BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Pembibitan (Seeding) Lumpur Aktif Pembibitan (seeding) lumpur aktif dilakukan dengan mengambil sedimen lumpur dari tiga sumber (lokasi). Sumber lumpur pertama adalah IPAL Suwung Denpasar dengan kondisi awal lumpur berwarna hitam pekat dan sangat berbau. Air limbah pada sumber pertama berwarna kecoklatan, berbuih serta ditemukan ganggang dipinggir kolam pengolahan. Sumber kedua pengambilan sedimen lumpur adalah IPAL RSUD Wangaya Denpasar. Kondisi awal lumpur berwarna kehitaman, berbau dan air limbahnya berwarna kecoklatan. Untuk sumber ketiga lumpur aktif adalah berasal dari IPAL PT. BTDC Nusa Dua Bali. Kondisi awal lumpur berwarna kecoklatan, berbau, lumpurnya bercampur dengan pasir dan keong. Untuk air limbahnya sendiri berwarna kehijauan dan ditemukan ganggang dipinggir kolam pengolahan. Dalam proses pembibitan lumpur aktif dari tiga sumber yang ditentukan dilakukan perhitungan nilai VSS (Volatile Suspended Solids) yang menunjukkan tingkat pertumbuhan biomassa dalam kurun waktu pengolahan yang ditetapkan. Berdasarkan hasil analisis nilai VSS yang ditunjukkan pada Tabel 5.1 diketahui bahwa sumber lumpur dari IPAL Suwung Denpasar (S1) dan sumber lumpur dari IPAL PT. BTDC Nusa Dua Bali (S3) pada hari keenam mampu mencapai nilai VSS melebihi 2000 mg/L yaitu berturut-turut sebesar 2396,6 mg/L dan 2116,6 mg/L. Untuk sumber lumpur dari IPAL RSUD Wangaya Denpasar (S2) hanya mampu menghasilkan nilai VSS kurang dari 2000 mg/L yaitu sebesar 1830,0 mg/L. Adapun nilai VSS melebihi 2000 mg/L menunjukkan tingkat pertumbuhan mikroorganisme 50
51 dalam lumpur aktif memasuki Accelaration phase, yaitu suatu kondisi dimana mikroorganisme mengalami penurunan waktu generasi dan peningkatan laju pertumbuhan
sehingga mikroorganisme mampu melakukan aktivitas dalam
menguraikan bahan organik maupun anorganik yang ada (Sudaryati et al., 2011). Rata-rata nilai VSS pada ketiga sumber lumpur yang digunakan dalam proses pembibitan dengan waktu pengolahan selama enam hari disajikan pada Gambar 6.1. 2600 2400
2200
Nilai VSS (mg/L)
2000 1800 1600 1400 1200
S1
1000
S2
800
S3
600 400 200 0 1
2
3
4
5
6
Waktu (Hari)
Gambar 6.1 Rata-Rata Nilai VSS Dari Tiga Sumber Lumpur Selama Proses Pembibitan Dengan Waktu Pengolahan Selama Enam Hari.
Keterangan : S1 = Lumpur dari IPAL Suwung Denpasar Bali S2 = Lumpur dari IPAL RSUD Wangaya Denpasar Bali S3 = Lumpur dari IPAL PT. BTDC Nusa Dua Bali
52 Berdasarkan Gambar 6.1 terlihat bahwa terjadi peningkatan nilai VSS pada ketiga sumber lumpur yang digunakan dalam proses pembibitan. Pertumbuhan biomassa mikroorganisme dalam lumpur aktif selama proses pembibitan sangat didukung adanya nutrien (makanan) yang diberikan serta pemberian oksigen (proses aerasi) yang menunjang ketersediaan oksigen terlarut dalam lumpur aktif. Ketersediaan oksigen terlarut akan menunjang aktivitas mikroorganisme dalam mendegradasi kandungan bahan organik dan anorganik dalam limbah. Sumber lumpur dari IPAL Suwung Denpasar (S1) yang digunakan dalam pembibitan memiliki tingkat pertumbuhan biomassa dengan nilai VSS yang paling tinggi. Kondisi tersebut dapat disebabkan karena cukup banyaknya variasi jenis mikroorganisme yang berasal dari sedimen lumpur yang digunakan. IPAL Suwung Denpasar mengolah limbah domestik dengan kadar bahan organik yang tinggi. Pada perairan tercemar dengan kandungan bahan organik tinggi akan tercipta suasana yang sesuai bagi mikroorganisme untuk menggunakan bahan organik tersebut dalam proses metabolismenya (Mukono, 2000). Semakin tinggi aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan bahan organik maka semakin tinggi pula biomassa yang dihasilkan. Peningkatan biomassa ini menyatakan nilai VSS yang diukur serta jumlah bahan organik yang telah didegradasi oleh mikororganisme (Atlas dan Bartha, 1987). Adapun beberapa jenis bakteri yang mampu tumbuh pada sistem pengolahan aerob (kolam aerasi) diantaranya dari Genus Bacillus, Pseudomonas, Vibrio, Escherichia coli, sedangkan jenis algae yang mampu tumbuh seperti dari Genus Euglena serta Spirogyra (Suriawijaya, 2003). Keberadaan bakteri dan algae dalam perairan tercemar
bahan
organik
menyebabkan
terjadinya
simbiosis.
Bakteri
53 berperan sebagai pengurai sedang algae berfungsi sebagai konsumen sekaligus berfungsi sebagai produsen yaitu penghasil oksigen. Beberapa jenis mikroorganisme tersebut juga ditemukan pada IPAL Suwung Denpasar. Untuk sumber lumpur dari IPAL PT. BTDC Nusa Dua Bali (S3) juga memiliki pertumbuhan mikroorganisme dengan nilai VSS yang hampir mendekati nilai VSS dari sumber lumpur dari IPAL Suwung Denpasar. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan limbah yang hampir sama yaitu jenis limbah domestik. Sumber lumpur dari IPAL RSUD Wangaya Denpasar (S2) memiliki tingkat pertumbuhan biomassa dengan nilai VSS yang paling rendah dibandingkan sumber lainnya dan nilainya kurang dari 2000 mg/L. Kondisi ini disebabkan oleh keberagaman mikroorganisme yang masih sedikit dalam sumber lumpur yang digunakan. Faktor tersebut salah satunya disebabkan karena IPAL RSUD Wangaya dengan sistem pengolahan biofilter anaerob-aerob yang dicoba belum terlalu lama beroperasi sehingga kondisi lumpur dan jumlah mikroorganisme yang berkembang belum terlalu banyak. Kondisi tersebut dapat ditanggulangi dengan pemberian waktu pembibitan yang lebih lama serta komponen nutrien dan aerasi yang mencukupi. Jumlah (beban) mikroorganisme dapat semakin meningkat seiring dengan semakin lamanya proses pembibitan serta cukupnya nutrien yang diperlukan oleh mikroorganisme selama proses perkembangbiakannya. Berdasarkan nilai VSS yang diperoleh, diketahui bahwa ketiga lumpur aktif yang dibiakkan telah mengandung jumlah mikroorganisme yang cukup sehingga dapat digunakan dalam pengolahan limbah secara aerob.
54 Berdasarkan hasil Analisis Kovarians (Anakova) terhadap kadar VSS pada Lampiran 2a diketahui bahwa ketiga lumpur yang digunakan dalam proses pembibitan (seeding) berpengaruh sangat nyata terhadap nilai VSS yang diukur. Sumber varians (keragaman) lainnya yang menyebabkan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar VSS adalah waktu pengolahan yaitu selama enam hari. Hasil analisis juga menunjukkan adanya interaksi nyata antara jenis lumpur yang digunakan dengan waktu pengolahan yang diberikan selama proses pembibitan (seeding). Dalam proses pembibitan (seeding) lumpur aktif juga dianalisis nilai pH dan DO (ketersediaan oksigen terlarut) untuk mengetahui keterkaitan kedua parameter tersebut dalam proses pembibitan. Analisis parameter pH selama enam hari pembibitan ditunjukkan pada Tabel 5.2. Sumber lumpur dari IPAL Suwung Denpasar memiliki rentang nilai pH rata-rata sebesar 7,59 – 8,31 ; sumber lumpur dari IPAL RSUD Wangaya Denpasar dengan rentang pH rata-rata 7,05 - 8,49 sedangkan nilai pH rata-rata sumber lumpur dari IPAL PT. BTDC Nusa Dua Bali sebesar 8,03 – 8,41. Nilai pH optimal yang diperlukan selama proses pembibitan lumpur aktif dengan tiga sumber lumpur aktif tersebut berada pada rentang 7,05 – 8,49. pH (derajat keasaman) mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan organisme di dalam air. Bakteri dapat berkembang baik pada pH netral sampai basa (alkalis), sedangkan jamur (fungi) tumbuh pada pH asam. Kondisi ini menyebabkan proses penguraian bahan organik dapat berlangsung lebih cepat pada pH netral sampai basa (Effendi, 2003). Kebanyakan mikroorganisme tumbuh pada pH 6,0 – 8,0 meskipun ada beberapa mikroorganisme yang hidup pada pH tinggi seperti bakteri
55 Alcaligenes faecalis yang mampu hidup pada pH 8,5 (Sutrisno dan Suciastuti, 1987). Pada ketiga sumber lumpur yang digunakan dalam proses pembibitan, terjadi kenaikan pH seiring waktu pembibitan. Kondisi ini berhubungan dengan reaksi biologis (proses penguraian) yang terjadi oleh mikroorganisme terhadap nutrien yang yang diberikan seperti urea, KCl, TSP, glukosa dan NH4Cl. Peningkatan nilai pH dari netral menuju basa ini disebabkan oleh adanya masukan bahan nutrien yang sebagian besar bersifat basa ke dalam bibit lumpur. Faktor lain yang mampu mengubah nilai pH adalah proses pengendapan yang terjadi dalam suatu pengolahan serta pengaruh udara (Alaerts dan Santika, 1990).. Dengan rentang kondisi pH antara 7,05 – 8,49 pada ketiga sumber lumpur dalam proses pembibitan dapat menunjang proses perkembangbiakan mikroorganisme dengan baik dan nantinya proses pendegradasian bahan organik dalam limbah dapat berlangsung dengan cepat. Parameter DO (oksigen terlarut) juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi proses pembibitan lumpur aktif. Kadar oksigen terlarut berfluktuasi secara harian dan musiman tergantung pada percampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) masa air, aktivitas fotosintesis, respirasi mikroorganisme dan limbah yang masuk ke perairan (Effendi, 2003). Kelarutan oksigen dalam air tergantung pada suhu, pergerakan air, luas permukaan air yang terbuka serta persentase oksigen dalam udara (Mahida, 1992). Berdasarkan nilai analisis kadar DO pada ketiga sumber lumpur yang digunakan selama pembibitan tersaji pada Tabel 5.2. Terjadi penurunan kadar oksigen terlarut pada ketiga sumber lumpur aktif selama selang waktu enam hari pembibitan.
