BAB VI RESEPSI MASYARAKAT TERNATE MENGENAI KEKERASAN ORANG TUA TERHADAP ANAK DALAM CERITA RAKYAT TOLIRE GAM JAHA DI TERNATE
Teori resepsi sastra beranggapan bahwa pemahaman tentang sastra akan lebih kaya jika karya itu diletakkan dalam konteks keragaman yang dibentuk, kemudian dibentuk kembali dari zaman ke zaman oleh berbagai generasi pembaca. Dengan begitu, dalam pemahaman terhadap suatu karya sastra terkandung dialog antara masa kini dan masa lalu. Jadi, ketika membaca suatu teks sastra, tidak hanya belajar tentang apa yang dikatakan teks itu, tetapi yang lebih penting juga belajar tentang apa yang dipikirkan tentang diri sendiri, harapan-harapan, dan bagaimana pikiran kita berbeda dengan pikiran generasi lain sebelumnya. Sejarah resepsi meneliti bagaimana sebuah teks atau sekelompok teks, sejak diterbitkannya, diterima, dan bagaimana reaksi pembaca atau sekelompok pembaca. Jadi, dalam sejarah resepsi ada dua aliran: yang satu berkiblat kepada teks sendiri, yang lain meneropong para pembaca. Kedua aliran tersebut mempelajari hubungan antara teks dan pembaca (Luxemburg, Ball, Weststeijn, 1989:78) Di sini bagaimana reaksi pihak pembaca dalam hal ini masyarakat Ternate memaknai serta menghayati berdasarkan pengalaman pembaca terhadap cerita rakyat Tolire Gam Jaha pembacaannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh pembaca teks, yaitu masyarakat Ternate dan cerita Tolire Gam
81
82
Jaha sebagai bahan, yang dijadikan teks dengan pengertian dan pengalaman serta penghayatannya. Ekspresi masyarakat Ternate pada masa lampau, umumnya disampaikan secara lisan. Sepanjang sejarahnya, manusia selalu berkomunikasi dan berekspresi sebagai salah satu manifestasi eksistensi diri dan kelompok sosial yang ada di Maluku Utara. Hal ini terjadi karena pada masa lalu belum dikenal tulisan, sehingga ekspresi secara lisan merupakan satu-satunya sarana paling efektif untuk memaknai cerita lisan tersebut. Cerita rakyat Tolire Gam Jaha kini dikenal sebagai
karya
sastra
pun
diekspresikan
secara
lisan
dan
mengalami
perkembangan, yaitu diwariskan dalam bentuk tertulis (dalam buku Muatan Lokal pada SD yang tersebar di Kota Ternate). Oleh karena itulah, cerita rakyat dapat dimaknai sebagai cerita dari zaman dahulu di kalangan rakyat dan diwariskan, baik secara lisan maupun tulisan. Pewarisan yang dilakukan, baik secara lisan maupun tulisan oleh para penutur dalam cerita rakyat Tolire Gam Jaha menyajikan pelanggaran normanorma yang berhubungan dengan renungan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Ternate. Pelanggaran norma yang terekam dalam cerita rakyat ini di dalamnya memiliki pengaruh yang amat besar pada masyarakat Ternate, yaitu pelanggaran dalam norma agama dan masyarakat. Pada Bab IV telah dijelaskan bahwa masuknya agama Islam merupakan hal yang tidak terlalu sulit bagi komunitas masyarakat adat Moloku Kie Raha dalam hal penyesuaian nilai-nilai budaya yang mengatur hubungan sosial dan produk hukum adat secara turun temurun dari para leluhur untuk mengikuti
83
doktrin dan syariat agama Islam. Hal ini disebabkan oleh sebelum masuknya ajaran agama Islam di daerah ini, telah berlaku produk hukum adat yang mengatur hubungan antar sesama manusia dalam hubungan relasi sosial, manusia dengan lingkungan alam, dan manusia dengan sang Pencipta melalui simbol-simbol yang berbau mistik dan bersifat holistik. Namun dalam tataran praksis tidak terlalu berbeda dengan syariat Islam dan prinsip-prinsip semua ajaran agama dan kepercayaan (Dinsie & Thaib, 2008:50). Agama Islam sebagai ideologi pada tataran masyarakat Ternate berfungsi sebagai proses awal pembentukan indentitas. Identitas tersebut telah memberikan kesadaran untuk memercayai segala kebenaran yang disampaikan oleh penyebar agama Islam zaman dulu. Masyarakat Ternate sudah mempunyai kesadaran tentang identitasnya mengenai agama Islam, maka komitmennya pada agama Islam tidak akan diragukan lagi. Masalah komitmen di antara anggota masyarakatnya
