BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Tujuan utama penelitian ini adalah menguji konsekuen iklim keadilan terhadap sikap dan perilaku individu. Sikap yang dimaksud adalah kepercayaan dan sekaligus berperan sebagai faktor pemediasian, sedangkan perilakunya adalah perilaku proaktif dan perilaku menyimpang sebagai variabel dependen. Pengujian dilakukan dengan mengintegrasikan berbagai pendekatan dan teori seperti multidimensi dan multifoci keadilan, model kesamaan target, iklim organisasional, model nilai kelompok, dan teori pertukaran sosial. Penelitian dilakukan di empat organisasi dengan 399 orang responden dan 50 unit kerja. Justifikasi iklim keadilan sebagai variabel level unit dilakukan dengan menggunakan interrater agreement dan intraclass correlation. Alat analisis yang digunakan untuk menguji pengaruh langsung dan pengaruh pemediasian adalah hierarchical linear model. Langkahlangkah pemediasian dengan menggunakan HLM mengikuti rekomendasi dari Zhang et al. (2009). Secara umum, hasil penelitian menunjukkan adanya dukungan pendekatan multidimensi dan multifoci pada pengaruh langsung iklim keadilan terhadap sikap dan perilaku individu. Iklim keadilan foci organisasi berkaitan dengan sikap dan perilaku yang berorientasi pada organisasi, sedangkan iklim keadilan foci supervisor berkaitan dengan sikap dan perilaku yang berorientasi pada supervisor. Namun
213 233
234
demikian, pendekatan multifoci dengan faktor pemediasian tidak didukung secara keseluruhan karena hanya kepercayaan pada organisasi (foci organisasi) yang memiliki pengaruh pemediasian, sedangkan kepercayaan pada supervisor (foci supervisor) tidak memiliki pengaruh pemediasian. Kesimpulan hasil penelitiannya adalah sebagai berikut: 1. Beberapa teori dasar yang bisa dijadikan landasan teoritis iklim keadilan antara lain iklim organisasional, pendekatan attraction-selection-attrition (ASA), pendekatan konstruksi dan interaksi sosial, social information processing (SIP), dan group value model. Teori-teori tersebut dapat memberikan penjelasan bahwa individu-individu dapat berkonsensus tentang peristiwa, fenomena, dan perlakuan di dalam satu unit kerja sehingga memunculkan persepsi bersama (shared perception) tentang keadilan atau ketidakadilan. 2. Hasil penelitian menunjukkan adanya dukungan untuk pendekatan multidimensi dan multifoci pada iklim keadilan sehingga ada iklim keadilan prosedural foci organisasi, iklim keadilan interaksional foci organisasi, iklim keadilan prosedural foci supervisor, dan iklim keadilan interaksional foci supervisor. Secara umum, keempat variabel level unit tersebut memiliki pengaruh top-down terhadap sikap dan perilaku individu. 3. Hasil pengujian pengaruh langsung menunjukkan bahwa iklim keadilan prosedural dan interaksional foci organisasi serta iklim keadilan interaksional foci supervisor dapat memicu individu untuk berperilaku proaktif dalam bekerja. Iklim yang adil, baik bersumber dari manajemen organisasi ataupun supervisor akan
235
mendorong individu untuk berusaha bekerja lebih efektif dan efisien, memberikan masukan dan saran untuk perbaikan kerja, dan memberikan solusi konstruktif terhadap permasalahan yang terjadi. 4. Iklim keadilan prosedural foci supervisor tidak berpengaruh signifikan terhadap perilaku proaktif. Artinya, kebijakan, prosedur, dan keputusan adil yang dikeluarkan oleh supervisor tidak memicu individu untuk bekerja secara proaktif. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa keadilan prosedural memiliki pengaruh signifikan dengan perilaku individu apabila konteks organisasi mekanistik menjadi pertimbangan. 5. Selain itu, hasil pengujian hipotesis juga menunjukkan bahwa iklim keadilan prosedural dan interaksional foci organisasi berpengaruh negatif terhadap perilaku menyimpang organisasional. Artinya, iklim yang adil dan diciptakan oleh manajemen organisasi dapat mencegah individu untuk melakukan tindakantindakan yang merugikan organisasi seperti sering datang kerja terlambat, sering berpura-pura sakit, menggunakan fasilitas organisasi untuk kepentingan pribadi, dan menggunakan jam kerja untuk keperluan pribadi. Di sisi lain, iklim keadilan prosedural dan interaksional foci supervisor berhubungan negatif dengan perilaku menyimpang interpersonal. Artinya, iklim yang adil dan diciptakan oleh supervisor dapat mencegah individu untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan atau menyakiti supervisornya seperti mengabaikan perintah, bersumpah serapah, dan mempergunjingkan supervisor. Hasil ini menunjukkan
