210
BAB VII MAKNA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS SEKOLAH DASAR DI KOTA DENPASAR
Sudah hampir satu dasawarsa memasuki abad ke-21, bangsa Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan untuk menyusun dan merumuskan konsep kebijakan dan strategi yang tepat dalam upaya mencerdaskan dan menyejahterakan warganya. Masih buruknya mutu pendidikan pada hampir semua jenis dan tingkatan pendidikan semakin menegaskan sinyalemen di depan. Semakin meningkatnya angka pengangguran anak-anak usia produktif yang diakibatkan rendahnya kemampuan dasar, keterampilan, dan keahlian menjadi cermin nyata bahwa bangsa ini masih menghadapi persoalan besar dalam bidang pendidikan. Kebijakan pendidikan haruslah diarahkan pada kebutuhan kekinian. Setiap bidang keahlian yang dipilih haruslah diarahkan dalam rangka menyiapkan individu siswa agar dapat menjawab persoalan kekinian, memahami relevansi dan keterkaitannya dengan bidang lainnya, serta menyiapkan mereka dalam menghadapi arus perubahan yang begitu cepat dalam bidang ekonomi, teknologi, politik, dan sosial-budaya. Kebijakan pengajaran bahasa Inggris SD yang dikembangkan di SD didasarkan pada upaya menyiapkan peserta didik agar mampu menjawab kebutuhan kekinian (immediate needs), terutama dalam bidang informasi dan ilmu pengetahuan yang tidak bisa dilepaskan dari era globalisasi. Dunia pendidikan harus selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa international yang 210
211
mempunyai peran yang sangat penting dalam era globalisasi. Pembelajaran bahasa Inggris sudah menjadi suatu kebutuhan pendidikan, khususnya untuk daerah yang banyak bersentuhan
dengan dunia international, seperti Bali sebagai daerah
tujuan wisata utama di Indonesia. Adapun makna dari kebijakan pengajaran bahasa Inggris jenjang SD di Kota Denpasar adalah sebagai berikut. (1) Peran dan tanggung jawab pemerintah dalam menjawab perkembangan zaman. (2) Sinergi budaya global-lokal melalui pendidikan dasar. (3) Ekologi (fungsi) bahasa asing untuk kebermanfaatan siswa. (4) Penguatan kinerja dan kepercayaan diri siswa. 7.1 Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah Kota dalam Menjawab Perkembangan Zaman Pada era globalisasi sekarang ini kita merasakan dunia ini semakin sempit seiring dengan derasnya arus informasi, baik melaui media cetak maupun elektronik. Untuk dapat berpartisipasi dalam era ini mau tidak mau faktor penguasaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris menjadi teramat penting, terlebih jikalau kita ingin sejajar dengan bangsa-bangsa yang sudah maju. Tidaklah berlebihan semboyan yang mengatakan bahwa menguasai bahasa Inggris berarti kita bisa menguasai dunia. Pernyataan ini didukung oleh data hasil wawancara dengan bapak Ngakan Made Astagina, Kepala SD No. 1 Saraswati Denpasar berikut ini. “Saya sangat mendukung bahasa Inggris diberikan di sekolah dasar. Hal ini sangat penting supaya generasi muda bangsa Indonesia bisa ikut dalam pergaulan internasional karena bahasa Inggris dipakai secara luas di banyak negara, terlebih dalam kehidupan pariwisata serta berbagai pengembangan dan penyebaran IPTEK, penerbitan buku-buku ilmu pengetahuan dan teknologi. Saya tidak pernah meneliti tentang hal ini, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa orang yamg mampu berbahasa Inggris dengan aktif akan bisa bersaing dalam mencari pekerjaan di sektor
212
pariwisata. Oleh karena itu, harapan saya supaya pemerintah all out dan jangan setengah-setengah dalam menjalankan kebijakan memberikan pembelajaran bahasa Inggris mulai dari sekolah dasar. Dibandingkan dengan negara tetangga, seperti: Malaysia, Filipina dan Singapura, penguasaan bahasa Inggris kita masih kalah. Kebanyakan siswa kita kurang berani berbicara bahasa Inggris, mereka masih baru tahapan pengenalan. Bahasa Inggris seperti kita lihat dipakai secara luas di dunia maya. Pemerintah harus mempunyai tanggung jawab untuk menyiapkan sumber daya manusia yang mampu bersaing di era global ini. Hal ini bisa dilakukan dengan lebih memperhatikan dan memantau pelaksanaan pengajaran bahasa Inggris di lapangan. Saran saya supaya pemerintah memberikan fasilitas pendidikan, menentukan model pembelajaran yang cocok dan tepat untuk anak usia muda.” ( wawancara 21 September 2009). Tuturan di atas menunjukkan kenyataan bahwa bahasa Inggris dewasa ini dipergunakan secara luas dalam berbagai pengembangan dan penyebaran IPTEK, di samping penerbitan buku-buku ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, pemerintah, khususnya pemerintah kota sangat berkepentingan terhadap keberhasilan pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris jenjang SD dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia yang mampu bersaing pada tataran internasional. Dalam teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan yang mengaitkan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan memandang bagaimana bahasa digunakan pada tempatnya. Dengan mengusai bahasa, khususnya bahasa Inggris akan memudahkan seseorang mendapatkan pengetahuan. Dengan pengetahuan berbahasa Inggris yang baik dan benar akan memudahkan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak serta mampu bersaing dengan tenaga asing yang menyerbu Indonesia dalam pasar bebas yang sudah di depan mata. Dari uraian diatas dapat digarisbawahi betapa pentingnya bahasa Inggris bagi tenaga-tenaga menegah dan atas untuk kepentingan pembangunan negara kita. Kalaupun kita tidak bisa berhasil membekali tenaga menengah kita dengan
213
bahasa Inggris, minimal harus dapat
membekali tenaga atas kita, yaitu para
sarjana dengan bahasa Inggris yang cukup untuk mengembangkan ilmu mereka. Untuk menyiapkan hal itu, kebijakan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar merupakan langkah awal agar memotivasi siswa untuk senang dengan bahasa Inggris. Langkah awal pembelajaran bahasa Inggris haruslah menyenangkan, di samping dapat memberikan motivasi kepada peserta didik dalam proses belajar mengajar. Semua komponen yang terlibat dalam suatu kebijakan semestinya memberikan dorongan serta berpartisipasi penuh dalam membuat suatu kebijakan agar dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Bahasa Inggris sudah diakui sebagai bahasa internasional nomor satu. Di Indonesia pun bahasa Inggris merupakan bahasa asing paling populer. Penguasaan terhadap bahasa Inggris merupakan jaminan akan kesuksesan. Pemerintah secara langsung dan tidak langsung mengakui betapa pentingnya bahasa Inggris. Alasan klasik yang dapat diungkap adalah dengan penguasaan bahasa Inggris yang baik maka proses alih teknologi akan dapat berjalan lebih cepat. Hal ini terjadi karena banyak litelatur ilmu pengetahuan dan teknologi ditulis dalam bahasa Inggris. Dalam hal ini banyak yang mengungkapkan, bahwa ketika memasuki era globalisasi, setiap individu harus mampu mempersiapkan dirinya sebagai sumber daya yang handal, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Dalam kaitan ini bahasa Inggris memiliki peran yang sangat penting tentunya dalam proses penguasaan teknologi dan informasi yang mulai masuk serta dalam proses komunikasi. Sebagai sarana komunikasi global, bahasa Inggris harus dikuasai secara aktif baik lisan maupun tulisan. Bahasa Inggris juga bisa
214
menjadi salah satu bekal kita dalam mencari pekerjaan. Selain itu, biasanya perusahaan-perusahaan memakai bahasa Inggris sebagai salah satu pertimbangan dalam menerima karyawannya. Di Indonesia, pelajaran bahasa Inggris merupakan mata pelajaran wajib yang mulai diajarkan di tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), yaitu di SMP dan terus dilanjutkan sampai tingkat SMA sederajat dan perguruan tinggi. Bahasa Inggris bukan hanya dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah, tetapi juga dianggap sebagai salah satu mata pelajaran “penting”. Buktinya, bahasa Inggris adalah merupakan salah satu mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional (UN) yang soalnya berstandar nasional dan dijadikan sebagai salah satu syarat kelulusan siswa, baik pada tingkat SMP maupun SMA sederajat. Bukan hanya pemerintah yang menganggap bahasa Inggris penting, orangtua siswa juga menganggap bahasa Inggris penting bagi putra-putrinya. Orangtua yang tergolong mampu rela mengeluarkan dana lebih agar anak-anaknya mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris secara lancar, baik secara lisan maupun tulisan. Semua ini dilakukan para orangtua agar dengan kemampuan atau penguasaan bahasa Inggris yang baik maka anak mereka akan mampu bersaing pada zaman atau era globalisasi yang persaingannya akan semakin ketat karena sudah lintas negara dan lintas benua. Mengingat peran dan fungsi bahasa Inggris yang sangat strategis dalam dunia global, maka Pemerintah sudah tentu mempunyai peran dalam mengambil kebijakan yang strategis dalam memfasilitasi dan membuat serta melaksanakan
215
kebijakan dalam pendidikan formal seperti membuka sekolah berstandar international. Ada suatu kekhawatiran bahwa bahasa Inggris seolah-olah kembali „menjajah‟ bangsa Indonesia. Hal ini merupakan penjajahan gaya baru, penjajahan era modern. Bahasa Inggris lebih populer dibandingkan dengan bahasa persatuan kita bahasa Indonesia. Tidak jarang kita lihat, dengar dan temukan penggunaan bahasa Inggris yang „kebablasan‟ yang jauh dari peran dan fungsi bahasa Inggris yang hanya sebagai bahasa asing. Jangan sampai bangsa Indonesia sudah kehilangan sebagian dari jati dirinya dengan lebih bangga menggunakan bahasa Inggris dibandingkan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Jangan sampai ada pandangan atau pendapat di kalangan pembelajar bahasa Inggris bahwa dengan menggunakan bahasa Inggris kelihatan lebih gaya, lebih pintar, lebih “gaul”, dan lebih percaya diri. Sekolah berstandar internasional (SBI) maupun rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) yang mulai bermunculan sekarang ini jangan sampai membuat bahasa Inggris semakin jauh meninggalkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Dalam teorinya bahasa Inggris adalah bahasa pengantar dalam menyampaikan materi pelajaran di sekolah-sekolah berstadar internasional ataupun di rintisan sekolah berstandar internasional tersebut. Peran bahasa Inggris sangat meningkat dalam proses belajar-mengajar karena di SBI dan RSBI diperkenalkan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam menyampaikan materi pelajaran yakni mata pelajaran MIPA (Matematika, Fisika, Biologi, dan Kimia).
