BAB VI KONTRIBUSI SOSIOKULTURAL PADA STATUS GIZI BALITA DI DESA PECUK
Status gizi balita akan termanifestasi pada tingkat masing-masing individu yang dipengaruhi oleh asupan makanan serta status kesehatan (penyakit), yang keduanya merupakan determinan dekat. Faktor-faktor ini interdependen, seorang anak dengan asupan makanan yang kurang mencukupi diduga lebih rentan penyakit. Penyakit akan menekan nafsu makan, juga dapat menghalangi absorbsi nutrisi. Asupan makanan harus mencukupi baik secara kuantitas dan kualitas. Sehingga baik penyakit maupun asupan makanan secara sendiri-sendiri, apalagi bersamaan dapat mempengaruhi status gizi. Asupan makanan dan penyakit yang diderita seseorang muncul akibat dari bagaimana pola perilaku atau pola asuh gizinya. Pola asuh gizi yang juga merupakan pola perilaku adalah praktek pemberi perawatan yang dilakukan baik oleh orang tua, nenek, pengasuh, tenaga perawat atau bahkan tetangga dan saudara balita yang berkaitan dengan status gizi. Ada tiga faktor yang mempengaruhi pola asuh gizi, yaitu sosiokultural, keadaan politik dan keadaan ekonomi. Pada penelitian ini, dari ketiga faktor tersebut faktor politik dianggap mempunyai keadaan atau gambaran yang sama dengan daerahdaerah di wilayah Propinsi Jawa Tengah pada umumnya dan Kabupaten Demak khususnya. Faktor ekonomi sudah tergambarkan pada saat penentuan lokasi penelitian, dimana daerah Pecuk mempunyai keadaan ekonomi yang tidak mendukung timbulnya status gizi yang baik, sehingga faktor keadaan sosiokultural setempat yang belum didapat gambaran serta kaitannya dengan pola asuh gizi yang dapat
133
mempengaruhi status gizi balita di daerah tersebut, yang kemudian di fokuskan pada penelitian ini. Sosiokultural atau sosial-budaya merupakan hubungan antar manusia dengan manusia, hubungan antar manusia dengan kelompoknya dan sebaliknya, yang menekankan saling ketergantungan antara pola-pola budaya, masyarakat sebagai suatu sistem interaksi, dan kepribadian individual. Sosiokultural yang dimaksud dalam penelitian ini mencakup unsur-unsur yang diwujudkan dalam bentuk 1) Sistem budaya, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, konsep-konsep, nilai-nilai, norma, peraturan, kepercayaan, kebiasaan, tradisi, mitos dan 2) Sistem sosial, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat (Koentjaraningrat 1990). Sehingga fokus yang dilakukan pada penelitian ini berkaitan dengan sistem budaya dan sistem sosial.
A. Kontribusi Sistem Budaya Dalam Pola Asuh Gizi Sistem budaya adalah bagian dari kebudayaan yang dalam Bahasa Indonesia lebih lazim disebut adat istiadat. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, konsep-konsep, nilai-nilai, norma, peraturan dan sebagainya. Ide-ide dan gagasan-gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu tidak berada lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan, menjadi suatu sistem, yang disebut sistem budaya. Fungsi dari sistem budaya adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku manusia (Koentjaraningrat 1990). Berdasarkan data yang didapat, tidak semua unsurunsur dalam sistem budaya yang ada di Desa Pecuk
134
mempengaruhi pola asuh gizi yang pada akhirnya menentukan status gizi balita. 1. Unsur-unsur sistem budaya yang tidak mempengaruhi status gizi balita: a. Kepercayaan Berdasarkan definisi, kepercayaan adalah anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercayai itu benar atau nyata (misalnya kepercayaan terhadap makhluk halus), sesuatu yang dipercayai (misalnya rakyat kepada para pemimpinnya), harapan dan keyakinan misalnya pada kejujuran dan kebaikan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 2001). Masih adanya kepercayaan berkaitan dengan penyembuhan penyakit/pengobatan kepada dukun bayi, tiyang sepuh, orang pintar dan kyai. Bila balita sakit dan sudah dibawa ke tenaga kesehatan baik ke tempat praktek bidan dan dokter maupun ke puskesmas tidak ada perbaikan, maka penyakit balita dianggap penyebabnya tidak jelas, sehingga perlu untuk meminta pertolongan orang pintar, dukun, atau kyai. Kepercayaan tersebut bukan merupakan hal yang terlalu merisaukan untuk pola asuh gizi yang berkaitan dengan status gizi balita, karena pertolongan pengobatan pertama jika balitanya sakit adalah kepada tenaga kesehatan, baik itu berupa pengobatan gratis ke puskesmas dan pustu, atau pada pelayanan pengobatan swasta di tempat praktek bidan dan dokter. Disamping itu terdapat dukungan sarana prasarana pelayanan kesehatan yang cukup banyak tersedia seperti: (i) Adanya Puskesmas, Pustu dan Pusling yang terjangkau oleh masyarakat serta adanya PKD dengan seorang bidan desa yang bertugas.
135
(ii) Ratio tenaga kesehatan dan penduduk Desa pecuk yang sudah mencukupi. (iii) Tersedianya jaminan pembiayaan kesehatan berupa JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat). (iv) Keberadaan Posyandu yang cukup aktif dan sangat membantu masyarakat. Kepercayaan di Desa Pecuk lainnya yang tidak berkaitan dengan pola asuh gizi, adalah: (i) Adanya Danyang (penunggu desa), yaitu di makam Mbah Buyut Suradi, yang dianggap sebagai pendiri Desa Pecuk, yang merupakan keluarga dari H Abdullah Mukti (Bapak Carik) dan bertindak sebagai juru kunci makam. Bagi masyarakat yang akan hajatan atau punya kerja, memulai puasa, malam jumat kliwon, maka untuk mendapatkan keselamatan dan dilindungi mereka akan menabur bunga (nyekar) di makam. (ii) Adanya sedekah bumi setahun sekali pada bulan Apit tahun Jawa yang dilakukan untuk keselamatan masyarakat desa. Upacara sedekah bumi berupa hajatan yang dihadiri oleh seluruh masyarakat Desa Pecuk bertempat di Dusun Ngemplak, lokasi dimana rumah Bapak H. Abdullah Mukti selaku Seketaris Desa Pecuk berada. Setiap keluarga sesuai dengan kemampuannya membawa bancaan (makanan untuk dihidangkan). Bagi keluarga yang merasa mampu biasanya membawa tumpengan, yang terdiri dari nasi, dengan lauk pauknya yang berupa ayam goreng, ikan asin, tahu, tempe dan sayuran yang disusun diatas tampah (baki yang terbuat dari anyaman bambu). Sedangkan bagi yang kurang mampu akan membawa pisang satu tandan, yang
136
merupakan hasil dari kebun mereka. Bancaan kemudian di doakan bersama-sama terlebih dahulu, baru kemudian dimakan oleh masyarakat desa yang hadir secara bersama-sama, baik itu orang tua, remaja maupun anak-anak serta balita. Kemudian pada malam harinya dilanjutkan dengan pementasan wayang hingga menjelang pagi. Cerita pewayangan yang dimunculkan selalu sama yaitu Ramayana dalam lakon (cerita) pewayangan “Tambak Romo, Romo Tanding”, yang dipercayai menggambarkan sifat masyarakat Desa Pecuk. Apabila cerita pewayangan diganti lainnya, dipercayai akan membawa malapetaka di Desa Pecuk. Oleh karena sedekah bumi yang dilanjutkan dengan makan bersama ini dilakukan hanya setahun sekali dan hanya untuk sekali makan saja, maka kegiatan ini tidak cukup berarti untuk dapat mempengaruhi status gizi balita di Desa Pecuk. (iii) Adanya wiwitan (syukuran) yang dilakukan pada saat mulai tanam dan panen padi oleh pemilik sawah supaya padi yang ditanam dapat dipanen dengan hasil yang baik. Kegiatan ini dilakukan rata-rata tiga bulan sekali oleh masing-masing pemilik sawah. Wiwitan berupa menyediakan sesajen (pelengkap untuk upacara adat/keagamaan), yang terdiri dari nasi beserta lauk pauknya, minuman yang biasanya berupa kopi dan air putih, buah pisang, jajan pasar (getuk, kue ketan, wajik) dan dupa. Sesajen ini akan dibawa dan ditinggal disawah setelah didoakan terlebih dahulu, untuk meminta permohonan agar padi yang ditanam pada saat panen akan mendapatkan hasil yang baik. Selain itu pemilik sawah juga menyediakan makanan untuk disantap bersama para buruhnya.
