BABII TINJAUAN PUSTAKA Filogeografi Intraspesies Sebagai prinsip atau proses yang mengarahkan distribusi geografi spesies tertentu, filogeografi menekankan pada kajian variasi
gee-
yang mencakup berbagai tipe
karakter seperti morfologi, fisiologi, etologi dan genetik (Lougheed & Handford, 1993). Kajian tersebut memegang peranan penting dalam memahami proses-proses evolusi, karena variasi-variasi yang bersifat menurun adalah materi dasar yang terlibat dalam proses seleksi alam dan adaptasi. Penyebaran populasi suatu spesies dimulai dari variasivariasi geografi yang semakin lama semakin berkembang. Filogeografi pada tingkat intraspesies dapat mengungkap keragaman di dalam spesies, mdai dari tingkat populasi subpopulasi, subspesies sampai spesies. Selain dapat menjelaskan pola-pola biogeografi (Mustrangi & Patton, 1997), filogeografi juga memberikan kontribusi pada pemahaman respon populasi terhadap perubahan lingkungan yang sangat cepat (Avise, 1997). Pertama, populasi konspesies yang berbeda (khususnya yang terpisah dalam kurun waktu panjang) kemungkinan memberikan respon yang tidak sama terhadap perubahan lingkungan. Adaptasi terhadap lingkungan menyebabkan gen-gen yang terakumulasi berbeda antara populasi satu dengan populasi lainnya. Kedua, perkembangan pesat &lam metode analisis genetik memungkinkan dilakukannya
identifikasi
respon
populasi
terhadap modifikasi
lingkungan pada tingkat intraspesies. Ketiga, analisis filogeografi dapat mernbuktikan hubungan dekat antara demografi populasi dan genetik. Hal tersebut &an berirnplikasi pada konsewasi khususnya dalam periode perubahan lingkungan yang sangat cepat. Keern~at,analisis filogeografi &pat menunjukkan catatan-catatan perubahan genetik
sebagai akibat sejarah kejadian demografi yang aneh. Ekspansi, fkagrnentasi dan distribusi geografi populasi merupakan proses evolusi yang terjadi jauh sebelum manusia mempengaruhi planet bumi. Kehadiran manusia menimbulkan bmyak perubahan lingkungan sehingga banyak spesies perlu beradaptasi. Berdasarkan data hasil analisis genetik maka kemampuan adaptasi suatu spesies dapat diestimasikan. Pada Gambar 2.1 teriihat hubungan asal-usul genetik antara dua populasi konspesies yang semula berasal dari satu daerah geografi tetapi kemudian terpisah dalam dua daerah geografi (daerah I dan daerah 11).
Garnbar 2.1. Hipotesis Avise tentang asai-usul DNA (Avise, 1997). (A) populasi nenek moyang; (B) populasi yang merupakan keturunan dari populasi A pada daerah I; (C) populasi yang merupakan keturunan dari popuiasi A pada daerah II; (+) arah divergensi dari populasi induk kepada populasi-populasi keturunannya.
Barrier rnenyebabkan tidak adanya aliran gen antara populasi B dan C. Filogeni
antara keturunan populasi B dan C semakin berbeda akibat kurun waktu isolasi yang semakin lama. Perbedaan tersebut dapat ditunjukkan dengan jarak genetik (genefic distance), yaitu ukuran perbedaan genetik dari dua takson (Hillis et al., 1996).