236
bahwa pendekatan multidimensi, multifoci dan model kesamaan target didukung secara empiris. 6. Pendekatan multidimensi, multifoci dan model kesamaan target juga didukung secara empiris berdasarkan hasil pengujian hipotesis pengaruh iklim keadilan terhadap kepercayaan. Iklim keadilan prosedural dan interaksional foci organisasi dapat membentuk rasa percaya pada organisasi. Artinya, kebijakan dan aturan yang konsisten, jelas, tidak menyimpang, dan memperhatikan hak-hak unit kerja serta cara interaksi manajemen organisasi yang penuh respek, jujur, dan penuh perhatian akan melahirkan rasa percaya individu terhadap organisasinya. Di sisi lain, iklim keadilan prosedural dan interaksional foci supervisor dapat menentukan rasa percaya pada supervisornya. Artinya, kebijakan dan prosedur yang jelas, konsisten, dan memperhatikan hak-hak anggota unit kerja serta cara perlakuan supervisor yang penuh respek, jujur dan perhatian akan memunculkan rasa percaya individu pada supervisornya. 7. Penelitian ini tidak hanya menguji pengaruh lintas level iklim terhadap sikap dan perilaku individu, tetapi juga menguji pengaruh pada level individu. Kepercayaan pada organisasi berpengaruh positif terhadap perilaku proaktif dan berpengaruh negatif terhadap penyimpangan organisasional. Artinya, individu yang meyakini bahwa manajemen organisasi memiliki integritas, profesional, jujur dan bersikap terbuka serta memiliki motivasi dan niat baik akan mendorong individu untuk bekerja proaktif dan mencegah individu untuk bertindak negatif yang merugikan organisasi. Namun demikian, kepercayaan pada supervisor tidak berhubungan
237
secara
signifikan
dengan
perilaku
proaktif
dan
perilaku
menyimpang
interpersonal. Artinya, rasa percaya individu terhadap supervisor tidak mendorong individu untuk berperilaku proaktif dalam bekerja dan tidak menjamin individu tidak melakukan perbuatan yang merugikan supervisor. 8. Pengaruh lintas level iklim keadilan dengan faktor pemediasian hanya berlaku untuk foci organisasi. Kepercayaan organisasional memediasi pengaruh iklim keadilan prosedural dan interaksional foci organisasi terhadap perilaku menyimpang organisasional dan perilaku proaktif. Cara organisasi yang adil dalam membuat kebijakan, keputusan dan perlakuan pada unit kerja menimbulkan rasa percaya anggota unit kerja terhadap organisasi. Ada proses pertukaran sosial positif antara organisasi dan anggota unit kerja. Organisasi menciptakan iklim yang adil di dalam unit kerja dan anggota unit kerja memberikan rasa percaya pada organisasi. Konsekuensi hubungan positif tersebut adalah perilaku positif individu.
Individu
melakukan
perilaku
proaktif
dalam
bekerja
yang
menguntungkan organisasi dan tidak melakukan tindakan yang merugikan organisasi untuk mempertahankan dan memperkuat hubungan sosial tersebut. 9. Pengaruh lintas level iklim keadilan dengan faktor pemediasian tidak berlaku untuk foci supervisor. Iklim keadilan yang diciptakan oleh supervisor akan menimbulkan reaksi langsung berupa perilaku individu. Hal tersebut dapat terjadi karena supervisor dan bawahannya memiliki jarak kekuasaan yang pendek, jarak struktural yang dekat dan jarak fungsional yang kuat. Adanya jarak tersebut
238
memungkinkan
terbentuknya
hubungan
dyadic
antara
supervisor
dan
bawahannya. 10. Secara umum, hasil penelitian menunjukan adanya proses pertukaran sosial dan hubungan resiprokal yang saling menguntungkan antara organisasi dan individu serta supervisor dan individu. Hubungan timbal balik tersebut berimplikasi pada perilaku individu. Individu bersikap dan berperilaku positif terhadap organisasi dan supervisornya ketika unit kerjanya diperlakukan adil. Individu juga enggan melakukan perbuatan yang merugikan organisasi dan supervisor ketika unit kerjanya diperlakukan adil. Hal ini menunjukan bahwa teori pertukaran sosial didukung secara empiris pada model lintas level.
