BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Pembahasan pada sisi gasifikasi (pada kompor) Telah disebutkan pada bab 5 diatas bahwa untuk analisa pada bagian energi kalor input (pada kompor gasifikasi), adalah meliputi karakteristik temperatur gasifikasi tertinggi, energi kalor total pembakaran (Qf ), dan laju kalor pembakaran (Q˙f ). Selanjutnya pembahasan pada subbab kali ini juga mencoba membandingkan nilai – nilai tersebut diatas untuk kondisi bahan bakar biomassa yang berbeda dan kondisi aliran udara yang berbeda. Berikut penjelasan mengenai temperatur gasifikasi dan energi kalor input dari gasifikasi biomassa tersebut. 6.1.1
Karakteristik temperatur gasifikasi
Terlihat pada tabel pengujian dan grafik yang ada pada lampiran, karakteristik temperatur gasifikasi untuk ketiga jenis limbah biomassa (L1, L2, dan L3) adalah berbeda – beda. Hasil yang didapat dalam setiap variasi pengujian, limbah jerami (L1) selalu menunjukkan temperatur gasifikasi yang paling rendah bila dibandingkan dengan kedua jenis limbah yang lainnya (kapas dan kardus). Temperatur gasifikasi tertinggi yang dapat dicapai pada limbah jerami adalah sekitar 618 oC untuk aliran alamiah dan 747 oC untuk aliran konveksi paksa. Sedangkan untuk limbah kapas dan kardus dapat mencapai temperatur 683 oC dan 695 oC untuk aliran alamiah serta 765 o
C dan 771 oC untuk aliran udara konveksi paksa. Perbedaan temperatur gasifikasi
yang cukup jauh tersebut kemungkinan diakibatkan oleh nilai kalor yang rendah dan kandungan ash (abu) yang tinggi yang terdapat pada jerami tersebut. Berikut ini tabel perbedaan nilai kalor antara ketiga jenis limbah biomassa tersebut.
66
67 Tabel 6.1 Perbedaan komponen penyusun ketiga limbah biomassa jamur merang hasil uji laboratorium No Kriteria Jerami Proximate Analisis : 1 Fix Carbon (% massa) 10,15 2 Ash (% massa) 26,83 3 Volatile matter (% massa) 50,04 4 Moisture (% massa) 13,01 Ultimate Analisis : 1 C (% massa) 32,71 2 H (% massa) 3,83 3 N (% massa) 1,56 Nilai kalor : 1 HHV (kJ/kg) 11881 (sumber : Lab. Teknik Mesin, Universitas Udayana)
Kapas
Kardus
13,16 6.35 67,43 13,04
9,21 10.19 71,06 9,54
43,75 5,20 1,32
40,49 5,15 0,18
15355
14388
Penelitian sebelumnya juga telah dilakukan dengan menggunakan kompor gasifikasi berukuran 21 x 21 x 32 cm dan berbahan bakar sekam padi aliran udara alamiah memiliki temperatur gasifikasi tertinggi sekitar 667 oC (Krisna, 2013). Diketahui pula bahwa nilai kalor sekam padi tersebut sekitar 13748 kJ/kg (Krisna, 2013), lebih rendah dari nilai kalor kardus dan kapas, sehingga temperatur gasifikasinya pun masih lebih rendah dari kapas dan kardus. Gambar berikut ini merupakan perbandingan temperatur gasifikasi yang telah dilakukan sebelumnya.
(a) Sekam padi
(b) limbah jerami
Gambar 6.1 Perbandingan temperatur gasifikasi limbah jerami dengan penelitian sebelumnya menggunakan sekam padi (konveksi alamiah).
68 Penelitian sebelumnya dengan menggunakan tungku gasifikasi sistem aliran udara konveksi paksa juga telah dilakukan untuk memanaskan daun tembakau virginia di NTB (Sinarep, 2010). Tungku gasifikasi tersebut berbahan bakar batubara dengan nilai FCR sekitar 14 kg/jam memiliki temperatur gasifikasi hingga mencapai temperatur 800oC (Sinarep, 2010). Sedangkan pada penelitian ini, pengujian dengan sistem aliran udara konveksi paksa memiliki temperatur gasifikasi tertinggi sebesar 771 oC (lihat tabel pengujian L3 uji 2 pada lampiran). Nilai ini sedikit lebih rendah dari tungku gasifikasi batubara tersebut diatas, hal ini dikarenakan oleh belum tercapainya kondisi optimal dari performansi kompor UB-03 ini mengingat debit udara yang disuplai ke ruang pembakaran masih relatih kecil (hanya sekitar 64,8 L/min atau sekitar 0,07 kg/min). Jika suplai udara pada ruang pembakaran tersebut ditambah, kemungkinan akan didapat kondisi temperatur optimal dari kompor gasifikasi biomassa jenis UB-03 ini.
