MINGGU KE 11 Diskripsi singkat
: materi minggu ini berisi tentang elemen-elemen geometris yang dikenakan pada perencanaan jalur transportasi apabila suatu jalur lurus akan memasuki lengkung lingkaran atau sebalinya agar tidak terjadi goncangan pada kendaraan yang mengalami perobahan arah yang tibatiba.Bentuk geometris yang dapatmeredam goncangan terset antara lain super elevasi, busur peralihan yang umumnya berupa spiral, jarak pandang henti dan menyiap dll.
Manfaat
: mahasiswa akan dapat meranjang jalur transportasi yang aman dan nyaman untuk dikendarai.
Relevansi
: karena saat kini pengguna jalan sudah menuntut lalu lintas yang cepat dan aman serta nyaman.
Learning Outcome
: Setelah mengikuti kuliah minggu ini mahasiswaa dapat menghitung dimensi dan geometri elemen-elemen keselamatan dalam mendesain suatu rute transportasi.
BAB VII ELEMEN KESELAMATAN DAN PERANCANGAN JALAN RAYA VII.1. Pendahuluan. Hal-hal yang dibahas dalam keamanan dan perancangan jalan raya ini dibatasi pada masalah (a) lengkung superelevasi , (b) pelebaran dari lengkungan, dan (c) jarak pandang. Unsur-unsur keamanan lainnya, termasuk perancangan fungsi persimpangan dan persilangan ( lihat bab 9 ), yang didasarkan pada karakteristik dan volume dari arus lalu lintas, secara mendetil dibahas diluar buku ini.
VII.2.. Lengkung super elevasi VII.2.1.Gaya Sentrifugal.
1
Gaya reaksi yang arahnya keluar, disebut gaya sentrifugal, yang ditimbulkan oleh benda yang bergerak melewati suatu lintasan lengkung sama dengan perkalian dari massa dan kecepatannya terhadap pusat kurva, dinyatakan dengan: Gaya sentrifugal =
W v2 , g r
dimana, W = berat dari benda, dalam lb; v = kecepatan, feet per detik; r
= jari-jari kurva, dalam feet;
g = percepatan gravitasi, feet per detik2. Pada lengkung jalan raya yang beraspal, gaya sentrifugal ini mempunyai kecenderungan untuk menggelincirkan kearah yang menjauhi pusat lengkungan; pada jalan kereta api, gaya ini menyebabkan tekanan dari roda ke rel. Untuk mengantisipasi gaya yang kearah luar ini ( secara horizontal ), biasanya dilakukan dengan membuat permukaan jalan di sisi dalam lebih rendah, atau membuat sisi luar jalan lebih tinggi, sehingga efek yang dihasilkan dari kelengkungan ini akan dinetralkan oleh gaya gravitasi.
VII.2.2.Tepi Lengkung Jalan Raya Pada gambar 87 ditunjukkan (a) bagian lengkungan dari rencana jalan raya dua lajur, dan (b) gambar tampang melintang yang menunjukkan superelevasi serta gaya-gaya yang bekerja pada mobil. = sudut yang dibentuk oleh sisi miring AB terhadap bidang horizontal, S = tan
= kemiringan superelevasi. ( gambar VIII.1. )
Perhatikan bahwa gaya-gaya yang bekerja pada mobil dalam keadaan seimbang dan komponen-komponen rektangular sejajar AB, kita mempunyai
W sin
F
Wv 2 cos , gr
(VII.1)
Dimana F merupakan bilangan penambah dan nilai gaya gesek mempunyai nilai maksimum fW, f merupakan koefisien gesekan.
2
Gambar VII.1..
Masukkan F = fN = fW cos
pada persamaan (VII.1), kemudian dibagi
dengan W cos , kita peroleh
tan
f
v2 , atau tan gr
v2 gr
f
(VII..2)
Ubah v dalam feet per detik dengan V dalam mil per jam dan g = 32,2 feet per detik, persamaan (126) menjadi S = kemiringan melintang =
V2 15r
f
(VII/3)
Nilai f sangat bervariasi tergantung dari kecepatan, kondisi ban, dan permukaan jalan, apakah kering, basah, halus, atau tertutup es. Percobaan-percobaan yang telah dilakukan oleh Moyer dan lainnya menunjukkan bahwa gesekan pada saat akan tergelincir, untuk kondisi ban baru dan permukaan beton yang kering, dapat mencapai 0.5 pada kecepatan rendah dan berkurang hingga 0.35 pada kecepatan tinggi. Percobaan yang dilakukan di jalan tol Pennsylvania menunjukkan nilai maksimum 0.30 pada kecepatan yang sangat tinggi (lebih dari 150 mph). Berdasarkan pada 900 percobaan, dengan mempertimbangkan keamanan, Barnett ( Biro jalan raya Amerika) merekomendasikan nilai f 0,16 untuk kecepatan 30-60 mph, dan 0,14 untuk kecepatan 70 mph. Untuk kecepatan rendah pada kurva, gaya sentrifugal relatif kecil, oleh sebab itu gaya luncur ke dalam akan menggantikan gaya gesek. Pada jalan yang tertutup es,
3
koefisien gesekan akan berkurang hingga 0,10. Oleh karena itu, rasio superelevasi S dibatasi hampir sama dengan f, atau 0,10. Memperhitungkan kemungkinan kecepatan arus lalu lintas baik lambat dalam berbagai kondisi cuaca, kondisi superelevasi yang ideal tidak dapat diterapkan dalam praktek. Pada daerah yang bebas es dan salju, rentang maksimum untuk nilai tahanan gelincir permukaan yang digunakan adalah 1,5 inchi per detik (0,125). Jika kondisi jalan diselimuti es, nilai S maksimum yang digunakan sekitar 1,25 inchi per detik (0,10); Bagaimanapun juga, kondisi datar yang tetap direkomendasikan untuk daerah yang dingin. Pada jalan raya secara normal diberikan permukaan yang cembung untuk memperlancar drainase. Jika kondisi permukaan cembung ini berada pada suatu lengkungan, pada sisi dalam dari jalan yang mempunyai dua lajur akan mendapat efek sentrifugal yang kecil, namun pada sisi luar akan mendapat efek sentrifugal yang membahayakan. Oleh karena itu, pada kondisi