BABI PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa yang hidup dalam lingkup budayanya (culture area) masing-masing. Budaya yang beraneka ragam ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk (plural societies) yakni masyarakat yang tersusun dan terbagi ke dalam sub sistem yang
berdiri sendiri serta terkait dalam ikatan yang bersifat primordial (primordial ties). Kemajemukan masyarakat Indonesia itu di tandai oleh adanya kelompok bangsa (ethnic group) yang mempunyai cara-cara hidup (tradisi) atau kebudayaan yang
berlaku dalam masyarak:at suku bangsanya sendiri-sendiri. Setiap suku bangsa memiliki tatanan sendiri yang menyangkut pengaturan dalam kelompoknya yaitu sebagai norma yang dipegang bersama (held norm). Norma-norma yang dimak:sud adalah seperti budaya tradisi kelompok suku yang senantiasa diimplikasikan dalam kehidupan kelompoknya masing-masing. Misalnya adalah penuturan (term of addres), ritus perkawinan, bercocok tanam dan bahkan dalam segala aspek kehidupan kelompoknya terdapat norma-norma yang mengatur dan berlaku luas dalam kelompok itu. Oisamping itu, kondisi masyarakat yang bukan lagi terisolir berdasarkan kawasan atau teritori dimana individu telah dapat bergaul dan berbaur dengan
individu
lainny~
telah pula menciptakan hubungan antara etnis yang berbeda
kebudayaannya yang secara tidak langsung
telah membentuk atau menciptakan
akulturasi (aculturation) antar etnik yang berbeda itu. Hal ini
telah mendorong
teijadinya perubahan-perubahan (changes) dalam masyarakat, baik yang menyangkut tatanan hidup dan
budaya tradisi sebagai tuntutan terhadap
norma hidup yang
universal. Perubahan-perubahan dalam masyarakat itu dapat mengenai nilai-nilai sosial (social value), norma-norma sosial (social norm), pola-pola prilaku (pattern of
behavior),
susunan lembaga kemasyarakatan (social institution), lapisan-lapisan
dalam masyarakat (social stratification), dan kekuasaan atau wewenang (autority). Yakni sebagai dampak persentuhan antar etnik yang berbeda untuk mencari harmoni
dan integrasi antar kelompok maupun teijadinya perubahan sosial (social change) yang tak dapat dihempang perkembangannya. Penelitian ini akan mencoba menguraikan perubahan budaya dalam pengelolaan pertanian tanaman padi, khususnya pada masyarakat Melayu dan Jawa di Sumatera Utara. Secara lebih spesifik, penelitian ini dilakukan terhadap dua kelompok etnik yakni Melayu dan Jawa di Desa Perhiasan Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat. Scperti diketahui, etnik Melayu adalah suatu suku yang berdiam di Sumatera Utara yang sejak dahulu telah membentuk perkumpulan-perkumpulan yang bertujuan untuk mengembangkan adat istiadat dan kebiasaan yang menjadi identitas kelompoknya (ethnic group identity). Salah satu kebutuhan dasar (basic need) yang
2
dimaksud adalah budaya tradisi dalam pengelolan pertanian tanaman padi. Dalam melaksanakan peketjaan pertanian tersebut, masyarakat Melayu senantiasa mengacu pada keluhuran nilai budaya sejak pengolahan tanah, pembibitan, dan menanam
hingga panen. Budaya tradisi yang dimaksud dalam pengelolaan pertanian itu adalah seperti adanya upacara turun ke sawah pada kebanyakan masyarakat Indonesia yang diawali dengan ritus-ritus tertentu sesuai dengan tahapan pengetjaan yang dilakukan. Ritus-ritus sedemikian itu menjadi penting dalam setiap aktivitas manusia yang tidak saja terfokus pada masyarakat tradisional, tetapi juga pada masyarakat masa kini. Eksistensi beragam ritual tersebut dapat bertahan karena adanya anggapan bahwa dengan cara itu, maka seluruh aktivitas kehidupan manusia dapat berhasil (sukses). Oleh karenanya, tidak jarang apabila dalam setiap melakukan kegiatannya, manusia itu senantiasa tidak pemah keluar dari dari acuan ritual. Namun, sejalan dengan kemajuan pola pikir lebih dikedepankan,
manusi~
>Climana rasionalitas
dan tuntutan agama yang meniadakan hal-hal yang berbau
mistik, maka telah tetjadi semacam pergeseran kebudayaan dimana ritual-ritual yang terkait dengan kegiatan tertentu menjadi ditabukan. Ditambah lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka dalam hal pertanian misalnya hampir tidak diketemukan lagi berbagai ritual tersebut. Hal ini menjadi fenomena yang menarik dikaji, apakah perubahan itu tetjadi sebagai dampak dari kemajuan pola pikir atau lebih cenderung disebabkan oleh ketidakmampun budaya itu dalam menghadapi beragam perubahan lingkungan.
3
Perubahan yang demikian itu juga terasa di Desa Perhiasan Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat dalam tradisi pengelolan pertanian tanaman padi yang meliputi memanen
pengolahan laban, penaburan benih, pencabutan bibit, menanam dan dimana kebanyakan
kelompok masyarakatnya tidak lagi menerapkan
tatacara pengelolaan pertanian seperti pada masyarakat tradisonal sebelum mereka mengenal aspek-aspek modem dalam pengelolaan pertanian. Perubahan
dalam hal
ini tidak menutup kemungkinan oleh adanya faktor perubahan sosial (social change) yang diakibatkan oleh suatu proses penciptaan hal yang bam atau inovasi (inovation) yang didorong oleh penemuan-penemuan bam (discovery) oleh ilmu pengetahuan dan teknologi (tools and technologies) sebagai bentuk inovasi terhadap kebudayaannya. Hal lainya adalah adanya kecenderungan komersialisasi pertanian yang bertumpu pada modemisasi dalam hal agraria yang secara berkesinambungan akan menggeser pertanian subsistens ke arah yang lebih menguntungkan dengan orientasi pasar. Jika pada awalnya, pengelolaan pertanian tak pemah keluar dari rentetan ritual adat istiadat, maka pada saat sekarang kebiasaan itu hampir tertinggalkan. Budaya turun kesawah misalnya, hampir tidak lagi dibarengi dengan ritual adat, justru masyarakat didaerah ini (desa Perhiasan) dalam kegiatan pertaniannya tidak lagi diselimuti oleh unsur-unsur ritual.
Dengan kata lain, yakni bahwa jika anggota
masyarakat akan melakukan penanaman padi maka hal tersebut tidak perlu melakukan serangkaian ritual terlebih dahulu. pemanenan padi misalnya,
Demikian pula halnya pada waktu
hampir tidak diketemukan lagi upacara potong padi
seperti yang banyak di nyanyikan dalam lagu-lagu daerah. Jika sudah pada waktunya
4
padi dipanen, maka kegiatan itu langsung dilakukan. Bisa jadi pemotongan itu dilakukan dengan system borong kepada pihak yang trampil dalam pemotongan padi atau pula dengan cara menggaji orang perharinya. Hal ini berarti bahwa unsur-unsur tardisional sebagaimana layaknya pertanian tradisional yang tidak pernah lepas dari ragam ritual, atau pula lebih cenderung menggambarkan kehidupan komunalistik, maka permasalahan itu menjadi menarik untuk diteliti jika dibandingkan dengan pengelolaan pertanian padi pada masyarakat sekarang terutama pada petani Jawa dan Melayu. Oleh karena itu, penelitian ini akan berupaya mengungkapkan serta mendeskripsikan
perubahan budaya dalam
pengelolaan pertanian tanaman padi khususnya pada masyarakat etnik Melayu dan Jawa di desa Perhiasan Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat. Dipilihnya konsep ini adalah berdasarkan petimbangan pada relevansi dengan bidang kerja penulis serta adanya kenyataan bahwa desa Perhiasan adalah daerah percampuran terutama oleh komunitas Melayu dan Jawa. Lagi pula, sumber pencaharian pokok mereka adalah bertani padi di sawah (wet rice cultivation) yang berada di daerah domisili peneliti.
B. ldentiftkasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka diketemukan berbagai permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:
5
I. Adanya perubahan sosial budaya dalam pengelolaan pertanian khususnya tanaman padi pada masyarakat Melayu dan Jawa di Desa Perhiasan Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat. 2. Terjadinya proses akulturasi antar kelompok suku yang berbeda sehingga telah merubah tatanan adat istiadat dan budaya kelompok etnik Melayu dan Jawa. 3. Adanya Pengaruh inovasi terhadap pola-pola pertanian tanaman padi pada kedua kelompok etnik. yaitu Melayu dan Jawa. 4. Ketidakmunculan unsur budaya dalam pengelolaan pertanian pada masyarakat
masa kini terutama pada petani Jawa dan melayu di desa Perhiasan kecamatan Selesai. 5. Pengaruh agama terhadap kegiatan beragam ritual pengelolaan pertanian padi. 6. Peranan bioteknologi dalam perkembangan pertanian tanaman padi.
C. Pembatasan Masalah. Seperti yang telah dikemukakan pada
identifikasi masalah diatas, maka
masalah dalam penelitian ini akan dibatasi pada aspek: 1. Peranan budaya dalam pengelolaan pertanian tanaman padi pada kedua kelompok suku, yaitu Melayu dan Jawa di desa Perhiasan Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat.
6
2. Perubahan budaya dalam pengelolaan pertanian tanaman padi pada kedua kelompok suku yaitu Melayu dan Jawa di desa Perhiasan Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat. 3. Faktor-fak.tor yang mengakibatkan terjadinya perubahan budaya dalam pengelolaan pertanian tanaman padi pada kelompok masyarakat Melayu dan Jawa di desa Perhiasan Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat. 4. Akulturasi Budaya Melayu dan Jawa di desa Perhiasan Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat.
D. Perumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian
1m
adalah sebagaimana yang
dirumuskan berikut ini, yaitu: 1. Bagaimanakah perubahan budaya dalam pengelolaan pertanian tanaman padi pada kedua kelompok suk.u yaitu Melayu dan Jawa di desa Perhiasan Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat. 2. Faktor-faktor apa saja yang mengakibatkan terjadinya perubahan budaya dalam pengelolaan pertanian tanaman padi pada kelompok masyarakat Melayu dan Jawa di desa Perhiasan Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat. 3. Apakah terdapat akulturasi Budaya antara masyarakat Melayu dan Jawa dalam pengelolaan pertanian di desa Perhiasan Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat.
7
E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: I. Mengetahui bagaimana perubahan budaya dalam pengelolaan pertanian tanaman padi pada kedua kelompok suku yaitu Melayu dan Jawa di desa Perhiasan Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat. 2. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mengakibatkan terjadinya perubahan budaya dalam pengelolaan pertanian tanaman padi pada kelompok masyarakat Melayu dan Jawa di desa Perhiasan Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat. 3. Mengetahui apakah terdapat akulturasi Budaya Melayu dan Jawa dalam pengelolaan pertanian di desa Perhiasan Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat.
F.~anfaatPenelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain sebagai berikut: 1. Untuk memberikan gambaran tentang arti dan fungsi peranan budaya dalam pengelolaan pertanian bagi masyarakat Melayu dan masyarakat Jawa di desa Perhiasan kabupaten Langkat. 2. Sebagai deskripsi terhadap perubahan budaya dalam pengelolaan pertanian padi di desa Perhiasan khususnya dan Indonesia umumnya. 3. Sumbangan ilmu pengetahuan te.rhadap kaitan budaya terhadap pengelolaan pertanian.
8
G. Kerangka Teori 1. Manusia dan Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat (1984;181) kebudayaan (culture) adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan cara belajar. Sedangkan menurut Taylor dalam Poerwanto (2000;52), kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum moral, adat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan yang hila didefmisikan menurut Antropologi berarti bahwa kekuatan manusia itu secara biologis tak banyak berbeda dari binatang, tetapi dalam kelakuannya tampak suatu perbedaan yang sangat besar karena manusia sebagai mahluk fisiologis membutuhkan perangkat kebutuhan biologis dan fisiologis yang setiap saat perlu dipenuhi. Dalam rangka memenuhi kebutuhan fisiologis, setiap individu harus memenuhi beberapa kondisi minimum 7 (tujuh) kebutuhan pokok, yaitu: 1) bahan-bahan makanan, 2) berkembang, 3) ketentraman, 4) keamanan, 5) pergaulan, 6) pergerakan, 7) bermasyarakat. Kebudayaan dari tiap-tiap bangsa dapat dibagi dalam sejumlah unsur-unsur yang amat besar yang disebut culture universal.
Kluckhon (1981;12) mengurai
bahwa cultural universal tcrdiri dari : 1) peralatan dan perlengkapan hidup manusia, 2) mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, petemakan, sistem produksi, ristem pembagiau), 3) sistem kemasyarakatan (kekerabatan, perkawinan,
9
hukum dan politik), 4) bahasa (lisan dan tulisan), 5) kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak), 6) sistem pengetahuan, 7) religi (kepercayaan) Tiap unsur kebudayaan universal itu dapat diperinci kedalam unsur-unsumya yang lebih kecil srunpai pada yang terkecil. Linton, (1963:397-398) membagi cultural
universal itu menurut empat tahap yakni: 1) cultural activities, 2) complexes, 3) traits dan 4) items. Pemerincian lebih lanjut dapat dianalogikan ke dalam budaya universal
sistem mala pencaharian misalnya, perburuan, perladangan, pertanian, petemakan, perdagangan, perkebunan, industri, kerajinan, industri pertambangan, industri jasa dan industri manufaktur. Tiap bagian itu mempunyai wujudnya sebagai sistem
..
budaya yang disebut dengan adat,
wujudnya sebagai sistem sosial yang disebut
dengan aktivitas sosial, dan wujudnya yang fisik yaitu berupa alat-alat kebudayaan. Jika diperhatikan kembali maka ketujuh
budaya universal tersebut dapat
dikategorikan ke dalam tiga wujud kebudayaan yakni: ide atau gagasan, aktivitas dan benda-benda kebudayaan (Honigmann, 1959: 11-12), yaitu suatu sistem dari ide-ide dan konsep-konsep dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola (Kroeber and Parson, 1958:582). Ide-ide dan gagasan-gagasan manusia banyak hidup
bersama dalam suatu
masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan itu tidak lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan, menjadi satu sistem yakni sistem budaya
(cultural system) (Koentjaraningrat, 1981 : 186). Sedangkan aktivitas yaitu sistem sosial (social system) mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri yang terdiri dari aktivitas manusia yang berinteraksi,
berhubungan serta bergaul satu dengan
10
yang lainnya. Atau sebagai sebuah rangkaian aktivitas manusia dalam masyamkat, sistem sosial itu bersifat kongkret yang terjadi pada sekeliling manusia sehari-hari, dapat diobservasi atau didokumentasikan (Koentjaraningrat, 1981: 187). Sedangkan wujud berikutnya yakni artifak atau benda-benda kebudayaan adalah wujud kebudayaan yang dapat berupa seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1981: 188)
Dalam tiap masyaraka4 baik masyarakat yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan yang lainnya berkaitan hingga merupakan suatu sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya.
Kluckhohn (1961) mengurai sistem nilai budaya dalam tiap
kebudayaan itu mengenai lima masalah dasar dalam kehidupan manusia. Kelima masalah dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan bagi kerangka variasi sistem nilai budaya adalah: 1) hakekat dari hidup manusia, 2) hakekat dari karya manusia, 3) hakekat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, 4) hakekat dari hubungan manusia dengan lingkungannya dan 5) hakekat manusia dengan sesamanya. Secara lengkap, Kluckhohn mendeskripsikan sebagaimana yang terlihat didalam tabel-1 dibawah ini, yaitu:
11
Table I Kerangka Kluckhohn Mengenai Lima Masalah Dasar Dalam Hidup Yang Menentukan Orientasi Nilai Budaya Manusia. Masalah Dasar hidup
Orientasi Nilai Budaya
Hakekat Hidup
Hidup Itu buruk
Hidup itu Baik
Hakekat Karya
Karya itu untuk natkah hidup
Persepsi Manusia tentang Waktu Pandangan Manusia terhadap Alam
Orientasi ke masa kini
Karya itu untuk kedudukan, kehonnatan, dsb. Orientasi kemasa Lalu
Hakek3t Hubungan Antar Sesama
Manusia tunduk pada alam yang dahsyat Orientasi koletoral (horijontal), rasa ketergantungan pada sesamanya {berjiwa gotong royong)
Manusia berusaha menjaga keselarasan denganalam Orientasi vertical, rasa ketergantungan kepada tokoh-tokoh atasan dan berpangkat.
Hidup itu buruk, tetapi manusia wajib beriktiar supaya hidup itu menjadi baik. Karya itu untuk menambah karya Orientasi ke masa depan Manusia berhasrat menguasai alam Individualisme menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri
Sumber: Kluckhon (1961) dalam Koentjaraningrat (1981: 17)
Kebudayaan mempunyai unsur atau beberapa pranata tertentu yang merupakan suatu unsur pusat dalam kebudayaan sehingga digemari oleh sebahagian warga masyarakat dan dengan demikian mendominasi banyak aktivitas atau pranata lain dalam kehidupan masyarakat. Linton, (1936) menyebutnya sebagai cultural interest atau juga social interest atau focus kebudayaan (Koentjaraningrat, 1981: 216). Disamping itu, kebudayaan juga sering memancarkan suatu watak khas tertentu yang tampak dari luar yang kelihatan oleh orang lain.
Watak khas (ethos) itu sering
tampak pada gaya tingkah laku warga m33yarakat kebudayaan, kegemarankegemaran dan berbagai benda hasil karya mereka. Misalnya pandangan ora.-qg Batak terhadap kebudayaan
Jawa yang mema.."lcarkan keselarasan,
kesuraman dan
12
ketenganan berlebih-lebihan sehingga sering menjadi kelambanan, kegemaran akan tingkah laku yang mendetail ke dalam atau njelimet dan kegemaran akan karya dan gagasan-gagasan yang berbelit-belit (Koentjaraningrat, 1981 :217). Dalam penelitiannya, Ruth Benedict (1934) menguraikan bahwa kebudayaan memiliki
etos yakni
watak khas yang terpancar dan mengilhami masyarakat
pendukung kebudayaan itu. Demikianlah kebudayaan Indian
Crow yang
memancarkan sikap agresif, kegemaran akan keketatan watak serta inisiatif individ14 suka pada konsepsi bahwa usaha mencari kesukaran dan kesakitan jasmaniah akan memperkuat roh.aniah. Karena sifat-sifat tersebut menyerupai sifat dewa Dionysus dalam mitologi Yunani klasik, maka watak kebudayaan Indian Crow disebut watak
Dionysian, sama seperti watak khas kebudayaan Zuni yang memancarkan ketenangan dan keselarasan yaitu watak Apollonian karena menyerupai watak dewa Apollo Yunani Kebudayaan sebagai tindakan manusia yang berpola (frame of reference of the
theory of action) , didalamnya terkandung empat komponen yaitu: 1) system budaya (cultural system), 2) sistem social (social system), 3) sistem kepribadian (personality system) dan 4) sistem organik (organic system) (Parson and Shills, 1962). Sebagai kerangka teori tindakan (rheory of action)
berik.ut dideskripsikan
dalam bagan-1 dibawah ini, yaitu:
13
Bagan-I Kerangka Teori Tindakan Talcotts Parsons Wujud
Si&t.em. budaya
.
Pt·oses betajar
Gacasan2
M~uata
(Cultur~ •JI•fe~nj
konsep2
tnemantapkan
Ada&.-iKi-t
!ll&:.urar.2
Pranat.a
!
