62
90
BAB V REPRESENTASI CITRA GURU : DARI DILEMATIK SAMPAI HUMORIS
Di dalam bab ini, diuraikan citra guru dalam SIM dan SBM yang seluruhnya berjumlah tiga belas karya dengan enam novel dan tujuh cerpen. Ketiga belas karya sastra pengarang Bali tersebut dianalisis dengan menggunakan teori sosiologi sastra dan teori interteks untuk melihat representasi citra guru.
Teori sosiologi sastra
digunakan meliputi sosiologi karya sastra dan sosiologi pengarang. Kedua teori sosiologi sastra tersebut digunakan untuk melihat citra guru dalam karya pengarang Bali, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Teori interteks digunakan untuk melihat hubungan perbandingan antarkarya sastra dalam konteks sosial baik secara sinkronik (karya sezaman) maupun secara diakronis (karya berbeda zaman) . Berdasarkan teori sosiologi sastra dan teori intertekstual teridentifikasi tujuh citra guru dalam karya pengarang Bali, baik dari SIM maupun SBM, yaitu (1) citra guru yang dilematik; (2) citra guru yang lemah; (3) citra guru yang idealis-humanis; (4) citra guru sebagai agen perubahan; dan (5) citra guru yang materialis pragmatis; (6) citra guru yang peduli budaya; dan (7) citra guru yang humoris.
5.1 Guru yang Dilematik Sebelum membahas guru yang dilematik dalam karya pengarang Bali, terlebih dahulu perlu dijelaskan pengertian dilematik. Dilematik adalah bentuk adverbial dari dilema. KBBI (2002 :265) menjelaskan dilema sebagai situasi sulit yang 90
91
mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan. Mengacu pada pengertian itu, guru dilematik adalah guru yang dihadapkan pada dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan. Citra guru yang dilematik adalah citra guru ditemukan dalam SIM dan SBM. Dalam SIM, posisi dilematik
guru terlukis dalam cerpen Putu Wijaya berjudul
―Guru (1)‖ dan ―Guru (2)‖ yang diterbitkan dalam kumpulan Protes (1995) oleh PT Pustaka Utama Grafiti. Selain itu, posisi dilematis
guru, ditemukan juga dalam
cerpen berjudul ―SPP‖ (1972) dan novel Senja di Candi Dasa (2009) karya Aryantha Soethama. Dalam SBM, citra guru yang dilematik tergambar dalam cerpen ―Guru Made‖ dan novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah karya I Nyoman Manda. Novel Mlantjaran ka Sasak karya I Wayan Bhadra dan novel Bukit Buung Bukit Mentik karya Agung Wiyat S. Ardhi juga menunjukkan kecenderungan posisi dilematis tokoh guru. Posisi dilematik Arif sebagai guru dalam cerpen
―Guru (1)‖
tampak dari
kebimbangannya melaksanakan panggilan tugas mendidik dan mengajar yang selalu dekat dengan siswa dalam hubungan humanis edukatif. Dalam menjalankan tugas sebagai guru, Arif juga mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah yang mengurus
birokrasi
dan administrasi
sekolah
sehingga membuat
hubungan
komunikasinya berjarak dengan murid. Aturan birokrasi membuat
Arif terbiasa dengan sistem instruktif
yang
menilai dirinya-sendiri paling benar hingga berlaku otoriter terhadap murid-murid. Akibatnya, murid-murid pun menolak.
92
Mereka merasa cara Arif mengajar sudah kuno. Berbau kolonial. Dan kampungan. Bapak Arif bukannya mengajar, tetapi menghajar kami. Kami tidak mau disekap satu hari penuh disuruh menghapal sejarah dan ilmu bumi yang tidak ada gunanya (Wijaya, 1995: 40).
Kutipan di atas mencitrakan
jejak kolonial tampak dari penilaian murid
terhadap gurunya. Walaupun sang guru telah lama hidup di alam merdeka, jiwa merdeka
itu belum bersemayam dalam sanubarinya. Di samping itu, metode
mengajar guru yang masih kuno dengan mengadopsi gaya guru masa kolonial, mencerminkan sikap mental yang sulit berubah. Di satu sisi mengecam penjajahan, tetapi pada sisi lain justru menggunakan cara-cara kolonial untuk mendidik murid. Dalam konteks ini, guru dan murid
bukan hanya dalam konteks persekolahan,
melainkan juga dalam arti luas, orang tua di rumah (guru rupaka), pengajar di sekolah dan Perguruan Tinggi (guru pengajian), serta pemerintah (guru wisesa). Posisi guru yang dilematik dalam cerpen ―Guru (2)‖ muncul ketika anak seorang perajin janur melakukan teror mental terhadap guru yang telah membantu ibunya. Jurus sastra teror yang meledak dalam cerpen ―Guru (2)‖ ditandai oleh anak seorang guru yang terjebak dalam belitan ekonomi perajin janur. Padahal sebelumnya, orangtuanya yang seorang guru berhasil
melakukan penyadaran
terhadap perempuan perajin janur. Putu Wijaya melakukan aksi terornya tanpa pandang bulu, termasuk meneror guru yang telah menyelamatkan perajin janur. Putu Wijaya (1995:50) menulis ―… seorang anak kecil datang ke rumah Pak Guru. Ia membawa sebuah amplop berisi kuitansi bernilai lima puluh ribu. Penagihan ongkos kursus selama satu bulan yang belum dibayarnya‖
93
Umpatan pun datang dari Guru ketika anak kecil membawa amplop berisi tagihan utang itu. ―Bangsat, tidak tahu diri. Memangnya semua orang sudah rusak sekarang. Bali sudah jadi maniak uang! Ini akibatnya kalau semua didagangkan!‖ teriaknya seperti orang kesetanan (Putu Wijaya, 1995:50). Teror sebagai ciri khas gaya bertutur Putu Wijaya sebenarnya tidak hanya mendominasi prosanya, tetapi juga muncul dalam esai-esai budayanya. Teror baginya tidak berkonotasi negatif, seperti dikatakan Putu Wijaya (2001: 37), ―Sastra teror sama sekali tidak berhenti pada keadaan negatif. Ia tidak fesimistik. Sastra teror justru menyembuhkan jiwa manusia yang sakit, untuk sehat kembali menemukan kepingan-kepingannya yang berserakan, agar manusia kembali hadir utuh‖ Kutipan esai di atas mirip dengan cara Putu Wijaya (1995:51) mengakhiri cerpen ―Guru (2)‖, yang ditutup dengan kebanggaannya menjadi guru. ―Kemarahan saya tidak ada artinya dibandingkan dengan kebanggaan saya sebagai seorang guru‖. Selain cerpen Putu Wijaya, Aryantha Soethama juga menempatkan posisi dilematik guru
dalam cerpen
―SPP‖ dan novel Senja di Candi Dasa. Cerpen
berjudul ―SPP‖ berkisah tentang banyak siswa (SMA) yang belum membayar SPP, termasuk Gede Wija siswa pintar di kelas itu. Permasalahan itu membuat tokoh guru bertindak mekanis birokratis walaupun dalam hatinya berontak. ―Tiba di depan kelas, Gede Wija mengangguk pelan buat pak guru dan permisi. Guru itu kelihatan prihatin melihatnya. Gede Wija seorang yang paling pintar di antara kawan-kawannya. Guru itu tidak dapat berbuat apa. Ia hanya menjalankan tugas. Jika tugas ia lalaikan, bagaimana nanti dengan anak-anak kelas lain? Ia berniat tidak memulangkan anak-anak yang tidak membayar SPP, tapi ia sadar, melaksanakan niat itu berarti ia telah melalaikan tugas yang bisa berakibat ia dituntut oleh anak-anak yang dipulangkan guru
94
lain. Tugas telah memisahkan dan menghalanginya buat melakukan kemanusiaan‖ (Soethama,2009: 41). Kutipan di atas mencitrakan guru berada dalam posisi dilematik yang ditandai dengan berperang melawan diri sendiri. Konflik batin seorang guru kentara, antara memuluskan jalan hati nurani dan melancarkan kerja mekanis atas prosedur birokrasi sekolah. Atensi terhadap Gede Wija, anak berprestasi di kelas itu tidak hanya dilakukan oleh guru, tetapi juga mengundang empati dari teman sekelasnya, yaitu Ni Luh Putu Armini. Rasa empati Armini itu muncul tidak terlepas dari hasil didikan guru di sekolah, sebagai bentuk aplikasi pendidikan karakter. Bahkan, dalam Kurikulum 2013 hal itu diterjemahkan melalui Kompetensi Inti dalam bentuk sikap spiritual dan sikap sosial (Kompetensi Inti 1 dan Kompetensi Inti 2). Dalam konteks ekonomi, Ni Luh Putu Armini telah memberikan subsidi silang untuk Gede Wija dalam pembiayaan. Posisi guru yang dilematik juga dialami oleh tokoh guru bernama Nengah Diarsa dalam novel Senja di Candi Dasa
yang diawali oleh kisah perburuan
hilangnya lukisan Bisma Gugur di rumah Bu Rangun. Perburuan terhadap hilangnya lukisan itu dirahasiakan agar tidak dilaporkan ke polisi. Bu Rangun tidak ingin Desa Kamasan Klungkung gempar dengan hilangnya Bisma Gugur. Kamasan selama ini luput dari berita-berita yang meresahkan. Bu Rangun sesungguhnya ikhlas lukisan itu hilang, tetapi Nengah Diarsa yang seorang guru tidak rela lukisan maestro itu hilang. Bersamaan dengan hilangnya lukisan Bisma Gugur, Rereh anak Bu Rangun
95
menghilang dari rumah. Oleh karena itu, Rereh dicurigai sebagai otak di balik hilangnya Bisma Gugur. Dalam novel Senja di Candi Dasa, tergambar keterlibatan tiga tokoh yang punya kepentingan berbeda terhadap hilangnya lukisan Bisma Gugur. Bu Rangun di satu sisi mengikhlaskan hilangnya lukisan tersebut tanpa melapor ke polisi, dengan alasan menjaga keamanan Desa Kamasan dari berita-berita yang meresahkan warga. Bu Rangun pasrah karena ketuaannya ingin menjaga keamanan Desa Kamasan tetap kondusif. Di sisi yang lain, Nengah Diarsa berkepentingan untuk menyelamatkan lukisan Bisma Gugur. Sebagai guru, Nengah Diarsa memandang lukisan itu berharga sebagai warisan budaya apalagi diciptakan oleh seorang maestro. Nengah Diarsa tidak semata-mata menjadi guru dalam pengertian formal di sekolah, tetapi melampaui batas ruang kelas dengan empat tembok pembatas. Nengah Diarsa mengembangkan profesinya ke ranah sosial yang kalau dilihat dari dimensi kompetensinya telah mengaplikasikan kompetensi sosial dalam ranah kehidupan nyata. Pada saat perburuan lukisan Bisma Gugur, Nengah Diarsa juga tergoyah oleh bujuk rayu Suwitri yang menjadi Manager di Klumpu Cottage. Dengan iming-iming dolar ditambah dengan hubungan khusus Nengah Diarsa pada saat kuliah di IKIP Singaraja dengan Suwitri, maka tergoyahlah profesi Nengah Diarsa sebagai guru. Dengan berat hati, Nengah Diarsa mengajukan permohonan berhenti jadi guru SMA, lalu menuruti tawaran Suwitri untuk menjadi manager Klumpu Cottage. Bekerja sebagai manager tidak membuatnya nyaman, senyaman ketika menjadi guru. Dari profesi sebagai manager inilah, Nengah memperoleh tugas untuk membuat brosur untuk promosi Klumpu Cottage.
96
Maka datanglah Nengah ke Percetakan Prasasti di Denpasar. Secara kebetulan ada orang yang juga membuat promosi di percetakan prasasti dengan menggunakan lukisan Bisma Gugur sebagai folder. Dari sinilah lantas muncul ide kembali memburu lukisan Bisma Gugur yang telah lama dilupakan (Soethama, 2009: 124).
Kutipan di atas menegaskan profesi jasa pariwisata telah berhasil menggoda guru dengan iming-iming penghasilan lebih daripada profesi guru. Hal ini menandakan betapa kuatnya faktor dan motivasi ekonomis (Azra, 2004: 355). Oleh karena itu, selain mencitrakan kematangan sosial, Nengah Diarsa adalah guru yang labil ketika berhadapan dengan perempuan dan uang. Labilitas Nengah Diarsa sebagai guru akibat godaan kaum kapitalis yang merupakan ancaman krisis identitas, antara mengejar uang demi kebutuhan hidup dan memperjuangkan idealisme (Suardana, dkk.(ed).2011: 121). Gambaran tokoh guru seperti Nengah Diarsa yang ditampilkan oleh pengarang dalam Senja di Candi Dasa mencitrakan tiga hal. Pertama, Nengah Diarsa tokoh guru yang peragu, tidak cepat mengambil keputusan, dan terkesan lambat bertindak.
Kedua, sebagai guru Nengah Diarsa juga tergoda wanita dan uang
sehingga terperangkap pragmatis. Ketiga, Nengah Diarsa adalah sosok guru yang ingin bekerja keras dan tuntas. Hal itu ditunjukkan pada saat memburu lukisan Bisma Gugur sampai kembali. Citra guru yang dilematik juga menonjol dalam SBM terutama dalam karya I Nyoman Manda, baik cerpen maupun novelnya. Dengan mencermati novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah, cerpen ―Guru Made‖, dan biografi I Nyoman
97
Manda dapat diduga bahwa realita pengalaman pengarang menjadi pijakan dalam berkarya. Kedua karya I Nyoman Manda ini menjadikan guru sebagai tokoh utama. Novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah terinspirasi dari hubungan intens pengarang dengan STA sebagaimana dituturkan I Nyoman Manda dalam wawancara di rumahnya, di Gianyar (27 Desember 2013). Berbeda dengan cerpen ―Guru Made‖ yang terinspirasi oleh tugas sebagai guru di SMA yang dihadapi dengan dilematis, antara membangun empati dengan siswa di balik kekurangan yang melekat dan melaksanakan tugas sebagai guru mengamankan prosedur birokrasi yang formal. Memilih satu di antara dua pilihan itu, Made Warsa bagaikan makan buah simalakama. Dalam novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah dilema dipicu oleh kisah cinta antara guru dengan guru (guru pengajian) dan murid dengan murid. Dilema dalam cerpen ―Guru Made‖ dipicu oleh hubungan profesi guru dengan murid dalam konteks birokrasi dan hubungan interpersonal guru (guru rupaka) dengan anaknya sendiri yang juga sebagai murid, terkait dengan pembiayaan pendidikan. Dilema kisah cinta dalam Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah dipicu oleh siswa SMU yang terlibat cinta segitiga antara Putra, Arini, dan Suwitri serta hubungan cinta dua guru muda dari SMU Sukawati, yaitu Pak Sukata sebagai guru kelas dan Bu Wartini sebagai guru apresiasi sastra. Hubungan mereka
bagaikan
makan buah simalakama. Pemicunya, mereka sama-sama berstatus sebagai anak tunggal. Pak Sukata dan Bu Wartini adalah dua guru yang saling jatuh cinta dan samasama bersatus sebagai anak tunggal yang tidak menginginkan keluarganya putung
98
(terputus0 sedangkan cintanya pada Pak Sukata juga tidak ingin dilepas. Dalam suasana cinta yang dilematis itulah, mereka menjadikan kegiatan kemah Pramuka SMU Sukawati selama tiga hari di Toyobungkah sebagai jalan untuk menenangkan hati. Hal ini mengingatkan pada kumpulan sajak STA Perempuan di Persimpangan Zaman (1980)
yang dilengkapi dengan foto yang ditarikan di Balai Seni
Toyobungkah Danau Batur oleh penari Ni Made Ratnawati yang tubuhnya diikat selendang panjang warna merah muda dan Nyoman Sugita dengan kampuh (secarik kain yang dipakai dalam rangkaian pakaian adat oleh pria sebagai penutup kain panjang yang dipakainya) yang terikat pula. Gambaran ini menyiratkan adanya kebebasan ekspresi cinta yang terungkap di tepi Danau Batur, tetapi terikat oleh pakem adat dan tradisi sebagai anak tunggal yang diniatkan mewariskan keturunan. Judul novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah
merepresentasikan
kegagalan cinta Pak Sukata dengan Bu Wartini dan kegagalan cinta Arini dengan Putra. Pak Sukata, Bu Wartini, dan Arini adalah anak semata wayang sehingga bagi keluarganya mereka diharapkan menjadi penerus keturunan. Dalam tradisi adat di Bali, pantang bagi keluarga dengan anak tunggal kawin ke luar bagi perempuan sehingga kalau kawin pihak laki-lakilah yang diharapkan menetap di rumah mempelai perempuan. Kawin model ini disebut nyeburin atau nyentana. Kaler (1983:59) mengulas kawin nyeburin ini dengan melacak etimologi kata dikaitkan dengan hukum kekeluargaan atas dasar aturan dan garis kapurusan, patriarkhat dan sekaligus pula patrilineal, atau aturan dasar dan garis kebapaan. Kawin nyeburin ini identik dengan nyentana. Kamus Bali - Indonesia (1978 : 519)
99
mendeskripsikan nyentana sebagai merelakan diri untuk dijadikan anak angkat. Dalam kondisi demikian, sang suami tidak ubahnya berstatus anak angkat yang akan meneruskan keturunan dari pihak keluarga perempuan sehingga sentana rajeg diperlakukan. Kaler (1983:138) menjelaskan santana rajeg terjadi manakala suamiistri tidak melahirkan anak laki-laki, hanya melahirkan anak wanita, lebih-lebih hanya seorang putri. Secara keagamaan dan hukum, si istrilah yang berkedudukan purusa dan sang suami selaku pradana. Tujuannya adalah mengukuhkan posisi perempuan yang lemah melalui proses perkawinan nyeburin selaku rajeg-nya. Singkatnya, santana yang lemah diberi rajeg supaya kokoh. Fakta
itu berkaitan dengan Hukum Kekeluargaan Umat Hindu yang
menganut sistem kapurusan dalam istilah sosiologi sering disebut patrilinial. Kaler (1983: 137) memaknai sistem kapurusan sebagai pertalian seseorang dengan keluarganya bertitik berat kepada garis ayah (purusa) lanjut kakek (ayahnya ayah), dan seterusnya serta tidak memperhitungkan ke jurusan garis ibu. Laki-laki dinilai jauh lebih penting daripada saudara perempuan, dalam kaitannya sebagai pemikul dharma menunaikan pitra-puja (pemujaan dan tanggung jawab terhadap leluhur), yang diiringi dengan hak dapat menerima harta warisan, mempergunakan dan mengamong ‗memuja dan bertanggung jawab‘ terhadap barang-barang pusaka. Dilema cinta yang dialami oleh Nyoman Arini dengan Made Putra juga dialami oleh sepasang guru muda SMU Sukawati, Pak Sukata dan Bu Putu Wartini yang sama-sama anak semata wayang. Hal itu tampak dari percakapan antara Bu
100
Wartini dan Pak Sukata di tepi Danau Batur ketika anak-anak SMU Sukawati melaksanakan perkemahan. “Tiang pianak luh padidi,” masaut Ibu Wartini. “Yah tiang nawang, tiang masih padidi keweh rasane tiang lakar ka umah Tu.” … “Yening iraga malaib,” Wartini matingalan joh ka tengah danune. “Yen tiang tusing ada apa sujatine keneh tiang ane kene dot orahang tiang teken Putu,” Sukata mukak pucung aqua ane gisianga teken Ibu Wartini. “Yen prade ento ane laksanyang patuh teken tiang ngematiang rerama,” Wartini tusing nyidayang ngengkebang sebetne. Yeh paningalane ngembeng-ngembeng. “Yen prade iraga mabelasan turmaning Tu nganten ngajak misane apa ane patut orahang tiang ento suba titah Widhi,” Sukata nguntul cara ngomong ngajak bias ane sambrag jejeka. Kerana ia nawang laksana ane paling luung jalananga teken Wartini tuah mula nuutin munyin rerama. Umah gede sanggah gede keto masih tatakan umah carik linggah-linggah. Anak ane nyidayang nyemakang gegaen di umahne patut ane ada iketan kulawarga. (Manda, 2002 :27). Terjemahannya: ―Saya anak perempuan sendiri,‖ kata Ibu wartini. ―Yah, saya tahu, saya juga sendiri sehingga sulit rasanya kawin ke rumuah Tu.‖ … ―Kalau kita kawin lari,‖ Wartini menerawang ke tengah danau. ―Kalau saya sejatinya tidak mau membuka persoalan ini di hadapan Putu,‖ Sukata membuka botol aqua yang dipegang Wartini. ―Kalau itu dilaksanakan sama saja saya membunuh orangtua,‖ Wartini tidak bisa menyembunyikan sedih hatinya. Air matanya berlinang. ―Kalau kita berpisah dan Tu kawin dengan sepupu, apa yang patut saya sampaikan itu sudah titah Sang Hyang Widhi,‖ Sukata merunduk seperti berbicara dengan pasir tak terasa diinjak. Sebab ia tahu tindakan yang paling baik diambil oleh Wartini adalah menuruti kata orangtua. Rumah, tempat suci, dan tanah yang luas. Yang patut mewarisi adalah yang memilki ikatan keluarga. Kutipan di atas juga menyiratkan pilihan cinta yang dilematis antara
101
Pak Sukata dan Ibu Wartini, sebagai konsekuensi logis dari anak (perempuan) tunggal yang terikat oleh adat dan tradisi. Walaupun sempat terpikir untuk kawin lari, ia sudah memikirkan dampaknya, tidak ubahnya membunuh orang tua sendiri. Dikaitkan dengan cara perkawinan orang Hindu di Bali, solusi kawin lari yang ditawarkan Wartini dalam istilah perkawinan disebut
ngrorod. Kaler (1982: 49)
menyebutkan dengan istilah ngrangkat, ngerangkat, merangkat, melayat (ngelayat). Tatacara perkawinan ngrangkat ini bukanlah berarti bahwa gadis Bali itu murah apalagi murahan sebagaimana orang luar menilainya, melainkan mereka yang kawin ngrangkat ini memenuhi syarat sebagaimana orang kawin pada umumnya. Syarat cukup umur, tidak sedang dalam ikatan perkawinan, didasarkan atas suka sama suka antarkedua belah pihak, tidak berhubungan keluarga yang terlarang untuk kawin. Lebih lanjut, Kaler (1982: 50) menegaskan tatacara kawin dengan ngrangkat mengikuti mekanisme tertentu. Pertama, pasangan pengantin yang kawin tidak diperkenankan untuk langsung pulang ke rumah mempelai laki-laki, tetapi minimal tiga hari mereka menumpang di rumah pihak ketiga dengan jaminan keamanan dan kenyamanan. Kedua, pihak pria pada saat itu juga harus mengirim utusan ke rumah mempelai wanita untuk memberitahu pengrangkatan kepada orangtua pihak wanita. Utusan pihak laki-laki biasanya prajuru banjar atau prajuru desa dengan sebutan yang berbeda. Ada yang menyebutnya pajati, pengelukuan, tudtudan, dan pamalaku. Begitulah birokrasi adat yang harus dilalui andaikata Bu Wartini memilih kawin lari dengan Pak Sukata.
102
Sebagai seorang guru, baik Pak Sukata maupun Bu Wartini paham betul adat dan agama Hindu yang menyatu dalam kehidupan masyarakat Bali perlu ditegakkan. Oleh karena itu, untuk urusan kawin bagi mereka dari anak tunggal, mereka menyerah kepada kuasa adat. Ini mencitrakan Bu Wartini dan Pak Sukata adalah sosok guru yang memelihara tradisi dan adat- istiadat terkait dengan kewajiban menjaga kesinambungan proses pewarisan budaya dalam arti luas. Sebagai guru, mereka tampak setuju keluarga mereka tetap beregenerasi tidak putung (putus). Persetujuan itu ditunjukkan dengan sikap kompromi di antara keduanya walaupun mereka saling mencintai. Keweh baan tiang sawireh reraman Tune suba incep kenehne buina iraga suba nawang adat iragane di Bali kukuh pesan purusa bakal nyerempet ka sorohan ka soroh kulit. Tiang anak joh ajak Putu,” munyin Sukata. “Wi tusing ngelah kewanenan anggon ngelawan wicarane ane lakar nyengkalen iraga”. “Prade iraga ngelawan mimis ane suba makire pesu ento adane mati nyerahang dewek tur dadi kakedekan,” mesaut Sukata. “Wi tonden kenken-kenken suba ngelah rasa takut.” “Teken wicarane ane buka kene mula tiang tusing bani.” “Nah depang suba,” makadadua nerawang joh ka tengah danune. (Manda, 2002 : 28). Terjemahannya : Sulit bagi saya sebab orang tua Putu Wartini sudah memastikan, apalagi kita tahu adat di Bali kokoh sekali dengan garis purusa ‗laki-laki‘ yang menyerempet ke soroh (warna). Saya kan jauh dari keluarga Putu,‖ ketus Sukata. ―Wi, tidak punya keberanian sedikitpun untuk melawan wacana yang mematikan kita ini‖. ―Andai kita melawan, peluru siap diledakkan. Itu artinya menyerahkan diri dan akan menjadi bahan tertawaan,‖ sahut Sukata. Wi, belum apa-apa sudah merasa takut.‖ ―Dengan wacana seperti ini saya tidak berani.‖ ―Nah biarlah sudah,‖ pikiran mereka berdua menerawang ke tengah danau.
103
Sikap Pak Sukata dan Bu Wartini patut diapresiasi. Pertama, kerasnya perlawanan guru perempuan sebagai wujud emansipasi, walaupun pada akhirnya menyerah. Perlawanan sejenis juga dilakukan oleh Dayu Priya sebagai seorang intelektual dalam novel Mlantjaran ka Sasak, yang juga berakhir dengan keputusan laki-laki (ayah). Setidaknya, sebagai guru perempuan, Wartini menunjukkan diri tidak mau menyerah sebelum mencoba untuk berjuang. Baso (2005:3) menegaskan sudah saatnya kaum perempuan membebaskan diri dari cengkraman ruang publik dengan melakukan resistensi dari dalam ruang privat, dari ruang domestik, terhadap kolonial. Bagi Wartini aturan adat tidak ubahnya kaum kolonial yang membelenggu. Kedua, guru laki-laki yang tidak berani melawan adat yang membahayakan posisinya, lebih dimaksudkan agar tidak terjadi gejolak. Guru laki-laki dicitrakan sebagai juru damai yang mengedepankan keharmonisan. Pilihan untuk tunduk pada orangtua yang menentukan jodoh untuk anaknya, sebagai titah Sang Hyang Widhi, merupakan bentuk kediktatoran yang positif, dalam arti melanjutkan keturunan mewariskan kebudayaan. Dewantara (1994: 28) dalam tulisannya berjudul ―Menyehatkan Turunan‖ dengan subjudul ―Bibit- Bebet- Bobot‖ menyebutkan sudah barang tentu yang berkewajiban menertibkan pilihan itu ialah orangtua bakal mempelai masing-masing. Meskipun yang akan kawin itu sebagai manusia harus mendapatkan kemerdekaan secukupnya.
Akan tetapi, orangtuanya sebagai
―penasihat-penasihat‖ tidak boleh dilalui dan harus memberi nasihat sebanyakbanyaknya, asalkan jangan memaksa.
104
Betapa peliknya perkawinan ketika cinta harus memilih antara kemerdekaan memilih dan tuntutan mengokohkan tiang keluarga dengan Santana rajeg terutama bagi pasangan dari latar belakang anak tunggal. Berbeda dengan perkawinan pada umumnya, dengan calon mempelai wanita menetap di rumah calon mempelai lakilaki, yang biasa disebut kawin keluar. Kaler (1982: 137) mendeskripsikan kawin keluar merupakan istilah yang dijulukkan kepada wanita yang kawin pada umumnya. Dalam perkawinan tersebut keluarlah sang wanita itu secara hukum dari ikatan purusa keluarga semula. Walaupun demikian, wanita yang kawin ke luar tetap diperkenankan untuk melakukan pitra-puja di rumah asal, tetapi tanggungjawab terhadap pembiayaan dan perbaikan tempat pemujaan tidak bersifat mengikat. Sebenarnya, dilema cinta antara Bu Wartini dan Pak Sukata dalam novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah karya I Nyoman Manda mirip dengan cinta tidak sampai tokoh Made Sarati dengan Dayu Priya dalam novel Mlantjaran ka Sasak, dan tokoh Gungde Ambara dan Luh Triprayatni dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik karya Agung Wiyat S.Ardhi. Pada novel Manda dan Agung Wiyat, dilema cinta dipicu oleh status anak tunggal bagi tokoh guru yang saling jatuh cinta, dalam Mlantjaran ka Sasak
dilema
dipicu oleh perbedaan kasta. Walaupun
demikian, ketiga novel ini sarat dengan perjuangan gerakan emansipasi wanita dan perlawanan terhadap adat dan tradisi. Kesamaan lain antara tokoh-tokoh guru dalam ketiga novel itu adalah kesediaan mereka untuk memperkuat budaya Bali walaupun bersekolah dan merantau ke Jawa. Para tokoh guru itu menerjemahkan pendidikan dan pergaulan modern
105
sebagai wahana memperkuat jati diri ke dalam dengan mengadaptasi kemajuan luar (Barat). Para guru direpresentasikan lentur menerima perubahan dengan tidak mempertentangan kepentingan budaya lokal, nasional, dan internasional. Tokoh guru digambarkan sebagai agen perubahan yang berada di garda depan pelaksanaan revolusi mental sesuai dengan program Presiden Jokowi. Jika mencermati Dayu Priya sebagai seorang wanita Bali, ia termasuk wanita Bali modern. Modernitas Dayu Priya tidak terlepas dari sokongan orangtuanya di samping tekad kuatnya untuk belajar sebagai bekal hidup. Dengan memerhatikan tahun terbit Mlantjaran ka Sasak (1935-1939), Dayu Priya adalah simbol perempuan pendobrak untuk meraih mimpi-mimpinya melalui jalur pendidikan. Namun, Dayu Priya tetap takluk pada titah orangtuanya. “Apa malih pidan, De… Oo, Yang lakar ambil Ida? Bin pidan ja ajin yange ngandikaang yang mamanjak ka Geria Sunia. Yang ngasen dewek luh, apa ajin anake luh di Bali, oo De? Yang sing bani langgia teken ajin yange. Aduh, De sapalaan yang dadi jelma lacur di paundukan. Nasi ada gamgam, pipis ada gamgam, paundukane nyitsit ati. Pupusuh yange satata buka empos, De! Yang ukuh sing nyak, tawang De! Ukana yang macebur uli kapale, ugase ajak Made apa? Ugase yang sing maan kamar apa, makasur di deg… masih Made ngebag yang. Mara ibine yang pakilingida” (Srawana,1978: 110). Terjemahannya : ―Apa, lagi berapa hari, De… Oo, saya akan segera diambil. Tergantung ayah memutuskan saya mengabdi ke Geria Sunia. Saya merasa sebagai perempuan Bali tidak punya harga, oo De? Saya tak berani melawan titah ayah. Aduh, biarkanlah saya jadi manusia yang dilacurkan dalam hukum tradisi. Soal nasi, uang tidak ada masalah, tetapi adat dan tradisi begitu kejam menyayat hati. Jantung saya seperti mau copot, De! Saya maunya menolak, De! Saya mau melarikan diri bersama Made? Ketika saya tak dapat kamar di kapal dalam perjalanan ke Lombok…. Tetapi Made tetap setia menjaga saya. Sehari
106
sebelumnya diingatkan ayah agar kawin dengan Ida Kade Ngurah dari Geria Sunia‖. Walaupun Dayu Priya mendapat pendidikan modern sampai ke Jawa, akhirnya, tidak mampu menolak adat dan tradisi. Ia tidak mampu menolak lelaki pilihan ayahnya. Pilihan ayahnya adalah Ida Kade Ngurah, yang masih ada hubungan pertalian darah. Oleh karena itu, pada zaman perang, orangtua jarang yang mau menyekolahkan anak perempuannya.
Darma Putra (2010: 6) mengatakan,
―Masyarakat enggan mengirimkan anak-anak perempuan mereka ke sekolah dengan pandangan bahwa wanita pada akhirnya menjadi ibu rumah tangga, bukan menjadi pejabat pemerintah.‖ Dayu Priya sesungguhnya telah melakukan perlawanan dengan belajar sampai ke Jawa, bahkan ingin melanjutkan sampai ke Belanda. Ia meniatkan kesetaraan laki dengan perempuan. Dalam pilihan hidup, ia ingin merdeka dengan pilihannya. Ia menjadi pejuang emansipasi. Cita-cita emansipasi Dayu Priya setara dengan cita-cita Tuti dalam Layar Terkembang karya STA. Baik Dayu Priya maupun Tuti merupakan tokoh dalam novel yang menjadi pelopor gerakan feminisme di Indonesia. Ratna (2004: 186) menyebutkan bahwa feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki, subjek sebagai ego-sentrik (menggunakan pikiran-pikiran), sementara wanita sebagai hetero-sentrik (untuk orang lain). Perjuangan
emansipasi Dayu Priya
baru sebatas cita-cita. Belum dapat
diaplikasikan sesuai dengan ilmu yang didapat di bangku sekolah.
107
“Lacur sajaan i raga dadi jelma luh di Bali, oo, De! Anggona gagendingan sangkala, sangkal lacur dadi jelema luh. I Meme nyayangang … I Bapa medpedang mati…!” (Srawana, 1978: 111). Terjemahannya : ―Sial sekali kita menjadi wanita Bali, oo, De ! Dipakai nyanyian sedih, sial sebagai wanita. Ibu menyayangi… Bapak mendoakan agar meninggal…!‖ Jika
novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah bertema percintaan,
maka cerpen ―Guru Made‖ bertema dilematis pendidikan. Kesamaan kedua kisah dihubungkan dengan kehadiran tokoh guru yang sama-sama dilematik. Tokoh Guru Made Warsa dalam cerpen ―Guru Made‖ selain berkisah tentang dilema ekonomi, juga melukiskan kehidupan keluarga guru yang sederhana. Kesenjangan antara alat transportasi guru yang ketinggalan zaman dan tidak bisa menyekolahkan anak dengan alat transportasi siswa yang mewah. Kondisi demikian membuatnya dilematik ketika mengintrogasi dua anak di kelasnya, yakni I Kanta dan Ni Mundel yang sudah tiga bulan tidak membayar SPP. Namun, niat kedua anak ini bersekolah tinggi sehingga mereka berjibaku melawan kerasnya penderitaan sambil bekerja dengan harapan dapat menyelesaikan sekolah, walaupun ayahnya sudah meninggal sejak dua tahun. “Tiang dot masuk Pak, nanging tiang sing ngelah pipis, tiang ngandelang upah negen/ngajang paras duen.” Artinya: Saya ingin sekolah, Pak. Namun, tidak punya uang. Saya mengandalkan upah kuli batu padas saja.‖. Pengalaman Guru Made Warsa menasihati I Kanta dan Ni Mundel ternyata menimpa dirinya sebagai guru pengajian (pengajar di sekolah) sekaligus sebagai guru rupaka (orang tua) bagi anak-anaknya di rumah. Hal itu tampak pada anaknya
108
kedua yang kuliah di Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana juga susah
membayar SPP, sewa rumah, dan biaya bulanan. Walaupun Guru Made Warsa sudah menginterogasi I Kanta dan Ni Mundel, itu semata-mata karena tugasnya sebagai wali kelas. Dalam hati, ia kasihan kepada I Kanta dan Ni Mundel, seraya interospeksi diri. “…lamun jatine, pedalema I Kanta jak Ni Mundel, karana ulihan maburuh negen/ngajang paras ia masuk SMA.”
Artinya : ―… namun, sejatinya, ia kasihan
pada I Kanta dan Ni Mundel, karena berkat menjadi kuli paras, ia masuk SMA.‖ Rasa kasihan Guru Made Warsa itu diulang sampai tiga kali dalam kisah cerpen. Ini menunjukkan, betapa empatinya kepada anak yang kurang mampu, apalagi yang berstatus anak yatim. Pertama, ketika mengintrogasi I Kanta terkait keterlambatannya membayar SPP sampai tiga kali. “Yen Bapak ngicen benjang tiang bakal nyilih dumun sig mekel tiange bakal orahang tiang terus terang bakal anggo mayah SPP,” I Kanta mameles ngidih tulung teken guru Made Warsa apang baanga tempo buin awai duen” “Kewala sekenang apang sing Bapak buin uyuta teken Bapak Kepala Sekolah,” Guru Made sada keras masi mamunyi nanging lamun jatine pedalema I Kanta kerana uli maburuh negen paras ia masuk SMA.
Terjemahannya : ―Kalau Bapak mengizinkan, saya akan meminjam dulu dengan bos seraya menyampaikan dengan terus terang untuk keperluan membayar SPP,‖ I Kanta memelas mohon bantuan kepada Guru Made Warsa supaya memberikan tempo lagi satu hari. ―Akan tetapi pastikan agar Bapak tidak dimarahi oleh Bapak Kepala Sekolah,‖ Guru Made dengan intonasi marah tetapi di dalam hatinya kasihan pada I Kanta karena tekadnya bersekolah yang luar biasa hanya dari kuli angkut batu padas.
109
Kutipan di atas memberikan petunjuk bahwa
Guru Made
Warsa
sesungguhnya peduli kepada siswa yang lemah secara ekonomi tetapi memiliki tekad kuat untuk maju melalui jalan pendidikan. Guru Made Warsa ingin mengajak anakanak bersungguh-sungguh memegang janji terkait pelunasan SPP. Kedua, ketika memanggil Ni Mundel yang juga menunggak SPP. “Ping kuda Bapak suba manggil awake baan unduk SPP luungan suba suud awake masuk apang sing je gene kene duen urus bapak ene sekolah negeri ada peraturane,” Ni Mundel nguntul duen ngeling ngepes yeh paningalan. Nanging sebet ia nepukin muridne ngeling. Ia inget teken pianakne. Terjemahannya : ―Berapa kali bapak sudah memanggil kamu soal SPP yang belum dibayar. Lebih baik kamu berhenti saja sekolah, biar tidak mengurus murid begini, apalagi ini sekolah negeri ada aturannya,‖ Ni mundel merunduk sambil menangis berlinang air mata. Akan tetapi, ia sedih melihat muridnya menangis. Ia ingat dengan anaknya. Kutipan di atas juga mengusik hati Guru Made Warsa yang tiba-tiba ingat kepada anaknya yang juga susah membayar SPP. Hal ini berarti bahwa ketika guru menasihati muridnya, sesungguhnya ia sedang menasihati dirinya sendiri. Ketiga, ketika murid-murid datang ke rumah Guru Made Warsa beramairamai. “Puniki Pak, I Kanta ajak Ni Mundel jeg nyeh duen tuni duken pak baana sing mayah SPP,” Ketua Kelase mahbah ngomong. Ngudiang ento sangetang. Ento tugas Pak dadi wali kelas apang kelase tertib inget teken kewajiban tur apang ajak makejang salunglung malajah nuju cita-cita,” ia nyumunin nuturin muridmuride. Terjemahannya :
110
―Begini Pak, I Kanta dengan Ni Mundel takut sekali karena Pak marahi tadi pagi akibat tidak bayar SPP,‖ Ketua Kelas mulai berbicara. ―Mengapa itu diambil hati. Itu tugas Pak sebagai wali kelas supaya kelas tertib ingat dengan kewajiban agar semua belajar mewujudkan cita-cita,‖ ia memulai menuturkan murid-muridnya. Kata-kata kasihan yang diucapkan oleh Guru Made Warsa sampai tiga kali menunjukkan ia adalah guru yang cepat tersentuh oleh keadaan yang dialami oleh murid-muridnya. Rasa empati dengan intensitas demikian, muncul karena dialami oleh anak-anak Guru Made Warsa, yang susah membiayai pendidikan di Perguruan Tinggi. Tentu saja, dalam konteks ini, Guru Made Warsa selain berada pada posisi dilema, juga dalam posisi ironi. Dilema antara tugasnya sebagai guru di bawah Kepala sekolah dengan realita yang dialami sendiri dan murid-muridnya yang kurang beruntung secara ekonomi. Ironi karena pada saat mengintrogasi I Kanta dan I Mundel, Guru Made Warsa seakan-akan tidak kurang suatu apa pun di rumahnya. Padahal, ia sebagai guru dengan gaji pas-pasan dan berhutang di sana-sini. Muridnya juga mengetahui kondisi ekonomi gurunya pada saat mereka berkunjung ke rumah Guru Made Warsa. Gambaran guru yang demikian ideal nan indah di kertas gambar dengan aneka warna, walaupun dalam kenyataannya medan gambarnya ada yang bopeng tidak tersapu secara komprehensif oleh cat. Ibarat foto guru, tidak seindah warna aslinya. Nasib Guru Made Warsa sejalan dengan nasib guru dalam puisi Hartojo Andang Jaya yang berjudul ―Dari Seorang Guru kepada Murid-Muridnya‖. Sesuai pula dengan sindiran Iwan Fals dalam lagu ―Guru Umar Bakri‖. Kebersahajaan
111
Guru Made Warsa tampak dalam penggunaan sepeda motor tahun tujuh puluhan dengan pakaian lusuh yang warnanya makin kabur seakan menggambarkan kisah guru yang nasibnya tidak jelas. “Murid-muride pada matolihan merengang kipekane, ada miriban nolih gorden pintune ane suba lusuh. Ada miriban nolih luhne ajak pianakne ane sedeng ngulet tepung nyisir gula bali. Baane nepukin buka keto lantas ia nuturang paukudane jumahne masi ngalih tambahan ngadep jaja apang nyidaang nyekolahang pianakne…” Terjemahannya : ―Murid-murid saling menoleh, tanpa sengaja ada yang menoleh korden pintu yang sudah lusuh. Ada juga menoleh ke istri dan anak Pak Guru yang sedang sibuk membuat adonan dari tepung dan gula. Karena disaksikan murid-murid seperti itu, ia lantas menuturkan keadaan sesungguhnya bahwa di rumah juga mencari penghasilan tambahan dengan menjual kue kecilkecilan demi sekolah anak-anaknya‖.
Paragraf di atas melukiskan guru susah hidup untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Darmaningtyas (2008:197) menyebutkan secara kualitas masalah pelik yang dihadapi guru, meliputi
profesionalisme, perilaku buruk guru, kesejahteraan,
diskriminasi, dan lain-lain. Dalam kaitannya dengan tokoh Guru Made Warsa, masalah yang dihadapi adalah masalah kesejahteraan. Akibatnya, guru nyambi di sana-sini. Dampaknya, ia tidak sempat mencurahkan tenaga, pikiran, dan waktu secara optimal yang pada giliran akan mengganggu profesionalisme. Menurut Suardana, dkk. (2011: 112), kegiatan mencari penghasilan tambahan yang dilakukan guru adalah bentuk perlawanan terhadap kekuasaan negara. Pola perlawanan bisa beragam mulai dari melakukan pekerjaan sesuai dan tidak sesuai dengan profesi, grundelan, perlawanan intelektual, dan perlawanan secara prontal.
112
Dalam cerpen ―Guru Made‖, tokoh Guru Made Warsa melakukan perlawanan dengan melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya. Sebagai guru honorer, ia juga membantu istri menyiapkan barang dagangan yang dijual ke warung-warung untuk menambah penghasilan keluarga. Harapannya dapat mengatasi keuangan keluarga terutama dalam menyukseskan pendidikan anak. Perlawanan yang dilakukan oleh Guru Made Warsa tergolong humanis karena tidak meninggalkan tugas dan tidak melacurkan diri sebagai guru. Ia tetap ke sekolah dengan bersahaja walaupun muridmuridnya bermobil mewah. Ia berjuang menahan nafsu atas keadaan ekonomi yang terbatas. …Ia tuun lawut nyumunin nyetater. Gerut-gerut ia nyetater sing nyak hidup-hidup. Telah nyerecet peluhne pesu apa buin basangne seduk. Miriban busine kotor. Ia mukak sadel motorne. Ada montor sedan baru teka uling kelod lantas mareren. “Napine usak,Pak?” muride negakin sedan baru mareren matakon. “Miriban busine.” “Tulungin tiang,Pak?” (Manda, 1995 :4). Terjemahannya : … Ia (Guru Made Warsa) turun lalu kembali menyetater sepeda motor. Berulang-ulang ia nyetater, tidak mau hidup. Keringatnya bercucuran, selain lapar yang tak tertahan. Sepertinya, busi kotor. Ia membuka sadel motornya. Bersamaan dengan itu, mobil sedan baru datang dari arah selatan berhenti. ―Apanya rusak,Pak?‖ murid yang menaiki sedan baru itu bertanya. ―Mungkin businya.‖ ―Apa perlu saya bantu, Pak?‖ Dialog antara guru dan murid dalam cerpen ―Guru Made‖ karya Nyoman Manda di atas menggambarkan hubungan yang paradoksal. Di satu sisi berjuang dengan semangat dan bersahaja, di sisi lain dihadapkan kepada kemewahan yang dipamerkan oleh siswa. Hal itu juga menggambarkan guru lemah secara ekonomi
113
tetapi sering secara idealis memberikan petatah-petitih di hadapan murid yang berkecukupan. Rendahnya gaji yang diperoleh guru tidak saja membuat guru bersandiwara kepada para siswa di sekolah, sebagaimana ketika Guru Made Warsa mengintrogasi Ni Mundel dan I Kanta ketika tidak mampu membayar SPP, tetapi juga membuatnya bersemangat dan bekerja keras, tanpa penyesalan. Idealisme guru di depan kelas dan ketika dihadapkan dengan realita di rumah guru menjadi hambar. Jika guru adalah wakil pemerintah (guru pengajian) janganjangan idealisme semu ini telah dijadikan topeng untuk menakuti rakyat. Dalam konteks ini, ciri manusia Indonesia ditemukan hipokrit seperti dikatakan Mohtar Lubis (2004:172) sebagai pertanggungjawaban moral. Di sinilah pertanggungjawaban moral sebagai guru bangsa dipertaruhkan. Sejak awal masa kemerdekaan Indonesia sesungguhnya kehidupan dan profesi guru tidak banyak berubah hingga memasuki awal abad ke-21. Regulasi tentang guru dibuat, tetapi terkesan memberatkan tugas guru dan cenderung birokratis, padahal di hadapan guru terdapat jutaan siswa yang menunggu kasih sayangnya menyambut masa depan.
5.2 Citra Guru yang Lemah Citra guru yang lemah dalam pembahasan ini mengacu pada pengertian tidak kuat, tidak bertenaga, tidak tegas dalam mengambil keputusan. Dalam konteks ini, guru tidak kuat mengacu pada tidak kuat secara ekonomi, sosial, dan kultural. Citra guru demikian ditemukan dalam SIM dan SBM. Dalam SIM, muncul dalam cerpen
114
―Guru‖ (2001) dan novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya. Citra guru yang lemah ekonomi dalam SBM, dikisahkan dalam novel Mlantjaran ka Sasak, Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang, cerpen ―Guru Made‖. Kesamaan cara pengarang SIM dan SBM dalam merepresentasikan kelemahan guru dalam karya-karyanya menunjukkan hubungan interteks secara intratekstual dan paratekstual (Kutha Ratna, 2005: 217). Hubungan intratekstual adalah hubungan antarteks dalam karya penulis tunggal seperti tercermin dalam cerpen ―Guru‖ dan novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya. Hubungan paratekstual terepresentasi melalui hubungan antara teks sastra dengan teks sosial. Hubungan paratekstual dalam karya Putu Wijaya merupakan
perwujudan karya
sastra sebagai dokumen sosiobudaya (Damono,1971: 1; Sumardjo,1982: 12; Yunus, 1986: 3). Putu Wijaya dalam cerpen-cerpen dan novelnya menggambarkan tokoh guru yang (di-) lemah (-kan). Istilah (di-) lemah (-kan) mengacu pada dua makna yang berbeda, guru yang pada awalnya memang lemah dan guru sengaja dilemahkan (oleh pihak luar). Cerpen ―Guru‖ dengan tokoh Taksu mirip dengan sosok Sunatha dalam novel Tiba-Tiba Malam. Sunatha sebagai guru yang lemah secara ekonomi dan impoten, sedangkan Taksu tidak saja dilemahkan menurut ukuran ekonomi tetapi juga dilarang oleh orangtuanya mempunyai cita-cita sebagai guru. Alasannya, guru itu susah hidupnya. Profesi guru itu gersang. Gajinya kecil.
115
―… cita-cita harus tinggi, Taksu. Masak jadi guru? Itu cita-cita sepele banget. Itu namanya menghina orangtua. Masak kamu tidak tahu. Mana ada guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dolar. Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau PR. Kenapa kamu bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer, dan biaya untuk sekolah sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan tenang dengan otak dingin!‖ (hal. 6). Kutipan ini mencitrakan orang tua yang tidak menginginkan anaknya menjadi guru. Lebih-lebih
memunyai otak yang cerdas tidak pantas jadi guru. Penilaian
orangtua seperti itu merupakan respon masyarakat terhadap profesi guru yang cenderung kurang baik. Guru diidentikkan dengan sepeda tua, seperti digambarkan dalam lagu Oemar Bakri karya Iwan Falls. Dalam novel Tiba-Tiba Malam (1977), Sunatha digambarkan sebagai guru yang memiliki keterbatasan secara ekonomi, sosial, budaya, dan biologis. Secara historis, ekonomi guru sejak memasuki awal kemerdekaan RI telah mengalami goncangan kehidupan akibat kecilnya gaji yang mereka terima setiap bulan. Sebelumnya, menurut Sudarminta (2001:257-258) profesi guru masih terpandang pada zaman kolonial Belanda, Jepang, hingga awal kemerdekaan. Santoso (1987: 79) menuturkan pengalamannya pada 1930-an. ―Tidak ada guru ‗ngobyek‘. Guru luar biasa yang biasa kerja di luar, tidak ada. Nasib guru sangat diperhatikan, gaji guru relatif sedikit lebih tinggi dari pegawai-pegawai biasa.‖ Pandangan ini senada dengan laporan majalah Tempo edisi 9-15 September 2013, halaman 68, ―Guru zaman Belanda harus betul-betul menaati peraturan, Mereka tidak boleh mengerjakan pekerjaan lain, seperti berdagang. Gaji guru baru
116
diangkat sebesar 12 gulden termasuk tunjangan yang disebut toelage sudah dinilai cukup‖. Gambaran guru yang demikian juga tampak dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam dengan Sastrodarsono sebagai tokoh guru yang mengantarkan dirinya masuk ke dalam kelompok priyayi. Profesi guru secara bertahap digeser oleh profesi dokter, insinyur, atau ekonom. Sudarminta (2001: 256) menyebutkan citra guru tampak semakin terpuruk sehingga banyak guru yang menjadi bahan olok-olok dalam sinetron TV. Olok-olok itu juga tersirat dalam lagu Iwan Fals berjudul ―Oemar Bakri‖.
. Gambaran ketidakberdayaan guru dalam novel Tiba-Tiba Malam diawali
oleh kisah perkawinan Sunatha dengan Utari yang dicibir menggunakan guna-guna, dicap wangdu (impoten), lemah ekonomi, dan keluarganya kasepekang (dikucilkan) setelah ayah Sunatha (Subali) terpengaruh oleh David, bule asal Belanda. Kasepekang (pengucilan sosial) yang dialami oleh keluarga Subali, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga yang dialami oleh Sunatha, anak Subali. Pertama, istri Sunata (Utari) justru diperistri oleh Ngurah, sepeninggal Sunatha menunaikan tugas sebagai guru di Kupang. Kedua, setahun setelah kembali ke Bali, mayat ibu Sunatha yang meninggal dipermainkan oleh krama desa sebagai bentuk sanksi paling berat. Ketidakberdayaan Sunatha sebagai guru lebih parah lagi jika dihubungkan dengan pilihan wanita yang diperistri Sunatha. Seorang perempuan tua yang lain marah-marah kepada anaknya : ―Nah,lihat sekarang, dari dulu sudah meme nasehati, cepat-cepat, sekarang keduluan dengan guru SMP itu. Padahal, coba kalau kamu langsung lamar
117
saja, masak dia tidak mau. Guru itu apa sih kelebihannya. Aku dengar dia malah mau pindah ke Kupang!‖ (Wijaya, 1977: 8). Kutipan di atas mencerminkan betapa orang tua tidak menginginkan anak gadisnya kawin dengan guru. Guru juga tidak berhak mempersunting gadis yang menjadi bunga desa seperti Utari. Guru tidak punya kelebihan apa pun. Keluhuran budi, keluasan pandangan dan wawasan guru dinafikan, tidak dianggap sebagai kelebihan. Ukuran kelebihan murni berdasarkan parameter ekonomi. Guru bukan jalan ke luar untuk memperbaiki hidup. Sunatha dalam novel Tiba-Tiba Malam dan Taksu dalam cerpen ―Guru‖, karya Putu Wijaya merupakan reaksi penulisnya terhadap keadaan sosio-budaya (guru) yang dikenalnya (Yunus, 1985: 20). Jika mencermati waktu penciptaan karyakaryanya itu, novel Tiba-Tiba Malam yang terbit pada 1977 dan cerpen ―Guru‖ pada 2001, tampak bahwa dalam rentang waktu itu, perubahan nasib profesi guru ke arah perbaikan secara ekonomi belum sebanding dengan kesejahteraan lahir batin sebagai manusia. Simpulannya, guru senantiasa dalam posisi sulit, terjepit, bahkan dijepit. Posisi itu membuat guru protes dengan cara halus melalui ‗ngobjek‘ ke sana sini (Azra, 2003: 354). Pernyataan Azra ini dikisahkan oleh Putu Wijaya dalam cerpen ―Guru‖ dengan sindiran, ―Di desa juga guru hidupnya bukan dari mengajar tetapi dari tani‖. Gambaran guru yang lemah difaktualkan kembali oleh Putu Wijaya (2001 :155) dalam pertanggungjawaban proses kreatifnya, dengan mengilustrasikan tokoh guru yang peragu ketika ditanya arti kemerdekaan oleh Merdeka. Guru dicitrakan
118
tidak berani keluar dari buku teks pelajaran untuk memaknai kemerdekaan. Guru tidak berani mengambil inisiatif, takut berbeda pendapat. Guru selalu ditimbun dengan bermacam-macam tugas dan larangan, sehingga sebelum menjalankan tugas, ia sudah cacad sebagai manusia. Bagaimana mungkin mengharapkan guru profesional, kalau gurunya cacad? Perlakuan yang diterima Sunatha dalam Tiba-Tiba Malam setara dengan perlakuan terhadap Guru Isa dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis. Yunus ( 1985:19-20) merepresentasikan Guru Isa yang kompromistik mewakili golongan intelektual. Guru Isa tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kekerasan yang berlaku di sekelilingnya, meskipun itu tidak disukainya. Ia telah kehilangan kekuatan untuk melawannya. Ia menjadi impoten. Demikian juga tokoh guru Sunatha dalam Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya. Dengan menyebut Sunatha wangdu, bukan saja berarti ia seorang guru yang lemah secara seksual sehingga tidak ada daya untuk bersanggama (KBBI, 2002: 427), melainkan juga lemah dalam posisi tawar di masyarakat, sehingga dalam gejolak sekalipun, sebagai guru cenderung bersifat kompromistis. Yunus (1985: 20) mengatakan Jalan Tak Ada Ujung berlatar belakang sosiobudaya segolongan intelektual Indonesia dari masa sebelum perang dan bagaimana kemungkinan reaksi mereka dalam menghadapi kekerasan pendudukan Jepang dan revolusi. Novel Tiba-Tiba Malam berlatar belakang sosial budaya dalam konteks adat dan tradisi Bali yang kuat. Di dalam tembok yang kuat itulah, Sunatha tidak berdaya. Tidak berdaya menghadapi Ngurah yang kuat baik dari segi posisi tawarnya
119
sebagai golongan menak (kelompok triwangsa) maupun secara ekonomi memiliki modal hidup yang lebih dari cukup. Di dalam Tiba-Tiba Malam ditulis, ―Aku makin curiga, sekarang semuanya diatur oleh Ngurah. Bangsat itu mentang-mentang kaya, maunya memerintah semua orang. Dikiranya semuanya bisa dibeli‖ (Wijaya, 1977: 53-54). Berbeda dengan Sunatha, dari golongan jaba, yang lemah dalam posisi tawar tetapi sebagai guru sering mendapat pujian, seperti dialaminya di atas kapal dalam perjalanan pulang ke Bali. Pada saat itu, Sunatha bertemu dengan kapten kapal, yang telah dikenalnya setahun sebelumnya ketika berangkat dari Bali menuju Kupang untuk menunaikan tugas sebagai guru. ―Saya sangat tertarik pada orang yang jadi guru, percaya tidak?‖ ―Kenapa Kapten?‖ ―Karena saudaralah yang sebenarnya menentukan apakah sebuah generasi akan baik atau tidak. Saya sendiri hampir saja jadi sampah kalau guru saya tidak ikut campur, padahal itu bukan urusan dia. Saudara ini orang-orang penting, tetapi saudara sendiri tidak bisa menikmati kedudukan saudara seperti orang-orang penting yang lain. Sunatha menelan beberapa potong daging. Ia hanya tersenyum. ―Saya sendiri bukan guru yang baik.‖ ―Tapi saya yakin saudara guru yang baik‖ (Wijaya, 1977: 167). Pernyataan Sunatha, ―Saya sendiri bukan guru yang baik‖, mencerminkan sikap rendah hati seorang guru. Pernyataan ini senada dengan isi pupuh Ginada, yang umum ditembangkan, “Eda ngaden awak bisa/Depang anake ngadanin….” Artinya, ―jangan mengaku-aku diri pandai/biarkan orang lain yang menilai….‖ Larik-larik lagu ini seakan menjadi mitos pegangan bagi orang Bali, termasuk guru di Bali.
120
Novel Tiba-Tiba Malam juga merepresentasikan pandangan masyarakat yang cenderung mendua terhadap profesi guru. Di satu sisi, masyarakat menilai guru itu lemah sebagaimana ditimpakan pada tokoh Sunatha. Di sisi lain, guru juga dicitrakan bersahaja dalam menyiapkan generasi muda ke depan, sebagaimana dikatakan kapten kapal. ―Karena saudaralah yang sebenarnya menentukan apakah sebuah generasi akan baik atau tidak‖. Pandangan ini senada dengan pendapat Anies Baswedan dalam acara Forum Diskusi Indonesia Baru di Kompas TV (30/10/2013). Pada saat itu, Baswedan mengatakan, ―Cara kita menghargai guru kini, sama dengan cara kita menyiapkan masa depan‖. Citra guru yang lemah juga tergambar di dalam cerpen ― Ibu Guru Anakku‖ karya Aryantha Soethama. Cerita di dalam cerpen ini diawali oleh kedatangan Bu Rahayu, asal Purwokerto yang menjadi guru TK di Bali karena kepepet tidak dapat bekerja di sektor pariwisata. Pilihan menjadi guru karena terpaksa daripada tidak bekerja walaupun dengan gaji yang kecil. Bu Rahayu berkata, ―Gaji saya kecil, tidak cukup untuk hidup sebulan. Kalau tidak menumpang di rumah teman, saya pasti sudah mati kelaparan‖. Pengakuan Bu Rahayu mengundang perhatian dan empati pengarang melalui tokoh ―Aku‖ yang ditunjukkan dengan dua hal. Pertama, Aku meminjamkan uang dan memberikan uang sewa bemo untuk berangkat ke Lombok, walaupun aku bukan orang kaya, sebagaimana tersirat dalam dialog Aku dan Rahayu berikut. ―Saya bukan orang yang punya banyak uang untuk dipinjamkan‖. ―Seberapa pun Bapak berikan besar sekali artinya bagi saya.‖
121
Aku jadi kasihan. Kalau kubantu, berapa mesti kuberi? Seratus ribu rupiah terlalu banyak. Kalau lima puluh ribu rasanya tanggung, tak sesuai dengan pengakuan dan kesulitannya. Akhirnya kuputuskan memberinya tujuh puluh lima ribu, sebagian dari gajiku yang kuambil pekan lalu. Rasa empati juga ditunjukkan tokoh Aku ketika Rahayu pamitan untuk pergi ke Lombok, sekaligus menyampaikan ketidakmampuannya untuk mengembalikan uang yang dipinjam. ―Saya mohon pamit, mau mengejar ferry jam dua. Uang Bapak belum bisa saya kembalikan sekarang. Sampai di Lombok saya pasti bersurat ke mari.‖ Aku terharu menyaksikan bagaimana Rahayu berjuang sendiri. Kuberi ia dua puluh ribu rupiah. ―Untuk ongkos bemo,‖ kataku pelan. Ia menatapku lama sekali ketika menerima uang itu, sebelum menunduk dan mengucapkan terima kasih. Kujabat tangannya yang hangat. Kedua, tokoh Aku tidak berpikir panjang untuk meminjamkan uang, atas dukungan istri yang kuliah di pascasarjana di Bogor, sebagaimana tersirat dalam kutipan berikut. Kukabarkan seluruh peristiwa itu pada istriku yang kuliah pascasarjana di Bogor. Ia justru memuji tindakanku. Katanya, kita jangan terlampau mikir-mikir kalau hendak membantu guru karena gajinya memang sangat kecil.‖Kalau uangmu dikembalikan, tak usah kamu terima seluruhnya,‖ saran istriku. Dari kutipan di atas, guru dicitrakan sebagai sosok yang serba terbatas sehingga memerlukan uluran tangan para orangtua untuk membantu guru. Bahkan secara sadar Bu Rahayu berbohong pada ibunya bahwa ia telah bekerja di hotel sehingga mampu mengirimi ibunya sejumlah uang. Padahal, itu uang pinjaman dari orangtua siswa di TK tempatnya mengajar. Berbohong bagi Bu Rahayu
adalah
122
dilema kemanusiaan, antara tuntutan kebutuhan dan kemampuan. Kelemahan ekonomilah yang mendorong Bu Rahayu terpaksa berbohong kepada ibunya di Jawa. Citra guru yang lemah secara ekonomi dalam SBM, dikisahkan dalam novel Mlantjaran ka Sasak, Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang, cerpen
―Guru
Made‖. Dalam Mlantjaran ka Sasak, sosok Made Sarati sebagai guru yang lemah secara ekonomi terlihat dari orangtuanya yang tidak peduli pada pendidikan anaknya. Made Sarati disekolahkan ke sekolah guru oleh Anak Agung Punggawa yang baik hati. Ayah Made Sarati dikisahkan hancur akibat judi dan perempuan sehingga sering bertengkar. “Stata ricu kewanten!” yang artinya, ―Selalu bertengkar saja‖ (Srawana, 1978:72). “Aduh padalem memen Madene.” “Sangkal Anak Agung Punggawa nyakolahang Made ke Bandung?” “Sampun ja telas tegal reraman titiange amah taji, sami masanda. Yening tan Anak Agung Punggawa ica ring titiang, masa titiang uning ring Bandung….?” (Srawana, 1978: 74). Terjemahan : ―Aduh kasihan ibunya, Made.‖ ‗Kenapa Anak Agung Punggawa menyekolahkan Made ke Bandung?‖ ―Sudah habis tegalan orangtua saya karena judi sabungan ayam, semua tak tersisa lagi.‖ Kalau tidak Anak Agung Punggawa peduli kepada saya, mustahillah saya tahu Bandung…?‖ Kutipan di atas menunjukkan kemiskinan ekonomi bermula dari kemiskinan ilmu pengetahuan akibat
ayah
Made Sarati
yang suka berjudi dan bermain
perempuan sehingga beban keluarga menjadi berat. Sadar dari keluarga miskin, muncul rasa jengah Made Sarati
dengan tekad kuat belajar. Rasa jengah-nya
123
membuahkan hasil. Selama menempuh pendidikan sekolah guru di Jawa, nilainya selalu baik dan perilakunya berguna bagi masyarakat. Kemiskinan juga menimpa calon guru Nyoman Santosa dalam Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang. Santosa sebagai anak desa yang kurang mampu secara ekonomi,
memelas di hadapan ibunya demi meneruskan cita-citanya
bersekolah dan dengan berat hati ibunya mengikhlaskan. “Meme, da nyen meme pedih teken tiang, sawireh keneh tiange ten dadi baan tiang neptepin. Tiang lakar nerusang masekolah ka Klungkung. Yen meme tusing nyidang mekelin, depang tiang lakar masuk di SGB. Sekolah guru ane maan sangu uli pemerintahe. Yen tamat uli SGB buin pidan tiang lakar dadi guru. Dumadak apang tiang maan tugas jumah deriki”, keto munyine Nyoman Santosa sada alon ngasih-asih teken memenne. Oooh, dadine cai tusing ngidepang munyin memene, apang jumah ajak meme bareng lacur, keto? Awak wang tani, kanggoang ja dadi kutun pundukan. Suba orahang meme, cai tusing ja lakar dadi punggawa, apa. Jani nagih dadi guru. Nah, lamun keto kanggona keneh Nyomane padidi. Adep suba sampine anggon bekel luas. Meme sasidan-sidaan lakar ngajak adine jumah. Lamun nu kuangan, adep suba carike ane a don kelor ento. Anak cai mula ngelahang, patamaina teken bapane”, keto munyin memene sada sogol tumuli bangun nglaut mulihan, magablug masare nyangkutin adinne, Ketut Shanti (Santha, 1981:8-9). Terjemahannya : Bu, mohon tidak marah , sebab cita-cita saya tak bisa pangkas. Saya akan melanjutkan sekolah ke Klungkung. Kalau Ibu tak bisa membiayai, biarlah saya masuk SGB, sekolah guru yang mendapat ikatan dinas dari pemerintah. Kalau tamat dari SGB nanti akan jadi guru. Semoga mendapat tugas di kampung sendiri‖, demikian Nyoman Santosa dengan nada pelan memelas dengan ibunya). (Oooh, jadi kamu tidak mau menuruti Ibu, agar di rumah bersama ikut miskin, ya? Awak petani, biarlah jadi petani. Sudah ibu katakan, kamu tidak akan jadi punggawa.Sekarang mau jadi guru. Nah, kalau demikian, terserah Nyoman sendiri. Silakan jual saja sapinya untuk bekal sekolah. Ibu sebisabisanya dengan adikmu di rumah. Kalau masih kurang, silakan jual saja sawah yang seluas daun kelor itu. Memang kamu yang diwarisi ayahmu‖,
124
demikian ibunya kesal lalu bangkit seraya ke kamar meniduri adiknya, Ketut Shanti. Kutipan di atas menunjukkan Nyoman Santosa adalah keluarga tidak mampu, tetapi
mempunyai
tekad
kuat untuk bersekolah. Ketidakmampuannya secara
ekonomi ditunjukkan oleh keinginan ibunya mempekerjakan Santosa sebagai tulang punggung keluarga, dengan tidak mengizinkan sekolah lagi. Selain itu, ternak sapi dan sawah yang seluas daun kelor itu memberi petunjuk mereka adalah keluarga petani dengan
kemiskinan pula. Sebagai seorang perempuan, ibunya juga
mencitrakan sosok perempuan yang pasrah dan tidak sadar pendidikan. Keputusan Santosa melanjutkan pendidikan dalam kondisi keluarga yang memprihatinkan dapat dimaknai bahwa Santosa sedang membangun masa depannya. Hal ini senada dengan pandangan Setiyaji (2007:243) tentang ―Tujuh Prinsif untuk Indonesia Bangkit‖, yang mengatakan bahwa hanya bangsa yang menjunjung prinsip kejujuran, bertanggung jawab, dan punya visi yang jelas, berdisiplin dalam segala hal, bekerja sama, adil, dan peduli. Ketujuh prinsif itu terpenuhi oleh sosok I Nyoman Santosa. Karakter Nyoman Santosa yang ringan tangan membantu tanpa pandang bulu merupakan hasil belajar ilmu keguruan selama bersekolah di SGB Klungkung dan di SGA Singaraja. Di samping itu, hasil didikan kedua orang tuanya, yang mendidik hidup mayasa lacur ‗ketulusan pengendalian diri dalam kemiskinan‘. Tutur-tutur ayahnya sebelum meninggal yang mendidik sambil bekerja di sawah
telah
membentuk watak mulia. Demikikian juga pesan ibunya yang selalu mengingatkan
125
Nyoman Santosa untuk berbuat kebaikan. “Pabesen memene apang melah-melah ia malajah, apang enggal tamat sekolahanne sawireh jani memene suba sayan tua” (Santha, 1981:113). Artinya, pesan ibunya agar ia rajin belajar, sehingga cepat tamat, sebab ibunya sudah makin tua. Sosok Nyoman Santosa dan Made Sarati dari keluarga miskin (telantar) menjadi (calon) guru menarik diapresiasi untuk sejumlah hal. Pertama, mereka menjawab kemiskinan keluarganya dengan giat belajar di SGB gemilang
sampai
akhirnya
kepala
SGB
Klungkung
dengan hasil
mendorong
dan
merekomendasinya untuk melanjutkan ke SGA Singaraja. Walaupun Santosa tokoh fiktif, ia merepresentasikan kondisi real masyarakat.
Kutha Ratna (2006: 313)
mengatakan, meskipun hakikat karya seni adalah rekaan, tetapi jelas karya seni dikonstruksi atas dasar kenyataan. Kedua, pilihan sekolah guru bagi Nyoman Santosa
mengindikasikan
ia
pribadi yang matilesang raga (tahu dan sadar diri tak mampu) yang berasal dari desa tertinggal pada zamannya. ―…Inget teken awak lacur, Nyoman Santosa satata matilesang awak. Kapah-kapah pesan ia ngenah mabelanja...” (Santha, 1981:40). Artinya, ingat dengan keadaan miskin, Nyoman Santosa selalu sadar dan eling. Jarang sekali ia berbelanja.
Dewantara [(2004: 217); Tingkat (2013:151)]
menyebutkan rata-rata siswa calon guru di SGB/SGA adalah anak petani desa. Dari ketertinggalannya, ia mencoba untuk bangkit melawan tantangan yang memberikan peluang untuk mengubah jalan hidup menjadi lebih baik. Santosa mencoba meraih
126
status priyayi melalui jalan guru, seperti lakukan oleh Sastrodarsono dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam. Ketiga, merantau dalam menempuh pendidikan sebagai calon guru melalui program ikatan dinas bagi Nyoman Santosa dapat meringankan beban orangtua. “Me, tiang anak ten liu ngidih pis jani. Di sekolahan tiang anak maan pipis pasangon utawi ikatan dinas, satus telung dasa rupiah abulan. Cukup anggon tiang meli nasi Rp 90.00 di asrama. Sisane anggon meli alat-alat teken sabun miribne cukup”. Terjemahannya: ―Bu, saya tidak banyak minta uang sekarang. Di sekolah saya sudah dapat uang pesangon atau ikatan dinas, seratus tiga puluh rupiah setiap bulan. Cukup untuk membeli nasi Rp 90,00 di asrama. Sisanya dipakai membeli alatalat dan sabun, kiranya sudah cukup‖. Kisah I Nyoman Santosa sebagai calon guru dari keluarga kurang mampu mirip dengan Guru Made Warsa dalam cerpen
―Guru Made‖ karya I Nyoman
Manda. Citra ketidakmampuan ekonomi Guru Made Warsa terlihat dari pakaian yang dikenakan dengan warna sudah luntur, sepeda motor yang sudah tua dan sering mati, makanan yang disediakan istrinya tanpa lauk pauk apalagi daging. Suatu hal yang bertolak belakang dari pesan-pesannya kepada anak didik untuk makan makanan 4 sehat 5 sempurna, walaupun sudah 20 tahun menjadi guru. Sosok siswa kurang mampu (I Kanta dan Ni Mundel) yang ditampilkan dalam cerpen ―Guru Made‖ mirip dengan tokoh Made Santosa dalam Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang. Walaupun mereka siswa yang kurang mampu, semangat belajarnya tinggi. Motivasi hidup untuk mengubah nasib diyakini bersumber dari dunia pendidikan.
127
5.3 Guru yang Idealis Humanis Citra guru yang idealis humanis ditransformasi dari aliran teori humanistis dalam teori belajar yang dipelopori oleh Bloom dan Rathwahl (Riyanto, 2009: 17). Pada dasarnya guru idealis humanis adalah guru yang ideal dengan pendekatan bersifat eklektik
yang dimanfaatkan untuk memanusiakan manusia, baik dalam
proses pembelajaran di kelas maupun di ruang sosial kemasyarakatan. Citra guru yang idealis humanis ditemukan dalam karya SIM dan SBM. Dalam SIM, citra itu tergambar dalam cerpen ―Guru‖, dan novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya. Dalam SBM, citra guru idealis humanis dilukiskan melalui novel Mlantjaran ka Sasak, Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang, Bukit Buung Bukit Mentik, dan Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah. Cerpen ―Guru‖ (2001) karya Putu Wijaya menampilkan tokoh Taksu yang bercita-cita menjadi guru, tetapi ditentang oleh ayahnya, yaitu Amat. Alasan Amat, guru
tidak punya masa depan. Gajinya tidak seberapa. Guru membawa pulang
kerjanya. Ketika orang sudah tidur, guru masih bekerja. Pekerjaan guru tidak pernah selesai. Begitu, alasan Amat pada Taksu. Taksu
punya
keyakinan
yang
tidak
tergoyahkan.