jalan dengan superelevasi yang lebih tajam dari 10, pada bagian tengah dari permukaannya dibuat menurun ke arah pusat kurva. Pada saat memasuki lengkungan, perubahan dari bentuk cembung menjadi datar dilakukan secara bertahap. Gambar berikut menunjukkan langkah-langkah yang sering dilakukan (gambar VII.2) : (1) Lajur luar dirubah secara bertahap dari bentuk setengah cembung ke bentuk datar pada TS, sedangkan lajur dalam tetap pada bentuk cembung normal. (2) lajur dalam didatarkan secara bertahap hingga menjadi suatu permukaan yang miring, sehinggi kedua lajur menjadi satu permukaan miring ke arah dalam dengan nilai superelevasi satu setengah kalinya; (3) setelah titik ini, kedua lajur dirotasikan terhadap garis tengah, sisi dalam dan luar dari kedua lajur tetap pada bidang miring yang sama sampai superelevasinya Pada situasi dimana bagian tepi dari sisi dalam membutuhkan drainase yang lebih rumit, seperti galian, superelevasi dipengaruhi oleh rotasi pada tepi dalam, atau garis dekat tepi dalam dan sejajar garis tengah. Pada bagian antara SC dan CS, efek geser ini konstan. Pada bagian akhir lengkungan kebalikan dari saat memasuki lengkungan. Pada superelevasi, kemiringan yang dibutuhkan pada tepi luar jalan relatif terhadap garis tengah tidak melebihi 1 per 200.terpenuhi pada atu dekat SC. 4
Gambar VII.2. Bentuk metode mendapatkan super elevasi, dimana perkerasan melingkupi sumbu. C sama dengan puncak dan E sama dengan maksimum superelevasi. Lengkung vertikal pendek dapat dipandang dengan mata ditandai dengan patok atau bentuk di lapangan mungkin dapat di bentuk, apabila dikendaki, ditandai pada titik V
Pada lengkung yang bukan spiral, pengendara motor merubah sendiri dari bagian lurus ke bagian melengkungr. Pada kecepatan rendah atau perkerasan jalan yang diperlebar, perpindahan ini dapat dilakukan tetap pada lajurnya. Untuk kecepatan yang lebih tinggi, pengendara pada lajur luar cenderung untuk melewati batas ke lajur dalam.
VII..2.3. Panjang Jalan Raya Spiral.
5
Perubahan dari bentuk cembung ke bentuk miring penuh pada lengkungan membutuhkan perhitungan selang waktu (katakan t) lama waktu kendaraan melewati lengkungan pada kecepatan yang tetap, dalam hal ini sama dengan panjang spiral transisi. Yaitu, ls . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (VII.4) v
t
Persamaan (125) disusun kembali dan diberikan cos
=1, sin
= S, W/g = M
(massa kendaraan), dan F = Ma (massa x percepatan), kita dapatkan
Ma
M
v2 r
MgS ,
(VII.5)
Atau
a
v2 r
S,
(VII.6)
Dimana a, v2/r, dan gS merupakan perbandingan percepatan terhadap gaya gesek, sentrifugal, dan gravitasi. Anggaplah t(=ls/v) = waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak ls pada kecepatan v; t1(=v2/c1r) = waktu untuk mencapai perbandingan percepatan radial terhadap gaya sentrifugal; dan t2 (9=gS/c2) = waktu untuk memutar kendaraan melewati sudut , dalam hal ini c1 dan c2 merupakan perubahan nilai variabel percepatan. Karena interval waktu terjadi secara simultan, maka c1 dan c2 bernilai sama, yaitu t = t1 = t2. Namun jika c1 dan c2 diganti dengan C1 dan C2, dimana C1 dan C2 merupakan nilai perubahan maksimal yang dapat diganti, kemudian t2 biasanya lebih kecil dari t1. Dengan menganggap t = t1 kemudian dikurangkan, kita dapatkan ls
v3 C1 r
(VII.7)
Demikian pula t = t2, kita peroleh ls
vgS C2
(VII.8)
Ubah v dalam feet per detik dengan V dalam mil per jam dan g = 32,2 feet per detik, persamaan (VII.7) dan (VII.8) menjadi 6
ls
3.155V 3 , dan C1
ls
47.23VS C2
(VII.9) (VII.10)
Beberapa tahun yang lalu, Shortt of England, berdasarkan penelitian tentang superelevasi rel kereta api, mengemukakan rumus seperti pada persamaan (VII.9), dimana, dengan mengasumsikan C1 = 2, telah banyak digunakan oleh insinyur-insinyur di bidang jalan raya di negara tersebut, dalam bentuk
ls
1.58V 3 , r
(VII.11)
Dimana C = 2 = nilai perubahan percepatan maksimum yang dapat digantikan tanpa ketidaknyamanan. Leeming of England adalah yang pertama kali menunjukkan bukti bahwa persamaan (VII.11) adalah keliru, karena persamaan tersebut mengabaikan superelevasi. Bagaimanapun juga, deviasi pada sisi keselamatan, dikarenakan pertimbangan panjang spiral memberikan kemudahan pada saat mendekati serta penampilan yang lebih baik dibandingkan dengan yang lebih pendek. Efek putaran yang berkaitan dengan rel kereta api telah diperjuangkan oleh Haile dan lainnya untuk menentukan panjang spiral. Metode ini telah diterapkan di jalan tol Pensylvania yang menggunakan dasar perubahan putaran 0.02 feet per detik. Kemudian jika S = 0.10, lalu t = 0.10/0.02 = 5 detik. Dengan menggunakan kecepatan 60 mph (88 feet per detik), panjang minimal dari spiral adalah 5 x 88 = sekitar 440 feet. Metode putaran ini berpengaruh pada penentuan rumus (VII.10). Kemudian jika C2 = 0.644 (disesuaikan dengan perubahan putaran 0.02 feet per detik), kita peroleh ls
73.3VS
(VII.12)
Dimana ls = panjang spiral yang disarankan, V = kecepatan yang direncanakan (mph), dan S = kemiringan jalan maksimum. Semua rumus yang telah dikemukakan memberikan panjang spiral yang minimum.