Si.stem nifai ·budaya/
II
SiMco not'"nl.a2 hukurn' norma2 agama Sistenl nonna2 not'lhukum d1darn rangka pranat.a2 unive..-"'al
Pembudayaan (enku1turasi•
i
Bi.t.e1n Sosial
'1indakan2
(Sociol .y•te-m}
ant.ar-indi · vidu )·ang berpola
Siat.em kepribadian (Personality syat.em) Siste.n orcanik (O'l/Gft.k ay•le,.}
Tindakan2 bedcepriba-
lnten.ksi antarindivi..du
Mernenuhi
dian
baarat dan rnotivasi
<"Jrganiana. n•ar.usia
Adapt.asi tt-.d . lingkungan,---
rnenya.mbu.nc keterbat.a.san orga-
Univ~rsal
't
JBahasa Pranata2 tekno•oei
Sosi.1.isas.i
Pranata2 peonceta.huan Pranata2 ekonornf Pranat..a2 OJ:'&'anis~ eo-at at Pranata2 keacarn-n Pranillt.a2 kc~nian
l I
lnternaJ:i.~
!
__j
nilai-~arna
I
I
Peralatan dahun rangka pranat..a2 universaJ
nisma m.anusia.
Disamping itu, kerangka kebudayaan secara lebih lanj ut digambarkan dalam bagan-2 dibawah ini:
Bagan-2 Kerangka Kebudayaan
SISTEM TEKNOLOGI
14
Menyoal aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-harinya, Ralph Linton (1936) menegaskan bahwa kebudayaan merupakan cultural activities. aspek
Misalnya
mata pencaharian hidup, yang mencakup aktivitas kebudayaan seperti :
pembaruan pertanian, pertanian menetap, pertanian berpindah-pindah dan budaya bertani sehingga aktivitas budaya dapat dipecah dengan beberapa unsur-unsur yang lebih kecil atau trait complexes. Demikian misalnya dalam rangka aktivitas pertanian menetap ada komplek unsur-unsur seperti irigasi, sistem pengolahan tanah, sistem pemilikan tanah dan teknik penanaman. Dari beberapa unsur tadi dapat dibagi kedalam trait atau unsur-unsur seperti sistem pengolahan tanah dengan bajak dan tenaga yang digunakan untuk menarik bajak, teknik pengendalian binatang sebagai tenaga penggerak dan lain sebagainya.
2. Sistem Mata Pencaharian Salah satu unsur dari kebudayaan yang universal (cultural universal) adalah terkait dengan system mata pencaharian yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Berturut-turut sistem mata pencaharian tersebut adalah seperti berburu dan meramu, perikanan, bercocok tanam, petemakan, perdagangan dan lainlain (Koentjaraningrat, 1981 :8). Dalam kajian ini, pembahasan akan difokuskan pada sistem mata pencaharian yaitu bercocok tanam (pertanian) yang terpusat pada tanaman padi. Seperti diketahui bahwa, sebahagian besar sumber penghasilan penduduk bangsa Indonesia adalah bersumber dari sektor pertanian. Oleh sebab itu, tidak salah
15
jika
bangsa Indonesia disebut sebagai bangsa agraris,
yaitu bangsa
dimana
sebabagian besar penduduknya adalah petani. Sektor lain seperti industri, pertambangan dan perkebunan maupun perniagaan adalah sektor yang banya di huni oteh sebahagian kecil dan umumnya terkonsentrasi di perkotaan. Hal menarik dalam memahami masyarakat desa adalah sistem mata pencahariannya. Pertanian adalah ciri khas utama meski banyak desa-desa dimasa
kini yang telah mengalami pergeseran. Sifat usaha tani yang sarat dengan resiko, kepastian alam yang sulit untuk dikendalikan serta pasar yang sering tidak memihak petani menyebabkan system mata pencahariannya hampir sulit untuk berkembang. Seringkali pula kondisi itu, dimanfaatkan para tengkulak dan pedagang desa untuk menumpuk monopolinya terhadap jalur distribusi. Kondisi inilah yang seringkali menyebabkan posisi tawar petani menjadi produsen lemah (Yuliati, 2003: 56). Mata pencaharian penduduk pedesaan yang biasanya pertanian atau usaha tani yaitu sebagai organisasi alam, kerja dan modal yang ditunjukkan kepada produksi dilapangan pertanian. Organisasi ini ketatalaksanaanya berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seseorang atau sekelompok orang, segolongan sosial, baik yang terkait genealogis, politis maupun territorial sebagai pengelolanya. Secara umum, pertanian atau usaha tani di Indonesia lebih menitikberatkan pada produksi
subsisten (Geertz, 1967) yakni setiap bentuk kegiatan ekonomi yang
hasilnya ditujukan untuk konsumsi langsung oleh produsen sendiri atau oleh orang .-,
lain, tanpa melalui sirkulasi atau pasar (Clauss dan Hartman, 1987). Pada produksi pertanian subsistens ini, komoditas utama yang banyak dibudidayakan adalah padi.
16
Jenis ini banyak di tanam (umumnya) di sawah, namun demikian adapula yang menanamnya di darat (padi gogo). Selain tanaman ini, sebahagian kecil petani di Indonesia, juga membudidayakan
tanaman holtikultura (Penny, 1976) sebagai
tanaman cash crop (penyelia tunai). Baik pola pertanian yang dilakukan di lahan basah maupun dilahan kering, pada umumnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan sedikit saja yang memiliki orientasi ke pasar. Keadaan ini terjadi karena para petani itu sendiri dalam pendapat Boeke (1953) dikemukakan sebagai petani yang 'enggan maju' atau social dualism dalam mengubah tingkah laku ekonominya., atau menurut Penny (1976) dinamakan sebagai peasant's subsistence
mindedness atau sifat khas petani yang terpana kebutuhan subsisten Selain itu, juga dimungkinkan oleh ekonomi pasar yang lebih mendominasi, dimana masyarakat telah terpengaruh dengan penggunaan uang sebagai dampak dari modernisasi. Akibatnya, sektor pertanian menjadi relatif tertinggal dan secara perlahan beralih ke sektor lain seperti industri walaupun itu hanya sebagai buruh industri. Evers (1984) mengemukakan bahwa tekanan pada produksi dan kemajuan telah menyebabkan berpalingnya perhatian masyarakat dari reproduksi dan prokreasi. Terpukaunya manusia akan uang dan pasar telah mengkukung pengalaman langsung mengenai tukar menukar diluar pasar dan jasa tanpa imbalan. System ekonomi pasar yang lebih mendominasi itu adalah sebagai rangkaian proses sosial (Polanyi, 1957) yang memberikan pada proses itu kesatuan dan stabilitas. Ia menghasilkan suatu struktur dengan fungsi tertentu dalam masyarakat. Ia menggeser kedudukan proses itu sehingga bertambah artinya dalam sejarahnya. Ia juga memusatkan perhatian pada
17
nilai, motivasi dan kebijaksanaan. Kesatuan dan stabilitas struktur dan fungsi, sejarah
..
dan kebijaksanaan menjabarkan secara operasional bahwa tata ekonomi manusia
dewasa ini adalah proses yang dilembagakan. Oleh karenanya, tak urung apabila kebijakan yang muncul ditengah-tengah pertanian kitapun adalah kebijakan yang tertumpu pada berbagai kepentingan terkait. (Khudori, 2004) Pengelolaan usaha tani dimaksudkan sebagai kemampuan petani
menen~
mengorganisir dan mengkordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasai sebaikbaiknya dan mampu memberikan produksi pertanian sesuai yang diharapkan. Ukuran dari keberhasilan pengelolaan itu adalah produktifitas dari setiap faktor maupun produktifitas dari usahanya. Lebih lanjut, Mubyarto, (1985) mengemukakan bahwa petani
membandingkan antara hasil yang diharapkan akan diterima pada waktu
panen dengan biaya yang harus dikeluarkan. Ia akan mengadakan perhitungan apakah usahanya menguntungkan atau tidak. Jadi usaha tani merupakan suatu tindakan terpadu yang dilakukan oleh petani baik secara kelompok maupun perseorangan kaitanya dalam melakukan proses produksi pertanian baik mulai input sampau output dengan tujuan optimalisasi hasil atau pendapatan.. Sedangkan
faktor yang mempengaruhi pendapatan petani itu antara lain,
menurut Mubyarto ( 1987) adalah bahwa petani memandang pertanian sebagai sarana pokok untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya melalui hasil produksi pertanian. Hal itu dimaklumi bahwa sektor pertanian bagi masyarakat pedesaan masih menjadi tumpuan utama untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga jam kerja digunakan
untuk aktifitas pertanian cukup konstan dilakukan petani pada tiap
18
musimnya. Jam kerja di sektor pertanian sangat terasa pengalokasiannya hila telah tiba musim tanam dan musim panen. Sementara itu, pada musim-musim tertentu tenaga kerja pedesaan sangat tidak produktif. Migrasi temporer yang dilakukan para petani merupakan fenomena
wajar dan realitis bagi petani untuk mengisi waktu
luangnya guna mendapatkan tambahan penghasilan. Secara
lai~
Wiradi dan Makali (1983) dalam Kasryono (1983)
lebih
menekankan pada luas lahan yang dimiliki petani. Disebutkan bahwa semakin besar luas tanah yang dimiliki, semakin besar pula pendapatan rata-rata rumah tangga. Kondisi di wilayah pedesaan Indonesia ini adalah sangat sulit untuk mendapatkan petani yang memiliki lahan luas, bahkan hampir seluruhnya berlahan sempit. Hanya beberapa saja dalam suatu desa yang mempunyai lahan lebih sehingga petani pada dasarnya bukanlah petani melainkan buruh tani. Keadaan ini dapat wujud disebabkan oleh faktor-faktor seperti pertumbuhan penduduk yang meningkat yang oleh Geertz (1967) dihipotesakan sebagai Agricultural Involution atau pemungkretan pertanian berdasarkan tingkat shared poverty (kemiskinan yang dibagi), pengalihanfungsian tanah, terjual atau gadai (Simandjuntak, 2005). Dalam terminologi lain, penting dibedakan
istilah farmer (petani modem
orientasi pasar) dengan peasant (petani tradisional dengan orientasi subsisten). Dengan kondisi yang demikian,
sangatlah sulit untuk mendapatkan efisiensi
maksimal dalam usaha tani sehingga petani dan keluarganya akan semakin miskin apabila terns menggantungkan hidupnya pada pertanian. Lebih lanjut, Mosher (1977) mengemukakan bahwa kebanyak:an keputusan petani mengenai pertanian masih
19
diambil dalam kedudukannya sebagai anggota dari sebuah keluarga, sehubungan dengan hasratnya untuk melakukan apa yang dapat dilakukannya untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik bagi keluarganya, didalam banyak hal merupakan dorongan yang efektif untuk mempertinggi hasil usaha taninya. Menyinggung keterkaitan antara tingkat pendidikan dengan kesempatan beralih ke sektor pekerjaan lain, Soentoro (1983) mengemukakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin terbuka kesempatan mereka untuk memilih pekerjaan dari berbagai alternative pekerjaan.
