. Edisi-1. Jakarta: Rajawali Press. Kasmir. 2012. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Munawir, S. 2007. Analisis Laporan Keuangan. Yogyakarta : UPP-AMP YKPN Perkreditan. Jakarta : Alvabeta Stanton, William J. 2001. Prinsip Pemasaran. Erlangga. Jakarta. Suryana. 2003. Kewirausahaan. Jakarta: Salemba Empat Taswan. 2006. Akuntansi Perbankan. Jakarta : Salemba Empat. Tjoekam, Moh. 1999. Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersial. PT. Gramedia Pustka Utama. Jakarta Wiratmo, M. 1995. Pengantar kewiraswastaan Kerangka Dasar Memasuki Dunia Bisnis. Yogyakarta: BPFE. Yuenita, Maya. 2012. Analisis Kredit. (Online), http://mayayuenita.blogspot.com/ 2012/05/analisa-kredit.html, diakses 13 Februari 2014. Zimmerer, T.W., & Scarborough, N.M., 2008. Essential of Entrepreneurship and Small Business Management, Edition 5. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
P a g e [ 839 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
MENANAMKAN NILAI-NILAI ENTREPRENUERSHIP MELALUI PENDIDIKAN EKONOMI PADA ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Waspodo Tjipto Subroto
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Entrepreneurship memegang peranan yang dominan dalam menggerakkan roda perekonomian baik dalam skala lokal, regional maupun global. Para entrepreneur yang dinamis dan berkomitmen untuk sukses, terbukti mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Entrepreneur yang memiliki semangat kepemimpinan dan jiwa entrepreneur ini akan memimpin revolusi ekonomi menuju peningkatan standar hidup yang lebih layak. Di tengah-tengah liberalisasi Masyarakat Ekonomi ASEAN, nilai-nilai entrepreneurship, seperti kreativitas, inovatif, risiko moderat, ulet dan bertanggungjawab, optimistis, perlu selalu ditanamkan pada generasi muda, terutama melalui Pendidikan Ekonomi, sehingga jiwa dan semangat generasi muda dapat lebih kompetitif dalam menghadapi persaingan di era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Peran Pendidikan Ekonomi sangat diperlukan untuk menyiapkan semangat generasi muda agar menjadi pelaku aktif dan partisipatoris dalam revolusi ekonomi menuju perubahan yang positif dan abadi. Kata kunci: Entrepreneurship. Nilai dan sikap, Pendidikan Ekonomi.
PENDAHULUAN Dalam hal pendidikan entrepreneurship, Indonesia masih tertinggal dari Negaranegara lain. Beberapa Negara yang relatif maju kesejahteraannya, seperti Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, telah memulai pendidikan entrepreneurship pada perguruan tinggi sejak tahun 1970-an. Menurut Kasmir (2011) negara-negara maju telah menyadari lebih awal tentang pentingnya pendidikan entrepreneurship pada generasi muda. Demikian halnya sebagaimana yang dikampanyekan dalam pernyataan pada sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa suatu negara akan mampu membangun dengan efektif apabila memiliki entrepreneur sebanyak 2% dari jumlah penduduknya. Di Indonesia, idealnya ada sekitar 5 juta warga negara yang menekuni entrepreneurship. Jika negara Republik Indonesia ingin berhasil dalam pembangunan ekonominya, maka selayaknya menyediakan 5 juta entrepreneur besar dan sedang serta menciptakan 40 juta entrepreneur kecil. Ini adalah suatu peluang besar yang menantang untuk berkreasi mengadu keterampilan membina entrepreneur dalam rangka turut berpartisipasi membangun negara dan bangsa Indonesia. KADIN sebagai lembaga yang berkewajiban mendorong tumbuhnya semangat entrepreneurship menargetkan pada tahun 2014 dapat tercipta 10 juta pengusaha baru. Sehingga diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja baru. Contoh nyata peran serta entrepreneur dalam pembangunan adalah di negara Jepang. Keberhasilan pembangunan yang dicapai oleh negara Jepang ternyata disponsori oleh para entrepreneur yang jumlahnya cukup besar. Dahulu entrepreneurship merupakan bakat bawaan sejak lahir lalu diasah melalui [ 840 ] P a g e
Menanamkan Nilai-Nilai… (Waspodo Tjipto Subroto)
pengalaman langsung di lapangan, tetapi sekarang ini paradigma tersebut telah bergeser. Entrepreneurship telah menjadi suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai (value), kemampuan (ability) dan perilaku seseorang dalam menghadapi tantangan hidup untuk memperoleh peluang dengan berbagai risiko yang mungkin dihadapinya. Teori-teori dalam pengembangan ekonomi memasukkan pendidikan entrepreneurship sebagai perangkat penting untuk pengembangan sektor usaha mikro dan kecil yang dominan. Di Indonesia Usaha Kecil dan Menengah berkontribusi terhadap 53,6 persen PDB nasional, dan member lapangan kerja lebih dari 91,8 juta orang. Banyak usaha yang tidak dapat berkembang karena antara lain kurangnya sumber daya manusia yang handal. Menumbuhkan semangat entrepreneurship di kalangan generasi muda tidak hanya akan berkontribusi untuk mengurangi pengangguran, tetapi juga dapat membantu mendorong produktivitas dan daya saing. Upaya untuk mengkonseptualisasikan pendidikan entrepreneurship, masih terus perlu dilakukan. Tetapi sampai saat ini belum muncul definisi yang disepakati bersama. Pendidikan entrepreneurship diartikan sebagai pembelajaran seumur hidup, sebagai proses pengembangan konsep dan keterampilan praktis untuk mengenali kesempatan, sumber-sumber daya utama dan upaya mengelola suatu usaha. Pendidikan entrepreneurship memerlukan pergeseran paradigma dalam metodologi pembelajaran. Menurut Leonardos (2011) ada beberapa kasus di mana pelatihan individu-individu berpusat pada mahasiswa dan diikuti oleh dukungan coaching dan penghubungan ke sektor swasta, sehingga membawa dampak yang terlihat jelas, terutama terkait dengan: (a) pendekatan-pendekatan praktis, (b) jumlah mahasiswa yang mempertimbangkan untuk membuka usaha di masa yang akan datang, (c) jumlah mahasiswa yang dapat menghubungkan pembelajaran mereka sekarang dan pekerjaan mereka di masa yang akan datang. Kaum muda memerlukan bantuan dalam memformulasikan ide-ide bisnis, dorongan dan motivasi, sementara orang dewasa memerlukan lebih banyak bantuan yang terkait dengan pengelolaan bisnis. Selain itu penanaman nilai dan jiwa entrepreneurship masih sangat perlu diupayakan untuk membina generasi muda agar tertarik untuk terjun dan menekuni profesi entrepreneur. Dengan upaya ini diharapkan kualitas maupun kuantitas entrepreneur dari generasi muda dapat ditingkatkan secara bertahap menuju kuota yang ideal untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. PEMBAHASAN Nilai-Nilai Entrepreneurship Nilai-nilai dasar yang penting untuk dipegang dan