BAB VI PENUTUP
6.1. Kesimpulan Pengembangan desa wisata Karang Tengah dideskripsikan sebagai sebuah kronologi kegiatan pengelolaan yang bertujuan untuk semakin menyempurnakan kualitas maupun kuantitas komponen wisata. Secara garis besar kegiatan pengembangan ini terdiri dari 3 tahapan yaitu 1) tahap inisiasi desa wisata, 2) tahap pertumbuhan, dan 3) tahap perkembangan desa wisata. Masing-masing tahapan tersebut memiliki perbedaan yang signifikan dari segi kegiatan maupun pihak-pihak yang berperan. Dilihat dari ciri-ciri pengembangannya yang melibatkan partisipasi masyarakat, memanfaatkan potensi lokal dalam penyediaan fasilitas wisata, kegiatannya yang mendukung pelestarian lingkungan dan budaya, maka dapat dikatakan bahwa pengembangan desa wisata Karang Tengah telah sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan desa wisata sebagai salah satu pengembangan pariwisata alternatif yang tidak hanya memberi manfaat secara ekonomi bagi investor dan masyarakat, tetapi juga memberi kemanfaatan bagi pelestarian budaya dan lingkungan alam. Namun demikian, masih terdapat beberapa masalah pada kualitas maupun kuantitas komponen desa wisata Karang Tengah yang perlu mendapatkan perhatian dari segenap pihak yang terlibat. Adapun stakeholder kunci dalam pengembangan desa wisata Karang Tengah ini terdiri dari sektor publik (Pemerintah dan pemerintah daerah), sektor swasta (Yayasan Royal Silk, Bank BNI, Garuda Indonesia), dan masyarakat lokal. Secara
147
keseluruhan, masing-masing stakeholder ini telah menjalankan peran yang diharapkan pada tiap tahap pengembangan desa wisata Karang Tengah sebagaimana yang telah dijelaskan dalam teori peran stakeholder (lihat bab II). Sektor publik absen berperan dalam tahap inisiasi dan mulai melakukan perannya yang terkait pengembangan desa wisata pada tahap pertumbuhan yaitu sebagai fasilitator masyarakat pelaku desa wisata termasuk dalam pelaksanaan PNPM Pariwisata, dan regulator kebijakan pariwisata. Sektor swasta yaitu Royal Silk berperan sejak tahap inisiasi desa wisata disusul sektor swasta lainnya pada tahap pertumbuhan yang berperan sebagai fasilitator masyarakat dan penyedia modal bagi usaha masyarakat di bidang pariwisata. Sedangkan masyarakat lokal telah berperan sejak tahap inisiasi sebagai perencana dan pelaksana kegiatan pengembangan desa wisata. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa walaupun peran sebagai fasilitator masyarakat sudah terpenuhi oleh sektor publik dan swasta, namun peran pendampingan masyarakat belum maksimal dilaksanakan. Hal tersebut dapat tercermin dari beberapa fasilitas wisata yang sudah dibangun namun tidak mendapat pemeliharaan yang memadai hingga kondisinya rusak parah. Artinya, kegiatan fasilitasi ini belum disertai dengan pendampingan kepada masyarakat agar memiliki kapasitas yang memadai untuk dapat mengembangkan fasilitas tersebut secara mandiri. Pokdarwis juga dinilai belum secara maksimal menjalankan tugas dan fungsinya terutama dalam membantu pemecahan masalah yang dihadapi kelompok masyarakat sebagai penyedia sajian atraksi wisata.
148
Interaksi stakeholder dalam kasus pengembangan desa wisata Karang Tengah ini berpola sederhana. Pihak swasta ataupun sektor publik yang memiliki kepentingan terhadap pengembangan desa wisata melakukan interaksi langsung dengan masyarakat sebagai penerima manfaat kegiatan. Selain terkait masalah perizinan dalam mengembangkan program, tidak ditemukan adanya interaksi antara sektor swasta dengan pemerintah daerah yang bekerjasama dalam suatu program tertentu. Dengan kata lain, belum terjadi hubungan kerjasama yang sinergis antara ketiga
stakeholder tersebut
dalam
melakukan kegiatan
pengembangan desa wisata. Kekuatan interaksi stakeholder ini beragam tergantung pada frekuensi interaksi baik primer dan sekunder, variasi kegiatan kerjasama, serta tingkat saling ketergantungan antar stakeholder. Sedangkan kualitas interaksi belum sepenuhnya dikatakan koperatif karena masih terdapat kendala transparansi yang salah satunya disebabkan karena hubungan lebih intens berlangsung melaui interaksi sekunder. Sementara karena belum terciptanya transparansi hubungan ini menghambat efektivitas partisipasi stakeholder kearah terciptanya hubungan yang kooperatif untuk mewujudkan tujuan pengembangan desa wisata yang berkesinambungan dan meningkatkan perekonomian warga.