3. Kaitan Budaya dalam Pengelolaan Pertanian Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa kebudayaan adalah serangkaian gagasan, ide dan daya cipta serta kreasi manusia. Dalam kebudayaan itu tertuang berbagai aspek-aspek yang lazim disebut sebagai elemen kebudayaan yang universal yakni seluruh rangkaian kegiatan manusia yang dapat diketemukan dalam setiap aktivitas hidup manusia. Dalam melakukan kegiataannya, manusia terkadang meletakkan persoalan kepada kebiasaan yang telah lama diterima sebagai kebenaran ataupun fakta. Misalnya penentuan hari baik dalam bercocok tanam, perubahan musim ataupun iklim, jenis bibit yang ditanam, termasuk berbagai pantangan yang harus dielakkan. Dalam masyarakat tradisional (sebelum mengenal modernisasi pertanian), hal demikian itu adalah wajar karena pengetahuan pertanian memang masih sebatas itu.
Lagi pula, bagi mereka, keadaan seperti itu telah merupakan kebenaran yang tidak
20
bisa diganggu gugat. Uraian Michael R. Dove tentang Sistem Perladangan di Indonesia yang mengambil daerah penelitian di pedalaman Kalimantan (1984) atau juga dalam buk:unya "Manusia dan Alang-alang" (1986). Atau juga dalam uraian Cliford Geertz, tentang sistem pertanian di luar Jawa dan di pulau Jawa itu sendiri. Demikian pula Wolfgang Clauss dan J. Hartman yang melakukan penelitian di Sirnalungun Sumatera Utara.
Hal
menarik adalah uraian Soediono MP.
Tjondronegoro (Prisma 1983) tentang Revolusi Hijau (RH) dan perubahan Sosial di Pedesaan Jawa. Dirnana, RH yang digalakkan pemerintah pada saat itu yang bertujuan untuk mengangkat martabat petani, tetapi tidak berhasil. Yang justru terjadi adalah komersialisasi pertanian.
Komersialisasi pertanian tersebut akhirnya
mendominasi setiap petani dan terjadilah perubahan sosial yang dramatis di pedesaan Jawa. Dalam bahasan Dove (1984) diuraikan bahwa penentuan lahan, pembukaan laban pertanianpun tidak luput dari acara ritual yang dipimpin oleh tokoh spritual adat. Demikian pula dalam masa pembibibitan, penyiangan dan pemanenan. Hampir
tidak pernah lepas dari ragam aktivitas ritual. Apabila misalnya pertanian mereka tidak berhasil dengan baik, maka mereka akan pindah ke daerah lain dengan cara yang sama yakni slash and Burn.
Dalam pikiran mereka tidak peinah terlintas
bagaimana keseirnbangan ekosistem apabila kebiasaan itu diteruskan. Bagi mereka, apabila produktivitas pertanian telah menurun, maka jawabannya adalah mencari laban lain.
21
Seberapa besar pengaruh budaya dalam pengelolaan pertanian apalagi menyoal tentang produktifitas, tidaldah menjadi soal bagi petani. Apabila pertanian cukup menggembirakan atau
memuas~
basil
maka perhatian mereka justru
tertuju pada serangkaian upacara yang telah dilakukan diawal memulai pertanian. Yakni bahwa ritual yang mereka lakukan telah benar dan diterima oleb numinous (dewa).
Sebaliknya, apabila basil pertanian itu kurang memuaskan, maka
persoalannya justru bukan diletakkan pada berbagai masalah seperti dalam pertanian modem tetapi justru diakui bahwa terdapat kesalahan manusia itu ketika melakukan upacara paling tidak bahwa upacara mereka belum sempuma. Dengan begitu, tak urung, bagi kebanyakan masyarakat Indonesia umumnya, maka persoalan rituallebib mendominasi diawal bercocok tanam demgan barapan agar basil ~-;i.:iani lebib memuaskan. Dalam masyarakat masa kini, kaitan budaya dalam pengelolaan pertanian masih dapat diketemukan. Misalnya dalam masyarakat Batak yang Kristen, ketika musim tanam padi tiba, maka Gereja melalui "Hamba Gereja" akan mengumumkan bahwa musim tanam telah tiba, dan sebagai awal bertanam maka benib benib dibawa
dan didoakan di Gereja. Setelah itu, masyarakat diperkenankan untuk menanamnya. Bagi mereka, tidak menjadi soal, apakah produktifitas padi tersebut memuaskan atau tidak, yang jelas adalah bahwa upacara telah dilakukan walaupun sebatas membawa benib dan berdoa bersama di Gereja. Dengan begitu, meskipun mengambil corak yang modem, namun kaitan budaya tersebut masih dapat diketemukan kendati bukan lagi dalam wama upacara magis.
22
Dalam masyarakat Jawa misalnya, masih dikenal upacara turon ke sawah yakni permulaan untuk menanam padi. Biasanya, upacara turon kesawah tersebut ditandai
dengan rangkaian upacara yang berfungsi
agar basil tanam padi
memberikan hasil yang memuaska.t,. Yakni sebagai bentuk penghormatan kepada tuhan sehingga rencana pertanian (padi) dapat menghasilkan panen yang baik. Demikian pula pada waktu penyiangan, panen dan pasca panen. Dengan demikian, budaya memiliki andil dalam pengelolaan pertanian, yang meskipun sebempa jauh kaitan antara keduanya tidak dapat diukur dengan logika, namun berada dalam keyakinan pemilik budaya itu sendiri.
4. lnovasi dan Dinamika Kebudayaan Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih menekankan pada system ide, termasuk
mencakup perubahan dalam norma-norma dan aturan-aturan yang
dijadikan pegangan oleh warga masyarakat. Sedang yang dimaksud dengan perubahan sosial (social change) menunujuk pada perubahan terhadap strulctur dan pola-pola hubungan sosial, antara lain mencakup system status, hubungan-hubungan dalam keluarga, system politik dan kekuasaan serta pesebaran penduduk (Poerwanto, 2000: 169). Untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam masyarakat dengan bertitik tolak pada sumber terjadinya perubahan.
yakni
Misalnya, jika sumber
perubahan berasal dari dalam disebut dengan perubahan immanen sedangkan jika sumber perubahan berasal dari luar disebut dengan kontak (Rogers and Shoemaker, 1987:17)
23
Perubahan immanen terjadi apabila ide baru diciptakan dan dikembangkan oleh warga suatu masyarakat tanpa adanya pengaruh dari pihak luar, dan akhimya ide baru itu menyebar keseluruh system
sosial. Sebaliknya, jika perubahan tersebut
sebagai gejala 'antar sistem' berarti ide baru itu berasal dari luar system sosial suatu masyarakat. Selanjutnya,
terdapat dua jenis sifat perubahan yang terjadi secara
kontak yakni selektif dan terarah. Perubahan kontak yang selektif terjadi apabila warga suatu system sosial bersikap terbuka terhadap pengaruh yang datang dari luar. Ini berarti,
ide baru yang diterimanya itu,
didasarkan atas kebutuhan yang
dirasakanya sendiri. Sebaliknya, perubahan kontak yang terarah atau terencana memang sengaja oleh pihak luar, misalnya para change agent yang secara intensif guna suatu tujuan tertentu berusaha memperkenalkan ide-ide baru (Kleden, 1988). Oleh karena mekanisme perubahan
berbeda, maka jika dilihat tingkat
keterlibatan warga masyarakat, juga akan memperlihatkan keadaan yang berlainan. Pada perubahan tingkat pertama,
adopsi terhadap ide-ide baru dilakukan atas
kesadarannya sendiri, karena itu proses penyebaran dan penggunaanya dalam masyarakat juga akan disesuaikan dengan sistem sosial budaya mereka, atau paling tidak akan dilakukan dengan spontan. Sebaliknya pada bentuk yang kedua, warga masyarakat cenderung bersikap pasif. Kesadaran akan perlunya perubahan dan kemungkinan keuntungan yang akan diperoleh melalui perubahan sangat ditentukan oleh pihak luar sehingga dapat mengakibatkan perbedaan persepsi, misalnya apakah perubahan itu perlu dilakukan dan keuntungan apak.ah yang dapat diperoleh melalui perubahan tersebut? (Kleden, 1992)
24
Seringkali pihak luar yang ingin melakukan perubahan memandang bahwa perubahan yang
akan dilakukan itu cocok dan bermanfaat; sebaliknya warga
masyarakat yang merupakan objek dari perubahan berpendapat sebaliknya. Pemaksaaan untuk bersedia menerima perubahan yang diinginkan oleh pihak luar, ada kalanya dapat mengakibatkan gagalnya tujuan yang ingin dicapai melalui suatu perubahan (Lerner, 1967: Dove, 1984) Guna mengetahui dan memahami serta menginterpretasikan secara baik berbagai
gejala dan peristiwa yang terdapat dalam suatu lingkungan tertentu,
kebudayaan memiliki model-model kognitif yang berperan sebagai kerangka untuk memahaminya. Oleh karenanya, pola-pola kelakuan tertentu yang diwujudkan oleh manusia adalah sesuai denga.."'l. rangsangan dan tantangan yang sedang dihadapinya. Dengan demikian, suatu kebudayaan yang merupakan serangkaian aturan, strategi maupun petunjuk adalah
perwujudan model-model kognitif yang dipakai oleh
manusia yang memilikinya guna menghadapi lingkungannya (Spradley, 1972). Oleh karena itu, sejauhmanakah
kenyataanya kebudayaan dari manusia, baik dalam
konteks etnik maupun golongan sosial, melihat, menginterpretasi dan kemudian mengadaptasikan dirinya dengan suatu perubahan tertentu. Dengan kata lain, sejauh manakah kebudayaan yang dimiliki oleh suatu komunitas tertentu dipakai sebagai suatu strategi adaptasi dalam menghadapi suatu perubahan tertentu sehingga ia tetap mampu melangsungkan hidupnya. Kemudian, sejauh manakah kemampuan untuk tetap dapat melangsungkan kehidupannya itu dianggap layak terutama dalam konteks kebudayaan pembangunan yang berkelanjutan dan manusiawi.
