BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Sebagaimana telah dijelaskan di depan, penelitian disertasi ini dilatarbelakangi oleh adanya ragam penerapan bentuk-bentuk kolaborasi antar daerah di perbatasan kota-kota Joglosemar. Kolaborasi antar daerah di perbatasan kota merupakan upaya untuk mengembangkan solusi atas berbagai permasalahan lintas batas daerah yang dihadapi oleh kota dan daerah tetangganya. Solusi tersebut seharusnya berupa konsensus yang menguntungkan daerah-daerah yang berkolaborasi. Pada kenyataannya, kolaborasi dan solusi kolaboratif antar daerah beragam, sebagaimana ditunjukkan oleh hasil penelitian terhadap perencanaan kolaborasi antar daerah di perbatasan kota-kota Joglosemar ini. Berikut ini adalah kesimpulan dari hasil penelitian disertasi ini: 1. Ragam kolaborasi antar daerah Berdasarkan hasil penelitian disertasi ini, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa terdapat dua ragam utama kolaborasi antar daerah di perbatasan kota-kota Joglosemar, yaitu ragam kolaborasi dan konflik antar daerah. a. Kolaborasi kerja sama antar daerah Kolaborasi kerja sama antar daerah adalah kolaborasi yang bertujuan menguntungkan bersama dari pemanfaatan bersama potensi-potensi di perbatasan kota. Ragam kolaborasi kerja sama antar daerah ini terdiri dari kerja sama kooperatif dan asertif. 1) Kolaborasi kerja sama antar daerah kooperatif adalah kolaborasi antar daerah yang memanfaatkan potensi-potensi di perbatasan kota secara kooperatif. Kasus-kasus yang termasuk ragam kerja sama kooperatif ini adalah pelayanan pendidikan menengah lintas batas daerah di kawasan perbatasan Kota Semarang dan Kabupaten Semarang, dan pelayanan persampahan lintas batas daerah di Perbatasan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. 2) Kolaborasi kerja sama antar daerah asertif adalah kolaborasi yang terjadi karena salah satu daerah bermaksud memanfaatkan potensi perbatasan kota, 271
sementara daerah yang lain mengijinkannya. Kasus-kasus yang termasuk ragam kolaborasi kerja sama antar daerah asertif adalah pelayanan penyediaan air bersih lintas batas daerah PDAM Kota Surakarta di perbatasan Kota Surakarta, dan pelayanan persampahan di Perumnas Pucang Gading di perbatasan Kota Semarang dan Kabupaten Demak. b. Kolaborasi berkonflik antar daerah Konflik antar daerah yang dimaksud disini adalah perselisihan pemanfaatan potensi perbatasan kota. Meskipun bersifat konflik, interaksi yang terjadi adalah kolaborasi karena bersifat memanfaatkan bersama potensi perbatasan kota. Ragam kolaborasi berkonflik antar daerah dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu ragam kolaborasi berkonflik antar daerah kooperatif dan asertif. 1) Kolaborasi berkonflik antar daerah kooperatif adalah kolaborasi antar daerah kooperatif yang tidak dilandasi oleh peraturan yang bersifat formal, seperti surat keputusan, perjanjian atau surat kesepahaman kerja sama, sehingga rawan konflik antar daerah. Kasus-kasus yang termasuk kolaborasi rawan berkonflik antar daerah adalah penyediaan air baku lintas batas daerah Mata Air Senjoyo, di perbatasan Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang, dan pelayanan lintas batas daerah Pasar Harjodaksino di Perbatasan Kota Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo 2) Kolaborasi berkonflik antar daerah asertif di perbatasan kota adalah kolaborasi antar daerah yang berkonflik antara kota dan daerah tetangga di perbatasan kota.