dapat
dilihat
pada
keseharian
ataupun
perilaku
yang
mengidentikkan perlawanan antara yang baik dan jahat. Seperti yang diungkapkan oleh An-Nabhani (2007:7) bahwa bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang hidup, alam semesta, dan manusia, serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya. Agar manusia mampu bangkit harus ada perubahan mendasar dan menyeluruh terhadap pemikiran manusia dewasa ini, untuk kemudian diganti dengan pemikiran lain. Hal itu penting, pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat persepsi terhadap segala sesuatu. Di samping
84
itu, manusia selalu mengatur tingkah lakunya dalam kehidupan ini sesuai dengan persepsinya terhadap kehidupan. Penerimaan masyarakat Ternate terhadap Islam sebagai agama yang telah mengakar kehidupan masyarakat, baik saat Islam baru masuk maupun pada zaman sekarang. Masyarakat Ternate pun telah mengenal suatu produk adat yang mengatur segala hubungan di dalam masyarakat dan norma-norma yang telah ada. Norma-norma adat dan agama masih harus dijaga sangat ketat dan dilestarikan. Dengan demikian, jika terjadi suatu pelanggaran yang menyalahi persepsi masyarakat Ternate, sangat besar memberikan dampak yang negatif. Dalam cerita Tolire Gam Jaha digambarkan norma-norma yang dilanggar oleh pelaku-pelaku dalam cerita tersebut. Pelanggarannya adalah norma-norma yang tidak sesuai dengan adat dan agama Islam yang ada di Ternate. Dalam pemahaman masyarakat Ternate bahwa Islam memerintahkan para pengikutnya untuk menjauhi banyak hal. Beberapa dari perintah tersebut adalah haram lantaran bertentangan dengan doktrin-doktrin yang harus diyakini oleh seorang muslim. Beberapa dari perintah tersebut dilarang (haram) karena bersifat tidak bermoral atau tidak etis dan tidak sehat atau hal tersebut karena melambangkan pembangkangan terhadap tugas-tugas ritual. Larangan-larangan ini dipandang dalam Islam sebagai perintah-perintah dan larangan tersebut bermakna perbuatan dosa. Beberapa diantaranya yang bisa ditarik dalam penelitian ini bahwa dalam cerita rakyat Tolire Gam Jaha adalah larangan minuman keras, larangan berzina, larangan inses, dan larangan melakukan sesuatu/hal yang berlebihan.
85
6.1 Larangan Berzina Zina adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan, di luar ketentuan agama. Perbuatan zina adalah perbuatan dosa besar yang membawa kepada kekufuran. Perbuatan zina selain telah menzalimi Allah juga telah menzalimi dan merusak diri sendiri dan orang lain. Selain itu, akan membawa pada kehidupan gelap spritual. Zina juga diartikan sebagai perbuatan seks yang dilakukan di luar nikah atau free sex dan Allah telah menjanjikan kesengsaraan, baik di dunia maupun di akhirat. Seks yang dilakukan di luar nikah sangat berbahaya karena saat ini terdapat banyak penyakit kelamin yang ditimbulkan karena seks bebas (Subhi & Taufik, 2004:207--208). Zina yang dimaksudkan di atas adalah dua orang yang bukan suami istri, melakukan hubungan yang dihalalkan khusus untuk pasangan suami istri atau bisa dikatakan persetubuhan antara pria dan wanita yang tidak memiliki ikatan perkawinan yang sah menurut agama. Berzina dapat diibaratkan seperti memakai barang yang bukan menjadi hak miliknya. Islam memandang perzinaan sebagai dosa besar yang menimbulkan kesengsaraan, baik di dunia maupun di akhirat yang dapat mengakibatkan penyakit kelamin. Hal tersebut dapat dilihat pada ayat Alquran berikut ini. “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiaptiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin,” (an-Nuur: 2-3).