6.1.2 FCR dan jumlah energi kalor total bahan bakar ( Qf ) Besarnya energi kalor total pembakaran bahan bakar, sangat dipengaruhi oleh laju konsumsi bahan bakar yang terbakar (FCR) pada kompor gasifikasi tersebut. Nilai FCR untuk jenis briket limbah jerami dan limbah kapas aliran alamiah nilainya cenderung sama dan lebih kecil daripada FCR pada limbah kardus. Seperti terlihat pada tabel 5.2 pada bab 5 diatas, nilai FCR untuk limbah jerami dan limbah kapas aliran alamiah adalah sekitar 18,02 – 18,94 gr/min, sedangkan limbah kardus memiliki FCR sekitar 19,21 – 19,33 gr/min. Untuk aliran konveksi paksa nilai FCR limbah jerami sebesar 26,03 – 26,13 gr/min dan limbah kapas adalah sekitar 28,03 – 28,31 gr/min, sedangkan limbah kardus memiliki FCR sekitar 29,6 gr/min. Nilai FCR
69 limbah kardus yang cenderung lebih besar tersebut dikarenakan oleh massa jenis briket limbah kardus yang lebih besar pula bila dibandingkan dengan briket limbah jerami dan limbah kapas. Nilai kalor pembakaran selain dipengaruhi oleh FCR, juga dipengaruhi oleh lamanya waktu pembakaran pada proses sterilisasi tersebut. Semakin lama waktu pembakaran, maka akan semakin besar nilai kalornya. Limbah jerami pada aliran alamiah memiliki nilai kalor pembakaran yang paling kecil yaitu sekitar 12416 kJ, sehingga temperatur kumbung tidak tercapai pada kondisi 70 oC (lihat tabel 5.2 pada bab 5 diatas). Waktu operasi pembakaran limbah jerami tersebut hanya sekitar 51 – 58 menit saja dikarenakan abu pembakaran yang menumpuk dan api padam dengan sendirinya. Kondisi demikian terjadi karena kandungan abu yang terkandung pada limbah jerami sangat tinggi bila dibandingkan dengan limbah kapas dan limbah kardus. Seperti diketahui dari tabel 6.1 diatas bahwa kandungan abu (ash) pada jerami sebesar 26%, sedangkan pada kapas hanya sebesar 6% dan pada kardus 10% saja. Meskipun demikian, dengan adanya tambahan aliran udara paksa dari blower pada reaktor gasifikasi, pembakaran limbah jerami dapat lebih optimal dan temperatur kumbung dapat tercapai pada temperatur 70 oC. Terlihat pada tabel 5.2 pada bab 5 diatas juga bahwa dengan bertambahnya aliran udara pada reaktor gasifikasi, akan menyebabkan kenaikan nilai kalor total pembakaran bahan bakarnya. Hal ini dikarenakan dengan semakin besarnya udara (O2) pada reaktor gasifikasi akan menyebabkan semakin cepat bahan bakar yang terbakar sehingga FCR dan nilai kalor pembakarannya pun akan semakin besar. Kondisi tersebut akan mengakibatkan pembakaran dengan aliran udara konveksi
