BAB VI APLIKASI CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DENGAN TEKNIK PENULARAN UNTUK MENGENDALIKAN RAYAP TANAH COPTOTERMES Spp. DI LABORATORIUM Abstrak Uji penularan cendawan entomopatogen di dalam koloni rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann dan Coptotermes curvignathus Holmgren telah dilaksanakan di laboratorium. Pada uji laboratorium terhadap rayap C. gestroi digunakan LC95 dari spesies cendawan Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok., Metarhizium brunneum Petch., Beauveria bassiana (Bals.) Vuill.dan Fusarium oxysporum Link., dengan proporsi vektor: 0%, 10%, 20%, 30%, 40% dan 50%, sedangkan terhadap C. curvignathus menggunakan LC95 dari spesies cendawan M. brunneum dengan proporsi vektor 0% dan 10%. Setiap perlakuan diulang 4 kali. Data mortalitas yang diperoleh pada penularan di dalam koloni rayap C. gestroi dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dua arah dengan uji ragam yang kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan's Multiple Range Test (DNMRT). Untuk mengetahui korelasi antara mortalitas pada berbagai proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan masing-masing spesies cendawan digunakan analisis regresi. Sedangkan data mortalitas yang diperoleh pada penularan di dalam koloni rayap C. curvignathus dianalisis berdasarkan RAL satu arah dengan uji ragam yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan uji DNMRT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mortalitas rayap C. gestroi meningkat seiring dengan meningkatnya proporsi vektor (%) dan lamanya waktu aplikasi (hari). Pada proporsi 10% pengamatan selama 5 hari menunjukkan bahwa spesies cendawan M. brunneum menyebabkan mortalitas tertinggi (55%) namun sampai pada pengamatan 15 hari, M. brunneum, B. bassiana dan M. anisopliae menyebabkan mortalitas rayap tidak berbeda nyata (91,25%-100%). Uji penularan di dalam koloni rayap C. curvignathus menggunakan 10% vektor yang diinokulasi dengan LC95 cendawan M. brunneum hanya mampu menghasilkan 60% mortalitas (kontrol 13,25%) dan penurunan berat contoh uji 11, 27% (kontrol 47,82%) setelah 15 hari inokulasi. Kata
kunci:
bio-kontrol, cendawan entomopatogen, penularan, Coptotermes gestroi, Coptotermes curvignathus.
vektor,
Pendahuluan
Rayap tanah Coptotermes spp. merupakan serangga hama yang banyak menyebabkan kerugian pada konstruksi hunian berbahan baku kayu. Pengendalian hama ini memerlukan teknik khusus sehubungan dengan kebiasaan hidupnya yang tersembunyi di bawah permukaan tanah dan dengan jumlah individu di dalam
62
koloni yang cukup besar. Serangga sosial ini memiliki perilaku dan tingkatan kasta serta pembahagian fungsi yang berbeda untuk menjalankan aktifitas kehidupannya di dalam suatu koloni. Perilaku demikian dapat dimanfaatkan untuk mencapai
kesuksesan
di
dalam
pengendalian
menggunakan
cendawan
entomopatogen. Menurut Pearce (1997) tidak seperti kebanyakan serangga lainnya, rayap hidup di kegelapan sehingga komunikasi lewat sensory (sentuhan dan rasa) dan secara kimia adalah sangat penting. Komunikasi secara kimia di antaranya dengan menggunakan pheromon yaitu bahan kimia bersifat volatil yang dapat berfungsi sebagai bahan untuk merespon perilaku antar individu di dalam suatu koloni. Komunikasi ini memungkinkan rayap didalam koloni melakukan interaksi sosial lewat perilaku seperti grooming, trophallaxis dan cannibalistic. Perilaku ini diharapkan secara efektif dapat menularkan patogen antar individu di dalam suatu koloni rayap. Untuk mengaplikasikan patogen terhadap koloni rayap juga dibutuhkan vektor sebagai agens penularan inokulum antar individu di dalam suatu koloni. Berdasarkan perilaku rayap seperti yang telah diuraikan di atas, diharapkan dengan hanya menginokulasikan cendawan entomopatogen terhadap sebagian anggota koloni rayap, cendawan patogen akan dapat tersebar dari vektor ke individu lainnya di dalam koloni. Dengan demikian semua individu di dalam koloni akan dapat tereliminasi. Menurut Jones et al. (1996) berdasarkan aksi patogen serangga dengan jumlah yang sedikit memungkinkan dapat menyebar keseluruh koloni sebelum terdeteksi. Interaksi sosial terutama grooming dan berbagi makanan, diharapkan dapat menyebarkan inokulum. Kemampuan patogen untuk menyebabkan kematian terhadap berbagai jenis serangga berbeda, hal ini sehubungan dengan setiap jenis serangga mempunyai kemampuan daya tahan atau tingkat kerentanan yang tidak sama. Berdasarkan hal ini, telah dilakukan penelitian penggunaan berbagai proporsi vektor yang diinokulasi dengan LC95 masing-masing spesies cendawan entomopatogen yang telah diketahui keefektifannya terhadap rayap tanah. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari penularan cendawan entomopatogen dari vektor sebagai pembawa
63
patogen terhadap individu lainnya di dalam suatu koloni untuk mengendalikan rayap tanah C. gestroi dan C. curvignathus di laboratorium.