86
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” (al-Israa’: 32) (Internet dalam Larangan berzina, 2009). Penjelasan ayat di atas merupakan ancaman keras bagi pelaku zina, seperti yang tertera pada ayat di atas karena dalam pandangan Islam, zina merupakan perbuatan tercela yang menurunkan derajat dan harkat kemanusiaan secara umum. Apabila zina tidak diharamkan, niscaya martabat manusia akan hilang karena tata aturan perkawinan dalam masyarakat akan rusak. Di samping itu, pelaku zina berarti mengingkari nikmat Tuhan (Allah) tentang kebolehan dan anjuran Allah untuk menikah. Dalam penjelasan ayat Alquran berikutnya dinyatakan bahwa Islam melarang untuk melakukan perbuatan zina. Jangankan melakukannya, mendekati saja sudah tidak boleh. Tentunya perintah untuk tidak mendekati dan melakukan perbuatan zina bukanlah tanpa sebab. Perbuatan zina merupakan sebuah perbuatan yang keji, yang dapat mendatangkan kemudaratan, bukan hanya kepada pelakunya, melainkan juga kepada orang lain. Cerita Tolire Gam Jaha termasuk perbuatan zina yang dilakukan oleh ayah dan anak yang secara hukum, baik adat maupun agama setempat dilarang. Tokoh cerita berstatus sebagai ayah dan anak bukan suami istri yang tidak pantas melakukan hubungan seksual. Hubungan seksual yang dipandang oleh masyarakat Ternate yang berpedoman pada aturan Islam bahwa tidak boleh melakukan hubungan seksual di luar nikah. Pemahaman masyarakat Ternate tentang hal yang terlarang ini telah ada sejak zaman dahulu. Walaupun ada hukum daerah ataupun hukum negara yang
87
mengatur, masyarakat Ternate sangat memercayai hukum alam yang diturunkan dari Tuhan (Allah SWT) jika larangan berzina itu tetap saja dilakukan oleh tiap penduduk yang berada di Ternate. Hukum alam ini berupa tanda-tanda alam yang berkecamuk, yaitu bencana alam gunung berapi dari Gunung Gamalama (gunung yang berada di Ternate). Bencana alam ini sudah lama dibaca oleh masyarakat Ternate sebagai suatu pengetahuan agama yang menjadi dasar untuk berpegang kepada larangan berzina ini. Hal itu dilihat dari kutipan wawancara dengan informan di bawah ini. “Masyarakat tempo dulu taat terhadap adat dan aturan. Ketaatan mereka pada hukum adat dan agama sehingga jika mereka melakukan pelanggaran, mereka akan mendapat murka Allah. Saat ini banyak hukum yang terbentuk, hukum nasional, dan hukum daerah. Tapi banyak orang melakukan pelanggaran-pelanggaran tapi hukum Allah (larangan berzina) atau murka Allah turun beda. Pada zaman dahulu kalau dilanggar langsung ditegur. Tapi pada zaman sekarang memang ada teguran yang Allah turunkan, seperti keadaan alam yang langsung berkecamuk. Seperti banjir lahar yang keluar kemudian dikaitkan dengan pelanggaran asusila (di Tafure/nama sebuah kampung di Ternate). Ternyata itu masih ada sampai sekarang (Wawancara Ridwan Dero, 13 Maret 2013). Dari pernyataan di atas dapat dilihat bahwa informan sebagai pembaca melihat sepanjang zaman tentang pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Ini yang disebut sebagai resepsi diakronis, yaitu merupakan bentuk penelitian resepsi yang melibatkan pembaca sepanjang zaman (2009:167-168). Informan membedakan bahwa pandangan masyarakat Ternate zaman dulu dan zaman sekarang terhadap larangan berzina dianggap sudah jauh berbeda oleh Ridwan Dero. Dahulu hanya hukum adat dan agama yang hidup di tengah masyarakat Ternate, tetapi tetap dipatuhi dan tetap dilaksanakan. Dengan demikian, dipercayai jika masyarakat