216
Seorang peneliti bahasa, Dendy Sugono mengatakan bahwa penggunaan bahasa sebagai bahasa pengantar pendidikan di sekolah melanggar UndangUndang Dasar 1945. Menurutnya, sejumlah sekolah bertaraf international (SBI) dan rintisan sekolah bertaraf international (RSBI) menempatkan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pendidikan (Kompas, 8 November 2010). Hal ini sudah tentu bertentangan dengan Pasal 33, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Pasal 29, Undang-Undang No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Dendy juga mengatakan, “Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pendidikan akan mereduksi peran bahasa Indonesia dari dunia keilmuan dan kehidupan masa depan bangsa”. Menurut dia, internasionalisasi standar pendidikan Indonesia hanya sebatas kulit, bukan substansi mutu pendidikan tersebut. “Internasionalisasi standar pendidikan seharusnya menyentuh mutu pendidikan dan wawasan para siswanya, tidak sebatas pada penggunaan bahasa asing di sekolah”, ucapnya. Untuk mempermudah pemahaman siswa terhadap materi pelajaran di sekolah, hindari penggunaan bahasa asing, seperti bahasa Inggris. Dengan bahasa asing, siswa dikhawatirkan justru akan bingung dan tidak mengerti persoalan atau malah salah pengertian. Jadi, output pengajaran bahasa Inggris bukan untuk mengganti posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan di sekolah, tetapi tujuan mempelajari bahasa asing adalah untuk memenuhi tuntutan era globalisasi yang menempatkan bahasa Inggris pada posisi yang sangat penting sebagai alat komunikasi dalam berbagai kegiatan dan aktivitas internasional.
217
Menurut Abhisit Vejjajiva, ilmu pengetahuan apa pun akan lebih cepat dimengerti siswa jika disampaikan dalam bahasa mereka sendiri. Hal ini diungkapkannya dalam diskusi konferensi international mengenai Language, Education, and the Millenium Development Goals (MDGs) di Bangkok, Thailand. Kekhawatiran yang sama juga disampaikan oleh Direktur InternasinalLead Asia Catherine Young. Jika siswa tidak mengerti bahasa pengantar yang digunakan di sekolahnya, lambat laun minat dan semangat anak bisa menurun dan berakhir dengan drop out (Kompas,11 Nopember 2010). Menurut Helen, mengajarkan bahasa asing di jenjang pendidikan dasar tidaklah salah, asalkan menjadi salah satu mata pelajaran dan bukan bahasa pengantar. Banyak orangtua berloma-lomba mendidik anak mereka dengan bahasa asing, tetapi lupa bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang dapat membentuk karakter dan kepribadian bangsa. Bahasa asing sebagai bahasa pengantar tidak bisa dijadikan ukuran mutu suatu sekolah. Dalam hal ini yang penting adalah benahi metode pengajaran, cara belajar siswa, dan cara guru mengajar. Kuncinya, buatlah anak nyaman belajar di sekolah dengan bahasa lokal, nasional, dan asing. 7.2 Sinergi Budaya Global-Lokal Melalui Pendidikan Dasar Ada anggapan selama ini bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam serta akan menghapus identitas dan jati diri suatu bangsa. Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global. Anggapan atau jalan pikiran yang demikian tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tidak berguna. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi telah
218
membuat surutnya peranan kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara. Kita tengah memasuki abad XXI atau memasuki milenium III. Perubahan abad dan perubahan milenium ini diramalkan akan membawa perubahan pula terhadap struktur ekonomi, struktur kekuasaan, dan struktur kebudayaan dunia. Fenomena paling menonjol yang sedang terjadi pada kurun waktu ini adalah terjadinya proses globalisasi. Proses perubahan inilah yang disebut Alvin Toffler sebagai gelombang ketiga, setelah berlangsung gelombang pertama (agrikultur), dan gelombang kedua (industri). Perubahan yang demikian menyebabkan terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat kekuasaan yang bersumber pada tanah, kemudian pada kapital atau modal, selanjutnya (dalam gelombang ketiga) kepada penguasaan terhadap informasi (ilmu pengetahuan dan tekhnologi). Pernyataan tersebut sejalan dengan pandangan seorang guru bahasa Inggris I Nyoman Nuada, yakni sebagai berikut. “Era globalisasi menuntut setiap individu untuk mempersiapkan sumber daya yang handal. Peranan bahasa Inggris sangat diperlukan. baik dalam menguasai teknologi komunikasi maupun dalam berinteraksi secara langsung. Sebagai sarana komunikasi global, bahasa Inggris harus dikuasai secara aktif, baik lisan maupun tulisan. Sebagai bahasa pergaulan dunia bahasa Inggris bukan hanya sebagai kebutuhan akademis karena penguasaannya hanya terbatas pada aspek pengetahuan bahasa, melainkan sebagai media komunikasi global” (wawancara 8 September 2009). Data wawancara tersebut menunjukkan representasi budaya global dunia dewasa ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara peran bahasa Inggris dengan proses munculnya suatu budaya menjadi budaya global. Alaistar Pennycook (1995) mengindikasikan bahwa bahasa, dalam hal ini bahasa Inggris, telah menjadi alat yang sangat ampuh untuk menyebarkan budaya penutur bahasa tersebut ke seluruh dunia. Itulah sebabnya ketika ditelusuri ke belakang kita akan
219
menemukan bahwa hampir seluruh budaya populer yang sifatnya mendunia pada hari ini berasal dari negara-negara yang penduduknya berbahasa Inggris, terutama Amerika Serikat. Salah satu upaya yang perlu mendapatkan dukungan dan pemikiran yang terus-menerus adalah upaya mengubah sikap dan kebijakan kita terhadap bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Dari segi sikap sudah saatnya terjadi perubahan sikap mental kita sebagai pengguna bahasa Inggris sebagai bahasa asing atau sebagai orang-orang yang selama ini secara sadar atau tidak sadar telah mengasosiasikan diri kita dengan budaya penutur asli bahasa Inggris. Persepsi bahwa cara berbicara atau cara menulis kita dalam bahasa Inggris haruslah seperti cara berbicara atau cara menulis orang Amerika misalnya, sudah tidak lagi relevan dengan kenyataan bahwa bahasa Inggris adalah sebuah bahasa internasional dengan jumlah pengguna bukan penutur aslinya. Sudah jauh lebih banyak jumlah penutur bahasa Inggris sebagai bahasa kedua dari pada mereka yang menggunakannya sebagai bahasa pertama (Whitehead, 2007:11). Salah satu akibat status bahasa Inggris sebagai bahasa internasional adalah perlunya usaha untuk saling memahami dan saling belajar, baik secara linguistik maupun budaya dari semua pengguna bahasa Inggris, baik yang menggunakannya sebagai bahasa pertama, bahasa kedua, maupun bahasa asing. Perubahan sikap mental ini menjadi isu penting karena dengan terus-menerusnya exposure (pengenalan) budaya global saat ini ke tengah masyarakat, maka secara gradual, persepsi, cara berpikir, dan akhirnya tindakan-tindakan kita akan semakin jauh dari akar budaya kita sendiri yang sesungguhnya juga memiliki daya dorong untuk
220
mengantarkan kita menjadi orang-orang yang maju. Membangun kemasan baru budaya nasional dalam bahasa Inggris, selain bahasa verbal dan nasional, menjadi tuntutan global. Dengan kata lain, perubahan sikap mental ini diperlukan agar kita tidak terjebak untuk terus-menerus mengadopsi kemajuan dan budaya global (baik yang dianggap positif maupun negatif) yang ada dewasa ini. Perubahan sikap mental ini diperlukan agar kita bisa menginovasi dan mengkreasi kemajuan atau minimal bisa mengadaptasikan kemajuan dan budaya global yang ada hari ini dalam koridor budaya lokal yang kita miliki. Oleh karena itu, bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, dengan segala pengaruh yang dimilikinya, seharusnya dijadikan alat untuk mencapai kemajuan yang berbasiskan budaya lokal/nasional. Kebijakan pengajaran bahasa Inggris jenjang SD yang telah dilaksanakan sudah tentu akan mampu menghadapi proses globalisasi atau di dalam era pasar bebas yang sebentar lagi akan tiba. Berpikir lokal, bertindak global, dan menempatkan bahasa Inggris sebagai sesuatu yang penting pada era globalisasi. Proses berpikir tidak akan mungkin dilakukan tanpa bahasa. Bahasa Inggris yang dipakai secara luas akan
mempunyai peran yang sangat penting dalam
mensinergikan antara budaya global dan lokal. Di dalam sejarahnya, bahasa Inggris telah berkembang cukup menarik. Bahasa Inggris yang tadinya hanya merupakan bahasa yang dipakai oleh negara Inggris dan negara jajahannya, tetapi sekarang dipelajari dan dipakai secara luas oleh banyak negara sebagai bahasa kedua.
221
Salah satu kekhawatiran dalam melaksanakan pengajaran bahasa Inggris jenjang SD adalah adanya anggapan bahwa pengajaran bahasa Inggris tersebut akan merusak budaya lokal dan identitas kebangsaan karena bahasa Inggris mempunyai peran yang sangat strategis dalam era globalisasi. Dengan derasnya arus globalisasi dikhawatirkan budaya bangsa, khususnya budaya lokal akan mulai terkikis. Budaya asing kini kian mewabah dan mulai mengikis eksistensi budaya lokal yang sarat makna. Agar eksistensi budaya lokal tetap kukuh, maka diperlukan pemertahanan budaya lokal. Fenomena anak usia sekolah yang senang dengan budaya asing menjadikan kewaspadaan untuk mengangkat dan melestarikan budaya lokal agar menjadi bagian integratif dalam pembelajaran bahasa, khususnya pembelajaran bahasa Inggris di SD. Budaya lokal merupakan budaya yang dimiliki oleh suatu wilayah dan mencerminkan keadan sosial di wilayahnya. Beberapa hal yang termasuk budaya lokal, seperti: cerita rakyat, lagu daerah, ritual kedaerahan, adat istiadat daerah, dan segala sesuatu yang bersifat kedaerahan. Penulis sebelumnya mengatakan pentingnya menjadikan kekayaan lokal agar dijadikan bahan pengajaran bahasa Inggris di sekolah. Hal ini dilakukan dalam upaya penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam budaya lokal, seperti nilai religius, nilai moral, dan khususnya nilai kebangsaan kepada peserta didik. Pada akhirnya, penanaman nilai-nilai budaya lokal dalam pembelajaran bahasa Inggris diharapkan akan mengimbangi pengaruh budaya asing yang semakin mewabah pada masyarakat kita. Dari segi kebijakan, khususnya dalam hal pengajaran bahasa Inggris, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan kontekstual karena dalam proses
222
pengajaran suatu bahasa asing yang terjadi bukanlah semata-mata pembelajaran bahasa tetapi pada saat yang sama juga terjadi pembelajaran dan transfer nilainilai budaya, prinsip hidup, dan pola pikir. Proses pendidikan dan peningkatan kualifikasi guru bahasa Inggris, buku, dan metodologi pengajaran perlu mendapat muatan-muatan lokal, di samping pengenalan nilai-nilai global/universal. Sikap proporsional tentunya diperlukan, dalam hal ini agar proses pengajaran bahasa Inggris mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap kehidupan dan perkembangan budaya nasional dan terbentuknya perubahan sikap mental yang mendorong orang untuk mengkreasi, menginovasi, serta mengadaptasi kemajuan. Bangsa Indonesia tidak akan mungkin mengelak dari globalisasi, sebagai konsekuensi zaman globalisasi. Dalam hal ini yang bisa kita lakukan hanyalah meminimalisasi dampak negatif globalisasi. Globalisasi dan modernisasi pasti terjadi dan tidak terelakkan. Era globalisasi yang diboncengi neoliberalisme dan modernisasi melaju diiringi pesatnya revolusi IPTEK (Ilmu pengetahuan dan teknologi).