Bahan dan Metode Penelitian ini telah dilakukan di laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Jenis Rayap yang Digunakan Rayap yang digunakan terdiri dari kasta pekerja dan prajurit rayap tanah spesies C. gestroi (Benson 2005) yang dipelihara di UPT Bio-material LIPI Cibinong, dan spesies C. curvignathus yang dipelihara di Laboratorium Biologi Hasil Hutan Pusat Studi Ilmu Hayati IPB.
Persiapan Spesies Cendawan Spesies cendawan entomopatogen yang digunakan adalah Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok., Metarhizium brunneum Petch, Beauveria bassiana (Bals.) Vuill.dan Fusarium oxysporum Link. Semua isolat murni disimpan pada suhu 4 0C sampai masa penggunaan. Data selengkapnya mengenai asal cendawan dapat dilihat pada Tabel 6.1. Tabe1 6.1. Spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai inang atau sumber inokulum di alam. Isolat 1. Ma-Rl
2. Mb-Ps 3. Bb-Lo
4. Fu-Sl
Inang atau sumber cendawan Penghisap polong (Riptortus. linearis) (Hemiptera: Alydidae) Pasir Walang sangit (Leptocorisa oratorius) (Hemiptera : Coreidae) Ulat grayak (Sepodoptera. litura) (Lepidoptera: Noctuidae)
Stadia
Jenis cendawan
Imago
Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin.
Imago
Larva
Asal geografi (Tahun) Probolinggo (2003)
Metarhizium brunneum Petch. Beauveria bassiana (Bals) Vuillemin
Bogor (2004)
Fusarium oxysporum Link
Cibodas (2004)
Probolinggo (2003)
64
Prosedur Perbanyakan Prosedur perbanyakan dapat diacu pada Bab IV.
Penyediaan Suspensi Konidia Prosedur penyediaan suspensi konidia dapat diacu pada Bab IV, namun penelitian ini menggunakan kerapatan konidia sebagai berikut: a). untuk pengujian terhadap rayap C. gestroi di laboratorium menggunakan LC95 dari spesies cendawan B. bassiana, M. anisopliae, M. brunneum dan F. oxysporum, dan b). untuk pengujian terhadap rayap C. curvignatus menggunakan LC95 spesies cendawan M. brunneum. (1,21 x 106 konidia/ml). Konidia dihitung dengan menggunakan haemocytometer.
Uji Penularan Uji penularan terhadap C. gestroi Untuk pengendalian rayap tanah C. gestroi proporsi vektor yang digunakan dari masing-masing perlakuan adalah: 0%, 10%, 20%, 30%, 40% dan 50% untuk setiap satuan unit percobaan. Sebagai perlakukan adalah LC95 dari spesies cendawan M. anisopliae, M. Brunneum, B. bassiana, dan F. oxysporum. Rayap vektor kemudian ditempatkan bersama-sama dengan individu rayap sehat di dalam unit percobaan (cawan petri Ø 9 cm) yang telah diberi alas kertas saring sebagai sumber makanan. Jumlah individu untuk setiap unit percobaan adalah 20 ekor kasta pekerja dan dua ekor kasta prajurit. Untuk tujuan penggunaan sebagai vektor pada uji penularan digunakan rayap yang diwarnai dengan Nile blue A 0,05% dan diinokulasi dengan LC95 masing-masing spesies cendawan terseleksi.
Uji penularan terhadap C. curvignathus Untuk rayap tanah C. curvignathus digunakan proporsi vektor 0% dan 10% untuk setiap satuan unit percobaan. Sebagai perlakuan adalah LC95 spesies cendawan M. brunneum. Rayap vektor kemudian ditempatkan bersama-sama dengan individu rayap sehat di dalam unit percobaan (tabung glas Ø 7,5 cm dengan tinggi 10 cm) yang telah diberi isi 20 mg tanah dan kayu pinus (2 cm x 1
65
cm x 1 cm) sebagai sumber makanan (Falah et al. 2004). Jumlah individu untuk setiap unit percobaan adalah 100 ekor kasta pekerja dan 10 ekor kasta prajurit. Semua unit percobaan dipelihara pada suhu ruangan berkisar antara 26-28 0
C dan kelembaban relatif 70-95% dengan kondisi gelap. Pengamatan terhadap
rayap C. gestroi mortalitas rayap dihitung setiap hari selama 2 minggu dan mortalitas rayap C. curvignathus dihitung di akhir percobaan (setelah 2 minggu). Rayap mati diinkubasikan pada suhu 24 0C dan kelembaban relatif 95% selama 57 hari. Rayap mati yang telah dikolonisasi oleh cendawan di amati dibawah mikroskop untuk memastikan rayap terkolonisasi oleh cendawan sesuai perlakuan.
