BAB VII. MAKNA POLITIK NEGARA DALAM KEBIJAKAN SISTEM DAFTAR TUNGGU HAJI
Dalam setiap bangunan sosial, kultural, ekonomi dan politik selalu ditandai dengan simpul-simpul relasi kekuasaan. Simpul-simpul kekuasaan berada pada lingkaran peristiwa dan gejala sosial yang menyingkapkan hubungan supra struktur sosial kuktural dan basis ekonomi. Untuk memahaminya, maka perlu analisis terhadap gejala-gejala tersebut melalui tanda-tanda yang tersembunyi dalam praktek bahasa. Tanda-tanda ini berbicara tentang makna. Karena itu studi budaya (Cultural Studies) dipahami sebagai praktek pemaknaan dan representasi (Barker, 2004). Dalam hal ini bahasa sebagai alat komuikasi tidak pernah netral dan selalu ada dalam medan pertarungan (Bourdieu, 1991). Penulusuran makna dalam bab tujuh ini dilakukan dengan memperhatikan tanda-tanda bahasa yang kemudian dianalisis degan teori-teori kritis. Ada empat makna yang akan dianalisis pada bab ini diantaranya adalah 1) Makna Birokrasi Pelayanan Publik, 2) Makna Pertarungan Negara vis a vis Masyarakat, 3) Makna Kemaslahatan Umat, dan 4) Makna Sumber Pemasukan Kas Negara dan Partai Politik.
7.1 Birokrasi Pelayanan Publik
Pelayanan publik (public service) oleh birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping abdi negara. Menurut AG. Subarno dalam Agus Dwiyanto (2005 :141)
94
95
mendefinisikan
bahwa pelayanan publik sebagai serangkaian aktivitas yang
dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan warga pengguna jasa. Pelayanan publik menjadi isu yang krusial dan menarik untuk selalu didiskusikan. Dalam prakteknya selalu saja publik berada pada posisi tawar yang tidak seimbang dengan pemerintah. Hal ini terlihat pula dalam pelayanan publik penyelenggaraan haji. Penyelenggaraan haji adalah pelayanan publik yang harus dijalankan pemerintah untuk memenuhi tugasnya sebagai pengemban amanah rakyat. Tugas dan tanggung jawab pemerintah sudah dijelaskan secara terperinci dalam UU No 13 tahun 2008. Namun demikian ketidakpuasan publik selalu dilampiaskan setiap tahunnya. Ada banyak isu yang menerpa Kemenag sebagai institusi dan aktor menejerial haji. Tahun 2003, survey media menunjukkan hampir 78 persen responden menyatakan ketidakpuasanya, 56 persen diantaranya menyatakan masalah menejemen haji sebagai masalah utama, 16 persen responden mencurigai pelanggaran penggunaan jatah haji oleh pejabat Kemenag. Secara umum masalah haji hampir sama terjadi di seluruh provinsi. Kota Denpasar Bali juga mengalami hal yang sama. ”Masalah manejemen dalam praktik ada kecederungan di Kemenag Badung hanya mengurusi transport, mereka dari Denpasar ke Badung mereka hanya mengurusi dari darat saja kalau menurut saya perlu dipikirkan perjalanan dari Badung, Denpasar ke Surabaya melelahkan bagi yang suda tua-tua, kemudian sampai di sana tidak ada istirahat mereka harus mengurus sana sini. Sampai di kamar sudah sore semalaman mereka tidak tidur kerena mereka besoknya naik pesawat. Betapa capeknya jemaah haji. Sampai di Jedah di maktab ga ada istirahatnya sampai menjelang umroh langsung begitu. Mengapa kita tidak koordinir seperti waktu-waktu yang dulu, hemat waktu hemat energi memang memerlukan biaya” (Wawancara 3 Juni 2014)
96
Persoalan akomodasi dan transportasi haji Bali seperti yang diungkapkan oleh informan merupakan pengulangan kasus-kasus lama dan belum menunjukkan perbaikan. CJH khususnya jemaah yang lanjut usia harus menghadapi kesulitan dengan situasi skedul atau jadwal perjalanan yang berat buat mereka. Tampaknya perbaikan terhadap masalah ini masih jauh dari harapan.