6.2. SARAN Berdasarkan berbagai permasalahan dari awal pembahasan yang masih menjadi kendala dalam pengembangan desa wisata Karang Tengah, peneliti memberikan beberapa saran demi perbaikan Karang Tengah kedepannya yaitu:
149
1.
Untuk pemerintah daerah Dinas Pariwisata harus lebih aktif melakukan pendampingan terutama untuk
meningkatkan partisipasi dan kapasitas masyarakat dalam usaha kepariwisataan secara mandiri. Dinas Pariwisata Bantul dapat melakukan pendampingan dan fasilitasi dalam menggali atau menyempurnakan potensi wisata Karang Tengah yang dapat dijadikan pemasukan tambahan bagi desa wisata. Seperti fasilitasi Pokdarwis dalam menyusun paket wisata dalam bentuk brosur, memperbaiki fasilitas desa wisata, membuat atraksi baru, pelatihan bahasa asing, dan mencarikan mitra pelaku usaha pariwisata untuk mendukung promosi desa wisata Karang Tengah seperti kerjasama dengan Asita (Asosiasi travelagent), PHRI (Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia), dan HPI (Himpunan Pramuwisata Indonesia). Pemerintah desa dapat mengajukan bantuan kepada Disperindagkop untuk melakukan pendampingan kelompok batik pewarna alam yang sedang mengalami kendala pemasaran. Hal ini dilakukan untuk mengatasi fenomena mati suri desa wisata yang marak terjadi seiring semakin meningkatnya jumlah desadesa wisata baru.
Masyarakat
harus
lebih
diberdayakan untuk dapat
mengembangkan desa wisata secara mandiri, kreatif, dan inovatif. 2.
Untuk pihak swasta Pihak swasta dalam memberikan fasilitasi kepada masyarakat desa harus
disertai dengan pendampingan langsung yang dilakukan secara berkala selain untuk mengevaluasi apakah fasilitasi yang diberikan telah tepat guna dan tepat sasaran dalam mendukung usaha masyarakat, juga untuk membantu berbagai kendala yang dialami. Royal Silk sebagai Pihak yang berkomitmen terhadap
150
pemberdayaan masyarakat desa harus mendampingi warga agar memiliki kapasitas dalam manajemen pariwisata yang lebih baik. Serta terhadap fasilitas wisata yang telah dibangun dilakukan evaluasi terhadap kondisinya terkini. Misalnya melakukan penataan kawasan agrowisata yang belum terurus dengan baik, memfasilitasi penambahan jumlah personil kebersihan di agrowisata karena jumlah petugas kebersihan saat ini tidak sebanding dengan luas area. Tidak ketinggalan Royal Silk juga harus melakukan perbaikan dan pendayagunaan fasilitas toilet, kandang satwa, dan laboratorium sutra yang sudah dibangun untuk menunjang atraksi wisata. Pihak BNI dalam menyalurkan kredit lunak kepada warga juga harus lebih selektif dan melakukan evaluasi secara berkala untuk mengontrol efektivitas dari bantuan dana yang diberikan tersebut. 3.
Untuk masyarakat lokal Masyarakat harus lebih kreatif mengembangkan atraksi wisata di desanya
berdasarkan kearifan lokal masyarakat untuk lebih menarik minat wisatawan. Pokdarwis juga dapat mulai memungut retribusi kepada wisatawan yang berkunjung ke kawasan agrowisata yang digunakan untuk mendanai perawatan dan perbaikan fasilitas wisata yang sudah ada, serta agar Pokdarwis tidak selalu bergantung pada bantuan dana dari pihak luar. Selain itu, Pokdarwis harus lebih memaksimalkan perannya sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing bagian organisasinya. Terutama dalam merespon dan membantu penyelesaian masalah kelompok masyarakat binaannya dengan memanfaatkan kerjasama dengan dinas daerah ataupun sektor swasta. Hal ini dilakukan untuk tetap memelihara partisipasi warga dalam usaha pengembangan desa wisata selanjutnya.
151