137
Oleh karena itu wiwitan ini tidak akan mempengaruhi status gizi balita di Desa Pecuk. b. Mitos Menurut Huxley dalam Satrapratedja (1986), mitos adalah rasionalisasi, yang merupakan suatu kerangka penunjang yang dibuat oleh akal manusia guna memelihara eksistensinya. Banyak mitos-mitos lama tentang makanan yang diketahui oleh ibu balita, yang selalu diinformasikan oleh nenek maupun orang tuanya secara turun temurun. Mitos tersebut adalah: (i)
138
Bagi ibu hamil, pantang untuk makan belut dan udang, oleh karena dapat menyebabkan bayi didalam kandungan mlungker (letak sungsang), sehingga mendapatkan kesulitan saat melahirkan. Pantang makan jantung pisang, oleh karena dapat menyebabkan calon bayi (janin) di dalam kandungan menjadi besar, tetapi setelah dilahirkan menyusut menjadi lebih kecil. Pantang makan cumi dan kepiting oleh karena dapat menyebabkan anak menjadi berkulit hitam. Pantang makan ikan sembilang, oleh karena dapat menyebabkan janin di dalam kandungan menjadi hilang dan tidak boleh minum banyak, oleh karena dapat menyebabkan janin menjadi terlalu besar. Pantang makan makanan, terutama makanan yang mengandung tinggi protein pada ibu hamil ini, jika dilakukan dapat mengakibatkan kelahiran bayi dengan BBLR (berat badan lahir rendah) yang kemudian dapat mengganggu perkembangan dan pertumbuhan bayi dan pada akhirnya dapat mengakibatkan balita dengan gizi buruk.
(ii) Bagi ibu menyusui, diharuskan untuk mutih (hanya makan makanan yang berwarna putih, terutama nasi), tidak diperbolehkan makan sayur maupun lauk (ikan dan daging) supaya ASI tidak terasa amis. Setelah melahirkan ibu harus makan keringan (tidak memakan sayur yang berkuah) supaya jahitan akibat persalinan cepat kering. Pantang makan makanan ibu menyusui tersebut jika dilakukan dapat mengakibatkan balita dengan gizi buruk, oleh karena sebagai makanan pokok bayi sampai dengan umur enam bulan adalah ASI yang diproduksi oleh ibu balita. Selain itu konsumsi zat gizi yang berasal dari susu setelah bayi berumur lebih dari enam bulan di Desa Pecuk, dapat dikatakan hanya didapat dari ASI. Untuk menghasilkan kualitas dan kuantitas ASI yang baik, maka kebutuhan makanan bagi ibu harus dipenuhi secara baik pula. Pada kenyataannya mitos-mitos tersebut banyak diketahui oleh ibu balita sebatas pengetahuan saja. Hampir semua ibu balita sudah tidak melaksanakan mitos tersebut, seperti yang dikatakan Ibu Sri Haryati, seorang kader kesehatan pada saat FGD dilakukan: Pantangan-pantangan semua ngerti dan pernah dengar tapi tak pernah dilakukan, mbahe (orang tuanya) sering mengingatkan tapi inggih mendel mawon (di iyakan saja tapi tidak dilaksanakan). Ikan, udang, belut semua dimakan, kata Bu Bidan banyak gizinya, bagus untuk anak-anak.
Atau seperti yang dikatakan oleh Ibu Emilda salah seorang informan sebagai berikut: Sekarang ibu-ibu sudah pinter-pinter, sudah pada sekolah atau banyak tahu dari
139
Bu Bidan, dari TV kalau ikan-ikan itu baik untuk kesehatan dan khasiatnya tinggi, jadi pantangan-pantangan sudah banyak ditinggalkan. Pantangan biasanya untuk anak yang gatal-gatal jangan makan ikan atau kalau batuk jangan makan ciki-ciki.
Hal tersebut juga dibuktikan berdasarkan hasil observasi dan wawancara, ibu yang menyusui balitanya mengkonsumsi makanan yang terdiri dari nasi beserta lauk pauknya termasuk sayur. Bahkan kebanyakan masyarakat Desa Pecuk termasuk ibu hamil, ibu menyusui maupun anak-anak serta balitanya lebih cenderung mengkonsumsi ikan yang harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan protein dari daging sapi atau ayam. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur kepercayaan dan mitos yang merupakan bagian dari sistem budaya yang ada di Desa Pecuk tidak mempengaruhi pola asuh gizi balita, atau tidak mempengaruhi status gizi balita. 2. Unsur-unsur sistem budaya yang mempengaruhi status gizi balita a. Kontribusi norma Norma adalah aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok di masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan diterima sehingga setiap warga masyarakat harus mentaatinya. Norma budaya adalah suatu konsep yang diharapkan ada atau seperangkat perilaku yang diharapkan, suatu citra kebudayaan tentang bagaimana seharusnya seseorang bersikap (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 2001; Horton and Hunt 1984).
140
Berdasarkan data yang didapat di Desa Pecuk, normanorma yang berkaitan dengan pola asuh gizi yang kemudian mempengaruhi status gizi balita adalah norma yang merefleksikan kebiasaan saling memberi didalam keluarga dan masyarakat, seperti saling merawat dan mengawasi anak-anak di sekelilingnya, terutama anak yang masih kecil (balita). Seolah-olah mereka juga bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anak disekitarnya. Pada saat ibu balita sedang bekerja, baik bekerja untuk mencari tambahan penghasilan diluar rumah, maupun sedang mengerjakan pekerjaan rumah, seperti mencuci pakaian dan memasak, maka biasanya balita yang sudah berjalan akan bermain bersama dengan teman sebayanya di halaman rumahnya sendiri atau rumah tetangga. Pada saat ini maka tetangga yang ada disekitar balita tersebut akan mengawasi kegiatan bermain balita. Misalnya melarang balita untuk memanjat pagar bambu, bermain di selokan rumah, bahkan mengajak si balita untuk bersama-sama bermain di dalam rumah mereka supaya lebih mudah diawasai. Pada saat ada kegiatan penimbangan balita, pembagian vitamin A, kegiatan imunisasi atau kegiatan lain yang berkaitan dengan balita, maka ibu-ibu balita di sekitarnya akan saling mengingatkan. Bahkan jika ibu balita pada saat tersebut berhalangan, mungkin karena bekerja, sakit atau tak ada nenek dan pengasuh yang dapat membawa balitanya, maka tetangga disekitarnya bersedia dengan sukarela membawanya serta ke posyandu. Pada pengamatan juga sering didapat ibu balita yang menyuapi (memberi makan) anaknya dan anak tetangganya bersamaan pada saat jam makan siang atau makan sore hari. Norma semacam ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Franzini et al. (2009), tentang pengaruh dari lingkungan fisik dan sosial disekitar tempat tinggal terhadap status gizi anak di UK. Adanya norma-norma yang sehat yang terdapat pada jaringan dari orangtua yang saling mengenal dan bersedia menjaga anak-anak dilingkungannya
141
yang mempengaruhi obesitas atau status gizi anak di UK. Norma-norma tersebut mempengaruhi sistem keakraban sosial yang ada dan telah terbukti mempengaruhi kesehatan pada tingkat lingkungan tempat tinggal. Peningkatan kontak sosial dan transaksi sosial antar masyarakat dapat membantu penerapan perilaku yang lebih sehat. Dapat dikatakan bahwa norma semacam ini dapat terjadi tidak hanya di daerah pedesaan saja, tetapi memungkinkan juga terjadi di Negara yang sudah maju, dengan model yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain unsur-unsur sistem budaya yang ada. b. Kontribusi nilai Nilai adalah gagasan mengenai apakah pengalaman berarti atau tidak berarti. Dalam setiap masyarakat beberapa nilai memiliki penghargaan yang lebih tinggi dari nilai-nilai lainnya, nilai dapat berubah dari waktu ke waktu. Perubahan nilai-nilai juga mempengaruhi kebiasaan dan tata kelakuan (Horton and Hunt 1984). Sedangkan nilai-nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat. Walaupun nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun justru karena sifatnya yang umum, luas dan tidak konkrit, maka nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dari kebudayaan bersangkutan.