70 paksa cenderung lebih boros bahan bakar bila dibandingkan dengan aliran udara alamiah. 6.1.3 Laju kalor pembakaran ( Q˙f ) Dilihat dari nilai laju pembakarannya, limbah jerami memiliki nilai yang paling rendah bila dibandingkan dengan limbah kapas dan kardus. Nilai laju pembakaran pada limbah jerami tersebut sekitar 3,57 – 3,69 kW untuk aliran alamiah dan 5,15 – 5,17 kW untuk aliran konveksi paksa. Sedangkan limbah kapas, memiliki nilai Q˙f sekitar 4,67 - 4,85 kW untuk aliran alamiah dan 7,20 – 7,24 kW untuk aliran konveksi paksa serta nilai Q˙f untuk limbah kardus 4,59 – 4,62 kW untuk aliran alamiah dan 7,01 – 7,07 kW untuk aliran konveksi paksa. Perbedaan nilai laju kalor pembakaran antara limbah jerami dengan limbah kapas dan atau limbah kardus tersebut rata – rata sekitar 30 % lebih kecil. Perbedaan 30% tersebut kurang lebih sama dengan perbedaan dari nilai kalor pembakaran (HHV) limbah jerami terhadap nilai kalor limbah kapas atau kardus (lihat tabel 6.1 diatas). Jadi nilai kalor suatu bahan bakar akan mempengaruhi laju kalor pembakarannya. Pada pengujian ini juga divariasi suplai udara yang masuk ke reaktor gasifikasinya dengan 2 perbedaan aliran udara masuk, yaitu aliran udara alamiah tanpa blower dan aliran udara konveksi paksa dengan blower. Perbedaan variasi udara masuk tersebut dilakukan agar didapat performansi gasifikasi yang lebih baik. Untuk jenis limbah biomassa yang sama, dengan adanya tambahan aliran udara paksa dari blower akan menyebabkan meningkatnya nilai FCR, nilai laju lakor pembakaran, dan menyebabkan tingginya temperatur gasifikasi yang dicapai. Berikut ini merupakan
71 tabel perbedaan laju kalor pembakaran antara konveksi paksa dengan konveksi alamiah. Tabel 6.2 Perbandingan nilai laju kalor pembakaran, Q˙f dengan perlakuan aliran udara yang berbeda No 1 2 3 4 5 6
Jenis briket Limbah jerami uji 1 Limbah jerami uji 2 Limbah kapas uji 1 Limbah kapas uji 2 Limbah kardus uji 1 Limbah kardus uji 2
Q˙f (kW) konv. paksa konv. alami 5.15 3.69 5.17 3.57 7.24 4.85 7.20 4.67 7.07 4.59 7.01 4.62
Selisih aktual (kW) persentase 1.48 40.3% 1.60 44.8% 2.39 49.2% 2.53 54.2% 2.48 54.0% 2.39 51.7%
Terlihat pada tabel diatas, untuk jenis bahan bakar yang berbeda penambahan debit aliran udara yang sama ternyata akan menaikkan nilai Q˙f yang berbeda pula. Untuk limbah jerami, kenaikan nilai Q˙f ini sekitar 1480 watt – 1600 watt (40,3% 44,8%) padahal penambahan aliran udara hanya dengan menggunakan blower yang memiliki daya ±3 watt. Kenaikan nilai Q˙f paling besar terjadi pada bahan bakar jenis limbah kapas, dengan daya blower ±3 watt dapat menaikkan nilai Q˙f sampai pada kenaikan 2530 watt (54,2%). 6.2 Pembahasan pada energi kalor air (QH2O) Pembahasan selanjutnya adalah mengkaji perbandingan energi kalor output yang dimanfaatkan untuk memanaskan dan menguapkan air yang ada di dalam tangki air boiler. Pembahasan meliputi jumlah energi kalor air total yang merupakan penjumlahan dari kalor sensibel dan kalor latennya dan perbandingan efisiensinya.