Uji Penurunan Berat Contoh Uji (%) Pengujian terhadap penurunan berat contoh uji kayu yang diumpankan terhadap rayap, dilakukan bersamaan dengan perlakuan uji penularan terhadap rayap C. curvignathus. Pengukuran dilakukan terhadap penurunan berat contoh uji (BKT) akibat serangan rayap. Untuk menghitung penurunan berat akibat serangan rayap pada contoh uji digunakan rumus: W = W1 – W0 W1
X 100%
dimana: W = penurunan berat akibat serangan rayap (%) W0 = berat contoh uji BKT sebelum pengujian (gr) W1 = berat contoh uji BKT sesudah pengujian (gr) BKT = berat kering tanur
Analisis Data Data mortalitas yang diperoleh pada perlakuan penularan di dalam koloni rayap C. gestroi dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor (faktor I spesies cendawan entomopatogen yang terdiri dari 4 spesies: M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana dan F. oxysporum dan faktor ke II penggunaan proporsi vektor dengan 6 level: 10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan kontrol). Untuk pengujian terhadap rayap C. curvignathus dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor (proporsi vektor: 10% dan kontrol) dengan uji ragam (ANOVA) kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan's Multiple
66
Range Test (DNMRT). Untuk mengetahui korelasi antara mortalitas dengan berbagai proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan masing-masing spesies cendawan digunakan analisis regresi (Mattjik & Sumertajaya, 2000).
Hasil dan Pembahasan Penularan Cendawan Entomopatogen Antar Individu di Dalam Suatu Koloni Rayap Tanah Coptotermes gestroi Wasmann. Laju mortalitas rayap C. gestroi pada perlakuan berbagai proporsi vektor yang diperlakukan dengan 4 spesies cendawan entomopatogen (M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana dan F. oxysporum) sampai dengan hari ke 15 disajikan melalui Gambar 6.1. Pada perlakuan semua jenis cendawan, mortalitas meningkat seiring dengan meningkatnya persentase vektor dan lamanya waktu aplikasi. Perlakuan proporsi vektor 50%, 40%, 30%, 20% dan 10% dapat menyebabkan mortalitas yang tinggi kecuali pada jenis F. oxysporum. Di antara cendawan entomopatogen yang telah dimanfaatkan untuk mengendalikan rayap Coptotermes spp., Reticulitermes flavipes dan Odontotermes spp. adalah: M. anisopliae dan B. bassiana. Kedua spesies cendawan ini telah diuji keefektifannya oleh Zoberi (1995) dalam Bayon et al. (2000). Penelitiannya yaitu pemindahan rayap kasta pekerja yang terkontaminasi cendawan ke rayap yang sehat di dalam cawan petri; rayap kasta pekerja disajikan sebagai vektor penyakit. Dengan cara ini rayap yang sehat mati setelah 8 hari. Pada penelitian ini, mortalitas dihitung dari semua individu di dalam koloni atau unit percobaan, yaitu individu yang diinokulasi awal (vektor) dan yang tidak diinokulasi (rayap sehat). Semua vektor mati dalam waktu 5 hari setelah inokulasi dengan M. anisopliae, M. brunneum dan F. oxysporum. Rayap yang diinokulasi dengan spesies B. bassiana hanya menyebabkan mortalitas 97,5%, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan spesies lainnya; hal ini diduga sebagai akibat kontak langsung dengan suspensi spesies cendawan entomopatogen. Pada perlakuan proporsi vektor, di akhir penelitian (setelah 15 hari) mortalitas individu sehat (yang terkontaminasi) lebih dari 78,7% kecuali pada perlakuan dengan F. oxysporum dengan proporsi 20% dan 10% hanya menyebabkan mortalitas kurang dari 45%.
