BAB V SPIRITUALITAS MUSIK SALUANG SIROMPAK
5.1 Sejarah Munculnya Saluang Sirompak Istilah saluang sirompak, seperti telah disampaikan dalam bab pendahuluan, terdiri atas dua kata: Saluang dan Sirompak. Boestanoel Arifin Adam (1980: 97) mengatakan bahwa Sirompak berasal dari kata si dan kata rompak, si berarti pelaku kegiatan; seperti dalam kata si-pemukul, si-penggesek, dan si-peniup. Sementara itu rompak maksudnya adalah membuka atau merompak. Pengertian rompak di sini bukanlah merompak melainkan membuka hati seseorang yang masih tertutup (dalam kaitan percintaan). Kemudian istilah Basirompak berasal dari kata ba dan Sirompak, ba berarti melakukan atau menjalankan, dan Sirompak seperti yang telah disampaikan. Jadi berarti membuka, Basirompak dapat diartikan sebagai kegiatan spiritualitas yang menggunakan alat saluang sirompak untuk mengguna-gunai seorang perempuan agar menjadi ―gila‖. Latar belakang legenda saluang sirompak di Taeh Baruah berupa kisah cinta yang tak terbalas seorang pemuda miskin, berpenyakit kulit (kusta), yang bernama Simbabau. Simbabau jatuh cinta kepada seorang gadis kaya dan cantik yang bernama Puti Losuang Batu. Besarnya hasrat ingin memiliki Puti Losuang Batu, maka pada suatu hari Simbabau memberanikan diri untuk menyatakan keinginannya. Tak diduga, setelah Simbabau menyampaikan hasrat keinginan kepada Perempuan idaman hatinya, Simbabau ditolak oleh Puti Losuang Batu, yang terjadi malahan didamprat dengan kata-kata kotor, rendah, hina, dan nista 78
sehingga hatinya tak tertahankan untuk melakukan pembalasan. Dengan perasaan penuh malu dan kekecewaan yang mendalam, Simbabau pergi meninggalkan Puti Losuang Batu tanpa arah dan tujuan yang pasti. Tanpa disadari, malam telah menjelang dan Simbabau mulai melampiaskan segala kekesalannya dari jeritan hatinya dengan berpantun. Pantun yang didendangkan oleh Simbabau, menurut Datuk Mukhtar Ajo Marajo, merupakan mantra-mantra (Wawancara: 25 Juli 2008). Mantra-mantra tersebut berupa pemanggilan roh-roh atau setan-setan yang bergentayangan di sekitarnya. Simbabau, setelah membaca mantra-mantra yang berulang-ulang tanpa disadari, sampai ia tak sadarkan diri (trance) atau kerawuhan. Di dalam kerawuhan Simbabau berhasil menjalin kerja sama dengan makhluk halus (roh) dan setan yang ikut mendengar jeritan batinnya, kemudian mengadakan mufakat dengan bantuan roh halus dan setan yang memang berniat ingin membantu Simbabau dalam membalaskan sakit hatinya dengan Puti Losuang Batu. Makhluk halus yang diajak kerja sama mampu memengaruhi atau menaklukkan perasaan dan pikiran Puti Losuang Batu. Puti Losuang Batu berada di luar alam sadar seperti layaknya insan yang normal, seperti tidak terjadi apa pun dalam dirinya, yang sebenarnya telah dikuasai oleh guna-guna dari Simbabau. Berdasarkan latar belakang ini, maka jelas saluang sirompak pada saat ini mengalami penyempurnaan bentuk dan ciri spiritualitas yang ada pada Basirompak, dengan penambahan-penambahan unsur spiritualitas sesuai dengan pengaruh ajaran agama yang masuk dan berkembang di wilayah Taeh Baruah.
79
Pantun-pantun yang dilantunkan oleh Simbabau tersebut sekarang dipergunakan dalam Basirompak sebagai mantra berbentuk pantun yang disajikan dengan lagu yang disebut dendang. Selain mantra (pantun) yang menjadi pokok sajian berupa dendang, ada beberapa penambahan agar Basirompak memiliki nilai spiritualitas. Bentuk tambahan dari Basirompak berupa pembuatan instrumen saluang sirompak dan gasiang tangkurak dengan berbagai pendukung dalam pembuatannya, dan sesaji. Kemunculan Basirompak berawal dari rasa sakit hati oleh pihak laki-laki yang ditolak dengan kasar dalam niat pinangannya kepada pihak perempuan. Untuk proses selanjutnya, agar masing-masing elemen dalam Basirompak memiliki daya atau nilai spiritualitas yang tinggi, diperlukan proses yang cukup rumit dan sakral termasuk proses persiapan bahan baku saluang sirompak yang harus disiapkan dengan cara yang unik yaitu dengan cara pencarian bahan baku oleh seorang bocah yang belum akil balig. Pembuatan nada-nada harus bersamaan atau bertepatan dengan peristiwa kematian seseorang yang tidak wajar. Hal ini diyakini oleh pelaku Basirompak sebagai saat yang tepat untuk memasukkan nilai-nilai spiritualitas yang berkaitan dengan kesaktian/kemujaraban instrumen tiup tersebut. Pertunjukan Basirompak memiliki perjalanan sejarah yang begitu panjang, dimulai dari generasi pertama kira-kira tahun 1870-an. Pengoordinasi pelaku Basirompak yang ada sekarang adalah Datuk Mukhtar Ajo Marajo (merupakan generasi ketiga). Apabila Datuk Mukhtar Ajo Marajo berhalangan, tugas tetua pelaku Basirompak dilimpahkan kepada anaknya yang bernama Sayute. Akan
80
tetapi, setelah di lapangan Sayute bisa saja menunjuk pelaku yang lain untuk menjadi tetua dalam sajian Basirompak. Basirompak sebagai aktivitas budaya hanya ditemukan di Desa Taeh Baruah, Kecamatan Payakumbuh Sumatera Barat. Sebagai perbandingan antara Basirompak dan apa yang disebut dengan Sijundai dapat dikemukakan hal yang berikut. Sijundai pada prinsipnya adalah suatu usaha seseorang untuk menaklukkan seorang perempuan secara spiritualitas atas permintaan seorang laki-laki. Dari hasil kegiatan Sijundai, pihak laki-laki mau menerima perempuan yang diguna-gunai sebagai pasangan hidupnya. Sementara itu dalam Basirompak perempuan menjadi gila dan pihak laki-laki tidak mau menjadi pasangan hidupnya. Sementara itu untuk kegiatan Sijundai hampir seluruh daerah kabupaten di Sumatera Barat banyak orang yang mampu melakukan. Berbeda dengan jenis Basirompak, meskipun kegunaannya sama untuk mengguna-gunai seorang perempuan, keberadaannya tidak ditemukan di daerah lain selain di daerah Taeh Baruah, Kabupaten Payakumbuh, Sumatera Barat. Regenerasi pelaku Basirompak, menurut Sayute, tidak selalu kepada si anak, namun bisa ke cucu, cicit, atau bisa juga keponakannya. Hal ini berarti bahwa dalam regenerasi sulit untuk dipastikan siapa yang berhak menjadi generasi berikutnya, karena dalam satu keluarga besar selalu ada kaitan garis keturunan. Salah satu contoh, pelaku sekarang yang menjadi tetua adalah Datuk Mokhtar Ajo Marajo, yang secara kebetulan untuk generasi berikutnya adalah anak kandungnya yang bernama Sayute. Akan tetapi, anak kandung dari Sayute tidak ada yang menjadi pelaku Basirompak hanya sebagai penari pada saat sajian Sirompak untuk
81
hiburan, justru cucu keponakan Datuk (anak dari Elmizarlis) yang mulai menampakkan kemampuannya untuk memainkan saluang sirompak (Wawancara dengan Sayute, tanggal 14 Juni 2013).
5.2 Instrumentasi Dalam pertunjukan Basirompak instrumentasi terdiri atas instrumen saluang sirompak, gasiang tangkurak, dan vokal (dendang). Dendang yang di dalamnya terdapat mantra-mantra merupakan hal yang sangat pokok dalam sajian Basirompak, meskipun elemen lainnya juga menjadi bagian yang tak dapat dipisah-pisahkan. Dalam pertunjukan ini, ada perbedaan antara seni pertunjukan yang disuguhkan untuk hiburan dan pertunjukan yang dimanfaatkan dalam menghukum seorang perempuan yang dianggap bersalah karena telah menghina laki-laki yang meminangnya. Untuk lebih jelasnya, berikut disampaikan rincian instrumentasi yang dimaksud.
5.2.1 Saluang Sirompak Saluang sirompak adalah sebuah instrumen tiup yang terbuat dari seruas bambu tipis yang mempunyai ukuran panjang sekitar 76 cm, dan besar lingkaran 9 cm. Saluang ini mempunyai lubang nada sebanyak lima buah yang terletak pada bagian bawah Saluang. Instrumen ini berupa instrumen tiup tanpa menggunakan alat bantu/tambah lain untuk menghasilkan bunyi. Pemain Saluang
biasanya
memainkan instrumen ini dalam posisi duduk, dan memosisikan Saluang secara membujur (seperti suling Bali, Jawa, atau Sunda). Adapun jarak-jarak lubang Saluang dibuat demikian rupa dengan ukuran yang tidak sama. Lubang pertama
82
berjarak 16,5 cm dari lubang bawah; lubang kedua 4,5 cm dari lubang pertama; lubang ketiga 4,5 cm dari lubang kedua; lubang keempat 4,5 cm dari lubang ketiga; dan lubang yang terakhir yaitu lubang kelima berjarak kira-kira 29,5 cm dari lubang bawah, dan terletak di balik lubang pertama, kedua, ketiga, dan keempat (Ikhwan, 2002:94). Hal ini adalah hasil pengukuran instrumen saluang oleh peneliti dalam proses wawancara berdasarkan instrumen saluang milik M. Mukhtar Datuk Ajomarajo (almarhum). Pembuatan instrumen saluang sirompak melibatkan ritual yang unik dan bersifat spiritualitas. M. Mukhtar Datuk Ajomarajo mengatakan bahwa proses ritual spiritualitas ini merupakan langkah-langkah yang mutlak dan tidak boleh terlambat atau tertinggal salah satu dari persyaratannya. Bambu terbaik untuk dijadikan saluang sirompak, proses pemberian daya spiritualitas yang berupa penggarapan, dan pemberian lubang-lubang nada. Setelah bambu tersebut dipotong oleh pelaku sesuai dengan ukuran panjang saluang sirompak, kemudian ditentukan jarak lubang sebagai
simbol
bersemayamnya
roh-roh
yang
direncanakan untuk menguasai nada-nada yang terdapat pada lubang saluang sirompak tersebut (Wawancara dengan Sayute dan Erianto, tanggal 14 Juni 2013). Kekuatan spiritualitas dari nada-nada saluang sirompak bisa dicapai melalui tahapan peristiwa kematian yang tidak wajar untuk dimanfaatkan dalam penggarapan kelima lubang-lubang nada saluang sirompak. Setiap lubang dibuat berdasarkan peristiwa-peristiwa kematian tertentu. Untuk mengetahui bentuk fisik saluang sirompak lihat gambar berikut.