142
Kecuali itu, para individu itu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya, sehingga konsep-konsep itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan tidak dapat diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu yang singkat, dengan cara mendiskusikannya secara rasional. Berdasarkan data yang didapat, nilai-nilai yang ada di masyarakat Desa Pecuk sudah terdapat pergeseran atau dapat dikatakan nilai lama diganti dengan nilai baru. Sebagai contoh: (i) Adanya perubahan nilai anak. Awalnya pada kebanyakan masyarakat desa di Indonesia menganut semboyan “banyak anak, banyak rejeki”, sehingga hal tersebut juga mempengaruhi nilai balita yang ada di masyarakat, baik yang berkaitan dengan nilai positif maupun nilai negatif. Misalnya secara ekonomi banyak anak akan lebih menguntungkan, oleh karena masingmasing anak membawa rejeki sendiri-sendiri. Tetapi saat ini masyarakat mengatakan bahwa banyak anak menyebabkan beban ekonomi yang ditanggung keluarga semakin besar. Perubahan nilai-nilai yang ada di masyarakat Desa Pecuk ini dipengaruhi oleh informasiinformasi, pengarahan serta penjelasan rasionalisasi yang mereka dapat melalui: (1) media televisi, (2) adanya perpindahan penduduk, baik yang bersifat sementara maupun menetap dari luar daerah, terutama dari kota/desa yang lebih besar (migrasi), (3) adanya penduduk yang bekerja keluar desa dan (4) adanya kemudahan transportasi, (5) serta adanya peran institusi kesehatan setempat. Adanya nilai balita yang tinggi pada masyarakat Desa Pecuk mempengaruhi bentuk pola asuh gizi balita yang kemudian mempengaruhi status gizinya.
143
(ii) Adanya perubahan pemanfaatan pekarangan. Pemanfaatan pekarangan kebanyakan untuk memelihara ayam atau bebek, yang rata-rata mempunyai 5 sampai dengan 10 ekor, yang tidak dikandangkan. Keadaan ini mangakibatkan lingkungan rumah yang tidak sehat. Halaman rumah bahkan didalam rumahpun kadang terdapat kotoran ternak. Dari sisi lain ternak yang dipelihara merupakan ketersediaan bahan pangan protein yang sangat berarti bagi balita. Ayam atau bebek yang dipelihara kebanyakan hanya untuk keperluan makan keluarga, baik berupa telurnya maupun dagingnya. Pada saat keluarga kehabisan uang, maka ayam atau bebek ini akan dijual untuk membeli beras atau kadang digunakan untuk biaya pengobatan balitanya. Pemanfaatan pekarangan untuk beternak dianggap mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan menanam sayuran di pekarangan rumah. Hal tersebut mengakibatkan program dari institusi kesehatan yang banyak digalakan berupa kebun gizi, tidak berjalan dengan baik atau kurang diminati masyarakat. (iii) Adanya perubahan pada pandangan tentang pemilihan bidang pekerjaan. Di Desa Pecuk perbandingan tanah pekarangan dan persawahan adalah 1 : 5, disini terlihat tanah persawahannya sangat luas, tetapi orang Desa Pecuk sendiri kurang berminat mengerjakan lahannya dan diserahkan kepada orang dari desa lain. Sedangkan orang Desa Pecuk lebih banyak memilih bekerja sebagai buruh di Jepara atau Kudus. Masyarakat menganggap bekerja sebagai buruh lebih menguntungkan, mendapatkan penghasilan yang lebih baik dan mendapatkan pengalaman atau pengetahuan yang baru dibandingkan hanya bersawah saja, yang telah dilakukan sejak orang tuanya dulu. Perubahan pandangan nilai pada bidang pekerjaan ini merupakan
144
perubahan nilai budaya, walaupun tidak lepas dari konsep-konsep ekonomi. Banyaknya masyarakat Desa Pecuk yang bekerja ke luar daerah termasuk ibu balita, menyebabkan perawatan balita diserahkan kepada keluarga (nenek atau saudara lainnya yang ada di desa), atau membayar orang lain untuk dapat mengganti merawat balitanya. Biasanya orang lain yang dipilih dipercayakan kepada tetangganya. Disisi lain bekerja sebagai buruh di Jepara atau Kudus memberikan pendapatan yang dapat diterima setiap minggu, yang kemudian dapat segera digunakan untuk keperluan perawatan balitanya, misalnya untuk uang jajan, membeli susu formula, bubur bayi atau untuk keperluan asupan makanan balita lainnya termasuk juga untuk membayar pengasuh selama balita ditinggal bekerja. Ibu balita biasanya bekerja sebagai buruh rokok, sedangkan lakilaki biasanya sebagai supir pabrik atau buruh bengkel. Pada kenyataannya setelah dihitung-hitung pemasukan yang didapat ibu balita yang bekerja sebagai buruh rokok habis untuk menutupi kebutuhan jajan dan makan balita serta membayar pengasuhnya. Dalam hal ini ibu merasa puas karena sudah melakukan tanggung jawab memenuhi kebutuhan untuk balitanya. Selain itu dampak dari Ibu balita yang bekerja di Jepara dan Kudus adalah mendapat informasi, pengetahuan dari lingkungan kerjanya. Hal ini dapat dipahami oleh karena daerah Jepara dan Kudus merupakan daerah yang lebih maju dibandingkan dengan Desa Pecuk. Informasi tersebut berkaitan dengan pemberian vitamin kepada balita untuk menambah nafsu makan, yang kemudian dapat dibeli dengan mudah di tokotoko yang ada di Jepara dan Kudus. Dampak lainnya berupa didapatnya informasi yang berkaitan dengan
145
aneka macam makanan tambahan dalam kemasan untuk balita, yang sangat mudah didapat di toko-toko kecil sekitar pabrik. Bahkan ada ayah balita yang orang tuanya bekerja sebagai supir perusahaan, jika pulang ke rumah selalu membawa kebutuhan untuk balitanya yang tidak didapat di desa, seperti bubur bayi atau vitamin penambah nafsu makan untuk balita. (iv) Adanya perubahan pada pola pertanian penduduk. Pergeseran nilai-nilai yang sangat menyolok pada 4 tahun terakhir oleh karena adanya perpindahan penduduk (orang dari desa lain), maupun masyarakat Desa Pecuk yang bekerja di desa lain. Penduduk yang pindah ke Desa pecuk biasanya adalah penduduk yang mendapat jodoh dari daerah lain, kemudian menikah dan pindah menetap di Desa Pecuk dengan membawa keahlian atau ketrampilan dari daerah asalnya, diantaranya adalah keahlian menanam selain padi. Sehingga dapat dikatakan perpindahan penduduk tersebut merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan tanaman pertanian tidak hanya berupa padi saja, tetapi sudah bervariasi dan dikembangkan ke jenis tanaman lain, yaitu buah melon, cabe besar keriting dan brambang yang dianggap lebih mempunyai nilai tinggi. Menurut pendapat mereka nilai tinggi tersebut dapat karena hasil pengelolaan tanah yang dipunyai akan lebih maksimal. Setelah penanaman padi maka diselingi dengan menanam brambang, sehingga tanah yang dipunyai selalu berproduksi. Selain itu tanaman brambang, buah melon dan cabe keriting mudah untuk dipasarkan. Perpindahan penduduk juga menyebabkan mulai munculnya keberanian masyarakat untuk berwiraswasta seperti berjualan lamongan (warung tenda ikan laut) dan berjualan nasi uduk yang
146
merupakan makanan khas dari daerah Jawa Timur dan Betawi, sehingga kebiasaan bertanipun mulai ditinggalkan. Berjualan lamongan ini dianggap menghasilkan pemasukan setiap hari dan pendapatan yang lebih menjanjikan dibandingkan bertani (economic oriented). Selain itu pandangan masyarakat juga mengatakan bahwa petani brambang dan berjualan lamongan mempunyai gengsi (derajat) yang lebih tinggi dibandingkan sebagai petani padi. Perubahan pada pola pertanian masyarakat akan mempengaruhi pendapatan keluarga dan pada akhirnya dapat mempengaruhi pola asuh gizi, baik yang berkaitan dengan asupan makanan maupun pelayanan kesehatan bagi balitanya. c. Kontribusi kebiasaan Kebiasaan adalah Suatu cara yang lazim, yang wajar dan diulang-ulang dalam melakukan sesuatu oleh sekelompok orang. Melalui coba-coba, situasi kebetulan, atau beberapa pengaruh yang tidak disadari sekelompok orang sampai pada salah satu kemungkinan ini, mengulang dan menerimanya sebagai cara yang wajar untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Kejadian ini diturunkan pada generasi berikutnya dan menjadi salah satu kebiasaan (Horton and Hunt 1984). Kebiasaankebiasaan yang dilakukan oleh ibu balita di Desa Pecuk yang berkaitan dengan pola asuh gizi adalah: (i) Ibu selalu memberikan ASI pada balitanya, sampai dengan ASI tak keluar lagi, kapan dan dimanapun anak memintanya, sehingga sering terlihat ibu menyusui sambil berjualan makanan kecil di depan sekolahan atau ibu menyusui sambil mencuci pakaian, bahkan terlihat juga ibu menyusui sembari berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya di jalan desa. Sedangkan pada ibu yang