Pada masa lalu, perspektif filogeografi intraspesies jarang diaplikasikan karena kekurangan pendekatan genetik molekul untuk mendapatkan hubungan historis. Selain itu, juga masih terdapat persepsi luas bahwa pada populasi-populasi yang masih dapat melakukan silang antar (interbreeding), filogeni tidak memiliki pengertian yang nyata (Avise, 1989). Hal tersebut disebabkan analisis filogeografi dilakukan berdasarkan karakter morfologi saja sehingga hanya sedikit dapat menunjukkan
keragaman
intraspesies. Sejak dua dekade
terakhir,
penelitian-penelitian keragaman pada
burung
berdasarkan DNA mitokondrion atau mirochondriaZ DNA (mrDNA) berkembang pesat pada tingkat populasi. Analisis mrDNA pada tingkat intraspesies marnpu menunjukkan keragaman yang tinggi, yang tidak terdeteksi dengan metode lain (Ball & Avise, 1992). Dari berbagai ordo burung, filogeni Anseriformes paling banyak diteliti. Hal itu disebabkan hubungan kekerabatan antara takson-takson dalam ordo tersebut belum jelas, walaupun berbagai pendekatan sudah dilakukan (Zimmer et al., 1994). Spesies burung lain yang juga telah dianalisis DNA mitokondrionnya adalah Ficedula hypoleuca (Tegelstrom
et
al.,
1990),
Pomatostomur
temporalis
(Edwards,
1993),
Zonotrichia capensis (Lougheed & Hanford, 1993), Microstus agrestis (Jaarola &
Tegelstrom, 1996), Lanius lundovicianus
(Mundy et al., 1997), Fringilla spp. dan
Carduelis chloris (Marshall & Baker, 1997) serta tujuh spesies dari genus Alectoris
(Randi & Lucchini, 1998)
Banyak analisis filogeografi pada burung menggunakan pendekatan distribusi geografi dan filogeni DNA untuk menunjukkan hubungan antara aspek genetik dan morfologi (Mourn et al., 1991; Taberlet & Bouvet, 1994). Analisis tersebut rnisalnya pa&
Melospiza
melodia
(Arctander
et
al., 1994),
Anthus
novaeseelandiae
(Foggo et al.. 1997), Larus glaucescens dan L. occidentalis (Bell, 1996). Berdasarkan komparasi aspek morfologi dengan DNA lalu ditentukan ada atau tidaknya konsistensi antara karakter morfologi dan genetik. Hal ini disebabkan status suatu populasi atau spesies tidak dapat ditentukan hanya dengan menggunakan pendekatan genetik saja. Analisis karakter-karakter yang lain seperti morfologi serta perilaku juga perlu dilakukan dalam penentuan status organisme (Ball & Avise, 1992). Analisis filogeografi dalarn penelitian ini terutama bertujuan untuk mengetahui variasi morfologi c l a n genetik pada gelatik. Diharapkan pula &pat diungkap aspek-aspek lain yang diduga ikut berpengaruh dalam pembentukan variasi geografi intraspesies seperti kawasan ternpat mencari makan, keragaman avifauna dan garnbaran darah. Diasumsikan bahwa variasi-variasi geografi merupakan keberhasilan populasi suatu spesies dalarn rnenghambat aliran gen yang cenderung menghalangi penyebaran populasi. Perbedaan fenotipe timbul karena daya adaptasi gen terhadap keadaan lingkungan sekitarnya. Ada empat kemungkinan pola filogeografi pada gelatik, (i) keragaman genetik tinggi dan struktur geografi kuat, keduanya saling berhubungan; (ii) keragaman genetik tinggi dan stmktur geografi kuat tetapi tidak saling berhubungan; (iii) keragaman genetik tinggi dan struktur geografi lemah atau sebaliknya; (iv) tidak ada keragaman genetik maupun struktur geografi.
Nama dan S i m a t i k a
Gelatik mempunyai banyak nama lokal, misalnya di Bali disebut Jelatik, Jawa: glatik,
Malaysia dan Sunda: glatik; Perancis: Pa&
Reintogel
C a m ; Jerman: Reisfink
(Kuroda, 1932; Mason & Jarvis, 1989). Sedangkan Mam Bahasa Inggris I
gelatik disebut Jaw Sparrow, Java Finch, Java Ricebird, Gray Java Ricebird dan Pnddy ficebird (Berger, 1975; Baptista & Atwood, 1980).
Nama ilmiah gelatik adalah Padda o y i v o r a (L.) wonderman, 1885). Selain itu gelatik memiliki nama ilmiah sinonim, yaitu Loxia javensis Sparm., Padda Verecwzda
Reich, dan Oryzivora leucotis Jerd. (Chasen, 1935). Sesuai dengau prinsip the rule of priority, maka nama ilmiah gelatik yang digmakan adalah P&
orynvora 6.).
Gelatik termasuk ordo Passeriformes, famili Ploceidae, subordo Oscine dan genus Padda (Mayr & Amadon, 1951). Semua burung yang termasuk Passeriformes tidak
dapat berdiri tegak karena otot fleksor dan jari-jari kaki beradaptasi untuk berpegangan pada ranting dan cabang turnbuhan (Campbell & Lack, 1985). Ciri-ciri Oscine (burung penyanyi): semua ujung dari otot siring melekat pada separuh cincin bronkus (Mayr & Amadon, 1951). Ciri-ciri Ploceidae: tubuh berukuran 10-15 cm, ekor pendek dan paruh tebal yang berbentuk kerucut untuk memecah biji-bijian (MacKinnon, 1991). Ciri-ciri Padda: paruh tebal dan besar, sayap lebih panjang dari ekor dan kaki benvarna pucat.