83
Gambar 5.1 Alat/Instrumen saluang sirompak (Dokumen: Nil Ikhwan,14 Juni 2013) Gambar 5.1 adalah instrumen saluang sirompak yang digunakan pada ritual Basirompak ataupun dalam seni pertunjukan, dan instrumen ini telah ada sejak generasi pertama. Generasi kedua (Datuk Mukhtar Ajo Marajo, wafat Tanggal 20 Juni 2011) menceritakan kepada anaknya (generasi ketiga) bahwa semenjak beliau masih kecil saluang sirompak ini sudah ada (Wawancara dengan Sayute, 14 Juni 2013).
84
Gambar 5.2 Peneliti dengan Sayute (generasi ketiga) (Dokumen: Nil Ikhwan, 14 Juni 2013) Gambar 5.2 adalah Sayute yang merupakan generasi ketiga setelah wafat ayahandanya, Datuk Mukhtar Ajo Marajo, pada tanggal 20 Juni 2011. Secara administrasi, kepengurusan dari kelompok saluang sirompak berada di tangan Sayute, namun pada awal tahun 2013 Sayute menunjuk Erianto untuk mengurus secara administratif hal yang berkaitan dengan kegiatan saluang sirompak. Masing-masing lubang pada instrumen itu memiliki sistem atau proses pembuatan yang berbeda-beda. Perbedaannya terletak pada peristiwa kematian yang tidak wajar yang berbeda-beda pula. Sistem pembuatan lubang seperti yang telah disampaikan, yakni dari lubang pertama hingga lubang kelima. Di samping sistem pembuatan lubang tersebut juga masih ada unsur yang menambah daya
85
spiritualitas instrumen saluang sirompak, yakni dengan menempatkan kemenyan pada lubang bawah dengan kedalaman sekitar dua centimeter (cm) dari bawah (luar bagian bawah). Berikut penentuan pembuatan masing-masing lubang pada saluang sirompak, dimulai dari pengukuran lubang pertama, diukur dari ujung bawah saluang dengan jarak kira-kira16,5 cm, lubang kedua dengan jarak 4,5 cm dari lubang pertama, lubang ketiga dengan jarak 4,5 cm dari lubang kedua, dan lubang keempat dengan jarak 4,5 cm dari lubang ketiga. Sementara itu, jarak lubang kelima hampir sejajar (lebih kurang 0,5 cm) dengan lubang keempat, hanya tempatnya di belakang lubang keempat, dengan jarak dari ujung lubang bawah kira-kira 29,5 cm.
6
5 4 3 2
29,5 cm
1 16,5 cm
Gambar 5.3 Saluang
86
Keterangan Gambar 5.3: 1 adalah lubang pertama, berjarak 16,5 cm dari ujung bawah. Nada: a+40 mh atau nada la+40 mh. (lubang tertutup semua); 2 adalah lubang kedua berjarak 4,5 cm dari lubang pertama. Nada: c1 none + 40 mh atau do 1 none + 40 mh. (lubang terbuka satu); 3 adalah lubang ketiga berjarak 4,5 cm dari lubang kedua. Nada: d 1 none + 5 mh atau nada re 1 none + 5 mh. (lubang terbuka dua); 4 adalah lubang keempat berjarak 4,5 cm dari lubang ketiga. Nada: e 1 none – 35 mh atau nada mi 1 none – 35 mh. (lubang terbuka tiga); 5 adalah lubang kelima, kira-kira sejajar dengan lubang keempat atau kurang 0,5 cm dari lubang keempat dan di belakang, Nada: f 1 none + 20 mh atau nada fa 1 none + 20 mh. (lubang terbuka empat); 6 adalah lubang tiup, lubang tiup untuk saluang ini tidak mempunyai alat bantu seperti layaknya suling yang ada di Jawa dan Bali, Nada: fis 1 none + 5 mh atau nada fi 1 none + 5 mh. (lima lubang terbuka semua). Catatan: none sama dengan scon atau tinggi rendahnya frekuensi dari nada satu dan nada berikut, seperti nada c dan d yang berbeda sekitar 4,005 none atau scon, kemudian untuk kelebihan atau kekurangan dari none atau scon dihitung dengan mega hage (mh), seperti 0,005 disebut mega hage (mh). Saluang sirompak mempunyai 6 nada pokok yang dalam istilah musik disebut hexa tonic. Peneliti melakukan pengukuran tingkat ketinggian nada saat ditiup dengan menggunakan alat Korg milik teman Nil Ikhsan (orang Jerman) pada tanggal 20 Agustus 2008 yang menghasilkan nada-nada: a + 40mh, c lnone + 40mh, d lnone + 5mh, e l none– 35mh, f l none+ 20mh, dan fis l none+ 5mh, dimulai dari penutupan semua lubang hingga membuka semua lubang. Perlu disampaikan bahwa nada-nada yang dihasilkan oleh instrumen saluang sirompak tidak sama dengan nada-nada
87
diatonis ataupun nada-nada pentatonis yang telah ada di Indonesia pada umumnya, maka dalam pengukuran hasil bunyi disampaikan dengan simbol nada (f1none+ 20mh), karena realitas bunyi tidak sama persis dengan nada f1none masih lebih tinggi sekitar 20 mh (ukuran nada). Seperti pegukuran frekuensi nada yang terdapat pada http://afikriakbarhofa.blogspot.com/2012/02/menghitungnilaifrekuensi-nada-nada.html disampaikan dalam bentuk tabel dari frekuensi terendah hingga frekuensi tertinggi. Frekuensi terendah dari nada adalah c oktaf pertama atau ke-1 yaitu 32,703 hz dan frekuensi tertinggi adalah b oktaf ke-7 adalah 3951,1 hz. Jadi, yang dimaksud dalam pengukuran nada saluang sirompak pada a+40 mh adalah oktaf ke-4 nada a = 440 hz+40 mh, c l none + 40 mh = 523.25 hz+40 mh; jadi jika digabung dalam jumlah frekuensi menjadi 523 hz+65 mh. Untuk nada d l none + 5 mh adalah dengan frekuensi nada d oktaf ke-5 dengan tinggi nada 587.33, yang berarti jika digabung menjadi 587 hz + 38 mh. Nada e l none – 35 mh, dimaksudkan oktaf ke-5 nada e dengan frekuensi 659.26 - 35 mh, jika digabung tinggi frekuensinya = 658 hz 91 mh. Nada f l none + 20 mh, adalah nada f oktaf ke 5 dengan frekuensi 698.46 + 20 mh, jika digabung tinggi frekuensi nadanya menjadi 698 hz lebih 66 mh. Sementara itu nada fis l none + 5 mh sama dengan nada f# + 5 mh adalah f# = 739.99 hz + 5 mh, yang berarti jika digabung tinggi nada fis dalam saluang sirompak menjadi 740 hz lebih 0,04 mh. Untuk lebih jelasnya, nada-nada saluang sirompak dalam oktaf sedang dan oktaf tinggi (satu oktaf lebih tinggi) disampaikan dalam tabel sebagai berikut.
88
Tabel 5.1 Frekuensi Nada Saluang Sirompak Oktaf
FREKUENSI NADA (HZ) a
C
d
E
F
f#
Sedang
440,40
523,65
587,38
658,91
698,66
740,04
Tinggi
880,40
1046,45
1175.2
1317,7
1397.4
1480,5
Dalam tabel 5.1 di atas tampak tinggi nada atau frekuensi nada dalam saluang sirompak yang telah dijumlahkan dengan frekuensi nada yang ada dalam pengukuran frekuensi nada di: http://afikriakbarhofa.blogspot.com/2012/02/menghitungnilai-frekuensi-nadanada.html
Pengukuran nada saluang sirompak juga dilakukan ulang pada 14 Juni 2013 oleh peneliti dengan menggunakan alat ―Tunner gstrings-Vl.0.12‖ salah satu program yang ada pada IPhone. Hasil dari pengukuran tersebut memperlihatkan dua motif tiupan, yaitu tiupan rendah dan tiupan tinggi atau dalam dua oktaf saja. Nada-nada hasil tiupan saluang sirompak ternyata tidak bisa stabil karena kekuatan tiupan dalam tiap nadanya memunculkan perbedaan yang menghasilkan selisih beberapa mega hage (mh), sehingga dalam pengukuran ulang yang peneliti lakukan terdapat rentangan antara terkuat dan terlemah dalam tiupan setiap nada. Hasil pengukuran ulang saluang sirompak dapat diuraikan sebagai berikut. Tiupan rendah/sedang pada saluang sirompak menghasilkan nada sebagai berikut:
89
1) Lubang bunyi tertutup semua dengan tiupan rendah menghasilkan nada a+30 sampai dengan a+40 atau 440,30 hz hingga 440,40 hz. 2) Lubang bunyi terbuka satu dengan tiupan rendah menghasilkan bunyi antara c1+30 mh sampai c 1+ 40 mh atau 523.55 hz sampai 523,65 hz. 3) Lubang bunyi terbuka dua dengan tiupan rendah menghasilkan bunyi antara d1 sampai d1 + 5 mh atau 586,62 hz sampai587,38 hz. 4) Lubang bunyi terbuka tiga dengan tiupan rendah menghasilkan bunyi antara e1 – 25 mh sampai e1 – 35 mh atau 658,71 hz sampai 658,91 hz. 5) Lubang bunyi terbuka empat dengan tiupan rendah menghasilkan bunyi antara f1 + 10 mh sampai f 1 + 20 mh atau 698,56 hz sampai 698,66 hz. 6) Lubang bunyi terbuka semua dengan tiupan rendah menghasilkan bunyi antara fis 1 - 5 mh sampai fis 1 + 5 mh atau 739,04 hz sampai 740,04 hz. Jadi, yang dimaksud mh di sini adalah hz di belakang koma (,) seperti 740,04 hz adalah 740 hz + 0,04 mh, dan rentangan antara tiupan kuat dan lemah rata-rata 0,10 mh atau 0,1 hz. Untuk tiupan tinggi menghasilkan frekuensi sebagai berikut: 1) Lubang bunyi tertutup semua dengan tiupan rendah menghasilkan nada a+30 sampai dengan a+40 atau 880,30 hz hingga 880,40 hz. 2) Lubang bunyi terbuka satu dengan tiupan rendah menghasilkan bunyi antara c1+30 mh sampai c 1+ 40 mh atau 1046,35 hz sampai 1046,45 hz. 3) Lubang bunyi terbuka dua dengan tiupan rendah menghasilkan bunyi antara d1 sampai d1 + 5 mh atau 1174.7 hz sampai 1175.2 hz.