Konflik
terjadi
karena
adanya
permasalahan
perselisihan,
ketidaksepahaman, ketidaksesuaian antara kota dan daerah tetangga. Bentuk konflik tersebut dapat berbagai ragam, seperti keengganan daerah untuk melakukan koordinasi pembangunan dan kompetisi dalam pemanfaatan potensi perbatasan kota. Kasu ragam kolaborasi pada penelitian disertasi ini adalah pengembangan kawasan perkotaan lintas batas daerah di Kawasan Mertoyudan di perbatasan Kota Magelang dan Kabupaten Magelang. 2. Proses Kolaborasi Antar Daerah Kolaborasi antar daerah adalah proses yang mewadahi daerah-daerah yang terlibat dapat melihat aspek yang berbeda dari masalah secara konstruktif, dapat 272
mengeksplorasi perbedaan mereka, dan mencari solusi yang melampaui keterbatasan pemahaman mereka terhadap kemungkinan yang ada. Permasalahan yang dihadapi daerah-daerah tersebut adalah sifat perbatasan kota yang mendua. Berdasarkan hasil penelitian disertasi ini, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa proses kolaborasi antar daerah di perbatasan kota-kota Joglosemar dapat dijelaskan dari ragam perencanaan, manajemen dan mediasi kolaborasi antar daerah. 1. Proses perencanaan antar daerah Proses perencanaan di dalam kolaborasi antar daerah adalah proses perencanaan yang melibatkan daerah-daerah di dalam mengembangkan solusi untuk memecahkan permasalahan lintas batas daerah yang dihadapi bersama di perbatasan kota. Ragam proses perencanaan antar daerah tersebut terdiri dari gayagaya perencanaan sebagai berikut: 1) Gaya-gaya perencanaan yang berpotensi kerja sama, yaitu gaya-gaya perencanaan yang sesuai dengan obyek perencanaan yang berpotensi kerja sama, biasanya dilakukan mengikuti peraturan yang berlaku atau bersifat birokratif, yaitu ragam perencanaan analisis kebijakan, birokrasi dan intermediasi. a) Kasus yang memanfaatkan gaya perencanaan analisis kebijakan adalah pelayanan persampahan lintas batas daerah di Perumnas Pucang Gading di perbatasan Kota Semarang dan Kabupaten Demak, dan pelayanan penyediaan air bersih lintas batas daerah PDAM Kota Surakarta di perbatasan Kota Surakarta. b) Kasus yang memanfaatkan gaya perencanaan birokrasi adalah pelayanan pendidikan sekolah-sekolah menengah lintas batas daerah di perbatasan Kota Semarang dan daerah-daerah tetangga, dan pelayanan persampahan di perbatasan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. c) Kasus yang menggunakan gaya perencanaan intermediasi adalah pelayanan pendidikan sekolah-sekolah menengah lintas batas daerah di perbatasan Kota Semarang dan daerah-daerah tetangga, dan pelayanan persampahan di perbatasan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.
273
2) Gaya-gaya perencanaan rawan konflik, yaitu gaya-gaya perencanaan yang sesuai untuk obyek perencanaan yang rawan konflik, yang bersifat cenderung kurang memperhatikan peraturan yang berlaku, tetapi lebih memperhatikan kepentingan masyarakat, yaitu gaya perencanaan manajerial dan reformasi sosial. a) Kasus
yang
menggunakan
gaya
perencanaan
manajerial
adalah
pengembangan kawasan perkotaan lintas batas daerah di Kawasan Mertoyudan di perbatasan Kota Magelang dan Kabupaten Magelang. b) Kasus yang menggunakan gaya perencanaan reformasi sosial kasus pelayanan lintas batas daerah Pasar Harjodaksino di Perbatasan Kota Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo. 2. Manajemen kolaborasi antar daerah Manajemen kolaborasi antar daerah adalah gaya-gaya pengelolaan yang dilakukan oleh daerah-daerah di dalam menjalankan kolaborasi antar daerah di perbatasan kota. Gaya-gaya manajemen kolaborasi yang yang terdapat di perbatasan kotakota Joglosemar adalah sebagai berikut: 1) Gaya-gaya manajemen kerja sama, yaitu manajemen untuk melaksanakan kerja sama antar daerah di perbatasan kota. Ragam gaya manajemen ini meliputi gaya manajemen kompromi, akomodasi dan kolaborasi. a) Kasus-kasus yang menggunakan gaya manajemen kompromi adalah kasus pelayanan lintas batas Mata Air Senjoyo di kawasan perbatasan kota Salatiga dan Kabupaten Semarang, dan pelayanan lintas batas daerah Pasar Harjodaksino di kawasan perbatasan kota Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo. b) Kasus-kasus yang menggunakan gaya manajemen akomodasi adalah pelayanan penyediaan air bersih lintas batas daerah PDAM Kota Surakarta di kawasan perbatasan kota Surakarta dengan daerah-daerah tetangga dan pelayanan persampahan di Perumnas Pucang Gading di kawasan perbatasan kota Semarang dan Kabupaten Demak.