Berbagai
alasan
dikemukakan Amat untuk menghalangi cita-cita Taksu, tetapi Taksu bergeming. Hal ini menandakan Taksu berpegang teguh pada cita-citanya. Ia adalah tokoh yang idealis, mempertaruhkan segalanya demi keyakinan hidupnya dalam meraih citacita. Hal ini menandakan tantangan untuk menjadi guru idealis besar, tidak saja datang dari dalam kelas sekolah tetapi juga dari dalam keluarga. Namun, tantangan
128
itu dijawab dengan tekad kuat oleh Taksu untuk meraih cita-citanya. Buktinya, di akhir kisah, Taksu berhasil meneror Amat dengan meraih sukses. Taksu tidak menjadi guru konvensional. Ia menjadi guru modern yang mampu memimpin sejumlah perusahaan besar dengan menjadikan ribuan karyawannya sebagaimana layaknya murid. Tekad kuat Taksu untuk meraih cita-cita menjadi guru adalah sikap idealis. Idealisme seorang guru adalah idealisme pendidikan. Buchori (2001: 146) mendefinisikan idealisme pendidikan sebagai tindakan membayangkan sosok manusia dalam keadaan yang ideal dalam konteks waktu dan tempat. Jadi, hanya mereka yang memahami zaman dan lingkungannya akan dapat mengembangkan idealisme pendidikan. Idealisme pendidikan selalu diproyeksikan ke masa depan. Idealisme pendidikan harus mampu membayangkan sosok manusia yang ideal untuk zaman yang akan datang. Berbeda dengan Sunatha dalam Tiba-Tiba Malam, idealisme guru direpresentasikan melalui pengabdian yang melampaui batas kepentingan pribadi. Sunatha sebagai guru menempatkan kepentingan Negara di atas segala-galanya melalui profesi guru. Semangat mencerdaskan kehidupan bangsa dikedepankan dengan menanggalkan kepentingan pribadi. Semangat humanis lebih dikedepankan Sunatha daripada egois. Sikap
idealis
humanis
seorang
guru
dalam
Tiba-Tiba
Malam
direpresentasikan oleh Putu Wijaya dalam sejumlah hal. Pertama, idealisme Sunatha sebagai guru melampaui batas adat walaupun perkawinannya dengan Utari
129
berlangsung di tengah bisik-bisik yang tidak baik dari warga desa. Dengan semangat kesederhanaan, Sunatha memproklamasikan diri di hadapan warga desa disaksikan David (bule Belanda) mempersunting Utari. Sunatha sebagai guru menunjukkan diri dapat mengalahkan orang-orang kaya di sekitarnya, tanpa sedikit pun bermaksud menyombongkan diri. Sunatha memaknai cinta sebagai ikatan kasih sayang secara lugas, tanpa praduga negatif
kepada Utari yang ditinggalkan sehari setelah
perkawinan. Kedua, idealisme dan humanisme juga ditunjukkan oleh Sunatha dengan menempatkan tugas Negara di atas segala-galanya. Hal itu didukung oleh Suki dan Made Badung yang juga berprofesi sebagai guru. Suki menjadi guru di Tabanan sedangkan Made Badung menjadi guru di Kupang bersama Sunatha. Dengan alasan menjalankan tugas negara sebagai guru di Kupang, malam pertama sebagai sepasang pengantin baru berlangsung dingin karena Sunatha tidak memberikan kesan apa pun seperti layaknya suami istri. ―Tapi itu kan demi tugas‖ (Wijaya, 1977:143). Ketiga, Sunatha tega melaksanakan tugas sebagai guru ke Kupang sehari setelah perkawinan dengan meninggalkan Utari di rumah bersama Suniti, ibu, dan bapaknya yang telah terprovokasi oleh David asal Belanda. Sunatha yakin bahwa dengan telah melaksanakan upacara perkawinan sesederhana apa pun sebagai tanda ikatan, Utari tidak akan main serong. Dalam hal ini, Sunatha berpikir linier menerjemahkan idealisme dengan memandang hidup menurut
cita-cita, menurut
patokan yang dianggap sempurna (KBBI, 2002: 417). Padahal, benih konflik antara Utari dan Suniti tidak terelakkan ketika Utari berpaling kepada Ngurah yang
130
kemudian
diketahui oleh Sunatha dari Kupang melalui surat-surat yang dikirim
Suniti. Komunikasi melalui surat adalah strategi untuk saling melepaskan rindu antarkeluarga yang saling berjauhan. Untuk mencapai alamat surat, dikisahkan Sunatha meminjam alamat Suki di kota Tabanan yang terjangkau oleh pegawai pos. ―Kalau kirim surat alamatkan terus pada Suki di Tabanan, sebab kalau dialamatkan ke desa, pasti tidak sampai-sampai‖, (Wijaya, 1977:135). Kutipan ini memberikan informasi pada saat novel ini ditulis, betapa susahnya hubungan komunikasi dibangun dengan keluarga di luar daerah. Hal ini mencerminkan pendapat Sumardjo (1982:15) bahwa potret masyarakat Bali pada saat novel ini ditulis. Karya sastra menampilkan wajah kultur zamannya, seperti dikisahkan Putu Wijaya dalam novel Tiba-Tiba Malam. Keempat, semua tokoh guru dalam novel ini (Sunatha, Made Badung, dan Suki) memiliki solidaritas yang tinggi. Mereka saling dukung dan saling memberi semangat ketika salah satu di antara mereka mengalami masalah. ―Kamu seorang guru, kamu harus memberi teladan bahwa ketabahanlah modal terakhir seorang manusia yang tetap mengantarkan orang untuk berhasil‖ (Wijaya, 1977:137). Semua tokoh guru dalam Tiba-Tiba Malam mengaplikasikan semangat jiwa keguruan dalam membangun hubungan harmonis, baik di tempat kerjanya di Kupang bagi Sunatha dan Made Badung maupun bagi Suki yang menjadi guru SMP di Tabanan Bali. Mereka bersepakat untuk tidak melupakan tanah kelahirannya di negeri rantau. Hal ini memberikan petunjuk tiga sekawan guru dalam novel ini
131
adalah sosok yang saling pengertian dan peduli pada tanah kelahirannya, yaitu Bali. Sunatha dan Made Badung menjaga nama baik Bali di Kupang dengan menjalankan tugasnya sebagai guru sebaik-baiknya. Pencitraan Bali melalui jalan pengabdian sebagai guru. Kelima, idealisme Sunatha sebagai guru tampak juga dari pengabdiannya yang tunduk pada tugas. Perhatian pada tugas membuatnya menjadi guru yang baik bagi murid dan disegani oleh kepala sekolah. Saking percayanya kepala sekolah, demi mendapat izin pulang ke Bali, Sunatha berbohong dengan mengatakan ibunya meninggal.
Hal ini disampaikan Sunatha kepada adiknya, Suniti melalui surat
balasan. ―… tugas beli tidak mengijinkan saya pulang sebelum liburan kenaikan kelas. … Untuk itu, saya terpaksa berbohong, sebagai guru, ini perbuatan yang tercela, akan tetapi kelak saya akan mengakui segalanya ini kalau semuanya telah selesai. Jadi, maafkanlah, kalau saya katakan kepada Kepala Sekolah, bahwa Meme telah meninggal. Hanya itulah satu-satunya jalan supaya mendapat ijin pulang agak lama‖ (Wijaya, 1977:136). Sunatha berbohong dengan penuh kesadaran dan berjanji akan menyampaikan hal yang sebenarnya kelak. Hal ini merepresentasikan Sunatha adalah guru yang berintegritas tidak saja baktinya kepada anak-anak di sekolah tetapi juga kepada ibunya di Bali yang sedang sakit keras. Keenam, setelah keluarga
Sunatha mendapat hukuman pengucilan sosial
(kasepekang) dari desa akibat ayahnya menentang adat banjar, penguburan ibunya dipersoalkan. Akan tetapi, kehadiran Sunatha mampu mencairkan suasana desa yang
132
mencekam. Prestasi sosial Sunatha sebagai guru berhasil mengubah suasana gaduh akibat kasepekang menjadi teduh dalam keluarga. Sunatha kembali ke Kupang melanjutkan pengabdiannya sebagai guru. Panggilan hati dan idealisme yang membuatnya mampu berdiri tegak sebagai guru, setelah mendapat cobaan berkali-kali mulai dari tuduhan mengguna-gunai Utari, tuduhan bahwa ibunya bisa ngeleak (ilmu hitam) sampai pengucilan sosial yang berat bagi keluarganya. Guru yang idealis humanis tidak hanya ditemukan dalam SIM, tetapi juga kuat direpresentasikan dalam semua novel SBM yang diteliti, yaitu Mlantjaran ka Sasak (Berwisata ke Lombok), Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang (Cinta Layu sebelum Mekar), Bukit Buung Bukit Mentik, dan Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah (Cinta Bersemi Berantakan di Toyobungkah). Tema novel Mlanjtaran
ka Sasak adalah cinta tidak sampai yang
menampilkan tokoh guru yang idealis-humanis bernama Made Sarati dan Ketut Gunawan. Sikap idealis - humanis guru dalam novel ini tecermin dari dua hal. Pertama, ketika Made Sarati mendapat kepercayaan dari Ida Bagus Kumara mengantar Ida Ayu Priya ke Lombok. Pada saat itu, kedua pasang remaja yang mabuk cinta ini dapat melewati godaan asmara dengan selamat. Idealisme pasangan yang dimabuk asmara ini direpresentasikan dengan menjaga kehormatan dan melaksanakan pesan-pesan moral dari Ida Bagus Kumara, ayah Ida Ayu Priya. Pesanpesan moral itu adalah strategi untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan.‖Martabat kemanusiaan adalah sjarat mutlak buat memungkinkan perkembangan kebudajaan
133
jang sehat serta jang serasi dengan djiwa dan kehidupan bangsa itu‖ (Anwar, 2000:132). Kedua, idealis dan humanis juga tercermin dari nama dua tokoh guru, yaitu Made Sarati dan Ketut Gunawan. Dari segi nama, kedua tokoh guru dalam novel Mlantjaran ka Sasak, berasal dari sudra wangsa (golongan jaba). Mereka menjalankan tugas pokok dan fungsi dalam pembinaan mental spiritual (mendidik) dan mengajar sehingga sepantasnya mereka menyandang warna Brahmana. Selain itu, kedua tokoh guru ini memiliki tekad kuat dan bijaksana, tersirat dari namanya Sarati dan Gunawan. Sarati dalam bahasa Bali bisa dimaknai sebagai tukang banten ‘ahli membuat upakara/sesajen‘. Sebagai tukang banten pada umumnya, ia adalah orang pilihan baik secara moral maupun integritas. Di dalamnya tercermin sifat-sifat ngemong, kerja keras, sungguh-sungguh, membangun kesadaran, sikap hati-hati dalam memimpin rombongan tampak jelas. Dewantara (2004: 48) menyebut model yang dikembangkan Made Sarati dalam memimpin kelompok sebagai metode among. Dalam posisi seperti itu, Made Sarati sebagai guru tampak lebih menyadarkan dan mengedukasi masyarakat. Fungsi menyadarkan dan mengedukasi itu sesungguhnya tersirat pula dari namanya, Sarati ‗tukang banten‘. Namanya dianalogikan dengan kusir dan kuda sebagaimana dinyatakan dalam Bhagawad Gita. “… I Made Sarati, sakadi wastannya Sarati, kusir amangkinan sida antukipun ngeret, ngodag, ngedetin, kudane ne mawasta indria, satata ipun mastitis nene utamaan ring mandagingin kalegan manahnya ajahan (asledetan tatit) sakadi slokane „ngisinin legane agridogan, purun ipun kantun sering parek ka Geria Sirikan” (Srawana, 1978:86).
134
Terjemahannya : ―… I Made Sarati, sebagaimana namanya, Sarati, kusir yang bisa mengendalikan indra yang tak ubahnya kuda liar. Oleh karena itu, ia selalu mengutamakan keutamaan budi daripada kesenangan sesaat, apalagi ia sering menjadi abdi di Geria Sirikan. Ia tak sampai hati mencederai orang yang memercayainya, Ida Bagus Kumara. Begitu juga dengan nama Ketut Gunawan bermakna orang yang berguna. Dalam KBBI (2002:375), gunawan diartikan sebagai orang yang mempunyai sifatsifat baik; orang atau benda yang banyak manfaatnya (gunanya). Dalam Kamus BaliIndonesia susunan Panitia Penyusun Kamus Bali-Indonesia (1978: 222), gunawan adalah nama lain Wibisana dalam dunia pewayangan. Sifat Wibisana dalam dunia pewayangan adalah arif dan bijaksana. Ia menjadi penasihat Sang Rama, Raja Ayodya Pura dalam kisah Ramayana. Oleh karena itu, tidak salah kalau tokoh ini dikisahkan dipercaya sebagai pemimpin perguruan di Lombok sehingga rombongan Made Sarati pun hendak memanfaatkan rumah Gunawan sebagai tempat madunungan ‗menginap‘ rombongan tiga orang Bali yang berlibur ke Lombok. Idealis dan humanis seorang guru juga tampak dalam novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang karya Djelantik Santha melalui tokoh Nyoman Santosa. Pesan-pesan mulia dari orangtua menurun dan dilaksanakan oleh Nyoman Santosa dalam menjalani hidup. Model pendidikan orangtua kepada anak berlangsung secara alami seperti halnya Ida Ayu Priya. Mereka menerjemahkan pesan-pesan moral orangtua dalam hidup sosial kemasyarakatan. Hal itu ditunjukkan oleh Ida Ayu Priya selama berwisata ke Lombok bersama guru Made Sarati yang diikuti Luh Sari. Idealisme Made Sarati mampu menyadarkan Ida Ayu Priya untuk kembali ke
135
pertemanan sejati. Pesan moral demikian juga dijalani oleh Nyoman Santosa ketika menempuh pendidikan di SGB Klungkung hingga SGA Singaraja. Hormatnya pada orangtua (guru rupaka) membantu pembentukan watak positif. Kebebasan yang diberikan orangtua diterjemahkan secara bertanggung jawab dalam setiap tindakan. Sikap Nyoman Santosa yang telaten mempraktikkan ilmu keguruannya senada dengan pandangan Djelantik Santha pada saat diwawancarai di rumahnya (22/12/2013). ―Apa gunanya ilmu yang diperoleh kalau tidak dipraktikkan. Karena dalam praktik hidup itulah manfaat ilmu yang dipelajari di bangku sekolah dapat dirasakan kegunaannya‖, kata Djelantik Santha. Sebagai siswa calon guru, Santosa paham dengan keadaan keluarganya di Selat Karangasem. Ia melanjutkan ke sekolah guru dengan pertimbangan mendapat ikatan dinas dan mendapat bantuan biaya pendidikan yang meringankan beban orang tua. Di samping itu, ia bertekad kuat melanjutkan pendidikan dengan senantiasa mengomunikasikan
kepada ibunya yang telah ditinggal mati oleh ayahnya.
Hubungan komunikasi antara orang tua dengan anak menunjukkan hubungan yang mencerdaskan, seperti guru dan murid. Hal ini selaras dengan petuah-petuah ayahnya ketika masih hidup yang dituangkan dalam bentuk dialog. “Nah, nika mungguing dewasa sampun kena baan tiang. Kenken mungguhing sikute, Pa?” “Kene, sikut ngaran guru. Saluiring wewangunan yen sing masikut sinah tusing lakar tawang dija tongosne nyumunin. Gurune to maka patok, maka batasan ane dadi garapin, ngawetuang sikut lan ukuran. Gurune di sekolahan mula dane ane ngicen sikut, bates ane encen dadi tawang, patut palajahin” (Santha, 1981:24).
136
Terjemahannya: ―Nah, tentang hari baik sudah saya pahami. Bagaimana dengan aturan tentang ukuran bangunan, Pak?‖ ―Begini, aturan ukuran bangunan itu tak ubahnya guru. Semua bangunan kalau tanpa ukuran yang jelas dan benar, tidak diketahui ujung pangkalnya. Guru itu sebagai patokan untuk memulai membangun. Begitu juga guru di sekolah, memang juga memberikan ukuran, batasan antara yang boleh dan yang dilarang. Semuanya patut dipahami‖. Cara berdialog yang dikembangkan oleh Djelantik Santha dalam Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang memikat. Dialog yang khas seperti Percakapan Rsi Dharmakerti dengan Sang Suyasa dalam buku Upadesa (1967) yang diterbitkan oleh Parisada Hindhu Dharma. Rsi Dharmakerti diandaikan guru yang memberikan tuntunan kepada muridnya, Sang Suyasa. Dalam novel ini, orangtua diandaikan guru dan Santosa diandaikan murid. Model percakapan antartokoh yang mencerdaskan ini kelak membekali Nyoman Santosa menjalani hidup dengan idealisme filsafat (tatwa agama). Dasar-dasar tatwa itulah yang menjadi pijakan mengembangkan dan memartabatkan nilai-nilai kemanusiaan (humanis).
Cara menurunkan ajaran agama
melalui komunikasi orang tua dengan anak merupakan ciri khas gaya berkisah Djelantik Santha. Dalam konsep Hindhu, tugas orangtua (guru rupaka) terhadap anak (murid)
selain memenuhi kebutuhan fisik juga kebutuhan psikhis demi
keseimbangan hidup. Tugas ini dilaksanakan secara apik oleh Pan Madu dan Men Madu, orangtua Nyoman Santosa. Nasihat kedua orangtua Nyoman Santosa adalah nasihat yang memberikan landasan spirit idealisme dan humanisme bagaimana hidup dilakoni. Idealisme dan humanisme seseorang bermula dari pola asuh dalam
keluarga. Mirip dengan
137
Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang, cerpen ―Gamia Gamana‖ juga menunjukkan perjuangan emansipasi sebagai cerminan wanita Bali yang kuat, kokoh, teguh, dan mandiri. Kemandirian Men Madu dalam Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang, tampak dalam menunaikan tugasnya sebagai orang tua yang berhasil mengupacarai anak-anaknya, sampai potong gigi. Emansipasi juga dilukiskan oleh Djelantik Santha dalam cerpen ―Gamia Gamana‖ melalui tokoh perempuan Desak Made Sayang, yang ditelantarkan oleh suaminya. Walaupun demikian, Desak Made Sayang berjuang menyekolahkan anaknya, I Wayan Rawan (biasa disebut Iwan) hingga tamat PGA sampai diangkat menjadi guru Agama Hindu di Desa Werdhi Agung Bolaan Mongondow. Cerpen ―Gamia Gamana‖ karya Djelantik Santha (1979) disusun dengan alur flashback. Tema cerpen ini adalah cinta terlarang, antara Iwan dan Made Ary yang sudah hamil. Iwan bersikukuh tidak mau kawin kalau ayahnya tidak diketahui dengan jelas. Oleh karena itu, ibunya menceritakan kisah sesungguhnya kepada Iwan. Sementara itu, pacar Iwan adalah Made Ary, yang tidak lain adalah adik Iwan tetapi lain ibu. Dari cerita ibunya, Iwan mengetahui bahwa ayahnya orang dari Lombok bernama Wirabakha, yang menelantarkan ibunya sejak Iwan berumur lima tahun. Oleh karena itu, Desak Made Sayang memberanikan diri pulang ke Jero (rumah kaum menak) setelah masa kontrak rumahnya habis. Dari segi struktur naratif, cerpen ini tergolong panjang. Sosok Desak Made Sayang sebagai seorang ibu yang single parent pantas diapresiasi secara positif. Ia
138
menyekolahkan anaknya ke PGA dengan harapan dapat
menjadi manusia berguna
sesuai dengan tutur-tutur agama. Harapan itu dapat diwujudkan oleh Iwan. “Nah meme, mangkin tiang sampun nawang jele melah bapan tiange. Tiang sedih madalem meme, nanging yadiapin jele ia masih tetep bapan tiange sawireh mula i meme lan i bapa ane ngrupaka awak tiange. Utang tiange teken Guru Rupaka tan sida baan tiang mayah aji artabrana. Dija ja bapak tiange ngoyong dumadak apang sida rahayu…” Terjemahannya : Nah, ibu, saya sekarang tahu baik buruk ayah. Saya sedih kasihan ibu, tetapi walaupun jelek, ia tetap ayah saya, sebab memang ibu dan ayah yang membesarkan saya. Utang saya terhadap guru rupaka tak bisa saya bayar dengan harta kekayaan. Di mana pun ayah sekarang, doa saya semoga selalu selamat…‖ Sebagai
seorang
guru
agama
Hindu
yang
akan
berangkat
ke
Bolaanmongodow, Iwan memperlihatkan sosok yang beretika dan berhati mulia sesuai dengan petuah ibunya. Desak Made Sayang tidak dendam pada suaminya, begitu juga Iwan tidak menaruh dendam kepada ayahnya. Sikap Iwan yang idealis – humanis menerjemahkan ajaran agama Hindu dalam hidup sejalan dengan pendidikan PGA yang dialaminya. Hal itu terwujud berkat petuah-petuah ibunya. Yen dadi eda pesan cening nuhutang tingkah laku ane nyengsarayang anak len, apa buin anake ane taen ajak cening malegan-legan. Eda cening ngwales tresna baan drengki. Patute yen cening sampara aji tahi, walesang nyampar aji bunga…. Cening suba tunasang meme pangampura teken Ida Sang Hyang Widhi, suba anut teken pula palin manusa yadnyane kanti cening sekolahang meme ka sekolah guru agama tur jani dadi guru agama. … Benehang ngincepang, encen ane madan trikaya parisudha. Cening lakar dadi Guru ane patut kagugu lan ka tiru (Santha, 2002 :35). Terjemahannya: Kalau boleh, jangan sekali-kali kamu berperilaku yang menyengsarakan orang lain, apalagi orang itu pernah diajak bersenangsenang. Janganlah membalas cinta dengan dengki. Kalau kau dilempari
139
dengan tahi, sepatutnya dibalas dengan bunga… Kamu sudah ibu mohonkan maaf kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, agar sesuai dengan tuntunan manusa yadnya sampai akhirnya ibu sekolahkan ke sekolah guru agama, hingga sekarang telah menjadi guru agama…. Camkanlah, yang namanya trikaya parisudha. Kamu akan jadi guru yang patut digugu dan ditiru. Djelantik Santha dalam merepresentasikan tokoh guru dalam cerpen dan novelnya
tampak mirip. Iwan sebagai anak Desak Made Sayang dalam cerpen
―Gamia Gamana‖ dikisahkan mengaplikasikan ilmu keguruan sesuai dengan ajaran agama, demikian pula Nyoman Santosa. Tokoh Iwan tidak sedikit pun memperlihatkan dendam dan benci pada ayahnya. Tokoh Nyoman Santosa dalam Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang yang senada dengan tokoh guru Made Sarati dalam novel Mlantjaran ka Sasak karya Gde Srawana. Cara berkisah seperti ini menggambarkan pengarangnya memiliki kematangan dalam bersikap. Idealisme dan humanisme tokoh guru juga ditemukan dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik karya Agung Wiyat S. Ardhi. Tema novel ini sama dengan Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang , yaitu cinta tidak sampai antara tokoh guru Gungde Ambara dan Luh Triprayatni. Sikap idealis yang ditampilkan pengarang melalui tokoh guru muda menjadi menarik, paling tidak untuk tiga hal. Pertama, sebagai guru muda, Gungde Ambara dan Luh Tri prayatni masih baru, belum banyak terkontaminasi. Gungde Ambara (30 tahun) guru pindahan dari Yogya menjadi guru di SMP Selat, sedangkan Luh Tri Prayatni (23 tahun) menjadi guru SD di Bukit Mentik. Umumnya, guru muda idealisnya masih utuh. Kedua, pola hidup sederhana yang ditonjolkan oleh tokoh guru dengan menjadikan budaya Bali sebagai landasan berpijak mencerminkan usaha memperkuat kepribadian dan ke-Bali-an. Upaya itu tak
140
mungkin terwujud tanpa semangat idealisme di tengah hidup yang materialistis, hedonis, dan pragmatis dalam kepungan pariwisata. Ketiga, pengalaman hidup di luar daerah Bali (Yogyakarta) bagi Gungde Ambara telah memperkuat jati diri keguruan dan ke-Bali-an sehingga tersirat dalam perilaku (kayika), perkataan (wacika), dan pemikirannya (manacika). Konsep Hindhu yang dikenal dengan ajaran Trikaya Parisudha, sebagai landasan dalam mengembangkan nilai-nilai humanisme universal. Jika dikaitkan dengan proses kreatif Agung Wiyat S. Ardhi dalam wawancara (Minggu, 2 Desember 2013), novelet ini diselesaikan justru pada saat pengarang dirawat di rumah sakit di Surabaya, pada 2003 akibat sakit kanker bening yang dideritanya. Namun, pengarang tidak bisa menjawab sumber inspirasi dari lahirnya Bukit Mentik Bukit Buung, ketika peneliti menanyakan. Windhu Sancaya (2004: vi) yang memberikan kata pengantar dalam novelet ini menyebutkan dasar pijakan karya A Wiyat S Ardhi mengikuti teori psikoanalisis sastra. ―… yan selehin saking teori psikoanalisis sastra, sane sering kabaos teori bawah sadar (unconsciousness) sujatine pakaryan Agung Wiyat punika sayuwakti becik pisan‖. (… kalau dikaji dari teori psikoanalisis sastra, yang sering disebut teori bawah sadar, sejatinya karya Agung Wiyat sangat bermutu‖). Statemen Windhu Sancaya, sama dengan pengakuan pengarang yang menulis tanpa rancangan kerangka. Ia duduk menulis lalu mengalir begitu saja di depan komputer seperti pengarang dunia, Sarte dan Albert Camus yang menulis dengan gaya tidak sadar. ―Sebagaimana Sarte dan yang lain, ia (Camus) menulis karya
141
kreatif -sastra dan lakon- di mana imajinasi, ingatan, dan ketaksadaran memegang peran lebih besar ketimbang pikiran‖, demikian tulis Gunawan Mohamad dalam catatan pinggir Tempo (2-8 Desember 2013) dalam artikel berjudul ―Dari Djemila ke Sela-sela Sejarah‖ . Catatan ini diturunkan oleh Gunawan Muhamad dalam rangka peringatan seabad Albert Camus. Terlepas dari proses kreatif itu, kuatnya idealisme sosok dua guru (Luh Tri Prayatni dan Gung De Ambara) ditampilkan oleh pengarang. Mereka bukan saja kuat dan taat menjaga adat, budaya, dan tradisi, melainkan juga taat menerjemahkan dan mengaplikasikan ajaran agama ke dalam kehidupan yang sebenarnya. Oleh karena itu, ketika hubungan cintanya harus putus oleh kokohnya tembok adat dan tradisi, mereka memilih ajaran jnyana wiwaha. Dengan alasan menyelamatkan keluarga bendesa Bukit Mentik dari keputungan (putusnya silsilah keluarga karena tidak ada melanjutkan keturunan)
akhirnya dengan tulus ikhlas dua sejoli yang dimabuk
asmara ini berpisah secara fisik. Yen ngalih anak luh lakar anggon kurenan, sing dadi madasar baan demen dogen,sawireh demene ento mawates tuah di sekala. Demene pang pastika kadulurin baan tresna, duaning tresnane ento patuh teken cintya,cintyane paragayan Sang Hyang Acintya, niskala, satmaka Sang Hyang Widhi Washa malingga ditu, di pacampuhan tresnane (Ardhi, 2004:44-45). Terjemahannya: Kalau mencari istri, tidak cukup atas dasar senang secara fisik belaka. Kesenangan itu mesti didasarkan atas cinta yang tulus sebab cinta yang tulus itu tak dapat dinyatakan dengan kata-kata. Cinta yang tulus adalah lambang Sang Hyang Achintya. Sifatnya spirit dan tak tampak, tak ubahnya Sang Hyang Widhi berstana di dalam pertemuan cinta laki perempuan.
142
Pilihan jnyana wiwaha bagi kedua guru muda yang dimabuk asmara ini adalah pilihan langka dalam konteks kehidupan masyarakat Bali yang berubah terutama akibat gelombang pariwisata yang terus mendesak. Hal ini juga menandakan prinsif guru muda yang bukan semata-mata menjadi guru bagi siswa-siswanya di sekolah, tetapi mempraktikkan ilmu keguruan dalam hidup bermasyarakat sesungguhnya. Bukan guru seperti pohon pule yang dapat memberikan obat bagi orang lain, tetapi obat untuk dirinya sendiri tidak ada, sebagaimana disampaikan Gung De Ambara kepada Luh Tri Prayatni. Ibu setata nuturin anak, nuturin murid-murid Ibune apang subakti, susatya ring Catur Guru : Guru Wisesa, guru pengajian, guru rupaka, guru Swadyaya. Bu, sampunang nulad i punyan pule, nyakitang awak makidihang babakan anggon nyegerang anak, kewala deweke sayan-sayan bongkang berag ligir, pamuput ngareres nemuang pati…” (Ardhi, 2004 : 161). Terjemahannya : Ibu selalu menuturkan siswa agar berbakti kepada catur guru : Guru Wisesa, Guru Pangajian, guru rupaka, dan Guru Swadyaya. Bu, janganlah meniru pohon pule yang selalu mengobati orang lain, menyakiti diri-sendiri, tanpa memikirkan diri sehingga semakin kurus kering pada akhirnya mati. Nasihat Gungde Ambara di atas mengingatkan Luh Tri Prayatni menjadi guru yang seimbang dalam melakoni tugas-tugas keguruan. Seimbang antara pangilan tugas negara dan tugas keluarga di rumah. Jangan sampai guru lupa mengurus diri dan keluarga karena tugas melayani siswa sebagai anak-anak Negara yang perlu dididik. Peringatan itu sejalan dengan amanat cerpen ―Robohnya Surau Kami‖ karya A.A. Navis. Navis mengingatkan, tidak cukup hanya sholat 5 waktu menjadi tiket
143
untuk masuk sorga kalau hubungan dengan anak-anak, keluarga, dan masyarakat tidak pernah diperhatikan, bahkan diabaikan. Bagi Luh Tri Prayatni, pesan moral tersebut cukup memberikan pemahaman tentang arti penting hidup sebagai
guru di tengah-tengah kelompok sosial
masyarakat. Untuk membangun keharmonisan di tengah-tengah masyarakat plural, egoisme harus dikendalikan. Dengan demikian hubungan harmonis terwujud sesuai dengan filsafat trihita karana. Nasihat Gungde Ambara kepada Luh Tri Prayatni bukanlah nasihat tanpa makna. Sebagai guru, Gungde Ambara membuktikan kemampuannya memiliki kecerdasan sosial yang mampu memukau khalayak. Kepiawaian Gung De Ambara terbukti ketika ia didaulat memberikan petuah dalam acara resepsi perkawinan Gusti Ngurah Jelantik dengan Firda Kim Hutabarat dari Sumatera di Desa Penyabangan Buleleng. Undangan resepsi perkawinan itu membuat Gungde Ambara (guru bahasa Inggris di SLTPN Selat) menjadi bintang panggung karena mampu memukau undangan yang hadir. Undangan terpukau karena isi wejangannya sarat dengan petuah agama yang disampaikan dengan bahasa Bali secara meyakinkan. Sebagai guru bahasa Inggris yang lama bertugas di Yogyakarta, Gung De Ambara tidak melupakan bahasa Bali. Justru dengan bahasa Inggris yang dikuasai, Gung De Ambara lebih menguatkan jati diri melalui bahasa Bali. Yen prada ada anak kelayu sekaran di Pakraman Selat, Ida sing kimudan marengin ngarombo, seleg nampingin pasantian, yadiastu pangawitne tuah mirengang. Ento mawinan sayan suwe sayan kadaut kahyune melajahin wirama. Tuwon pesan Ida malajah sig Guru Nengah Sepi,
144
penglingsir Desa Selat ane kasub wikan indik wirama, guru lagu, onekonekan, hrswa, dirgha, matra, wreta,purwakanti lan sapanunggilane (Ardhi, 2004 : 76). Terjemahannya : Kalau ada orang meninggal di desa Selat, ia (Gung De Ambara) tidak malu ikut membantu. Rajin pula mendampingi sekaa santhi, walaupun pada awalnya hanya sebagai pendengar. Itu sebabnya, lama-kelamaan ia jatuh cinta pada pelajaran wirama. Ia belajar pada Guru Nengah Sepi, sesepuh Desa Selat yang terkenal dan menjadi pakar dalam pesantian. Kutipan itu menyiratkan Gungde Ambara sebagai guru bahasa Inggris tidak saja menjadi guru bagi anak-anaknya di sekolah, tetapi juga menjadi guru bagi masyarakat tempatnya
hidup. Ia adalah manusia pembelajar yang mau berguru
dengan tokoh adat. Baginya, sesepuh adat adalah guru yang senyatanya membukakan pintu kesadaran bagi penguatan jati diri sebagai manusia Bali.
5.4 Guru sebagai Agen Perubahan Guru sebagai agen perubahan adalah guru yang mendorong terciptanya perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara berencana melalui dunia pendidikan. Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, bab VI pasal 13-16, pendidikan itu diselenggarakan dalam dua jenis (umum dan kejuruan), tiga jenjang (pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi), serta tiga jalur (informal, formal, nonformal). Dalam konteks itulah, guru sebagai agen perubahan melaksanakan tugas-tugasnya. Guru sebagai agen perubahan tergambar dalam cerpen ―Guru (2)‖ dan novel Tiba-Tiba Malam
karya Putu Wijaya. Cerpen ―Guru (2)‖ berkisah tentang
145
perempuan
dari Tabanan (Bali) sebagai
pelancong Jakarta.
Dalam
perajin janur yang dipermainkan oleh
kisah ini, Putu Wijaya
menghadirkan teror dengan
melakukan provokasi melalui tokoh seorang guru. Hasilnya, dengan berpijak pada argumentasi guru, perempuan perajin janur itu berani melakukan perlawanan dengan pengusaha Jakarta. Dengan kalimat lain, perempuan Bali pada tahap tertentu berhasil menaklukkan Jakarta. ―… ketika pelancong Jakarta itu muncul lagi, ibu ahli janur itu memberanikan diri mengajukan semua syarat-syarat yang sudah dinasihatkan. Ia mengatakan tidak akan mau berangkat, kalau persyaratan itu tak dipenuhi‖. ―Pelancong itu terkejut. Ia marah. Tetapi marah kepada siapa? Kontraknya sudah ditandatangani. Jadwal sudah diatur dengan teliti. Tak bisa mundur lagi karena sudah keburu basah…‖ (Wijaya, 1995: 48). Kutipan di atas menyiratkan ketidakharmonisan hubungan pusat (Jakarta) dan daerah (Bali) dalam konteks tatakelola seni budaya. Hegemoni pusat terhadap daerah merupakan jejak poskolonial yang mengandung sejumlah makna.
Pertama,
perempuan perajin janur menjadikan guru sebagai cermin dan agen perubahan untuk ke luar dari ketertindasan. ―… guru harus kritis. Tetapi apa yang secara positif harus terjadi ialah agar guru menghadapinya dengan meningkatkan daya tawar guru melalui peningkatan profesi.‖ (Surakhmad, 2009: 279). Kedua, Putu Wijaya menjadikan perempuan sebagai strategi literer untuk memenangkan emansipasi dengan harapan kemewahan yang disediakan Jakarta. Harapan kemenangan itu tidak terlepas dari peran yang dimainkan guru.
Ketiga, dengan menyembunyikan nama-nama
tokohnya, baik tokoh guru, tokoh perempuan, dan tokoh pelancong dari Jakarta, Putu Wijaya menghadirkan stratifikasi sosial secara imajiner. Walaupun demikian,
146
kesederhanaan
dan kebersahajaan guru telah memenangkan perajin janur yang
berasal dari Tabanan Bali dari ketertindasan pelancong Jakarta. Kekuatan ilmu pengetahuan gurulah yang mampu menandingi pengusaha Jakarta. Melalui cerpen ―Guru (2)‖, Putu Wijaya sedang melakukan autokritik terhadap manusia Bali sekaligus menerapkan jurus sastra teror. Autokrtik itu sendiri diniatkan untuk memperbaiki masyarakatnya, bukan untuk mengecam. Tegasnya, autokritik itu untuk penyadaran dan pembelajaran kepada masyarakat Bali akan pentingnya keterampilan budaya Bali dikuasai untuk dijaga nilai-nilainya agar tidak dicuri orang lain, selanjutnya dijual dengan harga mahal tetapi dengan mengorbankan pemiliknya, sebagaimana dialami tokoh perempuan perajin janur. ―Ternyata ilmu merangkai janur bukan hanya kerajinan, tetapi adalah seni, juga berisi pendidikan serta filsafat. Merangkai janur bukan hanya merangkai janur tetapi berdialog dengan hidup, makin lama makin mengasyikkan. Tidak hanya memerlukan ketekunan dan kreativitas, tetapi juga mengandung moral yang dalam. Membentuk kepribadian. Ilmu ini semestinya sejak lama sudah diajarkan sebagai bagian dari pendidikan‖ (Wijaya, 1995: 50). Kutipan di atas menyadarkan bahwa seni merangkai janur yang diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Bali sudah seharusnya diberikan pemaknaan baru seiring perkembangan zaman. Kehadiran tokoh guru memainkan peran dalam melakukan proses transformasi budaya secara benar dan beretika sesuai dengan tuntutan masyarakat yang kian melek huruf. Transaksi budaya mengatasnamakan hubungan persahabatan secara kebetulan dengan cara-cara tradisional (lisan) ditentang
oleh
guru dengan menyodorkan cara-cara baru yang dapat
dipertanggungjawabkan secara tertulis. ―Guru berpikir jauh ke depan, bukan
147
terbelenggu ilmu masa lalu, sebab tak banyak orang yang melihat anak-anak telah hidup di sebuah peradaban yang berbeda dengannya‖, demikian Kasali menulis di Kompas (7/2/2013). Hasil dari proses penyadaran yang dilakukan guru membuat perubahan sikap pada perempuan perajin janur dan para perajin di desa terkagum dan berharap dapat mengikuti jejaknya. Perempuan perajin janur mulai berani melawan pengusaha Jakarta dengan menyodorkan kerjasama melalui perjanjian tertulis terkait dengan berbagai kegiatan workshop tentang janur yang dilakukan di berbagai tempat di Jakarta. Tokoh guru hadir sebagai pelita dalam kegelapan sehingga upaya pelancong Jakarta memperdaya perempuan perajin janur dapat ditekan, bahkan takut. Guru berhasil mengedukasi dan mencerdaskan bangsanya. ―Seorang guru adalah sang pemberi. Dia tak pernah menagih, kecuali hasrat dan harapan, agar anak didik jadi tersohor, lebih hebat dari dirinya. Sang guru mungkin tak bergelar sarjana, tapi dia sangat bahagia kalau anak didiknya menjadi profesor‖ (Soethama, 2010: 83). Dalam novel Tiba-Tiba Malam, tokoh guru Sunatha menjadi agen perubahan dimulai dari awal meniti karier sebagai guru. Profesinya sebagai guru adalah langkah awal
memasuki dunia priyayi. Memasuki dunia priyayi bagi Sunatha berarti
mengubah dan mengangkat harkat dan martabat keluarga dari petani. Kebiasaan berlumpur di sawah digantikan dengan kebiasaan memberikan perhatian pada anak di ruang kelas. Dengan profesi guru, Sunatha berada di garda depan untuk mengubah masa depan bangsa karena gurulah yang mengubah sikap dan tingkah laku anak didiknya. Guru pula yang membelajarkan siswa dari tidak tahu menjadi tahu. Dari
148
gelap menjadi terang, sebagaimana guru dimaknai oleh Sinamo (2010: iv). Dalam Tiba-Tiba Malam, Sunatha mengawali kariernya sebagai guru dengan merantau. Budaya rantau meluaskan pandangan dan wawasannya untuk berpikir secara lebih komprehensif, seperti dilakukan tokoh guru dalam cerpen ―Guru (2)‖ karya Putu Wijaya. Sunatha setelah setahun merantau di Kupang kemudian berlibur ke Bali lalu berniat mengubah pola pikir masyarakat. Hal ini tampak dari dialog antara Made Badung dan Sunatha terhadap masuknya orang asing asal Belanda (David) ke desa di Tabanan. ―Jadi, menurut pendapatmu, lembaga banjar, krama desa, lembaga peguyuban harus dimusnahkan?‖ Sunatha memotong. ―Bukan memusnahkan. Tetapi harus diberikan interpretasi baru. Kita harus pandai-pandai untuk mengartikan semua lembaga-lembaga yang ada. Bukan sama sekali menghapuskannya.‖ (Wijaya, 1977: 159).
Kutipan di atas menandaskan perlunya penyikapan terhadap lembaga tradisional (adat) di Bali. Kesadaran akan perlunya interpretasi adat itu muncul dari pemikiran guru yang merantau ke Kupang. Konsep ini identik dengan pengalaman Putu Wijaya yang mengamati Bali dari luar (Jakarta). Dalam biografinya, Putu Wijaya disebutkan berasal dari Puri Anom Tabanan, bersekolah di SMAN 1 Singaraja, melanjutkan ke Fakultas Hukum UGM, lalu merantau dan menetap di Jakarta sejak 1969. Dalam esai-esai budayanya, Putu Wijaya (1999: 60) juga menyebutkan pentingnya gagasan perubahan. Redefinisi terhadap adat di Bali dilakukan dengan mempertimbangkan dinamika yang sedang terjadi.
149
Bali memiliki kelenturan dalam beradaptasi dengan adanya konsep desa-kalapatra. Sebuah konsep yang luar biasa lihainya dalam menyiasati perubahan dan perkembangan zaman. … Bali bukan hanya milik kita orang Indonesia, apalagi milik orang Bali. Bali adalah aset dunia. Bali adalah sebuah simbol dari janin perubahan/perkembangan/pertumbuhan yang sudah berproses bertahun-tahun mempersiapkan fenomena yang kini mengobrak-abrik dunia dan dikenal dengan sebutan globalisasi. Gagasan perubahan itu mirip dengan gagasan Sunatha ketika berdialog dengan Made Badung di Kupang, sesaat sebelum ia pulang berlibur ke Bali. Hal ini juga memberikan petunjuk bahwa gagasan perubahan terhadap Bali dilakukan oleh orang Bali yang merantau. Pembacaan Bali oleh orang Bali dari rantau adalah pembacaan Bali secara berjarak. Membaca Bali secara berjarak dapat lebih objektif apalagi dilakukan oleh seorang guru. Gerakan perubahan yang ditawarkan Sunatha terhadap adat di Bali dilakukan dengan mengedukasi masyarakat pendukung desa adat melalui tridharma keguruan, yaitu mendidik, mengajar, dan melatih (Sinamo, 2010: xxi-xxiv). Metodik didaktik dalam pembelajaran yang mengedepankan cinta kasih dijadikan pijakan oleh Sunatha. Perubahan ditawarkan khas cara guru, jauh dari rasa dendam dan dengan besar hati minta maaf. ―Saudara-saudara, kawan-kawan semua, para sesepuh desa, saya dan bapak saya sekeluarga, menyerahkan diri saya untuk diadili oleh desa. Keluarga saya, bapak saya, telah melakukan kesalahan yang besar terhadap adat, sekarang Hyang Widhi Wasa sudah menjatuhkan hukumannya. Saya terima semua ini dengan penuh pengertian. Seandainya pun ini belum cukup, ijinkanlah saya meminta maaf, atas kekeliruan bapak saya. Juga kesalahankesalahan saya sendiri. Hukumlah kami sesuai dengan kesalahan kami, akan tetapi satu permintaan saya, janganlah buang kami dari pergaulan desa, berikanlah kami kesempatan sekali lagi. Ini semua adalah pelajaran yang berat bagi kami. Dan ijinkanlah ibu saya beristirahat dengan tenang. Biar saya sendiri sajalah yang memikul semua ini!‖ (Wijaya, 1977: 228-229).
150
Tawaran perubahan yang dilakukan Sunatha terhadap warga desa disambut dengan lapang dada oleh pemuka desa yang diikuti seluruh warga desa. Jalan damai dilakukan dengan mengakui kesalahan sendiri di depan warga desa. Sebagai guru, Sunatha memulai perubahan dari keluarganya sendiri yang dianggap bermasalah. Permohonan Sunatha disambut positip oleh Ngurah dan kepala Desa. ―Saudara-saudara, ijinkanlah permohonan saudara kita ini. Dia tidak bersalah, keadaan telah begitu rupa, sehingga kita telah sama-sama bodoh. Itulah yang salah‖, kata Ngurah (Wijaya, 1977: 229). Kutipan di atas mengimplisitkan bahwa sebagai guru Sunatha sesungguhnya tidak salah, hanya karena kebodohan sehingga keadaan dijadikan kambing hitam. Secara tidak langsung Sunatha telah memberikan pembelajaran kepada masyarakat desa yang umumnya masih diliputi kegelapan (kebodohan) sehingga pengucilan sosial dilakukan secara massal (suryak siu) tanpa pertimbangan rasional. Tindakan Sunatha juga direspon positip oleh Kepala Desa dengan mengajak warga desa memaafkan keluarga Sunatha akibat ulah ayahnya yang terprovokasi oleh David dari Belanda. ―Kawan-kawan,‖ katanya, ―anak ini telah minta maaf, kita hormati dia, sebagai orang yang berkelakuan baik. Lihat, bapaknyapun telah menyesal. Benar kamu menyesal? Subali menganggukkan kepalanya. ―Jadi, mari kita kuburkan dengan sepatutnya, istrinya yang tidak bersalah itu. Hari ini kita sudah banyak belajar, bagaimana caranya hidup bersama-sama sekarang.‖ (Wijaya, 1977: 229-230). Cara Sunatha mengambil hati warga desa sejalan dengan caranya membangun empati di hadapan murid-muridnya di dalam kelas. Ia berdamai dengan keadaan.
151
Tampaknya, ia kalah oleh warga desa tetapi sesungguhnya ia telah menang dan memberikan pembelajaran kepada warga desa. Hal itu telah diakui oleh para pemuka desa. Pandangan demikian juga mengukuhkan status kepriyayian Sunatha sebagai guru yang dalam strata sosial masyarakat diklasifikasikan ke dalam kelompok ksatria. Fahrizal (2001: 3) menyebutkan priyayi utama itu sesungguhnya adalah ksatria. Artinya, priyayi utama itu harus tetap tabah dan gagah menanggung malu. Ia tidak hanya harus gagah dalam kemenangan, tetapi juga dalam kekalahan. ―Saudaraku, betapapun bencinya kamu pada Utari,karena cintanya kepadamu begitu murah, betapapun bencimu pada David, juga bagaimanapun dongkolnya kamu kepada Ngurah, harus ingat, kalau kamu menghadapi mereka nanti, tunjukkanlah bahwa kamu seorang yang tulus dan besar. Tersenyumlah dari lubuk hatimu, di sini (Badung menekan dada Sunatha) pasti mereka akan rontok, kalah tanpa perlu kau lawan, kalah akan tetapi tidak punya alasan untuk benci kepadamu.‖ (Wijaya, 1977: 138-139). Nasihat Made Badung kepada Sunatha itu dimaksudkan untuk menyemangati Sunatha yang berada dalam keadaan terpuruk. Istrinya dirampas oleh Ngurah. Bapaknya, Subali diprovokasi oleh David yang berakibat pada pengucilan sosial (kasepekang), dan ibunya meninggal tanpa hak menggunakan tanah kuburan. Dengan cara ahimsa (tanpa kekerasan), Sunatha selalu diingatkan oleh Made Badung untuk menghadapi segala keadaan, termasuk keadaan terpuruk sekalipun. ―Kamu seorang guru, kamu harus memberi teladan bahwa ketabahanlah modal terakhir seorang manusia yang tetap dapat mengantarkan orang untuk berhasil‖ (Wijaya, 1977: 137). Nasihat Made Badung kepada Sunatha mengandung pesan perubahan
152
mengantarkan orang untuk berhasil. Dalam nasihat itu, terimplisit bahwa sebelum berhasil mengubah orang lain, seorang guru diisyaratkan mengubah dirinya sendiri. Hal itu diaplikasikan oleh Sunatha ketika menghadapi tekanan yang bertubi-tubi dari warga masyarakat di desanya, setelah setahun merantau di Kupang sebagai guru.
5.5 Guru Pragmatis Materialistis Guru pragmatis materialistis
adalah guru yang mengedepan kepraktisan
dengan mementingkan kebendaan (harta dan uang) semata bagi dirinya sendiri (KBBI, 2002: 891). Citra guru pragmatis materialistis ditemukan di dalam cerpen ―Ibu Guru Anakku‖ serta novel Senja di Candi Dasa karya Aryantha Soethama. Cerpen
―Ibu Guru Anakku‖ berkisah tentang seorang guru perempuan bernama
Rahayu dari Purwokerto yang terpaksa menjadi guru TK karena drop out dari sastra Inggris IKIP. Ia jatuh cinta kepada Bali sejak study tour ke Bali ketika SMA. Kedatangannya ke Bali mula-mula untuk melamar pekerjaan di hotel. Sementara tidak ada lowongan di hotel, ia dimanfaatkan oleh kepala TK untuk mengajar. Bakatnya mengajar mengagumkan. Anak-anak menyukai cara Bu Rahayu mengajar. ―Hampir tiap pulang sekolah anak saya menyebut kemahiran Bu Rahayu bercerita di depan kelas. Malam menjelang tidur, anak saya sudah tak sabar besok akan bertemu ibu gurunya‖ (Soethama, 2006: 15). Gambaran guru dalam
―Ibu Guru Anakku‖, menyiratkan bahwa Rahayu
memilih profesi guru hanya sebagai batu loncatan, bahkan terpaksa. Keterpaksaan
153
juga membuat Rahayu berbohong kepada ibunya, dengan mengatakan bahwa ia bekerja di hotel berbintang. ―… kepada ibu saya katakan, saya bekerja di hotel. Bulan lalu saya tulis surat ke Purwokerto kalau saya sudah bekerja di hotel berbintang. Mereka tentu senang. Saya berjanji akan mengirim uang karena mereka yakin gaji saya besar‖. ―Anda berbohong?‖ ―Terpaksa Pak‖. Dari kutipan di atas, Aryantha tampaknya menampilkan tokoh guru yang tergoda oleh geliat pariwisata. Hal ini juga terjadi pada Nengah Diarsa tokoh guru dalam novel Senja di Candi Dasa. Godaan dolar pariwisata dalam kenyataannya banyak menyeret profesi guru. Ada yang tetap menjadi guru, sambil mengadu nasib menjadi sopir taksi atau pemandu wisata sepulang sekolah. Akan tetapi, tak jarang pula yang memutuskan berhenti jadi guru, lalu fokus di pariwisata. Ada pula yang telah meninggalkan profesi guru untuk bekerja di sektor pariwisata lalu gamang dan kembali menjadi guru. Selain menggambarkan derasnya pengaruh arus pariwisata, cerpen ini juga berkisah tentang keluarga Rahayu yang miskin, dari desa, dan banyak saudara, tanpa dasar pendidikan guru. ―Keluarga saya miskin Pak. Kami tidak punya uang. Saudara saya banyak. Saya bungsu, anak kedelapan‖ (Soethama, 2006: 17). Deskripsi dalam cerpen ini menguatkan esai-esai tentang guru yang ditulis kaum intelektual Indonesia. Sudarminta (2001: 261) menunjukkan profesi guru menjadi profesi yang tampaknya mudah dan murah. Seakan-akan setiap orang dapat menjadi guru, asal ia mau.
154
Gambaran demikian dilukiskan oleh Aryantha melalui tokoh Bu Rahayu, guru TK yang tidak berijazah guru. Guru TK yang drop out dari Sastra Inggris IKIP. Cerpen yang dibukukan dalam kumpulan cerpen Mandi Api dan dinobatkan sebagai peraih Khatulistiwa Literary Award 2006, cukup memberikan gambaran bahwa guru adalah profesi kelas dua. Dengan menggunakan setting Bali, tokoh guru Bu Rahayu asal Purwokerto merepresentasikan Bali sebagai tempat mengadu nasib, termasuk bagi mereka yang kepepet, daripada tidak bekerja. Pertimbangan pragmatismaterialistis menjadi acuan sehingga guru pun menjadi batu loncatan sebelum meraih penghasilan yang lebih baik. Hal ini menjadi pertanyaan reflektif bagi Aryantha pada akhir cerpennya. ―Kalau semua orang seperti Rahayu, siapa yang akan menjadiguru anakku?‖ (Aryantha, 2006: 21). Pertanyaan reflektif itu sesungguhnya mengandung makna mendasar terkait dengan masa depan bangsa. Pertama, ada kekhawatiran orangtua terhadap profesi guru yang tidak fokus dengan tugasnya. Guru yang mendua seperti ini tidak akan maksimal melayani siswa yang akan berdampak pula pada prestasi belajar siswa yang tidak optimal. Kedua, ada kekawatiran di mata guru Bu Rahayu akan masa depan hidupnya sebagai guru. Di tengah masyarakat yang bergerak cepat dengan mengedepankan
pola hidup
pragmatis materialistis, guru
berada pada posisi
tergencet. Ketiga, ada ketimpangan penghasilan antara guru dengan profesi di bidang pariwisata. Ketimpangan ini membuat guru berpaling dari habitatnya, guru tergoda oleh kemajuan pariwisata.
155
Akibatnya, aksioma ―guru digugu dan ditiru‖ pun diplesetkan menjadi ―guru digugu dan di-guyu (dipermainkan). Masyarakat mulai campah ‗meremehkan‘ terhadap profesi guru. Gambaran guru demikian pula yang dikisahkan Aryantha dalam Senja di Candi Dasa melalui dialog tokoh guru Nengah Diarsa dengan Putu Suwitri. ―Kau masih mengajar di SMA Klungkung?‖ ―Ya.‖ ―Masih sendiri?‖ ―Ya.‖ ―Orang seperti kamu bisa lebih dari sekedar jadi guru. Semestinya kau jadi doktor, profesor, jadi dosen. Sayang kalau cuma jadi guru SMA. Senang jadi guru?‖ ―Ya.‖ ―Tapi tanggungjawabnya kan besar, sedangkan gajinya rendah.‖ ―Ya.‖ ―Kok ya, ya, terus,‖ teriaknya lalu melempar kertas permen, yang dipilin-pilinnya sejak tadi ke arahku. Aku merunduk. Suwitri tertawa keras dan buah dadanya terguncang-guncang (Soethama, 2009: 69). Kutipan di atas, menyiratkan dua hal. Pertama, adanya respon miring para pelaku pariwisata terhadap profesi guru yang cenderung dinilai dengan ukuran uang. Gaji rendah sebagai dasar penilaian. Mereka lupa bahwa kebahagiaan seorang guru bukan semata-mata pada banyaknya uang yang diperoleh, melainkan kepuasan batin manakala siswa-siswanya sukses,seperti ditekankan Kepala Sekolah ketika menerima lamaran Nengah Diarsa sebagai guru. Saudara tidak keliru kalau memilih jadi guru sepanjang yang Saudara harapkan adalah kebahagiaan batin. Tetapi Saudara harus ingat, sekolah, ruang kelas, tidak pernah memberikan uang cukup. Selama Saudara jadi guru, Saudara tak akan merasa punya cukup banyak uang. Di situ, Saudara harus harus hati-hati, agar tidak tergoda berbuat yang bukan-bukan untuk mendapatkan uang ( Soethama, 2009: 121).
156
Berbeda dengan pelaku pariwisata yang di benaknya bekerja adalah servis, servis, dan servis agar tamu betah sehingga tidak complain. Selalu tampak tergesagesa seperti dikejar harimau. Di benak pelaku wisata, waktu adalah uang; sedangkan di benak guru waktu adalah per-hati-an pada anak. Demi uang, pelaku wisata dicitrakan hanya bersandiwara. Mereka menjadi juru pikat untuk menggaet dolar. ―Senyum itu kurasakan senyum palsu. Senyum pelayanan untuk menggaet dolar yang banyak‖ (Soethama, 2009: 167). Kutipan ini sejalan dengan orasi Mochtar Lubis (1999: 16) yang mengatakan, ―Karena tak punya etos kerja yang benar lagi, kita lihat di seluruh bidang profesi kemunduran yang amat merisaukan.‖ Kedua, guru dipersepsikan sebagai sosok penurut dan tidak berani berargumentasi, dihadapan pelaku wisata. Setiap pertanyaan dijawab seragam : Ya. Tidak adanya argumentasi guru dipandang sebagai insan
yang
takut berbeda
pendapat. Takut ke luar dari buku teks. Putu Wijaya (2001:156) mengakui ketika guru ditanya arti kemerdekaan, guru itu cepat-cepat menghindari tape tersebut. Persoalannya, argumentasi guru dapat mencelakan guru seperti dialami oleh tokoh guru dalam cerpen ―Guru (2)‖ karya Putu Wijaya, dalam kumpulan Protes (1994). Respon masyarakat terhadap guru sebagaimana digambarkan dalam cerpen Putu Wijaya dan novel Aryantha Soethama adalah cerita di balik berita.
Guru
dikisahkan sebagai sosok yang penurut, bahkan terinjak-injak sebagaimana ditulis Bawa Samargantang (2000) dalam puisi, ―Guru Sampun Sue Maudek‖ (Guru Sudah Lama Terinjak-injak). Bersamaan dengan itu, guru juga menjadi berita sebagai anak manis di jajaran birokrasi. Tidak ada demo guru sepanjang Orde Baru. Tabu bagi
157
guru melakukan demo. Apa kata siswa, kalau guru sampai demo? Guru masih konsisten dengan trisakti-nya Ki Hajar Dewantara yang mengedepankan cipta (logika), menyelaraskan estetika (rasa), dan memadukannya dengan etika (karsa). Itulah respon masyarakat terhadap profesi guru dalam dekade 1990-an pada saat Orde Baru berjaya. Hal sebaliknya terjadi, ketika Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ditetapkan. Respon pengarang Bali terhadap guru juga mulai berubah seiring angin reformasi. Hal ini terlukis dalam cerpen Sugianto (2010: 9-12) yang berjudul ―Sertifikat(si)‖. Dalam cerpen ini, dilukiskan tidak sedikit para guru yang ditengarai memalsukan dokumen piagam seminar. “Mangkin wenten sertifikasi, Gus. Silih tunggil katuriksa indik portofolio sane kadagingin sertifikat. Sertifikat punika silih sinunggal sane paling aluh. Bapak tan madue prestasi. Punika taler ngekoh nyarengin seminar. Yen wenten ane aluh cara niki, ngentos aran sang madue sertifikat, sinah tan tuyuh, tur sing mesuang peluh” (Sugianto, 2010: 10-11). Terjemahannya : ―Sekarang ada sertifikasi,Gus. Salah satu yang diperiksa adalah fortofolio dengan sertifikatnya. Sertifikat itu salah satu yang paling mudah. Bapak tak punya prestasi. Bapak juga malas mengikuti seminar. Kalau ada yang mudah seperti ini, mengganti nama orang yang mempunyai sertifikat, tentu tidak susah, tidak perlu mengeluarkan keringat‖.
Sikap guru yang menerabas seperti dikisahkan Sugianto selaras dengan pandangan Koentjaraningrat tentang ciri masyarakat Indonesia (1994). Pandangan ini juga ditegaskan oleh Mochtar Lubis (1999: 16) dengan pernyataan bahwa etos kerja manusia Indonesia juga sudah brengsek sekali. Kita tidak lagi memiliki kebanggaan pada pekerjaan yang kita lakukan. Akibatnya, mutu kerja mengalami erosi.
158
Pandangan ini juga terepresentasikan dalam karya para pengarang Bali, dengan tokoh guru. Sikap guru menerabas akibat pengaruh pariwisata tergambar dalam novel Senja di Candi Dasa (2009). Pengaruh budaya
materialistis-kapitalis telah
memengaruhi cara guru bertindak, sehingga godaan pariwisata dengan iming-iming kemewahan dan kesenangan sangat menggoda profesi guru. Godaan itu tidak hanya mengubah tokoh fiktif guru dalam novel, tetapi juga memengaruhi pengarang dalam melahirkan novel Senja di Candi Dasa. Novel ini lahir secara metamorfosis. Wawancara peneliti dengan Aryantha mengatakan novel Senja di Candi Dasa bermula dari novelet Wayang Kamasan. Oleh karena ada lomba penulisan novel oleh Bali Post dengan syarat 250 halaman, novelet menambahkan tokoh utama guru.
itu dikembangkan dengan
Dengan pengembangan kisah itu, lalu judul
Wayang Kamasan diganti menjadi Pilihanku Guru dan meraih juara I penulisan novel Bali Post 1992. Setelah diterbitkan oleh penerbit di Yogyakarta, Pilihanku Guru berubah menjadi Senja di Candi Dasa (2002). Cetakan ke-2 novel Senja di Candi Dasa diterbitkan pada 2009 oleh penerbit buku Arti Denpasar. Sejak lahirnya novel ini sudah dibayangkan bahwa tuntutan materialispragmatis telah mendasarinya. Begitu juga tokoh guru, Nengah Diarsa yang meninggalkan tugas guru menjadi karyawan pariwisata berdasarkan pertimbangan materialis-pragmatis. Guru dihadapkan pada persoalan manusia Bali dalam menyikapi perubahan sosial budaya Bali yang terjadi. Persoalan menyikapi masa lalu yang direpresentasikan melalui tokoh Bu Rangun dan persoalan kejahatan masa kini
159
yang dilakukan oleh Wayan Rereh, membuat posisi guru terjepit dalam himpitan kehancuran akibat komersialisasi artefak
budaya, dalam hal ini lukisan Bisma
Gugur. Keterlibatan Wayan Rereh dalam komplotan pencuri benda-benda bersejarah dapat dibaca dengan teori interteks yang dasar-dasarnya diperkenalkan Bakhtin dan dikembangkan lebih lanjut oleh Julia Kristeva. Bakhin menggunakan istilah dialogisme untuk menandai hubungan setiap tuturan dengan tuturan lain (Todorov, 2012: 99). Dalam konteks ini, tuturan itu adalah teks yang diproduksi tidaklah berdiri-sendiri. Oleh karena itu, terjadilah hubungan intertekstualitas, suatu istilah yang dikembangkan oleh Kristeva (Todorov, 2012: 99). Dengan mengutip Culler (1977:139), Ratna (2004 : 218) mengatakan setiap teks harus dibaca dengan latar belakang teks yang lain, tidak ada satu teks pun yang dapat dibaca secara benar-benar mandiri. Keterlibatan Wayan Rereh, orang Bali yang masuk ke dalam komplotan pencuri lukisan Bisma Gugur dapat dimaknai sebagai rusaknya nilai-nilai budaya Bali, karena rusaknya mental oknom-oknom dari Bali, dengan memperdagangkan bahkan merampas artefak budaya sehingga berpindah ke tangan orang asing. Orang asing telah menjadi pemburu lukisan klasik, yang kalau tidak diwaspadai akan menghancurkan Bali, cepat atau lambat. Sejak lukisan wayang klasik Bisma Gugur, selembar masterpiece, dicuri, direbut, hendak dijual, jatuh ke tangan sindikat penjahat, ia pun menulis riwayat baru. Riwayat yang tidak berbeda dengan Bali. Kecantikan lukisan wayang itu adalah kecantikan Bali, yang membuat dia uber-uber, digerogoti, disadap, dan diperas. Orang-orang dari negeri sangat
160
jauh datang tidak hanya untuk menikmati tanah ini, tapi berniat mengurasnya habis-habisan. Kalau bisa, mereka ingin memindahkan Bali dan isinya ke mana mereka suka, agar lebih leluasa lagi mengeruk keuntungan (Soethama, 2009: 238). Kutipan di atas memosisikan Nengah Diarsa sebagai guru yang berada dalam perubahan sosial yang dahsyat. Guru pada awalnya diniatkan pengarang sebagai penunjuk
jalan dalam
menjembatani perubahan Bali akibat perkembangan
pariwisata yang tidak terbendung. Akan tetapi, akibat godaan pariwisata, Nengah Diarsa justru terperangkap dalam jaringan pariwisata yang mengejar kesenangan pragmatis-materialistis.
Berbeda dengan guru yang mengedepankan nilai-nilai
humanisme dan mengejar ketenangan lahir batin. Mengajak masyarakat ke luar dari kegelapan menuju terang, sebagaimana guru disyairkan Sartono, ―engkau s‘bagai pelita dalam kegelapan….‖
5.6 Guru yang Peduli Budaya Citra guru yang peduli budaya meliputi kepedulian pada adat tradisi, kuatnya ikatan sosial kemasyarakatan, semangat kekeluargaan, dan kepedulian terhadap lingkungan. Citra guru yang peduli adat dan tradisi ditemukan dalam semua novel SBM, tetapi yang intens terdapat dalam Mlantjaran ka Sasak dan Bukit Buung Bukit Mentik. Kedua novel ini menampilkan tokoh guru (Made Sarati dalam Mlantjaran ka Sasak dan Gungde Ambara dalam Bukit Buung Bukit Mentik) yang memperkokoh adat dan tradisi Bali walaupun mereka mendapat pendidikan modern. Modernitas pendidikan digunakan untuk memperkuat adat dan tradisi yang seirama dengan
161
kemajuan. ―Luung masi, api nu mauruk di Jawa nu rungu geguritan Bali‖ (Srawana, 1978:105). (Baik juga, walaupun masih bersekolah di Jawa, tetap peduli dengan geguritan Bali). Kutipan di atas senada dengan temuan Darma Putra (2003:83) yang membandingkan cerpen ―Kurban‖ dan novel Mlantjaran ka Sasak dengan temuan bahwa kedua tokoh wanita (Gusti Ayu Amba dalam cerpen ―Kurban‖ dan Dayu Priya dalam novel Mlancaran ka Sasak), adalah wanita yang cerdas, modern, tidak rendah diri bergaul dengan pria. Mereka adalah lambang wanita modern Bali yang diidam-idamkan, walau mereka berpendidikan tinggi sampai ke Jawa, keduanya teguh mempertahankan identitas sebagai orang Bali. Pesan-pesan perempuan berpikiran maju dan kukuh mempertahankan adat, tradisi, dan budaya Bali
tampak berelasi dengan biografi Gde Srawana yang
menggambarkan pengalaman hidupnya melalui novel Mlantjaran ka Sasak. Pengalaman kerja pengarang di Kantor Dinas Purbakala, Gedong Kirtya, Kantor Urusan Agama, Jawatan Kebudayaan, menggambarkan tugas yang diemban Gde Srawana bertalian dengan membina dan mengembangkan kebudayaan Bali. Ilmu pengetahuan modern dipelajari dengan penuh kesungguhan, tetapi nilainilai tradisi tetap dijaga dan dikembangkan. Bukti kesungguhan mereka mempelajari ilmu pengetahuan modern ditunjukkan dengan minat baca yang tinggi dan ke manamana membawa buku, bahkan setamat dari Jawa, Dayu Priya hendak melanjutkan ke Belanda, walaupun pada akhirnya diurungkan karena perang. Mereka menjadikan ilmu pengetahuan sebagai busana dalam hidupnya, sehingga lebih mengutamakan
162
belanja buku daripada pakaian. Itu sebagai cermin bahwa Made Sarati dan Dayu Priya adalah manusia pembelajar. Kesadaran Made Sarati dan Dayu Priya itu diperoleh melalui apresiasi terhadap karya sastra, khususnya geguritan. Apresiasi dimulai dari kesenangan mereka menikmati tembang, lalu memaknai sebagai suluh kehidupan, kemudian melaksanakan dalam hidup. Hikmah dari apresiasi itu adalah tumbuhnya sikap positip berbahasa yang memberikan nikmat dan manfaat sehingga fungsi persuasi estetis karya sastra terwujud. Teeuw (2003: 60) menyebutkan di dalam fungsi persuasi karya sastra itu, terdapat tiga aspek sekaligus, yaitu docere (mengajar), delectare (memberikan kenikmatan), dan movere (menggerakkan). Secara kultural, daya tarik novel ini terletak pada gugatan terhadap feodalisme kasta yang dilakukan oleh Dayu Priya (wanita menak). Pengarang menempatkan wanita menak pada posisi melawan kesewang-wenangan laki-laki menak yang seenaknya menjodohkan Dayu Priya. Hal ini juga simbol pemberontakan oleh penguasa (brahmana) dari kalangannya sendiri, sebagaimana juga dilakukan Douwes Dekker seorang Belanda yang menentang penjajahan Belanda di Indonesia. Sebagai kaum intelektual, Dayu Priya dan Made Sarati memosisikan diri sebagai ―feodalisme intelektual‖ seperti diperkenalkan Thomas Jefferson (Tilaar, 2003: 202). Dengan posisi sebagai feodalisme intelektual, mereka menempatkan diri sebagai kaum terpelajar yang sudah selayaknya memimpin dan mengarahkan serta tidak larut dalam polemik kasta pada dekade 1930-an. Hal itu benar-benar dilakoni oleh mereka berdua, walaupun terasa berat. Secara keseluruhan novel Mlantjaran ka Sasak berintikan pada tiga hal, yaitu: bertamasya ke Lombok, dialog kemanusiaan
163
dengan aneka geguritan, dan memaknai tradisi di tengah modernitas. Di antara ketiga persoalan itu, kehadiran tokoh guru menjadi jalan penengah. Baik ketika berangkat ke Lombok dalam perjalanan, dialog kemanusiaan, maupun dalam menghadapi gempuran modernitas versus tradisional. Dalam konteks inilah guru diposisikan sebagai mediator (penengah) antara jalan tradisi dan modern. Jika kepedulian guru Made Sarati terhadap adat dan budaya Bali dalam Mlantjaran ka Sasak dengan latar belakang masa penjajahan Belanda, maka dalam Bukit Buung Bukit Mentik, tokoh guru muda (Gungde Amabra, Luh Tri Prayatni, dan Gusti Ngurah Jelantik) hadir dengan latar belakang gempuran budaya global setelah kemerdekaan lebih dari setengah abad. Di tengah gempuran budaya global, para tokoh guru mengambil peran menjadi pembina Utsawa Dharma Gita, di sekolah masing-masing untuk selanjutnya dikompetisikan di GWK. Di antara tokoh guru dalam Bukit Buung Bukit Mentik, adalah Luh Tri Prayatni yang paling menonjol perannya. Kepiawaian Luh Tri Prayatni sebagai guru SD membekaskan kesan sangat positip dan mendalam bagi para siswa. Bahkan, siswa yang dikenal nakal bisa dijinakkannya. Cara kailihin angin aris keneh Wayan Wiryawane ningehang raos Bu Gurune. Inget ia dugase ipidan ngewerin Ibu Tri. Inget ia, sasubane ento, ia maan sesayuban uli gurune pradnyan ene : „Yen sing Bu Guru Tri, kenken ia panadian deweke, mehmehan dadi pamiyutan, dadi panglentiran, dadi bebotoh ulad-ulid, dadi preman. Aget, tutur-tuture ngeranaang deweke kadudut meled nutugang sekolah, katerima di SLTP Negeri, mawinan las kenehe nilarin rerama, nilarin desa Bukit Mentik, kost di Kota. Aget ipidan urukanga magegitan di SD,mawanan jani sida dadi duta Buleleng ngamiletin
164
UDG. Rasane numitis buin pindo, sing lakar surud bhaktine marep ring gurune ene, keto kenehne‟ (Ardhi, 2004: 32-33). Terjemahannya: Seperti diterpa angin sepoi-sepoi, pikiran Wiryawan mendengarkan tutur Bu Guru. Ia ingat ketika SD menjaili Ibu Tri. Sesudah itu, ia sadar telah mendapat peneduh dari gurunya yang piawai : ‗kalau tidak Bu Guru Tri, tidak bisa dibayangkan dirinya, mungkin telah menjadi gelandangan dan pengemis, penjudi atau preman. Syukurlah, tutur Bu Guru Tri menyadarkan diri untuk melanjutkan sekolah dan diterima di SLTPN yang membuatnya ikhlas meninggalkan orang tua, meninggalkan Desa Bukit Mentik, kost di Kota. Syukur pula, dulu diajarkan menembangkan wirama ketika SD sehingga sekarang dipercaya menjadi duta Buleleng mengikuti UDG. Rasanya, bereinkarnasi sampai dua kali sekali pun, tidak akan melupakan baktinya kepada gurunya yang satu ini, begitu pikirnya‘. Selain itu, Wayan Wiryawan juga sering memuji dan menceritakan kepiawaian
Bu Tri dalam seni (tari, geguritan) Bali dengan teman-teman dan
gurunya di SLTPN Buleleng. Penilaian itu membuat Gusti Ngurah Jelantik, guru SLTPN Buleleng penasaran. “Oohh, gurun Wayan Wiryawane dugas di SD? Ipun bangga pisan ring jerone, kocap jerone wikan mawirama,matembang,masolah” (Ardhi, 2004: 35). Terjemahannya : Oohh, gurunya Wayan Wiryawan saat SD? Ia bangga dengan Ibu, katanya Ibu pandai menembangkan wirama, menyanyi. dan menari‖. Luh Tri Prayatni guru SD Bukit Mentik dicitrakan sebagai guru di hati murid,
sedangkan Gungde Ambara dicitrakan sebagai guru yang ideal di mata
masyarakat Bali
karena perhatiannya pada agama,adat,sastra, dan budaya Bali.
