BAB VI PENUTUP
1 Simpulan Bagian ini menampilkan secara garis pendayagunaan tiga piranti linguistik, yakni )sakata, gramatika, dan struktur teks, dalam wacana politik pada era pascaOrde Baru :perti sudah dipaparkan pada bab IV. 1.1 Kosakata Tiga fitur kosakata—pengalaman, relasional, dan ekspresif--didayagunakan dalam acana politik Indonesia pada era pasca-Orde Baru. Dalam kaitannya dengan nilai pengaman, lima fitur pengalaman kosakata didayagunakan oleh elite politik adalah (1) pola asifikasi, (2) kosakata yang diperjuangkan, (3) proses-proses leksikal, (4) relasi makna, in (5) metafora. Dua kosakata utama, yakni reformasi dan konstitusionalisme digunakan secara bih intensif oleh sejumlah elite politik secara perorangan dalam mengklasifikasikan alitas sosial politik melalui teks-teks yang dihasilkannya. Sementara itu, lima kosakata :ama yang cukup menonjol digunakan untuk mengklasifikasikan realitas sosial politik slam teks-teks kampanye pemilu tahun 1999, yakni reformasi, status quo, konstitusi, Brakyatan, dan keimanan. Berbagai kosakata yang dianggap penting oleh institus partai politik diperjuangmelalui berbagai metode penaturalisasian agar menjadi bagian dari kehidupan mararakat banyak. Kosakata yang diperjuangkan sangat ditentukan oleh asas partai yang 522
523 ,
ersanglcutan. Partai politik yang berasaskan agama--dalam kasus ini agama Islam-- ba-
yak memperjuangkan kosakata yang berhubungan dengan dimensi keislaman, seperti ata-kata sunatullah, suara Tuhan, iman, akhlakul karimah, firman Allah, dan seagainya. Partai politik yang berasaskan nasionalisme banyak memperjuangkan kosakata ang berhubungan dengan nasionalisme, antara lain kata-kata marhaenisme, kerakatan, kebangsaan, keadilan, dan sebagainya. Partai politik yang berasaskan "nasioalismeagama" banyak memperjuangkan kata-kata seperti masyarakat madani, moral gama, akhlakul karimah, dan sebagainya. Berbagai kosakata yang muncul menjadi kekhasan periode pasca-Orde Baru dapat likemukakan beberapa catatan sebagai berikut. Pertama, kosakata utama yang membeikan karakteristik pada era pasca-Orde Baru adalah tiga kosakata utama reformasi, talus quo, dan 1001. Kedua, ketiga kosakata utama itu kemudian berkembang menjadi ata-kata turunan. Perkembangannya secara linguistis berlangsung ke arah depan dan ke rah belakang. Ketiga, terdapat leksikalisasi dari tiga bidang kehidupan, yakni sistem keatanegaraan, hukum, dan ekonomi. Keempat, terdapat dua leksikalisasi khusus, yakni eksikalisasi yang berhubungan dengan pemilu tahun 1999 dan leksikalisasi politik angka. Elite politik juga mendayagunakan tiga relasi makna secara intensif dan ekstensif, rakni antonimi, sinonimi, dan hiponimi, untuk kepentingan politis-ideologisnya. Pendaragunaan antonimi dan sinonimi dilakukan dengan jalan menaturalisasikan kosakata yang ecara semantis tidak berantonim dan tidak bersinonim menjadi pasangan kata yang berintonim dan bersinornm. Pendayagunaan hipommi dilakukan dengan jalan mengedepancan kata-kata tertentu untuk menjadi superordinat dan mengebelakangkan kata-kata terentu untuk menjadi subordinat.
