BAB VII PENUTUP
7.1 Kesimpulan Keadaan demografi di DIY yang cenderung menunjukkan adanya peningkatan jumlah lansia, tidak terlepas dari timbulnya permasalahan sosial. Berdasarkan hasil estimasi jumlah penduduk dari survei penduduk di tahun 2010 diketahui bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta menurut BPS DIY memiliki jumlah penduduk pada tahun 2012 tercatat sebesar 3.514.726 jiwa. Jumlah ini akan meningkat seperti yang dipaparkan BPS DIY bahwa proyeksi penduduk tahun 2000 hingga tahun 2025 DIY yaitu dewasa (30-34 tahun) sebesar 10,36 persen, kelompok umur 0-24 tahun sebesar 32,74 persen, kelompok umur 25-29 tahun sebesar 53,88 persen, dan usia 60 tahun ke atas sebesar 13,38 persen (Badan Pusat Statistik Yogyakarta, 2013). Meskipun begitu, keadaan yang lain ditunjukkan oleh Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) pada tahun 2011 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah pralansia dan lansia miskin di DIY pada 2011 yang masih bekerja yaitu 164.913 (65,30% dari 252.262) diantaranya masih bekerja (Studies Interdisciplinary Islamic Kesejahteraan Sosial Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2014). Permasalahan sosial seperti kemiskinan yang melanda kaum lansia di DIY memaksa mereka untuk bekerja tanpa mengandalkan bantuan orang lain, bahkan untuk menjadi pengemis. Keadaan ini oleh Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” dijadikan isu utama dalam kegiatan advokasi yang mereka lakukan. Kegiatan advokasi ini diidentifikasi dengan kedelapan unsur yang dipaparkan oleh Sharma (1997) yaitu tujuan advokasi, data, audiens, pesan, koalisi, presentasi, 95
penggalangan dana, dan evaluasi. Dalam hal ini, komunitas tersebut memenuhi unsurunsur dasar advokasi tersebut seperti yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa kegiatan yang dilakukan komunitas tersebut merupakan kegiatan advokasi dengan masyarakat lansia berdaya di DIY sebagai sasaran advokasi. Hasil penelitian yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” dapat dikatakan berhasil dalam melakukan advokasi terhadap isu masyarakat lansia yang berdaya tanpa mengemis. Keberhasilan ini dapat dilihat dari respon yang luar biasa masyarakat maupun netizen terhadap advokasi komunitas tersebut. Respon yang luar biasa ini dapat terlihat melalui @ketimbang.ngemis.yogyakarta akun instagram yang dimiliki komunitas tersebut, menunjukkan bahwa rata-rata jumlah di kolom komentar sebesar 150 komentar dengan rata-rata tanda suka pada masing-masing foto yang diunggah sebesar 3000 (instagram.com/ketimbang.ngemis.yogyakarta). Selain itu, keberhasilan advokasi juga dapat dilihat dari respon netizen yang memberikan informasi mengenai masyarakat lansia yang berdaya kepada komunitas tersebut. “Jelas ada dampak signifikan dari donatur baik hati. Dan banyak yang nge-tag dan Direct Messages (pesan secara langsung) kami berarti ini membuktikan makin banyak orang yang peduli mau meluangkan waktu untuk mendekati dan menggali info sasaran dan setidaknya membeli dagangannya. Banyak tanggapan positif maupun negative kami sebisa mungkin memperbaiki sistem KNY yang masih umur 1 tahun ini. Masih banyak yang harus diperbaiki dan ditambahkan.” (Anggie, wawancara pada 25 Oktober 2016). Dalam hal ini komunitas tersebut mampu untuk mengkonstruksikan nilai semangat bekerja dan mengapresiasi keberadaan masyarakat lansia yang berdaya tanpa mengemis tersebut. Isu dan nilai ini dapat diterima oleh masyarakat karena 96
penyampaian informasi dengan cepat, yaitu melalui media sosial khususnya media sosial Instagram. Media sosial Instagram memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan advokasi yang dilakukan Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta”. Media sosial Instagram dalam hal ini sebagai salah satu sarana yang kuat untuk advokasi oleh komunitas tersebut. Media sosial Instagram dalam penelitian ini merupakan sarana advokasi yang paling berperan dalam keberhasilan advokasi yang dilakukan Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta”. “Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” pakai Instagram, twitter dan You Tube buat live report kegiatan. Instagram paling efektif karena semua orang bisa melihat baik dari segi foto dan kisah ceritanya. Dan anak muda sekarang mayoritas mempunyai Instagram.” (Anggie, wawancara pada 25 Oktober 2016). Meskipun menggunakan media sosial Instagram sebagai sarana advokasi dianggap berhasil berhasil, akan tetapi masih terdapat faktor dukungan dari masyarakat atau netizen. Dukungan dari masyarakat yang tergabung dalam netizen ini, berupa pemberian informasi mengenai sasaran advokasi yaitu masyarakat lansia yang berdaya tanpa mengemis. Sebagian besar informasi yang menjadi konten dalam akun Instagram