Gungde Ambara adalah guru yang memiliki kecerdasan emosional dan sosial, selain kecerdasan linguistik, jika dikaitkan dengan teori kecerdasan jamak dari Goleman
165
(1999: 43). Menurut Goleman (1999: 45), ciri kecerdasan emosional adalah kemampuan memotivasi diri sendiri, mengendalikan dorongan hati, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa. Ciri-ciri itu diterjemahkan oleh Gungde Ambara dengan berguru pada Guru Nengah Sepi, sesepuh Desa Selat melalui kegiatan pesantian (kelompok seni tradisional Bali yang mengapresiasi karya sastra Bali melalui berbagai tembang). Gungde Ambara memiliki kemiripan dengan Made Sarati dalam Mlantjaran ka Sasak yang juga sempat bertugas sebagai guru SMP di Yogyakarta. Gung De Ambara walaupun lama bertugas di Yogyakarta, ia tidak lupa dengan berbagai pupuh (tembang) yang biasa digunakan oleh kelompok pesantian. Selain menunjukkan sikap peduli budaya, adat, dan agama, SBM juga menggambarkan kuatnya ikatan sosial kemasyarakatan dalam tokoh guru, seperti terlukis dalam sosok Made Sarati dan Ketut Gunawan dalam novel Mlantjaran ka Sasak; Luh Tri Prayatni, Gungde Ambara, dan Ngurah Jelantik dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik; Nyoman Santosa dalam novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang; dan Bu Wartini dan Pak Sukata dalam novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah. Semua tokoh guru dalam novel SBM yang diteliti merepresentasikan sosok yang dapat diterima masyarakat. ‖Guru dianggap sebagai sosok yang rela menceburkan dan meleburkan diri bersama masyarakat untuk terlibat dalam penyelesaian aneka persoalan kemasyarakatan‖ (Rohman, 2013: 3).
Kecerdasan
166
sosial tokoh guru ditunjukkan dengan memelihara hubungan baik antarsesama guru walaupun mereka saling berjauhan, seperti Made Sarati dan guru Ketut Gunawan dalam Mlantjaran ka Sasak. Kesamaan pikiran dan pekerjaan telah mendekatkan mereka dalam pertemanan sejati.
Kecerdasan sosial dengan semangat menyama
braya, saling asah, asih, asuh itu diimplementasikan oleh Luh Tri Prayatni dan Gungde Ambara dengan menghadiri undangan perkawinan Ngurah Jelantik (guru SLTPN Buleleng) dengan Kim Firdayanti di Penyabangan
Buleleng. Gungde
Ambara bahkan sekaligus ditunjuk memberikan wejangan kepada pasangan pengantin sebagai bekal hidup mengarungi bahtera rumah tangga. Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang
karya Djelantik Santha,
merepresentasikan Nyoman Santosa sebagai (calon) guru yang mampu bermasyarakat dalam segala lapisan masyarakat. Pergaulan Nyoman Santosa selama di SGB di Klungkung dipuji oleh Kepala Sekolah sebagai sosok yang rendah hati dan beretika. Begitu pula selama di SGA di Singaraja, pergaulan lintas sekolah tanpa melupakan status sebagai anggota sekaa teruna di desanya. Nyoman Santosa mampu menjadi motivator bagi pemuda di lingkungan banjarnya pada saat liburan. Oleh karena itu, sehabis liburan, sejumlah pemuda mengantarkan Nyoman Santosa ke Singaraja walaupun hanya sampai di Karangasem. Hal ini juga memberikan petunjuk bahwa sebagai pemuda berpendidikan di kota, ia tidak melupakan teman-temannya di desa. Kecerdasan sosial juga ditunjukkan oleh Gungde Ambara dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik dengan melarutkan diri dalam kegiatan adat di desa Selat.
I
Nyoman Manda dalam Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah merepresentasikan
167
kecerdasan sosial guru melalui tokoh Bu Wartini dan Pak Sukata, ketika melakukan bakti penghijauan di seputar Danau Batur. Kegiatan penghijauan itu dikaitkan dengan acara kemah pramuka. Pola kecerdasan yang dikembangkan mengikuti cara Ki Hajar Dewantara dengan prinsip-prinsip ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Sikap peduli budaya dengan semangat kekeluargaan melalui SBM, terlukis dalam novel Mlantjaran ka Sasak dan Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang. Istilah-istilah yang berhubungan dengan penguatan semangat kekeluargaan seperti manyama braya
(kekeluargaan)
dengan madunungan (menginap tanpa bayar)
tergambar dalam kedua novel tersebut. Hal itu menyiratkan eratnya hubungan kekerabatan sehingga kerjasama terwujud tanpa biaya yang berdampak positif bagi pendidikan dan penggemblengan diri siswa. Kearifan lokal manyama braya dan madunungan adalah simpul budaya yang kaya makna. Pertama, madunungan di rumah teman yang sudah dikenal dengan akrab adalah bentuk simbiosis mutualisme. Mereka dapat melepas rasa rindu dengan basa-basi kekeluargaan. Pesan silaturahmi dikedepankan dengan motif mempererat persahabatan, motif ekonomi bisnis dikebelakangkan. Cara ini adalah strategi guru mempersatukan anak bangsa yang berasal dari wilayah geografi yang berbeda. Membumikan konsep manyamabraya yang dirintis oleh orangtua untuk diwariskan kepada anak cucu. Hubungan pertemanan itu menunjukkan hubungan kemanusiaan sejati sebagai buah karma dari tokoh-tokoh guru dalam karya SBM.
168
Kedua, peserta yang madunungan itu tidak asal gratis menginap tetapi juga membawa gapgapan (oleh-oleh) bagi
tuan rumah. Atau sebaliknya, orang yang
hendak madunungan (menginap) malah dibawakan gapgapan ke Pasangrahan Suranadi, seperti dilakukan istri Guru Ketut Gunawan. “Made, Ne embok mapetin Made jaja, anggon pasilih kalepasan beline teken pelih emboke, tusing nyidang Made jumah, ane ibi sanja. Da nyen pedih, De! Ragane masih pelih, adi sing nyak nitipang tulis teken beline?” Ane makaput dluang taluh, panembahan Madene aturin, sing misi be sampi, be siap misi! Nah, mani nutur De, mendep-mendep I Made! Embok Putu Sawitri” (Srawana, 1978 : 91) Terjemahannya : ―Made, Ini kakak menitipkan kue, sebagai pelepas rindu Guru Ketut Gunawan atas kesalahan, tak bisa menginap di rumah tadi malam. Jangan marah ya, De! Made juga salah tidak menitipkan surat kepada Guru Ketut Gunawan. Yang terbungkus kertas, untuk Dayu Priya, tanpa daging sapi, berisi daging ayam! Nah, besok cerita De, diam-diam I Made! Sebagai seorang guru, Ketut Gunawan sadar dengan budaya magapgapan untuk rombongan I Made Sarati, Dayu Priya, dan Luh Sari. Tradisi magapgapan juga ditemukan dalam novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang ketika Nyoman Santosa pulang ke kampung halaman dari Buleleng. Kembali ke Buleleng melalui Karangasem melewati Telaga. “Kenehne apang maan buin meli salak di Telaga apang liunan ngaba gapgapan ka Buleleng” (Srawana, 1981: 113).
Tradisi itu juga
telah dibudayakan oleh Nyoman Santosa ketika pulang kampung ke Selat dari Klungkung semasa di SGB.
169
Dalam praktiknya, gapgapan ini tidak mesti berupa barang berharga, tetapi dapat berupa nirbenda. Gapgapan dalam bentuk nirbenda dapat berupa berita dan cerita masing-masing keluarga. Berita dan cerita itu dapat saling menginspirasi untuk kemajuan masing-masing. Dengan saling mengetahui dan memahami akan terhindar dari segala purbasangka yang negatif, sehingga persahabatan dan persatuan dapat diwujudkan. Konsep saling membelajarkan ditonjolkan sebagaimana layaknya guru mendidik murid di kelas. Ketiga, kepercayaan kepada Made Sarati sebagai seorang guru yang menjadi kompas perjalanan selama di Lombok adalah lambang persaudaraan sejati sebagai pengejawantahan dari konsep manyama braya. Pertanyaan yang diajukan oleh Dayu Priya , “Made, sing ngelah kantenan len dini?” adalah bentuk kepercayaan kepada Made Sarati yang berprofesi sebagai guru. Dalam konteks ini, guru tidak hanya dipercaya oleh siswa di dalam kelas, tetapi juga dipercaya di dalam masyarakat umum. Guru dicitrakan sebagai sosok yang disegani dan ngemong (mengampu) untuk kebaikan bersama. Keempat, rombongan plesir dari Bali rencananya pada malam pertama akan menginap di rumah Ketut Gunawan yang menjadi pemimpin perguruan. Pilihan menginap di rumah guru pasti sudah dipikirkan matang. Selain Made Sarati sudah kenal baik dengan Ketut Gunawan, terimplisit juga maksud untuk berguru di Lombok. Berguru dengan pemimpin perguruan. Berguru dengan gurunya guru. Tamasya diniatkan bukan semata-mata untuk bersenang-senang, melainkan juga
170
untuk belajar sesuai dengan konsep metode widyawisata dalam proses pembelajaran. Filosofinya, melali sambil melajah (bertamasya sambil belajar). Kepedulian pengarang SBM
terhadap lingkungan tidak hanya mencakup
lingkungan fisik tetapi juga lingkungan sosial. Lingkungan fisik tampak dari latar cerita Danau/Gunung Batur, dalam novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah. Novel
ini menunjukkan
kepedulian pihak
sekolah terhadap isu lingkungan
dilaksanakan melalui bakti sosial penghijauan melibatkan masyarakat setempat. Hal itu ditunjukkan dengan mengisi acara perkemahan dengan penanaman pohon melibatkan pemuda Desa Soongan dan pemuka masyarakat setempat. Program ini sejalan dengan antisipasi pemerintah dalam mengatasi pemanasan global. Wacana yang menjadi isu global telah berhasil diterjemahkan pengarang Bali dalam SBM. Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter bangsa, acara perkemahan pramuka yang dilaksanakan oleh SMU Sukawati mengonfirmasi bahwa usaha memajukan kebudayaan
dan
melestarikan lingkungan harus dilakukan secara
bersinergi tidak cukup dengan wacana dunia pendidikan, tetapi harus dengan tindakan. Usaha memajukan kebudayaan diterapkan melalui agenda apresiasi sastra di kediaman STA di Toyobungkah
dengan
harapan pemahaman kebudayaan
menjadi lebih komprehensif di kalangan generasi muda. Novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah ini berhasil menerjemahkan konsep Trisentra dalam dunia pendidikan, yang mensyaratkan tanggung jawab keluarga, sekolah dan masyarakat. Dewantara (2004: 70) mengatakan Trisentra itu sebagai terjalinnya tiga pusat pendidikan yang bersumber dari alam keluarga, alam
171
perguruan, dan pergerakan pemuda. Di tiga alam itulah, pendidikan dititipkan untuk menumbuhkan aneka kecerdasan, yang bermula dari aktivitas orang tua di keluarga. Lebih lanjut, Dewantara (2004: 72-74) menjelaskan bahwa, di alam keluargalah kesempatan pertama dan utama membenihkan pendidikan individual dan sosial sesuai dengan suasana kebatinannya sendiri, di dalam jiwanya anak-anak, yang menjadi hak orangtua yang tidak tergantikan oleh siapapun. Alam perguruan berkewajiban mengusahakan kecerdasan pikiran (intelektual dan ilmu pengetahuan) yang tidak boleh dipertentangkan dengan alam keluarga. Begitu pula, alam pemuda seyogyanya dapat menghidupkan, menambah, dan menggembirakan perasaan hidup bersama (masyarakat, sosial) yang diarahkan untuk membangun kecerdasan budi pekerti (karaktervorming), beraliran kulturalnasional (adab kebangsaan) dan menuju ke arah rapatnya hubungan alam keluarga, perguruan, dan pemuda. Siswa SMU Sukawati yang melakukan perkemahan di Toyobungkah, alur pendidikan sesuai dengan konsep Tripusat pendidikan Ki Hajar Dewantara diaplikasikan secara nyata, dengan pendampingan guru pembina. Di dalamnya terjadi dialog multiarah antarsiswa, antara siswa dan guru, antara siswa dan tokoh masyarakat, antara guru dan masyarakat. Hal ini menjadikan siswa berdaya guna membelajarkan diri beradaptasi dengan lingkungan masyarakat sesungguhnya. Alam lingkungan menjadi ruang kelas baru bagi siswa sekaligus melepaskan mereka dari kungkungan tembok sekolah. Melepaskan ikatan formal guru-murid. “Guru kelawan murid di pelengan kemah rasane caluh apa buin guru enu bajang teruna cara Pak Sukata teken Ibu Wartini” (Manda, 2002: 28). (Guru dengan murid di dalam
172
perkemahan terasa tanpa sekat, apalagi guru masih muda seperti Pak Sukata dan Ibu Wartini).
Posisi guru bukan sebatas mempersuasi melainkan mengembangkan
kemampuan berdialog dengan para terdidik dalam suatu hubungan timbal-balik (Goulet, 1984:xiv). Novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah juga melukiskan lingkungan sosial siswa nakal (kenalan remaja). Kenakalan siswa di SMU Sukawati dalam novel ini lebih disebabkan oleh pola asuh keluarga yang keliru. Kesibukan orangtua bekerja sampai melupakan anak-anak menjadi pemicu utama kenakalan remaja, sebagaimana dilakukan oleh tokoh I Nyoman Sena. Tanda-tanda tokoh ini melakukan kenakalan telah terlihat pada awal cerita yang berlanjut sampai ke perkemahan hingga akhirnya ia meninggal karena tabrakan di jalan raya akibat kebut-kebutan. Siswa yang nakal diposisikan
oleh pengarang sebagai tokoh antagonis sebagai
penyeimbang sekaligus sebagai dasar untuk membangun konflik. Betapa pun siswa yang dilukiskan itu nakal, guru tetap pada koridor keguruannya yang diniatkan untuk mencerdaskan dan mencerahkan seraya mengingatkan orangtua yang sibuk tetap memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak. Selain itu, perhatian kepada anak yang bermasalah bagi sekolah, selalu dikoordinasikan dan dikomunikasikan oleh guru BP dan Kepala Sekolah dengan orangtua siswa. Komunikasi ini dipakai sebagai jembatan untuk mencari jalan ke luar. Selain itu, sebagai bentuk kerjasama orangtua dengan sekolah terkait dengan penanganan permasalahan yang menimpa siswa.
173
Kepedulian terhadap lingkungan sosial bagi tokoh guru yang menangani anak-anak nakal merepresentasikan tanggung jawab yang harus dipikul. ―Tiang sujatine sebet yen kanti ada murid kawaliang ka reramane…”, seken baos Bapak Kepala Sekolah (Manda, 2002: 82). Artinya, ―Sejatinya, saya sedih kalau sampai ada murid dikembalikan ke orangtuanya,‖ kata Kepala Sekolah meyakinkan. Dengan kalimat lain, pihak sekolah menyerah dengan sikap kelakuan anak yang keterlaluan, seperti kelakuan I Nyoman Sena, yang telah berkali-kali orangtuanya dipanggil oleh guru BP untuk menyelesaikan permasalahan. Begitu tulusnya perhatian guru terhadap siswa bermasalah tetapi tidak dapat mengetuk hati I Nyoman Sena untuk berubah ke arah perbaikan. Sampai akhirnya dikabarkan, Sena meninggal dalam kecelakaan lalulintas di Sakah. “Yadiapin Sena dugas ia nu hidup solahne jelek, nanging dugas ningeh ortanene makejang sebet tur enggal sumbangan kelas dudukina”, (Manda, 2002: 85). (Walaupun semasa hidup Sena perilakunya tidak baik, tetapi berita tentang kematiannya membuat semua berduka dan sumbangan kelas dikumpulkan). Pernyataan itu menyiratkan tingginya solidaritas dan empati keluarga besar sekolah, di bawah didikan guru). Di luar kejadian yang menyedihkan itu, novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah
juga menyinggung sentuhan dunia pariwisata yang memengaruhi
kehidupan anak sekolah. Munculnya kosakata khas pariwisata, seperti: cottage, artshop, gallery, dan cafeteria
memberikan petunjuk betapa perkembangan
pariwisata juga memengaruhi keseharian siswa SMU Sukawati. Selain itu, setting cerita di Kintamani dan Sukawati juga memberikan citra kehidupan pariwisata.
174
Kintamani sebagai objek wisata alam, sedangkan Sukawati sebagai objek wisata yang mengedepankan seni dan budaya.
5.7 Guru yang Humoris Guru humoris adalah guru yang mampu berkomunikasi dengan jenaka tanpa mengurangi substasi materi yang dibicarakan. Tipe guru humor mampu menarik perhatian para siswa dan mencairkan suasana yang kaku dan formal sehingga siswa bangkit semangatnya karena merasa terhibur. Citra guru yang humoris dalam novel SBM ditemukan dalam Mlantjaran ka Sasak, Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang, dan Bukit Buung Bukit Mentik. Humor-humor dalam Mlantjaran ka Sasak bertitik tolak dari sindiran terhadap kasta terutama berkaitan dengan belum merdekanya remaja dalam menentukan jodoh. Dalam Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang, humor Nyoman Santosa sebagai guru berlangsung dalam konteks cinta anak muda di perkemahan Pramuka, sedangkan dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik, humor Gungde Ambara sebagai guru muncul dalam merespon penggunaan bahasa Bali di kalangan masyarakat Bali yang makin terpinggir ditengah gerusan pariwisata. Novel Mlantjaran ka Sasak kasta. Pendidikan tinggi
modern
bertema cinta tidak sampai karena perbedaan dengan
teori-teori sekolah tidak dapat
diaplikasikan dalam menentukan pilihan jodoh. Dalam konteks inilah, humor Made Sarati sebagai guru menyindir kekuasaan (kasta) melalui dialog dengan Dayu Priya.
175
“Suba ja sing ada tegakan, apa men anggon Yang? Daya pesane Made… Motore maluine ngulah.” “Napi. Tu, daya ? “Dayaaaa!” “Mula Dayu dayanin ………!” “Aruh, kalah Yang; Dueg sajaan Made namplak rawes!” (Srawana, 1978:69). Terjemahannya : ―Sudah tidak ada kendaraan, apa yang saya tumpangi? Banyak akal I Made, Mobilnya lebih awal berjalan. ―Apa, Tu. Daya? ―Dayaaaa!‖ ―Benar, Dayu diperdaya……..!‖ ―Waduh, kalah saya; pintar benar Made bermain kata!‖ Dialog Dayu Priya dengan Made Sarati mencerminkan citra humor yang tinggi. Humor
seorang
intelektual jaba tanpa membuat ketersinggungan kaum
menak. Menyindir polemik kasta pada dekade 1930-an. Humor mencairkan suasana polemik yang panas. Ini pertanda Made Sarati seorang guru yang mampu berkomunikasi secara interaktif fungsional, memukul sasaran tanpa membuat sakit, tetapi justru membuat
tertawa. Bentuk tertawa reflektif dengan maksud
menertawakan diri sendiri. “Api Ida ngulah, yening sang madrue Geriane sueca, masih tulus titiang parek ring ajine.” “Api Ajin Yange sueca, lamun Yang sing nampi Made, nyen tunasin teh?” I Made ngeh ipun ring deweknya ketuut-tuutang antuk Ida…. “Api…. “ Sapunika ipun malih. “Api…. Apa, de!” “Api kebus….” I Dayu ica ngrikgik (Srawana, 1978:69).
176
Terjemahannya : ―Walau Dayu mengusir, kalau pemilik rumah mengizinkan, tetap saya mengabdi pada ayahnya‖. ―Walau Ayah Dayu mengizinkan, kalau saya tak menerima Made, siapa membuatkan teh?‖ ―I Made sadar diri dituruti dirinya oleh Dayu… ―Walau…‖ demikian ia mengulangi. ―Api… Apa, De! ―Api panas…‖ I Dayu tertawa senang. Demikian juga ketika
dialog-dialog kemanusiaan mengalami kebuntuan,
maka tokoh guru Made Sarati mengambil peran untuk menyelamatkan manusia. Hubungan komunikasi kemanusiaan dibuat cair dengan bahasa yang menggairahkan sehingga mengundang gelak tawa. Misalnya, celoteh, ―dagang, dagingin, degeng” untuk dagang yang laris manis berjualan. Begitu juga, kritik kasta yang kuat, dengan banyolan “Desak desek, Dayu dayanin, jaba jabagin” (Desak didekati, Dayu diakali, Jaba dicoba). Di balik kejenakaan itu, terselip keseriusan komunikasi. Hal ini hanya dimungkinkan oleh kehadiran tokoh-tokoh yang
berpendidikan
dan terpelajar
sehingga pesan tidak disampaikan secara langsung. Humor ditampilkan secara menggelitik.
Dari sudut kajian linguistik, menurut Austin
pesan-pesan itu
disampaikan mengikuti kaidah ilokusi dan perlokusi (Sumarsono dan Partana, 2002: 322). Begitu juga, ketika terjadi selisih paham antara nilai modern dan tradisional , maka pihak gurulah yang bertindak sebagai katalisator. Dengan kalimat lain, guru adalah juru damai di antara perubahan. Hal ini logis karena guru mempersiapkan masa depan anak mengikuti dinamika zaman. Oleh karena itu, tepatlah apabila
177
sekolah merupakan tempat pembudayaan nilai-nilai yang bermula dari alam (natuur) menjadi budaya (cultuur). Dewantara (2004: 72) memandang guru berdiri sebagai pemimpin laku adab, sebagai pengajar (pemimpin kecerdasan pikiran serta pemberi ilmu pengetahuan), dan sebagai contoh laku kesosialan. Pendidikan di sekolah dipandang sebagai bersatunya alam keluarga, perguruan, dan pergerakan pemuda. Pada tiga ranah itulah perubahan berproses. Perubahan perlu dikomunikasi dengan cara menghibur tanpa beban. Guru punya seni untuk itu. Dalam Mlantjaran ka Sasak, tokoh guru Made Sarati berhasil menghidupkan suasana perjalanan selama di Lombok. Joke-joke ala guru di kelas dikelola selama perjalanan di Lombok membuat rombongan bergembira. Humor-humor dalam Mlantjaran ka Sasak didominasi oleh permainan rima aliterasi, penggunaan pantun, penggunaan metafora, dan dialog antara Made Sarati dan Dayu Priya. Humor dalam Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang menampilkan tokoh calon guru Nyoman Santosa yang menjadi magnet cerita baik ketika di SGB Klungkung maupun di SGA Singaraja. Metafora dan pantun yang sarat dengan tutur kadiatmikan (kebijaksanaan) dirangkai dengan bahasa yang menawan. “Muktiang tresnane sing perlu nyerahang raga satonden masane. Kaden sing pesan melah anake madaar tonden mabanten. I raga patut nawang teked dija batesbates anake magegelan” (Santha,1981: 120).
(Membuktikan cinta tidak perlu
menyerahkan diri sebelum waktunya. Tidak baik orang makan sebelum mempersembahkan sesajen. Kita perlu tahu batas-batas orang berpacaran).
178
Letak humor yang menggelitik pada kutipan di atas terdapat pada kalimat ―Kaden sing pesan melah anake madaar tonden mabanten‖. Makna kalimat ini ganda. Pertama, secara leksikal makan sebelum melaksanakan banten saiban adalah haram dalam kepercayaan Hindu. Ini ada rujukannya dalam Bagawad Gita. Kedua, secara konotatif, makan dimaknai sebagai melaksanakan hubungan intim sebelum upacara perkawinan adalah tabu. Begitu pula ketika Nyoman Santosa menjaga perkemahan bergadang dengan Gusti Ayu Jinar, suasana romantis yang dikisahkan membuat Made Astiti cemburu, lalu menghibur diri dengan pantun kilat. “Kalahanga madaya. Kalah juari. Mula tuah saja lemarine malakar kayu, juarine makarana payu” (Santha, 1981: 118). (Dikalahkan tipu muslihat. Kalah juari. Memang sudah benar, lemari dari kayu, juari menyebabkan bisa jadi.) Sebagai guru, I Nyoman Santosa juga memperlihatkan humor-humor yang menggelitik pada berbagai kesempatan, baik di perkemahan Pramuka, di tempat kost, maupun dalam pergaulan sehari-hari di Singaraja dengan siswi-siswi SKKA. Hal itu menunjukkan I Nyoman Santosa memiliki bakat seni berkomunikasi yang berguna dalam membangkitkan motivasi belajar siswa jika kelak menjadi guru. Mengajar itu seni juga. Gaya humor kontemporer ditampilkan oleh tokoh guru Gungde Ambara dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik
karya A Wiyat S Ardhi. Humornya
menggelitik dalam konteks alih kode dan campur kode secara linguistik. Model humor ini dilakukan oleh Gungde Ambara mengkritisi masyarakat Bali yang malu berbahasa Bali, dengan alasan tidak bergengsi.
179
Nak, ayuk sarapan pagi. Sudah mandi belum. Jangan main di sana, nanti ditepen sama bungsilnya. Ane lenan, pang nyak kadena priyayi, pang sing orahanga kolot, milu mabhasa Indonesia : Jangan terlalu sering menghijau, nanti matamu kemalam-malaman. Ada ane sing dadi padingehang baan koping : ‗Maaf, rumah saya di sudut meninggal (Ardhi, 2004: 25). Terjemahannya: Nak, ayuk sarapan pagi. Sudah mandi belum. Jangan main di sana, nanti kena kelapa jatuh. Yang lain, biar dikira priyayi, biar tidak dikira kolot, ikut berbahasa Indonesia : Jangan terlalu sering bergadang, nanti mengantuk. Ada yang aneh didengar : ―Maaf rumah saya di gang buntu‖. Gaya humor Gungde Ambara didasarkan atas respon penggunaan campur kode dalam berbahasa (Sumarsono dan Partana, 2002: 202-203). Di dalam humor itu, terjadi campur kode dalam tataran kata dan dalam konteks struktur kalimat. Guru bukan saja memproduksi humor, melainkan juga menjadi objek humor bagi murid-muridnya. Jika Gungde Ambara mengkritisi pemakaian bahasa kaum ibu Bali yang kurang berterima, maka Luh Tri Prayatni malah dijahili oleh seorang siswanya yang mulai pubertas, bernama Wayan Wiryawan. Inan nakale di kelas nem, mesuang raos sugal dugase Luh Tri liwat di arepanne : “Bu guru cantik, bu guru biutiful, bu guru salaktiful.” Timpalne nimpalin : “Bah, Wiryawan buduh, apa orahanga ento.” Masaut Wayan Wiryawan : “Yen cantik dogen bahasa Inggrisne kan biutiful. Yen cantik sekali, bahasa Inggrisne salaktiful. Yen terlalu amat sangat cantik sekali, cara bu guru barune ene, adane durentiful, sawireh durene maelan kin salak, salake maelan kin biu (Ardhi, 2004:5-6). Terjemahannya: Anak paling nakal di kelas VI, menggeledek Luh Tri ketika lewat di depannya : ―Bu guru cantik, Bu guru biutiful, bu guru salaktiful.‖ Temannya menimpali : ―bah, Wiryawan gila, apa yang dikatakan itu.‖ Wayan Wiryawan menjawab : ―Kalau cantik saja bahasa Inggrisnya kan biutiful. Kalau cantik sekali bahasa Inggrisnya salaktiful. Kalau terlalu
180
amat sangat cantik sekali, seperti bu guru baru ini, namanya durentiful, sebab duren lebih mahal daripada salak. Salak lebih mahal daripada pisang. Humor murid pada guru sering membuat label yang melekat pada guru yang bersangkutan. Bahkan, label itu malah lebih dikenal daripada nama gurunya. Hal itu juga menjadi indikator bagaimana murid memandang dan menilai gurunya. Namun bagi guru yang mengetahui ilmu jiwa, tidak memersoalkan celotehan itu. Luh Tri menganggap celotehan itu hanya bermaksud menarik perhatian, tidak lebih dari pada itu dan tidak perlu ditanggapi. Begitu pula ketika Gung Manik, siswa pendiam yang tiba-tiba berani menggeledek gurunya, Luh Tri Prayatni dengan sebutan dakocan. ―Aee, dakocan, dadong koncreng cantik‖ (Ardhi, 2004: 52). (Ya, dakocan, Nenek Koncreng cantik). Tema novel Mlantjaran ka Sasak, Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang, dan Bukit Buung Bukit Mentik adalah sama, yaitu cinta tidak sampai. Dua novel pertama cinta tidak sampai karena perbedaan kasta sehingga tokoh guru dikisahkan gagal membangun rumah tangga. Motif perbedaan kasta dalam novel ketiga juga muncul, tetapi tidak menjadi penentu terhadap gagalnya cinta antara guru Luh Tri Prayatni dan Gungde Ambara. Kegagalan cinta lebih disebabkan oleh status sebagai anak tunggal dalam keluarga masing-masing. Ketiga pengarang SBM ini tidak tabu mempersoalkan kasta dalam karyakaryanya. Bahkan, perkawinan dengan kasta yang berbeda dalam cerita ini tidak dilarang. Walaupun terkesan bahwa sejumlah tokoh dalam novel tetap menginginkan ajegnya kasta, tetapi pada akhirnya keputusan diserahkan pada tokoh cerita. Hal ini
181
memberikan petunjuk, persoalan kasta disikapi secara dingin oleh pengarang dengan memberikan kebebasan untuk menentukan sikap pada tokoh-tokohnya. Hal ini terjadi sejak dekade 1930-an hingga tahun 2000-an. Persoalan pariwisata juga menjadi daya tarik cerita dalam novel Mlantjaran ka Sasak, Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang, Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah, dan Bukit Buung Bukit Mentik. Oleh karena itu, humor yang bertitik tolak dari ranah pariwisata tidak terhindarkan, seperti tersirat dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik. Dalam novel ini, pengaruh pariwisata bukan saja menjadi latar cerita melainkan memberi pengaruh terhadap sikap hidup masyarakat. Kehadiran tokoh guru mencoba mengingatkan untuk berhati-hati terhadap dunia pariwisata melalui humor yang kritis yang dilontarkan oleh Gungde Ambara. Wan dolar tu rangda, nekaang pipis. Sanur go barong is nekaang dolar. Pipise anggona dewa. Sing tawanga, yen budaya Baline rered, ulian I raga sing urati teken bhasa Bali lan adat Baline, kepariwisataane masi lakar rered. Yen suba keto langah torise ke Bali (Ardhi, 2004: 26). Terjemahannya: Satu dolar untuk dua rangda, mendatangkan uang. Barong ke Sanur mendatangkan dolar. Uang didewakan. Tidak sadar, kalau budaya Bali akan sirna, karena kita pendukungnya tidak perhatian pada bahasa Bali dan adat Bali. Pariwisata juga akan makin lesu. Kalau sudah demikian, turis akan jarang ke Bali.
Pilihan kata Gungde Ambara yang menggunakan campur kode selain mencitrakan seorang guru yang kritis juga prihatin terhadap budaya Bali akibat komersialisasi pariwisata. Humor ini terasa segar dan aktual di tengah makin diidolakannya pembangunan pariwisata di Bali. Hal ini juga mengonfirmasi bahwa
182
karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan situasi masyarakat zamannya sehingga menjadi dokumen sosiobudaya (Yunus, 1986: 3). Akibat pariwisata yang dahsyat, perubahan Bali pun tidak dapat dibendung. Hal itu juga muncul bentuk humor yang memikat. “…apa buin disubane pariwisataane kaanggon pangarep, kaanggon brerong nekaang kasugihan tan pawates, mawasana pipise dadi dewa utama, mawastu tuture prajani luntur, slokane seluka, awige awage ngranayang uwag tur uwug. Buina De, Baline rasane nangis nandang duhkita, sawireh baet mondong tetegenan disubane nyamane uli Selat membah teka mai.” (Ardhi, 2004:130). Terjemahannya: ―… apalagi setelah pariwisata diprioritaskan, dipakai tuyul untuk mendatangkan kekayaan tanpa batas, berubahlah uang dipuja bak dewa utama. Akibatnya, tutur menjadi luntur. Sloka diplesetkan. Aturan adat dilecehkan sehingga Bali hancur-hancuran. Lagi pula, De, Bali rasanya menangis sedih sekali karena terlalu berat memikul beban, lebih-lebih warga pendatang dari luar menyemut ke Bali tak terbendung. Perubahan Bali yang cepat akibat pariwisata dikhawatirkan banyak kalangan tetapi guru menjadi tumpuan harapan untuk peduli dengan adat dan budaya Bali tetap ajeg. Paling tidak harapan itu ditumpukan pada guru muda yang idealis Gungde Ambara dan Luh Tri Prayatni. “Luh Tri Prayatni sinah anak luh luih, anak luh ane mapawakan jegeg turmaning maparisolah rahayu, sing ja luh luluh, ane tasak belek ulian kejekjek-kaingsak, sing ja luh suluh ane maguna di petenge dogen” (Ardhi, 2004: 137). (Luh Tri Prayatni pastilah perempuan baik, perempuan berparas ayu dan berperilaku rahayu. Bukan perempuan luluh, yang matangnya dibuat-buat, bukan pula perempun yang disuluh yang berguna hanya saat malam).
183
184
BAB VI PERUBAHAN REPRESENTASI CITRA GURU DAN FAKTOR PENYEBABNYA
Di dalam bab ini dibahas perubahan representasi citra guru dan faktor-faktor penyebab perubahan citra guru dalam karya pengarang Bali. Perubahan representasi citra guru dalam rentang waktu 65 tahun (1939-2004) berdasarkan karya tertua yang teliti yaitu novel Mlantjaran ka Sasak (1939) dan karya termuda yaitu novel Bukit Buung Bukit Mentik (2004). Dalam rentang waktu itu, banyak lahir karya sastra tentang guru dari pengarang Bali, tetapi yang menjadi fokus penelitian ini hanya tiga belas karya (enam novel dan tujuh cerpen) dalam bahasa Indonesia dan bahasa Bali. Teori yang digunakan untuk membahas perubahan representasi citra guru ini adalah teori sosiologi sastra. Teori ini melihat hubungan karya sastra, pengarang, dan masyarakat. Pengarang dalam menciptakan karya sastra tidak bisa melepaskan diri dari kondisi sosial masyarakatnya. Oleh karena itu, (Damono, 1979: 3) sepakat dengan Wellek dan Warren (1956) yang membagi sosiologi sastra dalam tiga kelompok besar, yaitu sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, dan sosiologi masyarakat (pembaca dan pengaruhnya sosial karya sastra).
6.1 Perubahan Representasi Citra Guru Perubahan representasi citra guru dalam karya sastra pengarang Bali dalam rentang waktu lebih dari 65 tahun berdasarkan karya tertua dan termuda yang diteliti berelasi dengan konteks zaman ketika karya itu dilahirkan. Pada zaman penjajahan 183
184
Belanda, tokoh guru digambarkan sangat idealis walaupun secara ekonomi lemah. Selain itu, guru juga bertanggung jawab terhadap kebudayaan Bali dan menjadi tempat menumpahkan harapan mencari solusi terhadap polemik kasta di kalangan intelektual. Dalam konteks ini, guru digambarkan netral sehingga tidak terlibat dalam polemik kasta yang sensitif. Guru memanfaatkan momen yang kontroversial itu sebagai bahan dagelan yang mampu mencairkan ketegangan. Semua itu tergambar dalam novel Mlantjaran ka Sasak (1939) karya Gde Srawana. Karya-karya pengarang Bali setelah zaman kemerdekaan, terutama dari SBM juga memperlihatkan sikap guru yang idealis, humanis, dan humoris dalam konteks sosial yang berbeda. Aktualisasi karya-karya SBM setelah masa kemerdekaan cenderung merespon wacana sosial yang berkembang dalam masyarakat Bali, seperti keprihatinan terhadap punahnya bahasa Bali, rusaknya lingkungan, tergerusnya kebudayaan Bali, kesenjangan sosial ekonomi, dampak pariwisata terhadap Bali, persoalan adat yang membelenggu, dunia pendidikan yang menerabas. Wacana itu menjadi daya tarik pengarang Bali dalam melahirkan SBM dan menjadi pemicu bagi lahirnya wacana Ajeg Bali di kalangan budayawan. Respon terhadap wacana sosial itu tergambar dalam novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang (1981), Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah (2002), Bukit Buung Bukit Mentik (2004), cerpen ―Gamia Gamana‖ (1979), ―Guru Made‖ (1995), ―Sertifikat (-si)‖ (2010), ―Semara Dudu‖ (2010), dan ―Surat Sakti‖ (2011). Sementara itu, budayawan merespon wacana sosial itu dengan memopulerkan wacana Ajeg Bali. Wacana ini menjadi populer setelah bom Bali I meledak di Kuta,
185
12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 orang. Menyikapi hal itu, Bali Post pada HUT-nya ke-56, 16 Agustus 2003, memperkenalkan istilah Ajeg Bali dan pada 5 Januari 2004 diterbitkan buku Ajeg Bali. Sebagai koran tertua di Bali, Bali Post memfasilitasi penandatanganan prasasti Ajeg Bali bagi tokoh-tokoh lokal sampai nasional. Prasasti itu kemudian dipajang di kantor Bali TV. Tidak hanya itu, Bali Post juga mengadakan pemilihan Guru Ajeg Bali pada akhir 2004 dan dinobatkan pada 5 Januari 2005 bersamaan dengan peringatan empat tahun K Nadha meninggal (amor ring achintya). Ada Lima belas guru yang dinobatkan sebagai guru Ajeg Bali, masing-masing lima orang guru SD (Nyoman Mulyati, IA Gde Suwardani, I Wayan Sujanta,
Ayu Made Puspawati, dan I Wayan Sadra), lima orang guru SMP (I
Nyoman Musna, I Gusti Ketut Suwela, I Wayan Semadi, I Gede Komang Kertayasa, dan Dewa Nyoman Suardana) dan lima orang guru SMA (I Gde Aryasa, Ida Bagus Pawana Sutha, A.A. Dalem Mahendra, I Nyoman Tingkat, dan Ida Bagus Sudirga). Respon terhadap wacana sosial yang berkembang dalam masyarakat Bali yang dilakukan oleh pengarang Bali dan budayawan Bali menunjukkan pengarang dan budayawan tidak menyia-nyiakan wacana yang berkembang di sekitarnya. Dalam konteks itu, guru ditempatkan dalam posisi yang strategis baik dalam SBM maupun dalam melakukan gerakan pemberdayaan masyarakat dalam mengawal wacana Ajeg Bali. Dalam SBM tokoh guru selain digambarkan idealis, humanis, nasionalis, dan menjadi benteng kebudayaan Bali, juga ditemukan gambaran guru yang dilematis terhadap perubahan yang berlangsung sangat pesat. Namun, tokoh-tokoh guru dalam
186
konteks ini tetap menjaga idealisme keguruannya walaupun secara ekonomi mereka lemah. Hal ini tergambar dalam cerpen ―Gamia Gamana‖ (1979) karya Djelantik Santha dan ―Guru Made‖ (1995) karya I Nyoman Manda. Perubahan representasi citra guru lebih dinamis terjadi dalam karya pengarang Bali dalam bahasa Indonesia. Dalam karya-karya pengarang SIM, tokoh guru digambarkan secara berbeda dengan SBM. Jika dalam SBM guru dicitrakan teguh kukuh dengan idealisme keguruan, maka dalam SIM guru digambarkan tergoda dengan kemajuan zaman, terutama dalam konteks pariwisata. Bahkan, dampak pariwisata telah membuat guru meninggalkan tugasnya mendidik dan mengajar. Hal itu jelas tergambar dalam novel Senja di Candi Dasa (1992) dan cerpen ―Ibu Guru Anakku‖ (1993) karya Aryantha Soethama. Karya-karya Putu Wijaya juga menunjukkan perubahan representasi citra guru dalam konteks pariwisata dan ekonomi kapitalis. Sebagai daerah tujuan pariwisata, kehadiran orang asing di sebuah desa telah membuat keluarga guru mengalami pengucilan sosial (kasepekang) seperti terlukis dalam novel Tiba-Tiba Malam (1977). Dampak dari ekonomi kapitalis juga memengaruhi tokoh-tokoh guru dalam cerpencerpen Putu Wijaya, seperti ―Guru‖, ―Guru (1)‖, ―Guru (2)‖. Cerpen-cerpen SBM yang lahir belakangan (setelah 2009) juga menunjukkan perubahan representasi citra guru yang ditandai dengan makin tergiurnya guru dengan godaan material seperti digambarkan I Made Sugianto. Karya cerpen Made Sugianto seperti ―Semara Dudu‖, ―Sertifikat(-si)‖, dan ―Surat Sakti‖ menunjukkan kegagalan guru menjaga integritas, kegagalan guru menjaga idealisme, dan kegagalan guru
187
berdiplomasi dalam kekuasaan. Bahkan guru digambarkan telah melacurkan diri. ―Keto masi dugas ujian nasionale, gurune ngwantu nyawab soal… Gurune ane nulungin ngelah keneh apang reramane Komang Drona wales budi, paling sing mangkat dadi guru cenik, guru biasa dadi kepala sekolah” (Sugianto, 2011: 42). Artinya, ―begitu juga saat Ujian Nasional, gurunya membantu menjawab soal… Guru yang membantu berharap agar orang tua Komang Drona membalas budi, paling tidak bisa diangkat menjadi guru kecil, guru biasa menjadi kepala sekolah‖. Benang merah yang dapat ditarik dari perubahan representasi citra guru dalam karya pengarang Bali dari SBM dan SIM adalah sikap pengarang yang sensitif terhadap kondisi sosial masyarakat yang berkembang. Penggambaran para tokoh guru pun mengikuti perkembangan zaman yang berubah. Namun, para pengarang tetap waspada dan mengingatkan masyarakat Bali tetap menjaga kebudayaan Bali yang adiluhung dan guru seharusnya berada di garda terdepan perubahan budaya. Dengan harapan, perubahan membawa dampak bagi kemaslahatan hidup beradat, berbangsa, dan bernegara. Caranya dengan mereformasi adat dan tradisi yang usang lalu menyelaraskan dengan keadaan zaman yang berubah.
6.2 Faktor Penyebab Perubahan Dengan menggunakan teori sosiologi sastra ditemukan empat faktor penyebab perubahan citra guru, yaitu faktor kejiwaan, faktor perubahan sosial budaya, faktor ekonomi pragmatis, dan faktor kekuasaan. Faktor kejiwaan guru yang labil terjadi dalam karya pengarang Bali
karena pengaruh perubahan sosial budaya yang
188
membayang-bayangi langkah guru dalam melaksanakan tugas edukatifnya. Dengan kalimat lain, labilitas guru karena pengaruh ekstrinsik (faktor di luar dirinya).
6.2.1 Faktor Kejiwaan Faktor kejiwaan yang tidak stabil menyebabkan perubahan citra guru. Hal ini ditemukan dalam SIM, yaitu novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya dan Senja di Candi Dasa dan cerpen ―Ibu Guru Anakku‖ karya Aryantha. Sebaliknya, dalam SBM, tokoh guru tidak terpengaruh oleh lingkungan yang banyak berubah, terutama akibat perkembangan pariwisata. Godaan pariwisata tidak mampu menghilangkan idealisme guru dalam menunaikan tugasnya, walaupun gajinya kecil sehingga sulit untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Keempat novel berbahasa Bali yang konsisten memertahankan idealisme tokoh guru adalah Mlantjaran ka Sasak karya Gde Srawana, Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang karya Djelantik Santha, Bukit Buung Bukit Mentik karya Agung Wiyat S Ardhi, dan Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah karya Nyoman Manda. Demikian pula dalam dua cerpen berbahasa Bali ―Gamia Gamana‖ karya Djelantik Santha dan ―Guru Made‖ karya Nyoman Manda menempatkan tokoh guru yang masih terjaga idealismenya karena kematangan pribadi, bakat, dan minat yang muncul dari panggilan hati sehingga teguh pada prinsip keguruan. Berbeda dengan novel dan cerpen pengarang Bali dalam SIM yang ditampilkan oleh Putu Wijaya melalui novel Tiba-Tiba Malam dan Senja di Candi Dasa karya Aryantha Soethama. Dalam novel Putu Wijaya, tokoh guru dikisahkan
189
berkonflik sampai menimbulkan pertengkaran antara Sunatha dan
Ngurah yang
dibantu oleh Renti. Konflik ini dipicu oleh penculikan yang dilakukan oleh Ngurah terhadap Utari, istri Sunatha yang ditinggal di rumah. Sementara itu, Sunatha harus menunaikan tugas sebagai guru ke Kupang. Pertengkaran/perkelahian antara Sunatha dengan Ngurah dan Renti terjadi karena martabat Sunatha sebagai guru diinjak-injak. Akibatnya, emosi Sunatha meledak. Perkelahian pun tidak terhindarkan. Perkelahian ini tidak dimulai dari pikiran jahat Sunatha, tetapi karena Ngurah telah menculik Utari sebagai istri yang sah dari Sunatha. Tindakan Ngurah tidak ubahnya Rahwana menculik Dewi Sitha sebagai istri sah Rama. Jika kemudian Rama berperang dengan Rahwana yang berakhir dengan kemenangan Rama, maka konflik antara Ngurah dengan Sunatha berakhir dengan menggantung. Tidak jelas, siapa pemenangnya. Akan tetapi, bisa dibayangkan, pembaca kebanyakan akan memenangkan guru Sunatha, dengan asumsi bahwa pengarang telah mati sebagaimana dikatakan oleh Roland Barthes dalam artikelnya ―The Death of the Author‖ (Mahayana,2005:57). Dalam novel Tiba-Tiba Malam, Putu Wijaya menempatkan tokoh Sunatha sebagai tokoh yang lemah. Pelabelan Sunatha sebagai guru wangdu
(impoten)
secara terus-menerus adalah strategi literer untuk menggulingkan idealisme seorang guru. Begitu pula ketika Sunatha mempersunting Utari, diisukan menggunakan gunaguna. Kepercayaan diri Sunatha sebagai guru digoyahkan. Goyahnya kepercayaan diri Sunatha adalah pintu masuk bagi Ngurah untuk merebut Utari, sebagai istri Sunatha.
Sunatha sebagai guru dipermainkan. Tugasnya yang mulia dipandang
190
sebelah mata. Dedikasi dan loyalitasnya kepada tunas-tunas muda bangsa dinapikan. Petuah-petuahnya yang bernas nyaris tanpa dimaknai. Perubahan tipikal Sunatha sebagai guru idealis menjadi brutal dengan berkonflik adalah wajar dari segi kemanusiaan. Teror mental yang dilakukan Ngurah dan Renti terhadap Sunatha adalah teror kemanusiaan yang membuat Sunatha rapuh. Idealisme sebagai guru melemah karena secara terus-menerus Sunatha mengalami tekanan. Konflik fisik pun terjadi antara Sunatha dengan Ngurah yang dibantu Renti. Ketidakstabilan jiwa juga terjadi pada tokoh Nengah Diarsa dalam novel Senja di Candi Dasa karya Aryantha. Kegoyahan jiwa Nengah Diarsa dimulai ketika ia bertemu sahabat lamanya, yaitu Suwitri. Kegoyahan mental ini terjadi karena Nengah Diarsa tidak tahan dengan godaan pariwisata. Pertarungan idealisme guru melawan gerakan materialistis membuat guru menyerah. Tokoh guru dilemahkan jiwanya. Pelita hatinya dipadamkan. Ketidakstabilan jiwa guru terjadi karena disharmoni antara badan wadag dan roh. Dewantara (2004: 10) menyebutkan badan wadag dan roh haruslah seimbang sebagai didikan lahir dan didikan batin sehingga dapat dicukupi keperluan penghidupan dan kehidupan. Keperluan penghidupan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan fisik dan keperluan kehidupan berkaitan dengan pengembangan kultural. Instabilitas kejiwaan guru dalam Senja di Candi Dasa selain dipicu oleh hilangnya lukisan Bisma Gugur juga karena bujukan bekerja di sektor pariwisata dengan janji gaji melebihi gaji guru. Janji
itu melumpuhkan idealisme Nengah
Diarsa sebagai guru. Akibatnya, Nengah Diarsa mengundurkan diri sebagai guru
191
setelah lima tahun mengajar. Meninggalkan pekerjaan yang sesungguhnya dicintai, tetapi dikalahkan oleh godaan uang dan rayuan wanita. Mirip dengan kisah Nengah Diarsa dalam novel Senja di Candi Dasa, Bu Rahayu dalam cerpen ―Ibu Guru Anakku‖ karya Aryantha Soethama juga menunjukkan sosok guru yang lemah secara emosional. Bu Rahayu terbius oleh kemajuan pariwisata yang menjanjikan kemewahan dan kesenangan. Akibatnya, Bu Rahayu yang dicintai oleh murid-muridnya di TK mengundurkan diri sebagai guru, lalu mencoba peruntungan di jalur pariwisata. Jalur ini ditempuh hingga meninggalkan Bali menuju Senggigi Lombok. Harapannya, pesaingnya di Lombok tidak sebesar di Bali. Faktor kejiwaan guru yang tidak stabil juga dikisahkan oleh I Made Sugianto dalam cerpen ―Semara Dudu‖ dalam kumpulan cerpen
Preman (2010).
Ketidakstabilan jiwa pada ―Semara Dudu‖ ditampilkan melalui tokoh guru olahraga Gede Kapuk yang melecehkan siswinya, yakni Luh Bunga di sebuah bungalow. Tindakan guru seperti ini, selain mencederai profesi guru, juga melanggar kode etik guru yang berseberangan dengan kaidah guru yang profesional. Pada bagian lain, Sugianto juga menunjukkan tokoh guru yang tidak stabil kejiwaannya sehingga menghalalkan secara cara dengan menerabas demi lulus sertifikasi melalui jalur portofolio. Hal ini dikisahkan dalam cerpen ―Sertifikat(-si)‖ dengan menampilkan tokoh guru I Ketut Lanus, S.Pd. yang memalsukan dokumen piagam demi memenuhi syarat kelulusan sertifikasi.
192
Tokoh guru yang dilukiskan oleh Putu Wijaya, Aryantha Soethama, dan Sugianto adalah cermin kehidupan yang dialami para pelakunya pada zamannya. Guru dicibir dengan melemahkan profesinya sehingga para pahlawan tanpa tanda jasa ini dibuat tidak berdaya, baik secara ekonomi maupun secara intelektual. Hal ini selaras dengan teori sosiologi sastra yang terkenal dengan adagium, ―sastra sebagai pantulan masyarakat zamannya‖ yang oleh Teeuw (2003: 194) disebut sebagai dokumen sosial.
6.2.2 Faktor Perubahan Sosial Budaya Perubahan sosial budaya dalam suatu masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Tidak ada masyarakat pendukung sebuah kebudayaan yang benar-benar statis karena kekuatan budi, daya, dan karsa manusia selalu memungkinkan terjadinya interaksi dan interelasi antar pendukung kebudayaan. Akibatnya, saling memengaruhi antar pendukung kebudayaan tidak bisa dihindari. Demikian pula yang terjadi pada masyarakat pendukung kebudayaan Bali. Dengan menyitir cf. Redfield dkk., (1936) ; Herskovits, (1938) ; Soekanto, (1986) , Pitana (1994 : 4) menyebutkan perubahan masyarakat dan kebudayaan Bali, dipengaruhi oleh berbagai faktor baik faktor internal (dinamika kebudayaan Bali) maupun faktor eksternal (pengaruh kebudayaan luar) ; baik faktor sosekbud maupun faktor alam dan demografis.
Selain itu, masih terdapat faktor kepariwisataan,
pendidikan, media massa, komunikasi, transportasi yang bekerja secara simultan ikut berpengaruh terhadap perubahan budaya Bali. Ramalan Covarrubias terbukti bahwa
193
perkembangan kepariwisataan telah membawa energi dobrak yang kuat, sehingga menyebabkan perubahan secara struktural bagi masyarakat dan kebudayaan Bali. Dalam konteks Bali,
perubahan budaya
dimungkinkan oleh perubahan
karakter orang Bali yang cenderung menjadi human ekonomikus. Triguna (2004 : 14), mendeskripsikan perubahan karakter orang Bali disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (a) orang Bali tidak siap dan tidak mampu bersaing dengan pendatang (new comers);
(b) orang Bali cenderung curiga terhadap pendatang sehingga
membuatnya tidak eksklusif; (c) karakter orang Bali dipengaruhi oleh proses monetarisasi; (d) banyak institusi sosial dan kultural yang tidak mampu melakukan adaptive upgrading atau adaftive modification untuk memelihara kesinambungan kebudayaan sebagai pembentuk karakter orang Bali; dan (e) kebijakan dan sikap pemerintah dalam mengalokasikan pendanaan untuk kepentingan kebudayaan belum sesuai dengan wacana
dan harapan, meskipun kebudayaan dikatakan sebagai
panglima dalam pembangunan daerah Bali. Ketidaksiapan bersaing manusia Bali dalam novel Tiba-Tiba Malam ditandai oleh kecurigaan orang-orang desa terhadap David yang datang ke desa memotret pesta perkawinan Sunatha dengan Utari. Kehadiran David memengaruhi Subali. Gaya hidup Barat membuat Subali terprovokasi dan meninggalkan adat dan tradisi Bali yang berakibat keluarga Subali dikucilkan. Setelah
keluarga Subali
kasepekang
(dikucilkan), Sunatha
masih
berketetapan hati merantau menunaikan tugas ke Kupang, dengan hati yang terluka karena istrinya diperistri oleh Ngurah. Teganya, Ngurah dengan kekuasaan ekonomi
194
mengintervensi guru karena faktor perubahan sosial akibat perkembangan sejarah. Perubahan itu dipicu oleh kegagapan menerima pendatang dari Belanda (David) yang
membawa budaya Barat. Selain itu, kemampuan ekonomi Ngurah yang
tergolong kaya dari kelompok triwangsa (menak) di desanya juga memberi andil terhadap proses perubahan. Dalam posisi lemah secara ekonomi, Sunatha sebagai guru tidak kuasa mengimbangi perubahan masyarakat
yang menghakimi
keluarganya. Akibatnya, Sunatha pun menjadi korban dari hukuman sosial yang disebut kasepekang. Perubahan sosial budaya juga terjadi akibat makin majunya tingkat pendidikan warga Negara. Pendidikanlah yang mendorong tokoh-tokoh dalam Mlantjaran ka Sasak karya Gde Srawana untuk melakukan perlawanan terhadap adat dan tradisi yang dianggap menghambat kemajuan. Dengan berbekal pendidikan yang memadai,
Dayu Priya berani mendobrak adat
walaupun hanya dalam tataran
wacana. Ia bersama Made Sarati dalam wisata ke Lombok mendiskusikan pentingnya kesetaraan pria dengan wanita. Diskusi itu selain menggambarkan tokoh-tokohnya yang berpikiran maju dan intelek, juga merepresentasikan gugatan kepada adat yang mengikat. Walaupun, Dayu Priya belum berhasil melawan ikatan adat yang kuat, dengan modal pendidikan yang memadai ia telah meletakkan dasar-dasar emansipasi wanita bagi wanita Bali. Darma Putra (2007: 17) menyebutkan wanita Bali tempo doeloe,khususnya zaman Belanda, pada tahun 1920 sampai 1930-an gigih sekali berjuang untuk memajukan kaumnya, terutama di bidang pendidikan. Perjuangan mereka mendapat
195
dukungan dari laki-laki terdidik, yang waktu itu kebanyakan bekerja sebagai guru. Pernyataan Darma Putra ini tersirat dalam dialog Ida Bagus Kumara dengan Dayu Priya dalam novel Mlantjaran ka Sasak. ―Buina Dayu, sing pantes benehne Aji buin mambadahin anake buka Dayu. Aji amunapa nepukin sekolahan? Pragat di Bogor, buin tusing tutug‖ (Srawana, 1978:18). Artinya, lagi pula Dayu, tidak sepantasnya Ayah mengajarkan Dayu. Sekolah Ayah tidak seberapa dibandingkan Dayu. Ayah sekolah sampai di Bogor, lagi pula tidak tamat. Kutipan di atas memberikan petunjuk bahwa seorang ayah mengakui pendidikan anak perempuannya lebih tinggi. Pengakuan itu meligitimasi bahwa ayah mendorong emansipasi wanita. Dayu Priya diberikan mandat memperjuangkan emansipasi wanita dengan senantiasa mendiskusikan
pada guru Made Sarati.
Pendidikan modern yang dialami kedua tokoh terpelajar ini telah memengaruhi cara berpikir dan bertindak ke arah kemajuan. Jika dihitung sejak terbitnya Mlantjaran ka Sasak, setelah setengah abad perjuangan Dayu Priya, kini telah banyak menjadi kenyataan. Pilihan jodoh anak semakin bebas dari tekanan orangtua, wanita semakin banyak berkiprah dalam jabatan politik dan karier, pendidikan wanita dan pria makin setara. Penghasilan pria dan wanita dalam profesi juga tidak ada diskriminasi. Semua itu adalah hasil dari pendidikan. Benar kata ahli pendidikan, bahwa pendidikan adalah investasi masa depan. Dampaknya baru dirasakan setelah dua puluh tahun. Gagasan Dayu Priya dalam Mlantjaran ka Sasak kini semakin menemukan format hampir dalam segala lapangan kehidupan. Kehidupan yang sebenarnya bermula dari imajinasi (mimpi)
196
menjadi
fakta (kenyataan). Benar jika kemudian Kleden (2004: 405) tidak
mempertentangkan fakta dan fiksi. Keduanya bisa hadir bersama-sama saling melengkapi. Tulisan Bakti Sumanto (Kompas,2/3/2014) juga mengukuhkan bahwa sejarah (fakta) dan novel (fiksi) adalah dua hal yang tidak perlu dipertentangkan. Keduanya bersumber dari kenyataan yang berproses. Novel lahir dari kenyataan yang dihayati (mengalami secara batin peristiwa sejarah) oleh pengarang sedangkan sejarah lahir dari kenyataan (mencari kebenaran peristiwa, dengan kritis) yang dialami penulis sejarah. Dua kenyataan dengan tingkat pemahaman yang berbeda memberikan kontribusi bagi pengayaan terhadap pemahaman sejarah dan berperan bagi apresiasi terhadap novel. Untuk menguatkan argumentasi tentang paralelisme antara sejarah dan novel, Sumanto menggunakan pandangan Kuntowijoyo yang mengatakan, ―Sebagai seorang sejarawan dan penulis fiksi, ia (Kuntowijoyo) pernah memberikan pandangan bahwa sejarawan dan novelis memandang fakta sebenarnya sama. Yang berbeda sebenarnya cara penyikapan. Sejarawan mencari kebenaran dengan mengkritisi fakta, sedangkan novelis ingin mengalami secara batin peristiwa sejarah‖. Mlantjaran ka Sasak terhadap polemik kasta
lahir pada dekade 30-an yang merupakan respon
sehingga
Gde
Srawana
mencoba
menghayatinya.
Penghayatannya dimunculkan dengan menghadirkan tokoh guru, Made Sarati (jaba) dan Dayu Priya (menak). Polemik kasta itu adalah fakta sejarah, sedangkan
197
Mlantjaran ka Sasak adalah novel yang bersifat fiksi. Sementara itu, tokoh guru adalah simbol intelektual. Pendidikan juga menjadi simpul perubahan dalam novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang karya Djelantik Santha. Melalui tokoh Nyoman Santosa yang bersekolah di sekolah guru, pada awalnya tidak direstui oleh ibunya, yakni Men Madu. Alasan Men Madu agar ada yang membantu bekerja di sawah, terlebih ayah dan kedua kakak kembarnya telah meninggal. Namun, Men Madu baru sadar pentingnya pendidikan ketika Nyoman Santosa liburan di desa. Banyak
teman-
temannya senang dan pemikirannya diterima oleh pemuda banjar di desanya. “Memene jani suba ngerti teken tetujon panakne masekolah mula patut. Liu tatimbangne ane kanggoanga teken nyama brayane di banjar. Ento awananne tusing bani ia ngandet pianakne apang makeloan jumah” (Santha, 1981:113). Terjemahannya: ―Sekarang ibu sudah paham akan tujuan anak bersekolah. Bersekolah itu memang penting dan perlu. Banyak pemikiran anaknya dijadikan rujukan oleh warga banjar dalam membangun. Itu sebabnya, ia (ibu) tidak berani menunda keberangkatan anaknya agar lama berlibur di rumah.‖ Kesadaran akan pentingnya arti pendidikan bagi ibu Santosa mengonfirmasi bahwa investasi di bidang pendidikan adalah investasi jangka panjang. Dampaknya tidak dirasakan seketika, tetapi lama dalam kurun 10-20 tahun. ―Pendidikan membantu mereka mengembangkan bakat kemampuan sosialnya agar masyarakat juga ikut memetik keuntungan dari perkembangan mereka‖, (Sindunata,2001: ix). Pendidikan sebagai agen perubahan diterjemahkan oleh I Nyoman Manda melalui novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah, dengan menampilkan dua
198
tokoh sentral, yaitu Pak Sukata dan Bu Wartini. Sebagai guru muda, mereka melaksanakan program perkemahan di Toyobungkah. Program petualang dengan mendaki gunung Batur dan program penghijauan yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat setempat selain bertujuan mengedukasi juga mendekatkan siswa kepada alam. Tagore mengatakan, ―janganlah membawa pohon ke dalam kelas, tetapi ajaklah anak-anak ke bawah pohon untuk belajar‖ Perkembangan pariwisata juga menjadi penyebab perubahan citra guru. Hal ini ditemukan dalam novel Senja di Candi Dasa karya Aryantha Soethama. Tokoh guru, Nengah Diarsa harus meninggalkan profesi guru yang dicintainya dengan menjadi manager Klumpu Cotage. Kemajuan
pariwisata telah menjerumuskan
Nengah Diarsa meninggalkan profesi sebagai guru. Hal demikian juga terjadi pada guru TK, Bu Rahayu dalam cerpen ―Ibu Guru Anakku‖ karya Aryantha Soethama. Dalam cerpen ini, Bu Rahayu dikisahkan menjadi guru TK karena terpaksa. Tujuan Bu Rahayu ke Bali bukan menjadi guru, melainkan ingin bekerja di hotel walaupun hanya sebagai operator telepon. Tekadnya yang kuat, membuatnya meninggalkan profesi guru untuk mencoba peruntungan di Lombok menjadi karyawan hotel di kawasan Senggigi yang dikisahkan mulai berkembang.
6.2.3 Faktor Ekonomi Pragmatis Selain faktor perubahan sosial, faktor eksternal yang memengaruhi citra guru adalah
ekonomi. Kemajuan ekonomi dapat mengangkat kelas sosial seseorang
bahkan dapat mengubah status kasta (kewangsaan) dari yang lebih rendah ke kasta
199
lebih tinggi. Hal ini diakui oleh
Kusuma (1998:186) yang menyebutkan faktor
ekonomi dan pendidikan menjadi penyebab mobilitias wangsa. Dalam novel Mlantjaran ka Sasak, tokoh Made Sarati dan Dayu Priya merantau sampai ke Jawa untuk menuntut ilmu, menyelesaikan pendidikan. Dayu Priya secara ekonomi mampu, sedangkan Made Sarati ditelantarkan ayah, tetapi dibiayai oleh Anak Agung Punggawa yang mampu secara ekonomi. Status mereka berdua terangkat sebagai golongan terpelajar yang hendak mengkritisi adat yang membelenggu. Keberanian Dayu Priya dan Made Sarati mengkritisi adat setelah mereka mendapatkan pendidikan modern Barat. Dalam SIM, tokoh Sunatha sebagai guru di dalam Tiba-Tiba Malam perjuangannya menjadi priyayi tercapai karena pendidikan. Pendidikan guru telah membuatnya menjadi perantau di Kupang. Idealisme sangat kuat
pada
tokoh
Sunatha , tidak demikian halnya Nengah Diarsa dalam Senja di Candi Dasa dan Bu Rahayu dalam cerpen ―Ibu Guru Anakku‖. Dalam novel Senja di Candi Dasa dan cerpen ―Ibu Guru Anakku‖ karya Aryantha Soethama, godaan uang dan wanita menjadi penyebab Nengah Diarsa beralih profesi dari guru menjadi pegawai hotel. Dalam cerpen ―Semara Dudu‖ (Cinta Terlarang) karya I Made Sugianto (2010), godaan siswi menjerumuskan guru olahraga, yakni Made Kapuk ke penjara. Sikap Nengah Diarsa dan Bu Rahayu dalam karya Aryantha Soethama dan sikap Made Kapuk setara dengan isi kitab Canakya Niti Sastra bab XVI, Sloka 13, tentang harta, tahta, dan wanita. ―Orang-orang tidak puas terhadap empat hal yaitu:
200
harta, hidup, wanita, dan makanan. Tidak puas terhadap semua ini maka sesungguhnya mereka telah mati, sedang mati, dan akan mati‖. Dalam konteks karya Aryantha Soethama dan Made Sugianto
ini, tokoh guru telah mati dedikasi
keguruannya. Kisah guru dalam novel Senja di Candi Dasa
mirip dengan kisah guru
dalam cerpen ―Ibu Guru Anakku‖ karya Gde Aryantha Soethama. Tokoh guru dalam cerpen ini adalah Bu Rahayu dari Purwokerto yang datang ke Bali. Pada awalnya, ia ingin bekerja di sektor pariwisata, tetapi karena tidak dapat bekerja di hotel, ia menjadi guru TK dengan berbekalkan pengalaman kuliah beberapa semester di IKIP. Motivasinya menjadi guru bukan dari minat dan keinginan yang tulus, tetapi karena terpaksa, daripada tidak bekerja. Sikap Bu Rahayu ini setara dengan pandangan Djiwandono (2001: 175) yang mengatakan bahwa banyak orang menjadi guru karena tidak mendapat pekerjaan di tempat lain. Akibatnya, banyak orang terpaksa menjadi guru dan mengajar di sana-sini atau melakukan pekerjaan lain untuk mencukupi kebutuhan hidup. Begitulah Bu Rahayu, sebagai guru telah luluh oleh kemajuan pariwisata. Oleh karena itu, ia berhenti menjadi guru, lalu nekat ke Lombok mengadu nasib di dunia pariwisata dengan motivasi uang, uang, dan uang. Dalam kondisi demikian, anak-anak jadi korban guru yang tidak bertanggungjawab. Dari segi motif, tokoh guru dalam Senja di Candi Dasa
dan ―Ibu Guru
Anakku‖ adalah sama. Nengah Diarsa dan Bu Rahayu sama-sama beralih profesi dari guru menjadi pekerja pariwisata dengan motivasi penghidupan ekonomi agar lebih
201
baik. Bedanya, Nengah Diarsa kembali menjadi guru setelah merasa tidak cocok bekerja di pariwisata. Sementara, Bu Rahayu menggantung, tidak dijelaskan nasibnya setelah ke Lombok. Motivasi ekonomi juga tersirat dalam cerpen ―Guru‖ karya Putu Wijaya. Cerpen ―Guru‖ mirip kisahnya dengan Tiba-Tiba Malam. Dalam cerpen ―Guru‖ dikisahkan Taksu yang bercita-cita menjadi guru dimarahi oleh orangtuanya. Jika dalam Tiba-Tiba Malam, guru diperdaya dan dipermainkan sehingga istrinya diceraikan.
Dalam cerpen ―Guru‖, Taksu yang bercita-cita menjadi guru malah
dilarang dengan alasan gaji guru kecil. Ukuran sukses dihitung dari sudut ekonomi. Mencermati novel Tiba-Tiba Malam dan cerpen ―Guru‖ karya Putu Wijaya tampak bahwa betapa besarnya intervensi kekuasaan ekonomi terhadap profesi guru. Ngurah yang secara ekonomi mapan dapat berbuat
seenaknya terhadap guru,
termasuk mengambil istri Sunatha. Begitu pula, larangan orangtua terhadap cita-cita anak sebagai guru murni dengan parameter ekonomi. Dengan demikian, ukuran keberhasilan seorang guru semata-mata dilihat dari sudut ekonomi. Jika karya Putu Wijaya, intervensi kekuasaan ekonomi terhadap profesi guru tanpa merobohkan idealisme seorang guru, sesuai dengan cita-citanya, maka faktor ekonomi justru mengubah pikiran Nengah Diarsa untuk beralih profesi. Hal ini dikisahkan dalam novel Senja di Candi Dasa karya Aryantha Soethama. Dengan janji kesejahteraan hidup yang lebih baik, Nengah Diarsa tergoda untuk mencoba peruntungan di dunia pariwisata dengan gaji dolar. Jika sebelumnya, Nengah Diarsa bekerja di dunia pendidikan dengan menjadi guru, maka ketika ia beralih profesi ke
202
dunia pariwisata pekerjaan tidak jelas. Pekerjaan baru ini ternyata tidak membuatnya bahagia. Namun, ia telanjur menerima rayuan Sawitri untuk menjadi manajer hotel dengan jaminan gaji lebih baik daripada guru. Kisah Nengah Diarsa sebagai guru dalam novel Senja di Candi Dasa senada dengan pendapat Sudarminta (2001: 261) yang mengatakan bahwa citra profesi guru di masyarakat ditentukan oleh status sosial ekonomi. Berbeda dengan gaji guru pada masa kolonial hingga awal zaman kemerdekaan, gaji guru cukup memadai. Rendahnya gaji menyebabkan banyak guru melakukan perlawanan terhadap Negara melalui ―ngobyek‖‘ mencari penghasilan tambahan. Hal ini juga digambarkan dalam cerpen ―Guru Made‖ karya Nyoman Manda. Namun, Guru Made Warsa tetap setia dengan profesinya sebagai guru. Walaupun ia mengajar sore di sekolah swasta, tugas pokoknya di sekolah negeri pada pagi hari, tidak pernah dilalaikan. Begitu juga manakala ia membantu istrinya menyiapkan barang dagangan, ia tidak sampai melalaikan tugas utamanya sebagai guru. Guru Made Warsa adalah sosok guru yang pandai menghargai
waktu, antara tuntutan tugas dinas dan keluarga dapat
diselaraskan. Berbeda dengan Bu Rahayu yang menjadi guru TK dalam cerpen ―Ibu Guru Anakku‖ karya Gde Aryantha Soethama. Akan menjadi fatal, kalau guru meninggalkan tugasnya karena janji gaji besar di dunia pariwisata sebagaimana dibayangkan Bu Rahayu. Keprihatinan ini disampaikan oleh Gde Aryantha di akhir cerpennya, dengan kalimat retoris. ―Lama aku termangu. Kalau semua orang seperti Rahayu, siapa yang akan menjadi guru anakku?‖
203
Tumbuh suburnya sikap materialisme dan konsumerisme adalah faktor ketiga penyebab perubahan citra guru. Sikap materialisme dan konsumersime didasarkan atas pandangan menghargai orang berdasarkan kekuatan materi dan mahal atau murahnya jenis barang yang dapat dikonsumsi (Sudarminta, 2001: 263). Untuk menguatkan pendapat ini, Guru Made Warsa dalam cerpen ―Guru Made‖ karya Nyoman Manda dapat dijadikan contoh. Dalam cerpen ini, dikisahkan pemandangan paradoks antara sepeda motor Guru Made Warsa yang mogok dalam perjalanan dan mobil sedan mewah yang dipakai oleh siswa. Pemandangan demikian juga menyiratkan kemampuan ekonomi yang berbeda antara guru dan murid. Di satu sisi, dengan tugasnya sebagai guru, Guru Made Warsa selalu berkata hal-hal yang bersifat ideal di hadapan muridnya, tetapi bersamaan dengan itu sejumlah murid justru melampaui kemampuan ekonomi gurunya. Hal serupa dengan Guru Made Warsa, juga ditemukan dalam Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah karya Nyoman Manda. Di dalamnya bukan guru yang dinistakan, melainkan juga Putra yang menjemput Sawitri ke rumahnya dengan sepeda gayung. Mereka berdua adalah aktivis pramuka di sekolahnya yang menyebabkan benih-benih cinta mereka mulai tumbuh. Di mata orangtua Sawitri, tidak pantas
anak gadisnya dipinang oleh lelaki yang miskin. Ada kekeliruan
orangtua dalam menilai Putra karena hanya menilai dari alat transportasi yang dipakai menjemput. Hal ini juga mencerminkan sikap materialistik, konsumtif,dan pragmatis orangtua. Menurut Wittgenstein, sikap pragmatis yang berlebihan akan membunuh
204
idealisme. Padahal, sastra lebih banyak memuat idealisme daripada pragmatisme (Darma, 2003: 10). Jika orangtua Sawitri adalah potret masyarakat, maka masyarakat juga sedang berubah dalam menentukan keberhasilan seseorang. Hal ini adalah dampak dari prioritas pembangunan di bidang
ekonomi. Sudarminta (2001: 262) menyebut
merebaknya sikap materialisme dan konsumerisme yang sedikit banyak terpacu oleh penekanan yang terlalu besar pada pembangunan ekonomi dan kurangnya penghargaan nyata terhadap pembangunan budaya telah menyebabkan terjadinya kemerosotan moral di berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan. Sikap demikian juga ditonjolkan oleh Putu Wijaya dalam merayu Taksu agar mengurungkan niatnya menjadi guru. Pertama, Taksu dirayu dengan laptop terbaru kalau mau mengurungkan niatnya menjadi guru. Terakhir, Taksu dirayu dengan mobil keluaran terbaru. Godaan terhadap kemewahan yang datang secara terusmenerus
akan melemahkan cita-citanya menjadi guru seandainya Taksu tidak
mempunyai tekad yang kuat. Dengan pandangan itu, guru tidak saja dipersoalkan sejak bercita-cita masuk ke sekolah guru, tetapi juga diremehkan ketika menjadi guru, sebagaimana dialami oleh Guru Made Warsa. Kuatnya pengaruh sikap pragmatis, materialistik, dan konsumerisme dalam masyarakat juga tergambar dalam cerpen ―Guru 2‖ karya Putu Wijaya. Dalam cerpen ini, guru dikorbankan oleh kekuatan kapital dari Jakarta yang bersinergi dengan perajin janur asal Tabanan. Kisahnya bermula dari seorang
perajin janur asal
205
Tabanan yang dimanfaatkan oleh pengusaha dari Jakarta untuk memperkaya dirinya. Perajin ini diundang ke Jakarta dan diajak untuk memberikan pelatihan dari hotel ke hotel, termasuk mengenalkan seni merangkai janur kepada orang-orang asing. Disuruh mengajari ibu-ibu mengenai seluk beluk seni merangkai janur. Sayangnya, perajin janur ini tidak sadar kalau keterampilan yang diwariskan secara turuntemurun diperjualbelikan oleh pengusaha dari Jakarta. Sementara itu, perajin janur ini tidak mendapatkan apa-apa. Sadar bahwa perajin janur diperdaya oleh pengusaha Jakarta, seorang anak guru yang lama di Jakarta melapor kepada bapaknya. ―Melihat kehidupan yang sebenarnya jangan mau ditipu,‖ kata Pak Guru berapi-api. Menurut laporan anak Pak Guru, di Jakarta, ahli janur itu memang sudah dibawa ke hotel dan tempat-tempat terhormat. Tetapi bukan sebagai pelancong, melainkan sebagai tukang janur. Keahliannya dikomersialkan. Sang ibu sama sekali tidak tahu bahwa ia sudah dijadikan barang dagangan. Besar kemungkinan bisnis itu amat menguntungkan, sehingga sang ibu dibuatkan jadwal untuk mengadakan workshop janur keliling dunia. Pasang tarif. Tuntut honorarium yang pantas. Ini bisnis. Jangan mau dipakai dengan gratis. Uang berjuta-juta masuk ke kantongnya, ibu sendiri tidak dapat apa-apa. Malahan terpaksa jual kalung untuk membelikan oleholeh cucu. Daripada membuat kaya orang lain seperti itu, lebih baik tidak usah melihat luar negeri. Tolak saja!‖ kata guru itu sambil membuka surat anaknya (Wijaya, 1995: 46-47). Berkat pencerahan dari Pak Guru, perajin janur sadar. Kemudian setiap diajak bekerjasama oleh pengusaha dari Jakarta selalu dituntut ada kontrak perjanjian dengan bayaran yang jelas. Berhasil menyadarkan perajin janur, bukan berarti Pak Guru senang karena ketika liburan, anak Pak Guru yang tinggal di Jakarta pulang ke Bali. Atas nasihat Pak Guru, anak itu pun datang ke rumah ibu yang ahli janur. Ia
206
minta diajari merangkai janur. Namun, seminggu setelah selesai belajar merangkai janur, Pak Guru terkejut karena seorang anak kecil datang ke rumah Pak Guru membawa kwitansi tagihan ongkos kursus merangkai janur sebulan sebesar lima puluh ribu. Merasa dikorbankan, Pak Guru mengumpat. ―Bangsat, tidak tahu diri. Memangnya sudah rusak sekarang. Bali sudah jadi maniak uang! Ini akibatnya kalau semua didagangkan‖, teriak Pak Guru kesetanan. Kisah ini menyiratkan sejumlah makna. Pertama, budi baik guru belum tentu membuahkan hasil yang memuaskan bagi guru. Bahkan , guru dapat menjadi korban komersialisasi, karena hasil didikannya berlaku seperti kacang lupa kulitnya. Kedua, perajin sukses di bawah binaan guru tidak ubahnya relasi guru dengan murid. Murid yang sukses tetapi menyakiti hati gurunya adalah bentuk sindiran terhadap rendahnya perhatian pada guru. Hubungan humanis ditinggalkan, hubungan bisnis diunggulkan, dan hubungan komersialisasi dimantapkan. Ketiga, guru menjadi korban budaya materialisme, konsumerisme, dan pragmatisme. Guru tidak berdaya menghadapi kenyataan sebagai konsekuensi logis dari pencerdasan yang pernah disampaikan kepada perempuan perajin janur asal Tabanan itu. Guru tidak ubahnya menggali lubang untuk mencemplungkan diri sehingga terprosok ke dalam lubang yang dia buat sendiri. Guru yang mencerdaskan justru tertindas oleh kekuatan kapitalis sehingga menimbulkan ketidakberdayaan. Dalam cerpen ini telah terjadi komersialisasi budaya dengan guru sebagai penengah mencari solusi. Namun, maksud Pak Guru untuk memberikan pencerahan dan pencerdasan, tetapi menjadi menanggung beban.