67
Metarhizium brunneum 100 10% 20% 30%
Mortalitas (%)
80 60 40
40% 50%
20 0 0
2
4
6
8
10
12
14
Waktu (hari) Metarhizium anisopliae 100 10% 20% 30%
Mortalitas (%)
80 60 40
40% 50%
20 0 0
2
4
6
8
10
12
14
Waktu (hari) Beauveria bassiana
Mortalitas (%)
100 80
10% 20% 30% 40% 50%
60 40 20 0 0
2
4
6
8
10
12
14
Waktu (hari)
Fusarium oxysporum
Mortalitas (%)
100
10%
80
20%
60
30%
40
40%
20
50%
0 0
2
4
6
8
10
12
14
Waktu (hari)
Gambar 6.1. Laju mortalitas rayap tanah C. gestroi (hari) yang diperlakukan dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen dengan variasi tingkatan proporsi vektor (10, 20, 30, 40 dan 50%) setelah 15 hari inokulasi (mortalitas kontrol 5%) Bagian torax individu rayap yang mati terlebih dahulu, dimakan oleh individu yang masih sehat (Gambar 6.2c) sedangkan bagian abdomennya dikubur menggunakan sisa-sisa makanan dan material lainnya yang ada pada wadah unit percobaan (Gambar 6.2e). Hal ini mengindikasikan bahwa kontaminasi konidia
68
dari rayap terinfeksi (vektor) ke rayap sehat mencukupi dan trans-contamination disempurnakan oleh adanya prilaku grooming dan trophallaxis (Gambar 6.2). Hal ini hanya terjadi sebelum semua vektor mati. Kontaminasi selanjutnya memungkinkan terjadi jika cendawan dapat berseporulasi pada permukaan tubuh rayap yang telah mati oleh terinfeksi langsung maupun tertular dari vektor. Menurut Yoshimura et al. (1992), diperkirakan pembentukan konidia baru membutuhkan waktu sekitar 5 hari setelah kematian serangga.
a
c
b
d
e
Keterangan: a).Grooming antara vektor dengan individu sehat, b). individu sehat yang tertular cendawan entomopatogen, c). Kanibalisme, d). Abdomen rayap yang tersisa akibat Kanibalisme dan e). Sisa abdomen rayap yang telah dikubur oleh individu sehat di dalam unit percobaan.
Gambar 6.2 Penularan cendawan entomopatogen dari rayap yang terkontaminasi (vektor) terhadap individu rayap sehat di dalam unit percobaan Mortalitas individu rayap C. gestroi yang tertular meningkat sejalan dengan meningkatnya persentase proporsi vektor di dalam koloni. Kasus ini diduga disebabkan oleh lebih tingginya kesempatan kontak antara vektor dengan individu rayap sehat sehingga penularan patogen di dalam koloni lebih tinggi dan dapat menyebabkan kematian lebih cepat. Penelitian lain yang dilakukan oleh Yoshimura et al. (1992) pada uji penularan, satu ekor rayap pekerja terinfeksi cendawan Conidiobolus coronatus dapat mengakibatkan total kematian 20 ekor sampai dengan 50 ekor rayap kasta
69
pekerja yang sehat jika dipaksakan dekat secara individu di dalam ruangan yang sempit, sedangkan kontrol tidak ada yang mati selama penelitian berlangsung. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari 50 ekor rayap dapat dibunuh oleh satu ekor individu rayap terinfeksi oleh C. coronatus. Hasil ini dapat sebagai pedoman untuk suatu wabah penyakit pada suatu koloni rayap bahkan pada sekala yang besar. Jumlah persentase mortalitas juga nyata terlihat dipengaruhi oleh spesies cendawan yang digunakan sebagai agens hayati, hal ini ditunjukkan oleh penampilan grafik yang tidak sama antar spesies cendawan terutama pada tingkat genus yang berbeda. Dalam hal ini ada interaksi antara spesies cendawan dengan proporsi vektor yang digunakan, setiap spesies cendawan membutuhkan persentase vektor tertentu untuk dapat menyebarkan propagul ke seluruh individu di dalam koloni. Laju mortalitas rayap C. gestroi pada tingkatan proporsi vektor, yang diperlakukan dengan spesies cendawan entomopatogen M. anisopliae dan M. brunneum melihatkan pola grafik sigmoid yang cenderung sama (Gambar 6.1). Diperkirakan hal ini disebabkan karena kedua spesies ini mempunyai kekerabatan yang dekat, sehingga cenderung mempunyai karakteristik dan pola yang sama di dalam menyebabkan mortalitas inang. Tulloch 1976 dalam Tanada dan Kaya (1993) di dalam penyelidikannya mengklasifikasikan genus Metarhizium ke dalam 2 spesies yaitu M. anisopliae dan M. flavoviride, dan memasukan 2 spesies cendawan entomopatogen
M.