dijadikan dasar bagi seorang entrepreneur antara lain: kreativitas, inovatif, berani menghadapi risiko, memiliki etika bisnis dan norma, serta semangat dan bertanggungjawab. Modal utama entrepreneur menurut Alma (2008) adalah kreativitas, keuletan dan semangat bekerja. Semangat pantang menyerah ini memandang kegagalan hanya keberhasilan yang tertunda dan mereka tahan banting. Entrepreneur yang kreatif memiliki perhitungan cermat, P a g e [ 841 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 mempertimbangkan segala fakta, informasi dan data. Seorang entrepreneur mampu memadukan apa yang ada di dalam hati, pikiran dan kalkulasi bisnis. Kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru atau melihat hubunganhubungan baru antara unsur, data dan variabel yang sudah ada. Kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan atau karya nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. Kreativitas dan inovasi, menurut Kao (1993) memiliki hubungan yang erat. Karena kreativitas artinya adalah kemampuan untuk memikirkan sesuatu yang baru dan berbeda, sedangkan inovasi merupakan kemampuan untuk melakukan, mengaplikasikan sesuatu yang berbeda. Dengan demikian, yang paling penting dalam entrepreneurship adalah kemampuan pengusaha untuk lebih kreatif dan memanfaatkan inovasi dalam kegiatan bisnisnya sehari-hari. Seorang pengusaha akan berhasil apabila ia selalu kreatif dan menggunakan kreativitasnya tersebut. Menurut Gwee (2007) untuk menghadapi persaingan yang semakin kompleks dalam persaingan ekonomi global, maka kreativitas menjadi sangat penting untuk menciptakan keunggulan kompetitif dan kelangsungan bisnis. Nilai-nilai dasar yang penting dalam entrepreneur antara lain: kreativitas, inovatif, berani menghadapi risiko, memiliki etika bisnis dan norma yang baik, serta bertanggungjawab dan memiliki disiplin diri. Menurut Hisrich (2005) ada beberapa nilai (value) yang bersifat umum yang dapat diamati sebagai karakteristik keberhasilan dalam entrepreneurship, yaitu: (1) Keinginan menghasilkan superior produk, (2) Layanan berkualitas terhadap konsumen, (3) Fleksibel, (4) Kemampuan dalam manajemen, (5) Memiliki sopan santun dan beretika, dan (6) Sikap seorang entrepreneur perlu selalu berusaha untuk menciptakan peluang bisnis dengan membangkitkan keberanian dan rasa bebas menciptakan sesuatu. Kreativitas dan inovasinya perlu dikembangkan untuk menciptakan peluang bisnis yang mendatangkan profit maupun benefit bagi dirinya maupun orang lian. Untuk membangkitkan kreativitas memerlukan suatu proses dengan langkah-langkah tertentu yaitu sebagai berikut: (1) Preparation, (2) Investigation, (3) Transformation, (4) Incubation, (5) Illumination, (6) Verification, (7) Implementation. Seorang entrepreneur, menurut Yuyus (2011) harus selalu menciptakan mimpi dan ide baru, jeli dalam memanfaatkan peluang, dan memanfaatkan potensi menjadi profit dan benefit secara efektif. Sifat seorang entrepreneur harus berani mengambil risiko yang telah diperhitungkan agar hasil yang diperoleh lebih besar daripada kegagalan dan sangat bergairah menghadapi tantangan. Menurut Hoffman (1994) tantangan baru ada artinya bagi seorang entrepreneur apabila terdapat risiko yang dapat diperhitungkan, yaitu dengan kriteria berikut: (1) Apabila mempengaruhi tujuan usaha yang ingin dicapai, (2) berarti bagi diri pribadi entrepreneur, (2) Kemampuan untuk mengendalikan diri pribadi entrepreneur, dan (3) Adanya suatu perasaan dan kepuasan kemungkinan dalam mengelola usaha untuk berhasil dan gagal. Kriteria dari suatu risiko menurut Leonardos (2009) mengandung potensi kegagalan dan potensi keberhasilan sehingga dapat [ 842 ] P a g e
Menanamkan Nilai-Nilai… (Waspodo Tjipto Subroto)
dikelompokkan dalam tiga kelompok, antara lain: (1) Kelompok risiko tinggi, (2) Kelompok risiko rendah, dan (3) Kelompok risiko sedang. Adapun ciri-ciri entrepreneur saling berkaitan dengan perilaku pengambil risiko antara lain: (1) Pengambilan risiko berkaitan dengan kreativitas dan inovasi yang merupakan bagian penting, (2) dalam mengubah ide menjadi realitas, (3) Pengambilan risiko berkaitan dengan kepercayaan pada diri sendiri, (4) Pengetahuan realistik, dan (4) mengenai kemampuan yang dimiliki. Para entrepreneur merupakan pengambil risiko yang telah diperhitungkan agar hasil yang diperoleh lebih besar daripada kegagalan dan sangat bergairah menghadapi tantangan. Adapun sikap dalam menghadapi risiko, antara lain: (1) penghindar risiko, (2) netral, dan (3) penggemar risiko. Dengan jiwa entrepreneurship maka ketakutan akan risiko, tantangan dan hambatan akan bisa di atasi, dan mempunyai motivasi untuk menghasilkan yang terbaik. Selain itu seorang entrepreneur juga harus memiliki kemampuan dalam berkomunikasi sehingga bisa menjalin hubungan dengan konsumen, kelompok lain maupun pemerintah. Masyarakat yang dari lahir bukan keturunan pengusaha, jika memutuskan menjadi entrepreneur maka akan bisa menjadi entrepreneur melalui pelatihan maupun pendidikan tentang entrepreneurship. Etika dan norma dalam bisnis merupakan nilai dasar yang harus dipegang untuk menjamin keberlanjutan dalam kegiatan bisnis di bidang apapun. Etika bisnis merupakan landasan penting dan harus diperhatikan terutama untuk menciptakan dan melindungi reputasi (goodwill) usaha apapun bentuknya. Oleh sebab itu, menurut Zimmerer (2008), etika bisnis merupakan masalah yang sangat sensitif dan kompleks, karena membangun etika untuk mempertahankan reputasi lebih sukar ketimbang menghancurkannya. Selain etika dan perilaku yang tidak kalah pentingnya dalam bisnis adalah norma etika. Menurut Zimmerer (2008) ada tiga tingkatan norma etika, yaitu: (1) hukum, (2) kebijakan dan prosedur organisasi, dan (3) moral sikap mental individual. Adapun prinsip-prinsip etika dan perilaku bisnis yang selayaknya menjadi landasan perilaku bagi entrepreneur, antara lain: (1) Kejujuran, (2) Integritas, (3) Memelihara janji, (4) Kesetiaan, (5) Kewajaran/keadilan, (6) Suka membantu orang lain, (7) Hormat kepada orang lain, (8) Kewarganegaraan yang bertanggung jawab, (9) Mengejar keunggulan, (10) Dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan cara-cara untuk mempertahankan standard etika, menurut Kao (2011) dapat dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut: (1) Menciptakan kepercayaan perusahaan, (2) Kembangkan kode etika, (3) Jalankan kode etik secara adil dan konsisten, (4) Lindungi hak perorangan, (5) Adakan pelatihan etika, (6) Lakukan audit etika secara periodic, (7) Pertahankan standar