88
Ternate melakukan satu kesalahan terutama dalam hal berzina, maka teguran Allah langsung datang pada masyarakat Ternate. Berbeda halnya dengan zaman sekarang ada hukum negara, hukum daerah, dan hukum agama, tetapi terjadi kelonggaran dalam hal kepercayaan pada masyarakat Ternate. Artinya, tanda-tanda alam berupa berkecamuknya alam dianggap hal biasa. Misalnya salah satu perbuatan asusila yang dilakukan oleh ayah dan anak (inses) di salah satu kelurahan di kota Ternate yaitu Kelurahan Tafure. Sebelum kejadian tersebut terungkap terjadi gejolak alam berupa banjir lahar yang melanda daerah yang tidak jauh dari tempat tinggal kedua pelaku yang melakukan penyimpangan seksual tersebut. Tanda-tanda alam yang terjadi pada zaman sekarang akibat zina ini sudah menjadi hal biasa. Faktor pendidikan masyarakat Ternate menjadikan pergeseran pemikiran ini. Tanda-tanda alam dalam yang terjadi berupa bencana alam dalam pandangan masyarakat Ternate merupakan hal yang seharusnya tidak terjadi karena merupakan larangan. Dalam cerita Tolire Gam Jaha, dikisahkan pula terjadi bencana alam sehingga menenggelamkan penduduk Desa Tolire, hal itu dipercayai sebagai peringatan atau hukuman dari Allah. Perbuatan penyimpangan seksual dalam cerita Tolire Gam Jaha dianggap zina dan terlarang, seperti dapat dilihat pada pernyataan informan dalam wawancara berikut ini. “Pada saat perbuatan asusila itu terjadi sampai selesainya perbuatan yang tak bermoral itu, tiba-tiba di sekitar acara itu muncul sebuah mata air yang airnya mengalir tiada henti. Seorang perempuan yang termasuk penduduk Desa Tolire mengambil sebuah tempurung untuk menutup. Mata air itu lama-kelamaan semakin besar dan meluap di sekitar desa atau tempat acara itu. Sampai mendekati pagi harinya atau tepatnya pada subuh hari, seekor ayam berkokok dan mengeluarkan suara manusia dan mengatakan Tolire Ma Gam Jaha (Tolire kampung yang tenggelam), kemudian ada
89
seorang perempuan yang mendengar sahutan ayam itu” (Wawancara, Mumahamad Naser 7 Februari 2013). Menurut pernyataan di atas dari cerita rakyat Tolire Ga Jaha dapat dikemukakan mengeluarkan tanggapan tentang bencana alam yang ada hubungannya dengan perbuatan zina antara ayah dan anak. Masyarakat menginterpretasi bahwa cerita rakyat Tolire Gam Jaha yang di dalamnya ada bencana alam merupakan peringatan bahwa berzina itu dilarang apalagi berzina dilakukan oleh kerabat dekat semisal ayah dan anak gadisnya. Bencana alam disebut sebagai tindakan Allah walau pun kebanyakan bencana alam adalah akibat dari hukum-hukum alam ini. Setidaknya kembali menyalahkan bahwa bencana alam itu terjadi akibat perbuatan manusia yang menyalahi hukum-hukum agama atau perbuatan asusila yang tidak digubris. Dalam kutipan wawancara di atas disebutkan ada seorang perempuan yang mendengarkan kokok ayam memberitahukan kepada penduduk kampung, bahwa akan terjadi suatu bencana, yaitu Tolire yang akan tenggelam. Pemberitahuan yang bermakna sebagai bentuk peringatan adalah sebuah penafsiran teologis. Pada sisi lain, terdapat makna yang di dalamnya terkandung ajakan untuk lebih menunjukkan komitmen berbenah diri bahwa perbuatan asusila itu tidak boleh terjadi lagi.
