BAB V RETENSI DAN INOVASI DALAM BAHASA JAWA INDRAMAYU
Dalam
bab
ini
akan
dibahas
mengenai
alasan-alasan
yang
melatarbelakangi terjadinya retensi dan inovasi dalam BJI dalam kaitannya dengan bahasa di daerah asalnya (BJB). Namun sebelum membahas hal tersebut, akan dibahas terlebih dahulu perbandingan antara BJI terhadap BJB untuk memperjelas gambaran persamaan dan perbedaan diantara keduanya. Selain itu, pembahasan dalam bab ini juga dilengkapi (bertalian) dengan hasil pembahasan pada bab sebelumnya (BAB IV).
5.1. Perbandingan antara Bahasa Jawa Indramayu Terhadap Bahasa Jawa Banyumas sebagai Bahasa dari Daerah Asalnya Apabila dibandingkan secara terperinci antara enklave bahasa Jawa Indramayu (BJI) dengan bahasa Jawa Banyumas (BJB), menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan. Persamaan yang ditemukan menunjukkan adanya karakteristik yang dimiliki bersama-sama sehingga mencerminkan bahasa yang sama, sekaligus menunjukkan bahwa BJI ada ikatan dengan BJB (merupakan bagian dari BJB). Di samping itu, adanya perbedaan yang menunjukkan bahwa terdapat ciri khusus dari masing-masing tuturan. Dengan mengacu pada perbandingan yang menunjukkan persamaan dan perbedaan ini, dapat diperoleh ciri pembeda dan pemersatu yang pada akhirnya dapat menyatukan keduanya.
116
117
5.1.1. Perbandingan yang Menunjukkan Persamaan Dalam subbab ini akan diuraikan mengenai persamaan antara BJI dan BJB ditinjau dari pendekatan sinkronis dan diakronis. Uraian mengenai deskripsi sinkronis akan ditekankan pada struktur fonologi dan morfologi (afiksasi) pada BJI dan BJB. Sementara itu, deskripsi diakronis akan dititikberatkan pada struktur fonologi dan leksikal. Perbandingan yang menunjukkan persamaan antara BJI dan BJB secara sinkronis dapat dilihat pada uraian berikut. 1) Baik BJI maupun BJB memiliki sistem fonem vokal dan konsonan yang sama. BJI dan BJB memiliki enam fonem vokal (/a/, /i/, /e/, //, /o/, dan /u/) dan 18 fonem konsonan (/p/, /b/, /t/, /d/, /c/, /j/, /k/, /g/, /m/, /n/, /ñ/, //, /s/, /l/, /r/, /h/, /w/, dan /y/). 2) Fonem vokal /a/ selalu direalisasikan sebagai [a] pada setiap posisi suku terbuka. Pengecualian pada TP 3 yang selalu merealisasikan fonem /a/ pada posisi ultima suku terbuka dan diakhiri bunyi [h] akan dilafalkan []. 3) Fonem /b/, /k/, /g/, dan /d/ dapat berdistribusi pada semua posisi. 4) Dalam aspek morfologi (afiksasi), BJI dan BJB sama-sama menggunakan afiks {N-} yang direalisasikan sebagai {m-}, {n-}, {-}, {ñ-}, dan {-} apabila bertemu dengan kata yang berawalan dengan fonem-fonem tertentu. Pengecualian pada TP 4 yang cenderung menggunakan afiks {-} daripada afiks yang lain. Kecenderungan
118
penggunaan afiks {-} pada TP 4 ini kemungkinan karena terpengaruh oleh BS, seperti pada contoh berikut. BJI TP 4
BS
BJB
Gloss
{}+{gosok}
{a}+{gosok}
{}+{gosok}
‘menggosok’
{}+{garuk}
{a}+{garo}
{}+{garuk}
‘menggaruk’
Persamaan antara BJI dan BJB secara diakronis dijabarkan pada uraian berikut ini. 1) Proto fonem */h/ pada posisi awal suku penultima akan mengalami delisi () pada BJI dan BJB. Data di bawah ini menunjukkan perubahan tersebut. PMJ */hain/