25
Seperti diketahui, setiap subbudaya memiliki strategi adaptasi yang tercermin pada peta kognitif mereka yang dipelajarinya melalui proses sosialisasi. Berbagai pengalaman mereka dikategorisasikan dalam sebuah peta kognitif kebudayaan sehingga memungkinkan seseorang tetap survive. Dengan kata lain adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahkluk sosial yang dipergunakan untuk memahami dan menginterpretasikan pengalaman dan lingkungannya serta menjadi kerangka landasan untuk mewujudkan kelakuan mereka (Koentjaraningrat, 1976) Menyinggung masalah inovasi dalam kebudayaan, menurut Foster (1969: 119121), maupun Koentjaraningrat (1976) ada tiga klasifikasi hambatan dalam inovasi, 1) hambatan budaya yaitu berkaitan dengan system nilai, perilaku, sikap dan kepercayaan, 2) hambatan sosial, terutama yang
~rkaitan
dengan hubungan antar
individu dan inovasi tersebut bertentangan dengan pranata sosial yang ada, 3)
hambatan phisikologis terutama yang berkaitan dengan cara penyampaian pesan program inovasi. Selain itu, Rogers dan Shoemoker (1987:94) juga mengemukakan bahwa hambatan dari suatu inovasi dapat juga disebabkan oleh aspek ekonomik. Dalam kajian Dewalt (1980:289) dicoba diketemukan pengaruh aspek ekonomik terhadap adopsi inovasi dan salah satu model yang dikemukakannya adalah the
homogenity model. Dalam hal ini, petani sebagai objek pembangunan diasumsikan sebagai komunitas yang homogen, serta tidak terstratiflkasi, system nilai dan gagasan serta pola prilaku saling berbeda dan konservatif sehingga sukar berubah dan lamban dalam menerima inovasi. Oleh karenanya, jika terjadi inovasi biasanya sikap yang dicerminkannya adalah seragam.
26
Penolakan terhadap suatu inovasi, seharusnya tidak dianggap sebagai gejala keterbelakangan. Selama ini terdapat kecenderungan bahwa suatu inovasi dalam berbagai situasi tidak selalu baik dan netral. Dibalik inovasi yang diperkenalkan, tersirat aspek politik daripada pembuat kebijakan. Sebagai
akibatny~
penerapan
suatu program kurang mengindahkan kepentingan dari suatu masyarakat penerima. Kebijakan seperti itu dapat kita lihat dalam program swasembada pangan di Indonesia melalui revolusi hijau (green revolution) pada tahun akhir tahun 1960-an, dimana hanya berlangsung dalam hitungan tahun. Pasca tahun itu, Indonesia kembali mengimport beras. Fakta ini kiranya sudah culcup bagi kita untuk menilai aspek kebijakan pembuat kebijakan yang tidak mengandung kontinuitas. Dalam konteks ini, para pembuat kebijakan cenderung melihat bahwa suatu inovasi seharusnya diterima dan dilaksanakan oleh warga masyarakatnya. Anggapan tersebut didasari oleh suatu anggapan bahwa inovasi itu baik,
karenanya adopsi
merupakan suatu yang dengan sendirinya diinginkan (Gonzalez, 1988:41). Secara teoritik, model pembangunan seperti ini dapat dilihat sebagai proses komunikasi liniear yang berjalan satu arah yakni dari perumus kebijakan tersebut, yang dalam istilah lain lebih dikenal dengan trickle down atau pipeline. Pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak, bukan merupakan suatu yang mutlak melainkan dapat berupa keputusan relatif dalam kurun waktu tertentu. Apabila suatu inovasi yang telah diterima temyata tidak lagi menguntungkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka maka akan terjadi suatu perubahan sikap menjadi suatu penolakan. Sebaliknya, jika temyata dikemudian hari mereka
27
melihat keuntungan dari suatu inovasi yang pernah ditolaknya, mungkin saja sikap penolakan akan berubah menjadi suatu penerimaan. Guna memahami latar belakang terbentuknya silmp dan prilaku dalam mengadopsi
sesuatu, seharusnya dinilai
sebagai jawaban terhadap komunikasi inovasi yang kurang lengkap sehingga perlu adanya penyesusian dan perubahan bentuk yang diselaraskan dengan kondisi dan kepentingan warga masyarakat. Jawaban yang diberikan oleh warga masyarakat tersebut, mempunyai dasar rasionalitas yang dibatasi oleh hakikat dari eksistensinya. Dalam suatu kehidupan masyarakat, tidak semua unsur-unsur kcbudayaan mengalami perkembangan yang sama Ada unsur kebudayaan yang cepat berubah, sebaliknya adapula unsur kebudayaan yang lamban dan sukar berubah.
Apabila
unsur-unsur kebudayaan tersebut, kecepatan dalam berubahnya tidak sama, maka dalam kehidupan masyarakat akan tetjadi ketidakseimbangan (disequlibrium) yang pada akhimya akan menggangu kehidupan itu sendiri. Teknologi yang merupakan basil inovasi akan disebarluaskan kepada masyarakat. Dalam memperkenalkan teknologi yang telah disempurnakan itu, tidak selalu dapat diterima oleh masyarakat karena berbagai hal. Sementara itu, suatu pemakaian produk inovasi dalam diri seseorang atau kelompok, juga akan menimbulkan tetjadinya perubahan. Perubahan tersebut dapat tetjadi pada aspek wujud konkret dari suatu kebudayaan, dapat pula pada system sosial dan pada system budaya
Apabila ada ketimpangan perubahan dalam ketiga wujud kebudayaan
tersebut, sering tetjadi culture lag atau keterlambatan kebudayaan (Poerwanto, 2000:178).
28
Munculnya culture lag disatu pihak disebabkan oleh pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara itu berbagai produk ilmu pengetahuan dan teknologi tadi umumnya bukan merupakan hasil benda suatu discovery, invention maupun
innovation dari
Sebagai akibatnya, bukan berasal dari
budaya milik bangsa sendiri, tetapi dari bangsa lain.
pengambilan suatu unsur kebudayaan material tertentu yang kebudayaannya,
mengharuskan seseorang untuk selalu
menyesuaikan system sosial dan system budayanya dengan artifak teknologi itu. Oleh karenanya, suatu fenomena culture lag adalah suatu ketidakberhasilan (unsecsesfull) seseorang atau sekelompok orang dalam rangka proses belajar kebudayaan. Pada dasarnya, setiap orang itu selalu dituntut untuk belajar tentang kebudayaan, baik dalam pengertian intemalisasi, enkulturasi maupun sosialisasi. Seperti halnya dengan fenomena culture lag dalam menghadapi pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, juga akan berakibat
timbulnya goncangan
kebudayaan (culture schock). Alvin Toffler (1972) mendeskripsikan berbagai sebab akibat dan perubahan yang terjadi sebagai dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang akhimya mengakibatkan perubahan pola-pola organisasi, gaya
hidup dan cinta yang telah melanda Amerika. Jika pada beberapa tahun sebelumnya, A.L. Kroeber berpendapat bahwa sifat kebudayaan adalah super organik
maka
menjelang akhir abad XX, umat manusia dihadapkan pada suatu revolusi baru, yakni dengan ditemukannya seperti mikro prosesor (micro chips) sehingga laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat jarak antar manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya.
29
System sosial dan system budaya suatu suku bangsa maupun suatu bangsa,
harus berpacu sama cepatnya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Disatu pihak,
pada belahan dunia dinegara-negara sedang berk.embangan masih
dihadapkan pada culture lag, sementara itu budaya di negara maju dituntut selalu berubah yang kecepatanya sama dengan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi. Temyata, tidak semua di negara maju dapat menyesuaikan perubahan system sosial
dan system budaya dengan irama kecepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar siap dan dapat mengikutinya, diperlukan seperangkat system nilai budaya tertentu, antara lain tingkat disiplin dan etos kelja yang tinggi dan inovatif, serta beljiwa kompetitif.
5. Perubahan Sosial Budaya Berbagai perubahan sosial dan kebudayaan, akan berakibat menguntungkan
dan merugikan. Suatu perubahan yang teljadi mengharuskan perlunya memodifikasi tingkat laku. Dalam menghadapi lingkungan fisik, Sahlins ( 1977) mengemukakan bahwa manusia cenderung mendekatinya melalui budaya yang dimilikinya, yaitu system symbol, makna dan system nilai.
Berbeda dengan Kessing (1971) yang
kurang memperhatikan arti penting system simbolik. Manusia lebih mengingin.kan makanan daripada protein. mereka lebih menciptakan pola-pola perkawinan daripada memikirkan aspek demografi dan secara tidak langsung, mereka juga mencoba memahami fenomena alam seperti hujan, suhu, tumbuhan, binatang, kelahiran dan kematian yang kemudian diklasifikasikan dan diinterpretasikannya.