yang tinggi tentang tingkah laku, jangan hanya aturan, (8) Hindari contoh etika yang tercela setiap saat, (9) Ciptakan budaya yang menekankan komunikasi dua arah, (10) Libatkan karyawan dalam mempertahankan standar etika. Semangat dan tanggung jawab, menurut Suryana (2011) merupakan nilai dasar yang juga harus ditumbuhkan setiap saat. Semangat ditandai dengan keuletan dan pantang menyerah serta tidak mudah putus asa untuk meraih tujuan. Sikap bersemangat selalu berupaya dan optimis dengan mengerahkan seluruh potensi dirinya untuk P a g e [ 843 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 mewujudkan keinginannya. Selain bersemangat, seorang entrepreneur harus memiliki sikap bertanggung jawab. Sikap bertanggungjawab ini meliputi: (1) tanggung jawab terhadap lingkungan, (2) terhadap karyawan, (3) terhadap pelanggan, (4) terhadap investor, dan (5) terhadap masyarakat. Sikap semangat dan bertanggung jawab ini perlu dijaga dan dikembangkan dalam berbagai kegiatan usahanya. Nilai-nilai dasar dalam entrepreneurship ini akan mendukung dan melestarikan usaha atau bisnis sehingga perlu dijadikan dasar bagi perilaku dan moralitas para entrepreneur untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan usaha dan bisnisnya. Pendidikan Ekonomi Pada umumnya, Visi Program Studi Pendidikan Ekonomi adalah “Menjadikan program studi yang unggul (excellent) yang peduli dalam pengembangan pendidikan ekonomi”. Sedangkan misinya Program Studi Pendidikan ekonomi, antara lain sebagai berikut: (1) Menyelenggarakan kegiatan pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, (2) Menyelenggarakan kegiatan pembelajaran dalam pendidikan ekonomi, (3) Mengembangkan kegiatan pengembangan kurikulum dalam pendidikan ekonomi, dan (4) Menyelenggarakan kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat dalam bidang pendidikan ekonomi (BELMAWA, 2013). Program Studi Pendidikan Ekonomi menetapkan deskripsi umum dan kerangka kompetensi lulusan program studinya yang mencakup komitmen, karakter, kepribadian, sikap dalam berkarya, etika, dan moral sebagai berikut: (1) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2) Memiliki etika, dan kepribadian yang menyelesaikan tugasnya; (3) Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah air, serta mendukung perdamaian dunia; (4) Mampu bekerjasama dan menjunjung kepekaan sosial dan kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat dan lingkungannya; (5) Menghargai keanekaragaman budaya, dan agama; (6) Menjunjung tinggi penegakan hukum dan semangat mendahulukan kepentingan bangsa serta masyarakat luas di atas kepentingan pribadi. Adapun Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Ekonomi (S1) diharapkan memiliki kualifikasi kompetensi sesuai yang disyaratkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) sebagai berikut: (1) Mampu mengelola sumberdaya di bawah tanggung jawabnya, dan mengevaluasi secara komprehensif kerjanya dengan memanfaatkan dan mengelola ICT yang menghasilkan langkah-langkah pengembangan strategi organisasinya, (2) Mampu memecahkan permasalahan ICT dalam pengembangan keilmuannya dengan pendekatan monodisipliner, (3) Mampu melakukan riset dan mengambil keputusan strategis dengan akuntabilitas dan tanggung jawab atas semua aspek di bidang keahliannya. Agar lulusan memiliki kompetensi KKNI maka lulusan harus memiliki Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang sudah dirumuskan sebagai berikut: (1) Memiliki merancang tentang wawasan atau landasan kependidikan, peserta didik, proses pembelajaran dalam pendidikan ekonomi sebagai landasan pedagogic dalam melaksanakan pembelajaran ekonomi; (2) Memiliki kemampuan menerapkan dan [ 844 ] P a g e
Menanamkan Nilai-Nilai… (Waspodo Tjipto Subroto)
mengevaluasi pembelajaran dan program pendidikan ekonomi; (3) Memiliki pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep, prinsip- prinsip dan metode pendidikan ekonomi, (4) Memiliki sikap objektif, kritis terhadap berbagai persoalan ekonomi dan pendidikan ekonomi. Dalam kegiatannya Program Studi Pendidikan Ekonomi menyelenggarakan pendidikan akademik pada jenjang sarjana strata satu (S-1) dengan kepada deskripsi kualifikasi Sumber Daya Manusia (SDM) yang dirumuskan dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, kualifikasi lulusan Program Studi Pendidikan Ekonomi berada pada level 6. Deskripsi generik level 6 terdiri dari empat kompetensi, yaitu: (1) Menguasai konsep teoretis dan menerapkan konsep keilmuan ekonomi dan pendidikan ekonomi dalam melaksanakan tugas sebagai tenaga kependidikan bidang pengetahuan dan konsep teoretis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara mendalam, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah procedural, (2) Melakukan dan memanfaatkan ICT dalam bidang keahliannya dan beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi dalam penyelesaian Pendidikan Ekonomi, (3) Tindakan mengambil keputusan strategis berdasarkan analisis penelitian, informasi dan data, dan memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternative solusi, (4) Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri, kemandirian dan dapat diberi tanggung jawab atas komitmen pencapaian hasil kerja dalam pembelajaran ekonomi . Sedangkan yang menjadi capaian pembelajaran (learning outcome) Program Studi Pendidikan Ekonomi, secara umum adalah: (1) Mampu menguasai dan menerapkan konsep keilmuan ekonomi dan pendidikan ekonomi dalam melaksanakan tugas sebagai tenaga kependidikan, (2) Mampu mengembangkan bidang keilmuan pendidikan dan pendidikan ekonomi berbagai alternative metode, model, dan strategi pembelajaran sesuai dengan perkembangan ICT dalam pembelajaran ekonomi, (3) Mampu melaksanakan pembelajaran ekonomi dan penelitian mandiri terkait dengan dan/atau dalam lingkungan pekerjaannya sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil secara terencana dan terpadu dalam pendidikan ekonomi, (4) Mampu memiliki komitmen untuk meningkatkan kompetensi profesional secara berkelanjutan dan menyelesaikan setiap tugas profesinya secara mandiri dalam pendidikan ekonomi. Kemudian secara khusus, capaian pembelajaran ekonomi yaitu: Mampu melaksanakan pembelajaran ekonomi dan penelitian mandiri terkait dengan lingkungan pekerjaannya sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil secara terencana dan terpadu dalam pendidikan ekonomi. Pendidikan ekonomi dikembangkan dari berbagai sumber teori, antara lain: (1) Statistika Deskriptif, (2) Statistika Inferensial, (3) Ekonometrika, (4) Matematika