524 Pendayagunaan nilai pengalaman kosakata juga dilakukan elite politik melalui ilihan metafora. Elite politik mendayagunakan tiga metafora untuk kepentingan ideoloisnya, yakni metafora nominatif, metafora predikatif, dan metafora kalimat. Ketiga metfora itu memberikan informasi tentang bagaimana para elite politik mengkonstruksikan unia di sekitar kita dan cara dunia dikonstruksikan oleh orang lain di sekitar kita. Metaera yang dipilih elite politik banyak diambil dan dunia "peperangan" dan "kebinatangan" ang tidak memberikan pencerahan bagi masyarakat banyak. Dalam kaitannya dengan nilai relasional, tiga fitur relasi kosakata didayagunakan ileh elite politik era pasca-Orde Baru, yakni (1) ekspresi eufemistik, (2) kata-kata formal, lan (3) kata-kata informal. Elite politik Indonesia pada era pasca-Orde Baru tidak terlalu nenaturalisasikan ekspresi eufemistik ini. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa wacana poitik era ini lebih dikuasai oleh nada kelangsungan, bahkan banyak nada sarkasme dan rulgarisme yang muncul. Beberapa ekspresi eufemistik yang muncul sebanyak 89% diiasilkan oleh elite politik yang pernah menjadi "orang-orang" penting pada pada era penerintahan Orde Baru. Berbeda dengan nilai relasional pertama, elite politik Indonesia pada era pascaDrde Baru begitu intensif menaturalisasikan kata-kata formal, khususnya istilah-istilah Bahasa Inggris atau istilah-istilah serapan bahasa asing. Kata-kata formal itu dipilih sebagai sarana untuk menunjukkan autoritas dan superioritas. Keberadaan kata-kata formal dapat dipandang sebagai pemarkah identitas sosial penuturnya. Piliban katakata formal yang begitu intensif dan ekstensif mengakibatkan jarak sosial antara elite politik dengan masyarakat banyak begitu besar. Akibatnya, program-program yang ditawarkan oleh par-tai politik kurang mendapat apresiasi dan masyarakat banyak.
525 Sama dengan pilihan ekspresi eufemistik, sebagian besar elite politik Indonesia
ada era pasca-Orde Baru tidak begitu intensif mendayagunakan kata-kata
informal ini. 3eberapa kosakata yang muncul lebih banyak didominasi oleh penggunaan kata-kata dari ahasa Jawa. Beberapa kosakata lain yang juga muncul berasal dari dialek Betawi. Bebespa kosakata bahasa Jawa dimunculkan untuk tujuan imperatif. Beberapa kosakata juga igunakan untuk mengekspresikan ungkapanungkapan emotif-afektif karena ungkapan ahasa Indonesianya tidak dapat mewakili. Dalam kaitan dengan nilai ekspresif, dua fitur ekspresif kosakata didayagunakan leh elite politik era pasca-Orde Baru, yakni (1) evaluasi positif, dan (2) evaluasi negatif. [asil penelitian menunjukkan terdapat berbagai kosakata yang mengekspresikan evaluasi ositif dan negatif terhadap realitas sosial politik era Orde Barn dan era pasca-Orde Baru. eberapa kosakata yang mengekspresikan evaluasi positif pada era Orde Baru berubah iengekspresikan evaluasi negatif pada era pasca-Orde Baru. Beberapa kosakata yang iengekspresikan evaluasi positif atau negatif pada era Orde Baru memperoleh aksentuasi ada era pasca-Orde Baru. .1.2 Gramatika Dalam kaitannya dengan nilai pengalaman, empat nilai pengalaman gramatika diayagunakan oleh elite politik era pasca-Orde Baru, yakni (1) ketransitifan, (2) nominali(3) kalimat aktif-pasif, dan (4) kalimat positif-negatif. Pendayagunaan empat fitur engalaman gramatika dapat disimpulkan sebagai berikut. Elite politik menyembunyikan posisi ideologis melalui pilihan "ketransitifan". Beerapa simpulan dapat dikemukakan berkaitan dengan pilihan ketransitifan ini. Pertama, .4cs-teks politik era pasca-Orde Baru didominasi oleh klausa yang berproses material
526 tau proses tindakan, kemudian diikuti oleh proses mental dan proses relasi. Kedua, pada lausa yang berproses material, teks-teks politik didominasi oleh klausa material yang ,ermakna kejadiarf, diikuti oleh klausa material yang bermakna 'perbuatan' dan 'perilaku'. ietiga, pada klausa yang berproses mental atau proyeksi, teks-teks politik didominasi leh klausa mental yang bermakna 'afeksi', diikuti oleh 'kognisi', 'persepsi', dan 'verbal'. :eempat, pada klausa yang berproses relasi, teks-teks politik didominasi oleh klausa reasi yang bermakna 'identifikasil, diikuti oleh 'atributif dan 'eksistensial'. Elite politik juga mendayagunakan "nominalisasi" untuk menyembunyikan posisi leologisnya. Eelite politik Indonesia era pasca-Orde Baru lebih banyak mendayagunakan ominalisasi yang menduduki partisipan dalam klausa. Nominalisasi digunakan untuk aenyembunyikan ide yang lebih penting yang seharusnya dikemukakan dalam tuturan
