Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
BAGIAN 5. PROFESIONALISME GURU PERUBAHAN KURIKULUM DAN PROFESIONALISME GURU DI ERA MEA 2014 Mintasih Indriayu, Dewi Kusumawardani, Harini & Jonet Ariyanto Nugroho FKIP UNS Surakarta
[email protected]
Abstrak Menghadapi persaingan pasar bebas ASEAN, kesiapan bukan lagi hal yang harus dipertanyakan karena siap tidak siap Indonesia harus menghadapi hal tersebut. Namun dalam realitasnya masih banyak berbagai sektor yang mesti dibenahi oleh pemerintah Indonesia menghadapi persaingan tingkat ASEAN ini, terutama sektor pendidikan. Untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, dunia pendidikan harus membuat terobosan meningkatkan kualitas pendidikan, sehingga mampu mencetak tenaga-tenaga profesional. Profesionalisme tenaga pendidik merupakan keharusan yang perlu ditingkatkan. Kreativitas menjadi salah satu sarana mewujudkan sebagai sosok guru profesional. Karena itu, pelatihan pendidikan serta peningkatan penguasaan keilmuan dan teknologi bagi guru tetap harus terus dilakukan. Apalagi, di era globalisasi, tantangan pendidik menjadi tidak ringan. Setiap perubahan kurikulum selalu menjadi harapan besar bagi seluruh masyarakat Indonesia akan adanya perubahan dalam dunia pendidikan terutama untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kata Kunci: Kurikulum, Profesionalisme, MEA 2015
PENDAHULUAN Faktor utama pendidikan yang berkualitas terletak pada faktor guru, bukan semata ditentukan oleh kurikulumnya. Karena proses interaksi antara guru dan peserta akan menentukan efektif dan efisiennya tujuan pembelajaran. Sedangkan kurikulum adalah alat untuk menjalin hubungan yang bertujuan untuk menjadikan sistem pendidikan lebih sistematis dan dapat dikerjakan secara terstruktur dan merata. Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman untuk menggunakan aktivitas belajar mengajar. Kurikulum dipandang sebagai program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan dalam mencapai tujuan pendidikan. Apabila masyarakat dinamis, kebutuhan anak didik pun akan dinamis sehingga tidak tersaing dalam masyarakat, karena memang masyarakat berubah berdasarkan kebutuhan itu sendiri. Tak heran jika di Indonesia telah berganti kurikulum sebanyak tujuh kali, mulai 1968 sampai 2013 (Tempo, 2014). Berikut ini adalah ringkasan perubahan kurikulum yang ada di Indonesia. Kurikulum 1968 Sifat: perubahan dari program Pancawardhana (Kurikulum 1964) yang menitikberatkan pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keperigelan, dan jasmani. Sedangkan Kurikulum 1968 menitikberatkan pembinaan jiwa Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Pengganti kurikulum Orde Lama ini lebih [ 614 ] P a g e
Perubahan Kurikulum dan… (Mintasih Indriayu, Dewi Kusumawardani, Harini & Jonet Ariyanto Nugroho)
menekankan kelompok pembinaan Pancasila. Pelajaran inti: pelajaran ilmu hayat dam ilmu alam, digabung menjadi ilmu pengetahuan alam (IPA) Kurikulum 1975 Sifat: berorientasi pada tujuan. Tujuan pendidikan nasional, institusional, kurikuler, instruksional umum, dan instruksional khusus. Perbedaan dengan kurikulum sebelumnya adalah memberikan penilaian pada akhir semester atau akhir tahun saja. Pelajaran inti: agama, pendidikan moral Pancasila, bahasa Indonesia, ilmu pengetahuan sosial (IPS), matematika, IPA, olahraga dan kesehatan, kesenian, serta keterampilan khusus. Ciri Kurikulum 1975 adalah dimulainya penjurusan di SMA, yaitu IPA, IPS, dan bahasa. Kurikulum 1984 Sifat: berorientasi pada tujuan instruksional. Pelajaran inti: agama, pendidikan moral Pancasila, pendidikan sejarah perjuangan bangsa, bahasa dan kesusasteraan Indonesia, geografi Indonesia, geografi dunia, ekonomi, kimia, fisika, biologi, matematika, bahasa Inggris, kesenian, keterampilan, pendidikan jasmani dan olahraga, serta sejarah dunia dan nasional. Alasan pergantian kurikulum kali ini adalah memenuhi tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan masyarakat. Selain itu, pendekatan berpusat pada anak didik melalui cara belajar siswa aktif (CBSA). Tujuan pengadaan program studi baru (seperti di SMA) adalah memenuhi kebutuhan perkembangan lapangan kerja. Perubahan penjurusan dengan istilah program A dan B mulai SMA. Program A: A1 adalah fisika. A2 untuk pelajaran biologi. A3 untuk pelajaran ekonomi. A4 lebih penekanan bahasa dan budaya. Program B: Lebih menekankan keterampilan kejuruan. Kurikulum 1994 Sifat: diterapkannya sistem caturwulan dan bersifat populis. Dengan sifat populis, masing-masing daerah dapat mengembangkan pelajarannya sendiri yang disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat. Sedangkan dalam tataran jawaban dari murid, guru memberikan soal yang jawabannya dimungkinkan lebih dari satu jawaban. Kurikulum 2004 Sifat: sentralis pendidikan. Bersifat sentralis karena kurikulum ini disusun oleh tim pusat. Kurikulum 2004 lebih dikenal dengan Kurikulum Penguasaan Materi Hasil dan Kompetensi (KBK). KBK tidak mempersoalkan proses belajar, tapi mementingkan peserta didik mencapai kompetensi yang diharapkan. Jumlah jam pelajaran 32-40 jam per minggu, tapi jumlah mata pelajaran belum bisa dikurangi. Sedangkan Kurikulum 2004 harus mencakup muatan lokal; kegiatan pengembangan diri; pengaturan beban belajar; kenaikan kelas, penjurusan, dan kelulusan; pendidikan kecakapan hidup; serta pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global. Kurikulum 2006 Sifat: desentralisme pendidikan. Pada kurikulum ini, guru daerah dapat mengembangkan kerangka dasar yang disusun oleh tim pusat. Tujuan utama Kurikulum
P a g e [ 615 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 2006 adalah agar peserta didik berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, serta kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum 2013 Sifat: pendidikan berbasis karakter. Kurikulum 2013 mengutamakan pemahaman, keterampilan, dan siswa dituntut memahami materi, aktif berdiskusi dan presentasi, serta memiliki sopan santun disiplin yang tinggi. Dalam Kurikulum 2013 terdapat mata pelajaran wajib dan mata pelajaran pilihan sesuai dengan keinginan peserta didik. Walaupun sudah berganti-ganti kurikulum, namun peringkat kualitas pendidikan Indonesia di mata dunia masih rendah. Berdasarkan data The Learning Curve Pearson 2014, sebuah lembaga pemeringkatan pendidikan dunia, memaparkan bahwa Indonesia menempati posisi ke-40 dengan indeks ranking dan nilai secara keseluruhan yakni minus 1,84. Posisi Indonesia ini menjadikan yang terburuk di mana Meksiko, Brasil, Argentina, Kolombia, dan Thailand, menjadi lima negara dengan ranking terbawah yang berada di atas Indonesia. Pendidikan merupakan aspek penting yang bisa menghasilkan SDM yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Saat ini Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada peringkat ke-121 dari 187 negara. Kita berada jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura (peringkat 18), Malaysia (peringkat 64), Thailand (peringkat 103), dan Filipina (peringkat 114). Oleh sebab itu peningkatan kualitas SDM untuk bersaing dalam menghadapi MEA harus dimulai dari proses pendidikan. Kemampuan pengetahuan masyarakat Indonesia masih tergolong rendah dibanding Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand Kemajuan suatu negara ditentukan oleh bagaimana pendidikan tersebut dilaksanakan. Pada pendidikan tingkat dasar dan menengah guru sebagai komponen penting dalam pendidikan yang berperan sebagai pengajar dan pendidik bagi siswa. Oleh sebab itu, seorang guru mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mencapai kemajuan pendidikan bangsa. Guru dengan profesionalitas tinggi dan mau berdedikasi terhadap pendidikan, maka akan menghasilkan pendidikan yang berkualitas dan mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas juga. Peningkatan kualitas pendidikan salah satunya dicapai melalui peningkatan profesionalisme pendidik yang dibuktikan dengan sertifikasi. Profesionalisme guru tidak sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen namun lebih merupakan sikap dan pengembangan profesionalisme pada keterampilan yang tinggi dengan tingkah laku sesuai dengan yang disyaratkan. Guru profesional hendaknya menjadi guru yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang dapat menciptakan hasil pembelajaran secara optimal. Selanjutnya memiliki kepekaan dalam membaca tanda-tanda zaman, serta memiliki wawasan intelektual dan berpikiran maju, tidak pernah merasa puas dengan ilmu yang ada pada dirinya. Menurut Isjoni (2006) bahwa guru masa depan yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Planner, artinya guru memiliki program kerja pribadi yang jelas. Program kerja tersebut tidak hanya berupa program rutin, akan tetapi guru harus merencanakan
[ 616 ] P a g e
Perubahan Kurikulum dan… (Mintasih Indriayu, Dewi Kusumawardani, Harini & Jonet Ariyanto Nugroho)
bagaimana setiap pembelajaran yang dilakukan berhasil maksimal dan tentunya apa dan bagaimana rencana yang dilakukan dan sudah terprogram secara baik 2. Innovator, artinya memiliki kemauan untuk melakukan pembaharuan yang berkenaan dengan pola pembelajaran termasuk di dalamnya metode mengajar, media pembelajaran, sistem dan alat evaluasi. Secara individu maupun bersamasama mampu untuk mengubah pola lama, yang selama ini tidak memberikan hasil maksimal. Dengan mengubah pola baru pembelajaran, maka akan berdampak kepada hasil yang lebih maksimal 3. Motivator, artinya guru mampu memiliki motivasi untuk terus belajar dan belajar dan tentunya juga akan memberikan motivasi kepada anak didiknya untuk belajar dan terus belajar 4. Capable, artinya guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan dan sikap yang lebih mantap dan memadai sehingga mampu mengelola proses pembelajaran secara efektif 5. Developer, artinya guru mau untuk terus mengembangkan dan menularkan kemampuan dan keterampilan kepada anak didiknya dan untuk semua orang. Guru juga menjadi salah satu faktor menentukan dalam konteks meningkatkan mutu pendidikan dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas karena guru adalah garda terdepan yang berhadapan langsung dan berinteraksi dengan siswa dalam proses belajar mengajar. Mutu pendidikan yang baik dapat dicapai dengan guru yang profesional dengan segala kompetensi yang dimiliki. Selain itu juga rasa tanggung jawab menunjukkan professional dalam melakukan sesuatu. Seorang guru yang mengajar harus merasa bertanggung jawab atas materi yang disampaikannya kepada siswa sesuai dengan kurikulum, tepat waktu masuk dan keluar kelas, meningkatkan kompetensi, kecakapan, keterampilan siswa dan menilai hasil belajar siswanya. Sehingga seorang guru perlu kesiapan sebelum dan sewaktu masuk kelas dengan pengetahuan, ketrampilan yang akan diajarkannya. Tanggung jawab di sini bukanlah hanya memberi materi saja, akan tetapi bertanggungjawab mengkodisikan belajar yang mudah dipahami siswa dengan Susana yang harmonis, tenang dan menyenangkan. Untuk itu seperti yang diungkapkan oleh Gagne dan Briggs (1979) yang dikutip oleh Martinis Yamin (2006), bahwa seorang guru sebaiknya: 1. Memberikan motivasi atau menarik perhatian siswa 2. Menjelaskan indicator/tujuan instruksional yang harus dicapai 3. Mengingatkan kompetensi prasyarat 4. Memberikan stimulus dari suatu masalah, topik atau konsep materi 5. Memberikan petunjuk belajar yang mudah dipahami 6. Memunculkan penampilan, kompetensi dan keterampilan siswa 7. Memberikan umpan balik 8. Menyimpulkan materi yang telah disampaikan kepada siswa. Ada beberapa aspek yang menentukan keberhasilan guru dalam proses belajar mengajar, menurut Lukmanul Hakim “Tiga aspek yang mempengaruhi keberhasilan guru P a g e [ 617 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 dalam proses belajar mengajar yaitu: kepribadian, pandangan terhadap anak didik dan latar belakang guru”. (Hakim, 2010: 91), yaitu: 1. Kepribadian Hal ini akan mempengaruhi pola kepemimpinan yang guru perlihatkan ketika melaksanakan tugas di dalam kelas. 2. Pandangan terhadap anak didik Proses belajar dari guru yang memandang anak didik sebagai mahluk individual dengan yang memiliki pandangan anak didik sebagai mahluk sosial akan berbeda. Karena prosesnya berbeda, hasil proses belajarnya pun akan berbeda. 3. Latar belakang guru Guru pemula dengan latar belakang pendidikan keguruan lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah, karena ia sudah dibekali dengan seperangkat teori sebagai pendukung pengabdiannya. Tingkat kesulitan yang ditemukan guru semakin berkurang pada aspek tertentu seiring dengan bertambahnya pengalamannya. Oleh sebab itu guru professional akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode pembelajaran. Keahlian yang dimiliki oleh guru profesional adalah keahlian yang diperoleh melalui suatu proses pendidikan dan pelatihan yang diprogramkan secara khusus. Keahlian tersebut mendapat pengakuan formal yang dinyatakan dalam bentuk sertifikasi, akreditasi, dan lisensi dari pihak yang berwenang (dalam hal ini pemerintah dan organisasi profesi). Profesionalisme guru juga akan menentukan peran pendidikan secara strategis dalam kemitraan global serta dapat memutus lingkaran setan dalam pengentasan kemiskinan. Pada tingkat pendidikan tinggi seorang dosen juga merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidikan pada perguruan tinggi. Ketentuan ini mencakup tipe macam kegiatan yang harus dilaksanakan oleh dosen yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Tiga macam kegiatan tersebut secara hirarki melambangkan tiga upaya berjenjang dan meluas gerakannya (Riva. 2009). Untuk itu dosen mempunyai peran yang multi fungsi, yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, inovator, konselor, evaluator dan administrator, (Syamsudin, 2003 dalam Akhmad Sudrajat, 2008). Para guru di era MEA 2015, mau tidak mau harus siap bersaing dengan tenaga pengajar dari luar Indonesia. Karena melalui pasar bebas, tenaga kerja dari luar akan bebas mencari tempat kerja antar lintas negara, termasuk menjadi pengajar di Indonesia. Oleh karena itu, guru di Indonesia harus mempersiapkan diri dengan meningkatkan kualitasnya sebagai pendidik yang profesional agar siap menghadapi persaingan di antara negara-negara Asia Tenggara. Indonesia sebagai negara yang hampir sepertiga penduduknya berusia di bawah 15 tahun, sudah seharusnya melakukan investasi yang [ 618 ] P a g e
Perubahan Kurikulum dan… (Mintasih Indriayu, Dewi Kusumawardani, Harini & Jonet Ariyanto Nugroho)
lebih dan memberdayakan sumber daya generasi muda guna mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial masa depan. Salah satu bentuk investasi yang dapat dilakukan adalah dengan membekali generasi muda dengan pendidikan berkualitas tinggi yang relevan. Sumber daya manusia yang berpendidikan serta memiliki keahlian yang memadai merupakan hal krusial untuk ekonomi berbasis inovasi. Ditambah lagi, dalam waktu dekat Indonesia akan memasuki zona persaingan bebas, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Oleh sebab itu sistem pendidikan yang tepat dan berkualitas dapat menjadikan generasi muda Indonesia siap menghadapi segala bentuk persaingan global, seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. MEA 2015 merupakan suatu konsep pembentukan pasar tunggal yang bertujuan mewujudkan suatu area perekonomian yang kompetitif, suatu kawasan dengan pembangunan ekonomi yang mampu terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global. Hal ini berarti membuka peluang sekaligus tantangan bagi tenaga kerja Indonesia yang terdidik untuk berkesempatan bekerja di negara-negara anggota ASEAN. Sebenarnya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) tidak hanya berbicara mengenai persaingan di bidang ekonomi, melainkan di bidang pendidikan sebagai sektor yang akan memproduksi Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal. Pendidikan memainkan peran penting dan menjadi program prioritas di sepuluh negara anggota ASEAN. Pemimpin ASEAN pada tahun 2003 telah sepakat untuk membentuk ASEAN Community pada tahun 2015 yang akan didukung oleh tiga pilar, yaitu pilar politik dan keamanan, pilar ekonomi dan pilar sosial budaya, sebagaimana ditetapkan dalam ASEAN Vision 2020. ASEAN bertekad untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan untuk kepentingan generasi sekarang melalui kerjasama yang lebih erat di bidang pendidikan. Pendidikan merupakan inti dari proses pembangunan ASEAN, menciptakan masyarakat berbasis pengetahuan sehingga dapat berkontribusi terhadap peningkatan daya saing ASEAN dalam membangun kehidupan masyarakat yang produktif dan kohesif. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu kerjasama yang erat, melengkapi kualitas pengajaran, pembelajaran dan penelitian kelas dunia. Semua ini menuntut sistem pendidikan dan pelatihan yang responsif terhadap tuntutan warga dan ekonomi. Keikutsertaan Indonesia dalam program perdagangan di ASEAN dengan tujuan yang luhur untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia, namun harus dibarengi dengan upaya kerja keras untuk perbaikan dan peningkatan kemampuan Pengetahuan (Knowledge), keterampilan (Skill) dan tata laku (attitude) secara personil maupun kelembagaan secara simultan, terintegrasi dan konsisten, pada semua tingkatan, dari semua. DISKUSI Di Indonesia, kurikulum disusun dan berlaku secara Nasional untuk semua sekolah pada jenjang yang sama. Ini dimaksudkan untuk mewujudkan cita-cita Nasional Bangsa Indonesia. Setiap kurikulum selalu berisikan sesuatu yang dicita-citakan dalam bidang pendidikan artinya hasil belajar yang diinginkan agar dimiliki oleh anak didik. P a g e [ 619 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Untuk mewujudkan cita-cita yang terdapat dalam kurikulum, para gurulah yang memegang peranan sentral dalam pelaksanaan kurikulum tersebut. Antara kurikulum dan tenaga pendidik akan saling berhubungan satu sama lain. Kurikulum tentunya merupakan awal atau rancangan bagaimana pendidikan nantinya akan dijalankan. Kesesuaian kurikulum dalam instansi pendidikan akan mempermudah seorang guru dalam menentukan model dan metode mengajarnya serta mempermudah dalam menyiapkan dan menyampaikan materi pembelajaran nantinya. Dengan adanya kesesuaian kurikulum, model dan metode mengajar yang disesuaikan oleh guru diharapkan kualitas pendidikan juga akan meningkat. Hal ini mungkin terjadi karena sejak dari awal telah ditetapkan bagaimana rancangan pendidikan nantinya dijalankan dengan perencanaan kurikulum yang baik dan relevan. Seorang guru merupakan salah satu komponen pendidikan yang berperan dalam kegiatan belajar mengajar. Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Untuk itu sebagai tenaga yang profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Kurikulum merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan, dan sekaligus digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses belajar mengajar pada berbagai jenis dan tingkat sekolah. Kurikulum haruslah dinamis dan terus berkembang untuk menyesuaikan berbagai perkembangan yang terjadi pada masyarakat dunia dan haruslah menetapkan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan pengajaran serta cara penyampaian dan penilaiannya yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan belajar mengajar di perguruan tinggi. Jadi kurikulum menjadi inti dalam menggapai kompetensi lulusan. Di era MEA, kurikulum sebaiknya tidak lagi berorientasi pada kurikulum perguruan tinggi sendiri, melainkan harus dibuat dengan melihat lingkup ASEAN. Karena lulusan Indonesia tidak hanya akan bersaing dengan lulusan dari Indonesia, melainkan dengan lulusan di tingkat regional ASEAN. Untuk itu, standar pendidikan perguruan tinggi di Indonesia harus mampu bersaing di tingkat regional. Persaingan bukan lagi hanya di kancah nasional, tapi juga regional dan internasional. Memang sebagai bagian dari masyarakat global tentu Indonesia harus siap berkompetisi di bidang pendidikan. Lebih-lebih kita sudah terikat dengan berbagai kesepakatan-kesepakatan global. Harapan ke depan bahwa Indonesia mampu menghasilkan tenaga kerja yang terampil dan memiliki kompetensi pada bidang. Kompetensi merupakan akumulasi kemampuan seseorang dalam melakukan suatu deskripsi kerja secara terukur melalui asesmen yang terukur, mencakup aspek kemandirian dan tanggung jawab individu pada bidang kerjanya. Kompetensi ini menciptakan profesional dan skills labors terlebih memasuki persaingan kompetitif saat Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) digulirkan mulai tahun 2015 [ 620 ] P a g e
Perubahan Kurikulum dan… (Mintasih Indriayu, Dewi Kusumawardani, Harini & Jonet Ariyanto Nugroho)
SIMPULAN Profesionalisme guru. UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah memberikan landasan kuantitatif bagi peningkatan mutu guru, yaitu kualifikasi akademik, sertifikat pendidik, dan empat kompetensi: pedagogis, profesional, sosial, dan kepribadian. Kompetensi pedagogis adalah kemampuan mengelola pembelajaran dengan mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Peningkatan profesionalisme guru seyogyanya ditandai berbagai aktivitas pembaruan metode dan kinerja guru. Kurikulum merupakan alat mencapai suatu tujuan dan membutuhkan keandalan penggunanya. Dalam perspektif kepentingan bangsa dan negara, kurikulum ini akan berfungsi dan berperan baik jika para pelaku dan pemerhati punya kejelasan tujuan dan visi bersama, peta jalan yang benar, serta keandalan dalam pemanfaatannya. DAFTAR PUSTAKA Hakim, Lukmanul (2010) Perencanaan Pembelajaran, Bandung: CV Wacana Prima Isjoni (2006) Gurukah Yang Dipersalahkan? Menakar Posisi Guru Di tengah Dunia Pendidikan Kita. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Riva, Dede M (2009) Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru http://beta.pikiranrakyat.com. Diunduh tanggal 15 Februari Sudrajat, Akhmad (2008). Artikel. Peran Guru Dalam Pendidikan. http://www. Akhmadsudrajat.wordpress.com/ Blog Pendidikan 6 Maret 2014 Tempo (2014) Sejak Orde Baru, Indonesia 7 Kali Ganti Kurikulum. Selasa, 19 Agustus 2014 Yamin, Martinis (2006). Sertifikasi Profesi Keguruan Di Indonesia. Jakarta: Gaung Persada Press
P a g e [ 621 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
PERSPEKTIF PENDIDIK EKONOMI DALAM KURIKULUM 2013 DAN ERA MEA Ady Soejoto
Fakultas Ekonomi UNESA
[email protected]
Abstrak Pendidik ekonomi sebagai key’s person merupakan input instrumental dalam mentransformasi input menjadi outcome pendidikan. Dalam menghadapi kurikulum 2013 dan MEA maka perlu diterapkannya indikator perspektif bagi pendidik ekonomi yaitu memiliki dan mengembangkan kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik dalam disiplin ilmu ekonomi; menguasai ilmu ekonomi dalam spektrum mendalam dan luas; mendiagnosis materi pembelajaran ekonomi; mendiagnosis penilaian pembelajaran; menggunakan kolaborasi model pembelajaran; menguasai dan menggunakan teknologi informasi; dan memiliki dinamika kehidupan. Kata Kunci: Pendidik Ekonomi, indikator perspektif
PENDAHULUAN Pendidik merupakan instrumental input yang memainkan peranan penting dalam pelaksanaan proses transformasi input menjadi outcome pendidikan. Dalam proses transformasi pendidikan, pendidik merupakan key’s person yang terutama perlu diperhitungkan dalam dunia industri pendidikan. Pendidik dapat bertindak aktif dan pasif dalam proses transformasi pendidikan tergantung model pembelajaran yang dipergunakannya. Aktif, ketika pendidik menjelaskan dan menanyakan pada siswa. Aktif, jikalau pendidik tidak memberi kesempatan berinteraksi antar peserta didik dan peserta didik nasibnya tergantung pada pola yang dianut pendidik di kelas. Pasif, dalam arti menumbuhkan respons dan kreativitas peserta didik dalam proses transformasi pendidikan. Pendidik bertindak sebagai inisiator, fasilitator dan motivator dalam proses transformasi pendidikan. Proses transformasi input menjadi outcome pendidikan yang berlangsung pada tingkat satuan pendidikan bersifat otonom. Walaupun otonom, satuan pendidikan diselimuti oleh banyak faktor baik faktor makro maupun mikro sehingga mempengaruhi bekerjanya proses transformasi. Dan salah satu elemen yang perlu diperhitungkan adalah urgensi pendidik ekonomi yang kapabel. PEMBAHASAN Faktor yang mempengaruhi Dalam proses transformasi pendidikan ada beberapa faktor yang mempengaruhi di antaranya kebijakan pemerintah, sekolah, keluarga dan proses. Kebijakan pemerintah merupakan dasar pijakan bagi berlangsungnya pendidikan dari pendidikan pra sekolah, pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi. Pemerintah memberikan dukungan dalam bentuk software dan hardware. Software pendidikan seperti peraturan pendidikan, kurikulum, sertifikasi pendidik, sertifikasi sekolah. Dan hardware pendidikan [ 622 ] P a g e
Perspektif Pendidik Ekonomi… (Ady Soejoto )
seperti gaji dan tunjangan profesi, pengeluaran pendidikan untuk membangun infrastruktur pendidikan, pengembangan sarana belajar, subsidi baik untuk sekolah maupun untuk anak didik. Di samping kebijakan pemerintah, faktor sekolah sebagai satuan pendidikan juga mempengaruhi proses transformasi pendidikan. Sekolah merupakan pabrik dunia industri pendidikan. Faktor yang perlu dipertimbangkan dan mungkin terjadi berhubungan dengan prospektif peserta didik, kepemimpinan yang efektif, administrasi dan organisasi sekolah, organisasi kurikulum, otonomi sekolah, insentif dan reward, disiplin, sikap positif pendidik, dan tenaga pendidik yang kapabel. Keluarga dan masyarakat memiliki kontribusi keberhasilan proses transformasi pendidikan. Struktur sosial ekonomi, struktur keluarga dan sumber baik material dan non material dari keluarga juga ikut mempengaruhi. Struktur sosial ekonomi masyarakat heterogen dari kalangan pendapatan tinggi, menengah dan rendah bahkan berada di bawah garis kemiskinan. Karena itu dukungan material untuk biaya pendidikan anak didik tidak akan sama. Perbedaan itu akan didukung oleh status anak didik dalam suatu keluarga, seperti harapan orang tua, gender, urutan anak, status orang tua, lingkungan keluarga dalam arti luas mungkin akan mempengaruhi proses transformasi pendidikan. Proses pembelajaran, merupakan proses belajar yang berlangsung di kelas dan di luar kelas secara langsung menentukan outcome pendidikan. Proses pembelajaran merupakan proses alih pengetahuan, sikap dan keterampilan dari sumber belajar kepada anak didik. Sumber belajar dalam proses pembelajaran di antaranya pendidik, media informasi, buku referensi, buku ajar, laboratorium, perpustakaan, pusat dokumentasi, institusi terkait dengan pendidikan, dan bahkan lingkungan. Ada dua komponen dalam proses pembelajaran yaitu pembelajaran efektif dan penilaian efektif. Proses pembelajaran merupakan kegiatan pembelajaran pendidik dan pembelajar dalam suatu satuan pendidikan, meliputi kegiatan mendiagnosis materi, waktu pembelajaran materi, lamanya pembelajaran, jumlah waktu yang disediakan, strategi pembelajaran, pekerjaan rumah, penilaian efektif meliputi teratur, kontinyu dan diagnose. Indikator perspektif pendidik ekonomi Untuk mencapai pembelajaran efektif, pendidik ekonomi memainkan peranan penting sebagai salah satu sumber belajar yang diharapkan oleh anak didik. Pendidik ekonomi bukanlah satu-satunya sumber belajar. Sumber belajar lainnya adalah buku referensi, buku ajar pegangan siswa, media informasi, perpustakaan, laboratorium, dan pusat dokumentasi serta institusi terkait di mana terdapat sumber belajar. Pendidik ekonomi yang dapat menjalankan fungsinya dalam mengelola pembelajaran ekonomi tentunya merupakan pendidik ekonomi yang kapabel. Ada beberapa indikator perspektif bagi pendidik ekonomi untuk melaksanakan kurikulum 2013, di antaranya: 1. Memiliki dan mengembangkan kompetensi sikap, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan peserta didik dalam disiplin ilmu ekonomi. P a g e [ 623 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 2. Menguasai ilmu ekonomi dalam spektrum mendalam dan luas. Penguasaan ilmu ekonomi dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Fokus pembahasan pada ekonomi deskriptif, teori dan terapan. Wawasan kajian pada ekonomi nasional, regional, internasional serta mengangkat masalah ekonomi lokal. 3. Mendiagnosis materi pembelajaran ekonomi. Melakukan diagnose materi pebelajaran ekonomi amatlah penting. Melalui diagnose materi pembelajaran pendidik dapat memaparkan fakta dan data ekonomi, menentukan konsep apa saja yang akan diajarkan pendidik pada anak didik serta teori ekonomi. Konsep merupakan variabel mediator antara faktadan teori. Berangkat dari konsep dikembangkan teori yang mendasarinya sesuai dengan substansi keilmuan.Untuk itu pendidik ekonomi bertindak sebagai insan yang produktif, inovatif, kreatif dan afektif melalui penguatansikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi. 4. Mendiagnosis penilaian pembelajaran. Kegiatan mendiagnosis penilaian pembelajaran tidak dipisahkan dengan pembelajaran yang telah berlangsung. Pembelajaran yang dilakukan secara teratur dan kontinyu mengandung konotasi sesuaikah dengan tingkat penguasaan siswa. Setiap item penilaian yang diagnose oleh pendidik hendaknya berkorelasi secara signifikan dengan diagnose materi pelajaran. Proses penilaian melekat pada setiap materi yang dirancang oleh pendidik di kelas. Untuk mengetahui tingkat pemahaman peserta didik sebaiknya penilaian diberikan pada setiap satuan pembahasan hubungan antara beberapa konsep dengan berkiblat pada teori. Seperangkat penilaian sebaiknya disusun oleh pendidik ekonomi sesuai kondisi kelas berdasarkan diagnose materi secara signifikan. Penilaian yang dilakukan bukan hanya bersumber dari tes tetapi juga dari tugas yang diberikan oleh pendidik. Berilah kesempatan untuk peserta didik membuat dan merangkai narasi atas tugas yang diberikan dalam bentuk ringkasan, laporan kegiatan dan solusi atas problem yang diberikan pendidik pada anak didik. Penilaian yang dilakukan tidak terlepas dari penerapan model pembelajaran yang dipergunakan dalam kurikulum 2013 yaitu inquiry based learning, discovery learning, project based learning dan problem based learning. 5. Menggunakan Kolaborasi Model Pembelajaran. Selain model inquiry based learning, discovery learning, project based learning dan problem based learning, digunakan juga model yang lain seperti Model Pembelajaran Langsung (MPL), Model Pembelajaran Kontekstual, dan Model Pembelajaran Kooperatif. Kolaborasi model diperlukan sesuai dengan substansi materi ilmu ekonomi. 6. Menguasai dan menggunakan teknologi informasi. Penguasaan dan penggunaan teknologi informasi amatlah penting bagi pendidik ekonomi. Melalui teknologi informasi, penampakan gejala/fakta/data ekonomi mudah diperoleh sebagai sumber informasi dari mana saja dan kapan saja.Informasi yang diperoleh tidak hanya berupa gejala/fakta/data tetapi juga konsep, dan teori. [ 624 ] P a g e
Perspektif Pendidik Ekonomi… (Ady Soejoto )
Penggunaan dan penguasaan teknologi informasi berkaitan erat dengan ciri paradigma belajar abad 21 yaitu informasi, komputasi, otomasi dan komunikasi. 7. Memiliki dinamika kehidupan. Kehidupan bersifat dinamis sepanjang masa. Kehidupan ditandai oleh kebutuhan hidup yang beraneka ragam jenisnya dan kompleks serta luas, bahkan melampaui batas daerah dan negara. Kebutuhan akan kebendaan baik bersifat konsumtif dan produktif menjadi tujuan utama bagi pembangunan nasional. Bukankah pembangunan nasional itu merupakan pembangunan manusia seutuhnya dengan harapan dapat meningkatkan kebutuhan manusia terutama kebutuhan yang berhubungan dengan konsumsi, distribusi dan produksi. Kebutuhan ekonomi bukanlah satu-satunya kebutuhan, kebutuhan lain juga harus terpenuhi seperti kebutuhan ideologi, politik, sosial, budaya dan agama. Antara bermacam kebutuhan itu saling berkorelasi, saling tergantung satu sama lain. SIMPULAN Membahas ekonomi juga sedikit banyak berhubungan dengan bidang ilmu lainnya seperti status sosial, keresahan sosial, stabilitas politik, tingkat laku, kerukunan umat, kebebasan dalam beribadat, serta perspektif penduduk suatu bangsa, dan lainnya. Dengan demikian manusia dapat bertindak sebagai insan ekonomi, politik, sosial, budaya dan agama. Karenanya kehidupan itu bersifat dinamis dan untuk itu pendidik ekonomi harus memiliki dinamika kehidupan yang bersifat multidisiplin atau interdisiplin. Beberapa indikator yang harus dimiliki pendidik ekonomi kapabel, di antaranya: (1) memiliki dan mengembangkan kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan terintegrasi, (2) menguasai ilmu ekonomi, (2) mendiagnosis materi pembelajaran, (3) mendiagnosis penilaian pembelajaran, (4) menggunakan kolaborasi model pembelajaran; (5) menguasai dan menggunakan teknologi informasi dan (6) memiliki dinamika kehidupan. DAFTAR PUSTAKA Amri, Sofan. 2013. Pengembangan dan Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013. Jakarta: PT Prestasi Pustakarya Bowles, S., and Levin, H.M. 1968. The Determinants of scholastic Achievement: An Appraisal of Some Recent Finding. Journal of Human Resources 3 (Winter): 3-24. Buchmann, Claudia; Emily Hannum. 2001. Education and Stratification in Developing Countries: A Review of Theories and Research. Sosiol (27); 77-102. Brown, Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching, Fourth Edition. New York: Addison Wesley Longman, Inc. Cohn. 1979. The Economic of Education. Bellinger Publishing Company. USA.