Dunia
tanpa
batas
menganut
aliran
kebebasan,
kebebasan
berkreativitas, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berekspresi. Apabila kita duduk di suatu kursi akan melihat dan berkomunikasi dengan orang di tempat yang paling jauh di dunia luar sana, maka kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi mendekatkan jarak dan waktu. Kondisi tersebut secara tidak langsung telah melahirkan budaya baru dan memengaruhi tatanan budaya masyarakat Indonesia. Era globalisasi seperti sekarang ini akan berpengaruh terhadap segala bidang kehidupan, termasuk di dalamnya adalah bidang pendidikan dan kebudayaan. Salah satu kekuatan utama dalam bidang pendidikan
223
dan kebudayaan adalah masalah identitas bangsa. Oleh karena itu, jati diri bangsa adalah sesuatu yang harus mati-matian diperjuangkan. Jangan sampai jati diri bangsa ini lama-lama luntur seiring dengan derasnya arus informasi dari luar. Fenomena pengglobalan dunia harus disikapi dengan arif dan positif thinking karena globalisasi dan modernisasi sangat diperlukan dan bermanfaat bagi kemajuan bangsa. Namun, kita tidak boleh lengah dan terlena karena era keterbukaan dan kebebasan itu juga menimbulkan pengaruh negatif yang akan merusak budaya bangsa. Menolak globalisasi bukanlah pilihan tepat. Oleh karena hal itu berarti menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bukankah kita tidak mau ketinggalan dalam IPTEK dengan negara lain. Akan tetapi perlu kecerdasan dalam menjaring dan menyaring efek globalisasi. Akses kemajuan teknologi informatika dan komunikasi dapat dimanfaatkan sebagai pelestari dan pengembang nilai-nilai budaya lokal. Dengan munculnya era globalisasi ini, maka semakin disadari pula pentingnya mempertahankan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Harus diakui, aktor utama dalam proses globalisasi masa kini adalah negara-negara maju. Mereka berupaya mengekspor nilai-nilai lokal di negaranya untuk disebarkan ke seluruh dunia sebagai nilai-nilai global. Mereka dapat dengan mudah melakukan hal itu karena mereka menguasai arus teknologi informasi dan komunikasi lintas batas negara-bangsa. Sebaliknya, pada saat yang sama, negaranegara berkembang seperti negara kita tidak mampu menyebarkan nilai-nilai lokalnya
karena
daya
kompetitifnya
rendah.
Akibatnya,
negara-negara
berkembang hanya menjadi penonton bagi masuk dan berkembangnya nilai-nilai
224
negara maju yang dianggap nilai-nilai global ke wilayah negaranya. Dengan derasnya arus globalisasi ini dikhawatirkan budaya bangsa, khususnya budaya lokal akan mulai terkikis sedikit demi sedikit. Budaya asing kini kian mewabah dan mulai mengikis eksistensi budaya lokal yang sarat makna. Agar eksistensi budaya lokal tetap kukuh, maka diperlukan pemertahanan budaya lokal. Fenomena anak usia sekolah yang senang dengan budaya asing menjadikan kewaspadaan untuk mengangkat dan melestarikan budaya lokal agar menjadi bagian integratif dalam pemelajaran bahasa Inggris di sekolah. Dengan mengintegrasikan budaya lokal ke dalam pemelajaran bahasa Inggris di sekolah diharapkan jati diri bangsa akan tetap kukuh. Upaya-upaya pembangunan jati diri bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya penghargaan pada nilai budaya dan bahasa, nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, dan rasa cinta tanah air dirasakan semakin memudar. Pudarnya budaya bangsa disebabkan oleh banyak faktor. Dalam kenyataannya di dalam struktur masyarakat terjadi ketimpangan sosial, baik dilihat dari status maupun tingkat pendapatan. Kesenjangan sosial yang semakin melebar itu menyebabkan orang kehilangan harga diri. Budaya lokal yang lebih sesuai dengan karakter bangsa semakin sulit dicernakan, sementara itu budaya global lebih mudah merasuk. Pengintegrasian budaya lokal ke dalam pembelajaran bahasa Inggris sungguh amat penting. Hal ini dilakukan dalam upaya penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam budaya lokal dan juga sekaligus untuk meminimalisasi pengaruh negatif budaya luar, khususnya budaya Barat yang dibawa oleh globalisasi. Globalisasi yang tidak terhindarkan harus
225
diantisipasi dengan pembangunan budaya yang berkarakter penguatan jati diri dan kearifan lokal yang dijadikan sebagai dasar pijakan dalam penyusunan strategi dalam pelestarian dan pengembangan budaya. Upaya memperkuat jati diri daerah dapat dilakukan melalui penanaman nilai-nilai budaya lokal dalam pemelajaran bahasa Inggris di sekolah. Guru bahasa Inggris harus mampu mengemas materi pelajaran bahasa Inggris supaya unsur-unsur budaya lokal dimasukkan dalam bahan ajar sehingga budaya lokal dan budaya global bersinergi lewat pembelajaran bahasa Inggris yang dimulai dari sekolah dasar. Pernyataan tersebut di atas juga didukung oleh seorang guru bahasa Inggris SD No 1 Sumerta Ni Putu Suarningsih, yakni sebagai berikut. “Pada umumnya siswa senang belajar bahasa Inggris lewat gambargambar yang berwarna dengan bantuan alat peraga. Sebagai seorang guru, saya berusaha untuk menyiapkan materi pengajaran supaya menarik sehingga siswa senang belajar bahasa Inggris. Di samping mempergunakan buku ajar yang ada di pasaran, saya lebih banyak membuat bahan ajar sendiri dengan mengemas materi pelajaran bahasa Inggris dengan memasukkan unsur-unsur budaya lokal dalam bahan ajar. Dengan demikian, maka budaya lokal dan budaya global bersinergi lewat pembelajaran bahasa Inggris mulai dari sekolah dasar.” (wawancara 14 September 2009). Data tersebut di atas mengindikasikan bahwa nilai-nilai budaya lokal harus dipertahankan melalui pendidikan. Guru bahasa Inggris harus selalu creative dan inovatif dalam menyajikan materi pengajaran untuk siswa SD. Materi atau bahan ajar sebaiknya memanfaatkan lingkungan sekolah atau lingkungan sosial. Hal ini sejalan dengan teori Perkembangan Psikologi Piaget yang memandang anak sebagai
individu
lingkungannya
yang
dan
aktif
sehingga
bagaimana
perkembangan mentalnya.
dapat
lingkungan
mengambil sekitar
peran
berpengaruh
dalam pada
226
Budaya lahir dan dikembangkan oleh manusia melalui akal dan pikiran, kebiasaan dan tradisi. Setiap manusia memiliki kebudayaan tersendiri, bahkan budaya diklaim sebagai hak paten manusia. Kebudayan merupakan hasil belajar yang sangat bergantung pada pengembangan kemampuan manusia yang unik yang memanfaatkan simbol, tanda-tanda, atau isyarat yang tidak ada paksaan atau hubungan alamiah dengan hal-hal yang mereka pertahankan. Dengan demikian, setiap manusia, baik individu maupun kelompok dapat mengembangkan kebudayaan sesuai dengan cipta, rasa, dan karsa masing-masing. Era globalisasi yang ditandai dengan percepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih mengakibatkan seakan-akan dunia merupakan sebuah perkampungan global tanpa sekat dan tanpa batas yang jelas. Era globalisasi tersebut telah memberikan kesempatan kepada dunia dan manusia yang hidup di dalamnya untuk berinteraksi dan berkomunikasi dari berbagai ujung dunia yang berbeda, tanpa hambatan ruang dan waktu. Akibat gelala tersebut dikhawatirkan justru kebudayaan dari luarlah yang membentuk anak didik karena mereka umumnya (masih) belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Seolah-olah bagi mereka budaya yang datangnya dari barat itu baik adanya. Pada hal tidak semua yang datangya dari Barat itu baik, justru sebaliknya banyak pula budaya yang kurang baik, terutama yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya luhur bangsa kita. Sifat individual, sikap permisif terhadap seks merupakan contoh budaya yang datangnya dari luar tentu tidak sesuai dengan budaya bangsa kita. Salah satu cara untuk memperkenalkan nilai-nilai luhur bangsa adalah dengan memperkenalkan budaya lokal kepada anak
227
didik kita. Nilai-nilai budaya lokal ini adalah jiwa dari kebudayaan lokal dan menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan di daerahnya. Budaya lokal yang beraneka ragam merupakan warisan budaya yang wajib dilestarikan. Ketika bangsa lain yang hanya mempunyai sedikit warisan budaya lokal berusaha keras untuk melestarikannya demi sebuah identitas, maka sungguh naif jika kita yang memiliki banyak warisan budaya lokal lantas mengabaikan pelestariannya. Dengan kata lain, kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal (Saini, 2005). Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam era otonomi daerah sudah selayaknya dan memang seharusnya budaya lokal diperkenalkan kepada anak-anak kita. Bahkan dalam penyusunan kurikulum di tingkat pendidikan SD dan menengah pun sudah selayaknya mengintegrasikan budaya lokal ke dalam mata pelajaran, terutama mata pelajaran bahasa Inggris yang sudah diterapkan di SD di Kota Denpasar. Hal ini dilakukan untuk memperkecil pengaruh globalisasi yang semakin mengikis budaya bangsa 7.3 Ekologi Bahasa Asing untuk Kebermanfaatan Siswa Pada era globalisasi ini, bahasa Inggris sudah wajib untuk dipelajari. Oleh karena itu, pelajaran bahasa Inggris perlu diberikan kepada anak sejak dini. Peranan bahasa Inggris lebih terasa diperlukan anak-anak di kota, terutama di kota-kota besar. Indonesia memang belum mewajibkan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, tetapi kelihatannya kita sedang menuju ke sana. Jadi,
228
mempersiapkan anak lebih awal akan jauh lebih baik karena anak sudah siap apabila masa itu sudah datang. Selain itu, manfaat yang lain adalah pada saat ini buku dan bacaan yang bagus untuk mereka, banyak berbahasa Inggris. Mereka akan lebih diuntungkan apabila menguasai bahasa Inggris karena akan lebih banyak memperoleh informasi. Data hasil wawancara dengan Ibu Desak Made Astri, Kepala SD 5 Saraswati Denpasar, yakni memberikan tanggapan seperti berikut ini. “Pendapat saya tentang pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar sangat perlu dan penting sekali untuk diajarkan dari kelas satu. Apalagi dalam pengembangan kurikulum muatan lokal, sekolah dapat memberikan pelajaran bahasa Inggris. Kami memberikan pelajaran bahasa Inggris dengan pertimbangan bahasa Inggris sangat membantu siswa dalam IT, terutama dalam pelajaran komputer dan membuka internet. Bahasa Inggris sudah diberikan di sekolah kami jauh sebelum ada kebijakan tentang mulok di SD. Bahasa Inggris sangat perlu untuk diajarkan sejak usia dini tanpa mengesampingkan bahasa ibu dan bahasa Indonesia yang siswa sudah kuasai.” (wawancara 1 Oktober 209). Data di atas menunjukkan bahwa bahasa Inggris sangat bermanfaat bagi siswa pada era globalisasi ini. Ungkapan ini sesuai dengan teori Pengetahuan/Kekuasaan Foucault yang menekankan pada pentingnya kekuasaan dan pengetahuan (cara tertentu penggunaan bahasa) yang saling terjalin antara satu dengan yang lain dalam discourse. Penggunaan ruang sebagai satu fenomena bahasa dalam satu discourse, tidak terlepas dari bentuk-bentuk kekuasaan yang beroperasi di baliknya. Siswa yang mempunyai kemampuan bahasa Inggris yang baik akan lebih mudah dalam mengakses internet. Dalam era Posmodern ini sumber ilmu pengetahuan akan sangat mudah diperoleh dari internet. Oleh karena itu, mempelajari bahasa Inggris sejak SD akan bermanfaat bagi siswa dalam menempuh pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Demikian juga siswa yang