30
Kelompok dan lembaga sosial adalah bentuk struktura1 dari masyarakat. Dalam mengahadapi situasi tertentu, dinamikanya akan banyak tergantung pada polapola tingkah laku para warganya. Dinamika suatu masyarakat akan tercermin dalam perkembangan dan perubahan yang terjadi yaitu hubungan antar orang, antar kelompok ataupun hubungan antar orang perorangan dengan kelompok-kelompok. Berbagai bentuk
interaksi sosial yang ditandai oleh terjadinya kontak dan
komunikasi, merupakan aspek penting untuk diketahui. perubahan yang
Apabila terjadi suatu
menyebabkan goyahnya sendi-sendi kehiduapn yang •
pengetahuan tentang proses sosial dapat dipakai untuk memahami prilaku yang akan muncul (Gillin dan Gillin, 1954). Dalam pandangan Geertz (1973) kekurangtajaman aliran fungsional Malinowski dan Brown dalam menganalisa perubahan bersumber pada ketidakmampuan memisahkan antara tataran sosial (masyarakat, system sosial) dan tataran kultural (system gagasan,makna dan symbol) dan memandang kedua tataran tersebut pada derajad yang sama Kedua ahli itu hanya memandang struktur sosial sebagai mirror image dari kultur. Mengutip pendapat Parson dan Shils (1962), Geertz (1973) menegaskan bahwa pembedaan antara kultur dan system sosial berarti memperlakukan kultur sebagai system makna dan symbol yang terorganisasi yang menjadi dasar interaksi sosial, dan memandang system interaksi sosial itu sendiri.
Lebih
lanjut,
Kingsley
sosial sebagai pola-pola Davis
(1960:
622-623)
mengemukakan bahwa perubahan sosial (social change) merupakan bagian dari perubahan kebudayaan (culture change). lni berarti bahwa ruang lingkup perubahan kebudayaan jauh lebih luas dibandingkan dengan perubahan sosiaL Disamping itu,
31
kurun waktu yang diperlukan sampai terjadinya perubahan kebudayaan, jauh lebih
panjang. Menyinggung perubahan sosial budaya yang terkait dengan adanya inovasi, Rogers dan Shoemaker (1978:38) mengemukakan proses pengambilan keputusan terhadap suatu inovasi, yakni: 1) Pengenalan yakni pemahaman pengertian terhadap suatu inovasi, 2) persuasi yakni pembentukan sikap seseorang berkenaan dengan suatu inovasi yang diperkenalkan, 3) keputusan ya.k:ni penentuan sikap untuk menerima atau menolak inovasi dan 4) konfirmasi
yakni
upaya
untuk
mencari
penguat atas keputusan melakukan inovasi yang telah dijalaninya. Berdasarkan kerangka ini, tampaklah bahwa suatu inovasi yang dilakukan oleh seseorang dalam batas waktu tertentu, bukanlah meruapakan keputusan mutlak tetapi lebih bersifat relatif yang kemungkinannya dapat berubah. Lebih lanjut, kedua ahli itu mengemukakan lima faktor yang berpengaruh terhadap kecepatan dalam mengadopsi inovasi, yaitu: 1) relative advantage, yaitu keuntungan relative, 2) compatibility, yakni keserasian antara tata nilai dengan pengalaman yang ada, 3) complexity yakni tingkat kerumitan dalam mempelajari dan mempraktekkan inovasi, 4) triability yakni kesempatan untuk mencoba dan 5) observability yakni cepat tidaknya sesuatu hasil dari inovasi dapat dibuktikan atau dilihat.
Sumber dari suatu inovasi itu dapat berasal dari inovator itu sendiri, dari kalangan ahli ilmu pertanian, kalangan penyuluh lapangan atau change agent dan dapat pula bersumber dari pemuka masyarakat atau opinion leader. Berbagai ide-ide baru mengenai inovasi akan lebih mudah diterima dikalangan masyarakat yang
32
memiliki suatu sistem sosial modem, demikian sebaliknya jika system sosial masyarakat tersebut masih tradisional (Poerwanto, 2000: 185). Oleh karena itu, menyoal keterbelakangan ataupun kelambanan masyarakat dalam menerima inovasi seperti adanya gerakan ratu adil (messianic movement) adalah sebagai ungkapan ketidakberdayaan masyarakat menghadapi perubahan-perubahan yang cepat. Untuk melampiaskan rasa kecewa terhadap perubahan yang sedang terjadi, mereka secara bersama-sama mengbimpunkan diri dalam suatu gerakan yang mendambakan kedatangan 'ratu adil' yang akan menyelamatkannya dan menyeimbangkan kembali kebudayaan mereka sebagai akibat masuknya unsure-unsur kebudayaan asing. oleh karena itu, ada kalanya gerakan tersebut, juga bertujuan untuk 'memurnikan kembali' kebudayaan mereka yang telah 'tercemar' oleh pengaruh asing (nativistic movement) Inovasi atau pembaruan adalah suatu proses pembaruan dari penggunaan sumber-sumber alam, energi, dan modal, pengaturan baru dari tenaga ketja dan penggunaan teknologi baru yang semua akan menyebabkan adanya system produksi, dan dibuatnya produk-produk yang baru (Koentjaraningrat 1981 :256). Lebih lanjut disebutkan bahwa proses inovasi sangat erat sangkut pautnya dengan penemuan baru dalam teknologi.
Suatu penemuan biasanya merupak:an suatu proses sosial yang
panjang yang melalui dua tahap khusus, yaitu discovery dan invention. Suatu discovery adalah suatu penemuan dari suatu unsur kebudayaan baru baik yang berupa suatu alat baru, ide baru, yang diciptakan oleh individu atau suatu rangkaian dari beberapa individu dalam masyarakat yang bersangkutan. Discovery ak:an menjadi invention apabila masyarakat sudah mengak:ui, menerima dan
33
menerapkan penemuan baru itu (Koentjaraningrat, 1981:257). Selanjutnya, faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya penemuan barn itu adalah seperti: 1), kesadaran para individu akan kekurangan dalam kebudayaan, 2) mutu dari keahlian dalam suatu
kebudayaan; 3) system perangsang bagi aktivitas mencipta dalam masyarakat. Suatu penemuan baru selalu harus dilihat dalam rangka kebudayaan dimana penemuan tadi terjadi. Hal ini disebabkan karena suatu penemuan baru jarang merupakan suatu pcrubahan mendadak dari ketidakadaan menjadi ada. Suatu penemuan barn biasanya merupakan suatu rangkaian panjang yang berawal dari temuan kecil yang secara akumulatif menjadi banyak, yang diciptakan oleh pencipta (Koentjaraningrat, 1981 :260). Inovasi yang didahului oleh adanya discovery dan invention telah mendorong lahirnya perubahan disisi kebudayaan yakni perubahan penting dari struktur sosial dan yang dimaksud dengan struktur sosial adalah pola-pola prilaku dan interaksi sosial (Moore, 1967:3). Dalam pengertian seperti itu, jelas bahwa didalamnya terdapat berbagai ekspresi mengenai struktur kultural.
seperti norma, nilai dan fenomena
Oleh karenanya, perubahan dalam diri individu, kelompok ataupaun
masyarakat adalah sesuatu hal yang normal yang menunjuk pada perubahan sosial budaya diberbagai tingkat kehidupan manusia, mulai dari tingkat individual hingga tingkat yang lebih kompleks seperti dunia (Lauer, 1993:5). Perubahan-perubahan tersebut diupayakan untuk mencapai tingkat kebudayaan yang lebih sempurna dan bermartabat. Dengan demikian, proses perubahan menuju taraf yang lebih baik itu
34
(modemisasi) dimaksudkan sebagai upaya menemukan cara-cara baru yang lebih efektif dan efisien kehidupan sehari-hari manusia. Menurut Suyono (1985:261), modemisasi adalah proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini. Jauh sebelum orang Belanda datang ke Indonesia, orang Jawa dan Melayu yang tinggal di Sumatera Timur umumnya telah mempunyai lembaga-lembaga pendidikan tradisional. Dengan masuknya agama Islam di Sumatera Timur guru-guru banyak mengajarkan agama kepada para petani. Proses modemisasi mencakup proses yang sangat luas kadang-kadang cakupannya tak dapat ditetapkan secara mutlak. Mungkin disuatu daerah tertentu modernisasi berbeda terhadap daerah yang lain. Menurut Soekanto (1979) alat-alat pertanian yang konvensional belum tentu dapat dipergunakan pada daerah yang lain, kemungkinan
disebabkan
belum
dapat
menerima
secara
budaya
untuk
mengembangkan alat tersebut. Begitujuga Topograji yang dimiliki tidak mendukung untuk mengembangkan alat-alat mekanisasi yang keberadaannya saat ini, alat-alat tersebut tidak terjangkau oleh petani dikarenakan harga dan nilai yang harus dibayar mahal. Seperti pengadaan pestisida, fungsisida ataupun insektisida, pupuk serta bibit unggul (hibrida),
pengairan yang tidak sempurna, maupun peralatan lain seperti
system traktor dan lain sebagainya.
lni berarti bahwa modernisasi yang telah
berlangsung, tidak selamanya memberikan dampak buruk bagi masyarakat, khususnya mereka petani miskin. Namun demikian, proses modemisasi di negara-
35
negara berkembang (seperti Indonesia) jauh lebih mendalam sifatnya. Karena proses itu sekaligus proses transformasi masyarakat dan kebudayaannya (Schoorl, 1981 :6). Masyarakat petani, dari segi sejarahnya merupakan mayoritas umat manusia, oleh karena masyarakat industri dibangun diatas puing-puing msyarakat petani pedesaan. Mereka penting dimasa kini oleh karena mereka mendiami bagian 'yang terbelakang' dari bumi ini dan terns berlangsungnya keadaan itu merupakan tanggungjawab bagi negeri-negeri yang telah mematahkan belenggu keterbelakangan (Wolf, 1966 vi). Oleh karenanya, dunia petani bukanlah dunia hampa dan kosong yang hanya seolah-olah memerlukan masukan modal industri dan ketrampilan untuk membuatnya bergerak. Wolf (1966:vi) menyebutkan bahwa dunia petani bukanlah tanpa bentuk (amorphous) melainkan suatu dunia yang teratur, yang memiliki bentuk organisasi yang khas yang berbeda bentuknya dengan petani lainnya. Hal sedemikian itu terpola akibat potret romantis tentang mereka yang mengidealkan masyarakat industri (Popkins, 1986:vii)
Menyinggung persoalan proses modernisasi disegala
bidang pada dewasa ini, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa dunia petani juga telah mengalaminya. Oleh karenanya, petani-petani semestinya dapat menerima dampak pembaruan itu. Namun demikian, himpitan dan hambatan yang mereka temui tidaklah sedikit. Misalnya seperti minimnya dana, pengetahuan dan ketrampilan atau juga karena kejamnya dunia tengkulak yang membatasi ruang gerak mereka maupun karena lahan pertanian yang kian hari kian mengalami involusi (Geertz, 1976). Disisi lain juga dimungkinkan oleh alpanya politik pertanian karena sentralisasi pembangunan di perkotaan (Mubyarto, 1993). Meskipun demikian, hal ini bukan
36
berarti bahwa para petani tersebut tidak melakukan perlawanan, kendati itu bukan ..,
..
secara revolusioner (Scoot, 1981;
1993; 2000).