P a g e [ 625 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
PERUBAHAN MINDSET DAN KESIAPAN GURU SEKOLAH DASAR DALAM PERSAINGAN PENDIDIKAN DI ERA MEA Andi Prastowo
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[email protected]
Abstrak Guru menjadi figur sentral dalam peningkatan mutu pendidikan suatu bangsa. Fakta bahwa mutu pendidikan, termasuk untuk jenjang sekolah dasar, di Indonesia masih rendah menunjukkan bahwa mayoritas guru mutunya masih memprihatinkan. Padahal pendidikan pada jenjang sekolah dasar sangat penting peranannya dalam keberhasilan belajar di jenjang berikutnya. Kondisi tersebut akan semakin diperparah saat MEA diterapkan. Tantangan pendidikan nasional bertambah. Karena pada era MEA salah satu tantangannya adalah arus bebas tenaga kerja terampil lintas negara ASEAN. Jika sumber daya guru di Indonesia masih diliputi berbagai kelemahan baik pada aspek kompetensi, kualifikasi, produktivitas, dan kesejahteraan, maka mereka dapat tersisih dalam persaingan regional maupun global. Untuk itu, upaya pengembangan profesionalisme guru sekolah dasar harus menyentuh sampai aspek yang paling fundamental dalam perubahan kompetensi mereka, yaitu mindset. Karena mindset merupakan penentu perubahan perilaku dan sikap seseorang. Untuk itu, mindset guru harus berubah dari passenger menjadi good driver agar dapat memenangkan persaingan di era MEA. Kata Kunci: guru, sekolah dasar, MEA, mindset, good driver
PENDAHULUAN Guru merupakan figur sentral dalam peningkatan mutu pendidikan suatu bangsa. Karena, guru menjadi garda terdepan dalam proses pembelajaran. Guru juga merupakan pemimpin di kelas. Oleh karenanya, berhasil dan tidaknya suatu proses pembelajaran sangat ditentukan oleh kualitas guru dalam penyelenggaraan kegiatan tersebut. Hal tersebut senada dengan ungkapan Anies Baswedan, “Guru adalah ujung tombak proses pendidikan. Tanpa guru, tidak mungkin bangsa Indonesia bisa membuat konversi tingkat melek huruf dari 5% menjadi 92%. Tanpa guru, tidak mungkin program pendirian sekolah dan universitas dapat berhasil. Tanpa guru, tidak mungkin muncul generasi berkualitas” (Chatib, 2014: xiv). Begitu pula penjelasan Zamroni (2011: 99), “Pendidikan yang berkualitas hanya muncul apabila terdapat guru yang berkualitas. Oleh karena itu keberadaan guru berkualitas, profesional dan sejahtera merupakan kondisi yang tidak ditawar lagi”. Studi-studi internasional termutakhir juga menunjukkan bahwa komponen yang paling berpengaruh pada sekolah yang efektif adalah setiap guru di dalam sekolah tersebut (Marzano, 2013: 1). Semua fakta dan pendapat tersebut semakin menegaskan bahwa untuk memperbaiki mutu pendidikan di sekolah maka memprioritaskan perbaikan mutu guru menjadi suatu keniscayaan. Jika mencermati perkembangan mutu pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di Indonesia pada satu dekade terakhir, mutu sekolah dan madrasah pada [ 626 ] P a g e
Perubahan Mindset dan… (Andi Prastowo)
kenyataannya masih jauh dari harapan. Mutunya masih tertinggal dari negara-negara tetangga di ASEAN, seperti Malaysia dan Singapura. Termasuk di dalamnya, yaitu mutu pendidikan sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyahnya. Sebagaimana data yang diungkapkan oleh E. Mulyasa (2013:60) dari berapa lembaga survei internasional sebagai berikut: pertama, hasil survei TIMS yang dilakukan oleh Global Institute pada tahun 2007 menunjukkan hanya 5% peserta didik Indonesia yang mampu mengerjakan soal penalaran tinggi; padahal Korea dapat mencapai 71%. Sebaliknya, 78% peserta didik Indonesia mampu mengerjakan soal hafalan berkategori rendah sementara peserta didik Korea hanya 10%. Kedua, hasil studi PISA tahun 2009 menempatkan Indonesia pada peringkat bawah 10 besar dari 65 negara peserta PISA. Dalam penelitian itu diungkapkan bahwa semua peserta didik Indonesia ternyata hanya menguasai pelajaran sampai level 3 saja, sementara peserta didik dari banyak negara yang lain dapat menguasai pelajaran sampai level 5 bahkan 6. Dari kedua survei itu lalu disimpulkan bahwa prestasi peserta didik Indonesia tertinggal dan terbelakang. Hal tersebut juga diperkuat dengan dua indikasi di lapangan sebagai berikut (Ali, 2009: 252-259): pertama, masih rendahnya kualitas hasil belajar yang ditandai oleh standar kelulusan yang ditetapkan, yaitu 4,25 dari skala 10 dan 4,50 pada tahun 2008. Seorang siswa dinyatakan lulus meskipun hanya mampu menyerap mata pelajaran sebesar 4,25%, Dengan standar kelulusan yang rendah pun masih banyak siswa yang tidak lulus pada Ujian Nasional 2007. Nilai kelulusan Ujian Nasional ini ternyata masih di bawah negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Kondisi ini menunjukkan peserta didik kurang dapat bersaing dengan negara-negara tetangga. Walaupun angka kelulusan ujian nasional setiap tahun mengalami kenaikan, tetapi masih di bawah negara-negara Asia lain yang telah mematok angka di atas enam. Indikasi kedua yakni angka ketidaklulusan ujian nasional (UN) tahun 2004/2005 lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2003/2004. Namun, bila dilihat dari nilai rata-rata yang dicapai terdapat peningkatan yang cukup berarti yakni dari 5,55 tahun 2003/2004 menjadi 6,76 pada tahun 2004/2005. Angka mengulang kelas pada SD kelas awal juga cukup tinggi, yaitu I 7,92%. Kondisi ini menunjukkan bahwa kesiapan memasuki SD masih rendah. Dilihat kecenderungan angka mengulang kelas menurut tingkat, makin tinggi tingkat kelas makin rendah angka mengulang kelas di I SD. Walaupun menunjukkan kecenderungan yang makin menurun setiap tiga tahun terakhir ini sekitar 700.000 siswa SD/Ml putus sekolah setiap tahun. Berdasarkan sejumlah fakta tersebut, perbaikan mutu pendidikan di sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah menjadi sesuatu hal yang krusial dan sangat urgen. Hal tersebut semakin diperkuat dengan urgensi pendidikan di sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah bagi tumbuh kembang potensi peserta didik. Oleh karenanya, mutu pendidikan pada jenjang tersebut memiliki peranan yang sangat penting, fundamental, dan krusial bagi keberhasilan pendidikan pada jenjang berikutnya. Sebagaimana diungkapkan Collier, Houston, Schematz, dan Walsh (1971:27) bahwa pendidikan dasar memiliki tujuan utama yaitu: pertama, membantu peserta didik mengembangkan segi intelektual dan P a g e [ 627 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 mental; kedua, membantu pertumbuhan peserta didik sebagai individu yang mandiri; ketiga, membantu peserta didik sebagai makhluk sosial; keempat, membantu peserta didik belajar hidup dengan perubahan-perubahan; dan kelima, membantu peserta didik meningkatkan kreativitasnya (Sidi, 2003: 78-79). Dan, juga pendapat Mohammad Ali (2009: 290-291) yang mengemukakan bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) adalah menyiapkan siswa agar menjadi manusia yang bermoral, menjadi warga negara yang mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya, dan menjadi orang dewasa yang mampu memperoleh pekerjaan. Dan, secara operasional, tujuan pokok pendidikan dasar adalah membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan intelektual dan mentalnya, proses perkembangan sebagai individu yang mandiri, proses perkembangan sebagai makhluk sosial, belajar hidup menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan, dan meningkatkan kreativitas. Diperkuat oleh pernyataan A. Malik Fadjar (1999: 34) bahwa pendidikan di level madrasah ibtidaiyah (sekolah dasar) memegang peran penting dalam proses pembentukan kepribadian peserta didik, baik yang bersifat internal (bagaimana mempersepsi dirinya), eksternal (bagaimana mempersepsi lingkungannya), maupun supra internal (bagaimana mempersepsi dan menyikapi Tuhannya dengan sebagai ciptaan-Nya). Sebagaimana telah diungkap pada bagian awal makalah ini bahwa berbagai hasil studi telah membuktikan bahwa keberhasilan peningkatan mutu pendidikan di sekolah sangat ditentukan oleh kualitas gurunya. Dipertegas oleh Ace Suryadi (2014: 88-89), guru merupakan satu-satunya faktor terpenting dalam mewujudkan pendidikan yang unggul dan bermutu. Oleh karena itu, fokus dan skala prioritas perbaikan mutu guru pada sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di Indonesia perlu menjadi perhatian utama. Apalagi jika melihat realitas di lapangan bahwa jumlah guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di Indonesia yang bermutu rendah sangat besar, bahkan angkanya terbesar jika dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya. Seperti diungkapkan oleh Muhammad Ali (2009: 255-257) sebagai berikut: pertama, data Balitbang Depdiknas RI tahun 2005/2006 bahwa dari sejumlah 1.346.846 orang guru SD yang berpendidikan Sarjana hanya 15.18%, S2/S3 berjumlah 0,12%, D3 sebanyak 2,97%, D2 berjumlah 48,95%, dan D1 atau dibawahnya sebanyak 32,78%. Dan, kondisi tersebut telah berubah enam tahun kemudian, yaitu pada tahun ajaran 2011/2012, data dari MOEC (2012:58) menunjukkan bahwa dari total 1.550.276 guru SD sekitar 820.995 orang guru sudah memenuhi kualifikasi S1 sedangkan 729.281 orang guru masih belum S1. Ini artinya setelah enam tahun terjadi peningkatan kualifikasi guru SD dari yang belum S1 menjadi S1 sebesar 3,5 kali lipat. Meskipun demikian, masih tersisa sekitar 47% guru SD yang masih harus kembali mengikuti perkuliahan untuk mendapatkan ijazah S1. Kedua, menurut data Balitbang Kemendikbud tahun 2011 yang dikutip Subrayanti (2013:2-3) menunjukkan bahwa kelayakan mengajar guru SD (negeri maupun swasta tidak jauh berbeda) hanya 28.94%. Angka ini berbeda jauh dengan kelayakan mengajar guru SMP negeri 54,12%, swasta 60,99%, guru SMA negeri 65,29%, swasta 64,73%, dan guru SMK negeri 55,91% , swasta 58,26%. [ 628 ] P a g e
Perubahan Mindset dan… (Andi Prastowo)
Kondisi seperti jika tidak segera diatasi maka akan menimbulkan persoalan yang semakin rumit. Salah satu dan yang utama yaitu sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di Indonesia tidak akan mampu bersaing dengan lembaga pendidikan sejenis dari luar negeri. Seperti sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di Malaysia, Singapura, Brunei Darusalam, dan lain sebagainya. Apalagi pada akhir tahun 2015 (Majalah Sertifikasi, 2014: 10), tepatnya mulai tanggal 31 Desember 2015 akan diterapkan kebijakan pasar tunggal ASEAN sebagai perwujudan dari salah satu pilar komunitas ASEAN 2015, yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN atau disingkat MEA (Hakim, 2013: 4). MEA adalah suatu program liberalisasi perdagangan di lingkungan negara-negara ASEAN yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang ada di negara-negara anggota ASEAN. Di mana pada saat itu arus barang dan jasa di antara negara-negara ASEAN akan bebas dapat melintasi batas- batas negara secara fisik dan administrasi, tanpa sesuatu hambatan apapun. Pelaksanaan MEA juga akan menghilangkan hambatan aliran barang, investasi dan jasa di antara negara ASEAN. Namun apabila tidak siap maka justru akan membawa dampak yang merugikan (Siradjudin, 2014:4). Dalam hal MEA mengembangkan pasar dan basis produksi tunggal, terdapat lima elemen inti: pertama, arus bebas barang; kedua, arus bebas jasa; ketiga, arus bebas investasi; keempat, arus modal yang lebih bebas; dan kelima, arus bebas tenaga kerja terampil (Sertifikasi, 2014: 1). Dipertegas oleh Ulwiyah (2015:4), pada saat komunitas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) berlaku efektif, mobilitas tenaga kerja terampil tidak akan terbendung pada 2015. Indonesia tidak bisa lagi menutup pasar tenaga kerjabagi negara ASEAN lainnya. Tanpa akselerasi dalam peningkatan kualitas pendidikan dan keterampilan serta kesungguhan dalam menjalankan konsep link and match antara dunia pendidikan dan dunia usaha, bukan mustahil, pasar tenaga kerja di sektor usaha yang menjanjikan pendapatan tinggi diisi oleh pekerja asing. Tenaga kerja Indonesia bisa jadi bakal terpinggirkan dan hanya akan menjadi pesuruh bangsa lain. Ketika kondisi sudah seperti demikian, jika guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di Indonesia tidak mampu meningkatkan mutunya, baik kompetensi, profesionalitas dan produktivitasnya, maka mereka akan semakin tersisih dan terpinggirkan. Karena pada era tersebut terjadi arus bebas tenaga kerja terampil, termasuk di dalamnya tenaga pendidik atau guru di sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah. Namun, juga sebaliknya bagi guru yang profesional mereka akan memiliki peluang yang besar untuk semakin meningkatkan kualitas kinerja, kesejahteraan, dan jejaring kerjasama. Sebagaimana diungkapkan Wuryandani (2014:14) yaitu, “MEA memberi kesempatan yang bagus bagi para wirausahawan untuk mencari pekerja terbaik sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Sebaliknya, situasi seperti ini juga memunculkan risiko ketenagakerjaan bagi Indonesia. Dilihat dari sisi pendidikan dan produktivitas Indonesia masih kalah bersaing dengan tenaga kerja yang berasal dari Malaysia, Singapura, dan Thailand”. Mencermati dilema perubahan tersebut, pengembangan profesionalisme guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah harus dimulai dengan perubahan pada aspek P a g e [ 629 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 yang paling fundamental dalam diri para guru yang menentukan perilaku dan kepribadian mereka. Karena jika hanya memperhatikan faktor-faktor eksternal dan teknis saja, seperti perbaikan kesejahteraan, kemampuan berbahasa, keterampilan mengajar, keterampilan meneliti, keterampilan pengelolaan kelas, kualifikasi pendidikan, dan lain sebagainya, upaya pengembangan profesionalisme guru sulit membawa perubahan besar dalam kinerja mereka. Dibutuhkan perubahan pada aspek yang fundamental yang mempengaruhi perilaku dan kepribadian guru, yaitu mindset. Hal ini mengingat bahwa tuntutan guru profesional di era MEA yang harus siap bersaing dengan guru-guru dari negara ASEAN lainnya, yang memiliki mutu lebih baik, bukanlah persoalan yang ringan. Para guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah harus memiliki mindset baru (yang sesuai dengan tuntutan MEA) untuk mewujudkan hal tersebut. Tanpa ada modal tersebut maka terlalu sulit bagi guru SD dan MI untuk melakukan perubahan yang membutuhkan banyak pengorbanan, baik harta, tenaga, maupun waktu. Sebagaimana kasus yang pernah terjadi di Amerika Serikat, kebijakan sertifikasi bagi guru belum berhasil meningkatkan kualitas kompetensi guru, yang antara lain disebabkan oleh kuatnya resistensi kalangan guru sehingga pelaksanaan sertifikasi berjalan lamban (Suryadi, 2014:89). Dari uraian di atas, penulis melihat bahwa persoalan perubahan mindset guru untuk menghadapi persaingan pasar bebas ASEAN atau dikenal MEA menjadi hal yang penting dan urgen untuk segera dilakukan. Untuk itu, dirumuskan tiga masalah utama yang dibahas dalam makalah ini, yaitu: pertama, bagaimana kesiapan guru sekolah dasar dalam persaingan pendidikan di era MEA? Kedua, bagaimana perubahan mindset berpengaruh terhadap peningkatan profesionalisme guru sekolah dasar? Ketiga, seperti apakah mindset yang dibutuhkan guru sekolah dasar profesional di era MEA? Berangkat tiga rumusan masalah tersebut ditetapkan tiga buah tujuan pembahasan dalam makalah ini yaitu untuk mengungkapkan: pertama, kesiapan guru sekolah dasar dalam persaingan pendidikan di era MEA; kedua, peran perubahan mindset untuk peningkatan profesionalisme guru sekolah dasar; dan ketiga, mind set driver untuk guru sekolah dasar pada era MEA. KESIAPAN GURU SEKOLAH DASAR DALAM PERSAINGAN PENDIDIKAN DI ERA MEA Dalam menghadapi sebuah persaingan pasar bebas antar negara ASEAN yang dimulai tanggal 31 Desember 2015, guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di Indonesia harus bekerja keras sekuat tenaga untuk menghadapi dan mempersiapkan diri dalam persaingan tersebut. Karena, dalam sebuah kompetisi pasti ada pihak yang menang dan pihak yang kalah. Mereka yang kalah harus siap-siap tersingkir dari arena permainan atau kemungkinan kedua harus mengikuti alur permainan yang dibuat oleh pemenang. Analogi seperti itu dibuat untuk membantu para guru di sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah dalam mengatur strategi untuk menghadapi dan memenangkan persaingan antar sekolah dasar dari berbagai negara ASEAN di era MEA.