album dan M. brunneum sebagai sinonnim dari M. anisopliae. Selanjutnya dinyatakan bahwa karakter dari M. anisopliae: bewarna putih diwaktu muda, setelah konidia matang warna berubah menjadi hijau gelap. Konidiofora bercabang, dan konidia awal dihasilkan oleh untaian sederhana di ujung konidiofora, untaian konidia dibentuk pada masing-masing konidiofora dengan konidia paling muda berdekatan dengan konidiofora. Strain lain dari Metarhizium membentuk warna koloni yang berbeda: strain album bewarna putih dan strain brunneum menghasilkan warna koloni kuning sampai coklat. Barron dan George (1968) menyatakan bahwa Metarrhizium tercatat jarang berasal dari tanah, tetapi penelitiannya pada flora tanah Ontario mengindikasikan
70
bahwa M. anisopliae sangat umum pada tanah hutan. Tercatat tiga tipe fenotip yang nyata, yang lebih umum menghasilkan alur dan agregat spora hijau terang yang diskripsinya diakui sebagai M. anisopliae. Spesies yang jarang ditemui dengan warna massa spora pudar sampai coklat dan deskripsinya disetujui sebagai Metarhizium brunneum Petch. Tipe yang ke tiga tercatat hanya pada satu kali peristiwa, dengan kolum spora keungu-unguan dan muncul dari lempeng kuning muda. Latch 1965 dalam Barron dan George (1968) mencatat bahwa secara mikroskopik M. anisopliae dan M. brunneum sangat mirip dan menyarankan kedua spesies ini sebagai spesies yang sama. Selanjutnya menurut Tulloch 1979 dalam Moslem et al. (1999), M. anisopliae terdiri dari 2 varietas yaitu M. anisopliae var. anisopliae mempunyai spora pendek (3.5 – 9.0 µm), dan M. anisopliae var. major mempunyai spora panjang (9 – 18 µm). Varietas major relatif homogen sedangkan varietas anisopliae sangat heterogen, virulensinya bervariasi tergantung pada serangga inang. Korelasi antara mortalitas dengan beberapa tingkatan proporsi vektor yang diinokulasi dengan LC95 masing-masing spesies cendawan entomopatogen B. bassiana, M. anisopliae, M. brunneum dan F. oxysporum diringkas pada Gambar 6.3 dan 6.4. Pada Gambar 6.3 yaitu pengamatan sampai dengan hari ke 5 ditunjukkan mortalitas dengan berbagai proporsi vektor yang diinokulasi dengan masingmasing spesies cendawan berkorelasi positif. Semakin tinggi proporsi vektor yang digunakan menyebabkan terjadinya mortalitas rayap C. gestroi yang juga tinggi. Hal ini terjadi terhadap semua spesies cendawan yang diujikan. Spesies cendawan F. oxysporum paling nyata memperlihatkan respon akibat penurunan proporsi vektor seperti yang ditunjukkan oleh nilai R2 = 0,9341, selanjutnya diikuti oleh M. anisopliae (R2 = 0,9015), M. brunneum (R2 = 0,7262), dan B. bassiana (R2 = 0,4538). Spesies cendawan yang menunjukan respon yang tinggi pada perlakuan penurunan proporsi vektor mengindikasikan bahwa cendawan hanya efektif jika digunakan pada jumlah proporsi vektor yang tinggi saja. Penurunan jumlah vektor mengakibatkan menurunnya tingkat keefektifan cendawan terhadap pengendalian rayap C. gestroi.
71
100
y = 0.55x + 52.74 R2 = 0.7262
90
Mortalitas (%)
80
y = 0.312x + 49.86 R2 = 0.4538
70 60 50 40
y = 1.024x + 35.5 R2 = 0.9015
30 20
y = 0.999x + 16.49 R2 = 0.9341
10 0 0
10
20
30
40
50
Vektor (%) Kontrol Linear B. bassiana
Linear F. oxysporum Linear M. brunneum
Linear M. anisopliae
Gambar 6.3 Korelasi antara mortalitas rayap C. gestroi (%) dengan tingkatan proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen (5 hari setelah inokulasi) Spesies cendawan B. bassiana pada penelitian ini menunjukan respon yang paling rendah terhadap perlakuan proporsi vektor. Penurunan proporsi vektor tidak memperlihatkan penurunan mortalitas yang kontras; hal ini ditunjukan oleh nilai R2 paling rendah (R2 = 0.4538). Walaupun B. bassiana secara umum mempunyai kemampuan membunuh lebih rendah jika dibandingkan dengan spesies M. brunneum dan M. anisopliae namun keefektifannya terlihat lebih stabil sampai penggunaan proporsi yang paling rendah. Spesies cendawan M. brunneum memperlihatkan keefektifan paling tinggi pada penggunaan proporsi vektor kurang dan sama dengan 30%. Berdasarkan analisis ragam dan DNMRT pada taraf nyata 5%, mortalitas sampai hari ke 5 memperlihatkan bahwa setiap spesies cendawan yang diinokulasi dengan berbagai tingkatan proporsi vektor dengan LC95 umumnya berbeda nyata. Dapat dinyatakan bahwa semua spesies cendawan yang diuji pada penelitian ini bersifat patogen dan dapat ditularkan antar individu di dalam koloni dalam waktu yang singkat. Pada penelitian sebelumnya tentang keefektifan cendawan entomopatogen terhadap pengendalian rayap C. gestroi juga terlihat bahwa semua sepesies cendawan yang sama dapat menyebabkan mortalitas rayap 100% dalam waktu 1 minggu setelah semua individu rayap di dalam satuan unit percobaan diinokulasi dengan kerapatan konidia sama dan lebih dari 5.106 konidia/ml.