207
Kepentingan ekonomi secara pragmatis juga memicu I Ketut Lanus, S.Pd. memalsukan piagam untuk melengkapi portofolio persyaratan sertifikasi. Kisah ini terlukis dalam cerpen ―Sertifikat(-si)‖ dalam kumpulan Bikul (2010) karya I Made Sugianto. Cerpen ini sebagai respon pengarang terhadap pelaksanaan sertifikasi guru melalui jalur portofolio. Pada awal sertifikasi guru (2006-2009), penilaian menggunakan portofolio yang mensyaratkan sepuluh komponen yang harus ada buktinya. Salah satunya adalah piagam pelatihan. Tujuan Ketut Lanus memalsukan piagam agar lulus sertifikasi dengan harapan mendapatkan tunjangan sertifikasi sebesar satu kali gaji pokok. Lulus sertifikasi, bukan dengan tujuan menjadi guru profesional melainkan demi tunjangan sertifikasi. Motif ekonomi secara pragmatis lebih dominan memengaruhi perubahan guru dalam melaksnakan tugasnya. Hal ini senada dengan pandangan Yoesoef (2001: 17) yang menyebutkan pendekatan ekonomi uni-dimensional atau pendekatan pendidikan yang ditujukan pada pasaran kerja,
di
mana
pembiayaan-pembiayaan
pendidikan
diperlakukan
sebagai
pengeluaran konsumsi dan bukan sebagai pengeluaran-pengeluaran investasi.
6.2.4 Faktor Kekuasaan Kekuasaan yang otoriter cenderung menindas. Penindasan kekuasaan juga memengaruhi perubahan citra guru. Dalam Mlantjaran ka Sasak, perempuan ditindas oleh kaum laki-laki, sedangkan guru terhegemoni oleh menak (brahmana wangsa). Dayu Priya sebagai perempuan intelek yang berpendidikan tinggi tidak kuasa melawan adat yang dirasakannya membelenggu cintanya. Oleh karena itu, ia tunduk
208
pada pilihan jodoh orangtuanya. Perlawanan Dayu Priya terhadap adat (kasta) yang membelenggu adalah simbol perjuangan perempuan dalam meraih kemerdekaan. Perlawanan Dayu Priya adalah kritik terhadap penguasa Belanda yang kejam di tanah jajahannya. Sebab itu, hai kaoem ibou bangsakoe Bali, marilah bersatoe oentoek menoentoet hak kita. Dan bangsakoe kaoem laki-laki yang soenggoehsoenggoeh sayang akan bangsa yang lemah, sokonglah kami (Rapeg, 1937: 122; Darma Putra, 2007: 3). Kaum laki-laki dalam kutipan di atas bermakna ganda, tidak saja mengacu pada jenis kelamin tetapi juga merujuk penguasa (Belanda). Hal ini berkaitan dengan sifat paternalistik yang berlaku di tanah jajahan. Sistem paternalistik adalah sistem pemerintahan dengan garis komanda laki-laki. Sementara, bangsa yang lemah adalah simbol perempuan. Perempuan yang tidak berdaya terhadap kuasa laki-laki yang memerintah. Dalam posisi perempuan terhimpit, posisi Made Sarati dalam Mlantjaran ka Sasak cenderung bersifat kompromi, tidak memihak ke salah satu pihak. Hal ini sejalan dengan teori hegemoni Gramsci. Ratna (2005: 188) mengatakan hegemoni bukanlah
dominasi
dengan
menggunakan
kekuasaan,
melainkan
hubungan
persetujuan dengan menggunakan pendekatan kepemimpinan dan ideologi. Pada dasarnya hegemoni tidak dipaksakan dari atas, juga tidak berkembang secara bebas dan tidak disengaja. Hegemoni diperoleh melalui negosiasi dan kesepakatan. Sikap demikian tampak pada Made Sarati dalam Mlantjaran ka Sasak. Ia tidak jelas mendukung emansipasi wanita yang diperjuangkan oleh Dayu Priya. Sebaliknya,
209
Made Sarati justru sungkem pada Ida Bagus Kumara, ayah Dayu Priya. Hal ini mengindikasikan sosok guru yang tidak berani berbeda pendapat dengan penguasa (menak). Dalam ajaran catur guru, Made Sarati adalah guru pengajian, sedangkan Ida Bagus Kumara adalah simbol guru wisesa (pemerintah). Dalam praktiknya, guru wisesa dipandang lebih berkuasa daripada guru pengajian. Hubungan tidak setara juga ditunjukkan oleh Dayu Priya melalui dialog dengan guru Made Sarati. Dialog humor di antara keduanya mencerminkan kemampuan berbahasa seorang intelektual. Apang anake luh dogen “masare cara Ratu” rep? Anake muani apang dadi “masok gedenan” ngodag-odag. Anake luh apang “nahar uyah aji muncuk jriji” nguntul, anake muani apang dadi “makadutan Bima” ngura ngada! Anake muani bes sing pesan nyak “makibul dawa” nyikut-nyikutang karaga….” I Made kedek miragi Ida asapunika, raris ipun mapajar, “To ja Ratu” ngamuk mesuang basang “mabladbadan!” (Srawana, 1978:35). Terjemahannya : Anak perempuan saja ―tidur seperti Ratu‖ diam? Anak laki-laki bisa mengganggu. Anak perempuan agar ―makan garam dengan ujung jari‖ merunduk. Anak laki-laki bisa beringas sesuka hatinya, seperti Bima menggunakan senjata gada seenaknya! Anak laki-laki tidak mau mengukur dirinya. I Made tertawa mendengarkan keluhan Ida (Dayu Priya) demikian, lalu berkata, ―janganlah Ratu‖, mengamuk mengeluarkan isi hati dengan aneka metapora. Penindasan laki-laki terhadap kaum perempuan yang digambarkan oleh Gde Srawana hanya pantas dikomunikasikan dengan Made Sarati. Dengan kalimat lain, Dayu Priya hanya percaya kepada Made Sarati sebagai tempat menaruh harapan dan keyakinan perjuangan menuju kemerdekaan yang sesungguhnya.
Kepercayaan
210
Dayu Priya terhadap Made Sarati identik dengan kepercayaan Ida Bagus Kumara (ayah Dayu Priya) terhadap Made Sarati. “…Iring I Dayu ka Sasak, Made, lenan ja teken Made, bapa sing ja maang apa ngiringang. Made dong tawang bapa suba. Nah, bapa nyerahang I Dayu teken I Made….” (Srawana, 1978:15) . Artinya, antarlah I Dayu ke Lombok, Made, selain Made, ayah tidak percaya untuk mengantarkannya.
Made, sudah ayah ketahui. Nah, ayah menyerahkan I Dayu
kepada Made….‖ Kutipan di atas memberikan petunjuk bahwa profesi guru menjadi acuan bagi golongan tua dan golongan muda untuk melangkah. Guru tempat bertanya sekaligus tempat mencari solusi atas pertanyaan. Guru juga tempat untuk berbagi keluh kesah, walaupun pada akhirnya harapan untuk perubahan sesuai dengan cita-cita kemerdekaan belum dapat diwujudkan. Akan tetapi, tersirat bahwa guru menjadi tumpuan harapan ke arah perubahan yang dicita-citakan, ketika ditindas oleh kekuasaan. Kekuasaan yang menindas juga mengakibatkan perubahan citra guru dalam novel Senja di Candi Dasa
dan cerpen
―Ibu Guru Anakku‖
karya Aryantha
Soethama. Dalam novel ini, Nengah Diarsa sebagai guru dikisahkan tergoda oleh kemajuan pariwisata. Dunia pariwisata telah menindas profesi guru dengan janji harta, terjebak
tahta,
dan wanita. Sebagai guru, Nengah Diarsa dicitrakan tergoda dan
dalam
pola hidup materialistis - pragmatis. Hal ini tampak ketika ia
berjumpa dengan Suwitri pacarnya pada saat sama-sama di IKIP Singaraja. Sosok Nengah Diarsa sebagai guru, luluh di hadapan wanita, lebih-lebih janji menjadi
211
manager Klumpu Cottage.
Ia merasa berat hati meninggalkan anak-anak yang
diajarnya. Akan tetapi, godaan jabatan dan uang meluluhkannya. Dengan berat hati, Nengah Diarsa mengajukan permohonan berhenti jadi guru SMA, lalu menuruti tawaran Suwitri untuk menjadi manager Klumpu Cottage. Bekerja sebagai manager tidak membuatnya nyaman, senyaman ketika menjadi guru. Dari profesi sebagai manager inilah, Nengah memperoleh tugas untuk membuat brosur untuk promosi Klumpu Cottage. Maka datanglah Nengah ke Percetakan Prasasti di Denpasar. Secara kebetulan ada orang yang juga membuat promosi di percetakan prasasti dengan menggunakan lukisan Bisma Gugur sebagai folder. Dari sinilah lantas muncul ide kembali memburu lukisan Bisma Gugur yang telah lama dilupakan (Soethama, 2009: 124). Kutipan di atas mengonfirmasi bahwa dunia pariwisata memengaruhi cara pandang guru. Hal ini sejalan dengan makin berkembangnya pariwisata di Bali yang menjanjikan kemewahan yang berbeda dengan dunia pendidikan yang cenderung menyajikan kesederhanaan sebagaimana direpresentasikan tokoh guru dalam hampir semua novel pengarang Bali. Di lihat dari sejarah kepariwisataan Bali, pada dekade 1990-an adalah puncak pencapaian prestasi dan banyak orang yang tergiur dibuatnya. Petani menjual tanahnya dan
meninggalkan budaya agraris, guru meninggalkan
murid dan terjun di bidang pariwisata. Hidup guru yang mengedepankan ketenangan dan kesederhanaan berubah menjadi mengejar kesenangan dan kemewahan. Hal itu diperoleh secara instan melalui dunia pariwisata. Tindakan Nengah Diarsa yang terbuai oleh godaan pariwisata sesungguhnya dialami oleh Bu Rahayu dalam cerpen Aryantha Soethama berjudul ―Ibu Guru Anakku‖ (1993). Bu Rahayu dalam cerpen ini malah ditampilkan sebagai sosok yang terpaksa menjadi guru, karena niat utamanya bekerja di sektor pariwisata. Godaan
212
pariwisata yang menggiurkan, membuat Bu Rahayu berhenti menjadi guru TK. Bu Rahayu mempermainkan profesi guru. Profesi guru dipandang sebagai profesi kelas dua. Menjadi guru adalah pilihan terpaksa bagi Bu Rahayu, ketika kerja di sektor pariwisata gagal. Hal ini menandakan betapa kuatnya faktor dan motivasi ekonomis (Azra, 2004: 355). Pandangan itu juga menyiratkan adanya hubungan antara novel Senja di Candi Dasa (1992)
dan cerpen
―Ibu Guru Anakku‖ (1993)
dengan kondisi
pariwisata Bali pada dekade 1990-an yang mengalami titik kulminasi. Hal ini memberikan petunjuk bahwa pengarang respek terhadap dinamika pariwisata Bali yang berkembang pesat dan berhasil meminggirkan profesi guru. Marginalisasi guru tergambar dari penghasilannya yang memprihatinkan. ―Hidup sebulan … dengan gaji sehari‖, kata Surakhman (Sularto, 2009: xv). Hidup dengan
gaji
yang rendah,
guru
harus
berhadapan
dengan
tanggungjawab yang besar, yakni memuliakan manusia. Pemuliaan manusia bukan saja di sekolah, melainkan juga di masyarakat. Keterlibatan Wayan Rereh sebagai manusia Bali yang terlibat dalam komplotan pencuri lukisan Bisma Gugur juga membuat Nengah Diarsa harus bertindak. Hal ini dapat dimaknai sebagai rusaknya nilai-nilai budaya Bali karena rusaknya mental oknom manusia Bali, dengan merampas dan memperdagangkan artefak budaya sehingga berpindah ke tangan orang asing. Apabila tidak diwaspadai, cepat atau lambat akan menghancurkan Bali. Kekuasaan berbasis adat yang menindas profesi guru juga telah membuat Sunatha termarginalisasi dalam novel Tiba-Tiba Malam
karya Putu Wijaya.
213
Terpinggirnya Sunatha dalam konstelasi hidup bermasyarakat makin menjadi-jadi ketika adat dibaurkan dengan kasta. ―Pemimpin mereka adalah adat yang berlaku dan sama-sama mereka hormati. Subali telah dikeluarkan oleh desa. Berarti ia tidak berhak lagi untuk mempergunakan milik desa. Termasuk tanah kuburan. Ini harus diakui. Ini sudah berlangsung bertahun-tahun terhadap siapa saja‖ (Wijaya, 1977: 228). Dengan penindasan dari kekuasaan, Sunatha bangkit dari keterpurukan. Sebagai guru sekaligus kaum intelektual, ia memelopori perubahan di desa setelah keluarganya menerima hukuman pengucilan secara sosial (kasepekang). Dibandingkan dengan novel Mlantjaran ka Sasak karya Gde Srawana yang memarginalkan tokoh perempuan, yakni
Dayu Priya, novel Tiba-Tiba Malam
menampilkan tokoh Sunatha dengan perubahan yang dilakukan secara revolusioner, dimulai dari diri sendiri. ―Saya (Sunatha) kira selama ini kita selalu menyalahkan wanita. Saya akan menyalahkan diri saya sendiri!‖ (Wijaya, 1977: 211-212). Pernyataan bahwa dirinya bersalah dilakukan berkali-kali oleh Sunatha merupakan wujud introspeksi diri yang dalam bahasa Bali disebut mulat sarira. Sikap demikian juga merupakan bentuk dukungan
guru laki-laki terhadap emansipasi wanita.
Perjuangan yang dicita-citakan oleh Dayu Priya dalam kisah Mlantjaran ka Sasak pada dekade 1930-an mendapat dukungan dari Sunatha pada dekade 1990-an. Jadi, emansipasi tidak diberikan oleh laki-laki, tetapi telah diperjuangkan bersama oleh kaum laki-laki dan perempuan sehingga lahir kesetaraan. Sikap Sunatha seperti di atas terjadi setelah ia melihat dunia yang lebih luas. Merantau ke Kupang sebagai guru membuatnya makin dewasa dalam bersikap.
214
Banyak
membaca
juga
memengaruhi
caranya
menyelesaikan
persoalan.
Pertemuannya dengan David (Belanda) memberikan inspirasi untuk mendengar dan menghayati arti kehidupan. Bagi seorang guru, kekuasaan yang menindas telah membuatnya lentur. Tidak melakukan perubahan dengan merugikan orang lain, tetapi dengan mengubah dirinya sendiri, dengan tanpa kekerasan (ahimsa). Cara pandang demikian juga ada dalam cerpen Putu Wijaya berjudul ―Guru (2)‖ dengan melawan kekuasaan pengusaha dari Jakarta yang memperdaya perajin janur asal Bali. Kehadiran sosok guru dalam cerpen ini mencerdaskan perajin janur, walaupun pada akhirnya guru menjadi korban. Akan tetapi, di akhir cerpen, guru bersyukur dengan profesi yang digelutinya. Tetapi esoknya Pak Guru mengutus seseorang, mengantarkan sebuah amplop ke rumah wanita ahli janur itu. ―Kemarahan saya tidak ada artinya dibandingkan dengan kebanggaan saya sebagai seorang guru,‖ katanya dengan mata membelalak seperti tercekik (Wijaya, 1995: 51). Kutipan di atas memberikan petunjuk bahwa profesi guru menjadi kebanggaan yang telah mampu mengubah masyarakat Bali tradional yang lugu menjadi cerdas dan berbudaya. Di balik pengusaha yang menindas, guru tampil menawarkan perubahan bagi kemaslahatan hidup perajin janur. Ada berkah yang dinikmati perajin janur setelah tercerahkan oleh Pak Guru walaupun guru tidak dapat menikmati hasil dari kerja kerasnya.
215
BAB VII KRITIK SOSIAL MELALUI TOKOH GURU
Di dalam bab ini
dibahas kritik sosial melalui tokoh guru dalam karya
pengarang Bali, baik dalam SIM maupun SBM. Dengan menggunakan teori sosiologi sastra, kritik sosial dalam karya pengarang Bali dikaitkan dengan konteks kebudayaan dan perjuangan guru di dalamnya. Berdasarkan konteks kebudayaan, kritik sosial dan perjuangan tokoh guru dalam karya pengarang Bali dapat diklasifikasikan menjadi 4 bagian, yaitu : (1) perjuangan mengkritisi birokrasi dan mulatsarira; (2) perjuangan melawan adat dan membela Negara; (3) perjuangan melestarikan budaya Bali;
dan (4) perjuangan
mengantisipasi perubahan.
7.1 Mengkritisi Birokrasi dan “Mulatsarira” Tokoh guru yang mengkritisi birokrasi antara lain Arif dalam cerpen ―Guru (1)‖, Guru Made Warsa dalam cerpen ―Guru Made‖, Guru dalam cerpen ―SPP‖ dan Nengah Diarsa dalam novel Senja di Candi Dasa. Mereka mengkritisi birokrasi dalam konteks yang berbeda. Arif mengkritisi birokrasi setelah 10 tahun menjabat
215
216
sebagai Kepala Sekolah. Tokoh Guru dan Guru Made Warsa
mengkritisi birokrasi
ketika berhadapan dengan siswa yang tidak mampu membayar SPP dan Nengah Diarsa mengkritisi birokrasi ketika surat pengunduran dirinya sebagai guru berbelitbelit. Dalam cerpen ―Guru (1), Arif sebagai kepala sekolah merasa terbelenggu sehingga ia menolak gaya birokrasi formal setelah 10 tahun menjabat. ―Arif mundur atas kehendak sendiri sebagai kepala sekolah. Ia rela melepas kursi, kehormatan, dan tanggung jawabnya serta juga gajinya, untuk menukarnya dengan jabatan guru biasa dengan fasilitas yang lebih sedikit‖ (Wijaya, 1995: 39). Tindakan Arif mengundurkan diri sebagai kepala sekolah merupakan bentuk perjuangan sekaligus kritik dan protes guru terhadap kekuasaan. Pertama,
Arif
sebagai guru yang diberikan tugas tambahan sebagai kepala sekolah tidak ingin melanggengkan jabatan. Jabatan tidak membuat Arif menjadi nyaman. Jabatan telah membuat Arif berjarak dengan siswa dan membuatnya gelisah, lalu memutuskan untuk mengundurkan diri dari Kepala Sekolah sebagai bentuk perjuangan melawan diri-sendiri untuk mengendalikan nafsu untuk berkuasa. Dalam konteks ini, strategi perjuangan Arif dalam cerpen ―Guru (1)‖ sama dengan strategi perjuangan Sunatha dalam Tiba-Tiba Malam ketika melawan adat kasepekang. Kedua, Arif telah berjuang melawan kekuasaan yang membelenggunya dengan tugas-tugas sebagai seorang birokrat. ―Ini sudah bertentangan dengan harkat dan pengabdianku sebagai guru. Aku tidak lagi menjadi seorang pendidik, tetapi
217
birokrat. Dus aku sudah berkhianat pada cita-citaku untuk mengabdi pada tanah air karena aku jadi jauh dengan murid,‖ keluhnya (Wijaya,1995: 37). Kutipan tersebut menyiratkan Arif ingin kembali kepada fitrah keguruan yang menempatkan diri sebagai panutan yang tidak berwatak tiran, tetapi
―arif‖ dan
―tenggang rasa‖. Sebagai guru, Arif ingin dekat dengan murid-muridnya, tanpa tersekat oleh protokoler birokrasi. Arif direpresentasi sebagai guru yang tidak gila dengan jabatan dan cenderung sebagai guru yang merdeka. Berbeda dengan birokrat yang sering bekerja membohongi hati nurani. ―Aku tak ingin membohongi hati nuraniku sendiri. Sebagai guru harus bersentuhan dengan murid, bukan hanya mengurus administrasi, pidato, memerintah dari belakang meja serta hanya berhubungan dengan penilik sekolah‖ (Wijaya, 1995: 38-39). Kutipan itu menyiratkan tokoh guru yang gigih, ulet, dan sabar mewujudkan cita-cita. Pandangan di atas menempatkan Arif sebagai guru yang menjadikan sekolah sebagai institusi yang membebaskan. Berybe (2001:36) mengatakan, ―Sekolah harus dibebaskan dari segala macam upaya untuk menjadikannya sebagai perpanjangan tangan dari suatu power institusional yang ada, betapa pun simbolnya sangat bernada demokratis.‖ Pernyataan Berybe menguatkan pandangan Freire (1984: 6) tentang pendidikan sebagai praktik pembebasan. Guru dilepaskan dari mitos-mitos yang diciptakan oleh kekuatan-kekuatan sosial yang penuh kuasa. Dengan demikian, Putu Wijaya telah mengembangkan kesadaran dialog transitif kritis melalui tokoh Arif dalam cerpen ―Guru (1)‖. Freire (1984:18) menjelaskan kesadaran transitif kritis
218
merupakan sifat-sifat dari pemerintahan demokratis sejati dan cocok untuk bentukbentuk kehidupan yang mudah ditembus, tidak pernah diam dan dialogis. Perjuangan mewujudkan semangat demokrasi melalui kesadaran transitifkritis bukanlah perkara mudah. Arif mengkritisi birokrat juga ditandai dengan berbelit-belitnya proses yang dilalui untuk mundur dari jabatan sebagai kepala sekolah. ―Prosesnya memang berbelit-belit, tetapi tak apalah. Karena kebahagiaan memang harus dicapai dengan pengorbanan dan keteguhan,‖ ujarnya berseri-seri (Wijaya,1995: 39). Berbelit-belitnya proses birokrasi yang dialami Arif
juga dialami oleh
Nengah Diarsa dalam novel Senja di Candi Dasa karya Aryantha Soethama. Dalam novel ini, dikisahkan Nengah Diarsa juga mengalami benturan birokrasi setelah lima tahun menjadi guru dan hendak mengundurkan diri
untuk selanjutnya menjadi
manager Klumpu Cottage sesuai dengan ajakan Suwitri. Jalan birokrasi yang berliku untuk mengundurkan diri sebagai guru dialami Nengah Diarsa dalam dua tahap, yaitu melalui Kepala Sekolah dan Depdikbud Jakarta. Komunikasi antara Nengah Diarsa dan kepala sekolah adalah implementasi dari berjalannya birokrasi dalam kemasan patrimonial yang dicirikan oleh hierarki jabatan pejabat sebagaimana dikatakan Weber (Thoha, 2011:7). Hal ini tecermin dalam dialog Nengah Diarsa dengan Kepala Sekolah. ―Saya sebenarnya masih bingung,Pak,‖ kataku berterus terang. ―Tidak usah bingung. Hari ini Saudara harus memiliki ketetapan hati berhenti jadi guru. Kalau tidak, Saudara akan berdiri di depan kelas dengan setengah hati. Pekerjaan yang diambil dengan setengah hati tak akan pernah
219
berhasil. Saudara akan terus-menerus digantung oleh keadaan yang tak menyenangkan.‖ ―Kalau begitu bapak merestui keputusan saya?‖ ―Saya selalu bersedih setiap kehilangan kolega saya. Saya senantiasa kecewa kalau ada guru yang berhenti. Tapi keadaan ini justru mengajarkan saya, bahwa saya tidak keliru memilih panggilan hidup sebagai guru. Karena guru adalah pekerjaan mulia, banyak godaannya. Siapa saja yang bisa lulus sampai pensiun jadi guru yang benar-benar guru, alangkah hebatnya dia.‖ (Soethama, 2009:123-124). Nasihat Kepala Sekolah adalah nasihat seorang birokrat yang memberikan petunjuk
kepada Nengah Diarsa sebagai guru.
Pertama,
ciri khas birokrasi
ditunjukkan oleh Kepala Sekolah dengan jawaban yang amat diplomatis. ―Saya selalu bersedih setiap kehilangan kolega saya.‖ Pernyataan ini menyiratkan agar Nengah Diarsa berpikir terhadap keputusan yang diambil. Keputusan terhadap pilihan hidup sebagai guru harus sepenuh hati. Tidak boleh setengah-setengah, walaupun godaannya banyak. Guru ditasbihkan untuk menjadi manusia
pembelajar yang
senantiasa dalam kerendahan hati melaksanakan swadarma dengan bersahaja. Kedua, Nengah Diarsa justru memilih sebaliknya. Walaupun dalam keadaan bingung, ―Saya sebenarnya masih bingung, Pak,‖ kataku berterus terang. Dalam kebingungan, sebenarnya Nengah Diarsa telah terpelanting dalam kapitalisme yang mengenakkan badan,
tetapi menggersangkan jiwa. Ini
bentuk sindiran Kepala
Sekolah terhadap guru muda yang kurang kokoh merawat profesinya sekaligus perang
antara mempertahankan idealisme pendidikan dan godaan pragmatisme
pariwisata. Dengan keputusan Nengah Diarsa berhenti menjadi guru, maka nasihat Kepala Sekolah menjadi hambar. Relasi guru dengan Kepala Sekolah berhadapan dengan
220
relasi guru dengan pelaku pariwisata yang berakhir dengan kemenangan relasi guru dengan pariwisata. Perjuangan guru berhadapan dengan industri jasa pariwisata yang tidak kuasa dilawan. Guru berlutut dengan kemewahan yang ditawarkan dunia pariwisata. Sementara, Kepala Sekolah yang merupakan wakil birokrat hanya bisa memberikan nasihat untuk mencegah, tetapi juga tidak kuasa melawan alih profesi dari guru ke manajer penginapan. Sebagai tokoh yang peragu, Nengah Diarsa cenderung terombang-ambing oleh bisikan orang. Akibatnya, ia tampak kehilangan pegangan untuk mengambil keputusan. Ia cenderung percaya bisikan orang lain di luar guru, padahal Kepala Sekolah telah mengingatkan. ―Saya bangga jika Saudara bisa memutuskan sendiri masalah Saudara. Saya bangga jika Saudara berhenti sebagai guru atas kehendak Saudara sendiri, bukan karena bujukan orang lain. Tak karena iming-iming untuk memperoleh kekayaan materi yang lebih besar. Saudara masih muda, banyak waktu untuk belajar kembali,‖ (Soethama, 2009: 124). Kutipan di atas menyiratkan Kepala Sekolah menghendaki kemandirian Nengah Diarsa dalam mengambil keputusan, bukan karena bujukan orang lain dan janji kekayaan. Nasihat Kepala Sekolah terhadap Nengah Diarsa senada dengan pandangan Dewantara (1994: 4) yang mengatakan bahwa kita seolah-olah menjual keluhuran budi bangsa, guna mendapat penghidupan yang enak untuk badan sendiri. Frasa ‗enak untuk badan sendiri‘ menyiratkan dua hal yaitu kedangkalan bukan kedalaman spirit dalam memahami profesi sebagai guru, dan sikap pragmatis guru akibat godaan materi dan janji jabatan yang menawarkan kemewahan dalam tatanan pergaulan Barat yang berelasi dengan dunia gemerlap pariwisata.
221
Dengan gambaran di atas, Nengah Diarsa tampak sebagai guru yang gagal mempertahankan profesinya secara berkesinambungan
sekaligus gagal berjuang
memproteksi dirinya akibat janji dan pengaruh dari luar. Namun, kegagalan ini diselamatkan oleh ditolaknya permohonannya berhenti menjadi guru oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta karena surat permohonan tanpa tanda tangan. Dengan kembali menjadi guru, perjuangan Nengah Diarsa seperti dikehendaki alam. Setelah kubaca surat dari Jakarta itu, aku melonjak girang. Aku yakin, nasibku memang harus menjadi seorang guru. Bagaimana pun, sudah jalan hidupku kalau aku mesti mengabdikan hidupku sebagai guru. Pilihanku adalah guru. Garisku memang seorang guru. Kalau tidak demikian,bagaimana mungkin permohonan berhentiku ditolak gara-gara masalah sepele, karena surat yang tidak lengkap. Aku lupa menandatangani surat permohonan itu (Soethama, 2009:234). Perjuangan Nengah Diarsa sebagai guru diselamatkan oleh nasib, yakni kembali menjadi guru sekaligus berkah atas cita-citanya sendiri sebelum menggaet Suwitri. Oleh karena itu, Nengah Diarsa kembali berdiri di depan kelas sebagai guru dan merupakan kebanggaan sekaligus kesuksesan karena kembali ke profesi semula. Benturan birokrasi yang dialami Arif
dan Nengah Diarsa mirip dengan
pengalaman tokoh guru laki-laki (tanpa nama) dalam cerpen ―SPP‖ karya Aryantha Soethama dan tokoh Guru Made Warsa dalam cerpen ―Guru Made‖. Watak lembut sebagai birokrat digambarkan ketika guru mengumumkan anak-anak yang belum membayar SPP agar tidak menimbulkan keterkejutan di kalangan siswa. ―Ini pengumuman dari tata usaha, tentang pembayaran SPP yang belum dilunasi.‖
222
Guru itu mencoba berkata selembut mungkin agar anak-anak yang belum membayar tidak begitu terlampau terkejut. Sementara murid-murid menoleh ke belakang, ke sudut bagian selatan kelas. Di situ duduk seorang anak yang menunduk terus sejak tadi. Semua anak memperhatikannya dengan sangat iba (Soethama ,1972). Kutipan di atas menegaskan betapa kuatnya ikatan birokrasi formal terhadap guru. Guru telah dimanfaatkan oleh birokrat sekolah untuk menjadi ujung tombak pelunasan SPP bagi anak yang menunggak. Kalimat, ―Ini pengumuman dari tata usaha, tentang pembayaran SPP yang belum dilunasi‖ adalah bentuk ungkapan ketakberdayaan guru menjadi juru bicara bagi bagi tata usaha sekolah. Dalam tulisannya berjudul ―Birokrasi,Fobi Sekolah, dan Citra Guru‖, Azra (2004: 351) menegaskan satu hal yang sangat menonjol dalam pendidikan modern adalah ketatnya birokrasi dan formalitas. Birokrasi dan formalitas cenderung mempribadi, bergerak dari suatu mekanisme yang canggih untuk melindas siapa pun tanpa pertimbangan-pertimbangan manusiawi. Profesi guru tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan dalam mengambil keputusan karena guru yang bekerja di lembaga pendidikan diniatkan untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Pendidikan adalah usaha sadar untuk memanusiakan manusia. Oleh karena itu, ketika Wayan Wija meninggalkan kelas karena belum membayar SPP, guru laki-laki itu merasa terenyuh. Tiba di depan kelas, Gede Wija mengangguk pelan buat pak guru dan permisi. Guru itu kelihatan prihatin melihatnya. Gede Wija seorang yang paling pintar di antara kawan-kawannya. Guru itu tidak dapat berbuat apa. Ia hanya menjalankan tugas. Jika tugas ia lalaikan, bagaimana nanti dengan anak-anak kelas lain? (Soethama, 1972).
223
Pengalaman tokoh guru laki-laki dalam cerpen ―SPP‖ mirip dengan Guru Made Warsa, dalam cerpen ―Guru Made‖ karya I Nyoman Manda. Kedua tokoh guru dalam cerpen tersebut dihadapkan dengan persoalan ekonomi siswa tidak mampu yang harus ditindaklanjuti. Perjuangan guru membela siswa yang kurang mampu secara ekonomi, tetapi cerdas secara intelektual tidak terlihat dalam tindakan nyata. Fakta ini bertemali dengan kehidupan guru pada umumnya : gaji kecil tidak sanggup untuk membantu meringankan beban siswa yang tidak mampu membayar SPP. Damono (1999: 85) menyebutkan guru adalah makhluk saleh dan bijak yang hidupnya tidak pernah berkecukupan. Jangankan membayarkan SPP siswa tidak mampu, membiayai pendidikan anaknya
pun masih kesusahan sehingga harus
nyambi sana-sini, seperti dikisahkan dalam cerpen ―Guru Made‖ karya I Nyoman Manda. Cerpen ―Guru Made‖ berkisah tentang dua anak kurang mampu (I Kanta dan Ni Mundel) yang terlambat membayar SPP. Keterlambatan ini melahirkan keluh kesah antara Guru Made Warsa dan Kepala Sekolah. Keluh kesah ini mengandung dua makna. Pertama, guru Made Warsa sebagai perpanjangan birokrasi Kepala Sekolah tidak mampu berkelit. Ia memenangkan aturan birokrasi yang mekanis, walaupun dalam hatinya ia berontak. “Guru Made sada keras masi mamunyi nanging lamun jatine padaleme I Kanta karana uli maburuh negen paras ia masuk SMA”. (Guru Made bernada keras memarahi I Kanta, tetapi dalam hatinya kasihan karena dari kuli
224
padas ia bisa masuk SMA). Sebagai perpanjangan birokrat sekolah, Guru Made Warsa
berseberangan dengan
dirinya sendiri juga bertolak belakang dengan
pandangan Weber, tentang birokrasi yang baik adalah yang profesional, netral, bebas nilai, tidak memihak (Wirosardjono, 2004: 456). Kedua, ada ketakutan yang berkelindan antara guru Made Warsa dengan Kepala Sekolah dan atasan. Hal ini tampak dalam kutipan berikut. “Jani Pak Made buin cepok ngurusang muridne. Yen ia sing nyidaang mayah nah kenkenang Pak Made ja ditu apang sing ragane keweh yen ada priksana uling duuran,‟ teges Pak Kepala Sekolah ngorahin ia ngurus muride ane sing nyidaang mayah SPP (Soethama, 1995:2). Terjemahannya : ―Sekarang Pak Made lagi sekali mengurus. Kalau ia tidak bisa membayar, terserah Pak Made, agar kita tak direpotkan kalau ada pemeriksaan dari atasan,‖ tegas Pak Kepala Sekolah memberitahu agar mengurus anak belum membayar SPP. Petikan di atas lebih menempatkan birokrasi sebagai sebuah mesin daripada sebagai suatu organisme
yang mempunyai kontribusi kebulatan organik sebuah
Negara (Thoha, 2011: 21). Di dalam sebuah negara, fungsi pelayanan kemanusiaan terabaikan karena benturan birokrasi yang rigid sehingga menimbulkan ketakutan sebagaimana dipuisikan oleh Ismail (2000:3) dalam judul ―Takut ‘66, Takut‘98. Takut ‘66 Takut ‗98 Mahasiswa takut pada dosen Dosen takut pada dekan Dekan takut pada rektor Rektor takut pada menteri Menteri takut pada presiden Presiden takut pada mahasiswa (Taufiq Ismail, 2000:3).
225
Dari kajian sosiologi sastra, cerpen ―SPP‖ (1972) dan cerpen ―Guru Made ― (1995) merupakan gambaran siswa pada zaman itu. Damono (1999: 7) mengatakan bahwa fiksi disusun berdasarkan fakta. Cerita itu landasannya adalah berita (realitas). Dalam rentang waktu lebih dari dua dekade, pengarang Bali berhasil memotret persoalan yang dihadapi oleh
guru di Bali, yaitu siswa
kurang mampu secara
ekonomi sehingga nyaris putus sekolah. Untuk menyelamatkan mereka, perjuangan guru dalam menyiasati birokrasi yang rigid diperlukan agar mereka tidak tertindas oleh aturan. Dalam konteks itulah, selain harus mengkritisi birokrasi, guru juga harus mulat sarira
menghadapi siswa yang bermasalah. Dalam bahasa Jawa Kuno,
mengendalikan musuh dalam diri disebut mulat sarira (introspeksi diri).
KBBI
(2002: 440) memaknai introspeksi adalah peninjauan atau koreksi terhadap dirisendiri; mawas diri. Dalam karya sastra pengarang Bali, introspeksi tokoh guru mendekati pemahaman ke arah kontemplasi (permenungan) untuk melakukan tindakan jernih bagi kepentingan yang lebih luas. Sikap introspeksi tokoh guru ditemukan dalam novel Mlantjaran ka Sasak, Tiba-Tiba Malam, Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang, Bukit Buung Bukit Mentik, dan Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah. Persoalan cinta dihadapi oleh tokoh-tokoh guru dalam SIM dan SBM. Tokoh guru sampai pada permenungan yang tidak sebatas introspeksi diri tetapi pada titik kontemplasi. Permenungan mendalam para tokoh guru itu disajikan dalam setting yang sama, yaitu dalam konteks perjalanan (rekreasi). Introspeksi dan permenungan
226
dalam novel Mlantjaran ka Sasak (Berwisata ke Lombok) terjadi ketika Dayu Priya dan Made Sarati berwisata. Introspeksi Sunatha dalam Tiba-Tiba Malam terjadi setelah mendapat nasihat dari Kapten Kapal dalam perjalanan pulang dari Kupang ke Bali. Kisah Sunatha dalam Tiba-Tiba Malam mirip dengan kisah Nyoman Santosa dalam Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang. Kemiripannya terletak pada konflik kasta. Sementara itu, dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik, introspeksi tokoh guru Luh Tri Prayatni dan Gungde Ambara terjadi setelah perjalanan tirtayatra ke beberapa pura di Bali (Batur dan Besakih). Bu Wartini dan Pak Sukata yang saling jatuh cinta dalam novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah terjadi introspeksi diri sebagai anak tunggal setelah datang berkemah ke Toyobungkah. Sikap
mulatsarira
tokoh-tokoh
guru
dalam
karya
pengarang
Bali
direpresentasikan dalam sejumlah hal. Pertama, sebagai guru, Made Sarati dalam Mlantjaran ka Sasak, Sunatha dalam Tiba-Tiba Malam, Nyoman Santosa dalam Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang
mampu mengendalikan musuh-musuh
dalam dirinya, baik sadripu (enam musuh dalam diri), sadatatayi (enam jenis kekejaman dalam diri), maupun saptatimira (tujuh kegelapan dalam diri). Sebagai guru, Made Sarati paham bahwa musuh terbesar manusia ada dalam dirinya sendiri, seperti dinyatakan dalam Kekawin Ramayana (I.5), yang menyebutkan. “Ragadi musuh maparo, Riatiya tonggwanya tanmadoh ring awak.” (Musuh terdekat manusia adalah musuh dalam dirinya). Kedua, Made Sarati juga mampu mengejawantahkan pesan Ida Bagus Kumara dalam hidupnya. Pesan dan tutur kehidupan diaplikasikan dalam tindakan nyata.
227
“I Made wenten sampun limang masa uning ring parindikane sakadi katur ring arep; gumanti Ajinida Dayu Priya nelatarang indike ring ipun, kayunida mangda I Made, yen pade kumur manahnya masuwitra, mangda tan tulus ipun ngamargiang manahnya tan patut (Srawana, 1978 : 86). Terjemahannya: I Made sudah lima tahun mengetahui perihal yang di sampaikan sebelumnya ; sebagaimana Ayahnda Dayu Priya menjelaskan hal tersebut padanya, pikirnya I Made, kalau berteman agar tulus tidak dinodai perilaku yang tidak patut. Pada bagian lain, Ayahnda Dayu Priya dikisahkan memercayai Made Sarati. “Bapa ngugu Made, yen lenan ja teken Made…”
(Bapak percaya pada Made,
selain Made. Bapak tidak percaya). Kepercayaan kepada Made Sarati sebagai guru begitu tinggi. Sebagai sebuah kepercayaan, Made Sarati berhasil berjuang memegang teguh kepercayaan itu. Komunikasi demikian juga terjadi antara Nyoman Santosa dan ayahnya dalam Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang serta Kapten Kapal dengan Sunatha dalam Tiba-Tiba Malam. Ketiga, Made Sarati, Nyoman Santosa, dan Suntaha sebagai guru berhasil mengaplikasikan ilmu keguruan dalam konteks hidup bermasyarakat.
Dalam
Mlantjaran ka Sasak, komunikasi antara Made Sarati dan Dayu Priya berlangsung tanpa membuat relasi disharmoni menak-jaba. Padahal, kalau dicermati novel ini lahir berdekatan waktunya dengan polemik kasta antara Bali Adnyana (1924-1929) dan Surya Kanta (1925-1927). Polemik ini juga mengingatkan kita pada polemik kebudayaan tahun 1930-an antara STA dan Sanusi Pane, polemik kebudayaan antara Barat
dan
Timur.
Pane
(2002:71)
menegaskan
kebudayaan
Barat
yang
mengedepankan rasio membangkitkan nafsu materialisme, intelektualisme, dan
228
individualisme. Oleh
karena mementingkan jasmani, akal dipakai untuk
menaklukkan tenaga alam. Ia bersifat Faust, ahli pengetahuan (Goethe). Sementara itu, kebudayaan Timur mementingkan rohani sehingga lupa jasmani. Akalnya dipakai mencari jalan mempersatukan dirinya, dengan alam. Ia bersifat seperti Arjuna yang bertapa di Gunung Indrakila. Jalan tengah terhadap polemik tersebut, ditawarkan oleh (Kratz,2000: xxix ; Sanusi Pane, 2004:71; Nasution, 2010: 43) melalui konsep persatuan Indonesia, dalam kerangka penyatuan antara konsep kebudayaan Barat dengan konsep kebudayaan Timur. Menyatukan kekuatan jasmani dan rohani, menyatukan kekuatan Faust dan Arjuna. Memesrakan materialisme, intelektualisme, dan individualisme dengan spiritualisme, perasaan, dan kolektivisme. Tidak mungkinlah memuji yang satu lalu mencela yang lain, karena keduanya bersifat monodualistik. Made Sarati berhasil memosisikan diri sebagai guru yang tidak larut dalam polemik kasta, identik dengan biografi pengarangnya, I Gde Srawana,yang nama aslinya I Wayan Bhadra. Dalam
biografi I Gde Srawana,
dijelaskan bahwa
pengarang Mlantjaran ka Sasak ini tidak terlibat dalam polemik kasta (Darma Putra, 2003).
Sebagai kaum intelek pada zamannya, Bhadra tampak independen, tidak
memihak Bali Adnyana (alat perjuangan kaum menak) pun tidak memihak Surya Kanta (alat perjuangan kaum jaba). Namun, sebagaimana ditengarai Darma Putra (2003), sulit dibayangkan kalau I Wayan Bhadra tidak mengikuti polemik kasta dalam dua media tersebut.
229
Pilihan Made Sarati untuk tidak larut dalam polemik kasta adalah pilihan cerdas seorang guru. Sebagai guru, ia dituntut netral dan independen sehingga tidak membingungkan siswa yang diajarnya. Keberpihakan seorang guru terhadap kasta tertentu, dapat memecah belah guyub kelas dalam sekolah. Oleh karena itu, pilihan Made Sarati
ini selaras dengan semboyan pendidikan nasional, yaitu : Tutwuri
Handayani. Sikap introspektif Made Sarati dalam menyikapi perbedaan kasta mirip dengan sikap
Sunatha dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya
dan
Nyoman Santosa dalam Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang. Sunatha dan Santosa adalah guru yang tidak henti-hentinya dirundung malang, sedangkan dua orang teman Sunatha yang juga berprofesi sebagai guru (Suki dan Made Badung) selalu memberikan inspirasi untuk
motivasi hidup yang benar sesuai dengan
swadharma guru. Hubungan sinergisitas ketiga guru ini bersifat mutualistik. Soliditas ketiga guru ini bukan saja dalam melancarkan proses korespondensi antara Sunatha dengan keluarganya di daerah Tabanan, melainkan juga dalam tindakan nyata. Ketika ibu Sunatha sakit keras misalnya, Suki membantu Suniti mengantarkan ibu ke dokter di Tabanan. ―Dengan kebaikan Suki, Sunithi membawa ibunya ke Tabanan. Mereka berdua memapahnya dengan susah payah. Tapi dokter yang mereka datangi hanya menggeleng-gelengkan kepala‖ (Wijaya, 1977:148). Begitu juga Made Badung, selalu mendampingi dan menemani Sunatha di tengah-tengah kekalutan di rantau pada saat menerima kabar buruk dari rumah. Hal ini tampak dalam kutipan berikut.
230
Tak henti-hentinya ia (Made Badung) memberi dorongan-dorongan, nasihat, anjuran dan kemudian kritik-kritik agar kejantanan, ketabahan dan nyali Sunatha bangkit kembali. ―Kamu seorang guru, kamu harus memberi teladan bahwa ketabahanlah modal terakhir seorang manusia yang tetap dapat mengantarkan orang untuk berhasil‖ (Wijaya, 1977 :137). Di tengah hidup yang serba kekurangan, keluarga guru masih tetap optimis berjuang dengan keyakinan akan muncul kemukjizatan Tuhan. Guru tidak mudah menyerah dengan keadaan. Ia pasrah setelah berusaha maksimal. Artinya, guru tetap berjuang tanpa kekerasan dan hasilnya ia pasrahkan. Gandhi menyebut gerakan ahimsa. Gandhi mengatakan, ―Saya menolak kekerasan karena saat terlihat menghasilkan kebaikan, kebaikan itu hanyalah sementara;
keburukan yang
dihasilkan adalah kekal… Pengalaman meyakinkan saya bahwa kebaikan yang kekal tidak pernah akan menjadi hasil dari kedustaan dan kekerasan,‖ (dalam Easwaran, 2013: 61). Ahimsa selain merupakan gerakan yang dipopulerkan Gandhi, juga merupakan bagian dari pancayama brata (lima macam pengendalian diri). PHDI (1978: 59) menjelaskan ahimsa sebagai tidak membunuh/tidak menyiksa. Oleh karena itu, dalam berjuang cara yang ditempuh guru adalah melalui jalur diplomasi. Pemahaman itu diperoleh Sunatha tidak saja melalui Made Badung yang menjadi teman setia sekaligus penasihat, tetapi juga melalui dialog dengan Kapten Kapal di tengah perairan dalam perjalanannya pulang ke Bali. Guru dan Kapten sama saja. Tapi guru tidak ada yang berani menembak. Kalau istri saudara serong, saya tidak tahu apa yang akan saudara lakukan.‖ ―Saya tahu!‖ ―Apa?‖
231
―Saya akan bunuh dia.‖ Kapten tertawa. Dia menepuk-nepuk lengan Sunatha. ―Jangan. Jangan. Guru tidak boleh bunuh orang, itu tidak baik untuk pendidikan. Lebih baik jangan kawin kalau memang tidak sanggup menguasai istri. Ya, tidak?‖ (Wijaya,1977: 169). Nasihat Kapten Kapal sungguh menyelamatkan Sunatha sebagai guru. Kutipan di atas mengisyaratkan kepedulian Kapten Kapal terhadap guru. Jika memerhatikan setting di atas kapal, maka dapat ditafsirkan bahwa manusia termasuk guru dapat menimba ilmu di mana dan dari siapa saja, dan kapan saja. Prinsip belajar ini mengandaikan semua tempat adalah ruang kelas, semua orang adalah guru, dan setiap kesempatan adalah waktu belajar. Prinsip belajar sepanjang hayat menemukan format yang sesungguhnya. Sebagai guru, Sunatha memahami profesinya sebagai pembelajar. Nasihat itu pula yang melapangkan jalan menghadapi
pengucilan secara
sosial yang dialami oleh keluarga Sunatha di desa, akibat ayahnya lalai dalam kewajiban setelah bergaul dengan David. Persoalan pengucilan secara sosial diselesaikan melalui dialog dengan sikap rendah hati dan matilesang raga (tahu diri tak mampu).
Masalah diselesaikan dengan cara-cara yang beretika dan beradab
sebagai makhluk yang berbudaya, homohumanus dan homo culture. Cara demikian dilakukan oleh Kapten Kapal untuk menginspirasi Sunatha. Taklukkan dulu dirimu sendiri kalau mau menaklukan orang lain. Nanti semuanya akan jelas, bahwa saudara tidak perlu menaklukkan orang untuk bisa berbahagia. Saudara hanya perlu menyalurkan dan memanfaatkan saja‖ (Wijaya, 1977: 173).
232
Cara Kapten Kapal menyemangati, membuat Sunatha makin tumbuh keyakinannya. Jika dilacak nasihat Kapten Kapal itu setara dengan ucapan Gandhi yang
mengatakan,‖ Untuk mengubah orang lain, terlebih dahulu kamu harus
mengubah dirimu sendiri,‖ (Easwaran, 2013: 49). Nasihat ini menjadi modal dalam perjuangan menghadapi masalah pengucilan secara sosial bagi keluarganya di desa. Pesan Kapten itu menjadi penguat bagi Sunatha untuk membebaskan keluarganya dari pengucilan secara sosial. Ia kembali diterima sebagai warga desa setelah minta maaf dengan tulus. Ia juga tidak dendam pada Ngurah yang telah menculik istrinya yang akhirnya hamil. Ia malah menyalahkan dirinya sendiri telah melalaikan istri. Di tengah penyesalan, Sunatha sempat menasihati Ngurah untuk tunduk kepada norma dan etika. Ngurah menatap Sunatha dengan hati berdebar-debar. Tapi Guru itu tenang saja. Saya hanya minta supaya Utari dikawin secara resmi‖ (Wijaya, 1977: 234). Kutipan di atas mencirikan Sunatha adalah guru sejati. Guru yang mampu menguasai diri. Guru yang taat kepada adat dan agama. Guru yang memberikan bunga ketika dilempari dengan kotoran. Sikap demikian bertalian dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang pernah dijalani Sunatha sebagai guru. Sikap Sunatha ini sesuai dengan Guru Isa dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, sesuai pula dengan Iwan dalam cerpen ―Gamia Gamana‖ karya Djelantik Santha. Sebagai kaum intelektual, Sunatha cenderung kompromistik. ―Dalam menghadapi suasana kekerasan massa, ia melakukan kompromi. Ia tak bisa
233
berbuat apa-apa terhadap kekerasan yang berlaku di sekelilingnya, meskipun itu tak disukai. Ia telah kehilangan kekuatan untuk melawannya‖ (Yunus, 1985: 20). Ia pasrah setelah berjuang sekuat tenaga. Ia memilih jalan akhir dengan berdamai melalui diplomasi yang ditandai dengan permintaan maaf yang disambut oleh warga desa. Berlawanan dengan sikap Sunatha, Ngurah justru sebaliknya. Ia dengan kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki, memfitnah Sunatha telah menggunakan guna-guna untuk mendapatkan Utari. Dengan alasan diguna-gunai, Ngurah mempunyai alasan untuk mengantar Utari berobat ke Tabanan bahkan sampai ke Banyuwangi. Di balik itu, ia justru menghamili Utari yang merupakan istri sah Sunatha tanpa melalui proses upacara yang resmi. Celakanya, perilaku Ngurah ini lepas dari kontrol sosial, apalagi dengan pengucilan secara sosial sebagaimana dialami oleh keluarga Sunatha. Padahal dua kesalahan telah diperbuat Ngurah, yaitu memperistri istri Sunatha tanpa melalui proses perceraian
dan menghamili istri
Sunatha tanpa upacara keagamaan. Tindakan Ngurah selain bertentangan dengan hukum formal Negara sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan, juga bertentangan
dengan ajaran Agama
Hindu. Kaler (1981: 110) menilai tindakan Ngurah tergolong sebel (cuntaka) untuk dua hal. Pertama, sebel karena Ngurah telah membuat Utari hamil tanpa proses perkawinan. Untuk menghilangkan sebel ini semestinya diselesaikan melalui upacara biokaonan ‗pembersihan diri‘ atau melalui proses parisudha lainnya sesuai dengan tradisi agama setempat. Kedua, sebel karena Ngurah telah mamitra ngalang (hidup
234
bersama tanpa kawin). Untuk menghilangkan sebel ini semestinya Ngurah di-lukat dilanjutkan dengan upacara biokaonan atau kawin secara resmi dengan ikatan upacara keagamaan. Dalam konteks ini tampaknya hukum adat Bali tidak adil. Ngurah leluasa memperistri Utari yang merupakan istri sah dari guru, Sunatha.
Kontrol sosial
masyarakat desa tidak ada terhadap Ngurah. Sebagai ksatria, Ngurah menjadi contoh tidak baik bagi penegakan hukum masyarakat desa adat di Bali . Akan tetapi, hukum kasepekan justru
menimpa keluarga Sunatha di tengah-tengah kehidupan yang
terbatas, pada saat ibunya meninggal padahal, kesalahan diperbuat oleh Subali, ayah Sunatha. Hal ini dapat mereprentasikan bahwa hukum adat yang salah sasaran tajam ke bawah. Novel Tiba-Tiba Malam menggambarkan ketimpangan adat Bali dalam menerjemahkan perubahan sosial. Korbannya adalah orang Bali yang tidak bersalah, dari keluarga guru. Sunatha sebagai guru yang beretika dan berakhlak mulia justru dilecehkan. ―Tidak seorang pun yang berusaha untuk mengerti bahwa semua itu terjadi di atas kebaikan hati Sunatha‖ (Wijaya,1977: 235). Syukurnya, keluarga guru mengalah demi menjaga harmonisasi.
Sementara itu, orang asing yang datang
menghasut luput dari hukum adat. Sikap introspektif tokoh guru dalam Mlantjaran ka Sasak, Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang, dan Tiba-Tiba Malam terjadi dalam konteks cinta tidak sampai yang berbasis kasta. Berbeda dengan tokoh guru dalam novel Bukit Buung Bukit
Mentik
dan
Manah
Bungah
Lenyah
di
Toyobungkah.
Perjuangan
235
mengendalikan nafsu cinta pada tokoh guru dalam dua novel terakhir ini dipicu oleh status mereka yang sama-sama anak tunggal. Luh Tri Prayatni tunduk pada pilihan ayahnya, karena saudara sepupunya mau nyentana dengan harapan keluarga tidak putung. Dalam posisi dilematis,
baik Gungde Ambara maupun Luh Tri Prayatni
akhirnya sadar. Mereka dituntut melestarikan kelangsungan hidup keluarga masingmasing. Kesadaran itu diperoleh melalui sastra agama yang telah mereka pelajari melalui tradisi geguritan. Pendidikan telah membebaskan mereka dari kegelapan pikiran untuk mengambil keputusan. Atas keputusan itulah keduanya sepakat melaksanakan jenyana wiwaha. Pilihan ini adalah wujud kemenangan dalam perjuangan seorang guru melawan nafsu indria. Kemenangan ini diperoleh berdasarkan saripati sastra sebagai pedoman hidup. Putusan jenyana wiwaha juga didasarkan atas petunjuk orangtua serta kesadaran Luh Tri Prayatni dan Gungde Ambara yang mampu berdamai dengan dirinya sendiri demi kelangsungan hidup keluarga Bendesa Bukit Mentik. Kalau mereka menikah maka keluarga Bendesa Bukit Mentik akan terputus keturunannya. Gungde Ambara tidak tega dengan keadaan yang demikian. Luh Tri Prayatni pun memikirkan secara mendalam implikasi menikah dengan Gungde Ambara. Ia harus meninggalkan orangtuanya
tentu tidak ada yang mengurus
rumah.
kalau ia Kedua
karena ia berstatus sebagai anak
tunggal. Lagi pula, ia tidak akan dapat membayar utang budi pada orangtua. Melalui tutur suluh agama yang meyakinkan, Luh Tri Prayatni pun dengan lapang dada
236
menerima sepupunya yang lama tinggal di Sumatera. Jadi, status Luh Tri Prayatni menjadi purusa, dengan sepupunya dari Sumatera, yang mau nyentana. Walaupun demikian, hubungan Luh Tri Prayatni dengan Gungde Ambara tidak terputus secara batin. “Ukudane mapasahan, kewala tresnane antenang, cundukang, campuhang dadi abesik di sejeroning jenyana.” Baos Gungde Ambarane teges, bobot mawibawa, nyiriang baos ane wetu sakaring kanirmalan idep, baos sang jati darmika, sang satwika” (Ardhi, 2004:166). Terjemahannya: Secara fisik berpisah, tetapi cinta disatukan, dipertemukan, disatukan di dalam hati yang paling dalam.‖ Ujar Gungde Ambara tegas, berbobot dan berwibawa, sebagai ciri kesucian pikiran, ujaran seorang yang benar-benar menjalankan darma, benar-benar satwika. Berposisi sebagai purusa, bagi seorang perempuan adalah perjuangan berat. Sama beratnya dengan memutuskan untuk berpisah dengan pacar. Namun, bagi Luh Tri Prayatni
semua itu diikhlaskan setelah mempertimbangkan wejangan dari
Gungde Ambara dan dukungan dari orangtua. Kisah cinta tidak sampai akibat status anak tunggal dalam keluarga, juga ditemukan dalam
karya
I Nyoman Manda
melalui novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah. Tokoh guru dalam novel ini adalah Pak Sukata dan Bu Wartini, guru dari SMU Sukawati. Kisah cinta anak tunggal sebagaimana dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik karya Agung Wiyat S Ardhi adalah kisah pelik dan dilematis. Mengikuti pilihan cinta berdasarkan hati nurani berbenturan dengan cinta pilihan orangtua yang terkait dengan tradisi, adat, dan agama. Masyarakat yang menganut sistem patrilinial seperti Bali dengan menempatkan pihak laki-laki (purusa) sebagai penanggungjawab
237
kelangsungan keluarga, maka kehadiran laki-laki memiliki nilai lebih. Oleh karena itu, hukum pembagian waris di Bali berbasis laki-laki. Ini mengandung arti beban dan tanggung jawab keluarga ada pada laki-laki. Tanggungjawab itu antara lain meneruskan keturunan secara fisik dan tanggungjawab spiritual terkait dengan menjaga dan memelihara tempat suci. Tempat suci dari skala kecil (keluarga), desa (kahyangan tiga) sampai tanggung jawab terhadap kawitan yang lebih besar. Itu pula sebabnya, dalam banyak kasus, suami-istri yang telah memiliki anak, tetap berharap lahirnya laki-laki. Laki-laki mempertahankan keluarga sedangkan perempuan memperluas jangkauan keluarga melalui kawin ke luar keluarga. Persamaan novel Bukit Buung Bukit Mentik dengan Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah terletak pada tema, yaitu cinta tidak sampai. Dilema tokoh guru pada Bukit Buung Bukit Mentik, dialami oleh Gungde Ambara dan Luh Tri Prayatni. Mereka sama-sama berjuang mempertahankan nilai-nilai adat, budaya, dan tradisi yang ditunjukkan dengan mendalami seni tradisi terutama wirama. Kedua tokoh ini juga sama-sama berprofesi sebagai guru. Gungde Ambara guru SLTPN Selat dan Luh Tri Prayatni guru SD Bukit Mentik. Cinta tidak sampai keduanya dimaknai secara spirit, tidak secara fisik, melalui jenyana wiwaha.
Hal ini menggambarkan
perjuangan ideal seorang guru yang patuh pada orangtua dan tidak ingin mencabut akar keluarga dari keterputusan (putung). Dalam konteks ini, guru dapat disebut sebagai pahlawan. Pahlawan sejati di atas bumi ini adalah orang-orang yang benarbenar mampu mengendalikan hawa nafsunya (Baba, 1996:183).
238
Dalam novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah dilema tokoh guru dialami oleh Pak Sukata dan Bu Wartini. Keduanya adalah guru SMU Sukawati. Cinta mereka kandas juga karena keduanya berstatus anak tunggal. Demi kepentingan orangtua melanjutkan keturunan, maka Bu Wartini dijodohkan oleh orangtuanya dengan sepupunya. Bu Wartini tidak kuasa menolak. Alasannya, tidak mau alfaka guru dan menyenangkan orangtua
agar keluarga
tidak putung. Jodoh pilihan
orangtua bagi Bu Wartini adalah yang terbaik dan ikhlas menerimanya walaupun terasa berat. Ini mencerminkan perjuangan guru tidak hanya mementingkan cinta secara fisik, tetapi lebih pada spirit budaya. Dalam konteks ini, pemaknaan atas novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah karya Nyoman Manda sesuai dengan novel Bukit Buung Bukit Mentik karya Agung Wiyat S Ardhi. Jika mencermati kisah cinta anak tunggal dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik dan Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah terutama tokoh yang berprofesi sebagai guru, tampak bahwa mereka pada hakikatnya berjuang antara cinta dengan menyelamatkan keluarga dari keterputusan regenerasi (putung). Akhirnya mereka memilih menyelamatkan keluarga yang berarti memenangkan adat, tradisi, dan budaya sehingga proses regenerasi berjalan sesuai dengan harapan orangtua. Tampak, hegemoni beragama dengan adat sebagai alasan pembenar untuk mengokohkan kekuasaan orangtua dalam menjodohkan anak. Secara sosiologis, masyarakat Bali yang menganut sistem patrilineal dalam kasus cinta anak tunggal berkepentingan untuk mengangkat sentana rajeg. Kaler (1983:138) menjelaskan santana rajeg berarti anak wanita selaku santana yang
239
biasanya berstatus tidak kuat, dengan dan melalui perkawinan nyeburin selaku rajegnya, dijadikan sentana yang kokoh berstatus purusa. Singkatnya, sentana yang lemah diberi rajeg supaya kokoh. Dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik, yang menjadi santana rajeg adalah Luh Tri Prayatni (guru SD Bukit Mentik) sedangkan dalam novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah yang menjadi sentana rajeg adalah Bu Wartini (guru SMU Sukawati). Tokoh guru yang menjadi santana rajeg memiliki pemahaman adat, budaya, dan agama yang memadai berdasarkan tiga argumentasi yang kokoh. Pertama, guru adalah benteng adat, budaya, dan agama. Guru berada pada barisan terdepan dalam berjuang melakukan proses transpormasi budaya. Hal ini tampak melalui tokoh Luh Tri Prayatni dan Gungde Ambara dalam Bukit Buung Bukit Mentik, dan Pak Sukata dan Bu Wartini dalam Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah, serta Made Sarati dalam Mlantjaran ka Sasak. Kedua, guru berada dalam posisi sebagai agen pendidikan multikultural. Dalam terminologi Tilaar (2003: 168), pendidikan multikultural menyangkut masalah kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan, tradisi, pola-pola kelakuan yang hidup dalam suatu masyarakat, dan kegiatan atau kemajuan tertentu dari kelompok masyarakat yang merupakan identitas yang melekat pada kelompok tersebut. Pola-pola perilaku tersebut dapat dicermati dari tokoh guru yang berasal dari anak tunggal, seperti dikisahkan Agung Wiyat dan I Nyoman Manda dalam novelnya. Demikian pula, pada kisah guru berbeda kasta seperti dialami Made Sarati dan Ida Ayu Priya dalam karya Gde Srawana.
240
Ketiga, guru meletakkan dasar yang sama kepada rakyat banyak. Dalam posisi demikian, guru menjadi faktor stabilisasi yang terpenting (STA, 1988: 187). Dalam Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah, Bukit Buung Bukit Mentik, dan Mlantjaran ka Sasak jelas sekali bahwa tokoh guru menjadi stabilisator yang senantiasa berada pada posisi menjaga keseimbangan termasuk menjaga hubungan harmonis terhadap para leluhur dengan generasi berikutnya. Oleh karena itulah, tokoh guru dalam novel Agung Wiyat dan I Nyoman Manda menghindari keluarga sampai putung. Kesediaan untuk meneruskan keturunan sehingga proses regenerasi berjalan baik adalah perjuangan guru dalam menjaga adat dan tradisi melalui mulat sarira sampai kontemplasi.
7.2 Mengkritisi Adat Karya sastra Indonesia yang mengangkat persoalan adat telah terjadi sejak awal pertumbuhannya pada dekade 1920-an yang ditandai oleh lahirnya novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Dalam SBM, perlawanan terhadap adat menonjol dalam novel Mlantjaran ka Sasak karya Gde Srawana dan Tiba-Tiba Malam dalam SIM karya Putu Wijaya. Novel Mlantjaran ka Sasak ditulis pada masa penjajahan Belanda, tetapi tidak sedikit pun suasana peperangan tergambar di dalamnya. Justru romantika percintaan dalam perjuangan melawan tradisi berbasis kasta yang tergambar di dalamnya. Dalam konteks ini, perlawanan terhadap kasta tidak
241
ditunjukkan oleh Made Sarati sebagai guru, tetapi melalui Dayu Priya sebagai perempuan menak (riwangsa) yang merasa terbelenggu. “Yan yang sing nyak apa keto. Musti masumpah malu, yang nyak tindih, nyak paturu magehang patibrata, buka rawes ajin yange; nanging yan ada anak ngugu yang, musti apang ia masih masumpah, apang satia, tindih teken yang, ngengken kone? Paturu jlema. Mara iraga luh apa nguntul, apang magehang patibrata, satia teken kurenan, anake muani dadi enjatenjat, dadi muwuk patibrata? Sing nyaaaak. Lamun ada ja anak sih teken yang, nadian Ida………..” (Srawana, 1978:41). Terjemahannya : Kalau saya tak mau begitu. Mesti bersumpah dulu, saya mau tunduk, mau saling memagari diri, seperti kata ayah; tapi kalau ada yang percaya dengan saya, mesti mau bersumpah, agar setia, tunduk dengan saya, bagaimana ? Sesama manusia. Jangan karena perempuan harus menunduk, agar sama-sama memagari diri, setia dengan istri, suami yang tak beretika dan tidak setia pada pasangannya, lalu melanggar sumpah? Tidak mauuuu. Kalau ada yang mencintai saya, nanti dulu….‖. Perlawanan Dayu Priya terhadap adat dan tradisi dalam relasinya dengan kasta selain menggambarkan setting cerita dalam konteks zamannya, juga mengingatkan pembaca pada tokoh emansipasi wanita, yakni Tuti dalam novel Layar Terkembang karya STA. Dari segi pendidikan, Dayu Priya dalam novel Mlantjaran ka Sasak dan Tuti dalam novel Layar Terkembang memiliki kemiripan. Keduanya berpendidikan modern sesuai dengan kemajuan zaman. Oleh karena Mlantjaran ka Sasak lahir setelah novel Layar Terkembang, patut diduga I Wayan Bhadra juga pernah membaca novel Layar Terkembang. Kutipan di atas juga menyiratkan bahwa Made Sarati sebagai guru tidak dilarutkan dalam polemik kasta maupun emansipasi wanita. Pengarang terkesan memelihara hubungan baik kaum sudra dengan kelompok menak, sebagai
242
representasi abdi dan penguasa. Begitu juga pengarang tidak mau melibatkan Made Sarati dalam mengintervensi perjuangan emansipasi wanita sehingga memberikan kebebasan pada kaum hawa seiring dengan kemajuan zaman. Perlakuan pengarang yang memosisikan tokoh guru cenderung tidak berseberangan dengan penguasa sehingga harmonisasi masyarakat terjaga. Hal ini memberikan informasi bahwa guru sejak zaman penjajahan Belanda di Indonesia adalah kelompok intelektual yang diniatkan dalam tugas profesinya, yakni mencerdaskan bangsa. Guru dijauhkan dari intrik politik kekuasaan. Guru dihindarkan
dari informasi yang dapat memancing kekeruhan masyarakat. Guru
diniatkan menjadi pelita dalam kegelapan dalam segala zaman. Sebagai potret otentik semangat zamannya, maka karakter guru mengukuhkan
formula, cerita
sungguh kejadian (Faruk, 2007:215). Munculnya perlawanan terhadap adat yang membelenggu perempuan dalam novel Mlanjtaran ka Sasak merupakan respon terhadap perdebatan kasta dalam Koran Bali Adnyana dan Koran Surya Kanta. Perlawanan yang dilakukan oleh tokoh perempuan menak (Dayu Priya) sebagai emansipator adalah gugatan terhadap kesewenang-wenangan adat. Walaupun guru tidak dilibatkan dalam konflik ini, gugatan Dayu Priya tidak dapat dipisahkan dari peran Made Sarati sebagai guru. Pertama, guru secara ekonomi lemah tetapi kuat menjaga tradisi. Oleh karena itu, guru dianalogikan sebagai parekan (abdi). Sebagai pengabdi, guru dititahkan untuk menghamba kepada siswa. Dayu Priya tidak ubahnya siswa bagi Made Sarati, sebagai guru. Pantang bagi guru mencederai orang yang diayomi.