72 6.2.1
Kalor sensibel dan kalor laten penguapan air
Jumlah kalor sensibel (QS.H2O) yang didapat pada tiap pengujian relatif sama untuk tiap bahan bakar dan untuk tiap aliran udara yang berbeda, sedangkan untuk kalor laten penguapan air (QL.H2O) jumlahnya berbeda – beda tergantung dari lamanya proses penguapan air tersebut. Jumlah kalor sensibel air yang sama ini dikarenakan jumlah massa air yang sama pula untuk tiap pengujian yaitu sebesar 10 kg. Meski terdapat perbedaan pada kalor laten, namun fluktuasi kenaikan jumlah kalor total air (Q.H2O) tersebut dipengaruhi oleh banyaknya energi kalor input bahan bakar yang terbakar. Semakin banyak massa bahan bakar yang terbakar, maka akan semakin banyak pula jumlah energi kalor total air yang diperoleh. Terlihat pada tabel 5.3 diatas, meski jumlah kalor sensibel untuk tiap pengujian relatif sama, namun yang membedakan dari tiap bahan bakar adalah waktu pemanasan sensibelnya. Waktu pemanasan sensibel pada limbah jerami sekitar 51 – 58 menit untuk aliran alamiah dan 37 – 41 menit untuk konveksi paksa, sedangkan limbah kapas dan kardus waktunya sekitar 41 – 45 menit untuk aliran alamiah dan 28 – 34 menit untuk konveksi paksa. Waktu pemanasan sensibel yang lebih singkat, menunjukkan nilai laju pemanasan air yang lebih besar. Berdasarkan data tersebut diatas, menunjukkan bahwa laju kalor pemanasan air pada limbah kapas dan kardus lebih besar daripada limbah jerami. Hal ini sejalan dengan besarnya laju kalor pembakaran untuk kedua jenis limbah kapas dan kardus tersebut, sedangkan jerami nilai laju kalor pembakaran dan laju kalor pemanasan airnya lebih rendah. Besarnya laju kalor pemanasan air ini juga mempengaruhi besarnya energi kalor laten penguapan air. Terlihat dari tabel 5.3 diatas, bahwa jumlah kalor laten penguapan air
73 pada limbah kapas dan kardus adalah 2639 kJ dan 2916 kJ, sedangkan pada limbah jerami sebesar 2222 kJ saja (lihat tabel 5.3 uji 1 konveksi paksa).
6.2.2
Perbandingan efisiensi
Berbeda dengan laju kalor pembakaran, efisiensi pembakaran yang didapat pada pengujian limbah jerami relatif relatih lebih tinggi bila dibandingkan dengan efisiensi pembakaran pada limbah kapas dan limbah kardus. Pada aliran konveksi alamiah dari tabel 5.3 diatas diketahui bahwa nilai efisiensi pembakaran limbah jerami sekitar 27,4%, sedangkan efisiensi pembakaran limbah kapas dan kardus sekitar 25,9% - 26,2%. Selain itu, pada aliran konveksi paksa nilai efisiensi ini cenderung mengalami penurunan baik pada limbah jerami, limbah kapas maupun limbah kardus. Pada aliran konveksi paksa dari tabel 5.3 diatas diketahui bahwa nilai efisiensi pembakaran limbah jerami sekitar 24,7%, sedangkan efisiensi pembakaran limbah kapas dan kardus sekitar 21,2% - 22,1%. Hal ini dikarenakan dengan bertambahnya aliran udara pada reaktor pembakaran, maka akan menyebabkan nyala pai yang lebih besar bila dibandingkan dengan aliran udara alamiah. Nyala api yang lebih besar tersebut cenderung menyebabkan makin banyaknya energi kalor yang terbuang ke lingkungan sehingga losses energi makin besar dan efisiensinya pun relatif lebih kecil. 6.3
Pembahasan pada sterilisasi kumbung Seperti diketahui dari tabel 5.4 diatas, keempat temperatur kumbung (T7, T8,
T9, dan T10) pada menit akhir didapat T7 = 39 oC,T8 = 40 oC, T9 = 34 oC, dan T10 = 36 oC, sehingga temperatur rata – ratanya adalah sebesar 37 oC. Temperatur rata – rata kumbung tertinggi pada data yang lainnya dicapai pada temperatur sebesar 54 oC yaitu terjadi pada pengujian limbah kardus. Temperatur rata – rata kumbung tersebut masih
74 belum memenuhi standar steril yang disyaratkan, namun hal tersebut tidak menjadi masalah mengingat target yang ingin dicapai hanyalah tercapainya temperatur kumbung 70 oC. Mengingat temparatur kumbung yang sudah mencapai 70 oC tersebut, maka temperatur rata – rata kumbung dapat dicapai70 oC juga jika waktu sterilisasinya disesuaikan dengan waktu sebenarnya di lapangan yaitu sekitar 8 jam. Untuk itu, masih diperlukan adanya penelitian – penelitian berikutnya untuk dapat mencapai hasil sterilisasi kumbung jamur yang sesuai standar tersebut, yaitu temperatur kumbung merata pada titik 70 oC.
6.4
Persentase udara pembakaran gasifikasi Pada pengujian proses pembakaran dengan sistem gasifikasi, sangat penting
untuk mengetahui jumlah suplai udara yang masuk ke dalam reaktor. Hal ini untuk mengetahui apakah proses pembakaran tersebut masih dalam batas gasifikasi atau bukan. Dimana diketahui bahwa proses gasifikasi tersebut akan optimal jika suplai udara yang masuk reaktor (equivalence ratio) sekitar 20% - 40% dari total udara stokiometriknya (Reed. TB, 1988).