90
4) Lubang bunyi terbuka tiga dengan tiupan rendah menghasilkan bunyi antara e1 – 25 mh sampai e1 – 35 mh atau 1317,5 hz sampai 1317,7 hz. 5) Lubang bunyi terbuka empat dengan tiupan rendah menghasilkan bunyi antara f1 + 10 mh sampai f 1 + 20 mh atau 1397.3 hz sampai 1397.4 hz. 6) Lubang bunyi terbuka semua dengan tiupan rendah menghasilkan bunyi antara fis 1 - 5 mh sampai fis 1 + 5 mh atau 1479,5 hz sampai 1480,5 hz. Dari hasil pengukuran ulang yang dilakukan, hasilnya berupa jumlah frekuensi, seperti yang telah terinci dan disampaikan di atas. Proses pembuatan saluang sirompak yang melibatkan peristiwa budaya, di samping cara penyiapan bahan juga dalam pembuatan lubang yang membutuhkan peristiwa kematian dalam setiap lubangnya. Nama-nama orang yang meninggal dan menjadi bagian proses pembuatan lubang sering kali tidak dapat teridentifikasi dengan jelas. Hal ini karena kerap nama orang meninggal tidak dikenal karena tinggal di daerah lain, peristiwa kematiannya menjadi hal yang lebih dipentingkan daripada nama orangnya. Dalam prosesi pembuatan tiap lubang tersebut digunakan mantra-mantra khusus yang berupa ayat-ayat pemanggil jin. Penguasaan pembacaan ayat-ayat ini hanya dimiliki oleh si pelaku dengan aturan dan konsekuensi yang mereka yakini sebelumnya. Dengan demikian, penulisan ayat-ayat khusus ini juga tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang dengan bermacam maksud dan tujuan. Peneliti mengakui juga mendapat kesulitan untuk dapat mengetahui ayat-ayat khusus tersebut karena masyarakat memahaminya sebagai kearifan lokal terkait simbol-simbol penilaian moral dan etika. Simbol-simbol semacam ini bersifat tertutup dan meruang waktu
91
pada lingkup lokal masyarakat penggunanya. Terkait dengan hasil nada yang dihasilkan, peneliti mengukurnya dengan menggunakan alat korg. Hal itu terurai sebagai berikut. 1) Lubang pertama Lubang pertama dapat digarap oleh pelaku setelah terjadinya satu peristiwa kematian yang tidak wajar seorang penduduk setempat atau dari daerah tetangga di sekitarnya, seperti bunuh diri melalui gantung diri. Nama yang meninggal tidak dapat diinventarisasi karena meliputi daerah lain, juga dalam kurun waktu yang tidak dapat dipastikan oleh si pelaku sendiri. Tanpa menunda waktu yang ada, sang pelaku segera melakukan penggarapan lubang pertama sambil membacakan mantra-mantra khusus yang berupa ayat-ayat pemanggil jin (Ikhwan, 2002:95). Dalam penggarapan lubang pertama, Sayute menyatakan bahwa setelah terjadinya suatu kematian tidak wajar ritual dilakukan atas keyakinan pelaku sirompak pada waktu seperti ini (ketika peristiwa bunuh diri terjadi) bahwa jin dan setan bergentayangan di sekitar mayat, sehingga memudahkan si pelaku melakukan komunikasi dengan mereka. Di samping itu, pelaku meyakini bahwa arwah mayat tersebut masih berada di sekitarnya atau rumah mayat (Wawancara: 14 Juni 2013). Kondisi
tersebut
dimanfaatkan
oleh
pelaku
dalam
membantu
menyelesaikan hasratnya, yaitu Basirompak. Inti dari komunikasi antara pelaku dan jin dan roh adalah pelaku berusaha untuk menempatkan pengaruh kekuatan dari jin dan roh arwah ke dalam lubang pertama sebagai wilayah bunyi/nada
92
kekuasaannya untuk memengaruhi siapa saja yang akan dijadikan target permainan Sirompak (diguna-gunai). Lubang pertama ini menghasilkan nada a + 40 mh atau la + 40mh atau 440,40 hz jika ditiup dan ditutup semua lubang, dengan penunggu yang disebut dengan nama Simambau Hitam.
2) Lubang kedua Pembuatan lubang kedua dapat dilakukan pada waktu ada seorang ibu yang meninggal ketika melahirkan. Pencatatan nama si ibu yang meninggal juga tidak dapat dilakukan karena kadang-kadang si pelaku tidak mengenal secara pasti namanya, tetapi hanya peristiwa meninggal ketika melahirkannya yang pelaku ketahui (Ikhwan, 2002:96). Para setan sangat berperan untuk memengaruhi keluarga yang ditinggalkan agar selalu dalam suasana sedih. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pelaku untuk mengajak jin bekerja sama dalam kegiatannya nanti, yaitu dengan menempatkan pengaruh kekuatan jin dan roh arwah tersebut pada
nada
kedua
sebagai
daerah
kekuasaanya
yang
bertujuan
untuk
menyampaikan nilai-nilai sedih pada objek yang akan dikenai melalui sirompak. Sama seperti halnya proses pembuatan lubang pertama, pencatatan prosesi secara lengkap (termasuk pencatatan ayat-ayat sebagai mantra khusus) tidak dapat dilakukan karena terkait dengan sistem kepercayaan dan nilai etik masyarakat yang masih kuat dipegang. Bunyi nada yang dihasilkan d 1 none + 5 mh atau nada re 1 none + 5 mh atau 523,65 hz jika ditiup dan dibuka satu lubang paling bawah, penunggu Simambau Merah (Sirah).
93
3) Lubang ketiga Pembuatan lubang ketiga dikaitkan dengan peristiwa pembunuhan. Hal ini diyakini sebagai peristiwa yang juga sangat dipengaruhi oleh kekuatan jin dan setan yang berpengaruh mengatur emosi dari kedua belah pihak yang bertikai, sehingga terjadilah pembuhuhan itu. Emosi marah dan perasaan ingin membunuh merupakan sasaran utama yang diciptakan oleh jin dan setan. Pelaku beranggapan bahwa jin dan setan ini sangat pintar dalam mengendalikan emosi jiwa seseorang. Kematian dari seseorang dianggap suatu hal yang dapat mematikan hati seseorang terhadap orang lain, dan hanya dapat berguna untuk orang yang dituju dalam sirompak. Hal ini berarti bahwa pada lubang ketiga tersebut bersemayam kekuatan jin dan roh arwah manusia yang terbunuh, sehingga mampu mengendalikan emosi calon dari Basirompak (Ikhwan, 2002:97). Nada bunyi yang dihasilkan e 1 none – 35 mh (mi 1 none – 35 mh) atau 587,38 hz jika ditiup dan dibuka dua lubang di bawahnya, penunggu Simambau Tungga. 4) Lubang keempat Kematian akibat perkelahian antara dua orang jawara merupakan peristiwa yang ditunggu-tunggu untuk pembuatan lubang keempat. Dalam peristiwa perkelahian ini biasanya kedua belah pihak berusaha ingin menang dengan menghalalkan segala cara untuk menundukkan lawan. Menurut pandangan pelaku Basirompak, alam pikiran, emosi, dan kondisi mereka pada saat itu sepenuhnya telah dikuasai oleh jin yang merasuk ke dalam alam pikiran, dan mengatur emosinya. Jin pada waktu merasuk dalam alam pikiran dianggap mempunyai satu kemampuan yang tinggi dalam memengaruhi kedua insan 94
tersebut. Hal ini dimanfaatkan oleh pelaku Basirompak untuk menjalin kerja sama dengan jin dalam penempatan daerah kekuasaannya pada lubang keempat bersama roh arwah orang yang kalah dari perkelahian jawara tersebut (Ikhwan, 2002:98). Nada Bunyi yang dihasilkan f 1 none + 20 mh (2/re 1 none + 20 mh) atau 658,91 hz jika ditiup dan dibuka tiga lubang di bawahnya, penunggu Simambau Barantai. 5) Lubang kelima Kematian akibat kecelakaan alam (mati terseret air atau tenggelam) adalah peristiwa yang dinantikan untuk penggarapan lubang kelima dari saluang sirompak. Kematian seperti ini dianggap sebagai sebuah kematian yang tidak wajar. Roh mayat pada saat itu dianggap masih bergentayangan dan membutuhkan pertolongan dari orang lain yang masih hidup. Kesempatan seperti ini dimanfaatkan oleh si pelaku dan dijadikan sebagai pesuruh untuk menghuni lubang kelima bersama jin pada saluang sirompak (Ikhwan, 2002:98). Nada yang dimunculkan nada fis 1 none + 5 mh atau nada fi 1 none + 5 mh atau 698,66 hz jika ditiup dan dibuka empat lubang lainnya, dengan penunggu Simambau Putih. Berdasarkan lima peristiwa kematian yang ditunggu oleh pelaku Basirompak, Datuk Mukhtar Ajo Marajo menyatakan bahwa pada instrumen saluang sirompak tersebut telah ditempatkan roh-roh arwah dari orang yang telah mati dan jin, yang setiap saat saluang sirompak dimanfaatkan dalam Basirompak karena telah memiliki daya spiritualitas. Adapun untuk mempertahankan keberadaan roh dan jin yang menunggu pada masing-masing lubang, telah disediakan sesaji yang berupa kemenyan yang dibakar, lelehan dari pembakaran kemenyan diteteskan pada lubang saluang sirompak di bagian bawah. Saluang 95
sirompak ini kemudian disimpan di tempat yang aman, terhindar dari jangkauan orang yang ingin meniup atau iseng untuk memainkan instrumen atau yang ingin memilikinya (Wawancara: 25 Juli 2008). 6) Teknik permainan saluang sirompak Nada-nada yang dihasilkan dari masing-masing lubang tergantung pada keras atau lembutnya tiupan. Setiap lubang memiliki dua suara nada apabila dalam peniupan berbeda, misalnya untuk tiupan sedang dengan lubang tertutup semua menghasilkan suara nada a+40 mh atau nada la+40 mh atau 440,40 hz, kemudian apabila ditiup keras akan menghasilkan nada yang sama dengan jarak satu oktaf lebih tinggi kira-kira 880,40 hz. Dari susunan lubang yang ada dengan tiupan sedang mengahasilkan nada-nada a + 40 mh, c l none + 40 mh, d l none + 5 mh, e l none – 35 mh, f l none + 20 mh, dan fis l none + 5 mh. Untuk lebih jelasnya, berikut disampaikan teknik tutupan dan nada yang dihasilkan: 1) Lubang tertutup semua menghasilkan suara nada a+40 mh atau nada la+40 mh atau 440,40 hz atau 440 hz lebih 40 mh. 2) Lubang pertama (paling bawah) terbuka menghasilkan nada c1 none + 40 mh atau do 1 none + 40 mh atau523,65 hz atau 523 hz lebih 65 mh. 3) Lubang kedua terbuka menghasilkan nada d 1 none + 5 mh atau nada re 1 none + 5 mh 587,38 hz atau 587 hz lebih 38 mh. 4) Lubang ketiga terbuka menghasilkan nada e 1 none – 35 mh atau nada mi 1 none – 35 mh 658,91 hz atau 658 hz lebih 91 mh. 5) Lubang keempat terbuka menghasilkan nada f 1 none + 20 mh atau nada fa 1 none + 20 mh 698,66 hz atau 698 hz lebih 66 mh. 6) Lubang kelima terbuka semua menghasilkan nada fis 1 none + 5 mh atau nada fis 1 none + 5 mh atau 740,04 hz atau 740 hz lebih 0,4 mh. Untuk tiupan keras, semua nada yang dihasilkan sama dengan nada yang dihasilkan dengan tiupan sedang, namun hasil suara satu oktaf lebih tinggi.