243
Ring ati ipun buduh paling! Ring manah ipun mituturin dewekne. Da pesan ngusak kirtin Ajinida! Buina, yan saja Made gening tresna ring Ida, empu Ida, barengin makardi apang Ida bagia tulus marabi ring Ida Kade ngurah” (Srawana, 1978: 88). Terjemahannya : Di hati ia kasmaran tetapi segera ia sadar lantas introspeksi, menasihati dirinya. Jangan sampai merusak petuah ayahnya. Lagi pula, kalau Made cinta dengannya, asuhlah dia (Dayu Priya), doakan agar bahagia dengan suaminya, Ida Kade Ngurah. Kedua, Dayu Priya secara status sosial ekonomi pendidikan
memadai sehingga
kuat dengan tingkat
memiliki modal yang cukup
sebagai agen
perubahan. “Sugih yang suba ngrasain, sing sih yang naar mas naar slaka anggo be, sing sih yang naar inten berlian anggo nasi, patuh sugih tiwas, buka pauruk Ajin yange….” (Srawana, 1978: 39). Artinya, kaya sudah saya rasakan, toh juga bukan emas dan perak dijadikan lauk (ikan), begitu juga bukan intan berlian dipakai nasi, sama saja kaya miskin, seperti ajaran ayah…. Dengan status sosial ekonomi yang memadai itulah, sebagai perempuan Dayu Priya percaya diri menjadi pelopor perubahan dengan tambahan pendidikan modern yang diperolehnya di Jawa. Status kewangsaan, ekonomi, dan pendidikan dijadikan modal untuk menjadi pelopor perubahan. Ketiga, perubahan dimulai dari atas, bukan dari bawah. Ketimpangan dilihat dari perspektif atasan yang berniat mengubah keadaan ke arah adab. Hal ini tampak dari nasihat Ida Bagus Kumara kepada anaknya, Dayu Priya sebagai berikut. Aji sing ja mbuatang kulit, yan suba pada tulus tawang kenehe, yadiapin dong kulit iraga, sing ja Aji kobet buat ento. Yadiapin ja anak tani kelen , keto upamannya, yan suba melah pakenehanne, Aji sing ja bakal
244
mariboya Dayu…. Yadiapin nista adanina teken gumine treh anake alih untengne, yan jejer ia ngagem darma, susila melah laksanane, patut ento tulad, nah kadong puja…. (Srawana, 1978:18). Terjemahannya : Ayah tidak mengagungkan trah /wangsa, kalau sudah sama-sama tulus, walaupun bukan sewangsa, ayah tidak mempersoalkan. Walaupun dari wangsa sudra sekalipun, umpamanya, kalau sudah baik pikirannya, Ayah tidak akan mempersoalkan Dayu… Walaupun dinilai nista oleh masyarakat pada umumnya, wangsa itu tidak diturunkan, tetapi intinya terlihat dalam perilaku, kalau ia selalu melaksanakan darma, beretika dalam perilaku, patutlah ia diteladani, baik juga kalau dipuja…. Kutipan di atas selain melapangkan jalan bagi seorang guru dalam mencerahkan masyarakat juga memberikan harapan bagi jalan perubahan ke arah adab kemanusiaan. Perjuangan guru memperkuat pemahaman tentang hakikat wangsa yang tidak diwariskan, tetapi harus dimaknai dalam konteks swadarma yang sesungguhnya. Dengan penguatan itu, perjuangan guru menjadi lebih mudah, sehingga guru yang berasal dari wangsa sudra tidak terbata-bata menyosialisasikan kebenaran dalam konteks warna/wangsa. Sebaliknya, kelompok triwangsa (menak) tidak merendahkan guru yang berasal dari sudra wangsa. Cara Gde Srawana mengkritik kasta dalam Mlantjaran ka Sasak
dengan
menampilkan tokoh Dayu Priya adalah strategi tersamar untuk menyelamatkan Made Sarati sebagai guru. Guru sebagai aktor intelektual menjadi sandaran bagi Dayu Priya untuk menggugat adat yang membelenggu. Itu terjadi pada masa penjajahan Belanda, 1930-an. Berbeda dengan masa kemerdekaan, guru terang-terangan melawan belenggu adat seperti dikisahkan dalam Tiba-Tiba Malam melalui tokoh Sunatha.
karya Putu Wijaya,
245
Sunatha sebagai guru
berjuang menghadapi
pergunjingan orang desa
terhadap keluarganya yang dikucilkan akibat orangtuanya percaya kepada David, bule asal Belanda. Sebelumnya, Sunatha juga terus dilecehkan sebagai laki-laki impoten, miskin, difitnah kawin menggunakan guna-guna. ―Dia wangdu!‖ (hal. 45). Di bagian lain ekonomi Sunatha dipertanyakan. ―… Masak Sunatha yang dikasi ? Apa kelebihan guru itu?...‖ (hal. 18). Masuknya unsur mistik pun tidak terelakkan. ―Diguna-guna kok mau?‖ (hal. 44). Namun demikian, Sunatha bergeming dengan keyakinannya bahwa ia berjuang meraih sukses mengabaikan ejekan orang-orang desa. Ia fokus menjalankan tugas negara sesuai dengan profesinya sebagai guru. Kutipan di atas (wangdu, apa kelebihan guru, diguna-guna kok mau?) adalah pernyataan yang merendahkan Sunatha sebagai guru. Dalam Kamus Bali-Indonesia (1978: 641) wangdu dipadankan dengan mati rasa, impoten. Sementara itu, KBBI (2002: 427) mengartikan impoten dengan dua makna. Pertama, impoten itu tidak ada daya untuk bersanggama; mati pucuk; lemah syahwat. Kedua, impoten itu tidak mempunyai tenaga; tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan mengatakan Sunatha guru yang impoten, terimplisit
dua makna.
Pertama, Sunatha adalah guru yang secara seksual lemah syahwat sehingga malam pertama berlalu hambar tanpa ―pertempuran‖. Ia malah menabung tenaga untuk persiapan menyeberang menuju Kupang menunaikan tugas Negara sebagai guru. Ini adalah dilema, panggilan tugas sebagai suami di satu sisi, dan tugas Negara di sisi lain. Ia telah membenturkan diri dalam suasana paradoks. Sebagai guru, Sunatha telah menggunakan standar ganda dalam melaksanakan tugas.
Kedua, Sunatha adalah
246
guru yang kehilangan semangat untuk melakukan perlawanan terhadap ketimpangan di (masyarakat) desa yang ditinggalkan. Kehadiran orang asing yang diyakini mengubah peradaban dan orientasi masyarakat desa tidak kuasa dilawan. Hal ini bertemali dengan kemampuan ekonomi Sunatha yang dilukiskan miskin. Sebagai guru, ia lebih memilih diam dan tidak melakukan perlawanan secara prontal. Sikap guru yang mengedepankan ketenangan tanpa gejolak. Ia memantapkan keharmonisan lingkungan, sebagaimana guru dididik. Kelemahan Sunatha sebagai guru pun dijadikan sasaran tembak bagi Ngurah dengan mengatakan Sunatha telah menggunakan guna-guna untuk mendapatkan Utari. Tuduhan itu ditimpakan oleh Ngurah karena ia yakin Sunatha tidak melakukan perlawanan. Di samping itu, Ngurah merasa secara ekonomi status sosialnya di atas Sunatha. Oleh karena itu, umpatan kepada Ngurah tidak dilakukan oleh Sunatha, tetapi justru dilakukan oleh Weda pacar Suniti (adik Sunatha). ―Sudahlah,‖ kata Weda. ―Aku makin curiga, sekarang semuanya ini diatur oleh Ngurah. Bangsat itu mentang-mentang kaya, maunya memerintah semua orang. Dikiranya semua bisa dibeli‖ (Wijaya, 1977: 53). Kutipan di atas senada dengan ungkapan Pak Guru dalam cerpen ―Guru (2)‖ karya Putu Wijaya. Dalam cerpen ini, melalui tokoh Pak Guru, Putu Wijaya menulis, sebagai berikut. ―Bangsat, tidak tahu diri. Memangnya semua orang sudah rusak sekarang. Bali sudah jadi maniak uang! Ini akibatnya kalau semua didagangkan!‖ teriaknya seperti orang kemasukan setan (Wijaya, 1995:50). Umpatan Weda terhadap Ngurah dalam Tiba Tiba Malam dilakukan dalam konteks membela Sunatha sebagai guru, sedangkan umpatan Pak Guru kepada anak
247
perajin janur dalam cerpen ―Guru (2)‖
dilakukan
dalam hubungannya dengan
penagihan ongkos kursus selama sebulan sebesar Rp50.000,00. Dalam kedua karya Putu Wijaya itu, dicitrakan adanya otoritas berlebihan, baik pada Ngurah maupun pada perajin janur. Ngurah merasa dirinya berstatus sosial tinggi, kaya, penguasa sedangan ibu perajin janur merasa dirinya berjasa memberikan kursus merangkai janur pada anak Pak Guru. Dengan status sosial Ngurah sebagai ksatria yang digambarkan kaya telah mabuk dengan kekuasaan dan kekayaan. Hal ini menandakan Ngurah diliputi oleh suasana
saptatimira (tujuh macam kegelapan dan kemabukan) terutama karena
dhana (kekayaan) dan kulina (keturunan, kebangsawanan) (PHDI, 1978: 53). Dalam hal ini, Ngurah telah gagal menerjemahkan dharma kstaria yang seharusnya memiliki kewibawaan, cinta tanah air, serta bakat kelahiran untuk memimpin dan mempertahankan kesejahteraan masyarakat, Negara, dan umat manusia berdasarkan dharma. Di tengah keangkuhan pemimpin masyarakat seperti itulah, kehadiran Sunatha sebagai guru mendapatkan tantangan. Tantangan sebagai guru tidak hanya berasal dari dalam masyarakat, tetapi juga dari luar masyarakat dalam hal ini orang asing. Tantangan internal
dialami oleh keluarga Sunatha ketika pergi ke Kupang
menunaikan tugas, sebagai guru. Keluarganya dikucilkan secara sosial (kasepekang) dan ibunya sedang sakit. Subali memang telah kembali ke rumah akan tetapi ia telah putus asa. Ia merasa kehilangan David. Kehilangan anak lakinya. Kehilangan menantu.
248
Kehilangan istri. Dan kemudian kehilangan tempatnya di banjar. Entah karena malas, atau karena malu, ia tak mau lagi ke luar rumah (Wijaya, 1977: 145). Hukum pengucilan secara sosial yang dialami Sunatha sekeluarga merupakan bentuk hukuman secara adat akibat ayahnya melalaikan kewajiban sebagai warga desa.
Penerima hukuman adalah keluarga, bukan oknum yang bersalah. Model
hukuman inilah yang paling ditakuti oleh masyarakat Bali. Aryantha (2004: 201) menyebut model hukuman ini sebagai ―Bali Tikam Bali‖. Aryantha mengatakan, ―Keributan antarkelompok di Bali lebih acap terjadi sesama orang Bali. Entahlah, mengapa orang Bali lebih mudah terpancing berkelahi sesama orang Bali‖. Sementara itu, tantangan dari luar dipicu oleh kehadiran orang asing yang memprovokasi warga desa untuk meninggalkan adat yang membelenggu sehingga menghambat kemajuan. Kehadiran David asal Belanda telah berhasil menggoyahkan keyakinan Subali. ―Untuk jadi pahlawan diperlukan keberanian. Kita sudah mulai sekarang. Jangan mundur. Hari depan desa ini di tangan Bapak.‖ Subali berusaha tenang. David terus memegangnya (Wijaya,1977: 75). Dengan Subali sebagai pahlawan dan berani membuat ia merasa telah diagungkan dan dihormati oleh David. Dengan cara itulah, Subali perlahan dan pasti berubah mengikuti pola pikir David yang sudah dianggapnya sebagai guru dalam hidupnya. Sikap Subali itulah membawa nestapa bagi keluarga Sunatha yakni kasepekang (pengucilan sosial). Sunatha sebagai guru berjuang melawan pengucilan
secara
sosial dengan alasan rasional, melalui redefinisi adat yang mengaburkan hakikat agama Hindu.
249
Melakukan redefinisi
adat bagi Sunatha adalah berjuang melawan
kesewenang-wenangan. Putu Wijaya membahasakan dengan karya sastra (cerpen, novel, dan esai). Mengarang adalah berjuang. Mengarang adalah pekerjaan yang menuntut kerja keras, berbagai upaya, kesetiaan dan kegigihan (Kresna, ed.2001: 260). Oleh karena itu, berjuang membela Negara tidak harus dengan senjata bedil atau bambu runcing. Bambu runcing bisa diganti dengan pena runcing. Perjuangan guru yang mengamankan tugas Negara dapat dilacak dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya, novel Bukit Buung Bukit Mentik karya Agung Wiyat S Ardhi, dan cerpen ―Gamia Gamana‖ karya Djelantik Santha. Tokoh guru dalam karya-karya tersebut menempatkan profesi di atas segala-galanya, melampaui kepentingan pribadi masing-masing. Dari segi penempatan sebagai guru, tokoh Sunatha dalam Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya, Gungde Ambara dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik karya Agung Wiyat, dan Iwan dalam cerpen ―Gamia Gamana‖ karya Djelantik Santha ada kemiripan. Mereka sama-sama merantau untuk melaksanakan tugas sebagai guru untuk mencerdaskan anak bangsa sesuai dengan amanat UUD‘45. Sunatha ditempatkan di Kupang, Gungde Ambara di Yogyakarta, dan Iwan di Bolaang Mongondow Sulawesi Utara. Ketiga tokoh guru ini juga mengalami
kisah cinta yang mirip. Sunatha
mengalami komplikasi cinta ketika meninggalkan Utari sehari setelah perkawinan diresmikan. Malam pertama pengantin baru ini terasa dingin karena Sunatha gelisah untuk menyiapkan diri menuju Kupang mengabdi pada Negara sebagai guru SMP.
250
Profesinya sebagai guru di daerah baru lebih menyita perhatian daripada Utari yang baru saja diperistri dengan aneka rangkaian upacara yang melelahkan. Jika Sunatha meninggalkan istri di Bali ketika menuju Kupang, maka Gungde Ambara menemukan cintanya di Bali (Luh Tri Prayatni) setelah pindah tugas dari Yogyakarta ke SLTPN Selat. Walaupun pada akhirnya hubungan cinta keduanya juga terputus akibat posisinya sama-sama sebagai anak tunggal. Kerumitan cinta yang dialami Sunatha dan Gungde Ambara juga dialami oleh Iwan dalam cerpen ―Gamiya Gamana‖ . Iwan dikisahkan menjalin cinta terlarang dengan adik tirinya, yang baru diketahuinya ketika akan berangkat ke Bolaan Mongondow, setelah dituturkan ibunya. Sunatha dalam Tiba-Tiba Malam
tidak mengajak Utari ke Kupang.
Alasannya belum punya tempat tinggal yang pasti dan biaya tidak memadai. ―Saya tidak bisa membawa kamu ikut besok, karena belum tersedia perumahan di sana. Lagi pula biaya untuk itu pasti tidak cukup. Tapi saya berjanji akan membawamu ke sana kalau sudah siap…‖ (Wijaya, 1977:23). Dengan tidak mengajak istri ke Kupang, Sunatha sesungguhnya telah meletakkan kewajibannya sebagai guru di atas segala-galanya. Pengabdiannya sebagai guru di Kupang melebihi cintanya kepada istri. Sunatha berjuang melawan nafsu libidonya. ―Saya tidak sanksi bahwa kau tidak menganggap perkawinan hanya alat untuk membuat anak, tetapi berjuang. Karena itu mari,‖ (Wijaya, 1977:24). Ungkapan Sunatha dalam kutipan di atas, paling tidak mengandung empat makna. Pertama, sebagai guru Sunatha percaya pada Utari yang baru saja diresmikan
251
sebagai istri. Kepercayaan itu diberikan oleh seorang guru tanpa kecurigaan sedikit pun terhadap perilaku seorang istri muda yang banyak menarik pemuda desa ketika ia masih berstatus gadis. Sunatha begitu percaya bahwa setelah upacara perkawinan resmi dilangsungkan, dengan sendirinya Utari terikat sebagai istri. Cara Sunatha percaya pada istri adalah cara berpikir guru yang senantiasa memperjuangkan kebenaran secara linier. Pandangan Sunatha ini senada dengan watak Guru Isa dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis (1952). Yunus (1985:18) mengatakan, pendidikan dan tugas guru menyebabkan orang mesti mengutamakan pengajaran yang lemah lembut, mengutamakan pendidikan ke arah kebaikan, menghindarkan diri dari perbuatan tidak baik. Ia mesti bertolak dari dasar kasih, bukan dari dasar dendam.‖ Kedua, Sunatha memandang tugasnya sebagai guru adalah jalan perjuangan untuk pembebasan sekaligus pemerdekaan dari jiwa yang kerdil. Dengan meletakkan panggilan tugas Negara di atas segala-galanya memberikan isyarat Sunatha menerjemahkan panggilan profesinya sebagai guru adalah sarana pemujaan terhadap Tuhan. Kerja sebagai ibadah yang dalam kepustakaan Hindhu disebut karmayoga. Ketiga, bagi Sunatha perkawinan adalah berjuang tidak saja melawan orangorang desa/asing kaya yang menjadi pesaingnya dalam merebut Utari, tetapi juga telah berjuang melawan musuh-musuh dalam dirinya.
Selain itu, sebagai guru
Sunatha memotivasi diri bergerak maju dengan merantau demi melaksanakan tugas Negara, mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam kerangka NKRI, sebagai guru
252
Sunatha adalah pejuang yang menjadi pelita di tengah kegelapan anak bangsa. Mengubah kegelapan (kebodohan) menjadi terang (cerdas). Keempat, Sunatha mengajak istrinya untuk berjuang bersama-sama dalam konteks berbeda, bukan saja dalam melahirkan anak secara biologis, melainkan juga berjuang menjadi pendamping seorang guru yang serba kekurangan di tempat yang jauh dari keluarga. Ajakan itu menyiratkan makna optimisme seorang guru dalam melaksanakan tugas. Kebahagiaan seorang
guru tidak semata-mata
diukur dari
besarnya gaji, tetapi dari keberhasilannya menjadikan siswa lebih manusiawi. Supeno (1999: 50) menyebutkan tugas guru mempersiapkan generasi yang berkualitas, sumber daya manusia yang siap bersaing menghadapi tantangan bangsa-bangsa lain. Kesungguhan sebagai guru juga ditunjukkan oleh Gungde Ambara dari SLTPN Selat dan Luh Tri Prayatni dari SD Bukit Mentik dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik. Gungde
Ambara
yang lama bertugas sebagai guru SLTP di
Yogyakarta juga menaruh perhatian serius terhadap ajegnya budaya Bali, yang ditunjukkan oleh kesungguhannya berguru pada Nengah Sepi tokoh sepuh di Desa Selat. Sementara itu, Luh Tri Prayatni dikisahkan berhasil
mengantarkan duta
anak-anak SD Bukit Mentik menjadi juara macepat tingkat Provinsi Bali dalam Utsawa Dharma Gita. Sadar akan pentingnya budaya Bali, sebelum Sunatha berangkat ke Kupang selalu mewanti-wanti agar hati-hati dengan kehadiran orang asing. ―Hati-hati Nyoman. Orang asing itu jahat.‖ (Wijaya,1977: 67). Peringatan seorang guru untuk mewaspadai kehadiran orang asing lebih-lebih Belanda dapat dikaitkan dengan dua
253
hal. Pertama, pengalaman Indonesia yang pernah dijajah 350 tahun dan kedua hatihati menerima perubahan akibat pergaulan dengan dunia Barat. Kepada penjajah, layak juga seorang guru mengatakan jahat. Dalam konteks ini, teori postkolonialisme dapat dipakai untuk membedah. Tony Day dan Keith Foulcher (2008: 3) menyebutkan teori ini membantu mengungkapkan jejak-jejak perjumpaan kolonial, yaitu konfrontasi antarras, antarbangsa, dan antarbudaya dalam kondisi hubungan kekuasaan tidak setara, yang telah membentuk sebagian yang signifikan dari pengalaman manusia sejak zaman imperialisme Eropa. Keberhasilan David
memengaruhi Subali
merupakan bentuk penjajahan
yang bermuara pada kekalahan dengan dampak ikutan pada pengucilan secara sosial (kasepekang). Kedatangan Orang asing menjajah tidak dalam bentuk fisik lagi, tetapi melalui ideologi ekonomi yang mengedepankan pola hidup individual praktis, pragmatis, konsumtif, dan hedonis. Wittgenstein mengatakan sikap pragmatis yang berlebihan akan membunuh idealisme (Darma, 2003:10). Perjuangan
guru
dipertaruhkan untuk mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat. Jika Sunatha dalam Tiba-Tiba Malam dilukiskan sebagai guru yang layak diteladani, karena kebesaran
hatinya menerima kenyataan pahit yang menyayat
hatinya, maka Taksu dalam cerpen ―Guru‖ (2001) kesetiaan memilih cita-cita sebagai guru. Sebagai pejuang cita-cita guru, Taksu berkali-kali dirayu oleh kedua orangtuanya dengan janji hadiah asalkan mau mengubah cita-citanya menjadi guru. Namun, Taksu bergeming. Ia kukuh dengan pendiriannya. Ia berjuang membela
254
Negara dengan mewujudkan cita-cita sebagai guru walaupun ditentang oleh kedua orangtuanya. ―Kalau kamu tetap saja jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!‖ teriak saya kalap. Taksu balas memandang saya tajam. ―Bapak tidak akan bisa membunuh saya.‖ ―Tidak? Kenapa tidak?‖ ―Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap. Tapi apa yang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan memberi inspirasi kepada generasi di masa yang akan datang. Guru tidak bisa mati,Pak.‖ (Wijaya, 2001: 6). Kutipan dialog ayah dengan anak yang konfrontatif itu menjadi menarik karena Taksu berhasil meyakinkan Bapaknya yang telah menanamkan cita-citanya sebagai guru sewaktu masih kecil, yakni 28 tahun yang silam. Keteguhan Taksu mewujudkan mimpinya menjadi guru adalah perjuangan yang tidak tergoyahkan walaupun bapak ingin menariknya dengan alasan guru tidak menjanjikan hidup yang layak. Sebagaimana ciri karya-karya Putu Wijaya pada umumnya meneror pembaca, cerpen ―Guru‖ juga tidak bisa dilepaskan pada ilmu teror-meneror. Di bagian akhir cerpen ―Guru,‖ Putu Wijaya membuat kejutan, bahwa cita-cita guru bagi Taksu bukan guru dalam pengertian umum, yakni sebagai pengajar di sekolah. Taksu telah membuat kejutan bagi kedua orangtuanya, sebagai pewaris tunggal keluarga. ―Ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan Negara, karena jasa-jasanya menularkan etos kerja,‖ucap promotor ketika Taksu mendapat gelar doktor honoris causa dari sebuah perguruan tinggi bergengsi (Wijaya, 2001: 8).
255
Kutipan di atas menyiratkan perjuangan guru bukan untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk kepentingan bangsa dan Negara. Kerjakerasnya untuk memegang teguh cita-cita sebagai guru telah melampaui batas sehingga pantas mendapat penghargaan Doktor Honoris Causa. Cerpen ―Guru‖ dan novel Tiba-Tiba Malam
memiliki kesamaan dalam
penokohan guru yang dikarakteristikan sebagai sosok yang serba kekurangan secara ekonomi. Selain itu, guru juga dipersepsikan sebagai sosok yang setia dan kokoh memegang prinsip sehingga cenderung idealis. Bedanya, dalam novel Tiba-Tiba Malam, tokoh guru dibenturkan dengan konflik antara modernitas dan tradisi. Sementara , dalam cerpen ―Guru‖, tokoh guru dibenturkan dengan konflik antara orangtua dengan anak dalam meraih cita-cita. Orangtua adalah simbol masa lalu dan anak adalah simbol masa depan, sebagaimana layaknya pertarungan antara tradisi dan modernitas.
Orangtua
memiliki otoritas terhadap cita-cita anaknya, tetapi
perjuangan Taksu meraih cita-cita sebagai guru tidak terbendung. Hal itu menjadi modal perjuangan membela Negara. Keberhasilan membela Negara dengan mempekerjakan 10.000 tenaga kerja melalui profesi guru oleh Taksu dalam cerpen ―Guru‖ dirasakan juga oleh Iwan dalam cerpen ―Gamia Gamana‖ karya Djelantik Santha, ketika Iwan menerima beslit penempatan sebagai guru Agama Hindu di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Dengan menjadi guru, Iwan mengabdikan diri untuk Negara, mendidik anak-anak Hindu di daerah transmigrasi dengan mengajak ibunya sebagai rasa bakti sekaligus motivasi diri.
256
7.3 Melestarikan Budaya Bali
Tergerusnya budaya Bali di kalangan kaum intelektual sesungguhnya telah terjadi jauh sebelum Indonesia merdeka hingga menjelang masa reformasi, tahun 1998. Hal ini digambarkan oleh pengarang SBM, Gde
Srawana melalui novel
Mlanjtaran ka Sasak dan Agung Wiyat melalui novel Bukit Buung Bukit Mentik. Dialog kritis Dayu Priya dengan Made Sarati dalam novel Mlantjaran ka Sasak menggambarkan peran intelektual menentukan ajegnya budaya Bali. Dengan latar belakang pendidikan modern, kedua tokoh yang sempat belajar sampai ke Jawa dikisahkan masih peduli kepada budaya Bali. Darma Putra (2003:833) menunjukkan identitas Bali berdasarkan budaya sudah terpublikasi melalui Djatayoe
pada dekade 1930-an, dengan memberikan
ruang apresiasiasi pada tokoh perempuan seperti tersirat dalam cerpen ―Kurban‖ dan novel Mlantjaran ka Sasak. Kedua tokoh wanita dalam prosa tersebut, masing-masing Gusti Ayu Amba (dalam ―Kurban‖) dan Ida Ayu Priya (dalam Mlancaran ka Sasak) adalah figur wanita yang cerdas, modern, yang tidak rendah diri bergaul dengan pria. Mereka adalah lambang wanita modern Bali, yang diidamidamkan, walaupun mereka berpendidikan tinggi sampai ke Jawa, keduanya teguh mempertahankan identitasnya sebagai orang Bali (Darma Putra, 2003:833). Menonjolnya perjuangan emansipasi wanita pada saat itu yang dikisahkan oleh Gde Srawana dalam Mlantjaran ka Sasak juga menarik perhatian Agung Wiyat dan melahirkan novel Bukit Buung Bukit Mentik (2004), dengan tokoh Luh Tri Prayatni (guru SD) dan Gungde Ambara (guru SLTP). Dalam novel Bukit Buung
257
Bukit Mentik, dialog Gungde Ambara dengan Luh Tri Prayatni menunjukkan keberpihakannya pada identitas budaya Bali. Gungde Ambara yang lama bertugas sebagai guru SLTP di Yogyakarta dikisahkan amat peduli terhadap identitas budaya Bali, seperti Made Sarati dan Dayu Priya dalam novel Mlantjaran ka Sasak. Kisah Gungde Ambara dalam Bukit Buung Bukit Mentik sebagai guru bahasa Inggris memiliki kesamaan dengan tokoh Made Sarati dan Dayu Priya dalam novel Mlantjaran ka Sasak karya I Wayan Bhadra (I Gde Srawana). Jika dalam Bukit Buung Bukit Mentik, Gungde Ambara dikisahkan merantau ke Yogyakarta menjadi guru SLTP, maka dalam Mlantjaran ka Sasak, Made Sarati dikisahkan merantau ke Jawa karena menuntut ilmu di sekolah guru. Dalam kisah selanjutnya, Made Sarati juga menjadi guru. Gungde Ambara dan
Made Sarati yang sama-sama pernah
merantau ke Jawa tetapi keduanya tetap peduli terhadap budaya Bali. Mereka merantau ke Jawa tetapi tetap memperkuat jati diri sebagai manusia Bali. Buktinya, mereka sama-sama memperdalam sastra-sastra agama Hindu melalui wirama. Dalam Bukit Buung Bukit Mentik (2002:164), Gungde Ambara dikatakan, “Yadiastu makelo nilar Bali masekolah ke Yogya, Ida nu pageh ngamong kabalianne ane madasar ajah-ajah Agama Hindu.” Artinya, walaupun lama meninggalkan Bali bersekolah ke Yogya, ia masih menjaga kebaliannya dengan dasar ajaran Agama Hindu). Made Sarati dalam Mlantjaran ka Sasak (1978: 99) asyik mendengarkan pupuh Dangdang berganti Demung yang berasal dari pancuran di Pasanggrahan Suranadi Lombok. Prinsip belajar Gungde Ambara dalam Bukit Buung Bukit Mentik, identik
dengan Made Sarati dalam Mlantjaran ka Sasak, yakni menyimak
258
tembang/wirama
yang berisi ajaran-ajaran susila. Walaupun Made Sarati tidak
menembangkan, ia selalu mengapresiasi dengan mendiskusikan lalu memaknainya. Sebagai guru, Made Sarati
mengaplikasikan nilai-nilai sastra agama dalam
hidupnya. Apresiasi sastra sampai tahap mengaplikasikan dalam kehidupan nyata bukanlah sesuatu yang mudah kalau tidak didasari oleh kesadaran yang tulus. Sikap demikian memerlukan tekad kuat dan proses belajar yang tiada henti. Dikaitkan dengan konsep kebudayaan yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara (2004: 51), sesungguhnya Made Sarati dan Gungde Ambara berjuang melalui
telah
kebudayaan. Mereka sadar bahwa pembangunan pendidikan
haruslah berdasarkan kebudayaan demi keselarasan, jangan sampai kebudayaan hanya menjadi hiasan belaka dalam pembangunan pendidikan. Konsep itu mereka aplikasikan dalam perilakunya, baik di dalam kelas sekolah formal maupun di luar sekolah dalam kehidupan bermasyarakat. Ngurah Jelantik, guru SLTPN Buleleng dalam Bukit Buung Bukit Mentik walaupun berstatus sebagai tokoh figuran, perannya sebagai guru yang memberi inspirasi pada murid-muridnya tidak dapat diragukan, terutama terkait dengan menjaga kebudayaan Bali. Oleh karena itu, Ngurah Jelantik dapat bertemu dengan Gungde Ambara dan Luh Tri Prayatni di GWK dalam rangka mengikuti lomba Utsawa Dharma Gita tingkat provinsi. Kesamaan pikiran menyatukan mereka dalam kegiatan yang sama-sama mereka sukai. Hubungan pertemanan mereka tampak semakin hangat ketika Ngurah Jelantik melakukan resepsi perkawinan dengan gadis pujaannya dari Sumatera Utara, yang bernama Firda Kim Hutabarat, teman
259
seangkatannya di IKIP Yogyakarta. Pada saat itulah Luh Tri Prayatni dan Gungde Ambara diundang ke rumah Ngurah Jelantik di Penyabangan Buleleng. Gungde Ambara diberi kehormatan menyampaikan petuah kepada kedua mempelai dan hadirin mengapresiasi petuah-petuahnya yang sarat dengan nilai-nilai susastra. Dari tiga tokoh guru yang dikisahkan dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik, Agung Wiyat S Ardhi memberikan perhatian lebih pada hubungan Luh Tri Prayatni dengan Gungde Ambara. Luh Tri Prayatni adalah anak satu-satunya dari bendesa Bukit Mentik karena kedua kakaknya meninggal ketika ayahnya tirtayatra ke India. Luh Tri Prayatni berprofesi sebagai guru SD di Bukit Mentik sedangkan Gungde Ambara adalah guru SLTP pindahai n dar Yogyakarta yang ditempatkan di SLTPN Selat. Gungde Ambara adalah anak tunggal berasal dari Bukit Buung, desa yang bertetangga dengan bukit Mentik.
Sementara itu, Gusti Ngurah Jelantik yang juga
menjadi guru di SLTPN Buleleng hanya sebagai figuran. Walaupun demikian, ketiga tokoh guru dalam novelet ini digambarkan sebagai sosok penjaga budaya Bali di tengah-tengah gempuran budaya asing yang datang bertubi-tubi. “… budaya dura negarane suba masual masuksuk ngalikub krama Baline…” (Ardhi, 2004: 25). Artinya, ―… budaya asing sudah merasuk ke rumah bahkan ke relung hati manusia Bali‖. Dalam gempuran budaya asing seperti itulah, Luh Tri Prayatni sebagai guru di SD Bukit Mentik dideskripsikan sebagai guru yang disegani baik oleh murid maupun orangtua siswa dan masyarakat. Bahkan, ia dikisahkan mampu mengubah perilaku siswa yang berandal menjadi berakhlak mulia, sebagaimana diakui oleh orangtua Wayan Wiryawan, siswa kelas VI.
260
Sadurung Ibu Luh dados guru driki, ten wenten anak nyidayang ngesehin tingkah pianak tiange… Ten madaya tiang, kadi pituduh Widhi, rauh Bu Guru Luh, yen usada napi icen Bu Guru, pianak tiange tunggal puniki, mawastu ipun seger becik (Ardhi, 2004 : 8-9). Terjemahannya : Sebelum Ibu Luh menjadi guru di sini, tidak ada yang bisa mengatasi anak saya… Tak saya sangka, seperti sudah menjadi titah Widhi, kedatangan Bu Guru Luh, menjadi obat, anak tunggal saya ini berubah ke arah yang lebih baik. Kemampuan Luh Tri Prayatni sebagai guru bukan saja diidolakan oleh siswasiswanya, melainkan juga oleh sesama guru dan orangtua siswa. “Rasane numitis buin pindo, sing lakar surud bhaktine marep Gurune ene,” keto keneh Wayan Wiryawan. Artinya, rasanya
berinkarnasi sampai dua kali, tidak akan lupa hormat
terhadap guru ini,‖ begitu pikir Wayan Wiryawan. Luh Tri Prayatni tampil sebagai guru di hati siswa berkat kemampuan life skill-nya di bidang budaya Bali, sebagaimana diakui oleh Gung Manik dan Gung Patni. “Tiang madue guru, duweg san mawirama. Mawirama duweg, magending duweg, ngigel duweg, ngajahin di kelas duweg. Sami duwegina” (Ardhi, 2004:24). Artinya, saya mempunyai guru yang pandai berwirama. Berwirama, bernyanyi, menari, mengajar juga pandai. Semua dikuasainya. Dengan kemampuan life skill seperti itu, di tengah arus perubahan zaman, Luh Tri Prayatni diuji oleh keadaan. Ujian itu menjadi medan perjuangan baginya untuk memperbaiki keadaan, terutama dalam menghadapi siswa-siswa yang nakal. Selain berhasil memperbaiki mental anak-anak sekolah, ia berhasil membawa nama SD Bukit Mentik
dalam lomba Utsawa Dharma Gita tingkat Provinsi Bali yang
261
diadakan di GWK, sebagai juara 1 yang diwakili oleh Gung Manik dan Gung Patni, sebagai saudara kembar. Keberhasilannya memperbaiki mental anak-anak yang nakal diakui oleh mantan muridnya yang nakal di SD, yakni Wayan Wiryawan. “Yen sing ada Bu Guru Tri, kenken ia panadian deweke, mehmehan dadi pamiyutan, dadi panglentiran, dadi bebotoh ulad-alid, dadi preman.” (Ardhi, 2004: 32). Artinya, kalau tidak ada Bu Guru Tri, bagaimana jadinya saya, mungkin jadi perusak, gelandangan, penjudi, dan jadi preman. Sebagai
guru SD, Luh Tri Prayatni ditokohkan oleh pengarang dengan
segala kelebihannya, terutama terkait dengan kompetensinya dalam bidang kebudayaan Bali.
Pertama, kemampuan ayah Luh Tri Prayatni sebagai Bendesa
Bukit Mentik menurun kepadanya sehingga ia memiliki perhatian terhadap budaya Bali. Hal itu menjadi modal dasar baginya sebagai guru dalam mendidik anak-anak. Ia mendidik dengan pendekatan budaya yang menyentuh kebutuhan anak-anak sehingga anak yang nakal dapat mernjadi baik. Kedua, sebagai guru, Luh Tri Prayatni menggabungkan ilmu jiwa anak dengan budaya lokal, khususnya seni wirama yang oleh Ki Hajar Dewantara di samakan dengan gending. Menurut Dewantara (1978: 173), para pemimpin agama menggunakan pengaruh gending untuk membuka rasa kebatinan (rasa keagamaan), dan sebagai pengasah budi (pembentukan watak), yang berdasarkan tajamnya cipta, halusnya rasa, serta kuatnya karsa. Sebagai guru, Luh Tri Prayatni adalah pemimpin dalam pembelajaran. Dengan memanfaatkan sentuhan wirama, hasilnya, bukan saja
262
menyenangkan anak didik melainkan juga memperkuat jati diri guru
sekaligus
sebagai manusia Bali. Ketiga, sebagai perempuan, Luh Tri Prayatni ingin menunjukkan bahwa ia mampu mengubah perilaku siswa yang nakal. Dalam batas tertentu, ia menjadi emansipatoris dalam pembangunan nasional melalui sekolah. Sekolah adalah tempat pembudayaan nilai-nilai kehidupan demi kemaslahatan manusia yang lemah sehingga memerlukan pendampingan guru. Gerakan emansipasi yang dikembangkan oleh Luh Tri Prayatni dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik karya Agung Wiyat senada dengan gerakan Ida Ayu Putu Priya dalam novel Mlantjaran ka Sasak karya Gde Srawana.
Keduanya
sama-sama
perempuan
berpendidikan
yang
berjuang
memelekkan bangsanya, bukan saja dari buta huruf tetapi juga dari buta hati dan tutup telinga. Keberpihakan Agung Wiyat S. Ardhi terhadap budaya Bali dalam karyakarya sastranya senada dengan aktivitasnya sebagai praktisi budaya Bali. Hasil wawancara peneliti (2/12/2013) menunjukkan,
ia adalah tokoh
sabha desa
(pengurus perwakilan desa di tingkat desa adat), petajuh (wakil bendesa adat), pengurus Majelis Madya Desa Pakraman Kabupaten Gianyar, di samping sebagai pembina Utsawa Dharma Gita, nyastra, PKB, dan Gong Kebyar di Kabupaten Gianyar. Ensiklopedia Sastra di Bali (2008) terbitan Balai Bahasa Denpasar menyebutkan Agung Wiyat S. Ardhi mulai menulis pertama pada 1965. Awal menulisnya mulai dengan puisi, cerpen, drama, dan novel. Berbagai genre sastra
263
yang dihasilkan Agung Wiyat S. Ardhi, menunjukkan ia adalah sastrawan multitalenta yang diimbangi oleh pengalaman kemasyarakatan yang memadai sehingga karya-karyanya kaya dengan citra pribadi pengarangnya. Perjalanan panjang Agung Wiyat S. Ardhi mengabdi kepada budaya Bali terekam dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik yang menampilkan tokoh Gungde Ambara dan Luh Tri Prayatni. Tak berbeda jauh dengan Luh Tri Prayatni, Gungde Ambara walaupun lama di Yogyakarta, ia tetap mencintai budaya Bali. Kecintaannya kepada budaya Bali ditunjukkan dengan semangat belajar dan berguru kepada sesepuh desa di Selat, tempatnya mengabdi sebagai guru Bahasa Inggris. Lama merantau di Yogyakarta tidak melunturkan semangatnya menjaga budaya Bali. Yen prade ada anak kalayu sekaran di pakraman Selat, Ida sing kimudan marengin ngerombo, seleg nampingin pasantian, yadiastu pangawitne Tuah mirengin. Ento mawinan sayan suwe sayan kadaut kahyune malajahih wirama. Tuwon pesan Ida malajah sig Guru Nengah Sepi, panglingsir desa Selat ane kasub wikan indik wirama… (Adhi, 2004: 76). Terjemahannya : Kalau ada orang meninggal, ia tak malu terlibat, rajin mendampingi kelompok Pasantian. Walaupun awalnya hanya mendengarkan. Lamakelamaan makin tertarik belajar berwirama. Ia rajin berguru pada Guru Nengah Sepi, sesepuh desa Selat yang terkenal pandai dalam bidang wirama…. Kutipan di atas menegaskan sejumlah hal. Pertama, Gungde Ambara sebagai guru tidak sulit bergaul dengan warga masyarakat Selat, baik dalam suka maupun duka. Ia sosok yang luwes dalam hidup bermasyarakat, sebagaimana umumnya guruguru di Desa sering mendapat kepercanyaan sebagai orang yang digugu dan ditiru.
264
Kedua, sebagai guru bahasa Inggris, Gungde Ambara tampaknya menerapkan model pembelajaran mawirama yang dimulai dari menyimak sebagaimana belajar bahasa pada umumnya. Tahapan belajar bahasa pada umumnya bermula dari menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Terkait dengan cara itu, ia juga mengalami proses silent period
(‗periode diam) dalam belajar mawirama.
Pangawitne tuah mirengin ‗pada awalnya hanya mendengarkan.‘ Ini juga merupakan bagian dari perjuangan seorang guru dalam mendalami kebudayaan Bali. Ketiga, Gungde Ambara memanfaatkan sesepuh desa sebagai guru memberikan bukti ia adalah pembelajar. Ia menemukan guru di masyarakat lalu belajar dengan senang hati padanya. Terjadi proses pewarisan budaya dari sesepuh desa ke generasi muda yang dititipkan pengarang melalui Gungde Ambara, yang kebetulan berprofesi sebagai guru Bahasa Inggris di SLTPN Selat. Terimplisit harapan terjadi proses transformasi dan regenerasi. Hal ini juga merupakan bagian dari perjuangan untuk siap menerima estapet budaya dari orangtua kepada generasi muda. Jadi, sebagai guru, Gungde Ambara mendedikasikan dirinya tidak sebatas ruang kelas, tetapi juga menjangkau masyarakat pada umumnya. Ia menjadikan masyarakat sebagai laboratorium kehidupan yang memungkinkan profesinya sebagai guru menjadi berkembang dengan wawasan yang lebih luas dalam menyikapi persoalan.
Hal ini juga mencerminkan kompetensi sosial seorang guru yang
mumpuni.
Dalam konteks ini, guru identik dengan sosok mimikri, yang harus
pandai-pandai menyesuaikan diri di mana dan dalam situasi apa mereka berada,
265
termasuk penyikapannya terhadap situasi ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Darmaningtyas, 2004:131). Agung Wiyat menerjemahkan kepeduliannya pada budaya Bali melalui karya SBM dan praktisi budaya secara simultan di lingkungannya. Aktivitasnya sebagai praktisi budaya memperkuat karya-karyanya untuk memajukan khasanah budaya Bali walaupun tantangan yang dihadapi banyak karena pengaruh pariwisata dan globalisasi, sebagaimana tercermin dalam Bukit Buung Bukit Mentik. Selain Agung Wiyat, I Nyoman Manda juga memperjuangkan kebudayaan Bali melalui karya SBM baik puisi, cerpen, maupun novel.
Dalam novel Manah Bungah Lenyah di
Toyobungkah, Nyoman Manda menempatkan tokoh guru berjuang untuk menjaga adat, tradisi, dan budaya Bali yang diterjemahkan dalam acara perkemahan di Toyobungkah. Jika dibandingkan tokoh guru yang ditampilkan Nyoman Manda dalam novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah dengan cerpen ―Guru Made‖ dapat ditarik benang merahnya. Pertama, guru digambarkan idealis memegang jabatan fungsionalnya. Dengan dasar-dasar didaktik metodik, guru selalu menjaga perasaan antara anak didik dengan pendidik dan antara guru dengan anak kandungnya (dalam cerpen ―Guru Made‖). Perasaan demikian juga ditampilkan guru dalam menjaga adat, tradisi, dan budaya tanpa menimbulkan gejolak. Tokoh guru (Bu Wartini dan Pak Sukata)
mengedepankan hubungan harmonis dan keselarasan dalam hidup
bermasyarakat walaupun terasa pahit demi melanjutkan garis keturunan ayah. Pilihan
266
yang demikian mencerminkan guru berada di garda terdepan dalam berjuang terkait dengan proses pewarisan dan regenerasi keluarga. Kedua, baik dalam novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah maupun dalam cerpen ―Guru Made‖, Nyoman Manda menempatkan tokoh guru berjuang di tataran budaya. Pilihan untuk tunduk pada orangtua dengan mengangkat santana rajeg bagi Bu Wartini dalam rangka mengamankan dan melestarikan budaya. Sementara itu, Guru Made Warsa berjuang membela cita-cita anak sebagai wujud gerakan budaya pula. Melalui pendidikanlah upaya pemanusiaan manusia dilakukan yang pada akhirnya berimplikasi pada upaya pembudayaan manusia. Pendidikan dimaknai sebagai proses hominisasi dan humanisasi. Tilaar (2000:189) menyebutkan pendidikan sebagai proses hominisasi adalah melihat manusia sebagai makhluk hidup di dalam ekologinya, untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Pendidikan sebagai proses humanisasi adalah melihat manusia pada hakikatnya sebagai makhluk bermoral (human being). Ketiga, tokoh guru pada novel dan cerpen karya I Nyoman Manda ini adalah sosok yang tidak mudah terpengaruh oleh berbagai kemajuan yang dibawa zaman modernisasi akibat pariwisata. Dalam Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah, tokoh Bu Wartini dan Pak Sukata tetap ajeg merawat profesinya sebagai guru, walaupun godaan datang bertubi-tubi. Justru dalam godaan yang demikian, keduanya justru menasihati anak-anak korban pariwisata karena orangtuanya sibuk meraih dolar, tetapi kasih sayang kepada anaknya terlupakan. Demikian juga, dalam cerpen ―Guru Made‖, tokoh Guru Made Warsa tidak mencari tambahan penghasilan di jalur
267
pariwisata, tetapi menjadi guru honorer di sekolah swasta pada sore hari, dan sesekali membantu istri bersama anak menyiapkan dagangan. Hal ini juga memberikan kesempatan bagi Guru Made selalu dapat memperhatikan anak-anaknya sehingga tidak terjerumus pada hal-hal yang negatif. Guru Made Warsa selain berjuang memanusiakan siswanya di sekolah juga berusaha berjuang memanusiakan anakanaknya di rumah. Keempat, kedua tokoh guru dalam Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah memiliki motif yang sama dengan tokoh guru dalam novel Mlantjaran ka Sasak karya Gde Srawana. Bu Wartini dan Pak Sukata dalam Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah memanfaatkan acara perkemahan di Toyobungkah sebagai arena untuk mencairkan dilematis yang dialami oleh Bu Wartini terkait jodoh pilihan orangtuanya. Demikian juga, pada saat berwisata ke Lombok, Made Sarati dan Dayu Putu Priya memanfaatkan liburannya untuk berbagi kisah sedih
sekaligus
mencairkan dilematis karena Dayu Priya dijodohkan dengan Ida Kade Ngurah oleh orangtuanya. Jadi, tokoh guru dalam kedua novel yang berbeda zaman ini sama-sama memanfaatkan liburan untuk menghibur diri, sekaligus berjuang melawan kehendak orangtua, walaupun berat. Pada akhirnya, kehendak orangtua terlalu kuat untuk dilawan sehingga jodoh pun di tangan orangtua. Dari deskripsi di atas, tokoh guru dalam karya SBM sejak 1930-an hingga dekade awal abad ke-21, menunjukkan tugas guru terlalu berat. Perjuangan guru memenangkan hati nurani gagal. Idealisme guru kandas oleh hegemoni kekuasaan domestik dalam keluarga, lebih-lebih pada keluarga yang berstatus anak tunggal.
268
Ketidakmampuan guru menghadapi tugas berat itu
dikatakan
sebagai bentuk
impotensi guru, sebagaimana digambarkan oleh Mochtar Lubis dalam Jalan Tak Ada Ujung melalui Guru Isa. Putu Wijaya juga menggambarkan keadaan yang sama melalui tokoh guru Sunata, dalam novel Tiba-Tiba Malam. Namun, guru tetap dianggap profesi yang mulia seperti diungkapkan oleh Kapten Kapal dalam perjalanan pulang dari Kupang ke Bali bersama Sunata menjemput malapetaka sang guru di desa kelahirannya di Tabanan. Kisah guru yang menjaga adat dan tradisi budaya juga tergambar dalam novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang
karya Djelantik Santha melalui tokoh
(calon) guru Nyoman Santosa. Cinta tidak sampai Nyoman Santosa dengan Made Arini tidak membuatnya putus asa. Pesan-pesan orang tua dan gurunya selama di SGB Klungkung dijadikan pegangan untuk memperkuat jati diri dan ke-Bali-annya. Pesan manyama braya (merekatkan kekeluragaan) ditunjukkan oleh Pan Madu (ayah Santosa) melalui kerja sebagai balian (dukun) tanpa memasang tarif. Tidak lupa pula Pan Madu memberikan tutur penguatan budaya pada anaknya, ketika membuat dungki (bakul) untuk prakarya. Pesan untuk belajar budaya Bali tidak hanya di sekolah tetapi juga di dalam masyarakat. Oleh karena itu, Pan Madu selalu memotivasi
Santosa untuk
mempelajari isi lontar dan buku-buku. Di dalam sumber-sumber tertulis itu, Pan Madu mengingatkan Santosa tentang dewasa ayu (hari baik), sikut wewangunan (ukuran dan letak bangunan), di samping kepercayaan terhadap penggunaan socca (cincin bertuah) untuk menenangkan diri.
269
Ia (Santosa) merluang paneteg bayu, bungkung tetamianne ane abana teken Made Arini. Bungkung mas masoca putih linglang tunjung tutur, koliliran uli kaki kumpine (Santha, 1981: 99). Terjemahannya : Ia perlu menenangkan diri, cincin peninggalan yang dibawa Made Arini. Cincin mas permata merah putih tunjung tutur, warisan leluhurnya. Tutur orangtua ditambah dengan pendidikan di sekolah menjadikan Santosa makin dewasa menerjemahkan budaya Bali dalam kehidupan. Tutur orangtuanya diaplikasikan oleh Santosa ketika menolong Gusti Ayu Jinar dan Made Astiti yang nyaris tergerus ombak di pantai Pura Taman Sari Buleleng. “Mula swadarmaning manusa patut saling tulung. Napi malih sedek katekanan baya” (Santha, 1981:97). Artinya, swadarma manusia patut saling bantu, apalagi ketika kena bencana. Ucapan Santosa itu menyiratkan seorang (calon) guru yang mengedepankan semangat manyama braya sebagai bagian kearifan budaya Bali. Tutur orangtua kepada anak dalam Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang selain untuk memperkuat budaya Bali juga terimplisit maksud memperkuat spiritual manusia Bali. Karya sastra yang bermutu senantiasa menawarkan nilai moral spiritual yang tidak lekang oleh panas, dan tidak lapuk oleh hujan. Karya sastra demikian menjadi abadi karena sering diapresiasi orang, seperti epos mahabratha dan Ramayana. Dalam SBM, penguatan nilai spiritual terdapat dalam novel Mlantjaran ka Sasak, Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang, Bukit Buung Bukit Mentik, cerpen ―Gamia Gamana‖, dan ―Guru Made‖.
270
Selain memiliki selera humor, Made Sarati dalam novel Mlantjaran ka Sasak juga dinilai berhati mulia. Ia guru yang dipercaya oleh Ida Bagus Kumara untuk menjaga Dayu Priya. Dayu Priya juga menilai Made Sarati sebagai guru yang pantas diteladani karena dapat memegang kata-kata dan kuat memegang rahasia. “Aduh, Luuuh! Dong jelma jenenga I Made tawang, totona mara nirmala bakti, sejati hormat teken anak luh. Bani sing grunyam! Jani mara Yang nawang sejatine. Ipidan tungkul Yang ngenehang sedih Yange, inget sing nganteg ke makenehan!” (Srawana, 1978 : 121). Terjemahannya: Aduh, Luuuh! Baru tahu kalau I Made, manusia, bukan hanya menjelma.Baktinya tanpa cacat, hormatnya tulus dengan perempuan. Berani tidak ceroboh! Sekarang baru saya tahu sejatinya. Dulu saya tak sempat memikirkan, yang saya pikirkan kesedihan sendiri, tak sempat memikirkan bagaimana sejatinya I Made!‖ Kutipan di atas menegaskan I Made Sarati adalah guru yang menjalankan ajaran trikaya parisudha (satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan) sehingga bukan saja menjadi pengayom bagi anak-anak di sekolah, melainkan juga pengayom bagi Dayu Priya dan Luh Sari tatkala berwisata ke Lombok. Ia telah mempraktikkan kompetensi sosial guru dalam hidup bermasyarakat. Made Sarati berjuang tidak hanya di sekolah, tetapi juga dalam pergaulan di masyarakat, dengan asumsi bahwa semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru. Pemahaman itu tidak muncul dengan sendirinya, tetapi melalui proses panjang, seperti layaknya berjuang mendidik siswa di sekolah hasilnya baru diketahui 10-20 tahun ke depan. Kuatnya memegang prinsip untuk tidak melukai hati Dayu Priya, membuat Made Sarati berjanji dalam hati. “Adenan i dewek mati, imbangang teken
271
ngedengang sih, I deweke ring Ida” (Srawana, 1978: 17). Artinya, lebih baik saya mati, daripada menunjukkan cinta pada Ida (Dayu Priya). Kutipan ini memberikan petunjuk
ketulushatian
Made Sarati mengiringi Dayu Priya ke Lombok tanpa
pamrih. Bagi seorang guru dari kasta sudra, Made Sarati mendapat kehormatan mengiringi Dayu Priya ke Lombok sudah dirasakan lebih dari cukup. Kehormatan itu, tidak ubahnya hubungan kaula lan gusti, hubungan sisia dengan surya, hubungan hamba dengan Tuhan. Jadi, hubungan yang dibangun adalah hubungan bakti, seperti pemuja dengan yang dipuja. Spiritualitas dalam novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang karya Djelantik Santha dideskripsikan dalam dialog Pan Madu (ayah) dengan Santosa (anak). Tokoh Nyoman Santosa adalah guru yang digambarkan ideal oleh pengarang. Ideal bukan saja dalam praktik hidup bermasyarakat yang tumbuh dari pikirannya, melainkan juga merepasi tutur-tutur agama yang dijadikan pedoman hidup seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Nyoman Santosa dalam Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang sama dengan Made Sarati dalam Mlantjaran ka Sasak, sebagai guru memperjuangkan konsep hidup, ―satunya kata dengan tindakan‖, seperti ajaran Trikaya Parisudha. mempermudah
Selain itu, ia juga memandang ilmu pengetahuan dapat
hidup,
kesenian untuk memperindah hidup, dan agama untuk
membuat hidup menjadi terarah. Sebagai anak yatim, Nyoman Santosa, berjuang dengan gigih, jengah dengan keadaan serba kekurangan. Iwan dalam cerpen ―Gamia Gamana‖, ditampilkan sebagai sosok yang penuh pengertian sebagai anak yatim. Ia berjuang dengan jengah untuk memperbaiki nasib
272
hingga akhirnnya beslit sebagai guru diperloleh. Dengan memperoleh beslit, Iwan telah berhasil menyenangkan ibunya, tetapi tidak membenci ayahnya yang tidak diketahui rimbanya. “Iwan, sujatine meme lega pesan sawireh cening suba katerima dadi Guru Agama. Misi pesan lamun keneh memene, apang cening dadi manusa jati. Nanging legan memene matungtung baan sedih” (Santha, 2002 : 19). Terjemahannya : ―Iwan, sejatinya ibu senang sekali karena kamu sudah diterima menjadi Guru Agama. Sesuai dengan doa ibu, agr kamu menjadi manusia sejati. Akan tetapi, kelegaan ibu berujung sedih hati.‖ Sedih ibu karena Iwan ditugaskan sebagai Guru Agama di Bolaang Mangondow di Sulawesi Utara. Tempat yang begitu jauh, sedangkan Iwan adalah anak semata wayang, tempat ibunya menggantungkan harapan. Ibunya berharap Iwan tetap di Bali menjadi Guru Agama.”Yen tuah dadi teptepin keneh ceninge, tur yen tuah dadi tunas teken pemerintahe melahang ja cening nunas dadi Guru dini di Bali dogen” (Santha, 2002: 19). Artinya, ―Kalau boleh memohon kepada pemerintah, lebih baik kamu menjadi guru di Bali saja.‖. Sikap ibu Iwan yang berharap anak semata wayangnya tetap menjadi guru di Bali adalah representasi dari manusia Bali pada umumnya. Sebagai ibu dengan anak tunggal, ia tidak memahami maksud pemerintah menempatkan Iwan sebagai Guru Agama di Sulawesi. Sujana (1995: 70) menyebutkan tiga alasan orang Bali merantau, yaitu : (1) bekerja sebagai pegawai negeri, pegawai swasta, atau anggota ABRI; (2) ingin menetap di tempat baru untuk meningkatkan kualitas kehidupan keluarga
273
dengan bertransmigrasi; dan (3) ingin menetap sementara di luar Bali dan jika telah berumur lanjut akan pulang ke Bali. Dari tiga alasan di atas, jelaslah Iwan bermaksud mengajak ibunya merantau karena alasan yang pertama. Panggilan tugas Negara sebagai Guru Agama yang ditempatkan di Bolaang Mangondow Sulawesi. Panggilan tugas itu dimaknai sebagai ladang pengabdian pada kepentingan nasional dengan melepas ego yang bersifat etnosentris. Dengan kalimat lain, Iwan memandang tugasnya sebagai guru di Sulawesi adalah medan perjuangan membangun bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa. Misi yang mulia dalam kerangka NKRI, bukan malah dilarang sebagaimana keinginan ibunya.
Tampak ada perbedaan pandangan antara ibu dan anak. Ibu
sebagai orangtua cenderung statis, sedangkan anak cenderung dinamis mengikuti panggilan tugas. Dalam cerpen ―Gamia Gamana,‖ Iwan sebagai tokoh guru dikisahkan belum melaksanakan tugas sebagai guru, baru menyiapkan kelengkapan administrasi untuk menjalankan tugas di Sulawesi. Persiapan itu bersifat sekala (nyata) dan niskala (tidak nyata). Persiapan sekala ditandai dengan menanyakan kepada ibunya, siapa ayah Iwan sesungguhnya.
Menanyakan
keberadaan
ayah bagi Iwan adalah
perjuangan berat karena ia dipermalukan oleh teman-temannya dicap sebagai anak dukun cabul. Ucapan itu telah melukai hati Iwan sehingga terus berjuang dan mendesak kejujuran ibunya. Nama ayah Iwan baru diberitahu ketika pacar Iwan yang bernama Made Ary dikisahkan sudah hamil. Dihadapan calon menantu dan kedua orangtua Made Ary, ibu Iwan yang bernama Desak Made Sayang menuturkan
274
ayahnya tidak lain adalah Pak Wirabakha atau Raden Sudangsa. Raden Sudangsa tidak lain adalah ayahnya Made Ary, sebelum ibunya kawin dengan Pak Made Suanditha di Bali. Jadi, Iwan dan Made Ary sesungguhnya kakak beradik dari dua ibu yang berbeda dengan dua bapak berbeda juga. Jadi, perkawinan Iwan dengan Made Ary termasuk perkawinan terlarang (incest). Persiapan niskala dilakukan dengan persembahyangan bersama teman-teman yang telah menerima beslit sebagai guru. “Meme, tiang sampun nerima beslit dadi guru. Nika awanan tiang telat mulih sawireh kari mabakti ajak makejang tur ngalengkapin surat-surat perintah jalan apang enggal nyidayang luwas. Kenten masih pipis anggon sangu di jalane sampun teriman tiang acukupan teked di tongos tiange ngajahang, di Desa Werdhi Agung, Bolaangmangodow…” (Santha, 2002: 19). Terjemahannya: ―Ibu, saya sudah menerima SK pengangkatan sebagai guru. Itu sebabnya saya terlambat pulang karena sembahyang bersama teman-teman, serta melengkapi surat perintah jalan agar cepat bisa berangkat. Begitu pula uang dipakai selama perjalanan sudah saya terima secukupnya sampai di tempat saya mengajar, di Desa Werdhi agung, Bolaangmangundow. Dikaitkan dengan novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang, tokoh guru dalam cerpen ―Gamia Gamana‖ memiliki kesamaan, yakni sama-sama dari tokoh guru dari keluarga yatim. Nyoman Santosa dalam novel Djelantik Santha dikisahkan ditinggal mati ayahnya ketika masih muda, sementara Iwan ditinggal oleh ayahnya entah ke mana. Status yatim yang diterima Iwan karena tidak adanya tanggung jawab Wirabhaka sebagai ayah yang tega membiarkan istrinya berjuang sendiri mendidik Iwan. Dari segi status ekonomi, baik Iwan maupun Nyoman Santosa juga sama-sama
275
kekurangan. Bedanya, Santosa justru ditentang oleh ibunya untuk melanjutkan sekolah karena alasan ekonomi. Sebaliknya, Iwan didorong oleh ibunya untuk bersekolah di sekolah guru Agama, PGA dengan harapan ia bisa menjadi anak suputra, beretika sesuai dengan ajaran agama. “Benehang ngincepang encen ane madan Trikaya Parisudha. Cening lakar dadi Guru ane patut ka gugu lan katiru baan murid-muride….” (Santha, 2002: 35). Artinya, ―Camkanlah baik-baik, ajaran Trikaya Parisuda. Kamu akan menjadi guru patut digugu dan ditiru‖. Dengan perbandingan itu, ibu kedua anak yatim dalam dua kisah ini juga memiliki kesamaan. Keduanya merupakan ibu yang tangguh, kuat menanggung beban hidup tanpa pendamping suami. Dari sudut kajian feminisme, ibu Iwan (Desak Made Sayang)
dan ibu Nyoman Santosa (Men Madu) adalah korban budaya
patriarkhi (Baso, 2005: 6).
Edward Said, sebagaimana dikutip Baso (2005:7)
menyebutkan perempuan sebagai subjek yang senantiasa digempur dari berbagai sudut oleh tindakan penindasan dan ketidakadilan laki-laki. Di tengah ketimpangan itulah, perempuan sebagai ibu dapat menjadi tiang penyangga bagi kesuksesan anak-anaknya. Sebagai ibu yang berperasaan halus, Men Madu menjadikan Nyoman Santosa sebagai orang yang berguna bagi masyarakat walaupun sering dikibuli oleh orang-orang yang mempunyai kuasa. Begitu pula, Desak Made Sayang berhasil menjadikan Iwan sebagai guru Agama, anak yang berakhlak mulia. Selain itu, Desak Made Sayang adalah orang yang buta huruf tetapi tidak buta hati. Pelajaran diperolehnya secara lisan dari tutur orangtua
untuk
anak-anaknya. “Meme tusing masekolah, makejang ene bakatang meme baan
276
nguping uli warah-warah anake lingsir.” Sapunika pitutur memenne. Artinya, Ibu tidak bersekolah, semua pelajaran ibu peroleh dari mendengarkan pitutur orangtua. Hal ini mengingatkan tentang teori pemerolehan bahasa
yang dimulai dari
menyimak. Semangat
juang
Nyoman
Santosa
dan
Iwan
juga
mirip
dengan
mengedepankan tekad kuat untuk mengubah nasib melalui jalan pendidikan. Hal ini sejalan dengan pandangan paedagog Brasil Paulo Freire tentang pendidikan sebagai praktek pembebasan (Nugroho,1984).
Jalan pendidikan yang ditempuh melalui
sekolah guru. Sekolah pilihan Nyoman Santosa adalah SGB dengan pertimbangan mendapat ikatan dinas sehingga meringankan beban orangtua. Lagi pula, ia bercitacita menjadi guru atas dasar keinginannya. Pilihan Nyoman Santosa adalah pilihan cerdas. Dengan
masuk SGB, ia
menyadari pentingnya pendidikan dan berharap dapat keluar dari garis kemiskinan yang membelitnya secara turun-temurun. Hubungan pendidikan dan pengentasan kemiskinan adalah hubungan klausalitas. Menurut Alwasilah (1997: 81), pendidikan nasional harus juga mengentaskan kemiskinan material, literer, dan okupasional yang hadir saling bertemali. Bukti empiris menunjukkan bahwa mayoritas rakyat miskin adalah yang kurang berpendidikan dan mayoritas pencari kerja juga yang berpendidikan rendah. Dalam hubungan inilah Nyoman Santosa dalam Tresnane LeburAjur Satonden Kembang
berjuang. Pertama, ia berjuang melawan ibu demi cita-cita
pendidikan yang tidak bisa dibendung.
277
“Meme, da nyen meme pedih teken tiang, sawireh keneh tiange ten dadi baan tiang neptepin. Taing lakar nerusang masekolah ka Klungkung. Yen meme tusing nyidayang mekelin, depang tiang masuk di SGB…” (Santha , 1981: 8). Terjemahannya : ―Ibu, janganlah marah pada saya, karena niat saya tidak bisa dipangkas. Saya akan melanjutkan sekolah ke Klungkung. Kalau ibu tidak bisa membiayai, biarlah saya masuk di SGB….‖ Perlawanan yang dilakukan oleh Nyoman Santosa terhadap ibunya bukan dalam arti alfaka guru, melainkan dalam rangka memperbaiki nasib hidup melalui jalur pendidikan. Kemiskinan selalu berkorelasi dengan pendidikan rendah, apalagi buta huruf sebagaimana dikatakan Alwasilah (1997:80). Tegasnya, melalui jalan pendidikan, Nyoman Santosa berusaha meraih mimpi-mimpinya. Nyoman Santosa berjuang mengubah nasib dengan mengubah diri melalui jalan pendidikan guru. Kedua,
Nyoman Santosa ditinggal mati oleh ayah dan kedua kakak
kembarnya, I Wayan Madu dan I Made Madi. Kematian kedua kakaknya dipicu oleh cinta segitiga, Gusti Ayu Adi dengan Made Madi dan Gusti Ngurah Cepeg. Kematian ayahnya karena sakit mendadak. Sepeninggal ayahnya, Nyoman Santosa berstatus yatim bersama adiknya, yakni Ketut Shanti dan ibunya.
Mereka hidup
sederhana bahkan serba kekurangan. Dalam kondisi demikianlah, Nyoman Santosa bangkit untuk berjuang. Sejalan dengan pemikiran Raka (2006:45) tentang empat modal maya dalam dunia pendidikan. Nyoman Santosa bermodalkan semangat, intelektualitas, kredibelitas, dan modal sosial. Dalam keadaan miskin dan sebagai anak yatim, tidak patah arang sebagai bukti Santosa memiliki semangat juang pantang menyerah. Prestasinya mendapat pujian dari Kepala SGB bukti ia memiliki
278
kemampuan intelektual yang tidak diragukan. Dipercaya teman-teman sebagai pengayom dalam aneka kegiatan membuktikan ia memiliki modal kredibelitas yang memadai. Begitu pula, hubungan sosial kemasyarakatan yang cair menandakan Santosa sosok yang memilki modal sosial yang kuat. Ketiga, Nyoman Santosa berjuang melawan kesewenang-wenangan AA Alit Sudendi yang kaya raya tetapi miskin nilai kemanusiaan. Dalam hal ini, perjuangan Nyoman Santosa bertemali pula dengan kekuasaan yang berbasis kasta terutama ketika AA Alit Sudendi memperistri Made Arini secara paksa. Ia menghadang Made Arini di tengah jalan ketika pulang dari menonton film, lalu dilarikannya ke rumah Pekak Giyor di Kintamani. Terhadap tindakan kasar AA Alit Sudendi ini, merampok Made Arini yang merupakan pacar Nyoman Santosa, justru mendoakan agar mereka berdua berbahagia damai sejahtera sebagai suami istri. Doa tulus seorang calon guru bagi orang yang telah melukai hatinya, menggambarkan Nyoman Santosa sebagai sosok yang sabar walaupun ia dilempar dengan kotoran sekalipun. Keempat, Nyoman Santosa berjuang melawan musibah alam, ketika ia bersekolah di SGA Singaraja. Musibah demi musibah dialami oleh Nyoman Santosa tetapi hal itu membuatnya makin kebal dan tahan. Berbagai musibah memberinya pengalaman untuk memetik hikmah hidup yang tidak linier. Manusia berusaha, Tuhan menentukan. Itulah kata yang melekat pada Nyoman Santosa, yang tidak semata-mata mencari kebahagiaan ke luar diri, tetapi lebih mencari ke dalam diri. Santosa, sesuai dengan namanya dicita-citakan sebagai orang yang bebas dari kesukaran melalui perjuangan yang berat. Kalau perjuangan ini tidak lulus dilewati,
279
mustahillah keluarga yang dicita-citakan oleh almarhum ayahnya dapat Shanti, damai sesuai dengan nama adiknya, yakni Ketut Shanti. Ciri khas karya Djelantik Santha adalah kisahnya penuh dengan pesan-pesan (tutur agama) dari orang tua kepada anak-anaknya. Selain itu, hubungan antaretnis dalam bingkai multikultural juga dominan dalam karya-karya Djelantik Santha, terutama hubungan Bali dengan Lombok. Dominannya setting Bali dan Lombok dalam karya-karyanya tidak terlepas dari pengalaman Djelantik Santha di kedua pulau itu. Pandangan hidup tentang hidup beragama dalam satu keluarga seyogyanya sama sehingga anak-anak punya pegangan yang pasti. Tidak terombang-ambing oleh tarik-menarik antara agama kedua orangtuanya kalau mereka berbeda keyakinan. Toleransi beragama ditempatkan dalam formula yang senantiasa menjaga hubungan harmonis tanpa ada dominasi mayoritas dan minoritas baik dalam relasi keluarga, masyarakat, maupun bangsa dan Negara. Dalam bingkai itulah, Djelantik Santha membekali tokoh utama cerita beragama dengan benar. Perjuangan tokoh utama dalam karya Djelantik Santha, menyiratkan
perjuangan pengarang mengkritisi
peristiwa di sekelilingnya dalam konteks sosial budaya yang melingkupinya. Benar bahwa karya sastra tidak lahir dari kevakuman sosial budaya (Teeuw,1984 ; Faruk,1994; Nurgiyantoro, 1995; Ratna,2003). Dengan demikian, Djelantik Santha telah berjuang melahirkan karya sastra dari, oleh, dan untuk masyarakat. Pesan spiritual dalam karya Djelantik Santha, berbeda dengan pesan spiritual dalam karya I Nyoman Manda. Spiritualitas cerpen ―Guru Made‖ karya I Nyoman Manda ditampilkan melalui mulat sarira (introspeksi diri) sebagai guru dengan gaji
280
tidak seberapa. “Berat rasane dadi guru. Konden buin ane macem-macem. Nanging anak suba kewajiban. Suba kadung belus dadi guru. Guru tuah toh hidupe.” Artinya, “Berat rasanya menjadi guru. Belum lagi ada anak yang macam-macam. Namun, ini sudah kewajiban. Telanjur basah menjadi guru. Guru sudah jadi taruhan hidup‖ (Manda, 1995: 3). Perjuangan menyelamatkan pendidikan anak-anaknya, membuat Guru Made Warsa bersama istri selalu berdoa sambil terus berusaha bekerja keras. “Dumadak ja Ida Sang Hyang Parama Kawi sweca ngicen ragane jalan apang nemuang rahayu di mani puane.” Artinya, ―Semoga Tuhan memberikan jalan menemukan keselamatan kelak‖. Kekuatan doa diiringi oleh kerja keras memberikan berkah bagi keluarga Guru Made Warsa. Hal itu ditunjukkan oleh anak pertamanya, yakni I Wayan Teguh yang seorang Sarjana Pertanian dengan membuat lapangan kerja. Berwiraswasta dengan mengontrak tanah seluas 50 are menanam jahe gajah. “Nah, yen suba keto keneh Wayane bapa jeg demen tur nunas sicaang apang Wayan nepukin jalan bakal ngelanturang hidupe.” Artinya : “Nah, kalau sudah begitu pikiran Wayan, Bapak senang seraya mendoakan semoga menemukan jalan untuk melanjutkan hidup. Made Warsa adalah guru yang selalu syukur, bekerja keras, di jalan yang lurus. Tidak pernah berpikir jalan pintas untuk menghalalkan segala cara demi pendidikan anak-anaknya. Dari pola pendidikan tersebut, anak-anak Guru Made Warsa tidak ada yang melenceng dari cita-cita dan harapan orangtua. Pada saat liburan, anak-anak ikhlas membantu orangtuanya. Hal ini adalah hasil dari pengabdiannya yang tulus Guru Made Warsa.
281
Jika spiritualitas dalam karya I Nyoman Manda ditampilkan dengan mulat sarira melalui tokoh guru Made Warsa, maka spiritualitas dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik diwujudkan dengan melakukan tirtayatra Gungde Ambara dan Luh Tri Prayatni pada saat Banyupinaruh. Tirtayatra dilakukan ke sejumlah pura (Tirta Empul Tampak Siring, Tirta Gangga, Danu Batur, dan Besakih) bertujuan menyucikan diri. Kegiatan tirtayatra ke sejumlah tempat suci itu adalah upaya mengembangkan nilai spiritual dan intelektual dengan berserah diri di hadapan tempat pemujaan yang diagungkan. Mantra dan Agastia (1995:22-23) menyebutkan nilai spiritual meliputi nilai keindahan, kasih sayang, kebenaran, dan keadilan. Nilai intelektual meliputi kejernihan berpikir, kepandaian, keyakinan akan kekuatan sendiri, nilai biologis (kesehatan, vitalitas fisik). Secara keseluruhan upaya mengembangkan kedua nilai itu melalui perjalanan suci ke tempat-tempat suci adalah usaha mengaplikasikan hominisasi dan humanisasi dalam pendidikan (Tilaar, 2000: 189).
7.4 Mengantisipasi Perubahan Sejarah telah mencatat bahwa pendidikan tidak terlepas dari perubahan kehidupan politik, ekonomi, hukum, dan kebudayaan (Tilaar, 2000: 2). Dalam arti sempit,
pendidikan
disimplifikasikan
dengan
dunia
perguruan.
Perguruan
disederhanakan menjadi sekolah dan sekolah diringkaskan menjadi hubungan guru dengan murid. Namun, tugas guru tidak dapat dilepaskan dari 4 kompetensi yang wajib dimiliki, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial (UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen).
282
Sebelum Indonesia merdeka, pada dekade 1920-1930-an, dunia pendidikan di Bali sesungguhnya telah mengantisipasi kemerdekaan dengan pengiriman sejumlah pemuda dan pemudi untuk belajar ke Jawa. Darma Putra (2007:17) menyebutkan pengiririman wanita Bali untuk belajar ke Jawa pada saat itu didukung oleh kaum laki-laki yang
berprofesi sebagai
Mlantjaran ka Sasak
guru. Keadaan ini tergambar dalam novel
yang menampilkan tokoh guru Made Sarati dan Dayu Priya.
