BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan Penelitian ini mengkaji konten web series “CONQ” sebagai salah satu lokus pesan dalam kajian Ilmu Komunikasi dengan fokus penelitian pada pembacaan konten sebagai bentuk teks representasi atas gay di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan metode analisis semiotik yang dikembangkan oleh Roland Barthes, yaitu pemaknaan tanda dan simbol dalam tataran denotasi (konseptual) dan konotasi (kontekstual) dimana peneliti melihat bentuk-bentuk representasi yang ada melalui bahasa yang merupakan bentuk produksi makna melalui deskripsi, penggambaran, imajinasi, dan simbolisasi dari tahap konsep hingga ke pemaknaan kontekstual yang dikaitkan dengan konteks sosial budaya yang menjadi latar teks atau dalam hal ini sosial budaya Indonesia. Kajian atas representasi gay ini berfokus pada bentuk kerja bahasa melalui pendekatan konstruksionis yang melihat bahasa sebagai medium konstruksi makna yang melalui proses interpretasi dimana dalam penelitian ini, pemaknaan yang ada bergantung pada interpretasi peneliti atas pesan yang terkandung dalam web series “CONQ”. Selain itu, penelitian ini juga mengkaji bagaimana format web series dengan medium YouTube mampu mempengaruhi bentuk representasi atas gay yang ada. Sebagai medium dalam format web series, web series “CONQ” memiliki serangkaian video narasi yang berseri dimana pada musim pertama (2014-2015) berjumlah total 12 video yang naskahnya dikembangkan dari konten website conq.me. Dari jumlah yang ada, peneliti hanya mengambil sejumlah video yang dirilis pada tahun 2014 sebagai objek penelitian, yaitu delapan episode yang dikurangi dengan satu episode spesial yang tidak memiliki keterkaitan cerita dengan episode-episode lainnya yang berseri. Episode-episode tersebut berjudul “Unstereotype Me”, “The Perfect Profile (PART 1)”, “The Perfect Profile (PART 2)”, “The Test”, “The Enlightenment”, “The Baby Shower”, dan “A Night to Remember”.
198
Setelah mengkaji bagaimana gay direpresentasikan dalam medium video online pada web series “CONQ” melalui tujuh episode tersebut, peneliti akan menjabarkan bentuk-bentuk temuan yang ada. Pertama, web series “CONQ” merepresentasikan kehidupan gay urban Indonesia melalui bentuk narasi yang berbeda dengan bentuk representasi yang dilakukan oleh media aktivis LGBT lokal maupun nasional dimana web series “CONQ” tidak bersifat eksploitatif, melodrama, atau erotis. Web series “CONQ” menempatkan kehidupan kaum gay urban sebagai bentuk kehidupan yang sejatinya familiar dengan kehidupan heteroseksual dan berbaur dengan masyarakat dimana web series “CONQ” menghadirkan tema-tema representasi berupa jaringan sosial dan perilaku komunikasi, pola pikir dan ekspresivitas, serta gaya hidup. Tema-tema yang ada pun juga secara spesifik membahas isuisu yang variatif, mulai dari pertemanan, asmara, pergaulan seksual, ideologi homoseksualitas, ekspresi identitas, HIV/AIDS, perilaku feminin, konsumsi alkohol dan narkoba, gaya hidup mewah, pesta, hingga kesehatan. Kedua, melalui tema serta isu yang ada tersebut, web series “CONQ” merepresentasikan kehidupan kaum gay urban dengan bentuk representasi yang tidak
linier
atau
seragam
dimana
terdapat
diversifikasi
gay
yang
direpresentasikan melalui penokohan karakter-karakter yang ada, terutama pada ketiga karakter utama yang ada, yaitu Lukas, Timo, dan Aghi. Karakter-karakter yang ada dalam web series “CONQ” digambarkan memiliki latar belakang yang beragam dan bahkan ditemui beberapa kecenderungan perbedaan ideologi sehingga membuat kehidupan yang dijalani oleh karakter-karakternya memiliki cerita masing-masing yang bahkan bisa saling bertolak belakang. Beberapa yang bertolak belakang adalah bentuk relasi platonik yang monogami dengan bentuk relasi seksual yang cenderung mengarah pada praktek seks bebas dan bagaimana kaum gay memandang homoseksualitas sebagai identitas murni yang mendikte pola hidup maupun sebatas sebagai orientasi seksual yang tidak mempengaruhi aspek kehidupan selain seks. Hal ini menggambarkan bentuk variasi warna kehidupan yang ada di dalam jaringan kaum gay itu sendiri dimana web series “CONQ” tidak menggambarkan kehidupan kaum gay sebagai satu bentuk yang sama atau bahkan cenderung stereotipikal. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, web series “CONQ” juga tidak menggambarkan bentuk kehidupan kaum gay sebagai bentuk kehidupan yang