274
c) Kasus-kasus yang menggunakan gaya manajemen kolaborasi adalah pelayanan pendidikan menengah lintas batas daerah di kawasan perbatasan kota Semarang dan Kabupaten Semarang, dan pelayanan persampahan lintas batas daerah di kawasan perbatasan kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. 2) Gaya-gaya manajemen berkonflik, yaitu manajemen yang dipergunakan pada interaksi berkonflik, yang dicirikan oleh sikap daerah yang cenderung memperhatikan kepentingan internalnya sendiri. Ragam gaya manajemen ini yang terdapat di obyek penelitian adalah gaya manajemen kompetisi. Kasus yang menggunakan gaya manajemen kompetisi adalah pengembangan Kawasan Mertoyudan di perbatasan Kota Magelang dan Kabupaten Magelang. 3. Mediasi kolaborasi antar daerah Mediasi kolaboraborasi antar daerah adalah pelibatan pihak ketiga di dalam kolaborasi antar daerah. Ragam mediasi kolaborasi yang yang terdapat di perbatasan kota-kota Joglosemar dapat dikelompokkan menjadi: 1) Ragam mediasi berpotensi kerja sama daerah, yaitu ragam mediasi yang dilakukan untuk mendukung terjadinya kerja sama antar daerah. Ragam mediasi ini terdapat di obyek penelitian adalah gaya kolaborasi tanpa mediator dan mediasi fasilitatif. a) Kasus-kasus yang termasuk gaya kolaborasi mediator adalah pelayanan lintas batas Mata Air Senjoyo di kawasan perbatasan kota Salatiga dan Kabupaten
Semarang,
dan
pelayanan
lintas
batas
daerah
Pasar
Harjodaksino di kawasan perbatasan kota Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo. b) Kasus-kasus yang menggunakan gaya mediasi fasilitatif adalah pelayanan pendidikan menengah lintas batas daerah di kawasan perbatasan kota Semarang dan Kabupaten Semarang, pelayanan persampahan lintas batas daerah di kawasan perbatasan kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul, pelayanan penyediaan air bersih lintas batas daerah PDAM Kota Surakarta di kawasan perbatasan kota Surakarta dengan daerah-daerah tetangga, dan 275
pelayanan persampahan di Perumnas Pucang Gading di kawasan perbatasan kota Semarang dan Kabupaten Demak. 2) Ragam mediasi berkonflik, yaitu gaya mediasi yang melibatkan pihak ketiga untuk menetapkan keputusan yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang berselisih. Kasus yang termasuk gaya mediasi ini adalah kasus pengembangan Kawasan Mertoyudan di Kawasan Kota Magelang dan Kabupaten Magelang. 3. Penyebab Kerja Sama dan Konflik Antar Daerah di Perbatasan Kota Kolaborasi antar daerah di perbatasan kota-kota Joglosemar terjadi karena berbagai penyebab. Salah satunya adalah peraturan di dalam UU Nomer 23/ 2014 yang mengharuskan daerah menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya. Dengan kata lain, daerah dituntut untuk mampu membangun kerja sama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah serta perselisihan antar daerah dalam koridor keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peraturan tersebut juga mengamanatkan pentingnya kerja sama antar daerah untuk mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinergi, dan saling menguntungkan. Meskipun demikian, pada prakteknya, tidak seluruh kolaborasi antar daerah di Indonesia merupakan kerja sama antar daerah. Beberapa kolaborasi antar daerah tersebut berupa konflik antar daerah. Berdasarkan hasil penelitian disertasi ini, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa penyebab terjadinya kerja sama dan konflik antar daerah di perbatasan kotakota Joglosemar adalah sebagai berikut: a. Penyebab kerja sama antar daerah Kerja sama antar daerah terjadi karena cara pandang daerah terhadap kolaborasi antar daerah adalah sebagai bagian dari kewajiban otonomi daerah. Menurut daerah, kolaborasi antar daerah adalah bagian dari amanah otonomi yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah. Dengan demikian, daerah harus melaksanakan kolaborasi antar daerah sesuai dengan peraturan yang mengatur kewenangan daerah untuk berinteraksi dengan daerah tetangga. Cara pandang daerah yang demikian dapat menyebabkan interaksi tersebut bersifat kerja sama, karena peraturan di Indonesia, khususnya UU Nomor 23/ 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan bahwa kerja sama antar daerah menjadi 276
wajib
bagi
daerah-daerah
yang
berbatasan
untuk
mencapai
efesiensi