Gambar 7.1 Kondisi CJH dalam Kelelahan setelah Perjalanan Dari Denpasar ke Surabaya Sumber: Dokumentasi Zulkarnain Nasution Tak hanya mengalami kelelahan selama perjalanan menuju bandara di Surabaya, jemaah haji Denpasar juga menghadapi berbagai tantangan berat selama di tanah suci. Pada kenyataannya pemerintah belum mampu memberikan sebuah pelayanan yang ideal dan stabil. ”Sebenarya kebijakan itu kan sudah diatur dalam Kemenag, tetapi kita selalu susah dalam prakteknya. Contohnya transpotasi dari maktab ke Masjidil Haram, dari Mekah ke Medinah. Transportasi sebenarnya disediakan oleh maktab tapi kan kebijakan itu tidak berjalan. Kita sampai iri dengan jemaah dari Turki mereka teratur. Kita jemaah Indonesia kejar-kejaran berebutan bus, ada yang sudah masuk badannya separuh
97
bus masih berjalan padahal kementerian sudah mengkalkulasi, maktab ini jam berapa diangkut kapasitas berapa? ” (Wawancara 3 Juni 2014) Menurut informan persoalan-persoalan dalam menejerial haji bermuara pada situasi kurangnya sumber daya manusia yang profesional di Kemenag. Selama ini perekrutan tenaga menejerial haji belum mengedepankan azas kompetensi sehingga banyak pos-pos tertentu ditempati oleh orang yang kurang tepat. Hal ini diakui juga oleh seorang informan yang bertugas di Kemenag: ”SDM Kemenag dalam kualitas dan kuantitas sangat kurang, saat ini hanya ada dua staf di Kota Denpasar. Ini sangat berat yang mana Depasar CJH nya paling banyak”. (Wawancara tanggal 7 juni 2014)
Gambar 7.2 Salah Satu dari Dua Staf Kemenag Denpasar Sedang Melayani CJH. Sumber: Dokumentasi Zulkarnain Nasution Berdasarkan Surat Edaran Sekretariat Jenderal Kementerian Agama RI No: SJ/B.IV/2/OT.00/296/2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Lingkungan Kementerian Agama serta dilaksanakannya penilaian pelayanan publik oleh Ombudsman RI (http://bali.kemenag.go.id) bahwasanya pelayanan
98
Haji di Kota Denpasar sudah masuk dalam kategori baik. Namun demikian pencapain tersebut belumlah menjadi jaminan bahwa pelayanan haji di Kota Denpasar sudah memenuhi kepuasan masyarakat. Karena masyarakat khususnya CJH lah yang lebih tahu dan merasakan kendala-kendala yang terjadi selama penantian dalam sistem daftar tunggu, perjalanan menuju tanah suci dan bahkan kesulitan selama menunaikan ibadah haji. Ketidak adilan masih berada diantara klaim-klaim kesuksesan Kemenag, seperti yang diungkapkan oleh informan berikut: ”Menurut saya realitasnya mereka (CJH) menerima apa adanya, katanya sudah adil tapi saya dengar siapa yang dekat di sana bisa loncat, ada informasi dari tahun ke tahun diprioritaskan bagi yang lanjut usia atau yang sudah pernah haji jangan lagi cukup sekali aja, tapi tidak bisa objektif ada apa dibalik itu? ” (Wawancara23 September 2014) Seperti yang disampaikan terdahulu bahwa di dalam birokrasi ada posisi tawar menawar antara pemerintah dan masyarakat di mana pemerintah selalu lebih kuat dan dominan. Birokrasi bagi Burdieu adalah ranah pertarungan (field of struggle) antara aktor-aktor. Pemerintah sebagai salah satu aktor telah berhasil membangun habitus yang menguasai struktur (regulasi dan aturan) sehingga seperti yang disampaikan informan di atas bahwa aktor masyarakat (CJH) cenderung akan mengalah dan menerima apa adanya. Habitus pemerintah dalam ranah birokrasi didukung oleh kapital hukum, pengetahuan menejerial, dan ekonomi yang kemudian mengalami normalisasi sehingga mudah diterima masyarakat dengan kepatuhan. Birokrasi dicapai melalui formalisasi aturan, struktur, dan proses di dalam organisasi.