229
mampu berbahasa Inggris dengan aktif akan lebih mudah untuk mendapatkan pekerjaan, di samping mampu bersaing dengan tenaga asing yang dengan bebas masuk ke Indonesia. Menguasai bahasa Inggris dengan baik tidak berarti menghilangkan kemampuan berbicara bahasa ibu, dalam hal ini bahasa Indonesia. Alangkah baiknya apabila kemampuan bahasa Inggrisnya diimbangi dengan kemampuan bahasa Indonesia yang baik pula. Memberikan pelajaran bahasa Inggris kepada siswa SD jangan sampai mengorbankan bahasa ibu untuk menguasai bahasa Inggris. Mereka pada umumnya menguasai bahasa Indonesia terlebih dulu baru belajar bahasa Inggris. Dalam belajar bahasa Inggris, siswa diharapkan tetap mempertahankan kemampuan mereka dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Demikian pula dalam belajar bahasa Inggris, siswa tidak mesti berbahasa Inggris seperti orang Inggris atau Amerika. Ingat bahwa bahasa Inggris pun memiliki beragam dialek. Coba perhatikan percakapan bahasa Inggris orang dari Inggris, Amerika, Skotlandia atau Australia. Mereka memiliki ciri khas sendiri dalam bahasa Inggrisnya. Hal itu tidak menghalangi mereka dalam berkomunikasi dengan penutur bahasa Inggris dari negara lain. Sebagai alat untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan, alangkah indahnya bila seorang anak dapat mengekspresikan pikiran dan perasaannya dalam berbagai bahasa secara baik dan benar, syukur bila juga dapat dilakukan dengan penyesuaian terhadap budaya dari pengguna bahasa asing tersebut. Dalam hal ini apabila sedang berbahasa Indonesia, ungkapkan pikiran dan perasaan
230
dengan cara Indonesia. Begitu juga bila sedang menggunakan bahasa Inggris lakukan dengan cara Inggris. Setiap ada seminar ataupun konferensi berkenaan dengan pengajaran dan pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia, yang menjadi salah satu pertimbangan adalah kesadaran bahwa bahasa, termasuk bahasa Inggris di dalamnya merupakan kebutuhan dasar bagi manusia, baik secara lokal, nasional, maupun global. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia menggunakan bahasa untuk menyatakan isi hati dan akal pikirannya dalam berinteraksi antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa telah mempunyai posisi yang terus bertambah penting sebagai medium antarindividu dan antarbangsa dalam pertukaran budaya serta transaksi pengalaman dan kepentingan bersama. Umat manusia yang datang dari latar belakang budaya dapat berbagi pandangan dan wawasan serta pengalaman hidup melalui penggunaan bahasa. Dalam hal ini, karena bahasa Inggris merupakan lingua franca pada tataran global, maka bahasa Inggris memainkan peran yang cukup menentukan dalam menjembatani pemahaman bersama antarbangsa
dan
sekaligus
dalam
menghidupkan
keseluruhan
interaksi
antarindividu dan antarbangsa itu sendiri. Era globalisasi dan kemajuan dunia dalam berbagai aspek budaya dan teknologi telah mendorong minat yang terus meningkat dalam belajar bahasa, terutama dalam belajar bahasa Inggris. Oleh karena itu, kemahiran yang baik dalam berbahasa Inggris menjadi isu penting. Untuk itu, tampaknya amat signifikan apabila melakukan penelaahan dan pembahasan tentang peranan pengajaran dan pembelajaran bahasa Inggris dalam kehidupan dan pembangunan
231
yang melibatkan kiprah serta interaksi manusia, baik secara individu maupun dalam kelompoknya. Bahasa Inggris eksistensinya sangat penting. Hal ini bisa dirasakan jika terkait dengan keperluan berbagai referensi buku ilmu pengetahuan dan diplomasi internasional. Dalam hal ini mengajarkan bahasa Inggris sebagai bahasa asing pada anak usia dini membutuhkan perhatian yang lebih serius. Proses belajar mengajar akan berhasil apabila ada tenaga pengajar yang mumpuni dan kondisi sekolah yang baik terkait pengajaran bahasa asing. Dalam meningkatkan mutu pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia, telah ada salah satu organisasi profesi yang sudah diakui oleh pemerintah, yaitu TEFLIN yang dirancang menjadi suatu organisasi intelektual yang bermakna dengan memunculkan pertanyaan penting bertalian dengan kualitas pengajaran dan pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia. Oleh karena diyakini bahwa pengkajian dan penelusuran serta pembahasan mendalam tentang hal ini akan dapat memberikan kontribusi yang lebih baik lagi terhadap upaya menyeluruh dalam meningkatkan mutu pendidikan bahasa Inggris khususnya dan terhadap pendidikan secara keseluruhan pada umumnya. Keberadaan bahasa Inggris sebagai bahasa asing (English as a foreign language ( EFL) diakui merupakan alat ampuh untuk memperlengkapi siswa dan mahasiswa dalam mengantisipasi tantangan persaingan global. Dalam hal ini EFL telah mempermudah siswa dan mahasiswa untuk mengakses informasi global karena bahasa Inggris digunakan hampir oleh semua sumber informasi dan teknologi, begitu juga pasar kerja dan berbagai ranah komunikasi global. Akan
232
tetapi, di balik posisi penting bahasa Inggris itu, masih tercecer berbagai isu, baik pada tingkat lokal, nasional maupun global yang memerlukan kajian dan bahasan serius dalam setiap pertemuan, misalnya, seperti konferensi TEFLIN yang secara rutin diselenggarakan di Indonesia yang membahas tentang dampak yang mungkin ditimbulkannya, baik pada ranah kebijakan maupun pada tataran implementasi di ruang kelas. Isu kapan dan bagaimana mengajarkan bahasa Inggris bagi anak-anak Indonesia agar tidak mengganggu proses pembelajaran bahasa ibu atau bahasa Indonesianya sampai pada bentuk belajar-mengajar bilingual seperti yang akan diterapkan pada sekolah yang berlabel rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI). Hal ini memerlukan bahasan para ahli dan praktisi bahasa Inggris agar tujuan akhir dalam meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan dapat tercapai dengan baik. 7.4 Penguatan Kinerja dan Kepercayaan Diri Siswa Dalam hal ini harus diakui bahwa sistem pendidikan yang dibangun sejauh ini belum banyak berperan dalam membantu menyelesaikan persoalan bangsa. Secara umum, lulusan pendidikan menengah masih belum dibekali dengan kemampuan dan keterampilan yang memadai agar dapat masuk pasar kerja, karena kondisinya sudah semakin terintegrasi dengan pasar global sehingga sangat kompetitif. Oleh karena itu, upaya Depdiknas untuk memperkenalkan bahasa Inggris lebih awal, yaitu tentang pengajaran bahasa Inggris di SD adalah suatu kebijakan yang tepat dalam rangka menyiapkan sumber daya yang mampu bersaing di tataran global. Seorang siswi SD 1 Harapan bernama Prima
233
Camaradhiva mendukung pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. Lebih jauh dia mengatakan seperti di bawah ini. “Saya sangat senang bahasa Inggris diberikan mulai dari sekolah dasar. Saya juga ikut les privat di luar pelajaran sekolah untuk memperlancar kemampuan berkomunikasi dengan teman sekelas atupun teman-teman di tempat kursus. Saya sangat kagum dengan orang yang mampu berbicara dengan bahasa Inggris sehingga saya semangat belajar di luar kelas. Jam pelajaran di sekolah tidak cukup untuk mempraktikkan bahasa Inggris karena waktu yang ada tidak untuk bercakap-cakap. Saya mempunyai citacita bekerja di kapal pesiar atau di hotel. Orang bilang bahwa orang yang mampu berbahasa Inggris dengan lancar akan mampu mendapatkan pekerjaan yang bagus dan gaji tinggi. Saya juga belajar bahasa Inggris untuk internet.” (wawancara 15 september 2009). Data wawancara tersebut di atas menunjukkan bahwa bahasa Inggris akan sangat diperlukan dalam era globalisasi atau pasar bebas yang sudah didisepakai oleh banyak negara di kawasan Asia Fasific. Orang yang mampu berbahasa Inggris dengan aktif, baik lisan maupun tulisan akan mempunyai peluang yang lebih dari yang lain. Sesuai dengan teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan Foucault, yang lebih tertarik pada bagaimana bahasa digunakan dan bagaimana penggunaan bahasa diartikulasikan dalam suatu praktik budaya dan praktik sosial. Orang yang menguasai bahasa, khususnya bahasa Inggris akan mampu menguasai ilmu pengetahuan dan orang yang mempunyai ilmu pengetahuan akan mempunyai kekuasaan serta dapat mendominasi pekerjaan. Pembangunan sekolah kejuruan yang sedang digalak sekarang ini oleh pemerintah haruslah diarahkan pada kebutuhan kekinian. Oleh karena dunia saat ini dilanda krisis pangan dan energi. Krisis itu dipandang akan berlangsung lama dan menyerang semua negara, baik kaya maupun miskin. Sebagai negara agraris dengan kekayaan alam yang melimpah,
bangsa ini diharapkan dapat
234
menyejahterakan rakyatnya dan menyumbang untuk kemakmuran masyarakat dunia. Untuk mewujudkan keinginan mulia di depan, Depdiknas harus cerdas dan cermat dalam menentukan pilihan pendidikan keterampilan yang akan ditawarkan. Setiap bidang keahlian yang dipilih haruslah diarahkan dalam rangka menyiapkan individu siswa agar dapat menjawab persoalan kekinian, memahami relevansi dan keterkaitannya dengan bidang lainnya, serta menyiapkan mereka dalam menghadapi arus perubahan yang begitu cepat dalam bidang ekonomi, teknologi, politik, dan sosial budaya. Seluruh program pendidikan kejuruan yang dikembangkan hendaknya didasarkan pada upaya menyiapkan peserta didik agar mampu menjawab kebutuhan kekinian (immediate needs), yakni setelah para siswa tamat sekolah kejuruan apa pun jurusannya harus mempunyai keterampilan berbahasa Inggris yang bagus. Dengan adanya kebijakan pemberian bahasa Inggris lebih awal diharapkan, baik tamatan sekolah kejuruan maupun umum akan mampu bersaing untuk merebutkan peluang kerja yang tersedia pada era globalisasi atau pasar bebas saat ini. Oleh karena kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa Inggris tamatan sekolah menengah kita masih kalah dibandingkan dengan negara tetangga kita seperti Malaysia, singapura dan Filipina, walaupun penguasaan bidang lainnya seperti pengetahuan matematika dan IPA boleh dikatakan masih diperhitungkan dalam ajang Olimpiade yang memang rutin diadakan. Jadi, menguasai bahasa Inggris dengan baik bagi tamatan sekolah umum ataupun kejuruan akan memberikan nilai tambah dan memberikan kepercayaan tersendiri bagi sumber daya manusia dalam persaingan untuk merebut peluang kerja saat ini.