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat lintas batas daerah. Berdasarkan hasil temuan kajian kasus-kasus dan lintas kasus yang telah dilakukan di depan, kasus-kasus yang termasuk kerja sama antar daerah, yang memandang interaksi daerah sebagai bagian dari kewajiban otonomi daerah, adalah pelayanan pendidikan menengah lintas batas daerah di kawasan perbatasan Kota Semarang dan Kabupaten Semarang, pelayanan persampahan lintas batas daerah di Perbatasan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul, pelayanan penyediaan air bersih lintas batas daerah PDAM Kota Surakarta di perbatasan Kota Surakarta, pelayanan persampahan di Perumnas Pucang Gading di perbatasan Kota Semarang dan Kabupaten Demak b. Penyebab konflik antar daerah Kolaborasi antar daerah menjadi rawan konflik karena tidak dilandasi oleh surat keputusan, perjanjian atau surat kesepahaman antar daerah yang bersifat formal. Mengingat bahwa pembentukan daerah dan pemberian otonomi daerah dilandasi oleh peraturan formal yang diakui oleh negara, maka kolaborasi antar daerah juga harus dilandasi oleh surat perjanjian formal. Landasan formal akan sangat bermanfaat di dalam menjalankan praktek kolaborasi, termasuk di dalam menyelesaikan konflik. Kasus-kasus yang termasuk kolaborasi rawan konflik antar antar daerah, adalah penyediaan air baku lintas batas daerah Mata Air Senjoyo, di perbatasan Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang dan pelayanan lintas batas daerah Pasar Harjodaksino di Perbatasan Kota Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo. Disamping itu, kolaborasi antar daerah dapat menjadi konflik antar daerah, apabila landasan kondisi utama interaksi antar daerah belum diselesaikan, yaitu belum disepakatinya garis batas daerah. Kasus ini terjadi pada pengembangan Kawasan Mertoyudan di perbatasan Kota Magelang dan Kabupaten Magelang. 6.2 Sumbangan Terhadap Pengetahuan Sebagaimana dijelaskan dalam bagian pendahuluan, tujuan penelitian disertasi ini adalah memperkaya teori perencanaan kolaboratif melalui perumusan atas hasil penelitian 277
perencanaan kolaboratif antar daerah di perbatasan kota-kota Joglosemar. Teori perencanaan kolaboratif dapat diartikan sebagai teori yang menjabarkan perencanaan yang mewadahi pihak-pihak yang terlibat sehingga dapat melihat perbedaan masalah secara konstruktif, dapat mengeksplorasi perbedaan, dan mencari solusi yang melampaui keterbatasan pemahaman mereka terhadap kemungkinan yang ada. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa teori perencanaan kolaboratif adalah teori yang menjelaskan bagaimana perencanaan menggunakan proses kolaborasi diantara pihak-pihak yang dilibatkan, untuk berbagi dan membangun pengetahuan bersama. Pengetahuan
bersama
tersebut
digunakan
untuk
membangun
solusi
terhadap
permasalahan bersama yang dihadapi oleh pihak-pihak tersebut. Pengetahuan yang dihasilkan dipandang dapat mendekatkan perencanaan kepada kondisi, permasalahan dan solusi yang nyata, karena dibangun melalui pengetahuan bersama tersebut. Karakteristik kolaborasi yang dihasilkan dari perencanaan kolaboratif dapat digambarkan dari posisinya terhadap kontinuum kolaborasi dan solusi kolaboratif. Kontinum kolaborasi adalah serangkaian ragam tindakan kolaborasi yang disusun dari yang bersifat kolaboratif terkuat hingga yang terlemah. Sementara itu, solusi kolaboratif adalah solusi yang dihasilkan dari proses perencanaan kolaboratif. Solusi kolaboratif yang terbaik berupa konsensus, karena mengakomodasikan kebutuhan dan kepentingan semua pihak yang terlibat.Pada kenyataannya, tidak semua solusi kolaboratif berupa konsensus, tetapi ada yang bersifat hanya mengakomodasikan sebagian pihak, bahkan sama sekali tidak mengakomodasikan pihak-pihak yang terlibat. Posisi hasil kolaborasi dalam kontinum kolaborasi dan jenis solusi kolaboratif tergantung dari beberapa hal. Salah satunya adalah ragam kolaborasi yang tergantung dari kondisi obyek yang direncanakan. Kondisi tersebut termasuk ragam permasalahan yang dihadapi yang hendak diselesaikan melalui solusi yang dihasilkan perencanaan kolaboratif. Hal lain yang mempengaruhi adalah penyebab kolaborasi, yaitu hal-hal yang mempengaruhi perencanaan dan karakteristik kolaborasi, yang menyangkut cara pandang pihak-pihak yang terlibat terhadap interaksi yang terjadi, dan cara bersikap mereka terhadap pihak lain yang terlibat. Hal terakhir yang mempengaruhi adalah strategi kolaborasi, yaitu bagaimana perencanaan kolaboratif dijalankan, khususnya yang berkaitan dengan proses perencanaan dan pelaksanaannya, serta proses mediasi antar berbagai pihak tersebut dilakukan. 278