Ekonomi, (5) Perekonomian Indonesia (6) Kewirausahaan, (7) Akuntansi Keuangan Dasar, (8) Aplikasi Akuntansi Keuangan, (9) Micro Teaching, (10) Seminar Pendidikan Ekonomi, (11) Permodelan dan Komputasi Ekonomi, (12) Ekonomi Industri, (13) Manajemen Strategik, (14) Manajemen Koperasi, (15) Ekonomi Industri, (16) Pasar Modal dan Portofolio, (17) Pengembangan UMKM, (18) Bank dan lembaga keuangan lain, P a g e [ 845 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 (19) Kebijakan Perdagangan Internasional, (20) Manajemen Pemasaran Koperasi, (21) Manajemen Keuangan Koperasi, (22) Lembaga Keuangan Islam, (23) Manajemen Koperasi, (24) KKN, (25) PPL, (26) Ekonomi Regional, (27) Skripsi, (28) Seminar Ekonomi dan Bisnis, (29) Perencanaan Pembangunan, (30) Ekonomi Moneter Internasional, dan (31) Studi Kelayakan Bisnis. Dalam pelaksanaan pembelajaran pada pendidikan ekonomi perlu dikembangkan secara optimal seluruh potensi yang ada pada diri mahasiswa. Potensi yang bersumber dari otak kiri maupun otak kanan perlu dikembangkan secara seimbang. Terutama untuk mengoptimalkan potensi otak sebelah kanan yang dapat mendorong kreativitas dan inovasi seseorang. Otak sebelah kanan ini bersifat unconventional, unsystematic, unstructured yang sangat potensial untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi mahasiswa. Penanaman Nilai-Nilai Entrepreneurship melalui Pendidikan Ekonomi Revolusi ekonomi terus bergulir merambah ke berbagai sendi kehidupan untuk menuju perbaikan dan kelayakan hidup. Para pembuat kebijakan telah menyadari pentingnya peran kaum entrepreneur dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi untuk menciptakan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Entrepreneurship memegang peranan yang dominan dalam menggerakkan roda perekonomian baik dalam skala lokal, regional maupun global. Menurut Zimmerer (2008) para entrepreneur yang dinamis dan berkomitmen untuk sukses, terbukti mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Entrepreneur yang memiliki semangat kepemimpinan dan jiwa entrepreneur ini akan memimpin revolusi ekonomi menuju peningkatan standar hidup yang lebih layak. Di tengah-tengah liberalisasi Masyarakat Ekonomi ASEAN, menurut Frinces (2011) perlu ditanamkan nilai-nilai entrepreneurship, seperti: kreativitas, inovatif, risiko moderat, semangat pantang menyerah dan optimistis serta bertanggung jawab, pada generasi muda, terutama melalui Pendidikan Ekonomi, sehingga jiwa dan semangat generasi muda dapat lebih kompetitif dalam menghadapi persaingan di era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Peran Pendidikan Ekonomi sangat diperlukan untuk menyiapkan semangat generasi muda agar menjadi pelaku aktif dan partisipatoris dalam revolusi ekonomi menuju perubahan yang positif dan abadi. Sebagai suatu disiplin ilmu, maka ilmu keentrepreneuran dapat dipelajari dan diajarkan, sehingga setiap individu memiliki peluang untuk tampil sebagai seorang entrepreneur. Bahkan untuk menjadi entrepreneur sukses, memiliki bakat saja tidak cukup, tetapi juga harus memiliki pengetahuan segala aspek usaha yang akan ditekuninya. Tugas dari entrepreneur sangat banyak, antara lain tugas mengambil keputusan, kepemimpinan teknis, kepemimpinan organisatoris dan Untuk menanamkan nilai-nilai, sikap dan sifat entrepreneurship dalam pendidikan ekonomi perlu dikembangkan model-model pembelajaran ekonomi yang kreatif dan inovatif, antara lain: (1) Pembelajaran langsung (direct instruction), (2) Pembelajaran Kooperatif (cooperative
[ 846 ] P a g e
Menanamkan Nilai-Nilai… (Waspodo Tjipto Subroto)
learning), (3) Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Base Instruction), dan (4) Belajar Melalui Penemuan (inquiry). Model Pembelajaran Langsung (Direct Instruction) banyak diilhami oleh teori belajar sosial yang sering disebut belajar melalui observasi. John Dollard dan Albert Bandura (dalam Rusman, 2007) meyakini bahwa sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Dasar pemikiran model pengajaran langsung ini adalah bahwa mahasiswa belajar dengan mengamati secara selektif, mengingat dan mennganalisisnya. Atas dasar pemikiran tersebut maka yang perlu dihindari adalah penyampaian pengetahuan yang terlalu kompleks. Secara umum, pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Pengetahuan deklaratif itu adalah pengetahuan tentang sesuatu. Sedangkan pengetahuan prosedural adalah pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu. Dalam menerapkan pengajaran langsung, pengetahuan yang disampaikan kepada mahasiswa perlu disederhanakan, baik pengetahuan deklaratif maupun prosedural. Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) menurut John Dewey (dalam Rusman, 2007) kelas seharusnya merupakan cerminan masyarakat yang lebih besar. Maka kegiatan di kelas perlu memberi pengalaman kepada mahasiswa untuk bekerja secara berkelompok. Model pembelajaran kooperatif ini mengingatkan bahwa kerjasama dan bekerja dalam kelompok akan memberikan hasil yang lebih baik. Setting kelas dalam pembelajaran kooperatif, perlu memenuhi 3 kondisi, yaitu: (a) adanya kontak langsung, (b) sama-sama berperan serta dalam kerja kelompok, (c) adanya persetujuan antar anggota kelompok tentang setting kelas tersebut. Model pembelajaran kooperatif ini cukup penting karena mahasiswa dapat belajar dengan cara bekerjasama dengan temannya. Anggota kelompok yang lebih mampu dapat menolong temannya yang kurang mampu. Setiap anggota kelompok tetap memberi sumbangan pada prestasi kelompok. Dan yang lebih penting semua anggota kelompok dapat bersosialisasi dengan anggota kelompok lainnya sehingga hal ini akan melatih keterampilan sosial mahasiswa dalam bermasyarakat. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Base Instruction), ini mempunyai ciri umum yaitu menyajikan kepada mahasiswa masalah autentik dan bermakna yang akan memberi kemudahan kepada mahasiswa untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Sedangkan ciri khusus dalam model ini yaitu adanya pengajuan pertanyaan dan masalah, berfokus pada keterkaitan antar disiplin ilmu, penyelidikan autentik, menghasilkan produk/karya, dan adanya kerjasama. Masalah autentik adalah masalah yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari dan bermanfaat secara langsung jika ditemukan penyelesaiannya. Sedangkan masalah akademik adalah masalah yang muncul akibat pengaruh dari suatu masalah sehingga memunculkan masalah lainnya. Misalnya bagaimanakah pengaruh kenaikan harga BBM terhadap harga-harga bahan-bahan pokok?