VII.2.4. Elevasi Dari Sisi Luar Rel Kereta Api Pada Lengkungan. 7
Pada gambar VII.1, BC = elevasi dari sisi luar rel kereta api pada garis ukuran, dimana hasil pengukurannya = 4 feet 8,5 inchi = 56.5 inchi. Dengan mengabaikan gesekan (yaitu, mengganggap f = 0), persamaan (VII.3) memberikan
tan
BC AC
V2 15r
(VII.13)
Dengan AC = 56.5 inchi, dan mengganti r = 5.730/D, BC pada persamaan (VIII.13) menjadi BC = e = 0.00066DV2,
(VII.14)
Dimana, e = elevasi total dari sisi luar rel, (dlam inchi)., D = derajat kurva V = kecepatan,(mil per jam). Untuk mengakomodasikan baik pengangkutan muatan yang lambat dan lalu lintas kendaraan yang cepat, pada prakteknya teori ini disesuaikan (dikurangi). Banyak rel kereta api menggunakan reduksi datar 3 inchi, yang disebut superelevasi tak seimbang. Ketinggian sisi dalam dari rel kereta api tetap pada saat melewati kurva, dan sisi luar dinaikkan secara perlahan hingga mencapai nilai e maksimum, dimana tidak pernah lebih dari 8 inchi; jika jalur digunakan untuk kecepatan rendah dan tinggi, biasanya tidak lebih dari 6 inchi.
VII.2.5. Panjang Spiral Rel Kereta Api. Panjang dari spiral rel kereta api pada umumnya ditentukan dengan menggunakan nilai yang seragam pada perubahan putaran dalam kemiringan melintang untuk mengembangkan superelevasi yang maksimum. Nilai ini ditentukan demi kenyamanan dari penumpang. Setelah beberapa tahun penelitian dan pengalaman, ARE telah menetapkan nilai 1,25 inchi per detik, dimana sebanding dengan 2 persen perubahan putaran per detik pada kemiringan melintang pada kecepatan yang sama. Dengan demikian , jika e = 5 inchi. Dan kecepatannya 70 mph, panjang spiral minimum adalah
8
5 70 88 1.25 60
410 feet
VII.3. Pelebaran pada Lengkung Jalan Raya VII.3.1. Tujuan. Pelebaran pada lengkung/tikungan jalan raya dilakukan untuk dua alasan : (1) radius dari roda belakang kendaran ketika melintasi lengkungan lebih kecil daripada roda depannya, sehingga membutuhkan ruang yang lebih lebar ke arah samping daripada yang lurus. Oleh karena itu, untuk menyediakan jarak yang sama antar kendaraan pada saat melewati lengkungan, maka lengkungan harus memiliki lebar yang lebih. (2) adanya alasan tuntutan psikologis dari pengendara mobil yang kencang agar lebih merasa aman pada saat melewati lengkungan/tikungan.. Dengan memperhatikan kebutuhan kedepannya, Voshell of US Bureau of Public Roads telah mengajukan rumus untuk jalan dua lajur sebagai berikut :
f
2R
R2
B2
35 R
,
(VII.15)
Dimana f = pelebaran maksimum dalam feet, B = pangjang basis roda (disarankan 20 feet), dan R = jari-jari lengkungan dalam feet/kaki.. Bukti untuk bagian awal dari rumus (139) adalah sebagai berikut. Dari gambar VII.3 kita peroleh
R1
d
R2
2
B2 ,
(a)
Dimana R1 = jari-jari roda belakang-luar pada saat menikung dalam feet, R2 = jari-jari roda depan-luar pada saat menikung dalam feet, dan d = ukuran mobil dalam feet. Pada persamaan (a) R1+d diganti dengan R2-f kemudian disusun kembali, kita dapatkan
f
R2
R2
2
B2
(VII.16)
9
Gambar VII.3.
Misalkan R untuk R2 dan dikalikan 2 untuk kedua jalur, kita peroleh persamaan (VIII.11), dimana telah berubah menjadi bentuk yang lebih cocok namun dengan sedikit perkiraan sebagai berikut :
R2
2
B
2
(R
2
400)
1 2
400 R1 R2
1 2
R1
200 R2
Kemudian persamaan (139) dikurangkan terhadap
f
400 R
35
(VII.17)
R
Masukkan R = 5,729.58/D, persamaan (141) menjadi
f
(VII.18)
0.07 D 0.462 D
Dimana D adalah derajat kelengkungan dari tikungan.. Persamaan Voshell dirancang untuk kecepatan 35mph, bagaian kedua ditentukan secara empirik. Sebagai modifikasi, Barnett mengemukakan
f
nR
R2
B2
V R
(VII.19)
Dalam hal ini n = jumlah lajur dan V = desain kecepatan dalam mph. Persamaan (143) dapat ditulis menyerupai persamaan (142) sebagai berikut
f
n 0.035D
0.0132V D
(VII.20)
Pengarang telah mengajukan persamaan 10
f
1
D 10
(VII.21)
Pada prakteknya nilai pelebaran ini tidak seragam. Biasanya bervariasi dri 1,5 sampai 6,0 feet, tergantung dari derajat kelengkungan dan faktor lainnya.
VII.3.2. Metode Pelebaran. Setelah pusat pelebaran ditentukan, dua hal yang perlu dipertimbangkan selanjutnya adalah (1) kapan garis tengah yang telah disurvey berbentuk spiral, dan (2) kapan garis tengah yang telah disurvey berbentuk busur lingkaran. Pada kasus 1, tepi dalam dimodifikasi menjadi bentuk spiral, dan peleberan mengambil sisi dalam dengan harapan dapat ditentukan dengan mata, pada SC. Bagaimanapun juga, akan lebih mudah dikerjakan apabila pelebaran dilakukan dengan setengah pada tepi dalam dan setengahnya lagi pada sisi luar. Pada kasus (2), tepi dalam merupakan gabungan kurva lingkaran, dan pelebaran hanya terjadi pada tepi dalam saja.