Bentuk morfologi burung jantan dan betina sarna (monomorf) sehingga sukar dibedakan berdasarkan bentuk clan wama bulu (Kuroda, 1933). Distribusi dan Habitat
Secara alami (endemik) gelatik terdapat di Pulau Jawa dan Pulau Bali. Akan tetapi sekarang burung tersebut telah tersebar luas ke berbagai belahan dunia seperti Kepulauan Hawai (Berger, 1975), Pvlalaysia dan Filipina (Dickinson et al., 1991), Bangkok (Lekagul & Round, 1991), serta Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera (MacKinnon et al., 1999). Pada masa lalu, Pulau Bawean, Madura dan Sumatera sempat pula diduga sebagai habitat alami gelatik (Kuroda, 1933). Akan tetapi sekarang dipastikan ketiga pulau bukan merupakan habitat alami gelatik. Pa& waktu penjajahan Belanda, kemungkinan gelatik dibawa ke pulau-pulau tersebut sebagai satwa peliharaan. Beberapa ekor burung lepas dan berhasil berkembangbiak di alam (van Balen, 1997).
Habitat utama gelatik adalah daerah persawahan, semak belukar dan kawasan terbuka lainnya sampai ketinggian 1500 m dpl (Holmes & Nash, 1991). Di Kepulauan Hawai, gelatik umumnya lebih menyukai semak-belukar, padang rumput, taman-taman
dan kawasan pemukiman penduduk yang terletak di daerah dataran rendah (Islam, 1997). Di Pulau Jawa, kawasan pertanian, padang nunput, sekitar kolam ikan dan hutan bakau merupakan habitat utama gelatik (Stresemann, 1930).
Di Pulau Bali gelatik
dijumpai pada semak-belukar, hutan bakau, hutan pantai, daerah pertanian dan kawasan pemukiman penduduk (Ash, 1982; van Helvoort, 1981). Kawasan tempat mencari makan
Gelatik termasuk kelompok burung granivora karena makanan utamanya adalah biji tanaman dari famili Graminae terutama padi (Oryza sativa L.). Makanan lainnya adalah biji sorgum (Andropogon sorghum Brot.), biji bambu (Bambusa spp.), biji kerasi (Lantana carnara L.), biji glagah (Saccharurn sponfaneum L.) dan biji bayam (Amaranthus spp.) (Sody, 1989; Surata, 1998). Pada waktu jumlah populasi masih besar, gelatik sering dijumpai berkelompok sampai mencapai ratusan ekor menyerbu tanaman padi secara bersama-sama sehingga dianggap sebagai pesaing oleh manusia (Johnston & Klitz, 1977). Jika daerah persawahan
di Pulau Jawa terendam banjir, burung tersebut membentuk kelompok-
kelompok kecil atau malah hanya sepasang-sepasang mencari makanan berupa bljibijian, buah-buahan dan insekta (van Balen, 1997). Di Pulau Bali gelatik juga dijumpai mencari makan di gudang beras, penyosohan gabah, kawasan perhotelan dan di sekitar perumahan penduduk, bersama-sama dengan bond01 dada sisik (Lonchura punctulafa),
bondol jawa (L.
leucogastroides), bondol dada hitam (L. malacca), burung gereja
(Passer rnontanus) dan tekukur (Streptopelia chinensis) (Surata, 1998).
lsotasi Populasi Pada masa yang lalu, gelatik tersebar di Pulau Bali mulai dari Buleleng, Negara, Singaraja, Gitgit, Candikusuma, Bali Barat, Tanah Lot, Banyuwedang, Petitenget, Uiu Watu, Pesanggaran, Wangaya Gede, Padangbai, Nusa Dua, Amed dan Prapat
Benua
(Ash et al., 1987). Menurut Ash (1982), di Bali gelatik belum pernah dijurnpai di atas ketinggian 900 m. Padahal dari ujung barat sampai timur Pulau Bali terdapat pegunungan yang memanjang dengan ketinggian 500 sampai 3000 m dpl (Bappeda Tk.1 Bali, 1996). Pegunungan tersebut kemungkinan menjadi rintangan yang memisahkan antara subpopulasi gelatik yang terdapat di Bali Utara dengan subpopulasi gelatik yang terdapat di Bali Selatan. Subpopulasi yang saling terpisah diperkirakan juga terbentuk akibat fragrnentasi habitat, yaitu tercerai-berainya habitat karena alih fungsi lahan, terutarna dari daerah persawahan menjadi kawasan pemukiman (Ferron, 1990; Soeriatmadja, 1992). Kawasan perkotaan umumnya mengalami fragrnentasi habitat lebih banyak dibanding kawasan pedesaan karena alih fungsi lahan pada kawasan perkotaan jauh lebih pesat dibanding kawasan pedesaan. Alih fungsi lahan telah mengakibatkan berkurangnya kawasan tempat mencari makan dan bersarang bagi gelatik (Fuller er al., 1995). Intensifikasi pertanian yang diikuti dengan pembersihan semak-belukar dan penanaman padi dengan usia yang semakin pendek, selain mengakibatkan kehilangan tempat bersarang dan variasi makanan, juga berpengaruh terhadap siklus perkembangbiakan gelatik. Hal itu
dapat tejadi karena waktu pengasuhan anak gelatik yang tidak sesuai dengan persediaan makanan sehingga berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak burung tersebut. Pada Gambar 2-3. disajikan lokasi-lokasi di BaIi yang pernah dijumpai terdapat populasi gelatik.