Berdasarkan penjelasan tersebut, prinsip-prinsip teori perencanaan kolaboratif dapat digambarkan ke dalam model diagramatis teori perencanaan kolaboratif sebagai berikut: Ragam Interaksi Antar Pihak
Karakteristik Kolaborasi Kontinum Kolaborasi
Solusi Kolaboratif
Strategi Kolaborasi
Penyebab Kolaborasi
Gambar 33. Teori perencanaan kolaboratif Sumber: hasil kajian peneliti
Sementara itu, perencanaan antar daerah pada dasarnya adalah perencanaan kolaboratif, karena berupaya mewadahi daerah-daerah yang terkait dalam suatu interaksi, sehingga mereka dapat melihat perbedaan masalah secara konstruktif, dapat mengeksplorasi perbedaan, dan mencari solusi yang melampaui keterbatasan pemahaman daerah-daerah tersebut terhadap kemungkinan yang ada. Secara khusus, pada perencanaan antar daerah di perbatasan kota, solusi yang dibutuhkan adalah untuk menyelesaikan permasalahan dari sifat mendua yang terdapat di kawasan tersebut. Mengingat bahwa penelitian disertasi ini dilakukan pada perbatasan kota yang bersifat mendua, maka pengkayaan yang dapat dilakukan terhadap teori perencanaan kolaboratif tersebut adalah melalui kontribusi pada sifat mendua tersebut. Sifat mendua tersebut adalah sifat ganda yang terdapat di perbatasan kota, yaitu berpotensi bagi pengembangan sinergi untuk kerja sama antar daerah, dan sekaligus rawan terhadap konflik antar daerah. Dengan demikian, perencanaan kolaboratif antar daerah di perbatasan kota adalah perencanaan kolaboratif yang dilaksanakan bersifat mendua. Perencanaan
kolaboratif
tersebut
dimaksudkan
untuk
membangun
solusi
atas
permasalahan mendua yang dihadapi oleh kota dan daerah tetangga di perbatasan kota. Untuk menghadapi sifat mendua di perbatasan kota, perencana dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu yang berbasis kewajiban otonomi atau berbasis kewajiban sosial daerah.
Pendekatan
berbasis
kewajiban
otonomi
adalah
pendekatan
yang
mempertimbangkan cara pandang daerah di dalam perencanaan kolaboratif antar daerah, yang mengedepankan otonomi daerah. Pada pendekatan ini, pemerintah daerah 279
menggunakan otonominya di dalam urusan lintas batas daerah. Hal ini perlu dilakukan mengingat daerah memiliki hak dan kewajiban untuk mengelola pembangunan daerahnya sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepadanya. Mengingat bahwa otonomi daerah diatur melalui peraturan, maka kolaborasi antar daerah yang merupakan interaksi antar otonomi daerah tersebut harus mengikuti peraturan yang berlaku. Sementara itu, pendekatan berbasis kewajiban sosial daerah adalah pendekatan yang mempertimbangkan cara pandang daerah di dalam perencanaan kolaboratif antar daerah, yang mengedepankan pemenuhan kewajiban pelayanan daerah dalam urusan lintas batas daerah, yaitu memenuhi kepentingan dan kebutuhan masyarakat umum. Dengan mengedepankan kewajiban sosialnya tersebut, daerah seringkali menyingkirkan otonomi atau kewenangan yang bersifat administratif yang melekat padanya. Dengan kata lain, pada pendekatan ini, daerah cenderung meniadakan batas-batas administrasi di dalam pelayanan publik lintas daerah di perbatasan Kota. Disamping itu, perencanaan kolaboratif antar daerah di lingkungan mendua juga harus mempertimbangkan cara bersikap daerah terhadap daerah tetangga. Cara bersikap daerah tersebut terdiri dari dua ragam, yaitu kooperatif dan asertif. Sikap kooperatif adalah sikap daerah yang lebih memperhatikan lebih memperhatikan kepentingan bersama, daripada kepentingan daerahnya sendiri. Penyebab pihak yang menggunakan sikap kooperatif dalam interaksi dengan pihak lain, adalah karena merasa membutuhkan atau tergantung dari pihak lain, sehingga sangat berkepentingan terhadap dukungan atau bantuan dari pihak lain. Dalam kolaborasi antar daerah, pendekatan kooperatif dilakukan oleh suatu daerah karena daerah tersebut merasa membutuhkan dukungan dari daerah tetangga untuk melayani masyarakat daerahnya. Sementara itu, sikap asertif adalah sikap suatu daerah adalah sikap daerah yang lebih memperhatikan kepentingan daerahnya sendiri daripada kepentingan daerah tetangga. Pada umumnya, pihak yang bersifat asertif adalah pihak yang merasa memiliki kapasitas potensi yang lebih baik dibandingkan dengan pihak lain. Biasanya pihak asertif merasa bahwa pihak lain membutuhkan dan tergantung kepadanya, sehingga harus tunduk dan patuh pada arahan yang diberikannya. Dalam kolaborasi antar daerah, sikap asertif dilakukan oleh suatu daerah karena daerah tersebut mengedepankan kebutuhan dan kepentingan daerahnya sendiri daripada kepentingan daerah tetangga.