Kasus 1. Dibuat Lengkung Spiral VII.3.3. Panjang Tepi Dalam Dari Jalan Yang Diperlebar. Bagian tepi dalam dari lengkungan yang diperlebar dianggap sebagai lengkungan yang mempunyai jarak radial dari garis tengah lengkungan (gambar VIII.4.) bertambah secara perlahan dari 0.5 di TS hingga 0.5 +f di SC, atau beberapa bagian sebelumnya. Oleh karena itu, pelebaran ini berubah menurut jarak l sepanjang garis tengah menurut persamaan R
R'
l f ls
R
1 2
l f, ls
Dimana R = variabel jari-jari dari garis tengah yang telah disurvey R’= variabel jari-jari tepi dalam yang tidak dilebarkan
R = variabel jari-jari tepi dalam yang dilebarkan
11
Gambar VII.4.Pelebaran dimana hasil survei sumbu jalan adalah spiral.
Pada gambar 90, dl = defferensial parsial dari kurva bagian dalam; kemudian dl
Rd
R
1 2
l f d ls
Rd
Perhatikan bahwa R d = dl dan l/ls =
1 d 2
f
s
l d ls
(lihat persamaan sebelumnya; kemudian
diintegrasikan, kita dapatkan l
Di SC,
1 2
l
2 f 3
(VII.22) s
= s; sehingga persamaan (146 menjadi ls
ls
1 2
2 f 3
s
(VII.23)
Dimana sama dengan panjang tepi dalam dari jalan tang dilebarkan dari titik yang berlawanan di TS ke garis radial di SC. Sudut s diukur dalam radian (sama dengan derajat dibagi dengan 57.29578). Untuk bagian yang tidak dilebarkan, l’’+l’= 2ls. Contoh. Diberikan ls = 400ft,
= 20ft, s = 150 = 0.2618 radian, dan f = 3.0ft. Dicari nilai l dan
l’’, tepi dalam dan tepi luar, diperlebar dari TS ke garis radial di SC. Solusi. l = 400 – (10+2)(0.2618) = 396.9ft, dan l’’ = 400 + (10)(0.2618) = 402.6ft.
12
VII.3.4. Area Tambahan (Extra) Pada Jalan Yang Dilebarkan. a. Tampang spiral pada tiap sisi. Pada gambar VIII.4, dibutuhkan persamaan untuk area tambahan pada spiral yang dilebarkan As antara lengkung A’C’ dan A’C. Seperti dinyatakan pada sub bab 110, pelebaran dianggap dimulai dari TS dan bertambah secara perlahan sampai f feet pada SC; dimana pertambahannya berubah menurut jarak dari TS ke SC. Dengan menggunakan notasi pada sub bab 110, area turunan (dihitamkan) = dAs = Perbedaan antara dua sektor radius R’ dan R adalah 1 2 R d 2
1 2 R d 2
1 R 2
Nyatakan l dalam
R R
1 2R 2
Rd
l ls
s
l f ls
l f d ls
, integrasikan dengan batas antara 0 dan s, dan
dikurangkan, diperoleh As
1 ls f 2
1 f 3
1 f 4
2
(VII.24)
s
Dikalikan dua untuk kedua bagian spiral, kemudian dibagi 9 untuk memberikan hasil dalam bentuk akar, dan nyatakan sudut spiral s dalam derajat, persamaan untuk kedua bagian spiral (lihat gambar 91) = 2 A adalah ls f 9
2 f 27
1 f 18
2
180
s
( sqyd )
(VII.25)
Akhirnya 2 As
ls f 9
B
(VII.26)
Dimana B diberikan dalam tabel 28 untuk nilai s dan f dan untuk
= 16,18,20, dan 22
feet. Contoh 1. Diberikan ls = 400 ft, s = 200, f = 2 ft, dan
= 20 ft. Dicari besar ekstra area tambahan
pada area pelebaran. Jawaban. Dengan menggunakan persamaan (VII.25), dan menurut tabel 28 (bagian 3), area ekstra tambahan pada pelebaran adalah
400 2 1.11 87.77 sq yd 9 13
b. Bagian pusat lingkaran. Pada gambar 91, pada are A pada bagian melingkar yang mempunyai pelebaran yang konstan f ft sama dengan turunan antara kedua sektor sudut pusat ( -2 s) dan jari-jari R’ dan (R’-f), dimana R’ = Rc-0.5 (Rc merupakangaris pusat jari-jari); atau secara lebih sederhana, Area
= (panjang bujur yang melewati garis tengah) x f = R
1 f 2
= Rc
1 2
= Lc f
2 1 f 2
2 2
s
f
s
f
f
2
f
2
s
sq ft
Dimana Lc adalah nominal panjang kurva garis tengah dari SC ke CS, dan sudut dinyatakan dalam radians.
Gambar VII.5.. 14
Luasan per kaki dari garis tengah lengkungan adalah
f
2 2 Lc
s
f
f
2
1 2 Rc
f
f
f
2
f
Dc 200
f
f
2
sq ft ,
(VII.27)
Dimana Dc dinyatakan dalam radians. Dibagi dengan 9 dan Dc dinyatakan dalam derajat, kita akan memperoleh Luas per kaki garis lurus tengah
Dc f 1 9 200
f
180
sq yd
(VII.28)
Tabel 29 didasarkan pada persamaan(152)
VII.3.5. Pemasangan (Laying Out) Tepi Dalam Dari Pelebaran Perkerasan. Sisi dalam dari area pelebaran lebih mudah ditentukan dengan jarak radial ratarata dari garis tengah spiral. Offset ini berubah-ubah tergantung dari jarak busur pusat spiral terhadap TS. Jadi, jika pelebaran di SC adalah f ft, maka pada titik tengah adalah 0.5f ft.