> BJI; BJB /ain/
‘angin’
PMJ */halis/
> BJI; BJB /alis/
‘alis’
PMJ */haluq/
> BJI; BJB /alu()/
‘alu’
2) Dalam BJI dan BJB, fonem */h/ pada posisi final akan tetap direalisasikan sebagai fonem /h/. realisasi dari fonem tersebut dapat diamati pada data di bawah ini. PMJ */Binih/
> BJI; BJB /winih/
‘benih’
PMJ */w²uyah/
> BJI; BJB /uyah/
‘garam’
PMJ */qutah/
> BJI; BJB /mutah/
‘muntah’
3) Proto fonem *q pada posisi tengah final tetap direalisasikan sebagai bunyi glotal [], tetapi tidak membedakan makna (bukan fonem). Penggunaan bunyi glotal pada setiap suku kata terbuka pada akhir kata
119
tersebut dimungkinkan karena pengaruh dari BS. Contoh data yang menunjukkan realisasi dari proto fonem tersebut adalah sebagai berikut. PMJ */huntuq/ > BJI; BJB /untu(Ɂ)/
‘gigi’
PMJ */Bssiq/
> BJI; BJB /wsi(Ɂ)/
‘besi’
PMJ */Buluq/
> BJI; BJB /wulu(Ɂ)/
‘bulu’
4) Proto fonem *B direfleksikan menjadi fonem /w/ dalam BJI dan BJB secara teratur. PMJ */guBi/
> BJI; BJB /suwi/
‘sumbing’
PMJ */Btt/
> BJI; BJB /wt/
‘perut’
PMJ */Bulan/
> BJI; BJB /wulan/ ‘bulan’
5) Bunyi diftong *w pada PMJ direalisasikan sebagai /u/ dalam BJI dan BJB seperti pada contoh di bawah ini. PMJ */bañw/
> BJI; BJB /bañu()/
‘air’
PMJ */Burw/
> BJI; BJB /luru()/
‘buru (ber-)’
PMJ */garw/
> BJI; BJB /garu()/
‘sisir tanah’
6) Proto fonem *R dalam BJI dan BJB mengalami delisi () atau pelesapan di semua posisi. PMJ */R¹bbu/ > BJI; BJB /bu/
‘tunas bambu’
PMJ */Rumah/
> BJI; BJB /umah/ ‘rumah’
PMJ */ulaR/
> BJI; BJB /ula()/ ‘ular’
120
5.1.2. Perbandingan yang Menunjukkan Perbedaan Pada subbab ini akan diuraikan mengenai perbandingan antara BJI dan BJB yang menunjukkan perbedaan. Perbedaan yang muncul diantara kedua variasi bahasa ini akan menjadi ciri bagi masing-masing bahasa. Bisa dikatakan pula bahwa perbedaan tersebut adalah bentuk inovasi BJI yang terjadi pada saat ini. Perbedaan antara BJI dan BJB dalam tataran sinkronis dapat diamati pada uraian di bawah ini. 1) Fonem /d/ beserta alofonnya dalam BJI digunakan secara serta merta dan tidak membedakan makna kata. Pada posisi awal suku kata dan tengah kata, BJI cenderung menggunakan alofon [ḍ] daripada [d], sedangkan pada posisi akhir menggunakan alofon [d]. Dalam BJB, terdapat pembedaan penggunaan bunyi [d] dan [ḍ], sehingga kedua alofon tersebut bisa berposisi di awal dan tengah kata. 2) Fonem /t/ beserta alofonnya [t] dan [ṭ] juga digunakan secara mana suka dalam BJI. Penggunaan kedua alofon tersebut hanya sekedar pembeda idiolek antara penutur yang satu dengan yang lain saja. Berbeda dengan BJB, BJB membedakan penggunaan antara bunyi [t] dan [ṭ]. 3) Pada tataran morfologi (afiks), BJI menggunakan afiks {-aken} untuk semua bentuk ragam tutur, baik ngoko maupun krama. Afiks {-aken} dalam BJB hanya digunakan pada ragam krama saja. Penggunaan afiks {-aken} dalam BJI pada semua ragam tutur ini kemungkinan karena
121
pengaruh BS, afiks {-keun}. Dalam BS, afiks tersebut digunakan dalam ragam biasa (bukan krama). Penggunaan afiks tersebut misalnya pada kata ‘dengar’ BJI {rooaken}, BS {deekeun}, sedangkan BJB {ruu}.