72
Pada tingkatan proporsi vektor yang berbeda, masing-masing spesies mempunyai kemampuan menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi yang berbeda pula kecuali mortalitas yang disebabkan oleh M. brunneum dan M. anisopliae sampai dengan proporsi 30% tidak berbeda nyata. Perbedaan mortalitas rayap terutama terlihat pada penggunaan proporsi vektor sama dan lebih rendah dari 30%. Perbedaan tingkat patogenisitas antar spesies cendawan yang diuji selain dipengaruhi oleh faktor kecocokan yang berbeda antara satu spesies dengan spesies yang lainnya terhadap jenis inang tertentu, diperkirakan juga disebabkan oleh keefektifan cendawan pada tingkat kerapatan konidia tertentu juga berbeda. Pada pengujian ini digunakan LC95 dari masing-masing spesies cendawan. Hal ini terlihat pada penelitian sebelumnya tentang keefektifan cendawan entomopatogen terhadap pengendalian rayap C. gestroi bahwa masing-masing spesies menghasilkan nilai LC yang bervariasi. Semakin rendah nilai LC yang dihasilkan menunjukkan semakin tinggi tingkat patogenisitas dari spesies cendawan. Secara umum M. anisopliae, M. brunneum dan B. bassiana dengan proporsi vektor sampai dengan 10% dapat menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi lebih dari 90% pada pengamatan hari ke 15 namun F. oxysporum hanya dapat menyebabkan mortalitas 43.75%, sehingga F. oxysporum menyebabkan mortalitas paling rendah sampai penggunaan proporsi vektor 10% (Gambar 6.4). Tingkat patogenisitas F. oxysporum yang lebih rendah juga terlihat pada
perlakuan
penggunaan berbagai variasi kerapatan konidia (penelitian sebelumnya), hanya efektif pada kerapatan konidia yang lebih tinggi.
73
100 90
y = 100 R2 = #N/A
Mortalitas (%)
80 70
y = 0.176x + 92.96 R2 = 0.5
60 50
y = 0.226x + 90.2 R2 = 0.8727
40 30
y = 1.55x + 25.2 R2 = 0.8489
20 10 0 0
10
20
30
40
50
Vektor (%) Kontrol Linear B. bassiana
Linear F. oxysporum Linear M. anisopliae
Linear M. brunneum
Gambar 6.4 Korelasi antara mortalitas rayap C. gestroi (%) dengan tingkatan proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen (15 hari setelah inokulasi) Salleh (2005) menjelaskan bahwa keberadaan spesies Fusarium sp. di alam hanya 0.5% sebagai penyebab penyakit pada manusia dan hewan. Selanjutnya dinyatakan bahwa F. oxysporum pada umumnya adalah sebagai patogen pada banyak tanaman, seperti: pada kelapa sawit (Elaeis guineensis), dan beberapa spesies palm seperti: Date palm (Phoenix dactylifera), Canary palm (Phoenix canariensis) dan beberapa ornamental palms. Pada penelitian ini F. oxysporum mempunyai kemampuan seperti cendawan entomopatogen (Gambar 6.5), dan pada banyak penelitian, spesies Fusarium belum umum digunakan sebagai cendawan entomopatogen.