[ 630 ] P a g e
Perubahan Mindset dan… (Andi Prastowo)
Salah satu hal terpenting dan harus dimengerti oleh pengelola sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di Indonesia adalah menimbang dan mengkalkulasi kesiapan sumber daya guru dalam menghadapi persaingan pendidikan di era MEA. Dalam hal ini beberapa data tentang kondisi mutu guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di Indonesia dalam satu dekade terakhir terungkap sebagai berikut: pertama, fakta dari temuan Bank Dunia (2007) yang dikutip oleh Anies Baswedan (Chatib, 2014: xiv) menunjukkan bahwa terdapat sekolah kekurangan guru, yaitu 21% sekolah di perkotaan dan 37% sekolah di pedesaan; lalu 66% sekolah di daerah terpencil kekurangan guru. Kemudian, secara nasional 34% sekolah di Indonesia masih kekurangan guru. Selain itu, juga diungkapkan oleh Baswedan bahwa jika melihat sebaran kualitas guru di seluruh provinsi maka menurut data dari Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2009 menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan kualitas antara provinsi di Jawa dan di luar Jawa. Yang lebih parah adalah secara rata-rata tidak ada provinsi yang mampu mencapai separuh dari nilai maksimal indeks kualitas guru. Kedua, menurut data dari MOEC (2012:58) pada tahun ajaran 2011/2012 dari total 1.550.276 guru SD sekitar 820.995 orang guru sudah memenuhi kualifikasi S1 sedangkan 729.281 orang guru masih belum S1. Ini artinya, sekitar 47% guru SD harus kembali mengikuti perkuliahan untuk mendapatkan ijazah S1. Dan, hal itu terjadi mayoritas di luar Jawa. Karena untuk guru-guru SD yang berada di Pulau Jawa, mayoritas sudah berkualifikasi S1 yakni mencapai 64%, sedangkan yang belum S1 tinggal 34%. Namun, di satu sisi yang lain menurut MOEC (2012:57) pada tahun ajaran 2011/2012 mayoritas guru SD yang berstatus PNS (Pegawai Negeri Sipil) mencapai 1.074.701 (69,32%) orang sedang guru yang bukan PNS mencapai 475.575 (30,68%) orang. Ini artinya, dari segi kesejahteraannya mayoritas guru SD memiliki penghasilan yang sudah layak. Kemudian, untuk guru madrasah ibtidaiyah pada tahun 2005 dari total 209.465 guru hanya sekitar 13 persennya saja telah memenuhi kualifikasi S1(Zamroni, 2011: 4748). Namun, delapan tahun kemudian tepatnya pada tahun pelajaran 2012/2013 menurut data Dirjen Pendis Kemenag (EMIS Pendis, 2014a; EMIS Pendis, 2014b) jumlah guru MI telah mencapai 287.865 guru, terdiri dari 171.379 (59,53%) guru telah berkualifikasi S1 sedangkan 116.486 (40,47%) guru masih belum S1. Ini artinya sekitar 40,47% guru MI harus mengikuti perkuliahan untuk mendapatkan ijazah S1. Namun, hal yang berbeda dengan kondisi guru SD adalah guru MI mayoritas berstatus bukan PNS. Data Dirjen Pendis Kemenag RI (EMIS Pendis, 2014a; EMIS Pendis, 2014b) tahun pelajaran 2012/2013 menunjukkan 72,37% guru MI berstatus non PNS sedangkan 27,26% saja yang PNS. Ini artinya dari segi kesejahteraan mayoritas guru MI belum memiliki penghasilan yang layak sebagaimana guru SD. Apalagi menurut data Dirjen Pendis Kemenag RI (EMIS Pendis, 2014c; EMIS Pendis, 2014d) pada tahun pelajaran 2012/2013, jumlah guru MI yang telah tersertifikasi baru 94.506 guru atau baru sekitar 32,83% saja dari total seluruh guru MI se-Indonesia. Ini artinya 67,17% guru yang pada umumnya di MI swasta masih menghadapi kendala kesejahteraan yang belum layak. P a g e [ 631 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Dengan kata lain, kualitas guru sekolah dasar dan guru madrasah ibtidaiyah di Indonesia mayoritas sudah cukup baik, setidak-tidaknya dilihat dari peningkatan kualifikasi akademiknya yang mayoritas sudah S1. Tetapi dilihat dari pemerataannya, belum terjadi pemerataan guru SD berkualifikasi S1 di seluruh wilayah Indonesia, karena sebagian besar terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sementara itu, dilihat dari kesejahteraannya terjadi ketimpangan yang sangat besar antara guru SD dan guru MI, karena mayoritas guru SD berstatus PNS sedangkan guru MI berstatus bukan PNS. Ketiga, menurut data yang diungkapkan oleh Fasli Jalal pada tahun 2007 bahwa gaji guru di Indonesia dibandingkan dengan penghasilan guru di beberapa negara lain, pada semua jenjang pendidikan, baik gaji permulaan ataupun gaji tertinggi, gaji guru Indonesia berada pada posisi yang paling rendah. Bahkan dengan Malaysia, Thailand, Filipina, gaji guru Indonesia masih jauh lebih rendah (Zamroni, 2011: 52). Keempat, menurut data Balitbang Kemendikbud tahun 2011 yang dikutip Subrayanti (2013:2-3) menunjukkan bahwa kelayakan mengajar guru SD (negeri maupun swasta tidah jauh berbeda) hanya 28.94%. Angka ini berbeda jauh dengan kelayakan mengajar guru SMP negeri 54,12%, swasta 60,99%, guru SMA negeri 65,29%, swasta 64,73%, dan uru SMK negeri 55,91% , swasta 58,26%. Adapun menurut keterangan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hamid Muhammad (Kompas, 2 April 2015), dari total 1,6 juta guru sekolah dasar, sekitar sepertiganya atau 512.000 guru merupakan guru honorer yang diangkat oleh kepala sekolah tanpa memperhatikan kriteria standar dalam pengangkatan guru. Mereka mendapatkan gaji dari bantuan operasional sekolah (BOS) yang besarannya sekitar Rp200.000,00 hingga Rp250.000,00 per bulan ditambah bantuan dari pemerintah daerah (tetapi tidak semua daerah memberikan). Kemudian, Syawal Gultom (Kompas, 2 April 2015), Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga mengungkapkan bahwa sekitar 60% guru termasuk kategori 1-3, yaitu guru belum menguasai materi, tetapi tidak menguasai metodologi; serta guru yang menguasai materi dan metodologi, tetapi belum berjiwa pendidik. Hanya sebagian kecil guru berada di kelompok 4-5, yaitu guru yang sudah menguasai pembelajaran kreatif dan inovatif dalam pembelajaran. Berdasarkan fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwasannya guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di Indonesia masih banyak yang menghadapi keterbatasan, baik pada aspek kompetensi, aspek kualifikasi, maupun aspek kesejahteraan. Dengan kata lain, guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah masih banyak yang belum siap menghadapi persaingan pendidikan di era MEA. Untuk memperbaiki kondisi tersebut dalam waktu singkat tentu bukan hal yang mudah. Perubahan untuk menuju ke arah guru profesional yang mampu memenangkan persaingan pendidikan di era MEA masih membutuhkan banyak perubahan yang memerlukan upaya dan kerja keras serta dana yang tidak sedikit. Sementara itu, pelaksanaan MEA kurang dari satu tahun lagi. Oleh karena itu, salah satu usaha yang paling memungkinkan dengan kondisi kesiapan guru [ 632 ] P a g e
Perubahan Mindset dan… (Andi Prastowo)
seperti itu adalah melakukan perubahan mindset para guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah. Mindset para guru perlu diubah dari memandang persaingan antar sekolah hanya dalam batas satu negara dengan persaingan antar sekolah dengan lingkup yang lebih luas, yaitu antar negara ASEAN. Hal ini menggambarkan semakin beratnya tingkat persaingan pendidikan pada jenjang sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di era MEA. Namun, melalui perubahan mindset itulah meskipun kondisi guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di Indonesia masih diliputi dengan banyak keterbatasannya diharapkan lebih siap dan lebih mampu beradaptasi dengan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi. Selain itu, dengan perubahan mindset para guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah dapat memanfaatkan berbagai kesempatan yang mungkin diperoleh. PERUBAHAN MINDSET UNTUK PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU Peningkatan profesionalisme guru pada dasarnya adalah suatu perubahan kemampuan dan sikap menuju sosok pribadi guru yang lebih berkompeten, lebih menguasai materi dan metodologi pembelajaran dengan baik sekaligus mampu memiliki jiwa pendidik, dengan demikian ia mampu menjalankan profesi keguruannya dengan profesional. Dalam hal tersebut, Renald Kasali dalam Kata Pengantar buku The Secret of Mindset karya Adi W. Gunawan (2008:xii) mengungkapkan,“...perubahan belum akan berhasil sebelum kita berhasil mengubah cara pandang dan cara berpikir para pelaku perubahan. Perubahan bukanlah semata-mata mengubah alat, teknologi, sistem, organisasi, dan sebagainya. Melainkan mengubah attitude melalui cara berpikir”. Dengan kata lain, untuk mengubah profesionalisme guru hal utama dan paling mendasar untuk dilakukan adalah perubahan cara pandang atau cara berpikir atau biasa disebut perubahan mindset terlebih dahulu. Dengan demikian, segala upaya yang dilakukan untuk peningkatan profesionalisme guru, baik dalam bentuk pelatihan, diklat, workshop, pendidikan profesi guru, sertifikasi guru, peningkatan kesejahteraan guru, dapat berfungsi secara optimal. Menurut Adi W. Gunawan (2008: 13-15), istilah mindset terdiri dari dua kata, yaitu mind dan set. Mindset sebagai satu istilah bermakna kepercayaan (belief) atau sekumpulan kepercayaan (set of beliefs) atau cara berpikir yang memengaruhi perilaku (behavior) dan sikap (attitude) seseorang, yang akhirnya akan menentukan level keberhasilan hidupnya. Dengan demikian, untuk mengubah mindset seseorang maka belief atau kumpulan belief orang tersebut harus diubah terlebih dahulu. Sementara itu, untuk memahami mengapa masih banyak guru belum bisa melakukan transformasi diri untuk menjadi guru profesional, meskipun sudah mengikuti studi lanjut ke S1, program pendidikan profesi guru, pelatihan, diklat, workshop, dan lain sebagainya, menurut Adi W. Gunawan (2008: 15-16) dapat dijelaskan sebagai berikut: manusia menurut filosofi Transformational Thinking terdiri dari tiga sistem yaitu sistem perilaku (behavior system), sistem berpikir (thinking system), dan sistem kepercayaan (belief system). Sistem perilaku adalah cara manusia berinteraksi dengan dunia luar, juga P a g e [ 633 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 interaksi manusia dengan realitas sebagaimana manusia mengerti realitas tersebut. Perilaku seseorang mempengaruhi pengalamannya, demikian pula sebaliknya. Selanjutnya pengalaman akan mempengaruhi sistem berpikir. Sistem berpikir berlaku sebagai filter dua arah yang menerjemahkan berbagai kejadian atau pengalaman yang dialami seseorang menjadi suatu kepercayaan (belief). Selanjutnya, kepercayaan (belief) tersebut akan mempengaruhi tindakan seseorang, sehingga menciptakan realitas bagi dirinya. Sedangkan sistem kepercayaan adalah inti dari segala sesuatu yang diyakini seseorang sebagai realitas, kebenaran, nilai hidup, dan segala sesuatu yang diketahui seseorang mengenai dunia ini. Ilustrasi mengenai hubungan antara sistem perilaku, sistem berpikir, dan sistem kepercayaan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tiga Sistem dalam Transformational Thinking (Gunawan, 2008:16) Lebih lanjut dijelaskan oleh Adi W. Gunawan, bahwa untuk memahami proses perubahan dalam diri seseorang dapat dijelaskan dengan The Change Cube atau Kubus Perubahan. Jadi menurut analogi Kubus Perubahan ini, manusia saat berinteraksi dengan orang lain yang terlihat adalah perilaku atau behavior-nya. Perilaku tersebut sama dengan sisi atas kubus. Sedangkan sisi-sisi yang menopang perilaku tersebut meliputi self talk, perception, state, dan emotion. Adapun alasannya adalah belief. Oleh karena itu, untuk mengubah perilaku atau behavior dapat dilakukan dengan mengubah self talk, perception, state, emotion dan terutama belief. Visualisasi dari Kubus Perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Adapun cara paling cepat untuk melakukan modifikasi atau perubahan perilaku adalah dengan melakukan modifikasi atau perubahan belief atau belief system. Belief adalah master key untuk perubahan yang cepat, efektif, efisien, dan permanen. Dengan perubahan belief, self talk, persepsi, state, dan emosi juga akan berubah. Dengan demikian, perilaku atau behavior akan turut berubah. Hal ini sejalan dengan penjelasan Piaget, bahwa hanya berfokus pada kemampuan berpikir logis saja tidaklah cukup, karena belief system juga memainkan peran yang sama penting atau bahkan lebih penting daripada kemampuan berpikir logis membentuk pola pikir seseorang (Gunawan, 2008:19). [ 634 ] P a g e
Perubahan Mindset dan… (Andi Prastowo)
Gambar 2. The Change Cube atau Kubus Perubahan (Gunawan, 2008:17) Namun, fakta di lapangan selama ini bahwa meskipun pemerintah dan pengelola sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah sudah melakukan berbagai program dan kegiatan peningkatan profesionalisme guru, tetapi hasilnya masih saja belum banyak perubahan yang terjadi pada dasarnya, menurut penjelasan Adi W. Gunawan (2008: 20), karena adanya mekanisme homeostasis dalam diri manusia. Jadi semua hambatan dalam proses perubahan, baik hambatan yang bersifat sadar maupun tidak sadar, merupakan hasil kerja dari kekuatan terbesar dalam perilaku manusia yaitu homeostasis. Homeostasis adalah kecenderungan untuk selalu tetap di posisi yang sama. Homeostasis sangat baik dan bertujuan melindungi diri manusia dari perubahan yang mendadak dan tidak diinginkan. Homeostasis menjaga agar manusia tidak mudah berubah akibat pengaruh orang lain maupun lingkungan. Namun, homeostasis juga yang menjadi penghambat perubahan saat seseorang ingin mengubah dirinya ke arah yang lebih baik. Dengan kata lain, setiap perubahan yang akan dilakukan seseorang pasti akan mendapat perlawanan (resistensi) dari homeostasis. Resistensi adalah mekanisme pertahanan pikiran bawah sadar yang bertujuan melindungi diri seseorang dari situasi yang (dipandang) tidak menyenangkan. Oleh karenanya, perubahan bukanlah hal yang menyakitkan, sebab resistensi terhadap proses perubahanlah yang membuat perubahan menjadi sesuatu yang menyakitkan. Sementara itu, untuk menggantikan sebuah belief system yang telah terbentuk di pikiran bawah sadar seseorang seringkali tidak mudah. Belief system terbentuk dari penerimaan informasi secara terus-menerus dalam rentang waktu yang cukup lama dan telah menjadi kebiasaan. Oleh karenanya, saat menerima informasi yang berlawanan atau dianggap oleh pikiran bawah sadar sebagai sesuatu hal yang baru dan bertentangan maka informasi tersebut lebih banyak menerima penolakan. Untuk itu, menurut Willy Wong (2010: 25-29) bahwa sebuah belief system baru hanya dapat dibentuk melalui pemberian informasi yang masuk akal, bermanfaat, dan berdaya guna, bahkan kadangkadang masih diperlukan perulangan kegiatan pemberian informasi untuk memperkuatnya. Secara lebih rinci, Adi W. Gunawan (2008: 37-41) menjelaskan bahwa ada lima hal yang dapat membentuk belief system seseorang, yaitu: repetisi (pengulangan), identifikasi kelompok atau keluarga, ide yang disampaikan oleh figur yang dipandang memiliki otoritas, informasi disampaikan melalui emosi yang intens, dan informasi diterima dalam kondisi relaks (keadaan alpha). P a g e [ 635 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Setelah belief telah terbentuk atau ditetapkan, ada dua proses alamiah yang bekerja mempertahankan kelangsungan belief tersebut. Dijelaskan oleh Adi W. Gunawan (2008:41-45), yaitu: pertama, bias konfirmasi (confirmatory bias) atau validasi subjektif (subjective validation) atau efek validasi personal (personal validation effect); dan kedua, kompas mental. Bias konfirmasi adalah kecenderungan seseorang untuk hanya menerima atau memperhatikan informasi yang sejalan dengan belief yang dimilikinya. Jika informasi tersebut tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan belief-nya, maka orang tersebut akan mengabaikan informasi tersebut. Padahal belum tentu informasi tersebut salah. Sedangkan kompas mental adalah jalur psikologis yang akan digunakan oleh seseorang jika dirinya menemui situasi sulit, tidak pasti, atau membingungkan. Belief adalah kompas mental yang akan membantu seseorang membuat keputusan terhadap situasi yang tidak menentu. Di sini yang membedakan belief positif dan belief negatif adalah dengan memperhatikan efek yang ditimbulkannya terhadap diri seseorang. Belief positif akan mendukung pencapaian keberhasilan seseorang dengan melakukan upaya maksimal sedangkan belief negatif adalah yang menghambat pencapaian keberhasilan seseorang dengan tidak berupaya secara tidak maksimal. Dengan demikian dapat dipahami bahwa untuk perubahan mutu kinerja guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, dalam bentuk peningkatan profesionalismenya, hal utama dan mendasar yang harus dilakukan adalah melakukan perubahan mindset. Untuk dapat melakukan perubahan yang berhasil tersebut maka diperlukan perubahan belief system pada diri masing-masing guru tersebut. Guru-guru di sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah perlu dibantu untuk mengubah belief system negatif yang sebelumnya mereka miliki dengan belief system positif yang memberdayakan dan mendukung pencapaian keberhasilan mereka. MINDSET “DRIVER” UNTUK GURU SEKOLAH DASAR PROFESIONAL DI ERA MEA Salah satu hal yang paling besar pengaruhnya terhadap eksistensi guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di Indonesia pada era MEA adalah arus bebas tenaga kerja terampil (Sertifikasi, 2014:1). Kondisi guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di Indonesia yang secara umum masih diliputi dengan keterbatasan kompetensi, profesionalisme, produktivitas, kesejahteraan, dan kualifikasi akademik, tentu akan kehilangan kepercayaan diri kemudian tersingkir dan tersisih jika tidak memiliki mindset positif untuk menghadapi pesaing dari negara-negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan lain sebagainya. Salah satu mindset positif dan penting untuk menghadapi era kompetisi yang semakin mengglobal di era MEA adalah, merujuk pendapat Renald Kasali, mindset seorang driver (Kasali, 2014: xii). Dengan kata lain, para guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah yang ingin berubah menjadi guru profesional dan siap memenangkan kompetisi di era MEA harus memiliki mindset “driver”. Makna “driver” di sini menurut Renald Kasali (2014: 6-8) adalah sebuah sikap hidup atau cara pandang yang membedakan dirinya dengan “passenger”. Sebagai [ 636 ] P a g e
Perubahan Mindset dan… (Andi Prastowo)
seorang driver, guru SD/MI bisa hidup di mana pun mereka berada, dan selalu menumbuhkan harapan. Sebagai seorang driver, guru SD/MI mengajak orang-orang di sekitarnya untuk berkembang dan keluar dari tradisi lama menuju tanah harapan baru. Mereka melakukan pembaruan-pembaruan dan menantang keterkungkungan dengan penuh keberanian. Mereka berinisiatif memulai perubahan tanpa ada ada yang memerintahkan namun tea rendah hati dan kaya empati. Dengan kata lain, seorang driver harus memiliki keseimbangan antara logic (rasionalitas, hitung-hitungan, analisis, dan targetnya) dengan hatinya (empati, kepedulian, hubungan-hubungan sosial, tata nilai). Adapun perbedaan mindset antara driver dan passenger diungkapkan oleh Kasali dalam Tabel 1. Tabel 1. Perbedaan Mindset Passenger dan Driver Passenger Driver Hanya menumpang Mengemudikan kendaaan menuju titik tertentu Mutlak harus tahu jalan Tidak harus tahu arah jalan Dilarang mengantuk apalagi tertidur Boleh mengantuk, boleh tertidur Harus mampu merawat kendaraan Tidak perlu merawat kendaraan Sebuah pilihan mengekspos diri Sebuah pilihan yang bebas dari bahaya pada bahaya
Sumber: Kasali, 2014:9 Driver’s mentality pada dasarnya adalah sebuah kesadaran yang dibentuk oleh pengalaman dan pendidikan. Jadi seorang driver tidak cukup hanya bermodalkan tekad dan semangat, ia juga membutuhkan referensi dari pengetahuan akademis (Kasali, 2014: 8). Prinsip seorang driver adalah inisiatif, melayani, navigasi, dan tanggung jawab (Kasali, 2014: 41-42). Implementasinya untuk para guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah dalam menghadapi persaingan di era MEA yaitu: pertama, guru harus selalu memiliki inisiatif. Maksudnya adalah para guru SD/MI mampu bekerja tanpa ada yang menyuruh. Berani mengambil langkah berisiko, responsif, dan cepat membaca gejala. Termasuk di sini adalah guru harus mampu membaca gejala persaingan dengan guru-guru profesional dari negara-negara ASEAN lainnya, seperti Singapura dan Malaysia yang memiliki tingkat sumber daya manusia dan kualitas pendidikan lebih baik daripada Indonesia. Kedua, guru harus mampu melayani. Maksudnya, guru SD/MI harus mampu menjadi orang yang berpikir tentang orang lain, mampu mendengar, mau memahami, peduli, berempati. Guru harus menjadi orang yang mendidik dengan sepenuh hati dan totalitas, bukan sekedar menggugurkan kewajiban. Guru tidak segan membagikan pengetahuan dan pengalamannya kepada rekan-rekan se-profesinya yang lain. Dengan demikian, kemajuan yang diperolehnya tidak sekedar bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi kemajuan bersama, sesama rekan guru, maupun dengan stakeholder. Ketiga, guru harus memiliki tujuan dan target yang jelas (navigasi). Para guru SD/MI harus memiliki keterampilan membawa gerbong ke tujuan, tahu arah, mampu P a g e [ 637 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 mengarahkan, memberi semangat, dan menyatukan tindakan. Sekaligus, guru SD/MI harus mampu memelihara kendaraan untuk mencapai tujuan. Guru SD/MI sebagai self driver bukan karena tidak memiliki pilihan untuk hidup yang lebih baik, melainkan karena kesadaran. Sadar bahwa sesuatu hanya akan menjadi lebih baik jika diri mereka sendiri yang mengubahnya. Keempat, guru harus mau dan mampu bekerja secara tanggungjawab. Maksudnya, dalam pelaksanaan tugas profesi maupun sebagai individu pada saat melakukan kekeliruan, kegagalan, dan atau tidak sempurna tidak menyalahkan orang lain, tidak berbelit-belit atau menutupi kesalahan diri sendiri. Mereka memiliki keterbukaan untuk menerima kritik dan saran dari sekitarnya. Dari kritik dan saran tersebut, kemudian mereka melakukan perbaikan dan penyempurnaan dalam kinerja ke depan. Adapun mentalitas guru SD/MI yang telah menjadi “driver”, merujuk penjelasan Kasali (2014: 42-43), yaitu ditandai dengan: pertama, sangat tidak puas dengan keadaan sekarang (status quo); kedua, menyukai tantangan-tantangan baru, mengeksplorasi peluang-peluang baru; ketiga, memecahkan masalah bersama, menginspirasi orang lain; keempat, bekerja dengan hati, mencintai sesama, menjaga hubungan baik, memiliki kepedulian; kelima, memimpin dengan pertanyaan, memperbaiki cara berpikir penumpang-penumpangnya (para peserta didik maupun rekan-rekan seprofesi); keenam, memberikan arah jalan yan jelas, merangkul orang-orang yang berbeda paham dengannya; ketujuh, berani melakukan kesalahan-kesalahan kecil dan mengambil risiko; kedelapan, sangat mencintai perubahan, namun rendah hati, dan penuh empati; kesembilan, dikendalikan oleh creative thinking; kesepuluh, selalu belajar hal-hal baru; dan kesebelas, membebaskan para sandera dari penumpang yang membajak organisasi. Namun, mentalitas “driver” yang menjadi mindset untuk guru SD/MI profesional di era MEA tersebut bukanlah bad driver tetapi good driver. Seperti dijelaskan Renald Kasali (2014: 89-90), bad driver adalah kumpulan dari orang-orang yang sakit hati, agresif, mudah tersulut kebencian, tidak menentukan arah tindakannya, lebih mencari pembenaran ketimbang kebenaran, dan senang membuat alasan-alasan untuk menutupi kekalahan atau kesalahan-kesalahannya. Mereka adalah orang-orang yang terlatih, tetapi mereka tidak tahu menempatkan iri, kapan harus berbicara dan kapan harus mendengarkan, kapan harus bergerak maju dan kapan harus mundur. Mereka bergerak cepat, berinisiatif tinggi, tetapi selalu menimbulkan masalah. Mereka sebenarnya orangorang yang secara kualifikasi akademis dan skill-nya sangat mumpuni tetapi memiliki karakter yang buruk. Dengan demikian, orang –orang seperti itu harus dijauhi (atau diterapi). Sedangkan good driver adalah seorang inisiator, tokoh perubahan, dan mampu menjadi role model bagi banyak orang. Mereka tidak sekedar memiliki aneka kompetensi yang memampukan untuk mengambil keputusan-keputusan penting dan strategis secara cepat dan tepat, tetapi juga memiliki kematangan kepribadian, siap menghadapi tantangan-tantangan baru dan berani keluar dari comfort zone. Mereka juga sosok pribadi yang mampu berpikir kritis dan kreatif sehingga senantiasa mampu secara cepat [ 638 ] P a g e
Perubahan Mindset dan… (Andi Prastowo)
membaca peluang dan mampu hidup dengan alam yang bergejolak dinamis (Kasali, 2014: 94-95). Di samping itu, seorang good driver juga memiliki sikap asertif. Melalui sikap tersebut, seseorang dibangkitkan kesadaran diri (self awareness, self respect), kemampuan bernegosiasi, membaca isyarat, mengurangi agresivitas, memperbaiki tone, dan komunikasi. Begitu pula self discipline dan kehormatan diri menjadi modal penting seorang good driver. Self discipline adalah sebuah kemampuan yang memungkinkan seseorang bertindak tanpa terganggu oleh keadaan emosi. Disiplin meski dilatih dengan melakukan sesuatu yang penting secara rutin untuk membentuk kebiasaan, disiplin bukanlah sekadar sesuatu yang rutin. Disiplin adalah sebuah komitmen. Meskipun sesuatu berubah, kalau seseorang berkomitmen, maka ia selalu siap menghadapi dan memenuhinya (Kasali, 2014: 112-113). Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa implementasi Komunitas ASEAN 2015 melalui salah satu pilarnya, yaitu MEA, mulai tanggal 31 Desember 2015 membawa konsekuensi persaingan tenaga kerja yang semakin berat dan ketat, tidak terkecuali pada profesi guru untuk sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah. Hal itu disebabkan karena terjadi arus bebas tenaga kerja terampil di negara-negara ASEAN pada masa tersebut. Dengan kondisi mutu sumber daya guru SD/MI di Indonesia yang pada umumnya masih diliputi dengan berbagai keterbatasan dan kelemahan, baik pada aspek kompetensi, kualifikasi, produktivitas, maupun kesejahteraan, berimplikasi pada kemungkinan tersingkir dan tersisih dalam persaingan pendidikan di era MEA. Untuk memperbaiki dan mengantisipasi berbagai kemungkinan tersebut, karena waktu tersisa yang tidak lama lagi menjelang pelaksanaan kesepakatan tersebut, maka dibutuhkan upaya perubahan yang fundamental terhadap guru SD/MI. Hal itu utamanya dilakukan dengan mengubah mindset para guru SD/MI dari mindset “passenger” menjadi mindset “driver”. Mereka akan menjadi sosok guru SD/MI yang memiliki kinerja yang kompetitif dengan didasari oleh prinsip-prinsip meliputi: inisiatif, melayani, navigasi, dan tanggung jawab. Di samping itu, mereka menjadi guru dengan mentalitas good driver bukan bad driver. Dengan demikian, para guru SD/MI di Indonesia meskipun dengan segala keterbatasannya tidak akan mudah mengeluh, akan tetapi cepat beradaptasi dan menyesuaikan diri, cepat mengambil keputusan dengan tepat, selalu siap menghadapi tantangan dan persaingan untuk menjadi pemenang dalam setiap kesempatan yang memungkinkan. Di samping itu, mereka juga tetap mampu menjadi sosok pribadi cerdas dan berkarakter. SIMPULAN Berdasarkan uraian pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: pertama, meskipun berbagai upaya peningkatan mutu bagi pendidik (guru) telah dilakukan oleh pemerintah maupun pengelola lembaga pendidikan, kualitas sumber daya guru SD/MI di Indonesia masih berada di bawah beberapa negara-negara tetangga ASEAN, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Meskipun mayoritas guru SD/MI telah berkualifikasi pendidikan S1, tetapi mayoritas guru-guru P a g e [ 639 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 tersebut masih belum layak mengajar (sekitar 71%). Selain itu, tidak sedikit guru-guru SD/MI yang masih menghadapi keterbatasan dan kelemahan, baik pada aspek kompetensi, aspek kualifikasi, produktivitas, dan aspek kesejahteraan (utamanya di madrasah ibtidaiyah). Dengan kata lain, guru SD/MI di Indonesia belum seluruhnya memiliki bekal yang mencukupi dalam menghadapi persaingan pendidikan antar negara ASEAN di era MEA. Kedua, kurang berhasilnya berbagai program dan kegiatan pengembangan maupun peningkatan profesionalisme guru SD/MI selama ini sebetulnya lebih karena tidak dimulai dari persoalan yang paling fundamental dalam diri guru. Hal yang fundamental yang menentukan perilaku tersebut yaitu mindset. Sedangkan mindset terdiri dari belief atau belief system yang mempengaruhi perilaku (behavior) dan sikap (attitude). Oleh karena itu, untuk dapat melakukan perubahan yang berhasil (pada perilaku atau sikap guru SD/MI) maka diperlukan perubahan belief system mereka. Guruguru di sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah perlu dibantu untuk mengubah belief system negatif yang sebelumnya mereka miliki dengan belief system positif yang memberdayakan dan mendukung pencapaian keberhasilan mereka. Ketiga, untuk memenangkan persaingan pendidikan di era MEA, para guru sekolah dasar harus memiliki mindset “driver”, yaitu sosok pendidik yang mampu menjadi educator, inisiator, kreator, motivator, generator, inspirator, dan role model bagi orang-orang di sekitarnya. Sebagai seorang driver, guru SD/MI harus memiliki keseimbangan antara logic dengan hatinya. Mereka tidak cukup hanya bermodalkan tekad dan semangat, tapi juga berbekal referensi dari pengetahuan akademis. Di samping itu, kinerjanya selalu didasarkan pada prinsip inisiatif, melayani, navigasi, dan tanggung jawab. DAFTAR PUSTAKA Ali, Mohammad. (2009). Pendidikan untuk Pembangunan Nasional (Bandung: Imperial Bhakti Utama. Chatib, Munif. (2014). Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara. Bandung: Kaifa. Collier, C.C., Houston,W.R., Schematz,R.R, dan Walsh, W.J. (1971). Teaching in the Modern Elementary School. New York: The Macmillan Company. EMIS Pendis. (2014 a). Statistik Pendataan Madrasah Ibtidaiyah: Jumlah Guru PNS . Diakses dari http://emispendis.kemenag.go.id/emis2014/emis_dh/dh2014/ mi_umum. php?kel= gurup&tahun=2012/2013 pada tanggal 21 November 2014 EMIS Pendis. (2014 b). Statistik Pendataan Madrasah Ibtidaiyahi: Jumlah Guru Non PNS . Diakses dari http://emispendis.kemenag.go.id/emis2014/emis_dh/dh2014/ mi_umum.php?kel=gurun&tahun=2012/2013 pada tanggal 21 November 2014 EMIS Pendis. (2014 c). Statistik Pendataan Madrasah Ibtidaiyah: Jumlah Guru PNS Sertifikasi. Diakses dari http://emispendis.kemenag.go.id/emis2014/emis_dh/ dh2014/mi_umum.php?kel=gurups&tahun=2012/2013 pada tanggal 21 November 2014 [ 640 ] P a g e
Perubahan Mindset dan… (Andi Prastowo)
EMIS Pendis. (2014 d). Statistik Pendataan Madrasah Ibtidaiyah: Jumlah Guru Non PNS Sertifikasi. Diakses dari http://emispendis.kemenag.go.id/emis2014/emis_dh/ dh2014/mi_umum.php?kel=gurups&tahun=2012/2013 pada tanggal 21 November 2014 Fadjar, A. Malik. (1999).Madrasah dan Tantangan Modernitas. Cet.II. Bandung: YASMIN bekerjasama dengan Mizan, 1999. Gultom, Syawal. (2015). “Syawal Gultom” Pewawancara Ester Lince Napitupulu. Guru Honorer Menumpuk di SD. Kompas. 2 April. Gunawan, Adi W. (2008). The Secret of Mindset. Cet. III. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hakim, M. Fathoni. (2013).Asean Community 2015 Dan Tantangannya Pada Pendidikan Islam Di Indonesia. Laporan Penelitian. Surabaya: LP2M IAIN Sunan Ampel. Kasali, Renald. (2014). Self Driving: Menjadi Driver atau Passenger ?Jakarta Selatan: Mizan. Kasali, Rhenald. “Kata Pengantar” dalam Gunawan, Adi W. (2008). The Secret of Mindset. Cet. III. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Marzano, Robert.J.(2013). Seni dan Ilmu Pengajaran. Diterj.oleh: Rahmat Purwono. MOEC. (2012). Indonesia, Educational Statistic in Brief, 2011/2012. Jakarta: MOEC. Muhammad, Hamid.(2015). “Hamid Muhammad” Pewawancara Ester Lince Napitupulu. Guru Honorer Menumpuk di SD. Kompas. 2 April. Mulyasa, E. (2013). Pengembangan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sidi, Indra Jati. (2003).Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Cet. II. Jakarta Selatan: Paramadina bekerjasama dengan Logos Wacana Ilmu. Siradjuddin, Bactiar.(2014). BNSP Menyongsong Pasar Bebas AEC 2015. Majalah Sertifikasi. Jakarta: BSNP. Subrayanti, Delta. (2013). Pengaruh Supervisi Akademik Kepala Sekolah dan Iklim Organisasi terhadap Kinerja Mengajar Guru Sekolah asar Negeri Kecamatan Sukaresmi Kabupaten Cianjur. Tesis. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Suryadi, Ace. (2014). Pendidikan Indonesia Menuju 2025 Outlook: Permasalahan, Tantangan dan Alternatif Kebijakan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ulwiyah, Nur. (2015). Tantangan Dunia Pendidikan Menghadapi Pasar Tunggal ASEAN 2015. Diakses dari http://download.portalgaruda.org/article.php/article=116579 &val=5316&title=Tantangan%20Dunia%20Pendidikan%20%20Menghadapi%20P asar%20Tunggal%20Asean%202015.pdf. pada tanggal 18 April 2015. Wong, Willy. (2010). Membongkar Rahasis Hipnosis. Cet.II. Jakarta: Visimedia. Wuryandani. Dewi. “Peluang dan Tantangan SDM Indonesia Menyongsong Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”, Info Singkat, Vol.VI (17) : 13-16 Zamroni. (2011). Dinamika Peningkatan Mutu. Yogyakarta: Galvin Kalam Utama.