235
Pasar kerja saat ini mengharuskan seseorang memiliki keterampilan dan penguasaan bahasa Inggris yang baik, terutama untuk merebut peluang kerja, khususnya di sektor pariwisata. Jadi, dalam hal menyiapkan sumber daya manusia saat ini, pemerintah melalui kebijakannya harus dapat melihat dan menilai kemampuan daerah, khususnya dalam menyediakan sarana belajar yang memadai, sumber daya kependidikan yang andal, dan prospek penyediaan lapangan pekerjaan baru bagi siswa lulusan sekolah kejuruan. Desain program hendaknya dapat disesuaikan dengan arah dan perkembangan pembangunan wilayah. Perkembangan teknologi yang merambah hampir semua sektor kehidupan akhir-akhir ini semakin memantapkan kedudukan bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa internasional. Kontak antarbangsa yang semakin sering terjadi akibat semakin mudah, murah, dan cepatnya sarana transportasi jelas memerlukan alat komunikasi (bahasa) yang dipahami oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini, bahasa Inggris menduduki tempat teratas karena banyaknya orang asing yang menggunakannya sebagai bahasa antarbangsa. Bahasa Inggris dibutuhkan bukan saja oleh mereka yang harus berhubungan dengan orang asing melainkan juga oleh mereka yang ingin menguasai iptek. Agar tidak ketinggalan zaman (ketinggalan informasi mutakhir), mereka harus rajin mengikuti perkembangan mutakhir di bidang ilmu yang digelutinya melalui artikel atau makalah yang ditulis oleh rekan-rekan seprofesi mereka di berbagai negara. Kendatipun artikel atau makalah itu ada juga yang ditulis dalam bahasa lain, tetapi sebagian besar ditulis dalam bahasa Inggris. Adanya internet telah semakin memudahkan mereka untuk mendapatkan artikel
236
terbaru di bidangnya. Oleh karena itu, kalau kita ingin memanfaatkan berbagai peluang yang terbuka akibat kemajuan teknologi yang telah dan akan terus berlangsung ini, kita perlu menguasai salah satu bahasa internasional itu dan yang paling banyak dipakai di dunia ini adalah bahasa Inggris. Dengan penguasaan bahasa Inggris, kita akan dapat menguasai iptek karena banyaknya karya ilmiah yang ditulis dalam bahasa itu. Dengan keterampilan berbahasa Inggris, kita juga akan mampu memanfaatkan peluang yang terbuka akibat pasar bebas untuk bekerja di luar negeri. 7.5 Temuan Penelitian Penelitian ini menemukan beberapa hal yang berkaitan dengan pengajaran bahasa Inggris di SD Kota Denpasar, yakni sebagai berikut. Pertama, Dinas Pendidikan tingkat provinsi ataupun kabupaten belum membuat surat keputusan yang memberikan petunjuk yang jelas tentang kebijakan yang dilaksanakan berkenaan dengan pemberian bahasa Inggris di SD. Rupanya Pemerintah Provinsi Bali hanya meneruskan kebijakan dari pusat. Akibatnya, pelaksanaan di lapangan sangat bervariasi. Sebagian sekolah, baik negeri maupun swasta memberikan pelajaran sesuai dengan ketentuan dari pusat, yaitu dimulai dari kelas empat sampai kelas enam, di samping banyak pula yang memberikan pelajaran bahasa Inggris mulai kelas satu. Sekolah yang memberikan pelajaran bahasa Inggris dari kelas satu ini adalah pada umumnya adalah atas inisiatif sekolah bekerja sama dengan komite sekolah. Akibat dari ketidakjelasan ini banyak pelanggaran dalam pelaksanaannya. Sekolah yang memberikan pelajaran bahasa Inggris dari kelas empat sudah tentu
237
memiliki kurikulum dan silabus dari Kementrian Pendidikan Nasional, tetapi yang memberikan dari kelas satu tidak ada kurikulumnya. Oleh karena tidak ada pedoman yang jelas, maka pelaksanannya tidak seragam dan sangat bervariasi. Dalam hal ini sekolah yang mempunyai finansial yang kuat sudah tentu mampu memberikan pelajaran bahasa yang bagus. Akan tetapi, sekolah yang masih paspasan hasil pembelajaran bahasa Inggrisnya kurang bagus sehingga dikhawatirkan anak akan membenci bahasa tersebut. Hal ini mengakibatkan mereka kesulitan mengikuti pelajaran bahasa Inggris pada jenjang yang lebih tinggi. Kedua, ternyata pemberian bahasa Inggris di sekolah dasar kurang dipertimbangkan dengan matang. Dalam hal ini tidak tersedianya guru bahasa Inggris yang khusus dipersiapkan untuk mengajarkan bahasa Inggris bagi pembelajar pemula. Guru yang ada saat ini masih banyak yang belum mempunyai latar belakang S1 bahasa Inggris tamatan LPTK. Dalam hal ini kalaupun ada, mereka tidak dirancang untuk menjadi guru bahasa Inggris bagi pembelajar muda atau siswa SD. Sampai saat ini, pemerintah kota tidak bisa atau belum memberikan bantuan guru bahasa Inggris yang berstatus PNS, baik untuk sekolah negeri
maupun
swasta.
Disdikpora
kota
tidak
memantau
pelaksanaan
pembelajaran bahasa Inggris ini sampai tingkat satuan pendidikan SD. Pelatihan guru tidak dilaksanakan secara terjadwal, di samping sekolah berjalan sendiri dalam pelaksanaan BPM. Kebijakan pemerintah kota tersebut belum bersipat operasional sehingga pelaksanaannya tidak efektif dan efisien. Ketiga, pemerintah kota belum maksimal dalam memberikan bantuan yang ada kaitannya dengan pembelajaran bahasa Inggris, seperti: laboratorium bahasa,
238
alat peraga (visual aids), dan pengadaan guru bahasa Inggris (PNS). Mereka mengatakan pelajaran bahasa Inggris akan mudah dan menarik apabila disampaikan oleh guru dalam bentuk gambar, film dan lewat alat peraga serta permainan. Pemerintah kota kurang atau tidak mengawal kebijakan pembelajaran bahasa Inggris sampai pada pelaksanaan di lapangan. Sepertinya kebijakan tersebut dilepas begitu saja tanpa ada pemantauan dalam implementasinya di satuan pendidikan SD. Akibatnya, hasil pembelajaran bahasa Inggris antara satu sekolah dengan sekolah lainnya sangat beragam. Keempat, Disdikpora kota tidak memantau dan memberikan bimbingan teknis terkait dengan implementasi kebijakan pembelajaran bahasa Inggris di SD. Oleh karena di lapangan menunjukkan bahwa ada ketidakseragaman dalam memulai pembelajaran bahasa Inggris. Dalam hal ini ada sekolah yang memberikan pembelajaran bahasa Inggris sejak kelas satu, di samping ada pula yang memberikan sejak kelas empat. Kurikulum yang ada adalah kurikulum untuk kelas empat sampai kelas enam sedangkan kurikulum bahasa Inggris untuk kelas satu sampai kelas tiga belum ada. Kurikulum untuk kelas satu sampai kelas tiga ini diserahkan kepada masing-masing sekolah atau dibuat oleh perkumpulan guru bahasa Inggris di tingkat kecamatan. Hal ini mengakibatkan hasil pembelajaran sangat bervariasi antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Kelima, kebijakan pembelajaran bahasa Inggris yang diterapkan belum didasarkan pada analisis yang cermat dan hanya meneruskan kebijakan dari atas yang menyebabkan pelaksanaannya tidak optimal. Di samping itu Disdikpora kota tidak menetapkan metode tertentu untuk diterapkan pada pembelajar pemula.