B. Kontribusi Penelitian 1. Kontribusi Empiris dan Teoritis Penelitian ini mengintegrasikan berbagai teori, model dan pendekatan. Teori ASA, model nilai kelompok, teori SIP, konsep konstruksi sosial dan keadilan organisasional menjadi dasar iklim keadilan pada level unit kerja. Pendekatan multidimensi dan multifoci keadilan menjadi dasar bahwa entitas di dalam organisasi seperti pimpinan level atas dan supervisor dapat dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap iklim keadilan, baik yang berkenaan dengan prosedur maupun cara interaksi terhadap anggota unit kerja. Individu melakukan hubungan sosial dengan kedua entitas tersebut dan memunculkan sikap dan perilaku yang berbeda.
239
Iklim keadilan foci organisasi berkaitan dengan sikap dan perilaku yang berorientasi pada organisasi, sedangkan iklim keadilan foci supervisor berkaitan dengan sikap dan perilaku yang berorientasi pada supervisor. Mekanisme keterkaitan tersebut didasarkan pada model kesamaan target. Pendekatan multifoci keadilan dan model kesamaan target didasarkan pada teori pertukaran sosial yang menunjukkan bahwa individu melakukan dua konsepsi hubungan sosial, yaitu hubungan antara individu dan organisasi secara keseluruhan serta hubungan dyadic antara individu dan supervisor. Berbagai teori, pendekatan dan model tersebut digunakan untuk menjelaskan konsekuen iklim keadilan berupa sikap dan perilaku individu. Hasil penelitian ini menunjukkan dukungan empiris pada integrasi teori tersebut. Penelitian ini bertolak dari berbagai isu atau permasalahan yang muncul dalam berbagai hasil penelitian dan pengembangan konsep keadilan dan iklim keadilan organisasional. Isu-isu yang muncul dalam penelitian tentang iklim keadilan organisasional antara lain adalah pengembangan pendekatan multidimensi dan multifoci, eksplorasi konsekuen iklim keadilan, dan pengaruh lintas level iklim keadilan. Berbagai permasalahan tersebut menunjukkan masih adanya research gap dalam pengembangan konsep iklim keadilan yang memicu dilakukannya penelitianpenelitian lanjutan untuk menindaklanjuti isu-isu tersebut. Solusi terhadap berbagai isu tersebut menjadi kontribusi teoritis yang dihasilkan dalam penelitian ini. Kontribusi teoritis penelitian ini meliputi beberapa hal, yaitu: Pertama, Kozlowski dan Klein (2000) menyarankan kepada para peneliti perilaku organisasional untuk berpikir multilevel. Artinya, penelitian yang dilakukan
240
sebaiknya mempertimbangkan keterkaitan antara macro OB dan micro OB. Salah satu keterkaitan yang bisa dibangun adalah pengaruh organisasi dan kelompok atau unit kerja tehadap perilaku individu (top-down influences). Hasil penelitian ini menunjukkan adanya dukungan empiris pengaruh top-down tersebut. Ada pengaruh iklim keadilan sebagai variabel level unit terhadap kepercayaan, perilaku proaktif dan perilaku menyimpang sebagai variabel level individu. Artinya, pengaruh konteks terhadap sikap dan perilaku individu tidak hanya pada tataran konsepsual saja, tetapi juga didukung secara empiris. Kedua, penelitian terdahulu masih didominasi penggunaan iklim keadilan prosedural, sedangkan dalam penelitian ini memasukan satu dimensi lagi yaitu iklim keadilan interaksional. Kontribusi teoritis yang dihasilkan adalah pengembangan konsep multidimensi iklim keadilan organisasional, bahwa dimensi lain keadilan organisasional pun dapat dikembangkan menjadi level unit. Sehingga, iklim keadilan organisasional juga bersifat multidimensi yaitu iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan interaksional. Ketiga, keadilan organisasional pada level individu sudah mengembangkan konsep multifoci, bahwa sumber persepsi keadilan itu dapat berasal dari organisasi maupun supervisor. Pada level unit hal ini belum dilakukan secara luas karena hanya Liao dan Rupp (2005) yang baru melakukannya. Kontribusi teoritis dan empiris yang dihasilkan untuk mengatasi permasalahan ini adalah pengembangan konsep iklim keadilan organisasional berdasarkan pendekatan multifoci dan multidimensi. Jadi, iklim
keadilan
organisasional
tidak
hanya
mempertimbangkan
pendekatan
241