Pada
lumpur
aktif
dari
sumber
IPAL
Suwung
56 Denpasar terjadi penurunan kadar DO dari 6,06 mg/L menjadi 4,87 mg/L, sedangkan penurunan kadar DO pada lumpur aktif dari sumber IPAL RSUD Wangaya Denpasar adalah 5,89 mg/L menjadi 4,59 mg/L. Penurunan kadar oksigen terlarut pada lumpur aktif dari sumber IPAL PT. BTDC Nusa Dua Bali adalah 6 mg/L menjadi 4,72 mg/L. Penurunan kadar oksigen terlarut selama proses pembibitan terjadi akibat pemakaian oksigen oleh mikroorganisme untuk proses respirasi sehingga pertumbuhan mikroorganisme tetap berlangsung bahkan terjadi peningkatan. Oksigen juga diperlukan oleh mikroorganisme dalam penguraian nutrien dan bahan organik selama proses pembibitan lumpur aktif, oleh sebab itu untuk menunjang ketersediaan oksigen terlarut diperlukan sistem aerasi selama proses pembibitan maupun pengolahan limbah secara aerob.
6.2 Penentuan Sumber Lumpur Aktif Terbaik Penentuan sumber lumpur aktif terbaik dilakukan melalui aplikasi tiga jenis lumpur aktif untuk mengolah air limbah artificial dengan kadar amonia 10 mg/L selama selang waktu 5 hari. Sebelum memasuki proses pengolahan dalam reaktor biofilter aerob, air limbah mengalami proses stabilisasi terlebih dahulu yang bertujuan untuk menghomogenkan kandungan bahan organik dalam limbah dan menstabilkan kondisi air limbah, sehingga siap digunakan untuk proses pengolahan selanjutnya. Proses stabilisasi dilakukan selama 1 hari dan selanjutnya diukur kadar amonia pada setiap perlakuan. Hasil pengukuran kadar amonia tercantum pada Tabel 5.3. Proses stabilisasi air limbah memberikan kontribusi terhadap penurunan kadar amonia walaupun dalam jumlah yang sedikit. Pada kontrol terjadi penurunan kadar
57 amonia dari 10 mg/L menjadi 9,88 mg/L; pada perlakuan lumpur aktif S1, S2 dan S3 terjadi penurunan kadar amonia setelah proses stabilisasi dari 10 mg/L berturut-turut menjadi 9,06 mg/L ; 9,49 mg/L dan 9,22 mg/L. Dari hasil pengukuran tersebut dapat diketahui bahwa selama proses stabilisasi, mikroorganisme mulai membentuk lapisan biofilm pada media kerikil. Selama proses pembentukan biofilm, mikroorganisme mulai menjalankan aktivitasnya menguraikan bahan organik maupun amonia dalam air limbah sehingga setelah proses stabilisasi selesai terjadi penurunan kadar amonia walaupun relatif kecil. Penurunan kadar amonia yang relatif kecil juga disebabkan karena belum adanya supplay oksigen selama proses stabilisasi sehingga aktivitas mikroorganisme masih terbatas. Ketika proses stabilisasi selesai, pengolahan air limbah memasuki tahap biofilter aerob. Pada tahap biofilter aerob ini, air limbah yang telah mendapatkan perlakuan (aplikasi lumpur aktif dari 3 sumber berbeda) dan kontrol diolah selama 5 hari dengan adanya supply oksigen dari aerator. Selama proses tersebut air limbah akan mengalami kontak dengan mikroorganisme yang tersuspensi dalam air maupun yang menempel pada permukaan media (biofilm). Kondisi tersebut dapat meningkatkan efisiensi penguraian zat organik serta mempercepat proses nitrifikasi, sehingga efisiensi penurunan amonia menjadi lebih besar (Said et al., 2001). Didalam proses pengolahan air limbah dengan sistem biofilm, mikroorganisme melekat pada permukaan media kerikil, akibatnya konsentrasi biomassa mikroorganisme relatif besar sehingga relatif tahan terhadap fluktuasi beban organik yang masuk dalam proses pengolahan. Adanya penurunan suhu air limbah (suhu rendah) tidak terlalu mempengaruhi proses pengolahan
58 karena di dalam proses biofilm, substrat maupun enzim dapat terdifusi sampai ke bagian dalam lapisan biofilm (Herlambang dan Nusa, 2001). Hasil analisis kadar amonia pada pengolahan air limbah artificial dengan menggunakan tiga sumber lumpur aktif menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar amonia dengan waktu pengolahan 5 hari, seperti yang tercantum pada Gambar 6.2. 12 11 10 Kadar Amonia (mg/L)
9 8 7
S0
6
S1
5
S2
4
S3
3 2 1 0 0
1
2
3
4
5
6
Waktu (Hari)
Gambar 6.2 Penurunan Kadar Amonia Pada Masing-Masing Perlakuan Dan Kontrol Selama 5 Hari Pengolahan. Keterangan : S0 = Kontrol (tanpa penambahan lumpur aktif) S1 = Lumpur dari IPAL Suwung Denpasar Bali S2 = Lumpur dari IPAL RSUD Wangaya Denpasar Bali S3 = Lumpur dari IPAL PT. BTDC Nusa Dua Bali
Pada aplikasi lumpur aktif S1 (sumber lumpur dari IPAL Suwung Denpasar) terjadi penurunan kadar amonia dari awal sebesar 10 mg/L menjadi 0,78 mg/L, sedangkan aplikasi lumpur aktif S2 (sumber lumpur aktif dari IPAL RSUD Wangaya Denpasar) menyebabkan penurunan kadar amonia dari 10 mg/L menjadi 2,01 mg/L. Pada
59 aplikasi lumpur aktif S3 (sumber lumpur dari IPAL PT. BTDC Nusa Dua Bali), terjadi penurunan kadar amonia dari kadar awal sebesar 10 mg/L menjadi 0,94 mg/L. Jika dibandingkan dengan S0 (kontrol) yaitu pengolahan air limbah tanpa menggunakan lumpur aktif terjadi juga penurunan kadar amonia dari awal sebesar 10 mg/L menjadi 4,31 mg/L. Penurunan kadar amonia dengan perlakuan (penambahan lumpur aktif dari ketiga sumber) memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa perlakuan (kontrol). Penurunan kadar amonia tersebut disebabkan karena adanya proses aerasi dengan waktu tinggal yang optimal sehingga proses penguraian bahan-bahan organik terutama yang mengandung nitrogen oleh mikroorganisme berjalan sangat cepat. Tingkat penurunan kadar amonia juga disebabkan oleh adanya aktivitas mikroorganisme nitrifikasi yang dapat menguraikan amonia dalam air limbah menjadi nitrit atau nitrat melalui suatu reaksi nitrifikasi. Penambahan nutrien yang mengandung amonia pada pembibitan lumpur aktif juga merangsang pertumbuhan mikroorganisme khusus perombak amonia (mikroorganisme nitrifikasi) sehingga proses pengolahan air limbah berjalan maksimal. Berdasarkan analisis kadar amonia terhadap tiga jenis lumpur aktif tersebut terlihat bahwa aplikasi lumpur aktif S1 memberikan hasil pengolahan yang paling baik dengan penurunan kadar amonia paling besar dibandingkan aplikasi kedua jenis lumpur aktif lainnya (S2 dan S3) serta kontrol (S0). Penurunan kadar amonia ini disebabkan oleh adanya variasi dan jumlah mikroorganisme yang lebih tinggi pada limbah yang masuk sehingga laju aktivitas penguraian amonia dalam air limbah akan lebih tinggi. Dengan melihat tingkat penurunan kadar amonia menunjukkan bahwa
60 lumpur aktif S1 dari IPAL Suwung Denpasar merupakan sumber lumpur aktif terbaik yang digunakan dalam sistem biofilter aerob untuk mengolah limbah artificial dengan kadar amonia awal 10 mg/L selama 5 hari pengolahan. Berdasarkan hasil Analisis Kovarians (Anakova) terhadap kadar amonia pada Lampiran 2b diketahui bahwa perlakuan yang diberikan dalam pengolahan sistem biofilter aerob (penggunaan tiga jenis lumpur aktif dan kontrol) memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap penurunan kadar amonia air limbah. Sumber varians (keragaman) lainnya yang menyebabkan pengaruh yang sangat nyata terhadap penurunan kadar amonia adalah waktu pengolahan yaitu selama lima hari. Hasil analisis juga menunjukkan adanya interaksi nyata antara jenis lumpur yang digunakan dengan waktu pengolahan yang diberikan selama proses pengolahan air limbah dengan sistem biofilter aerob tersebut.
6.3 Efektivitas Sistem Biofilter Aerob Terhadap Penurunan Kadar Amonia Amonia dalam suatu perairan dengan kadar yang tinggi dapat menimbulkan bau yang menyengat dan juga dapat bersifat racun jika pH perairan tersebut tinggi. Penurunan kadar amonia menunjukkan adanya suatu proses penguraian atau oksidasi bahan-bahan organik terutama yang mengandung nitrogen seperti molekul kompleks protein dan asam amino (Sunu, 2001). 6.3.1 Efektivitas Sistem Biofilter Aerob Terhadap Aplikasi Lumpur Aktif S1 Aplikasi lumpur aktif S1 (sumber lumpur dari IPAL Suwung Denpasar) pada sistem biofilter aerob untuk menurunkan kadar amonia selama 5 hari pengolahan dibandingkan dengan Baku Mutu Amonia Pada Air Limbah Domestik disajikan pada Gambar 6.3.
61 12 11 10
10 Kadar Amonia (mg/L)
9 7,33
8 7 6
5,02
5 4
2,92
3
1,43
2 1
0,78
0 0
1
2
3 Waktu (Hari)
4
5
6
Gambar 6.3 Penurunan Kadar Amonia Dengan Aplikasi Lumpur Aktif S1 Selama 5 Hari Pengolahan Yang Dibandingkan Dengan Baku Mutu Amonia Pada Air Limbah Domestik. Keterangan: = Baku Mutu Amonia Pada Air Limbah Domestik Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No. 8 Tahun 2007.