239
Umumnya mereka memilih metode yang dianggap bisa mengantarkan materi pelajaran dan dapat dipahami oleh siswa. Mereka menyebutkan metode guru, metode campuran, atau metode gado-gado. Hal ini merupakan konsekuensi dari tidak adanya dasar kebijakan/ landasan hukum yang digunakan. Mereka sangat berharap ada metode tertentu yang direkomendasikan oleh Disdikpora kota yang disepakati oleh para guru pengajar bahasa Inggris. Di samping itu, mereka sangat mengharapkan adanya forum guru bahasa Inggris di tingkat kota ataupun kecamatan sehingga dapat mencarikan solusi terhadap kendala yang dihadapi dalam memberikan pelajaran bahasa Inggris. Keenam, beberapa guru bahasa Inggris tidak bergelar S1, mereka masih sedang berkuliah ataupun tamatan D2. Mereka yang bergelar S1 tidak seluruhnya tamatan FKIP/IKIP sehingga belum menguasai pedagogik dalam pengelolaan kelas. Selain itu Disdikpora kota belum maksimal dalam memberikan penataran atau lokakarya dalam meningkatkan kemampuan guru bahasa Inggris untuk pembelajar pemula. Kalaupun ada, hal itu adalah atas inisiatif para guru bahasa Inggris yang dilaksanakan pada tingkat kecamatan, bukan dari Disdikpora pemerintah kota. Jadi, mereka sangat mengharapkan adanya lokakarya atau penataran yang ada kaitannya dengan pengajaran bahasa Inggris yang dikoordinasikan oleh Diknas kota. Para guru mengharapkan supaya ada LPTK yang khusus mencetak guru bahasa Inggris untuk pembelajar muda (english for young learners). Mereka menganggap bahasa Inggris harus diajarkan dengan baik dari awal sehingga siswa mempunyai minat belajar bahasa Inggris pada
240
tingkat/jenjang sekolah yang lebih tinggi. Oleh karena apabila pendidikan awal tidak bagus, mereka tidak akan tertarik untuk belajar bahasa Inggris. 7.6 Refleksi Sebagai pengajar dan sekaligus pemerhati pengajaran bahasa khususnya bahasa Inggris, sudah sepantasnyalah penulis harus berbangga dan salut atas perhatian pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan yang telah mulai mengajarkan bahasa Inggris sejak dini. Keputusan mengajarkan bahasa Inggris sejak dini bisa menjadi suatu keputusan yang tepat atau bisa menjadi kurang tepat untuk beberapa konteks tertentu, seperti faktor kesiapan sekolah, lingkungan dan sumber daya pendukung lainnya. Dalam hal ini perhatian penulis tertuju pada pelaksanaan kebijakan pengajaran bahasa Inggris di SD. Setiap orangtua pasti bangga jika memiliki anak yang pandai. Sebaliknya sekolah akan bangga ketika bisa membekali siswanya dengan kemampuan yang maksimal, salah satunya adalah penguasaan bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris. Bahasa Inggris telah menjadi primadona, bahkan unggulan pada beberapa sekolah. Dalam al ini hendaknya sekolah tidak hanya menjadi robot pelaksana, tetapi ikut berperan aktif agar program ini bisa berjalan dengan baik. Dari segi kebijakan, khususnya dalam hal pengajaran bahasa Inggris, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan kontekstual karena dalam proses pengajaran suatu bahasa asing yang terjadi bukanlah semata-mata pembelajaran bahasa, tetapi pada saat yang sama juga terjadi pembelajaran dan transfer nilainilai budaya, prinsip hidup, dan pola pikir. Proses pendidikan dan peningkatan kualifikasi guru bahasa Inggris, buku, dan metodologi pengajaran perlu mendapat
241
muatan-muatan lokal, di samping pengenalan nilai-nilai global/universal. Sikap proporsional tentunya diperlukan dalam hal ini agar proses pengajaran bahasa Inggris mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap terbentuknya perubahan sikap mental yang mendorong orang untuk mengkreasi, menginovasi, dan mengadaptasi kemajuan. Sudah hampir satu dasawarsa memasuki abad ke-21, tetapi bangsa Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan untuk menyusun dan merumuskan konsep kebijakan dan strategi yang solid dalam upaya mencerdaskan dan menyejahterakan warganya. Masih buruknya mutu pendidikan pada hampir semua jenis dan jenjang pendidikan semakin menegaskan sinyalemen di depan. Semakin meningkatnya angka pengangguran anak-anak usia produktif yang diakibatkan rendahnya kemampuan dasar, keterampilan, dan keahlian menjadi cermin nyata bahwa bangsa ini masih menghadapi persoalan besar dalam bidang pendidikan. Dalam hal ini harus diakui bahwa sistem pendidikan yang dibangun sejauh ini belum banyak berperan dalam membantu menyelesaikan persoalan bangsa. Secara umum, lulusan pendidikan menengah masih belum dibekali dengan kemampuan dan keterampilan yang memadai agar dapat masuk pasar kerja, yang kondisinya sudah semakin terintegrasi dengan pasar global sehingga sangat kompetitif. Oleh karena itu, upaya Depdiknas untuk kembali menggalakkan program pendidikan linking school and work melalui konsolidasi, intensifikasi, diversifikasi, dan ekspansi program pendidikan keterampilan (vocational skills) pada jenjang pendidikan menengah (SMK) patut untuk diapresiasi dan didukung.
242
Namun, dukungan yang diberikan harus dalam semangat untuk menumbuhkan kemandirian, tanggung jawab, kejujuran, dan memperkuat kemampuan dasar serta keterampilan teknis pada siswa sehingga mereka mampu menjawab tuntutan dunia kerja modern. Dalam hal ini yang tidak kalah pentingnya adalah tamatan siswa sekolah kejuruan tersebut setidaknya mempunyai kemampuan berbahasa Inggris yang baik agar dapat merebut peluang kerja yang menuntut kemampuan seseorang supaya mampu berbahasa Inggris dengan baik. Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) merupakan model kurikulum yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai penyempurnaan kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Kurikulum ini lahir sejalan dengan tuntutan perkembangan yang menghendaki desentralisasi, otonomi, fleksibilitas, dan keluwesan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pengalaman selama ini dengan sistem pendidikan yang sentralistik telah menimbulkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pusat sehingga kemandirian dan kreativitas sekolah tidak tumbuh. Di samping itu, pendidikan pun cenderung menjauhkan siswa-siswi dari lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan baru berupa desentralisasi yang ditandai dengan pemberian kewenangan kepada sekolah untuk mengelola sekolahnya. Desentralisasi pendidikan bertujuan meningkatkan mutu layanan dan kinerja pendidikan, baik pemerataan, kualitas, relevansi, maupun efisiensi pendidikan. Selain itu, desentralisai juga dimaksudkan untuk mengurangi beban pemerintah pusat yang berlebihan; mengurangi kemacetan-kemacetan jalurjalur komunikasi; meningkatkan kemandirian, demokrasi, daya tanggap,
243
akuntabilitas, kreativitas, inovasi, dan prakarsa; di samping meningkatkan pemberdayaan dalam pengelolaan dan kepemimpinan pendidikan. Potensi pengajaran bahasa Inggris di SD untuk menunjang kesuksesan siswa dalam mempelajari bahasa internasional ini di sekolah lanjutan sangatlah besar. Semakin dini peserta didik mempelajari bahasa Inggris diharapkan semakin mudah mereka menguasainya pada masa yang akan datang. Dalam hal ini guru merupakan pelaksana yang harus mampu menerjemahkan komponen kurikulum, yaitu tujuan, metodologi, materi, dan evaluasi yang menjadi kegiatan praktis di kelas bahasa Inggris. Oleh karena itu, guru SD yang mengajarkan bahasa Inggris atau guru bahasa Inggris yang mengajar di SD harus memiliki kemampuan dan keterampilan berbahasa Inggris yang mumpuni dan menguasai teknik-teknik mengajar bahasa Inggris yang sesuai untuk anak-anak. Hal ini sangat ditekankan oleh Fillmore (2000.34) karena dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa anakanak yang berhasil dalam pemerolehan bahasa Inggris adalah mereka yang sering berinteraksi dengan orang-orang yang menguasai bahasa Inggris dengan baik. Dengan kata lain, guru harus menguasai bahasa Inggris dan pembelajarannya agar dapat mengevaluasi ketepatan berbagai metode, materi, dan pendekatan sehingga dapat membantu siswanya supaya berhasil. Satu hal yang perlu segera ditangani adalah membantu guru dalam meningkatkan kemampuan dan keterampilan berbahasa Inggris dan metodologi pengajaran untuk anak usia muda (6–12 tahun). Dengan adanya
program
pengajaran bahasa Inggris untuk anak, tidak hanya SD, bahkan TK dan play group pun belajar bahasa Inggris sehingga ada permintaan yang banyak untuk
244
guru bahasa Inggris. Dengan demikian, pelatihan guru EYL perlu direncanakan dengan baik. Selain kaitan ini, sebenarnya Wallace (1995) menawarkan tiga bentuk pelatihan guru yang cukup banyak dikenal orang, yaitu (1) pelatihan oleh ahli dan guru dalam melihat, menirukan teknik-teknik yang didemonstrasikan dengan mengikuti petunjuk pelatih; (2) model ilmu terapan, dalam hal ini peserta pelatihan menerima ilmu/teori dan diterapkan, kemudian diperbaiki secara periodik berdasarkan temuan-temuan pengetahuan yang ada; (3) model refleksi, peserta pelatihan telah terbiasa dengan konsep, istilah, temuan riset, teori, dan keterampilan yang banyak dikenal. Seorang guru bahasa Inggris untuk anak-anak seharusnya dapat berbahasa Inggris dengan baik, dapat mengelola kegiatan individual, baik secara berpasangan maupun berkelompok. Selanjutnya, setelah kegiatan dipraktikkan, maka dapat dilakukan refleksi untuk melihat apakah yang telah dilakukan dapat berjalan dengan baik atau ternyata tidak seperti yang diharapkan. Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut di atas, penulis mencoba memberikan beberapa pandangan atau alternatif yang dapat dipergunakan sebagai solusi terbaik, yakni sebagai berikut (1) Guru bahasa Inggris harus mempunyai “modal dasar” penguasaan bahasa Inggris (2) Modal dasar tersebut dapat diperoleh melalui pendidikan formal dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi ataupun nonformal, seperti: kursus, penataran, atau seminar. Seirama dengan laju pembangunan, usaha belajar mengajar bahasa asing memperoleh arti yang semakin penting. Oleh karena bahasa asing cenderung menjadi motor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tantangan itu
245
patut dijawab oleh para pengajar bahasa asing dengan memperbaharui dan memperluas wawasan di bidang didaktik dan metodik. Agar masalah yang selama ini terjadi di kalangan para pelajar, yakni anggapan bahwa bahasa asing hanya sebagai beban dan pelajaran yang ditakuti dan membosankan, dapat diatasi. Masalah yang juga sering menghantui para pembelajar bahasa asing adalah rasa takut untuk membuat kesalahan, sehingga menimbulkan rasa takut untuk berbicara dan mengemukakan pendapatnya dalam bahasa asing yang mereka pelajari. Untuk itu diperlukan metode yang dapat mengantisipasi masalah-masalah tersebut. Guru merupakan faktor yang
sangat menentukan keberhasilan siswa.
Guru yang baik dapat memakai buku ataupun metode apa saja dengan baik. Akan tetapi, guru yang baik memang tidak mudah dicari karena bakat guru tidak terdapat pada setiap guru. Memang ada beberapa persyaratan bagi seorang guru, antara lain ia harus menguasai bahasa yang diajarkannya dalam keempat keterampilan yang mendekati penutur
asli. Di samping itu, ia juga harus
mengetahui teori tentang pengajaran bahasa, psikologi belajar, dan latar belakang kebudayaan bahasa yang diajarkannya. Sebagai guru bahasa atau calon guru bahasa perlu mengetahui berbagai macam metode pengajaran bahasa, terutama suatu metode yang sekarang ini sedang didengung-dengungkan dalam pengajaran bahasa di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia. Pengetahuan tentang metode mengajar setidaktidaknya akan membantu seorang guru dalam menyampaikan materi pengajaran kepada anak didiknya. Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari guru bahasa
246
Inggris dan informasi dari kepala sekolah bahwa pemilihan metode pengajaran sangat menentukan keberhasilan dalam proses belajar mengajar. Istilah metode dalam pengajaran bahasa berarti perencanaan secara menyeluruh menyajikan materi pelajaran dengan teratur. Dalam hal ini tidak ada satu bagian pun dari perencanaan pengajaran itu bersifat kontradiktif. Selanjutnya, metode bersifat prosedural, dalam arti penerapan suatu metode mesti dikerjakan melalui langkahlangkah yang teratur dan bertahap, yakni dari penyusunan perencanaan pengajaran, penyajian pelajaran, proses belajar mengajar, dan penilaian hasil belajar. Sehubungan dengan hal ini, Mackey ( 1965) mengemukakan lima belas macam metode pengajaran bahasa, yaitu (1) direct method, (2) eclectic method, (3) natural method, (4) unit method, (5) pyschological method, (6) language control method, (7) phonetic method, (8) mimicry –memorization method, (9) reading method, (10) practice-theory method, (11) grammar method, (12) cognitive method, (13) translation method, (14) dual- language method, dan (15) grammar-translation method.