99
Karakter birokrasi haji memenuhi syarat-syarat dalam teori strukturasi Giddens yang mengungkap hubungan struktur dan agensi. Dalam hubungan tersebut menurutnya terdapat tiga hal; 1) struktur signifikasi yang berkaitan dengan skema simbolik dan wacana. 2) struktur dominasi yang mencakup skema peguasaan atas orang (politik) dan barang (ekonomi) 3) struktur legitimasi yang berkaitan dengan skema aturan normatif yang tertuang dalam tata hukum atau aturan main. Menurut Giddens, struktur didefinisikan sebagai ’properti-properti’ yang berstruktur aturan dan sumber daya properti yang memungkinkan praktik sosial berupa yang dapat dijelaskan untuk eksis di sepanjang ruang dan waktu yang membuatnya menjadi bentuk sistemik. Sebagai hasil dari proses rasionalisasi, birokrasi melakukan pendekatan melalui struktur dan behavorial (prilaku), melalui ini Denis H. Wrong melihat birokrasi berpotensi sebagai instrumen kekuasaan atau Weber (1989) meyebutnya sebagai disfungsi birokrasi. Birokrasi menurut Giddens menyebabkan dehumanisasi seperti gejala McDonaldisasi. Bauman (dalam Davis, 2010) melihat brokrasi diprogramkan untuk bertindak optimum dalam arti seperti tak dapat membedakan antara tujuan seorang manusia dan tujuan manusia lainnya atau tujuan yang berperikemanusiaan dan tujuan yang tak berperikemanusiaan. Karl D Jackson (1978) menilai bahwa birokrasi di Indonesia adalah model bureaucratic politic di mana terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan peran masyarakat dari ruang politik dan pemerintahan. Richard Robinson dan King (dalam Uhlin, 1998) menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic authoritarian. Karena itu birokrasi haji Indonesia mencerminkan secara keseluruhan sikap politik elit dan birokrat yang lebih mengedepankan aspek kekuasaan dari pada berpihak kepada
100
masyarakat. Realitas ini akan memperlihatkan seperti apa menejemen haji Indonesia kedepan, belum banyak berubah dan masih akan menyengsarakan jemaah. ”Makin lama minat naik haji semakin naik dengan perbaikan ekonomi masyarakat di Indonesia secara keseluruhan. Banyak masyarakat sudah mampu, yang kedua ditopang oleh banyak fasilitas atau lembaga keuangan dengan memberikan peminjaman. Kenaikan ini mendorong pemerintah membuat daftar tunggu sementara pemeritah terlihat belum mampu dari sisi menejerialnya. Sisi yang lain pemerintah Indonesia juga tidak mampu bernegosiasi degan pihak Arab Saudi. Secara diplomatik memang seperti mission imposibble. Kerajaan Arab Saudi hanya punya kemampuan 2 juta tiap tahun, dengan fasilitas sekarang di sana belum mampu menambah jumlah jemaah. Saya dengar sedang ada perbaikan paling mungkin akan datang naik 2, 2 juta. Kalau begitu akan menambah jatah kuota negara.” (Wawancara 12 Juni 2014) Kedepan seperti yang disampaikan oleh informan di atas, pelayanan haji makin kompleks dan terbebani dengan peningkatan jumlah CJH dalam daftar tunggu. Ada
beberapa
faktor
pendorong
seperti
meningkatnya
ekonomi