Gambar 2.3. Distribusi gelatik (Padda oryzivora (L.)) di Pulau Bali, tahun 1913-1998; (Ba) Banyuwedang (Ash, 1982); (Si) Singaraja (Stresemann, 1913); (Gt) Gitgit (Ash, 1987); (Ca) Candikusuma (Dupond, 1942); (Ne) Negara (von Plessen, 1925); (Wg) Wangaya Gede (Ash, 1982); (De) Demulih (Surata, 1997); (Am) Amed (Ash, 1982); (Ti) Tibubiyu (Surata, 1994); (Gi) Gianyar (Surata, 1998); (Se) Semarapura (Surata, 1993); (Pa) Padangbai (Ash, 1982);(Tl) Tanah Lot (Ash et al., 1987); (Sk) Sukawati (Surata, 1996); (Te) Tembau (Surata, 1995);(Pe) Petitenget (Ash, 1982); (Su) Suwung (Ash, 1982); (Ps) Pesanggaran (Ash, 1982); (Uw) Uluwatu (Ash, 1982); (Nd) Nusa Dua (Ash, 1982). Akan tetapi, faktor utama penyebab isolasi populasi gelatik adalah penurunan populasi yang sangat drastis akibat perburuan clan penangkapan secara besar-besaran (Mason & Jarvis, 1989; MacKimon et al., 1999).
Keragaman Geografi Gelatik Sampai pada saat sekarang, belum diketahui adanya keragaman geografi gelatik. Akan tetapi terdapat gelatik dengan morfologi berwarna putih, tutu1 dan belang, yang dihasilkan dari pengembangbiakan dalarn penangkaran. Ketiga macam gelatik tersebut dapat dibedakan dari wama bulu tubuhnya. Gelatik putih mempunyai bulu tub& yang berwarna putih bersih; gelatik tultul bulunya berwarna campuran antara wama putih dan abu-abu; sedangkan gelatik belang mempunyai bulu berwarna merah tua sebagai pengganti warna hitam dan abu-abu (Islam, 1997). Oleh karena tidak terdapat keragaman geografi, maka gelatik tergolong spesies "monotipe", yaitu spesies yang hanya memiliki satu subspesies (Mayr et al., 1957). Morfologi Gelatik Gelatik dewasa relatif mudah dikenali dari bulu kepala yang berwarna hitam dengan bercak putih jelas pada kedua pipi mulai dari bawah mata sampai bawah lubang telinga. Bulu pada tenggorokan dan leher berwarna hitam, buIu pada punggung dan dada berwama biru keabu-abuan. Perut ditutupi bulu berwarna merah jambu, sedangkan bulu ekor bagian dorsal berwarna hitam dan bagian ventral berwarna putih. Paruh berwarna merah, iris berwarna kemerah-merahan dan kulit pada kaki berwama merah. Pada burung yang belum dewasa tidak terdapat bercak berwarna putih pada kedua pipinya. Bulu pada kepala, tenggorokan dan leher gelatik muda b e ~ r a m aabu-abu, sedangkan bulu dada dan perut berwarna merah jambu. Paruh, iris d m kulit kaki pada gelatik yang masih muda berwama merah pucat. Pengamatan secara kuantitatif terhadap aspek morfologi dilakukan dengan pendekatan morfometri. Walaupun pendekatan tersebut hanya berkonsentrasi pada
bagian-bagian tub& tertentu tetapi upaya untuk melakukan komparasi morfometri terus berkembang pada semua organisme (Cheny et aZ., 1978). Hal tersebut disebabkan dalarn penentuan jarak morfologi berdasarkan morfometri memberikan hasil lebih akurat dibandmg pendekatan morfologi kualitatif. Morfbmetri juga dapat diaplikasikan untuk interpretasi penyebaran spesies-spesies, fungsi fisiologi, perkembangan, evolusi anatomi (Cherry et a!., 1982) dan sistimatika biologi (Sage et al., 1984). Pada burung, pendekatan morfometri digunakan untuk berbagai tujuan penelitian, misalnya untuk pengujian hipotesis bahwa pada tingkat inhvidu, perilaku merupakan faktor pengarah yang lebih kuat terhadap evolusi dibanding perubahan lingkungan pada 239 spesies burung (Wyles et al., 1983), komparasi antara aspek morfologi dengan biogeografi pada Mzcrohierax fiingillarius (Kemp & Crowe, 1994), penentuan jenis kelamin pada Parus