147
bekerja diluar desa, maka ASI diberikan pada saat balita bangun tidur atau ibu akan berangkat bekerja dan setelah pulang bekerja pada siang hari. ASI ini merupakan makanan utama bagi balita sampai umur enam bulan. Setelah itu maka ASI merupakan asupan protein dari susu yang utama, oleh karena ibu tidak mampu setiap hari menyediakan susu formula, yang harganya relatif mahal. Pemberian ASI setiap saat anak meminta pada ibu menyusui, menunjukan kepedulian ibu yang tinggi kepada balitanya, sehingga segala fasilitas yang dipunyai diberikan, tetapi untuk pemberian ASI eksklusif di Desa Pecuk masih rendah, yaitu sebesar 44%. Beberapa penyebab ibu tidak dapat memberikan ASI eksklusif adalah karena ibu bekerja, ibu sakit sehingga tidak dapat memberikan ASInya, anak sakit sehingga tidak dapat menerima ASI dan ketidak tahuan ibu atau pemberian makanan padat sebelum waktunya. (ii) Makan dalam sehari 3 kali, tetapi untuk balita, kapanpun balita minta makan selalu diberikan, termasuk keinginan balita untuk jajan selalu dipenuhi. Keadaan ini bertentangan dengan kondisi masyarakat Desa Pecuk yang masih serba kekurangan, dimana kebanyakan mempunyai tingkat ekonomi rendah dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Hal ini dapat terjadi, oleh karena adanya nilai balita yang tinggi serta adanya kepedulian atau perhatian yang tinggi terhadap balita, sehingga semua daya upaya dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan balitanya. Hasil observasi menemukan balita yang sedang makan pada saat-saat diluar jam makan yang seharusnya, yaitu pada pukul 10.00 dan pukul 15.00, dan dari hasil wawancara ibu balita mengatakan bahwa, dalam sehari kadang balita makan dua kali ditambah jajan atau kadang lima kali ditambah jajan dan semuanya dituruti demi anak yang
148
sehat. Pemenuhan kebutuhan makan dari makanan jajanan pada balita terlihat sangat dominan. (iii) Mengutamakan makan, seperti yang dikatakan oleh Ibu Hasunah, yang merupakan salah satu Ibu balita, kader posyandu dan penjaja sayur keliling, yang telah meninggal oleh karena sakit pada saat penelitian ini masih berlangsung, yaitu : Biarpun rumah jelek, orang tak punya tapi makanan tetap harus enak, buktinya belanja sehari bisa 15.000, kadang juga dengan “ ijol beras njalo iwak” (menukar beras dengan ikan).
Oleh karena Ibu Hasunah bekerja sebagai penjaja sayur keliling, maka beliau sangat hafal dengan kebiasaan ibu balita di Desa Pecuk sebagai konsumennya dalam memenuhi kebutuhan makan keluarga. Walaupun ibu balita tak mempunyai uang, sering mereka tetap berusaha membeli paling sedikit ikan dan sayur dengan cara berhutang atau menukar beras dengan ikan. Hal ini sesuai dengan pandangan mereka tentang makan enak. Makan enak menurut mereka adalah makan dengan lauk ikan, daging sapi atau daging ayam, yang merupakan makanan mahal untuk masyarakat Desa Pecuk. Lauk yang paling sering dibeli adalah ikan, oleh karena harganya masih terjangkau dibandingkan dengan daging sapi atau daging ayam. (iv) Masyarakat yang kebanyakan bekerja sebagai buruh tani selalu mempunyai beras dalam bentuk gabah, yang kemudian di slep (di kupas) sedikit-sedikit atau seperlunya, baik untuk dimakan maupun untuk ditukar dengan bahan pangan lainnya, yang biasanya ditukar dengan ikan. Fakta yang ada dapat diketahui terutama dari informan Ibu Hasunah sebagai penjaja sayur keliling yang sering menerima penukaran beras dengan
149
barang dagangannya. Paling sering adalah menukarnya dengan ikan. Balita di Desa Pecuk sangat menyenangi ikan yang di goreng, kadang ikan dimakan tanpa nasi dan ibu tak merasa keberatan, selama balita menyukainya dan ibu mampu mengusahakannya. Ibu balita juga tak merasa malu mengungkapkannya oleh karena hal tersebut sudah merupakan kebiasaan yang sering dilakukan. Kebiasaan menyimpan beras seperti ini dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk usaha ketahanan pangan dalam keluarga yang kemudian mempengaruhi pola asuh gizi dan status gizi balita. Berdasarkan penjelasan serta uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa unsur norma, nilai dan kebiasaan yang ada di Desa Pecuk merupakan faktor yang mempengaruhi pola asuh gizi balita, baik yang berkaitan dengan asupan makanan maupun perawatan kesehatan yang diberikan pada balita, yang pada akhirnya menentukan status gizi balita. Temuan ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Muller (1999) dan Singhth (1986), di Rwanda, Afrika, mengenai komposisi produksi Petani mempengaruhi perilaku (budaya) makan atau pola asuh gizi. Tingkat produk pertanian yang berasal dari rumah tangga pertanian di negara-negara berkembang dapat mempengaruhi status gizi mereka secara langsung maupun tak langsung. B. Kontribusi Sistem Sosial Dalam Pola Asuh Gizi Sistem sosial merupakan wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lainnya, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Pada penelitian ini sistem sosial terdiri dari
150
keakraban sosial (kohesi sosial) dan kelembagaan (organisasi kemasyarakatan). 1. Kontribusi Keakraban Sosial (Kohesi Sosial) Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, kohesi sosial yang ada di Desa Pecuk berupa: 1) ikatan keluarga, 2) adanya rasa kekeluargaan, 3) sistem gotong royong dan 4) adanya sistem tolong menolong. a. Ikatan keluarga Kebanyakan tetangga atau bahkan masyarakat dalam satu dusun masih mempunyai ikatan keluarga, hal tersebut juga tergambar dalam sejarah kepemimpinan Desa Pecuk dimana kepala desa beserta beberapa perangkatnya adalah kerabat atau orang yang masih berdarah keluarga, seperti yang diceritakan oleh H. Abdullah Mukti: Yang masih saya ingat adalah, Desa pecuk yang mulai dipimpin oleh Karyadi Kromo Sekep yang merupakan keluarga jauh, kemudian diganti H. Abdul Karim yang merupakan kakek, memimpin selama 40 tahun. Setelah itu pimpinan diganti H. Munawar Ibrahim yang merupakan bapak angkat, memimpin selama kurang lebih 18 tahun, kalau tak salah dari tahun 1971 sampai dengan 1989, dan kemudian dipimpin oleh H. Zaini Kusmanto yang merupakan paklik yang memimpin selama 8 tahun 4 bulan, dari tahun 1989 sampai dengan 1998.
Hal ini juga dapat dimaklumi jika dilihat dari sejarah terbentuknya Desa Pecuk, yang berawal dari pelarian sekelompok orang yang berasal dari Kerajaan Mataram, yang merupakan garis keturunan tertua (nenek moyang)
151
masyarakat Desa Pecuk yang kemudian melangsungkan keturunan. Sehingga jika dihubung-hubungkan masyarakat Desa Pecuk kebanyakan masih mempunyai ikatan saudara/keluarga. Ikatan keluarga ini terlihat mempengaruhi pola asuh gizi balita di masyarakat. Anak tetangga yang kebanyakan masih mempunyai ikatan keluarga merupakan bagian dari keluarganya sendiri, sehingga anak tersebut dalam hal ini balita akan selalu diperhatikan, dirawat seperti juga anaknya sendiri, seperti yang dikatakan oleh informan dari keluarga balita Noval Setiawan dan Muh. Maulana Syarif: Hubungan dengan tetangga sangat baik, seperti saudara saja, sering saling mengawasi anak yang masih kecil, menyuapi anak bersama-sama, bahkan saling membagi lauk yang dipunyai. Penimbangan anak ke posyandu kadang dibawa oleh tetangga, saudara atau neneknya, oleh karena ibu bekerja dan aturan di perusahaan sangat ketat.