Kasus 2. Lengkung Tak Dispiralkan VII.3.6. Tepi Dalam Dari Pelebaran. Jika jarak tangen awal terbatas, lengkung dilebarkan pada sisi dalam, sedangkan garis tengah dan tepi luar tetap konsentris terhadap lengkung lingkaran seperti ditunjukkan pada gambar 92. Tepidalam dari lengkungan merupakan gabungan dari lengkung lingkaran. Kurva melingkar pada bagian dalam memungkinkan fleksibilitas dari alinemen dan transisi pada saat memasuki dan meninggalkan tikungan dengan lebih pendek, daripada lengkung penuh. Pada gambar 92, = lebar normal jalan pada tangen; f = konstanta lebar tambahan pada bagian tengah lengkungan; f’ = A’F = perpanjangan dari A’(PC) ke tepi dalam pelebaran R = OA = jari-jari garis tengah lengkung AC R’ = OA’ = R – 0.5 = jari-jari lingkaran konsentris A’C’;
15
R = O A = jari-jari lingkaran dalam A B yang digabung pada B dengan jari-jari lingkaran konsentris bagian dalam = R’’ = R’-f = R-0.5 -f; g = A’A = jarak dari A’ ke titik awal lingkaran dalam, c = sudut pusat kurva perpotongan AB, A’B’ dan A B ’ = sudut pusat kurva perpotongan AF pada radius R Melewati titik B’ dan B digambar garis B’J dan BK diperpanjang ke O A dan OA. Gambar BN yang diperpanjang ke B’J dan perhatikan bahwa sudut NBB’ adalah c. Kemudian g = KB – JN = KB – ( JB’-NB’) = R sin c – R’sin c + f sin c = ( R-R’+f) sin c
(VII.29)
Namun R-R’ = OA-OA’ = OM = g cot c
(VII.30)
Masukkan persamaan (154) ke persamaan (153) kemudian dikurangkan, kita peroleh g = g cos c + f sin c dimana g
f sin 1 cos
c
f cot c
1 2
(VII.31)
c
Dari persamaan (154) kita dapatkan R = R’ + g cot c
(VII.32)
Jika FQ diperpanjang ke OA,menjadi f’ = R vers ’,
(VII.33)
dimana sin ’ = g/R. Dengan demikian vers
1 cos
1
1 sin 2
1
1 sin 2
1 2
1 2 sin 2
(mendekati)
Hasil diatas hampir tepat jika sin2 ’ sangat kecil jika dibandingkan dengan gabungannya. Masukkan ke persamaan (157) dan dikurangkan, kita memperoleh
f
1 g2 2 R
(VII.34)
Panjang dari busur bagian dalam AB sama dengan 100 c/D, dimana
D
5,729.58 R 16
Jika g dan R (atau D) diketahui, maka area peleberan bagian dalam ini dapat diletakkan. Offset f’ dari PC ke lengkungan hanya sebagai ceking. Garis tangen yang digambar ke kurva bagian dalam di F berpotongan dengan A’A pada H (gambar 92). Kemudian, diperkirakan,
Gambar VII.6. Pelebaran dimana hasil survei sumbunya adalah lengkung lingkaran.
AH
f cot
fR g
(VII.35)
Perkiraan diatas hampir tepat untuk nilai ’ yang kecil, dimana sin ’ = g/R, dan cot ’ = R/g ( mendekati )
Contoh 1. Diketahui
= 42030’,
= 18 ft, D = 100, f = 2 ft. Dianggap bahwa pelebaran
penuh dimulai dari 50 ft didepan PC dan diperpanjang sampai bagian tengah lengkungan pada 50 ft dari PT. Dicari : data untuk laying out lengkung bagian dalam ( busur lingkaran ). Jawaban. 17
Karena busur AB (gambar 92) = 50 ft, hubungan sudut pusat c = 50D/100 = (50 x 10)/100 = 50 . Kemudian g = f cot 0.5 c = 2(22.904) = 45.81 ft. R =5,730/D = 573 ft. R’ = 564 ft. R = R’+g cot c = 564 + (45,81)(11.430) = 1,087.6 ft. D = 5,730/R = 5.2680 = 5016’. F’ = 0.5(g2/R) = 0.96ft.A’H = f’R/g = (0.96)(1,087.6)/45.81 = 22.8ft.
Kasus khusus (
c = 0.5
). Hal yang biasa disarankan adalah memperlebar
lengkungan secara perlahan di sekitar titik tengah tikungan ( gambar VII.7 ). Langkah ini sebagian menguntungkan untuk tikungan tajam di jalan kota.
Gambar VII.7.. Kasus khusus dari gambar VII.6..
Contoh 2. Diberikan
= 100020’,
= 30 ft, D = 500, f = 6.0ft. Pelebaran dianggap
mengambil tempat di sekitar titik tengah tikungan, seperti ditunjukkan pada gambar 93. Diperlukan : data laying out kurva bagian dalam ( busur lingkaran ). Penyelesaian. c=0.5
= 50010’; g = f cot 0.25
=5,729.58/50 = 114.59 ft; R’ =99.59 ft;R=R’+g cot 0.5
= 6(2.13639) = 12.82 ft; R = 99.59 + (12.82)(0.8342)
=110.28 ft; D = 5,729.58/110.28 =51.950 = 51057.0’; f = 0.5g2/R = 0.5(12.82)2/110.28 = 0.745 ft.
18
VII.3.7.Area Tambahan (Ekstra) Untuk Pelebaran. Area yang dilebarkan secara khusus pada bagian tengah pelebaran konstan (gambar 92) = trapezoid O A A’O + bagianOA’B’ – bagian O A B = 0.5( R+R’)g + 0.5(R’)2 c – 0.5( R)2 c = 0.5( R+R’)[g + c(R’- R)], (160) Dimana sudut c diukur dalam radians. Menggunakan persamaan (155) dan (156) untuk g dan R dan perhatikan bahwa R’ = R – 0.5 , Persamaan (160) untuk area menjadi 1 2R 2
f (cot
1 2
c
)(cot
c
)
f cot
1 2
c
c
f cot
1 2
c
cot
(VII.37)
c
Dikalikan 2 untuk kedua sisi tikungan, dibagi dengan 9 untuk mendaptkan hasil dalam bertuk kuadrat, kemudian difaktorkan, kita dapatkan Area =
f 2R 9
Diberikan K=
f cot 1 1 cot 9 2
c
1 2
cot
c
1
c
cot
cot
c
c
1 2
c
1
c
cot
dan perhatikan bahwa
(VII.38)
c
R
5,729.578 , D
Persamaan (162) dapat dtuliskan sebagai berikut : Area = f
A D
B
Cf
(VII.39)
Dalam hal ini A=11,459.156K, B=K, dan C =K(cot 0.5 c)(cot c). Dengan menerapkan persamaan (158) untuk berbagai nilai c, telah dihitung dan dicatat pada
able
A, B, C
able 30.