P a g e [ 847 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Model pembelajaran melalui Penemuan (Inquiry) merupakan suatu model pengajaran yang menekankan pentingnya membantu mahasiswa memahami struktur atau ide kunci dari suatu disiplin ilmu, mahasiswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran, dan memberi keyakinan bahwa pembelajaran akan terjadi melalui penemuan pribadi. Bruner (dalam Rusman, 2007) yang mempelopori model pembelajaran penemuan ini meyakini bahwa model penemuan ini akan merangsang mahasiswa untuk melakukan penyelidikan sehingga menemukan sesuatu. Misalnya dosen menyajikan topik kepada mahasiswa tentang peristiwa-peristiwa yang memancing pro-kontra atau konflik kognitif, sehingga motivasi dan rasa ingin tahu mahasiswa terpancing. Model pembelajaran penemuan lebih cocok untuk menanamkan konsepkonsep yang dapat ditemukan melalui percobaan dan penyelidikan. Dari berbagai model pembelajaran dalam menanamkan nilai dan sifat entrepreneurship dalam pendidikan ekonomi, perlu dipilih dan disesuaikan dengan karakteristik bahan pembelajaran dalam pendidikan ekonomi, sehingga guru dapat lebih profesional dalam menyiapkan mahasiswa untuk memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN. SIMPULAN Dari pembahasan di atas dikemukakan beberapa simpulan antara lain: 1. Entrepreneurship memegang peranan yang dominan dalam menggerakkan roda perekonomian baik dalam skala lokal, regional maupun global. Para entrepreneur yang dinamis dan berkomitmen untuk sukses, terbukti mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Entrepreneur yang memiliki semangat kepemimpinan dan jiwa entrepreneur ini akan memimpin revolusi ekonomi menuju peningkatan standar hidup yang lebih layak. 2. Untuk berpartisipasi aktif dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN, generasi muda perlu dibekali nilai-nilai entrepreneurship, seperti: kreativitas, inovatif, risiko moderat, bersemangat dan pantang menyerah serta optimistis dan bertanggung jawab, agar dapat berlaga dalam persaingan yang cukup ketat. 3. Pendidikan Ekonomi, merupakan salah satu media yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai entrepreneurship pada generasi muda sehingga jiwa dan semangatnya dapat lebih kompetitif dalam menghadapi persaingan di era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Peran Pendidikan Ekonomi sangat diperlukan untuk menyiapkan semangat generasi muda agar menjadi pelaku aktif dan partisipatoris dalam revolusi ekonomi menuju perubahan yang positif dan abadi. DAFTAR PUSTAKA Alma, Buchari, (2008). Alfabeta
Keentrepreneuran Untuk Mahasiswa dan Umum. Bandung:
BELMAWA. (2013). Deskripsi Umum Dan Learning Outcome 12 Prodi LPTK. Jakarta: Ditjen Dikti dan Asosiasi LPTK Indonesia (ALPTKI) [ 848 ] P a g e
Menanamkan Nilai-Nilai… (Waspodo Tjipto Subroto)
Frinces, Z Heflin. (2011). Be An Entrepreneur. Yogyakarta: Graha Ilmu. Gwee, James. (2007). Positive Business Ideas: Proven, Practical and Easy-To Apply Ideas to Improve Your Performance. New York: Delmar Publisher Hisrich, Robert D., Michel P, Peter., Sherped Dean. (2005). Entrepreneurship. 6th Edition. Boston: Mc Graw Hill. Hoffman,Kenneth and Richard Russell. (1994). Exploring the World of the Entrepreneur Working for yourself. New York : Delmar Publisher Kao John J. (1993). Entrepreneurship Creativity and Organization: Tax, Cases and Reading. New York: McGraw Hill. Kasmir. (2011). Kewirausahaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Rusman. (2007). Model-Model Pembelajaran. Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sadiman, Leonardos. (2009). Kewirausahaan. Teori, Praktek dan Kasus-kasus. Jakarta: Salemba Empat. Suryana, Yuyus dan Kartib Bayu. (2010). Kewirausahaan. Pendekatan Karakteristik Entrepreneurwan Sukses. Jakarta: Prenada Suryana. (2011). Kewirausahaan. Pedoman Praktis. Kita dan Proses Menuju Sukses. Jakarta: Salemba Empat. Zimmerer, TW and Scarborough, NM. (2008). Essential of Entrepreneurship and Small Business Management, 5th Edition. .New Jersey: Saddle River.
P a g e [ 849 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DI PERGURUAN TINGGI: PENTINGKAH UNTUK SEMUA PROFESI? Susilaningsih
FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta
[email protected]
Abstrak Pendidikan kewirausahaan sudah dikembangkan hampir di semua perguruan tinggi di Indonesia dengan proses yang sangat bervariasi yang bertujuan untuk menciptakan wirausaha. Wirausaha adalah seseorang yang dengan kreativitasnya menciptakan sesuatu yang memiliki values, baik dalam bentuk tangible maupun intangible. Proses tersebut dapat dilakukan di dalam perusahaan yang diciptakan sendiri maupun di dalam organisasi di mana seseorang bekerja. Tujuan artikel ini adalah mengembangkan pemahaman tentang pentingnya pendidikan kewirausahaan bagi semua profesi yang dihasilkan oleh perguruan tinggi. Artikel ini ditulis berdasarkan pada hasil-hasil penelitian tentang pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi dan kajian literatur yang relevan. Artikel ini menyimpulkan bahwa pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi diperlukan dalam bidang apapun tanpa memperhatikan bidang yang ditekuni atau profesi seseorang. Kata kunci: wirausaha, kreativitas, values.
PENDAHULUAN Kebijakan pemerintah yang berpihak pada pengembangan budaya kewirausahaan sudah dimulai sejak tahun 1995 dan terus berkembang hingga kini. Di awal kebijakan tersebut Presiden RI saat itu menginstruksikan kepada seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia untuk mengembangkan program-program kewirausahaan. Sejak saat itu gerakan pendidikan kewirausahaan mulai diprogramkan oleh berbagai organisasi, baik organisasi bidang pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi, serta organisasi pemerintah dan swasta. Melalui gerakan ini diharapkan budaya kewirausahaan dapat menjadi bagian etos kerja masyarakat dan bangsa Indonesia, yang pada akhirnya dapat dilahirkan wirausaha-wirausaha baru yang handal, tangguh dan mandiri. Pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi telah difasilitasi oleh Dikti sejak tahun 1997 dengan adanya program pengembangan kewirausahaan di perguruan tinggi yang menawarkan berbagai kegiatan yaitu Kuliah Kewirausahaan (KWU), Magang Kewirausahaan (MKU), Kuliah Kerja Usaha (KKU), Konsultasi Bisnis dan Penempatan Kerja (KBPK), dan Inkubator Wirausaha Baru (INWUB). Dalam perkembangannya Dikti menawarkan program yang dikemas sebagai program kreativitas mahasiswa (PKM) yang memfasilitasi mahasiswa untuk berkreasi dalam berbagai bidang meliputi bidang penelitian, pengabdian kepada masyarakat, penerapan teknologi, artikel ilmiah, gagasan tertulis, karsa cipta, dan kewirausahaan. Selanjutnya, sejak tahun 2009 Dikti menyediakan skim bagi mahasiswa yang berminat sebagai job creator melalui program mahasiswa wirausaha (PMW). Semua kebijakan tersebut dilaksanakan dalam upaya [ 850 ] P a g e
Pendidikan Kewirausahaan di… (Susilaningsih)
meningkatkan kualitas lulusan pendidikan tinggi dengan mengimplementasikan kemampuan, keahlian, sikap tanggungjawab, membangun kerjasama tim maupun mengembangkan kemandirian dan mengembangkan usaha melalui kegiatan yang kreatif dalam bidang ilmu yang ditekuni. Hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan tinggi antara lain adalah membentuk insan yang kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri dan berjiwa wirausaha. Sejak dicanangkannya pendidikan kewirausahaan hingga saat ini, ketika mendiskusikan pendidikan kewirausahaan seringkali dikonotasikan dengan pendidikan bisnis. Hal ini dapat dilihat dari kurikulum pendidikan kewirausahaan yang disiapkan oleh sebagian besar penyelenggara pendidikan kewirausahaan. Kurikulum pendidikan kewirausahaan umumnya berisi materi dan aktivitas yang berhubungan dengan membangun sikap mental kewirausahaan, melatih keterampilan berkomunikasi, membangun jejaring dan menyusun rencana bisnis yang berorientasi pada keuntungan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan ketika suatu perguruan tinggi mewajibkan mata kuliah kewirausahaan bagi seluruh mahasiswanya, terdapat beberapa fakultas atau program studi yang menolak atau kurang setuju dengan kebijakan tersebut. Fakultas atau program studi yang tidak setuju tersebut umumnya mengemukakan alasan bahwa mereka tidak mendidik mahasiswa atau lulusannya menjadi pengusaha, dan fakultas atau program studi yang paling sesuai mewajibkan mahasiswanya mengikuti mata kuliah kewirausahaan adalah fakultas ekonomi. Apakah memang demikian? Bagaimanapun Perguruan Tinggi menghasilkan lulusan dengan berbagai profesi. Pendidikan tinggi bertujuan (1) membentuk insan yang (a) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur; (b) sehat, berilmu, dan cakap; (c) kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri dan berjiwa wirausaha; serta (d) toleran, peka sosial dan lingkungan, demokratis, dan bertanggung jawab dan (2) menghasilkan produk-produk ilmu pengetahuan, teknologi, seni, atau olahraga yang memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, bangsa, negara, umat manusia, dan lingkungan (Peraturan Pemerintah No. 17/2010: 61-62). Dengan demikian, perguruan tinggi menyiapkan lulusan dengan profesi apapun yang memiliki karakter sebagaimana diatur, antara lain adalah berjiwa wirausaha. Mempertimbangkan tujuan perguruan tinggi tersebut, pertanyaan yang perlu didiskusikan adalah apakah pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi penting untuk semua profesi? Artikel ini bertujuan untuk mengembangkan pemahaman tentang pentingnya pendidikan kewirausahaan bagi semua profesi yang dihasilkan oleh perguruan tinggi. Artikel ini ditulis berdasarkan pada hasil-hasil penelitian tentang pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi dan kajian literatur yang relevan.