multidimensi tapi juga pendekatan multifoci. Penelitian ini menunjukkan adanya iklim keadilan multidimensi dan multifoci, yaitu iklim keadilan prosedural foci organisasi, iklim keadilan interaksional foci organisasi, iklim keadilan prosedural foci supervisor dan iklim keadilan interaksional foci supervisor. Dalam konteks organisasi di Indonesia, kontribusi empiris pendekatan multifoci iklim keadilan ini menjad penting. Pendekatan multifoci iklim keadilan menunjukkan pihak yang bertanggung jawab terhadap iklim keadilan di dalam unit kerja. Indonesia adalah negara dengan jarak kekuasaan yang jauh (Hofstede et al., 2010). Negara dengan jarak kekuasaan yang jauh cenderung memiliki organisasi dengan karakteristik birokratis, hirarkis, sentralisasi, atasan menekankan pada aturan formal, dan bawahan cenderung untuk menunggu instruksi dari atasan. Pimpinan organisasi memiliki beberapa level pada organisasi yang birokratis, pimpinan level atas, menengah, dan bawah. Individu memiliki atasan langsung yang memimpin unit kerjanya dan juga pimpinan level atas yang bertanggung jawab pada organisasi secara keseluruhan. Oleh karena itu, interaksi sosial individu terjadi tidak hanya dengan atasan langsungnya tetapi juga dengan pimpinan level atas. Pimpinan level atas mengeluarkan kebijakan, keputusan, dan prosedur untuk seluruh unit kerja. Di sisi lain, supervisor pun mengeluarkan hal yang sama tetapi hanya untuk unit kerjanya. Sehingga, individu dapat menilai pihak yang bertanggung jawab terhadap terciptanya iklim keadilan di dalam unit kerjanya. Selain itu, penelitian-penelitian sebelumnya belum mempertimbangkan model kesamaan target (target similarity model) dalam menguji konsekuen iklim keadilan.
242
Model kesamaan target melengkapi pendekatan multifoci keadilan, bahwa konsekuen keadilan organisasional yang berupa sikap dan perilaku tergantung dari sumber persepsi keadilan itu berasal. Artinya, apabila sumber keadilan atau ketidakadilan itu berasal dari organisasi, maka sikap dan perilaku individu ditujukan untuk organisasi. Di sisi lain, apabila sumber keadilan atau ketidakadilan itu berasal dari supervisor, maka sikap dan perilaku individu ditujukan untuk supervisor. Jadi, kontribusi empiris lainnya dari penelitian ini adalah membuktikan model kesamaan target dalam pengujian konsekuen iklim keadilan prosedural dan interaksional sesuai dengan sumber (foci) keadilan yaitu organisasi atau supervisor. Iklim keadilan prosedural dan interaksional foci organisasi menentukan kepercayaan pada organisasi dan berhubungan negatif dengan perilaku menyimpang organisasional. Di sisi lain, iklim keadilan prosedural dan interaksional foci supervisor menentukan kepercayaan pada supervisor dan berhubungan negatif dengan perilaku menyimpang interpersonal. Keempat, kebanyakan penelitian sebelumnya mengkaitkan iklim keadilan organisasional dengan berbagai sikap dan perilaku secara langsung, tanpa mempertimbangkan adanya faktor pemediasian. Penelitian ini menggunakan kepercayaan pada organisasi dan kepercayaan pada supervisor sebagai faktor pemediasian dengan teori pertukaran sosial sebagai dasar penjelasnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan multidimensi dan multifoci dengan faktor pemediasian tidak didukung secara empiris. Namun demikian, fakta empiris menunjukkan bahwa pengaruh lintas level iklim keadilan dengan faktor pemediasian berlaku untuk foci organisasi dan tidak berlaku untuk foci supervisor. Kepercayaan
243
pada organisasi memediasi pengaruh iklim keadilan prosedural dan interaksional foci organisasi terhadap perilaku menyimpang organisasional dan perilaku proaktif (multidimensional-mediated model). Kepercayaan pada supervisor tidak memediasi pengaruh iklim keadilan prosedural dan interaksional foci supervisor terhadap perilaku individu. Iklim keadilan foci supervisor berpengaruh langsung terhadap perilaku menyimpang interpersonal dan perilaku proaktif. Kelima, penelitian-penelitian sebelumnya lebih banyak mengkaitkan iklim keadilan organisasional dengan berbagai sikap dan perilaku positif. Hanya Colquitt et al. (2002), Dietz et al. (2003), dan Aquino et al. (2006) dan Spell dan Arnold (2007) yang mengkaitkan iklim keadilan dengan perilaku negatif, itu pun belum mempertimbangkan pendekatan multifoci keadilan dan model kesamaan target serta faktor pemediasian. Pada level individu sudah banyak penelitian yang mengkaitkan keadilan dengan perilaku menyimpang, sehingga diperlukan eksplorasi konsekuen iklim keadilan yang berkenaan dengan perilaku menyimpang. Jadi, kontribusi teoritis dan empiris yang dihasilkan adalah mengkaitkan iklim keadilan organisasional tidak hanya dengan perilaku positif tetapi juga perilaku negatif dengan mempertimbangkan faktor pemediasian. Penelitian ini menggunakan perilaku proaktif dan perilaku menyimpang sebagai variabel luarannya. Fakta empiris mendukung bahwa ada pengaruh negatif iklim keadilan terhadap perilaku menyimpang, dan pengaruh tersebut juga dimediasi kepercayaan pada organisasi. Keenam, penelitian ini menguji pengaruh lintas level dengan variabel pemediasian mengacu pada Baron dan Kenny (1986) yang kemudian dimodifikasi
244
dengan langkah-langkah pengujian HLM. Penelitian ini menggunakan langkahlangkah pengujian multilevel mediation yang direkomendasikan oleh Zhang et al. (2009). Perbedaannya terletak pada penggunaan grand-mean centering dan groupmean centering. Langkah-langkah pengujian multilevel mediation sebelumnya seperti yang dilakukan Seibert et al. (2004) menggunakan grand-mean centering, sedangkan Zhang et al. (2009) menyarankan group-mean centering yang dapat mengurangi counfounding effect yang dapat menyebabkan bias pengujian hipotesis. Pengujian pengaruh pemediasian pada model 2-1-1 adalah untuk menguji pengaruh between variance. Penggunaan grand-mean centering akan mengacaukan hasil uji hipotesis karena pengaruh pemediasian lintas level masih mengandung pengaruh within variance, sedangkan penggunaan group-mean centering dapat menghilangkan pengaruh within variance tersebut dan dapat lebih menjamin bahwa pengaruh pemediasian lintas level terjadi pada between variance.
2. Kontribusi Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pencerahan kepada para praktisi, pimpinan organisasi atau perusahaan, dan supervisor atau manajer bahwa karyawan dalam satu unit kerja melakukan interaksi satu sama lain. Interaksi antar anggota unit kerja dapat dilakukan dalam bentuk berbagi informasi, diskusi, dan berbagi pengalaman khususnya berkenaan dengan kebijakan yang dikeluarkan manajemen. Hasil interaksi tersebut cenderung untuk menghasilkan konsensus atau
245
kesamaan persepsi dalam jangka waktu tertentu. Konsensus yang terjadi di dalam unit kerja sebagai reaksi atas suatu kebijakan, keputusan atau peristiwa akan menentukan sikap dan perilaku individu. Oleh karena itu, pimpinan organisasi dapat menyadari bahwa kebijakan atau keputusan yang dikeluarkan akan memiliki konsekuensi terhadap sikap dan perilaku karyawannya. Pimpinan organisasi dapat menilai kebijakan, keputusan dan peraturan yang dikeluarkannya berdasarkan reaksi karyawannya. Reaksi karyawan yang berbentuk sikap dan perilaku negatif bisa saja disebabkan oleh kebijakan, keputusan dan peraturan yang tidak adil. Sebaliknya, reaksi karyawan yang berbentuk sikap dan perilaku positif bisa saja disebabkan oleh kebijakan, keputusan dan peraturan yang adil. Pimpinan organisasi sebaiknya juga menyadari bahwa kebijakan dan keputusan yang dikeluarkan juga akan menentukan sikap dan perilaku individu terhadap organisasi. Kepercayaan pada pimpinan organisasi akan terbentuk dan perilaku positif terhadap juga akan muncul bila kebijakan dan keputusan dikeluarkan secara adil. Hal sebaliknya akan terjadi, dan sebaiknya juga disadari oleh supervisor dan pimpinan organisasi bila keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan dianggap tidak adil oleh anggota organisasi. Ketidakadilan yang bersumber dari supervisor akan memicu sikap dan perilaku negatif terhadap supervisor, sedangkan ketidakadilan yang bersumber dari pimpinan organisasi akan memicu sikap dan perilaku negatif terhadap organisasi. Hal ini tentu saja akan memberikan dampak yang tidak baik bagi organisasi secara keseluruhan karena akan menganggu pencapaian tujuan organisasi.