Sebagian dari metode-metode tersebut telah
dikenal guru bahasa. Namun, mungkin ada beberapa metode yang belum dikenal karena metode tersebut memang tidak begitu populer. Berbeda dengan Mackey, Richard dan Rodger (1986) mengemukakan delapan macam metode pengajaran bahasa, yaitu (1) the oral approach and situational language teaching, (2) the audiolingual method, (3) communicative language teaching, (4) total physical response, ( 5) silent way, (6) community language learning, (7) the natural approach, dan (8) suggestopedia. Kedelapan
247
metode tersebut adalah metode-metode pengajaran bahasa yang dapat dikatakan sebagai hasil perkembangan mutakhir dalam pengajaran bahasa. Beberapa di antaranya sekarang ini merupakan metode yang bayak dipakai dalam pengajaran bahasa, misalnya, natural approach dan communicative language teaching. Dari sekian metode yang muncul dapat dikatakan bahwa metode pengajaran bahasa bergerak seperti mode pakaian yang diciptakan, yakni dipakai dan diganti. Dulu orang pernah mengagumi grammar translation method, direct method, reading method, audio-lingual approach, natural method, dan sekarang yang
sedang
didengung-dengungkan
adalah
communicative
approach
(Finocchiaro, 1973). Pembelajaran bahasa asing dengan menggunakan pendekatan komunikatif dapat memotivasi pembelajar bahasa asing apabila langkah-langkah yang ditempuh dapat dijadikan wadah bagi para pembelajar untuk mempraktikkan bahasa yang dipelajari. Misalnya, pembelajar berdialog/berinteraksi dalam kelompok-kelompok kecil dengan memanfaatkan materi yang tersedia, baik dalam buku teks maupun dari sumber yang lain. Dalam hal ini untuk mencapai tujuan pembelajaran bahasa asing yang komunikatif, perlu adanya perubahan didaktik metodik yang mengarah pada interaksi sosial serta mengajak pembelajar untuk terlibat dalam proses belajar-mengajar. Proses belajar mengajar seperti di atas lebih mengarah pada CBSA (cara belajar siswa aktif). Dalam kaitan ini T. Raka Joni (1984 : 17) mengemukakan bahwa proses belajar-mengajar yang mengarah pada CBSA memiliki indikator sebagai berikut. (1) Sejauh mana siswa berani memprakarsai untuk mengambil
248
inisiatif tanpa secara eksplisit diminta oleh guru, misalnya dalam menentukan langkah langkah belajar, mencari sumber bacaan dan lain-lain. (2) Sejauh mana siswa melibatkan diri secara mental dalam kegiatan belajar yang sedang berlangsung. (3) Sejauh mana guru dapat mengubah kedudukannya dari seorang yang memimpin dan mengatur segalanya menjadi seorang pendamping (fasilitator) yang siap membantu siswa apabila dibutuhkan. (4) Sejauh mana siswa dapat belajar langsung lewat pengalamannya dalam proses belajar-mengajar. (5) sejauhmana bentuk dan alat kegiatan belajar mngajar bervariasi. (6) Sejauh mana tingkat kualias interaksi antara siswa, baik intelektual maupun emosional. Keenam indikator di atas dapat dijadikan sebagai acuan untuk menciptakan interaksi sosial dalam pembelajaran bahasa asing sehingga tercipta proses belajar-mengajar yang efektif dan efisien sesuai dengan harapan pengajar dan pembelajar. Pada masa lalu guru identik dengan orang yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur sumber ilmu, sumber informasi, dan sumber-sumber lainnya. Kalau kita mengingat masa lampau ketika duduk di bangku sekolah, maka yang sering terjadi pada saat guru mengajar adalah guru berdiri di depan kelas, guru bertanya, guru memberikan pekerjaan rumah, guru menerangkan, guru mengoreksi, menyalahkan, dan sesekali memuji. Semua hal yang dilakukan tersebut menyebabkan siswa kurang mendapat kesempatan untuk aktif, bahkan sebaliknya siswa hanya menirukan, kurang diajak berbicara, lebih banyak diminta diam, di samping siswa menjadi kehilangan motivasi belajarnya, karena lebih didorong untuk menutup diri. Dengan kata lain guru selalu menjadi titik pusat seperti pemeran utama dalam panggung sandiwara. Hal ini mungkin dapat disebut
249
CBGA (cara belajar guru aktif) karena tidak adanya interaksi siswa-guru, siswa dengan siswa, tetapi lebih banyak terjadi aksi guru. Sistem pengajaran yang demikian dapat menciptakan suasana proses belajar-mengajar yang otoriter dan membosankan. Metode komunikatif (comunicative language teaching) menjadi semakin penting di bidang didaktik pengajaran bahasa asing. Akibat dari pembaharuan tersebut, metode pengajaran otoriter semakin dijauhi. Sebagai gantinya berkembang metode pengajaran dan latihan yang bersifat sosial interaktif serta mengajak siswa untuk aktif dalam proses belajar mengajar. Sejak tahun 80-an pengajaran bahasa asing yang mengutamakan interaksi semakin mendapat perhatian. Dalam hal ini yang dimaksud dengan interaktif menurut Ekadewi (1993:23) adalah semua kegiatan belajar mengajar yang mengarah kepada interaksi antar siswa, termasuk interaksi siswa-guru, yakni mengarah pada komunikasi yang sesuai dengan minat dan keperluan siswa, yang mengarahkan siswa untuk mandiri berperan aktif dan bertanggung jawab atas segala pendapat dan tindakannya, dan yang mengajak siswa untuk bekerja sama dalam kerja kelompok karena mementingkan interaksi antar anggota kelompoknya. Adapun bentuk dan jenis kegiatan interaksi sosial adalah seperti: berdialog, bermain peran, bermain lakon-lakon pendek yang lucu, berdiskusi, berdebat, melakukan percakapan melalui telepon, melakukan percakapan langsung/bertatap muka, seolah-olah berwawancara di radio dan televisi, dan lainlain. Dengan menggunakan bentuk dan jenis kegiatan yang mengarah pada interaksi sosial seperti di atas, pembelajar bahasa asing akan belajar dengan
250
perasaan senang dan gembira, sehingga rasa takut dan bosan yang selama ini dirasakan para pembelajar bahasa asing akan hilang dengan sendirinya. Dalam hal ini, sebaiknya guru berperan sebagai sutradara dan penulis skenario, dalam arti guru merencanakan adegan-adegan dan menentukan urutannya, sementara para siswa bertindak sebagai pemerannya sehingga pembelajar lebih banyak beraktivitas dan berinteraksi antarmereka. Kegiatan interaksi sosial dalam pembelajaran bahasa asing itu dapat dijalankan secara efektif. Hal ini sangat ditentukan oleh guru sebagai motivator dan fasilitatornya. Untuk itu, guru harus untuk memahami arti fungsional dan sosial bahasa yang diajarkannya sehingga siswa tidak lagi diajarkan untuk mereproduksi atau memproduksi pola kalimat-pola kalimat yang kaku , dalam arti tidak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya serta tidak mudah ditransfer dalam situasi yang nyata. Pengajar hendaknya dapat menciptakan iklim pengajaran bahasa dalam bentuk interaksi yang komunikatif dalam kelas dengan membawa materi yang bisa membawa aspek-aspek dari luar ke dalam kelas. Selain itu, perlu diingat bahwa kelas tempat pengajaran bahasa itu disajikan, sudah merupakan kontek sosial (the classroom as a social context) yang harus dimanfaatkan dalam proses interaksi belajar mengajar bahasa asing tersebut. Misalnya, bahasa asing tersebut digunakan untuk memberi salam kepada siswa atau dalam menyampaikan instruksi-instruksi ataupun mengajukan pertanyaanpertanyaan atau menjawaab pertanyaan. Pola kalimat yang digunakan tidak perlu terlalu kompleks, tetapi hendaknya mampu menyampaikan makna pesan yang terkandung di dalamnya (Metty, 1990:18). Oleh karena dengan menciptakan
251
suasana hubungan interaksi sosial di dalam kelas sudah mencerminkan sikap guru sebagai fasilitator dalam proses belajar-mengajar dan semakin jauh dari sikap guru yang mengarah pada tindakan otoriter. Dengan demikian, perasaan takut dan malu untuk mengutarakan pendapat dan pertanyaan dengan menggunakan bahasa asing yang diajarkan secara spontanitas akan hilang dan mereka seolah-olah terlibat langsung kapan dan di mana bahasa asing itu digunakan. Pergantian fase perlu sekali dilakukan mengingat pada umumnya kemampuan manusia untuk berkonsentrasi penuh atas suatu fenomena hanyalah kurang lebih dua puluh menit. Dalam hal ini tentunya tidak mudah untuk mengalihkan kebiasaan mengajar yang berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa. Metode ini menuntut beberapa hal dari siswa, misalnya spontanitas, aktivitas, keberanian menanggung risiko, serta tanggung jawab. Meskipun begitu hendaknya para pengajar tidak berputus asa. Pengajar harus sabar dalam mencoba membiasakan pembelajar berperan aktif pada proses belajar-mengajar. Selain itu para pembelajar perlu diajak untuk menemukan sendiri jawaban/keterangan yang mereka butuhkan. Hal ini akan menimbulkan kebanggaan tersendiri sehingga mereka semakin termotivasi. Di samping itu dalam kerja kelompok siswa mempunyai lebih banyak kesempatan berbicara dan lebih berani mengungkapkan diri sehingga siswa pemalu terbawa juga untuk aktif. Fase-fase tersebut di atas dilakukan agar para pembelajar bahasa asing tidak bosan dan tidak jenuh, di samping diharapkan dapat memberikan penyegaran kembali kepada pembelajar yang pada umumnya semakin lama menerima materi pelajaran semakin menurun konsentrasinya.