P a g e [ 851 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 PEMBAHASAN Kewirausahaan didefinisikan sebagai semangat, perilaku, dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar (INPRES No. 4 Tahun 1995). Karena kewirausahaan adalah semangat, perilaku dan kemampuan seseorang, maka kewirausahaan melibatkan perilaku wirausaha yaitu: mengambil inisiatif; mengorganisir dan mereorganisir mekanisme sosial dan ekonomi untuk merubah sumberdaya dan situasi menjadi lebih bermanfaat dan menguntungkan; dan mengambil risiko dan kegagalan. Kewirausahaan merupakan proses dinamis dalam menciptakan kekayaan, dan proses menciptakan sesuatu yang baru yang memiliki value dengan mencurahkan waktu dan usaha yang diperlukan, mengambil risiko keuangan, psikis dan sosial, dan memperoleh hasil dalam bentuk keuangan, kepuasan pribadi dan kebebasan. Kewirausahaan dapat terjadi pada semua bidang (Hisrich, Peters dan Shepherd, 2005). Terinspirasi oleh pengertian wirausaha yang ditulis oleh ekonom Perancis, JeanBaptiste pada tahun 1800, Drucker menyatakan bahwa entrepreneur “shifts resources from areas of low productivity and yield to areas of higher productivity and yield”, atau wirausaha merubah sumber-sumber ekonomi dari area yang produktivitasnya dan hasilnya rendah menuju area dengan produktivitas yang lebih tinggi dan dengan hasil yang lebih besar (Drucker, 2007: 25). Kewirausahaan merupakan suatu ciri yang dapat diamati dalam tindakan seseorang atau institusi. Wirausaha dalam bidang kesehatan, pendidikan dan bisnis pada dasarnya bekerja dengan cara yang sama, mereka bekerja lebih baik, mereka melakukannya berbeda dari yang lain (Drucker, 2007). Merujuk pendapat Drucker, maka seseorang dapat dikategorikan sebagai wirausaha atau bukan, itu dapat diamati dari tindakan orang tersebut. Seseorang yang selalu bekerja dengan lebih baik dan berbeda dari yang lain, maka orang itu adalah wirausaha, apapun bidang pekerjaannya (Drucker, 2007). Wirausaha adalah inovator (Schumpeter dalam de Klerk dan Kruger, 2002), oleh karena itu kewirausahaan meliputi serangkaian perilaku, keterampilan dan sifat yang mendukung pengembangan inovasi dan kreativitas (Hisrich and Peters, 1992). Kewirausahaan sebagai perilaku dapat ditunjukkan melalui tanggapan/respon yang dinamis, mengandung risiko, kreatif dan berorientasi pada pertumbuhan yang merupakan suatu proses inovasi. Selanjutnya, proses inovasi tersebut dapat menghasilkan peluang-peluang baru di mana peluang tersebut diciptakan menggunakan kombinasi-kombinasi yang tidak umum, yang tidak lazim (unusual combinations) sehingga mampu menghasilkan produk, baik tangible maupun intangible, yang unik, berbeda dari yang sudah ada, dan sesuai dengan kebutuhan pengguna produk. Hanya para wirausahalah yang mampu melaksanakan kepemimpinan dan berani mengambil risiko semacam itu. Dengan demikian kewirausahaan tidak hanya berkaitan dengan [ 852 ] P a g e
Pendidikan Kewirausahaan di… (Susilaningsih)
penciptaan produk baru namun dimulai dari mengumpulkan sumber-sumber baru dan menggali serta mengelola bakat dan kemampuan sampai dapat dihasilkan suatu produk yang memiliki value, yang mungkin merupakan produk baru dan unik yang akan menunjang keberhasilan di bidang yang ditekuni. Schumpeter mengatakan bahwa wirausaha adalah seseorang yang berhubungan dengan kegiatan creative destruction (Schumpeter, 1934 dalam de Klerk & Kruger, 2002), karena wirausaha secara terus menerus mengembangkan metode yang ada dan produkproduk lama melalui pengenalan inovasi-inovasi baru (Morris, Lewis & Sexton, 1994). Wirausaha adalah posisi sementara bagi seseorang, kecuali orang tersebut inovatif (Schumpeter, 1934 dalam de Klerk & Kruger, 2002). Semua ini berarti bahwa seseorang tidak dapat dikatakan sebagai wirausaha apabila tidak inovatif, tidak mampu melakukan perubahan, ‘merusak’ kondisi yang sudah ada secara kreatif (perubahan konstruktif) agar menjadi lebih baik, memiliki nilai yang lebih besar dari sebelumnya. Perguruan tinggi pada umumnya terdiri dari beberapa fakultas atau himpunan sumber daya pendukung, yang dapat dikelompokkan menurut jurusan, yang menyelenggarakan dan mengelola pendidikan akademik, vokasi, atau profesi dalam satu rumpun disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olah raga (PP No. 17, 2010). Setiap fakultas atau jurusan dapat menghasilkan lulusan yang dapat menekuni berbagai profesi sesuai dengan bidang ilmu yang dipelajari. Profesi yang dihasilkan perguruan tinggi antara lain guru, dosen, peneliti, akuntan, bankir, ahli ekonomi, ahli hukum, ahli telekomunikasi, pengacara, teknokrat, arsitek, dokter, psikolog, dan profesi-profesi lainnya. Saat ini beberapa perguruan tinggi, salah satunya Universitas Sebelas Maret Solo, menyediakan mata kuliah kewirausahaan sebagai mata kuliah wajib yang harus diikuti oleh semua mahasiswa dari semua fakultas yang ada di universitas. Tentunya universitas menyadari bahwa lulusan dari setiap jurusan/fakultas akan memiliki profesi yang sangat bervariasi. Namun demikian, semua mahasiswa diwajibkan menempuh mata kuliah kewirausahaan apapun bidang ilmu yang ditekuninya. Perguruan tinggi yang demikian itu memiliki pemahaman bahwa pendidikan kewirausahaan bukanlah pendidikan usaha, sehingga dapat dipelajari oleh semua mahasiswa dari berbagai bidang ilmu. Pendidikan kewirausahaan merupakan pendidikan dan pelatihan yang memungkinkan mahasiswa untuk mengembangkan dan menggunakan kreativitas mereka, mengambil inisiatif, tanggung jawab dan risiko. Dengan demikian, pendidikan kewirausahaan bukan pendidikan usaha (enterprise education) sehingga pendidikan kewirausahaan tidak hanya berfokus pada bisnis (UNESCO, 2008). Pendidikan kewirausahaan di Perguruan Tinggi bukan berarti pendidikan untuk membuka usaha (bisnis), melainkan harus dimaknai sebagai pendidikan untuk membangun karakter wirausaha, pola pikir wirausaha, dan perilaku wirausaha. Luaran pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi dapat menjadi