major (Bjorklund & Linden, 19941, klasifikasi genus Ayfhini (Livezey, 1996), perkembangan fluktuasi asimetri pada Hirundo rustica (Moller, 1996), interpretasi pola-pola evolusi karakter pada 15 famili Anatidae (Livezey, 1997) d m variasi ukuran tubuh intraspesies pada Molothrus ater (Ward & Smith, 1998). Stresemann (1930) mengukur gelatik yang dikoleksi dari beberapa daerah di Jawa. Rata-rata panjang paruh, sayap, tarsus dan ekor pada jantan masing-masing 16,OO mm; 67,50 mm; 18,50 mm dan ekor 43,50 mrn, sedangkan pada betina berturut-turut 16,OO mm; 67,OO mm; 19,OO mm dan ekor 46,OO mm. Kuroda (1933) memperoleh panjang total 148,OO mm, paruh 12,OO mm, sayap 68,OO mm, tarsus 19,OO mm dan ekor 46,OO mm untuk burung yang berasal dari Jawa Barat. Burung yang dikoleksi dari Candikusuma Bali mempunyai panjang total 66,OO mm serta panjang ekor 47,OO mm (Dupond, 1942). Hoogenverf (1966) mengukur gelatik asal Jawa dan memperoleh panjang rata-rata panjang paruh, sayap dan ekor untuk jantan 16,48 mm; 69,40 mm dan 45,80 mm, sedangkan pada betina berturut-turut 16,30 mm, 67,80 mm dan 47,40 mm.
Saito et al. (1992) menyebutkan rata-rata bobot badan untuk gelatik jantan yang hidup di Jepang antara 23,50 sampai 26,30 g, sedangkan untuk betina antara 23,40 sampai 24,70 g. Gelatik yang hidup di Kepulauan Hawai mempunyai panjang total antara 140,OO170,OO mm, panjang paruh 16,50-18,OO mrn, panjang sayap 66,OO-70,OO mm, panjang ekor 46,OO-50,OO mm, panjang tarsus 18,50-19,50 mm dan bobot badan 2230-27,80 g (Islam, 1997).
Darah Burung Sampai pada saat sekarang belum terdapat informasi mengenai bentuk dan jumlah sel-sel darah gelatik. Akan tetapi diperkirakan bentuk dan jumlah seI-sel darah pada gelatik tidak jauh berbeda dan spesies burung yang lain. Volume total darah burung berkisar antam 5-13% dari bobot badan, tergantung pada spesies, usia dan jenis kelamin (Jones & Johansen, 1972). Darah tersebut terdiri atas plasma darah dan sef set darah. Plasma darah mengandung protein (seperti albumin, globulin dan fibrinogen), lemak (kolesterol) dan senyawa-senyawa anorganik seperti kalsium dan nahium, sedangkan sel-sel darab terdiri atas, trombosit, eritrosit dan leukosit (Simons, 1960). Trombosit bentuknya bervariasi dan berukuran lebih kecil dari eritrosit. Diperkirakan
untuk
setiap
200
butir
eritrosit
terdapat
satu butir
trombosit
(Simons, 1960). Trombosit berperan &lam proses penggumpalan darah sehingga &pat menghentikan keluarnya darah dari pembuluh darah jika pembuluh tersebut mengaiami luka (Gentry & Downle, 1993). Eritrosit pa& burung berukuran relatif besar, berbentuk bulat telor (oval) dan mempunyai inti (nukleus) yang terletak pada bagian tengah sel (Zinkl, 1986). Sel darah tersebut
mengandung hemoglobin yang berfungsi
untuk mengangkut
gas-gas
pernapasan. Selain itu eitrosit juga berperan dalam mekanisme pembekuan darah dan pengelolaan sistem bufer (Mtruka & Rawnsley, 1981). Ukuran eritrosit pada burung bervariasi antara satu spesies dengan spesies yang lain. Sebagai contoh, burung Plauius alle, mempunyai panjang eritosit 12,84m,16 pm dan lebar 6,83+0,33 wm, sedangkan bwung Sterna paradises mempunyai panjang eritosit 12,65+0,21 p m dan lebar 6,61+0,12 pm (Kostelecka-Myrcha, 1987). Jumlah total eritosit pa&
burung
bervariasi, tergantung pada berbagai faktor lingkungan seperti umur, jenis kelarnin, musim, ketinggian tempat, suhu lingkungan, penyakit dan pemberian obat-obatan (Jones & Johansen, 1972; Suwindra, 1998).