280
Dengan kata lain, teori perencanaan kolaboratif antar daerah di lingkungan mendua di perbatasan kota-kota Joglosemar merupakan upaya mempertemukan daerah-daerah yang saling berintraksi di kawasan tersebut, untuk membangun solusi atas permasalahan sifat menduanya. Pendekatan untuk membangun solusi tersebut terkait dengan cara pandang daerah terhadap kolaborasi antar daerah, dan cara bersikap daerah terhadap daerah tetangga. Berdasarkan penjelasan tersebut, pengkayaan terhadap diagram teori perencanaan kolaboratif dapat dirumuskan menjadi diagram perencanaan kolaboratif antar daerah di perbatasan kota, sebagai berikut: Strategi Kolaborasi Antar Daerah
Penyebab Kolaborasi Antar Daerah
3. Sosial-asertif 4. Sosial-kooperatif
3. Bagian dari kewajiban sosial daerah 4. Asertif-kooperatif
Karakteristik Kolaborasi Antar Daerah Kontinum Kolaborasi
Solusi Kolaboratif
Jejaring-koordinasi; Akomodasi-kompetisi
Ragam Kolaborasi Antar Daerah Rawan konflik antar daerah
Rawan konflik antar daerah
Perbatasan Kota
Berpotensi kerja sama antar daerah
Ragam Kolaborasi Antar Daerah Berpotensi kerja sama antar daerah
Karakteristik Kolaborasi Antar Daerah Kontinum Kolaborasi
Solusi Kolaboratif
Kolaborasi-akomodasi; Konsensus-kompromi
Penyebab Kolaborasi Antar Daerah 3. Bagian dari kewajiban otonomi daerah 4. Asertif-kooperatif
Strategi Kolaborasi Antar Daerah 3. Otonomi-asertif 4. Otonomi-kooperatif
Gambar 34. Pengkayaan teori perencanaan kolaboratif berdasarkan hasil penelitian Sumber: hasil kajian peneliti
281
Ragam strategi kolaborasi perencanaan kolaboratif antar daerah di lingkungan mendua dapat digambarkan dalam bentuk diagram sebagai berikut:
Strategi Otonomi-Kooperatif
Kondisi kawasan perbatasan 10. Status garis batas: disetujui bersama 11. Permasalahan: kerja sama antar daerah Karakteristik kolaborasi 12. Posisi pada kontinum kolaborasi: kolaborasi 13. Bentuk solusi: akomodasi Penyebab kolaborasi antar daerah 14. Cara pandang terhadap kolaborasi antar daerah: bagian dari kewajiban otonomi daerah 15. Sikap terhadap daerah tetangga: asertif Strategi kolaborasi antar daerah 16. Gaya perencanaan: kebijakan publik 17. Gaya manajemen: akomodasi 18. Gaya mediasi: fasilitatif dengan mediasi
Kondisi kawasan perbatasan 10. Status garis batas: disetujui bersama 11. Permasalahan: kerja sama antar daerah Karakteristik kolaborasi 12. Posisi pada kontinum kolaborasi: koordinasi 13. Bentuk solusi: konsensus Penyebab kolaborasi antar daerah 14. Cara pandang terhadap kolaborasi antar daerah: bagian dari kewajiban otonomi daerah 15. Sikap terhadap daerah tetangga: kooperatif Strategi kolaborasi antar daerah 16. Gaya perencanaan: intermediasi 17. Gaya manajemen: kolaborasi 18. Gaya mediasi: fasilitatif dengan mediasi
Strategi Sosial-Asertif
Strategi Sosial-kooperatif
Kondisi kawasan perbatasan 10. Status garis batas: tidak disetujui 11. Permasalahan: kompetisi/ konflik Karakteristik kolaborasi 12. Posisi pada kontinum kolaborasi: jejaring 13. Bentuk solusi: kompetisi Penyebab kolaborasi antar daerah 14. Cara pandang terhadap kolaborasi antar daerah: fungsi daerah 15. Sikap terhadap daerah tetangga: asertif Strategi kolaborasi antar daerah 16. Gaya perencanaan: manajerial 17. Gaya manajemen: kompetisi 18. Gaya mediasi: fasilitatif tanpa mediator
Cara pandang terhadap kolaborasi antar daerah
Strategi Otonomi-Asertif
Sikap daerah terhadap daerah tetangga
Kondisi kawasan perbatasan 10. Status garis batas: disetujui bersama 11. Permasalahan: kerja sama antar daerah Karakteristik kolaborasi 12. Posisi pada kontinum kolaborasi: kooperasi. 13. Bentuk solusi: kompromi Penyebab kolaborasi antar daerah 14. Cara pandang terhadap kolaborasi antar daerah: fungsi daerah 15. Sikap terhadap daerah tetangga: kooperatif Strategi kolaborasi antar daerah 16. Gaya perencanaan: reformasi sosial 17. Gaya manajemen: kompromi 18. Gaya mediasi: tanpa mediator