Dari Gambar 6.3 terlihat bahwa sistem biofilter aerob dengan aplikasi lumpur aktif S1 (sumber lumpur dari IPAL Suwung Denpasar) mampu menurunkan kadar amonia air limbah dibawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 1 mg/L. Aplikasi lumpur aktif S1 selama selang waktu 5 hari menyebabkan terjadi penurunan kadar amonia dari 10 mg/L menjadi 0,78 mg/L. Tingginya penurunan kadar amonia dengan aplikasi lumpur aktif S1 ini dapat disebabkan oleh tingginya biomassa (yang dilihat dari nilai VSS) dan keberagaman variasi mikroorganisme yang mampu hidup pada lumpur aktif S1. Seperti yang diketahui bahwa IPAL Suwung Denpasar mengolah limbah
62 domestik yang bersumber dari kegiatan rumah tangga di kawasan Denpasar, Sanur dan Kuta. Beragamnya aktivitas rumah tangga seperti kegiatan mandi, cuci, kakus (MCK) di kawasan padat penduduk tersebut menyebabkan kapasitas air limbah yang diolah pada IPAL Suwung Denpasar tergolong tinggi yaitu sebesar 51.000 m3/hari. Air limbah yang dihasilkan dari setiap sumber akan disalurkan dengan sistem jaringan perpipaan menuju house inlet (bak kontrol) yang dibangun di halaman rumah pelanggan. Dari house inlet, air limbah kemudian disalurkan ke pipa sewer yang terpasang di jalan yang telah dihubungkan dengan jaringan pipa air limbah menuju IPAL Suwung Denpasar (Wahyuni, 2010). Beragamnya sumber limbah domestik yang masuk ke IPAL Suwung Denpasar menyebabkan kandungan bahan organik maupun anorganik dalam air limbah sangat tinggi termasuk juga kadar amonia. Pada perairan tercemar dengan kandungan bahan organik tinggi akan tercipta suasana yang sesuai bagi mikroorganisme untuk menggunakan bahan organik tersebut dalam proses metabolismenya (Mukono, 2000). Kondisi yang kaya bahan organik seperti karbohidrat, protein dan lemak menyebabkan beberapa mikroorganisme mampu berkembang biak pada sedimen lumpur IPAL Suwung Denpasar seperti Genus Bacillus, Escherichia coli dan beberapa jenis algae. Keberadaan mikroorganisme tersebut akan menunjang proses penguraian bahan organik yang ada dalam air limbah. Namun perlu diperhatikan pula tingkat kecukupan nutrien dan supply oksigen bagi mikroorganisme agar proses penguraian dapat berjalan maksimal. Faktor lainnya yang perlu diketahui dalam pengolahan aerob dengan aplikasi lumpur aktif adalah fase pertumbuhan mikroorganisme harus
63 berada pada kondisi yang sesuai ketika diaplikasikan sampai mencapai fase akhir mikroorganisme (cell lysis). Pada Gambar 6.3 terlihat adanya trend penurunan amonia dimana pada awal pengolahan air limbah mengandung kadar amonia sebesar 10 mg/L. Proses dilanjutkan dengan tahap stabilisasi dan mampu menurunkan kadar amonia rata-rata menjadi 9,06 mg/L (Tabel 5.3). Proses pengolahan dilanjutkan menuju reaktor biofilter aerob. Air limbah mengalami penurunan kadar amonia yang pesat setelah 1 hari pengolahan menjadi 7,33 mg/L (terjadi penurunan kadar amonia sebesar 2,67 mg/L). Tingkat penurunan tersebut tergolong paling tinggi dibandingkan selang waktu pengolahan yang lainnya selama 5 hari pengolahan. Kondisi ini dapat disebabkan karena mikroorganisme masih dalam Exponential phase, yaitu suatu kondisi dimana mikroorganisme mengalami waktu generasi konstan, laju pertumbuhan spesifik konstan, dan laju konversi substrat maksimum (Sumada, 2012). Pertumbuhan eksponensial akan terus berlangsung sepanjang komposisi biomassa dan kondisi lingkungan tetap konstan. Pada fase ini harus diimbangi dengan beberapa faktor, diantaranya adanya kandungan sumber nutrien sebagai bahan makanan pada mikroorganisme dan kebutuhan oksigen yang mencukupi (Wulandari, 2013). Penurunan kadar amonia terus berlangsung pesat selama selang waktu pengolahan. Pada hari kedua pengolahan, kadar amonia yang terukur adalah 5,02 mg/L yang menunjukkan adanya penurunan sebesar 2,31 mg/L dibandingkan hari pertama pengolahan. Untuk hari ketiga pengolahan juga menunjukkan adanya penurunan kadar amonia cukup pesat dengan selisih penurunan sebesar 2,1 mg/L. Penurunan pesat yang terjadi selama 3 hari pengolahan tersebut mulai menunjukkan
64 kondisi melambat pada hari keempat dan hari kelima setelah pengolahan. Pada hari keempat pengolahan, dari kadar amonia yang terukur hanya terjadi penurunan dengan selisih sebesar 1,49 mg/L
jika dibandingkan dengan hari sebelumnya,
sedangkan pada hari kelima pengolahan, selisih penurunan kadar amonia yang terjadi hanya sebesar 0,65 mg/L (dari kadar 1,43 mg/L menjadi 0,75 mg/L). Melambatnya penurunan kadar amonia mulai hari keempat pengolahan sampai hari kelima ini disebabkan karena kondisi mikroorganisme yang mulai memasuki Stationary phase, yaitu suatu kondisi dimana mikroorganisme mulai kehabisan sumber nutrien dan tidak ada tambahan nutrien lagi sehingga mikroorganisme tidak bisa melakukan pertumbuhan
dan
aktivitas
penguraian
akan
semakin
menurun.
Kondisi
mikroorganisme juga semakin tidak kondusif karena terjadi peningkatan racun seperti gas metana (CH4) dan hidrogen sulfat (H2S) dalam lingkungannya (Wulandari, 2013). Pada kondisi tersebut sel dalam keadaan tersuspensi (melayang) artinya tidak ada lagi proses pertumbuhan mikroorganisme namun mikroorganisme tidak secara langsung akan mengalami kematian sehingga pada kurva pertumbuhan mikroorganisme menunjukkan grafik yang mulai mendatar (stabil). Jika waktu pengolahan
dilanjutkan maka kemungkinan besar grafik yang dihasilkan akan
cenderung stabil yang menunjukkan bahwa mikroorganisme sudah tidak mampu lagi melakukan aktivitasnya dalam menguraikan bahan organik khususnya amonia akibat kekurangan nutrien sehingga lama kelamaan akan mencapai endogenous phase, yaitu suatu kondisi dimana mikroorganisme mengalami kematian dengan laju kematian tinggi dan terjadi cell lysis.
65 Pada proses pengolahan air limbah dengan adanya aplikasi lumpur aktif S1 juga dilakukan pengamatan terhadap kondisi fisik air limbah serta parameter pendukung lainnya seperti pH, kadar Dissolved Oxygen (DO) dan Total Dissolved Solid (TDS). Untuk kondisi awal air limbah yang diolah adalah berwarna kecoklatan, berbau dan tidak ada buih. Seiring dengan adanya proses pengolahan dengan selang waktu yang ditentukan terjadi perubahan yang cukup signifikan diantaranya warna air hasil pengolahan menjadi lebih jernih dan intensitas bau juga semakin lama semakin berkurang. Untuk parameter pendukung lainnya seperti pH menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Pada awal proses pengolahan, pH rata-rata air limbah sebesar 7,21 atau berada pada suasana netral. Seiring meningkatnya waktu pengolahan, pH juga mengalami peningkatan menjadi 8,49 atau mencapai kondisi basa (Tabel 5.4). Peningkatan kondisi pH dari netral menuju basa ini disebabkan oleh adanya reaksi biologis (proses penguraian) yang terjadi oleh mikroorganisme terhadap amonia yang ada dalam air limbah. Pada proses penguraian amonia, senyawa amonia dioksidasi dan diubah ke dalam bentuk nitrit. Sebagian senyawa nitrit ada yang diubah menjadi gas dinitrogen oksida (N2O) dan ada yang diubah menjadi nitrat. Proses yang terjadi tersebut dinamakan proses nitrifikasi. Adapun reaksi nitrifikasi yang terjadi adalah (Wahyuni, 2010): Nitrosomonas 2NO2- + 2H+ + 2H2O + energi
2NH3 + 3O2 Nitrobacter -
2NO2 + O2
2NO3 -
Pada proses nitrifikasi tersebut sangat dipengaruhi oleh keberadaan bakteri Nitrosomonas dan Nitrobacter. Kedua bakteri ini dikenal sebagai bakteri autotropik
66 yaitu bakteri yang dapat mensuplai karbon dan nitrogen dari bahan-bahan anorganik dengan sendirinya. Bakteri ini menggunakan energi dari proses nitrifikasi untuk membentuk sel sintesa yang baru. Pertumbuhan kedua bakteri selama proses nitrifikasi juga memerlukan kondisi optimal dengan pH cenderung basa yaitu antara 7,5 – 8,5. Proses ini akan terhenti jika pH berada dibawah 6,0 (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Faktor lain yang mampu mengubah nilai pH adalah proses pengendapan yang terjadi selama proses pengolahan air limbah yang disebabkan oleh menumpuknya biomassa yang telah mati serta adanya kelebihan bahan organik dan anorganik yang tidak mampu secara maksimal diuraikan oleh mikroorganisme (Alaerts dan Santika, 1990). Jika dilihat dari kondisi pH rata-rata yang terukur selama proses pengolahan dengan aplikasi lumpur aktif S1 menunjukkan bahwa proses nitrifikasi dapat berlangsung secara optimal karena nilai pH memenuhi range pH optimal pertumbuhan bakteri Nitrosomonas dan Nitrobacter sebagai agen pengurai amonia. Faktor ketersediaan oksigen terlarut (DO) juga menjadi parameter pendukung yang diukur selama proses pengolahan air limbah. Untuk aplikasi lumpur aktif S1, terjadi penurunan kadar DO seiring dengan waktu pengolahan air limbah. Kadar DO rata-rata pada hari pertama pengolahan sebesar 4,80 mg/L mengalami penurunan sampai mencapai kadar 2,59 mg/L pada hari kelima pengolahan (Tabel 5.4). Ketersediaan oksigen terlarut sangat dibutuhkan untuk menunjang kehidupan bakteri nitrifikasi. Kepekaan bakteri nitrifikasi terhadap rendahnya kadar oksigen terlarut merupakan salah satu penyebab bakteri ini sulit untuk aktif dan berkembang biak. Proses nitrifikasi berjalan dengan baik jika konsentrasi oksigen