246
Perilaku proaktif dan pencegahan perilaku menyimpang karyawan merupakan modal berharga bagi organisasi untuk meningkatkan kapabilitas dan produktifitas, baik di level individu, tim, maupun organisasi. Individu yang melakukan perilaku proaktif cenderung mendukung perubahan-perubahan yang mengarah pada perbaikan, baik yang berkenaan dengan sistem maupun metode kerja. Pencegahan perilaku menyimpang seperti ketidakdisiplinan, konflik interpersonal, korupsi waktu kerja, dan pencurian fasilitas organisasi dapat memperlancar usaha peningkatan kapabilitas dan produktifitas organisasi. Hal ini dapat dicapai dengan menciptakan suasana dan kondisi yang adil di lingkungan kerja karena keadilan akan memunculkan rasa percaya individu kepada organisasi. Kondisi kerja yang adil dan rasa percaya ini menunjukkan hubungan yang baik antara anggota, atasan dan organisasinya. Para anggota akan cenderung mempertahankan hubungan yang baik ini dengan melakukan perilaku yang bermanfaat untuk organisasi dan mengurangi perilaku yang merugikan organisasi. Perilaku proaktif yang ditentukan oleh kepercayaan dan iklim yang adil sangat diperlukan dalam konteks organisasi publik seperti rumah sakit daerah dan organisasi pemerintahan. Individu dengan perilaku proaktif cenderung untuk menawarkan caracara kerja yang lebih efektif dan efisien, aktif melakukan koreksi kesalahan, dan memberikan saran perbaikan pada kebijakan yang kurang tepat. Hal ini sangat dibutuhkan untuk mendukung proses inovasi birokrasi untuk mengembangkan berbagai kebijakan dan fungsi-fungsi administrasi. Upaya reformasi birokrasi agar dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat tidak akan berjalan dengan
247
baik bila masih didominasi aparatur yang monoton, kaku, tidak inovatif, menolak perubahan dan melakukan pekerjaan sebagaimana biasanya. Reformasi birokrasi akan lebih sukses dan nyata bila didukung oleh aparatur dengan perilaku proaktif dalam bekerja dan tidak melakukan berbagai penyimpangan. Perilaku proaktif dan pencegahan perilaku menyimpang individu sangat ditentukan oleh iklim organisasional, oleh karena itu diperlukan usaha-usaha untuk membangun iklim organisasional yang adil, baik di dalam unit kerja maupun di organisasi secara keseluruhan. Pimpinan organisasi adalah pihak yang memiliki peran penting dalam proses penciptaan iklim organisasional yang adil. Desain penciptaan iklim organisasional yang adil sebaiknya mempertimbangkan beberap dimensi seperti struktur organisasional, tanggung jawab, imbalan (reward), manajemen konflik, dukungan lingkungan, identitas dan keterikatan individu terhadap organisasinya. Namun, desain penciptaan iklim organisasional tersebut sebaiknya disesuaikan dengan bentuk organisasinya, organisasi publik atau organisasi swasta. Salah satu tujuan organisasi publik adalah memberikan pelayanan pada masyarakat dengan efektif dan efisien. Oleh karena itu, dimensi-dimensi penciptaan iklim organisasional didesain agar dapat memicu perilaku individu untuk bekerja secara efektif dan efisien. Organisasi publik seperti rumah sakit daerah dan pemerintah daerah biasanya memiliki struktur formal yang baku, sehingga penciptaan iklim ditekankan pada kejelasan kebijakan, aliran informasi yang jelas, hubungan kerja yang jelas, dan uraian tugas yang sesuai dengan kebutuhan.
248
Lingkungan kerja yang mendukung dapat diciptakan dengan mendorong kepala unit kerja untuk selalu berdiskusi dengan anggotanya mengenai permasalahan pekerjaan khususnya berkenaan dengan pelayanan publik. Sistem imbalan bisa dibangun berdasarkan merit system seperti yang telah dilakukan di beberapa instansi pemerintahan. Imbalan berdasarkan kinerja akan mendorong individu untuk lebih bekerja secara proaktif dan tidak hanya sekedar melakukan pekerjaan rutin. Rumah sakit daerah berpeluang besar menerapkan merit system karena karyawan yang ada di dalamnya lebih didominasi pekerja profesional seperti dokter dan perawat. Iklim organisasi yang bisa memicu perilaku kerja proaktif dibangun dengan manajemen konflik yang baik. Pimpinan organisasi dan supervisor dapat membangun sistem komunikasi dua arah yang bisa meminimalkan konflik. Pimpinan organisasi dan supervisor mengkomunikasikan kebijakan dan keputusan dengan jelas, konsisten dan logis terhadap anggota organisasi. Tetapi, anggota organisasi juga memiliki hak untuk menyampaikan opini, pendapat, dan saran berkenaan dengan perbaikan kebijakan dan keputusan. Komunikasi dua arah di organisasi publik dapat dilakukan dengan cara-cara yang tidak selalu formal seperti cofffe morning, sarasehan, dan diskusi terbuka. Selain membangun iklim organisasi yang dapat memicu perilaku proaktif dalam bekerja, perlu adanya pelatihan bagi pimpinan organisasi dan supervisor agar dapat memahami fenomena konsekuen iklim keadilan. Organisasi dapat menyusun program pelatihan yang menekankan pada dua isu utama, yaitu: pertama, cara efektif penyusunan dan perencanaan kebijakan dan keputusan yang adil. Pimpinan organisasi
249