6.2 Larangan Inses Berdasarkan pengertian inses pada Bab V bahwa insest adalah tindakan hubungan seksual dengan seseorang yang berasal dari keluarga dekat, misalnya antara ayah dan anak gadisnya, ibu dan anak laki-lakinya atau di antara saudara
90
sekandung. Inses yang dilakukan dalam cerita Tolire Gam Jaha dilakukan secara sukarela. Walaupun dalam melakukan perbuatan asusila itu, ayah dan anak gadis melakukan secara tidak sadar dikarenakan di bawah pengaruh minuman keras. Kontak seksual ini dilarang, baik secara agama maupun secara budaya. Terlepas dari apakah dilakukan dengan sukarela atau terpaksa, dampak dari inses ini adalah rusaknya makna bapak, ibu, anak, saudara, paman, bibi, dan seterusnya. Tindakan ini tidak saja haram, sebagaimana haramnya perzinaan, tetapi juga merupakan tindakan asal yang sangat keji. Inses ini bukan saja terkena keharaman zina, melainkan juga keharaman hubungan seksual dengan mahram. Dengan kata lain, tindakan inses ini bisa dikatakan telah melakukan dua keharaman sekaligus: keharaman zina dan keharaman menodai hubungan darah (mahram) (Internet dalam Soal Tanya Jawab Inses, 2009). Dapat dikatakan bahwa perbuatan inses dalam cerita Tolire Gam Jaha adalah suatu penyimpangan seksual, pelampiasan hawa nafsu seksual dari seorang ayah yang sasarannya adalah anggota keluarganya sendiri, yaitu anak gadisnya. Kebanyakan masyarakat Ternate sepakat bahwa tidak ada satu pun suku bangsa di dunia ini yang membenarkan dan mengizinkan hubungan seksual atau perkawinan di antara keluarga dekat. Wawancara dengan Idhar Anwar setidaknya dapat membantu untuk mengintrepretasikan makna bahasa dalam versi lain cerita Tolire Gam Jaha yang terkandung dalam kalimat yang terekam pada wawancara berikut ini. “Awalnya dikisahkan acara salai jin, anak, dan ayah melakukan perbuatan asusila. Dikisahkan ada seorang budak yang bekerja pada fanyira yang menggerutu karena telah melihat perbuatan yang tidak sesuai dengan norma adat dan agama, kemudian sambil berjalan ke arah selatan tepatnya
91
tiba di Kelurahan Sulamadaha pada saat bersamaan kampung Tolire pun tenggelam, budak tersebut pun berubah menjadi batu. Batu tersebut dipercayai masyarakat setempat sering mengeluarkan suara yang menandakan marahnya sang budak karena mengetahui sendiri perbuatan zina dari sang ayah dan anak tersebut sehingga dinamakan dengan marikrubu. Mari yang artinya adalah batu dan krubu yang artinya marah”(Wawancara 7 Februari 2013). Pernyataan di atas menerangkan bahwa menjelmanya budak menjadi batu yang tiap saat selalu marah bisa diintrepretasikan sebagai ketidaksetujuannya terhadap perbuatan majikannya. Pemenuhan seksual yang dilakukan dari seorang fanyira (kepala kampung) terhadap anak gadisnya dianggap bentuk penolakan terhadap perbuatan inses ini. Cerita Marikrubu yang ada kolerasinya dengan cerita rakyat Tolire Gam Jaha bisa menjadi simbol larangan inses bagi masyarakat Ternate. Fakta adanya inses dapat mendatangkan kerugian yang besar pada keturunan yang akan dihasilkan dari hubungan itu. Inses sebenarnya dapat merupakan tanda atau gejala dari adanya suatu masalah dalam kehidupan rumah tangga, misalnya si istri sakit. Jadi, dalam arti tertentu insest dapat disebut sebagai akibat dari keadaan dalam rumah tangga itu. Atau bisa juga karena adanya dorongan seksual yang meletus (dorongan impulsif), yakni dorongan yang sangat kuat dan tak tertahankan lagi sehingga daya akal budi si pelaku menjadi gelap. Dia tidak bisa memandang lagi siapa pun orang itu, dan apabila hal ini terjadi, maka akan merugikan, baik pelaku maupun orang yang menjadi korban. Di berbagai masyarakat di dunia larangan inses dalam kenyataan konkret tergantung dari tradisi budaya dan kadang kala larangan itu lebih berciri adat kebiasaan daripada hukum normal. Akan tetapi, dengan adanya ciri itu, pelanggaran
92
terhadap larangan inses biasanya dipandang sebagai pelanggaran sangat berat, khususnya bila hal ini terjadi di antara kakek-nenek, orang tua dan anak, dan antara saudara-saudari (Internet dalam Tanya Jawab Iman, 2011). Inses dalam cerita Tolire Gama Jaha ini dianggap suatu perbuatan cela dan menjadi sandungan bagi masyarakat. Perbuatan itu semata-mata karena kegilaan nafsu manusia (sang ayah) tanpa memandang siapa orang itu (anak gadisnya). Nafsu dan dorongan yang tak teratur dari sang ayah menutup segala pikiran yang benar dan tidak memandang lagi siapa yang dihadapinya. Di samping itu, perbuatannya bukan hanya tidak berkenan di hadapan manusia, tetapi dianggap sangat melanggar norma-norma dalam berkehidupan dalam masyarakat Ternate yang berlatar belakang Islam. Dalam Islam dipandang sangat tidak bermoral. Bukan hanya Islam yang melarang, melainkan agama dan budaya yang ada di dunia mana pun menganggap inses sebagai perbuatan yang terlarang. Berikut kutipan tulisan yang memuat ketidaksetujuan atau larangan masyarakat Ternate oleh Maluku Utara Pos pada awal tahun 2013. ”Hubungan sedarah inses yang dilakukan Salim terhadap anak kandungnya NR, memang tabu dan sulit diterima. Akibat perbuatan itu, warga Kelurahan Tafure, Ternate Utara (bukan Ternate Tengah seperti yang diberitakan sebelumnya, red), di mana Salim tinggal di lingkungan mereka. Warga tidak bisa menerima perbuatan Salim. Ketua RT setempat, H Idris mengatakan seluruh warga di lingkunngannya bersepakat tidak lagi menerima Salim untuk kembali ke rumahnya. Mereka ingin Salim mencari lingkungan lain sebagai tempat tinggal. Salim yang dipecat sebagai Pegawai Negeri Sipil (diketahui bahwa Salim adalah PNS di lingkungan Diknasbud). Sekretaris Dinas Pendidikan dan kebudayaan Kota Ternate, Muhdar Din mengatakan, dari sisi agama perbuatan oknum pegawai tata usaha tersebut, dilarang oleh agama. Dalam artian perbuatan lain masih bisa diampuni. Namun, melakukan hubungan badan dengan darah daging sendiri, menurut Muhdar sulit diampuni.” (Malut Pos hal 1, tanggal 15 Januari 2013).