masyarakat, dan kebijakan dana talangan haji. Pemerintah sendiri sebenarnya sudah melakukan moratorium dana talangan haji, namun tidak dapat mencegah atau mengontrol perbankan yang menjadikan hal ini sebagai komoditi bisnis. Aspek pendukung lain adalah berubahnya psikologi dan spiritual masyarakat yang menjadi lebih religius sebagai sebuah fenomena postmodern masyarakat Indonesia (Piliang, 2004) Berdasarkan penuturan informan di atas, birokrasi haji Indonesia sepertinya masih berjuang untuk menempatkan kepentingan masyarakat sebagai prioritas utama. Nuansa politis lebih mengemuka karena kultur birokrasi yang bersifat politic dan authoritarian. Menurut Habermas solusi yang perlu dilakukan
101
adalah melakukan praksis emansipatoris dalam ruang-ruang sosial termasuk dalam menejemen penyelenggaraan haji (www.kompasiana.com)
7.2 Pertarungan Negara vis a vis Masyarakat. Carut marut persoalan sistem daftar tunggu haji memberikan gambaran adanya dua kekuatan dalam posisi saling berhadap-hadapan. Di satu posisi ada negara yang memiliki kekuatan dengan legitimasi kekuasaan berdasarkan hukum dan mampu memaksakan kehendakanya dengan tidakan koersif. Di posisi yang lain adalah rakyat atau masyarakat sipil yang per-definisi berarti masyarakat yang sadar politik tapi tidak berambisi untuk merebut kekuasaan politik. Pemerintah diwakili Kemenag dengan menetapkan kebijakan sistem daftar tunggu, monopoli haji, penggunaan dana abadi umat adalah bentuk penyelenggaraan pemerintahan yang menjadikan rakyat sebagai objek penguasaan. Ketidak puasan masyarakat terhadap sistem daftar tunggu berakar dari berbagai permasalahan yang menyebabkan sebagian mayarakat merasakan ketidak adilan: ”Dari penerapan waiting list saya melihat ada diskriminasi. Ada diskrimisasi antara yang punya uang dan tidak punya uang, kalau reguler menunggu 10 sampai 15 tahun, tapi kalau uang banyak paling lama 2 atau 3 tahun dengan ONH Plus. ONH Plus menurut saya diskriminatif dan membuka peluang ketidak adilan. Dengan 75 juta atau kalau mau cepat lagi tambah lagi walau katanya kuotanya terbatas tapi itu kan diperebutkan”. (Wawancara 3 Juni 2014) Menurut informan, pengelompokan jemaah haji berdasarkan kemampuan membayar lebih didasarkan pada motif keuntungan. Selain diskriminatif terhadap
102
calon jemaah, sistem daftar tunggu dinilai mempraktekkan penjualan nomor dengan menggunakan nomor antrian yang batal. ”Untuk permainan nomor antrian, saya kira terjadi di pusat, di lokal daerah relatif terkontrol. Jatah-jatah yang kosong adalah permainan tingkat pusat, daerah biasanya ga berani. Sistem yang maju sekarang orang bisa kok ngecek pergeseran kursinya. Tapi di atas (pusat) mungkin saja bisa melakukannya. Permainanya seperti ini misalya ada jatah kue untuk Bali tapi biasanya dibuat cadangan, cadangan ini yang sering dimamfaatkan legislatif dan keluarganya. Pembuatan besarnya cadangan itu dipusat, lokal hanya tinggal terima”. (Wawancara 12 Juni 2014) Menurut informan praktek-praktek kecurangan dalam penyelenggaraan haji membuat Kemenag terus menerus berada dalam tekanan publik untuk melakukan perubahan. Selama berdirinya Kemenag, sedikitnya sudah ada tiga mentri yang dibawa ke pengadilan dan dua diantaranya telah dinyatakan bersalah. Dalam semangat reformasi yang menjunjung tinggi demokrasi dan transparansi, suara-suara kritis masyarakat tidak dapat dibendung lagi. Ada berbagai bentuk medium aspirasi masyarakat, salah satunya melalui lembaga swadaya
masyarakat
(LSM).