Perbandingan diakronis antara BJI dan BJB yang menunjukkan perbedaan dapat dijabarkan pada uraian di bawah ini. 1) Proto fonem *z pada posisi awal dan tengah dalam BJI direalisasikan sebagai bunyi [ḍ], sedangkan dalam BJB direalisasikan sebagai [d]. PMJ */zalan/
> BJI /ḍalan/
‘jalan’
BJB /dalan/ PMJ */zilat/
> BJI /ḍilat/
‘jilat (meN-)’
BJB /dilat/ PMJ */huzan/
> BJI /uḍan/
‘hujan’
BJB /udan/ 2) Jumlah suku PMJ *bersuku tiga, BJI bersuku tiga, sedangkan BJB bersuku dua. PMJ */bariin/
> BJI /wriin/
BJB /wriin/
PMJ */Buhayaq/
> BJI /buwaya/
BJB /baya/
5.2. Alasan Terjadinya Retensi dan Inovasi dalam Bahasa Jawa Indramayu Retensi atau pemertahanan bahasa dan inovasi atau pergeseran bahasa berkaitan dengan pemilihan bahasa oleh kelompok masyarakat (Sumarsono, 2009:231). Suatu bahasa disebut mengalami retensi apabila kelompok masyarakat tetap menggunakan bahasa yang digunakan sehari-hari. Bahasa disebut
122
mengalami inovasi apabila masyarakat penutur bahasa tersebut memilih untuk menggunakan bahasa lain dibandingkan dengan menggunakan bahasa yang dulu digunakan sehari-hari. Berdasarkan perbandingan antara BJI dan BJB di atas yang dilengkapi dengan analisis kuantitatif dan kualitatif pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa bahasa Jawa Indramayu cenderung masih mempertahankan bentuk relik (PMJ) disamping inovasi baik dalam bidang fonologi maupun leksikal. BJI juga masih memelihara bentuk-bentuk kebahasaan dari daerah asalnya (Banyumas). Meskipun demikian, ditemukan bahwa tidak semua titik pengamatan yang masih memelihara bentuk-bentuk relik. Terdapat titik pengamatan yang cenderung lebih dekat dengan BJY dan ada pula yang lebih dekat dengan BS. Titik pengamatan yang cenderung lebih jauh dari daerah asalnya (lebih dekat dengan BJY) adalah TP 3 dengan persentase perbedaan sebesar 91,9%, sedangkan titik pengamatan yang banyak ditemukan kemiripan dengan BS, yaitu TP 4. Meskipun TP 4 memiliki unsur-unsur kebahasaan yang menyerupai BS, tetapi tetap memelihara dengan bahasa asalnya dengan baik. Hal tersebut dibuktikan dengan persentase perbedaan yang hanya mencapai 48,4% (perbedaan subdialek) dan persentase persamaan sebesar 81,5% (termasuk satu bahasa). Titik pengamatan yang paling dekat dengan BJB adalah TP 6 yang memiliki persentase perbedaan sebesar 39,1% dan persentase persamaan sebesar 87,5%. Dengan demikian, TP 1, 2, 4, 5, 6, 7, dan 8 merupakan daerah konservatif karena masih memelihara bentuk-bentuk relik, sedangkan TP 3 merupakan daerah yang inovatif.
