BAB V SIMPULAN DAN SARAN
V.1 Simpulan 1.
Metode pengukuran yang digunakan perusahaan properti terdaftar di BEI, ASX dan SGX berbeda-beda yaitu keseluruhan perusahaan properti di BEI menggunakan pengukuran cost model dan kebanyakan perusahaan properti terdaftar di ASX dan SGX menggunakan pengukuran fair value model. Kecenderungan perusahaan properti di BEI menggunakan cost model dikarenakan adanya tarif pajak final bila mereka menggunakan fair value model. Sedangkan kebanyakan perusahaan terdaftar di ASX dan SGX memilih pengukuran fair value model karena perubahan nilai wajar yang belum direalisasikan tidak dikenakan pajak di negara tersebut.
2.
Tingkat kelengkapan pengungkapan properti investasi yang dilakukan perusahaanperusahaan properti yang terdaftar di BEI, ASX dan SGX dengan menghitung item pengungkapan satu per satu. Item pengungkapan dapat dihitung dengan memberikan angka 1 jika diungkapkan. Berdasarkan perhitungan diatas, dapat diketahui bahwa rata-rata persentase pengungkapan properti investasi adalah 49,60% di Indonesia, 47,39% (fair value) dan 53,75% (cost model) di Australia serta 46,74% (fair value) dan 51,27% (cost model) di Singapura. Perusahaan properti di Indonesia memiliki tingkat kelengkapan pengungkapan yang cukup rendah dibandingkan kedua negara lain yang juga mengungkapkan cost model. Selain itu, dari persentase diatas dapat diketahui bahwa tingkat kelengkapan pengungkapan properti investasi lebih tinggi di Australia dibandingkan dengan Singapura untuk pengungkapan menggunakan fair value model. 145
3.
Perbedaan karakteristik pengungkapan properti investasi di ketiga negara didasarkan karena peraturan yang berbeda pada setiap negara. Karena terdapat ketentuan perpajakan mengenai pajak final atas selisih revaluasi maka tak satupun perusahaan properti di Indonesia mau menggunakan metode nilai wajar. Hal ini terbalik dengan keadaan di Australia dan Singapura, ketentuan perpajakan disana menyatakan bahwa pajak hanya dikenakan bila properti investasi dijual pada nilai wajar dan selisih cost serta harga jual itulah yang akan dikenakan pajak. Perusahaan properti yang menggunakan model nilai wajar harus mengungkapkan penilai independennya dan penilai independen yang paling banyak dipakai adalah CB Richard Ellis dan Jones Lang LaSalle. Metode yang paling sering dipakai adalah discounted cash flow, capitalization net income dan direct comparison. Penyesuaian nilai wajar biasa diungkapkan sebagai keuntungan atau kerugian karena revaluasi atau terkadang diungkapkan sebagai keuntungan atau kerugian karena penyesuaian nilai wajar.
4.
Pengungkapan properti investasi yang dilakukan perusahaan properti di Indonesia belum terlalu memenuhi kebutuhan pihak berkepentingan karena pemilihan cost model sebenarnya tak mencerminkan keadaan sesungguhnya sebab cost model hanya menggunakan nilai buku dan tidak dinilai dengan harga pasar. Dan tak banyak variasi pengungkapan yang disajikan perusahaan properti di Indonesia karena semuanya menggunakan cost model yang hanya membahas tentang penyusutan sehingga pengungkapan terlihat lebih sederhana dan belum mewakili kepentingan pihak terkait. Disisi lain, pengungkapan properti investasi oleh kedua negara lainnya sudah memenuhi kebutuhan pihak berkepentingan karena penggunaan fair value model menyebabkan nilai properti investasi diukur pada
146
transaksi yang sebenarnya sehingga semakin dapat dipercaya dan berguna bagi pengambilan keputusan. Perusahaan properti di kedua negara ini pun bervariasi dalam menyajikan setiap item pengungkapan yang lebih mengarah ke nilai wajar sehingga dapat disimpulkan model ini tidaklah monoton dan telah mewakilkan kepentingan pihak terkait.
V.2 Saran Berdasarkan perbandingan pengungkapan properti investasi di ketiga negara tersebut, diketahui bahwa seluruh perusahaan properti di Indonesia menggunakan cost model dan hampir sebagian besar perusahaan properti di Australia dan Singapura menggunakan fair value model. Sepatutnya kenyataan ini memberikan motivasi bagi perusahaan properti di Indonesia agar mau menggunakan fair value model karena model ini memang lebih mencerminkan nilai yang sebenarnya karena harus dinilai kembali dan bukan hanya dihitung berdasarkan penyusutan. Secara lebih spesifik, perusahaan akan memiliki keuntungan dalam menggunakan fair value model jika perusahaan properti tersebut merupakan perusahaan multinasional ataupun perusahaan properti yang akan melakukan ekspansi ke luar negeri. Tentunya pengukuran lanjutan dengan fair value model akan membuat perusahaan properti yang berkembang di dunia global dapat memiliki laporan keuangan yang dapat diperbandingkan antar perusahaan properti lainnya dalam negara yang berbeda. Dan pihak Direktorat Jenderal Pajak yang tentunya memiliki andil dalam ketentuan pajak terkait pengenaan pajak final revaluasi semestinya mengeluarkan kesepakatan atau peraturan perpajakan terbaru yang dapat memberikan keringanan tarif pajak sehingga perusahaan properti di Indonesia tidak perlu takut menggunakan model
147
nilai wajar. Pemberlakuan perpajakan yang bisa memberikan insentif seharusnya segera dilakukan agar perusahaan properti di Indonesia tak selamanya menggunakan cost model dan bukan alasan bagi Direktorat Jenderal Pajak bahwa hal ini sulit dilakukan karena di negara lain tidak ada peraturan pajak final yang mengikat selisih nilai wajar. Diharapkan perusahaan properti di Indonesia belajar dari pengungkapan yang disajikan dalam catatan atas laporan keuangan kedua negara lainnya yang cenderung lebih bervariasi dan mewakilkan transaksi yang sebenarnya. Pengungkapan secara lengkap dan bervariasi oleh perusahaan properti di Indonesia akan bermanfaat karena perusahaan terkesan memiliki public image yang baik dan menarik minat investor berinvestasi pada perusahaan tersebut. Pengungkapan properti investasi di ketiga negara sebaiknya disajikan lebih lengkap oleh masing-masing perusahaan properti bagi kedua model yang tersedia. Seringkali perusahaan properti dengan model nilai wajar memiliki perbedaan pengungkapan yang bervariasi satu sama lain. Sebaiknya pengungkapan tersebut tidak hanya bervariasi saja namun seharusnya lebih konsisten jika penilaiannya sama-sama menggunakan nilai wajar. Tingkat kelengkapan pengungkapan laporan keuangan sangat penting dan seharusnya perusahaan satu dengan yang lain sama merata lengkapnya antar negara yang sudah mengadopsi standar mengenai properti investasi. Sebagai penutup, sebaiknya pihak BAPEPAM dan DSAK-IAI mengevaluasi pengungkapan properti investasi yang disajikan perusahaan properti secara tidak terlalu lengkap yaitu hanya di bawah 50% dan lebih rendah dibandingkan negara lain. Kenyataan ini sebaiknya ditanggapi oleh pihak yang menjadi regulator agar mulai dilakukan
sosialisasi
mengenai
pentingnya
pengungkapan
dan
bagaimana
148
mengungkapkan properti investasi secara lebih memadai serta menimbulkan lebih banyak keuntungan bagi perusahaan properti di Indonesia.
149