Kooperatif
Asertif
Otonomi Daerah
Fungsi daerah Gambar 35. Pengkayaan strategi kolaborasi perencanaan kolaboratif antar daerah berdasarkan hasil penelitian Sumber: hasil kajian peneliti
6.3 Implikasi Terhadap Kebijakan Hasil penelitian disertasi ini menunjukkan bahwa agar perencanaan kolaboratif antar daerah di perbatasan kota-kota Joglosemar dapat berjalan dengan optimal, harus dilakukan mengikuti arahan kebijakan sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 23/2014 282
tentang Pemerintahan Daerah. Dengan kata lain, pendekatan kolaborasi antar daerah yang efektif dan efisien adalah pendekatan yang berbasis otonomi daerah, yaitu pendekatan yang mempertimbangkan cara pandang daerah di dalam kolaborasi antar daerah, yang mengedepankan otonomi daerah. Pada pendekatan ini, pemerintah daerah menggunakan otonominya di dalam urusan lintas batas daerah. Hal ini perlu dilakukan mengingat daerah memiliki hak dan kewajiban untuk mengelola pembangunan daerahnya secara tepat, sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepadanya. Karena setiap daerah memiliki otonominya sendiri, kolaborasi antar daerah pada dasarnya adalah interaksi antar otonomi-otonomi daerah. Mengingat bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka kolaborasi antar daerah merupakan interaksi antar hak, wewenang, dan kewajiban daerah. Karena otonomi daerah diatur melalui peraturan, maka kolaborasi antar daerah yang merupakan interaksi antar otonomi daerah tersebut harus mengikuti peraturan yang berlaku. Dengan mempertimbangkan bahwa perencanaan kolaboratif antar daerah adalah perencanaan yang menginteraksikan otonomi-otonomi antar daerah, maka agar efisien dan efektif, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang mempertimbangkan otonomi daerah. Disamping itu, agar kolaborasi antar daerah dapat berjalan secara efektif dan efisien, cara bersikap daerah terhadap daerah lain harus kooperatif. Sikap kooperatif suatu daerah terhadap daerah tetangga di perbatasan kota adalah bahwa daerah tersebut memperhatikan daerah tetangga, disamping kepentingan daerahnya sendiri. Sikap kooperatif adalah sifat yang lebih memperhatikan kepentingan bersama, daripada kepentingannya sendiri. Dalam kolaborasi antar daerah, pendekatan kooperatif dilakukan oleh suatu daerah karena daerah tersebut merasa membutuhkan dukungan dari daerah tetangga untuk melayani masyarakat daerahnya. Dalam beberapa kondisi, interaksi tersebut dilakukan oleh suatu daerah karena potensinya lebih rendah dibandingkan dengan potensi daerah tetangga, sehingga daerah tersebut membutuhkan dukungan dari daerah tetangga yang memiliki potensi yang lebih tinggi, melalui pelayanan lintas batas daerah. Penelitian disertasi ini telah menunjukkan bahwa kebijakan untuk mewajibkan kerja sama antar daerah di perbatasan kota pada khususnya dan daerah pada umumnya, harus berlandaskan pada kolaborasi antar daerah yang dilakukan pada lingkungan yang 283
berpotensi kerja sama antar daerah. Dengan kata lain, lingkungan tersebut tidak dalam permasalahan yang bersifat tidak rawan atau sedang berkonflik. Karakteristik lainnya adalah bahwa status garis batas telah disetujui bersama oleh daerah-daerah yang saling berbatasan dan mendapatkan legalisasi permendagri. Kondisi kerja sama antar daerah di kawasan perbatasan kota yang bersifat efektif dan efisien adalah pada posisi kolaborasi, pada tindakan kolaborasi yang berada pada kontinum kolaborasi. Tindakan kolaborasi adalah kondisi kolaborasi antar daerah yang bersifat berbagi pemanfaatan potensi bersama untuk meningkatkan kapasitas pelayanan kota dan daerah tetangga. Disamping itu, kondisi solusi kolaboratif