123
Terpeliharanya bentuk-bentuk proto (kuno) dalam BJI sedikit banyak dipengaruhi oleh jarak yang cukup jauh dari pusat pemerintahan (BJY). Namun, apabila dilihat dari sejarah yang melatarbelakangi keberadaan bahasa Jawa di Kabupaten Indramayu—adanya transmigrasi lokal pada masa Kerajaan Mataram (Sultan Agung)—sedikit banyak juga turut mempengaruhi pemertahanan bentukbentuk relik dalam BJI tersebut. Seperti telah disebutkan subbab Sejarah Kabupaten Indramayu dalam BAB II di atas, Sultan Agung memang membedakan bahasa Jawa antara bahasa Pasukan Wiratani dan pejabat lainnya—termasuk yang di kirim ke Indramayu— dengan pasukan dan pejabat yang berada di lingkungan Keraton Mataram. Pasukan Wiratani dan pejabat lainnya tersebut menggunakan bahasa Jawa yang berakhiran dengan bunyi vokal [a] pada suku terbuka pada saat berada di wilayah transmigrasi (sepanjang pesisir Pantai Utara)—menyesuaikan tuturan setempat— sedangkan pejabat yang berada di lingkungan keraton menggunakan bunyi vokal []. Pembedaan tersebut semata-mata sebagai bentuk perwujudan identitas, hirarki, dan keamanan kerajaan. Pasukan Wiratani dan beberapa pejabat kerajaan tersebut diperintahkan menggunakan vokal [a] agar tidak dikenali/dicurigai oleh VOC/Belanda yang saat itu berada di Batavia. Apabila melihat keberadaan tuturan bahasa Jawa di TP 3 (Desa Krangkeng, Kecamatan Krangkeng) pada saat ini, yang cenderung berbeda dengan bahasa Jawa Indramayu pada umumnya (menggunakan bunyi [] di akhir kata), kemudian mengaitkannya dengan sejarah Kabupaten Indramayu tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dahulu wilayah Krangkeng mempunyai hubungan
124
yang lebih tinggi dengan pejabat lingkungan Keraton Mataram di bandingkan wilayah Indramayu yang lainnya. Bisa dikatakan pula bahwa dahulu banyak pejabat tinggi Keraton Mataram yang tinggal di wilayah Krangkeng. Bukti lain yang menunjukkan bahwa terdapat ikatan sejarah antara Indramayu dengan Keraton Mataram, yaitu dari kosakata yang digunakan dalam menamai pejabat-pejabat yang memerintah wilayah Kabupaten Indramayu. Misalnya, dilihat dari penggunaan istilah kuwu, bekel, tani kuli, dan kliwon. Pada masa pemerintahan Kerajaan Mataram, istilah kuwu atau akuwu bermakna panglima yang menguasai benteng pertahanan atau bisa diartikan pula sebagai kediaman patih dan mantri kerajaan, sekaligus sebagai daerah teritorial administratif (Zoetmulder, 2014 dan Safari, 2015) untuk saat ini digunakan untuk menyebut kepala desa. Istilah bekel pada masa Kerajaan Mataram digunakan untuk menyebut kepala dusun pada saat ini istilah tersebut tidak mengalami perubahan. Tani kuli juga masih digunakan oleh masyarakat Indramayu dalam kehidupan sehari-hari, yaitu untuk menyebut ‘buruh tani’. Istilah tersebut sedikit banyak berkaitan dengan istilah kuli keceng pada masa pemerintahan Sultan Agung. Penggunaan istilah kliwon sebagai wakil kepala desa pada pemerintahan Indramayu pada saat ini juga menunjukkan adanya keterkaitan dengan penamaan jabatan pada masa lalu. Dahulu istilah kliwon mengacu pada jabatan di bawah bupati (Poewadarminta, 1939). Di samping itu, adanya istilah reyang sebagai kata ganti orang pertama laki-laki juga ada kaitannya dengan Pasukan Wiratani pada masa Kerajaan Mataram. Kata reyang tersebut kalau dalam bahasa Indonesia sama kedudukannya
125
dengan kata bung, seperti Bung Karno dan Bung Hatta, yaitu istilah yang sering digunakan dalam perjuangan. Istilah reyang tersebut berasal dari kata rewang atau rencang yang berarti ‘teman’ dalam bahasa Jawa, tetapi hanya mengacu pada seorang laki-laki saja, bukan perempuan. Jika dikaitkan dengan masa transmigrasi lokal Mataram, istilah reyang mengandung pemahaman bahwa ‘laki-laki harus banyak membantu’ (Safari, 2015).