Komunitas
“Ketimbang
Ngemis
Yogyakarta”
dalam
@ketimbang.ngemis.yogyakarta, berasal dari netizen yang tergugah untuk membantu lansia tersebut melalui Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta”. Sehingga dalam hal ini Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” berperan sebagai pelaku advokasi dan sebagai penyedia ruang advokasi bagi masyarakat atau netizen yang ingin menyalurkan informasi. Keberhasilan advokasi Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” ini tentunya tidak terlepas dari strategi advokasi yang digunakan dalam mengadvokasi. 97
Seperti yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya bahwa identifikasi terhadap strategi advokasi yang digunakan oleh komunitas yaitu strategi advokasi normatif, strategi advokasi non-litigasi, dan strategi advokasi persuasi. Strategi advokasi normatif ditunjukkan ketika Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” ketika mengandalkan argument-argumen moral dan mobilisasi nila-nilai umum kepada target advokasi. Hal ini ditunjukkan oleh komunitas tersebut dalam mengajak netizen melalui media sosial instagram untuk memberi penghargaan dan apresiasi kepada masyarakat lansia yang berdaya tanpa mengemis, seperti yang tertulis pada akuninstagram komunitas tersebut bahwa “Sesungguhnya beliau bekerja keras untuk menghindari sifat meminta-minta”. Adapun strategi advokasi yang digunakan oleh Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” lainnya yaitu strategi advokasi non-litigasi dan strategi advokasi persuasi. Strategi advokasi non-litigasi ini sebagai upaya di luar hukum formal yang memanfaatkan potensi kekuatan sosial dan politik yang tersedia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Komunitas ini menggunakan kekuatan sosial melalui yang ada di dalam masyarakat, menurut komunitas tersebut saat ini banyak masyarakat yang mencari kegiatan sosial. Sehingga masyarakat menggunakan akun instagram Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” sebagai referensi untuk menyalurkan kegiatan maupun bantuan sosial. “Menurutku ada manfaatnya sih misal kita mau ngadain acara baksos atau sekedar membantu secara pribadi itu bisa cari referensi disitu jadi lebih tau siapa-siapa yang bisa dibantu.” (Retna, wawancara pada 28 Oktober 2016). Strategi advokasi dari Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” juga dapat diidentifikasi dengan strategi advokasi persuasi. Strategi persuasi menggunakan 98
informasi, analisis, dan mobilisasi warga negara untuk mendesakkan perubahan. Dalam mencari informasi yang kemudian dianalisis untuk memobilisasi warga negara, komunitas tersebut melakukan survei terhadap sasaran advokasi. Survei digunakan untuk mencari informasi terkait dengan target apakah layak untuk diadvokasi atau tidak. “Survei yaitu tim wara wiri yang akan survei target dari tempat berjualan sampai tempat tinggal dan mencatat apa kebutuhan yang benar-benar dibutuhkan beliau (sasaran). Kalo memang benar baru kami bantu untuk dipost di instagram agar banyak yang tau tentang beliau.” (Anggie, wawancara pada 25 Oktober 2016). Strategi advokasi yang digunakan Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” masing-masing juga memiliki beberapa kelemahan. Strategi advokasi normatif yang mengandalkan argumen guna memobilisasi nilai-nilai dalam masyarakat, memiliki kekurangan dalam pendekatan terhadap target secara langsung. Hal ini dikarenakan komunitas tersebut dalam berargumen dan memobilisasi nilai-nilai melalui instagram bukan tatap muka secara langsung pada target