Berdasarkan hasil pengamatan, didapat balita yang sedang di asuh oleh tetangganya yang masih mempunyai ikatan keluarga, balita bermain bersama anaknya yang sebaya. Bahkan balitapun sering disuapi bersama dalam satu piring dan satu sendok makan, dengan lauk yang ada, biasanya hanya dengan tempe atau sayur bayam saja. Oleh karena makan bersama-sama maka balita terlihat menyantapnya dengan lahap. Pada saat balita sakit, maka tetangga sekitar yang masih mempunyai ikatan keluarga ini akan membantu merawatnya, terutama pada balita yang ibunya bekerja. Kadang tetangga harus menggendongnya sampai ibu pulang kerja pada siang hari, oleh karena balita menangis terus. Tetangga yang masih keluarganya ini juga memberinya obatobat Jawa, seperti mengolesi tubuh bayi dengan brambang yang telah dihaluskan dicampur minyak kelapa jika bayi sakit pilek (flu). Pada saat kegiatan penimbangan di posyandu,
152
terlihat lima sampai dengan enam nenek balita yang membawa cucunya untuk ditimbangkan, oleh karena ibu balita sedang bekerja. Hal tersebut menggambarkan kepedulian ibu beserta keluarga disekitarnya yang tinggi terhadap balitanya. Perawatan balita yang bersifat temporer oleh karena ikatan keluarga ini dilakukan dengan sukarela, tanpa ada imbalan jasa. Pada pengasuhan balita yang bersifat menetap oleh tetangga sekitar yang masih ada ikatan keluarga, maka imbalan jasa diberikan sekedarnya, dapat berupa membagi beras yang dipunyai atau memberi uang setiap minggunya dibawah standar yang ada di Desanya. Seperti diketahui kenyataan di lapangan pada umumnya ibu merupakan orang yang paling dominan dalam perawatan anak, termasuk bayi sampai dengan balita yang masih sangat bergantung pada orang tuanya (pengasuhnya). Hal ini dapat terjadi oleh karena bayi dengan makanan utamanya ASI akan selalu bergantung dengan ibunya. Ibupun secara alamiah akan merawat balitanya sejak bayi lahir, dengan memandikan, membuat dan menyuapi bubur, memberikan makanan pendamping ASI atau makanan tambahan. Tidak dapat dipungkiri ibu juga mempunyai kedekatan emosional yang tinggi terhadap anak yang telah dikandungnya.
153
Gambar 6.1:
Foto yang menggambarkan balita dibawa ke posyandu oleh neneknya
Sumber: Data primer Pada ibu yang bekerja maka pola asuh gizi tidak dapat sepenuhnya dilakukan oleh ibu balita. Perawatan (pengasuhan) anaknya diwakilkan kepada keluarga yang berada disekitar tempat tinggalnya yang mempunyai waktu dan dianggap dapat dipercaya, serta bersedia sebagai pilihan pertama. Jika tidak ada baru diserahkan kepada tetangga disekelilingnya. Di Desa Pecuk ibu yang tidak bekerja lebih banyak (57,34%) dibandingkan dengan ibu yang bekerja (42,66%). Faktor ini berdampak pada gambaran status gizi balita yang ada, dimana pada kelompok balita dengan ibu yang tidak bekerja, maka didapat gambaran prosentase status gizi baik lebih besar (91%), dengan prosentase status gizi kurang lebih kecil yaitu 9% dibandingkan pada ibu balita yang bekerja, yaitu balita dengan status gizi baik 82% dan status gizi kurang 16% (Tabel 6.1).
154
Pola asuh gizi balita pada ibu yang tidak bekerja akan terpantau sepenuhnya oleh ibu, dari memberi makan, jenis makanan yang dimakan dan lain-lain keinginan balita berkaitan dengan asupan makanannya, termasuk keinginan jajan balita yang merupakan kebiasaan masyarakat di Desa Pecuk. Pada saat balita sakitpun akan lebih cepat terdeteksi dan cepat dilakukan perawatan, baik perawatan yang bersifat tradisional maupun meminta bantuan tenaga kesehatan. Pada ibu yang bekerja, maka sebelum berangkat bekerja pagi hari yang biasanya berkisar pukul 06.00 pagi, ibu akan menyusui balitanya terlebih dahulu dan menyiapkan keperluan makan untuk pagi dan siang hari, serta menitipkan uang jajan balita kepada pengasuhnya. Selama ibu bekerja maka asupan makanan dilakukan oleh pengasuhnya, kebutuhan jajan anak juga disesuaikan dengan uang yang dititipkan. Pada saat balita sakit, maka terkadang baru terdeteksi setelah ibu pulang bekerja atau jika membutuhkan pemeriksaan ke tenaga kesehatan, maka ibu harus mengaturnya terlebih dahulu dengan tempatnya bekerja. Walaupun penanganan sementara sudah dilakukan oleh pengasuhnya. Rata-rata ibu balita pulang bekerja sekitar pukul 13.00, kemudian pengasuhan balita diserahkan kepada ibu kembali. Ikatan keluarga di masyarakat Desa Pecuk menyebabkan pola asuh gizi balita yang berkaitan dengan asupan makanan maupun perawatan balita menjadi lebih terpenuhi, terutama bagi balita yang mempunyai ibu yang bekerja. Bentuk perilaku dari ikatan kekeluargaan ini dapat muncul oleh karena orang tua atau neneknya mengajarkan kepada anakanak mereka atau turunannya tentang kepedulian terhadap keluarga dan hubungan kekeluargaan, sehingga kemudian memberikan pola yang sama dalam lingkungannya, termasuk pola dalam perawatan kesehatan dan pola asuh gizi.
155
Tabel 6.1:
Data pekerjaan Ibu balita di Desa Pecuk, Kec. Mijen, Kab. Demak bulan Mei tahun 2009
Pekerjaan Ibu
Gizi Buruk
Gizi Kurang
Gizi Baik
Gizi Lebih
Total
Bekerja N: 93 Tak bekerja N: 125 Jumlah N: 218
0
15 (16%) 11 (9%) 26 (12%)
76 (82%) 114 (91%) 190 (87%)
2 (2%) 0
93 (100%)
0 0
2 (1%)
125 (100%) 218 (100%)
Sumber: Data primer b. Adanya rasa kekeluargaan Rasa kekeluargaan adalah suatu hubungan sosial di dalam masyarakat yang terjalin sangat dekat, sehingga masingmasing anggota menganggap mereka seperti masih mempunyai ikatan keluarga. Rasa kekeluargaan ini seperti juga pada ikatan keluarga, akan mempengaruhi pola asuh gizi balita di desa Pecuk. Rasa kekeluargaan dapat melengkapi pola asuh gizi balita yang diberikan oleh orang tua balita tersebut. Misalnya, (1) Balita yang tak dapat ditimbang atau di imunisasi ke posyandu oleh karena ibu bekerja, maka tetangga akan membantu membawakan balitanya, (2) Balita yang dirumah sendiri tidak mau makan, oleh karena tidak menyukai lauk yang disediakan, atau tidak ada teman sebaya untuk makan bersama, atau bahkan ibu pada saat itu tak membuatkan lauk oleh karena tidak mempunyai uang, maka tetangga sering mengajak anak makan bersama balitanya, membagi lauk yang ada. Seperti yang dikatakan oleh informan keluarga balita M Abdul Rohim: Hubungan dengan tetangga seperti sedulur (saudara), saling momong (merawat) anak.
156
Jika anak ada di rumah tetangga dan anaknya sedang makan, maka anak kita juga akan diberi makan. Kadang juga membawa anak tetangga ke posyandu yang ibunya sedang bekerja atau ibu yang tak bisa membawa anaknya sendiri ke posyandu.