199
sama sekali berbeda dengan kehidupan kaum heteroseksual sehingga web series “CONQ” pun juga tidak dirancang sebagai bentuk representasi kehidupan kaum gay urban yang melakukan resistensi di tengah paham masyarakat mayoritas Indonesia atas konsep heteronormatif dan web series “CONQ” justru lebih berfokus pada bentuk-bentuk diversifikasi kehidupan gay yang ada di masyarakat dan bahkan ditemui juga bentuk kritik sosial atas stereotip dan hegemoni maskulinitas yang ada dalam internal kaum gay itu sendiri. Ketiga, media YouTube yang digunakan oleh web series “CONQ” sebagai media distribusi sekaligus penayangan menjadikan web series “CONQ” memiliki nafas counterculture yang berlandaskan pada konsep media alternatif yang dianut oleh YouTube itu sendiri. YouTube yang dipandang sebagai media konvergensi
antara
televisi
dan
internet,
penyiaran
broadcasting
dan
narrowcasting, sekaligus antara media transmisi dan perekam menjadikan YouTube memiliki cakupan pengakses seluas jangkauan internet dimana pengakses YouTube itu sendiri mampu berperan sebagai komunikator yang memiliki konten sekaligus komunikan atau audiens dari konten. Pada titik inilah YouTube dilihat sebagai „ruang gerak alternatif‟ yang kontras dengan industri yang bersifat eksklusif dan cenderung berbiaya tinggi. Cakupan jangkauan akses dan distribusi video yang seluas jangkauan internet atau dengan kata lain mampu mencakup seluruh dunia menjadikan YouTube tidak memiliki batasan teritorial tertentu sehingga YouTube memiliki dua keistimewaan sekaligus, yaitu viralitas dan perbedaan regulasi karena regulasi yang ada dalam teritorial tertentu, termasuk regulasi kenegaraan pun tidak berlaku. Dua keistimewaan tersebut menjadikan web series “CONQ” berbeda dengan media representasi homoseksual yang lain, baik dalam bentuk media konvensional maupun new media sekalipun. Jika dibandingkan dengan media audio-visual konvensional seperti film dan televisi, YouTube tidak memiliki sistem sensor dan hanya menetapkan regulasi dalam bentuk “YouTube Community Guideline” dimana yang disoroti dalam penelitian ini adalah regulasi kategori “Nudity and Sexual Content” atau regulasi yang menyoroti adanya konten keterlanjangan dan mengandung unsur seksualitas. Regulasi dalam fokus yang sama juga diterapkan dalam media konvensional dimana pada film diatur oleh LSF sedangkan televisi diatur oleh KPI namun ditemukan bahwa regulasi yang diatur oleh negara tersebut bersifat
200
lebih ketat dan melarang visualisasi seksualitas dalam bentuk apapun bahkan dalam bentuk implisit sekalipun. Keterbatasan visualisasi seksualitas tersebut tidak didapati dalam regulasi yang ditetapkan oleh YouTube dimana YouTube masih memperbolehkan bentuk keterlanjangan dan adegan seksual implisit namun konten yang ada harus dalam kategori dewasa atau age-restricted content. Fleksibilitas YouTube ini menjadikan web series “CONQ” mampu lebih ekspresif
dan
original
dalam
merepresentasikan
homoseksualitas
pria
dibandingkan dengan bentuk tayangan film dan televisi di Indonesia. Sedangkan jika dibandingkan dengan sesama new media, kekuatan audiovisual yang dimiliki web series “CONQ” menjadikannya memiliki tingkat viralitas tinggi jika dibandingkan dengan website conq.me yang menjadi akar naskah web series “CONQ”. Dari segi konten, persebaran website pada umumnya dan termasuk website conq.me hanya mengandalkan viralitas teks dan gambar diam dimana kendala bahasa menjadi sorotan utama karena meskipun website conq.me menggunakan percampuran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, nilai interpretasinya tidak akan semudah bahasa visual atau non-verbal yang cenderung lebih universal. B. Saran Web series “CONQ” hadir sebagai web series bertema LGBT pertama di Indonesia dan memperkaya khasanah representasi homoseksual yang ada di media Indonesia. Bentuk representasinya yang menonjolkan adanya diversifikasi gay selayaknya mampu memberikan kesadaran masyarakat, pemerintah, dan para penggiat media maupun sineas film Indonesia, baik dari golongan kaum heteroseksual maupun homoseksual atas representasi homoseksual yang tidak bersifat menghakimi, menstereotipkan, eksploitatif, dan profokatif. Jika menilik dari kasus wacana pemblokiran web series “CONQ” oleh pemerintah karena konten yang ada diklaim mengandung unsur pornografi sehingga mengakibatkan diturunkannya semua konten web series “CONQ” dari semua kanal online-nya untuk sementara waktu, ini membuktikan adanya apatisme dan praktek homofobik dari pemerintah atas bentuk konten web series “CONQ” yang berdampak pada pembatasan ekspresivitas golongan identitas atau budaya tertentu, yang dalam hal ini adalah kaum gay Indonesia. Semua elemen masyarakat, penggiat media, dan pemerintah semestinya sudah mulai belajar
201
dari web series “CONQ” ini bahwa representasi homoseksualitas bukan hanya semata-mata masalah „mengemis‟ eksistensi, erotisme, atau bahkan yang dalam tingkat radikal, „melawan‟ heteronormativitas karena isu homoseksualitas pada dasarnya adalah isu humanis seperti halnya isu-isu yang ada dalam permasalahan sosial pada umumnya. Dari segi penelitian ini, peneliti masih merasa cukup banyak kekurangan baik dalam proses pengerjaan maupun dari segi fokus permasalahan yang diangkat. Metode semiotik yang dipilih dalam penelitian ini melihat representasi dengan pendekatan konstruksionis dimana pemaknaan yang ada bergantung pada interpretasi peneliti atas pesan yang terkandung dalam web series “CONQ” sehingga pengetahuan peneliti atas detil-detil yang ada dalam web series “CONQ” sangat mempengaruhi interpretasi yang ada. Detil-detil yang dimaksud antara lain bahasa, istilah, objek, hingga konteks yang ada baik dari keseluruhan narasi maupun elemen terkecil seperti kosakata atau diksi. Karena penelitian ini lebih berfokus pada tekstualitas web series “CONQ” secara keseluruhan, isu-isu representasi yang terdapat di dalamnya yang sebetulnya menarik untuk diperdalam menjadi hanya dibahas dari sisi permukannya saja sehingga pengkajian yang ada kurang spesifik atas isu-isu yang ada. Beberapa isu yang layak untuk diteliti lebih jauh antara lain isu dekonstruksi stereotip homoseksual yang menjadi tema dalam episode “Unstereotype Me” dan isu hegemoni maskulinitas tradisional dalam praktek penggunaan media yang menjadi tema dalam episode “The Perfect Profile (PART 1)” dimana isu-isu tersebut dan isu-isu lainnya akan menarik jika dikaji dari lokus komunikator dengan metode analisis wacana sehingga hasil penelitian yang ada akan sekaligus membedah proses kreatif dan produksi dari web series “CONQ” itu sendiri. Penelitian ini pun tidak mengkaji web series “CONQ” dari lokus komunikan atau audiens dimana ranah-ranah penelitian yang ada bisa mencakup resepsi audiens, kepenontonan, apresiasi, atau bahkan hingga kepada media habit para audiens baik yang mengakses akun YouTube web series “CONQ” maupun akunakun media sosial lain yang terkait. Seiring berjalannya penelitian ini, ternyata web series “CONQ” mengalami dinamika yang beragam, mulai dari progres penayangan setiap episodenya yang akhirnya lengkap menjadi 12 episode pada Agustus 2015 hingga akhirnya kini
202
tidak bisa diakses lagi sejak 12 September 2015 terkait adanya wacana ancaman pemblokiran web series “CONQ” oleh oknum DPR RI karena dianggap mengandung konten pornografi. Pasca pemberitaan atas wacana ancaman tersebut, dinamika yang terjadi melalui pernyataan resmi dan tindakan pihak web series “CONQ” serta para audiensnya sangat menarik. Kasus ini dapat dikaji jauh lebih dalam lagi sebagai penelitian tersendiri dengan mengambil metode studi kasus dimana melihat dinamika yang terjadi ini dari perspektif penggunaan media, kebebasan berpendapat, apresiasi, dan lain-lain.
203