Di
tingkat
pusat
kritik-kritik
terhadap
penyelenggaraan haji disuarakan oleh Pusat Advokasi Haji dan LSM Pusaka. (Gambar 7.1)
103
Gambar 7.3. Aksi Penolakan Sistem Daftar Tunggu Haji oleh Pusat Advokasi Haji Sumber: www.change.org Secara khusus di Kota Denpasar aspirasi masyarakat belum terlembagakan dalam sebuah wadah khusus. Menurut informan, CJH Denpasar masih bersifat konformis dan hanya membicarakannya dalam kelompok bimbingan manasyik haji di KBIH dan lembaga persaudaraan haji. Seorang informan memberikan informasi tentang hal ini: ”Kontrol masyarakat masih bersifat individual, dari persaudaraan haji memang sudah melakukan saat-saat pertemuan tapi karena sifat peraturannya sudah baku kontrol hanya bersifat kelokalan saja”. (Wawancara tanggal 3 Juni 2014) Sikap resistensi yang ditunjukkan kelompok masyarakat seperti
yang
disampaikan informan, meskipun terkadang tidak tampak ke permukaan seperti suara-suara CJH yang tidak tertampung, merupakan sebuah aspek politik yang mengimplikasikan interpretasi yang berbeda-beda (Foucault, 1978). Bordieu (dalam Fauzi, 2007) melihat kesadaran kritis masyarakat muncul karena adanya proses refleksi subjek terhadap dirinya dan keadaan sekitarnya. Sedangkan sifat
104
konformis masyarakat menurutnya berkorelasi dengan posisi mereka dalam ruang-ruang sosial. Dalam pertarungan, dimana pemerintah memiliki modal (ekonomi, hukum, intelektual) maka Bordieu menyarankan strategi edukasi yaitu usaha yang dilakukan oleh aktor untuk melakukan pelaku-pelaku sosial yang mampu melihat dirinya dan melakukan tindakan emansipatoris.
NEGARA
Modal Ekonomi, Hukum dst
RAKYAT
Ruang Pertarungan
PEMERINTAH
Modal Simboliik
CJH
Gbr 7.4 Skema Strategi Edukasi Bordieu Aktor (CJH) dapat meningkatkan posisi tawar dengan aktor pemerintah hanya dengan melalui proses edukasi yang memberikan mereka modal simbolik untuk masuk dalam ruang pertarungan (field of struggle). Proses edukasi dapat diupayakan oleh aktor-aktor intelektual LSM, lembaga akademik dan kelompok masyarakat yang sudah memiliki kesdaran politik.
7.3 Kemaslahatan Ummat Politik negara dalam kebijakan sistem daftar tunggu haji pada hakekatnya bertujuan untuk kepentingan masyarakat luas khususnya umat Islam. Jika menggunakan kacamata kekuasaan maka kebijakan Kemenag ini hanya menguntungkan negara (elit pemerintah) dan partai politik pengusung saja.
105
Padahal negara dibangun oleh rakyat melalui proses politik, karena itu proses politik juga harus mencerminkan komunikasi atau interaksi dengan rakyat (Surbakti, 2010). Seorang informan mengkonfirmasikan kebijakan sistem daftar tunggu adalah kebijakan politik: ”Apakah keputusan Kemenag berasal dari keputusan bersifat politis, ya hampir semua keputusan keputusan publik memang politis. Keputusan menejerial haji dibuat pemerintah dengan persetujuan komisi VIII DPR.” (Wawancara tanggal 30 Mei 2014) Menurut informan walaupun keputusan tersebut berasal dari proses tarik menarik kepentingan kekuasaan, seharusnya tetap mengedepankan kepentingan umat. Seorang intelektual Islam bernama Ibnu Aqil merumuskan politik sebagai hal-hal praktis yang lebih mendekati kemaslahatan bagi manusia dan lebih jauh dari kerusakan. Bagi salah seorang informan, politik haji harus melibatkan banyak umat sehingga umat merasa tidak ditinggalkan: ”Kemenag harus memberi kesempatan swadaya masyarakat untuk membantu contohnya KBIH, Kemenag sudah terlalu repot biarlah KBIH membantu terutama masalah-masalah manasyik. Bagi jemaah yang sudah ikut KBIH mereka lebih mandiri. Mungkin barangkali KBIH di Jawa agak nakal, tapi saya lihat di Denpasar itu memang berniat membantu, bukan profit oriented. (Wawancara, 3 Juni 2014) Penuturan informan di atas adalah sebuah praksis sosial yang harus dilakukan baik oleh agen pemerintah maupun agen CJH. Selama ini struktur yang dibangun pemerintah melalui regulasi dan aturan sebenarnya hanya akan membatasi agen (CJH). Giddens (1979) berpendapat struktur hanya ada di dalam dan melalui aktivitas agen. Karena itu selanjutnya pemerintah dan CJH harus membangun hubungan yang seimbang dan emansipatoris.