93
Dari pernyataan di atas dapat dilihat bahwa sebagai salah satu contoh kisah yang sama dengan cerita rakyat ini yang termuat dalam koran Malut Pos, terdapat sebuah kasus inses yang dilakukan oleh ayah dan anak gadisnya di salah satu kelurahan di Kota Ternate. Perbuatan inses ini dilakukan pula secara sukarela. Perbuatan inses itu disembunyikan secara rapat oleh kedua pelaku insest sampai telah melahirkan anak yang sekarang duduk di bangku SD. Namun, pada akhirnya terbongkar perbuatan asusila tersebut oleh masyarakat (Informasi didapatkan peneliti dari masyarakat Ternate). Menurut Levi-Strauss, aturan yang lebih fundamental dalam sistem kekerabatan tersebut adalah larangan insest (kawin dengan saudara kandung). Inses merupakan larangan yang bersifat universal, yang menurut Levi-Strauss, menjadi awal mula berkembangnya kehidupan yang berbudaya. Ada banyak upaya menerangkan sifat universal dari larangan inses, tetapi sejauh ini tidak ada yang memuaskan. Menurut teori biologis/eugenis, larangan inses didasari oleh alasan alamiah, yakni inses akan menghasilkan anak yang tidak sehat (Sutrino Mudji, 2005:135). Inses dalam cerita Tolire Gam Jaha walaupun dilakukan secara tidak sengaja, lebih dari itu inses juga dapat membongkar masalah kebudayaan dan kemanusiaan yang telah tumbuh di tengah masayrakat Ternate. Di satu sisi cerita inses ini juga menimbulkan persoalan yang sangat kompleks bagi anak cucu keturunannya (dibahas pada Bab VII). Jika kemudian terjalin sebagai ikatan perkawinan inses, maka mau tidak mau akan ditarik pada pembicaraan seputar
94
perkawinan
yang diatur oleh masyarakat Ternate yang berlatar belakang
beragama Islam. Berbicara tentang masalah perkawinan dalam masyarakat Ternate tidak bisa hanya dilihat dari aspek budaya, tapi harus dilihat dari sudut pandang agama dan perkawinan. Hal itu penting karena terus terbangun di kehidupan dalam lingkup budaya hingga diatur berdasarkan dugaan, dogma, suatu agama. Dalam Islam suatu dogma melalui ayat Alquran yang mempunyai aturan tentang wanitawanita yang boleh dinikahi/perkawinan oleh seorang laki-laki muslim. Berikut penjelasan dua ayat yang menerangkan aturan tersebut. “dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh) (An-Nisa ayat 22). ”diharamkan atas kamu (mengawini) ibuibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (An-Nisa ayat 23) (Internet dalam Muhamad Muafa, 2012). Menurut pernyataan ayat tersebut, tidak semua wanita yang boleh dinikahi dan sesukanya untuk dipilih dijadikan istri atau dengan kata lain wanita yang tidak boleh dinikahi adalah wanita yang masih termasuk ada hubungan darah atau lebih dikenal dengan muhrim. Ketentuan-ketentuan itu diatur berdasar nasab (keturunan) dan perbesanan di antaranya (a) bekas istri bapanya, (b) ibunya yang
95
melahirkan dia, (c) anaknya sendiri, (d) saudaranya sendiri, (e) saudara bapanya, (f) saudara ibunya, (g) anak dari saudara laki-lakinya, (h) anak dari saudara perempuannya, (i) perempuan yang pernah menyusui dia, (j) saudara sesusu, (k) ibu istrinya, (l) anak tirinya yang ibunya sudah dicampuri olehnya, (m) isteri anaknya sendiri, (n) saudara istrinya jika dia masih hidup. Ayat Alquran menyebutkan bahwa inses yang disurat An-nisa di atas sebagai bentuk larangan laki-laki dari hubungan seksual dengan ibunya, anak, saudara, bibi, dan keponakan.
Hubungan dengan ibu yang menyusui juga
dilarang. Semua agama tanpa dikomando menganggap praktik inses sebagai sesuatu yang terlarang. Demikian pula perasaan moral masyarakat secara kolektif, baik yang dibentuk oleh agama maupun yang dibentuk oleh akal budi, menolak praktik ini sebagai bentuk penyaluran naluri seksual manusia. Sekalipun argumen dan pendekatannya berbeda-beda, pembahasan inses dari sudut pandang agamaagama selalu berujung pada simpulan yang sama, yaitu dilarang. 6.3 Larangan Minuman Keras Minuman keras yang dikonsumsi dalam cerita rakyat Tolire Gam Jaha adalah saguer. Dikisahkan pelaku mengomsumsi saguer hal itu menyebabkan perbuatan asusila terjadi antara ayah dan anak. Sehingga menurut Ridwan Dero, minuman keras adalah sumber dari segala dosa. Beliau mengutip sebuah kisah dalam Islam sebagai berikut. “Inti penyebab dari cerita Tolire Gam Jaha ini adalah (1) minuman keras, (2) pesta pora yang berlarut-larut yang melampaui batas, tidak ingat lagi pada perintah Allah , salat lima waktu tidak dilaksanakan karena hidup dengan pesta pora ,(3) perbuatan asusila antara anak dan ayah maka terjadi peristiwa Tolire (Wawancara 4 Februari 2013)
96