olitisnya, yakni pada bagian klausa yang menduduki proses. Dalam menyusun teks-teks politiknya, elite politik juga mendayagunakan pilihan
:alimat aktif-pasif Beberapa simpulan dapat dikemukakan berkaitan dengan pilihan akifpasif ini. Pertama,-elite politik Indonesia lebih banyak mendayagunakan kalimat aktif laripada kalimat pasif Kedua, pada pilihan kalimat pasif, elite politik lebih banyak menlayagunakan kalimat pasif yang berverba "di-" yang menimbulkan kesan impersonal, kam, dan formal daripada pasif persona yang menimbulkan kesan personal dan informal. Kalimat positif-negatif jugs didayagunakan elite politik dalam menghasilkan tekseks politiknya. Beberapa simpulan dapat dikemukakan berkaitan dengan pilihan bentuk )ositif dan negatif Peitama, elite politik Indonesia lebih banyak mendayagunakan kaimat positif daripada kalimat negatif Kedua, untuk pilihan kalimat negatif, elite politik ndonesia mendayagunakan bentuk negatif yang menjalankan fungsi "manipulatif' dan
527 deologis", yakni bentuk negatif yang maknanya tidak langsung yang seharusnya dapat kemukakan melalui bentuk positifnya yang maknanya bersifat langsung. Dalam kaitannya dengan nilai relasional, tiga fitur relasi gramatika didayagunakan eh elite politik era pasca-Orde Baru, yakni (I) modus kalimat, (2) modalitas relasional, in (3) strategi kehadiran diri. Pendayagunaan tiga fitur relasi gramatika dapat disimpulrn
berikut. Elite politik mendayagunakan tiga modus kalimat dalam menyusun teks-teks po-
tiknya, yakni kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif. Beberapa simpulan dapat .kemukakan berkaitan dengan pendayagunaan modus kalimat. Pertama, kalimat deklarafcukup mendominasi teks-teks politik Indonesia. Kedua, pada kalimat interogatif, elite ilitik banyak mendayagunakan kalimat tanya retoris atau kalimat interogatif yang tidak emerlukan jawaban dalam wawancara dengan wartawan. Ketiga, pada kalimat imperaf, berbagai bentuk imperatif digunakan oleh elite politik dan yang bersifat langsung unpai yang tidak langsung. Elite politik mendayagunakan berbagai modalitas relasional untuk menunjukkan utoritasnya di hadapan elite politik lainnya dan masyarakat Indonesia secara keseluruhn. Elite politik Indonesia era pasca-Orde Baru mendayagunakan sepuluh jenis modal ntuk menyatakan autoritas itu. Kesepuluh modalitas itu mencakup makna-makna (a) kearusan, (b) keteramalan, (c) kemampuan, (d) kepastian, (e) kemungkinan, (f) keinginan, g) harapan, (h) pembiaran, (i) perintah, dan (j) permintaan. Dalam berhadapari dengan mitra tutur, elite politik mendayagunakan strategi keadiran diri melalui pilihan pronomina persona. Elite politik Indonesia era pasca-Orde 3am mendayagunakan empat pronomina persona, yakni (a) pronomina "kita", (b) prono-
52 8 mina "kami", (c) pronomina "saya", dan (d) nomina tertentu sebagai pengganti pronomina. Fenomena yang menonjol adalah dipergunakannya pronomina "kita" dan "kami" secara bergantian dalam teks yang sama. Dalam kaitannya dengan nilai ekspresif gramatika, elite politik Indonesia era pasaa-Orde Baru mendayagunakan empat modalitas yang menyatakan autoritas penutur dalam kaitannya dengan kebenaran atau kemungkinan representasi realitas. Keempat modalitas itu menyatakan makna 'keharusan', 'keteramalan', 'kepastian', dan 'harapan'. 5.1.3 Struktur Teks Dua hal dikemukakan dari struktur teks politik adalah (1) konvensi interaksional yang digunakan, dan (2) pengurutan serta penyusunan teks. Dua hal yang berkaitan devan "pengambilan gilir tutur" dalam konvensi interaksional dapat disimpulkan, yakni a) fenomena gilir-tutur banyak didayagunakan dalam teks-teks politik, terutama teks yang berupa dialog antarelite politik, dan (b) elite politik banyak mengambil gilir tutur iengan tidak mematuhi norma-norma dialog. Dalam pengontrolan partisipan, terdapat ,mpat metode pengontrolan, yakni (a) interupsi, (b) penegasan, (c) pengarahan topik, dan :d) formulasi. Dalam kaitannya dengan "pengurutan teks", teks politik Indonesia disusun dari tiga cola, yakni (a) pola I, (b) pola II, dan (c) pola III. Pola I disusun dari elemen-elemen 'pembukaan+eksposisi (identitas partai & program partai)+persnasi+penutupan". Pola disusun dari elemen-elemen "pembukaan+eksposisi (aspek tertentu yang dianggap pening)+persuasi+penutupan". Pola III disusun dari elemen-elemen "penribukaan+eksposisi/ Jersuasi+penutupan". Pilihan terhadap pola pengembangan tersebut mengandung signiTikansi ideologis tertentu.