P a g e [ 641 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
MENJAWAB TANTANGAN GURU MASA DEPAN MELALUI PENINGKATAN KOMPETENSI SEBAGAI AGEN PEMBELAJARAN Faridah & Yayat Hidayat Amir PFKIP Universitas Pancasakti Tegal
[email protected]
Abstrak Peran dan tanggung jawab guru masa mendatang akan makin kompleks. Sejalan dengan itu, persoalan mendasar mutu pendidikan dari sudut pandang output dikategorisasi ke dalam tiga bentuk kesenjangan: akademik, okupasional, dan kultural. Kondisi tersebut lebih lanjut meniscayakan pendekatan pendidikan yang berparadigma holistik sekaligus meminta model proses pembelajaran yang lebih relevan dan mencerdaskan. Dalam konteks itulah penguatan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran menjadi penting, di samping perlunya praktik pedagogik produktif dalam pembelajaran. Kata Kunci: Kompetensi, Agen Pembelajaran.
PENDAHULUAN Putaran evolusi masyarakat dalam perempat akhir abad ini mengharuskan dilakukannya redefinisi konsep pendidikan dan peran guru. Redefinisi tersebut penting mengingat makin diragukannya relevansi antara pandangan-pandangan lama dengan aspirasi, kondisi, dan kebutuhan manusia abad ke-21. Oleh karena itu, redefinisi pendidikan dan peran guru haruslah bermula dari identifikasi faktor-faktor esensial pendidikan dan masyarakat, yang meliputi: (1) keterkaitan antara perubahan peran guru dengan konteks sosial kemasyarakatan; (2) memperjelas definisi sasaran perubahan; (3) mempertegas komitmen bahwa pendidikan bukan sekadar pelestarian namun regenerasi; (4) kebutuhan belajar di sekolah; dan (5) sekolah sebagai institusi. Pernyataan di atas mengisyaratkan dan berimplikasi antara lain perlunya penguatan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran. Sehubungan dengan hal itu maka risalah ini akan coba menjawab pertanyaan: bagaimakah peran guru masa depan dan apa sajakah elemen-elemen pokok kompetensi guru sebagai agen pembelajaran itu? TANTANGAN GURU MASA DEPAN Peran dan tanggung jawab guru di masa mendatang akan makin kompleks. Pertama, guru harus sanggup berkontribusi terhadap peningkatan mutu sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang bermutu dicirikan oleh kemampuan-kemampuan: (a) penguasaan suatu bidang keahlian yang berkaitan dengan iptek; (b) bekerja profesional dengan orientasi mutu dan keunggulan; (c) menghasilkan karya-karya unggul yang dapat bersaing secara global sebagai hasil dari keahlian dan profesionalismenya. Kedua, guru harus mampu menjawab tantangan hasil didik, sebagaimana diungkapkan oleh McTighe & Schollenberger (1985): “we must return to basics, but the [ 642 ] P a g e
Menjawab Tantangan Guru… (Faridah & Yayat Hidayat Amir)
basics of 21st century are not only reading, writing, and arithmatic. They include communication and higher problem solving skills, and scientific and technological literacy the thinking tools that allow us to understand the technological world around us.” Ketiga, profesionalisme guru harus terekspresikan dalam dimensi-dimensi: (a) kepribadian yang matang dan berkembang/mature and developing personality; (b) keterampilan membangkitkan minat peserta didik; (c) penguasaan iptek yang kuat; dan (d) sikap profesional yang berkembang berkesinambungan (Tilaar, 1998). Keempat, selalu berusaha menunjukkan sosok guru yang bermutu, yang bercirikan: (a) kemampuan profesional, yang mencakup kemampuan intelegensia, sikap, dan prestasi kerja; (b) upaya profesional/professional efforts, berupa transformasi kemampuan profesional ke dalam tindakan mendidik dan mengajar; (c) waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional/teacher’s time atau intensitas waktu guru yang dikonsentrasikan untuk tugas-tugas profesionalnya; (d) kesesuaian antara keahlian dengan pekerjaannya, dapat membelajarkan siswa secara tuntas, benar, dan berhasil (Djojonegoro, dalam Tilaar, 1998). Kelima, guru harus senantiasa: (a) membangun dan membentuk siswa yang memiliki orientasi ke depan (luwes, tanggap terhadap perubahan, semangat inovasi) ; (2) senantiasa berhasrat mendayagunakan lingkungan dan kekuatan-kekuatan alam (tidak tunduk pada nasib, selalu berupaya memecahkan masalah, dan menguasai iptek) ; (3) memiliki achievement orientation atau orientasi terhadap karya yang bermutu. Sejalan dengan kelima tuntutan guru masa depan tersebut, persoalan mendasar mutu pendidikan dari sudut pandang output, dikategorisasi oleh Zamroni (2000) ke dalam tiga bentuk kesenjangan: akademik, okupasional, dan kultural. Kesenjangan akademik adalah ketiadaan kaitan antara ilmu yang dipelajari di sekolah dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Kesenjangan okupasional, ketidakgayutan antara dunia pendidikan dengan dunia kerja, meski hal ini bukan hanya disebabkan oleh dunia pendidikan semata. Kesenjangan kultural, ketidakmampuan peserta didik memahami persoalan yang sedang dan akan dihadapi bangsanya di masa depan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan pendidikan yang berparadigma holisitik. Paradigma holistik melahirkan dua dimensi pembaharuan pendidikan: (1) pendidikan yang memampukan anak didik berpikir global dan bertindak lokal; (2) pemaknaan ulang efisiensi pendidikan, dari makna ekonomis semata menjadi keharmonisan dengan lingkungan, solidaritas, dan kebaikan untuk semua (Zamroni, 2000). Dalam jangka panjang hal itu memerlukan model proses pembelajaran yang: (1) penyajian materinya tersusun dalam problema, tema, dan terintegrasi; (2) dampak belajarnya meliput aspek kognitif dan afektif, khususnya kerjasama dan kompetensi sosial; (3) gurunya team teaching dengan prosedur yang fleksibel; (4) sasaran pemahamannya mencakup konsep, hubungan, dan keterkaitan; (5) pembelajarannya kooperatif.
P a g e [ 643 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 ASPEK-ASPEK KOMPETENSI GURU SEBAGAI AGEN PEMBELAJARAN Konsep kompetensi agen pembelajaran sebetulnya identik dengan kompetensi pedagogik dan profesional sebagaimana yang diperinci dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Kompetensi pedagogik yaitu kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c) pengembangan kurikulum/silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional. Berkaitan dengan kompetensi pedagogik dan profesional tersebut, maka profesionalisasi guru sebagai agen pembelajaran seyogianya difokuskan kepada penguatan kemampuan teknikal yang terkait dengan pembelajaran. Kemampuan yang dimaksud misalnya diperinci oleh National Board for Profesional Teaching Skill (2002) sebagaimana dikutip oleh Sudradjat (2009) yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut: 1. Teachers are committed to students and their learning yang mencakup: (a) penghargaan guru terhadap perbedaan individual siswa; (b) pemahaman guru tentang perkembangan belajar siswa; (c) perlakuan guru terhadap seluruh siswa secara adil; dan (d) misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir siswa. 2. Teachers know the subjects they teach and how to teach those subjects to students, mencakup: (a) apresiasi guru tentang pemahaman materi mata pelajaran untuk dikreasikan, disusun dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain; (b) kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran; (c) mengembangkan usaha pemerolehan pengetahuan dengan berbagai cara (multiple path). 3. Teachers are responsible for managing and monitoring student learning mencakup: (a) penggunaan berbagai metode dalam pencapaian tujuan pembelajaran; (b) menyusun proses pembelajaran untuk berbagai setting kelompok; (c) kemampuan untuk memberikan ganjaran atas keberhasilan siswa; (d) menilai kemajuan siswa secara teratur; dan (e) kesadaran akan tujuan utama pembelajaran. 4. Teachers think systematically about their practice and learn from experience mencakup: (a) guru secara terus-menerus menguji diri untuk memilih keputusankeputusan terbaik; (b) guru meminta saran dari pihak lain dan melakukan berbagai riset pendidikan untuk meningkatkan praktik pembelajaran.
[ 644 ] P a g e
Menjawab Tantangan Guru… (Faridah & Yayat Hidayat Amir)
5. Teachers are Members of Learning Communities mencakup: (a) guru memberikan kontribusi terhadap efektivitas sekolah melalui kolaborasi dengan kalangan profesional lainnya; (b) guru bekerja sama dengan tua orang siswa, (c) guru dapat memanfaatkan berbagai sumber daya masyarakat. Penguatan kemampuan teknikal pembelajaran itu menjadi penting mengingat bahwa performance based (teacher) meliputi penguasaan content knowledge, behavior skills, dan human relation skills (Gaffar, 1987). Content knowledge merupakan penguasaan materi pengetahuan yang akan diajarkan kepada peserta didik. Behavior skills merupakan keterampilan perilaku yang berkaitan dengan penguasaan didaktik metodologik yang bersifat pedagogik maupun andragogik. Human relation skills merupakan keterampilan untuk melakukan hubungan baik dengan unsur manusia yang terlibat dalam proses pendidikan. Meminjam model Subekti (1997) tentang kemampuan dasar guru dilihat dari keputusan dan tindakan guru dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil belajar (gambar 1), maka kinerja guru sebagai agen pembelajaran dibentuk oleh derajat pemahaman calon guru mengenai: (1) hakikat mapel; (2) tujuan pembelajaran mapel; (3) belajar-mengajar mapel.
HAKIKAT BIDANG ILMU KOMPETENSI MENGAJAR GURU (FAKTORFAKTOR TINDAKAN DAN KEPUTUSAN GURU DALAM PERENCANAAN, PELAKSANAAN DAN PENILAIAN HASIL PEMBELAJARAN)
TUJUAN PEMBELAJARAN BIDANG ILMU
BELAJAR MENGAJAR BIDANG ILMU
METODE BIDANG ILMU PRODUK BIDANG ILMU
METODE MENGAJAR BIDANG ILMU KONSEP, PRINSIP, TEORI BIDANG ILMU DALAM KURIKULUM DAN BUKU TEKS
PEMAHAMAN GURU ATAS HAKIKAT DAN TUJAR BIDANG ILMU PEMAHAMAN GURU ATAS KAITAN FUNGSIONAL TUJAR DENGAN KEBUTUHAN/MINAT SISWA PEMAHAMAN GURU ATAS: (1) ESENSI BM BIDANG ILMU (VERSI, MODEL, TEORI BM; (2) FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN MUTU PEMBELAJARAN
Gambar 1. Profil kemampuan dasar guru dalam mengajar (Sumber: Subekti, 1997, dimodifikasi) Pemahaman mengenai hakikat mapel mencakup aspek-aspek metode ilmu dan produk ilmu. Aspek metode ilmu akan menentukan pilihan metode pembelajarannya.
P a g e [ 645 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Aspek produk ilmu berkenaan dengan kompetensi, prinsip dan tingkatan–sebagaimana diracik dalam kurikulum dan buku teks. Pemahaman mengenai tujuan pembelajaran meliputi aspek-aspek hakikat pembelajaran dan tujuan pembelajaran mapel; serta kaitan fungsionalnya dengan kebutuhan dan minat siswa. Pemahaman mengenai belajar-mengajar mapel berkenaan dengan aspek-aspek: (a) esensi belajar-mengajar mapel berdasarkan beragam versi, model, dan teori belajarmengajar; (b) faktor-faktor pendukung peningkatan mutu pembelajaran mapel. Wotruba dan Wright (1975) mengidentifikasi enam karakteristik mengajar yang efektif. Pertama, pengorganisasian yang baik dari pokok bahasan dan mata pelajaran. Organisasi yang baik dari pokok bahasan ditunjukkan dalam tujuan-tujuan, materi pelajaran, tugas-tugas, aktivitas kelas, dan ujian. Tahapan penyiapan kelas dan efektivitas penggunaan waktu di dalam kelas, juga merupakan indikator dari organisasi yang baik dari pokok bahasan dan mata pelajaran. Riset menunjukkan bahwa pengorganisasian mata pelajaran mempunyai hubungan dengan cara siswa belajar. Apabila pelajaran diberikan secara terorganisasi akan dapat membantu mengembangkan kemampuan belajar siswa, maka dapat dinyatakan bahwa organisasi bahan pengajaran yang baik memberikan kontribusi terhadap efektivitas mengajar. Kedua, komunikasi yang efektif. Kemampuan guru termasuk penggunaan audiovisual atau teknik-teknik lain untuk menarik perhatian siswa, merupakan karakteristik mengajar yang penting untuk dievaluasi. Keahlian berkomunikasi meliputi kemampuan-kemampuan menjelaskan presentasi, kelancaran verbal, interpretasi gagasan-gagasan abstrak, kemampuan berbicara yang baik dan kemampuan mendengarkan. Dapat berkomunikasi dengan baik merupakan karakteristik penting bagi mengajar yang efektif. Karena, komunikasi yang efektif sangat penting untuk kelas-kelas yang besar, seminar, laboratorium, grup-grup diskusi kecil, sebaik dalam percakapan orang perorang. Ketiga, pengetahuan dari —dan perhatian pada— bahan pelajaran serta proses pembelajaran. Guru harus mengetahui bahan pelajaran yang mereka bina agar mereka dapat mengorganisasikannya secara tepat sehingga dapat mengkomunikasikannya secara tepat pula. Seorang pengajar penting untuk mencurahkan perhatian dan pemikirannya terhadap disiplin ilmunya, termasuk yang didapatkannya dari penelitian. Pengetahuan pengajar terhadap materi pelajaran direfleksikan juga dalam kemampuannya memilih buku teks, bahan bacaan dan daftar referensi, isi pengajaran serta silabus pelajaran. Keempat, sikap yang positif kepada siswa. Sikap-sikap yang disukai siswa di antaranya ialah pemberian pertolongan oleh pengajar atau instruktur ketika siswa mengalami kesulitan berkenaan dengan materi pelajaran, pemberian kesempatan mengajukan pertanyaan atau mengekspresikan opini siswa, dan kepedulian terhadap halhal yang dipelajari siswa. Sikap positif terhadap siswa dicerminkan pula dalam dukungan [ 646 ] P a g e
Menjawab Tantangan Guru… (Faridah & Yayat Hidayat Amir)
dan kepercayaan diri siswa. Mengajar yang efektif sesungguhnya melibatkan harapanharapan yang tepat, pembimbingan dan dorongan kepada siswa. Kelima, adil dalam ujian dan penilaian. Sejak awal pembelajaran, siswa harus diberitahu mengenai jenis-jenis penilaian seperti karya tulis, proyek, ujian, kuis-kuis, yang akan dijumlahkan pada akhir perkuliahan. Keterkaitan masing-masing materi yang tercakup dalam pelajaran merupakan aspek penting dari keadilan. Konsistensi penting bagi tujuan pelajaran, isi pelajaran, ujian, kuis-kuis, dan penilaian. Batas waktu dan manfaat umpan balik mengenai kinerja siswa, juga merupakan elemen penting dari keadilan sebagaimana kesesuaian antara beban kerja dengan kredit yang diterima. Umpan balik dalam bentuk peringkat dan komentar tidak hanya dapat menjadi indikator pencapaian pengetahuan relatif siswa terhadap dibanding rekan sekelasnya, tetapi harus dapat pula menjadi indikator pertumbuhan pribadi. Keenam, fleksibel dalam pendekatan mengajar. Pengajar yang jarang mencoba pendekatan instruksional yang beragam mengindikasikan kehilangan semangat mengajar. Variasi pendekatan instruksional berguna dalam menyempurnakan bermacam-macam peraturan dan tujuan-tujuan pelajaran, serta dalam merespons keragaman latar belakang individual siswa. Dengan memvariasikan langkah-langkah instruksional yang mempertimbangkan keragaman siswa akan memungkinkan pencurahan perhatian yang lebih baik dari siswa terhadap materi pelajaran. URGENSI PRAKTIK PEDAGOGIK PRODUKTIF Hal yang tidak kalah pentingnya dalam memfungsikan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran adalah praktik pedagogik produktif. Pedagogik produktif diberangkatkan dari pemikiran bahwa kebutuhan belajar siswa beragam yang mencakup perbedaan pola/gaya belajar, latar belakang budaya dan bahasa serta jenis kelamin, memerlukan strategi pedagogik yang tepat dan efektif terhadap peningkatan kinerja belajar siswa. Konsep pedagogik produktif merujuk kepada: (1) model multidimensional dari praktik pembelajaran di kelas; (2) pedagogi efektif yang memadukan suatu tampilan strategi mengajar yang menunjang lingkungan kelas, dan mengakui perbedaan, serta diterapkan pada semua kunci pembelajaran dan area subjek pembelajaran; (3) kerangka berpikir teoritis yang seimbang untuk pengembangan profesional guru yang memfokuskan pada refleksi kritis proses-proses yang terjadi dalam situasi belajar di kelas dan isu keadilan dari proses pendidikan (Hartati, dkk, 2009:1). Pedagogik produktif memiliki empat dimensi, yaitu: kualitas intelektual, relevansi, lingkungan kelas yang mendukung, dan mengenali perbedaan. Dimensi kualitas intelektual meliputi aspek-aspek kelancaran berpikir tingkat tinggi, pengetahuan yang mendalam, pengertian yang dalam, perbincangan yang substantif, problematik pengetahuan, dan metalinguistik. Relevansi mencakup integrasi pengetahuan, latar belakang pengetahuan siswa, keterhubungan dengan dunia sekitar, dan kurikulum berbasis masalah. Lingkungan kelas P a g e [ 647 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 yang mendukung meliputi kontrol pelajar, dukungan lingkungan, keterikatan, kriteria yang eksplisit, regulasi sendiri. Dimensi mengenali perbedaan memuat aspek-aspek pengetahuan budaya, inklusif, naratif, identitas kelompok, dan kewarganegaraan. Kinerja guru yang berbasis pedagogik produktif relevan dengan tuntutan pembelajaran di sekolah efektif, karena melalui kerangka pedagogik produktif, mereka dapat mempertimbangkan apa yang sedang diajarkan, bagaimanakah variasi gaya dan pendekatan mengajar serta latar belakang siswa. Praktik pedagogik efektif dapat meningkatkan kenyamanan bagi siswa, guru dan lingkungan sekolah. Pedagogik produktif juga meningkatkan kepercayaan diri, kontribusi guru dan siswa, serta rasa tanggung jawab akan tujuan mereka berada di sekolah. Dengan demikian, pedagogik produktif dapat membangun kepercayaan masyarakat terhadap mutu pembelajaran dan mengajar di sekolah. Keunggulan pedagogik produktif terletak pada potensinya untuk memperbaharui fokus pada gender, ras, dan kelas sebagai penanda pemerolehan pendidikan yang sekaligus berperan sebagai cara untuk menghadapi identitas baru pelajar, sosial ekonomi dan tempat kerja baru, teknologi baru, komunitas yang berbeda, dan budaya yang rumit. Di atas kompetensi sebagai agen pembelajaran, pekerjaan guru haruslah dihayati sebagai pengabdian total. Ini berarti guru harus memiliki dan memegang teguh komitmennya sebagai pendidik. Guru dengan segenap aktivitas profesinya harus dapat memberikan yang terbaik kepada siswanya, berupa keteladanan dan terutama kejujuran. Guru yang baik seharusnya: (1) memiliki misi; (2) memiliki suatu keyakinan positif; (3) mengenal bahwa pikiran yang dibuat memiliki dampak yang mendalam terhadap keberhasilan dirinya; (4) mengembangkan keterampilan pemecahan masalah yang memungkinkannya mengatasi setiap tantangan yang dihadapi; (5) mengetahui penggunaan waktu dan usaha untuk memperoleh hasil yang terbaik dan kepuasan mengajar. SIMPULAN Peran dan tanggung jawab guru di masa mendatang akan makin kompleks. Selain harus sanggup berkontribusi terhadap peningkatan mutu sumber daya manusia, para guru harus pula mampu menampilkan profesionalismenya dalam kepribadian yang matang dan berkembang; keterampilan membangkitkan minat peserta didik; penguasaan iptek yang kuat; dan sikap profesional yang berkembang berkesinambungan. Peran dan tanggung jawab guru masa depan tersebut mengimplikasikan agar profesionalisasi guru sebagai agen pembelajaran difokuskan kepada penguatan kemampuan teknikal yang terkait dengan pembelajaran. Dilihat dari keputusan dan tindakan guru dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil belajar, maka kemampuan teknikal guru sebagai agen pembelajaran dibentuk oleh derajat pemahaman calon guru mengenai: (1) hakikat mapel; (2) tujuan pembelajaran mapel; (3) belajar-mengajar mapel.