5.2.1. Retensi Bahasa Jawa Indramayu Retensi bahasa Jawa dalam BJI dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain 1) loyalitas kebahasaan, 2) pendidikan, 3) seni dan budaya, dan 4) adanya kelompok pelestari bahasa dan budaya Indramayu. Adapun uraian mengenai keempat faktor retensi tersebut adalah sebagai berikut. 1) Loyalitas Kebahasaan Masyarakat Indramayu baik yang pada umumnya maupun TP 3 (Krangkeng)—kecuali beberapa desa di Kecamatan Lelea, Kandanghaur, dan Gantar—dalam kesehariannya menggunakan bahasa Jawa sebagai sarana komunikasi. Meskipun beberapa desa di Kecamatan Lelea dan Kandanghaur tidak menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya, masyarakat tersebut bisa berbahasa Jawa di samping berbahasa Sunda dan Indonesia (bilingualisme). Hal ini karena jumlah komunitas tutur mereka yang cenderung terbatas dibandingkan penutur bahasa Jawa. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan masyarakat Indramayu yang
126
berbahasa Jawa, meskipun berdampingan dengan komunitas tutur Sunda, mereka belum tentu bisa berbahasa Sunda. Loyalitas masyarakat Indramayu terhadap bahasa Jawa juga direalisasikan dengan penamaan bahasa Jawa yang mereka gunakan, yaitu bahasa Jawa Dermayonan. Hal ini ditujukan untuk mencirikan dan membedakan bahasa Jawa yang berada di Indramayu dengan bahasa Jawa di wilayah lainnya.
2) Adanya Kelompok Pelestari Bahasa dan Budaya Kelompok pelestari bahasa dan budaya Indramayu merupakan sekumpulan orang-orang dari berbagai kecamatan Indramayu yang bergabung dan membentuk komunitas pemerhati bahasa dan budaya Indramayu. Kegiatan yang mereka geluti meliputi pengadaan kongres bahasa Dermayonan hingga menularkan kebiasaan penggunaan bahasa Dermayonan
untuk
komunikasi
sehari-hari,
penulisan
dan
pendokumentasian sejarah, budaya, kesenian, dan peninggalan sejarah yang berkaitan dengan Indramayu. Kelompok ini juga berperan dalam pencetusan bahasa Dermayonan sebagai bahan ajar muatan lokal di sekolah-sekolah. Hal ini cukup menarik karena sebelumnya pelajar di Indramayu mendapat pelajaran bahasa Sunda dari pemerintah Jawa Barat (Kasim, 2013). Usaha-usaha yang dilakukan oleh komunitas tersebut dirasa dapat berperan dalam mempertahankan (retensi) bahasa Jawa yang terdapat di Indramayu.
127
3) Pendidikan Seperti telah di sebutkan pada poin sebelumnya, retensi dalam BJI juga didorong dari ranah pendidikan. Adanya bahan ajar yang berupa bahasa Jawa sebagai salah satu pelajaran muatan lokal (pelajaran bahasa daerah) yang diajarkan di sekolah-sekolah sedikit banyak membantu pemertahanan bahasa Jawa di Indramayu. Pembelajaran bahasa Jawa tersebut dapat menjadi penyeimbang dari masuknya pengaruh dari bahasa luar yang diajarkan di sekolah atau diperoleh dari media-media, seperti bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Dengan demikian, bahasa Jawa yang berada di Indramayu tetap bertahan.
4) Seni dan Budaya Faktor seni dan budaya juga berperan penting dalam pemertahanan bahasa Jawa Indramayu. Hal ini berkaitan dengan masyarakat Indramayu yang masih menjunjung tinggi seni dan budaya dalam kehidupan seharihari. Seni dan budaya yang dimaksud di sini adalah seni budaya yang bersifat tradisional dan masih menggunakan tuturan bahasa Jawa dalam pelaksanaannya. Seni budaya tersebut antara lain, wayang, sandiwara, tarling, dan sintren. Loyalitas masyarakat Indramayu terhadap seni dan budaya tersebut salah satunya ditunjukkan dengan sering dipentaskannya kesenian-kesenian tradisional tersebut di setiap acara-acara penting, seperti
128
mapag sri (panen padi), khitanan, pernikahan, dan acara-acara peringatan kenegaraan.