“Dikisahkan,dahulu hiduplah seorang ahli ibadah yang selalu tekun beribadah di masjid, lanjut kutbah Khalifah Ustman. Suatu hari lelaki yang soleh itu berkenalan dengan seorang wanita yang cantik. Karena sudah jatuh hati, lelaki itu menurut saja ketika disuruh memilih antara tiga permintaannya, tentang kemaksiatan. Pertama minum khamar, kedua berzina, dan ketiga membunuh bayi. Mengira minum arak dosanya lebih kecil dari pada dua pilihan lain yang diajukan wanita pujaan itu, lelaki soleh itu lalu memilih minum khamar. Tetapi apa yang terjadi, dengan minum arak yang memabukkan itu malah dia melanggar dua kejahatan yang lain. Dalam keadaan mabuk dan lupa diri, lelaki itu menzinai pelacur itu dan membunuh bayi di sisinya. Karena itulah hindarilah khamar, kerana minuman itu sebagai biang keladi segala kejahatan dan perbuatan dosa. Ingatlah, iman dengan arak tidak mungkin bersatu dalam tubuh manusia. Salah satu di antaranya harus keluar. Orang yang mabuk mulutnya akan mengeluarkan kata-kata kufur dan jika menjadi kebiasaan sampai akhir ayatnya, ia akan kekal di neraka (Wawancara dengan Ridwan Dero 4 Februari 2013)”. Pernyataan di atas menjelaskan bahwa minuman keras (khamar) mengandung banyak bahaya dan kerugian (baik jasmani maupun rohani). Dalam pandangan Islam dampak kerusakan khamar dalam kehidupan manusia jauh lebih besar dari pada manfaat yang bisa diperoleh. Seperti halnya penjelasan kisah di atas, bahwa sang lelaki yang dikenal taat ibadah memilih minuman keras sebagai pilihan bahwa dia melakukan dosa kecil. Akan tetapi dia salah, karena pilihannya terhadap minuman keras selanjutnya dia melakukan dosa-dosa lainnya, yaitu berzina dan membunuh bayi. Cerita di atas senada dengan cerita Tolire Gam Jaha. Pandangan Ridwan Dero bahwa dalam Islam memandang minuman keras yang dikonsumsi oleh para tokoh yang dalam cerita Tolire Gama Jaha adalah sangat tidak baik. Menurut beliau, suatu perbuatan harus ada pencegahan atau larangan dan harus dikerjakan oleh masyarakat Ternate pada saat ini. Dalam peraturan Islam termuat dalam
97
Alquran tentang larangan minuman keras, yaitu dalam Alquran Surat Al Maidah ayat 90--91, sebagai berikut. “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).(Q.S.Al Maidah 90--91). (Internet dalam Sinopsis Al Quran Hadist). Kedua ayat ini menjelaskan bahwa minuman keras adalah perbuatan yang najis dan kotor disejajarkan dengan perbuatan yang sangat menjijikkan. Berjudi dan minuman keras adalah perbuatan setan dan perbuatan setan itu dianggap jahat dan berdosa. Berikutnya, ayat ini memberikan penekanan bahwa jika melakukan perbuatan tersebut, berarti telah memulai kehancuran di dunia dan akhirat. Sebaliknya, jika menjauhinya, maka akan mendapat keberuntungan. Selain itu, juga dijelaskan bahwa minuman keras dapat memulai permusuhan, penghalang dari mengingat Allah dan salat. Hasil wawancara dengan salah satu narasumber yang berprofesi sebagai khatib (imam mesjid di Desa Takome) yang berdekatan dengan lokasi Danau Tolire menyatakan seperti di bawah ini. “Minuman keras dipercayai bisa menghancurkan akidah Islam. Tapi masyarakat tidak mematuhi. Apa yang dikatakan para pendahulu bahwa Allah itu ada pada diri manusia tapi manusia tidak mau cari tahu. Tidak boleh Allah ada di sini (dalam diri), kalian berjalan karena Allah, melihat Allah, mendengar karena Allah, dan menyelam karena Allah, tapi mengapa dikatakakan bahwa minuman keras dilarang, tapi tetap saja tidak mendengar“ (Wawancara dengan Taher Drakel 18 Maret 2013).
98
Kutipan wawancara tersebut menandakan bahwa walaupun sudah ada pelarangan dalam agama Islam, masyarakat Ternate pada zaman sekarang masih saja mengonsumsi minuman keras yang dipercayai sebagai penghancur akidah/identitas agama Islam. Padahal, segala nikmat yang telah diberikan kepada diri manusia seperti nikmat melihat, mendengar, dan nikmat lainnya, tetapi tetap saja dilanggar dengan mengonsumsi minuman keras. Tanggapan informan ini senada dengan pernyataan Jauss bahwa pembaca berhak untuk memberikan penilaian terhadap karya sastra sesuai dengan pengalaman pembacaan setiap pembaca. Koherensi karya sastra sebagai sebuah peristiwa terutama dijembatani oleh horizon-horizon harapan, pengalaman kesastraan, dan horizon harapan pembaca, kritikus, dan pengarang (Internet dalam Ahmad, 2012). Pengalaman-pengalaman informan menyampaikan keadaan masyarakat Ternate, baik teks maupun konteks, yang dialaminya. Bagi informan, mengonsumsi minuman keras oleh masyarakat Ternate dilihat sebagai pelanggaran karena mayoritas masyarakatnya adalah beragama Islam. Aturan larangan itu tercantum dalam Alquran yang menjadi sumber pegangan masyarakat. Minuman keras dianggap sebagai suatu pemicu dari masalah-masalah lain yang merugikan. Setiap kali ada acara atau pesta, bahkan acara yang tidak penting sekali pun, minuman keras harus tersedia. Karena kuatnya kebiasaan itu, sebagian masyarakat Ternate sulit untuk menghilangkan kebiasaan minum minuman keras ini. Sebagian masyarakat memang menganggap mengonsumsi minuman keras merupakan sebuah kesalahan yang bertentangan dengan sikap
99
hidup yang dijalani, apalagi kebiasaan minum minuman keras ini justru melahirkan tindakan-tindakan yang merusak. Teks sastra dalam hal ini, cerita Tolire Gam Jaha dengan bertitik tolak pada masyarakat Ternate sebagai pembaca memberikan reaksi atau tanggapan terhadap teks Tolire Gam Jaha bahwa konsumsi minuman saguer/minuman keras ini adalah hal yang tidak baik dan terlarang. Kemudian, minuman keras dipercayai sebagai pemicu masalah-masalah yang terlarang lainnya, seperti penyimpangan seksual yang terjadi antara ayah dan anak.