[ 648 ] P a g e
Menjawab Tantangan Guru… (Faridah & Yayat Hidayat Amir)
Hal yang tidak kalah pentingnya dalam memfungsikan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran adalah praktik pedagogik produktif. Pedagogik produktif diberangkatkan dari pemikiran bahwa kebutuhan belajar siswa beragam yang mencakup perbedaan pola/gaya belajar, latar belakang budaya dan bahasa serta jenis kelamin, memerlukan strategi pedagogik yang tepat dan efektif terhadap peningkatan kinerja belajar siswa. DAFTAR PUSTAKA Gaffar, M. Fakry. 1987. Perencanaan Pendidikan: Teori dan Metodologi. Jakarta: PPLPTKDitjen Dikti Depdikbud. Hartati, Tatat, dkk, 2009. “Productive Pedagogy & Suject Specific Pedagogy”, Monograf. Universitas Pendidikan Indonesia: Pusat Kajian Pendidikan Sekolah Dasar. Meier. D. 1987. In School We Trust: Creating Communities of Learning in Era of Testing and Standardization. Boston: Beacon. Mulyasa, E. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya. Subekti, Ruchji, 1997, “Profil Kemampuan Dasar Guru Ditinjau dari Keputusan dan Tindakan Pembelajaran oleh Guru Biologi SMU”, Disertasi PPs-IKIP Bandung, tidak diterbitkan. Sudradjat, Akhmad. 2009. “Kompetensi http//akhmadsudradjat.wordpress.com. [diunduh 2015]
Guru”,
Tersedia:
Tilaar, HAR. 1998. Beberapa Agenda reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21. Jakarta: Tera Indonesia. Wotruba, T. & Wright, P. 1975. “How to Develop a Teacher-rating Instrument: A Research Approach”. The Journal of Higher Education, Vol.46, No.6. Zamroni, 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing
P a g e [ 649 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
DAMPAK SERTIFIKASI GURU DALAM PENINGKATAN KOMPETENSI PROFESIONAL DI KALANGAN GURU SMK PELITA SALATIGA Imanuel Sri Murdadi & Entri Sulistari FKIP UKSW Salatiga
[email protected]
Abstrak Program sertifikasi dilakukan supaya guru memiliki penguasaan kompetensi sebagaimana dipersyaratkan UU Guru dan Dosen. Tujuan sertifikasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, menentukan kelayakan guru sebagai agen pembelajaran, meningkatkan martabat guru, dan meningkatkan profesionalisme seorang guru. Penelitian ini dilaksanakan di SMK Pelita Salatiga. Masalah penelitian ini adalah apakah ada dampak sertifikasi guru dalam peningkatan kompetensi profesional di kalangan guru SMK Pelita Salatiga. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, metode pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Prosedur analisis data adalah pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan guru sertifikasi kurang menguasai kompetensi khususnya kompetensi profesional, belum ada upaya peningkatan kualitas pendidikan dikarenakan penguasaan kompetensi profesional masih kurang, seperti metode mengajar dan pemanfaatan teknologi. Adanya guru sertifikasi tidak berdampak pada peningkatan kompetensi profesional. Secara tidak langsung penguasaan kompetensi profesional masih tetap seperti sebelum adanya guru sertifikasi. Kata kunci: Guru Sertifikasi, Kompetensi Profesional
PENDAHULUAN Guru merupakan tenaga pengajar yang harus memiliki kemampuan standar kompetensi guru yang meliputi kompetensi pedagogic, kepribadian, profesional dan sosial. Guru yang profesional adalah guru yang dapat memenuhi keempat kompetensi tersebut. Guru professional dibuktikan dengan sertifikat guru professional yang sering disebut dengan sertifikasi guru. Guru bersertifikasi adalah guru yang professional dan memenuhi kompetensi dasar guru. Guru bersertifikasi mendapatkan penghargaan berupa tunjangan profesi guru yang ditujukan untuk memperkuat kualitas guru yang bersertifikasi. Gagasan sertifikasi guru dicetuskan dengan harapan dapat melahirkan guru-guru yang professional sehingga kualitas pendidikan di Indonesia dapat meningkat, namun pada saat ini kualitas guru bersertifikasi diragukan “Harus kita akui dengan jujur bahwa guru mengikuti sertifikasi karena motivasi untuk meningkatkan pendapatan. Sementara esensi peningkatan kualitas cenderung diabaikan.” Pemerintah mengadakan uji kompetensi guru untuk mengetahui sejauh mana pemahaman dan penguasaan guru terhadap kompetensi dasar guru. “Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menolak pelaksanaan uji kompetensi dalam proses sertifikasi guru. Uji kompetensi dinilai tidak sesuai dengan aturan perundangan. Penolakan tidak seharusnya terjadi jika semua guru sudah menguasai kompetensi dasar. Hakikatnya [ 650 ] P a g e
Dampak Sertifikasi Guru… (Imanuel Sri Murdadi & Entri Sulistari)
Sertifikasi guru dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi guru. Undang – undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Guru sertifikasi diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen yang disahkan pada 30 Desember 2005. Pasal 8 UU guru dan dosen menyebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani, rohani, dan memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. “Sertifikasi pendidik menurut Mulyasa (2007: 33) adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga professional. Sertifikasi guru dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian pengakuan terhadap seseorang telah memiliki kompetensi untuk melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu, setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi. Dengan kata lain, sertifikasi guru adalah proses uji kompetensi yang dirancang untuk mengungkapkan penguasaan kompetensi seseorang sebagai landasan pemberian sertifikasi pendidik.” Tercapainya tujuan sertifikasi guru akan mengantarkan pendidikan pada peningkatan mutu pembelajaran. Berdasarkan penelitian pendahuluan di SMK Pelita Salatiga, tentang guru bersertifikasi di SMK Pelita Salatiga masih ada guru yang terlambat memulai pelajaran dan menyelesaikan pembelajaran sebelum waktu selesai. Pembelajaran yang disampaikan guru monoton sehingga membuat peserta didik cenderung kurang memperhatikan. Ada pula guru yang meninggalkan kelas dengan memberi catatan saja kepada murid. Kedisiplinan dan cara mengajar guru bersertifikasi di SMK Pelita masih jauh dari harapan. Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui Dampak Sertifikasi Guru dalam Peningkatan Kompetensi Profesional di kalangan guru SMK Pelita Salatiga. Sertifikasi diberikan kepada guru yang telah lulus uji kompetensi guru. Guru yang lolos uji kompetensi dibuktikan dengan sertifikat pendidik dan diberi penghargaan berupa tunjangan. Sertifikasi guru dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi guru. Undang – undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, mengemukakan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen. Memaknai tujuan sertifikasi guru diharapkan ada peningkatan mutu dan kualitas pembelajaran para guru bersertifikasi. Adanya sertifikasi pendidik, juga diharapkan kompetensi guru sebagai pengajar akan meningkat sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Undang - undang guru dan dosen menyatakan dengan jelas bahwa, sertifikasi sebagai bagian dari peningkatan mutu guru dan peningkatan kesejahteraannya. Oleh karena itu, lewat sertifikasi ini diharapkan guru menjadi pendidik yang professional yaitu dengan dibuktikan pemilikan sertifikat pendidik setelah dinyatakan lulus uji kompetensi. Sertifikasi bagi guru dalam jabatan sebagai salah satu upaya peningkatan mutu guru diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan pada satuan pendidikan formal secara berkelanjutan. Guru dalam jabatan yang telah memenuhi persyaratan sertifikasi, P a g e [ 651 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 dapat mengikuti sertifikasi melalui: Pemberian Sertifikat Pendidik secara Langsung, Portofolio, Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), atau Pendidikan Profesi Guru. Pelaksanaan sertifikasi guru dimulai pada tahun 2007 dan tahun 2012 merupakan tahun keenam. Undang – undang nomor 5 tahun 2012 tentang sertifikasi guru dalam jabatan, mengacu pada hasil penelaahan terhadap pelaksanaan sertifikasi guru dan didukung dengan adanya beberapa kajian atau studi tentang penyelenggaraan sertifikasi guru sebelumnya, pelaksanaan sertifikasi guru pada tahun 2012 dilakukan beberapa perubahan, antara lain perubahan yang mendasar yaitu pola penetapan peserta dan pelaksanaan uji kompetensi awal sebelum PLPG. Jaminan standardisasi mutu proses dan hasil PLPG, perlu disusun rambu-rambu penyelenggaraan PLPG. Rambu-rambu PLPG ini digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan PLPG oleh Rayon LPTK penyelenggara sertifikasi bagi guru dalam jabatan tahun 2012. Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) bertujuan untuk meningkatkan kompetensi, profesionalisme, dan menentukan kelulusan guru peserta sertifikasi. Penyelenggaraan PLPG dilakukan berdasarkan proses baku yang diuraikan secara jelas dalam Rambu - rambu Pelaksanaan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) Tahun 2012: 1. PLPG dilaksanakan oleh LPTK penyelenggara sertifikasi guru dalam jabatan yang telah ditetapkan Pemerintah 2. PLPG dilaksanakan berbasis prodi. Untuk mata pelajaran tertentu di SMK yang prodinya tidak ada di LPTK pelaksanaan PLPG-nya dilakukan oleh LPTK yang ditugasi melalui bekerjasama dengan Perguruan Tinggi Pendukung yang memiliki program studi relevan dengan bidang studi/mata pelajaran guru peserta PLPG. Kerjasama tersebut dibuktikan dengan MoU dan pernyataan kesediaan dari prodi terkait pada PT Pendukung. 3. PLPG diselenggarakan selama10hari dan bobot 90 Jam Pembelajaran (JP), dengan alokasi 46 JP teori dan 44 JP praktik. Satu JP setara dengan 50 menit. 4. Penentuan tempat pelaksanaan PLPG harus memperhatikan kelayakan (representative dan kondusif) untuk proses pembelajaran. 5. Rombongan belajar (rombel) PLPG diupayakan satu bidang keahlian/mata pelajaran1. 6. Satu rombel terdiri atas 30 peserta, dan satu kelompok peer teaching/peer guidance and counseling/peer supervising terdiri atas 10 peserta. Dalam kondisi tertentu jumlah peserta satu rombel atau kelompok peer teaching/peer guidance and counseling/peer supervising dapat disesuaikan. 7. Apabila peserta PLPG jumlahnya lebih dari satu rombel, maka pembagian rombongan belajar harus memperhatikan hasil Uji Kompetensi Awal (UKA). Peserta dengan hasil UKA rendah dibuat satu rombel dan diusahakan terpisah dari rombel dengan peserta yang hasil UKA-nya sudah baik. Pengelompokan peserta atas dasar hasil UKA ini juga
[ 652 ] P a g e
Dampak Sertifikasi Guru… (Imanuel Sri Murdadi & Entri Sulistari)
berlaku ketika pembentukan kelompok peer teaching/peer guidance and counseling/peer supervising 8. Satu kelompok peer teaching/peer guidance and counseling/peer supervising difasilitasi oleh dua orang instruktur yang memiliki NIA yang relevan, termasuk pada saat ujian. 9. Pembelajaran dalam PLPG dilakukan dalam bentuk workshop yang didahului penyampaian materi penunjang workshop dengan menggunakan multi media (teknologi informasi) dan multi metode yang berbasis pada pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM). 10. Strategi pembelajaran/workshop harus memperhatikan hasil UKA yang dicapai peserta. Peserta dengan hasil UKA rendah harus mendapat perhatian khusus, strategi pembelajaran yang digunakan harus dapat memotivasi peserta untuk meningkatkan kompetensinya. Bila dianggap perlu, untuk rombel/peserta dengan hasil UKA yang rendah jam pembelajaran materi B1 bisa ditambah dengan mengambil jam pembelajaran dari materi B2. Untuk menambah kekurangan jam pembelajaran pada materi B2, materi tersebut dapat diintegrasikan pada kegiatan workshop pengemasan perangkat pembelajaran. Penambahan jam pembelajaran materi B1 tidak boleh lebih dari 6 JP. 11. Pada akhir PLPG dilakukan uji kompetensi dengan mengacu pada rambu-rambu pelaksanaan PLPG. Uji kompetensi meliputi uji tulis dan uji kinerja (ujian praktik). Kualitas penyelenggaraan PLPG salah satunya akan tercermin dari prestasi yang dicapai peserta pada uji kompetensi.” Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa sebagai seorang guru apabila akan mengajukan sertifikasi harus melalui pelaksanaan pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) yang didasarkan pada indikator esensial uji kompetensi guru sesuai tuntutan minimal sebagai agen pembelajaran. Guru profesional harus memahami standar kompetensi guru yang menjadi dasar sertifikasi guru. Kompetensi merupakan komponen utama dari standar profesi di samping kode etik sebagai regulasi perilaku profesi yang ditetapkan dalam prosedur dan sistem pengawasan tertentu. Kompetensi diartikan dan dimaknai sebagai perangkat perilaku efektif yang terkait dengan eksplorasi, investigasi menganalisis dan memikirkan, serta memberikan perhatian, dan mempersepsi yang mengarahkan seseorang menemukan cara - cara untuk mencapai tujuan tertentu secara efektif dan efisien. Kompetensi guru dapat dipahami dari penjelasan sebagai berikut: Menurut Mulyasa (2007:26), “Kompetensi guru merupakan perpaduan antara kemampuan personal, keilmuan, teknologi, sosial, dan spiritual yang secara kaffah membentuk kompetensi standar profesi guru, yang mencakup penguasaan materi, pemahaman terhadap peserta didik pembelajaran yang mendidik, pengembangan pribadi dan profesionalisme” Standar kompetensi dalam sertifikasi meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi professional, kompetensi sosial. P a g e [ 653 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Kompetensi Pedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik. Guru dikatakan telah menguasai kompetensi pedagogik jika guru memiliki: 1. Kemampuan mengelola pembelajaran 2. Pemahaman terhadap peserta didik 3. Pengembangan kurikulum atau silabus 4. Perancangan pembelajaran 5. Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis 6. Pemanfaatan teknologi pembelajaran 7. Evaluasi pembelajaran (EHB) 8. Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi pedagogik akan tercapai seiring dengan terciptanya pembelajaran yang efektif dan efisien. Pembelajran yang efektif dan efisien tidak terlepas dari manajemen guru dalam melakukan pengarahan, pengembangan dan pengawasan dalam pelaksanaan pembelajaran. Guru diharapkan dapat membimbing dan mengarahkan pengembangan kurikulum dan pembelajaran secara efektif serta melakukan pengawasan dalam pengawasan dalam pelaksanaannya. Kompetensi kepribadian tidak kalah penting dengan kompetensi pedagogik yang harus dimiliki oleh seorang guru. Guru adalah panutan dan contoh bagi siswasiswanya, secara tidak langsung siswa akan mengikuti apa yang dilakukan oleh guru, maka berkepribadian baik adalah wajib bagi seorang guru. Menurut Mulyasa (2007:117)“Berdasarkan standar nasional pendidikan, penjelasan pasal 28 ayat (3) butir b, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi kepribadian sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan pribadi peserta didik.” Guru dituntut untuk memiliki kompetensi kepribadian yang memadai. Kompetensi kepribadian menjadi landasan bagi kompetensi-kompetensi lainnya. Guru tidak hanya bertugas untuk mentransfer ilmu, yang lebih penting adalah guru dapat membentuk kepribadian peserta didik. Guru harus memiliki kompetensi kepribadian yang baik untuk memperkuat 3 kompetensi dasar lain yang harus dikuasai oleh guru. Memiliki kepribadian yang baik tanpa menguasai materi pembelajaran belum cukup untuk guru professional. Guru harus menguasai materi pembelajaran karena materi tersebut akan diajarkan kepada peserta didik. Materi yang tidak dikuasai tidak mungkin dapat diserap oleh peserta didik. “Berdasarkan standar nasional pendidikan, penjelasan pasal 28 ayat (3) butir c dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi professional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang
[ 654 ] P a g e
Dampak Sertifikasi Guru… (Imanuel Sri Murdadi & Entri Sulistari)
memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam standar nasional pendidikan.” Kompetensi profesional merupakan kompetensi yang harus dimiliki guru sebagai tugas utamanya yaitu transfer of knowledge. Guru harus menguasai materi yang diajarkan sebelum menyalurkan kepada peserta didiknya. Kompetensi profesional secara umum dapat diidentifikasikan dan disarikan sebagai berikut: 1. Mengerti dan dapat menerapkan landasan kependidikan baik filosofi, psikologis, sosiologis, dan sebagainya. 2. Mengerti dan dapat menerapkan teori belajar sesuai taraf perkembangan peserta didik. 3. Mampu menangani dan mengembangkan bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya. 4. Mengerti dan dapat menerapkan metode pembelajaran yang bervariasi 5. Mampu mengembangkan dan menggunakan berbagai alat, media dan sumber belajar yang relevan. 6. Mampu mengorganisasikan dan melaksanakan program pembelajaran 7. Mampu melaksanakan evaluasi hasil belajar peserta didik 8. Mampu menumbuhkan kepribadian peserta didik.” Hal tersebut menguraikan bahwa seorang guru harus mampu menguasai pelaksanaan tugas utama sebagai guru yaitu mengajar. Kemampuan yang harus dimiliki guru dalam proses pembelajaran dapat diamati dari aspek profesional adalah: 1. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu. 2. Menguasai Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu. 3. Mengembangkan materi pelajaran yang diampu secara kreatif. 4. Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif 5. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri. Penguasaan materi dan kompetensi dasar mata pelajaran dalam pembelajaran sangatlah penting. Pemanfaatan teknologi juga sangat mendukung dalam menyiapkan pembelajaran, Hal ini akan mampu mendukung penyesuaian perkembangan pendidikan pada saat ini. Berdasarkan standar nasional pendidikan, penjelasan pasal 28 ayat (3) butir d dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi social adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.”(m-edukasi.web.id, 2013)
P a g e [ 655 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Manusia adalah makhluk social yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Sekolah merupakan kesatuan yang terdiri dari pengajar, pengurus sekolah dan siswa. Sekolah tidak dapat berjalan jika tidak ada peserta didik, demikian juga peserta didik tidak dapat belajar tanpa adanya guru, hal ini menjelaskan begitu pentingnya interaksi social antara guru dan murid. Kompetensi social harus dimiliki guru karena guru merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai kebutuhan untuk berinteraksi dengan masyarakat pula. Guru yang memiliki kompetensi social harus mampu untuk: 1. Berkomunikasi secara lisan, tulisan dan isyarat. 2. Menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional. 3. Bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua atau wali peserta didik. 4. Bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.” Guru dituntut untuk memiliki kompetensi social yang baik, terutama dalam kaitannya dengan pendidikan. Guru yang memiliki kompetensi kepribadian harus memiliki tujuh kompetensi sosial agar dapat berkomunikasi dan bergaul secara efektif, baik di sekolah maupun di masyarakat. Ketujuh kompetensi tersebut menurut Mulyasa (2007:176) antara lain: 1. Memiliki pengetahuan tentang adat istiadat baik sosial maupun agama 2. Memiliki pengetahuan tentang budaya dan tradisi 3. Memiliki pengetahuan tentang estetika 4. Memiliki apresiasi dan kesadaran social 5. Memiliki sikap yang benar terhadap pengetahuan dan pekerjaan 6. Setia terhadap harkat dan martabat manusia.” Upaya yang sungguh-sungguh perlu dilaksanakan untuk mewujudkan guru yang profesional, sejahtera dan memiliki kompetensi. Hal ini merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas, di mana pendidikan yang berkualitas merupakan salah satu syarat utama untuk mewujudkan peningkatan kualitas pendidikan Guru profesional adalah guru yang mampu menerapkan hubungan yang berbentuk multidimensional guru yang demikian adalah guru yang secara internal memenuhi kriteria administratif, akademis dan kepribadian. Adapun ciri ciri guru profesional: 1. Selalu punya energi untuk siswanya 2. Punya ketrampilan mendisiplinkan yang efektif 3. Punya ketrampilan manajemen kelas yang baik 4. Bisa berkomunikasi baik dengan Orang Tua 5. Punya harapan yang tinggi pada siswanya 6. Pengetahuan tentang Kurikulum 7. Pengetahuan tentang subjek yang diajarkan 8. Selalu memberikan yang terbaik untuk Anak-anak dan proses pengajaran [ 656 ] P a g e
Dampak Sertifikasi Guru… (Imanuel Sri Murdadi & Entri Sulistari)
9. Punya hubungan yang berkualitas dengan siswa Ketika seorang guru sudah mengikuti serta memahami langkah-langkah tersebut berarti layak untuk menjadi guru yang professional. Profesional tidak hanya berarti ahli saja. Namun selain memiliki keahlian juga harus bekerja pada bidang yang sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Seorang profesional tidak akan pernah berhenti menekuni bidang keahlian yang dimiliki. Selain itu, seorang profesional juga harus selalu melakukan inovasi serta mengembangkan kemampuan yang dimiliki supaya mampu bersaing untuk tetap menjadi yang terbaik di bidangnya. METODE Setiap kegiatan pasti mempunyai urutan langkah-langkah penyelesaian dari awal kegiatan sampai selesai. Demikian juga pada penelitian ini mempunyai urutan langkah – langkah penyelesaiannya. Sebagai seorang pendidik yaitu guru sudah seharusnya mengetahui dan memahami standar kompetensi guru, yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, kompetensi social. Guru dapat mengajar dan mendidik apabila guru memiliki, memahami, menjalankan keempat standar kompetensi tersebut dan bisa dikatakan guru profesional. Guru yang lolos uji kompetensi akan mendapat penghargaan berupa sertifikat guru profesional dan selanjutnya disebut sertifikasi guru. Tujuan dari sertifikasi guru adalah meningkatkan kualitas guru yang selanjutnya akan meningkatkan mutu pembelajaran, dan pada akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan dan berkelanjutan, jika hal ini tercapai maka tujuan dari sertifikasi guru terpenuhi, dan sebaliknya. Terlebih dalam kompetensi profesional, karena guru dituntut menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam, serta menguasai metode pembelajaran dengan Guru Sertifikasi Guru
Kompetensi Profesional Gambar: 1. Kerangka Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif karena permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini bersifat kompleks, holistik, dinamis dan penuh makna sehingga tidak mungkin data pada situasi sosial tersebut dijaring dengan metode penelitian kuantitatif dengan instrument seperti test, kuesioner, pedoman wawancara. Selain itu peneliti bermaksud memahami situasi sosial secara mendalam. Penelitian tentang dampak sertifikasi guru dalam Peningkatan kompetensi profesional di kalangan guru SMK Pelita Salatiga. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian ini adalah observasi, wawancara dan dokumentasi. P a g e [ 657 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Sedangkan untuk menjamin keabsahan data dilakukan triangulasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif naratif. Teknis ini menurut Miles dan Huberman diterapkan melalui tiga alur yaitu: Reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/ verifikasi. Data mentah berupa hasil observasi, wawancara dan dokumentasi yang didapatkan selama proses penelitian sesegera mungkin akan direduksi. Reduksi data dilakukan dengan merangkum data, memisahkan data yang penting dari data sampah, memilih data yang sesuai dengan tujuan penelitian dan membuang data yang tidak diperlukan. Reduksi data harus dilakukan sesegera mungkin setelah data diperoleh agar setiap tahapan pengumpulan data terpadu oleh fokus yang jelas, sehingga observasi dan interview selanjutnya semakin terfokus, menyempit, dan menemui titik jenuh sehingga penelitian dapat segera diakhiri. Data yang sudah direduksi dapat disajikan dalam data display. Penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara membuat bagan serta uraian singkat tentang hubungan antar kategori. Data display dapat memudahkan peneliti dan pembaca untuk memahami apa yang terjadi dalam latar penelitian. Tahap terakhir yang dilakukan dalam analisis data kualitatif menurut Miles and Huberman adalah penarikan kesimpulan (Conclusion: drawing/verifying). Penarikan kesimpulan bertujuan untuk menjawab masalah penelitian yang telah ditentukan pada awal penelitian. Masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan dapat berkembang setelah penelitian berada di lapangan. Menurut Sugiyono (2009:247), komponen analisis data sebagai berikut:
Data collection
Data reduction
Data display
Conclusions darawing/verifying
Gambar: 2. Komponen Analisis data (interactive model) HASIL DAN PEMBAHASAN Pemahaman Standar Kompetensi Guru Pemahaman standar kompetensi guru yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial terhadap guru sertifikasi di SMK Pelita Salatiga, sebagaimana dituangkan dalam Tabel 1, menunjukkan bahwa pemahaman guru sertifikasi terhadap standar kompetensi guru menurut guru sertifikasi, kepala sekolah, dan guru di SMK Pelita Salatiga. Menurut guru sertifikasi terhadap pemahaman standar kompetensi guru, diperoleh bahwa guru sertifikasi memahami keempat kompetensi yang ada didalam standar kompetensi guru, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. [ 658 ] P a g e
Dampak Sertifikasi Guru… (Imanuel Sri Murdadi & Entri Sulistari)
Kepala sekolah mengemukakan bahwa pemahaman guru sertifikasi terhadap standar kompetensi guru, masih ada guru sertifikasi yang kurang memahami dan memahami standar kompetensi guru, kebanyakan guru sertifikasi hanya memahami kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, namun pada kompetensi profesional dan kompetensi sosial guru sertifikasi masih kurang memahami kompetensi tersebut. Sedangkan guru SMK Pelita Salatiga melihat pemahaman guru sertifikasi terhadap kompetensi guru, menyebutkan bahwa indikator kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial, hanya pada kompetensi kepribadian yang memahami setiap indikator. Berdasarkan temuan ini menunjukkan bahwa pendapat antara oleh guru sertifikasi, kepala sekolah dan guru di SMK Pelita Salatiga terhadap pemahaman yang berbeda. Tabel 1. Pemahaman guru sertifikasi terhadap standar kompetensi guru, menurut guru sertifikasi, kepala sekolah dan guru SMK Pelita Salatiga Standar Kompetensi Guru No Kepala Sekolah Guru Guru Sertifikasi 1. Kompetensi Pedagogik Memahami Memahami Kurang Memahami 2. Kompetensi Memahami Memahami Memahami Kepribadian 3. Kompetensi Profesional Memahami Kurang Kurang Memahami Memahami 4. Kompetensi Sosial Memahami Kurang Kurang Memahami Memahami Kompetensi Profesional Hasil wawancara dengan 10 guru sertifikasi diperoleh kebanyakan guru sertifikasi di SMK Pelita mampu menguasai dan melaksanakan peningkatan kompetensi professional. Hal ini dilakukan dengan dalam pembelajaran dengan power point dan peragaan sehingga siswa tidak jenuh saat diajar dengan metode ceramah terus. Dalam mengembangkan keprofesionalan secara kreatif dan berkelanjutan saya berusaha terus belajar dari media audio, visual dan perkembangan teknologi sehingga pembelajaran yang saya terapkan tidak monoton”. “Dalam proses belajar mengajar juga sering menggunakan fasilitas sekolah yang berhubungan dengan teknologi informasi seperti LCD dalam menerangkan materi, dan menggunakan wifi sekolah untuk mencari materi dalam kaitannya pengembangan materi. Pemanfaatan teknologi informasi memang sudah seharusnya untuk mengembangkan dan meningkatkan penguasaan pembelajaran yang ada, karena hal tersebut membantu untuk cara penyampaian pembelajaran yang bervariasi dan bisa mengembangkan materi yang disesuaikan dengan situasi perkembangan pendidikan saat ini. “Setelah adanya sertifikasi guru, merasa sudah meningkatkan kemampuan kompetensi profesional, seperti penguasaan materi dan metode pembelajaran sudah saya kuasai dalam proses belajar mengajar, sehingga siswa yang saya ajar mengerti dan situasi P a g e [ 659 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 kelas juga saya kendalikan dalam artian siswa tidak bosan atau tidak mainan sendiri saat saya mengajar.” Kebanyakan guru sertifikasi menyampaikan bahwa mampu melaksanakan dan memahami indikator di dalam kompetensi profesional yang mencakup penguasaan materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu. Keprofesionalan Guru secara berkelanjutan juga mampu dikembangkan dengan melakukan tindakan reflektif. Mampu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri dalam kaitannya sebagai guru. Menurut kepala sekolah pemahaman dan pelaksanaan guru sertifikasi tentang peningkatan kompetensi profesional. Masih banyak guru bahkan semua guru masih menyuruh siswa mencatat materi di papan tulis, hal tersebut memang tidak efektif dan kurang efisien jika dilihat guru tersebut sudah menjadi guru sertifikasi, karena guru sertifikasi dituntut profesional. Cara guru sertifikasi mengajar juga masih monoton dan masih sama seperti sebelum menjadi guru sertifikasi.” Menurut Guru SMK Pelita Salatiga, guru sertifikasi: pemahaman dan pelaksanaan yang berkaitan dengan peningkatan kompetensi professional menunjukkan masih banyak guru sertifikasi yang kurang optimal. Perbedaan guru sertifikasi dengan guru yang belum sertifikasi adalah masih banyaknya guru sertifikasi yang kurang meningkatkan pembelajarannya, tetapi ada juga guru sertifikasi yang benar-benar meningkatkan pembelajaran setelah menjadi guru sertifikasi. Pemanfaatan teknologi dalam pengembangan pembelajaran di kalangan guru sertifikasi masih banyak yang kurang paham mengoperasikan teknologi seperti pengoperasian computer, kadang menyuruh guru lain untuk menyelesaikan pekerjaan tugasnya. Pendapat kepala sekolah dan guru di SMK Pelita Salatiga berbeda jauh dengan penjelasan dari guru sertifikasi terhadap penguasaan dan pelaksanaan guru sertifikasi tentang peningkatan kompetensi profesional. Secara umum guru sertifikasi di SMK Pelita Salatiga masih belum ada upaya peningkatan kompetensi profesional. Pembahasan Standar Kompetensi Guru Hasil penelitian awal menunjukkan pemahaman guru sertifikasi terhadap standar kompetensi guru menurut guru sertifikasi, kepala sekolah, dan guru di SMK Pelita Salatiga. Menurut guru sertifikasi terhadap pemahaman standar kompetensi guru, dikatakan bahwa guru sertifikasi memahami keempat kompetensi yang ada di dalam standar kompetensi guru. Sedangkan kepala sekolah mengemukakan bahwa guru sertifikasi terhadap standar kompetensi guru, masih adanya guru sertifikasi yang kurang memahami dan memahami standar kompetensi guru. Guru sertifikasi hanya memahami kompetensi pedagogik dan kompetensi kepribadian, sedangkan kompetensi profesional dan kompetensi sosial guru sertifikasi kurang memahami. Berdasarkan tinjauan oleh [ 660 ] P a g e
Dampak Sertifikasi Guru… (Imanuel Sri Murdadi & Entri Sulistari)
guru sertifikasi, kepala sekolah dan guru di SMK Pelita Salatiga terhadap pemahaman standar kompetensi guru oleh guru sertifikasi, menunjukkan bahwa masih adanya guru sertifikasi yang kurang memahami. Kompetensi Profesional Kompetensi profesional merupakan salah satu kompetensi pada standar kompetensi guru, di dalam kompetensi profesional terdapat 5 indikator yang harus di pahami dan dikuasai seorang guru. Hasil penelitian yang berkaitan dengan penguasaan dan pelaksanaan kompetensi profesional oleh guru sertifikasi dilihat dari pandangan guru sertifikasi, mampu menguasai dan melaksanakan setiap indikator dalam kompetensi profesional. Namun menurut kepala sekolah, dan guru SMK Pelita Salatiga berbeda jauh dengan pandangan guru sertifikasi itu sendiri yang menjelaskan bahwa guru sertifikasi kurang menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu.. Sebagai guru juga harus menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu sebagai seorang guru sertifikasi tetapi nyatanya guru sertifikasi belum mampu menjalankan hal tersebut. Kurang mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif karena cara pembelajarannya masih monoton. Guru sertifikasi juga masih kurang memahami tentang pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri dalam kaitannya sebagai guru, karena masih adanya guru sertifikasi yang kurang menguasai teknologi khususnya komputer. Pada dasarnya guru sertifikasi masih sama seperti guru yang belum menjadi guru sertifikasi. Penguasaan dan pelaksanaan kompetensi profesional bisa jadi sebagai tolak ukur dalam kegiatan pengembangan profesi, baik yang berkaitan dengan usaha penyelenggaraan lembaga pendidikan maupun kegiatan pembelajaran di sekolah. “Menurut pandangan Zamroni ( 2007:2) dikatakan bahwa peningkatan mutu sekolah adalah suatu proses yang sistematis yang terus menerus meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dan faktor-faktor yang berkaitan dengan itu, dengan tujuan agar menjadi target sekolah dapat dicapai dengan lebih efektif dan efisien” Berkaitan dengan hal tersebut, guru dituntut mampu meningkatkan penguasaan yang berkaitan dengan faktor-faktor peningkatan pembelajaran di sekolah. Guru sertifikasi mendapat tunjangan gaji yang berlipat dan sangat menyejahterakan guru yang bersangkutan. Tujuan sertifikasi juga untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi dalam kenyataannya pembelajaran yang diberikan oleh guru sertifikasi masih sama seperti sebelum menjadi guru bersertifikasi, sehingga mutu pembelajaran dan peningkatan kompetensi profesional kurang meningkat. “Harus kita akui dengan jujur bahwa guru mengikuti sertifikasi karena motivasi untuk meningkatkan pendapatan. Sementara esensi peningkatan kualitas cenderung diabaikan (Akhmad Sudrajat, 2008). Guru sertifikasi harusnya lebih meningkatkan penguasaan standar kompetensi guru khususnya kompetensi profesional serta kualitas pendidikan, dengan adanya peningkatan tunjangan yang diterima oleh guru sertifikasi. P a g e [ 661 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa guru sertifikasi tidak berdampak pada peningkatan kompetensi profesional di kalangan guru SMK Pelita Salatiga, kualitas pendidikan dalam kaitannya kompetensi profesional masih tetap seperti sebelum adanya guru sertifikasi. Berdasarkan temuan tersebut dapat disarankan bahwa kepala sekolah selalu meningkatkan pengawasan guru sertifikasi haruslah untuk mengetahui kinerja guru sertifikasi dalam kaitanya bagi peningkatan mutu pendidikan dengan cara kepala sekolah merancang dan mengembangkan program yang tepat untuk guru. Bagi peneliti selanjutnya bisa meneliti tentang peningkatan proses dan kualitas pendidikan yang bersangkutan dengan sertifikasi terhadap peningkatan standar kompetensi guru SMK di kota Salatiga. Dengan demikian bisa membandingkan kualitas pendidikan dalam kaitannya peningkatan pemahaman standar kompetensi guru SMK di kota Salatiga. DAFTAR PUSTAKA A Chaedar Alwasilah, 2011, Pokoknya Kualitatif, Pustaka Jaya Jakarta Dadang suhardan, 2010, supervisi profesional, Alfabeta, Bandung Data Administrasi SMK Pelita Salatiga Djam’an Satosi & Aan Komariah, 2011, Metodologi Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/05/peningkatan-mutu-pembelajarandi-sekolah/ 27 Agustus 2012 http://subagio-subagio.blogspot.com/2010/02/peningkatan-mutu-pembelajarandi.html/30 september 2012 http://www.m-edukasi.web.id/2012/06/kompetensi-profesional-guru.html 2013
//15 mei
Lembaga Penelitian Semeru, 2010, Pelaksanaan Sertifikasi Guru dalam Jabatan 2007: Studi Kasus di Provinsi Jambi, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat, Jakarta Lexy J. Moeleong, 2011, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosdakarya, Bandung Marselus Payong, 2011, Sertifikasi Profesi Guru, Indeks, Jakarta Mulyasa, 2007, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Rosdakarya, Bandung Suara Merdeka,Guru Tolak Uji Kompetensi, Kamis 12 Januari 2012 Sugiyono, 2010, Metode Penelitian Pendidikan, Alfabeta, Bandung www.kompas.com, Sertifikasi Belum Memuaskan, Rabu 15 Agustus 2012 Yayasan Pendidikan Pelita,2009 ,Surat Keputusan Pembagian Tugas Guru Dalam Kegiatan Proses Belajar Mengajar Bimbingan Dan Penyuluhan Dan Karyawan, SMK Pelita Salatiga
[ 662 ] P a g e
Profesionalisme Guru…(Ni’matush Sholikhah & Hendry Cahyono)
PROFESIONALISME GURU: BELAJAR SEUMUR HIDUP UNTUK MENGAJAR SEUMUR HIDUP Ni’matush Sholikhah & Hendry Cahyono Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Sumber daya manusia yang profesional di suatu negara tidak terlepas dari peranan tenaga pendidik, terutama guru yang profesional. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui cara meningkatkan profesionalisme guru sebagai seorang pendidik di Indonesia, berkaca dengan konsep pendidikan di Finlandia sebagai negara terbaik dalam pengelolaan pendidikan menurut penilaian Internasional PISA. Penelitian ini menggunakan metode kajian literatur. Artikel ini menyimpulkan bahwa program peningkatan profesionalisme guru dapat dilakukan melalui standardisasi proses pengajaran calon pendidik di tingkat universitas atau LPTK, menjadikan guru berbasis penelitian, serta mengadakan pendidikan dan pelatihan guru secara kontinyu. Semua kegiatan program peningkatan profesionalisme guru tersebut harus didukung penuh dari pemerintah pusat maupun daerah. Kata Kunci: program peningkatan profesionalisme guru
PENDAHULUAN Dalam menyambut perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan dimulai per 31 Desember 2015, Indonesia dituntut siap menghadapi MEA sebagai sarana untuk lebih mensejahterakan penduduk Indonesia. Perdagangan bebas MEA menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi internasional dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih luas. Yang menjadikan pekerjaan rumah oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas adalah sumberdaya manusia yang dimiliki. Data Human Development Index (HDI) menunjukkan bahwa Indonesia di posisi 108 pada tahun 2013. Hal ini jauh berbeda dengan empat negara ASEAN lainnya, Thailand peringkat 89, Malaysia menempati posisi peringkat 62, Singapura peringkat 9, Brunei Darussalam peringkat 30. Meskipun posisi HDI Indonesia masih di atas Philippines peringkat 117, Vietnam peringkat 121, Laos peringkat 139, Myanmar peringkat 150, dan Cambodia peringkat 136 (UNDP, 2014). Perbedaan yang jauh menjadikan Indonesia harus memperbaiki ketertinggalan sumberdaya manusianya. Perbaikan sumberdaya manusia di suatu negara tidak terlepas dari peranan tenaga pendidik, terutama guru. Guru mengambil kunci utama dalam mengembangkan dan membentuk kualitas sumberdaya manusia yang baik dan profesional. Sesuai dengan amanah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tentang tujuan negara Indonesia yaitu”.....turut serta dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa,” menjadikan guru sebagai pengemban amanah tersebut.