96
5.2.2 Gasiang tangkurak Gasiang tangkurak (gasing tengkorak) adalah sejenis instrumen yang berbentuk bulat lonjong (Ikhwan, 2002:107). Bahan dasar dari pembuatan gasiang tangkurak adalah tulang yang diambil dari kening orang yang telah meninggal, terutama orang yang meninggal tersebut memiliki ilmu kebatinan tinggi atau teguh
menjalankan
nilai-nilai
syari‘at
agama
Islam
semasa
hidupnya.
Pengambilan dilakukan setelah seratus hari penguburan oleh salah satu dari pelaku Basirompak tanpa bantuan orang lain. Bagian yang diambil adalah kening dari tengkorak mayat dengan menggunakan sebilah belati. Tulang kening dianggap sebagai bagian terbaik dari orang tersebut, karena terkait dengan kepercayaan bahwa tulang kening sebagai tempat atau simbol kualitas hidup seseorang. Terlebih lagi jika syarat tulang kering tersebut adalah orang yang memiliki ilmu kebatinan tinggi atau teguh menjalankan nilai-nilai syari‘at agama Islam semasa hidupnya. Kemudian setelah berhasil diambil dari liang kubur, bagian kening tengkorak digantung di atas pohon yang cukup tinggi, dengan tujuan agar tidak diketahui orang lain. Proses berikutnya selama tujuh kali setiap malam Jumat, kening tengkorak tersebut diambil dan diasapi dengan kemenyan yang disertai dengan doa-doa si pelaku agar nilai spiritualitas tetap terjaga. Setelah proses pengasapan dengan kemenyan, kening tengkorak dikembalikan pada pohon (tempat semula). Setelah tujuh kali pengasapan dengan kemenyan setiap malam Jumat dengan berturut-turut tanpa sela, malam Jumat terakhir merupakan proses pembuatan gasing (gasiang) dari kening tengkorak hingga proses pemberian tali pengikat gasing dari bahan benang pincono atau dari bahan
97
tali kafan pengikat bagian kepala atau bagian kaki mayat. Proses pengasapan dengan kemenyan tidak dibenarkan ada yang tertinggal atau tertunda sekalipun apalagi beberapa kali, karena diyakini bisa berdampak pada hilangnya atau tidak bermanfaatnya gasiang tangkorak saat digunakan (Wawancara dengan Erianto, 27 Juli 2008). Seluruh proses pengambilan, prosesi, ataupun pembuatan gasiang tangkorak dilakukan secara rahasia (tidak dipublikasikan). Namun, apabila seseorang mengetahui akan adanya proses tersebut maka ia diperbolehkan mengikuti prosesi. Sejauh ini sangat jarang ritual tersebut diketahui oleh umum sehingga dapat ditonton oleh orang banyak, hanya sebagian kecil orang yang mengetahui dan boleh mengikutinya. Hal ini pada akhirnya terkait dengan gejolak masyarakat yang berhasil dieliminasi jika mengetahui adanya prosesi ritual Basirompak. Masyarakat jarang mengetahui adanya prosesi ini secara langsung, termasuk sebagian masyarakat tidak mengetahui jika barang kali salah seorang anggota keluarganya yang telah meninggal diambil tulang kening tengkoraknya untuk pembuatan gasiang tangkurak. Masyarakat kebanyakan meyakini tidak akan ada orang yang membuka lagi jenazah yang telah dikubur, apalagi hanya untuk kepentingan memastikan pembuatan gasiang tangkurak. Dalam konteks yang lebih luas, masyarakat mempunyai pandangan sebab akibat, basabab kok bakarano, tidak ada suatu hal dilakukan jika tidak ada penyebab sebelumnya. Cara pembuatan dari gasiang tangkurak dibuat dalam bentuk kembar siam di tengah-tengahnya diberi dua buah lubang tempat memasukkan benang tujuh warna yang telah dijalin menjadi satu untaian. Dalam sebutan masyarakat
98
setempat benang tujuh warna (ragam) tersebut dikenal dengan nama banang pincono. Benang ini dapat diganti dengan tali yang lain yaitu berupa tali pengikat mayat yang terdapat di bagian kepala atau bagian kaki. Pengambilannya dapat dilakukan pada saat mayat telah dimasukkan ke dalam liang kubur. Satu kebiasaan dalam upacara penguburan mayat di Minangkabau adalah saat mayat akan dimasukkan ke dalam liang kubur tali pengikat yang ada pada bagian kepala dan kaki dilepas. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh pelaku atau orang suruhan untuk mengambil tali tersebut demi keperluan sang pelaku (Ikhwan, 2002:107). Jarak antara satu lubang dan lubang berikutnya dalam gasiang tangkurak berkisar antara 0,5 cm hingga 1 cm, dibuat secara vertikal antara lubang atas dan lubang bawah pada pertengahan gasiang tangkurak. Panjang tali benang tujuh ragam itu diperkirakan antara 95 cm hingga 100 cm. Setelah tali benang tersebut dimasukkan ke dalam lubang, maka kedua ujung benang diikat ujung satu dengan ujung lainnya. Ukuran panjang dari gasiang tangkurak dapat dibayangkan dari besarnya tulang kening manusia dewasa, kira-kira sekitar 14 cm panjangnya, dan lebar 8 cm (Ikhwan, 2002:108).Tidak berbeda dengan saluang sirompak, setelah proses spiritualitas terlaksana, benda tersebut disimpan pada suatu tempat yang aman, dan dijauhkan dari jangkauan orang yang ingin mengetahui asal usul gasing tengkorak, atau mencoba memainkannya bahkan memilikinya (Wawancara: 28 Juli 2008). Untuk mengetahui fisik gasiang tangkurak tersebut perhatikan gambar berikut.
99
Gambar/Photo 5.4 Replika Gasiang Tangkurak (Dokumen: Nil Ikhwan, Juli 2008) Gambar 5.4 adalah isntrumen duplikat gasiang tangkurak, cara pembunyiannya ditarik di antara pucuk/ujung dua utas tali hingga berputar-putar, dari bunyi yang dihasilkan gasiang tangkurak itu bertujuan untuk merusak saraf otak besar dan otak kecil.
5.3 Bentuk Sajian Dalam sajian saluang sirompak tidak dapat dipisahkan antara sajian yang sifatnya estetis dan sajian yang sifatnya religius, yaitu sajian instrumen-instrumen yang digunakan dalam saluang sirompak dan dibarengi dengan dendang yang berupa mantram (mantra pokok) ataupun bunga mantra (tidak pokok) ini termasuk sajian yang memiliki nilai estetis, sedangkan kelengkapan lain dalam sajian yang
100
tidak mungkin ketinggalan adalah sesaji. Berdasarkan uraian tersebut dapat diurai hal sebagai berikut. 5.3.1 Dendang Dalam penyajian teks lagu ditemukan pembentukan jalinan nada-nada yang membentuk kalimat-kalimat lagu musik, yang ditentukan oleh banyaknya teks-teks lagu yang diucapkan saat pertunjukan berlangsung. Teks-teks ini berupa mantra yang keberadaannya telah tersusun dengan rapi yang mempunyai struktur baku dari zaman dahulu hingga sekarang. Jalinan nada tersebut dikenal dengan istilah melodi. Melodi ini akan berakhir setelah satu ide teks disampaikan, satu ide teks terdiri atas satu bait syair. Dalam satu bait terdapat pemakaian kalimat lagu, ataupun musik antara empat hingga tujuh baris kalimat. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dendang merupakan perpaduan antara teks-teks lagu yang berupa mantra-mantra dengan mengikuti garis-garis melodi yang disampaikan oleh pendendang (Ikhwan, 2002:109-110). Pendendang diperankan oleh seorang anggota dari grup sirompak tersebut, yang ditunjuk oleh ketua kelompok (penghulu). Pelaku dendang (pendendang) duduk di samping saluang sirompak dengan menundukkan kepala, yang bertujuan agar dapat berkonsentrasi penuh dalam menyampaikan teks lagu yang dibawakan, dan menyatukan pikiran dengan pelaku (pelaku) dari Basirompak. Berdasarkan atas ungkapan syair yang dibawakan dapat dikatakan bahwa teks-teks tersebut merupakan mantra-mantra yang ditujukan kepada sasaran. Kehadiran dari penyampaian dendang ini melalui proses setelah pelaku (pelaku) bersorak ke arah atas, yang kemudian disambut oleh pemain saluang sirompak dengan memainkan 101
melodi dalam beberapa frasa. Sajian selanjutnya, antara pendendang dan penyaji saluang sirompak saling menjalin kerjasama dalam konteks menyelaraskan nadanada. Tujuan dari jalinan kerja sama untuk berkonsentrasi menyatukan pikiran pada tujuan semula (Basirompak) (Ikhwan, 2002:110). Hal ini terlihat dari kekompakan yang mereka capai saat pertunjukan berlangsung dengan menyatukan alam pikiran, tingkah laku, jiwa, dan raga dalam lingkup Basirompak sebagai kegiatan spiritualitas (Wawancara dengan Sayute, 26 Juli 2008 yang ditekankan lagi pada wawancara tanggal 14 Juni 2013). Teks yang didendangkan untuk mantra dalam ritual Basirompak berbentuk pantun yang terdiri atas dua bagian yaitu bagian bunga mantra dan mantra pokok seperti uraian berikut, sesuai dengan yang dikatakan oleh Sayute, pendendang dalam ritual Basirompak. Matrik, 5.1 Teks Bagian Bungo Mantra No 1.