67 terlarut minimum lebih besar dari 1 mg/L (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Kondisi ini menunjukkan bahwa proses nitrifikasi pada pengolahan air limbah dengan aplikasi lumpur aktif S1 masih dapat berjalan dengan kadar DO akhir sebesar 2,59 mg/L tersebut. Jika proses pengolahan dilanjutkan tanpa adanya tambahan supply oksigen, dapat menyebabkan proses nitrifikasi tidak berjalan optimal karena mikroorganisme mengalami kekurangan oksigen untuk menjalankan aktivitasnya. Pengukuran Total Dissolved Solid (TDS) selama proses pengolahan air limbah dilakukan sebagai pendukung untuk mengetahui jumlah senyawa yang terlarut dalam air limbah. TDS ini merupakan zat padat yang mempunyai ukuran yang lebih kecil daripada padatan tersuspensi. Padatan ini terdiri dari senyawa anorganik dan organik yang larut dalam air, mineral dan garam-garamnya (Fardiaz, 1992). Parameter ini mempengaruhi tingkat kekeruhan pada air limbah baik yang disebabkan oleh adanya bahan organik terlarut (seperti lumpur dan pasir halus) maupun bahan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme (Effendi, 2003). Dari kadar TDS rata-rata yang terukur pada aplikasi lumpur aktif S1 terjadi penurunan kadar TDS setelah selang waktu pengolahan selama 5 hari yaitu dari 3680 mg/L menjadi 1850 mg/L (Tabel 5.4). Adanya penurunan kadar TDS ini menunjukkan akumulasi padatan terlarut yang ada dalam air limbah mengalami proses penguraian oleh mikroorganisme yang ada. Penurunan kadar TDS ini juga dapat diamati secara fisik dengan menurunnya intensitas warna air limbah dari kecoklatan menjadi semakin jernih. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi bahan anorganik dan organik (baik berupa lumpur atau pasir halus maupun mikroorganisme yang mati) dalam air limbah semakin menurun. Adanya peningkatan total padatan
68 terlarut akan meningkatkan kondisi kekeruhan air. Dampak kekeruhan pada air adalah menimbulkan estetika yang kurang baik. Air keruh juga mengandung zat-zat terlarut yang dapat menyebabkan mikroorganisme patogen hidup dan berkembang dengan
baik,
bahkan
adanya
bahan-bahan
tersebut
dapat
menyebabkan
mikroorganisme lebih tahan terhadap proses desinfeksi. Adanya kekeruhan akan manghambat proses masuknya sinar matahari ke dalam perairan sehingga mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis tanaman (fitoplankton). Kondisi tersebut menyebabkan supply oksigen dalam air akan berkurang. Jika oksigen terlarut dalam air sedikit, maka aktivitas bakteri aerobik akan terganggu dan dalam jangka waktu tertentu menyebabkan kematian mikroorganisme (Huda, 2009). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No. 8 Tahun 2007, Baku Mutu TDS untuk air limbah domestik adalah 2000 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengolahan air limbah dengan aplikasi lumpur aktif S1 mampu menurunkan kadar TDS dibawah baku mutu selama selang waktu 5 hari pengolahan. Tingkat efektivitas sistem biofilter aerob dengan aplikasi lumpur aktif S1 untuk menurunkan kadar amonia air limbah dapat ditinjau dari dua aspek yaitu berdasarkan efektivitas proses pengolahan dan efektivitas baku mutu yang ditetapkan. Berdasarkan Tabel 5.5 diketahui bahwa efektivitas tahapan proses pengolahan air limbah dengan aplikasi lumpur aktif S1 menunjukkan persentase penurunan kadar amonia sebesar 92,20% selama 5 hari pengolahan. Jika dilihat pada Gambar 6.3 diatas, penurunan kadar amonia yang terjadi sangat signifikan dengan tingkat penurunan yang tajam. Dari awal proses pengolahan sampai hari pertama, terjadi penurunan kadar amonia dengan persentase sebesar 26,70%. Proses
69 pengolahan air limbah setelah hari kedua dan ketiga memberikan persentase penurunan kadar amonia berturut-turut sebesar 49,80% dan 70,80%. Penurunan kadar amonia melebihi 80% diperoleh setelah hari keempat pengolahan yaitu sebesar 85,70%. Dari nilai persentase penurunan kadar amonia yang sangat besar tersebut menunjukkan bahwa proses pengolahan biofilter aerob dengan aplikasi lumpur aktif S1 ini efektif dalam menurunkan kadar amonia air limbah. Untuk aspek efektivitas yang ditinjau dari segi baku mutu menunjukkan aplikasi lumpur aktif S1 selama selang waktu 5 hari pengolahan mampu menurunkan kadar amonia air limbah dari 10 mg/L menjadi 0,78 mg/L dengan capaian persentase efektivitas baku mutu sebesar 92,20% (Tabel 5.6). Capaian persentase efektivitas baku mutu sebesar 92,20% tersebut menunjukkan bahwa perlakuan lumpur aktif dari S1 yang diberikan sudah mampu melewati persentase efektivitas baku mutu yang ditentukan yaitu sebesar 90%. Dari hasil yang diperoleh dapat dinyatakan bahwa sistem biofilter aerob untuk aplikasi lumpur aktif S1, ditinjau dari aspek baku mutunya sudah efektif menurunkan kadar amonia air limbah selama 5 hari pengolahan. Merujuk kedua aspek efektivitas yang diamati memberikan hasil bahwa sistem biofilter aerob dengan aplikasi lumpur aktif S1 efektif digunakan untuk menurunkan kadar amonia air limbah.
6.3.2 Efektivitas Sistem Biofilter Aerob Terhadap Aplikasi Lumpur Aktif S2 Aplikasi lumpur aktif S2 (sumber lumpur dari IPAL RSUD Wangaya Denpasar) pada sistem biofilter aerob untuk menurunkan kadar amonia selama 5 hari pengolahan dibandingkan dengan Baku Mutu Amonia Pada Air Limbah Domestik disajikan pada Gambar 6.4. Dari Gambar 6.4 terlihat bahwa sistem biofilter aerob
70 dengan aplikasi lumpur aktif S2 (sumber lumpur dari IPAL RSUD Wangaya Denpasar) belum mampu menurunkan kadar amonia air limbah dibawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 1 mg/L. 12 11 10
10
8,77
Kadar Amonia (mg/L)
9 8
6,83
7
5,42
6 5
3,81
4 3
2,01
2 1
0 0
1
2
3
4
5
6
Waktu (Hari)
Gambar 6.4 Penurunan Kadar Amonia Dengan Aplikasi Lumpur Aktif S2 Selama 5 Hari Pengolahan Yang Dibandingkan Dengan Baku Mutu Amonia Pada Air Limbah Domestik. Keterangan: = Baku Mutu Amonia Pada Air Limbah Domestik Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No. 8 Tahun 2007.
Aplikasi lumpur aktif S2 selama selang waktu 5 hari menyebabkan terjadi penurunan kadar amonia dari 10 mg/L menjadi 2,01 mg/L. Kadar amonia dengan aplikasi lumpur aktif S2 yang masih melebihi baku mutu air limbah domestik kemungkinan besar disebabkan dari jumlah mikroorganisme dalam lumpur aktif yang belum mampu secara maksimal menguraikan amonia dalam air limbah. Jumlah mikroorganisme (yang diukur dengan nilai VSS) dalam lumpur aktif S2 masih lebih
71 rendah dibandingkan lumpur aktif yang lain. IPAL RSUD Wangaya mengolah air limbah domestik yang bersumber dari kegiatan rumah sakit non medis seperti dapur, kamar perawatan, laundry, ruang operasi dan kantor. Kapasitas limbah yang diolah pada IPAL RSUD Wangaya Denpasar adalah 100 – 200 bed dengan menggunakan sistem biofilter anaerob – aerob. Jumlah reaktor pengolahan yang ada sebanyak 4 unit. Air limbah dari berbagai sumber rumah sakit dialirkan ke equalisasi tank (penampung awal limbah) dengan sistem perpipaan (gravity system) dan selanjutnya akan mengalami proses pengolahan pada reaktor biofilter anaerob – aerob (Arifin, 2013). Kapasitas limbah IPAL RSUD Wangaya Denpasar yang diolah masih relatif sedikit jika dibandingkan dengan IPAL Suwung Denpasar. Rendahnya kapasitas limbah yang diolah mempengaruhi keberagaman bahan organik yang terkandung dalam air limbah maupun sedimen lumpurnya. Kondisi ini menyebabkan mikroorganisme yang mampu hidup dalam air limbah tidak terlalu beragam dan aktivitas penguraian yang dilakukan juga terbatas. Faktor lainnya yang sangat mempengaruhi terbatasnya keberagaman mikroorganisme pada lumpur aktif S2 adalah pengoperasian IPAL RSUD Wangaya yang terbilang masih baru sehingga sedimen lumpur yang mengendap pada sistem pengolahan belum terlalu banyak. Keberagaman variasi mikroorganisme dalam lumpur aktif dan ketahanan mikroorganisme dalam menguraikan amonia sangat mempengaruhi tingkat penurunan kadar amonia pada air limbah. Pada Gambar 6.4 terlihat adanya trend penurunan amonia dimana pada awal pengolahan air limbah mengandung kadar amonia sebesar 10 mg/L. Proses dilanjutkan dengan tahap stabilisasi dan mampu menurunkan kadar amonia rata-rata
72 menjadi 9,49 mg/L (Tabel 5.3). Air limbah selanjutnya mengalami penurunan kadar amonia secara perlahan setelah 1 hari pengolahan sehingga kadar amonia menjadi 8,77 mg/L. Penurunan kadar amonia tertinggi terjadi setelah selang waktu pengolahan 2 hari dimana terjadi selisih penurunan amonia sebesar 1,94 mg/L dibandingkan hari sebelumnya (dari 8,77 mg/L menjadi 6,83 mg/L). Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena komposisi biomassa (mikroorganisme) dan kondisi lingkungan sudah konstan (fase eksponensial). Adanya sumber nutrien yang mencukupi pada selang waktu pengolahan tersebut menyebabkan aktivitas mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik akan semakin pesat. Penurunan kadar amonia terus berlangsung secara perlahan pada selang waktu pengolahan selama 3 hari. Pada hari ketiga tersebut, kadar amonia yang terukur adalah 5,42 mg/L yang menunjukkan adanya