Dari tabel 5.2 diatas, diketahui bahwa nilai
equivalence ratio dari limbah jerami adalah rata – rata 58%, limbah kapas 39%, dan limbah kardus adalah 41%. Diketahui juga bahwa dengan nilai equivalence ratio sekitar 0,4 tersebut, limbah kapas dan limbah kardus memiliki performansi yang lebih baik bila dibandingkan dengan limbah jerami yang nilai equivalence ratio mendekati niai 0,6. Performansi gasifikasi yang lebih baik pada nilai equivalence ratio 0,4 tersebut dikarenakan perbedaan reaksi gasifikasi yang terjadi dengan berbedanya nilai equivalence ratio tersebut. Berikut ini merupakan persamaan – persamaan reaksi yang
75 terjadi jika nilai equivalence ratio tersebut adalah 0,4 dan 0,6 sesuai dengan persamaan reaksi (2) dan (3) pada bab 2 diatas (Reed. TB, 1988).
Reaksi gasifikasi jika ɛ = 0,4 CH1.4O0.6 + 0.4 O2 0.7 CO + 0.3 CO2 + 0.6 H2 + 0.1 H2O Reaksi ini akan menghasilkan 0,7 mol gas CO dan 0,6 mol gas H2 yang
mampu terbakar dan masih memiliki nilai kalor yang tinggi.
Reaksi gasifikasi jika ɛ = 0,6 CH1.4O0.6 + 0.6 O2 0.5 CO + 0.5 CO2 + 0.6 H2 + 0.1 H2O Reaksi ini akan menghasilkan 0,5 mol gas CO dan 0,6 mol gas H2 yang
mampu terbakar dan memiliki nilai kalor yang lebih rendah daripada reaksi gasifikasi diatas. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembakaran gasifikasi dengan nilai equivalence ratio 0,4 (40%) ini merupakan nilai optimal dari batas suplai aliran udara yang masuk ke reaktor gasifikasi. 6.5
Kendala dalam penelitian Beberapa hal yang menjadi kendala masih banyak dihadapi pada penelitian ini,
diantaranya adalah waktu operasi pengujian pada limbah jerami yang tidak dapat mencapai pada temperatur kumbung sebesar 70 oC. Limbah jerami hanya dapat beroperasi selama waktu 51 – 58 menit saja, sedangkan limbah kapas dan limbah kardus mampu beroperasi lebih dari 70 menit dan dapat tercapai pada temperatur kumbung sebesar 70 oC. Faktor yang mempengaruhi tidak tercapainya temperatur kumbung sebesar 70 oC pada limbah jerami tersebut adalah diakibatkan oleh sisa pembakaran / abu yang tidak dapat turun ke bagian bawah dan cenderung menumpuk
76 di bagian ruang pembakaran (reaktor). Jika abu ini terus menumpuk hingga mencapai batas ketinggian reaktor, maka nyala api pada kompor gasifikasi tersebut akan mati dengan sendirinya. Padahal pada bagian reaktor kompor UB-03 ini telah dimodifikasi agar abu dapat turun kebawah, namun kenyataannya abu tersebut masih menumpuk di reaktor dan menghambat nyala api. Mengingat limbah jerami memiliki kandungan ash (abu) yang tinggi bila dibandingkan dengan limbah kapas dan kardus, maka waktu operasi pembakaran limbah jerami tersebut relatif lebih singkat bila dibandingkan dengan limbah kapas dan kardus.
Gambar 6.2 Abu sisa pembakaran yang menumpuk pada reaktor gasifikasi Kendala yang lain yang dialami pada penggunaan limbah jerami ini sebagai bahan bakar kompor gasifikasi, adalah kondisi nyala api yang kecil dan tidak stabil sehingga api sering mati disaat kompor gasifikasi tengah digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa limbah jerami kurang optimal bila digunakan sebagai bahan bakar pada tungku gasifikasi. Gambar berikut menunjukkan perbedaan nyala api yang dihasilkan antara limbah jerami dengan limbah kapas dan kardus.
77
(a)
(b)
(c)
Gambar 6.4 Perbandingan nyala api pada reaktor gasifikasi dengan bahan bakar yang berbeda. (a) limbah jerami, (b) limbah kapas, (c) limbah kardus