Karena bagaimanapun juga,
pertanian merupakan produk masyarakat, ia semata-mata bukanlah basil ketja petani saja, melainkan basil kegiatan para petani beserta keluarganya, para pembuat undangundang dan lain sebagainya yang menaruh hormat pada pembangunan pertanian (Mosher 1985: 17)
6. Revolusi Hijau dan Budaya Pet1anum. Sektor pertanian merupakan sektor
yang unik dan mempunyai ciri khas
tersendiri dalam struktur perekonomian nasional. Sektor ini relatif merupakan sektor yang tidak mendapat perhatian serius dalam aksi pembangunan. Mulai dari proteksi, kredit hingga kebijakan lain tak satupun yang menguntungkan. Program-program pembangunan pertanian bahkan semakin menjerumuskan sektor ini pada kehancuran. Meski demikian, sektor ini merupakan sektor yang sangat banyak menampung luapan tenaga ketja dan sebahagian besar penduduk tergantung padanya (Yuliati, 2003: 238). Melirik dari segi historis, pada awal tahun 1960-an, dikawasan Asia Tengah berlangsung demam Revolusi Hijau (Green Revolution). Pemerintah orde baru di awal kepemimpinannya,
memutuskan untuk mengambil jalan
pragmatis.
Peningkatan produksi pangan, terutama padi melalui Revolusi Hijau kemudian menjadi titik sentral pembangunan untuk masa lebih dari tiga dekade berikutnya, Kebijakan agraria pada masa itu disebut by pass approach yaitu revolusi hijau tanpa
37
refonnasi agraria (agrarian reform). Gerakan ini diabdikan untuk mengoperasikan
..
'I
strategi pembangunan yang digulirkan dengan kaidah pokok mengandalkan bantuan asing, hutang dan investasi dari luar negeri serta bertumpu pada yang besar (betting
on the strong) (Wiradi, 2001 }. Sebagai akibatnya, penguasaan agraria bukan malah mereda tetapi sebaliknya, makin membiak dimana-mana, disemua sektor, semua wilayah dan melibatkan banyak lapisan masyarakat. Ini terjadi karena pembangunan dipraktikkan tanpa transisi sosial (development without social transisison).
Hasil
swasembada pangan yang dibangga-banggakan tidak berumur Pa11iang, dan dalam sekejab lenyap di hembus angin. Padahal, Revolusi Hijau merupakan keija besar pemerintah yang dilakukan dengan at all cost. Pada tahun 1966/1967, pelbagai program swaembada beras yang dirintis pemerintah Indonesia sejak rencana Kasimo tahun 1948 mendapat picu dalam tiga faktor: revolusi biologi berupa bibit varietas unggul, revolusi ldmiawi berupa aneka pupuk dan obat-obatan anti hama dan niatan pemerintah Orde Baru untuk membuat rakyat menjadi kenyang dan tenang. Dibangun diatas ketersediaan lahan yang relatif subur, rehabilitasi atas system irigasi warisan perkebunan tebu kolonial, tenaga kerja yang
berlimp~
reduksi mekanisme pertanian, penyuluh pertanian,
lembaga perkreditan tingkat desa, control harga lengkap dengan rumus tani dan cadanganmasukan dan produk pertanian, dan intervensi birokrasi antara lain lewat KUD dan Militer. Kiprah bersama antara ketiga faktor itu, telah cukup untuk menelorkan Revolusi Hijau (Wahono, 1999).
38
.,
..
Sepanjang
1960-1970-an,
pelbagai
upaya
Revolusi
Hijau
terutama
dimaksudkan untuk mengubah model tingkah laku ekonomi 'enggan maju ' dari petani yang oleh Boeke (1953) disebut social dualism, oleh Geertz (1969) yakni
agricultural involution
berdasarkan shared poverty
dinamakan peasant's subsistence mindedness.
dan oleh Penny (1976)
Revolusi Hijau telah membawa
perubahan mendasar bagi prilaku petani dalam berhubungan dengan petani lain, alam, teknologi, pemerintah serta hubungannya dengan perusahaan-perusahaan besar baik local maupun luar negeri. Hasilnya menakjubkan. Jika pada tahun
1965 tingkat
produksi beras Cuma 1,7 ton per hektar, maka pada tahun 1980 sudah mencapai 3,3 ton per hektar dan Indonesia bisa berswasembada beras sampai tahun 1984 Sayangnya, seperti disebut diatas, swasembada beras hanya mampu bertahan selama 5 tahun. Setelah tahun 1990, impor beras Indonesia terus melonjak dan tidak pemah turun lagi sampai saat ini. Realitas itu mengindikasikan bahwa kemajuan dalam produksi tidak diikuti oleh kemajuan kesejahteraan petani. Sebabnya adalah, kemajuan dalam produksi bukan didorong oleh semangat menyejahterakan diri, tetapi lebih oleh keterpaksaan ekonomi dan atmosfer kekuatan (Wahono,
1999).
Keberhasilan Revolusi Hijau tidak terlepas dari desakan pemerintah lewat sangksisangksi sosial manakala rakyat menolak untuk menanam bibit unggul. Petani kctika menanam komoditi tertentu tidak luput dari keterpaksaan ekonomi. Keterpaksaan ekonomi leb;h jelas ketika Revolusi Hijau membuat petani harus membayar hampir semua asupan kecuali tenaga mereka sendiri. Asupan produksi berupa: bibit unggul, pupuk buatan, dan pestisida harus dibeli petani dari toko-toko besar yang merupakan
39
...
..
outlet dari perusahan-perusahan transnasional (transnational corporation-TNC) milik kapitalis asing, tanah harus di sewa, tenaga kerja buruh harus dibayar,
dan
dibeberapa tempat penggunaan air irigasi juga dapat diakses hanya dengan iuran yang tidak kecil. (Khudori, 2004). Selanjutnya, menurut Clauss dan Hartman (Prisma, 1983) mengemukakan bahwa terdapat perbedaan penting terhadap pola pertanian di Jawa dengan Sumatera (Simalungun). Jika dipulau Jawa, keberhasilan pertanian lebih dititikberatkan atas desakan pemerintah, maka di di Sumatera (Simalungun), lebih ditunjang oleh pengetahuan terhadap pasar. Jika dipulau Jawa, padi merupakan salah satu komoditas utama, ma.ka di Simalungun, holtikutura menjadi cash crop disamping
padi. Jika dulunya kalkulasi proses pertanian, dibuat dalam tawar-menawar petani dengan alam, sekarang hitungan-hitungan itu harus dilakukan didepan kekuasaan negara dan kebutuhan modern yang digerakkan oleh industrialisasi. Jadi Revolusi Hijau telah berhasil mengangkat sebahagian kecil petani dari perangkap involusi pertanian, tetapi melepaskan sebahagian besar petani miskin laban ke perangkap yang lebih dahsyat: ancaman globalisasi. Agaknya, hegemoni cultural,
yakni penetrasi kultural dengan menguasai
kepala dan dengan sendirinya hati serta tangannya pun akan segera ikut, menjadi promosi yang hebat pada kurun waktu 1960-an. K.arena itu, sangat bisa dimengerti jika berbagai hasil penelitian sejumlah pakar seperti Sajogo (1983), Kano (1990), White dan Wiradi (1984), Husken (1989) dan Budijanto (2000) sampai pada kesimpulan bahwa Revolusi Hijau dengan segala alat-alat kelembagaannya dan
40
...
teknologinya telah menciptakan kelas dalam masyarakat desa, yakni antara mereka yang diuntungkan dengan mereka yang dirugikan. Mereka yang tersingkir a.dalah buruh tani dan petani gurem sedangkan mereka yang diuntungkan a.dalah petani yang memiliki lebih dari 0,5 Ha lahan pertanian. Warisan struktural ini membuat pelbagai inovasi dalam pembangunan pertanian tidak membuahkan hasil yang memadai.
8~
pembangunan pertanian
justru memupuk pelbagai konflik. Dari berbagai konflik itu, terlihat jelas bahwa pemerintah lebih berpihak pada mereka yang kuat. Dari ribuan kasus konflik di Jawa Barat misalnya,
menunjukkan bahwa 57% adalah konflik antara rakyat versus
pemerintah, 30 % antara rakyat dengan perusahaan swasta dan hanya 11 % antam sesama. Antara pemerintah dan swasta hauya kurang dari 1% dan antara sesame
perusahaan swasta hanya sebesar 1% (Suhendar, 1994).. Minimnya campur tangan pemerintah pada sektor pembangunan pertanian, juga tampak pada minimnya intervensi
pemerintah yang
berupaya wttuk
meningkatkan kesejahteraan petani. Yang justru kerap terjadi adalah tindakan yang merugikan petani itu sendiri seperti tingginya harga pupuk, obat-obatan dan bibit varietas unggul. Keadaan ini belum lagi sampai pada tingkat banjir dan kekeringan yang melanda petani atau juga jebolnya tanggul irigasi disaat musim penghujan dan lain sebagainya. Karena itu, tidak heran apabila pada tahun 2003 petani di Jawa Tengah secara demostratif membakar gabah mereka di depan Kantor Dolog setempat. Jauh hari sebelumnya, petani tebu membuang dan membakar gula mereka di depan Kantor Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Khudori 2004: x)
41
."'