penurunan sebesar 1,41 mg/L dibandingkan hari
sebelumnya. Pada hari keempat dan kelima pengolahan terjadi selisih penurunan kadar amonia berturut-turut sebesar 1,61 mg/L dan 1,80 mg/L. Adanya trend peningkatan selisih kadar amonia setelah hari ketiga pengolahan menunjukkan bahwa mikroorganisme belum memasuki Stationary phase, yang berarti bahwa ketersediaan nutrien masih mencukupi bagi mikroorganisme untuk berkembang biak dan melaksanakan aktivitas penguraian. Adanya penambahan waktu pengolahan dan penambahan aerasi untuk aplikasi lumpur aktif S2 kemungkinan besar dapat memperbesar penurunan kadar amonia sehingga nantinya mampu menurunkan kadar amonia dibawah baku mutu yang ditetapkan. Pada proses pengolahan air limbah dengan adanya aplikasi lumpur aktif S2 juga dilakukan pengamatan terhadap kondisi fisik air limbah serta parameter
73 pendukung lainnya seperti pH, kadar DO dan TDS. Untuk kondisi awal air limbah yang diolah hampir sama dengan kondisi awal limbah S1 yaitu berwarna kecoklatan, berbau dan tidak ada buih. Seiring dengan adanya proses pengolahan dengan selang waktu yang ditentukan terjadi perubahan yang cukup signifikan diantaranya warna air hasil pengolahan menjadi lebih jernih dan intensitas bau juga semakin lama semakin berkurang. Untuk parameter pendukung lainnya seperti pH menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Pada awal proses pengolahan, pH rata-rata air limbah sebesar 7,30. Seiring meningkatnya waktu pengolahan, pH juga mengalami peningkatan menjadi 8,68 atau mencapai kondisi basa (Tabel 5.4). Peningkatan kondisi pH menuju kondisi basa ini juga disebabkan oleh adanya reaksi biologis (proses penguraian) yang terjadi oleh mikroorganisme terhadap amonia yang ada dalam air limbah. Nilai pH dengan rentang 7,30 – 8,68 pada proses pengolahan dengan aplikasi lumpur aktif S2 masih dapat ditoleransi bagi keberlangsungan hidup bakteri nitrifikasi yaitu bakteri Nitrosomonas dan Nitrobacter sebagai agen pengurai amonia pada air limbah. Kedua bakteri ini memiliki kondisi optimal pada pH cenderung basa yaitu antara 7,5 – 8,5. Apabila nilai pH semakin meningkat seiring semakin lamanya waktu pengolahan akan menghambat proses penguraian amonia oleh mikroorganisme. Adanya kondisi tersebut dapat diminimalisir dengan penambahan larutan buffer pH yang berfungsi sebagai penyangga kondisi pH larutan agar tetap stabil dalam jangka waktu tertentu. Oleh sebab itu aktivitas mikroorganisme khususnya bakteri nitrifikasi dapat tetap berlangsung. Faktor ketersediaan oksigen terlarut (DO) juga menjadi parameter pendukung yang diukur selama proses pengolahan air limbah. Untuk aplikasi lumpur
74 aktif S2, juga ditemukan fenomena penurunan kadar DO seiring dengan waktu pengolahan air limbah. Kadar DO rata-rata pada hari pertama pengolahan sebesar 4,30 mg/L mengalami penurunan sampai mencapai kadar 2,25 mg/L pada hari kelima pengolahan (Tabel 5.4). Kepekaan bakteri nitrifikasi terhadap rendahnya kadar oksigen terlarut merupakan salah satu penyebab bakteri ini sulit untuk aktif dan berkembang biak. Kadar oksigen terlarut yang semakin rendah seiring waktu pengolahan ini mempengaruhi proses penguraian amonia oleh mikroorganisme yang ditunjukkan dengan lambatnya tingkat penurunan kadar amonia air limbah jika dibandingkan aplikasi lumpur aktif S1. Untuk parameter TDS yang diukur pada air limbah yang diolah dengan aplikasi lumpur aktif S2 menunjukkan terjadi penurunan nilai seiring waktu pengolahan selama 5 hari. Pada hari pertama pengolahan kadar TDS rata-rata yang terukur adalah sebesar 3250 mg/L. Kadar tersebut tergolong cukup tinggi namun selama proses pengolahan mengalami penurunan sehingga mencapai kadar TDS sebesar 2010 mg/L setelah 5 hari pengolahan (Tabel 5.4). Adanya penurunan kadar TDS ini menunjukkan akumulasi padatan terlarut yang ada dalam air limbah mengalami proses penguraian oleh mikroorganisme yang ada. Penurunan kadar TDS ini juga dapat diamati secara fisik dengan menurunnya intensitas warna air limbah pada S2 dari kecoklatan menjadi agak jernih. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi bahan anorganik dan organik (baik berupa lumpur atau pasir halus maupun mikroorganisme yang mati) dalam air limbah semakin menurun. Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No. 8 Tahun 2007, Baku Mutu TDS untuk air limbah domestik adalah 2000 mg/L. Dengan adanya baku mutu yang telah ditetapkan
75 menunjukkan bahwa proses pengolahan air limbah dengan aplikasi lumpur aktif S2 masih belum mampu secara optimal menurunkan kadar TDS dibawah baku mutu selama selang waktu 5 hari pengolahan. Untuk tingkat efektivitas sistem biofilter aerob dengan aplikasi lumpur aktif S2 dalam menurunkan kadar amonia air limbah dapat ditinjau dari dua aspek yaitu berdasarkan efektivitas proses pengolahan dan efektivitas baku mutu yang ditetapkan. Berdasarkan Tabel 5.5 diketahui bahwa efektivitas tahapan proses pengolahan air limbah dengan aplikasi lumpur aktif S2 menunjukkan persentase penurunan kadar amonia sebesar 79,90%. Dari nilai persentase penurunan kadar amonia tersebut menunjukkan bahwa proses pengolahan biofilter aerob dengan aplikasi lumpur aktif S2 ini sudah efektif dalam menurunkan kadar amonia air limbah. Adapun dari aspek efektivitas yang ditinjau berdasarkan baku mutu menunjukkan aplikasi lumpur aktif S2 selama selang waktu 5 hari pengolahan mampu menurunkan kadar amonia air limbah dari 10 mg/L menjadi 2,01 mg/L dengan capaian persentase efektivitas baku mutu sebesar 79,90% (Tabel 5.6). Capaian persentase efektivitas baku mutu sebesar 79,90% tersebut menunjukkan bahwa perlakuan lumpur aktif dari S2 yang diberikan belum mampu melewati persentase efektivitas baku mutu yang ditentukan yaitu sebesar 90%. Dari hasil yang diperoleh dapat dinyatakan bahwa sistem biofilter aerob untuk aplikasi lumpur aktif S2, ditinjau dari aspek baku mutunya masih belum efektif menurunkan kadar amonia air limbah selama 5 hari pengolahan. Jika ditinjau dari kedua aspek efektivitas tersebut, maka disimpulkan bahwa sistem biofilter aerob dengan aplikasi lumpur aktif S2 masih belum efektif digunakan untuk menurunkan kadar amonia air limbah.
76 6.3.3 Efektivitas Sistem Biofilter Aerob Terhadap Aplikasi Lumpur Aktif S3 Aplikasi lumpur aktif S3 (sumber lumpur dari IPAL PT. BTDC Nusa Dua Bali) pada sistem biofilter aerob untuk menurunkan kadar amonia selama 5 hari pengolahan dibandingkan dengan Baku Mutu Amonia Pada Air Limbah Domestik disajikan pada Gambar 6.5. 12 11 10
10 Kadar Amonia (mg/L)
9
7,92
8
6,65
7 6 5
3,71
4
2,77
3 2
0,94
1 0 0
1
2
3
4
5
6
Waktu (Hari)
Gambar 6.5 Penurunan Kadar Amonia Dengan Aplikasi Lumpur Aktif S3 Selama 5 Hari Pengolahan Yang Dibandingkan Dengan Baku Mutu Amonia Pada Air Limbah Domestik. Keterangan: = Baku Mutu Amonia Pada Air Limbah Domestik Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No. 8 Tahun 2007.
Dari Gambar 6.5 terlihat bahwa sistem biofilter aerob dengan aplikasi lumpur aktif S3 (sumber lumpur dari IPAL PT. BTDC Nusa Dua Bali) mampu menurunkan kadar amonia air limbah dibawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 1 mg/L. Aplikasi
77 lumpur aktif S3 selama selang waktu 5 hari menyebabkan terjadi penurunan kadar amonia dari 10 mg/L menjadi 0,94 mg/L. Tingginya penurunan kadar amonia dengan aplikasi lumpur aktif S3 disebabkan oleh tingginya biomassa (yang dilihat dari nilai VSS)
yang mampu
hidup
pada
lumpur
aktif
S3.
Tingginya
biomassa
(mikroorganisme) dalam lumpur aktif akan menyebabkan aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan bahan organik khususnya amonia akan semakin besar. Untuk IPAL PT. BTDC Nusa Dua Bali sendiri mengolah limbah domestik yang bersumber dari kegiatan perhotelan seperti dari dapur, kamar, toilet, restoran, laundry, kolam renang dan kantor. Kapasitas air limbah yang diolah sebesar 10.000 m3/hari. Air limbah dari berbagai sumber tersebut disalurkan secara gravitasi menuju lift pump station (LPS) dan dialirkan menuju lagoon BTDC. Sistem pengolahan yang dilakukan terdiri dari dua instalasi yaitu instalasi untuk pengolahan limbah dengan menerapkan waste stabilization pond (kolam stabilisasi) dan instalasi untuk produksi air irigasi (kolam aerasi, sedimentasi dan filtrasi) (PT. BTDC, 2010). Jenis bahan organik dan anorganik yang terkandung dalam air limbah IPAL PT. BTDC Nusa Dua Bali hampir serupa dengan yang ditemukan pada IPAL Suwung Denpasar namun kapasitas air limbah yang diolah lebih sedikit. Hal ini ditunjang dengan tingkat pertumbuhan biomassa yang ditunjukkan dengan nilai VSS pada lumpur aktif S3 yang sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai VSS pada lumpur aktif S1. Kondisi inilah yang kemungkinan besar menyebabkan tingkat penurunan kadar amonia pada S3 hampir menyamai tingkat penurunan kadar amonia pada lumpur aktif S1.