P a g e [ 663 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas, yang mampu bersanding bahkan bersaing dengan negara maju, diperlukan guru dan tenaga kependidikan profesional (Mulyasa, 2012). Guru dan tenaga kependidikan yang profesional inilah yang merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan suatu negara. Hal ini dikarenakan guru sebagai pilar dalam dunia pendidikan yang harus mencetak generasi penerus bangsa sesuai dengan tujuan pendidikan nasional pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, “Pendidikan nasional mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Guru yang baik adalah guru yang memiliki kompetensi dan profesional dalam bidangnya. Kompetensi diartikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Dalam menjalankan profesi profesionalnya, guru diharapkan memiliki kompetensi di antaranya: 1) kompetensi kognitif, yang merupakan kemampuan dalam bidang intelektual; 2) kompetensi afektif, yang merupakan bentuk kesiapan dan kemampuan guru dalam berbagai hal yang berkaitan dengan tugas profesinya; dan 3) kompetensi perilaku, yang merupakan kemampuan dalam berperilaku baik membimbing maupun mengevaluasi (Adlan dalam Yusuf, 2011). Selanjutnya, kompetensi guru dinyatakan memenuhi standar dan profesional jika guru telah memperoleh sertifikasi. Sertifikasi guru merupakan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sertifikasi diberikan bagi guru dalam jabatan maupun bagi calon guru. Namun, sampai saat ini masih banyak guru yang belum tersertifikasi. Hal ini menandakan masih banyak guru yang belum memiliki standar mutu sebagai seorang pendidik. Di samping itu, masih banyaknya guru yang belum memiliki sertifikat pendidik, menjadikan kesejahteraan guru masih rendah. Dikarenakan, sertifikasi pendidik akan mengantarkan guru mendapatkan penghargaan berupa materi yang diberikan oleh pemerintah. Bila ditelaah lebih jauh, sertifikasi guru tidak hanya berbicara tentang administratif kepegawaian saja, namun merupakan suatu sarana untuk menstandarisasikan kompetensi guru yang profesional, yang nantinya mampu menjadi sumberdaya pendidik yang siap untuk menjadi tenaga pendidik di sekolah-sekolah. Namun, di Indonesia sertifikasi guru hanya sebatas administratif kepegawaian untuk memperoleh kesejahteraan finansial semata. Paradigma inilah yang perlu diubah dan diperbaiki. Berbeda dengan negara Finlandia, yang merupakan negara top skor OECD dalam pengelolaan pendidikan pada tahun 2000 oleh Penilaian Internasional PISA (Sahlberg, [ 664 ] P a g e
Profesionalisme Guru…(Ni’matush Sholikhah & Hendry Cahyono)
2010). Finlandia sangat baik mengelola sumberdaya pendidik khususnya guru. Semua guru di Finlandia diharuskan memiliki gelar Master untuk mengajar di tingkat sekolah dasar (Sahlberg, 2007). Bahkan, guru dianjurkan untuk menambah keprofesionalannya dengan menjalani program doktoral kependidikan. Di samping itu, jam kerja guru hanya di bawah 600 jam per tahun. Sebaliknya di Amerika Serikat, seorang guru pada tingkat yang sama biasanya mencurahkan 1.080 jam untuk mengajar setiap tahunnya (Sahlberg, 2010). Bahkan di Indonesia, guru mencurahkan hampir seluruh jam hidupnya untuk mengajar, yakni 1.152 jam per tahun. Selanjutnya, guru disediakan waktu untuk pengembangan profesional dalam pekan kerja guru (OECD, 2005; Darling-Hammond, 2009). Hal ini memberikan peningkatan kompetensi secara berkala bagi guru-guru di Finlandia. Bahkan, guru melalui pihak sekolah berhak mengajukan materi pengembangan profesinya kepada pihak terkait sesuai dengan kebutuhan guru. Guru di Finlandia merupakan profesi yang bergengsi dan dihormati dengan penghormatan publik yang besar dan penghargaan yang besar (Simola, 2005; Sahlberg, 2007). Hal ini pun dipertegas dengan hasil jajak pendapat yang dilakukan Helsingin Sanotikar tahun 2004 kepada lulusan SMA di Finlandia atas profesi yang diincar, guru menempati posisi unggulan (Sahlberg, 2010). Hal ini dikarenakan profesi guru dalam kacamata para lulusan terbaik sekolah menengah atas, adalah profesi yang independen dengan segala kebijakan otonomi guru dalam melakukan mengajaran di kelas. Hal ini tidak luput dari besarnya anggaran pendidikan yang dikucurkan pemerintah Finlandia. Sistem pendidikan di sana pun dianggap sangat independen dan tidak akan terpengaruh oleh pergantian politik pemerintahan. Hal ini dikarenakan pemerintah menaruh tanggungjawab otonomi bagi delapan universitas di Finlandia yang merupakan satu-satunya organisasi yang berhak mengeluarkan guru lisensi di Finlandia, serta memberikan tanggungjawab otonomi pula pada guru dalam mendidik serta evaluasi terhadap para siswanya (Sahlberg, 2011). Guru dinilai sebagai satu-satunya pihak yang berwenang atas penilaian kemampuan peserta didik daripada pihak eksternal (pemerintah). Pengembangan pendidik yang profesional di Finlandia bertolak belakang dengan yang terjadi di tanah air. Sehingga diperlukan pembenahan yang baik guna meningkatkan sumberdaya pendidik di Indonesia dengan mengadopsi beberapa konsep pendidikan dari negara terbaik dunia ini. Selanjutnya, diperlukan diskusi lebih lanjut tentang bagaimana meningkatkan profesionalisme guru sebagai seorang pendidik di Indonesia, berkaca dengan konsep pendidikan di Finlandia. DUKUNGAN PENUH PEMERINTAH DALAM FINANSIAL UNTUK MENGEMBANGKAN SDM GURU Human Capital adalah sebuah investasi dalam bentuk pengembangan dan pendidikan sumberdaya manusia. Modal sumber daya manusia (human capital) merupakan stok kekayaan pengetahuan yang sangat berharga sehingga setiap negara P a g e [ 665 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 yang memilikinya dapat memajukan kegiatan ekonomi melalui pencapaian tenaga kerja yang produktif (Yustika, 2008:23). Investasi sumberdaya manusia umumnya memerlukan dana yang besar dan berkelanjutan. Namun, hasil dari investasi SDM ini tidak dapat langsung dinikmati dengan rentang waktu yang cepat. Butuh waktu bertahun-tahun bahkan dalam satuan dekade, agar investasi human capital ini dapat dinikmati oleh suatu negara dan berdampak pada peningkatan kualitas SDM. Hampir 98% biaya pendidikan di semua tingkatan jenjang pendidikan di Finlandia adalah ditanggung oleh pemerintah, bukan oleh sumber swasta (NCES, 2007; DarlingHammond, 2009). Hal ini pun, seharusnya menjadi cerminan bagi tanah air untuk lebih memperhatikan dana pendidikan guna meningkatkan investasi modal manusia. Bentuk investasi sumberdaya manusia yang dimaksud di sini adalah investasi dalam program peningkatan profesionalisme guru di Indonesia. Pemerintah diharapkan memberikan dukungan dana dalam program peningkatan profesionalisme guru yang meliputi: 1) dana bagi pendidikan guru di tingkat universitas; 2) dana bagi kompensasi kesejahteraan (gaji) guru yang baik; dan 3) dana bagi program pengembangan dan pelatihan tenaga pendidik (guru) secara kontinu. Pertama, pemerintah dalam membenahi sumberdaya guru, diharuskan memulai dari akar suatu program peningkatan profesionalisme guru, yakni di tingkatan universitas. Dalam artian, pemerintah mendukung penuh pendanaan dalam tahapan pertama pendidikan bagi pendidik (guru) di tingkat universitas atau Lembaga Perguruan Tinggi Keguruan (LPTK) yang telah ditunjuk pemerintah sebelumnya. Dana disediakan mulai dari pengeluaran beasiswa bagi calon mahasiswa di Lembaga Perguruan Tinggi Keguruan (LPTK), proses pendidikan di universitas, sampai penyertifikasian atau pemberian lisensi bagi lulusan guru yang dikeluarkan universitas tersebut. Selanjutnya, guru yang sudah terjun mengajar dan mengabdi bagi negara, wajib diberikan kompensasi kesejahteraan berupa gaji maupun tunjangan yang lainnya sesuai dengan kedudukan guru sebagai profesi penting di suatu negara. Kompensasi kesejahteraan merupakan penghargaan bagi seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan. Nantinya dengan kesejahteraan yang terpenuhi akan membantu individu lebih meningkatkan kesungguhan dalam menjalankan profesi/pekerjaannya. Dengan demikian, dengan dihargainya keprofesionalan seorang pekerja akan membantu pekerja tersebut lebih bersungguh-sungguh dalam menjalankan pekerjaannya, tidak terkecuali bagi profesi guru. Dan terakhir dalam program peningkatan profesionalisme guru, dukungan dana secara berkelanjutan harus dikucurkan bagi program pengembangan dan pelatihan tenaga pendidik (guru). Kebutuhan finansial dalam program pengembangan dan pelatihan tenaga pendidik (guru) setiap tahun wajib dianggarkan pemerintah pusat dan bekerjasama dengan pemerintahan lokal sebagai bagian dari sistem desentralisasi. Sehingga terjadinya keselarasan antara kebutuhan guru melalui program pengembangan dan pelatihan tenaga pendidik dengan pemenuhan kebutuhan tersebut secara finansial oleh pemerintahan lokal di mana sekolah tersebut berada. Hal ini telah dilakukan [ 666 ] P a g e
Profesionalisme Guru…(Ni’matush Sholikhah & Hendry Cahyono)
pemerintahan Finlandia yang mendanai kebutuhan program pengembangan pelatihan dan pendidikan yang diajukan guru/sekolah sesuai dengan kebutuhan mereka (Sahlberg, 2010). Di Finlandia, transisi sistem otorisasi dari pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah melalui sistem desentralisasi terjadi pada tahun 1990-an. Penerapan ini membawa dampak positif di bidang keuangan negara selama krisis ekonomi yang terjadi saat itu dan anggaran publik atas pendidikan pun tidak terkena dampaknya (Aho et al., 2006; Sahlberg, 2007). Dikatakan bahwa hal ini terjadi karena otoritas negara tidak ingin membuat keputusan keuangan yang sulit yang akan memotong anggaran pendidikan di saat ketidakpastian ekonomi yang terjadi yang akan berefek negatif pada sekolah. Namun, dengan pembagian tanggungjawab kepada pemerintahan lokal, pendanaan pendidikan pun bisa diselamatkan. Dan yang terpenting, tingkat korupsi yang sangat rendah menambah andil kesuksesan pendanaan investasi modal manusia ini. UNIVERSITAS SEBAGAI MESIN PENGHASIL GURU YANG PROFESIONAL Universitas merupakan lembaga pendidikan penghasil lulusan tenaga kerja, tidak terkecuali guru. Universitas memegang kendali dalam tugas menjaga kualitas tenaga kerja yang dihasilkan dalam koridor memenuhi standar/kompetensi sesuai dengan pasar bahkan profesional di bidangnya. Dalam menghasilkan lulusan guru yang kompeten dan profesional, universitas diharapkan mampu mengelola dengan baik sistem pendidikannya. Pemerintah sebaiknya menetapkan beberapa universitas yang memenuhi standar dan berizin dalam mencetak lulusan guru yang berlisensi profesional. Hal ini bertujuan untuk menjaga luaran lulusan guru yang kompeten dan profesional sesuai standar yang ditetapkan. Hal ini berkaca dengan sistem di negara Finlandia, yang hanya memberikan izin kepada delapan universitas sebagai penyelenggara pendidikan berlisesensi bagi guru (Sahlberg, 2011). Selanjutnya, universitas diberikan hak otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan bagi guru, namun tetap mengarah pada peraturan pemerintah pusat. Universitas diharapkan sebagai mesin penghasil guru yang profesional, mulai dari perekrutan calon mahasiswa sampai dengan menghasilkan lulusan yang berlisensi/bersertifikasi profesional. Pertama, universitas membuat standar dalam perekrutan bagi calon mahasiswa pendidikan. Standar perekrutan terdapat dua tahapan, tahapan penilaian matrikulasi hasil belajar di SMA serta prestasi sekolah dan tahapan uji kompetensi, bakat dan minat calon mahasiswa. Penggunaan konsep ini sebenarnya sudah diterapkan di universitas negeri Indonesia, namun teruntuk universitas swasta masih belum diterapkan. Oleh sebab itu, standarisasi harus dimiliki oleh setiap universitas/Lembaga Perguruan Tinggi Keguruan. Selanjutnya, di tahapan pembelajaran di universitas, mahasiswa calon guru diharapkan memiliki pengetahuan mendalam tentang 1) wawasan pendidikan dari berbagai perspektif ilmu pedagogik, termasuk psikologi pendidikan dan sosiologi, teori kurikulum, penilaian, kebutuhan khusus seorang pendidik, dll; 2) pengetahuan konten; 3) P a g e [ 667 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 ketrampilan praktek mengajar yang ditekankan rentang waktu satu tahun. Dan terakhir adalah pemberian lisensi bagi mahasiswa yang dinyatakan lulus dalam studinya di LPTK terkait. Pemberian lisensi merupakan kunci lulusan LPTK sebagai tenaga kerja guru yang profesional dan siap untuk bekerja di sekolah. Tahapan-tahapan pada konsep pengajaran bagi mahasiswa calon guru di LPTK ini pada dasarnya juga telah dilakukan oleh para LPTK di Indonesia, namun masih terdapat ketidakjelasan nasib lulusan yang diterbitkan LPTK. Di mana, pengajar lulusan LPTK masih belum memiliki lisensi atau sertifikasi pendidik, namun tetap bekerja. Sertifikasi ditempatkan pada aspek yang terpisah dengan tugas fakultas pendidikan seperti program profesi guru (PPG) yang di luar fakultas. Ditambah lagi para lulusan non kependidikan berhak menjadi guru dengan mengikuti program sertifikasi. Hal ini menjadikan guru hanya sebagai profesi pelarian para tenaga kerja yang tidak tertampung oleh pasar. Dengan standarisasi yang jelas dan sistematika pengajaran di LPTK yang telah disebutkan di atas, diharapkan menjadikan pembenahan dan peningkatan kualitas profesional tenaga kerja guru. Hal ini bercermin dari kualitas standarisasi proses pengajaran calon pendidik di Finlandia, sehingga lulusan guru merasa bahwa mereka bisa benar-benar menguasai pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka pelajari dalam universitas (Sahlberg, 2011). GURU BERBASIS PENELITIAN Westbury et al. (2005) dalam Sahlberg (2007) menyebutkan bahwa mempersiapkan guru berbasis penelitian adalah ide sentral dari perkembangan pendidikan guru di Finlandia. Guru berbasis penelitian adalah guru yang mampu menyelesaikan masalah dalam proses pengajaran, dengan pemecahan masalah meliputi pembuatan siklus perencanaan, tindakan, dan refleksi/evaluasi, dan tindakan ini juga diperkuat oleh seluruh guru pendidikan. Proses ini merupakan model untuk guru dalam merencanakan sistem belajar siswa mereka sendiri, dengan melakukan jenis penelitian dan penyelidikan dalam studi mereka sendiri. Seluruh sistem ini dimaksudkan untuk meningkatkan sistem pembelajaran melalui refleksi terus menerus, evaluasi, dan pemecahan masalah, di tingkat kelas, sekolah, kota, maupun bangsa. Guru belajar cara membuat tantangan kurikulum dan bagaimana mengembangkan serta mengevaluasi kinerja assessment lokal yang melibatkan para siswa dalam penelitian dan penyelidikan guru secara teratur. Fitur pengajaran dan pembelajaran di Finlandia ini mendorong guru dan siswa untuk mencoba ide-ide baru dan metode pengajaran yang baru, mempelajari dan melakukan inovasi, serta menumbuhkan kreativitas di sekolah (Darling & Hammond, 2009). Sehingga, guru berbasis penelitian juga harus ditekankan dalam program peningkatan profesionalisme guru di Indonesia. Konsep guru berbasis penelitian mendorong guru untuk lebih kreatif serta menuntut guru untuk memiliki ruang inovasi yang tinggi dalam menemukan cara-cara baru untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Guru akan mendiagnosa permasalahan yang ada di kelas mereka. Selanjutnya, guru akan [ 668 ] P a g e
Profesionalisme Guru…(Ni’matush Sholikhah & Hendry Cahyono)
terdorong untuk memberikan solusi-solusi atas permasalahan yang dihadapi. Guru akan melakukan refleksi atas solusi yang diberikan melalui penelitian mereka terhadap siswa. Konsep penelitian ini membutuhkan kerja sama seluruh guru yang ada di Indonesia, pihak sekolah bahkan pihak kementerian tingkat nasional. Sehingga kerja sama ini akan memberikan hasil yang optimal atas permasalahan yang terjadi dalam proses pendidikan di Indonesia. PROGRAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN GURU SECARA KONTINU Prinsip belajar sepanjang hayat mensyaratkan bahwa setiap orang memiliki kemampuan belajar yang cukup dan kesempatan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dalam lingkungan belajar yang berbeda sepanjang umur mereka (Darling & Hammond, 2009). Konsep belajar sepanjang hayat inilah yang mengantarkan para guru di Finlandia untuk melakukan program pendidikan dan pelatihan guru. Sehingga, program pendidikan dan pelatihan guru diperlukan untuk mengembangkan keprofesionalan guru di Indonesia. Pendidikan dan pelatihan guru menekankan pembelajaran bagaimana mengajar siswa dengan cara yang berbeda, termasuk mereka yang kebutuhan khusus. Guru akan terlatih baik dalam penggunaan metode penelitian, praktek pedagogis, serta pengetahuan tentang kurikulum. Guru akan bekerja bersama-sama koleganya (guru rumpun) untuk merancang instruksi pembelajaran yang disesuaikan dengan tuntutan standar nasional pendidikan serta kebutuhan siswanya. Sekolah diwajibkan menyediakan waktu untuk kolaborasi reguler antara guru mengenai isu-isu yang terjadi. Seperti yang dilakukan para guru di sekolah Finlandia bertemu di setidaknya satu sore setiap minggu untuk bersamasama merencanakan dan mengembangkan kurikulum. Waktu juga disediakan untuk pengembangan profesional dalam pekan kerja guru (OECD, 2005; Darling & Hammond, 2009). Program pendidikan dan pelatihan guru dilakukan secara berkala dan kontinu. Dalam program pendidikan dan pelatihan, guru atau sekolah (kepala sekolah) berhak menentukan jenis berapa banyak dan apa yang dibutuhkan dari pengembangan profesional dan pemerintahan lokal akan membantu dalam pendanaannya. Lebih dari itu, guru pun diberikan kesempatan untuk melanjutkan pengembangan profesionalnya dengan mengikuti program doktoral. Sehingga, dengan konsep Program pendidikan dan pelatihan guru secara kontinu ini bisa menjadikan guru lebih profesional seiring dengan berkembangnya zaman. SIMPULAN Sumberdaya manusia yang profesional di suatu negara tidak terlepas dari peranan tenaga pendidik, terutama guru yang profesional pula. Program peningkatan profesionalisme guru yang meliputi standarisasi proses pengajaran calon pendidik di tingkat universitas atau LPTK, menjadikan guru berbasis penelitian, serta mengadakan pendidikan dan pelatihan guru secara kontinu. Semua kegiatan program peningkatan P a g e [ 669 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 profesionalisme guru tersebut memerlukan dukungan penuh dari pemerintah pusat maupun daerah. Sehingga dengan konsep program peningkatan profesionalisme guru ini, guru akan belajar seumur hidup untuk mengajar seumur hidup. DAFTAR PUSTAKA Linda Darling & Hammond. (2009). Steady Work: How Finland Is Building a Strong Teaching and Learning System. V.U.E. Summer. Columbia: Teachers College Press. Mulyasa. (2012). Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sahlberg, Pasi. (2007). Education policies for raising student learning: the Finnish approach. Journal of Education Policy, Vol. 22, No. 2, March 2007, pp. 147–171. Sahlberg, Pasi. (2010). The Secret to Finland’s Success: Educating Teachers. Stanford Center for Opportunity Policy in Education Research Brief. California: Stanford University School of Education. Sahlberg, Pasi. (2011). The Professional Educator-Lessons From Finland. American Educator Summer, 34-38. UNDP. (2014). Human Development Report 2014. New York: the United Nations Development Programme. Diakses dari http://hdr.undp.org/en diunduh tanggal 24 April 2015. Yustika, Ahmad Erani. (2008). Ekonomi Kelembagaan Definisi, Teori, dan Strategi. Malang: Bayumedia Publishing. Yusuf, Rusli. (2011). Pendidikan dan Investasi Sosial. Bandung: Penerbit Alfabeta.