P a g e [ 853 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 entrepreneur atau business entrepreneur dan intrapreneur sebagai academic entrepreneur, corporate entrepreneur maupun social entrepreneur. Oleh karena wirausaha dapat ditemukan pada berbagai bidang/profesi, maka seseorang yang memiliki perilaku wirausaha dapat berada pada perusahaan yang didirikan dan dikelola sendiri, sebagai entrepreneur, atau pada perusahaan/organisasi lainnya, sebagai intrapreneur. Intrapreneur adalah mereka yang bertanggungjawab untuk melakukan inovasi dalam organisasi (Manion, 2001). Seseorang yang bertindak sebagai wirausaha, yang melakukan inovasi dan kreativitas di dalam organisasi disebut sebagai intrapreneur. Intrapreneur membuat keputusan berisiko dengan menggunakan sumber daya perusahaan, sedangkan entrepreneur membuat keputusan berisiko dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri (Antoncic dan Hisrich, 2003). Seorang intrapreneur dapat berperan sebagai pencetus (creator) atau penemu (inventor) yang berupaya merealisasikan segala ide atau gagasan-gagasan menjadi kenyataan yang menguntungkan, di mana karena ia berada di dalam perusahaan atau organisasi, maka keuntungan tersebut pada hakikatnya diperuntukkan bagi perusahaan. Sedangkan entrepreneur yang memainkan peran yang sama dengan intrapreneur tetapi karena mereka berada pada organisasi/usaha yang dikembangkannya sendiri, maka keuntungan yang diperoleh dari penciptaan gagasan/produk baru tersebut akan diperuntukkan bagi perusahaannya sendiri. Pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi di Indonesia sangat bervariasi, demikian juga pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi-perguruan tinggi di beberapa negara. Pendidikan kewirausahaan di Singapore dikembangkan dalam menghadapi globalisasi knowledge economy, dengan menggunakan strategi knowledgebased pada pertumbuhan ekonominya. Melalui strategi ini terjadilah transisi dari investment-driven economy menuju innovation-driven economy, dengan menekankan pada pembangunan intellectual capital dan komersialisasinya untuk menciptakan value dan pekerjaan. Pada masa transformasi ekonomi ini peran perguruan tinggi semakin nyata dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi melalui penelitian yang relevan dengan kebutuhan industri, komersialisasi teknologi, mengembangkan high-tech, menarik individu berbakat dari luar negeri, dan menanamkan mindset kewirausahaan kepada para sarjana (Wong, Ho and Singh, 2007). National University of Singapore (NUS) pada akhir tahun 1990an menerapkan model entrepreneurial university, dan agar universitas menjadi lebih entrepreneurial maka didirikanlah NUS Enterprise. NUS Enterprise berinistiatif untuk mereformasi kebijakan-kebijakan komersialisasi teknologi, dan menanamkan elemen kewirausahaan yang kuat pada pendidikan dan penelitian. Pendidikan kewirausahaan yang dilakukan oleh NUS Entrepreneurship Center mengembangkan kuliah kewirausahaan bagi semua mahasiswa, khususnya mahasiswa bidang teknik, komputer dan science. Program minor technopreneurship juga disediakan dan dapat ditempuh oleh mahasiswa S1 dari bidang apapun. Sedangkan bagi mahasiswa pasca sarjana, Master dan PhD yang ingin [ 854 ] P a g e
Pendidikan Kewirausahaan di… (Susilaningsih)
mengkomersialisasikan temuannya, disediakan matakuliah pilihan new venture creation. Selain itu untuk meningkatkan kesadaran dan minat kewirausahaan bagi mahasiswa dan fakultas, NEC menyelenggarakan kompetisi business plan tingkat nasional dan internasional setiap tahun, memfasilitasi pengembangan masyarakat kewirausahaan mahasiswa di kampus, dan secara reguler menyelenggarakan “techno-venture forums” dengan pembicara wirausaha dan venture profesional terkenal. NEC juga membangun network dengan wirausaha, venture capitalists, dan angel investors untuk mengembangkan perusahaan-perusahaan baru untuk komersialisasi HAKI dengan bimbingan praktisi dan akses pada pendanaan ventura di luar kampus. NUS juga menekankan pada pendidikan global dengan menarik mahasiswamahasiswa top dari luar negeri dan meningkatkan kompetisi fakultas dengan universitas terkenal di dunia. Selanjutnya, NUS Overseas College pada tahun 2001 berinisiatif untuk menggabungkan dimensi globalisasi dan kewirausahaan dengan mengirimkan mahasiswa S1 terbaiknya ke 5 (lima) pusat kewirausahaan di dunia untuk magang pada high-tech start-up companies selama 1 (satu) tahun. Program ini tidak mengharapkan mahasiswa langsung dapat membuka usaha setelah mereka lulus, tetapi utamanya adalah menanamkan sikap mental kewirausahaan agar mereka memiliki orientasi bagi penelitian-penelitiannya di masa mendatang untuk dapat dikomersialkan dan inovatif serta agar dapat memengaruhi pilihan karier mereka untuk lebih entrepreneurial dan inovatif. Berbeda dengan pendidikan kewirausahaan di Singapore, di China pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi lebih ditekankan pada penciptaan business entrepreneur. Setiap tahun secara bergantian universitas-universitas menyelenggarakan kompetisi Business Plan Nasional yang diikuti oleh mahasiswa dari hampir semua perguruan tinggi di China. Beberapa universitas memiliki inkubator untuk memfasilitasi mahasiswa yang memulai usaha. Di setiap kota, tersedia inkubator yang disediakan untuk wirausaha-wirausaha muda. Inkubator-inkubator ini didirikan oleh organisasi-organisasi pemerintah dan memberikan pelayanan kepada wirausaha dengan harga yang layak. Beberapa perusahaan menengah memfasilitasi kegiatan-kegiatan wirausaha. China memiliki lingkungan kewirausahaan yang mendukung. Para orang tua memiliki pemikiran yang luas, mereka mendukung anak-anak mereka untuk membuka usaha, mereka memberi bantuan keuangan, berbagi pengalaman bisnis dan network. Bahkan, ketika anak-anak mereka tidak berhasil pada kesempatan pertamanya, para orang tua masih berpikir bahwa itu adalah pengalaman yang baik yang akan membantu masa depan karier anak-anaknya. Semua ini menimbulkan adanya kebutuhan terhadap pendidikan kewirausahaan yang baik di perguruan tinggi (Lyan, 2009). Pendidikan kewirausahaan di Turku School of Economics, Turku, Finland menggunakan pendekatan entrepreneurial directed. Pendekatan ini memberi pengalaman konstruktif, mendidik dan bermanfaat bagi mahasiswa dan dosen. Dalam membelajarkan kewirausahaan diperlukan pengembangan pedagogis dan pendekatan P a g e [ 855 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 inovatif dalam mengajar. Kuliah di universitas