78 Pada Gambar 6.5 terlihat adanya trend penurunan amonia dimana pada awal pengolahan air limbah mengandung kadar amonia sebesar 10 mg/L. Proses dilanjutkan dengan tahap stabilisasi dan mampu menurunkan kadar amonia rata-rata menjadi 9,22 mg/L (Tabel 5.3). Air limbah kemudian mengalami proses pengolahan lanjutan dan menunjukkan terjadinya penurunan kadar amonia secara perlahan. Pada selang waktu pengolahan selama 1 hari terjadi selisih penurunan kadar amonia sebesar 2,08 mg/L (dari 10 mg/L menjadi 7,92 mg/L). Proses pengolahan air limbah selanjutnya menghasilkan selisih penurunan yang lebih rendah yaitu 1,27 mg/L. Adanya fluktuasi selisih penurunan amonia pada pengolahan air limbah ini terjadi lagi pada selang waktu 3 hari pengolahan. Pada hari ketiga, terjadi selisih penurunan kadar amonia sebesar 2,94 mg/L. Tingkat penurunan kadar amonia ini paling pesat dibandingkan selang waktu pengolahan yang lainnya selama 5 hari pengolahan. Hal ini juga ditunjukkan dengan garis Gambar 6.5 pada hari ketiga yang paling curam dibandingkan yang lainnya. Kondisi ini menunjukkan aktivitas mikroorganisme pada waktu pengolahan tersebut berlangsung paling maksimal yang ditunjang dengan ketersediaan nutrien yang mencukupi dan supply oksigen yang memadai. Jumlah mikroorganisme juga masih dalam laju pertumbuhan spesifik yang konstan sehingga menunjang proses penguraian amonia. Grafik penurunan kadar amonia mulai melambat setelah hari ketiga pengolahan. Selisih penurunan kadar amonia dari hari ketiga sampai hari keempat adalah 0,94 mg/L. Kondisi tersebut masih belum stabil karena pada hari selanjutnya terjadi peningkatan selisih kadar amonia. Dari hari keempat sampai hari kelima pengolahan terjadi penurunan kadar amonia sebesar 1,83 mg/L. Adanya fluktuasi tingkat penurunan kadar amonia pada akhir pengolahan
79 menunjukkan mikroorganisme masih mampu menguraikan sisa-sisa bahan organik yang ada. Namun seiring waktu pengolahan, proses penguraian akan semakin melambat karena mikroorganisme mulai kehabisan sumber nutrien dan tidak ada tambahan nutrien lagi. Kondisi mikroorganisme juga semakin tidak kondusif karena terjadi peningkatan racun dalam lingkungan akibat perubahan proses penguraian dari kondisi aerob menjadi anaerob (Wulandari, 2013). Pada proses pengolahan air limbah dengan adanya aplikasi lumpur aktif S3 juga dilakukan pengamatan terhadap kondisi fisik air limbah serta parameter pendukung lainnya seperti pH, DO dan TDS. Untuk kondisi awal air limbah S3 yang diolah adalah berwarna kecoklatan, berbau, tidak ada buih dan ditemukan sejenis keong. Seiring dengan adanya proses pengolahan dengan selang waktu yang ditentukan terjadi perubahan yang cukup signifikan diantaranya warna air hasil pengolahan menjadi lebih jernih dan intensitas bau juga semakin lama semakin berkurang. Jika dibandingkan dengan aplikasi lumpur aktif yang lainnya, kondisi air limbah S3 ini cenderung menyerupai kondisi air limbah S1. Hal ini kemungkinan sangat dipengaruhi oleh komposisi sumber lumpur aktif yang hampir sama dari kedua lumpur tersebut. Untuk parameter pendukung lainnya seperti pH secara keseluruhan menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Pada awal proses pengolahan, pH rata-rata air limbah S3 sebesar 7,36. Kondisi awal pH ini paling tinggi dibandingkan perlakuan yang lainnya. Seiring meningkatnya waktu pengolahan, pH juga mengalami peningkatan menjadi 8,42 atau mencapai kondisi basa (Tabel 5.4). Seperti yang telah dijelaksan sebelumnya, adanya peningkatan kondisi pH dari netral menuju basa ini disebabkan adanya reaksi biologis (proses
80 penguraian) yang terjadi oleh mikroorganisme terhadap amonia yang ada dalam air limbah. Pada proses penguraian amonia, senyawa amonia dioksidasi dan diubah ke dalam bentuk nitrit. Senyawa nitrit selanjutnya akan diubah menjadi senyawa nitrat karena keberadaan nitrit dalam air bersifat toksik bagi mikroorganisme. Kondisi tersebut berlangsung dalam proses nitrifikasi yang melibatkan dua bakteri yaitu bakteri Nitrosomonas dan Nitrobacter (Wahyuni, 2010). Pertumbuhan kedua bakteri selama proses nitrifikasi ini memerlukan kondisi optimal dengan pH cenderung basa yaitu antara 7,5 – 8,5. Range nilai pH pada pengolahan air limbah S3 antara 7,36 – 8,42 menunjukkan bahwa bakteri nitrifikasi dapat hidup dengan optimal pada sistem pengolahan biofilter aerob tersebut. Faktor ketersediaan oksigen terlarut (DO) juga menjadi parameter pendukung yang diukur selama proses pengolahan air limbah. Untuk aplikasi lumpur aktif S3, ditemukan pula trend penurunan kadar DO seiring dengan waktu pengolahan air limbah. Kadar DO rata-rata pada hari pertama pengolahan sebesar 4,60 mg/L mengalami penurunan sampai mencapai kadar 2,38 mg/L pada hari kelima pengolahan (Tabel 5.4). Adanya penurunan kadar DO seiring waktu pengolahan ini disebabkan karena pemakaian oksigen yang terus menerus oleh mikroorganisme untuk proses respirasi. Oksigen juga diperlukan selama proses nitrifikasi dimana pada tahap awal nitrifikasi, senyawa amonia dengan bantuan oksigen akan diuraikan menjadi senyawa nitrit, air serta melepaskan ion hidrogen dan energi. Tahap selanjutnya terjadi penguraian nitrit dengan bantuan oksigen yang menghasilkan nitrat yang lebih aman bagi lingkungan. Ketersediaan oksigen ini bersumber dari proses aerasi yang diberikan selama pengolahan air limbah. Kadar
81 DO akhir sebesar 2,38 mg/L relatif masih mampu menunjang proses nitrifikasi namun jika proses pengolahan dilanjutkan tanpa adanya tambahan supply oksigen, dapat menyebabkan proses nitrifikasi tidak berjalan optimal. Pengukuran Total Dissolved Solid (TDS) selama proses pengolahan air limbah dilakukan sebagai pendukung untuk mengetahui jumlah senyawa yang terlarut dalam air limbah. Kadar TDS ini juga mempengaruhi tingkat kekeruhan air dan berpengaruh secara tidak langsung terhadap ketersediaan oksigen dalam air. Pada pengolahan air limbah dengan aplikasi lumpur aktif S3 diperoleh kadar TDS rata-rata pada hari pertama sebesar 3570 mg/L. Air limbah kemudian mengalami pengolahan dengan sistem biofilter aerob sehingga mampu menurunkan kadar TDS selama selang waktu 5 hari sebesar 1930 mg/L (Tabel 5.4). TDS yang merupakan bahan organik terlarut (seperti lumpur dan pasir halus) maupun bahan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme mengalami penguraian dan pengendapan selama proses pengolahan sehingga menurukan kadar TDS dalam air limbah. Adanya transformasi bentuk senyawa kompleks menjadi yang lebih sederhana juga mendukung terjadinya perubahan kadar TDS dalam air limbah. Penurunan kadar TDS secara fisik dapat dilihat dengan semakin berkurangnya intensitas kekeruhan dalam air yang diolah. Air limbah awal yang diolah berwarna kecoklatan dan setelah selang 5 hari pengolahan berubah menjadi semakin jernih. Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No. 8 Tahun 2007, Baku Mutu TDS untuk air limbah domestik adalah 2000 mg/L. Dari standar baku mutu yang ditetapkan tersebut menunjukkan bahwa proses pengolahan dengan aplikasi lumpur aktif S3 telah mampu menurunkan kadar TDS dibawah baku mutu selama selang waktu 5 hari pengolahan.
82 Tingkat efektivitas sistem biofilter aerob dengan aplikasi lumpur aktif S3 untuk menurunkan kadar amonia air limbah ditinjau dari dua aspek yaitu berdasarkan efektivitas proses pengolahan dan efektivitas baku mutu yang ditetapkan. Berdasarkan Tabel 5.5 diketahui bahwa efektivitas tahapan proses pengolahan air limbah dengan aplikasi lumpur aktif S3 menunjukkan persentase penurunan kadar amonia sebesar 90,60%. Dari nilai persentase penurunan kadar amonia yang sangat besar tersebut menunjukkan bahwa proses pengolahan biofilter aerob dengan aplikasi lumpur aktif S3 ini sangat efektif dalam menurunkan kadar amonia air limbah. Untuk aspek efektivitas yang ditinjau dari segi baku mutu menunjukkan aplikasi lumpur aktif S3 selama selang waktu 5 hari pengolahan mampu menurunkan kadar amonia air limbah dari 10 mg/L menjadi 0,94 mg/L dengan capaian persentase efektivitas baku mutu sebesar 90,60% (Tabel 5.6). Capaian persentase efektivitas baku mutu sebesar 90,60% tersebut menunjukkan bahwa perlakuan lumpur aktif dari S3 yang diberikan sudah mampu melewati persentase efektivitas baku mutu yang ditentukan yaitu sebesar 90%. Berdasarkan nilai tersebut dapat dinyatakan bahwa sistem biofilter aerob untuk aplikasi lumpur aktif S3, ditinjau dari aspek baku mutunya sudah efektif menurunkan kadar amonia air limbah selama 5 hari pengolahan. Merujuk pada kedua aspek efektivitas tersebut, dapat disimpulkan bahwa sistem biofilter aerob dengan aplikasi lumpur aktif S3 efektif digunakan untuk menurunkan kadar amonia air limbah.
83 6.3.4 Efektivitas Sistem Biofilter Aerob Terhadap Kontrol (S0) Aplikasi tiga sumber lumpur aktif dalam sistem biofilter aerob untuk menurunkan kadar amonia air limbah dibandingkan pula dengan kontrol untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh penggunaan lumpur aktif dalam proses pengolahan. Kontrol dibuat tanpa menggunakan lumpur aktif sehingga proses penguraian amonia dalam air limbah berlangsung secara alami dan hanya mengandalkan mikrooganisme indigenous yang ada dalam air limbah. Adapun tingkat penurunan kadar amonia pada kontrol selama 5 hari pengolahan jika dibandingkan dengan Baku Mutu Amonia Pada Air Limbah Domestik seperti
Kadar Amonia (mg/L)
tercantum pada Gambar 6.6. 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
10 9,1 7,54 6,23 5,14 4,31
0
1
2
3
4
5
6
Waktu (Hari)
Gambar 6.6 Penurunan Kadar Amonia Pada Kontrol (S0) Selama 5 Hari Pengolahan Yang Dibandingkan Dengan Baku Mutu Amonia Pada Air Limbah Domestik. Keterangan: = Baku Mutu Amonia Pada Air Limbah Domestik Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No. 8 Tahun 2007.
84 Dari Gambar 6.6 terlihat bahwa sistem biofilter aerob terhadap kontrol (tanpa penggunaan lumpur aktif) belum mampu menurunkan kadar amonia air limbah dibawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 1 mg/L. Pengolahan air limbah tanpa aplikasi lumpur aktif selama selang waktu 5 hari hanya mampu menurunkan kadar amonia dari 10 mg/L menjadi 4,31 mg/L. Sistem pengolahan biofilter aerob tanpa penggunaan lumpur aktif memiliki kadar amonia akhir yang masih melebihi baku mutu. Kondisi tersebut disebabkan oleh jumlah dan keberagaman mikroorganisme yang masih relatif sedikit karena tidak adanya tambahan mikroorganisme dari luar lingkungan. Kondisi jumlah dan keberagaman mikroorganisme yang relatif sedikit dibandingkan
perlakuan
aplikasi
lumpur
aktif
menyebabkan
aktivitas
mikroorganisme dalam menguraikan amonia pada air limbah masih belum maksimal. Pada Gambar 6.6 terlihat grafik penurunan amonia dimana pada awal pengolahan air limbah mengandung kadar amonia sebesar 10 mg/L. Proses dilanjutkan dengan tahap stabilisasi dimana tahap stabilisasi ini hanya mampu menurunkan kadar amonia rata-rata menjadi 9,88 mg/L (Tabel 5.3). Proses pengolahan dilanjutkan menuju reaktor biofilter aerob dimana pada reaktor tersebut dilakukan proses pengolahan selama 5 hari dengan media kerikil namun tanpa penambahan lumpur aktif. Selang waktu 1 hari telah terjadi penurunan kadar amonia menjadi 9,1 mg/L. Tingkat penurunan ini berlangsung lambat pada awal pengolahan yang kemungkinan besar disebabkan karena proses adaptasi mikroorganisme yang lebih lama dengan media kerikil yang ada sehingga proses pembentukan lapisan biofilm juga berlangsung lebih lama. Pembentukan lapisan biofilm yang semakin cepat akan mempengaruhi kecepatan penguraian bahan organik dalam air limbah.