[ 670 ] P a g e
Pendidikan Profesi Guru… (Ratna Rosita Pangestika & Fitri Alfarisa)
PENDIDIKAN PROFESI GURU (PPG): STRATEGI PENGEMBANGAN PROFESIONALITAS GURU DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN INDONESIA Ratna Rosita Pangestika & Fitri Alfarisa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
[email protected]
Abstrak Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) muncul karena dampak dari globalisasi. Adanya gelombang globalisasi menyebabkan terjadinya perdagangan bebas dan terbentuk penguatan untuk masing-masing kawasan. Kesepakatan ASEAN Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015 akan menyebabkan terjadinya persaingan bebas dalam bidang perdagangan, pelaku usaha, dan ketenagakerjaan tanpa terkecuali terjadi persaingan bebas bagi pendidik di negara ASEAN. Indonesia sebagai negara yang berada dalam kawasan ASEAN harus mempersiapkan pendidik dalam negeri untuk memiliki profesionalisme yang tinggi dan mampu bersaing dengan asing. Sejauh ini pemerintah telah memiliki berbagai strategi sebagai upaya peningkatan kualitas pendidik (guru) dalam bentuk program pendidikan dan pelatihan serta program non pendidikan. Kenyataannya strategi yang dilakukan oleh Indonesia belum terintegrasi secara baik sehingga diperlukan suatu program khusus profesi yang berfungsi untuk meningkatkan profesionalisme guru yaitu melalui pendidikan profesi guru (PPG). Program PPG yang diupayakan oleh pemerintah akan menghasilkan guruguru profesional yang memiliki kompetensi lulusan tinggi dan mampu berdaya saing dengan asing. Kata kunci: MEA, PPG, Profesionalisme
PENDAHULUAN Kawasan Asia Tenggara memiliki organisasi regional yang bernama ASEAN. ASEAN didirikan pada tahun 1967 dalam Deklarasi Bangkok dengan fokus pada isu keamanan dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara dan disusul dengan Bali Concord I tahun 1976 serta Bali Concord II tahun 2003. Bali Concord I dan II adalah embrio lahirnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Implementasi MEA sudah memasuki tahun akhir dari rencana panjang kesepakatan bersama negara-negara ASEAN dengan tujuan integrasi ekonomi regional pada tahun 2015. MEA ini pada awalnya akan diterapkan secara penuh pada tahun 2020, namun dipercepat menjadi tahun 2015 sesuai dengan kesepakatan dari pemimpin negara-negara anggota ASEAN (Dimulai dari lima negara pendiri, yakni Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura dan Thailand, kini ASEAN terdiri dari sepuluh Negara yang bergabung kemudian, yakni Brunai Darussalam (1984), Vietnam (1995), Myanmar dan Laos (1997), serta Kamboja (1999). Alasan lain adalah adanya penyesuain dengan perkembangan globalisasi internasional yang menuntut ASEAN untuk lebih kompetitif lagi (Triansyah Djani, 2007: 32). MEA ini muncul karena dampak dari globalisasi, dimana dengan adanya gelombang globalisasi akan terjadi perdagangan bebas dan terbentuknya penguatan masing-masing kawasan untuk bersama-sama menghadapi situasi yang serba kompleks P a g e [ 671 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 di dunia internasional dalam bentuk regionalisme. Regionalisme adalah paham atau kecenderungan untuk mengadakan kerjasama yang erat antarnegara di satu kawasan. ASEAN adalah suatu bentuk regionalisme yang mulai diperhitungkan di peraturan politik internasional (Depdiknas, 2005: 940). Kesepakatan ASEAN Community atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tahun 2015 sudah barang tentu akan terjadi persaingan bebas di Asean dalam bidang perdagangan, pelaku usaha, dan ketenagakerjaan. Tanpa terkecuali terjadi persaingan bebas bagi pendidik di negara ASEAN, artinya pendidik asing akan merebut pasar pendidik di dalam negeri apabila Indonesia tidak siap. Berlakunya MEA merupakan tantangan sekaligus peluang bagi pendidik Indonesia yakni jika pendidik di Indonesia kualitasnya rendah sudah barang tentu akan kalah dalam persaingan. MEA ini sebagai realitas sudah semestinya diterima dan dihadapi secara kritis. Indonesia ikut aturan main pasar kawasan regional tersebut, tetapi Indonesia tidak boleh dipermainkan negaranegara lainnya, lebih-lebih jika mengorbankan rakyatnya sebagai komoditas. Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang semakin besar dan kompleks, tiada jalan lain bagi lembaga pendidikan kecuali hanya mengupayakan segala cara untuk meningkatkan daya saing lulusan serta produk-produk akademik dan layanan lainnya, yang antara lain dicapai melalui peningkatan mutu pendidikan. Fasli Jalal (2007: 1) mengatakan bahwa pendidikan yang bermutu sangat bergantung pada keberadaan pendidik yang bermutu yakni pendidik yang profesional, sejahtera dan bermantabat. Oleh karena itu keberadaan pendidik yang bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang bermutu. Salah satu kunci penting dalam membangun kualitas pendidikan adalah guru. Dengan demikian, sangatlah wajar apabila akhir-akhir ini pengakuan dan penghargaan terhadap profesi guru semakin meningkat, yang diawali dengan dilahirkannya Undangundang Nomor 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen, yang segera diikuti dengan peraturan perundang-undangan yang terkait. Guru adalah jabatan profesi sehingga seorang guru harus mampu melaksanakan tugasnya secara profesional. Seseorang dianggap profesional apabila mampu mengerjakan tugas dengan selalu berpegang teguh pada etika profesi, independen, produktif, efektif, efisien dan inovatif serta didasarkan pada prinsip-prinsip pelayanan prima yang didasarkan pada unsur-unsur ilmu atau teori yang sistematis, kewenangan profesional, pengakuan masyarakat, dan kode etik yang regulatif (Sulipan, 2007). Syahwal Gultom (Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Penjamin Mutu Pendidikan, Kemendikdasmen RI) yang dilansir oleh antaranews.com tanggal 27 Desember 2013 mengemukakan bahwa dari sisi kualifikasi pendidikan, hingga saat ini dari 2,92 juta guru, baru sekitar 51% yang berpendidikan S-1 atau lebih, sedangkan sisanya 49% belum berpendidikan S-1. Begitu pun dari persyaratan sertifikasi hanya 2,06 juta guru atau sekitar 70,5% guru yang memenuhi syarat. Sedangkan 861,67 ribu guru lainnya belum memenuhi syarat sertifikasi, yakni sertifikat yang menunjukkan
[ 672 ] P a g e
Pendidikan Profesi Guru… (Ratna Rosita Pangestika & Fitri Alfarisa)
guru tersebut profesional. Dari data tersebut disimpulkan bahwa kualitas guru di Indonesia dinilai dari profesionalitas masih cukup rendah dan perlu ditingkatkan. Dalam pembangunan pendidikan, kualitas guru memiliki pengaruh berantai terhadap komponen pendidikan lainnya, sehingga peningkatan kualitas guru secara nasional merupakan program sangat strategis. Seiring dengan program peningkatan kualitas guru yang dilakukan secara berkelanjutan antara lain melalui sertifikasi guru, uji kompetensi, pelatihan dan penilaian kinerja guru. Permendikbud no 87 tahun 2013 mengemukakan bahwa program Pendidikan Profesi Guru (PPG) merupakan program pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan lulusan S1 kependidikan dan S1/ D IV non kependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru agar menguasai kompetensi guru secara utuh sesuai dengan standar nasional pendidikan sehingga dapat memperoleh sertifikat pendidik profesional pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Dari permasalahan di atas terdapat dua hal pokok yang perlu dianalisis lebih lanjut yakni bagaimana strategi pemerintah dalam meningkatkan profesionalisme guru serta peran PPG dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia untuk menghadapi MEA. Untuk itu program PPG dirasa penting dikembangkan dan diberdayakan terutama bagi LPTK dalam era MEA ini. PEMBAHASAN Kemampuan Profesional Guru Guru merupakan ujung tombak dalam meningkatkan kualitas pendidikan, di mana guru akan melakukan interaksi langsung dengan peserta didik dalam pembelajaran di ruang kelas. Melalui proses belajar dan mengajar inilah berawalnya kualitas pendidikan. Artinya, secara keseluruhan kualitas pendidikan berawal dari kualitas pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru di ruang kelas. Untuk keberhasilan dalam mengemban peran sebagai guru, diperlukan adanya standar kompetensi. Berdasarkan UU RI No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10, menentukan bahwa macam-macam kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Untuk memiliki keempat kompetensi tersebut, guru harus menjadi pendidik yang professional. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (UU RI No. 14 tahun 2005). Kata profesional dapat diartikan sebagai orang yang melaksanakan sebuah profesi dan berpendidikan minimal S1 yang mengikuti pendidikan profesi atau lulus ujian profesi. Guru mempunyai tanggung jawab sangat besar dalam menjalankan peranannya sebagai tenaga pendidik di sekolah. Guna mencapai tujuan pembelajaran yang berkualitas maka peningkatan kompetensi dan profesionalitas guru harus selalu ditingkatkan. Kompetensi guru perlu ditingkatkan secara terprogram, berkelanjutan melalui berbagai sistem pembinaan profesi, sehingga P a g e [ 673 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 dapat meningkatkan kemampuan guru tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan peran strategis guru terutama dalam pembentukan watak siswa melalui pengembangan kepribadian di dalam proses pembelajaran di sekolah. Kunandar (2007: 45) menyebutkan bahwa profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau ditekuni oleh seseorang. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian. Menurut Uzer Usman (2006: 19), profesionalisme guru secara spesifik dapat dilihat dari indikator- indikator sebagai berikut: 1. Menguasai landasan pendidikan, yaitu mengenal tujuan pendidikan, mengenal fungsi sekolah dan masyarakat, serta mengenal prinsip-prinsip psikologi pendidikan. 2. Menguasai bahan pengajaran, yaitu menguasai bahan pengajaran kurikulum pendidikan dasar dan menengah, menguasai bahan penghayatan. 3. Menyusun program pengajaran, yaitu menetapkan tujuan pembelajaran, memilih dan mengembangkan bahan pengajaran, memilih dan mengembangkan strategi belajar mengajar, memilih media pembelajaran yang sesuai, memilih dan memanfaatkan sumber belajar, melaksanakan program pengajaran, menciptakan iklim belajar mengajar yang tepat, mengatur ruangan belajar, mengelola interaksi belajar mengajar. 4. Menilai hasil dan proses pembelajaran yang telah dilaksanakan Menurut E. Mulyasa (2007: 135-136), ruang lingkup profesionalisme guru ditunjukkan oleh beberapa indikator. Secara garis besar indikator yang dimaksud adalah: 1. Kemampuan dalam memahami dan menerapkan landasan kependidikan dan teori belajar siswa; 2. Kemampuan dalam proses pembelajaran seperti pengembangan bidang studi, menerapkan metode pembelajaran secara variatif, mengembangkan dan menggunakan media, alat dan sumber dalam pembelajaran, 3. Kemampuan dalam mengorganisasikan program pembelajaran, dan Kemampuan dalam evaluasi dan menumbuhkan kepribadian peserta didik. Menurut Depdiknas (2005: 18-19) untuk menjadi pendidik haruslah memenuhi standar pendidik dan tenaga pendidik seperti yang tertuang dalam Pasal 28 Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan yang isinya sebagai berikut: 1. Ayat (1): Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. 2. Ayat (2): Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundangundangan yang berlaku. [ 674 ] P a g e
Pendidikan Profesi Guru… (Ratna Rosita Pangestika & Fitri Alfarisa)
3. Ayat (3): Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidik anak usia dini meliputi: (a) kompetensi pedagogik; (b) kompetensi kepribadian, (c) kompetensi profesional, dan (d) kompetensi sosial. 4. Ayat (4): Seseorang yang tidak memiliki ijazah dan/atau sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud ayat (2) tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi pendidik setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan. 5. Ayat (5): Kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (4) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan profesionalisme guru adalah kemampuan yang harus dimiliki sebagai dasar dalam melaksanakan tugas profesional yang bersumber dari pendidikan dan pengalaman yang diperoleh. Kompetensi profesional tersebut berupa kemampuan dalam memahami landasan kependidikan, kemampuan merencanakan proses pembelajaran, kemampuan melaksanakan proses pembelajaran, dan kemampuan mengevaluasi proses pembelajaran. Strategi Peningkatan Profesionalisme Guru di Indonesia Penghujung tahun 2015 negara-negara yang tergabung dalam 10 anggota ASEAN mulai memasuki era MEA. Indonesia yang merupakan salah satu anggota negara ASEAN juga dituntut untuk memiliki daya saing yang tinggi. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan kualitas SDM nya yaitu melalui jalur pendidikan. Pendidikan merupakan sektor utama yang menjadi tulang punggung dalam mencetak generasi yang cerdas dan berdaya saing. Ada beberapa strategi yang sejauh ini telah dikembangkan oleh pemerintah Indonesia menurut Dian Mahsunah (2012: 19) antara lain: Pendidikan dan Pelatihan 1. In-house training (IHT). Pelatihan dalam bentuk IHT adalah pelatihan yang dilaksanakan secara internal di KKG/MGMP, sekolah atau tempat lain yang ditetapkan untuk menyelenggarakan pelatihan. Strategi pembinaan melalui IHT dilakukan berdasarkan pemikiran bahwa sebagian kemampuan dalam meningkatkan kompetensi dan karir guru tidak harus dilakukan secara eksternal, tetapi dapat dilakukan oleh guru yang memiliki kompetensi kepada guru lain yang belum memiliki kompetensi. Dengan strategi ini diharapkan dapat lebih menghemat waktu dan biaya. 2. Program magang. Program magang adalah pelatihan yang dilaksanakan di institusi/industri yang relevan dalam rangka meningkatkan kompetensi professional guru. Program magang ini terutama diperuntukkan bagi guru kejuruan dan dapat dilakukan selama periode tertentu, misalnya, magang di industri otomotif dan yang sejenisnya. Program magang dipilih sebagai alternatif pembinaan dengan alasan P a g e [ 675 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 bahwa keterampilan tertentu khususnya bagi guru-guru sekolah kejuruan memerlukan pengalaman nyata. 3. Kemitraan sekolah. Pelatihan melalui kemitraan sekolah dapat dilaksanakan bekerjasama dengan institusi pemerintah atau swasta dalam keahlian tertentu. Pelaksanaannya dapat dilakukan di sekolah atau di tempat mitra sekolah. Pembinaan melalui mitra sekolah diperlukan dengan alasan bahwa beberapa keunikan atau kelebihan yang dimiliki mitra dapat dimanfaatkan oleh guru yang mengikuti pelatihan untuk meningkatkan kompetensi profesionalnya. 4. Belajar jarak jauh. Pelatihan melalui belajar jarak jauh dapat dilaksanakan tanpa menghadirkan instruktur dan peserta pelatihan dalam satu tempat tertentu, melainkan dengan sistem pelatihan melalui internet dan sejenisnya. Pembinaan melalui belajar jarak jauh dilakukan dengan pertimbangan bahwa tidak semua guru terutama di daerah terpencil dapat mengikuti pelatihan di tempat-tempat pembinaan yang ditunjuk seperti di ibu kota kabupaten atau di propinsi. 5. Pelatihan berjenjang dan pelatihan khusus. Pelatihan jenis ini dilaksanakan di P4TK dan atau LPMP dan lembaga lain yang diberi wewenang, di mana program pelatihan disusun secara berjenjang mulai dari jenjang dasar, menengah, lanjut dan tinggi. Jenjang pelatihan disusun berdasarkan tingkat kesulitan dan jenis kompetensi. Pelatihan khusus (spesialisasi) disediakan berdasarkan kebutuhan khusus atau disebabkan adanya perkembangan baru dalam keilmuan tertentu. 6. Kursus singkat di LPTK atau lembaga pendidikan lainnya. Kursus singkat di LPTK atau lembaga pendidikan lainnya dimaksudkan untuk melatih meningkatkan kompetensi guru dalam beberapa kemampuan seperti melakukan penelitian tindakan kelas, menyusun karya ilmiah, merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran, dan lain-lain sebagainya. 7. Pembinaan internal oleh sekolah. Pembinaan internal ini dilaksanakan oleh kepala sekolah dan guru-guru yang memiliki kewenangan membina, melalui rapat dinas, rotasi tugas mengajar, pemberian tugas-tugas internal tambahan, diskusi dengan rekan sejawat dan sejenisnya. 8. Pendidikan lanjut. Pembinaan profesi guru melalui pendidikan lanjut juga merupakan alternatif bagi pembinaan profesi guru di masa mendatang. Pengikutsertaan guru dalam pendidikan lanjut ini dapat dilaksanakan dengan memberikan tugas belajar, baik di dalam maupun di luar negeri, bagi guru yang berprestasi. Pelaksanaan pendidikan lanjut ini akan menghasilkan guru-guru pembina yang dapat membantu guru-guru lain dalam upaya pengembangan profesi. Kegiatan Selain Pendidikan dan Pelatihan 1. Diskusi masalah pendidikan. Diskusi ini diselenggarakan secara berkala dengan topik sesuai dengan masalah yang di alami di sekolah. Melalui diskusi berkala diharapkan para guru dapat memecahkan masalah yang dihadapi berkaitan dengan proses pembelajaran di sekolah ataupun masalah peningkatan kompetensi dan pengembangan karirnya. [ 676 ] P a g e
Pendidikan Profesi Guru… (Ratna Rosita Pangestika & Fitri Alfarisa)
2. Seminar. Pengikutsertaan guru di dalam kegiatan seminar dan pembinaan publikasi ilmiah juga dapat menjadi model pembinaan berkelanjutan profesi guru dalam meningkatkan kompetensi guru. Melalui kegiatan ini memberikan peluang kepada guru untuk berinteraksi secara ilmiah dengan kolega seprofesinya berkaitan dengan hal-hal terkini dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. 3. Workshop. Workshop dilakukan untuk menghasilkan produk yang bermanfaat bagi pembelajaran, peningkatan kompetensi maupun pengembangan karirnya. Workshop dapat dilakukan misalnya dalam kegiatan menyusun KTSP, analisis kurikulum, pengembangan silabus, penulisan RPP, dan sebagainya. 4. Penelitian. Penelitian dapat dilakukan guru dalam bentuk penelitian tindakan kelas, penelitian eksperimen ataupun jenis yang lain dalam rangka peningkatan mutu pembelajaran. 5. Penulisan buku/bahan ajar. Bahan ajar yang ditulis guru dapat berbentuk diktat, buku pelajaran ataupun buku dalam bidang pendidikan. 6. Pembuatan media pembelajaran. Media pembelajaran yang dibuat guru dapat berbentuk alat peraga, alat praktikum sederhana, maupun bahan ajar elektronik (animasi pembelajaran). 7. Pembuatan karya teknologi/karya seni. Karya teknologi/seni yang dibuat guru dapat berupa karya teknologi yang bermanfaat untuk masyarakat dan atau pendidikan dan karya seni yang memiliki nilai estetika yang diakui oleh masyarakat. Dengan program yang dilakukan pemerintah Indonesia di atas guru juga harus lebih berdaya untuk peningkatan dirinya secara swadaya, terutama bagi mereka yang telah menerima tunjangan profesi. Keadaan tersebut dapat didukung oleh sekolah dengan melaksanakan pelatihan-pelatihan secara mandiri. Sekolah dapat mendesain sendiri program-program pelatihan yang menjadi kebutuhan guru. Sikap, kemampuan dan kemauan guru untuk melakukan perubahan merupakan sebuah modal besar untuk peningkatan dirinya. Peran PPG (Pendidikan Profesi Guru) Pendidikan Profesi merupakan program pendidikan tinggi yang dilaksanakan setelah program sarjana dan mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Program Pendidikan Profesi Guru sendiri merupakan program pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan lulusan S1 Kependidikan dan S1/DIV non-kependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru agar menguasai kompetensi guru secara utuh sesuai dengan standar nasional pendidikan sehingga dapat memperoleh sertifikat pendidik profesional pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan menengah. Program PPG didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No 87 tahun 2013. Dalam pasal 2 Permendikbud RI No 87 tahun 2013 dipaparkan tujuan Program PPG adalah (a). untuk menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran; (b). menindaklanjuti P a g e [ 677 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 hasil penilaian dengan melakukan pembimbingan, dan pelatihan peserta didik; dan (c). mampu melakukan penelitian dan mengembangkan profesionalitas secara berkelanjutan. Sementara itu, Program PPG diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang memenuhi persyaratan dan ditetapkan oleh Menteri. Ada 45 Universitas dari 27 Provinsi di Indonesia yang menyelenggarakan program PPG. Berikut adalah daftar perguruan tinggi di Indonesia yang menyelenggarakan program PPG:
No 1.
2.
3.
4.
5.
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. [ 678 ] P a g e
Tabel 1. Daftar Perguruan Tinggi Penyelenggara PPG Provinsi Perguruan Tinggi DKI Jakarta Universitas Negeri Jakarta Universitas Muhammadiyah Prof Hamka Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia Universitas Pakuan Bogor Universitas Pasundan Jawa Tengah Universitas Negeri Semarang Universitas Sebelas Maret UKS Salatiga Unmuh Purwokerto Unmuh Surakarta DIY Universitas Negeri Yogyakarta Universitas PGRI Yogyakara Universitas Sanata Dharma Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Jawa Timur Universitas Jember Universitas Negeri Malang Universitas Negeri Surabaya IKIP PGRI Madiun Universitas Muhammadiyah Malang Unipa Surabaya Sumatra Utara Universitas Negeri Medan Sumatra Barat Universitas Negeri Padang Sumatra Selatan Universitas Sriwijaya Riau Universitas Riau Jambi Universitas Jambi Lampung Universitas Negeri Lampung Bengkulu Universitas Bengkulu Sulawesi Utara Universitas Negeri Manado Sulawesi Tenggara Universitas Halueleo Sulawesi Selatan Universitas Negeri Makasar Unmuh Makasar
Pendidikan Profesi Guru… (Ratna Rosita Pangestika & Fitri Alfarisa)
No 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Provinsi Gorontalo Sulawesi Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Tengah Kalimantan Barat Bali NTB
24. 25. 26. 27.
NTT Ambon Papua NAD
Perguruan Tinggi Universitas Gorontalo Universitas Tadulako Universits Lambung Mangkurat Universitas Mulawarman Universitas Palangkaraya Universitas Tanjungpura Universitas Pendidikan Ganesha Universitas Mataram STKIP Hamzanwadi Selong Universitas Nusa Cendana Universitas Pattimura Universitas Cendrawasih Universitas Syah Kuala Universitas Al-Muslim Bireuen
Sumber: www.sekolahdasar.net Struktur kurikulum program PPG berisi lokakarya pengembangan perangkat pembelajaran, latihan mengajar melalui pembelajaran mikro, pembelajaran pada teman sejawat, dan Program Pengalaman Lapangan (PPL), serta program pengayaan bidang studi dan pedagogik. Sistem pembelajaran pada program PPG mencakup lokakarya pengembangan perangkat pembelajaran dan program pengalaman lapangan yang diselenggarakan dengan pemantauan langsung secara intensif oleh dosen pembimbing dan guru pamong yang ditugaskan khusus untuk kegiatan tersebut. Lokakarya pengembangan perangkat pembelajaran dan program pengalaman lapangan dilaksanakan dengan berorientasi pada pencapaian kompetensi merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, menindaklanjuti hasil penilaian, serta melakukan pembimbingan dan pelatihan. Proses rekruitmen program PPG dapat diikuti oleh lulusan sarjana kependidikan dan non kependidikan. LPTK sebagai lembaga penyelenggara PPG mensyaratkan adanya tes masuk bagi calon mahasiswa baru. Bagi lulusan S1 kependidikan yang telah lolos tes dapat langsung mengikuti program PPG tanpa melalui program matrikulasi. Sementara itu, untuk lulusan dari non kependidikan mereka diwajibkan untuk mengikuti matrikulasi sebelum mengikuti program PPG. Dalam pelaksanaan program PPG harus ada pembinaan oleh dosen secara terintegrasi dan pelaksanaan program berbasis lokakarya. Sistem pembelajaran program PPG meliputi workshop, praktek pengalaman lapangan (PPL) dan uji kompetensi. Prosentase yang ditetapkan untuk masing-masing unit adalah: 1. Workshop: merupakan pembelajaran berbentuk lokakarya yang bertujuan untuk menyiapkan peserta program PPG agar mampu mengemas materi untuk pembelajaran bidang studi, sehingga peserta PPG siap melaksanakan PPL kependidikan. Adapun produk workshop meliputi pembuatan: silabus dan RPP, P a g e [ 679 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 lembar kerja siswa, bahan ajar, media pembelajaran, perangkat penilaian (kisi-kisi, instrument, rubric dan kunci jawaban), dan proposal penelitian tindakan kelas (PTK). Penilaian kegiatan workshop meliputi: a. Penilaian dilakukan secara berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan PAP b. Penilaian meliputi penilaian proses dan produk c. Hasil evaluasi dinyatakan dalam bentuk angka/huruf atas dasar persentase pencapaian kompetensi (30%) S1 Dik
S1 Non Dik
TES ZS
TES
PROGRAM PPG (Terintegrasi)
Workshop (30%)
PPL (40%)
Matrikulasi
Uji Kompetensi (40%)
Calon Guru Profesional (80%) Gambar 1. Model Penyelenggaraan PPG (Anik Gufron, 2010)
2. Praktik Pengalaman Lapangan (PPL): merupakan kegiatan praktik belajar mengajar di kelas dengan pemantauan langsung secara intensif oleh dosen yang ditugaskan khusus dan dinilai secara objektif dan transparan. Adapaun kegiatan PPL ini meliputi tahap pengenalan lapangan, mikro dan makro teaching, latihan mengajar terbimbing dan latihan mengajar mandiri. Penilaian kegiatan PPL meliputi: a. Penilaian selama kegiatan PPL terdiri atas penilaian proses dan produk. b. Penilain proses dan produk dilakukan oleh dosen dan guru pembimbing c. Bobot kelulusan PPL sebesar (40%) 3. Uji Kompetensi: a. Ujian kompetensi terdiri atas ujian tulis dan ujian kinerja. b. Ujian ini ditempuh setelah mahasiswa lolos dalam kegiatan workshop dan PPL c. Ujian tulis dilaksanakan oleh prodi penyelenggara sedangkan ujian kinerja dilaksanakan oleh prodi dengan melibatkan organisasi profesi dan atau pihak eksternal yang professional atau relevan [ 680 ] P a g e
Pendidikan Profesi Guru… (Ratna Rosita Pangestika & Fitri Alfarisa)
d. Mahasiswa yang lulus uji kompetensi memperoleh sertifikat pendidik yang dikeluarkan oleh LPTK e. Bobot kelulusan uji kompetensi adalah (30%) Dari ketiga indikator di atas, mahasiswa dinyatakan lulus program PPG apabila mencapai minimal kelulusan (80%). Bagi mahasiswa yang hasil evaluasinya masih di bawah kriteria minimal diberi kesempatan latihan tambahan sampai mencapai nilai minimal. Adapun ketentuan-ketentuan dalam PPG antara lain, sebagai berikut: 1. Program PPG diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang memenuhi persyaratan dan ditetapkan oleh Menteri; 2. Penetapan LPTK sebagai penyelenggara program PPG didasarkan atas hasil evaluasi yang dilakukan secara objektif dan komprehensif, penetapan LPTK sebagai penyelenggara program PPG oleh Menteri berlaku untuk kurun waktu 3 tahun, 3. LPTK penyelenggara program PPG dievaluasi secara berkala oleh tim yang ditugaskan Direktur Jenderal. 4. Adapun beban belajar yang harus dipenuhi peserta PPG adalah, sebagai berikut: Tabel 2. Jumlah SKS untuk masing-masing jenjang Lulusan Jenjang Kependidikan Non Kependidikan TK/RA/PAUD 18-20 SKS 36-40 SKS SD/MI/SDLB 18-20 SKS 36-40 SKS SMP 36-40 SKS 36-40 SKS SMA 36-40 SKS 36-40 SKS Sumber: Permendikbud RI No. 87 tahun 2013 Kompetensi Lulusan PPG (Pendidikan Profesi Guru) Tuntutan kualitas LPTK semakin diperkuat dengan adanya program profesi guru (PPG). LPTK memiliki peran sentral dalam peningkatan kualitas guru. LPTK dituntut untuk memahami pengembangan profesi guru sebagai upaya pembinaan guru dalam konteks pembekalan kompetensi sosial dan kepribadian. Pengembangan profesi, kompetensi dan sertifikasi merupakan mata rantai dalam upaya peningkatan kualitas guru sudah diamanatkan dalam UU no. 14 tahun 2005. Berikut ini merupakan lulusan PPG yang diharapkan mampu menghadapi MEA 2015: 1. Kemampuan menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik mencapai standar kompetensi 2. Menguasai ilmu pendidikan, perkembangan dan membimbing peserta didik 3. Menguasai pembelajaran bidang studi: belajar dan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, perencanaan pembelajaran, media pembelajaran, penelitian bagi peningkatan pembelajaran bidang studi. 4. Mampu melaksanakan praktek pembelajaran bidang studi P a g e [ 681 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 5. Memiliki integritas kepribadian yang meliputi aspek fisik-motorik, intelektual, sosial, konatif dan afektif 6. Kompetensi sosial merupakan kemampuan dalam menjalin hubungan sosial secara langsung maupun menggunakan media di sekolah dan luar sekolah. Dalam upaya mewujudkan Guru Profesional, ada beberapa poin yang perlu diperhatikan, antara lain: 1. Mematuhi segala peraturan yang diamanatkan oleh Undang-Undang profesi guru dan konsisten terhadap standarisasi yang telah ditetapkan. 2. Pembinaan profesi guru dilakukan secara berkesinambungan berdasarkan kurikulum yang telah ditetapkan dan dilakukan pemantauan secara intensif 3. Mewujudkan sinergi peran dan tanggung jawab antara Guru, Pemerintah, LPTK dan Organisasi Profesi. SIMPULAN Kesiapan masyarakat Indonesia dalam menghadapi era MEA harus dipersiapkan sejak sekarang. Adanya pasar bebas yang terintegrasi di ASEAN menuntut semua sektor untuk memiliki daya saing yang tinggi. Salah satu sektor yang memiliki peran penting adalah sektor pendidikan yang mana pendidikan berkualitas akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas pula. Rencana program MEA sudah direncanakan jauhjauh hari oleh ASEAN diawali dari adanya deklarasi Bangkok tahun 1967 dan disusul dengan Bali Concord tahun 1976. Dalam upaya peningkatan SDM, Indonesia sudah mengembangkan strategi peningkatan kualitas pendidik dengan berbagai program antara lain program pendidikan dan pelatihan yang meliputi in-house training, program magang, kemitraan sekolah, belajar jarak jauh dll dan untuk program selain pendidikan dan pelatihan meliputi diskusi, seminar, workshop, penelitian dll. Dalam pelaksanaanya program-program pemerintah tersebut kurang terintegrasi dengan baik sehingga masih perlu adanya program khusus profesi yang berfungsi untuk meningkatkan profesionalisme guru yaitu melalui pendidikan profesi guru (PPG). DAFTAR PUSTAKA Anik Gufron. (2010). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Profesi Guru. Diktat: FIP UNY Anonim. (2012). Perguruan Tinggi Penyelenggara PPG. melalui:www.sekolahdasar.net Pada 22 April 2015 pukul 2015 WIB.