Gambar 6.2: Gambaran yang menunjukan adanya dua orang bapak yang sedang mengasuh balitanya yang mengindikasikan kepedulian orangtua yang besar terhadap balitanya
Sumber: Data primer c. Sistem gotong royong di masyarakat
Gotong royong merupakan kegiatan bekerjasama antara sejumlah warga desa untuk menyelesaikan sesuatu pekerjaan (proyek) tertentu yang dianggap berguna bagi kepentingan bersama. Kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingankepentingan yang sama, dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian diri 157
sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut melalui kerjasama. Pada masyarakat Desa Pecuk, kerjasama timbul oleh karena orientasi orang per orang terhadap kelompoknya dan kelompok lainnya. Orientasi ini dapat berupa, 1) Motivasi pribadi, ini berarti tujuantujuan pribadi dihimpun dalam usaha-usaha bersama untuk mencapainya. Keuntungan pribadi dapat dicapai dengan kerjasama, 2) Kepentingan umum atau kepentingan bersama, berdasarkan tujuan-tujuan yang dianggap bernilai tinggi, 3) Motivasi altruistik, motivasi ini bersumber dari keinginan seseorang untuk menolong pihak lain, karena panggilan hati, dan 4) Tuntutan situasi, misalnya karena keadaan jalan atau transportasi yang tak nyaman sehingga masyarakat tergerak untuk menanggulanginya. Kerjasama atau yang di Indonesia khususnya di Desa Pecuk dikenal sebagai gotong royong, merupakan bentuk kerjasama hasil dari kesetiaan atau ketaatan terhadap tujuan yang sama dan dapat dikatakan merupakan tipe kerjasama primer, dimana kelompok atau orang perorang bersatu sehingga semua atau hampir semua aspek kehidupan orang perorang tercakup dalam kelompok. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya kebiasaan gotong royong dalam masyarakat Desa Pecuk seperti: (i) Perawatan anak yang masih kecil, terutama balita di Desa Pecuk dapat dikatakan dengan sistim gotong royong. Masyarakat di Desa Pecuk saling memperhatikan dan menjaga balita yang ada dilingkungannya, seolah-olah balita menjadi tanggung jawab bersama. Gotong royong disini berkaitan dengan asupan makanan balita, saling memberi lauk, jajanan atau makanan cemilan yang dipunyai untuk balita yang ada disekitarnya. Gotong
158
royong juga dilakukan pada saat kegiatan penimbangan. Ibu balita bersedia membawa balita tetangganya bersamasama dengan balitanya untuk ditimbangkan di posyandu. Gotong royong yang dilakukan disini oleh karena rasa tanggung jawab, motivasi pribadi, dimana masing-masing keluarga mempunyai tujuan mendapatkan balita yang sehat. Tujuan-tujuan pribadi tersebut dihimpun dalam usaha-usaha bersama untuk mencapainya, yaitu dalam bentuk perawatan balita secara gotong royong. Disamping tujuan yang dilakukan dianggap mempunyai nilai tinggi yang berkaitan dengan adanya nilai balita yang tinggi di masyarakat. (ii) Membersihkan lingkungan untuk dapat mendukung status kesehatan masyarakat atau merupakan pola asuh gizi yang berkaitan dengan pencegahan terjadinya penyakit. Cara yang dilakukan disebut kerja bakti, memberisihkan lingkungan sekitar rumah warga dan sarana umum yang ada (misalnya sumber air minum, masjid) dengan waktu yang telah ditentukan bersama. lingkungan yang bersih mencegah terjadinya penyebaran penyakit oleh karena bakteri, virus maupun parasit. Perilaku ini dapat dikatakan merupakan bagian dari PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat). (iii) Membangun jalan desa bersama-sama sehingga mempermudah sarana transportasi yang ada. Pembuatan jalan-jalan desa menyebabkan masyarakat lebih mudah mendapatkan akses ke pelayanan kesehatan, baik itu ke posyandu, pustu, puskesmas bahkan ke rumah sakit serta ke pelayanan kesehatan swasta yang dipercayai dan di inginkannya. Sarana transportasi ini juga membuat ibu balita mudah untuk mendapatkan jenis asupan makanan dan zat suplemen (vitamin) yang dibutuhkan, misalnya: 1) Kebutuhan makanan tambahan berupa bubur bayi dalam kemasan yang pembuatannya sangat mudah, dengan rasa
159
bermacam-macam sesuai dengan keinginan, menjadi lebih mudah didapat di warung besar yang terdapat di desa tetangga yang merupakan wilayah Kabupaten Jepara, 2) Jika anak tak mau makan dan dirasa memerlukan vitamin penambah nafsu makan maka orang tua akan membelikannya di apotik yang berada di wilayah Kabupaten Jepara, 3) Kemudahan transportasi ini juga akan mempengaruhi pergeseran nilai-nilai yang ada di masyarakat. Pergeseran nilai tersebut dapat dilihat dari adanya bidang pekerjaan bertani yang mulai ditinggalkan, yang kemudian diganti dengan berjualan warung lamongan, atau menjadi buruh di pabrik rokok di luar desanya, yang dianggap lebih bergengsi dan menghasilkan pendapatan yang dapat diterima setiap minggu. d. Sistem tolong menolong di masyarakat Tolong menolong adalah kegiatan antara warga masyarakat yang lebih bersifat timbal- balik. Orang memberi pertolongan dengan melihat imbalan atau peluang untuk memperoleh pertolongan yang sama dikemudian hari. Masyarakat desa di daerah pedesaan di Indonesia, termasuk di Desa pecuk perwujudan kerjasama yang menonjol terlihat dari kegiatan-kegiatan tolong menolong dan gotong royong. Kegiatan-kegiatan tolong menolong ini hidup dalam berbagai macam bentuk. Sejalan dengan observasi Koentjaraningrat di desa-desa di Jawa Tengah bagian selatan, sikap dan kerelaan menolong orang-orang desa di dalam satu-tipe tolong menolong berbeda dari yang didapati dalam lembaga tipe lain. Saat keadaan kecelakaan dan kematian termasuk dalam keadaan sakit, orang desa akan segera rela menolong sesamanya tanpa berfikir kemungkinan untuk mendapat pertolongan balasan, tetapi misalnya dalam kaitannya dengan pola asuh gizi (mengasuh balita), orang akan bersifat lebih
160
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan imbalan atau balas jasa. Tolong menolong di masyarakat Desa Pecuk ini dapat dilihat sebagai berikut: (i) Pada ibu yang bekerja sebagai buruh di Jepara , maka tetangga akan menolong ibu mengasuh balitanya dan ibu memberi imbalan yang rata-rata Rp 5.000 sampai dengan Rp 7.000 per hari. Kejadian seperti ini memang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan berbasis ekonomi, tetapi menurut masyarakat Desa Pecuk hal tersebut bersifat timbal balik. Keluarga balita akan tertolong dalam mengasuh balitanya, terutama pada ibu yang bekerja. Sementara tetangga yang menolong akan mendapatkan pemasukan tambahan. Imbalan yang diberikan disesuaikan dengan kemampuan keluarga balita, walaupun tetangga sebagai pengasuh tidak secara langsung meminta imbalan tersebut. (ii) Masyarakat yang kebanyakan bekerja sebagai buruh tani selalu mempunyai beras dalam bentuk gabah, yang kemudian di slep (di kupas) sedikit-sedikit atau seperlunya saja, baik untuk dimakan maupun untuk ditukar dengan bahan pangan lainnya, yang biasanya ditukar dengan ikan, kepada tetangga yang mempunyainya atau kepada penjaja sayur keliling. Hal ini lebih banyak terungkap dari penjelasan Ibu Hasunah selaku penjaja sayur keliling di Desa Pecuk (penjelasan terdapat pada BAB VI sub bab A). Penukaran beras yang dilakukan dengan tetangga biasanya ditukar dengan ayam peliharaan untuk kemudian di masak guna konsumsi balitanya, walaupun hal ini lebih jarang dilakukan. Masyarakat Desa Pecuk, menyatakan hal tersebut sebagai bentuk tolong menolong oleh karena pada dasarnya mereka tak menghendaki menerima bentuk penukaran
161
tersebut, hanya karena rasa ingin menolong saja mereka melakukannya. (iii) Dalam rangka menuju desa siaga sesuai dengan masukan dari puskesmas, maka ada penduduk yg mampu meminjamkan mobil untuk ambulan desa, dengan bensin ditanggung pemakai, tetapi kadangkadang yg punya mobil membantu keseluruhan bahkan diberi bantuan biaya RS bagi yg tak mampu. Menurut informan, penduduk tersebut merupakan orang terkaya di Desa Pecuk dan terkenal sebagai orang yang dermawan, yang diperkirakan akan mencalonkan diri sebagai kepala desa pada pemilihan yang akan datang. Informan mengatakan pernah mengantar tetangganya yang sakit keras dan harus segera dibawa ke rumah sakit, maka mereka tak perlu repot-repot mencari ambulan, kendaraan telah disediakan, bahkan dengan bensin dan supirnya. Kesediaan mendukung persiapan desa siaga dengan menyediakan mobilnya sebagai ambulan desa yang dipergunakan pada keadaan-keadaan darurat juga sudah dinyatakan secara resmi dalam rapat di balai desa. (iv) Tolong menolong pada saat kehabisan uang, seperti yang dikatakan oleh informan dari keluarga balita Muh. Maulana Syarif: Hubungan dengan tetangga sangat dekat seperti keluarga saja, pernah kami tidak punya uang untuk makan maka kami meminjamnya pada tetangga dan pasti diberi, begitu juga sebaliknya, jika tetangga kehabisan uang juga akan dipinjamkan, tidak sulit dan tidak perlu ada jaminan apapun, hanya saling membantu dan kepercayaan saja.