Leukosit berfimgsi untuk memproduksi antibodi dan melakukan fagositosis terhadap material asing yang masuk ke dalam tubuh (Mitruka & Rawnsley, 1981). Leukosit dibedakan menjadi granulosit (mempunyai granula) clan agranulosit (tidak mempunyai granula). Granulosit terdiri atas heterofil, eosinofil dan basofil. Sedangkan agranulosit terdiri atas limfosit clan monosit. Heterofil berbentuk bulat dengan diameter sekitar 11 pm (Jones & Johansen, 1972). Nukleus heterofil polimorf dan berwarna merah tua. Pada sitoplasma sel darah itu terdapatfusrjiorm bodies. Heterofil menunjukkan gerakan amueboid dan secara aktif melakukan aktivitas fagositosis terhadap bakteri, virus dan protein asing yang masuk ke dalam tubuh (Andreasen et ul., 1993). Pada mamalia, sel-sel darah yang serupa dengan heterofil adalah neutrofil. Perbedaannya, heterofil bereaksi asam terhadap pewarnaan, sedangkan neutrofil bereaksi netral terhadap pewarnaan (Swenson, 1993). Eosinofil, mengandung banyak granula kecil berbentuk seperti bola dan berwarna merah berkilat. Granula-granula tersebut mengandung senyawa-senyawa antihistamin
(Mitruka & Rawnsley, 1981). Inti dan sel eosinofil berbentuk dan berukuran relatif sama dengan heterofil (Simons, 1960). Basofil berbentuk bulat dengan diameter sekitar 9 p m (Jones & Johansen, 1972). Inti basofil berbentuk oval dengan sitoplasma yang mengandung granula besar dan bewama biru (basophilic).Sel darah tersebut memegang peranan penting dalam sistem reaksi alergi (Zinkl, 1986).
Gambar 2.4.
Tipe-tipe sel darah burung; (1) heterofil; (2) limfosit besar; (3) limfosit kecil; (4) eritrosit; (5) basofil; (6) eosinofil; (7) monosit; (a) fusiijbrm bodies (Simon, 1960)
Limfosit kecil mempunyai lapisan sitoplasma tipis yang mengelilingi inti sel, sedangkan limfosit besar mempunyai volume sitoplasma jauh lebih besar dibanding limfosit kecil. Kromatin pada inti limfosit terlihat lebih gelap dibanding monosit. Sel
darah tersebut mampu sedikit bergerak, tetapi tidak melakukan aktivitas fagositosis. Limfosit memegang peranan penting dalam sistem
kekebalan tubuh, karena
menghasilkan antibodi (Zinkl, 1986). Monosit, umumnya berukuran besar dengan inti yang besar dan mempunyai sitoplasma relatif lebih banyak dibanding limfosit besar. Monosit mampu bergerak sendiri (motil)
dan
melakukan aktivitas fagositosis terhadap jaringan-jaringan
makrofage (Swenson, 1993). Selain itu, monosit juga memproduksi enzim untuk menghancurkan jaringan-jaringan yang merugikan tubuh (Mitruka & Rawnsley, 1981).
Darah sebagai Sumber DNA Oleh karena adanya inti pada eritrosit burung, maka analisis DNA dapat dilakukan dengan menggunakan darah dalam jumlah volume yang kecil. Setiap p1 darah burung mengandung sekitar 11 yg DNA. Berarti dengan menggunakan 10 yl darah burung dapat dihasilkan sekitar 110 pg DNA, yang dapat dipakai untuk 100 kali analisis DNA dari satu sampel burung hidup (Arctander, 1988). Bahkan Smith et al. (1993) hanya menggunakan tiga tetes darah dalam kertas tissue (dengan jumlah total DNA 0,5 pg) untuk analisis
DNA sitokrom-b dan miDNA burung Lanzarius liberatus. Dengan
demikian maka terdapat kemungkinkan untuk mengoleksi DNA dari darah burungburung yang berukuran kecil (seperti gelatik) tanpa harus membunuh burung tersebut. Seutin et al. (1991) menyatakan bahwa untuk analisis genom, darah merupakan sumber DNA yang sangat baik. Hal itu disebabkan darah relatif mudah disimpan di laboratorium untuk jangka waktu yang pendek maupun panjang. Bowen ei al. (1998)
menyatakan, bahwa kualitas DNA clarah masih tetap baik selama satu tahun jika disimpan dalam lysis buffer pada suhu kamar. Sedangkan jika disimpan pada suhu
-20°c, maka sampai masa simpan tiga bhun, kualitas DNA dalam darah tersebut masih sama dengan kualitas DNA dari darah segar.
