51
BAB VII HUBUNGAN KARAKTERISTIK SANTRI DENGAN KOMPETENSI WIRAUSAHA SANTRI PADA USAHA SAPI POTONG Kompetensi wirausaha dalam usaha sapi potong mempunyai variabelvariabel yang berhubungan positif dan signifikan. Salah satu variabel yang berhubungan dengan kompetensi wirausaha santri adalah karakteristik individu santri meliputi umur, pekerjaan orang tua, tingkat pendidikan, pengalaman berwirausaha sebelum masuk pesantren, dan motivasi mengikuti pendidikan wirausaha agribisnis di Perwira Aba. Karakteristik santri merupakan faktor internal yang berhubungan dengan kompetensi wirausaha santri. Adapun hipotesis penelitian ini menduga berhubungan positif yang signifikan antara karakteristik santri dengan kompetensi wirausaha santri pada usaha sapi potong. Analisis data yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik santri dengan kompetensi wirausaha yang dimilikinya pada usaha sapi potong adalah uji korelasi Rank Spearman karena data-data yang diolah merupakan data yang berbentuk skala ordinal. Hasil pengujian hubungan karakteristik santri dengan kompetensi wirausaha santri baik kompetensi teknis maupun manajerial pada usaha sapi potong disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Hasil Pengujian Hubungan antara Karakteristik Santri dengan Kompetensi Wirausaha Santri. Kompetensi Wirausaha Santri Karakteristik Santri
Kompetensi Teknis
Kompetensi Manajerial
Koefisien (rs)
p-value
-0,261
0,219
-0,120
0.576
Pekerjaan Orangtua
0,265
0,211
0,192
0,370
Tingkat Pendidikan
-0,184
0,390
0,076
0,724
Pengalaman Berwirausaha sebelum Masuk Pesantren
-0,037
0,865
0,338
0,106
Motivasi Mengikuti Pendidikan
-0,099
0,644
-0,117
0,585
Umur
Koefisien (rs)
p-value
52
Hasil analisis data berdasarkan Tabel 6, menunjukkan bahwa karakteristik santri tidak berhubungan positif yang signifikan dengan kompetensi wirausaha santri baik teknis maupun manajerialnya. Hal ini didasarkan dari hasil uji korelasi Rank Spearman yang menunjukkan bahwa p-value semua variabel karakteristik santri lebih besar dari sign correlation sebesar 0,05 atau 5 persen. Makna dari hasil uji korelasi tersebut adalah tidak terdapat hubungan positif signifikan antar variabel. Semua variabel karakteristik tersebut tidak menjamin santri mempunyai kompetensi wirausaha pada usaha sapi potong. Hubungan antara variabel-variabel karakteristik santri dengan kompetensi wirausahanya pada usaha sapi potong berdasarkan Tabel 6 dijelaskan secara rinci sebagai berikut.
7.1
Hubungan antara Umur dengan Kompetensi Wirausaha Santri Salah satu variabel dalam karakteristik santri yang diduga berhubungan
dengan kompetensi wirausahanya adalah umur. Umur dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga, yaitu muda, sedang, dan tua. Santri yang tergolong muda terdiri dari 58 persen, tergolong sedang 25 persen, dan tergolong tua 17 persen. Umur menurut Staw (1991) dalam Riyanti (2003) dapat mempengaruhi kompetensi dalam berwirausaha, semakin bertambahnya usia seseorang yang berwirausaha maka semakin banyak pengalaman di bidang usahanya dan usia sangat terkait dengan keberhasilan sebuah usaha. Akan tetapi berdasarkan uji korelasi Rank Spearman yang terlampir pada Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa umur tidak berhubungan positif yang signifikan dengan kompetensi wirausaha santri baik teknis maupun manajerial pada usaha sapi potong yang berarti teori Staw tersebut tidak berlaku dalam penelitian ini. Kompetensi wirausaha santri dapat dimiliki oleh berbagai kalangan umur. Karena semakin tua umur santri yang menempuh pendidikan wirausaha agribisnis di Perwira Aba tidak menjamin memiliki pengetahuan dan keterampilan (kompetensi) dalam berwirausaha sapi potong. Kompetensi wirausaha saat ini tidak hanya dimiliki seseorang yang kategori umurnya tua, banyak wirausahawan saat ini berumur muda.