252
Guru hanya menerangkan hal-hal yang penting untuk diterangkan. Biasanya pembelajar akan berbicara atau belajar untuk berbicara kalau pengajar sedang tidak berbicara. Jadi guru perlu berusaha menahan diri, menerangkan seperlunya saja dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih banyak berperan aktif. Hanya hal-hal yang mutlak perlu yang harus diterangkan. Soal yang tersusun baik dan jelas tujuannya akan mudah dipahami. Dalam hal ini apabila siswa bertanya dan meminta penjelasan atas soal tersebut, barulah guru menerangkannya. Memberi waktu kepada pembelajar untuk berpikir akan dapat lebih berarti daripada aktivitas bicara tanpa henti. Oleh karena di sini pun terdapat aktivitas, yakni di kepala para pembelajar. Pelajaran bisa efektif jika para siswa tidak pasif dan sekadar belajar menghafal, tetapi aktif dan kreatif dalam mencerna materi pelajaran yang disajikan, di samping mampu mengalihkannya ke dalam konteks sosial yang lain. Dalam hal ini hendaknya guru tidak selalu berharap keadaan pembelajar selalu/langsung siap dengan jawaban. Apabila soal-soal yang diajukan cukup jelas dan sesuai dengan tingkat kemampuan pembelajar, pastilah pengajar akan mendapatkan jawaban walaupun terkadang agak lama. Oleh karena itu, perlu ditunggu sebentar, tidak langsung dialihkan kepada pembelajar yang lain, jika ada pembelajar yang tidak lancar menjawab. Kebebasan berpikir mereka perlu dikembangkan untuk menemukan jawabannya. Apabila terjadi kesalahan di antara jawaban mereka perlu didiskusikan di dalam kelas sehingga mereka dapat mengoreksi kesalahannya sendiri, kemudian menemukan jawabannya. Tindakan tersebut dimaksudkan agar guru tidak terkesan memonopoli adegan-adegan di
253
dalam kelas sehingga seorang siswa akan merasa bangga jika mampu menemukan jawaban sendiri. Menemukan jawaban sendiri akan lebih mudah diingat daripada hasil di drill oleh orang lain. Dalam kaitan ini Menolerir kesalahan bukan berarti pengajar mendiamkan saja kesalahan yang dibuat oleh pembelajar, melainkan membicarakan dan mengoreksinya sesuai dengan tujuan latihan. Koreksi kesalahan hendaknya sesuai dengan tujuan latihan terkait. Sehubungan dengan hal ini Ekadewi (1993:24) misalnya menyatakan bahwa pada saat siswa memberikan jawaban dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang saling terkait, sebaiknya guru tidak memotong untuk mengoreksi. Oleh karena hal ini akan mengacaukan konsentrasi siswa terhadap apa yang akan disampaikannya, dalam hal ini sebaiknya kesalahan tidak dikomentari. Kesalahan adalah normal, tidak seorang pun berniat untuk membuatnya. Oleh karena jawaban walaupun salah merupakan hasil suatu usaha. Di samping itu, kesalahan juga mempunyai arti diagnosis bagi guru karena dengan menganalisis suatu kesalahan guru dapat menemukan letak kelemahan dalam penguasaan materi. Pujian, bantuan, dan penghargaan atas usaha siswa biasanya mempertebal rasa percaya diri siswa, di samping meningkatkan saling percaya antara siswa dan guru. Sebaliknya, kritik dari pihak guru yang berlebihan kadangkadang lebih memungkinkan untuk mendatangkan rasa khawatir dan takut untuk membuat kesalahan ketika pembelajar akan mengemukakan pendapatnya sehingga kreativitas mereka terganggu. Sebaiknya kritik semacam ini dihindari oleh para pengajar. Apabila pada diri pembelajar terdapat rasa khawatir dan takut salah untuk mengemukakan pendapatnya, hal ini dapat mengganggu konsenterasi
254
dan kreativitasnya. Dengan demikian, proses interaksi sosial di dalam kelas akan terganggu sehingga harapan untuk berinteraksi dengan bahasa yang diajarkan sulit tercapai. Pengajar dan pembelajar sebaiknya berusaha menggunakan bahasa asing yang dipelajari. Penggunaan bahasa asing yang diajarkan bertujuan agar siswa dapat merasakan bahwa keterbatasan kosa kata bukanlah hambatan utnuk bekomunikasi. Di samping itu, agar siswa berlatih untuk berpikir dan berbicara dengan bahasa yang mereka pelajari. Oleh karena hal ini akan mempersiapkan mereka untuk dapat bereaksi secara wajar dalam situasi komunikasi yang riil. Sehubungan dengan hal ini Littlewood (1983:17) menyatakan seperti berikut. “The Learners ultimate objective is to take part in communication with another. Their motivation to learn is more likely to be sustained if they can see how their classroom learning is reated to his objective and helps to achieve it with increasing sucsess”. Tuturan di atas menunjukkan bahwa motivasi belajar seseorang akan dapat dikembangkan dan dipertahankan apabila pengajaran dalam kelas itu benar-benar memenuhi kebutuhan mereka, yakni kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang dipelajari. Dengan demikian, mereka akan merasa bangga karena dapat berinteraksi dengan bahasa yang dipelajari sehingga dorongan untuk belajar bahasa asing akan semakin meningkat. Motivasi adalah salah satu faktor penunjang dalam belajar. Motivasi bahkan merupakan penentu untuk mencapai keberhasilan belajar. Oleh karena itu, siswa perlu dimotivasi, baik terhadap mata pelajaran maupun terhadap materinya. Dalam kaitan ini J.S. Bruner, seorang ahli psikologi pendidikan dan ahli psikologi belajar, mengemukakan bahwa motivasi merupakan salah satu dari empat tema
255
pendidikan, di samping stuktur pengetahuan kesiapan dan nilai intuisi dalam proses pendidikan. Selanjutnya, menurut Bruner (dalam RW Dahar, 1988:119)”, pengalaman-pengalaman
pendidikan
yang
merangsang
motivasi
adalah
pengalaman-pengalaman tempat para siswa berpartisipasi secara aktif dalam menghadapi alamnya. Dalam hal ini timbulnya kebutuhan menyebabkan timbulnya keinginan pada seseorang untuk memenuhinya atau merealisasikannya dalam berbagai bentuk kegiatan. Motivasi merupakan bentuk-bentuk yang ada dalam otak manusia yang berfungsi sebagai alat pendorong untuk melakukan sesuatu guna memenuhi kebutuhannya. Sehubungan dengan hal ini, seorang guru yang baik akan berusaha mengidentifikasi kebutuhan siswanya sebagai titik tolak dalam menciptakan proses belajar-mengajar yang dapat menimbulkan bahkan memperkuat motivasi belajar siswanya. Oleh karena motivasi pada hakikatnya sebagai modal dasar dalam mencapai keberhasilan belajar. Fungsi pengajaran itu hendaknya ditunjukkan dengan jelas oleh guru sehingga para siswa sungguhsungguh menyadari pentingnya atau makna dari sesuatu yang dipelajarinya. Apabila pembelajar mengetahui pentingnya menguasai materi pelajaran bahasa asing yang dipelajari, maka mereka akan berusaha untuk mencapai apa yang diinginkan. Guru sebaiknya tidak meremehkan pengetahuan umum dan pengetahuan yang sudah dikuasi siswa sebelumnya. Seorang siswa akan senang untuk aktif berbicara jika ia merasa dapat menceritakan hal-hal yang sudah diketahuinya dalam percakapan di dalam kelas sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki. Bahkan pada situasi interaksi yang tidak terlalu formal terkadang seorang siswa
256
lebih banyak aktif sehingga terjadilah komunikasi dalam arti yang sebenarnya antara siswa dengan siswa atau juga antara siswa dengan guru. Namun, untuk memulai tema baru, guru seharusnya sudah mengetahui sampai sejauh mana siswa mempunyai pengetahuan di bidang itu. Pengetahuan awal siswa diakomodasikan dan diaktifkan kembali, karena akan sia-sia usaha guru menerangkan tema baru jika siswa tidak mempunyai pengetahuan dasar untuk menguasainya. Sebaliknya, siswa akan cepat merasa bosan jika tidak mendapat tambahan pengetahuan. Kemampuan dasar untuk menguasai materi yang akan diajarkan sangat penting diketahui oleh para pengajar agar para pembelajar dengan mudah menerima materi yang akan disajikan. Apabila pembelajar belum memiliki pengetahuan dasar tentang materi yang akan diajarkan, maka sebaiknya para pengajar memberikan pemanasan materi yang lalu atau materi dasar yang dapat menunjang materi yang akan diterangkan. Dengan demikian, pembelajar akan lebih mudah memahami materi yang akan disajikan. Tujuan pembahasan suatu materi perlu diketahui oleh siswa. Untuk meningkatkan semangat belajar ada baiknya jika siswa mengetahui arti dan tujuan pembahasan suatu materi. Jika siswa mengetahui perlunya materi tersebut, tentunya rasa ingin tahu akan lebih besar. Karena adanya rasa ingin tahu itulah menyebabkan timbulnya daya tarik yang kuat. Dalam hal ini siklus yang dikenal dalam psikologi belajar adalah daya tarik, motivasi, dan keberhasilan daya tarik. Sehubungan dengan pentingnya perhatian dan minat terhadap materi pelajaran T. Hardjono (1980:3) menegaskan bahwa perhatian merupakan salah satu persyaratan dasar dalam belajar agar berhasil. Oleh karena tanpa menaruh
257
perhatian, siswa tidak akan bisa menyerap materi pengajaran dan tidak akan bisa memproduksinya secara kreatif. Selanjutnya dikatakan bahwa perhatian siswa di kelas sebagian besar tergantung dari besarnya minat terhadap materi pelajaran. Adapun minat dapat timbul karena dua faktor, yaitu dorongan untuk memperoleh pengetahuan dan sikap emosional positif terhadap sesuatu. Untuk itu, tujuan pembahasan materi baru perlu diterangkan pada awal pembahasan materi tersebut agar pembelajar tahu tentang pentingnya materi yang akan dipelajari. Apabila mereka merasa membutuhkan materi yang akan dipelajari, maka dorongan untuk memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan tersebut akan disikapi dengan emosional positif, yakni dengan aktivitas praktis dan efektif sesuai dengan harapan siswa. Dengan demikian, tujuan pembelajaran bahasa asing mudah tercapai. Sesekali guru perlu juga minta umpan balik dari para siswa. Hal ini diperlukan sebagai bahan evaluasi atas pengajarannya yang sudah diberikan. Namun jangan sampai siswa merasa bahwa feedback itu tidak diperhatikan. Hendaknya kritik-kritik yang relevan dapat dijadikan acuan dalam mengadakan perubahan ke arah perbaikan sehingga semakin timbul rasa saling percaya, saling membutuhkan, serta saling membantu yang tentunya akan menambah kesenangan belajar dan mengajar. Dalam hal ini prasyarat utama untuk mencapai keberhasilan belajar-mengajar adalah keterbukaan antara pengajar sebagai sutradara dan pembelajar sebagai aktor. Apabila keterbukaan itu selalu dilakukan, maka masingmasing pihak, baik pengajar maupun pembelajar akan berusaha untuk selalu
258
meningkatkan kekurangan-kekurangannya sekaligus mencari solusi terhadap masalah-masalah yang terjadi dalam proses pembelajaran bahasa asing. Aktivitas praktis dan efektif yang sesuai dengan harapan siswa antara lain adalah kegiatan yang melibatkan mereka secara langsung dalam pemakaian bahasa asing itu untuk berinteraksi sosial. Hal ini terlihat dari pengalaman sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, betapa bangganya seorang siswa yang baru memperoleh bahasa asing di sekolahnya apabila ia sudah bisa menyapa seorang turis asing serta berdialog singkat dengannya. Dari pengalaman itu terbukti betapa pentingnya kegiatan interaksi sosial dalam memotivasi seorang yang sedang belajar bahasa asing. Pengajaran bahasa asing tidak hanya menyangkut bahasa itu dan kemampuan menggunakannya, tetapi menyangkut sikap orang yang belajar dan mengajar, dalam arti sikap keterbukaan atau kesediaan berkomunikasi dengan orang lain dalam situasi budaya yang bahasanya sedang dipelajari. Belajar bahasa scara komunikatif berarti belajar menggunakan bahasa itu untuk berinteraksi dalam situasi yang nyata. Pengajaran bahasa asing yang memberi kesempatan sebanyak-banyaknya untuk dilatihkan pada interaksi sosial dalam pengajaran bahasa akan lebih mencapai tujuan akan hakikat bahasa itu sendiri, yakni sebagai alat komunikasi.
259