kolaborasi antar daerahnya adalah pada konsensus, karena solusi yang dikembangkan dalam kerja sama bersifat win-win solution, yaitu setiap daerah mendapatkan kebutuhannya. Penyebab kerja sama antar daerah yang efektif dan efisien adalah cara pandang daerah-daerah yang memandang kolaborasi antar daerah sebagai bagian dari kewajiban otonomi daerah, yang diwujudkan dalam bentuk pelaksanan kolaborasi antar daerah dengan menerapkan prinsip-prinsip dan peraturan otonomi dan kerja sama antar daerah yang berlaku. Disamping itu, kerja sama antar daerah menjadi efektif dan efisien apabila daerah-daerah yang terlibat memandang daerah tetangga secara kooperatif, yaitu memandang daerah tetangga sebagai daerah yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan daerahnya. Sedangkan strategi bagaimana kolaborasi antar daerah dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif adalah dengan menggunakan gaya perencanaan intermediasi, yaitu perencanaannya dilakukan melalui mediasi dari pihak ketiga. Pihak ketiga dibutuhkan sebagai fasilitator yang dapat menjembatani interaksi otonomi-otonomi daerah yang saling berinteraksi. Disamping itu, gaya manajemen yang digunakan adalah manajemen kolaborasi, yaitu manajemen yang mengelola pemufakatan potensi daerah-daerah yang saling berbatasan untuk membangun pelayanan bersama di kawasan perbatasan kota. Teori perencanaan kolaboratif yang diperkaya di lingkungan mendua dan konsep keragaman strategi kolaborasi antar daerah di perbatasan kota yang dihasilkan dari penelitian disertasi ini sesuai untuk menjelaskan berbagai kolaborasi antar daerah yang terjadi di obyek penelitian, dalam hal ini adalah perbatasan kota-kota Joglosemar. Meskipun demikian, teori tersebut dapat pula digunakan di kota-kota lain di Indonesia, yang memiliki karakteristik sama atau mirip dengan kota-kota tersebut. 284
Penelitian disertasi ini secara umum telah membuka wawasan tentang bagaimana merencanakan kolaborasi antar daerah, khususnya di perbatasan kota-kota Joglosemar. Meskipun demikian, teori yang dibangun dalam disertasi ini juga dapat digunakan di kotakota lain di Indonesia, yang memiliki karakteristik yang sama atau mirip dengan kota-kota Joglosemar tersebut. 6.4 Rekomendasi Penelitian Lanjutan Disertasi ini telah menjelaskan teori perencanaan kolaboratif antar daerah di perbatasan kota, berdasarkan penelitian terhadap kasus-kasus penelitian di perbatasan kota-kota Joglosemar. Meskipun demikian, penjelasan teori tersebut masih bersifat umum dan mendasar. Berikut ini adalah beberapa rekomendasi penelitian lebih lanjut: 1. Penelitian secara mendalam terhadap kasus-kasus yang dipandang efektif dan efisien di dalam menjalankan kolaborasi antar daerah. Penelitian ini perlu dilakukan untuk menjelaskan sejauhmana efektifitas dan efisiensi pembangunan yang dapat dicapai melalui kolaborasi antar daerah di perbatasan kota. 2. Penelitian yang mendalam tentang kasus-kasus kolaborasi antar daerah yang bersifat rawan konflik dan sedang berkonflik. Penelitian ini perlu dilakukan untuk menjelaskan lebih terperinci dan mendalam tentang akar dan permasalahan yang menyebabkan
konflik
tersebut,
dan
strategi
yang
lebih
praktis
untuk
menyelesdaikannya. 3. Penelitian tentang peran kepala daerah di dalam kolaborasi antar daerah. Penelitian ini perlu dilakukan untuk memahami sejauhmana peran kepala daerah di dalam menentukan arah dan kebijakan kkolaborasi antar daerah. 4. Penelitian tentang keuangan (budgeting dan financial) kolaborasi antar daerah di perbatasan kota. Penelitian ini perlu dilakukan untuk menjelaskan bagaiman proses pembiayaan yang digunakan di dalam kolaborasi antar daerah, termasuk seperti apa keuntungan secara finansial yang didapatkan oleh daerah-daerah yang bekerja sama.
285