162
Sistem tolong menolong pada masyarakat Desa pecuk merupakan faktor yang mendukung pola asuh gizi dalam kaitannya dengan perawatan balita, asupan makanan maupun jalannya pelayanan kesehatan pada balita. 2. Kontribusi Kelembagaan (Organisasi Kemasyarakatan) Kontribusi kelembagaan yang mempengaruhi pola asuh gizi pada masyarakat Desa Pecuk adalah kelembagaan yang bersifat tradisional, yang banyak tergantung pada nilai-nilai, ikatan primodial (keluarga, suku, kelompok dan pemimpin) yang ada di masyarakat. Kelembagaan/organisasi kemasyarakatan yang ada di Desa Pecuk dan sangat berhubungan dengan status gizi balita adalah Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu). Walaupun Posyandu merupakan bagian dari kegiatan dan program Puskesmas, tetapi dalam petunjuk pelaksanaannya Posyandu direncanakan dan dikembangkan oleh kader bersama Kepala Desa dan LKMD (seksi KB-Kes dan PKK) dengan bimbingan Tim Pembina LKMD Tingkat Kecamatan, mereka adalah warga masyarakat yang tidak mendapat imbalan berupa gaji dari pemerintah, melainkan bekerja secara sukarela. Kegiatan Posyandu adalah perwujudan dari peran serta masyarakat dalam menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan. Upaya masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan sudah dikenal sejak lama, tetapi biasanya dalam bentuk perorangan atau keluarga. Kegiatan posyandu, masyarakat mempunyai peran pokok dalam upaya menjaga dan meningkatkan kesehatan, sedangkan peran petugas kesehatan adalah untuk membantu upaya yang pada dasarnya merupakan kegiatan masyarakat sendiri. Salah satu tujuan diselenggarakannya Posyandu, yaitu meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan kesehatan dan
163
kegiatan-kegiatan kebutuhan.
lain
yang
menunjang
sesuai
dengan
Peran kader dalam kegiatan posyandu sangat dibutuhkan, dimana kader posyandu adalah anggota masyarakat yang: 1) dipilih dari dan oleh masyarakat setempat yang disetujui dan dibina oleh LKMD, 2) dalam melaksanakan kegiatan bertanggung jawab pada masyarakat melalui LKMD, 3) mau dan mampu bekerja secara sukarela, 4) sebaiknya dapat membaca dan menulis huruf latin, 5) masih mempunyai cukup waktu untuk bekerja bagi masyarakat disamping usahanya mencari nafkah (Depkas RI 1987). Posyandu di Desa Pecuk termasuk dalam stratifikasi Posyandu Madia (warna kuning), dengan hasil penilaian yang berdasarkan indikator yang telah ditentukan, yaitu Posyandu sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari 8 kali pertahun, dengan rata-rata jumlah kader tugas 5 orang atau lebih, akan tatapi cakupan program utamanya masih rendah, yaitu kurang dari 50%. Ini berarti, kelestarian kegiatan posyandu sudah baik tetapi dengan cakupan yang masih rendah. Jumlah balita yang berkunjung ke posyandu Desa Pecuk pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2009 mengalami fluktuasi dan cenderung terjadi penurunan, dimana jumlah kunjungan yang tertinggi terjadi pada bulan Mei, yaitu sebesar 58,25%, dengan rata-rata jumlah kunjungan balita sebesar 46,76% (Gambar 6.3). Jumlah kunjungan terbanyak terdapat di Dusun Pecuk, dimana Posyandu Dusun Pecuk ini merupakan pusat pelayanan oleh bidan yang berupa pemeriksaan kesehatan dan pengobatan serta imunisasi yang sekaligus juga merupakan Puskesmas Pembantu, yang bertempat di Balai Desa Pecuk. Organisasi posyandu di Desa Pecuk memang tak lepas dari program puskesmas, yang dalam hal ini merupakan institusi pemerintah yang menangani bidang kesehatan di wilayah sekecamatannya, tetapi dalam pelaksanaannya faktor
164
sosiokultural yang ada di Desa Pecuk turut menentukan bentuk atau model manajemen yang dijalankan. Faktor-faktor tersebut kemudian dapat menentukan tingkat keberhasilan posyandu sesuai dengan tujuan yang dikehendaki.
Gambar 6.3:
Grafik jumlah balita yang berkunjung ke Posyandu dalam bulan Mei - Agustus tahun 2009 di Desa Pecuk, Kec. Mijen, Kab. Demak
Sumber: Posyandu Desa Pecuk Kontribusi yang perlu mendapat perhatian adalah pada sistem kelembagaan yang ada di Posyandu Desa Pecuk, yang berkaitan dengan: 1) sistem sosialisasi, 2) sistem informasi, 3) sifat kebersamaan dan 4) petugas proaktif. Seperti hasil data yang didapat, yaitu: a. Undangan atau informasi kegiatan posyandu dapat tersosialisasi dengan baik oleh karena informasi jadwal posyandu dari puskesmas yang sampai kekelurahan akan langsung disampaikan ke salah satu kader posyandu yang juga merupakan tenaga bantu di kelurahan atau disampaikan kepada salah satu kader yang merupakan anak dari perangkat desa, kemudian
165
akan disampaikan secara tradisional dari mulut ke mulut (getok tular) bila bertemu dengan ibu balita. Informasi juga dilakukan oleh beberapa kader posyandu yang bekerja sebagai penjual sayur keliling, seperti yang dikatakan Ibu Hasunah: Ngopyak-opyak ke posyandu, ya sekaligus ider blanjaan (mengajak ke posyandu sekaligus pada waktu menjajakan dagangan).
b. Sesama ibu balita saling mengingatkan jadwal posyandu apabila sudah mendapat kepastian dari puskesmas c. Adanya rasa kebersamaan dalam masyarakat, seperti yang dinyatakan oleh informan dari ibu balita, yaitu merasa sama-sama membutuhkan kesehatan untuk balitanya, yang dapat dipantau berdasarkan kenaikan berat badan balita. Mereka merasa orang desa dengan pengetahuan terbatas, tak mempunyai banyak uang, semua serba terbatas maka harus di upayakan bersamasama. d. Bagi balita yang tidak dapat hadir ke penimbangan posyandu, maka kader sebagai petugas posyandu akan secara aktif mendatangi rumah balita, terutama untuk pemberian kapsul vitamin A. Sedangkan untuk penimbangan balita tidak semua balita dapat terjangkau secara proaktif.
166
Gambar 6.4:
Suasana kegiatan di posyandu Desa Pecuk pada bulan Agustus tahun 2009, dengan tempat dan peralatan yang sangat sederhana dan pengunjung yang antusias menimbangkan balitanya.