Syair (1) Alu tataruang patah tigo Alu tatumbuak pada tabiang Den baluik luko jo kapeh Indak den malu samalu nangko Arang tacoreang pado kaniang 2. Kakak denai si Ui Bali Da'ulu engkau nan tuo Sakarang aku nan tuo Angkau ka den suruah sarayo Mancari Simambau Putiah Duo jo Simambau Hitam, Tigo jo Simambau Sirah 3. Nan den huni tanjuang nan tujuah Sampai ka Rawang Bancah Dalam Nak den masuak ka dalam tubuah Jantuang den huni siang dan malam (Sumber: Nil Ikhwan, 2002:208) 102
Arti Bebas (2) Alu tertarung patah tiga Alu tertumbuk pada tebing Saya balut luka dengan kapas Tidak saya malu semalu ini Arang tercoreng di kening Kakak saya si Ui Bali Dahulu engkau yang tua Sekarang aku yang tua Engkau saya suruh saya perintah Mencari Simambau Putih Dua Simambau Hitam, Tiga Simambau Merah Yang saya huni tanjung yang tujuh Sampai ke Rawang Bancah Dalam Nak saya masuk ke dalam tubuh Jantung saya huni siang dan malam
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
(1) Nan pincono panjang duo heto Den randang bareh sipuluik Kok tak namuah adiak den bao Nan sijundai datang manjapuik Simambau pai balayia Mambawo ragi dalam lipatan Kok tak lalu dandang di aia Di gurun den tanjakkan Sipasan baranak putiah Jatuah ka lapiak duo tigo Abih sampan ganti jo upiah Namun pulau dijalang juo Kubu Gadang jo Dalam Koto Parik Dalam sawah satumpak Pado diseso iko juo Elok ka tanjuang Basirompak Gasiang denai gasiang tangkurak Ka den bari banang pincono Nan kok lalok bawolah togak Bawo ka muko badan ambo Taeh Baruah Kotonyo tigo Tampak nan dari Gunuang Bungsu Tibo di darah ka den timbo Tibo di jantuang ka den putuih Hati jo jantuang alah sakato Kok jatuah basopiah-sopiah Nan dijopuk kok tak tabawo Mambang ka konai sumpah sotia Di lauik baaia masin Abih sampan ganti jo upiah Lauk lah lamo dipacamin Tagah balaia balun buliah Nan taserak ka dikumpuakan Nan taicia dipilih juo Rindu lah lamo ditangguangkan Rambuik tagerai tampak juo Ka langik manjamua padi Ditumbuak badikik-dikik Kok tak dapek nan dicinto hati Tiok bulu manangguang sakik Ramo-ramo di ateh atok Turun manyosok bungo pudiang Kok mato dapek den pokok Hati jo apo ka den dindiang 103
(2) Banang tujuh ragam panjang dua hasta Akan saya rendang beras pulut Kalau tak mau adik saya bawa Yang "sijundai‖ datang menjemput Simambau pergi berlayar Membawa "ragi" dalam lipatan Kalau tak lalu "dandang" di air Di gurun saya tanjakkan Lipan beranak putih Jatuh ke tikar dua tiga Habis perahu ganti dengan "upih" Namun pulau dijelang juga Kubu Besar dengan Dalam Koto Parit Dalam sawah sepetak (Dari) Pada disiksa ini juga Elok ke tanjuang bersirompak Gasing saya gasing tengkorak Akan saya beri benang "pincono" Yang jika lelap bawalah tegak Bawa ke muka badan saya Taeh Baruah Kotanya tiga Tampak yang dari Gunung Bungsu Tiba di darah akan saya timba Tiba di Jantuang akan saya putus Hati dengan jantung telah sepakat Jika jatuh berserpih-serpih Yang dijemput tidak terbawa Mambang akan kena sumpah setia Di laut berair asin Habis perahu ganti dengan "upiah" Laut telah lama dijadikan cermin Karena berlayar belum boleh Yang terserak akan dikumpulkan Yang tercecer dipilih juga Rindu sudah lama ditanggungkan Rambut tergerai tampak jua Ke langit menjemur padi Ditumbuk "badikik-dikik" Jika tak dapat yang dicinta hati Setiap bulu manangguang sakit Rama-rama di atas atap Turun menghisap bunga "pudiang" Jika mata dapat saya tutup Hati dengan apa akan saya dinding
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
(1) Ikan banamo sari aman Panggang nan jauh dari api Adiak den sangko ka pamenan Kiro manjadi racun hati
(2) Ikan bernama sari aman Panggang yang jauh dari api Adik saya sangka akan (jadi) permainan Kira(nya) menjadi racun hati Kok kapas biarlah kapas Kok Benang (panjang) dua hasta Kok lepas biarlah lepas Kok terbang tali saya tarik Lurus jalan di Tanjung Jariang Yang ke kanan ke Parak Jua Terbayang adik dalam piring Tiap menyuap tampak jua "Kikih" manalah ini yang terbang Dua dengan anak "tiung lampai" Sirip manalah ni yang malang Tiap bergantung "tagurajai" Anak orang di Luhak Anyia Yang ke balai di hari sore Karena hidup terlampau pikir Tinggal (lah) kulit pembalut tulang Ke ladang tanamlah jagung Ambillah buah semua yang muda Sepuas-puas karena bergantung Karena adik "bagajaian" jua Kok bersayap terbang ke gunung Tiap tanjung saya jajak Adik terbayang dalam jantung Air mata akan kekering tidak Ke gubuk bawalah lada Sudah bunga bunga "ambacang" (Dari) Pada kering air mata Eloklah dipanggil Simambau Adik mandi saya menyauk Supaya sama basah-basah Adik mati saya mengamuk Supaya sama berkalang tanah "Jirak jilatang" dalam rimba Serai berdauan malah dulu Tolak belakang malah kita Cerai bertuanmalah dulu
Kok kapeh bialah kapeh Kok bonang tongah duo heto Kok lopeh bialah lopeh Kok tobang tali den helo Luruih jalan di tanjuang joriang Nan ka suok ka Parak Juo Tabayang adiak dalam piriang Tiok manyuok tampak juo Kikih dimalah ko nan tabang Duo jo anak tiuang lampai Sisiak dimalah ko nan malang Tiok bagantuang tagurajai Anak urang di Luak Anyia Nan ka balai di hari patang Dek iduik talampau pikia Tingga kulik pambaluik tulang Ka parak tanamlah jaguang Ambiaklah buah sado nan mudo Sapasai-pasai dek bagontuang Dek adiak bagajaian juo Kok basayok tabang ka gunuang Tiok tanjuang alah den jajak Adiak tabayang dalam jantuang Aia mato kakoriang indak Ka pondok bawolah lado Lah kombang bungo ambocang Pado bakariang aia mato Eloklah dipanggialah Simambau Adiak mandi denai manyauak Nak samo basa-basa Adiak mati denai mangamuak Nak samo bakalang tanah Jirak jilatang dalam rimbo Sarai badaun molah dulu Tulak balakang molah kita Carai batuan molah dulu
104
(1) Ayam kuriak rambaian taduang Ikua manjelo masuak padi Jo tampuruang borilah makan Dalam daerah tujuah kampuang Tuan surang nan cinto hati Nan lain buliah den haramkan 26. Itiak baronang dalam tobek Ayam baronak ateh banto Tuan tagomang lai bajawek Denai tagomang lopeh sajo 27. Nan lah masak rambai nan manih Nan tak mungkin mudo lai Nan lah bongkak mato manangih Nan tak mungkin basuo lai 28. Nan dek pandai denai baladang Nan saparak pisang manih Nan dek pandai denai batenggang Muluik galak hati manangih 29. Nan kok mati anjiang paburu Den kubua di padang data Di sinan aua den andaikan Kok mati adiak da'ulu Nantikan denai di Padang Masya Di situ sayang den sampaikan 30. Manangih sapanjang jalan Mamakiak sampai ka gunuang Nan bak mambilang kayu mati Tuan kanduang jopuiklah badan Sakik nan tido tatangguangkan Raso ka putuih rangkai ati 31. Manari dibawo togak Diambuih Saluang jo buluahnyo Pamanggia dagang nak pulang Dendang ko dendang sirompak Warisan untuang da'ulunyo Malang katimpo ka badan surang 32. Anak rang Taeh Simalonggang Ka balai baduo-duo Kapeh kok tido jadi bonang Suri tagantung lapuak sajo 33. Puyuah Nan urang Koto Nopan Bawo bapikek molah dulu Guruah kok tido jadi hujan Bumi jo langik dapek malu (Sumber: Sayute tanggal 14 Juni 2013) 25.
105
(2) Ayam kurik rambayan tadung Ekor menjurai masuk padi Dengan tempurung berilah makan Dalam daerah tujuh kampung Tuam seorang yang cinta hati Yang lain boleh diharamkan Itik berenang dalam kolam Ayam beranak (di) atas (daun) "banto" Tuan tergemang ada berjawat Saya tergemang lepas saja Yang sudah masak rambai yang manis Yang tak mungkin muda lagi Yang sudah bengkak mata menangis Yang tak mungkin bersua lagi Yang karena pandai saya berladang Yang sekebun pisang manis Yang karena pandai saya bertenggang Mulut ketawa hati menangis Yang karena mati anjing pemburu Saya kubur di padang datar Di situ aur saya andaikan (tandakan) Jika mati adik dahulu Nantikan saya di Padang Masyar Di situ sayang saya sampaikan Menangis sepanjang jalan Memekik sampai ke gunung Yang bak membilang kayu mati Tuan kandung jemputlah badan Sakit yang tidak tertanggungkan Rasa akan putus rangkai hati Menari dibawa tegak Dihembus "Saluang" dengan buluhnya Pemanggil dagang supaya pulang Dendang ini dendang "sirompak" Warisan untung dahulunya Malang menimpa ke badan seorang Anak orang Taeh Simalanggang Ke balai berdua-dua Kapas jika tidak jadi benang Suri tergantung lapuk saja Puyuh yang (milik) orang Koto Nopan Bawa berpikat malah dulu Guruh jika tidak jadi hujan Bumi dengan langit dapat malu
Mantra yang terdapat dalam matrik, 5.1 berupa teks mantra pembuka yang didendangkan dalam sajian Basirompak mempunyai tujuan-tujuan, seperti 1) mengungkapkan perasaan yang dirasakan oleh seseorang yang memohon bantuan dalam Basirompak, 2) menyuruh Ui Bali untuk memanggil para jin yang tinggal di tujuh Tanjung/Tanjuang, 3) menyampaikan berbagai rasa dalam benak yang gundah gulana. Selain mantra pembuka yang tertuang dalam matrik, 5.1 juga ada mantra pokok yang berupa pantun, seperti tertuang dalam matrik, 5.2 seperti berikut. Matrik, 5.2 Mantra Pokok No 1.
2.
3.
4.
Mantra (1)
Arti Bebas (2)
Ula godang menggulapai,
Ular besar menggelepar,
Baronak sambilan ikua,
Beranak sembilan ekor,
Mangalombanglah ka lantai,
Menggelombanglah ke lantai
Satontang si anu tidua. Si limau den si limau puruik
Sejajar si ‖anu‖ tidur. Si limau saya si limau purut
Masaknyo duo tagantuang
Masaknya dua tergantung
Imbau den Imbau bagaluik
Himbau saya himbau bergelut
Imbau manuntuk tali jantung Uncang denai si rajo uncang
Himbau menuntut tali jantung Goncang saya si rajo goncang
Uncang adiak sandang ka rimbo
Goncang adik bawa ke rimba
Baok kapalo ka den kuncang
Bawa kepala akan saya goncang
Darah di dado ka den timbo Nan si Mantuang maayun pucuak
Darah di dada akan saya timba Nan si Mantuang mengayun pucuk
Pucuak malepai awan biru
Pucuk (nya) menjurai (ke) awan biru
Sakali ayam bakutuak
Sekali ayam berkokok
Sodalah untuang badan kau
Sadarlah untung badan engkau
106
(1) 5.