Perkenalan kedua tokoh Bali yang berbeda kasta ini berlangsung di Jawa,ketika keduanya sedang menuntut ilmu di Jawa ketika keduanya sedang menuntut ilmu. Pada saat libur kenaikan kelas, mereka sama-sama pulang ke Bali lalu bersepakat melaksanakan wisata ke Lombok seizin Ida Bagus Kumara (ayah Dayu Priya). Dari novel Mlantjaran ka Sasak, tergambar kegigihan perempuan berjuang mengantisipasi perubahan melalui dunia pendidikan dengan dukungan dari laki-laki yang berprofesi sebagai guru. Fakta ini menggugurkan pandangan Hatley (2008:176) tentang adanya kebutaan terhadap gender mencolok yang divisualisasikan melalui dikotomi laki-laki sebagai penjajah dan perempuan sebagai terjajah. Dalam novel Mlantjaran ka Sasak, stigma itu tidak berlaku karena yang diwacanakan adalah keseteraan laki-laki dengan perempuan, sebagai perjuangan emansipasi. Namun, tantangan
domestik
di dalam keluarga masih kuat dengan belenggu adat yang
mengikat, terutama dalam pilihan jodoh melalui kawin paksa dengan kasta yang sama. Tumbuhnya kesadaran wanita Bali terhadap pendidikan hampir bersamaan dengan tonggak Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 yang mengisyaratkan tumbuhnya
283
semangat nasionalisme yang menjadi cikal-bakal Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pernyataan ini sekaligus mengompirmasi bahwa pengarang SBM pada 1930-an telah berjuang melalui tulisan dengan memerdekakan tokoh-tokohnya, mewujudkan cita-cita, walaupun sulit dilakukan. Jika dalam novel Mlantjaran ka Sasak, para tokoh cerita disiapkan untuk mengantisipasi segala kemungkinan perubahan yang terjadi melalui pendidikan yang memadai, maka hal sama juga terjadi dalam novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang karya Djelantik Santha. Novel dengan kisah cinta tidak sampai ini, memosisikan seorang (calon) guru, Nyoman Santosa yang ulet berjuang menyelesaikan pendidikan guru di SGB Klungkung dan SGA Singaraja. Diposisikan sebagai tokoh yang cerdas, tekun, berbakti pada orangtua, walaupun cobaan tidak henti-hentinya menghadang, Nyoman Santosa tidak patah arang. Kesetiaannya pada dunia pendidikan, didasarkan oleh niat untuk mengubah nasib dari keluarga petani yang miskin menjadi keluarga yang dihormati. Modal pendidikan guru yang dimiliki membuatnya menjadi rujukan bagi pemuda desa merencanakan dan melaksanakan program positip bagi lingkungannya. Awal menempuh pendidikan di SGB Klungkung ditentang oleh ibunya, tetapi menjelang akhir tamat dari SGA Singaraja, ibunya sadar akan arti penting pendidikan. Nyoman Santosa sebagai (calon) guru bukan saja mengantisipasi perubahan, melainkan juga sebagai agen perubahan di desanya, yakni di Selat. Pelajaran didaktik metodik di SGB dan SGA membantunya mengembangkan diri dalam pergaulan sehingga memudahkan bagi melakukan proses sosialisasi, baik dengan teman-temannya di luar sekolah maupun di dalam sekolah.
284
Aneka keterampilan yang dimiliki menambah kemudahan bergaul dengan teman di sekolah yang berbeda sehingga dipercaya menjadi ketua koordinator perkemahan gabungan antar SGA dan SKKA Singaraja. Keterampilan P3K yang diwariskan dari ayahnya sebagai balian (dukun) pada masa hidupnya, membuat Nyoman Santosa makin disegani. Kecerdasan intelektual dan kecerdasan sosial yang dimiliki Nyoman Santosa sebagai calon guru adalah modal dasar hidup mengantisipasi perubahan. Perubahan jalan hidup yang
mengancam Nyoman Santosa baik yang berasal dari sesama
manusia maupun dari alam disikapi dengan tenang, penuh kedewasaan. Ini merupakan ciri calon guru yang matang secara intelektual dan sosial sebagai wujud optimalnya kemerdekaan kreativitas. Kemerdekaan identik dengan perkembangan bakat-bakat alamiah tanpa halangan. Pendidikan identik dengan pembudayaan yang hasilnya adalah seorang individu yang bakat-bakatnya tersalur dan berkembang sejauh-jauhnya (Kleden, 2001: 60). Antisipasi terhadap perubahan dilakukan oleh tokoh guru dalam Mlantjaran ka Sasak dan Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang melalui jalur pendidikan, tetapi dalam novel Senja di Candi Dasa
antisipasi dilakukan oleh tokoh guru
(Nengah Diarsa) dengan menyelamatkan lukisan Bisma Gugur. Kesadaran untuk menyelamatkan Bisma Gugur dilakukan oleh Nengah Diarsa merupakan bentuk kepedulian seorang guru terhadap kemungkinan terdegradasinya kebudayaan Bali akibat komersialisasi dan kapitalisasi pariwisata. Ada kekhawatiran seorang guru terhadap komplotan asing yang bekerja sama dengan masyarakat Bali (Rereh) untuk
285
mengoleksi benda-benda budaya yang bernilai estetik seperti lukisan Bisma Gugur. Oleh karena itu, sebagai guru, Nengah Diarsa memburu lukisan Bisma Gugur sampai kembali. Setelah lukisan itu kembali dari komplotan pencuri barang-barang antik, diupacarai agar taksu-nya kembali bersinar. Ritualisasi terhadap lukisan yang kembali setelah hilang beberapa lama adalah bentuk penghormatan terhadap si pelukis dan karyanya. Di samping itu, tersirat maksud memanusiakan lukisan sebagai simbol kebudayaan yang agung dan adiluhung. Dalam Senja di Candi Dasa,
Nengah Diarsa
berjuang untuk
mempertahankan profesinya sebagai guru, walaupun sempat tergoda
oleh dunia
pariwisata, Bu Rahayu dalam cerpen ―Ibu Guru Anakku‖ justru berjuang untuk mendapat pekerjaan di hotel setelah sempat menjadi guru TK. Menjadi guru TK bukanlah cita-cita Bu Rahayu, sebaliknya menjadi guru justru menjadi cita-cita Nengah Diarsa. Namun, dari segi semangat Nengah Diarsa tidak saja berjuang mencerdaskan anak bangsa di sekolah tetapi juga mencerahkan masyarakat di lingkungannya dengan mengedepankan hubungan harmonis antarwarga. Ibarat lukisan Bali yang penuh dengan goresan tetapi tetap mengedepankan keseimbangan artistik. Sementara itu, semangat Bu Rahayu berjuang untuk mewujudkan cita-citanya bekerja di hotel tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia nekat berhenti menjadi guru TK, lalu meminjam uang dari orang tua siswa demi mengobati orangtuanya yang sakit. Bahkan, demi mewujudkan cita-citanya bekerja di dunia pariwisata, ia berbohong kepada ibunya dengan mengatakan bekerja di hotel, padahal hanya menjadi guru TK dengan gaji tidak seberapa. Tidak hanya itu, ia juga nekat
286
meninggalkan Bali dan berhenti menjadi guru TK, lalu menuju Lombok dengan harapan menjadi pekerja hotel. Dari perspektif gender, Bu Rahayu telah mendobrak pola-pola penilaian yang merendahkan perempuan yang diproduksi oleh laki-laki. Ia telah ke luar dari persepsi perempuan sebagai makhluk dalam rumah sebagai dikatakan Ibrahim (2002: 372). Jelasnya, ia memperjuangkan emansipasi wanita dalam tindakan nyata, bukan dengan retorika wacana. Dari semangat juang, baik Nengah Diarsa maupun Bu Rahayu sama-sama memiliki tekad kuat untuk mewujudkan cita-citanya. Hanya saja, Nengah Diarsa dikisahkan telah berhasil mewujudkan cita-citanya, sedangkan Bu Rahayu masih menggantung. Hal ini juga memberikan petunjuk, bahwa perjuangan seorang guru tidak bersifat linier, selalu saja ada batu sandungan.
Semakin besar batu
sandungannya, kalau bisa dilewati dengan baik maka semakin besar pula hikmahnya. Dalam kaitannya dengan
nasib Bu Rahayu yang menggantung, menarik
dikaitkan dengan pandangan Kleden (2002: 491) bahwa manusia adalah makhluk yang tidak selesai dan harus berusaha menyelesaikan penyempurnaan kemampuan dan perkembangan dirinya sendiri. Manusia adalah makhluk coba-coba, yang hanya dapat dipahami dengan berbagai percobaan pula. Oleh
karena itu, manusia
hendaknya selalu meningkatkan status. Hal ini melekat pada tokoh Bu Rahayu dalam cerpen ―Ibu Guru Anakku.‖ Profesi guru adalah pilihan kebanyakan anak petani desa yang miskin dan terlantar. Hal ini tergambar dalam novel Mlantjaran ka Sasak melalui tokoh guru
287
Made Sarati, anak seorang perbekel yang beristri dua dan penjudi. Akibatnya, Made Sarati ditelantarkan. Syukurlah Made Sarati disekolahkan ke Sekolah Guru di Jawa oleh Anak Agung Punggawa. “Sampun ja telas tegal reraman titiange amah taji, sami masanda. Yening tan Anak Agung Punggawa ica ring titiang, masa titiang uning ring Bandung…?” (Srawana, 1978:74). Artinya, sudah habis tanah orangtua saya karena kalah judi sabungan ayam. Kalau tidak Anak Agung Punggawa membantu, mana mungkin saya tahu Bandung…?‖. Kutipan di atas mengonfirmasi sejumlah hal. Pertama, orangtua yang tidak harmonis baik karena kehadiran ibu tiri maupun karena judi, korbannya adalah anak yang tidak bersalah. Kedua, hadirnya Anak Agung Punggawa yang menyelamatkan Made Sarati dari persoalan keluarga adalah bentuk kepedulian pejabat sebagai orangtua asuh yang pada masa Orde Baru yang dikenal dengan Gerakan Nasional Orangtua Asuh (GNOTA). Ketiga, tersirat maksud menyadarkan Made Sarati dari dampak judi dan disharmoni orangtua dalam keluarga. Dengan memilihkan sekolah guru, Made Sarati dididik dan dibesarkan dengan cara edukatif
untuk
menyelamatkan diri dari keterpurukan dalam keluarga. Status Made Sarati sebagai guru membuatnya sadar bahkan mengkritisi orangtuanya yang salah melangkah. Bahkan, ia berhasil membelajarkan orang-orang di sekelilingnya dengan gaya penuh humor. Humor yang menertawakan diri sendiri sebagai bentuk introspeksi diri. Status sebagai guru, membuat Made Sarati menapaki tangga priyayi baru untuk memperbaiki dan meningkatkan status keluarga. Sudarminta (2001: 259) yang mengatakan hanya ada dua
profesi menjelang
288
kemerdekaan hingga awal masa kemerdekaan menuju tangga priyayi, yaitu guru dan pegawai pemerintah. Serupa dengan Made Sarati dalam Mlantjaran ka Sasak, Nyoman Santosa dalam Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang menunjukkan kepiawaiannya dalam pergaulan setelah menempuh pendidikan guru. Berasal dari keluarga petani miskin dari desa mendapat cobaan bertubi-tubi, baik karena ulah manusia maupun alam, membuatnya makin dewasa menyikapi persoalan hidup. Pengalaman pahit telah menjadi obat baginya untuk memotivasi pemuda-pemudi di Desa Selat untuk tidak menyerah dalam menghadapi hidup. Statusnya sebagai (calon) guru membuatnya percaya diri dan dipercaya oleh organisasi pemuda di Desa Selat. Sejak itu, status keluarga Men Madu terangkat karena Nyoman Santosa mampu menjadi cahaya keluarga. Nyoman Santosa berhasil menjadi cahaya keluarga setelah secara tekun dan tidak menyerah kepada rintangan. Sudharta (1989:88-89) menyitir Slokantara 24 (52), Niti Sastra IV.1 menyebutkan, “Sarwaridikascandrah prabathate rawidipakah, trailokye dipako dharmah suputerah kuladipakah”. Artinya, bulan itu lampu malam, surya itu lampu dunia di siang hari, dharma itu lampu ketiga dunia ini, dan putera yang baik itu cahaya keluarga. Nyoman Santosa dalam Tresnane LeburAjur Satonden Kembang selain membahagiakan ibunya yang masih hidup juga membahagiakan ayahnya yang sudah meninggal. Nyoman Santosa berhasil meningkatkan status menjadi pemimpin karena menjadi rujukan bagi pemuda desa dan teman-teman di tempat kost.
289
Berbeda dengan SBM, SIM dalam penelitian ini justru meningkatkan status perajin janur berkat pencerahan dari guru. Perajin janur asal Tabanan yang diperdaya oleh pengusaha dari Jakarta diprotes oleh Pak Guru.
―Melihat kehidupan yang
sebenarnya, jangan mau ditipu,‖ kata Pak Guru berapi-api. Perjuangan guru bermakna ganda. Pertama, protes seorang guru bagian dari upaya meluruskan jalan semakin besar. Pengusaha
adalah
kehidupan yang menyebabkan kesenjangan
telah melakukan penipuan secara masif
yang
membutakan mata dan hati sehingga berdampak disharmoni. Kedua, begitu tingginya perhatian guru terhadap perajin janur agar pengusaha dari Jakarta tidak sewenangwenang mengomersialkan seni merangkai janur . Hal itu untuk memproteksi agar seni warisan turun-temurun ini mendapat apresiasi secara proporsional bagi pengusaha dari Jakarta. Ketiga, memperbaiki nasib hidup perajin janur
sekaligus
menyadarkannya untuk selalu berhati-hati berkongsi dengan pengusaha dari Jakarta sebelum dikenali wataknya. Pada bagian lain, tokoh guru pun semakin besar membantu perajin janur itu berjuang melakukan perlawanan terhadap pengusaha dari Jakarta. “Pasang tarif. Tuntut honorium yang pantas. Ini bisnis. Jangan mau dipakai dengan gratis. Uang berjuta-juta masuk ke kantongnya, ibu sendiri tidak dapat apa-apa. Malahan terpaksa jual kalung untuk membelikan oleholeh cucu. Daripada membuat orang lain kaya,lebih baik tidak usah melihat luar negeri. Tolak saja,” kata guru itu sambil membukakan surat anaknya (Wijaya, 1992:47).
Kutipan di atas menyiratkan pengusaha dari Jakarta memanfaatkan keluguan seorang ibu perajin janur asal Tabanan. Seorang guru yang telah lama tinggal di
290
Jakarta hadir berjuang mencerahkan. Relasi pengusaha dari Jakarta dengan perajin janur dapat diandaikan relasi patron dengan klien atau relasi penguasa dengan rakyat dalam politik. Sementara itu, guru adalah katalisator di antara keduanya. Sebagai katalisator, guru menjadi penengah yang cenderung berpihak kepada yang tertindas. Dengan pemahaman itu, telah terjadi pertentangan kelas yang dalam realita hidup bermasyarakat menimbulkan kesenjangan, yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin dan tertindas. ―Uang berjuta-juta masuk ke kantongnya, ibu sendiri tidak dapat apa-apa‖. Budi Darma (2007:1940) menyebutkan pandangan di atas senada dengan novel alegori karya George Orwell dalam karya Animal Farm (Negeri Para Binatang, 1945). Dalam alegori ini tampak, kelas atas cenderung menginjak-injak kelas bawah, kelas bawah berusaha mendongkel kelas atas, maka kelas atas baru berusaha menginjak-injak kelas bawah. Dalam ―Guru 2‖, pengusaha dari Jakarta adalah kelas atas, sedangkan perajin janur adalah kelas bawah yang berkoalisi dengan guru sebagai representasi intelektual untuk menghentikan penindasan. Sastra telah memainkan peran kritik secara tidak langsung. Budi Darma (2007: 190) menyebutkan kritik tidak perlu langsung karena sastra memang tidak langsung ―tunjuk hidung‖. Seperti halnya, cerpen ―Guru 2‖ ini merupakan wujud kritik ketimpangan yang dialami oleh Bali sebagai daerah pariwisata budaya yang memiliki aneka kekayaan artistik, termasuk seni merangkai janur. Ketimpangan itu merupakan potret zaman, yang menurut Budi Darma (2007: 198) disebut sebagai kias zaman. Dengan demikian, cerpen ini mau tidak mau merupakan pencerminan
291
gejala sosial dan karena itu penghayatan terhadapnya tanpa penghayatan gejala sosial adalah sia-sia. Jika cerpen ―Guru (2)‖ karya Putu Wijaya menempatkan tokoh guru sebagai katalisator untuk meningkatkan dan memartabatkan status perajin janur, maka dalam novel Tiba-Tiba Malam, Putu Wijaya memosisikan profesi guru (Sunatha) sebagai jalan meningkatkan statusnya. Hal ini senada dengan pandangan Sastrodarsono dalam novel Para Priyayi-nya Umar Kayam.
Menurut Fahrizal (2001: 2), Kayam
mendefinisikan priyayi sebagai orang Jawa yang berhasil duduk dalam suatu jenjang pemerintahan, tidak peduli apakah pemerintahan itu gupermen atau kerajaan Jawa. Pada galibnya, bagi wong cilik, di balik sebutan priyayi itu ada sejumlah obsesi dan ambisi, di samping sebuah kata kunci : pencapaian. Dengan mengantongi SK pengangkatan sebagai guru di Kupang, Sunatha telah membayangkan statusnya mulai meningkat sebagai priyayi. Peningkatan status ini menunjukkan tingkat pencapaian sehingga
meninggalkan profesi orangtua
sebagai petani lalu menjadi guru. Dari mencangkul tanah di ladang menanam benih pertanian, menjadi menanam di karang awak (karang awake tandurin) sebagaimana dipopulerkan oleh Ida Pedanda Made Sidemen dalam Selampah Laku (perjalanan religious). Bayangan untuk menjadi priyayi melalui jalur guru bagi Sunatha telah menjadi kenyataan dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya. Bayangan demikian juga menjadi obsesi Santosa dalam novel Tresnane Lebur Ajur Satonden
292
Kembang dan Iwan dalam cerpen ―Gamia Gamana‖ karya Djelantik Santha. Profesi guru menjadi anak tangga untuk memasuki dunia priyayi.
293
288
288
BAB VIII MAKNA REPRESENTASI CITRA GURU DALAM SASTRA PENGARANG BALI
Di dalam bab ini dibahas makna representasi citra guru dalam karya pengarang Bali. Pembahasan terhadap representasi citra guru ini menggunakan teori representasi yang dikembangkan oleh Eriyanto. Dalam pandangan Eriyanto (2001 :113), karya sastra sebagai teks dipandang sebagai sarana sekaligus media melalui mana satu kelompok mengunggulkan diri sendiri dan memarjinalkan kelompok lain. Berdasarkan teori representasi, hasil pembacaan secara intens dan penafsiran terhadap kualitas diri guru melalui kata dan tindakannya, ditemukan empat makna representasi citra guru dalam karya pengarang Bali, yaitu makna edukatif, makna sosial, makna rekreatif (pelipur lara), dan makna dinamis (perubahan).
8.1 Makna Edukatif Profesi sebagai guru memiliki tiga tugas sekaligus, yakni sebagai pendidik (edukator), pembina, dan pelatih. Ketiga tugas ini merupakan satu-kesatuan dalam konteks pembelajaran di sekolah. Tokoh guru yang dikisahkan dalam novel dan cerpen baik dalam SIM maupun SBM tidak dalam konteks pembelajaran di kelas, tetapi pemaknaan perilaku tokoh guru lebih berbasis pada konteks sosial kemasyarakatan.
Berlaku dalil Ki Priyo dari Taman Siswa Yogyakarta, yaitu
―Semua tempat adalah sekolah, dan semua orang adalah guru‖. Bahkan, alam semesta
293
294
beserta isinya bukan hanya sekolah, melainkan sekaligus merupakan guru (Setiawan, 2008:108).
Hal ini selaras dengan kompetensi sosial guru (formal) yang
mengisyaratkan hubungan harmonis, mencerdaskan, dan mencerahkan lingkungan. Tokoh guru yang meletakkan dasar-dasar edukatif yang tercermin dari sikap, tindakan, dan pikiran Made Sarati dalam Mlantjaran ka Sasak; Nyoman Santosa dalam Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang; Bu Wartini dan Pak Sukata dalam Manah Bunagh Lenyah di Toyobungkah; Gungde Ambara dan Luh Tri Prayatni dalam Bukit Buung Bukit Mentik; Guru Made Warsa dalam cerpen ―Guru Made‖; Taksu dalam cerpen ―Guru‖; dan Sunatha dalam Tiba-Tiba Malam. Tokoh-tokoh guru dalam karya pengarang Bali adalah sosok yang berkarakter dengan memegang teguh prinsip -prinsip didaktik metodik. Mereka adalah sosok guru yang tidak mudah menyerah dan tidak suka menerabas. Mereka berusaha berada di rel yang benar sebagaimana guru diakronimkan sebagai ―digugu dan ditiru‖. Tokoh-tokoh guru dalam cerpen dan novel di atas mengaktualisasikan ajaran Ki Hajar Dewantara yang terkenal, yaitu : Ing Ngarso Sung tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Guru berada di depan memberikan contoh (teladan) kepada murid-muridnya, guru berada di tengah-tengah murid mampu menuangkan gagasan dan memberikan motivasi demi kemajuan, sedangkan guru di belakang mengikuti murid dan memberikan
dukungan dengan penuh wibawa
(Dewantara, 2004: 59; Raharjo, 2010: 61). Sebagai guru yang ―digugu dan ditiru‖, Made Sarati dalam novel Mlantjaran ka Sasak
mendapat kepercayaan dari ayah Dayu Priya (Ida Bagus Kumara)
295
mengantar Dayu Priya dan Luh Sari ke Sasak. Sebagai guru, Made Sarati mengaplikasikan metodik didaktik sebagai pemandu perjalanan ke Lombok termasuk mengusahakan tempat menginap dan menghibur selama di perjalanan dan di penginapan. Keberhasilan Made Sarati memandu rombongan yang berwisata ke Lombok berkat keteguhannya memegang prinsip, satunya kata dengan perbuatan. Walaupun menjelang akhir kisah benih-benih kesalahpahaman antara Made Sarati dan Dayu Priya terjadi.
Keduanyany pada akhirnya saling memahami kuatnya adat yang
mengikat. Dalam perspektif pasacakolonial, ikatan adat yang kuat dalam konteks kasta
merupakan sindirian terhadap kolonialisme Belanda yang berkuasa di
Indonesia. Dengan tafsiran seperti itu, Mlantjaran ka Sasak adalah respon sekaligus reaksi terhadap penolakan pemerintahan Belanda yang berkuasa di Indonesia. Tafsiran terhadap gaya pengisahan Gde Srawana setara dengan gaya Ki Hajar Dewantara yang menyindir Belanda
dalam
merayakan 100 tahun
kemerdekaan di tanah jajahannya, yakni Hindia Belanda. Dalam tulisannya berjudul, ―Als iks Eens Nederlander Was‖ (Seandainya Aku Seorang Belanda) dimuat De Express (1913). Melalui artikel itu, Ki Hajar Dewantara menolak cara-cara kolonial Belanda menyengsarakan rakyat di tanah jajahannya. Belanda, menurut Ki Hajar Dewantara ibaratnya melakukan pesta pora peringatan kemerdekaan di tengah penderitaan bangsa yang dijajahnya. Hal ini mirip dengan kisah Dayu Priya yang maju pendidikannya, tetapi tidak mampu melawan adat yang membelenggu. Mirip dengan belenggu penjajahan, yang
296
mengontrol dan menguasai pihak terjajah. Dayu Priya tidak ubahnya pihak terjajah, sedangkan orang tua adalah penjajah yang membawa cara pikir dan tindakan gaya lama. Sesungguhnya, Dayu Priya menyindir kekuasaan orangtua (menak) yang mau menang sendiri. Yang ngasen dewek luh, apa ajin anake luh di Bali, Oo De. Sapalan Yang dadi jelma lacur di paundukan. Nasi ada gamgam, pipis ada gamgam,paundukane nyitsit ati. Papusuh Yang setata buka empos De. De Yang ukuh sing nyak, tawang De! Ukana Yang macebur uli kapale, ugase ajak Made apa… (Srawana, 1978: 109-110). Terjemahannya : Saya merasa sebagai perempuan, tanpa harga jadi perempuan Bali, Oo De. Sekalian, saya jadi manusia lacur dalam adat yang kolot. Nasi banyak, uang juga, adat mengiris hati. Jantung saya nyaris copot, De. Saya maunya menolak, De! Rencananya saya menceburkan diri ke laut dari kapal, kala dengan Made…. Sebagai perempuan berpikiran maju, Dayu Priya merasa tidak ada gunanya berpendidikan modern, bersekolah sampai ke Jawa tetapi tetap terbelenggu oleh adat yang kolot. Dengan kalimat lain, tidak merdeka menentukan pilihan hidup. Menghadapi kesedihan Dayu Priya seperti terjajah, Made Sarati sebagai guru berhasil menghibur ketika tamasya ke Lombok bersama
Luh Sari. Guru
direpresentasikan sebagai sosok yang bijaksana dan mencerdaskan sehingga berhasil mencairkan suasana dalam ketegangan. Dalam suasana kalut, Made Sarati berhasil menghibur Dayu Priya dengan cara mengalihkan perhatian sebagaimana biasa dilakukan guru dalam kelas. Sebeng I Madene getar. Lega manahnya saantukan sida antuknya ipun nglipurang wiadin nyapuh kaduhkitanida antuk tutur … ajahan…! ―Sangkal kenyem, De. Seneng, oo De?‖
297
―Seneeeeng, biiiih, mluab seneng titiange, Tu. Tanjain? Niki Tu, numbas seneng. Kanti ngadepin I Made Sarati seneng!‖ (Srawana, 1978: 111). Terjemahannya : Wajah I Made berbinar. Senang hatinya karena berhasil menghibur atau mengobati hati Dayu Priya dengan tutur … ajaran …! ―Mengapa tersenyum, De. Senang, oo De?‖ ―Senaaaaaang, biiiiih, senang sekali saya, Tu. Senangnya mau dijual? Ini Tu, belilah senang. Sampai menjual I Made Sarati rasa senang!‖
Jika Made Sarati berhasil menghibur Dayu Priya dalam kesedihan, maka Nyoman Santosa dalam Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang menggunakan metodik didaktik dalam kegiatan perkemahan gabungan antara siswa SGA dan SMEA Singaraja. Dalam kegiatan itu, ia juga menggunakan keterampilan menangani keadaan darurat dalam kecelakaan ringan. Keterampilan P3K menjadi penting yang tidak dia dapatkan melalui silabus pembelajaran di kelas, tetapi berguna bagi kehidupan. Sebagai siswa SGA, ia dipercaya menjadi ketua perkemahan. Nyoman Santosa bukan saja menggunakan metodik didaktik sebagaimana layaknya guru, melainkan juga mengaplikasikan teori kepemimpinan dalam ranah perkemahan. Di dalamnya nilai-nilai edukatif tentu tidak akan terhindarkan. Nilai edukatif Kembang
yang diterapkan dalam Tresnane Lebur Ajur Satonden
oleh Nyoman Santosa mirip dengan model yang diterapkan Bu Wartini
dan Pak Sukata dalam Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah karya Nyoman Manda. Bahkan, dalam novel ini Pak Sukata dan Bu Wartini, didaktik metodik dominan
diterapkan dalam rangkaian perkemahan di Toyobungkah selain
298
berinteraksi dengan masyarakat dalam konteks penyadaran lingkungan hidup melalui kegiatan penghijauan yang melibatkan para pemuda desa. Praktik-praktik edukatif selama perkemahan dengan kisah percintaan juga digunakan oleh Pak Sukata dan Bu Wartini dalam membina anak-anak SMU Sukawati. Hal yang sama juga dilakukan pada saat menangani anak-anak nakal. Pendidikan karakter ditanamkan melalui apresiasi sastra oleh Bu Wartini. Sinergi Kepala Sekolah, guru BK, Bu Wartini, dan Pak Sukata merepresentasikan perlunya soliditas guru di sekolah dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan. Dalam cerpen ―Guru Made‖, Nyoman Manda mengeksplorasi nilai edukatif dengan memberikan penekanan pada rasa empati terhadap dua murid yang kurang mampu, yakni Ni Mundel dan I Kanta. Melalui Guru Made Warsa, pengarang mengintrogasi dua anak ini yang sudah tiga bulan tidak membayar SPP. Pengalaman Guru Made Warsa menasihati I Kanta dan Ni Mundel ternyata juga menimpa Guru Made sebagai guru, karena anaknya kedua yang kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana juga susah membayar SPP, sewa rumah, dan biaya bulanan. Walaupun Guru Made telah mengintrogasi I Kanta dan Ni Mundel, itu semata-mata karena tugasnya sebagai wali kelas. Dalam hatinya, ia kasihan kepada I Kanta dan Ni Mundel, seraya introspeksi diri. “… lamun jatine, pedalema I Kanta jak Ni Mundel, karana ulih maburuh negen/ngajang paras ia masuk SMA.‖ Dalam sejarah perjuangan bangsa dalam meraih kemerdekaan, pernyataan introspektif Guru Made Warsa dalam menangani anak-anak kurang mampu tetapi bersikeras melanjutkan pendidikan, telah dirasakan pula oleh Ki Hajar Dewantara.
299
Dalam tulisannya di Koran De Express, 28 Juli 1913 berjudul ―Een voor Allen, Allen voor een‖ (Satu untuk Semua, Semua untuk Satu).
Ki Hajar (1980: 41-42)
menyatakan sebagai berikut. … sekali-sekali menyatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan isi hatinya, sekalipun di antara mereka ada juga tidak berbuat demikian. Tetapi yang bersikap dan berlaku begitu ialah orang-orang yang terpaksa berbuat demikian, atau juga orang-orang yang diberi kedudukan dan kekuasaan istimewa …. Jika dalam Manah Bungah
Lenyah di Toyobungkah, Nyoman Manda
mengeksplorasi nilai-nilai edukatif melalui tokoh guru dalam konteks guru dan murid dalam suasana perkemahan, maka nilai edukatif dalam cerpen ―Guru Made‖ lebih ditekankan pada upaya replektif dan introspektif seorang guru. Dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik karya Agung Wiyat S. Ardhi, penanaman nilai-nilai edukatif dilakukan oleh Gungde Ambara dan Luh Tri Prayatni dalam konteks membina dan mengembangkan budaya Bali baik melalui pendidikan di sekolah maupun melalui kehadiran tokoh guru dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Dalam konteks pendidikan di sekolah, nilai-nilai edukatif dalam rangka pembentukan karakter dielaborasi oleh Luh Tri Prayatni melalui pembinaan siswa secara intensif melalui pembelajaran tembang. Sebagai guru yang menguasai kesenian Bali (tari Bali, wirama) tidak kesulitan bagi Luh Tri Prayatni menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter kepada murid-muridnya. Bahkan, berkat didikannya, murid-murid yang nakal dapat disadarkan berubah ke arah yang lebih baik. Bukan sekadar berubah ke arah yang lebih baik, melainkan juga mampu berprestasi sampai tingkat provinsi. Hal ini merupakan pencapaian dari seorang guru.
300
Dalam konteks sosial kemasyarakatan, nilai-nilai edukatif diaplikasikan oleh Gungde Ambara dalam hidup bermasyarakat sebagai krama (warga) desa di wilayah Desa Selat. Sebagai guru, Gungde Ambara tidak menggurui masyarakat dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter. Ia melarutkan diri dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan adat. Melalui contoh hidup bermasyarakat, Gungde Ambara menjadi guru bagi masyarakat. Ia tidak menjadi guru hanya sebatas di sekolah, tetapi melampau batas teritorial sekolah. Ketika Gungde Ambara diundang ke Penyabangan Buleleng dalam rangka resepsi perkawinan I Gusti Ngurah Jelantik (Bali) dengan Firda Kim Hutabarat (Sumatera Utara), kesempatan memberikan petuah dimanfaatkan untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan etika sebagai suami istri. Pernyataan yang bernilai sastra dengan analogi yang memikat memberikan sentuhan yang kuat sebagai bekal bagi pasangan pengantin baru. Tidak hanya menyentuh bagi pasangan pengantin baru yang berbahagia, tetapi juga bagi undangan yang menghadiri upacara resepsi perkawinan. Penanaman nilai-nilai edukatif dalam novel Tiba-Tiba Malam dilakukan oleh Sunatha yang bertugas di Kupang. Walaupun ia dituduh menggunakan gunaguna dalam meraih cintanya, ia tetap bergeming. Sunatha tidak menggunakan kekerasan. Begitu pula ketika keluarganya dikucilkan, ia justru dengan rendah hati minta maaf dan hasilnya ia diterima kembali sebagai warga desa dengan cara baikbaik. Sebagai guru yang ditugaskan di Kupang, Sunatha menempatkan panggilan tugas Negara di atas segala-galanya. Selain merepresentasikan semangat dan jiwa nasionalisme, ia juga menempatkan diri sebagai pendidik yang memahami perbedaan
301
adat dan tradisi seperti benang untuk menenun persatuan dan kesatuan bangsa sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Taksu dalam cerpen ―Guru‖ juga dilukiskan oleh Putu Wijaya sebagai tokoh guru yang kuat memegang prinsip berlandaskan nilai-nilai edukatif. Bukan uang dan godaan kemewahan yang diburu Taksu, melainkan nilai-nilai kehidupan yang humanis. Godaan bertubi-tubi tentang kemewahan yang ditawarkan oleh bapaknya ditentang oleh Taksu. Ia membuktikan perjuangannya dan berhasil menjadi guru yang mampu mempekerjakan lebih dari 1000 karyawan. Guru bagi Taksu harus melampaui ruang kelas sekolah.
8.2 Makna Sosial Makna sosial dalam perilaku tokoh guru dalam karya pengarang Bali berkaitan dengan kompetensi sosial yang seharusnya dimiliki oleh guru, selain kompetensi kepribadian, pedagogik, dan profesional. Darmaningtyas (2004: 94-95) mengibaratkan guru sebagai dokumen yang kekal. Para guru Indonesia tidak pernah lepas dari problem sosial yang sangat kompleks dan berdampak pada pelaksanaan tugas mengajar karena menyangkut aspek ekonomis, psikologis,kultural,dan struktural. Semua itu berpengaruh terhadap makin merosotnya profesionalitas dan kewibawaan seorang guru. Makna sosial dalam karya pengarang Bali ditemukan dalam novel Mlantjaran ka Sasak, Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang, Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah, dan Bukit Buung Bukit Mentik. Dalam Mlantjaran ka Sasak, makna
302
sosial tersirat dari hubungan Made Sarati dengan Guru Ketut Gunawan ketika berwisata ke Lombok. Made Sarati rencananya memanfaatkan pertemanan yang akrab dengan Guru Ketut Gunawan sebagai tempat madunungan (menginap). Walaupun pada akhirnya mereka menginap di Pasanggrahan Suranadi karena Guru Ketut Gunawan tugas ke luar sebagai Kepala Sekolah, pesan untuk kembali tetap disampaikan sebagai bukti bahwa hubungan mereka baik. Pada bagian lain, pertolongan yang dilakukan oleh Made Sarati terhadap Dayu Priya ketika kecelakaan pada saat menempuh pendidikan di Jawa juga menyiratkan bahwa Made Sarati suka menolong. Sikap sosialitasnya ditunjukkan dengan kesungguhan perhatian sehingga Made Sarati dipercaya oleh Ida Bagus Kumara mengantarkan Dayu Priya berlibur ke Lombok. Kepercayaan itu diberikan karena Made Sarati dinilai tidak akan melakukan hal-hal di luar kepatutan sebagai wujud kepercayaan masyarakat kepada guru. Kesetiaan Made Sarati terhadap Dayu Priya dan Luh Sari dalam Mlantjaran ka Sasak, adalah sikap sosial atas dasar tulus ikhlas. Ketulusan itu tampak dari kebersamaan mereka selama berlibur ke Lombok dengan tetap memegang etika hubungan jaba-menak. Walaupun selama di Lombok
terjadi kesalahpahaman,
akhirnya mereka sadar untuk kembali ke jalan yang digariskan adat dan tradisi. Kecerdasan sosial juga tergambar dalam karya Djelantik Santha melalui novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang. Sosialitas Nyoman Santosa sebagai guru sudah tampak pada saat masuk SGB di Klungkung. Latar belakang sebagai anak yatim dan tidak mampu, ditambah dengan bakat, minat, dan pilihan sekolah yang
303
tepat berkontribusi dalam membentuk sikap sosial Nyoman Santosa. Bermodalkan niat dan semangat membara, ia melanjutkan studi di SGA atas nasihat Kepala SGB Klungkung. Di tempat kostnya di Singaraja, ia adalah sosok yang ringan tangan merawat kebun anggur milik majikan. Hasilnya diserahkan kepada Santosa untuk dimanfaatkan.
Santosa menjadi sosok
yang dapat mengambil hati tuan rumah,
sehingga muncul rasa empati tuan rumah kepadanya. Terjadi hubungan simbiosis mutualisme Santosa dengan tuan rumah Makna sosial juga ditunjukkan oleh Santosa pada saat berekreasi ke pantai bersama temannya di tempat kost. Dikisahkan salah satu temannya hampir tergulung ombak, Santosalah yang menjadi penyelamat. Santosa sebagai penolong menjadi lengkap terlebih lagi kemampuannya di bidang pengobatan (usadha) yang memadai. Kemampuan usadha ini diwariskan dari orangtuanya yang menjadi tabib tradisional yang berkeliling kampung mengobati orang sakit. Jadi, kemampuan di bidang pengobatan tradisional menjadi pengokoh bagi Santosa sebagai guru yang dapat memelihara hubungan kekeluargaan sesuai dengan konsep manyama braya. Keterampilan hidup (life skill) yang memadai dari Santosa, bukan saja berguna bagi diri dan lingkungan sekolahnya
saja, melainkan juga diakui oleh
sekolah lain pada saat melakukan perkemahan gabungan dengan anak-anak SMEA Singaraja.
Ia diterima oleh teman-teman dari dua sekolah yang berbeda untuk
menjadi ketua rombongan karena dinilai memiliki kemampuan kepemimpinan yang memadai. Selain itu, hubungan sosial dengan teman-teman berbeda sekolah sudah terjalin sebelum perkemahan dilangsungkan. Jadi, Santosa memiliki modal sosial
304
yang kuat dengan sentuhan metodik didaktik yang memadai dan dimanfaatkan untuk menyukseskan perkemahan gabungan siswa SGA dan SMEA. Kecerdasan sosial
dalam novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah
karya I Nyoman Manda tergambar dari hubungan Pak Sukata dan Bu Wartini. Anakanak mereka berbaur dengan masyarakat setempat sebagai pengejawantahan sikap Tutwuri Handayani dalam perkemahan. Hubungan sosial tanpa sekat guru, siswa, pemuka masyarakat, dan warga kuat terasa pada saat program penghijauan serangkaian perkemahan SMU Sukawati di Toyobungkah. Makna sosial lain dalam
Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah juga
tampak dalam kegiatan suka duka ketika warga sekolah mempunyai hajatan. Saat Sena diinformasikan meninggal karena tabrakan oleh ayahnya ke sekolah, Kepala sekolah meneruskan informasi itu kepada Wakasek Kesiswaan dan Humas. Tujuannya untuk mengajak semua anak dan warga sekolah melayat ke rumah Sena. Disubane nak tua ento magedi lantas Bapak Kepala Sekolah nyambatan kasungkawane ene teken stafne maka pamucuk Wakasek Kesiswaan miwah Humas. Apang murid-muride makejang kema. Paplajahan tuah nganti jam kaping lima dogen. Cara biasane sumbangan duka apang enggal dudukina di samping sumbangan uli sekolah miwah OSIS (Manda, 2002: 83). Terjemahannya : Setelah orangtua itu pergi, Bapak Kepala Sekolah menyampaikan belansungkawa itu kepada staffnya, terutama Wakasek Kesiswaan dan Humas. Agar murid semua ke sana. Pelajaran hanya berlangsung sampai jam kelima. Seperti biasa, dompet duka dibuka kepada warga sekolah di samping sumbangan dari sekolah dan OSIS.
305
Kutipan di atas menyiratkan dua makna sosial. Pertama, Kepala Sekolah berada di garda terdepan dalam proses transformasi sosial budaya yang dikembangkan oleh guru di sekolah untuk menyiapkan siswa menjadi masyarakat yang tidak luput dari kegiatan suka duka. Kedua, pihak sekolah tidak bersifat diskriminasi terhadap warganya. Walaupun Sena dalam keseharian di sekolah terkenal nakal, sering membuat onar dan bolos, pihak sekolah tidak sampai memvonisnya
dengan
hukum
kasepekang
(pengucilan sosial)
sebagaimana
masyarakat Bali sering memberlakukan warganya (krama). Hal ini juga mengindikasikan warga sekolah memaafkan kesalahan Sena selama menjadi siswa di SMU Sukawati. Andaikan pemahaman ini dapat diterapkan dalam masyarakat tentu tidak akan ada
konflik akibat masyarakat yang meninggal sebagaimana sering
diberitakan di media massa. Agung Wiyat S Ardhi, dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik menampilkan makna sosial melalui tokoh Gungde Ambara (SLTPN Selat) dan Luh Tri Prayatni (SD Bukit Mentik). Gungde Ambara yang lama merantau di Yogyakarta tidak tercerabut dari akar budaya Bali. Di Selat, ia memperkuat diri dengan memperkokoh budaya Bali dengan
belajar keterampilan budaya Bali, termasuk mawirama. Ia
belajar dari tokoh desa setempat sekaligus untuk merekatkan jalinan sosial kemasyarakatan. Belajar budaya Bali menjadikan Gungde Ambara menyelam dalam kearifan lokal yang berguna untuk mempertegas jati diri sebagai individu sekaligus makhluk sosial. Begitu juga bagi Luh Tri Prayatni yang dikisahkan piawai dalam bidang budaya Bali, terutama menari dan mewirama. Kompetensi di bidang budaya
306
Bali membuat Luh Tri Prayatni dapat bertemu dengan orang-orang yang memiliki hobi budaya Bali. Hal ini memberikan peluang kepadanya memperluas hubungan sosial kemasyarakatan. Makna sosial juga tersirat melalui hubungan Gungde Ambara dengan Gusti Ngurah Jelantik, temannya ketika masih kuliah di Jawa. Walaupun mereka bertugas di tempat yang berjauhan, hubungan sosialnya tetap terjalin. Ketika Gusti Ngurah Jelantik melaksanakan resepsi perkawinan dengan Firda Kim Hutabarat, Gungde Ambara pun diundang ke Penyabangan Buleleng. Bahkan, Gungde Ambara didaulat memberikan darmawacana di hadapan undangan, baik dari pihak purusa (keluarga mempelai laki-laki) maupun pihak pradana (keluarga mempelai perempuan). Hubungan kekeluargaan dalam konteks manyama braya antarsuku dikuatkan. Hubungan sosial juga telah terbangun antara Luh Tri Prayatni dengan Gusti Ngurah Jelantik melalui perkenalan ketika mereka sama-sama mengantar siswa ke GWK dalam lomba Utsawa Dharma Gita tingkat Provinsi Bali. Perkenalan mereka didahului oleh cerita Wayan Wiryawan yang bersekolah di SLTPN Buleleng. Wayan Wiryawan sering menceritakan Luh Tri Prayatni di hadapan guru dan temannya di SLTPN Buleleng tentang sosok gurunya yang pandai menari dan mewirama. Bahkan, Wayan Wiryawan merupakan didikan Luh Tri Prayatni ketika menjadi siswa di SD Bukit Mentik. Atas referensi itulah, Gusti Ngurah Jelantik ingin berkenalan dengan Luh Tri Prayatni, guru SD Bukit Mentik yang sebelumnya baru dikenal namanya saja. “Wruh ring aran, tan wruh ring rupa” (tahu nama tetapi tidak tahu rupa). Perkenalan mereka berlanjut ketika Gusti Ngurah Jelantik mengadakan resepsi
307
perkawinan dengan Firda Kim Hubabarat. Saat itu, Luh Tri Prayatni datang bersamasama dengan Gungde Ambara. Jadi, hubungan sosial Luh Tri Prayatni makin luas berkat kemampuannya mewirama dan menari. Jika dalam Bukit Buung Bukit Mentik Agung Wiyat S Ardhi mempertegas makna sosial melalui kepedulian tokoh
guru terhadap budaya Bali khususnya
mawirama dan menari, maka dalam Senja di Candi Dasa perburuan lukisan Bisma Gugur yang hilang tidak melibatkan polisi. Perburuan lukisan Bisma Gugur yang hilang dilacak melalui hubungan pertemanan Nengah Diarsa yang berprofesi sebagai guru dengan seorang polisi, Letnan Nyoman Naja. Perburuan melibatkan polisi, tetapi tidak
melalui laporan formal. Nengah Diarsa memanfaatkan hubungan
pertemanan untuk melacak keberadaan lukisan Bisma Gugur. Tujuannya adalah menjaga perasaan Bu Rangun yang tidak ingin Desa Kamasan terusik oleh beritaberita yang menodai kedamaian, selain tetap mengedepankan keharmonisan dan mempererat persahabatan dengan teman lama. ―… Ibu malu kalau banyak orang tahu Kamasan kini mulai kehilangan lukisan. Pertanda Kamasan kini tak aman lagi. Apalagi peristiwa kehilangan itu terjadi di rumah keluarga Rangun, pelukis yang disegani, guru dari ratusan pelukis muda di Kamasan. Tidak nak Nengah! Jangan laporkan kehilangan ini kepada polisi. Jangan sekali-sekali Nengah membuat peristiwa ini jadi heboh. Kehebohan hanya akan semakin menimbulkan tanda tanya di kalangan orang Kamasan. Mereka akan semakin takut karena desa mereka sudah tak aman lagi‖ (Soethama, 2009: 4). Kehadiran Nengah
Diarsa mengembangkan nilai sosial kemasyarakatan
melalui jalur diplomasi. Sebagai guru, Nengah Diarsa tidak menggunakan kekuatan otot dalam melacak keberadaan Bisma Gugur. Ia juga tidak menggunakan kekuatan
308
dalam otak, tetapi menggunakan kekuatan hati dengan mengembangkan kecerdasan sosial. Pencarian terhadap lukisan Bisma Gugur dimotori oleh Nengah Diarsa. Hal ini menarik dicermati. Pertama, sebagai guru, Nengah Diarsa merasa bertanggungjawab terhadap hilangnya lukisan Bisma Gugur. Sikap demikian merupakan bagian dari kepedulian sosial guru terhadap warisan budaya.
Lukisan wayang
gaya
Kamasan ini merupakan bagian dari budaya adiluhung yang dimiliki Bali, apalagi lukisan itu karya pelukis ternama, yakni Ketut Rangun. Kehilangan itu merupakan kehilangan eksistensi diri sekaligus kehilangan budaya masyarakat sebagai monumen yang sepatutnya dijaga bersama. Kedua, seorang guru yang memanfaatkan kecerdasan sosial melalui hubungan pertemanan dengan Letnan Nyoman Naja dalam melakukan pencarian lukisan Bisma Gugur. Dengan kecerdasan sosial, Nengah Diarsa tidak perlu melakukan laporan resmi ke polisi sehingga gaung tentang hilangnya Bisma Gugur tidak mengusik keamanan Desa Kamasan. Desa yang selama ini dicitrakan sejuk, damai, harmonis sebagaimana dipersepsikan Bu Rangun. Berbeda dengan Senja di Candi Dasa melalui
pencarian
Bisma Gugur, makna
yang menempatkan makna sosial sosial
dalam
Tiba-Tiba
Malam
menghadirkan tokoh guru SMP, yakni Sunatha. Ia dibentuk melalui konflik adat dan tradisi setelah kehadiran David (Belanda) pada saat pernikahan Sunatha dengan Utari di Tabanan. Kehadiran orang-orang yang menjadi saksi perkawinan Sunatha dengan Utari adalah cermin kuatnya ikatan sosial kemasyarakatan, walaupun dikisahkan
309
Sunatha bukanlah keluarga kaya. Jadi, solidaritas masyarakat desa adat di Bali tidak bersifat diskriminatif. Semua warga mendapat hak pelayanan sosial secara bersamasama. Setelah upacara perkawinan Sunatha dengan Utari, hubungan sosial keluarga guru ini menjadi tidak harmonis
terutama ketika Sunatha menunaikan tugas ke
Kupang sebagai guru. Akan tetapi, di Kupang Sunatha, mendapat apresiasi positip sebagai guru. Hal ini tidak terlepas dari kecerdasan sosial Sunatha menempatkan diri. Sebagai guru, Sunatha berhasil mengambil hati Kepala Sekolah dan guru-guru, serta siswa di Kupang. Ada makna sosial yang kontradiktif, antara penerimaan keluarga Sunatha di Bali dengan pribadi Sunatha di Kupang. Keluarga Sunatha di Tabanan dikucilkan gara-gara ayahnya tidak mau berperan dalam tradisi masyarakat desa. Di Kupang Sunatha mendapat tempat terhormat di hati murid, guru, dan Kepala Sekolah. Keberterimaannya sebagai orang baru di rantau adalah modal sosial yang melapangkan jalan pengabdiannya sebagai guru.
8.3 Makna Rekreatif Teeuw (2003: 151) menegaskan fungsi pragmatik karya sastra juga mencakup nilai estetika yang lebih luas dalam dunia pendidikan. Dengan berpijak pada pandangan Horatius, Teeuw menyebut fungsi utile dan dulce karya sastra. Karya sastra selain memiliki manfaat juga memberikan kenikmatan bagi pembacanya. Kedua fungsi itu secara pragmatik bisa hadir secara bersama-sama. Ke dalam dua fungsi itu, karya sastra dapat membuka wawasan bahkan mengubah sikap pembaca
310
dalam memahami kehidupan melalui nilai estetika yang terkandung di dalamnya. Hal itulah yang menyebabkan Gus Dur, (mantan presiden RI ke-4) mengaku berubah sikap beragamanya setelah membaca cerpen ―Robohnya Surau Kami‖ karya Ali Akbar Navis (Adilla, 2003: 24). Nilai estetika dalam karya sastra menyumbangkan makna rekreatif yang dapat memberikan hiburan kepada pembaca/penikmat melalui permainan bahasa. Permainan bahasa yang kontekstual dengan kondisi zaman terekam dalam novel Mlantjaran ka Sasak karya Gde Srawana. Masuknya unsur sasenggakan (perumpamaan), paparikan (pantun), metafora, sekar alit (pupuh), bahasa Indonesia, simbol budaya pariwisata, wacana kasta dalam Mlantjaran ka Sasak memberikan kesegaran sekaligus hiburan yang menarik. Unsur perumpamaan dalam novel ini ditampilkan dalam konteks pentingnya hubungan kesetiaan sebagai suami istri berdasarkan cinta sejati, bukan atas harta kekayaan. Disampaikan dengan nada bercanda oleh Made Sarati dan Dayu Priya dalam menyikapi retaknya hubungan Embok Kadek Dimba dengan Beli Putu Raga. “Yan Yang asal satia tur sih anake manjakang Yang. Kadong kone upama maraabraab langit umah Yange, matikeh-tikeh baan buk, magaleng-galeng ombak, masaputsaput angin…” (Srawana, 1978: 40). Artinya, kalau saya asalkan setia dan tulus mengabdi pada saya. Kalaupun beratapkan langit rumah saya, beralaskan tikar di atas tanah, berbantalkan ombak, berselimutkan angin….‖ Perumpamaan di atas merupakan sindiran bahwa keutuhan berumah tangga tidak mutlak ditentukan oleh kekayaan yang berlimpah sebagaimana dialami oleh
311
Embok Kadek Dimba dan Beli Putu Raga. Pasangan suami istri ini berkecukupan, tetapi rumah tangganya gagal. Kesetiaan dan ketulusanlah yang memuluskan jalan sukses bagi pasangan suami istri, bukan kekayaan. Hal ini juga mencerminkan bahwa pada dekade 1930-an sesungguhnya keretakan rumah tangga juga merupakan fakta sosial yang berhasil diangkat oleh pengarang dengan segala variannya. Isu tentang poligami, pemadat, penjudi pada novel ini juga kuat, di samping sikap gigih kaum intelektual menyuarakan kebebasan dan kesetaraan manusia terlepas dari belenggu kasta dan gender. Gagasan kaum intelektual yang diwakili oleh Made Sarati dalam Mlantjaran ka Sasak sulit dilaksanakan sebagaimana diumpamakan dengan sasenggakan (perumpamaan), “Katake matindik, dongkange maikut, mara matemu” (Katak beranting-anting, kodok berekor, baru bisa bertemu). Perumpamaan ini menyiratkan kemustahilan hubungan cinta Made Sarati dengan Dayu Priya walaupun keduanya saling mencintai. Perbedaan kasta terlalu kuat bagi mereka. Namun, ungkapan ini juga menyiratkan betapa kemustahilan masih memberikan
ruang hiburan bagi
pembaca/penikmat novel ini. Penggunaan pantun yang relevan dengan pergaulan muda-mudi juga tersurat dalam novel ini. Ini juga mencitrakan pengarangnya memiliki wawasan yang luas terhadap fenomena sosial secara umum, terutama di kalangan remaja. “Goake mamaling buni/ I Kadasih anggona betutu/api awake nongos dini /tresnasih yange masih ditu” (Srawana, 1978: 42). Artinya, gagak mencuri boni, kedasih dijadikan betutu, meski tubuh di sini, hatiku ada di situ). Sampiran pantun ini menjadi tidak
312
umum (yang umum adalah gowake maling taluh, siape anggo betutu) tetapi Gde Srawana berani menggunakan sebagai bentuk kreativitas berbahasa
yang
menyiratkan bahwa pengarangnya memiliki wawasan linguistik yang luas. Selain itu, pengarang memanfaatkan konsep licentia poetica sehingga berani berinovasi melanggar aturan konvensional bahasa. Pantun ekspresi diri juga disampaikan Made Sarati kepada Dayu Priya yang tidak mungkin menenun benang-benang cinta. “Gagah sepedah, Ganteng baan angin,Tangkah tiange bedah, Tulus masih dingin” (Srawana, 1978: 92). Artinya, gagah saya naik sepeda, ganteng juga karena angin, dada saya dibelah, akibatnya juga kedinginan. Pantun ini merupakan bagian kontemplasi Made Sarati terhadap hubungan dirinya dengan Dayu Priya yang di mata pegawai pasanggrahan Suranadi disangka sebagai pengantin baru. Bentuk metafora yang memikat juga ditemukan dalam novel Mlantjaran ka Sasak. Konteksnya pun masih aktual kini. “Sampun ja telas tegal reraman titiange amah taji, sami masanda. Yening ten Anak Agung Punggawa ica ring titiang , masa titiang uning ring Bandung ….” (Srawana, 1978: 74). Artinya,
tanah tegalan
orangtua saya habis untuk berjudi, semua digadaikan. Kalau bukan Anak Agung Punggawa membantu saya, mana mungkin saya bersekolah sampai ke Bandung ….‖ Penggunaan metafora di atas sebagai alat bahasa dalam mengindikasi bahwa budaya judi dengan modal tanah juga telah terjadi sejak dahulu. Penjualan dan penggadaian tanah demi judi sampai lupa kepada anak dan istri adalah potret buram sebagian masyarakat Bali. Bahkan, pendidikan anak sampai tidak terurus. “Niki
313
sampun racun gumi Baline, Tu. Makada memen titiange matigtig sat nyabran rahina. Dawege wenten kaklecan ring Tenganan, reraman titiange mrika taler. Nuju mrarian Tu! Daweg punika sampun memen titiange mapaid maoros…” (Srawana, 1978:73). Artinya, inilah racun tanah Bali,Tu. Akibatnya, ibu saya menerima kekerasan setiap hari. Saat ada judi sabungan ayam di Tenganan, ayah juga ke sana. Saat beristirahat! Saat itulah ibu saya mengalami penyiksaan….‖ Begitulah orang yang mabuk judi lebih-lebih berjudi dengan menjual tanah warisan, anak-anaknya tergelincir ke lembah hitam dan tidak terurus. Setiap hari dapat terjadi kekerasan di rumah tangga, yang sekarang terkenal dengan sebutan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Anak dan istri yang tidak berdosa menanggung akibatnya. Syukurlah, Made Sarati diselamatkan oleh Anak Agung Punggawa sehingga dapat melanjutkan ke sekolah guru berasrama sampai ke Bandung. Ia tidak sampai terpuruk tetapi mendapat kepercayaan dari orang-orang menak berkat kebaikan budi dan tatalaksananya. Hal ini juga menegaskan tidak secara otomatis karma orangtua menurun ke anak karena setiap orang yang lahir ke dunia membawa karmanya masing-masing. Metafora juga tampak dari sindiran terhadap kekuasaan laki-laki yang selalu menindas perempuan. “Anake muani apang dadi “masok gedenan” ngodag-odag. Anake Luh apang “naar uyah aji muncuk jeriji” nguntul, anake muani apang dadi “makadutan Bima” ngura gada! Anake muani, bes sing pesan nyak “makibul dawa” nyikut-nyikutang ka raga….” (Srawana, 1978: 35) Terjemahannya:
314
Laki-laki berbuat seenaknya. Perempuan agar makan garam dengan ujung jari, menunduk. Laki-laki dapat seenaknya menggunakan kelaki-lakian. Laki-laki tidak mau introspeksi diri. Metafora ini menempatkan perempuan dalam posisi tertindas, sebaliknya laki-laki menjadi penindas. Dengan kata lain, penjajahan terhadap perempuan oleh pihak laki-laki mencitrakan gagalnya gerakan emansipasi wanita. ―Dalam keluarga, kekuasaan bersemayam di satu orang saja, yakni ayah. Ayah berkuasa secara absolut atas istri dan anak-anaknya‖, demikian Adian menulis analogi kekuasaan dengan kepemimpinan keluarga (Kompas, 14/7/2014, hal.6). Novel Mlantjaran ka Sasak
juga mengandung nilai estetika yang sarat
dengan tutur kebijaksanaan dan bersifat rekreatif (menghibur) dengan hadirnya aneka tembang yang terintegrasi dengan struktur naratif. Tembang yang ditemukan dalam Mlantjaran ka Sasak, antara lain: dangdang gula, sinom, dan demung. Hal ini membuat Made Sarati klangwan (terharu). Ketika dangdang gula mengalun dari balik pancuran Suranadi, selain menghibur bersama gemericik air, juga menenangkan hati Made Sarati. “… saget piragi ipun wenten jadma narikang gending dangdang. Angeb ipun ring santer suaran jadma punika; santer, miwah ageng goloh pepesonnya. Kamanah antuk I Made, jadma punika kaduk makerem ring pancorane. Nene tampek ring genah pengonongane ring pasanggrahan. Wiakti ngulangunin suaran anake narik punika; I Made bengong ipun, raris ipun nyujur bangkune nene tegakinipun i ketuni sareng I Dayu” (Srawana, 1978:99). Terjemahannya: ―… tiba-tiba terdengar sayup-sayup ada orang menyanyikan tembang dangdang. Terharu ia (Made Sarati) terhadap tembang itu; lancar dan bernada besar (bass) keluarnya. Pikir I Made, orang itu masih bersembunyi di balik pancoran. Tempatnya tidak jauh dari pasanggrahan. Sungguh membuat
315
terharu (kalangwan) saura anak kecil itu; I Made bengong sendiri; lalu ia menuju bangku yang tadi diduduki bersama I Dayu‖ Perasaan terhibur juga dirasakan oleh Made Sarati dan Dayu Priya ketika mendengar tembang sinom dan demung dari balik pancuran Suranadi. Tembang yang sarat dengan tutur agama membuat Dayu Priya tidak rugi bertamasya ke Lombok. Hal itu disampaikan oleh Dayu Priya kepada Luh Sari yang mengiringinya. “Luuh, jelap Yang mai ke gumin Sasake ngisidang sedih; jumah di Sirikan rupa sing ada tongos sedih….” (Srawana, 1978: 119).
Artinya, Luuh, sengaja saya datang ke Sasak
memindahkan sedih; di rumah di Gria Sirikan rasanya tidak ada tempat bersedih…‖ Sehubungan dengan hal tersebut di atas, sebagai guru Made Sarati justru memberikan penghiburan baik selama perjalanan maupun selama di penginapan. Humor-humor dielaborasi sebagaimana ia menghadapi siswa di kelas. Tujuannya, selain menghibur juga mengedukasi termasuk juga menyindir tradisi yang membelenggu. Tidak kurang dari filsuf Prancis, H Bergson (1899: 187) menyatakan humor merupakan koreksi yang kadang menyakitkan bagi yang dituju. Dengan tertawa orang merayakan kemerdekaannya dan memberikan simpatinya pada hal-hal yang baik sebagaimana dikutip Azis (Kompas,1/2/2014, hal.12). Azis (Kompas, 1/2/2014) mengutip Descartes yang mengatakan dalam interaksi sosial, humor hadir sebagai media untuk menghamparkan ―superioritas sosial‖.
Humor juga merupakan kapasitas dalam mengekspresikan pikiran tabu
sebagaimana dieksplorasi Freud (1905). Kutipan ini berelasi antara Made Sarati, Dayu Priya, dan Luh Sari dalam perjalanan wisata ke Lombok.
Dayu Priya
316
dipersepsikan sebagai wangsa brahmana yang berada dalam kelompok superior, sedangkan Made Sarati dan Luh Sari mewakili kelompok inferior. Namun, komunikasi dengan strategi humor mencairkan kebekuan selama berwisata ke Lombok. Akibatnya, tidak tampak superioritas dan inferioritas di antara keduanya. Superioritas itu justru diagungkan oleh kelompok jaba wangsa yang sebenarnya Dayu Priya tidak peduli lagi dengan hal itu. Jika dalam Mlantjaran ka Sasak, Gde Srawana menghadirkan humor, aneka tembang, memasukkan unsur surat-menyurat dalam karyanya untuk memberikan efek estetik dan rekreatif, maka dalam Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah, Nyoman Manda memasukkan unsur puisi Bali modern ke dalam novelnya. Unsur puisi Bali modern disisipkan oleh pengarang dalam konteks pentas hiburan di puncak Gunung Batur, ketika peserta kemah yang ikut mendaki sampai di puncak. Selain masuknya unsur puisi Bali modern ke dalam novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah ini, pengarang juga menegaskan aktivitas berkemah yang dirangkaikan dengan kegiatan mendaki Gunung Batur pun merupakan sarana berkreasi untuk bersenang-senang sekaligus mencari ketenangan atas kebesaran ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, di puncak kawah Batur, rombongan pendaki gunung juga melakukan persembahyangan memohon keselamatan kepada Dewi Danuh dan Bhatara yang berstana di Danau/Gunung Batur. “Lantas Gung Eka ngenyitang asep ngaturang canang apasang ngawitin muspa majeng Betari Dewi Danuh sane malingga ring Gunung lan Danu Batur mangda raga sinamian manggihin karahajengan. Kidung Warga sari nyarengin pamuspan” (Manda, 2002: 66).
317
Terjemahannya : ―Lalu Gung Eka membakar dupa kemudian mengaturkan sepasang canang untuk memulai sembahyang memuja kebesaran Betara Dewi Danuh yang berstana di Gunung dan Danau Batur agar kita sekalian selamat. Kidung Warga sari mengiringi persembahyangan‖ Sementara itu, fungsi hiburan terlihat ketika rombongan Pak Sukata dan Bu Wartini sampai ke puncak Batur. “Timpal-timpalne suba pada negak di sisin bibih kawah gununge. Makejang girang keto masi Ibu Wartini sing suud-suud limane nuding kemu mai matakon teken Pak Sukata ane negak di sampingne. Kidung tresna magerantang girang di bibih kawahe” (Manda, 2002: 66). Terjemahannya: ―Teman-teman sudah duduk di pinggir kawah Gunung Batur. Semua bergembira, begitu juga Ibu Wartini menggerak-gerakkan tangan dan menuding ke sana ke mari sambil bertanya kepada Pak Sukata yang duduk di sampingnya. Kidung kasmaran terasa benar di bibir kawah Batur‖. Gaya berkisah Gde Srwana dalam Mlantjaran ka Sasak yang memasukkan unsur bahasa Indonesia ke dalam novel menunjukkan pengarang yang ―gelisah‖ tidak saja secara lokal, tetapi juga secara nasional. Jika mencermati terbitnya novel ini (1936-1939), pada saat itu Sumpah Pemuda baru 8 tahun dikumandangkan. Pada saat Sumpah Pemudalah, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa persatuan. Kesenangan menggunakan bahasa Indonesia dapat dimaklumi, menyelinap dalam SBM, yang mempertegas modernitasnya. Jadi, tampak ada pengaruh Sumpah Pemuda terhadap lahirnya novel Mlantjaran ka Sasak , lebih-lebih pengarangnya juga tamatan sekolah di Jawa.
318
Pengaruh budaya pariwisata dalam novel ini mengabarkan bahwa pariwisata juga sudah mulai berkembang pada dekade 1930-an.
Jika mencermati sejarah
perkembangan pariwisata di Bali, disepakati bahwa tahun 1930-an sebagai tonggak pariwisata Bali. Dalam novel ini, budaya pariwisata tersirat dalam aneka menu asing termasuk pelayan yang dikisahkan pernah sebagai karyawan di kapal pesiar. Begitu pula alat transportasinya sudah mengenal taksi sebagai simbol kemajuan pariwisata. Budaya pariwisata juga tampak dalam novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang
karya Djelantik Santha, yang ditandai oleh
kehadiran tokoh I Gusti
Ngurah Cepeg yang ditolak cintanya oleh Gusti Ayu Adi. I Gusti Ngurah Cepeg melampiaskan kekecewaannya dengan menghibur diri berjemur ke Pantai Kuta, bersama turis perempuan telanjang. ―… Gusti Ngurah Cepeg sambilanga makebles nyemak montor tur ngebut ka Kuta ngedel di samping torise luh malalung di pasisi majemuh. Med majemuh Gusti Ngurah dandana teken torise ento ka home stay-ne sambil gaggak gukguk cekikikan, Ajahan munyin balene suba uyut kreatkreot kadulurin baan angkosan angkihan siat-siut sambil uyut nice…nice… ooooohhh saru teken koosan ombake muntag-mantig nyujuh pasisi‖ (Santha, 1981: 16). Terjemahannya: ―… Gusti ngurah Cepeg seraya menyetater motor langsung mengebut ke Kuta menangkring di samping turis perempuan telanjang di pantai berjemur. Selesai berjemur, Gusti Ngurah diajak ke penginapan oleh turis itu sambil bercumbu rayu, cekikikan. Tak berapa lama, suara dipan rame kreatkreot diiringi napas siat-siut ramai seraya terdengar nice… nice… ooooohhh, sulit dibedakan dengan suara ombak Kuta yang memecah ke pantai.‖ Pada bagian lain juga dikisahkan tokoh protagonis dalam Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang, yakni I Nyoman Santosa dalam perjalanan pulang dari
319
Singaraja dan melewati Kintamani. Ia dikisahkan menginap di Artshop Arini karena hujan lebat, sementara mobil yang ditumpanginya mogok. Di Artshop inilah, Nyoman Santosa memadu kasih dengan Arini, yang kebetulan suaminya membawa barang ke Jawa. Akhirnya, Arini hamil hingga meninggal karena tenggelam di Danau Batur. Kehadiran artshop dan pantai Kuta dengan bulenya menjadi petunjuk bahwa novel ini juga dipengaruhi oleh budaya pariwisata dan tokohnya menikmati budaya pariwisata dalam konteks seks sebagai jalan pelampiasan. Dalam novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah karya Nyoman Manda, unsur pariwisata tidak menonjol. Kehadiran budaya pariwisata hanya berada dalam kisah tetapi tidak memengaruhi jalan cerita secara substansial. Dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik karya Agung Wiyat S Ardhi, budaya pariwisata muncul melalui setting cerita, yang menggunakan GWK sebagai simbolik. Jika dikaitkan dengan Tiba-Tiba Malam, kehadiran orang asing asal Belanda menjadi elemen yang membawa perubahan ke arah pengucilan sosial keluarga Sunatha. Dalam novel TibaTiba Malam, tokoh kurang hiburan tetapi sarat dengan tuntunan. Selanjutnya, pada Senja di Candi Dasa karya Gde Aryantha mengisahkan pencarian lukisan Bisma Gugur dengan Candi Dasa sebagai latar utama. Candi Dasa adalah ikon pariwisata di Bali Timur, tetapi keterlibatan tokohnya juga kurang hiburan. Pada bagian lain, ketika protes terhadap tradisi larangan perkawinan berbeda kasta menjadi bahan tertawaan yang membuat novel Mlantjaran ka Sasak menjadi cair. Kesan tutur yang serius menjadi humor yang menarik dan menghibur, seperti dialog Made Sarati dengan Dayu Priya ketika berwisata ke Lombok.
320
“Kenten kocap, dagang dagingin degeng!” “Dagingin apa kone?” “Men tumbasin, dagingin pipis, masa ipun mlaib.” “Buin? … Jaja apa kone ada,De? Bik, jaja jahen ulesne to… Nah te lantasang tuture!” “Desak kocap ….” “Nah …. Nah!” “Desek kocap!” “Mimi, keto-keto dogen paitungan I Madene dadi guru!” … “Nah, De…. Apa to? Dagang dagingin degeng. Desak desek… buin apa? …. “Nggih, pacang aturang titiang! Da…. Dayu kocap dayanin.” … “Nah, jani, nah, De! Desak desek, Dayu dayanin… yan jaba kenkenang?” Yan jaba…. Ceburin anake.” (Srawana, 1978: 25-26). ―Begitu katanya, dagang diberikan (uang) diam!‖ ―Diberikan apa katanya?‖ ―Kalau barangnya dibeli, diberikan uang, masa ia lari.‖ ―Apalagi? … Ada kue apa katanya, De? Bik, kue enak rasanya itu… Nah, lanjutkan tuturnya!‖ ―Desak katanya ….‖ ―Nah… Nah!‖ ―Desak katanya!‖ ―Bah, begitu saja yang diurus I Made menjadi guru!‖ ―Nah, akan saya aturkan ! Da….. Dayu katanya diperdaya.‖ … ―Nah sekarang, nah De! Desak didekati, Dayu diperdaya, kalau jaba diapakan? ―Kalau jaba…. diceburi saja! Dialog Made Sarati
dengan Dayu Priya bukan saja mengandung humor
tingkat tinggi, melainkan juga bentuk protes terhadap feodalisme atas nama kasta. Kesan humor yang khas dengan pola rima aliterasi dalam penggunaan bahasa, dalam bentuk permainan bahasa khas di Bali. Pernyataan “dagang dagingin degeng” dan
321
“desak desek dayu dayanin” adalah pola rima yang indah secara bahasa, juga menyentak secara maknawi karena berisi pesan menggugat di dalamnya. Estetika bahasa yang dipakai pengarang mampu merepresentasikan keadaan zaman ketika novel ini dilahirkan. Pertama, pada dekade 1930-an terjadi polemik kasta antara golongan triwangsa dan kaum sudra. Polemik itu melengkapi polemik kebudayaan
STA dengan Sanusi Pane. Elan napas zaman itu, terurai dan terlukis
dalam novel Mlantjaran ka Sasak
karya Gde Srawana sebagai bentuk respon
pengarang terhadap dinamika masyarakat. Kedua, walaupun dialog Dayu Priya dengan Made Sarati dalam dimensi kasta bersifat atasan (menak)
dengan bawahan (sudra), keduanya tidak memedulikan
aturan kasta dalam konteks cinta. Mereka memandang posisi manusia setara, baik laki-laki dan
perempuan maupun menak dan jaba tidak ada bedanya.
Hal ini
berkaitan dengan tingkat pendidikan mereka yang telah melampaui batas pendidikan orangtua pada umumnya. Baik Dayu Priya maupun Made Sarati telah mengenyam pendidikan modern sampai ke Jawa pada
masa kolonial Belanda.
Keduanya
diproyeksikan membawa perubahan untuk meluruskan konsep kasta yang keliru. Dunia pendidikan formal (sekolah) telah menyadarkan mereka tentang pilihan hidup. Ketiga, karena Made Sarati seorang guru membuat komunikasi mereka menjadi cair karena ia belajar banyak bahasa. “Ipun ring sekolahan mauruk bahasa “ngendah pelag‟…” (Ia belajar aneka bahasa di sekolah). Cairnya komunikasi dengan mempermainkan bahasa membuat hubungan hangat selain mencerminkan kematangan dan kedewasaan sebagai orang yang berpendidikan modern. Itu
322
diwujudkan dengan sokongan referensi yang kuat setidaknya dari Made Sarati. Walaupun gaji guru dikisahkan tidak seberapa, tetapi
kebutuhan Made Sarati
terhadap buku tinggi, bahkan demi buku ia dikisahkan sampai berhutang di toko buku. “Pakolihnya nyandang anggen ipun, nanging durung ipun mrasidayang akeh nyisaang jinah, samaliha saking jumahnya tan mrasidaang ngawewehin bekelnya. Jinah sane ngasasih tampin ipun kehan makiis ka toko buku ring Bandung, ring Surabaya, tan pegat-pegat utangnya ring toko punika”(Srawana, 1978: 56). Terjemahannya: ―Gajinya cukup untuk dirinya, tetapi belum bisa ia menyisihkan uang lagi pula dari rumahnya tidak ada tambahan bekal. Gaji sebulan ia terima kebanyakan habis di toko buku di Bandung, Surabaya, tidak putus-putus utang di toko buku‖. Keempat, humor yang berbasis ilmiah selain memberikan kesegaran wacana juga memberikan renungan dan kontemplasi. Ke dalam pernyataan ini juga terkandung maksud novel Mlantjaran ka Sasak memberikan hiburan bagi pembaca/penikmat. Di balik hiburan itu, ada pesan yang menggelitik walaupun disampaikan secara berkelakar. Model komunikasi demikian tentu tidak mampu ditangkap oleh pengarang seandainya tidak menguasai medan wacana secara komprehensif
terkait
dengan polemik kasta.