Gambar 6.5. Rayap C. gestroi dikolonisasi oleh F. oxysporum
74
Tingkat keefektifan spesies cendawan M. anisopliae, M. brunneum dan B. bassiana pada penggunaan LC95 tinggi dengan proporsi vektor yang lebih rendah. Tampak bahwa cendawan ini akan sesuai digunakan sebagai agens hayati untuk pengendalian rayap tanah C. gestroi. Kemampuan patogen untuk mengendalikan inangnya sangat ditentukan oleh faktor kesesuaian patogen untuk dapat berkecambah, menembus kutikula inang dan juga ditentukan oleh faktor ketersediaan nutrisi pada tubuh inang. Di samping hal tersebut ditunjang oleh faktor lemahnya daya pertahanan inang terhadap spesies patogen tertentu. Dalam hal ini, tidak tersedianya mekanisme enzim yang dapat menghalangi patogen untuk berkecambah dan berpenetrasi ke dalam tubuh inang. Juga ditunjang oleh ketidak mampuan inang menghindar dari serangan patogen seperti kemampuan untuk berganti kulit sebelum patogen dapat menembus kutikula. Boucias dan Pendland (1998) menyatakan bahwa pada banyak kasus lainnya ada mekanisme kekebalan yang dimiliki oleh serangga untuk mencegah serangan mikroorganisme termasuk cendawan. Sehingga banyak cendawan entomopatogen yang menjadi lemah atau bersifat fakultatif yang hanya bisa menempel, melukai atau melemahkan saja. Selanjutnya Cloyd (2003) menyatakan serangga juga dapat melindungi dirinya dari serangan cendawan dengan menghasilkan toksin anti cendawan yang dapat menghambat perkecambahan spora. Serangga juga dapat berganti kulit dan mengembangkan integumen sebelum cendawan berpenetrasi ke bagian internal tubuh inang. Pada banyak penelitian penggunaan spesies M. anisopliae dan B. bassiana sukses digunakan sebagai agens pengendalian rayap. Namun demikian banyak peneliti masih mencari strain yang benar-benar sesuai untuk digunakan sebagai agens hayati untuk spesies rayap tertentu dan cocok diaplikasikan pada situasi dan iklim yang dikehendaki. Dengan demikian setiap produk bio-termitisida yang berbasiskan cendawan entomopatogen, dalam jangka waktu tertentu perlu mengadakan perbaikan kualitas terhadap agens hayati yang digunakan, karena dianggap tidak selalu stabil pada situasi dan iklim yang berbeda. Dalam hal ini perlu ditelaah lebih jauh tentang adanya keragaman strain di dalam spesies yang sama.
75
Keragaman intraspesies pada cendawan entomopatogen umum terlihat pada perbedaan virulensinya (Hajek & Leger 1994), dan hal-hal yang mempengaruhi perbedaan intraspesies di antaranya adalah sumber isolat, inang dan faktor daerah geografis asal isolat (Beretta et al. 1998). Hal ini akan berakibat pada keragaman karakter di dalam spesies baik secara fisiologi maupun genetik. Penularan Cendawan Entomopatogen M. brunneum antar Individu Rayap Tanah Coptotermes curvignathus (Holmgren) Mortalitas (%) Penularan
cendawan
entomopatogen
antar
individu
rayap
tanah
C. curvignathus terkontaminasi (vektor) dengan individu rayap sehat di dalam satuan unit percobaan dapat terjadi. Setelah 15 hari dengan menggunakan 10% vektor diinokulasi M. brunneum, mortalitas rayap sebesar 60% dalam populasi dapat teramati (Gambar 6.6). Jika dibandingkan dengan jenis rayap C. gestroi, dengan proporsi vektor dan jangka waktu yang sama, terjadi penurunan mortalitas pada C. curvignathus. Diperkirakan hal ini dapat terjadi karena perbedaan spesies inang sasaran yang digunakan. Di samping itu, kehidupan rayap C. curvignathus dikondisikan hampir sama dengan lingkungan habitat aslinya yang diberi sumber makanan dari kayu pinus dan berada dalam jumlah populasi yang lebih banyak. Keadaan ini selain disebabkan oleh tingkat kerentanan jenis rayap C. gestroi yang diperkirakan berbeda dengan tingkat kerentanan C. curvignathus juga dengan kondisi lingkungan tersebut akan dapat membuat rayap lebih dapat bertahan di dalam menghadapi serangan cendawan M. brunneum. Eaton dan Hale (1993) menyatakan beberapa cendawan entomopatogen yang efektif untuk pengendalian rayap adalah Metarhizium dan Beauveria namun penelitian di lapangan mengindikasikan bahwa sifat patogenisitasnya tidak selalu stabil. Jumlah populasi yang lebih banyak di dalam satuan percobaan rayap C. curvignathus dimungkinkan juga membuat aktivitas sosialnya meningkat, sehingga rayap di dalam koloni lebih dapat mengatasi segala kemungkinan yang mengancam. Hasil penelitian Yanagawa dan Shimizu (2007), menunjukan bahwa prilaku grooming rayap tanah C. formosanus yang dipelihara dalam bentuk
76
koloni, sangat effektif memproteksi koloninya dari infeksi M. anisopliae. Dalam hal ini C. formosanus lebih resisten terhadap serangan M. anisopliae bahkan dalam waktu 3 jam, lebih dari 80% konidia yang ada dipermukaan tubuh C. formosanus dapat berpindah ke dalam saluran pencernaan. Kramm et al. 1982; Hanel dan Watson 1983 dalam Strack (2003) menjelaskan, secara alami konidia dapat menempel pada kutikula serangga, dan dengan mudah berpindah ke individu lainnya dengan lazimnya melalui interaksi prilaku koloni. Rayap merupakan serangga sosial yang menarik di dalam berbagai aktivitas yang memerlukan seringnya terjadi kontak fisik langsung dengan anggota koloni. Trophallaxis (pertukaran makanan yang dimuntahkan kembali), proctodeal trophallaxis (mengkonsumsi buangan anal) dan grooming secara teratur merupakan hal yang perlu di dalam koloni. Diperkirakan lewat prilaku grooming propagul cendawan dapat ditransfer dari satu individu vektor ke individu lainnya. Penelitian lain yang dilakukan Yoshimura et al. (1992) tentang uji penularan dengan satu ekor rayap pekerja mati terinfeksi C. coronatus ditempatkan di antara 20 atau 50 rayap pekerja sehat, secara berurutan mortalitas 100 % dapat dicapai dalam waktu 4 dan 5 hari. Penggunaan patogen C. coronatus dalam teknik penularan untuk mengendalikan rayap tanah seperti
C. formosanus
patut
dipertimbangkan
Mortalitas dan Penurunan berat contoh uji (%)
70 60 Vektor Kontrol
50 40 30 20 10 0 Mortalitas
Penurunan berat contoh uji
Variabel pengam atan
Gambar 6.6 Mortalitas rayap C. curvignathus dan penurunan berat contoh uji pada perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan.