(2)
Angku Haji babaju jubah
Angku Haji berbaju jubah
Sambayang ateh pamatang
Sembahyang (di) atas pematang
Indak tolok konai pakasiah
Tidak sanggup oleh ―pekasih‖
Iko sijundai nan ka datang (Sumber: Sayute, tanggal 14 Juni 2013)
Ini ―sijundai‖ yang akan datang
Matrik, 5.2 berupa mantra pokok, inti dari mantra pokok adalah ungkapan rasa marah dan ancaman terhadap Puti Lasuang Batu (perempuan yang akan jadi korban). Selain dendang tersebut, juga ada pembacaan ayat-ayat dari kitab suci Alquran yang tidak boleh disampaikan dalam tulisan ini, dikawatirkan akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Kekhawatiran ini bukan hanya karena kekuatan spiritualitasnya, namun dikhawatirkan kepada pihak-pihak yang mempelajarinya tanpa kontrol dari penghulu yang berwenang. Karena sulit dikontrol, seperti yang dikatakan oleh Penghulu Nan Tuo, siapa saja yang ingin menggunakan mantra dan ayat-ayat yang dipergunakan dalam Basirompak tanpa pertimbangan yang matang, akan menyasar kepada pelaku (berbalik) atau orang yang minta pertolongan (Wawancara dengan Datuk Ajo Marajo, tanggal 26 Juli 2008). Dalam Basirompak, tidaklah semena-mena atau setiap perempuan dapat diguna-gunai dengan spiritualitas saluang sirompak, tetapi perlu pertimbangan yang matang, layak tidaknya calon korban dapat ditetapkan sebagai orang yang telah berbuat tidak baik (sebagai korban) terhadap si laki-laki. Kebijaksanaan atas peraturan ini peneliti memahaminya sebagai kearifan lokal terkait dengan simbolsimbol penilaian moral dan etika. Simbol-simbol semacam ini bersifat tertutup dan meruang waktu pada lingkup lokal masyarakat penggunanya, seperti yang 107
ditandaskan oleh Sayute bahwa amanat tetap harus dijaga dan dilaksanakan dengan baik (Wawancara dengan Sayute, tanggal 14 Juni 2013).
5.3.2 Sesaji Dalam Basirompak, unsur sesaji juga menjadi pokok sehingga tidak boleh ada kekurangan, kesalahan, ataupun penggantian. Unsur-unsur sesaji yang dipergunakan dalam Basirompak terdiri atas beberapa unsur, dari beberapa unsur tidak boleh kurang atau diganti dengan unsur lain. Dalam sesaji, ada pelaku yang menggunakan unsur bunga, ada ―dua jenis bunga‖ yang menjadi unsur sesaji, kurang satu bunga atau digantikannya salah satu dari bunga itu akan memudarkan semua unsur spiritualitas Basirompak. Sesaji yang berwujud ―telor itik‖, digantikan dengan telor angsa meskipun lebih besar juga tidak memberikan daya spiritualitas. Begitu juga unsur sesaji yang lainnya, ―beras kuning‖, ―kepala nasi‖, dan tempat ―daun pisang batu‖, tidak akan dapat digantikan dengan yang lain, apalagi dikurangi atau ditiadakan, serta ―kemenyan putih‖ sebagai sarana menghantarkan sesaji ke tempat Basirompak (di Tanjung). Berdasarkan hasil wawancara dengan Datuk Mukhtar Ajo Marajo yang bertindak sebagai pelaku tertua dalam Basirompak, bahwa Basirompak membutuhkan sesaji (Ikhwan, 2002:106). Sesaji yang dibutuhkan berupa dua jenis bunga, telor itik, bareh barandang, dan kepala nasi. Semua persyaratan ditaruh di atas daun pisang batu, sebagai penghantarnya adalah pembakaran kemenyan putih (kemenyan Arab). Berikut adalah rincian dari sesaji yang dipergunakan dalam sajian Basirompak.
108
1) Bunga/Bungo Dua jenis bunga yang dipergunakan untuk sesaji, yaitu bungo parindu atau bungo sipanggia-panggia dan bungo tanjuang. Untuk mengetahui bunga tersebut, perhatikan gambar berikut.
Gambar 5.5 Bunga Parindu (Dokumen: Nil Ikhwan, 27 Juli 2008) Gambar 5.5 berupa Bungo si parindu (bunga si perindu) atau sering juga disebut bungo si panggia-panggia (bunga si panggil-panggil), yang dipercaya oleh pelaku Basirompak ataupun masyarakat pendukung merupakan bunga pemanggil roh dan setan yang akan diajak kerja sama dalam proses Basirompak. Pemberian nama bungo si parindu secara etimologi, mengandung dua makna penting. Pertama, atas dasar kebutuhan pelaku kekuatan bathiniah hubungannya dengan makhluk halus dalam mewujudkan misinya. Pelaku harus melengkapi sesaji sebagai syarat mutlak untuk keberhasilannya. Meskipun hanya pelaku yang mengerti tentang isi dialog yang dilakukan, perantara dialog
109
menggunakan jenis bunga yang dibutuhkan sesuai dengan kesukaan makhluk halus, jin, dan setan yang diundangnya. Makhluk halus memberikan gambaran ciri-ciri bunga, tempat tumbuh bunga dan manfaat bunga tersebut. Kedua, bertolak dari manfaat bunga dalam Basirompak berkaitan dengan si parindu dalam bahasa Minangkabau, yaitu si-perindu. Kata si berarti menunjukkan kepada subjek, sedangkan pa adalah kata sifat dari subjek seperti kata pe dalam kata pe-makan, pe-minum, pe-malas, pe-mogok, dan sebagainya. Sementara itu, rindu artinya kangen. Sifat kekuatan spiritualitas yang dimiliki bunga si perindu diasumsikan sesuai dengan pemberian nama bunga tersebut. Pelaku dalam ritual Basirompak tidak bekerja sendiri, namun selalu dibantu oleh anggotanya termasuk dalam pencarian sesaji. Karena bahasa lokal yang digunakan, masyarakat Desa Taeh Baruah mudah mengerti jenis bungo si parindu tersebut. Keberadaan bungo si parindu atau bungo si panggia-panggia sebagai satu jenis bunga yang memiliki dua sebutan. Jenis bunga lainnya yang dipakai sesaji dalam Basirompak adalah bunga Tanjung/Tanjuang. Bunga tanjung keberadaannya sangat mudah didapat karena tidak akan pernah berhenti di setiap musimnya. Keberadaan bunga ini dalam sesaji dipercaya dapat membantu pelaku dalam memanggil roh dan jin yang dibutuhkan oleh pelaku. Untuk mengetahui bunga tanjung perhatikan gambar berikut.
110
Gambar 5.6 Bunga Tanjuang/Tanjung (Dokumen: Nil Ikhwan, 28 Juli 2008) Gambar 5.6 merupakan bunga tanjung yang buahnya berwarna merah muda, wujudnya kecil atau semacam buah ―sawo kecik‖ yang bijinya coklat. Bunga ini dipercaya oleh pelaku Sirompak dapat memanggil roh halus, jin, dan setan, serta menebarkan bau wangi hingga mampu menembus ke tempat sasaran berada. Dalam Basirompak, bila salah satu jenis bunga tidak ada, maka Basirompak gagal dilaksanakan. Tanpa adanya bungo si parindu atau bungo si panggia-panggia dan bungo tanjuang, dipercaya oleh pelaku bahwa rasa rindu seseorang tidak dapat dibangkitkan atau tak dapat dipanggil. Semerbak wangi bunga tanjung yang ditebarkan dianggap mampu memanggil roh, jin, dan setan yang membantu dalam proses Basirompak.
111
Saat saluang sirompak ditiup, bunga-bunga itu terlihat tidak mengalami perubahan bentuk secara kasat mata. Menurut pelaku Basirompak, orang yang dapat merasakan manfaat dari bunga adalah anggota saluang sirompak dan makhluk halus yang diundangnya (Wawancara: 28 Juli 2008). Bila dilihat secara kasat mata hal ini memang demikian, tetapi dengan melihat hasil yang dicapai, hal itu merupakan data empiris yang menjadi keyakinan oleh seluruh masyarakat Payakumbuh sebagai pelaku Basirompak. Berikut adalah gambar setangkai bungo tanjuang.
Gambar 5.7 Bunga Tanjuang/Tanjung (Dokumen: Nil Ikhwan, 28 Juli 2008) Kedua jenis bunga dalam Basirompak itu memang tidak mengenal musim, yang selalu berbunga sepanjang tahun. Kedua jenis bunga tidak dapat digantikan dengan jenis bunga lainnya. Pencarian bunga tersebut dilakukan oleh pelaku sendiri atas dasar pertimbangan pemenuhan spiritualitas.
112
3) Bareh barandang Bareh barandang (beras matang yang sudah digoreng), yang dihasilkan melalui proses menggoreng tanpa minyak (merendang) secangkir beras. Jenis berasnya adalah beras pilihan yang mempunyai kualitas paling bagus. Di Minangkabau jenis beras yang bermutu kelas satu disebut beras sokan. Sebagai contoh, perhatikan beras dan kunyit dalam gambar berikut.
Gambar 5.8 Beras dan Kunyit (Dokumen: Nil Ikhwan 28 Juli 2009) Gambar 5.8 berupa beras dan kunyit yang dapat dijadikan bareh barandang. Cara pembuatannya adalah sebagai berikut: kunyit diparut lalu diperas dan diambil airnya lalu dicampurkan dengan beras dan digoreng. Setelah digoreng beras ini disebut dengan bareh barandang. Beras yang sudah digoreng
113
ini dipergunakan dalam Basirompak dengan tujuan untuk mempermudah menarik rasa simpati makhluk halus agar dapat diajak berdialog dan bekerja sama. 4) Tolua itiak Persyaratan selanjutnya berupa tolua itiak (telor bebek/itik) sebanyak tiga butir yang direbus hingga matang, telor ini juga tidak dapat digantikan dengan yang lain. Umpamanya, telur itu digantikan dengan telor angsa, meskipun lebih besar dan bermanfaat secara nutrisi lebih banyak di banding dengan telor itik, hal itu tidak mungkin dilakukan. Sebagai contoh, perhatikan telor itik seperti gambar berikut.
Gambar 5.9 Tolua Itiak (Dokumen: Nil Ikhwan, 28 Juli 2009) Gambar 5.9 adalah gambar telor itik yang tidak dapat digantikan dengan jenis telor yang lain. Hal itu disebabkan oleh telah diterimanya syarat-syarat atau sesaji dari leluhur para pelaku Basirompak dengan jin dan setan yang menjadi mitra kerja.