Pengarang berhasil menghibur
sekaligus berupaya menyadarkan dan mencerdaskan. Mirip dengan humor dalam Mlantjaran ka Sasak, novel Bukit Buung Bukit Mentik
memasukkan humor dengan memanfaatkan banyolan yang dipakai oleh
Petruk dalam
pertunjukkan drama gong.
Humor ini dilakukan oleh
Wayan
323
Wiryawan siswa kelas VI SD Bukit Mentik terhadap Luh Tri Prayatni. Guru muda ini dikisahkan memiliki kompetensi budaya Bali yang memadai dibuat semakin jengah mengoptimalkan kemampuannya sebagai guru dan berusaha untuk menyadarkan anak-anak yang nakal, seperti Wayan Wiryawan. Wayan Wiryawan yang mulai puber membuat perhatian bernada rayuan. “…inan nakale di kelas VI, mesuang raos sugal dugase Luh Tri liwat di arepanne: “Bu guru cantik, bu guru biutiful, bu guru salaktiful.” Timpalne nimpalin : “Bah, Wiryawan buduh, apa orahanga ento.” Masaut Wayan Wiryawan : “Yen cantik dogen, bahasa Inggrisne kan biutiful. Yen cantik sekali, bahasa Inggrisne salaktiful, Yen terlalu amat sangat cantik sekali, cara bu guru barune ene, adane durentiful, sawireh durene maelan kin salak, salake maelan kin biu. … Mabriuk timpal-timpalne kedek kedek: “Yen bocok,apa adanne Yan?” Elah pesan bibih Wayan Wiryawane masaut: “Yen bocok, croringtiful, bocokan buin, sentultiful adanne”. Nyangetang timpal-timpalne kedek. Ada aukud ane nawang: “Yan Wiryawan maan munuh. Ento bebanyolan I Petruke duduka. Uliang Yan” (Ardhi, 2004: 5-6). Terjemahannya: ―Murid paling nakal di kelas VI, mempermainkan Luh Tri saat lewat di depannya: ―Bu guru cantik, bu guru biutiful, bu guru salaktiful. Temannya menimpali : ―Bah, Wiryawan gila, apa dikatakan itu.‖ Wayan wiryawan menjawab : ―Kalau cantik saja, bahasa Inggrisnya kan biutiful. Kalau cantik sekali, bahasa Inggrisnya salaktiful. Kalau terlalu amat cantik sekali, seperti bu guru baru ini, namanya durentiful, karena durian lebih mahal daripada salak, salak lebih mahal daripada pisang. … Bersorak teman-temannya tertawa : kalau buruk rupa, apa namanya Yan?‖ Gampang sekali Wiryawan menjawab : kalau buruk rupa, croringtiful, lebih buruk muka lagi, sentultiful namanya‖. Makin bersorak teman-temannya tertawa. Ada seorang temannya mengingatkan: ―Kalau Wiryawan hanya plagiat. Itu lelucon I Petruk dalam drama gong. Kembalikan Yan.‖
324
Luh Tri Prayatni guru SD di Bukit Mentik adalah rendah hati, selalu berkesadaran Bali sesuai petuah, “de ngaden awak bisa” (Jangan menyombongkan diri), ia menjadi orang Bali yang langka. Belakangan ini muncul pernyataan yang meluas bahwa orang harus mengaku diri bisa, tidak peduli petatah petitih tradisi. Dalam konteks inilah, pupuh Ginada sebagai humor bernada plesetan dimunculkan. “Eda ngaden awak belog, depang deweke ngadanin, geginane buka ngamah, betekang pang kanti nyantung, punduh-punduhang tumpukang, cara titih, mokoh ulian ngisep timpal” (Ardhi, 2004: 11). Terjemahannya: ―Janganlah mengaku diri bodoh, biarkanlah diri sendiri menilai, kerja seperti makan, kenyang biar sampai gendut, kumpul-kumpulkan hingga menumpuk, seperti titih, gemuk karena mencelakan teman.‖
Humor sebagai hiburan dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik, juga digunakan oleh pengarang dengan mencampuradukkan bahasa Bali dan bahasa Indonesia. Dengan pernyataan bahwa bahasa Bali kolot, merendahkan status sosial, tidak menghasilkan uang, keluarga Bali umumnya berubah pilihan bahasanya ke bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari dalam keluarga, sebagaimana dilihat oleh Agung Wiyat S Ardhi. “…Ento mawinan memenne sing nyak mabhasa Bali yen ngorta ajak pianakne. „Nak, ayuk sarapan pagi. Sudah mandi, belum. Jangan main di sana, nanti ditepen sama bungsilnya‟. Ane lenan, pang nyak kadena priyayi, pang sing orahanga kolot, milu mabhasa Indonesia : „Jangan terlalu sering menghijau, nanti matamu kemalam-malaman. Ada ane sing dadi padingehang baan koping : „Maaf, rumah saya di sudut meninggal ”(Ardhi, 2004: 25).
325
Terjemahannya : ―Itu sebabnya, ibunya tak mau berbahasa Bali kalau berbicara dengan anak. ‗Nak, ayo sarapan pagi. Sudah mandi,belum. Jangan main di sana nanti tertimpa kelapa muda jatuh‘. Yang lain, supaya dikatakan priyayi, supaya tidak dikatakan kolot, ikut berbahasa Indonesia : Jangan terlalu sering bergadang, nanti kamu akan mengantuk. Ada juga bahasa Indonesia yang tak masuk akal: ―maaf, rumah saya di jalan buntu‖. Humor-humor yang ditampilkan oleh pengarang dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik
dapat diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama, humor murid dengan
mempermainkan guru. Hal ini menyiratkan cairnya hubungan guru dengan murid, hubungan yang terkesan tanpa sekat. Selain itu, berkaitan dengan sikap murid yang berubah dalam memandang guru. Guru bukanlah personal yang ditakuti.
Kedua,
humor dengan mempermainkan bahasa. Penggunaan bahasa Inggris dengan cara pandang penutur bahasa Bali, selain membuat struktur bahasa Inggris menjadi kacau juga membuat makna menjadi lain. Penggunaan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam novel berbahasa Bali secara bergantian merupakan bentuk campur kode yang tampaknya sulit dihindari oleh pengarang.
Sumarsono dan Partana (2002: 203)
mengatakan campur kode berkaitan dengan pilihan bahasa yang bergantung pada pelibat komunikasi. Campur kode juga terjadi pada novel Mlantjaran ka Sasak (1936-1939) karya Gde Srawana dan Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang (1981) karya Djelantik Santha. Ketiga, humor dengan campur kode dipersepsikan untuk mengangkat drajat kepriyayian (status sosial). Dengan penggunaan bahasa Indonesia dalam komunikasi dalam keluarga, selain untuk mencitrakan keluarga modern, juga mengesankan perubahan status sosial dengan meninggalkan tradisi.
326
8.4 Makna Dinamis Baswedan (Kompas, 28/11/2013) mengatakan soal guru adalah soal masa depan bangsa. Di ruang kelasnya, ada wajah masa depan Indonesia. Gurulah kelompok yang paling awal tahu potret masa depan membentuk
potret
masa
depan
bangsa
Indonesia.
dan gurulah yang bisa Cara
sebuah
bangsa
memperlakukan gurunya adalah cermin cara bangsa memperlakukan masa depannya. Pernyataan Baswedan tersebut seiring dengan pandangan Putu Wijaya dalam cerpen ―Guru (1)‖. Dalam cerpen ini, Putu Wijaya menampilkan tokoh guru bernama Arif sebagai pejuang yang idealis dan berbakti pada nusa dan bangsa. ―Guru adalah seorang pahlawan yang tak pernah kelihatan,‖ bisiknya dengan bangga. ―Gurulah yang membuka klep-klep instrumen dalam diri seorang anak, yang kelak akan menjadi tiang-tiang bangsa, untuk mengukuhkan berdirinya rumah yang kita sebut Negara ini. Pekerjaan awal ini sangat menentukan masa depan. Guru adalah pengabdian pada masa depan‖, (Wijaya, 1995: 39-40). Kutipan di atas menyiratkan peran strategis guru bagi penyiapan masa depan bangsa tidak bisa ditawar-tawar. Guru harus meninggalkan cara-cara kolonial dalam mendidik anak-anak. Tidak ada lagi hukuman fisik diberlakukan karena dalam pandangan pendidikan modern hal itu sudah ditinggalkan. Namun, dalam cerpen ―Guru (1)‖, Arif lupa bahwa dunia sudah berubah. Jejak kolonial yang melekat, membuatnya tak sadar. ―Arif sudah menempeleng semua murid dengan alasan cinta dan masa depan‖ (Wijaya, 1995: 41). Cara Arif mengajar murid-murid dengan menghajar terjadi setelah sepuluh tahun ia menjadi Kepala Sekolah, lalu kembali menjadi guru. Gaya mengajarnya
327
sama dengan gaya mengajar 10 tahun yang lalu, padahal situasi dan kondisi siswa yang dihadapi telah berubah. Dari segi motif , Arif dalam cerpen ―Guru 1‖ memiliki kesamaan dengan Nengah Diarsa dalam novel Senja di Candi Dasa. Keduanya samasama mencintai profesi guru yang sempat ditinggalkan. Arif meninggalkan tugas mengajar karena ia mendapat tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah sehingga hampir 10 tahun ia lebih fokus menjadi birokrat sekolah daripada menjadi guru yang dicintai. Pekerjaan yang cenderung birokrat membuat Arif merasa berjarak dengan siswa. Nengah Diarsa dalam Senja di Candi Dasa karya Gde Aryantha juga sempat meninggalkan profesi guru, karena bujuk rayu Suwitri yang mendorongnya menjadi manajer penginapan di Candi Dasa. Sama dengan Arif, Nengah Diarsa merasa tidak nyaman menjadi manajer penginapan karena jiwanya menjadi guru yang cenderung dekat dengan anak-anak. Tidak lama di sektor pariwisata, Nengah Diarsa kembali menjadi guru. Bedanya dengan Arif dalam cerpen ―Guru 1‖, kesan tidak muncul penolakan terhadap Nengah Diarsa ketika kembali menjadi guru. Hubungan guru dengan dunia pariwisata juga ditulis oleh Putu Wijaya dalam cerpen berjudul ―Guru (2)‖. Dalam cerpen ―Guru 2‖, Putu Wijaya mengisahkan guru menjadi korban dari dunia pariwisata yang mementingkan kemajuan fisik berbasis pada uang. Padahal, gurulah yang pada awalnya membentuk pola pikir masyarakat agar tidak diperdaya oleh para pengusaha dari Jakarta. Keberhasilan tokoh guru memengaruhi cara pikir masyarakat tidak dengan sendirinya dapat memperbaiki nasib guru ke arah kemajuan ekonomi. Guru yang cenderung direpresentasikan lemah
328
secara ekonomi, berasal dari keluarga tidak mampu, dari latar belakang petani desa,dengan beratnya tugas yang diemban, tidak dapat dilepaskan dari situasi dan kondisi masyarakat yang mengelilinginya. Tokoh-tokoh guru dalam karya pengarang Bali tidak bisa melepaskan diri dari gempuran industri pariwisata. Pola pikir guru juga tergoda dan cepat terpengaruh oleh dunia pariwisata yang menjanjikan kemewahan dan kesenangan
sebagaimana
dialami oleh Nengah Diarsa dalam novel Senja di Candi Dasa. Nengah Diarsa luluh hatinya dan meninggalkan profesi guru karena bujukan Suwitri. Selain itu, Naja, ayah, dan kakak adalah orang-orang yang gigih mendorong Nengah Diarsa untuk mencoba menjadi manajer penginapan. Dengan kalimat lain, mereka adalah orangorang yang mendukung Nengah Diarsa meninggalkan profesi sebagai guru. Cara Suwitri
merayu Nengah Diarsa untuk meninggalkan profesi guru
tampak halus, pelan, dan meyakinkan. Begitu pula dukungan pihak keluarga Nengah Diarsa. Hampir semua alasannya diarahkan demi uang. Hal ini tampak dari dialog Suwitri dengan Nengah Diarsa berikut. ―Pengalamanku di dunia bisnis pariwisata mengajarkan, kita harus punya cukup dana untuk bisa melakukan banyak hal. Orang-orang Barat bisa pergi ke mana saja karena mereka punya banyak uang.‖ ―Tapi mereka toh kandas karena uang.‖ ―Jangan keliru, Nengah. Mereka kandas karena tak bisa mengatur uang. Tapi coba kita lihat, betapa banyak hal yang sanggup mereka lakukan dengan uang. Buku-buku bagus tentang Bali ditulis orang Amerika dan Eropa, karena mereka bisa datang ke mari berkat uang. Buku itu mereka cetak luks beredar luas, karena mereka memang punya banyak uang untuk membeli teknologi grafika‖ (Soethama, 2002: 109).
329
Dialog antara Suwitri dan Nengah Diarsa menyiratkan sejumlah hal. Pertama, Suwitri merupakan perempuan yang memiliki naluri bisnis yang tinggi. Kesuksesan semata-mata dinilai dari banyaknya uang yang berhasil dikumpulkan dari usaha mengelola penginapan. Suwitri adalah perempuan yang berpikir materialistik yang memberikan banyak kemudahan dengan pola pikir Barat.
Kedua, Nengah Diarsa
sebagai guru meragukan kemajuan semata-mata bersumber dari uang. Keraguan itu bermula dari banyaknya kasus bule yang tidak mampu mengelola uang yang berlimpah. Hal ini sejalan dengan prinsif ilmu pendidikan, bahwa pendidikan anak berlandaskan kasih sayang, tidak semata-mata karena uang. Ketiga, argumentasi Suwitri yang berpijak pada kepentingan material terlalu kokoh untuk ditandingi oleh Nengah Diarsa sehingga ia meninggalkan profesi guru yang sesungguhnya dicintai. Nengah Diarsa adalah guru yang tidak tahan dengan godaan pariwisata yang datang dengan kemudahan hidup melalui uang yang berlimpah. Runtuhnya idealisme keguruan Nengah Diarsa dipercepat pula oleh dukungan keluarga. Senada dengan novel Senja di Candi Dasa cerpen ―Ibu Guru Anakku‖ karya Aryantha Soethama juga menampilkan tokoh guru TK, yakni Bu Rahayu yang mempermainkan profesi guru karena terbius oleh kemajuan pariwisata. Bu Rahayu menjadi guru karena tidak mendapat pekerjaan di sektor pariwisata. Perbedaan, dua tokoh guru dalam kedua karya Aryantha ini adalah jenis kelamin dan jenjang sekolah. Pada Senja di Candi Dasa tokohnya seorang guru laki-laki, yakni Nengah Diarsa, guru sekolah menengah sedangkan dalam cerpen ―Ibu Guru Anakku‖ adalah seorang
330
guru perempuan, yakni Bu Rahayu, guru TK.
Di balik perbedaan itu, tampak
kesamaan, yaitu kedua guru ini dalam memandang dunia pariwisata dapat menjanjikan hidup lebih baik daripada standar hidup sebagai guru. Hal itu membuat mereka tergiur untuk mencoba peruntungan di dunia pariwisata. Godaan pariwisata terhadap profesi guru baik karena pengaruh orang-orang yang sukses di pariwisata sebagaimana informasi yang berkembang dari mulut ke mulut bahwa dunia pariwisata identik dengan kesenangan dan kemewahan telah membuat orientasi guru berubah. Alasan yang dikemukakan pada umumnya adalah gaji guru kecil, tidak cukup untuk biaya hidup setengah bulan bagi mereka yang berkeluarga, seperti dikisahkan oleh Bu Rahayu. ―Gaji saya kecil, tak cukup untuk hidup sebulan. Kalau tidak menumpang di rumah teman, saya pasti sudah mati kelaparan‖ (Soethama,2009:18). Alasan kecilnya gaji guru juga dilontarkan oleh Suwitri kepada
Nengah
Diarsa dalam novel Senja di Candi Dasa melalui dialog yang sangat meyakinkan. ―Jadi, kau benar-benar akan terus menjadi guru?‖ ―Ya, Wit. Pilihan hidupku adalah menjadi seorang guru. Menjadi pendidik adalah pangilan jiwaku.‖ Sebenarnya kau bisa berperan ganda. Menjadi guru dan juga pengusaha. Kau punya kemampuan untuk itu.‖ ―Jadi pengusaha? Rasanya tidak.‖ ―Bisa, kenapa tidak? Kau hanya mengatur, mengurus uang. Menegur yang salah dan memuji mereka yang berhasil sehingga menjadi contoh bagi karyawan lain. Semua langkah harus diarahkan pada produktivitas dan efisiensi.‖ (Soethama, 2009:111). Kutipan di atas juga menggiring agar Nengah Diarsa mendua dalam bekerja, yakni sebagai guru sekaligus pengusaha dengan tujuan mendapat penghasilan (uang)
331
lebih banyak. Pernyataan, ―Semua langkah harus diarahkan pada produktivitas dan efisiensi‖ juga menggambarkan prinsip ekonomi yang melandasi, yang bermuara pada peningkatan penghasilan. Dengan argumentasi itu, hilanglah idealisme Nengah Diarsa sebagai guru. Ia meninggalkan profesi yang sesungguhnya ia cintai. Apabila dicermati pengaruh pariwisata terhadap profesi guru dalam novel SBM, sudah tampak dalam Mlantjaran ka Sasak (1939), Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang (1981), Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah (2002), dan Bukit Buung Bukit Mentik (2004). Namun, godaan pariwisata dalam novel-novel ini tidak sampai mengubah pandangan guru terhadap profesinya. Ikon-ikon pariwisata, seperti: penginapan, artshop, Alit Arini Home Stay, Kintamani, Toyobungkah, Danau Batur, dan GWK akrab di mata guru. Akan tetapi, pariwisata hadir dalam novelnovel tersebut, tidak lebih dari sampiran dalam kisah yang panjang dan rumit. Novel-novel pengarang Bali yang memasukkan unsur pariwisata dalam karyanya, secara umum menunjukkan
kesamaan pandangan terhadap dunia
pariwisata yang mencitrakan kemewahan, menyajikan kemanjaan, dan menjanjikan kesenangan
berdasarkan ukuran material. Di dalam Bukit Buung Bukit Mentik,
Agung Wiyat S. Ardhi melukiskan godaan pariwisata telah mengubah cara pandang masyarakat pada umumnya, tetapi tidak memengaruhi cara kerja profesi guru. “Pipise anggona dewa. Sing tawanga , yen budaya Baline rered, ulian i raga sing urati teken bhasa lan adat Baline, kepariwisataanne masih lakar rered. Yen suba keto, langah torise ke Bali. Yen suba keto, ngaluwer kaduegane mabhasa Inggris sing pastika lakar nekaang dolar liu, sejawaning politisi, birokrat. Akademisi, lan sapanunggilannya” (Ardhi, 2004: 26).
332
Terjemahannya : ―Uang dipuja sebagai dewa. Tidak diketahui, kalau budaya Bali makin merosot karena kita tak peduli bahasa dan adat Bali, dunia pariwisata juga akan makin ditinggalkan. Kalau sudah demikian, turis akan jarang ke Bali. Akibatnya, rugilah pandai berbahasa Inggris karena tak akan mendatangkan dolar, kecuali politisi, birokrat, akademisi, dan kroninya‖ Kutipan di atas melukiskan perubahan orientasi masyarakat Bali akibat dunia pariwisata. Di tengah orientasi masyarakat yang berubah, Luh Tri Prayatni dan Gungde Ambara sebagai guru masih mampu memegang idealisme. Idealisme sebagai guru dikembangkan dari nilai-nilai tradisi budaya Bali melalui wirama, tembang, dan tari. Hal ini adalah sebagian dari sumbangan dunia pendidikan terhadap majunya pariwisata Bali. Dunia pendidikan melalui tokoh-tokoh guru dalam novel SBM merawat,memupuk, dan menyuburkan kebudayaan Bali untuk mendukung kemajuan dunia pariwisata. Pandangan masyarakat yang berubah terhadap profesi guru juga tersirat dalam novel Tiba-Tiba Malam (1977)
karya Putu Wijaya. Dalam novel ini, Sunatha
adalah guru yang idealis dan nasionalis, tetapi di mata masyarakat, perjuangannya diremehkan. Bukan penghargaan yang diterima oleh Sunatha, melainkan pengucilan secara sosial. Bahkan, istri Sunatha malah dirampok atas nama kekuasaan kasta dan uang. Tidak hanya itu, isu miring terhadap Sunatha pun tidak dapat dibendung, dengan mengatakan bahwa ia impoten (wangdu) dan menggunakan guna-guna untuk dapat memperistri Utari. Citra negatif gencar dialamatkan kepada Sunatha sebagai guru, sebagai pertanda bahwa masyarakat cenderung berpikir instan dan dinamis dengan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
328
333
BAB IX PENUTUP
9.1 Simpulan Berdasarkan
kajian terhadap tiga belas karya sastra tentang guru dari
pengarang Bali yang ditulis dalam bahasa Bali dan bahasa Indonesia, ditariklah simpulan. Ketiga belas karya sastra yang terbit dalam rentang waktu 65 tahun (1939-2004) itu dijadikan
objek penelitian.
Simpulan
yang diperoleh
adalah
sebagai berikut. Pertama, pengarang Sastra Bali Modern (SBM) cenderung merepresentasikan tokoh guru sebagai sosok yang idealis, tekun, dan perhatian pada anak didik. Walaupun banyak
godaan lingkungan karena perubahan orientasi hidup yang
cenderung materialistis tetapi tidak mengendurkan sikap guru dalam melayani anak didik. Tokoh guru dalam SBM dicitrakan secara positif dan mengayomi. Mereka direpresentasikan menjadi sosok yang bersahaja, jauh dari kemewahan walaupun hidup di tengah
perubahan sosial, baik karena pendidikan maupun kemajuan
pariwisata. Secara keseluruhan dalam SBM, sosok guru dilukiskan sebagai orang yang digugu dan ditiru baik dalam kerangka pelayanan kepada anak didik di sekolah maupun dalam guyub pergaulan sosial kemasyarakatan. Citra guru yang demikian sangat kuat melekat pada Made Sarati dalam novel Mlantjaran ka Sasak karya Gde Srawana
dan I Nyoman Santosa dalam novel Tresnane Lebur Ajur Satonden 333
334
Kembang
karya Djelantik Santha. Dalam cerpen ―Guru Made‖ karya Nyoman
Manda dan ―Gamia Gamana‖ karya Djelantik Santha tokoh guru juga digambarkan sebagai sosok pengayom dengan citra positip dan bertanggung jawab. Kedua, perubahan representasi perjuangan sosok guru dalam SBM karya pengarang Bali cenderung idealis memertahankan tradisi, adat, agama, dan budaya. Dalam tradisi perkawinan misalnya, pengarang Bali cenderung memertahankan konsep kesinambungan purusa (laki-laki) dalam keluarga. Pilihan untuk membuat santana rajeg adalah cara yang ditawarkan sehingga perkawinan nyentana/nyeburin menjadi solusi agar keluarga tidak terputus (putung), seperti ditulis Kaler (1982: 136). Pandangan Kaler itu tersirat dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik karya Agung Wiyat S Ardhi dan Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah karya Nyoman Manda. Dalam kerangka pemertahanan adat, agama, dan budaya sosok guru yang sempat belajar sampai ke Jawa tidak sampai meninggalkan
ke-Bali-annya,
sebagaimana terlukis dalam Mlantjaran ka Sasak dan Bukit Buung Bukit Mentik. Penguatan budaya Bali oleh tokoh guru pada kedua novel ini berhasil diterjemahkan oleh pengarang melalui proses transformasi budaya dari tokoh guru kepada siswasiswa dan masyarakatnya. Sebuah konsep pemahaman budaya, dengan budaya daerah sebagai landasan dasar memahami budaya nasional sehingga posisi budaya daerah makin mengkristal di hati pendukungnya. Dengan demikian, pembangunan bidang kebudayaan saling bersinergi antara budaya daerah, nasional, dan global sesuai dengan konsep Ki Hajar Dewantara (1994: 86). Hal itu bisa diwujudkan karena
335
tokoh guru pertama-tama berjuang melawan musuh-musuh dalam dirinya sebagai bentuk perjuangan ideologi yang dikembangkan oleh pengarang untuk membentuk watak guru dengan mendidik diri sendiri (Duarsa,1986:74). Hal ini tampak sangat pada tokoh Made Sarati dalam novel Mlantjaran ka Sasak karya Gde Srawana. Ketiga, pengarang Bali yang menulis dalam SIM baik yang menulis cerpen maupun novel cenderung menempatkan tokoh guru sebagai sosok yang dinamis mengikuti perkembangan zaman secara realistis. Dinamika itu tidak semata-mata dibebankan kepada tokoh guru, tetapi juga dikendalikan oleh sikap hidup masyarakat yang berubah dan cenderung instan. Perubahan sikap dan pandangan tokoh guru mengikuti perubahan zaman (terutama akibat pariwisata) ditemukan dalam karyakarya Aryantha Soethama.
Aryantha Soethama menempatkan tokoh guru yang
cenderung tidak konsisten melakukan swadharma sebagai guru.
Guru
mudah
tergoda oleh janji dan godaan kemewahan yang ditawarkan oleh dunia pariwisata. Tokoh guru yang dikendalikan oleh sikap hidup masyarakat yang cenderung pragmatis dan instan tergambar pada karya-karya Putu Wijaya, baik dalam novel maupun cerpen.
Tokoh-tokoh guru dalam karya-karya Putu Wijaya diposisikan
sebagai pribadi yang lemah secara ekonomi dan lemah secara seksual (syahwat). Pelabelan itu berdasarkan penilaian dan tekanan masyarakat berdasarkan pandangan pragmatis dan materialistik. Dengan parameter penilaian itu, guru digambarkan sebagai sosok yang gagal menyesuaikan diri dengan keadaan, sehingga cara mengajarnya pun tetap kuno, bahkan menggunakan cara-cara kolonial, sebagaimana pernah dilakukan penjajahan selama 3,5 abad di Indonesia. Citra guru demikian
336
menafikan pengabdian seorang guru yang berhasil menyadarkan dan mencerdaskan masyarakat. Hubungan guru dengan murid sudah sampai pada tahap transaksional, tidak lagi edukasional. Keempat, faktor-faktor
yang memengaruhi perubahan sikap guru dalam
cerpen dan novel pengarang Bali dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang memperkuat jati diri keguruan antara lain bakat, minat, dan kematangan jiwa para tokohnya. Faktor internal ini sangat kuat dalam tokoh guru yang ditampilkan melalui novel dan cerpen SBM sejak zaman kolonial Belanda sampai zaman reformasi. Dalam rentang waktu 65 tahun sejak terbitnya novel Mlantjaran ka Sasak (1939) hingga novel Bukit Buung Bukit Mentik
(2004) tokoh guru digambarkan memiliki motivasi intrinsik yang kuat
sehingga citra idealis, humanis, dan nasionalis melekat pada tokoh-tokohnya. Faktor eksternal yang memengaruhi sikap guru untuk berubah, antara lain perubahan zaman, godaan lingkungan pariwisata dan pola hidup masyarakat yang mendewakan uang (material) dan kekuasaan sebagai ukuran keberhasilan. Akibat faktor itu, tokoh guru dalam novel dan cerpen sastra Indonesia dikorbankan bahkan dilemahkan melalui sistem adat yang berbau feodal. Suara-suara yang memuliakan dan memartabatkan profesi guru terdengar samar-samar, dikalahkan oleh suara kencang yang menyudutkan dan melemahkan dengan ukuran keberhasilan ekonomi dan kekuasaan. Kelima, makna perjuangan guru dalam karya pengarang Bali meliputi makna edukatif, rekreatif, sosial, dan dinamika. Makna edukatif berkaitan dengan
337
penanaman nilai-nilai pendidikan dan etika dari guru kepada murid-murid
dan
masyarakat pada umumnya. Hal ini sebagai pertanda bahwa pengarang menjadikan karyanya sebagai sarana memanusiakan manusia yang oleh Tilaar (2000: 40) disebut sebagai proses hominisasi dan humanisasi dalam pendidikan.
Makna rekreatif
berkaitan dengan karya sastra sebagai karya seni yang memberikan hiburan kepada pembaca melalui keindahan bahasa. Estetika bahasa yang digunakan mencerminkan semangat
zaman
yang dituangkan dalam surat-menyurat, banyolan, metafora,
sindiran, pantun, tembang dan analogi. Di samping itu keindahan juga muncul dalam kontradiksi-kontradiksi keadaan tokoh guru yang cenderung satirik - tragedik. Makna sosial ditemukan dalam karya SBM maupun SIM melalui hubungan antara guru dengan guru baik dalam satu sekolah maupun dengan sekolah lain. Hubungan itu tidak hanya dalam satu provinsi
dan satu profesi tetapi juga
antarprovinsi dan antarprofesi. Hal ini menunjukkan tokoh guru yang berasal dari Bali memiliki solidaritas menjaga nilai kebersamaan dan menguatkan identitas. Makna dinamika dalam karya sastra tentang guru oleh pengarang Bali ditemukan dalam SIM. Tokoh guru digambarkan tidak dapat mengelak dari perkembangan di sekelilingnya terutama akibat pergaulan global melalui dunia pariwisata yang selalu membayang-bayangi tidak saja profesi guru tetapi juga profesi lainnya. Godaan pariwisata dan kapitalis yang hendak mengubah pandangan guru ditemukan dalam karya Aryantha Soethama dan Putu Wijaya baik novel maupun cerpen-cerpennya. Namun sebagai agen perubahan, tokoh guru tetap memegang teguh etika moral berdasarkan
metodik dan didaktik yang dijadikan pijakan sebagaimana ia
338
membelajarkan para siswanya. Semangat dan jiwa idealisme keguruan para tokohnya terlalu kuat untuk dirobohkan.
9.2 Temuan Penelitian Temuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, penelitian ini menemukan ada hubungan interteks dalam SBM dari segi tematis dan hubungan tokoh guru dengan kelompok triwangsa (menak). Cinta tidak sampai menjadi tema sentral dalam empat novel SBM. Hubungan antartokoh guru direpresentasikan sebagai sosok yang lemah secara ekonomi, tetapi kuat memegang prinsif dalam melaksanakan tugas dan tidak mudah tergoda oleh aneka perubahan di sekitarnya. Tokoh-tokoh guru digambarkan sebagai wujud perpaduan ideal antara konsep catur guru (guru rupaka, guru pengajian, guru wisesa, dan guru Swadyaya) dalam kebudayaan Bali dan ajaran Ki Hajar Dewantara yang terkenal dengan tiga semboyannya, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Para tokoh guru direpresentasikan sebagai sosok yang berada di garda depan dalam membangun Indonesia Raya. Kedua, cerpen dan novel tentang guru dalam SIM karya pengarang Bali memberikan gambaran kepada pembaca tentang tipologi guru yang menunjukkan perubahan sikap guru terhadap profesinya dan perubahan pandangan masyarakat terhadap profesi guru. Wacana tentang guru dipahami sebagai arena pertarungan sosial yang diartikulasikan melalui bahasa (Eriyanto, 2001: 30). Pertarungan itu membuat profesi guru terombang-ambing sehingga
citra kebimbangan
tidak
339
terhindarkan antara memegang prinsif
idealisme keguruan dan meleburkan diri
dalam pandangan pragmatis dan materialistik. Kebimbangan tokoh guru dalam sastra pengarang Bali ini senada dengan kebingunggan terhadap penerapan Kurikulum 2013 yang membuat siswa menjadi kelinci percobaan di tengah-tengah pertarungan ideologi di antara para gajah. Ketiga, pengarang Bali menunjukkan semangat memahkotakan budaya Bali melalui tokoh guru dengan cara
yang berbeda. Pengarang SBM memahkotakan
dengan cara halus dan lembut tanpa goncangan, sebaliknya pengarang SIM memahkotakan budaya Bali dengan cara terbuka, dinamis, bahkan prontal. Perbedaan cara pengungkapan itu dimungkinkan oleh ideologi pengarang SBM yang masih kuat memegang tradisi, sebagaimana tergambar dalam tata ruang rumah adat tradisional Bali. Halamannya seakan-akan terbuka dan dapat diamati dari luar secara leluasa tetapi dibatasi dengan aling-aling. Sebaliknya pengarang SIM tanpa tedeng aling-aling membuka pintu aib kebudayaan Bali melalui tokoh guru, tanpa menghiraukan dampaknya.
9.3 Saran Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat dikemukakan dua saran, sebagai berikut. (1) Wacana tentang guru
yang direpresentasikan oleh pengarang Bali dalam
karya-karyanya dapat dijadikan referensi oleh pembaca untuk melihat citra dan perubahan sosial yang diwacanakan. Citra dan perubahan sosial yang
340
diwacanakan bukanlah gejala tunggal melainkan gejala majemuk yang saling berinterelasi secara intertekstual. Semangat kemajemukan ini menjadi peluang bagi pembaca mengapresiasi
karya sastra tentang
guru dalam konteks
multikulural. (2) Fokus penelitian yang terbatas pada tokoh guru dalam cerpen dan novel berbahasa Bali dan berbahasa Indonesia dari kurun waktu terbatas, tidak tertutup kemungkinan dapat
dikembangkan pada penelitian berikutnya
dengan fokus yang berbeda. Dengan demikian, kajian tentang guru dari perspektif yang lain akan tetap terbuka bagi para peneliti berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA Abduhzen, Mohammad. 2013. ―Guru Generasi Baru‖ dalam Kompas (2/7/2013). Jakarta. Alen, Pamela. 2004. Membaca, dan Membaca Lagi Reinterpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995. Magelang: Indonesiatera. Ali, Lukman. 2000. ―Buku-Buku yang Dilarang.‖ Dalam Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Yayasan Adikarya IKAPI, dan The Ford Foundation. Alwasilah, A. Chaedar.1997. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Rosdakarya. Ardhi, A. Wiyat S. 2004. Bukit Buung Bukit Mentik. Gianyar: Bhadrika Ashrama Keramas. Ardhi, A. Wiyat S. 2013. Kedatangan Islam di Keramas. Gianyar: Bhadrika Ashrama Keramas. Arupalaka, Andi Firliana Widiarli. 2008. Citra Guru dalam Kumpulan Cerpen Suci Menulis di Balik Papan Tulis Karya SN Ratmana (skripsi). Jakarta: FIB UI. Artawan, Gde. 2010. ―Potret dan Perjuangan Kultural Wanita Bali dalam NovelNovel Panji Tisna, Putu Wijaya, dan Oka Rusmini.‖ (Disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Unud. Ascroft, Bill. dkk. 2003. Menelanjangi Kuasa Bahasa Teori dan Praktik Sastra Poskolonial. Yogyakarta: CV Qalam. Aziz S.R., Abdul. 2008. ―Menyusun Rancangan Penelitian Kualitatif‖ dalam Analisis Data Penelitian Kualitatif Karya Burhan Bungin. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Bagus, I Gusti Ngurah dan I Ketut Ginarsa. 1978. Kembang Rampe Kasusastraan Bali Anyar Wewidangan 2 Buku I. Singaraja: Balai Penelitian Bahasa. Bandel, Katrin. 2006. Sastra, Perempuan,Sex. Yogyakarta: Jalasutra. Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Praktik. (terj.) Yogyakarta : Bentang. Baso, Ahmad. 2005. ―Ke Arah Feminisme Postradisional‖ dalam Perempuan Multikultural Negosiasi dan Representasi. Depok: Desantara. 341
342
342
Baswedan, Anies. 2013. ―Vip-kan Guru-Guru Kita!‖ dalam Kompas (28/11/2013). Berybe, Hendrik. 2001. ―Dilema Pelembagaan Pendidikan.‖ Dalam Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman. Yogyakarta: Kanisius. Buchori, Mochtar. 2010. ―Guru Profesional dan Plagiarisme‖ dalam Kompas (22/2/2010). Budiarti, Yanti Sri. 2009. ―Representasi Citra Guru dalam Tujuh Novel Indonesia Modern Pascakemerdekaan Berdasarkan Tinjauan Psikologis Sastra‖. (Tesis). Bandung: UPI. Bungin, Burhan. 2008. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Cavalarro, Dani. 2004. Critical and Cultural Theory (Teori Kritis dan Teori Budaya). Terj. Laily Rahmawati. Yogyakarta: Niagara. Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Damono, Sapardi Djoko. 1981. ―Menulis Puisi dalam Kelas‖ Dalam majalah Pembinaan Bahasa Indonesia Jilid I Tahun 1981. Jakarta: PT Bhratara Karya Aksara. Damono, Sapardi Djoko. 1999. Politik Ideologi dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus. Damono, Sapardi Djoko. 2000. ―Kritik Sosial dalam Sastra Indonesia.‖ Dalam Sumber Terpilih Sejarah sastra Indonesia Abad XX. (E.Ulrich Kratz,ed.). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Darmaningtyas. 2004. Pendidikan yang Memiskinkan. Yogyakarta : Galang Press. Darma Putra, I Nyoman.1998a. ―Jejak Postkolonial Teks Sastrawan Bali.‖ Dalam Dinamika Kebudayaan Vol.1, September. Denpasar: Universitas Udayana. Darma Putra, I Nyoman.1998b. ―Sajak Protes Penyair Bali 1990-an.‖ Dalam Proses & Protes Budaya Persembahan untuk Ngurah Bagus. Denpasar: Bali Post.
343
Darma Putra, I Nyoman. 2003. ―I Wayan Bhadra: Intelektual, Sastrawan, dan Redaktur yang Nyaris Terlupakan.‖ Dalam Guratan Budaya dalam Perspektif Multikultural. Denpasar: Fakultas Sastra dan Budaya Unud. Darma Putra, I Nyoman. 2008. Bali dalam Kuasa Politik. Denpasar: Arti Foundation. Darma Putra, I Nyoman. 2010. Tonggak Baru Sastra Bali Modern. Denpasar: Pustaka Larasan. Darma Putra, I Nyoman. 2011a. ―Metamorfose Identitas Bali Abad ke-21 dan Kontribusinya dalam Pembentukan Kebudayaan Bangsa.‖ Dalam Bali dalam Proses Pembentukan Karakter Bangsa. Denpasar: Pustaka Larasan. Darma Putra, I Nyoman. 2011b. ―Mulai Berbentuk Budaya dan Nasionalisme di Bali 1959-1965.‖ Dalam Ahli Waris Budaya Dunia Menjadi Indonesia 19501965. Denpasar: Pustaka Larasan, KITLV Jakarta. Darma, Budi. 2003. ―Sastra Kita: Menghadapi Masa depan‖ dalam Adakah Bangsa dalam Sastra? Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. Darmayasa, I Made. 1995. Canakya Niti Sastra (terjemahan). Denpasar : Yayasan Dharma Naradha. Dewantara, Ki Hajar. 1994. Karya Ki Hajar Dewantara Bagian II: Kebudayaan. Yogyakarya: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Dewantara, Ki Hajar. 2004. Karya Ki Hajar Dewantara Bagian I: Pendidikan. Yogyakarya: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Dewanto, Nirwan. 1992. ―Penutup‖ dalam Kado Istimewa Cerpen Pilihan Kompas 1992.Jakarta: Harian Kompas. Duarsa,WD. 1986. Mi Ultimo Adios. Denpasar: Mahawerdhi SPGN Denpasar. Easwaran, Eknath. 2013. Gandhi The Man. Bandung: Bentang. Eddy, Nyoman Tusthi. 1995. ―Sastra Bali Modern : Sastra dengan Sosok Terpenggal-Pengal.‖ Dalam Bali di Persimpangan Jalan 1 (Sebuah Bunga Rampai). Denpasar: Nusa Duta IndoBudaya. Eneste, Pamusuk (ed.). Buku Pintar Sastra Indonesia. 2001. Jakarta: Kompas.
344
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS. Fahrizal. 2001. ―Para Priyayi : Potret Berdebu Secarik Makna.‖ Dalam Sepuluh Karya Terbaik Lomba Mengulas Karya Sastra Tahun 2000. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial Hegemoni & Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Foulcher, Keith dan Tony Day. 2008. Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial. Jakarta: Buku Obor dan KITLLV. Goleman, Daniel. 1999. Emotional Intelligence. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Goulet, Denis.1984. ―Prakata‖ dalam Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta: PT Gramedia. Hatley, Barbara. 2008. ―Postkolonialitas dan Perempuan dalam sastra Indonesia Modern.‖ Dalam Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial. Jakarta : Yayasan Obor. Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. Herman Ks. 1985. Potret Penyair Pengembaraan Batin Penyair Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Arus. Hill, David T. 2011. ―40 Tahun Menjelajah Indonesia‖ dalam Kompas (20/8/2011). Hutomo,Suripan Sadi. 1976. ―Peranan dan Kedudukan Sastra Daerah dalam Pengembangan Sastra Indonesia.‖ Dalam Bahasa dan Sastra Tahun I Nomor 6 1976. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Irawanto, Budi. 2003. ―Sastra dan Simulacra‖ dalam Sastra Interdisipliner Menyandingkan Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Yogyakarta : Sanding dan Qalam. Ismail, Taufik. (ed.). 2004. ―Birokrasi, Fobi Sekolah, dan Citra Guru.‖ Dalam Horison Esai Indonesia. Jakarta: Horison - The Ford Foundation. Jabrohim,( ed.) 2002. Metodologi Penelitian Sastra. Jogjakarta : PT Prasetia Widya Pratama.
345
Jassin, HB. 1983. Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia. Jakarta: PT Gramedia. Jassin, HB. 1986. Analisa Sorotan Atas Cerita Pendek. Jakarta: Gunung Agung. Joesoef, Daoed. 2007. ―Mempertaruhkan Masa Depan‖ dalam Kompas (25/07/2007). Kaler, I Gusti Ketut. 1983. Butir-Butir Tercecer tentang Adat Bali. Denpasar : Bali Agung. Kamdi, Waras. 2010. ―Sertifikasi Guru‖ dalam Kompas (24/11/2010). Kasali, Rhenal. 2013. ―Guru dan Perubahan‖ dalam Kompas (7/2/2013). Keniten, IBW. 2013. Pohon Jiwa. Tabanan: Pustaka Ekspresi. Khomsan, Ali. 2009. ―Mutu Pendidik yang Mengecewakan‖ dalam Kompas (24/10/2009). Ki Nirdon. 1992. Wija Kasawur. Denpasar: Warta Hindu Dharma. Kleden, Ignas. 2001. ―Linking‖ dan ‗Delinking‘ dalam Pendidikan dan Kebudayaan.‖ Dalam Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman. Yogyakarta: Kanisius. Kusuma, I Nyoman Weda.1990. ―Novel Sukreni Gadis Bali Sebuah Tinjauan Sosiologis Sastra‖ (Tesis). Yogyakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Kusuma, I Nyoman Weda. 1998.‖Pandangan Dunia Penokohan dalam Novel Sukreni Gadis Bali.‖ Dalam Proses & Protes Budaya Persembahan untuk Ngurah Bagus. Denpasar: Penerbit Bali Post. Kusuma, I Nyoman Weda. 2005. ―Pluralisme Budaya dalam Perspektif Reformasi.‖ Dalam Kompetensi Budaya dalam Globalisasi. (Darma Putra & Windu Sancaya,ed). Denpasar: Unud dan Pustaka Larasan. Lie, Anita. 2007. ―Guru, Mengajar Apa atau Siapa.‖ Dalam Kompas (24/11/). Luxemburg, Jan van, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. (terj. Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia.
346
Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta: Bening Publishing. Mahayana, Maman S. 2006. Bermain dengan Cerpen: Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka. Mahayana, Maman S. 2006. ―Novel dengan Semangat Guru Sejati‖ dalam http://mahayana-mahadewa.com/ diakses 16 Juli 2012. Manda, Nyoman. 1995. Helikopter (Pupulan Satua Cutet). Gianyar : Pondok Tebawutu Manda, Nyoman. 2002. Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah. Gianyar: Pondok Tebawutu. Mantra, Ida Bagus dan Ida Bagus Agastia. 1995. ―Kemiskinan Spiritual dan Strategi Pengentasannya.‖ Dalam Moksartham Jagadhita. Denpasar: Upada Sastra. Mardiah. 2006. ―Redefinisi Guru dalam Sang Guru Gerson Poyk.‖ Dalam 25 Naskah Terbaik Lomba Menguas Karya Sastra 2005. Jakarta: Depdiknas. Marzuki. 1989. Metodologi Riset. Yogyakarta: BPFE – UII. Mohamad, Gunawan. 2013. ―Dari Djemila ke Sela-Sela Sejarah.‖ Dalam Catatan Pinggir Tempo (2—8 Desember). Naim, Ngainun. 2011. Menjadi Guru Inspiratif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Nasution, Ikhwanuddin. 2010. ―Dari Polemi Kebudayaan ke Polemik Kesusastraan.‖ Dalam Membaca Takdir Pemikiran dan Jejak STA. Jakarta: Dian Rakyat. Parisada Hindu Dharma. 1968. Upadeca tentang Ajaran-Ajaran Hindhu. Denpasar. Pitana, I Gde. (ed.) 1994. Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar : Bali Post. Pitono, Djoko (ed.) 2007. Bahasa, Sastra, dan Budi Darma. Surabaya: PT Temprina Media Grafika Poyk, Gerson.2010. Keliling Indonesia dari Era Bung Karno Sampai SBY. Jakarta : Penerbit Libri. Poyk, Gerson. 2013. ―Menuju Republik Sastra.‖ Dalam Kompas (3 Maret, hal.20).
347
Pradopo, Rachmat Djoko.2002. ―Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik.‖ Dalam Metodologi Penelitian Sastra. Jabrohim (ed.). Yogyakarta : Hanindata. Prasetya, Arif Bagus. 2007. ―Tamsil Zaman Citra‖ dalam Bunga Rampai Pemenang Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2007. Jakarta: Dewan Kesenian. Prihatmi, Th. Sri Rahayu. 2001. Karya-Karya Putu Wijaya : Perjalanan Pencarian Diri. Jakarta: Grasindo. Putra, I Ketut Mandala, dkk. 2008. Ensiklopedia Sastra di Bali. Denpasar: Depdiknas Pusat Bahasa. Rahardjo, Suparto. 2010. Ki Hajar Dewantara Biografi Singkat 1889-1959. Yogyakarta: Garasi House Of Book. Raka, Ida ID Gede. 2006. ―Membangun Sekolah yang Mampu Menjawab Perkembangan Zaman dan Tantangan Kemajuan.‖ Dalam Peran Strategis Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Rahman, dkk. (ed.) Bandung : Alqaprint Jatinangor bekerjasama dengan AKSI. Ratna, I Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, I Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Poststrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, I Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Sudies, Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Ratna, I Nyoman Kutha. 2007. Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Riyanto, Yatim. 2010. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta : Media Group. Robinson, Geoffrey. 2006. Sisi Gelap Pulau Dewata Sejarah Kekerasan Politik. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. Rohman, Arif. 2013. Guru dalam Pusaran Kekuasaan: Potret Konspirasi dan Politisasi. Yogyakarta: Aswaja Pressindo. Rosidi, Ajip. 1985. Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? Jakarta: Gunung Agung.
348
Samawi, HM Idham. 2007. ―Pendidikan, Kebangsaan, Masa Depan.‖ Dalam Teropong Pendidikan Kita Antologi Artikel 2006—2007. Jakarta: Depdiknas. Sancaya, Windu I Dewa Gede. 1985. Analisis Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang Karya Jelantik Santha Berdasarkan Pendekatan Sosiologi Sastra : Dalam Perbandingan. (Skripsi). Denpasar : Fakultas Sastra Unud. Sanggra, Made. 2002. Suling Pupulan Puisi Bali Anyar. Sukawati: Yayasan Wahana Dharma Sastra. Santha, Djelantik. 1981. Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang. Denpasar. Santha, Djelantik. 2002. Biur Pupulan Cerpen Basa Bali. Denpasar: Sanggar Burat Wangi. Santosa, Slamet Iman. 1987. Pendidikan di Indonesia dari Masa ke Masa. Jakarta: CV Haji Masagung. Samargantang, I Gst. Putu Bawa. 2000. ―Guru Sampun Sue Kaudek.‖ Dalam Canang Sari No. 08/Th. III, Cawu III/2001.Gianyar: Sanggar Tebawutu. Sastrowardoyo, Subagio. 1992. ―Pengantar‖ dalam Kado Istimewa Cerpen Pilihan Kompas 1992. Jakarta: Harian Kompas. Setiawan, Benni. 2008. Agenda Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Ar-Ruzzmedia. Simanjuntak, Hamonangan (ed). 2009. 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Narasi. Sinamo, Jansen. 2010. 8 Etos Keguruan. Jakarta: Institut Darma Mahardika. Soekanto, Soerjono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Soethama, Gde Aryantha Foundation.
Gde. 2004.
Bali
Tikam Bali. Denpasar: Arti
Soethama, Aryantha Gde. 2009a. Daerah Baru Kumpulan Cerpen. Denpasar: Arti Foundation. Soethama, Gde Aryantha. 2009b. Mandi Api. Denpasar : Arti Foundation.
349
Soethama, Gde Aryantha Gde. 2010a. Dari Bule Jadi Bali. Denpasar: Arti Foundation. Soethama, Gde Aryantha. 2010b. Senja di Candi Dasa. Denpasar: Arti Foundation. Srawana, Gde. 1978. Mlantjaran ka Sasak. Denpasar: Yayasan Saba Sastra Bali. Sudartha, Tjok. Rai. 1997. Slokantara. Denpasar : Upada Sastra. Sugianto, I Made. 2010. Bikul Pupulan Satua Bawak. Tabanan: Pustaka Ekspresi. Sugianto, I Made. 2011. Bunga Valentine Pupulan Cerpen Bali Modern. Tabanan : Pustaka Ekspresi. Sularto, St. 2009. ―Catatan Editor.‖ Dalam Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi‟ Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Sumardjo, Jakob. 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: CV Nurcahaya Supeno, Hadi. 1999. Agenda Reformasi Pendidikan. Magelang: Pustaka Paramedia. Supriadi, Dedi (ed.). 2003. Perjalanan PGRI (1945-2003). Jakarta: PB PGRI Pusat. Suryadi AG., Linus. (ed.). 1987. Tonggak Antologi Puisi Indonesia Modern. Jakarta : Gramedia. Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suyanto. 2006. Dinamika Pendidikan Nasional (dalam Percaturan Dunia Global). Jakarta: PSAP. Taufiq Ismail,dkk. (ed). 2002. Horison Sastra Indonesia 3 Kitab Nukilan Novel. Jakarta: Horison,Kaki Langit, dan The Ford Foundation. Taufiq Ismail. 2000. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Jakarta : Yayasan Indonesia. Teeuw, A. 1978. Sastra Baru Indonesia 1. Ende: Nusa Indah. Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
350
Thoha, Miftah. 2011. Birokrasi & Politik di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. Tim Penyusun. 1978. Kamus Bali - Indonesia. Denpasar: Dinas Pengajaran Provinsi Bali. Tingkat, I Nyoman. 2007a. ―Representasi Perubahan Budaya Bali dalam NovelNovel Sunaryono Basuki‖ (Tesis). Denpasar: Program Pascasarjana Unud. Tingkat, I Nyoman. 2007b. Guru dalam Jejak Sastra. Denpasar: Arti Foundation. Todorov, Tzvetan. 1983. Dasar-Dasar Intertekstualitas Pergulatan Mikhail Bakhtin Menuju Teori Sastra Terpadu. (terj. Sunaryono Basuki). Denpasar: CV Bali Media Adhikarsa. Triguna, Yudha. 2000. Teori tentang Simbol. Denpasar : Widya Dharma. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Wipress. Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005. Guru dan Dosen. Jakarta: Wipress. Widiyanto, Y Nugroho. 2011. ―Guru Bersertifikasi, di Mana Dikau?‖ Dalam Kompas (7/5/2011). Wijaya, Putu. 1995. Protes. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Wijaya, Putu. 1977. Tiba-Tiba Malam. Jakarta: Penerbit Cypress. Wijaya, Putu. 2001. Putu Wijaya Sang Teroris Mental. Jakarta: Gramedia. Wijaya, Putu. 2004. Bor. Jakarta : Gramedia. Wijaya, Putu. 2014. Bertolak dari yang Ada (kumpulan Esai untuk PW 70). Jakarta : Pentas Grafika. Yunus, Umar. 1960. ―Istilah dan Masa Waktu ‗Sastra Melayu‘ dan ‗Sastra Indonesia‘.‖ Dalam Medan Ilmu Pengetahuan, I/3, Juli. Yunus, Umar. 1985. Dari Peristiwa ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia. Jakarta : PT Gramedia.
351
Yunus, Umar.1986. Sosiologi Sastra Persoalan Teori dan Metode. Kualalumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia.
352
Lampiran 01 Biografi Putu Wijaya
Putu Wijaya lahir di Puri Anom Tabanan, 11 April 1944. Sejak kecil senang menonton pertunjukan wayang dan membaca. Sejak masih di TK keinginan itu sudah deras, tetapi entah kenapa tidak pernah terpilih (Wijaya, 2004: 211). Keinginan yang lama terpendam itu baru mendapat penyaluran ketika belajar di SMA Negeri Singaraja. Pada saat itu, Kirjomulyo yang diundang pihak sekolah untuk menyutradarai pertunjukan, memilih Putu Wijaya memainkan peran Parlan dalam lakon ―Badak‖ karya Anton Chekov. ―Sejak itu, saya main-main di panggung dan kemudian menyutradarai sendiri pertunjukan. Akhirnya membuat sendiri lakon. Dari Kirjomulyo, saya menyimpan satu pesan yang samapai sekarang saya hidupkan dalam diri saya bahwa : ―mengarang itu berjuang‖ (Wijaya, 2004: 211). Selain peran Kirjomulyo, Putu Wijaya juga merasa berutang budi pada ibu Gedong Bagus Oka, wanita cerdas yang luas wawasan dan pengetahuannya. ―Saya kagum pada beliu. Dari beliaulah saya mendapat inspirasi untuk menuliskan tokohtokoh wanita yang kuat dan tegar‖ (Wijaya, 2004: 212). Dari sosok perempuan inilah Putu Wijaya mendapat kesempatan pertama ke luar negeri yakni ke Jepang selama 7 bulan bergabung dengan komunitas Ittoen yang memandang kerja sebagai ibadah (karmayoga dalam kepustakaan Hindu). Pengalaman memerankan Parlan dalam lakon ―Badak‖ karya Anton Chekov telah menyihir Putu Wijaya untuk total dalam seni pertunjukan. Totalitas dalam seni
353
pertunjukkan diasah melalui Bengkel Teater pimpinan Rendra (1967-1969), dilanjutkan bergabung dengan Teater Kecil pimpinan Arifin C Noer, lalu sempat main sekali dalam pementasan Teater Populer pimpinan Teguh Karya. pengalaman itu, pada 1971 Putu Wijaya memutuskan untuk
Belajar dari
mendirikan Teater
Mandiri, dengan mengajak siapa saja yang mau bergabung dan mengembangkan diri. Putu Wijaya sampai pada pemahaman bahwa, ―teater adalah pengalaman spiritual‖ (Wijaya, 2004:
212). Kesulitan yang dialami ketika memimpin Teater Mandiri
adalah modal besar yang justru menolongnya membuat jalan ke luar. Terutama ketika para pemain tidak disiplin berlatih, lebih-lebih pada saat pentas akan digelar. ―Saya melatih diri saya untuk memanfaatkan/membalikkan kelemahan/kekurangan menjadi kekuatan‖. Tantangan yang dihadapi dalam berteater telah melahirkan konsep kerja : ―bertolak dari yang ada‖. Kegigihannya berjuang di jalur teater telah mengantarkan Putu Wijaya menghirup udara di berbagai negara. Pada 1974, selama 7 bulan berkesempatan untuk hidup bersama di tengah masyarakat komunal Ittoen di Kyoto, Jepang. Pengalaman hidup di Jepang telah memberikan inspirasi dengan filosofi, ―kerja sebagai ibadah‖ (Wijaya,1995: 313). Filosofi ini setara dengan konsep karma yoga dalam tradisi Hindu. Dengan konsep ini, bekerja apa pun (dalam arti positif) sesungguhnya adalah bagian dari pemujaan kepada Tuhan karena di dalam kerja terjadi proses melayani antara sesama yang pada dasarnya berasal dari sumber yang sama. Selain Jepang, Putu Wijaya juga pernah mengikuti International Writing Program selama 8 bulan di Iowa AS. Dalam perjalanannya pulang ke Indonesia, ia
354
sempat bermain di Festival Teater sedunia dengan Nancy dari Prancis (Wijaya, 1995: 313). Hal ini menandakan Putu Wijaya terus menambah pengalamannya berteater. Kerja sungguh-sungguh dalam teater telah memberikan Putu Wijaya jalan hidup di bidang kebudayaan, sehingga dipercaya menjadi dosen dan sutradara tamu Fulbright di Universitas Wisconsin, Wesleyan, dan Cornell AS (1985—1988) bersama istrinya, Dewi Pramunawati, sampai akhirnya Teater Mandiri didaulat mengisi acara pameran Kebudayaan Indonesia di AS (1991) dengan pertunjukan Yel bekeliling AS. Pada 1991-1992, ia mendapatkan beasiswa dari Japan Foundation untuk menulis novel, di Kyoto Jepang sekaligus menjadi dosen tamu di CSEAS Universitas Kyoto. Penghargaan yang diraih oleh Putu Wijaya antara lain pada 1980 memperoleh Sea Write Award dari Ratu Sirikit di Bangkok. Tiga kali mendapatkan Piala Citra dalam FFI untuk skenario film terbaik, yakni : Perawan Desa (1980), Kembang Kertas (1985), serta Ramadhan dan Romana (1993). Pada 1990, Putu Wijaya meraih Anugrah Seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Selain pekerja teater, Putu Wijaya adalah penulis yang sangat produktif hingga usia senja. Ia mulai menulis sejak SMP dengan cerpennya berjudul ―Etsa‖ yang dimuat di harian Suluh Indonesia (kini Bali Post). “Setelah pemuatan itu, keinginan saya untuk mengarang tak bisa ditahan lagi. Saya menulis cerpen-cerpen di ruangan Fajar Menyingsing, majalah Mimbar Indonesia. Baru 5 tahun kemudian, tulisan saya mulai bisa dimuat di Minggu Pagi, Majalah Djaya, sebelum akhirnya di Horison dan harian Kompas‖ (Wijaya, 2004: 214).
355
Sampai saat ini Putu Wijaya telah menulis lebih dari 40 novel, 40 lakon, dan lebih dari 1000 cerpen, esai, kritik dan berbagai macam tulisan. Sejumlah karyanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia, Inggris, Jerman,Belanda, Perancis, Jepang, Thai, dan Arab. Walaupun Putu Wijaya telah lama meninggalkan Bali (mula-mula Yogya lalu Jakarta), menurut penuturannya, ia mencintai Bali tidak secara fisikal. Ia mencintai Bali secara spirit. Ia menerjemahkan spirit Bali dalam karya-karyanya. Konsep Desa, Kala, Patra menjadi rujukan dalam karya-karyanya. Bahkan, dengan berjarak ia merasa dekat dengan Bali dalam arti bahwa bisa mengamati lebih cermat dan bebas melakukan reinterpretasi terhadap semua kebijakan local, baik tradisi maupun adat Bali (Wijaya, 2004: 214). Karya-karya Putu Wijaya mencakup bidang yang luas tetapi disatukan dengan benang merah yang disebutnya teror mental. Namun, di antara luasnya bidang itu, perhatian Putu Wijaya terhadap guru dalam karya-karyanya cukup banyak. Dalam penelitian ini dibahas karyanya yang berkaitan dengan guru yaitu novel Tiba-tiba Malam dan tiga cerpen, masing-masing berjudul, ―Guru, Guru 1, dan Guru 2‖.
356
Lampiran 02 Biografi GdeAryantha Soethama
Gde Aryantha Soethama lahir dari pasangan I Made Soethama dan Ni Ketut Anom di Klungkung, pada 15 Juli 1955. Ayahnya dari Batu Bulan Gianyar adalah seorang guru yang pernah menjabat sebagai Kepala SMPN 1 Klungkung, sedangkan ibunya seorang ibu rumah tangga dari Klungkung. Ibunya adalah orang yang ulet, gigih, tangguh dalam berwirausaha. Kemampuan menulis Aryantha diturunkan dari keluarga ayah yang berasal dari Sukawati. Menurut penuturannya pada saat wawancara di rumahnya (Jumat,27/12/2013), garis keturunan ayahlah yang menurun dalam hal menulis. ―Kakek saya pada zaman Belanda adalah orang telaten yang mencatat perjalanan siapa saja yang lewat dan dijumpainya. Catatan itu dibuat dalam lontar. Jika itu bisa ditemukan, ini akan menjadi karya jurnalistik pertama dalam bentuk lontar di Bali. Sayang lontar itu tak bisa ditemukan‖, kata Aryantha. Penulis novel Senja di Candi Dasa ini juga mengaku garis keturunan ayah mewariskan sikap kritis. Pada zamannya, garis keturunan ayah tergolong kaum terpelajar dan intelek. Oleh karena itu, pada zaman kerajaan tempo doeloe pihak keluarga ayah dipercaya sebagai penasihat raja. Statusnya berkedudukan sebagai bagawanta kerajaan. ―Sebagai orang intelek, keturunan keluarga ayah bekerja dengan independen, tidak suka menjilat‖, kata Aryantha. Sikap demikian sesuai dengan
357
pekerjaan Aryantha sebagai pengarang yang lama bergelut di dunia jurnalistik sebagai wartawan. Dari garis keturunan ayah di Sukawati, Aryantha Soethama juga mewarisi jiwa seni. Oleh karena itu, masuk akal jika ia pernah memenangkan lomba drama waktu mahasiswa. Bahkan, ia sebagai penulis naskah drama sekaligus pemain drama yang pernah direkam di TVRI Denpasar ketika televisi masih hitam putih. Walaupun demikian, Aryantha Soethama merasa lebih cocok melakoni pekerjaan menulis daripada bermain drama. ―Menulis, khususnya cerpen dan novel membuat saya bahagia. Menulis itu sunyi sendiri. Ketika dimuat di Koran, banyak yang tahu, walaupun tidak bisa menjadi selebritas karena menjadi penulis itu bekerja di belakang layar‖, kata Aryantha Soethama pada saat diwawancarai (27/12/2013). Menulis sesungguhnya juga seni berbahasa yang tidak merepotkan orang. Dalam kegiatan menulis, penulis dapat bermain-main dengan kata, jauh dari kesan beban berat. Pernyataan Aryantha itu senada dengan pandangan Damono (1981:9) yang menegaskan bahwa mengarang juga termasuk permainan yang murah dan praktis. Mengarang dapat berlangsung hanya dengan secarik kertas dan pulpen. Berbeda dengan seni lainnya, menggambar, musik atau seni peran misalnya. Menggambar
dan musik, selain memerlukan
cat atau alat musik yang mahal,
terkadang juga harus melibatkan sejumlah orang. Demikian pula seni peran harus berkelompok dengan busana tertentu, mengatur pemain, menyiapkan tatalampu, dekorasi dan sebagainya. ―Ini tentu saja membawa kepuasan berbeda‖, kata Aryantha
358
Soethama. Kalau pentas, penonton bisa langsung merespon, sedangkan menulis bergantung pada respon pembaca. Ayah dari Putu Larasati Soethama dan Luhur E.Empu Soethama ini memiliki minat yang luas, tampak dari topik-topik tulisan yang dihasilkan. Ia tidak saja menulis cerpen dan novel, tetapi juga menulis esai, catatan perjalanan, sampai naskah drama. Cerpen-cerpen Aryantha Soethama umumnya memanfaatkan potensi budaya Bali, entah sisi eksotisnya, persoalan kasta, perubahan budayanya, pariwisata, di samping sikap sebagian manusia Bali yang bangga menjadi penonton di balik kemajuan pariwisata. Bahkan, dua novel(et) yang dilahirkan intens memasukkan tokoh asing ke dalam
karyanya. Hal ini juga dapat menjadi bagian pendidikan
multikultur di tengah pergaulan global. Dari garis keturunan ibu, Aryantha Soethama mewariskan sikap ulet, tekun, gigih, di samping jiwa wirausaha yang kini digeluti di bidang percetakan dan penerbitan. ―Dari keluarga ibulah, saya punya sikap tekun, ulet, dan kompetisi. Saya selalu bersaing dengan anak-anak dari keluarga ibu, sejak SD,SMP, hingga SMA‖, kata Aryantha Soethama dalam wawancara (27/12/2013). Aryantha Soethama menempuh pendidikan di SD 2 Klungkung (1961-1966), SMPN 1 Klungkung (1967-1970), SMAN 1 Klungkung (1971), terus ke SMAN 2 Denpasar (1972-1973), lalu ke Fakultas Peternakan Unud (1974-1981). Menurut penuturannya (27/12/2013), pelajaran bahasa Indonesia telah menjadi kesukaannya sejak SD, terutama ketika mendapat pelajaran mengarang. ―Saya sangat menikmati
359
pelajaran mengarang karena dapat mengekspresikan kemampuan berbahasa secara bebas sekaligus meluaskan wawasan‖, demikian kata Aryantha Soethama. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa menulis banyak lahir dari naluri, insting yang diwariskan dari kakeknya. ―Saya sekarang menjadi pewaris talenta kakek yang telaten mencatat segala kejadian di sekitar pada zamannya‖, kata Aryantha Soethama lagi. Naluri menulis telah dibayangkannya ketika ia duduk di bangku SMPN 1 Klungkung. Sebagai sarjana peternakan dengan gelar Insinyur (Ir.), Aryantha Soethama tidak pernah menuliskan gelar dalam karya-karyanya, baik yang telah dibukukan maupun yang dipublikasikan di berbagai media massa, khususnya Koran. Sikap ini menunjukkan, Aryantha Soethama adalah sosok intelektual Bali yang rendah hati. Kerendahhatiannya juga ditunjukkan dengan mengatakan bahwa keluarganya adalah keluarga yang malas kalau disuruh bekerja secara fisik, misalnya membuat kelengkapan alat upacara agama. Akan tetapi, kalau urusan ide dan pemikiran, keluarga saya berada digarda depan. Tidak salah kalau Aryantha Soethama merintis dan mengembangkan potensi dirinya dengan bekerja sebagai wartawan. Wartawan yang teliti mengorek informasi secara detail. Oleh karena itulah, Aryantha Soethama menyindir wartawan amplop yang membuat berita asal-asalan, asal jadi saja. ―Wartawan amplop tidak merasakan dan menghayati profesinya sehingga beritanya hambar, kurang sentuhan nilai kemanusiaan‖, kata Aryantha Soethama. Ayahnya seorang kepala SMP di Klungkung yang mengajar bahasa Inggris dan Menggambar. Berkat mesin tik ayahnya, Aryantha Soethama belajar mengetik
360
sendiri tulisan-tulisan yang dibuatnya untuk selanjutnya dikirim ke redaksi koran atau majalah melalui kantor pos. Akan tetapi, bakat menulisnya berkembang sejak naik kelas 2 lalu pindah sekolah dari SMAN Klungkung ke SMAN 2 Denpasar (19721973). Tinggal di Denpasar, Aryantha Soethama
menggunakan waktu dengan
optimal mengisi diri dengan membaca aneka ilmu pengetahuan. Berkenalan dengan I Made Taro yang juga guru SMAN 2 Denpasar waktu itu, membuatnya mudah menyelinap untuk mendapatkan buku, majalah, Koran untuk dibaca. Sejak pindah dari SMAN 1 Klungkung ke SMAN 2 Denpasar (1972-1973) , Aryantha Soethama adalah satu-satunya siswa yang mempunyai kartu perpustakaan FS Unud. Ketika teman-teman seangkatannya mejeng dan kongkow-kongkow mempermainkan gadis-gadis remaja di seputaran SMAN 2 Denpasar, ia malah datang ke FS Unud memburu berbagai sumber bacaan. Di FS Unud, ia menyepi dan banyak membaca majalah budaya, horizon, dan buku-buku sastra. Dari kegemaran membaca itu, Aryantha sudah berhasil menjajal Koran nasional sejak duduk di bangku SMA. Aryantha mulai belajar menulis ketika remaja, diawali dengan menulis puisi, cerpen, laporan perjalanan, karya jurnalistik, esai, dan novel. Setelah internet merajalela, Aryantha Soethama pun melihatnya seperti pisau bermata dua dalam dunia tulis-menulis. Dampak positifnya, semua
orang dapat
menjadi penulis, mempublikasikan sendiri tulisan-tulisannya, lalu menerbitkan sendiri dalam bentuk buku. Tanpa terikat oleh penjaga gawang yang bertindak sebagai lembaga sensor. Walaupun demikian, tulisan di internet yang muncul secara tiba-tiba juga ada yang berbobot. Dampak negatifnya, internet juga merusak proses
361
pematangan kreativitas
penulis. Internet telah membuka pintu lebar-lebar bagi
budaya instan dalam menulis sehingga calon penulis mudah membajak tulisan orang lain. Ribut-ribut soal plagiarisme di kalangan intelektual Indonesia belakangan ini, juga tidak terlepas dari peran internet dan merajalelanya budaya instan. Menarik juga mengikuti proses kreativitas Aryantha Soethama yang menamatkan sarjana peternakan Unud (1981) dengan gelar Insinyur (Ir.). Mengapa tidak menjadi bos peternak ? Mengapa menjadi bos kata-kata? Terhadap pertanyaan ini Aryantha Soethama menjawab, semuanya berpulang pada diri-sendiri. Taufik Ismail adalah dokter hewan, toh juga membedah kata-kata. Capaianya di bidang kehewanan nyaris tidak terlihat. Begitu juga Putu Wijaya adalah sarjana hukum, tetapi tidak memilih menjadi hakim, pengacara, atau jaksa. Putu Wijaya malah berlabuh di sastra dan kebudayaan, sampai uzur. ―Hidup ini adalah pilihan. Gunakan untuk memilih yang terbaik agar berkembang secara merdeka. Saya menemukan kemerdekaan itu kala menulis‖, jawab Aryantha (wawancara, 27/12/2013). Prestasi menulis Aryantha Soethama antara lain sebagai penulis buku nonfiksi terbaik oleh Pusat Bahasa (2006) atas bukunya berjudul Bolak Balik Bali dan penghargaan Khatulistiwa Literary Award (2006) atas buku kumpulan cerpennya Mandi Api (penerbit Buku Kompas). Selain itu, beberapa cerpennya berkali-kali masuk cerpen pilihan Kompas, yang diterbitkan oleh Kompas sejak 2002 setiap tahun hingga tahun 2013. Kegigihannya menulis telah melahirkan sejumlah buku kumpulan esai, antara lain: Basa Basi Bali (2002), Bali is Bali (2003), Bali Tikam Bali (2004), dan Bolak Balik Bali (2006). Semua kumpulan esai ini dicetak dan diterbitkan sendiri
362
oleh Aryantha Soethama yang mempunyai percetakan di bawah penerbit Arti Foundation. Karya Aryantha Soethama tentang guru ditemukan dalam bentuk cerpen, novel, dan esai. Cerpen-cerpennya umumnya berlatar belakang budaya Bali dan tokoh-tokoh dari luar Bali termasuk tokoh asing dalam konteks pariwisata. Namun demikian, dalam penelitian ini dua cerpen Aryantha tentang guru adalah ―SPP‖ (1972) yang dibukukan dalam kumpulan cerpen Daerah Baru (1984; 2009) dan ―Ibu Guru Anakku‖ dibukukan dalam kumpulan cerpen Mandi Api (2006). Sementara itu novel Senja di Candi Dasa menurut Aryantha lahir karena desakan ekonomi, ―Saat itu 1992, anak saya masih kecil. Hidup di rumah kontrakan. Jadi, perlu uang. Kebetulan Bali Post mengadakan lomba penulisan novel. Saya ikut. Novelet saya berjudul ―Wayang Kamasan‖ yang dimuat Majalah Sarinah, saya kembangkan sesuai dengan persyaratan lomba. Maka, jadilah novel Pilihanku Guru. Meraih juara II dengan hadiah Rp 1.500.000,00. Oleh penerbit Yogyakarta, novel ini diterbitkan (2002) dan judulnya diganti menjadi Senja di Candi Dasa”, demikian Aryantha bernostalgia dengan bangga ketika diwancarai (27/12/2013) di rumahnya.
363
Lampiran 03 Biografi I Wayan Bhadra
Riwayat hidup I Wayan Badra disarikan dari dua sumber tertulis. Pertama, dari buku Kembang Rampe Kesusastraan Bali Anyar (1978) yang ditulis oleh I Gusti Ngurah Bagus dan I Ketut Ginarsa. Kedua, esai Darma Putra dalam Guratan Budaya dalam Perspektif Multikultural persembahan untuk Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus. I Gde Srawana adalah nama lain I Wayan Badra. Ia lahir di Banjar Delod Peken Singaraja pada 19 Oktober 1905 dan meninggal pada usia 72 tahun, tepatnya pada
26 Mei 1977.
Nama I Gde Srawana menjadi monumental berkat karya
novelnya Mlantjaran ka Sasak (Wisata ke Lombok) yang mula-mula terbit di Majalah Djatajoe (1936-1939). Menurut Darma Putra (2003: 820 ), novel Mlantjaran ka Sasak lebih dikenal secara luas oleh publik pembaca daripada novel Nemoe Karma karya I Wayan Gobiah, yang dinobatkan sebagai novel Sastra Bali Modern (SBM) pertama. Alasan yang dikemukan bahwa novel Mlantjaran ka Sasak lebih terkenal karena novel ini lebih mudah diperoleh terutama setelah diterbitkan dalam bentuk stensilan oleh Yayasan Sabha Sastra Bali, pada 1978.