529 .2 Saran-Saran Dari hasil rumusan dan temuan penelitian yang sudah dipaparkan pada bagian seelumnya, dapat disampaikan suatu rekomendasi atau saran-saran kepada pihakpihak ang terkait. Adapun saran-saran itu adalah sebagai berikut. Para elite politik Indonesia disarankan menggunakan bahasa Indonesia dengan ilihan bentuk-bentuk yang dapat menimbulkan pencerahan bagi seluruh masyarakat idonesia yang memiliki latar belakang beragam. Melalui pilihan piranti linguistik yang apat memberikan pencerahan akan menghasilkan komunikasi politik yang ideal, yakni munikasi yang bersifat jujur, terbuka, dan mudah dipahami oleh masyarakat Indonesia. ara elite politik Indonesia hendaknya sadar bahwa komunikasi politik bukanlah komuikasi sosial biasa. Komunikasi politik akan berkait dengan "barang-barang sosial" thagai hajat hidup masyarakat banyak Komunikasi politik merupakan bentuk hubungan ntarmanusia di mana setiap pilihan bahasa yang dilakukan oleh partisipan yang menduuki tempat yang lebih tinggi akan sangat memberikan "warna" terhadap mobilitas, baik ertikal maupun horisontal, partisipan yang menduduki tempat yang lebih rendah. Para pengembang linguistik di Indonesia disarankan mengembangkan kajian keohasaan dengan paradigma kritis untuk memecahkan masalah-masalah yang di dalamrya mengandung suatu "komunikasi yang timpang". Dari sudut linguistik, persoalan-peroalan komunikasi seperti ini haruslah didekati dengan pisau analisis yang berparadigma ritis. Pengembangan linguistik yang selama ini didominasi oleh paradigma deskriptif Lartislah dilengkapi dengan paradigraa kritis ita. Paradigma kritis memiliki kemampuan li dalam mengungkap dimensi-dimensi institusi dan sosiokultural yang amat determinaif terhadap pilihan-pilihan individu.
530 Para peneliti selanjutnya disarankan meneliti secara mendalam penggunaan bahasa >olitik" yang dihasilkan oleh masyarakat banyak dalam memberikan respon bahasa polik yang dihasilkan oleh para elite politik. Bahasa "politik" masyarakat yang sering diiggap sebagai "wacana-tanding" atau wacana tidak resmi itu menjadi lahan yang menak untuk mengetahui sejauh mana bahasa politik yang dihasilkan elite politik itu dire dan diapresiasi oleh masyarakat banyak. Jargon-jargon politik yang tumbuh di ma , arakat atau plesetan yang begitu kental dengan masyarakat tertentu dapat dipilih seba lahan kajian bahasa politik yang sering dianggap tidak resmi itu. Para perencana dan pengembang pendidikan disarankan untuk memasukkan progm penumbuhan kesadaran bahasa kritis pada masyarakat banyak melalui jalur-jalur .ndidikan yang ada. Pada jalur persekolahan, kesadaran bahasa kritis dapat ditanamkan [elalui pengenalan bahasa politik melalui bidang studi yang relevan. Bidang studi bahasa idonesia dapat memasukkan bahasa politik sebagai objek kajian sesuai dengan tingkat mdidikannya. Pada jalur nonpersekolahan, kesadaran bahasa kritis dapat ditanamkan telalui pengenalan-bahasa politik melalui kegiatan-kegiatan yang ada di masyarakat. opik pengenalan bahasa politik dapat dijadikan salah satu program yang seharusnya ikembangkan oleh lembaga-lembaga yang bergerak di dalam pemberdayaan masyarakat. Masyarakat awam disarankan untuk selalu mengkritisi wacana-wacana politik ang dihasilkan oleh para elite politik. Masyarakat hams selalu sadar bahwa yang tampak i sekitar kehidupannya sebagai "akal sehat" itu tidak seluruhnya berupa "akal sehat". 4asvarakat seharusnya selalu sadar bahwa di dalam sesuatu yang tampak sebagai "akal that" itu terdapat kepentingan, ideologi, kepercayaan, nilai, dan teori-teori tertentu dan enghasil "akal sehat" itu. Dengan kritis itu masyarakat menjadi "berdaya".