dan supervisor harus memahami kriteria kebijakan dan keputusan yang adil, salah satunya adalah konsistensi realisasi bagi semua pihak dan lintas waktu. Kriteria lainnya adalah kebijakan dan keputusan yang dikeluarkan tidak mengandung kepentingan orang atau golongan tertentu, kebijakan dan keputusan dikeluarkan atas dasar informasi yang akurat dan lengkap, kebijakan dan keputusan tersebut memiliki mekanisme perbaikan jika terjadi kesalahan, sesuai dengan standar etika dan moral, dan mempertimbangkan opini-opini dari pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan kebijakan dan keputusan tersebut. Kedua, pelatihan yang menekankan cara berinteraksi dan berkomunikasi yang efektif dengan bawahan. Pimpinan organisasi dan supervisor harus mampu mensosialisasikan kebijakan dan keputusan yang dikeluarkan agar tujuannya dapat tercapai dan dapat diterima bawahan. Pelatihan ini dapat difokuskan pada dua hal utama yaitu cara memperlakukan bawahan dengan penuh rasa hormat, respek dan kesopanan, dan komunikasi yang efektif agar bawahan dapat menerima informasi yang lengkap tentang kebijakan, keputusan dan aturan yang dikeluarkan pimpinan organisasi maupun supervisor. Pelatihan di dalam organisasi pemerintahan cenderung bersifat formalitas dan hanya digunakan untuk syarat minimal kenaikan pangkat individu sehingga transfer pelatihan (transfer of training) tidak terjadi di dalam pekerjaan sehari-hari. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan desain pelatihan efektif agar transfer pelatihan dapat direalisasikan. Komponen-komponen desain pelatihan efektif antara lain adalah materi pelatihan, metode pelatihan, pelatih yang memberikan materi, dukungan
250
organisasi dan dukungan atasan langsung. Komponen-komponen ini sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan organisasi.
C. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini tidaklah sempurna, ada keterbatasan-keterbatasan yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan penelitian selanjutnya. Keterbatasan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1. Responden penelitian ini didominasi oleh karyawan pada organisasi publik atau pemerintahan, sehingga generalisasi hasil penelitian sangat mungkin untuk organisasi pemerintahan seperti rumah sakit umum daerah dan satuan kerja perangkat daerah. Namun, generalisasi untuk organisasi bisnis bisa jadi masih lemah karena presentase responden dari perusahaan manufaktur hanya 10 persen dari total responden. 2. Pengukuran
perilaku
individu,
baik
perilaku
proaktif
maupun perilaku
menyimpang, dilakukan secara mandiri oleh responden (self-reported) sehingga tidak tertutup kemungkinan terjadi subyektivitas penilaian terhadap perilaku diri sendiri. Adanya subyektivitas mendorong penilaian individu cenderung tinggi (inflated ratings) untuk perilaku proaktif dan cenderung rendah (deflated ratings) untuk perilaku menyimpang. Ada indikasi social desirability bias yang dalam penelitian ini tidak diuji efeknya. Sehingga, pada penelitian selanjutnya perlau melakukan uji tersebut untuk memastikan tidak adanya social bias. Selain itu, khusus untuk pengukuran penyimpangan interpersonal, ada beberapa indikator
251
atau butir pernyataan yang kurang sesuai dengan konteks nilai-nilai budaya Indonesia seperti mengolok-olok supervisor di depan banyak orang, mencerca supervisor atau rekan kerja yang bersifat etnis, rasial dan agama serta menghina rekan kerja baik secara verbal maupun gerak tubuh. Indikator perilaku menyimpang interpersonal tersebut bisa memicu social desirability bias. 3. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan cross-section. Responden mengisi berbagai butir pernyataan kuesioner dalam satu waktu. Kelemahan metode ini adalah hasil penelitian yang tidak menjamin hubungan sebab akibat antara variabel independen dan dependen. Selain itu, kelemahan survei dengan crosssection adalah kecenderungan munculnya common method bias, yang mana pemberian skor butir pernyataan terpengaruh oleh skor sebelumnya. Susunan butir pernyataan dalam kuesioner yang diberikan responden sudah diatur untuk mengurangi bias tersebut. Hasil uji Harman single-factor juga dilakukan untuk memastikan tidak adanya permasalahan tersebut dan hasilnya menunjukkan tidak ada permasalahan common method variance dalam pengisian kuesioner penelitian ini. 4. Konsensus iklim keadilan di dalam unit kerja didasarkan pada hasil pengujian statistik. Meskipun metode tersebut dibenarkan secara ilmiah dan digunakan di berbagai penelitian, namun individu di dalam unit kerja tidak benar-benar sepakat dalam arti sesungguhnya. Konsensus di antara anggota unit kerja akan lebih faktual apabila masing-masing individu duduk bersama dan saling berdiskusi tentang iklim keadilan di dalam unit kerjanya. Namun, konsekuensinya adalah
252
waktu penelitian yang lebih lama karena peneliti harus memfasilitasi diskusi setiap unit kerja yang jumlahnya tidak sedikit. 5. Penelitian ini menggunakan dua foci yaitu organisasi dan supervisor dan tidak mempertimbangkan foci lain seperti rekan kerja. Rekan kerja, khususnya yang memiliki pengalaman dan keahlian, bisa saja menjadi pencipta iklim keadilan karena rekan kerja tersebut dapat menjadi rujukan bagi anggota unit kerja lainnya.