Gambaran darah Darah mempakan indikator penting untuk mengetahui perubahan-perubahan fisiologi dan patologi pada organisme. Perubahan-perubahan itu dapat dievaluasi jika gambaran darah normal pada organisme tersebut diketahui. Gambaran darah normal beberapa spesies burung teIah hketahui. Pada Tabel 2.1 disajikan gambaran darah normal ayam (Gallus domesticus), itik (Platyrhynchos domesticus), kalkun (Meleagris gallopavo), merpati (Collumbia livia) dan puyuh (Coturnix coturnix coturnix).
Tabel 2.1. Gambaran darah normal beberapa spesies burung Test Eritrosit Hemoglobin MCV MCH MCHC
Ayam Unit (xlOO/mmJ) 1,25-4.50 (&dl) 7,OO-8,60 tu3> 100 -139 , (ppg) 25.00-28,OO ("A) 20.00-34,OO Herrlatokrit 23,O -55,OO Leukosit (xl0 /mm3) 9,OO -32,OO (%) 15.1 -50,O Neutrofil (yo) 0,OO -8,00 Basofil (yo) 0.00 -5.25 Eosinofil (%) 29.0 -84,O Limfosit (%) 0,05 -7,OO Monosit Sumber: Mitmka & Rawnsley, 1981
.
(p)
Itik 1,SO-3,S2 9,OO-2 1,OO 115 -170 32,O -71,O 20.1 -52,5 32,6 -47,5 13,4 -33.2 19,3 -49,s 0.00 -4.50 1,60 -2,65 13.0 -733 0,50 -11.5
Analisis gambaran darah juga dilakukan untuk mengetahui perubahan fungsi respirasi selama anak burung berada dalam sarang (nestling). Hal itu misalnya dilakukan pada burung gereja (Passer montanus) (Kostelecka-Myrcha e t al., 1970; 1971), gelatik
batu (Parus major) (Kostelecka-Myrcha et al., 1973), Plaurus alle dan Sterna
paradisaea
(Kostelecka-Myrcha, 1987), Ocean~fesoceanicus (Kostelecka-Myrcha,
1989) dan Delichon urbica (Kostelecka & Jaroszewics, 1993; Kostelecka-Myrcha, 1997). Selain itu (Kostelecka-Myrcha et al., 1997) juga melakukan penelitian untuk membandingkan gambaran darah burung gereja yang hidup di daerah perkotaan d m pedesaan.
Analisis Genetik Teknologi analisis genetik semakin berkembang pesat. Keragaman pita-pita DNA yang diperoleh dari analisis genetik digunakan sebagai penanda dalam mernbantu strategi seleksi, uji keturunan, identifikasi spesies dan studi sifat-sifat menurun populasi. Kesimpulan filogeni berdasarkan analisis genetik cenderung lebih baik dibanding metode yang lain, karena dapat menunjukkan variasi sifat menurun secara langsung. Avise (1996) menyatakan bahwa analisis genetik dapat memberikan tiga sumbangan terhadap ekologi dan evolusi burung yaitu (i) dalam sistem perkawinan, ( i z ) struktur geografi populasi d m aliran gen, (iii) kekerabatan filogeni pada tingkat spesies dan takson yang lebih tinggi. Analisis genetik menunjukkan
bahwa pa& beberapa
spesies burung teqadi parasitisme pengeraman telor dan fertilisasi di luar pasangan tetap dalam frekuensi yang tinggi. Penemuan tersebut dapat mendorong pengembangan teori sistem perkawinan pada burung. Penanda-penanda genetik yang diperoleh pada analisis subpopulasi dapat mengungkap pola-pola sejarah filogeografi dari populasi-populasi yang bersifat konspesifik. Penemuan tersebut memberikan perpehf baru terhadap aliran gen dan konsepkonsep spesies. Komparasi evolusi berdasarkan aspek genetik dan
morfolog~semakin berkembang dengan adanya penemuan-penemuan gen untuk takson
yang lebih tinggi dari spesies. Analisis genetik terhadap gelatik tergolong masih sedikit. Christidis (1987) melakukan analisis kromosom pada 13 spesies burung famili Ploceidae dan menemukan adanya kekerabatan antara gelatik dengan L. punctulafa dan L. striata. Hubungan kekerabatan yang dekat antara gelatik dengan genus Lonchura juga ditemukan berdasarkan data dari hasil elektroforesis albumin (Baverstock et al., 1991). Ampliflkasi DNA dengan Primer Acak
Amplifikasi DNA dengan primer acak atau random amplzfied polymorphic DNA (RAPD), menggunakan primer oligonukleotida sekuen pendek (10 bp) untuk menguji keragaman DNA (Williams et al., 1990). Substisuti basa di dalam situs primer akan berpengaruh
pada
efisiensi amplifikasi dan perubahan penampilan
pita
yang