85 Pada selang waktu 2 hari, terjadi penurunan kadar amonia yang lebih tinggi yaitu mencapai 7,54 mg/L (dengan selisih penurunan sebesar 1,54 mg/L). Tingkat penurunan tersebut tergolong paling tinggi dibandingkan selang waktu pengolahan yang lainnya selama 5 hari pengolahan. Kondisi tersebut sangat dipengaruhi oleh adanya ketersediaan nutrien dan oksigen yang mencukupi bagi aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan amonia. Pada fase eksponensial tersebut, laju konversi substrat akan berlangsung secara maksimum sehingga kandungan amonia akan semakin kecil (Sumada, 2012). Pada tahap pengolahan selanjutnya, tingkat penurunan kadar amonia berlangsung lambat dimana pada selang waktu pengolahan 3 hari terjadi penurunan kadar amonia sebesar 6,23 mg/L (selisih penurunan sebesar 1,31 mg/L). Untuk selang waktu pengolahan pada hari keempat dan kelima terjadi penurunan kadar amonia berturut – turut sebesar 5,14 mg/L dan 4,31 mg/L. Hal ini menunjukkan selisih penurunan kadar amonia yang semakin kecil yaitu pada hari keempat sebesar 1,09 dan pada hari kelima sebesar 0,83 mg/L. Melambatnya penurunan kadar amonia mulai hari ketiga pengolahan sampai hari kelima ini disebabkan karena kondisi mikroorganisme
mulai kehabisan sumber nutrien
sehingga aktivitas penguraian akan semakin menurun. Faktor lainnya yang memicu lambatnya proses penguraian amonia pada kontrol (S0) ini adalah jumlah mikroorganisme yang terbatas akibat tidak adanya bibit mikroorganisme yang masuk sedangkan kadar amonia yang harus diolah tinggi. Hal ini menyebabkan mikroorganisme mengalami tekanan sehingga kondisi optimal yang diperlukan selama pengolahan tidak diperoleh dengan baik.
86 Selama proses pengolahan air limbah pada kontrol (S0) juga dilakukan pengamatan terhadap kondisi fisik air limbah, nilai pH, kadar DO dan TDS. Untuk kondisi awal air limbah yang diolah adalah tidak berwarna, tidak berbau dan tidak ada buih. Hal ini disebabkan karena air limbah yang digunakan adalah air limbah artificial dengan kadar amonia yang telah ditetapkan. Dengan adanya proses pengolahan air limbah selama 5 hari, tidak terjadi perubahan fisik yang signifikan namun untuk beberapa parameter pendukung seperti pH, DO dan TDS terjadi perubahan yang cukup jelas. Untuk parameter pH menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat seperti perlakuan dengan pemberian lumpur aktif yang lainnya. Pada awal proses pengolahan, pH rata-rata air limbah sebesar 7,01 atau berada pada suasana netral. Seiring meningkatnya waktu pengolahan, pH juga mengalami peningkatan menjadi 8,52 atau mencapai kondisi basa (Tabel 5.4). Adanya reaksi biologis (proses penguraian) yang terjadi oleh mikroorganisme terhadap amonia yang ada dalam air limbah menjadi salah satu faktor peningkatan nilai pH air limbah. Senyawa amonia akan diuraikan menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan bantuan bakteri nitrifikasi. Pertumbuhan bakteri nitrifikasi ini lebih optimal dalam kondisi basa dengan range antara 7,5 – 8,5. Pada awal pengolahan air limbah S0 dengan nilai pH 7,01 menunjukkan bahwa aktivitas bakteri nitrifikasi belum mampu secara optimal menguraikan amonia sehingga tingkat penurunan kadar amonia masih sangat lambat. Memasuki waktu pengolahan selama 2 hari dan seterusnya, nilai pH air limbah sudah mendukung keberlangsungan hidup bakteri nitrifikasi sehingga proses penguraian dapat berjalan. Adanya proses pengendapan akibat menumpuknya biomassa yang telah mati serta adanya kelebihan bahan organik dan anorganik dalam
87 air
limbah
juga
mampu
meningkatkan
nilai
pH
air
limbah
(Alaerts
dan Santika, 1990). Untuk parameter oksigen terlarut (DO) yang diukur pada kontrol (S0) mengalami penurunan seiring dengan waktu pengolahan air limbah. Kadar DO ratarata pada hari pertama pengolahan sebesar 5,05 mg/L. Kadar DO ini cukup tinggi jika dibandingkan perlakuan lainnya yang menggunakan lumpur aktif. Kadar DO ini semakin menurun sampai mencapai kadar 2,98 mg/L pada hari kelima pengolahan (Tabel 5.4). Ketersediaan oksigen terlarut yang mencukupi bagi mikroorganisme sangat menunjang proses penguraian amonia. Namun yang perlu diingat bahwa, jumlah mikroorganisme yang ada masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan pengolahan dengan aplikasi lumpur aktif sehingga ketersediaan oksigen bukan satusatunya faktor yang mampu mempercepat proses penguraian. Ketersediaan oksigen pada kontrol ini kemungkinan besar digunakan untuk menunjang keberlangsungan hidup mikroorganisme (proses respirasi dan pertumbuhan mikroorganisme) sehingga mampu mempertahankan keberadaan mikroorganisme indigeous lebih lama selama proses pengolahan. Dengan ketersediaan oksigen terlarut akhir sebesar 2,98 mg/L, proses penguraian amonia masih mampu berlangsung walaupun secara lambat karena proses nitrifikasi berjalan dengan baik jika konsentrasi oksigen terlarut minimum lebih besar dari 1 mg/L (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Pengukuran TDS selama proses pengolahan air limbah dilakukan sebagai pendukung untuk mengetahui jumlah senyawa yang terlarut dalam air limbah. Pada kontrol (S0), kadar TDS rata-rata yang terukur pada hari pertama pengolahan adalah sebesar 2310 mg/L. Kadar TDS pada kontrol (S0) ini relatif lebih kecil dibandingkan
88 perlakuan lainnya yang menggunakan lumpur aktif mengingat keberadaan lumpur aktif
yang
mengandung
lumpur,
senyawa
organik
dan
anorganik
serta
mikroorganisme juga memicu tingginya kadar TDS dalam air limbah. Proses pengolahan selama 5 hari menyebabkan kadar TDS air limbah pada kontrol (S0) menurun menjadi 1430 mg/L (Tabel 5.4). Menurunnya kadar TDS ini dapat disebabkan oleh adanya proses penguraian bahan organik yang ada dalam air limbah, proses transformasi senyawa kompleks dan adanya proses pengendapan (Alaerts dan Santika, 1990). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No. 8 Tahun 2007, Baku Mutu TDS untuk air limbah domestik adalah 2000 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengolahan air limbah pada kontrol yang tidak menggunakan lumpur aktif masih mampu menurunkan kadar TDS dibawah baku mutu selama selang waktu 5 hari pengolahan. Tingkat efektivitas sistem biofilter aerob pada kontrol (S0) dalam menurunkan kadar amonia air limbah dapat ditinjau dari dua aspek yaitu berdasarkan efektivitas proses pengolahan dan efektivitas baku mutu yang ditetapkan. Berdasarkan Tabel 5.5 diketahui bahwa efektivitas tahapan proses pengolahan air limbah pada kontrol (S0) menunjukkan persentase penurunan kadar amonia sebesar 56,90%. Dari nilai persentase penurunan kadar amonia yang tersebut menunjukkan bahwa proses pengolahan biofilter aerob pada kontrol (S0) ini tergolong efektif dalam menurunkan kadar amonia air limbah. Untuk aspek efektivitas yang ditinjau dari segi baku mutu menunjukkan pengolahan air limbah pada kontrol (S0) selama selang waktu 5 hari pengolahan hanya mampu menurunkan kadar amonia air limbah dari 10 mg/L menjadi 4,31 mg/L dengan capaian persentase efektivitas baku mutu
89 sebesar 56,90% (Tabel 5.6). Capaian persentase efektivitas baku mutu sebesar 56,90% tersebut menunjukkan bahwa perlakuan kontrol (S0) yang diberikan belum mampu melewati persentase efektivitas baku mutu yang ditentukan yaitu sebesar 90%. Dari hasil yang diperoleh dapat dinyatakan bahwa sistem biofilter aerob pada kontrol (S0), ditinjau dari aspek baku mutunya belum efektif menurunkan kadar amonia air limbah selama 5 hari pengolahan. Jika ditinjau dari kedua aspek efektivitas yang diulas diatas, dapat disimpulkan bahwa sistem biofilter aerob pada kontrol (tanpa menggunakan lumpur aktif) belum efektif digunakan untuk menurunkan kadar amonia air limbah. Untuk dapat mengetahui kecepatan penurunan kadar amonia, data penurunan kadar amonia pada masing-masing perlakuan yang diperoleh diterapkan dalam persamaan ln B = ln B0 – kt, dimana B adalah kadar amonia, B0 adalah kadar amonia awal pada saat t = 0, k adalah konstanta penurunan amonia dan t adalah waktu. Kecepatan penurunan kadar amonia pada masing-masing perlakuan dan kontrol dapat dinyatakan dalam kurva hubungan antara kadar amonia pada sistem biofilter aerob terhadap waktu pengolahan, seperti terlihat pada Gambar 6.7. Pada Gambar 6.7 dapat dilihat bahwa pada keseluruhan perlakuan dan kontrol terjadi penurunan kadar amonia dari awal sampai waktu pengolahan selama 5 hari dengan pemberian aerasi. Untuk perlakuan pemberian lumpur aktif dari IPAL Suwung Denpasar (S1), tingkat penurunan kadar amonia ini berlangsung sangat cepat dengan persamaan y = - 0,4480x + 2,3800 dimana koefisien determinasi (R2) sebesar 0,9746. Koefisien determinasi menunjukkan tingkat linearitas persamaan garis yang diperoleh.