5.2.2. Inovasi Bahasa Jawa Indramayu Inovasi bahasa atau pergeseran bahasa menurut Sumarsono (2009:235— 238) menyatakan bahwa pergeseran bahasa didasari dari adanya kedwibahasaan dan alih generasi (intergenerasi). Selanjutnya, Sumarsono mengklasifikasikan faktor-faktor pendorong terjadinya pergeseran bahasa menjadi tiga macam, yaitu 1) migrasi, 2) ekonomi, dan 3) sekolah/pendidikan. Adapun faktor-faktor pendorong terjadinya pergeseran bahasa dalam BJI adalah sebagai berikut. 1) Migrasi Migrasi
atau
perpindahan
penduduk
juga
tidak
menutup
kemungkinan terjadinya pergeseran BJI. Dengan adanya wilayah kosong yang sangat luas di Indramayu, menyebabkan banyaknya penduduk yang berpindah tempat tinggal di Indramayu. Sebagai contoh Kecamatan Gantar dan beberapa desa di Haurgeulis—wilayah paling barat Indramayu. Wilayah tersebut sebagian besar adalah pendatang dari wilayah Sunda, seperti Majelangka, Bandung, Sumedang, dan Karawang. Berdasarkan pengamatan peneliti secara langsung, Kecamatan Gantar minim penutur bahasa Jawa, masyarakat di kecamatan tersebut cenderung menggunakan bahasa Sunda. Pernyataan ini diperkuat oleh Kasim (2013) menyebutkan bahwa kurang lebih hanya 20—30 % kecamatan Gantar yang berbahasa Jawa.
129
2) Ekonomi Faktor ekonomi yang mempengaruhi inovasi dalam BJI berkaitan secara langsung dengan kondisi geografis Indramayu yang dilintasi jalur Pantai Utara serta sebagian besar wilayahnya termasuk dalam kategori desa pantai yang kebanyakan penduduknya berprofesi sebagai nelayan sehingga wilayah Indramayu sering dikunjungi oleh orang-orang dari wilayah lain yang berbahasa selain bahasa Jawa, begitu pula sebaliknya, nelayan (penduduk Indramayu) juga sering singgah di wilayah yang tidak berbahasa Jawa sehingga digunakan bahasa Indonesia sebagai ligua franca. Pengaruh bahasa daerah (bahasa Melayu Jakarta dan Betawi) disinyalir juga mempengaruhi inovasi BJI karena adanya kontak antar nelayan. Hal ini berkaitan dengan Indramayu sebagai daerah maritim yang sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah memanfaatkan hasil laut, salah satunya sebagai nelayan. Tak jarang masyarakat Indramayu tersebut mencari ikan di perairan Jakarta dan Banten sehingga terjadi kontak di antara mereka. Begitu pula sebaliknya, nelayan dari perairan Jakarta (berbahasa Melayu Jakarta) juga sering singgah di perairan Indramayu sehingga terjadi kontak bahasa diantaranya. Dengan demikian, faktor ekonomi juga memegang peran dalam terjadinya pergeseran BJI. 3) Sekolah/pendidikan dan Politik Mengenai banyaknya kosakata bahasa Indonesia yang masuk ke dalam BJI dapat dijelaskan karena bahasa Indonesia merupakan bahasa
130
nasional Indonesia. Selain itu, bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar di sekolah dan dinas-dinas kepemerintahan. Indramayu yang termasuk dalam wilayah administratif Jawa Barat, yang notabene mayoritas berbahasa Sunda, dapat dipastikan terjadinya kontak bahasa dengan penutur bahasa Sunda. Ditambah lagi Pemerintah Jawa Barat pernah mewajibkan para pelajar di seluruh wilayah administratifnya untuk mempelajari bahasa Sunda, yaitu melalui mata pelajaran bahasa Sunda sebagai pelajaran muatan lokal yang wajib diajarkan di sekolah (Kasim, 2013). Bahasa daerah juga turut berperan dalam terjadinya inovasi dalam BJI karena letaknya yang berada dalam satu Pulau Jawa, yaitu kurang lebih bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Bahasa Sunda dirasa sebagai bahasa yang mempunyai pengaruh cukup besar terhadap BJI karena wilayah tuturnya benar-benar berdampingan. Bahkan menurut sejarah yang berkembang di masyarakat, sebelum menjadi kekuasaan Kerajaan Mataram Baru (kerajaan yang berbahasa Jawa) dahulu Indramayu merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang dan Kerajaan Padjajaran yang berbahasa Sunda. Bahkan saat ini sisa kekuasaan Kerajaan Berbahasa Sunda tersebut masih dapat ditemui, yaitu di Kecamatan Lelea dan Kecamatan Kandanghaur, yang menggunakan bahasa Sunda—di samping bahasa Jawa—dalam komunikasi sehari-hari (periksa Nothofer, 1982; Wahya, 1995; dan Kasim, 2013).