Dengan D (derajat kelengkungan dari garis tengah lengkungan),
(lebar jalan
normal), f (lebar tambahan), dan c (sudut pusat yang dibentuk oleh busur AB)(gambar 92) diketahui, area pelebaran tambahan (ekstra) dapat ditentukan secara cepat. Pada area tersebut harus ditambahkan area ekstra disekitar bagian tengah lengkungan, dimana lebar tambahan f tetap dan sudut pusat adalah (150) atau
-2 c. Persamaan
able 29 memberikan hasil yang dimaksud.
19
Contoh 1. Sesuai contoh 1(sub bab sebelumnya), kita telah diberikan
= 42030’,
= 18 ft,
D = 100, dan f = 2 ft. Karena c = 5o, sudut pusat pada bagian lebar yang konstan adalah 32o30’, dan busur perpotongan adalah (100 x 32.5)/10ft = 325ft. Dicari : area tambahan ekstra total pelebaran. Penyelesaian. Area pada kedua ujung dari lebar dimana dari
able le = f
A D
B
Cf ,
able 30 diperoleh A = 74.05, B = 0.0065, dan C = 1.692. Kemudian area
pada bagian ujung adalah 2
74.05 10
0.0065 18
Dengan menggunakan
1.692 2
21.34 sq yd
able 29, area pada bagian tengah adalah (0.218)(325) = 70.85 sq
yd. Area keseluruhan pelebaran = 21.34 + 70.85 = 92.19 sq yd.
Contoh 2. Sesuai pada contoh 2 (sub bab sebelumnya), kita telah diberikan
= 100o20’,
= 30ft, D = 50.0ft, f = 6.0ft. Dicari : area tambahan keseluruhan untuk pelebaran yang mengambil titik tengah tikungan. Penyelesaian. Sesuai tabel 30 dan c = 0.5 = 50o10’, kita peroleh A = 733.44, B = 0.0640, C = 0.1143. Area keseluruhan untuk pelebaran adalah 6.0
733.44 50
0.0640 30
0.1141 6.0
80.61 sq yd
VII.4. Jarak Pandang VII.4.1.Pendahuluan. Telah diketahui secara luas bahwa kemampuan untuk dapat melihat ke depan sangat diperlukan demi keselamatan serta efisiensi transportasi jalan raya. Pada publikasi yang dilakukan oleh AASHO untuk keperluan peningkatan keselamatan dalam
20
perancangan jalan raya adalah sebuah pamflet berjudul “ A Policy on Sight Distance for Highways, “ telah diterima secara luas dinegara ini sebagai acuan praktek. Jarak pandang adalah jarak jalan di depan yang masih dapat dilihat oleh pengendara. Untuk keperluan praktek dan pelaksanaan, hal ini terbagi atas jarak pandang untuk berhenti dan jarak pandang untuk menyalip/mendahului.
VII.4.2. Jarak Pandang Untuk Berhenti. Jarak pandang henti adalah keseluruhan jarak pada saat berjalan pada tiga interval waktu : (1) waktu bagi pengendara untuk memperkirakan bahaya, (2) waktu untuk bereaksi, (3) waktu untuk berhenti setelah pengereman. Pada saat dua interval pertama, kendaraan melaju pada kecepatan penuh, pada interval ketiga, kecepatan berkurang hingga nol, dan hal ini harus terjadi sebelum menabrak kendaraan yang berada didepannya.
Gamabr VII.8..
Pernyataan terakhir dari National Safety Council (1956) bahwa rata-tata reaksi dari pengendara adalaha ¾ detik. Dengan interval ¾ detik ini, kendaraan yang melaju dengan kecepatan 40 mph akan bergerak 44 ft. Jarak pengereman (dinamakan d) tergantung pada kecepatan dan tipe jalan. Dengan menggunakan hukum mekanik : gaya dikali jarak sama dengan perubahan energi kinetik, atau
Wf
d
1W 2 v 2 g
Wv 2 64.4,
(a)
21
Dimana d
v2 64.4 f
V2 30 f
(VII.40)
Dimana V adalah kecepatan kendaraan (mph) sesaat setelah pengereman dan f adalah koefisien gesek antara ban dan aspal. Jika t(detik) adalah waktu reaksi, yang diperkirakan 2.5 detik, kemudian Jarak henti =
44 Vt 30
V2 , 30 f
(VII.41)
Nilai faktor gesekan ( dianggap konstan) untuk kondisi normal, basah, aspal basah yang bebas dari lumpur, salju, atau es sangat bervariasi dari 0.36 pada kecepatan 30 mph sampai 0.29 pada kecepatan 70mph. Tidak diperbolehkan adanya satu titik dimana jarak pandang kurang dari jarak berhenti minimum. Jarak pandang dimana tidak boleh mendahului berdasarkan atas jarak henti. AASHO menetapkan bahwa jarak antara garis pandang dari pengendara adalah sekitar 3 ¼ ft diatas permukaan aspal ke objek yang berada di jalan setinggi 6 inchi, dengan anggapan bahwa objek yang lebih rendah dari 6 inchi tidak merupakan gangguan yang serius jika tertabrak.
VII.4.3.Jarak Pandang Untuk Mendahului/Menyalip.
Gambar VII.9. Elemen dari jarak pandang untuk mendahului
22
Jarak pandang untuk mendahului/menyalip adalah jarak terpendek yang memungkinkan bagi pengendara untuk berpindah lajur, melewati kendaraan lain, kemudian kembali ke lajur semula dengan selamat dan nyaman tanpa mengganggu kendaraan yang dilewati ataupun kendaraan yang melaju dari arah berlawanan dengan kecepatan yang direncanakan yang memungkinkan setelah manuver dimulai (lihat gambar VIII.8, VIII.9, VIII.10.).