53
7.2
Hubungan antara Pekerjaan Orang Tua dengan Kompetensi Wirausaha Santri Pekerjaan orang tua diduga berhubungan dengan kompetensi wirausaha
santri. Pekerjaan orang tua dibagi menjadi dua kategori, yaitu non-wiraswasta dan wiraswasta. Data yang didapat, non-wiraswasta 42 persen dan wiraswasta 58 persen. Pekerjaan orang tua sebagai wiraswasta sangat berpengaruh pada kompetensi wirausaha seseorang, sebagaimana yang disebutkan Staw (1991) dalam Riyanti (2003). Wirausahawan mempunyai orang tua yang bekerja mandiri atau berbasis sebagai wirausaha. Kemandirian dan fleksibilitas yang ditularkan oleh orang tua akan melekat dalam diri anak-anaknya sejak kecil. Relasi dengan orang tua yang berwirausaha tampaknya menjadi aspek penting yang membentuk keinginan seseorang menjadi wirausaha. Kompetensi wirausaha santri baik kompetensi teknis maupun kompetensi manajerial berdasarkan Tabel 6 tidak berhubungan positif yang signifikan dengan pekerjaan orang tua. Teori Staw (1991) dalam Riyanti (2003) dalam penelitian ini tidak berlaku. Pekerjaan orang tua sebagai wiraswasta maupun non-wiraswasta tidak menjamin santri memiliki kompetensi wirausaha pada usaha sapi potong. Meskipun ada beberapa santri yang menyatakan berhubungan, salah satunya ungakapan dari PY, santri Perwira Aba. “Pekerjaan orang tua saya adalah peternak ikan, dan itu berpengaruh sekali terhadap mental wirausaha saya mbak. Karena dari kecil, saya sudah diajari untuk menjadi seorang pengusaha” 7.3
Hubungan antara Wirausaha Santri
Tingkat
Pendidikan
dengan
Kompetensi
Salah satu variabel karakteristik santri yang berhubungan dengan kompetensi wirausaha santri pada usaha sapi potong adalah tingkat pendidikan santri. Tingkat pendidikan dalam penelitian ini adalah jenjang sekolah yang ditempuh sebelum masuk Perwira Aba. Dikategorikan menjadi tiga, yaitu rendah (Tamat SD/MI), sedang (tamat SMP/MTs), dan tinggi (tamat SMA/MA). Hipotesis dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan terdapat hubungan positif yang signifikan dengan kompetensi wirausaha santri. Hal ini diasumsikan dari semakin tinggi tingkat pendidikan maka seseorang akan mempunyai pengetahuan
54
yang tinggi juga. Seperti yang disebutkan Staw (1991) dalam Riyanti (2003), pendidikan merupakan salah satu faktor yang menunjang keberhasilan usaha dengan asumsi bahwa pendidikan yang lebih baik akan memberikan pengetahuan yang lebih baik dalam mengelola usaha. Kesimpulan hasil uji hubungan tingkat pendidikan dengan kompetensi wirausaha santri baik teknis maupun manajerial berdasarkan Tabel 6 tidak berhubungan positif yang signifikan antar kedua variabel tersebut. Artinya, semakin tinggi pendidikan belum menjamin untuk mempunyai kompetensi wirausaha dalam bidang agribisnis khususnya usaha sapi potong. Karena semua orang bisa mempunyai kompetensi wirausaha agribisnis meskipun tidak bersekolah.
7.4
Hubungan antara Pengalaman Berwirausaha Pesantren dengan Kompetensi Wirausaha Santri
sebelum Masuk
Pengalaman berwirausaha santri sebelum masuk Perwira Aba merupakan salah satu variabel karakteristik santri yang berhubungan dengan kompetensi wirausaha baik teknis maupun manajerial. Pengalaman dalam menjalankan usaha menurut Staw (1991) dalam Riyanti (2003) merupakan indikator terbaik dalam berwirausaha dengan asumsi bahwa semakin banyak pengalaman wirausaha seseorang, maka kompetensi berwirausahanya juga akan meningkat. Hipotesis yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengalaman berwirausaha sebelum masuk pesantren terdapat hubungan positif yang signifikan dengan kompetensi wirausaha agribisnis. Hasil uji hubungan antara pengalaman berwirausaha dengan kompetensi wirausaha santri berdasarkan Tabel 6, didapatkan hasil yaitu tidak berhubungan positif yang signifikan. Dari hasil tersebut, menjelaskan bahwa pengalaman berwirausaha santri di Perwira Aba belum menjamin adanya kompetensi wirausaha di bidang agribisnis terutama pada usaha sapi potong. Artinya, teori Staw yang telah disebutkan sebelumnya tidak berlaku dalam penelitian ini. Akan tetapi, teori yang berlaku adalah teori Meng dan Liang (1997) dalam Riyanti (2003), yang menyebutkan bahwa pengalaman tidak berpengaruh pada keberhasilan usahanya.
55
7.5
Hubungan antara Motivasi Kompetensi Wirausaha Santri
Mengikuti
Pendidikan
dengan
Motivasi dalam mengikuti pendidikan merupakan salah satu variabel yang berhubungan dengan kompetensi wirausaha santri. Motivasi dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori, yaitu rendah jika motivasi berasal dari paksaan orang tua, sedang jika ikut-ikutan teman, dan tinggi jika motivasi berasal dari diri sendiri. Motivasi menurut Djiwandono (2006) merupakan salah satu prasyarat yang sangat penting dalam belajar. Hipotesis pada variabel ini adalah motivasi mengikuti pendidikan berhubungan positif yang signifikan dengan kompetensi wirausaha santri baik kompetensi teknis maupun kompetensi manajerialnya. Hasil uji korelasi Rank Spearman antara motivasi mengikuti pendidikan dengan kompetensi wirausaha santri baik kompetensi teknis maupun manajerial berdasarkan Tabel 6, menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan positif yang signifikan antar kedua variabel. Motivasi tidak berhubungan dengan kompetensi wirausaha agribisnis santri Perwira Aba, menjelaskan bahwa motivasi tidak menjamin seseorang mempunyai kompetensi dalam wirausaha agribisnis. Dalam penelitian ini, pernyataan motivasi Djiwandono (2006) tidak berlaku.