advokasi. Adapun strategi advokasi non-litigasi memiliki kekurangan dalam review terhadap hukum yang berlaku yang dapat membantu komunitas untuk mengatahui hukum dan peraturan mengenai kegiatan advokasi. Sedangkan strategi advokasi persuasi memiliki kekurangan dalam frekuensi pencarian data yang berguna untuk memberikan informasi dan analisis untuk target advokasi. Komunitas ini memiliki frekuensi yang rendah dalam mencari data, hal ini dapat dilihat dari kecenderungan komunitas untuk menggunakan bantuan netizen dalam mendapatkan informasi terkait sasaran advokasi. Seperti yang terlihat dalam akun instagram komunitas tersebut menunjukkan bahwa informasi atau unggahan foto 96 foto berasal dari netizen, dan sisanya sebanyak 58 foto berasal dari komunitas. Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 62% data mengenai informasi terkait 99
target advokasi bersumber dari netizen yang memiliki kepedulian untuk berbagi informasi terkait. Selain itu, belum ada pengembangan terkait strategi advokasi yang dilakukan Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta”. Dalam hal ini, perlu pengidentifikasian pendukung dan penentang dalam kegiatan advokasi yang dilakukan. Mengenai pendukung, komunitas tersebut mengetauhi pendukung terbesarnya adalah netizen khususnya anak muda yang selalu memberikan dukungannya. Dukungan yang diberikan seperti yang telah dipaparkan sebelumnya yaitu pemberian informasi mengenai sasaran pada komunitas tersebut. Meskipun begitu, komunitas ini belum mengidentifikasi mengenai penentang terhadap kegiatan advokasi yang mereka lakukan. “Dukungan terbesar dari netizen pengguna media sosial yang banyak membantu ngasih informasi sama donator. Tapi kami belum tau siapa penentang kami karena kami belum menemukan yang kayak gitu.” (Anggie, wawancara pada 13 November 2016). Strategi advokasi oleh Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” yang didukung dengan menggunakan instagram, perlu untuk mencari sarana advokasi yang baru. Hal ini dikarenakan perkembangan media sosial khususnya Instagram tidak dapat diandalkan selamanya. Oleh karena itu, komunitas tersebut perlu mencari sarana advokasi yang baru yaitu melalui media massa yang tidak hanya terbatas pada media sosial saja. Selain itu, media massa seperti stasiun televisi, koran, majalah, dan radio lebih dapat diakses oleh masyarakat luas. Hal ini tidak seperti instagram sebagai media sosial yang mengharuskan pengguna untuk memiliki handphone dan akses terhadap internet, sedangkan media massa tersebut tidak membutuhkan akses terhadap internet yang tidak semua masyarakat dapat mengakses internet. 100
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan mengetahui kondisi lingkungan, adanya dukungan dari target advokasi, penggunaan sarana advokasi yang tepat, dan menggunakan strategi advokasi yang tepat, maka advokasi yang dilakukan akan berhasil mencapai tujuan. 7.2 Rekomendasi Advokasi yang dilakukan oleh Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” memiliki klebihan dan kekurangan dari segi unsur-unsur dasar dan strategi advokasi. Kelebihan yang dimiliki pun bisa dipertahankan dan ditingkatkan, akan tetapi kekurangan yang ada harus diperbaiki. Adapun alternative rekomendasi yang diberikan atas kekurangan yang ada, sebagai berikut; 1. Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” perlu pengidentifikasian pendukung dan penentang dalam mengembangkan strategi advokasi. “Posisi pembuat kebijakan seringkali dipengaruhi oleh kepentingan kelompok berpengaruh, maka anggota komite advokasi perlu mengidentifikasi kelompok-kelompok
berpengaruh
yang
mendukung
atau
menentang
permasalahan yang ada. Untuk setiap isu, staf perlu untuk mencari tahu posisi masing-masing kelompok berpengaruh tersebut dan alasannya. Hal ini termasuk dengan cara mendapatkan publikasi dan bahan-bahan dari setiap kelompok atau, jika perlu, mengadakan pertemuan dengan perwakilan kelompok tingkat tinggi untuk membahas isu terkait. Berdasarkan hasil riset ini, staf komite harus membuat tabel yang menunjukkan organisasi-organisasi yang mendukung, menentang dan abstain untuk tiap-tiap isu.” (KADIN Indonesia, 2015). 101