114
5) Nasi kunyit dan kepala nasi Nasi kunyit (nasi kuning) dibuat dari campuran beras dengan kunyit yang dimasak hingga matang. Nasi kuning ini tidak boleh dibuat dengan sembarang pewarna, harus dengan pewarna dari kunyit yang ditambah sedikit daun pandan harum (pandan wangi). Aroma nasi kuning ini berbeda dari nasi yang menggunakan pewarna kimia, dari sisi rasa jauh lebih enak dibanding dengan pewarna lain. Kemudian, syarat yang disebut ―kepala nasi‖ adalah nasi yang diambil dari bagian yang paling atas pada saat menanak nasi. Meskipun sedikit, apabila diambilkan dari yang paling atas, maka hal itu dapat disebut sebagai kepala nasi. Kebiasaan menanak nasi oleh masyarakat Taeh Baruah masih menggunakan alat yang disebut pariuak (periuk), kalau di Jawa disebut kendil, dan di Bali disebut cublukan. Alat ini biasanya terbuat dari tanah liat yang biasa disebut dengan gerabah, dan juga bisa dari bahan alumunium, baik yang tebal maupun yang tipis. 6) Daun pisang batu Daun pisang batu adalah sebutan pisang yang biasa dibuat kripik pisang, sebutan biudang sabo (Bali) dan pisang kapok (Jawa). Daun pisang ini merupakan syarat yang harus dilaksanakan, yaitu untuk tempat menaruh semua sesaji yang telah disiapkan. Daun pisang batu ini, tidak boleh digantikan dengan jenis daun pisang yang lain, karena apabila digantikan dengan daun pisang jenis lain, tidak ada manfaat apa-apa sesaji yang telah dibuat atau dipersiapkan. Berikut adalah contoh gambar daun pisang batu.
115
Gambar 5.10 Daun Pisang Batu (Dokumen: Nil Ikhwan, 28 Juli 2009) Gambar 5.10 adalah contoh daun pisang batu yang sengaja diperlihatkan dengan buahnya agar mudah dimengerti karena masing-masing daerah menyebutnya dengan nama yang berbeda. Daun pisang batu dipercaya oleh pelaku memiliki tingkat kelembaban yang luar biasa, atau dipercaya bahwa daun yang dingin merupakan kesenangan para roh halus dan setan. 7) Kemenyan putih/kemenyan arab Jenis sesaji terakhir berupa kemenyan putih yang dibakar pada saat sesaji telah disiapkan di atas daun pisang batu. Pembakaran kemenyan membutuhkan sarabut kelapa kering yang mudah terbakar dan awet. Pembakaran ini dilakukan di tempat sajian Basirompak, yaitu di salah satu dari tujuh tanjung di daerah terdekat 116
dari pelaku (daerah Kota Madya Payakumbuh). Untuk lebih jelasnya, berikut disajikan gambar kemenyan yang biasa dipergunakan dalam Basirompak.
Gambar 5.11 Kemenyan putih (Dokumen: Nil Ikhwan, 28 Juli 2009) Gambar 5.11 adalah kemenyan putih dan tungku pembakaran kemenyan. Dalam proses pembakaran, tungku diberi sabut kelapa yang dibakar hingga menjadi bara. Setelah bara api dari sabut kelapa memerah, kemenyan dimasukkan dalam bara. Dalam setiap menjalankan kegiatan selalu ada doa-doa, namun tidak boleh ditulis dalam penelitian ini, yang pasti setiap pembacaan doa selalu diawali dengan bacaan Basmalah, ―Bismillah hirohman nirokhim‖ (dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Hal ini diartikan bahwa semua kegiatan dapat terlaksana atau gagal karena kemurahan dari Allah maha Pencipta. Ketujuh tanjung tersebut oleh pelaku Basirompak dianggap sebagai tanjung yang dihuni makhluk halus (jin) yang dikenal dengan nama Simambau
117
Hitam, Simambau Sirah, Simambau Tungga, Simambau Barantai, dan Simambau Putih. Makhluk halus yang berwujud jin inilah yang akan diajak bekerja sama untuk mencapai tujuan dalam Basirompak. Berkaitan dengan pandangan Islam tentang jin, pada Alquran Surat ke-72 ―Al-Jin‖, terdapat ayat 1 yang berbunyi: Katakanlah hai Muhammad: Telah diwahyukan kepadaku bahwasannya sekumpulan Jin telah mendengarkan Al Qur’an, lalu mereka berkata sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Qur’an yang menakjupkan, selanjutnya ayat 5:dan sesungguhnya kami mengira bahwa manusia dan Jin sekali-kali tidak akan mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah, dan ayat 6:dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki diantara manusia meminta perlindungan kepada beberapa lelaki diantara Jin, maka Jin-Jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. Apabila dicermati bunyi ayat 1 tersebut bahwa jin juga bersaksi akan adanya wahyu Allah yang berupa Alquran sebagai anutan hidup para Jin dan manusia. Pada ayat ke-5, jin dan manusia tidak akan berkata dusta terhadap Allah. Hal ini membuktikan bahwa jin dan manusia ada yang beriman. Pada ayat ke-6, manusia yang meminta perlindungan kepada jin, maka manusia akan menambah dosa dan kesalahannya karena ia sudah termasuk bersekutu dengan jin. Manusia akan dijadikan kayu dalam neraka jahanam. Peringatan Tuhan kepada manusia terdapat dalam Alquran Surat ke-15 ―Al-Hijr‖, ayat ke-27 yang artinya: dan kami telah menciptakan Jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas, kemudian pada surat ke-7 (Al-A‘raf), ayat ke-27 telah memperingati manusia, yang artinya: Hai anak Adam, janganlah kamu sekali-kali dapat ditipu oleh setan sebagai mana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada kedua auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka,
118
sesungguhnya kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpinpemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. Ayat itu memberikan peringatan bagi manusia untuk berhati-hati pada godaan atau tipu muslihat setan yang merupakan pemimpin bagi orang yang tidak beriman. Hal ini dipertegas dalam ayat ke-50 surat ke-18 ―Al Kahfi‖ yang berarti: dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: sujudlah kamu kepada Adam. Maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain dari pada Ku. Sedang mereka adalah musuhmu amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang Dzalim. Jadi, ayat itu menggambarkan sifat iblis (jin yang ingkar dan tidak mau menuruti perintah Allah). Selain itu, ayat itu juga menjelaskan bahwa jin ada yang beriman kepada Tuhan. Hakikatnya ayat ini merupakan peringatan kepada manusia agar tidak memilih jin (iblis) dan keturunannya untuk menjadi pemimpin karena akan menyesatkan umat manusia dari hal yang menjadi perintah Allah. Dalam dAl-Asyqar (2008:7-11) dikatakan bahwa jin memiliki dunia yang lain dengan dunia manusia, dan dunia malaikat. Mereka memiliki beberapa hal yang sama dengan manusia, dalam arti bahwa mereka memiliki akal dan pemahaman, sehingga memiliki kemampuan untuk memilih antara yang baik dan buruk. Sebutan ―Jin‖ diberikan karena mereka menyembunyikan diri (ijtinaan) dari pandangan manusia. Jenis-jenis jin dan nama-nama dalam bahasa Arab, yaitu jin itu disebut jinni, jika yang dimaksud adalah jin yang tinggal dengan manusia, mereka disebut ‗Aamir (secara harfiah artinya penghuni), jika jin itu hinggap pada anak kecil, mereka menyebutnya sebagai arwaah (jiwa), jika jin itu jahat dan dapat menyebabkan bahaya, maka disebut syaitan. Jika jin itu lebih jahat lagi
119
maka disebut maarid (durhaka atau roh jahat). Jika jin itu lebih jahat dan lebih kuat, maka disebut Ifrit (kuat). Rasulullah bersabda, jin itu terdiri atas tiga jenis, yaitu satu jenis terbang di air, satu jenis berbentuk ular dan anjing, dan satu jenis lainnya berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Dari jenis jin yang telah
disampaikan, maka sesuai dengan sabda Rasullullah berkaitan jenis jin, yang ada di Basirompak menurut Datuak Mukhtar Ajo Marajo adalah jenis jin yang terbang di air (Wawancara: 23 Juli 2008).
5.3.3 Lokasi Ritual Dalam Basirompak ada tempat khusus yang dipergunakan dalam melakukan ritual ini, yaitu pada tujuh tanjung. Ketujuh tanjung yang ada di Desa Taeh Baruah adalah: (1) Tanjung Situkak, (2) Tanjung Lilin, (3) Tanjung Pia, (4) Tanjung Joriang, (5) Tanjung Runggai, (6) Tanjung Bancah Palam, dan (7) Tanjung Whak Dingin. Ketujuh tanjung itu oleh pelaku Sirompak dianggap sebagai tanjung yang dihuni oleh makhluk halus, dikenal dengan nama Simambau Hitam, Simambau Merah/Sirah, Simambau Tungga, Simambau Barantai, dan Simambau putih, yang semuanya disebut setan penunggu lubang saluang sirompak. Dengan adanya kepercayaan ini ritual sirompak dapat dilakukan di salah satu tanjung yang ada di Taeh Baruah atau tidak harus dilakukan di semua tanjung. Syarat dan langkah prosesi ataupun elemen-elemennya tetap sama seperti yang telah disebutkan di atas.
120
Gambar 5.12 Lokasi Basirompak (Dokumen: Nil Ikhwan, 28 Juli 2009)
Untuk mengenali tempat itu keramat atau tidak, dan sesaji itu diterima atau tidak, ada tanda-tanda yang terjadi. Tanda-tanda tersebut adalah dimulai dari cuaca yang tadinya cerah menjadi mendung, tempat di sekitar dingin, kulit dari masingmasing pelaku terasa seperti ditusuk-tusuk jarum, disertai pula kedatangan binatang-binatang kecil yang menyerupai belalang. Bagi yang menonton tidak semua tanda-tanda itu ikut dirasakan, hanya pada cuaca dan udara dingin. Dari kondisi tanjung yang didatangi di wilayah tersebut, akan timbul pertanyaan, bagaimana jika sasaran Basirompak berada jauh dari desa tersebut (di luar Taeh Baruah). Ternyata hal ini bukan faktor penghambat kegiatan Sirompak, karena menurut keyakinan pelaku, di mana pun daerah yang berciri sama, seperti yang digambarkan, dapat dipastikan bisa ditemukan penghuni dari tempat itu, yaitu Simambau Hitam dan teman-temannya. Sudah barang tentu kendala yang akan ditemukan pada proses kegiatan ini akan menelan waktu yang relatif lama, 121
dan akan menimbulkan permasalahan baru, seperti: keingintahuan penduduk setempat, rasa ketidaknyamanan di lokasi baru, sulit berkonsentrasi, dan sebagainya (Wawancara: 20 Juli 2008). Datuk Ajomarajo mengatakan bahwa dalam pemilihan tempat pada tanjung disebabkan oleh adanya ―risalah‖ tentang cerita sahabat Rasul (Muhammad) yang ingkar. Pada suatu saat mereka pergi ke suatu tempat yang disebut tanjung, mereka berhari-hari tidak tahu arah. Suatu saat Rasul datang menghampiri sahabatnya itu, dan bersabda ―Hai sobat, ada apa dengan hatimu sehingga
berhari-hari
engkau
berdiri
di
tanjung?‖
Kemudian,
Rasul
memerintahkan sahabatnya untuk duduk di atas pohon besar sambil melafalkan ayat-ayat suci Alquran, yang maksud dari ayat itu ―Kekuatan jin dan setan ada pada pohon itu‖. Kemudian sahabat disuruh melihat pohon itu, kemudian pohon bergerak dengan kerasnya yang diikuti datangnya angin kencang. Pada saat itu, juga sahabat mempercayai bahwa pohon tersebut merupakan tempat makhluk halus jin dan setan. Dari peristiwa itu, sahabat kemudian sadar dan mulai mendekatkan diri kepada Allah, Sang Pencipta, dengan membaca ayat-ayat suci yang dapat menangkal godaan/keganasan jin dan setan. Kerja sama antara pelaku (pelaku) dan setan dimanfaatkan dalam membuka dan mengunci serta menikam rantaian hati dan jantung serta seluruh raga pada si korban. Karena korban (manusia) bergerak atau melakukan aktivitas dari hati yang mendahului berkuasa dari individunya. Di mana pun korban itu berada, baik dibatasi gunung, laut maupun pulau, akan tetap kena oleh spiritualitas saluang sirompak. Meskipun si korban telah menyiapkan segala sesuatu untuk
122
memagari dirinya dengan jampi-jampi oleh orang pintar (pelaku ), tetap dalam kurun waktu dua puluh empat jam ada detik yang bisa ditembus oleh kekuatan spiritualitas saluang sirompak. Istilah perempuan, selain yang telah dipagari dan juga sulit ditembus dengan sesuatu yang gaib, disebut ―baju putih lengan biru‖, pertanda perempuan itu keras bahwa mereka telah kuat dalam iman, dan mungkin dipagari secara gaib dan sebagainya.