Ln Amonia (mg/L)
90 3 2,8 2,6 2,4 2,2 2 1,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
y0 0,1743x 2,3458 y1 0,4480 x 2,3800 y2 0,3063x 2,4558 y3 0,4266 x 2,5065 S0 S1
R0 2 = 0,9968 R1 2 = 0,9746 R2 2 = 0,9266 R3 2 = 0,9274
0
1
2
S2 S3
3
4
5
6
Waktu (Hari)
Gambar 6.7 Kurva Hubungan Antara Kadar Amonia Pada Masing-Masing Perlakuan Dan Kontrol Terhadap Waktu Pengolahan. Keterangan : y = ln amonia (mg/L) x = waktu (hari) R2 = koefisien determinasi S0 = Kontrol (tanpa penambahan lumpur aktif) S1 = Lumpur dari IPAL Suwung Denpasar Bali S2 = Lumpur dari IPAL RSUD Wangaya Denpasar Bali S3 = Lumpur dari IPAL PT. BTDC Nusa Dua Bali
Dari persamaan tersebut diketahui nilai slope yang merupakan konstanta penurunan amonia (k) sebesar 0,4480 mg/L setiap hari. Dari nilai slope tersebut dapat dinyatakan bahwa kecepatan penurunan amonia pada aplikasi lumpur aktif S1 adalah anti ln 0,4480 yaitu sebesar 1,57 mg/L setiap hari. Berdasarkan nilai konstanta penurunan amonia (k) pada setiap persamaan yang diperoleh diketahui bahwa nilai k yang paling besar dari keempat perlakuan adalah nilai k dari aplikasi lumpur aktif S1 yaitu sebesar 0,4480 mg/L setiap hari. Kondisi ini menunjukkan bahwa kecepatan
91 penurunan kadar amonia pada aplikasi lumpur aktif S1 yang paling tinggi selama 5 hari pengolahan air limbah. Berdasarkan Gambar 6.7 juga dapat dinyatakan bahwa sistem biofilter aerob dengan aplikasi lumpur aktif S1 efektif digunakan untuk menurunkan kadar amonia pada air limbah jika dibandingkan perlakuan lainnya (tingkat efektivitasnya paling tinggi). Hal tersebut terlihat dari grafik penurunan kadar amonia yang sangat signifikan dengan tingkat penurunan yang tajam. Berdasarkan efektivitas proses pengolahan pada aplikasi lumpur aktif S1 diketahui bahwa dari awal proses pengolahan sampai hari pertama, terjadi penurunan kadar amonia dengan persentase sebesar 26,70%. Proses pengolahan air limbah setelah hari kedua dan ketiga memberikan persentase penurunan kadar amonia berturut-turut sebesar 49,80% dan 70,80%. Penurunan kadar amonia melebihi 80% diperoleh setelah hari keempat pengolahan yaitu sebesar 85,70%. Untuk hari terakhir proses pengolahan (hari kelima) diperoleh persentase penurunan kadar amonia pada aplikasi lumpur akfif S1 sebesar 92,20%. Persentase penurunan kadar amonia selama 5 hari proses pengolahan tersebut paling tinggi jika dibandingkan persentase penurunan kadar amonia pada kontrol maupun perlakuan lumpur aktif lainnya. Dari nilai penurunan kadar amonia yang signifikan selama 5 hari pengolahan tersebut dapat dinyatakan bahwa efektivitas proses telah tercapai pada hari keempat yaitu dengan perolehan persentase efektivitas proses yang melebihi nilai 80% (85,70%). Berdasarkan efektivitas baku mutu, sistem biofilter aerob dengan aplikasi lumpur aktif S1 mencapai persentase sebesar 92,20% setelah 5 hari pengolahan air limbah. Persentase efektivitas baku mutu tersebut diperoleh berdasarkan kadar
92 amonia akhir S1 yang teramati yaitu sebesar 0,78 mg/L. Capaian persentase efektivitas baku mutu yang diperoleh sebesar 92,20% menunjukkan bahwa sistem biofilter yang dilakukan untuk mengolah air limbah dengan aplikasi lumpur aktif S1 telah mampu melampaui persentase efektivitas baku mutu yang ditetapkan yaitu 90%. Nilai efektivitas baku mutu sebesar 92,20% tersebut dapat tercapai pada hari kelima proses pengolahan air limbah. Capaian persentase efektivitas baku mutu pada aplikasi lumpur aktif S1 sebesar 92,20% tersebut jika dibandingkan capaian persentase efektivitas perlakuan lainnya (baik pada kontrol, aplikasi lumpur aktif S2 dan S3) juga memiliki nilai persentase yang paling tinggi. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, faktor dominan yang menyebabkan tingginya penurunan kadar amonia dengan aplikasi lumpur aktif S1 ini adalah tingginya pertumbuhan biomassa (yang dilihat dari nilai VSS) dan keberagaman variasi mikroorganisme yang mampu hidup pada lumpur aktif S1. Keberagaman mikroorganisme yang mampu hidup pada lumpur aktif S1 tidak terlepas dari sumber limbah yang masuk ke IPAL Suwung Denpasar. IPAL Suwung Denpasar sendiri mengolah air limbah domestik dari kawasan padat penduduk yaitu Denpasar, Sanur dan Kuta sehingga kapasitas air limbah yang masuk tergolong tinggi yaitu 51.000 m3/hari. Hal tersebut menyebabkan beban bahan organik dan anorganik yang terkandung dalam air limbah juga tinggi, termasuk pula kadar amonianya. Tingginya kandungan bahan pencemar menciptakan kondisi yang sesuai bagi mikroorganisme untuk memanfaatkan bahan organik bagi proses metabolismenya sendiri. Dengan demikian, akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme yang beragam sesuai dengan spesifikasi
bahan
organik
yang
ada.
Lumpur
yang
sudah
mengandung
93 mikroorganisme spesifik pengurai amonia seperti dari genus Nitrosomonas dan Nitrobacter akan lebih memudahkan proses penguraian amonia yang terkandung pada air limbah. Namun tidak semua mikroorganisme mampu berkembang dengan baik pada lingkungan pengolahan IPAL Suwung Denpasar. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi optimal yang diperlukan mikroorganisme itu sendiri seperti pH air limbah, suhu, tingkat oksigen terlarut, sumber nutrien dan parameter lainnya. Untuk penurunan kadar amonia pada sistem biofilter aerob dengan pemberian lumpur aktif yang bersumber dari IPAL PT. BTDC Nusa Dua Bali (S3) memiliki tingkat kecepatan yang lebih lambat jika dibandingkan dengan kecepatan penurunan S1. Kondisi tersebut dapat dilihat dari persamaan kecepatan penurunan kadar amonia S3 yang diperoleh yaitu y = - 0,4266x + 2,5065 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,9274. Dari persamaan tersebut diketahui nilai slope yang merupakan konstanta penurunan amonia (k) sebesar 0,4266 mg/L setiap hari. Dari nilai slope tersebut dapat dinyatakan bahwa kecepatan penurunan amonia pada aplikasi lumpur aktif S3 adalah anti ln 0,4266 yaitu sebesar 1,53 mg/L setiap hari. Kecepatan penurunan tersebut lebih lambat 0,04 mg/L setiap hari jika dibandingkan dengan S1. Hal tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh pertumbuhan biomassa (mikroorganisme) pada S3 lebih sedikit dibandingkan dengan mikroorganisme pada S1 yang ditunjukkan dengan nilai VSS selama proses pembibitan. Keberadaan mikroorganisme yang beragam dan dalam jumlah yang banyak akan meningkatkan aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan amonia dan senyawa organik lainnya sehingga proses penguraian berjalan lebih maksimal.
94 Untuk penurunan kadar amonia dengan pemberian lumpur aktif yang bersumber dari IPAL RSUD Wangaya Denpasar (S2) berlangsung paling lambat dibandingkan dua perlakuan lainnya yang sama-sama menggunakan lumpur aktif sebagai sumber mikroorganismenya. Dalam proses penguraian amonia oleh mikroorganisme tersebut terjadi penurunan yang lambat dengan persamaan kecepatan penurunan pada S2 yaitu y = - 0,3063x + 2,4558 dimana koefisien determinasi (R2) sebesar 0,9266. Dengan koefisien regresi (R2) sebesar 0,9266 menunjukkan tingkat linearitas persamaan garis yang diperoleh sudah dapat ditoleransi. Dari persamaan tersebut diketahui nilai slope yang merupakan konstanta penurunan amonia (k) sebesar 0,3063 mg/L setiap hari. Dari nilai slope tersebut dapat dinyatakan bahwa kecepatan penurunan amonia pada aplikasi lumpur aktif S2 adalah anti ln 0,3063 yaitu sebesar 1,36 mg/L setiap hari. Jika dibandingkan dengan kedua perlakuan lainnya (S1 dan S3), tingkat kecepatan penurunan kadar amonia pada S2 lebih lambat berturut-turut sebesar 0,21 mg/L dan 0,17 mg/L setiap harinya. Aplikasi lumpur aktif S2 untuk mengolah air limbah artificial dengan sistem biofilter aerob ini mencapai penurunan amonia dengan kadar akhir sebesar 2,01 mg/L selama 5 hari pengolahan. Jika dibandingkan dengan baku mutu amonia untuk air limbah domestik (1 mg/L) maka kadar akhir amonia tersebut masih belum mampu melampaui baku mutu yang dipersyaratkan. Berdasarkan persamaan kecepatan penurunan kadar amonia pada S2 yang diperoleh, dapat diperkirakan bahwa untuk memperoleh kadar amonia akhir S2 di bawah baku mutu yang dipersyaratkan (1 mg/L) diperlukan waktu pengolahan air limbah selama 8,02 hari.
95 Pada sistem biofilter aerob tanpa aplikasi lumpur aktif (S0) sebagai kontrol diperoleh persamaan penurunan kadar amonia yaitu y = - 0,1743x + 2,3458 dimana koefisien determinasi (R2) sebesar 0,9968. Dari persamaan tersebut diketahui pula nilai slope yang merupakan konstanta penurunan amonia (k) sebesar 0,1743 mg/L setiap hari. Dari nilai slope tersebut dapat dinyatakan bahwa kecepatan penurunan amonia pada kontrol (S0) adalah anti ln 0,1743 yaitu sebesar 1,19 mg/L setiap hari. Kecepatan penurunan amonia pada kontrol (S0) berlangsung sangat lambat yang kemungkinan besar disebabkan oleh kurangnya jumlah mikroorganisme dalam air limbah yang berfungsi untuk menguraikan amonia dan bahan organik lainnya. Mikroorganisme yang ada hanya bersifat indigenous yaitu mikroorganisme yang memang bersumber secara alami dari air limbah tanpa adanya tambahan bibit mikroorganisme lainnya. Kondisi tersebut juga menyebabkan pembentukan biofilm (pelekatan mikroorganisme pada media kerikil) sangat lambat dan sedikit sehingga aktivitas penguraian amonia (proses nitrifikasi) belum berjalan secara maksimal. Pengolahan air limbah artificial dengan sistem biofilter aerob pada kontrol (S0) ini mencapai penurunan amonia dengan kadar akhir sebesar 4,31 mg/L selama 5 hari pengolahan. Jika dibandingkan dengan baku mutu amonia untuk air limbah domestik (1 mg/L) maka kadar akhir amonia tersebut masih belum mampu melampaui baku mutu yang dipersyaratkan. Berdasarkan persamaan kecepatan penurunan kadar amonia pada S0 yang diperoleh, dapat diperkirakan bahwa untuk memperoleh kadar amonia akhir S0 di bawah baku mutu yang dipersyaratkan (1 mg/L) diperlukan waktu pengolahan air limbah selama 13,46 hari.