VII.4.4. Jarak Pandang Sepanjang Lengkung Horizontal. Visibilitas pada lengkung horizontal dibatasi dengan perhitunggan gangguan seperti bangunan atau tepi jalan. Dua kasus akan dikemukakan : (1) Jika jarak pandang S kurang dari panjang lengkung L, yaitu, jika SL (gambar VIII.1298). M = jarak aman, ft, dari garis tengah jalan ke gangguan S = jarak pandang, ft, sepanjang garis tengah jalan; R = jari-jari kurva garis tengah, ft; D = derajat hubungan dari kurva.
Gambar VII.10. Total jarak pandang menyalip untuk jalan raya dua jalur. 23
Besar jarak pandang bukan merupakan garis hubung AB; busur yang dibentuk oleh garis ini menyatakan bagian melintang dari kendaraan, karena bagian ini merupakan jarak untuk berhenti yang dapat digunakan. Pada bagian ini mempunyai jari-jari 6ft lebih pendek dibanding dengan jari-jari dari garis tengah yang digunakan dalam rumus berikutnya. Pemotongan sebanyak 6 ft dari nilai M yang telah dihitung dilakukan untuk mendapatkan akurasi yang lebih baik. Bagaimanapun juga, penganggapan yang dibuat bahwa garis AC = ½ S dimaksudkan untuk mengkompensasi perbedaan ini.
Kasus 1. S < L Dari gambar 97 AC 2
AD 2
AD 2
R2
M 2 , dan
R M
(a)
2
(b)
Masukkan (b) ke (a), dan tentukan AC = ½ S, kemudian dikurangkan, kita dapatkan
R
S2 , dan 8M
(VII.42)
S2 = 8R x M
(VII43)
Gambar VII.11. Jarak pandang disekitar lengkung horisontal dimana S < L
Nilai M yang lebih tepat dapat dicari. Karena cos
R M , R 24
Kita mendapatkan M = R(1 - cos ) = R vers , Dalam hal ini
(VII.44)
= (S/200) x D
Contoh 1. Jarak aman terhadap bangunan adalah 30ft dan jarak pandang yang diinginkan ketika melewati kurva horizontal adalah 600ft. Dicari : radius kurva minimal. Penyelesaian. Menggunakan persamaan (VII.42)
600 600 8 30
R
1,500 ft
Contoh 2. Diberikan D = 4o dan S = 1,000ft. Dicari : Jarak aman terhadap bangunan. Penyelesaian. (a) menggunakan persamaan (VII.43)
M
1,000 1,000 8 1,432
87 ft
(b) Menggunakan persamaan (168) M = 1,432 x vers 20o = 86ft.
Kasus 2. S > L. Pada gambar 98, Jarak pandang bertampalan dengan kurva pada jarak tangen d ft pada titik kurva, sehingga S = L +2d, atau d = ½ (S – L). Pada segitiga ACD, ADO, dan AEO,
AC AD
AO
2
2
2
AD AO
AE
2
2
2
M 2,
(a) 2
R M ,
R2
(b) (c)
25
Gambar VII.12. Jarak pandang disekitar lengkung horisontal dimana S > L Masukkan AE = d = ½ (S – L) pada persamaan (c) dan masukkan ke persamaan (b), kita peroleh
AD
2
1 S 4
L
2
R2
R M
2
(d)
Masukkan persamaan (d) ke (a), kemudian dikurangkan, kita peroleh
AC
2
1 S 4
L
2
2 RM
(e)
Masukkan AC = ½ S ke persamaan (e) dan dikurangkan, kita peroleh
M
L 2S L 8R
(VII.45)
VII.4.5. Jarak Pandang Pada Lengkung Vertikal. Persamaan untuk jarak pandang pada lengkung vertikal diatas puncak dibagi menjadi dua kasus : (1) jika jarak pandang S seluruhnya berada di kurva ( S < L ); (2) jika jarak pandang bertampalan dengan kurva dan diperpanjang hingga tangen ( S > L ). Pada gambar 99, S = (d1 + d2), ft; h1, h2 = ketinggian garis pandang (ft) diatas jalan, h1untuk mata pengendara dan h2 untuk objek atau bahaya pada lajur jalan.
26
Gambar VII.13 Jarak pandang pada lengkung vertikal dimana S < L
L, A, dan e merujuk pada kurva vertikal (parabola) dan mempunyai arti umum seperti pada bab 5, kecuali bahwa L diukur dalam feet (tergantung stasion) dan nilai absolute (bukan nilai negatif) yang digunakan untuk A, dimana A = selisih nilai aljabar dalam persen. Sehingga, e = AL/800. Kasus 1. S < L. Dengan hukum parabola, besaran offset berubah menurut kuadrat jaraknya. Oleh karena itu, dari gambar 99, kita dapatkan e = k ( ½ L)2
(a)
h1 = k (d1)2 ; h2 = k (d2)2
(b)
Membagi (b) dengan (a) memberikan 4 d1 L2
2
h1 4 d 2 ; e L2
2
h2 ; e
(c)
Karena e = AL/800, penyelesaian persamaan (c) untuk d1 dan d2, dan ditambahkan,kita peroleh
S
d1
d2
2h1
100 L A
2h2
(d)
Kemudian
S2A
L 100
2h1
2h2
2
(VII.46)
Dimana L adalah panjang kurva vertikal untuk jarak pandang S pada beragam nilai A. Jika h1 = h2 = 3.75ft (kondisi menyalip), ( S < L ),
27
S2A 3,000
L
(VII.47)
Jika h1 = 3.75ft, h2 = 6 inci = ½ ft (kondisi berhenti), (S < L),
L
S2A 1,400
(VII.48)
Kasus 2. S > L. pada gambar 100, menganggap nilai skalar g2, kita dapatkan 1 L 100 2
S
h1 g1
h2 g2
(a)
Untuk nilai A yang menyebabkan nilai S minimum, kemiringan pada g2 akan sama dan berkebalikan dengan kemiringan g1.
Gambar VII.14. Jarak pandang pada lengkung vertikal dimana S > L.