Selain itu, faktor estetik,
struktur naratif, dan kombinasi tema soal cinta, kasta, dan modernitas juga memikat sehingga Mlanjtaran ka Sasak banyak dikaji dan dipuji oleh para kritikus sastra. Wayan Bhadra adalah pegawai yang meniti karier dari bawah sampai akhirnya mendapat posisi puncak sebagai Kepala Kantor Jawatan Kebudayaan.
364
Prestasi itu
adalah sebuah kepercayaan yang diraih dalam waktu yang cukup
panjang, lebih dari 20 tahun sejak menjadi pegawai bulanan. Menariknya, ia mendapatkan tugas sesuai dengan bakat dan minatnya.
Pekerjaannya bertalian
dengan bahasa, kebudayaan, dan agama. Jika ditelusuri lebih jauh, pekerjaannya di jalur birokrasi juga bertalian dengan kegiatannya memimpin Perkumpulan Bali Darma Laksana yang menerbitkan majalah ―DJatajoe‖ bersama Mr. Gde Panetja. Pengalamannya memimpin kegiatan jurnalistik ini berlanjut hingga ia menjadi redaktur Kebudayaan di Majalah Bhakti. Pengalaman memimpin ini berguna bagi tugas-tugasnya di bidang birokrasi, lebihlebih pada saat menjadi Kepala Kantor, baik di Dinas Purbakala, Jawatan Agama maupun di Depdikbud. Dalam perjalanan hidupnya sebagai pengarang I Wayan Bhadra telah melahirkan sejumlah karya, baik karya sastra maupun esai. Oleh karena itulah I Gusti Ngurah Bagus menilai I Gde Srawana seorang peneliti dan sastrawan (Bali Post, 1/6/1977) sebagaimana dikutip Darma Putra
(2003: 818). Sebagai bentuk
penghargaan dan penghormatan terhadap I Wayan Bhadra, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus menggelar seminar pada 12 Desember 2002 di Gedong Kirtya Singaraja, yang dihadiri oleh anak almarhum tertua, I Putu Aswin. Darma Putra (2003: 819) mencatat penuturan Putu Aswin yang mengatakan bahwa I Wayan Bhadra sempat dijauhi masyarakat pada masa tuanya. Orang-orang mencurigai seolah-olah almarhum pernah terlibat dalam partai terlarang tahun 1960an. Prasangka sosial politik itu seolah lenyap setelah Ngurah Bagus menulis artikel
365
bahwa Wayan Bhadra adalah intelektual yang berjasa dalam dunia keilmuan dan pemerintahan. I Wayan Bhadra termasuk orang yang beruntung karena setelah menamatkan pendidikan di Sekolah Rakyat dan MULO di Singaraja, ia melanjutkan pendidikan ke AMS di Malang. Jika dikaitkan dengan novelnya Mlantjaran ka Sasak, terasa gambaran pengalaman pendidikan dan pengalamannya menjadi pegawai bulanan di Kantor Residen Bali dan Lombok.
―Setelah kembali ke Bali, Bhadra menekuni
dunia sastra dan budaya. Ketika bekerja sebagai klerk di Gedung Kirtya (1930-an) ia mendalami pustaka-pustaka lontar‖, (Darma Putra, 2003: 824). Walaupun pada (1925-1927) terbit media massa Surja Kanta dan Bali Adnyana (1924-1929), yang menyajikan banyak polemik, I Wayan Bhadra tidak tampak larut dalam polemik itu. Tulisan I Wayan Bhadra
justru muncul pada
Majalah Bhawanagara, jurnal bulanan kebudayaan Bali yang diterbitkan oleh Gedong Kirtya pada 1931 untuk memasyarakatkan kekayaan khasanah sastra, seni, dan budaya Bali (Darma Putra, 2003: 825; Robinson, 2006: 53). Dengan memerhatikan penjelasan di atas, tampak bahwa I Wayan Bhadra adalah sosok yang cenderung netral dan tidak mau berpolemik. Ia memilih jalan tengah untuk polemik yang sensitif
dan memanfaatkan majalah Bhawanagara
terbitan Gedong Kirtya untuk menyebarkan gagasan intelektualnya. Pada saat itu Gedong Kirtya ada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. I Wayan Bhadra yang juga menjadi pegawai Gedong Kirtya pada waktu itu pastilah tidak mengkhianati kantor tempatnya bekerja. Dalam konteks ini ia adalah pengarang yang pro Belanda dalam
366
kaitannya menjaga harmonisasi hubungan antarmanusia Bali, dengan memendam konflik kasta yang sensitif dan berpeluang menjadi racun pemecah belah. I Wayan Bhadra adalah sosok intelektual yang hidup di dua zaman berbeda yang berbeda, yaitu zaman kolonial dan kemerdekaan. Selain itu, ia adalah redaktur dua zaman, di samping tokoh yang hidup dalam empat zaman pemerintahan yang berbeda. Darma Putra (2003: 829-840) menunjukkan I Wayan Bhadra pada zaman kolonial
menjadi redaktur Majalah Djatajoe (1938-1941), dan pada zaman
kemerdekaan ia menjabat Redaktur Majalah Bhakti (1952-1954).
Empat zaman
pemerintahan yang dialami Bhadra antara lain : pemerintahan kolonial Belanda, Jepang, pemerintahan Orde Lama di bawah Presiden Soekarno dan pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Darma
Putra (2003:829) menyebutkan I Wayan Bhadra dan Mr. I Gde
Panetja menjadi redaktur Majalah
Djatajoe menggantikan Panji Tisna melalui
Kongres ke-2 Bali Darma Laksana di Denpasar, 25-26 Juli 1938. Dijelaskan pula, majalah ini sejak terbit pertama Agustus 1936 sering memuat artikel-artikel tentang sosial, pendidikan, sastra, dan budaya Bali. Persoalan sastra yang mendapat perhatian kala itu berkaitan dengan tema kasta, dampak pariwisata, dan kesetaraan gender. Oleh karena itu, menjadi logis majalah DJatajoe dengan jangkauan cukup luas meliputi Jawa, Bali, hingga Lombok, memublikasikan novel Mlantjaran ka Sasak karya I Wayan Bhadra. Kesan jangkauan di ketiga wilayah itu terasa dalam Mlantjaran ka Sasak.
367
Setelah zaman kemerdekaan, I Wayan Bhadra juga tercatat sebagai redaktur Majalah Bhakti (1952-1954) yang sempat dicurigai berafiliasi ke Komunis, sehingga ia sempat dijauhi masyarakat pada masa tuanya, sebagaimana dituturkan Putu Aswin (Darma Putra, 2003: 819). Di Majalah Bhakti, Bhadra berduet dengan N. Kadjeng, sebagai redaktur ―Edisi Seni, Sastra-Filsafat‖ hingga majalah ini ditutup pada 1954. Hal ini mirip dengan saat ia berduet dengan Mr. I Gde Panetja saat menjadi redaktur Majalah Djatajoe. I Wayan Bhadra seperti dititahkan oleh zaman menjadi juru kunci penutup pintu dua majalah bersejarah di Bali, Djatajoe dan Bhakti.
368
Lampiran 04 Biografi I Gusti Ngurah Djelantik Santha
I Gusti Ngurah Djelantik Santha sering menyebut diri dengan nama pena Djelantik Santha, lahir di Karangasem, 12 Agustus 1944 (Darma Putra, 2010: 192). Sancaya (1985: 19) menyebut Djelantik Santha lahir di Desa Selat Karangasem, 12 Agustus 1941. Konfirmasi peneliti melalui wawancara pada hari Minggu, 22 Desember 2013 di rumahnya, di Banjar Bukit Buung Kesiman, bahwa yang mendekati benar adalah 12 Agustus 1941. ‖Cuma tanggalnya tidak pasti, kalau mengacu pada kelahiran yang benar pada Wrhaspati Umanis Pahang, 1941‖, kata Djelantik Santha pada saat diwawancarai (22/12/2013). kelahiran pada Wrhaspati Umanis Pahang
Dengan diketahui hari
1941, sebenarnya tanggal kelahiran
Djelantik Santha adalah 19 Juni 1941. Tidak akuratnya tanggal lahir Djelantik Santha dapat dimaklumi, karena kebanyakan
orang Bali tempo dulu tidak
melakukan
pencatatan kelahiran sebagaimana tertera dalam akte kelahiran pada saat ini. Dalam hal penyebutan nama dalam karyanya, Djelantik Santha melepaskan gelar kebangsawanan seperti juga dilakukan oleh I Gusti Ngurah Putu Wijaya, yang menyebut nama penanya, Putu Wijaya. Hal ini menunjukkan bahwa kedua pengarang ini melepaskan ikatan warna dalam berkarya. Hal serupa juga dapt ditemukan pada penulis yang bergelar Prof. Dr. yang dalam karya-karyanya tidak pernah menyebutkan gelarnya. Strategi penulis demikian menggambarkan penulisnya seorang yang rendah hati. “Tiang takut mondong gelar, takut ten nyidang
369
ngelaksanayang manut sulur”, demikian Djelantik Santha memberi alasan. Sebuah gambaran seorang yang tidak mempersoalkan asal-usul dalam berkarya. Seorang yang menempatkan diri sebagai manusia yang sama di antara yang lain. Seorang yang berjiwa demokratis dengan menempatkan kesetaraan di antara sesama. Seorang yang mencari kasta berdasarkan hasil karyanya. Menurut Djelantik Santha (wawancara,22/12/2013) tidak mencantumkan gelar kebangsawanan dalam karya-karyanya bukan berarti tidak hormat dengan leluhur. “Titiang ten lipia ring paican leluhur. Kemaon titiang mrasa berat mondong gelar”. Artinya, ―Saya tidak lupa titah leluhur. Akan tetapi, saya merasa berat memikul gelar bangsawan‖. Pernyataan ini menggambarkan bahwa Djelantik Santha pengarang yang tidak bermaksud untuk menonjolkan gelar. Baginya, gelar itu bukanlah nama. ―Nama saya, ya Djelantik Santha‖, demikian imbuhnya. Awal kepengarangan Djelantik Santha yang lahir dari pasangan I Gusti Gede Kaler dengan Jero Anyaran, dimulai dari belajar menulis dalam bahasa Indonesia pada 1960-an. Dari kecintaannya menulis dalam bahasa Indonesia, ia beralih menulis dalam bahasa Bali. Darma Putra (2010: 192) menyebutkan, ―Sejak mulai menulis sastra tahun 1960-an, Djelantik Santha banyak menulis dalam bahasa Indonesia. Belakangan dia beralih menulis novel berbahasa Bali‖. Selain dikenal sebagai pengarang, Djelantik Santha
sempat merantau ke
Lombok selama 6 tahun karena menjalankan tugas sebagai Aktivitasnya sebagai pegawai BRI di Praya Lombok
pegawai BRI.
(1967-1970), di Mataram
(1970-1971), dan Selong Lombok Timur (1971-1973) memberikan inspirasi berharga
370
bagi lahirnya karya-karya yang bersentuhan dengan etnik sasak. Hal itu tampak dari cerpennya berjudul ―Gamia Gamana‖ (1979) yang dinobatkan sebagai juara 2 dalam Lomba Cipta Cerpen Berbahasa Bali dalam rangka PKB ke-2 (1979). Novelnya berjudul Sembalun Rinjani yang mendapat penghargaan Rancage (2002) juga memuat
hubungan Bali-Lombok. Bahkan,
pada tahap tertentu novel ini dapat
menjadi data valid bagi tumbuhnya gerakan multikultural di Indonesia. Novel Djelantik Santha berjudul Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang (1981), merupakan novel berbahasa Bali pertama setelah masa kemerdekaan RI. Darma Putra (2010:192) mengatakan novel ini (salah satu) novel terbaik berbahasa Bali, setelah novel Mlancaran ka Sasak. Novel ini seakan mengonfirmasi jejak perjalanan Djelantik Santha dalam menempuh pendidikan. Dari SD di Selat, lalu ke SGB di Klungkung, kemudian SMEA di Singaraja. Dalam Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang, tokoh Nyoman Santosa dikisahkan masuk SD di Selat, SGB di Klungkung, dan kemudian SGA di Singaraja. Hal ini sejalan dengan pandangan Teeuw (2003:203) yang mengatakan bahwa referensi atau mimetik dalam sastra tidak langsung, melainkan lewat jalan belok : lewat rekaan kita diacukan kembali ke kenyataan. Dengan mengutip Wolgang Iser, Teeuw menegaskan “Staat deren bloszes Gegenteil zu sein, teilt Fiction uns etwas uber Wirklichkeit mit” (rekaan bukan merupakan lawan kenyataan, tetapi memberitahukan sesuatu mengenai kenyataan). Penyakit lumpuh yang diderita Djelantik Santha ketika bekerja di Lombok tergolong misterius sampai kini. Selama setahun (1972) ia berobat, lumpuhnya tak kunjung sembuh. Di Lombok ditangani oleh dokter RSU Mataram selama 4 bulan,
371
lalu dokter RSU Wangaya di Denpasar selama 4 bulan, dan akhirnya ke Solo selama 4 bulan, sehingga genap setahun berobat, tanpa hasil. ―Diagnosis dokter terhadap penyakit lumpuh saya nihil. Tidak terdeteksi secara medis. Secara medis, saya dinyatakan bersih dari
penyakit‖, demikian Djelantik Santha menuturkan
(wawancara, 22/12/2013). Menurut penuturannya yang dikutip Sancaya (1985: 21), ia tiba-tiba terserang penyakit lumpuh tanpa tahu sebab-sebabnya. Dari sakit lumpuh yang dideritanya itu, Djelantik Santha dipindahkan dari Lombok, ke BRI Klungkung (1973-1978), lalu sejak 1979 dipindahkan ke BRI Denpasar sampai pensiun (1997). Akibat lumpuhnya sejak 1972, ia jarang ke luar rumah, waktu dihabiskan untuk membaca jika tidak ada tugas-tugas kantor yang dibawanya ke rumah Mempersunting putri Praya Lombok,
Laksmy Wijayanti yang keturunan
Islam Jawa dianugrahi 5 anak, yaitu I Gusti Ayu Prastiti Santari, S.E. (bekerja di BNI Denpasar), I Gusti Ngurah Dyana Santanu,S.E.Ak, (pegawai LPD di Desa Selat Karangasem), I Gusti Ayu Ary Larashanti,S.P. (bekerja di Bali TV), I Gusti Ayu Ratih Susanti, STP (bergiat di wiraswasta), dan I Gusti Agung Samadhi Santosa,S.Sn. (pegawai Tata Usaha di SMKN 5 Denpasar). Dari segi pendidikan putra-putri Djelantik Santha semuanya sukses meraih gelar sarjana. Kelimanya telah ditinggal oleh ibunya untuk selamanya, pada 6 Juli 2013. Djelantik Santha menamatkan pendidikan SD di Selat (1949-1955), melanjutkan ke SGB Klungkung setingkat SMP
(1955-1958), lalu SMEA di
Singaraja (1958-1961). Setamat dari SMEA di Singaraja, Djelantik Santha sempat melibatkan diri dalam dunia pendidikan dengan mendirikan SMP Gunung Agung
372
sekaligus menjadi guru, di Selat Karangasem (1961-1964). Setelah Gunung Agung meletus, SMP Gunung Agung bubar, lalu Djelantik Santha beralih profesi dari guru ke karyawan BRI.
Pengalamannya menjadi guru di SMP Gunung Agung
memberikan inspirasi baginya melahirkan novel Di Bawah Letusan Gunung Agung (2003) dan meraih juara harapan 2 dalam Lomba Menulis novel HUT ke-55 Bali Post. Walaupun pengabdiannya sebagai guru relatif singkat (4 tahun), ketika menjadi guru, ia banyak menulis naskah drama dan terlibat aktif dalam kepramukaan. Bekal sebagai guru ia peroleh selama 3 tahun di SGB Klungkung, sedangkan bekal bekerja di BRI diperdalam selama 3 tahun di SMEAN Singaraja. ―Saya telah mengaplikasikan metodik didaktik selama 4 tahun masa pengabdian sebagai guru, dan mendedikasikan ilmu perbankan di BRI selama 30 tahun. Ilmu telah saya aplikasikan sesuai dengan bidang yang saya pelajari. Jadi, ilmu yang dipelajari harus dipraktikkan. Tidak ada gunanya mempelajari ilmu, tanpa praktik‖, demikian Djelantik Santha (wawancara, 22/12/2013). Sejak SD Djelantik Santha sudah menyukai dunia tulis-menulis, yang diawali dengan kegemarannya mendengarkan dongeng dari kakeknya, I Gusti Lanang Djelantik Doda karena ayah meninggal (1953) ketika ia kelas V SD. Kegemarannya itu mengantarkan ia sebagai tukang cerita yang diberikan peluang tampil pada saat kenaikan kelas di SD untuk berpidato. Rangsangan satua (dongeng) menumbuhkan minat menulis. Minat menulisnya berkembang seiring dengan kegemarannya membaca buku-buku Filsafat agama Hindu didukung oleh referensi agama lain.
373
Kalau dihubungkan dengan novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang, terasa filsafat agama Hindu menyelinap ke dalamnya, mirip tutur dalam buku Upedesa terbitan PHDI pada 1960-an. Tulisan pertamanya berupa cerpen ―Dia Bernama Diantari‖ di muat Suluh Indonesia (kini Bali Post) ketika ia di SMEA Singaraja. Ia semakin makin kuat bergulat dengan kata, melahirkan karya-karya cerpen berbahasa Indonesia. Walaupun awal kepengarangannnya dimulai dari bahasa Indonesia, tekadnya menulis dalam bahasa Bali tidak dapat dibendung. Mengapa? Sancaya (1985: 34) menyebutkan tekad kuatnya ingin melestarikan budaya berbahasa yang baik dan benar termasuk juga bahasa Bali. Terimplisit pula maksud ingin untuk mencatat perkembangan sejarah masa generasinya. Dengan demikian, karya-karya Djelantik Santha bisa dipadankan dengan sejarah hidupnya, dan hal itu tersirat dalam novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang. Djelantik Santha memulai dunia kepenulisan dari menulis tembang (lagu daerah) dan pantun, lalu cerpen dan novel. Belakangan ia lebih dikenal sebagai pengarang cerpen dan novel berbahasa Bali. Selain menulis, ia juga hobi melukis dan menari. Lukisannya berkisah tentang alam pedesaan, sedangkan tarian yang dikuasai saat masa kanak-kanak adalah tari gandrung. Dunia teater ditekuni sejak remaja (1961-1965) yang mengantarkan dirinya sebagai pemain drama di Desa Selat Karangasem. Penghargaan yang pernah diraih Djelantik Santha adalah juara II Lomba cipta cerpen PKB 1979 atas cerpennya berjudul ―Gamia Gamana‖. Buku novel Tresnane
374
Lebur Ajur Satonden Kembang (1981) meraih penghargaan Sastranugraha dari Gubernur Bali (2006), Novel Sembalun Rinjani (2001) meraih dua penghargaan sekaligus, yaitu Piagam Cakepan dari Majalah Sarad (2001) dan Hadiah Sastra Rancage (2002) dari Ajip Rosidi. Novel Indonesia Di Bawah Letusan Gunung Agung (2003) meraih juara harapan 2 dalam lomba penulisan novel HUT ke-55 Bali Post. Djelantik Santha menulis bukan karena pamrih untuk mendapatkan penghargaan. Ia menulis karena panggilan jiwa dan titah yang diwariskan dari leluhurnya. ―Tiang nyurat sangkaning titah. Nika mawinan tahun 2007, tiang muputang 2 buku, novel Vonis Belahan Jiwa sareng geguritan Cokli. Novel Vonis Belahan Jiwa tiang garap lemah, Geguritan Cokli tiang garap wengi (pk. 01.0004.00)‖. (Saya menulis karena titah. Itu sebabnya pada 2007, saya menyelesaikan dua buku, novel Vonis Belahan Jiwa saya kerjakan siang hari dan geguritan Cokli saya kerjakan dini hari pukul 01.00 - 04.00). Demikian penuturannya ketika diwawancara (22/12/2013). Bukunya yang lain adalah novel Gitaning Nusa Alit (2002) dan Suryak Suung Mangmung (2005) terbitan Balai Bahasa Denpasar. Satu kumpulan cerpen Biur (2002) diterbitkan oleh Sanggar Buratwangi Karangasem.
375
Lampiran 05 Biografi Agung Wiyat S Ardhi
Agung Wiyat S Ardhi lahir di Puri Keramas Gianyar pada 3 Februari 1946 dari pasangan orang tua I Gusti Agung Putu Gelgel dan I Gusti Agung Oka. Sebagaimana pengarang SBM sejak awal kelahirannya pada tahun 20-an seperti diungkapkan Darma Putra, Agung Wiyat S Ardhi adalah seorang guru di Perguruan Saraswati Gianyar dan sempat menjadi kepala sekolah di SPG Saraswati Gianyar (1984-1991) dan Kepala SMU Saraswati Gianyar (1993-1997). Ia mencintai profesi guru sampai pensiun. Bahkan sampai memasuki usia 68 tahun, Agung Wiyat S Ardhi yang tinggal di lingkungan Banjar Lebah Keramas Gianyar
masih tetap eksis
mengabdikan dirinya sebagai guru di Perguruan Saraswati Gianyar (wawancara, 2 Desember 2013). Cintanya kepada profesi guru makin kuat dengan tugasnya sebagai sabha desa (pengurus desa) di Desa Keramas. Tugas sebagai sabha desa tidak jauh dari tugastugas guru di sekolah. Agung Wiyat S Ardhi memosisikan diri sebagai guru masyarakat. Oleh karena itu, wajar apabila ia menyandang gelar trikang sinangguh guru, yaitu : guru rupaka, guru pengajian, dan guru wisesa. Kariernya sebagai sabha desa, mengantarkan Agung Wiyat S Ardhi menjadi patajuh bendesa ‗wakil kepala desa adat‘
Desa Keramas Gianyar, yang menjadi bekal makin kuat untuk
mendedikasikan hidupnya di jalur adat dan budaya di Majelis Madya Desa Pekraman Gianyar. ―Tugas sebagai guru, tidak jauh berbeda dengan pengabdian di desa adat
376
atau di Majelis Madya Desa Pekraman. Semuanya saling melengkapi, apalagi sebagai guru yang menulis karya sastra berbahasa Bali. Menulis dengan mengalami langsung, walaupun karya-karya saya adalah fiktif belaka‖, demikian Agung Wiyat pada saat diwawacarai (2/12/2013). Agung Wiyat S Ardhi telah mendedikasikan hidupnya dengan lengkap dalam konteks triguru. Sebagai guru rupaka, perkawinannya dengan Anak Agung Manik telah melahirkan 4 anak, yaitu : A.A Kim Fajar Wiyati Oka, A.A. Yuri Kastuari Wiyati Oka, A.A. Gde Adi Stana A Wiyata, dan A.A. Gde Adi Laksamana A Wiyata. Sementara itu, profesinya sebagai guru di sekolah, menjadikannya sebagai guru pengajian bagi siswa-siswinya di Perguruan Saraswati Gianyar. Keterlibatannya di Majelis Madya Desa Pekraman Kabupaten Gianyar, mengukuhkan diri sebagai guru wisesa, yang membantu pemerintah dalam membina dan mendidik krama desa. Kepengarangan Agung Wiyat S Ardhi dimulai dengan menulis cerpen berbahasa Indonesia pada 1965 yang dimuat Suluh Indonesia (kini Bali Post). Pengarang Bali SBM, yang mengawali menulis dalam bahasa Indonesia adalah Djelantik Santha (Karangasem), Nyoman Manda (Gianyar), dan IBW Widiasa Keniten (Karangasem). Pada akhirnya, ketokohan mereka lebih dikenal dalam jagat SBM. Sebagai pengarang SBM, Agung Wiyat S Ardhi telah mendapatkan sejumlah penghargaan dan juara bidang SBM, antara lain anugrah Wija Kusuma pada (2000) dari Pemerintah Kabupaten Gianyar. Pada 2001 mendapat penghargaan Rancage dari Yayasan Rancage Ajip Rosidi Bandung atas buku antologi cerpennya berjudul
377
Gending Girang Sisi Pakerisan. Rancage juga dianugrahkan kepada Agung Wiyat S Ardhi atas jasanya membina dan mengembangkan Sastra Bali (2010). Penghargaan bidang jasa ini pantas diterimanya, karena selain produktif menghasilkan karya, ia juga mengembangkan kemampuannya membina anak-anak di Gianyar dalam persiapan aneka lomba dalam Pesta Kesenian Bali yang dilaksanakan setiap tahun. Ia tidak saja membina calon-calon penulis cerpen Bali yang dilombakan, tetapi juga membina peserta UDG, dan pembina drama gong tingkat Kabupaten Gianyar. Prestasi yang pernah diraih antara lain juara 1 penulisan cerpen berbahasa Bali (1989) berjudul ‖Toh‖ (Bela) dan juara 1 penulisan puisi berbahasa Bali (1989) berjudul ―Sibak Petenge Manadi Galang‖ (Membelah Kegelapan Malam Menjadi Terang). Juara penulisan cerpen berbahasa Bali juga diraih pada 1991 dengan dua gelar juara sekaligus, yaitu juara II
melalui
cerpen berjudul ―Kamben Poleng
Maurab Getih‖ (Kain Loreng Berlumuran Darah) dan juara harapan dengan cerpen berjudul ―Aas‖ (Gugur). Selain itu, pada 1995 meraih juara 2 menulis cerpen berbahasa Bali berjudul ―Acintya‖ (Tak Terpikirkan) dan juara 1 menulis cerpen berbahasa Bali pada 1997 berjudul ―Bogolan‖ (Tahanan). Selain menulis cerpen dan puisi berbahasa Bali, Agung Wiyat S Ardhi juga menjadi penulis naskah drama gong terbaik (1999) berjudul ―Gusti Ayu Klantir‖. Beberapa kali menjuarai lomba penulisan naskah lagu pop berbahasa Bali, tiga kali juara 3 dan sekali juara harapan serangkaian PKB Bali. Di luar kompetisi penulisan, ia juga aktif menulis naskah sandiwara untuk pentas di TVRI Denpasar, lalu menyalin dan menerjemahkan Prastanika Parwa dan Swarga Rohana Parwa ke dalam
378
Aksara Bali (2004), juga menyalin dan menerjemahkan Tanri Kamandaka (palawakya) ke dalam Aksara Bali. Sebagai sesepuh desa yang lahir di Puri Keramas Gianyar, Agung Wiyat S Ardhi telah diwariskan teladan toleransi oleh leluhurnya. Buktinya, tanah duwe puri Keramas sebagian dihibahkan untuk sejumlah Muslim yang menetap di Desa Kramas (wawancara, Minggu, 2 Desember 2013). Dalam tulisannya berjudul ―Kedatangan Islam di Keramas‖ Agung Wiyat S Ardhi (27/10/2013) menyebutkan pihak Puri memberikan catu (tanah garapan) masing-masing sekitar 30 are kepada 6 tokoh Islam yang mengabdi kepada Ida I Gusti Agung Made Moning di Puri Keramas pada tahun 1856. Keenam sesepuh Islam itu adalah Pekak Rajinah, Pekak Rajab, Pekak Lecir, Pekak Kadun, Pekak Jarum, dan Pekak Mudin. Kepada mereka juga dibuatkan Langgar yang kini sudah berstatus sebagai Masjid termasuk diberikan sebidang tanah untuk kuburan yang terletak di Banjar Anggarkasih, wilayah Desa Keramas. Penghibahan catu itu tidak pernah dipersoalkan oleh keluarga puri. Hal itu menandakan pihak puri telah menjadi teladan bagi tumbuhnya toleransi beragama. Sikap demikian, dimaknai oleh kelompok Muslim untuk menguatkan tali persaudaraan yang diaktualisasikan melalui kegiatan ngayah (mengabdi) ke puri dan saling ngejot (mengirim makanan saat hari raya) baik dilakukan oleh warga Muslim terhadap pihak Puri Keramas, maupun oleh pihak Puri Keramas terhadap Muslim. Salah satu putrinya, yakni I Gusti Agung Kim Fajar Wiyati Oka menikah dengan seorang ningrat dari Sumedang, Sunda, maka hubungan toleransi beragama terus terjalin antara Hindu dan Islam. Pun ketika dalam karya novel Bukit Buung
379
Bukit Mentik terselip kawin campur Bali-Sumatra (Hindu-Islam) adalah bagian dari terjemahan toleransi beragama di dalam karya-karyanya. Selain mewariskan teladan toleransi beragama, Agung Wiyat S Ardhi juga dipercaya menjadi Pembina Utsawa Dharma Gita, Nyastra, PKB, Dharma Wacana, Pembina Gong di Kabupaten Gianyar. Semua tugas itu berkaitan dengan upaya pelestarian budaya Bali yang berelasi dengan pemberdayaan dan penguatan bahasa Bali. Tugas sebagai Sabha Desa, Patajuh Bendesa, dan Majelis Madya Desa Pakraman Kabupaten Gianyar
adalah tugas yang juga berkaitan dengan
pengembangan kebudayaan Bali melalui
pemberdayaan bahasa Bali dalam
kehidupan bermasyarakat. Dengan mengetahui kompleksitas kehidupan bermasyarakat yang dialami oleh A Wiyat S Ardhi, menarik untuk mencermati hasil karyanya. Apakah karyanya merupakan rekaman atas pengalamannya sebagai sesepuh adat dari tingkat Desa Pakraman sampai Kabupaten Gianyar? Adakah sebagai pengarang, A Wiyat S Ardhi menitipkan dirinya melalui tokoh rekaan yang dikarang melalui fiksi yang dilahirkan? Bertitik tolak dari pertanyaan itu, karya-karya yang dilahirkan A. Wiyat S Ardhi adalah karya guru yang melampaui batas ruang tembok kelas. Ia adalah guru berpikir out of the box sebagaimana dipopulerkan dalam manajemen pemerintahan modern.
380
Lampiran 06 Biografi I Nyoman Manda
I Nyoman Manda lahir pada 14 April 1939 di Banjar Pasdalem Gianyar. Pendidikan
SD sampai
SMP diselesaikan
pada 1952-1955 di Gianyar lalu
melanjutkan ke SMA Negeri Singaraja dan tamat pada 1958.
Selanjutnya,
melanjutkan ke BI Bahasa Indonesia tahun 1961 di IKIP Malang Cabang Singaraja dan S1 Universitas Terbuka tamat pada 1990. Banyak menulis cerpen, puisi, novel, naskah drama. Cerpen, puisi, dan novelnya pernah dimuat di harian Merdeka, Suara Karya, Bali Post dan Nusa dulu harian Nusa Tenggara. Sejak TVRI mengudara di Bali, sering mengisi acara drama modern di TVRI Denpasar, sebagai hasil kreatifnya memimpin teater Malini dan Purnama yang beranggotakan para siswa SMA dan SMP di Gianyar. I Nyoman Manda mengawali kariernya sebagai guru di SGAN Selong Lombok Timur (1961—1964), lalu guru SMAN 1 Gianyar (1964-1966), sempat menjadi ketua KNPI 1971, kemudian menjadi anggota DPRD Kabupaten Gianyar 1966-1977, Kepala SMA Negeri Sukawati (1986-1997), Kepala SMAN 1 Gianyar 1997-1999. Akhirnya, pensiun pada 1999 golongan IV/c. Setelah pensiun, lebih banyak menulis dan menjadi Redaktur penerbitan Majalah bahasa Bali Canang Sari dan Satua. Majalah Canang Sari pertama kali terbit tahun 1998 dan terbit secara rutin tiap empat bulan sekali dan majalah Satua khusus untuk cerpen bahasa Bali Modern terbit akhir tahun 1999,juga terbit empat
381
bulan sekali bersamaan dengan Majalah Canang Sari. Tema-tema tulisannya tidak jauh dari profesinya sebagai guru, yaitu : pendidikan, adat istiadat, agama, dan lingkungan hidup, perubahan sosial seiring berjalannya waktu. Manda bukan hanya menulis fiksi melainkan juga nonfiksi yang dipublikasikan secara luas melalui berbagai koran. Pergaulannya selama 15 tahun dengan STA memantiknya melahirkan karya sastra berbahasa Indonesia, di samping juga dilecut oleh Pramudya Ananta Toer sedangkan pergaulannya dengan Ajip Rosidi, ia tertantang memberdayakan bahasa Bali dalam karya-karyanya. Bahkan Manda satu-satunya pengarang Bali yang melakukan ekprimen menerjemahkan karya pengarang Indonesia ke dalam Bahasa Bali.
Jika Putu Wijaya menyebut, ―Menulis adalah berjuang‖, maka Manda
menegaskan kembali ―Teruslah Menulis‖, yang terinspirasi dari Pramudya. Kegigihannya menulis dalam bahasa Bali telah membuahkan hasil yang membanggakan dengan meraih tiga kali penghargaan Rancage dari Ajip Rosidi. Rancage pertama diraihnya pada 1998 atas jasanya mengembangkan bahasa dan Sastra Bali. Jasa ini diberikan karena Nyoman Manda bersama Made Sanggra menggawangi majalah Canang Sari dan Satwa. Dua media yang terbit tiap empat bulan sekali sekaligus didedikasikan untuk mengembangkan bahasa dan sastra Bali Modern. Rancage kedua diraih pada 2003 atas novelnya Bunga Gadung Ulung Abancang ‗Bunga Gadung Gugur Setangkai‘, dan Rancage ketiga diterimanya pada 2008, atas buku romannya berjudul Depang Tiang Bajang Kayang-kayang „Biar saya Perawan selamanya‘.
382
Fokus tulisan I Nyoman Manda bertitik tolak dari pengalaman hidupnya sehari-hari. Oleh karena itu, setiap pengalaman dan tempat yang dikunjungi memberikan inspirasi untuk melahirkan karya. Pengalaman sebagai guru melahirkan cerpen ―Guru Made‖ (1995), novel Kasih Bersemi di Toyobungkah (2004) dan novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah (2002). Bukunya berjudul Jantraning Tirtayatra (2005) hasil perjalanan suci yang dilakukan ke sejumlah pura di Bali, Lombok, dan Jawa. Begitu juga ketika 2005 sempat bertirta yatra ke India, lalu lahir bukunya Metirta Yatra ke India. .
Dunia kepengarangan Manda berpijak pada realita kehidupan. Sastra sebagai
cermin masyarakat dijadikan titik tolak dalam berkarya. Profesi Manda sebagai guru telah banyak melahirkan tokoh guru dalam karya-karyanya. Cerpennya berjudul ―Guru Made‖ memenangkan hadiah penulisan cerpen Bali dalam memeriahkan Pesta Kesenian Bali (PKB) 2005. Menurutnya, kisah Guru Made adalah pengalaman hidup penulis sebagai guru SMU. Bahkan jelas-jelas diakui
merupakan catatan harian
dalam kehidupannya sebagai pendidik. Begitu juga dengan novelnya, Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah (2002) merupakan pengalamannya selama di SMU Sukawati, menggalang kerja sama apresiasi dengan STA di Toyobungkah dua kali dalam sebulan. Walaupun novel ini kisah cinta segitiga (Arini, Putra,Suwitri), tetapi tak bisa dilepaskan dengan kehadiran sosok dua guru yang juga dimabuk asmara. Akan tetapi sosok guru ini, adalah guru di hati murid. Selama hidup sampai menjelang usia senja, Manda mengaku sangat terkesan
383
dengan dua buku yaitu Bagawad Gita karangan Prof Dr Ida Bagus Mantra dan buku Saramuscaya yang diterjemahkan oleh Prof Dr Tjok Rai Sudarta yang selalu dibawa dan taruh di meja kerja, baik saat aktif bekerja sebagai PNS maupun setelah pensiun kini. Dalam hidupnya, Manda tercatat ikut terlibat dalam menciptakan lambang Daerah Kabupaten Gianyar ketika duduk sebagai anggota DPRD Gianyar dari 19661977 sebagai Ketua Komisi C yang membidangi masalah sosial dan seni budaya. Jika kebanyakan pengarang berjuang dari luar kekuasaan, tidak demikian dengan Manda. Ia berjuang dengan masuk menjadi pejuang sehingga benar-benar merasakan bagaimana berjuang sesungguhnya. Langkah ini adalah siasat memengaruhi kekuasaan dengan landasan spirit sastra sebagai bagian dari perjuangan diplomasi budaya. Perjuangan Manda tersebut mengonfirmasi bahwa ia adalah pengarang Bali yang selevel dengan Made Sanggra. Kedua pengarang ini pernah menjadi politisi dan memberinya inspirasi untuk berkarya lebih luas, terutama terkait dengan profesinya, baik sebagai guru maupun sebagai pengarang. Sebagai guru, I Nyoman Manda menggenggam jabatan trikang sinanggguh guru ‗tiga guru sekaligus‘ : guru rupaka, guru pengajian, dan guru wisesa. Kelak, sejarah akan mencatat I Nyoman Manda sebagai
guru,
politisi,
dan
pengarang.
I Nyoman Manda yang kawin dengan Made Sruti dianugrahi tiga anak. Ia mencurahkan
perhatian
untuk
kemajuan
kehidupan
sastra
Bali
Modern.
Pengabdiannya pada bahasa, aksara, sastra yang menjadi pijakan budaya Bali tidak
384
perlu diragukan lagi. Karya-karyanya tidak hanya mencakup cerpen, novel, dan puisi berbahasa Bali, tetapi juga menerjemahkan karya sastra pengarang Indonesia ke dalam bahasa Bali. Tidak hanya itu, pensiunan guru ini juga menulis cerpen dan novel berbahasa Indonesia. Novelnya berjudul Cinta Bersemi di Kintamani dan cerpenya berjudul ―Guru Made‖ mencitrakan Manda tidak fanatik dengan medium bahasa. Akan tetapi, dilihat dari produktivitasnya, Manda condong membinarkan bahasa Bali dalam karya-karyanya. Bersama almarhum Made Sanggra, Manda mendirikan Pondok Tebu Wutu yang didedikasikan untuk menjaga, merawat, mengembangkan dan sekaligus melestarikan bahasa Bali. Terlepas dari kegigihannya merawat bahasa Bali, ia adalah seorang nasionalis yang tak melihat bahasa Indonesia sebagai saingan bahasa Bali. Ia menulis lebih banyak dalam bahasa Bali melalui karya-karyanya seiring dengan itu ia tampak menguatkan identitas kebaliannya dengan bahasa Indonesia. I Nyoman Manda telah menjadikan bahasa Bali sebagai mahkota budaya Bali tetapi tidak sedikit pun bertendensi menyaingi bahasa Indonesia. Pencapaian itu dapat dicermati dari karyanya yang berbahasa Indonesia, dengan latar budaya Bali, tokoh Bali, serta persinggungannya dengan dunia pariwisata dan pendidikan para tokohnya. Persinggungannya dengan pariwisata tidak terelakkan lagi dalam karya-karyanya termasuk dampak yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, karya-karyanya juga dapat dipakai sebagai wacana sanding dalam melihat perubahan sosial di Bali, terutama akibat dampak pariwisata. Hal ini menandakan Manda adalah pengarang yang tidak menutup mata terhadap perkembangan
385
pariwisata di daerahnya. Bahkan, dua bulan setelah bom di Kuta 12 Oktober 2002, Manda melahirkan kumpulan cerpen ―Laraning Carita ring Kuta‖ (2002), sebagai respon terhadap tragedi kemanusiaan yang membunuh 202 wisatawan tanpa dosa. Kumpulan cerpen ini juga diterjemahkan pengarangnya ke dalam bahasa Indonesia menjadi ―Duka Kita di Kuta‖, sebagai wujud tekadnya memperluas jangkauan pembaca.
386
Lampiran 07 Sinopsis Novel Tiba-Tiba Malam
Tiba-Tiba Malam diawali oleh perkawinan seorang guru bernama Sunatha dengan Utari yang berlangsung dalam bisik-bisik miring orang-orang desa di Tabanan. Sebagai seorang guru Sunatha dinilai tidak punya kelebihan apa-apa, bahkan dicap wangdu (impoten) dibandingkan dengan Ngurah yang berlimpah harta dan gagah berani. Orang-orang desa menilai tidak pantas Sunatha mempersunting Utari yang
jadi kembang desa. Walaupun demikian, perkawinan mereka tetap
berlangsung
disaksikan
oleh orang-orang desa dan diabadikan oleh bule asal
Belanda bernama David yang selalu setia memotret dalam setiap kesempatan. Dikisahkan, malam pertama pasangan pengantin baru ini berlangsung dingin karena Sunatha tidak memberikan kesan apa pun seperti layaknya pengantin baru kepada istrinya, Utari, sedangkan sebagai guru besoknya Sunatha harus melaksanakan tugas ke Kupang. Keberangkatannya ke Kupang dengan meninggalkan Utari di rumah bersama adiknya, ibu, dan bapaknya telah menjadi benih konflik antara Utari dan Suniti,iparnya. Bahkan, setelah dihasut oleh pengawal Ngurah, Utari yakin bahwa
ia
telah dikenai guna-guna. Renti, pengawal Ngurah tidak saja
menghasut bahwa Utari telah kena guna-guna, tetapi juga telah menuduh ibu Sunata bisa ngeleak (memiliki ilmu hitam). Tuduhan dan hasutan itu ditambah dengan keberhasilan David menghasut Subali, yakni ayah Sunatha, untuk meninggalkan segala kegiatan adat di desa, maka lengakaplah sudah bagi warga desa di Tabanan
387
untuk memberikan sanksi pengucilan sosial (kasepekang) bagi keluarga Subali. Kasepekang terhadap keluarga Subali diberlakukan oleh warga desa sepeninggal Sunatha ke Kupang melaksanakan tugas sebagai guru. Dengan sanksi adat yang berat itulah, Suniti adik Sunatha memikul beban berat keluarga. Suniti menjadi tulang punggung keluarga. Merawat ibu yang sakit dan mengerjakan sawah dilakukan Suniti seorang diri. Bahkan, pada detik-tetik terakhir ibunya menghembuskan napas pun, Suniti berjuang sendiri, walaupun beberapa orang desa datang ke rumah Suniti dengan sembunyi-sembunyi, karena sanksi adat. Di antara mereka itu adalah Weda yang jatuh cinta pada Suniti. Di Kupang
Sunatha dikisahkan
sebagai guru
disegani oleh
murid-
muridnya. Di sekolah itu juga bertugas sebagai guru Made Badung yang sama-sama dari Bali.
Di mata
Kepala Sekolah, Sunatha dinilai bertanggung jawab dan
perhatian pada tugas. Di tengah perjuangannya mencerdaskan anak bangsa di negeri orang, kerinduan Sunatha dengan kampung halaman terobati melalui surat- menyurat. Surat-menyurat antara Sunatha dengan keluarganya di Tabanan memakai alamat Suki, seorang guru di Tabanan dengan harapan surat tidak tercecer. Suki telah menjadi kurir surat-surat Sunatha yang datang dari Kupang untuk dibawakan ke rumah Sunatha. Dalam surat-surat balasan Suniti kepada Sunatha juga disebutkan bahwa ibunya sedang sakit keras. Sementara itu, Utari istri Sunatha telah lama diajak oleh Ngurah di Tabanan dengan alasan berobat setelah percaya hasutan, bahwa ia telah kena guna-guna, padahal keinginan Ngurah untuk memperistri Utari.
388
Setelah setahun bertugas di Kupang, Sunatha diberikan izin pulang ke kampung oleh Kepala Sekolah setelah memberikan alasan bahwa ibunya meninggal. Sebagai wujud perhatian kepada Sunatha, Kepala Sekolah menyerahkan amplop berisi sejumlah uang yang digalang dari para siswa secara sukarela.
Dalam
perjalanan pulang sampai di pelabuhan menjelang petang, sementara itu mobil menuju Tabanan sudah tidak ada lagi. Ia harus menunggu esok harinya. Di pelabuhan, Sunatha bertemu dengan Sunari, mahasiswa FKIP Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Semalam menginap di pelabuhan, telah memberikan kesempatan pada Sunari untuk menonton drama gong bersama Sunatha. Besoknya, Sunatha baru bisa pulang ke Tabanan dengan bus. Sampai di desa, pirasat tidak baik telah dirasakan oleh Sunatha. Firasat itu makin mencekam setelah dilihatnya sejumlah orang berjalan ke kuburan membawa mayat ibunya. Celakanya, sepulang dari kuburan, besok paginya, mayat ibu kembali ditemukan di halaman rumah karena digali dan dibawa lagi oleh warga desa ke rumah keluarga Subali, sebagai bentuk protes. Jalan ke luar terhadap masalah itu diselesaikan oleh Sunatha dengan meminta maaf kepada seluruh warga desa. Permintaan maaf itu disambut baik oleh Ngurah, yang menjadi pengurus desa. Walaupun sebelumnya Sunatha sempat melontarkan caci maki kepada Ngurah karena telah menculik Utari, hubungan keluarga Subali dengan warga desa kembali baik. Subali kembali diterima sebagai warga desa, dan mayat ibunya kembali dikubur warga desa dengan baik. Sunatha telah berhasil memulihkan nama baik keluarganya dengan perjuangan yang melelahkan.
389
Lampiran 08 Sinopsis Novel Senja di Candi Dasa
Novel Senja di Candi Dasa
dimulai dari kisah hilangnya lukisan Bisma
Gugur di rumah Bu Rangun. Perburuan terhadap hilangnya lukisan itu dilakukan oleh seorang guru yang bernama Nengah Diarsa. Perburuan itu dirahasiakan dan tidak dilaporkan ke polisi. Bu Rangun tidak ingin Desa Kamasan Klungkung gempar dengan hilangnya Bisma Gugur. Desa Kamasan selama ini luput dari berita-berita yang meresahkan. Bu Rangun sesungguhnya ikhlas lukisan itu hilang, tetapi Nengah Diarsa sebagai guru tidak rela lukisan maestro itu hilang tanpa bekas. Bersamaan dengan hilangnya lukisan Bisma Gugur, Rereh anak Bu Rangun menghilang dari rumah. Oleh karena itu, Rereh dicurigai sebagai otak di balik hilangnya Bisma Gugur. Dilakukanlah pemburuan lukisan Bisma Gugur yang hilang itu. Mula-mula Nengah Diarsa menyampaikan berita itu ke Letnan Naja, temannya ketika SMA yang kini menjadi polisi. Sebagai polisi, Naja tidak gegabah melakukan perburuan tentang Bisma Gugur. Ia membantu Nengah diam-diam tanpa proses laporan polisi sebagaimana diisyaratkan Bu Rangun. Mula-mula perburuan dilakukan ke Klungkung, ke dealer milik Cik Acen. Diperoleh informasi, bahwa Rereh yang dicurigai telah menyeberang ke Lombok.
Namun, pemburuan informasi tidak
dilakukan ke Lombok, tetapi ke Candi Dasa, di Klumpu Cotage. Pemburu melihat Rereh melakukan transaksi dengan lipatan yang diserahkan kepada Edward William, wisatawan asal Inggris. Nengah Diarsa mengorek informasi kepada pemilik Klumpu
390
Cottage, Suwitri, temannya waktu kuliah di IKIP Singaraja. Suwitri tidak memilih guru sebagai profesi, tetapi memilih kerja di sektor pariwisata. Nengah Diarsa goyah oleh bujuk rayu Suwitri yang pernah mengisi hatinya, untuk berhenti menjadi guru. Dengan berat hati, Nengah Diarsa mengajukan permohonan berhenti menjadi guru SMA, lalu menuruti tawaran Suwitri untuk menjadi manager Klumpu Cottage. Bekerja sebagai manager tidak membuatnya nyaman, senyaman ketika menjadi guru. Dari profesi sebagai manager inilah, Nengah memperoleh tugas untuk membuat brosur promosi Klumpu Cottage. Datanglah Nengah Diarsa ke Percetakan Prasasti di Denpasar. Secara kebetulan ada orang yang juga membuat promosi di percetakan prasasti dengan menggunakan lukisan Bisma Gugur sebagai sebagai folder. Kemudian, muncul ide kembali memburu lukisan Bisma Gugur yang telah lama dilupakan. Diperoleh informasi bahwa yang membuat folder itu tinggal di dekat rumah Suwitri, di kompleks perumahan Biaung Indah, bersama komplotan penjahat obat bius dan pencuri barang-barang antik. Dari informasi inilah diberitakan polisi melakukan penggerebekan yang mengakibatkan penghuni kompleks tempat tinggal komplotan itu lari dan mengakibatkan Rereh meninggal, setelah dikejar polisi. Dari komplotan ini pula terkuak jaringan komplotan ini amat rapi mengatur strategi, termasuk sukses menukar lukisan Bisma Gugur di tangan Edward Williem dengan lukisan lain, ketika Williem sedang tidur nyenyak. Akibatnya, sampai akhir hayatnya, ia tidak tahu kalau lukisan itu telah ditukar.
391
Di bagian akhir kisah, diceritakan bahwa komplotan itu memesan makanan di Klumpu Cottage, tetapi pergi tanpa pesan dan membayar. Inilah yang menyebabkan Nengah Diarsa bosan dengan pekerjaannya, sebagai manager, lalu berkunjung ke rumah Putu Bargawa, sebagai anak pemangku di Pura Batu Belah di Datah Karangasem, di lereng Gunung Agung. Dari Bargawa pula kawanan perampok itu terkuak karena secara kebetulan komplotan datang ke dekat pura Batu Belah. Bosan bekerja di sektor pariwisata, Nengah Diarsa kembali menekuni profesi sebagai guru yang dicintainya setelah lukisan Bisma Gugur kembali ke tangan pemiliknya.
392
Lampiran 09 Sinopsis novel Mlantjaran ka Sasak
Novel Mlantjaran ka Sasak
mengisahkan liburan seorang guru bernama
Made Sarati dengan Luh Sari dan Ida Ayu Putu Priya ke Lombok. Ketiganya naik kapal laut menuju Lombok. Rencana mereka pada malam pertama di Lombok menginap di rumah Guru Ketut Gunawan. Akan tetapi, karena Guru Ketut Gunawan ke Gerung Lombok Tengah, mereka bertiga diterima oleh orangtua dan pembantunya, yakni Wak Ali. Mereka berjanji akan kembali besok paginya. Akhirnya, malam pertama dan kedua di Lombok, mereka menginap di Pesanggrahan Suranadi. Di Pasanggrahan hanya tersedia satu kamar, sementara mereka bertiga dengan satu lakilaki. Pasangan Dayu Priya dan Made Sarati dikira pengantin baru oleh Mandor Pesanggrahan, sedangkan Luh Sari dikira pembantu. Made Sarati dipercaya oleh Ida Bagus Kumara untuk mendampingi Dayu Priya berlibur ke Lombok. Kepercayaan itu dipegang teguh oleh Made Sarati dengan tanggungjawab. Kepercayaan itu diberikan karena Ida Bagus Kumara, ayah Dayu Sarati percaya bahwa Made Sarati tidak mungkin main-main karena berprofesi sebagai guru. ―Bapa ngugu Made, yen lenanan ja teken Made…‖ (hal.17). Artinya, ―Bapak percaya pada Made, selain Made tidak….‖ Dalam perjalanan ke Lombok, Dayu Priya dikisahkan memiliki pengalaman bersekolah di Jawa, yakni di Malang di sekolah MULO selama 2 tahun, di Surabaya
393
satu tahun, di Yogya 1 tahun, Bandung 1 tahun, lalu kembali ke Malang sampai tamat AMS. Perkenalan Made Sarati dengan Dayu Priya bermula dari kecelakaan yang dialami oleh Dayu Priya di Bandung. Made Sarati dikisahkan tinggal di asrama guru, sedangkan Dayu tinggal di Dago. Kalau tidak dibantu Made Sarati yang bersekolah di sekolah guru HIK, Dayu Priya, membayangkan dirinya akan meninggal. Pertolongan itulah yang menyebabkan Dayu Priya merasa berutang budi kepada Made Sarati. Walaupun jatuh cinta di antara keduanya, dua orang yang sama-sama berpendidikan modern, tetapi mereka menyadari posisi masing-masing tidak akan pernah terjadi perkawinan di antara keduanya. Lebih-lebih Made Sarati yang dari Jaba dipercaya oleh Ida Bagus Kumara untuk ngemban Dayu Priya. Bahkan, Dayu Priya yang akan dijodohkan dengan Ida Kade Ngurah pun sudah diketahui oleh Made Sarati melalui ayah Dayu Priya, yaitu Ida Bagus Kumara. Oleh karena itu, Ida Bagus Kumara yakin seyakin-yakinnya bahwa Made Sarati pasti dapat menjaga Dayu Priya dalam
perjalanan
tamasya
ke
Lombok.
Kepercayaan
itu
dijaga
dan
dipertanggungjawabkan oleh Made Sarati. Dayu Priya yang mengetahui bahwa dirinya dijodohkan dengan Ida Kade Ngurah mengira bahwa hal itu tidak diketahui oleh Made Sarati. Paham akan posisi seperti itu, terjadilah dialog introspeksi mereka berdua di taman Pesanggrahan Suranadi, tempat mereka bermalam selama dua hari. Dari dialog mereka berdua, mereka sepakat untuk melaksanakan titah sang ayah agar tidak nityawacana (ingkar janji). Walaupun dalam hati mereka memprotes.
394
Kedua tokoh ini berpikiran maju, sama-sama suka belajar dan senang membaca buku. Mereka berbeda secara ekonomi dan wangsa. Dayu Priya dari wangsa Brahmana dan secara ekonomi mapan pada zamannya. Made Sarati dari wangsa sudra dan secara ekonomi lemah. Oleh karena itu, Dayu Priya rencananya melanjutkan pendidikan ke Belanda, tetapi karena perang, niatnya diurungkan. Walaupun demikian, semangatnya belajar tinggi. Ke mana-mana ia membawa buku, bahkan ketika berlibur ke Lombok pun dikisahkan mereka membawa buku novel. Keduanya melihat pendidikan sebagai jalan pembebasan untuk persamaan gender, Di Pesanggrahan Suranadi, Dayu Priya dan Made Sarati menceritakan kisahnya di Bandung dan menyerempet perilaku lelaki gria yang beristri banyak, seperti Ida Made Warmadewa yang beristri Sembilan orang. Dayu juga mengisahkan temannya, Mbok Kadek Dimba, teman baiknya ketika sekolah di Badung, yang kawin dengan Putu Raga, lelaki yang kasar, playboy menelantarkan istri.
395
Lampiran 10
Sinopsis Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang
Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang (Cinta Layu Sebelum Mekar) diawali dengan kisah tentang tekad kuat Nyoman Santosa melanjutkan pendidikan ke sekolah guru (SGB) di Klungkung. Niat Nyoman Santosa bersekolah tidak dapat dihalangi oleh ibunya yang menginginkan ia membantu bekerja di sawah karena ayah dan kedua kakak kembarnya sudah meninggal.
Kedua kakaknya laki-laki
kembar, Wayan Madu dan Made Madi, meninggal sepulang dari kegiatan tirtayatra dengan
truna-truni
(pemuda-pemudi)
Banjar Dharmajati karena ditabrak oleh
gerombolan pengebut. Pada saat melakukan tirtayatra, dikisahkan Made Madi sudah berpacaran dengan Gusti Ayu Adi, anak Gusti Mangku. Hubungan kedua remaja ini sudah diketahui dan direstui oleh kedua keluarga masing-masing. Lagi pula tidak ada halangan, walaupun keduanya berbeda wangsa, jaba (sudra) dan menak (triwangsa). Setelah kedua kakak kembar dan ayahnya meninggal, tinggal Men Madu dan kedua anaknya, yakni Nyoman Santosa
dan adiknya bernama Ketut Santi yang
membantu ibunya. Nyoman Santosa bersekolah di SGB di kota Klungkung dan tinggal di asrama. Kedua kakak kembarnya yang meninggal, konon membantu Santosa mencari sekolah,
melalui mimpinya.
Bersamaan
dengan diterimanya
396
Santosa di SGB, Made Arini juga masuk SMP di Klungkung. Dua truna-truni (pemuda-pemudi) dari Desa Selat bersekolah di Klungkung. Benih-benih
cinta tumbuh di rantau pada
kedua
remaja desa
ini.
Walaupun kedua remaja ini jatuh cinta, keduanya tidak sampai ke pelaminan karena Made Arini diperkosa oleh AA Alit Sudendi. Dilarikan ke Kintamani, ke rumah Pekak Giyor. Mungkin menggunakan guna-guna, buktinya tanpa disangka
Made
Arini tidak mau menolak pinangan AA Alit Sudendi. Walaupun demikian, ada syarat yang diajukan
Made Arini, tidak mau tinggal
di puri dan menetap di
Kintamani. Syarat yang diajukan Arini disetujui oleh AA Ngurah Agung. Selesai upacara perkawinan, AA Alit Sudendi berhenti bekerja di Pemda Klungkung lalu berwiraswasta di bidang pariwisata. Alit Arini membangun Homestay dan Alit Arini Artshop bersama AA Alit Sudendi. Sekalipun sudah lama bersuami-istri, keduanya tidak mendapat
kebahagiaan karena AA Alit Sudendi tidak mampu
melaksanakan
sebagai laki-laki.
swadarma
Pasangan suami-istri ini
secara
ekonomi mampu tetapi tidak merasakan kebahagiaan. Nyoman Santosa diceritakan sudah tamat dari SGB. Berkat tutur orangtua, guru, dan Kepala SGB, ia bisa melupakan cintanya dengan Made Arini. Kemudian, Nyoman Santosa melanjutkan sekolah di SGA Singaraja. Di Singaraja, Nyoman Santosa tinggal di asrama selama 3 bulan. Selanjutnya, indekos di rumah Gusti Ketut Rai, yang sudah 10 tahun di Singaraja. Gusti Ketut Rai mempunyai dua rumah, di Banjar Kebon dan Tegal Mawar.
Beliau juga dari Desa Selat Karangasem.
Rumahnya di Banjar Kebon disewakan, dan yang di Tegal Mawar ditempatinya
397
bersama istri dengan ketiga anaknya. Satu kamar lagi disewa oleh murid SKKA berdua dari Banyuatis, yakni Gusti Ayu Jinar dan Made Astiti. Rumah beliau di Banjar Kebon diurus olih Nyoman Santosa. Sebagai tamatan SGB yang melanjutkan ke SGA, Nyoman Santosa telah mengaplikasikan ilmu keguruan dalam hidup di rantau. Kompetensi sosial keguruannya sangat menonjol dibandingkan dengan teman-teman seusianya yang bersekolah di sekolah non-guru sehingga ia dipercaya menjadi pemimpin dalam acara perkemahan Pramuka gabungan antara SGA, SKKA,dan SMEA Singaraja. Tidak hanya itu, kepiawaian Santosa
dalam didaktik metodik juga diaplikasikan saat
berekreasi ke Pantai Taman Sari dengan teman-temannya di rantau. Walaupun belum menjadi guru secara formal, Nyoman Santosa telah menempatkan diri sebagai sosok seorang guru, yang digugu dan ditiru. Ketika bersekolah di SGA Singaraja, Nyoman Santosa dikisahkan jatuh cinta dengan Gusti Ayu Jenar. Akan tetapi, diingatkan oleh Gusti Ketut Rai dan Gusti Ayu Srati. Kedua pasangan suami - istri ini, pada prinsipnya tidak menghalangi kedua remaja ini saling jatuh cinta, asalkan
sudah berdasarkan cinta yang tulus.
Suatu hari, Nyoman Santosa berpamitan akan pulang ke Selat karena ibunya merencanakan upacara matatah (potong gigi), yakni Nyoman Santosa dan Ketut Santi. Nyoman Santosa menyampaikan upacara potong gigi kepada Gusti Ketut Rai juga kepada Gusti Ayu Jenar. Oleh karena Gusti Ayu Jenar ujian, tidak bisa menyaksikan upacara potong gigi Nyoman Santosa bersama adiknya. Akan tetapi, Gusti Ayu Jenar menitip kado, berupa kamben (kain) endek Purbasari hijau, saput
398
sutra kuning malambe barak mabanyumas putih, udeng songket barak manggis lan umpal dadu maya. Di dalam lepitan destar berisi kartu bertuliskan, ―Dumadak tulus ayu karyan beline‖ (semoga yadnya kakak sukses). Setelah acara potong gigi, malamnya Nyoman Santosa gelisah dan tidak bisa tidur. Menjelang subuh, ia mimpi di Singaraja ada banjir bandang, menghanyutkan rumah. Seketika ia bangun, dan segera
ke Singaraja.
Sampai di Singaraja,
dilihatnya rumah Gusti Ketut Rai di Tegal Mawar datar, tanpa bekas karena hanyut bersama Gusti Ayu Jenar.
399
Lampiran 11
Sinopsis Novel Bukit Buung Bukit Mentik
Novelet Bukit Buung Bukit Mentik dimulai dari kisah keluarga Bendesa dari Bukit Mentik. Dikisahkan keluarga Bendesa dari Bukit Mentik mempunyai 3 orang saudara, yaitu I Wayan Tapa, I Made Brata, dan I Nyoman Yoga.
Wayan Tapa,
pensiunan ABRI, punya rumah di Kuta, sedangkan I Made Brata sudah 35 tahun bertransmigrasi ke Lampung. I Nyoman Yoga tinggal di Bukit Mentik
sebagai
saudara termuda dengan beban adat sebagai Bendesa. Anak pertama dan kedua I Nyoman Yoga
meninggal ketika ayahnya
melakukan tirtayatra ke India,
sedangkan Luh Tri Prayatni anaknya ketiga dikisahkan telah menjadi guru SD dan menjadi idaman para siswanya. Selain berparas ayu, kemampuannya dalam bidang budaya Bali menonjol. Itu pula yang membuat ia dijadikan idola tidak hanya oleh siswa-siswa yang diajarnya, tetapi juga masyarakat sekitarnya. Dikisahkan Luh Tri Prayatni (guru SD) dan Gung De Ambara (guru SMP, pindahan dari Yogya ke SMPN Selat) saling jatuh cinta. Cinta dua sejoli ini berawal ketika saudara kembar Gung Patni dan Gung Manik diantar oleh Gungde Ambara satu mobil ke GWK dalam lomba Utsawa Dharma Gita Tingkat Provinsi. Walaupun keduanya sama-sama cinta, pilihan orang tua Tri Prayatni untuk mempertahankan keluarga agar tidak putung, akhirnya Tri Prayatni dijodohkan dengan sepupunya, yakni I Nyoman Semadi. I Nyoman Semadi adalah anak ketiga dari I Made Berata,
400
yang baru saja diwisuda di Unair. Setelah wisuda, I Nyoman Semadi dan orangtuanya menyempatkan diri ke Bali, sebelum pulang ke Lampung. Kepulangan I Nyoman Semadi, telah membuyarkan cinta Luh Tri Prayatni kepada Gungde Ambara, walaupun keduanya telah memadu
asmara
melampaui batas orang pacaran.
Keduanya telah sepakat untuk melanjutkan kisah cinta ke jenjang perkawinan, dengan persetujuan kedua orangtua Tri Prayatni. Sebagai guru, kedua pasangan yang direstui kedua orangtua Tri Prayatni ini, merasakan cintanya berjalan mulus. Akan tetapi, pikiran kalut kedua orangtua Tri Prayatni menusuk hati, seperti disambar petir pada musim kemarau ketika keponakannya, yakni I Nyoman Semadi menyerahkan diri bersedia nyentana di rumah Tri Prayatni. Hal ini membuat I Nyoman Yoga dan Gusti Ayu Puspa, menyerahkan keputusan untuk memilih buat Tri Prayatni, antara kawin dengan Gungde Ambara atau memilih I Nyoman Semadi. Kedua pasangan yang sedang dimabuk asmara ini, dengan kebesaran jiwa memahami kondisinya yang kalau ditinggal oleh Tri Prayatni, keluarga Bendesa akan putung.
Oleh karena itu,
keduanya sepakat melakukan jenyana wiwaha, yang menyiratkan keduanya guru yang tidak hanya jatuh cinta secara fisik tetapi juga secara spirit, sekaligus menandakan keluhuran budi kedua belah pihak. Guru yang benar-benar paham tradisi, adat, budaya, dan agama yang dianutnya.
401
Lampiran 12
Sinopsis Novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah Novel ini diawali dengan rencana kemah di Toyobungkah oleh anak-anak SMU Sukawati dalam mengisi acara liburan. Rencana kemah yang dirancang selama tiga hari dimulai dengan rapat yang dipimpin oleh ketua kelas, yakni Made Putra. Dalam rapat muncul pro dan kontra, tetapi diputuskan kemah tetap dilaksanakan di Toyobungkah dengan alasan Kintamani indah dan dapat bertemu dengan STA. Kontra terhadap rencana adalah Nyoman Sena yang selalu membuat masalah di sekolah. Walaupun demikian, Sena tetap ikut rombongan
berkemah
di
Toyobungkah. Pada hari yang telah ditentukan, rombongan siswa SMU Sukawati bersukacita melaksanakan perkemahan yang diawali dengan mendaki Gunung Batur, bakti sosial penanaman pohon, dan pentas seni sekaligus dialog dengan STA. Guru yang mendampingi adalah Pak Sukata guru wali kelas dan Bu Wartini guru pembina seni sastra, keduanya masih lajang dan saling mencintai. Sebagaimana layaknya anak muda, Pak Sukata dan Bu Wartini juga memanfaatkan acara kemah untuk menumpahkan isi hati mereka yang sudah diketahui oleh murid-muridnya melalui gerak-geriknya.
Kedua tokoh guru ini
adalah anak semata wayang dari keluarga masing-masing sehingga mereka punya tanggungjawab untuk melanjutkan garis keturunan. Oleh karena itu,mereka telah
402
membayangkan bagaimana akhir cintanya, antara tuntutan cinta sejati dan ikatan adat yang membelenggu. Walaupun dalam suasana dilematis, kedua guru muda ini benar-benar menjadi guru di hati murid. Mereka menjadi pusat rujukan dalam proses pembelajaran di sekolah maupun dalam melaksanakan perkemahan di Toyobungkah bagi anak-anak. Pada bagian lain, dikisahkan di Toyobungkah Made Putra bertemu dengan Nyoman Arini siswa SMU 1 Denpasar yang kebetulan pulang kampung berlibur bersamaan dengan kegiatan kemah SMU Sukawati. Perkenalan Made Putra dengan gadis ini juga dalam acara kemah penegak pramuka tingkat Provinsi setahun sebelumnya. Pertemuan ini melapangkan jalan bagi Made Putra untuk melakukan koordinasi dengan Karang Taruna Desa Songan dalam acara penanaman pohon. Cinta kedua remaja ini bersemi di tepi Danau Batur, yang membuat Suwitri cemburu dengan Made Putra, karena sejatinya Suwitri juga menaruh hati kepada Made Putra. Hanya saja Made Putra merasa ditolak oleh orangtua Suwitri ketika menjemput ke rumahnya dengan sepeda gayung. Mungkin karena orangtua Suwitri adalah orang kaya. Setelah perkemahan selesai, Arini dikisahkan mengirim surat kepada Made Putra. Arini mengabarkan telah dijodohkan oleh orangtuanya dengan saudara sepupunya yang baru saja tamat sarjana ekonomi dengan alasan ia adalah anak semata wayang agar ada yang melanjutkan bisnis keluarga berupa cottage. Selain itu, Arini juga diharapkan menjadi pewaris tunggal keluarga agar tidak putung. Mendapat kabar demikian, hati Made Putra hancur berkeping-keping, karena masih terngiang
403
betapa romantisnya mereka berdua di tepi Danau Batur pada saat berkemah. (‖Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah‖). Apa yang dialami oleh Arini dengan Made Putra mirip dengan pengalaman Pak Sukata dan Bu Wartini. Di mata anak-anak, kedua guru ini seperti menumpahkan seluruh cintanya di Toyobungkah. Walaupun kedua guru muda ini saling jatuh cinta, pada akhirnya mereka juga berpisah. Bu Wartini akhirnya menikah dengan saudara sepupunya karena ia juga anak tunggal. Demi melanjutkan kelangsungan keluarga, ia rela meninggalkan Pak Sukata atas desakan orangtua. Berbeda dengan Made Putra yang putus dengan Arini. Made Putra masih dapat menenun kembali benang-benang cintanya dengan Suwitri walaupun akhir kisahnya menggantung. Sementara itu, Pak Sukata dikisahkan tidak punya pegangan pengganti cintanya. Walaupun demikian, peran sentral kedua guru muda ini selama perkemahan tidak bisa diragukan. Murid-murid diawasi dan diarahkan untuk mulai kegiatan dengan sembahyang terlebih dahulu di Pura Jati. Begitu juga pada saat melakukan penanaman pohon, siswa dinasihati agar benar-benar melaksanakan tugas sebagai bentuk kepedulian kepada lingkungan. “Disubane murid-muride makejang mapunduh di sisin danune, Pak Sukata lan Ibu Wartini ngemaang piteket apanga murid-muride saja-saja magarapan pinaka cihna iraga bareng rungu teken palemahan ane perlu apang asri” (Manda, 2002 : 52). Terjemahannya : Sesudah semua murid berkumpul di tepi danau, Pak Sukata dan Ibu Wartini memberikan wejangan agar murid-murid benar-benar melaksanakan kerja sebagai bentuk kepedulian pada lingkungan agar tetap asri.
404
Selain itu, kedua guru ini juga memiliki konsep yang sama dalam mendidik, buktinya ketika mengambil keputusan, mereka bersatu. Dengan cara itulah keduanya yakin siswa tidak akan bingung melaksanakan perintah sehingga memudahkan guru membentuk karakter yang diinginkan sesuai dengan kaidah edukatif. Pelajaran yang diperoleh siswa selama perkemahan di Toyobungkah tidak berhenti selesai kemah, tetapi berlanjut sampai di sekolah. Buktinya para siswa selalu memberikan yang terbaik bagi kelas binaan pada saat sekolah menyambut lomba Wiyata Mandala, terlepas dari adanya protes dari Nyoman Sena. Nyoman Sena pada akhirnya dikisahkan meninggal tabrakan karena kebut-kebutan di jalan akibat salah didikan orangtua. Kematian Nyoman Sena mengundang belasungkawa yang mendalam bagi kelas Made Putra. Pak Sukata berinisiatif menggalang dana duka dan membuat karangan bunga sebagai ungkapan belasungkawa kepada Nyoman Sena. Pak Sukata pun mengajak anak-anak mendoakan kepergian Nyoman Sena selamanya. Tidak tampak rasa dendam dari para guru kepada Nyoman Sena yang masa hidupnya di sekolah selalu membuat program sekolah nyaris berantakan akibat posisinya selalu berseberangan dengan kebijakan sekolah. Nyoman Sena didoakan dengan ketulusan hati. Inilah nilai pendidikan amat luhur, yang diperjuangkan oleh guru untuk ditularkan kepada siswa-siswanya dengan harapan memeroleh kedamaian dan kesejahteraan.
405
Lampiran 13
Daftar Nama Responden 1. Nama TTL Pekerjaan
: Gde Aryantha Soethama : Klungkung, 15 Juli 1955 : Wartawan/pengarang SIM
2. Nama TTL Pekerjaan
: I Nyoman Manda : Gianyar, 14 april 1939 : Pensiunan Guru/pengarang SBM
3. Nama TTL Pekerjaan
: I Gusti Ngurah Djelantik Santha : Karangasem, 12 Agustus 1941 : Pensiunan Pegawai BRI/pengarang SBM
4. Nama TTL Pekerjaan
: Agung Wiyat S Ardhi : Gianyar, 3 Februari 1946 : Pensiunan Guru/pengarang SBM
5. Nama TTL Pekerjaan
: IBW Widiasa Keniten : Karangasem, 20 Januari 1967 : Guru/pengarang SBM
6. Nama TTL Pekerjaan
: I Made Sugianto : Tabanan, 19 April 1979 : wartawan/pengarang SBM
406
Lampiran 14
Pedoman Wawancara 1. Jelaskanlah secara ringkas riwayat hidup Anda sehingga memilih menjadi pengarang! 2. Siapa yang memotivasi Anda menjadi pengarang ? 3. Dari mana sumber inspirasi terkait dengan tokoh guru dalam karya-karya Anda ? 4. Bagaimana Anda mengatur waktu, antara tugas Anda sebagai pegawai (negeri/swasta) dalam menekuni dunia kepengarangan? 5. Apa yang memotivasi Anda menjadi pengarang SIM/SBM padahal tuntutan hidup makin susah, sedangkan mengarang tak menjanjikan hidup layak? 6. Bagaimana Anda menjaga mood agar tetap kreatif melahirkan karya sastra? 7. Apa hambatan Anda menjadi pengarang terkait dengan karya-karya yang telah dihasilkan? 8. Penghargaan apa saja yang telah Anda raih selama menjadi pengarang? 9. Jelaskan secara singkat suka-duka Anda sebagai pengarang? 10. Apa komentar Anda terhadap Teknologi Informasi yang makin maju berkaitan dengan dunia kepengarangan kini ?
407