106
Dari 2,2 juta calon jamaah haji dalam daftar tunggu pemberangkatan, dana haji yang mengendap sampai akhir Februari 2014 berjumlah sembilan puluh sembilan triliun rupiah (Sumber: Media Center Haji). Dalam undang-undang (RUU PKH) Pasal 13 disebutkan pengelolaan keuangan haji dilakukan secara korporatif dan nirlaba. Namun, jika melihat pasal 19 yang menyatakan dana haji dapat diinvestasikan untuk diambil nilai manfaatnya. Dalam sudut pandang hukum, kata nirlaba dapat diterjemakan sebagai contradictio interminis. Artinya dana ini akan terus bertambah banyak melalui proses investasi yang sah menurut syariah. Dana haji yang sangat besar ini seyogyanya digunakan untuk kepentingan umat Islam pada umumnya dan jemaah haji pada khususnya. ”Hari hari ini alokasi APBN terbesar ke 5 adalah Kementrian Agama. Jadi posisi Kemenag sangat strategis. Kalau ini dipergunakan sebaik-baiknya akan mencerdaskan umat Islam, itu sangat strategis.” (Wawancara 30 Mei 2014) Memaknai penuturan informan di atas bahwa Kementrian Agama sebagai institusi negara yang mewadai aktivitas agama-agama di Indonesia sebenarnya mampu menjadi pelopor transformasi sosial. Kemenag harus menjiwai hakekat agama yang menurut Hassan Hanafi, bahwa agama datang bukan untuk mempertahankan status quo, tetapi agama adalah ” revolusi itu sendiri’’ menuju sebuah perubahan kearah yang lebih baik. Kemenag sebenarnya sudah berniat untuk mengoptimalkan dana haji sehingga diharapkan dapat memangkas biaya haji (BPIH) yang dibayarkan CJH. ”Memang ada khabar baik misalya ada penurunan ongkos, jadi uang CJH dikembalikan, kemudian baju tidak harus beli akan dikasih gratis, dari dana haji yang di Denpasar sebagian dialihkan mejadi biaya transport ke Surabaya. Kita berharap ongkos transpotasi ke Surabaya tidak dikutip lagi oleh Kemenag Denpasar”. (Wawancara 12 Juni 2014)
107
Namun demikian optimalisasi yang diharapkan informan CJH diatas belum terlaksana bagi CJH Bali khususnya Denpasar, padahal jumlah dana yang terhimpun di Kemenag pusat mencapai puluhan trilyun rupiah.
7.4 Sumber Pemasukan Kas Negara dan Partai Politik Potensi pendapatan negara melalui haji sangat besar. Pemasukan kas negara dari haji diperkirakan sedikitnya Rp 10 triliun setiap tahunnya. Angka ini berasal dari jumlah potensi orang yang mau menunaikan ibadah haji per tahun yakni sekitar 500.000 dikalikan setoran awal pendaftaran haji sehingga diperkirakan besarnya outstanding dana total tambahan minimal Rp 10 triliun tiap tahun. Dana yang terkumpul dari masyarakat akan bertambah berkali lipat ganda dalam mekanisme investasi halal. Hal ini diperkuat oleh UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 72/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara Ijarah Sale and Lease Back yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah. Menurut Kemenag tujuan investasi ini adalah: 1) Sebagai sumber pendanaan untuk menutupi biaya operasional haji selain dari ongkos jemaah calon haji mengongkosi komponen biaya tak langsung penyelenggaraan haji di dalam negeri, contohnya, biaya makan calon jemaah haji selama berada di asrama haji, buku manasik, pembuatan paspor dan visa 2) Membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek (www. Kemenag.go.id).