5.4 Estetika Saluang Sirompak Estetika saluang sirompak memiliki keterkaitan dengan dendang yang melantunkan mantra yang berbentuk pantun. Keterkaitan tersebut terletak pada alunan musikal dari instrumen saluang sirompak, pada bagian tertentu saluang sirompak memberikan ilustrasi pada lagu dendang. Nada-nada yang terdapat dalam saluang sirompak terdiri atas enam nada, sepeti telah disebutkan dalam cara pembuatan isntrumen dalam masing-masing lubang. Urutan nada dari a—– c—– d—e— f – fis atau dalam pembacaan la – do – re – mi – fa – fi. Dalam istilah musik, perbedaan interval yang dihasilkan instrumen saluang sirompak dengan nada-nada diatonis yang telah memiliki standar baku disebut dissonan atau diskordan (Djohan, 2003:260). Sistem notasi dalam musik biasa menggunakan notasi angka atau solmisasi dan notasi balok. Namun, dalam penulisan dengan sistem penotasian yang menggunakan notasi balok sulit untuk mencari simbol-simbol nada yang tepat, seperti di mana letak penulisan c1 none + 40 mh, atau d1 none + 5 mh. Jadi, dalam penulisan notasi masih tetap digunakan sistem notasi balok dengan simbol-simbol yang ada. Perlu disampaikan bahwa melodi lagu Dendang dan melodi saluang sirompak menggunakan sistem ketukan 123
bebas (nonmetris). Sementara itu, dalam sistem notasi balok sulit untuk dibuat sistem penulisan dengan sistem ketukan bebas (nonmetris). Lagu saluang sirompak dalam konteks ritual terdiri atas dua bagian besar, sesuai dengan lagu sajian dendang. Dalam lagu ada bagian lagu yang disebut dengan ilustrasi atau istilah musiknya interlute atau dalam istilah pelaku Basirompak disebut ibauan (imbauan) sebelum saluang sirompak mengikuti atau memberikan ilustrasi lagu dendang. Bagian-bagian lagu yang disebut Imbauan dalam saluang sirompak adalah bagian lagu saluang sirompak yang belum ada sajian dendang, notasi imbauan, atau bagian I, sebagai berikut.
124
Larghetto (M.M. 60-63
Transkrip : Nil Ikhsan
5.4.2 Melodi Dendang
125
Bagian I. Imbauan (Himbauan) Pada awal melodi, saluang sirompak yang disebut bagian Imbauan, terdiri atas sembilan frasa yang terbagi dalam empat frasa pertama hingga frasa ke-empat disajikan overlute atau satu oktaf lebih tinggi dari penulisan notasi. Sementara itu, untuk frasa ke-lima hingga frasa ke-sembilan disajikan sesuai dengan penulisan notasi (sedang). Pada bagian lagu imbauan disajikan nada-nada tinggi sebanyak empat frasa, secara berturut-turut dilakukan mulai frasa pertama sampai frasa keempat. Ketukan nada dari masing-masing frasa tidak sama (asymmetrical) seperti layaknya komposisi-komposisi musik Barat (symmetrical). Bila dikaitkan dengan saat berlangsungnya pertunjukan spiritualitas saluang sirompak, hasil bunyi dari saluang sirompak melengking yang bisa memecahkan suasana malam, dan mengganggu kenyamanan orang yang sedang tidur. Untuk menghindari terganggunya masyarakat yang sedang istirahat pada malam hari, pertunjukan ini dilakukan di salah satu tanjung yang jauh dari pemukiman masyarakat, hal inilah dapat dikatakan sebagai salah satu alasan mengapa kegiatan dilakukan di tanjung.
126
Berikut adalah frasa penggalan dari bagian Imbauan.
Frasa Melodi Pertama
127
Keempat frasa tersebut disajikan dengan nada tinggi atau overlute (satu oktaf lebih tinggi) dalam penulisan musik yang diberi simbol 8-va. Menurut Elmizarlis peniup saluang sirompak mengatakan bahwa nada-nada tinggi menghasilkan suara yang lebih keras. terang, cemerlang, dan unggul (Wawancara dengan Elmizarlis, tanggal 14 Juni 2013). Simbol 8-va itu mempunyai arti bahwa nada-nada yang dimainkan tersebut dinaikkan satu oktaf lebih tinggi dari nada yang tertulis. Sebagai pembanding dari pernyataan tersebut dapat dilihat pembagian wilayah nada dengan realitas suara dari instrumen flute dengan sifat wilayah nada yang dihasilkannya. Untuk mudah melihat klasifikasi sifat bunyi yang dimaksud diberi tanda lingkar dibubuhkan dalam penotasian, seperti terlihat pada contoh berikut.
Disebabkan oleh sifat-sifat kekuatan nada yang dimiliki dalam penyuaraan flute menghasilkan nada lebih keras, cemerlang, terang, dan unggul. Dari hasil suara flute dengan realitas tulisan dalam notasi yang ada dengan simbol 8-va memunculkan nada satu oktaf lebih tinggi dari standar penulisan notasi yang menggunakan kunci G. Pada kesempatan berikutnya, nada-nada tinggi itu tidak dimunculkan lagi. Frasa-frasa melodi yang dimulai dan kelima hingga berakhirnya bagian imbauan itu secara dominan hanya memanfaatkan nada-nada yang terdapat dalam notasi
128
rendah dan tenang (weak and brighter). Jumlah dari frasa melodi itu sebanyak lima buah, dan kemudian disambung dengan bagian kedua dari bentuk komposisi saluang sirompak (paduan vokal) dengan saluang sirompak. Berikut adalah frasa kelima hingga frasa ke sembilan bagian Imbauan dalam sistem notasi. Frasa Melodi Kelima
129
Frasa Melodi Kesembilan
Frasa kelima hingga frasa kesembilan adalah sajian lagu yang sudah masuk dalam lagu-lagu rendah, atau permainan saluang sirompak menyuarakan nada-nada sama dengan notasi yang ada. Lagu dalam tulisan yang tidak menggunakan simbol 8 va adalah penyuaraan flute atau saluang sirompak sesuai dengan nada yang tertulis dengan menggunakan standar penulisan kunci G. Dasar dari lagu dendang mengikuti nada yang ada pada nada-nada pada saluang sirompak, dengan susunan a—– c—– d—e— f – fis atau la – do – re – mi – fa – fi. Lagu bagian Imbauan merupakan tuntunan untuk pengambilan nada bagi pendendang, karena saluang sirompak telah memberikan imbauan dalam frasa kelima hingga frasa kesembilan atau akhir dari bagian lagu Imbauan. Dalam dendang ada dua jenis lagu, yaitu dengan nada sedang dan nada tinggi atau satu oktaf lebih tinggi dari nada sedang. Mantra yang berupa pantun juga ada dua motif, ada yang terdiri atas empat baris setiap baitnya dan ada pula yang terdiri atas enam baris setiap baitnya. Perbedaan jumlah baris dalam setiap barisnya akan mengubah pula motif lagu yang dilantunkan. Lagu untuk melantunkan syair yang terdiri atas enam baris dalam satu bait pada dasarnya sama dengan lagu yang dipergunakan dalam pantun yang terdiri atas empat baris. Kemudian untuk melantunkan lagu yang terdiri dari enam baris dalam satu bait dilagukan dengan menggunakan baris ketiga dan baris keempat yang dipergunakan dalam lantunan
130
baris kelima dan keenam, atau lagu baris ketiga dipergunakan untuk lagu baris kelima dan lagu baris keempat dipergunakan untuk melagukan syair baris keenam. Dalam praktiknya dendang terdiri atas dendang mantra pembuka dan dendang mantra pokok, mantra pembuka terdiri atas 33 bait dan mantra pokok terdiri lima bait. Dalam mantra pokok kebetulan terdiri atas empat baris dalam setiap baitnya, sedangkan untuk mantra pembuka ada yang terdiri atas empat baris sampai dengan tujuh baris dalam setiap baitnya.
131
132
133
Bagian II. Lagu Saluang Sirompak
134
Bagian II tersebut merupakan gabungan lagu dendang dengan lagu saluang sirompak, yaitu pada notasi yang terdiri atas dua baris notasi. Baris notasi yang di atas merupakan notasi untuk lagu dendang, sedangkan untuk baris yang kedua untuk lagu saluang sirompak. Untuk kata-kata/syair yang suku katanya sedikit cenderung digunakan teknik melismatis, yaitu beberapa buah not yang diperuntukkan bagi satu suku kata (lihat garis lengkung). Melodi pada bagian kedua tersebut dinyanyikan secara berulang-ulang dalam mantra yang berbeda, mulai dari awal vokal didendangkan hingga berakhirnya sajian, yang dikenal dengan istilah stropik. Bentuk pengulangan juga ada penyesuaian jumlah suku kata dari masingmasing barisnya, dan jumlah baris dari setiap baitnya. Dalam sajiannya, apabila dalam satu baris terdapat lebih banyak suku kata yang disampaikan dalam dendang, maka pendendang menggunakan nada-nada di tengah frasa untuk diulang dalam beberapa suku kata. Kemudian untuk sajian yang terdiri atas lebih dari empat baris dalam satu bait maka pendendang menggunakan frasa akhir bagian untuk melantunkan dendangnya. Seperti bait yang terdiri atas lima baris, maka pada baris terakhir digunakan frasa keempat, kemudian untuk menyajikan dendang yang terdiri atas enam baris setiap baitnya, frasa ketiga dan keempat dipergunakan untuk melantunkan baris kelima dan keenam. Sementara itu apabila dalam satu bait terdiri atas tujuh baris maka pendendang menggunakan frasa ketiga dan keempat yang diulang dua kali (frasa keempat).
135