dihasilkannya (Dowling et al., 1996). Teknik tersebut akan menghasilkan pita-pita polimorf dengan karakter {ominan-resesif (Avise, 1994). Penanda RAPD memegang peran penting dalam analisis DNA tanaman dan hewan budidaya (Cushwa & Medrano, 1996). Oleh karena itu, penggunaan teknik tersebut terus berkembang hampir pada semua organisme. Pada tanaman, RAPD digunakan untuk mendeterminasi jenis kelamin pada SiZene latifo. Tanaman tersebut memiliki kromosom seks heteromorf (Zhang et al., 1998) dan penanda DNA pseudoautosom pada S. dioicza (Di Stilio et al., 1998). Selain itu RAPD juga digunakan untuk penyusunan DNA konsensus pada Pinus taeda L, yang diintegrasikan dengan data restriction fragment length polymorphism (RFLP) d m isozim (Sewella et al., 1999). Pada hewan, RAPD
telah digunakan untuk penanda ddam pemetaan DNA Anopheles gambiae (Dimopulos et al., 1996), keragarnan mtDNA Bombyx mori (Aryani, 1996), penanda DNA pada strains Plasmodzumfalciparum yang resisten terhadap klorokuin (Lescuyer et al., 1997),
estimasi keragaman DNA pada populasi burung monogami tetapi burung betina pada waktu tertentu secara rutin melakukan perkawinan dengan jantan di luar pasangan tetapnya (Petrie et al., 1998), identifikasi dan pemetaan DNA polimorf pada Tetrahymena thermophila (Lynch et al., 1998). RAPD dibanding teknik analisis DNA yang lain memiliki keunggulan-keunggulan.
Pertama, biaya dan waktu yang diperlukan dalam penyusunan primer acak lebih kecil dibanding penyusunan primer
khusus. Walaupun primer
acak menempel pada
sembarang tempat dalarn genom tetapi dengan menyeleksi sejumlah besar pasangan primer rnaka ada peluang untuk menemukan pita DNA yang diinginkan. Pita tersebut
kemungkinan tidak terdapat dalam setiap kromosom maupun organisme. Frekuensi pita polimorf dari amplifikasi sejumlah individu merupakan penanda genetik yang dapat digunakan untuk menentukan karakter Mendel, terutama sifat dominan (Moritz & Hillis, 1996). Kedua, RAPD tidak memeriukan pengetahuan tentang sekuen DNA-DNA dari
takson yang dijadikan target. Banyak pita &pat teramplifikasi secara jelas pada setiap spesies dengan menggunakan beberapa primer acak. Ketim, W
D mampu mengenali
bagian-bagian genom secara acak sehingga terbuka peluang untuk mengamplifikasikan setiap bagian gen dalam kromosom. Hal tersebut menyebabkan RAPD dapat digunakan sebagai penanda genetik untuk mengenali sifat fenotipe tertentu seperti resistensi insekta terhadap pestisida. Keemmt, RAPD bermanfaat pula dalam analisis sifat paternal dan maternal organisme. Sejumlah pita hasil arnplifikasi RAPD secara tepat dapat
mendokumentasikan hubungan kekerabatan antara bapak dan anak, jarak penyebaran biji, fertilisasi dengan jantan atau betina di luar pasangan tetap dan parasitisme dalam pengeraman telor. RAPD selain memiliki keunggulan-keunggulan, juga memiliki kelemahankelemahan. P F ' ,
sifat acak primer dalam siklus PCR menimbulkan kesulitan &lam
membedakan polimorfisme antara hasil amplifikasi DNA dan artefak (semua hasil amplifikasi selain DNA yang dijadikan target). Kedua, jika dalam siklus PCR tidak muncul pita-pita DNA yang jelas maka konsekuensinya muncul berbagai ukuran pita yang tidak jelas sehingga menyulitkan interpretasi. Ketina, PCR tidak selaIu dapat memberikan hasil tepat setiap waktu. Seringkali perbedam-perbedaan kecil dalarn kualitas DNA dan artefak menghasilkan perbedaan pola pita antara individu satu dengan individu lainnya. Keemvat, lokus homolog relatif sukar diidentifikasi sehingga komparasi inhaspesies maupun interspesies sulit dilalcukan. Kelemahan tersebut dapat diatasi dengan mengkloning dan mensekuen pita target untuk kemudian digunakan mendesain primer. Selanjutnya primer dengan lokus spesifik itu digunakan untuk mengamplifikasikan lokus homolog pada organisme lain &lam satu takson yang sama maupun dalam takson yang berbeda.