77
Penurunan berat contoh uji (%) Pengujian penurunan berat contoh uji akibat serangan rayap pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan cendawan entomopatogen M. brunneum terhadap serangan rayap. Hasil penelitian pada perlakuan penularan dengan 10% vektor yang diinokulasi dengan M. brunneum di dalam koloni rayap C. curvignathus
di laboratorium, menunjukkan penurunan berat contoh uji
berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 6.2 ).
Tabe1 6.2. Penurunan berat contoh uji oleh serangan rayap C. curvignathus pada perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan. Perlakuan Vektor 10% Kontrol
Penurunan berat (%) 11,27 b 47,82 a
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf nyata 5%.
Penurunan berat contoh uji pada perlakuan vektor 10% mengindikasikan penurunan serangan rayap jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini disebabkan penularan cendawan M. brunneum di dalam koloni dapat mengakibatkan terganggunya metabolisme tubuh rayap sehingga menurunkan aktifitas dan daya konsumsi. Menurut Sari et al. (2004) penghambatan aktifitas makan (antifeedant) diindikasikan oleh kehilangan berat contoh uji. Apabila kehilangan berat contoh uji kecil bearti penghambat aktifitas makannya tinggi. Berat contoh uji menurun pada perlakuan 10% vektor sebanyak 11,27% (Tabel 6.2 dan Gambar 6.6). Hal ini diperkirakan sebelum individu rayap sehat terkontaminasi cendawan M. brunneum akibat penularan dari rayap vektor, rayap mampu menyerang contoh uji secara aktif. Namun setelah penularan terjadi, aktifitas rayap dan kemampuan konsumsi menurun sampai terjadi mortalitas. Tanada dan Kaya (1993) menyatakan periode kematian serangga oleh cendawan entomopatogen umumnya tidak ditandai oleh gejala tertentu pada awal infeksi. Hanya setelah infeksi dan penyebaran cendawan terjadi di dalam tubuh, serangga menjadi kurang aktif. Gejala yang sama juga terlihat pada rayap, tahap ahir infeksi, rayap akan kehilangan tenaga, diam dan kemudian mati. Selanjutnya
78
dinyatakan bahwa periode dari infeksi sampai serangga mati sesingkat-singkatnya 3 hari dan selama-lamanya 12 hari, periode ini bervariasi tergantung juga dengan ukuran serangga. Serangan rayap C. curvignathus selain berakibat pada penurunan berat contoh uji, juga terlihat pada tingkatan serangan pada contoh uji (Gambar 6.7). Pada tingkat serangan, perlakuan dengan 10% vektor juga terlihat lebih sedikit dibandingkan dengan tingkat serangan pada kontrol.
Gambar 6.7. Tingkat serangan contoh uji oleh rayap C. curvignathus pada perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan. Kesimpulan Mortalitas rayap C. gestroi meningkat seiring dengan meningkatnya proporsi vektor (%) di dalam unit percobaan dan lamanya waktu pengamatan. Dengan penggunaan vektor sampai dengan 10% dalam 15 hari pengamatan, cendawan M. anisopliae, M. brunneum dan B. bassiana mampu menyebabkan mortalitas rayap lebih dari 90% sedangkan mortalitas pada rayap kontrol hanya 5%. Pada uji terhadap rayap C. curvignathus, perlakuan dengan 10% vektor diinokulasi dengan M. brunneum hanya dapat menyebabkan mortalitas 60% (mortalitas kontrol 13,25%) dan penurunan berat contoh uji 11,27% (kontrol 47,82%) selama 15 hari pengamatan.
Maaf ....................... Lembar Halaman Ini Pada Aslinya Memang Tidak Ada