6.4 Larangan Melakukan Sesuatu/Hal secara Berlebihan Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Pepatah sering diucapkan oleh tiap individu masyarakat mengenai suatu tindakan yang berlebihan dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan reaktif yang berlebihan seperti aturan dalam mengonsumsi makanan ataupun minuman harus ada batasannya. Sebagai contoh sederhana, jika makan jenis-jenis makanan tertentu menyebabkan naiknya berat badan, ataupun penyakit semacam kolesterol, atau diabetes. Kemudian tertawa dan contoh-contoh tindakan lain yang berlebihan dianggap akan melewati batas kewajaran dan menimbulakn hal-hal yang negatif lainnya. Tindakan berlebihan dalam cerita rakyat Tolire Gam Jaha adalah pesta pora yang berlarut dan minum minuman keras (saguer) secara berlebihan. Pesta dilaksanakan selama berhari-hari dan sampai pagi. Pesta yang diisi dengan minum minuman saguer menciptakan kesenangan pada tiap pelaksana penduduk di Desa Tolire. Kemudian, dalam konsumsi minuman saguer juga melampaui batas kewajaran sehingga menimbulkan ketidaksadaran dan hilangnya akal sehat
100
seorang ayah kepada anak gadisnya. Tindakan yang berlebihan ini diungkapkan oleh Ridwan Dero dalam kutipan wawancara sebagai berikut: “Inti dari penyebab cerita Tolire ini adalah (1) minuman keras, (2) pesta pora yang berlarut-larut yang melampaui batas, tidak ingat lagi pada perintah Allah , sholat lima waktu tidak dilaksanakan karena hidup dengan pesta pora, (3) perbuatan asusila antara anak dan ayah maka terjadi peristiwa Tolire” (Wawancara 4 Februari 2013). Ridwan Dero, melihat bahwa penyebab pertama terjadinya kejadian alam atau bencana alam di desa Tolire adalah minuman keras, dan pesta pora yang melampaui batas. Ridwan Dero menyinggung tentang perintah Allah dalam hal ini adalah salat lima waktu yang tidak dilaksanakan karena pelaksanaan pesta yang membuat penduduk Tolire lupa akan kewajiban yang dianutnya. Dalam cerita juga disebutkan waktu pemberitahuan (bahwa Desa Tolire mau tenggelam) oleh kokok ayam yang bersuara seperti manusia, yaitu pada waktu subuh. Akan tetapi, karena tiap penduduk larut dalam kesenangan yang dianggap berlebihan itu tidak mengindahkan suara kokok ayam itu. Tindakan mengindahkan” di atas bisa disebut bagai reaksi terhadap kesenangan yang diperoleh lewat pesta yang dilaksanakan dan minuman keras yang dikonsumsinya. Kesenangan untuk mencapai kepentingan kepuasan diri setiap penduduk. Aristippus melihat kesenangan sebagai hal aktual, artinya kesenangan terjadi kini dan di sini. Kesenangan bukan sebuah masa lalu atau masa depan. Menurutnya, masa lalu hanya ingatan akan kesenangan (hal yang sudah pergi) dan masa depan adalah hal yang belum jelas. Meskipun kesenangan dijunjung tinggi oleh Aristoppus, ada batasan kesenangan itu sendiri. Batasan itu berupa pengendalian diri. Meskipun demikian, pengendalian diri ini berarti meninggalkan
101
kesenangan (Bertens, 2000:235-238). Misalnya, orang yang sungguh-sungguh mau mencapai nikmat sebanyak mungkin dari kegiatan makan dan minum tidak dengan
cara
makan
sebanyak-banyaknya
atau
rakus,
tetapi
harus
dikendalikan/dikontrol agar mencapai kenikmatan yang sebenarnya (Suseno, 1987:114). Tindakan reaktif yang berlebihan ini dalam cerita Tolire Gam Jaha adalah karena dipenuhi untuk sebuah hasrat kesenangan. Reaksi pada tokoh cerita ini terhadap minuman keras dan pesta sebagai stimulus yang berlebihan diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk mereaksi hal yang melampaui batas terhadap minuman keras dan pesta
yang disukai dan disenangi. Dapat dikatakan
kecendrungan untuk selalu menginginkan kedua hal itu secara terus-menerus untuk kesenangan diri.