Diakses
Dian Mahsunah dkk. (2012). Kebijakan Pengembangan Profesi Guru. Bahan Ajar: Badan Pengembangan SDM Pendidikan dan Kebudayaan dan Jaminan Mutu, Kemendikbud E. Mulyasa. (2007). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Fasli Jalal. (2007). Artikel: Sertifikasi Guru untuk Mewujudkan Pendidikan yang Bermutu. Universitas Negeri Medan Kunandar. (2007). Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada [ 682 ] P a g e
Pendidikan Profesi Guru… (Ratna Rosita Pangestika & Fitri Alfarisa)
Moh. Uzer Usman. (2006). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Peraturan Pemerintah Pendidikan dan Kebudayaan RI No 87 tahun 2013 tentang Program Pendidikan Profesi Guru. Diakses melalui:http://www.dikti.go.id pada 20 April 2015 pukul 20.45 WIB Peraturan Pemerintah RI No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Diakses:http://sultra.kemenag.go.id/file/dokumen/PP19th2005StandarPendidi kanpdf. pada 20 Februari 2015 pukul 20.05 WIB Sulipan. (2007). Kegiatan Pengembangan Profesi Guru. Diakses melalui http://www. ktiguru.org/index.php/profesiguru, . pada 20 April 2015 pukul 21.00 WIB Syahwal Gultom (2013). Artikel: Kemendikbud Akui Kualitas Guru Masih Rendah. Diakses melalui: http://www.antaranews.com. Pada 24 April 2015. Pukul 13.00 WIB Triansyah Djani D. (2007). ASEAN Selayang Pandang. Jakarta: Dir. Jen. Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Diakses dari http://www.dikti.go.id/files/atur/UU14-2005Guru Dosen.pdf pada tanggal 7 Maret 2015 pukul 20.39 WIB
P a g e [ 683 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
KEPEMIMPINAN PEMBELAJARAN KEPALA SEKOLAH UNTUK MENINGKATKAN PROFESIONALISME GURU MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Dewi Kusuma Wardani & Mintasih Indriayu FKIP Universitas Sebelas Maret
[email protected]
Abstrak Kepala sekolah mempunyai sejumlah peran yang harus dimainkan secara bersama, antara lain mencakup educator, manager, administrator, supervisor, motivator, entrepreneur, dan leader. Namun yang lebih penting lagi bahwa seorang kepala sekolah sebaiknya juga berfungsi sebagai pemimpin dalam menjalankan fungsi-fungsi pembelajaran. Termasuk berdiri di barisan terdepan dalam memimpin guru untuk selalu belajar. Karena keberhasilan kepala sekolah dalam memimpin akan berpengaruh pada keberhasilan guru dalam mengajar. Terkait dengan era Masyarakat Ekonomi ASEAN, maka kepemimpinan kepala sekolah yang profesional sebagai kepemimpinan pembelajaran (Instructional Leadership) sangat menunjang tercapainya pengelolaan sekolah yang efektif dan efisien dalam menghasilkan sumber daya manusia yang mampu bersaing dalam masyarakat ASEAN. Kata Kunci: Kepemimpinan Pembelajaran, Profesional Guru, MEA
Pendahuluan Berdasarkan data dari global competitiveness index tahun 2013, Indonesia berada di urutan ke-38 dari 148 negara. Sementara Singapura menempati posisi ke-2, Malaysia ke-24, Brunei ke-26, Thailand ke-37, Philipina ke-59 dan Vietnam berada di posisi ke-70 (Wangke,2014). Indeks pembangunan manusia Indonesia telah meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun masih dalam kategori rendah dibandingkan negaranegara lainnya, khususnya di ASEAN. Pemerintah Indonesia tiada henti melakukan upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Berbagai kebijakan dan strategi telah diterapkan, seperti perubahan kurikulum untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Diperlukan optimalisasi peran komponen pendidikan untuk mencapai lompatan tinggi dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu komponen pendidikan untuk jenjang sekolah dasar dan menengah adalah kepala sekolah. Peran kepala sekolah sebagai agen pembelajaran, sangat strategis sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Dalam rangka mewujudkan peran kepala sekolah yang strategis, kepala sekolah harus memiliki kompetensi seperti yang tertuang dalam Permendiknas No. 35 tahun 2010. Salah satu implementasi dari kompetensi kepala sekolah adalah kepemimpinan pembelajaran, yang dianalogikan sebagai organ jantung dalam tubuh manusia yang memiliki fungsi sangat penting dalam kehidupan manusia. Kepemimpinan pembelajaran yang efektif dan optimal dari kepala sekolah, akan mewujudkan atmosphere academic yang mendukung ketercapaian tujuan [ 684 ] P a g e
Kepemimpinan Pembelajaran Kepala… (Dewi Kusuma Wardani & Mintasih Indriayu)
sekolah. Landasan yuridis tentang kepemimpinan pembelajaran adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) 35/2010 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya bahwa Efektivitas kepala sekolah dinilai angka kreditnya dalam kompetensi: (1) Kepribadian dan Sosial; (2) Kepemimpinan pembelajaran; (3) Pengembangan Sekolah dan Madrasah; (4) Manajemen sumber daya; (5) Kewirausahaan sekolah/madrasah; (6) Supervisi Pembelajaran. Kepemimpinan merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang kepala sekolah. Banyak model kepemimpinan yang dapat dianut dan diterapkan dalam berbagai organisasi/institusi, baik profit maupun nonprofit, namun model kepemimpinan yang paling cocok untuk diterapkan di sekolah adalah kepemimpinan pembelajaran (instructional leadership or leadership for improved learning). Berbagai penelitian terdahulu tentang kepemimpinan pembelajaran, dapat disimpulkan bahwa kepala sekolah yang memfokuskan kepemimpinan pembelajaran menghasilkan prestasi belajar siswa yang lebih baik dari pada kepala sekolah yang kurang memfokuskan pada kepemimpinan pembelajaran. Ironisnya, kebanyakan sekolah tidak menerapkan model kepemimpinan pembelajaran. Diperlukan kepemimpinan pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan profesionalisme pendidik. Melalui pendidik yang kompeten akan dihasilkan peserta didik yang berkualitas. Menghadapi persaingan global khususnya era Masyarakat Ekonomi ASEAN, diperlukan sumber daya manusia yang unggul dan memiliki kemampuan bersaing dengan kompetitor-kompetitor yang handal. Bush & Glover (2003) mendefinisikan standar profesional sebagai pengetahuan penting yang dibutuhkan, ketrampilan dan sikap di mana seluruh guru memiliki kemampuan untuk mendemonstrasikannya. Guru profesional selalu berupaya melaksanakan pembelajaran yang komunikatif, mengemas materi yang mudah dipahami, terampil menggunakan alat dan media pembelajaran serta berorientasi pada pelayanan yang maksimal. Guru profesional ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah N0. 19 tahun 2005, bahwa kompetensi guru sebagai agen pembelajaran meliputi: 1) kompetensi pedagogik, 2) kompetensi kepribadian, 3) kompetensi profesional dan 4) kompetensi sosial. Profesional guru didukung oleh kepemimpinan pembelajaran kepala sekolah yang progresif. Permasalahan dalam kajian teori ini adalah “Bagaimanakah strategi kepemimpinan pembelajaran kepala sekolah yang dapat meningkatkan profesionalisme pendidik dalam menghadapi MEA?” Tujuan pembahasan adalah menjelaskan strategi kepemimpinan pembelajaran kepala sekolah untuk meningkatkan profesionalisme pendidik dalam menghadapi MEA. PEMBAHASAN Pengertian Kepemimpinan Pembelajaran Kepemimpinan pembelajaran adalah kepemimpinan yang memfokuskan/ menekankan pada pembelajaran. Komponen-komponen kepemimpinan pembelajaran meliputi kurikulum, proses belajar mengajar, penilaian, pengembangan guru, layanan prima dalam pembelajaran, dan pembangunan komunitas belajar di sekolah. P a g e [ 685 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Hellinger (1993), mendefinisikan kepemimpinan pembelajaran yang efektif sebagai berikut: 1. Makna visi sekolah melalui berbagi pendapat dengan warga sekolah serta mengupayakan agar visi dan misi sekolah tersebut hidup subur dalam implementasinya; 2. Kepala sekolah melibatkan para pemangku kepentingan dalam pengelolaan sekolah (manajemen partisipatif); 3. Kepala sekolah memberikan dukungan terhadap pembelajaran; 4. Kepala sekolah melakukan pemantauan terhadap proses belajar mengajar untuk memahami lebih mendalam dan menyadari apa yang sedang berlangsung di dalam sekolah; 5. Kepala sekolah berperan sebagai fasilitator sehingga dengan berbagai cara dia dapat mengetahui kesulitan pembelajaran dan dapat membantu guru dalam mengatasi kesulitan belajar tersebut. Soutworth (2002) menyatakan bahwa kepemimpinan pembelajaran adalah perhatian yang kuat terhadap pengajaran dan pembelajaran, termasuk pembelajaran profesional oleh guru sesuai perkembangan siswa. Strategi untuk meningkatkan pembelajaran secara efektif yaitu: (1) modeling; (2) monitoring; dan (3) professional dialog and discussion. Modelling artinya keteladanan kepala sekolah menjadi contoh atau model yang ditiru oleh guru di sekolah yang dipimpinnya. Monitoring artinya melakukan pemantauan kinerja guru ke kelas saat guru melaksanakan proses pembelajaran di kelas serta memanfaatkan hasil pemantauan tersebut untuk pembinaan lebih lanjut. professional dialog and discussion artinya membicarakan secara aktif, interaktif, efektif, aspiratif, inspiratif, produktif, demokratik dan ilmiah tentang hasil penilaian kinerja dan rencana tindak lanjut peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran siswa. Tujuan Kepemimpinan Pembelajaran Tujuan kepemimpinan pembelajaran adalah untuk memfasilitasi pembelajar agar terjadi peningkatan prestasi belajar, kepuasan belajar, motivasi belajar, keingintahuan, kreativitas, inovasi, jiwa kewirausahaan, dan kesadaran untuk belajar sepanjang hayat, karena ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni berkembang dengan pesat. Kepemimpinan pembelajaran sangat penting untuk diterapkan di sekolah karena mampu: (1) meningkatkan prestasi belajar peserta didik secara signifikan; (2) mendorong dan mengarahkan warga sekolah untuk meningkatkan prestasi belajar peserta didik; (3) memfokuskan kegiatan-kegiatan warga sekolah untuk menuju pencapaian visi, misi, dan tujuan sekolah; dan (4) membangun komunitas belajar warga dan bahkan mampu menjadikan sekolahnya sebagai sekolah pembelajar (learning school). Kepemimpinan pembelajaran secara langsung terjadi ketika kepala sekolah bekerja dengan para guru dan staf lainnya untuk mengembangkan proses belajar mengajar. Sebagai contoh, ketika kepala sekolah melakukan kegiatan supervisi [ 686 ] P a g e
Kepemimpinan Pembelajaran Kepala… (Dewi Kusuma Wardani & Mintasih Indriayu)
pendidik di kelas, kegiatan diskusi untuk memberi umpan balik terhadap proses pembelajaran yang telah dilaksanakan seorang guru, dan pemberian contoh pelaksanaan pembelajaran. Sedangkan kepemimpinan pembelajaran secara tidak langsung terjadi ketika kepala sekolah, antara lain memberikan sejumlah kemudahan dan mendorong para guru dan staf untuk mengembangkan diri, melakukan pengambilan keputusan secara bersama-sama (sharing on decision making), dan mengubah tata nilai serta visi sekolah yang mengarah kepada peningkatan kualitas pembelajaran. Kini kepala sekolah menghadapi tantangan perubahan, untuk menerapkan kurikulum 2013. Kesiapan yang perlu dicermati oleh kepala sekolah adalah mengenali elemen perubahan dengan sikap terbuka, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan agar dapat mengelola perubahan sehingga menjadi sekolah yang adaptif terhadap perubahan. Oleh sebab itu seorang kepala sekolah secara praktis memiliki fungsi mengelola pendidikan dan pembelajaran di sekolah, yang menurut Mulyasa (2006) diuraikan sebagai berikut: 1. Pendidik Sebagai pendidik, kepala sekolah melaksanakan kegiatan perencanaan, pengelolaan, dan evaluasi pembelajaran. Kegiatan perencanaan menuntut kapabilitas dalam menyusun perangkat-perangkat pembelajaran; kegiatan pengelolaan mengharuskan kemampuan memilih dan menerapkan strategi pembelajaran yang efektif dan efisien; dan kegiatan mengevaluasi, mencerminkan kapabilitas dalam memilih metode evaluasi yang tepat dan dalam memberikan tindak lanjut yang diperlukan terutama bagi perbaikan pembelajaran. Sebagai pendidik, kepala sekolah juga berfungsi membimbing siswa, guru dan tenaga kependidikan lainnya. 2. Pemimpin Sebagai pemimpin, kepala sekolah berfungsi menggerakkan semua potensi sekolah, khususnya tenaga guru dan tenaga kependidikan bagi pencapaian tujuan sekolah. Dalam upaya menggerakkan potensi tersebut, kepala sekolah dituntut menerapkan prinsip-prinsip dan metode-metode kepemimpinan yang sesuai dengan mengedepankan keteladanan, pemotivasian, dan pemberdayaan staf. 3. Pengelola (manajer). Sebagai pengelola, kepala sekolah secara operasional melaksanakan pengelolaan kurikulum, peserta didik, ketenagaan, keuangan, sarana dan prasarana, hubungan sekolah-masyarakat, dan ketatausahaan sekolah. Semua kegiatan-kegiatan operasional tersebut dilakukan melalui oleh seperangkat prosedur kerja berikut: perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan. Berdasarkan tantangan yang dihadapi sekolah, maka sebagai pemimpin, kepala sekolah melaksanakan pendekatan-pendekatan baru dalam rangka meningkatkan kapasitas sekolah. 4. Administrator. Dalam pengertian yang luas, kepala sekolah merupakan pengambil kebijakan tertinggi di sekolahnya. Sebagai pengambil kebijakan, kepala sekolah melakukan analisis lingkungan (politik, ekonomi, dan sosial-budaya) secara cermat dan menyusun strategi P a g e [ 687 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 dalam melakukan perubahan dan perbaikan sekolahnya. Dalam pengertian yang sempit, kepala sekolah merupakan penanggung-jawab kegiatan administrasi ketatausahaan sekolah dalam mendukung pelaksanaan kegiatan pembelajaran. 5. Wirausahawan. Sebagai wirausahawan, kepala sekolah berfungsi sebagai inspirator bagi munculnya ide-ide kreatif dan inovatif dalam mengelola sekolah. Ide-ide kreatif diperlukan terutama karena sekolah memiliki keterbatasan sumber daya keuangan dan pada saat yang sama memiliki kelebihan dari sisi potensi baik internal maupun lingkungan, terutama yang bersumber dari masyarakat maupun dari pemerintah setempat. 6. Pencipta Iklim Kerja. Sebagai pencipta iklim kerja, kepala sekolah berfungsi sebagai katalisator bagi meningkatnya semangat kerja guru. Kepala sekolah perlu mendorong guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam bekerja di bawah atmosfer kerja yang sehat. Atmosfer kerja yang sehat memberikan dorongan bagi semua staf untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan sekolah. Menjadi kepala sekolah profesional memerlukan daya adaptasi terhadap perubahan dengan menjadi kepala sekolah pembelajar sehingga memandang perubahan kurikulum sebagai sesuatu yang seharusnya. Alasannya jelas, karena ilmu pengetahuan, teknologi, dan tantangan kehidupan terus berubah, maka kebutuhan siswa pun terus berubah menyesuaikan dengan kebutuhan zamannya. Lebih dari itu, kenyataan dari pengalaman kita bekerja membuktikan bahwa apa yang kita hasilkan terdahulu selalu memerlukan perbaikan sehingga perubahan merupakan keharusan. Tugas kepala sekolah pada konteks ini amat strategis. Kepala Sekolah menjadi penentu utama keberhasilan sekolahnya. Tugas memimpin perubahan ada di tangannya. Selain sebagai pendidik, pengajar, pelatih, pembimbing, ia juga berperan sebagai pemimpin pembelajaran, manajer perubahan, dan pengembang budaya sekolah. Strategi Kepemimpinan Pembelajaran dan Profesionalisme Guru Kepemimpinan pembelajaran yang efektif menurut Southworth (2002) adalah kepala sekolah yang mampu memainkan perannya sebagai: (1) pemantau kinerja guru, kepala sekolah harus memantau guru dalam menjalankan tugas dan fungsinya; (2) penilai kinerja guru, salah satu peran kepala sekolah yang objektif dan cermat dalam melakukan evaluasi kinerja guru; (3) pelaksana dan pengaturan pendampingan dan pelatihan, peran kepala sekolah dalam melakukan supervisi; (4) perencana pengembangan keprofesian keberlanjutan guru, peran kepala sekolah dalam meningkatkan profesional guru secara berkelanjutan; (5) pengkoordinasian kerja tim, kepala sekolah mengkoordinir tim di sekolah, ; (6) pengkoordinasian pembelajaran efektif, kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran di sekolah mengupayakan agar guru dapat melaksanakan pembelajaran efektif Willison (2008) merumuskan tiga cara/strategi untuk menjalankan kepemimpinan pembelajaran yang efektif yaitu: (1) talk [ 688 ] P a g e
Kepemimpinan Pembelajaran Kepala… (Dewi Kusuma Wardani & Mintasih Indriayu)
the talk; (2) walk the walk; (3) be the caddy. Kepala sekolah harus banyak berdialog dan berdiskusi untuk mengembangkan keprofesian berkelanjutan guru, memantau proses pembelajaran di kelas serta melayani guru dalam menggunakan sarana prasarana pembelajaran. Dinamika kurikulum yang menyesuaikan kebutuhan pengguna serta kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi tanpa batas, menuntut kesiapan dan kemampuan guru dalam menyesuaikan diri serta mengembangkan keprofesionalan yang berkelanjutan. Diperlukan dukungan eksternal dari kepala sekolah untuk meningkatkan kompetensi guru. Agar kepala sekolah dapat berperan optimal dalam kepemimpinan pembelajaran, berbagai program dan kegiatan yang dapat dilakukan sebagai berikut: 1. Memberikan keteladanan dalam kata, sikap, tindakan dan perilaku bagi komunitas sekolah untuk mencapai visi dan misi sekolah serta kemajuan pendidikan yang berdaya saing tinggi. 2. Mendorong guru untuk meningkatkan kualifikasi akademik sesuai bidang studinya. 3. Memperkuat peran MGMP melalui program pendidikan dan pelatihan, studi banding, penelitian, workshop serta meningkatkan budaya menulis di kalangan guru. 4. Melaksanakan tinjauan perangkat pembelajaran yang meliputi silabus dan RPP secara periodik 5. Melaksanakan supervisi khususnya dalam proses pembelajaran. 6. Melaksanakan penilaian kinerja guru dan tindakan perbaikan untuk mencapai sasaran yang ditentukan. 7. Meningkatkan ketersediaan dan kelayakan sarana dan prasarana pembelajaran. 8. Melakukan pemantauan proses pembelajaran di kelas serta merencanakan tindakan perbaikan. 9. Membantu guru yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan pembelajaran yang efektif. 10. Mengoptimalkan fungsi perpustakaan sekolah untuk menciptakan habit reading di lingkungan sekolah, baik guru maupun peserta didik. Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh kepala sekolah dalam melakukan pembinaan profesionalisme guru, (Kunandar, 2009:134) 1. Mendengar (listening), yang dimaksud dengan mendengar adalah kepala sekolah mendengarkan apa saja yang dikemukakan oleh guru, bisa berupa kelemahan, kesulitan, kesalahan, masalah dan apa saja yang dialami oleh guru, termasuk yang ada kaitannya dengan peningkatan profesionalisme guru. 2. Mengklarifikasi (clarifying), yang dimaksud klarifikasi adalah kepala sekolah memperjelas mengenai apa yang dimaksudkan oleh guru. Jika pada mendengar (point a) di atas, kepala madrasah mendengar mengenai apa saja yang dikemukakan oleh guru, maka dalam mengklarifikasi ini kepala madrasah memperjelas apa yang diinginkan oleh guru dengan menanyakan kepadanya.
P a g e [ 689 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 3. Mendorong (Encouraging), yang dimaksud dengan mendorong adalah kepala madrasah mendorong kepada guru agar mau mengemukakan kembali mengenai sesuatu hal bilamana masih dirasakan belum jelas. 4. Mempresentasikan (presenting), yang dimaksud dengan mempresentasikan adalah kepala madrasah mencoba mengemukakan persepsi-nya mengenai apa yang dimaksudkan oleh guru. 5. Memecahkan masalah (problem solving), yang dimaksud dengan memecahkan masalah adalah kepala madrasah bersama-sama dengan guru memecahkan masalahmasalah yang dihadapi oleh guru. 6. Negosiasi (negotiating), yang dimaksud dengan negosiasi adalah berunding. Dalam berunding, kepala madrasah dan guru membangun kesepakatan-kesepakatan mengenai tugas yang harus dilakukan masing-masing atau bersama-sama. 7. Mendemonstrasikan (demonstrating), yang dimaksud dengan mendemonstrasikan adalah kepala madrasah mendemonstrasikan tampilan tertentu dengan maksud agar dapat diamati dan ditirukan oleh guru. 8. Mengarahkan (directing), yang dimaksud dengan mengarahkan adalah kepala madrasah mengarahkan agar guru melakukan hal-hal tertentu. 9. Menstandarkan (standardization), yang dimaksud dengan menstandarkan adalah kepala madrasah mengadakan penyesuaian –penyesuaian bersama dengan guru. 10. Memberikan penguat (Reinforcing), yang dimaksudkan memberikan penguat adalah kepala madrasah menggambarkan kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi pembinaan guru. Profesionalisme Guru dalam MEA Dalam mengantisipasi peranan guru yang semakin luas dan kompleks guru harus memiliki kompetensi mengajar dan memiliki kreativitas dalam menciptakan iklim pembelajaran lebih efektif dan kondusif, guru sebagai tenaga pendidik harus memiliki kemampuan profesional. Keberadaan guru yang kompeten dan profesional merupakan salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi guna meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia agar dapat bersaing dengan negara-negara maju lainnya. Hampir semua bangsa di dunia ini selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong terciptanya guru yang kompeten dan berkualitas. Salah satu indikator guru profesional dan kompeten adalah guru yang mampu beradaptasi dengan perkembangan keilmuan yang hari demi hari semakin canggih. Seorang guru yang profesional harus memenuhi empat kompetensi yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yaitu: 1. Kompetensi pedagogik yaitu kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.
[ 690 ] P a g e
Kepemimpinan Pembelajaran Kepala… (Dewi Kusuma Wardani & Mintasih Indriayu)
2. Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan bijaksana, berwibawa, berakhlak mulia, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, mengevaluasi kinerja sendiri dan mengembangkan secara berkelanjutan. 3. Kompetensi professional yaitu merupakan kemampuan penguasaan materi secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar nasional pendidikan. 4. Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan peserta didik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi lisan dan tulisan; menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua, atau wali peserta didik; dan bergaul secara santun dalam masyarakat Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) maka harus disiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang baik, terutama untuk menyiapkan kualitas siswa yang baik maka potensi guru yang perlu dikembangkan. Oleh sebab itu dunia pendidikan sejak awal sudah harus mempersiapkan diri terutama para guru harus mempunyai kualitas dan mempunyai kapabilitas yang dapat implementasinya bukan sebatas regional namun sampai pada tingkat nasional. Semakin terbukanya arus barang dan jasa antar negara, merupakan konsekuensi di era globalisasi. Batas negara dalam aktivitas kegiatan perekonomian semakin tipis, dengan regulasi yang dipermudah oleh negara-negara yang tergabung dalam komunitas “pasar bersama”. Termasuk keinginan ASEAN membentuk MEA didorong oleh perkembangan internal dan eksternal. Ekonomi ASEAN diprediksikan akan menjadi kekuatan baru dalam peta dunia, sementara dari sisi internal kekuatan ekonomi ASEAN hingga tahun 2013 mencapai GDP sebesar US$ 3,36T (Wangke: 2014). Dengan terbentuknya MEA tahun 2015, maka perdagangan barang dan jasa telah terintegrasi dalam pasar bersama ASEAN. Menghadapi komunitas masyarakat ASEAN, tidak menutup peluang terjadi mobilitas tenaga kerja antar negara termasuk di sektor pendidikan. Persaingan yang kompetitif dalam pasar tenaga kerja dan pasar output, mensyaratkan anggota komunitas menyediakan produk yang berkualitas dengan harga yang bersaing. Pencapaian tersebut akan terpenuhi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, penguatan kelembagaan, ketersediaan dan kelayakan infrastruktur, regulasi yang mendukung iklim usaha, dukungan pemerintah serta kepastian hukum. Sektor pendidikan diharapkan sebagai penopang terbentuknya SDM unggul, utamanya di jenjang sekolah dasar dan menengah yang berperan sebagai peletak dasar struktur keilmuan, sikap dan tindakan luhur yang dapat bersaing global. Peran guru melalui pembelajaran dapat meletakkan fondasi yang kuat untuk mengembangkan diri ke jenjang berikutnya. Untuk itu, profesionalitas guru merupakan keniscayaan dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN.
P a g e [ 691 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 SIMPULAN Peran kepala sekolah yang optimal dalam kepemimpinan pembelajaran, meningkatkan profesionalisme guru. Kepemimpinan pembelajaran yang efektif menurut Southworth (2002) adalah kepala sekolah yang mampu memainkan perannya sebagai: (1) pemantau kinerja guru; (2) penilai kinerja guru; (3) pelaksana dan pengaturan pendampingan dan pelatihan; (4) perencana pengembangan keprofesian keberlanjutan guru; (5) pengkoordinasian kerja tim; (6) pengkoordinasian pembelajaran efektif. Willison (2008) merumuskan tiga cara/strategi untuk menjalankan kepemimpinan pembelajaran yang efektif yaitu: (1) talk the talk; (2) walk the walk; (3) be the caddy. Kepala sekolah harus banyak berdialog dan berdiskusi untuk mengembangkan keprofesian berkelanjutan guru, memantau proses pembelajaran di kelas serta melayani guru dalam menggunakan sarana prasarana pembelajaran. Agar kepala sekolah dapat berperan optimal dalam kepemimpinan pembelajaran, berbagai program dan kegiatan yang dapat dilakukan sebagai berikut: 1. Memberikan keteladanan dalam kata, sikap, tindakan dan perilaku bagi komunitas sekolah untuk mencapai visi dan misi sekolah serta kemajuan pendidikan yang berdaya saing tinggi. 2. Mendorong guru untuk meningkatkan kualifikasi akademik sesuai bidang studinya. 3. Memperkuat peran MGMP melalui program pendidikan dan pelatihan, studi banding, penelitian, workshop serta meningkatkan budaya menulis di kalangan guru. 4. Melaksanakan tinjauan perangkat pembelajaran yang meliputi silabus dan RPP secara periodik 5. Melaksanakan supervisi khususnya dalam proses pembelajaran. 6. Melaksanakan penilaian kinerja guru dan tindakan perbaikan untuk mencapai sasaran yang ditentukan. 7. Meningkatkan ketersediaan dan kelayakan sarana dan prasarana pembelajaran. 8. Melakukan pemantauan proses pembelajaran di kelas serta merencanakan tindakan perbaikan. 9. Membantu guru yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan pembelajaran yang efektif. 10. Mengoptimalkan fungsi perpustakaan sekolah untuk menciptakan habit reading di lingkungan sekolah, baik guru maupun peserta didik. DAFTAR PUSTAKA Bush, T. & Glover,D.2003. School Leadership: Concept and Evidence. Nottingham: National College for School Leaderhip. Hallinger, P.2003. Leading Educational Change: Reflections on the Practice of Instructional and Transformational Leadership, dalam Cambridge Journal of Education. 33(3), .35-70 Hoy, W.K., & Miskel, C.G. 2008. Administration Education Theory, Research, and Practice New York: Random House, Inc [ 692 ] P a g e
Kepemimpinan Pembelajaran Kepala… (Dewi Kusuma Wardani & Mintasih Indriayu)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2013 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar Dan Menengah. Jakarta: Kemendikbud. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013. Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar Dan Menengah. Jakarta: Kemdikbud Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013. Tentang Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta: Kemdikbud Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2013. Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Kemdikbud Kunandar (2009) Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajawali Press Mulyasa, E. 2006. Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Soutworth, G. 2002.” Instructional Leadership in School: Reflection and Empirical Evidence”, dalam School Leadership and Management, 22(1), 73-92. Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Bandung: Citra Umbara Wangke Humphrey, 2014. Peluang Indonesia dalam MEA 2015. Info Singkat Hubungan Internasional .6(10),5-8. Willison, R. (2008). What Make an Instructional Leader dalam Phi Delta Kappan, Nov.2010.92 (3),66-69.
P a g e [ 693 ]