Dengan menetapkan nilai turunan pertama S = 0, kita peroleh h1 g1
h2 2
g2
h2 h1
0, atau g 2
2
g1
Selanjutnya, A (nilai skalar) = g2 +g1 =
h2 h1
1
g1
h1
h2 h1
g1
(b)
Lalu,
g1
h1 h1
h2
A; g 2
h2 h1
h2
A
(c)
Masukkan (c) ke (a) dan dikurangkan, kita dapatkan
28
S
100 h1 1 L 2 A
2
h2
(d)
Dimana
L
2S
200 h1
h2
2
(VII.49)
A
Jika h1 = h2 = 3.75ft (kondisi menyalip), S > L,
L
2S
3,000 A
(VII.50)
Jika h1 =3.75ft, h2 = 6inci = ½ ft (kondisis berhenti), dimana S > L,
L
2S
1,400 A
(VII.51)
TABEL A. JARAK PANDANG PADA LENGKUNG VERTIKAL CEMBUNG. Henti: h1 = 3,75 ft; h2 = 0,50 ft Kecepatan rencana Jarak pandang ( mph ) ( ft ) 30 200 40 275 50 350 60 475 70 600 80 750
Mendahului :h1 = 3,75 ft h2 = 4,00 ft Kecepatan rencana Jarak pandang ( mph ) ( ft ) 30 800 40 1.300 50 1.700 60 2.000 70 2.400
29
Gambar VII.15. Jarak pandang mendahului untuk lengkung vertikal cembung.
Gambar VII.16. Desain kontrol untuk lengkung vertkal cembung.
30
Gambar VII.17. Jarak pandang sekitar lengkung horisontal dimana S < L
VII.4.6. Lengkung Vertikal Cekung. Pada saat ini ( kebijakan AASHO ), tidak ada satu kriteria tunggal yang digunakan secara luas untuk menetapkan panjang dari lengkung vertikal cekung. Paling sedikit terdapat 4 kriteria yang dikenal. Yaitu (1) jarak sinar lampu depan, (2) kenyamanan pengendara, (3) kontrol drainase, (4) aturan untuk kenampakan umum. 1. Jarak Sinar Lampu Depan. a. S < L. Pada gambar 104, lampu depan kendaraan (mobil di O) dianggap 2.0 ft diatas jalan, dan sinar lampu mempunyai sudut buka 1o dari horizontal. Tangen pada kurva parabola OB adalah OV dan VB, dan OVD merupakan sumbu datar acuan. S adalah jarak pandang dari O ke perpotongan antara sinar lampu dan permukaan jalan (di B’) Karena A/100 = Selisih tinggi per ft dari garis kemiringan VD dan VB, maka (gambar 104)
DB
A L 100 2
(a)
31
Gambar VII.19. Jarak sinar lampu dimana S > L
Demikian pula berdasarkan hukum offset,
DB
S L
2
S L
DB
2
AL 200
S 2A 200 L
(b)
Karena tan 1o= 0.0175, DB
2.0 0.0175S
(c)
Menyusun persamaan (b) dan (c) dan dikurangkan, kita dapatkan
S2A 400 3.6S
L
(VII.52)
Dimana L dan S dalam feet dan A = g2 – g1 (nilai mutlak) b. S > L. Pada gambar 105, OV dan VB merupakan tangen dari parabola OB, Jika VB diperpanjang ke VB’, dimana B’ merupakan perpotongan sinar lampu dengan permukaan jalan, kemudian DB
A S 100
L 2
Juga, D’B’ = 2.0 + 0.00175 S
(a) (b)
Susun persamaan (a) dan (b) dan dikurangkan, kita dapat 32
L
2S
400 3.5S A
(VII.53)
Gambar VII.20 .Lengkung cekung berdasarkan faktor kenyamanan.
2. Efek kenyamanan terhadap perubahan arah vertikal lebih jelas terasa pada kurva vertikal cekung dibanding cembung karena gaya gravitasi dan sentrifugal lebih tergabung daripada gaya-gaya lainnya. Efek ini pada saat ini belum terukur namun kesimpulan kasar oleh AASHO meyatakan bahwa berkendaraan lebih nyaman pada kurva vertikal cekung jika percepatan sentripetal tidak lebih dari 1 feet per detik per detik. Misalkan V = kecepatan yang direncanakan, mph, sedangkan panjang kurva L dan jari-jari R dalam feet. (gambar 106). Dengan dasar bahwa percepatan sentripetal = 1, kita peroleh (dengan v = ft/det)
v2 R
1
44 30
2
V2 R
2.151
V2 R
(a)
Dalam hal ini, R = 2.151 V2
(b)
Karena secara praktek parabola serupa dengan lingkaran dengan jari-jari R, L = R = 2.151V2 Dimana
(c)
adalah sudut pusat dalam radians.
Dan juga,
33
A ( gambar106) 100
(d)
Masukkan (d) ke (c), kita peroleh
L
2.151V 2 100
A
V 2A 46.5
(VII.54)
Tugas : Dosen memberikan tugas kepada para mahasiswa/setiap regu untuk mendiskusikan masing=masing satu topik dari elemen-elemen keselamatan dan kenyamanan dalam transsportasi dan menyimpulkan kelemahan dan keuntungan masingmasing.
Latihan : Mahasiswa diminta untuk menghitung elemen-elemen geometris dari setiap kasus /macam tindakan untuk keselamatan lalulintas seperti super elevasi, lengkung peralihan, jarak pandang henti dan menyiap pada lengkung horisontal dan vertikal.
Rangkuman : Elemen-elemen keselamatan dalam transportasi antara lain : super elevasi., busur peralihan (spiral) jarak pandang henti dan menyiap baik dalam lengkung horisontal dan vertikal, pelebaran pada tikungan, pelebaran perkerasan dll, merupakan hal yang sangat penting terutama dalam hal laulitas yang cepat, agar pengendara merasa aman dan nyaman.
Referensi 1. Dirjen Bina Marga, 1990, Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota, Departemen Pekerjaan Umum 2. Hickerson, T.F., 1964, Route Location and Design, Fifth Edition, Mc. Graw-Hill Book Company, New York. 3. Kavanagh,B.F.,1997. Surveying with Construction Application, Prentice Hall Inc, New Jersey. 4. Meyer, C.F., 1970, Route Surveying, Mc Graw-Hill Book Company, New York. 5. Tumewu, L,1977, Route Survey, Departemen Geodesi FTSP-ITB, Bandung.
34
35