menghadapi tantangan untuk membelajarkan kepada mahasiswa tentang konsep teoretis dan menerapkannya dalam praktik, serta mempraktikkan proses entrepreneurial dan merefleksikannya, dalam rangka meningkatkan performance personal mahasiswa. Permasalahannya adalah tidak hanya terletak pada substansi dan isi, tetapi juga pada cara penyampaiannya. Metode mengajar tradisional seperti metode ceramah, review literature dan ujian tidak dapat mengaktifkan mahasiswa, dan perlu dilengkapi dengan pendekatan entrepreneurial yang lebih banyak agar dapat menarik mahasiswa untuk aktif dalam proses belajar. Pendekatan ini lebih ditujukan pada pembentukan mahasiswa untuk menjadi entrepreneur dan corporate entrepreneur yang memiliki atribut sebagai berikut: pendekatan inovatif untuk pemecahan masalah, kesiapan yang tinggi untuk berubah, percaya diri dan kreativitas. Dengan demikian pembelajaran kewirausahaan tidak hanya difokuskan pada fenomena corporate entrepreneurship, tetapi juga memotivasi mahasiswa untuk merefleksikan dirinya dengan berperilaku seperti wirausaha. Mencermati praktik pendidikan kewirausahaan di tiga perguruan tinggi di Singapore, China, dan Finland, tampak perbedaan di antara ketiganya. Model pendidikan kewirausahaan di NUS diawali dengan menanamkan sikap mental kewirausahaan dilanjutkan dengan aktivitas inovasi dan kreatif dalam penelitian, serta komersialisasi hasil penelitian. Melalui model ini NUS dapat menciptakan academic entrepreneur, social entrepreneur sekaligus business entrepreneur berbasis teknologi. Model pendidikan kewirausahaan di China lebih menekankan pada pembentukan business entrepreneur. Peran pemerintah dan orang tua sangat besar dalam pendidikan kewirausahaan. Pemerintah menyediakan program kompetisi business plan, inkubator bisnis yang didirikan di perguruan tinggi maupun di kota-kota, menyediakan modal awal serta memberi insentif kepada mahasiswa wirausaha berupa pengurangan pajak dan dukungan keuangan lainnya. Sedangkan orang tua mahasiswa menyediakan bantuan keuangan, berbagi pengalaman bisnis dan network. Di Turku University Finland pendidikan kewirausahaan dilakukan untuk menyiapkan mahasiswa menjadi corporate entrepreneur yaitu wirausaha yang berada di dalam suatu korporasi. Mahasiswa dilatih melalui beberapa tahap mulai dari tahap pemicu, tahap pemberian pengetahuan tentang kewirausahaan sampai tahap keterampilan berperilaku entrepreneurially di dalam suatu organisasi. Dengan kata lain, mahasiswa disiapkan untuk dapat bekerja di suatu organisasi menjadi karyawan yang berperilaku wirausaha. Selain mempersiapkan mahasiswa sebagai corporate entrepreneur atau intrapreneur, perguruan tinggi juga menyiapkan mahasiswa sebagai entrepreneur. Pendidikan kewirausahaan diawali dengan pembentukan pola pikir wirausaha dilanjutkan dengan pembentukan perilaku kreatif dan inovatif agar dapat berkreasi. Kreasi-kreasi yang dapat dihasilkan wirausaha meliputi creation of wealth, enterprise, innovation, change, employment, value dan growth (Morris, Lewis dan Sexton, 1994:22). Melalui kemampuan menghasilkan kreasi-kreasi tersebut, maka seseorang dapat disebut [ 856 ] P a g e
Pendidikan Kewirausahaan di… (Susilaningsih)
sebagai wirausaha dalam bidang apapun. Sebagai contoh, seorang business entrepreneur dituntut untuk mampu menciptakan creation of wealth, enterprise, innovation, employment, value dan growth; sedangkan seorang intrapreneur sebaiknya memiliki kemampuan creation of innovation, change, value yang secara tidak langsung akan menumbuhkan creation of wealth, enterprise, innovation, change, employment, value dan growth bagi organisasi di mana seseorang tersebut bergabung/bekerja. SIMPULAN Pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi berkaitan dengan membangun karakter wirausaha, pola pikir wirausaha, dan perilaku wirausaha yang selalu kreatif dan inovatif, menciptakan nilai tambah atau nilai-nilai baik (values), memanfaatkan peluang dan berani mengambil risiko. Menghadapi tantangan masa depan yang sangat kompetitif, maka perilaku kewirausahaan diperlukan bagi semua bidang pekerjaan atau profesi. Oleh karena itu pendidikan kewirausahaan dapat dilaksanakan di perguruan tinggi dan diberlakukan kepada semua mahasiswa tanpa memandang bidang ilmu yang dipelajari, karena pendidikan kewirausahaan bukan pendidikan bisnis. DAFTAR PUSTAKA Antoncic, B. and Hisrich, R.D. (2003), Clarifying the Intrapreneurship Concept, Journal of Small Business and Enterprise Development; 10 (1), pp 7-24. deKlerk, G.J. and Kruger, S. (2002). The driving force behind entrepreneurship: An exploratory perspective. (Online) (http://www.kmu.unisg.ch/recontres/bond 2002/F_04_deKlerl.pdf diakses 11 Maret 2010) Drucker, Peter F. (2007). Innovation and Entrepreneurship: Practice and Principles. Oxford: Butterworth-Heinemann. Hisrich, R.D., Peters, M.P. (1992). Entrepreneurship: Starting, Developing, and Managing a New Enterprise. Second Edition. Homewood, IL: Irwin. Hisrich, Robert. D, Peters, Michael P., Sheperd, Dean A. (2005). Entrepreneurship 6 ed. Boston, MA: McGraw-Hill Irwin. Instruksi Presiden. (1994). Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 1995 Tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan Dan Membudayakan Kewirausahaan Liyan, Zhang. (2009). Entrepreneurship Education within India’s Higher Education System. (Online) (http://www/asianscholarship.org/asf/ejourn/articles/ zhang_1.pdf diakses 15 Juni 2010). Manion, Jo. (2001). Enhancing Career Marketability through Intrapreneurship. Nurs Admin Q., 25(2), pp 5-10. Morris, M.H, Lewis, P.S. & Sexton, D.L. (1994). Reconceptualizing Entrepreneurship: An Input-Output Perspective. Sam Advanced Management Journal, Winter: 21 – 31. Peraturan Pemerintah (2010). Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan. P a g e [ 857 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 UNESCO (2008). Inter-Regional Seminar on Promoting Entrepreneurship Education in Secondary School. Thailand: UNESCO. Wong, Poh-Kam, Ho, Yuen-Ping, Singh, Annette. (2007). Towards an “Entrepreneurial University” Model to Support Knowledge-Based Economic Development: The Case of the National University of Singapore. World Development, 35 (6): 941 – 958.
[ 858 ] P a g e