Sumber: Data primer
C. Kontribusi Sosiokultural Dalam Perspektif Teoritis Sosiokultural yang dalam penelitian ini di fokuskan pada sistim sosial dan sistim budaya, merupakan faktor yang mempunyai kontribusi dalam menentukan status gizi balita di Desa Pecuk. Di dalam perspektif Koentjaraningrat, sistem pendidikan Indonesia yang tradisional mengajarkan sejak kecil suatu pola perilaku yang selalu rukun terutama dengan keluarga dan masyarakat dilingkungannya. Hal ini muncul oleh sebab
167
adanya pandangan hidup, bahwa seseorang tidak mungkin hidup sendiri tanpa kerjasama. Di masyarakat pedesaan Indonesia perwujudan kerjasama yang menonjol berupa gotong royong dan tolong menolong. Gotong royong pada dasarnya adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat secara sadar untuk mencapai suatu kepentingan bersama tanpa didasarkan oleh pertimbangan imbalan materi bagi mereka yang terlibat didalamnya. Berbeda dengan kegiatan gotong royong dan tolong menolong yang biasanya ditemukan berkaitan dengan masalah pertanian (kroyokan, grojogan), kehidupan kekerabatan (rerukun alur waris), dalam menyiapkan pesta dan upacara (sambatan, rencang), dan dalam hal kecelakaan dan kematian. Pada hasil penelitian ini gotong royong dan tolong menolong yang merupakan unsur dari kohesi sosial (keakraban sosial) telah meluas berkaitan dengan pola asuh gizi balita. Gotong royong yang juga merupakan bentuk kerjasama, menurut perspektif Koentjaraningrat muncul karena orientasi orang per orang terhadap kelompoknya dan kelompok lainnya, yang berupa: 1. Motivasi pribadi. Tujuan-tujuan pribadi dihimpun dalam usaha-usaha bersama untuk mencapainya. 2. Kepentingan bersama, berdasarkan tujuan-tujuan yang dianggap bernilai tinggi,dapat memberi motivasi kepada orang-orang atau berbagai kelompok dan organisasi untuk bekerjasama. 3. Motivasi altruistik, motivasi ini bersumber dari keinginan seseorang untuk menolong pihak lain, karena panggilan hati. 4. Tuntutan situasi, misalnya karena musibah banjir orang tergerak untuk menanggulangi bersama berbagai akibatnya.
168
Pada penelitian ini, gotong royong yang timbul berdasarkan pada adanya nilai balita yang tinggi di masyarakat, di dukung oleh bentuk kohesi sosial yang berupa ikatan keluarga dan rasa kekeluargaan serta adanya norma saling memberi atau saling merawat balita di lingkungannya. Nilai balita yang tinggi membuat masyarakat berusaha dengan segala daya upaya untuk mendapatkan balita yang sehat, yang salah satu perwujudannya adalah balita dengan status gizi yang baik. Balita dengan status gizi baik tidak hanya merupakan tujuan keluarga atau individu-individu saja, tetapi sudah merupakan kepentingan bersama, sehingga akan lebih menguntungkan bila dilakukan secara bersama-sama, baik dalam bentuk gotong royong maupun tolong menolong. Gotong royong ini memungkinkan berjalan dengan baik oleh karena didukung adanya kohesi sosial yang berupa ikatan keluarga yang banyak terdapat di Desa Pecuk. Banyak dari masyarakat Desa Pecuk masih mempunyai ikatan keluarga yang terjadi oleh karena riwayat terbentuknya Desa Pecuk yang berasal dari satu keluarga Kerajaan Majapahit, yang kemudian melangsungkan keturunan. Selain itu rasa kekeluargaan yang ada, merupakan dukungan yang cukup berarti dalam menyuburkan sistim gotong royong di masyarakat. Rasa kekeluargaan muncul akibat sistem pendidikan Indonesia yang tradisional dari orang tuanya dan masih banyak terdapat di orang-orang pedesaan di Indonesia. Rasa kekeluargaan yang merupakan fungsi kesatuan kekerabatan masih merupakan bagian penting di masyarakat Desa Pecuk. Walaupun tidak mempunyai hubungan keluarga, rasa kekeluargaan disini muncul oleh karena ikatan tempat kehidupan, dimana orang yang tinggal bersama di suatu wilayah dalam hal ini adalah di Desa Pecuk mempunyai perasaan kesatuan yang amat kuat, ditambah dengan adanya kesamaan tujuan yaitu menjadikan balita dengan status gizi baik. Rasa kekeluargaan ini kemudian tertuang dalam norma-norma yang ada di masyarakat, yang berupa norma-norma saling memberi, saling merawat balita
169
dilingkungannya juga turut mendukung sistem gotong royong yang berkaitan dengan pola asuh gizi balita. Gotong royong merupakan budaya yang mengedepankan kebersamaan dan rasa saling memiliki. Gotong royong merupakan budaya kerja kooperatif yang menonjol di masyarakat agraris, seperti juga halnya dengan masyarakat di Desa Pecuk, dimana budaya gotong royong ini tidak hanya dalam kegiatan bertani saja. Gotong royong di Desa Pecuk juga mempunyai arti sebagai berusaha bersama-sama, tolong menolong atau bantu membantu, membentuk status gizi balita yang baik, yang kadang tak dapat dipisahkan secara tegas apakah itu sebagai gotong royong atau tolong menolong. Gotong royong di dalam merawat balita membentuk semangat kebersamaan atau semangat bekerjasama, sehingga memberi peluang besar bagi balita untuk memperoleh status gizi yang baik. Semangat bekerjasama ini yang kemudian membentuk pola asuh gizi balita, seperti: 1. Dalam hal asupan makanan. Saling memberi lauk, jajanan atau makanan cemilan yang dipunyai untuk balita yang ada dilingkungannya. Menyuapi makan balita tetangganya bersama-sama dengan balitanya. 2. Dalam hal pelayanan kesehatan. Saling menolong merawat balita yang sakit, bila ibu balita sedang bekerja, dengan cara menjaganya atau memberi pengobatan sementara. 3. Dalam hal perawatan balita. Saling mengingatkan dan bahkan membawa serta balita tetangga untuk ditimbang di posyandu sehingga dapat mengetahui perkembangan balita yang ada kearah yang baik atau buruk. Pada ibu yang bekerja maka pengasuhan balita dibantu oleh keluarga atau tetangga yang bukan keluarga.
170
D.
Peran Nilai Balita dan Jajanan Terhadap Status Gizi
Status gizi balita di Desa Pecuk mempunyai gambaran yang relatif baik, walaupun dengan kondisi lingkungan rentan gizi, yaitu dengan tingkat ekonomi yang rendah, pendidikan masyarakat yang kebanyakan hanya sampai dengan sekolah dasar dan rentan pangan. Bila ditinjau dari gambaran sosiokultural di Desa Pecuk yang dinilai dari unsur-unsur dalam sistem budaya dan sistem sosial, maka memungkinkan untuk terjadinya keadaan status gizi balita yang baik. Unsur-unsur dalam sistem budaya maupun sistem sosial tidak dapat dipisahkan secara tegas. Masing-masing unsur dapat saling mempengaruhi sesuai dengan perspektif dari Koentjaraningrat. Unsur nilai balita yang tinggi menimbulkan kepedulian orang tua dan sekelilingnya menjadi tinggi juga. Hal ini membentuk unsur kebiasaan pada masyarakat Desa Pecuk yang berkaitan dengan pola asuh gizi. Pemenuhan kebutuhan makanan, perawatan dan pelayanan pengobatan pada balita di Desa Pecuk sangat diperhatikan, termasuk dalam hal kebiasaan jajan pada balita. Bahkan kebiasaan jajan merupakan pemenuhan kebutuhan makanan balita yang sangat dominan. Pola asuh gizi balita di Desa Pecuk berfokus pada adanya nilai balita yang tinggi yang didukung oleh unsur-unsur norma, sistem gotong royong, tolong menolong, dan bentuk kelembagaan yang ada di masyarakat. Unsur-unsur tersebut saling berkaitan. Unsur norma yang merefleksikan kebiasaan saling memberi dalam keluarga dan masyarakat di Desa Pecuk berkaitan dengan bentuk kohesi sosial yang ada di masyarakat, yaitu adanya sistem gotong royong dan tolong menolong. Unsur norma ini juga memunculkan rasa kekeluargaan yang tinggi dimasyarakat, yang diperkuat oleh banyaknya ikatan keluarga yang ada di Desa Pecuk. Kelembagaan yang bersifat tradisional di Desa Pecuk berkaitan dengan banyaknya ikatan keluarga dan
171
adanya rasa kekeluargaan di dalam masyarakat, yang kemudian memunculkan rasa kebersamaan yang tinggi dan memberi kekhususan dalam sistim kelembagaan di masyarakat, sehingga dapat dikatakan sistem sosial yang terjadi oleh karena adanya interaksi sosial di Desa Pecuk sangat ditentukan oleh normanorma dan nilai yang berlaku di masyarakat. Keadaan sosiokultural yang ada di Desa Pecuk tersebut memberi kontribusi pada status gizi balita, sehingga dalam hal ini dapat disimpulkan, status gizi balita tetap dapat baik pada lingkungan rentan gizi, jika sosiokultural memberi dukungan. Keadaan sosiokultural di Desa Pecuk yang mendukung status gizi balita berfokus pada adanya nilai anak yang tinggi dan kebiasaan jajan pada balita.
172