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Revolusi Hijau bukan
urusan
ekonomi semata melainkan juga sebuah proses penaklukan kebudayaan. Revolusi Hijau memiliki kekuasaan kultural dan politik bersama penciptaan system dan struktur idiologi melalui propaganda, untuk menggusur idiologi, kultur dan peran politik petani. Secara hegemonic, Revolusi Hijau menciptakan konsep realitas yang diyakini semua lapisan masyarakat, sehingga mempengaruhi selera, moralitas, kebiasaan serta nilai-nilai religiositas dan prinsip politik petani. Walaupun, secara umum peran sektor pertanian dalam menyusun Produk Demostik Bruto (PDB) tidaklah sebesar dari sektor lain, akan tetapi menilai sektor ini hanya dari sisi makro kan menjerumuskan kita pada penilaian yang salah pada struktur ekonomi kita secara umum. Hal ini mengingat besamya tenaga kerja yang ditampung disektor ini, juga fungsi strategis dan besamya sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk menyokong pembangunan nasional yang mungkin tidak dimiliki oleh negara lain. Keuntungan tersebut yang harus kita gali untuk meningkatkan sektor pertanian pada pendapatan nasional, namun disisi lain, kepentingan petani produsen juga harus diperhatikan. Komposisi PDB sektor pertanian terhadap PDB Indonesia mulai tahun 1997 sampai tahun 1999 realtifmeningkat yakni dari 64,468 menjadi 65.361,4 US$ sedang sektor-sektor lain terlihat adanya penurunan (pertambangan dan galian, industri pengolahan, buangan dan konstruksi, perbangkan dan lembaga keuangan dan sewa bangunan) kecuali sektor utility, listrik dan gas. Secara nasional, PDB Indonesia terjadi penurunan dari 433.246 US$ pada tahun 1997 menjadi 378,051 US$ pada
42
tahun 1999. Krisis keuangan disusul kemudian krisis ekonomi di negara-negara kawasan
Asia
Ketidakamanan
Tenggara neg~
berpengaruh
besar
terhadap
penurunan
PDB.
kerusuhan dan ketidakpastian politik menjadikan sektor
ekonomi riel ambruk dan PDB nasional mengalami penurunan. Meski mengalami peningkatan kecil sektor pertanian merupakan sektor yang tahan terhadap hempasan krisis. Ketergantungan yang relative kecil pada sektor ini terhadap barang import merupakan faktor penentu bertahannya sektor ini. (Yuliati, 2003:239).
H. Kerangka Berfikir
Manusia dalam melakukanya aktivitas kehidupannya sehari-hari tidak bisa dilepaskan dari tujuh unsur budaya universal. ltu berarti bahwa seluruh aktivitas manusia telah tercermin dalam ketujuh unsur budaya universal yang telah diterima kekhasannya. Demikian pula yang terjadi pada kelompok suku seperti Melayu dan Jawa yang berdiam di desa Perhiasan Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat. Dimana dapat disebutkan bahwa terjadi perubahan budaya dalam pengelolan pertanian khususnya tanaman padi dan perubahan yang ingin diketengahkan disini adalah terjadinya pergeseran nilai budaya dalam bercocok tanam padi. Jika pada awalnya kedua masyarakat tersebut tidak pemah terlepas dari aspek budaya tertentu , seperti ritus turun kesawah dalam pertanian tanaman padi maka pada sekarang ini hal yang sedemikian itu jarang ditemukan. Kedekatan
unsur
budaya
dalam
setiap
aspek
kehidupan
manusia,
menUI'jukkan bahwa setiap aktivitas manusia itu tak pernah luput dari kebudayaan.
43
Salah satu unsur budaya yang tidak pernah lepas itu adalah trend ritual dalam berbagai kegiatannya. Telah wnwn diketahui bahwa, wnumnya pada kelompok etnik di seantero Indonesia, berbagai ritual sangat dikenal sejak manusia itu dilahirkan sampai pada akhirnya ia meninggal. Dalam pertanian, khususnya tanaman padi, ritual tersebutpun dapat ditemukan. Rentetan ritual turun kesawah tersebut adalah seperti pengolahan lahan sawah, pembibitan, pemindahan padi dari pesemaian ke pengembangbiakan sampai pada pemanenan. Namun demikian, sejalan dengan berbagai aspek pembaruan seperti aspek inovasi pengetahuan dan teknologi, monotheisasi kepercayaan, komersialisasi pertanian dan lain sebagainya telah menyebabkan terjadinya perubahan dalam berbagai aspek kebudayaan termasuk di dalamnya
yakni ritual turun ke sawah.
Kealpaan aspek budaya tradisi turon kesawah ini
menjadi tema sentral dalam
penelitian ini, dimana peneliti berkeinginan untuk mengkaji secara mendalam perubahan budaya dalam pengelolaan pertanian tanaman padi pada kelompok suku yaitu Melayu dan Jawa. Jika digambarkan, maka kerangka pemikiran tersebut dapat mengikuti skema yang tercantum dibawah ini, yaitu :
44
.
Bagan-3 Kerangka Pemikiran
Pertanian Modem
U
~
ovasi
.
-+j
f
Pengelolaan Pertanian
~--------------------~
~I
Pertanian Tradisional
I. METODE PENELITIAN
l.Jenis Penelitian Penelitian ini dilakukan secara deskriptif dengan pendekatan kualitatif yaitu proses penelitian yang menggambarkan
data secennat mungkin mengenai suatu
individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu (Tan dalam Koentjaraningrat, 1887:30)
2.Subjek Penelitian Subjek penelitian ini ditujukan kepada Kelompok masyarakat Melayu dan Jawa di desa Perhiasan Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat yang bergerak dalam
..
pertanian tanaman padi.
45
3.Fokus Penelitian Adapun fokus penelitian ini adalah mendeskripsikan perubahan budaya dalam pengelolaan pertanian, khususnya tanaman padi di Desa Perhiasan Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat. Permilihan fokus ini berdasarkan fenomena yang terjadi pada kedua etnik tersebut terutama menyangkut perubahan pengelolaan pertanian tanaman padi.
4. Teknik Pengumpu/an Data Untuk menghimpun data-data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teknik seperti observasi, wawancara dan dok'llltlentasi. a. Observasi. yaitu observasi partisipasi (participant observation) yang berupaya untuk mengamati berbagai fenomena yang terkait dengan dalam penelitian ini. Fenomena tersebut adalah seperti perubahan budaya terhadap pengelolaan pertanian khususnya tanaman padi, peran budaya dalam pengelolaan tanaman padi serta faktor yang mengakibatkan terjadinya perubahan budaya dalam pengelolaan tanaman padi. b. Wawancara. yaitu interview terhadap para petani dari kedua kelompok suku (Melayu dan Jawa) secara terstruktur (structurized interviewing) dan tidak terstruktur (unstructurized interviewing). Pada wawancara terstruktur telah dipersiapkan terlebih dahulu bentuk wawancara yang
mengarah pada
rumusan masalah peneltian berupa pertanyaan-pertanyaan ringkas diseputar tema penelitian.
Sedangkan pada wawancara tidak terstruktur dilakukan
secara spontan atau sambil lalu (causal interviewing) sehingga dapat
46
menjajaki semak.simal mungkin fenomena yang terjadi secara tidak terbatas. Kedua jenis interview ini dilakukan terhadap responden penelitian pada kedua kelompok masyarakat petani yang menjadi subjek dalam peneltian ini yaitu Melayu dan Jawa. Selain terhadap para petani, wawancara juga dilakukan kepada tokoh masyarakat kedua kelompok suku, pengetua adat ataupun tokoh agama yang berfungsi sebagai komparasi data untu.k melihat atau mendeskripsikan perubahan budaya yang tengah terjadi. c. Dokumentasi, yaitu melakukan pemotretan terhadap berbagai fenomena dan keadaan dari kondisi yang sedang diamati dan diteliti.
5. Teknik Ana/isis Data
Data-data yang telah dihimpun dengan cara
observasi, wawancara dan
dokumentasi kemudian di tabulasi, dikategorisasi dan kemudian dianalisis secara kualitatif dengan pendekatan berdasarkan pertimbangan
deskriftif. Pendekatan ini diplih dan ditentukan
bahwa teknik analisis kualitatif bersifat fleksibel jika
berhadapan dengan situasi ganda. Moleong (2000) mengemukakan bahwa data-data yang diperoleh berupa basil observasi, wawancara dan dokumentasi dideskripsikan kedalam bentuk tulisan kemudian dianalisa secara mendalam (depth analyzing) dan disesuaikan dengan karakteristiknya. Setelah data dianalisis, maka langkah akhir adalah menafsirkan data sesuai dengan fakta yang terjadi sehingga mampu mendeskripsikan fenomena atas rumusan masalah penelitian.
47
..
6.Lokasi dan Waktu Penelitian• Penelitian ini dilakukan di Desa Perhiasan Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat yang dilakukan selama 7 (tujuh) bulan. Kurun waktu penelitian tersebut dijabarkan sebagaimana terlihat dalam tabel dibawah ini, yaitu:
Tabel-2 Waktu Penelitian No
Kegiatan Penelitian
Bulan I
1
Persiapan Proposal
2
Studi Pendahuluan
3
Penelitian Lapangan
4
5
Analsis Data dan Persiapan Naskah Konsultasilbimbingan
6
TahapAkhir
II
Ill
IV
v
VI
VH
48