108
Mengingat besarnya jumlah potensi pemasukan kas negara yang begitu besar, pemerintah akan tetap menjalankan sistem daftar tunggu haji. Menurut informan sistem daftar tuggu tidak mungkin dihentikan, hanya perlu diperbaiki: ”Waiting List adalah konsekuensi logis dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta jiwa, tidak ada masalah kalau dikelola dengan baik. Waiting List harus, ga mugkin distop dengan keadaan seperti ini. Yang salah buka waiting list nya tapi pengelolahnya. Dana yang terkumpul juga sebagai sumber dana pembangunan”. (Wawacara 12 Juni 2014) Selain untuk kepentingan pembangunan, menurut informan uang yang berputar dalam bisnis haji merupakan sumber pemasukkan partai politik: “Untuk menjadi anggota dewan, bukan rahasia lagi harus punya modal, pengeluaran mereka untuk jadi anggota dewan luar biasa. Hitung saja kalau kita cari 2000 suara dari satu kecamatan saja dikali 100 ribu rupiah sudah berapa? Uangnya dari mana itu? Konsilidasi partai itu ga laku, ya jalan satu-satunya cari proyek termasuk di haji”. (Wawancara tgl 30 Mei 2014) Penuturan informan di atas mengisyratkan bahwa untuk menduduki jabatan politik dalam pemerintahan maupun partai politik seseorang harus memiliki sumber daya finansial yang besar. Bordieu (dalam Fauzi, 2007:1-17) berpendapat para pelaku sosial yang menempati posisi dominan dalam suatu ranah adalah mereka yang ’diberkahi’ atau mereka yang secara istimewa memiliki akses terhadap berbagai jenis modal. Modal digunakan untuk memproduksi dan menaikkan nilai simbolik, yang mendominasi dengan strategi perbedaan (distinction) dari kelompok sosial yang berada dibawahnya. Dengan menduduki jabatan politis, sang aktor memiliki strategi mempertahankan dan melestarikan sebuah kekuasaan dengan mengandalkan penggunaan kekuasaan termasuk melakukan korupsi dan penyalah gunaan wewenang atau abusive of power.
109
Menurut Giddens (1979) agen-agen korupsi adalah mereka yang memiliki nilai intervensi (efek) terhadap suatu tindakan yang korup.
Refleksi Penetapan sistem daftar tunggu sebagai sebuah kebijakan dalam menejerial haji memberikan perenungan bahwa kebijakan negara seharusnya mengakar dari rakyat. Moto pemerintahan berazaskan demokrasi” dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat” bukan hanya menjadi slogan tetapi harus menjadi paradigma menejemen pemerintahan. Belajar dari kegagalan rezim pemerintahan Orde Baru yang top down, pemerintah harus mau mendengar aspirasi rakyat dan mampu memformulasikan kebijakan tanpa mengorbankan rasa keadilan rakyat. Mengingat filsafat ritual haji yang bermakna reflektif mendalam, medium penciptaan manusia-manusia baru (fitrah kembali) adalah manusia yang kelak membawa api kesucian, semangat jihad perdamaian, pembaharuan bagi lingkungan sosialnya maka penyelengaraan haji harus dilakukan secara serius. Pemimpin dalam Kemenag seharusnya meneladani prinsip menejemen dan leadership Rasulullah yang tawadhu (rendah hati), siddiq (memperlakukan orang lain dengan jujur), tsiqah kamilah (percaya penuh), mendahulukan kepentingan orang lain, amanah (bertanggung jawab), tabliq (komunikatif), dan fathanah (berakal panjang). Melalui prinsip menejemen haji yang berkeadilan, penyelenggaraan haji harus membuka kesempatan bagi masyarakat yang kurang mampu. Karena itu sistem menejerial, pengelolaaan dana abadi umat, dan investasi sukuk harus mendukung pembiayaan haji yang terjangkau. Ongkos haji mungkin tak akan
110
menjadi murah, tetapi kemampuan pengelolaan haji yang efisien dapat mendukung wacana subsidi bagi CJH kurang mampu, Yang terakhir, praksis sosial yang ditunjukkan oleh masyarakat dalam merespon penyelenggaraan haji yang berkeadilan dan tidak diskriminatif menjadi medium bagi pembelajaran dan kesadaran masyarakat terhadap praktek-praktek kekuasaan yang diskursif. .