D. Arah Pengembangan Di Masa Datang Penelitian lanjutan dan pengembangan model iklim keadilan organisasional masih perlu terus dilakukan. Fenomena yang terjadi di dalam organisasi tidak hanya pada level individu tetapi juga lintas level yang mana karakteristik organisasi dan unit kerja atau kelompok bisa menentukan sikap dan perilaku individu. Oleh karena itu, ada beberapa agenda penelitian yang bisa dilakukan untuk arah pengembangan di masa datang, yaitu: 1. Penelitian ini hanya menggunakan dua dimensi keadilan organisasional yaitu prosedural dan interaksional. Liao dan Rupp (2005) menggunakan tiga dimensi yaitu prosedural, interpersonal dan informasional. Perlu kajian mendalam untuk melakukan penelitian dengan menggunakan dimensi keadilan distributif, sehingga ada iklim keadilan distributif foci organisasi dan supervisor. Tantangan menggunakan pendekatan multidimensi dan multifoci adalah model pengujian akan lebih kompleks. Apabila penelitian menggunakan tiga dimensi dengan dua foci, maka ada enam variabel yang terbentuk yaitu iklim keadilan prosedural foci
253
organisasi, iklim keadilan interaksional foci organisasi, dan iklim keadilan distributif foci organisasi serta iklim keadilan prosedural foci supervisor, iklim keadilan interaksional foci supervisor, dan iklim keadilan distributif foci supervisor. Namun, konsekuensi positifnya adalah akan semakin lengkap fenomena yang tergambar di dalam model. 2. Hasil penelitian ini secara empiris tidak mendukung pendekatan multifoci pengaruh lintas level iklim keadilan dengan faktor pemediasian karena hanya foci organisasi yang memiliki pengaruh pemediasian sedangkan foci supervisor tidak memiliki pengaruh tersebut. Perlu penelitian lebih lanjut dengan menggunakan faktor pemediasian lain seperti dukungan organisasional, dukungan supervisor, komitmen organisasional, komitmen pada supervisor dan pertukaran atasanbatasan. Perlu dipertimbangkan juga kepercayaan yang berbasis kognitif dan afektif sebagai pemediasian serta perilaku proaktif yang diarahkan pada organisasi dan supervisor. Selain itu, penting juga untuk dilakukan pengujian multilevel yang mana kepercayaan dan perilaku diukur pada level kelompok atau unit seperti kepercayaan tim (team trust) dan perilaku kewarganegaraan organisasional kelompok (group OCB). 3. Agenda penelitian yang tidak kalah pentingya adalah eksplorasi anteseden iklim keadilan itu sendiri. Beberapa penelitian sebelumnya telah menguji anteseden iklim keadilan seperti ukuran dan kolektivitas tim (Colquitt et al., 2002), kepemimpinan (Ehrhart, 2004; Mayer et al., 2007; dan Walumbwa et al., 2010), contingent reward (Walumbwa et al., 2008) dan sensemaking (Roberson, 2006).
254
Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut belum mempertimbangkan pendekatan multidimensi dan multifoci keadilan serta model kesamaan target. Sehingga, perlu penelitian lebih lanjut apakah pendekatan-pendekatan tersebut dapat juga digunakan untuk pengujian anteseden iklim keadilan. 4. Agenda penelitian lainnya adalah eksplorasi faktor pemoderasian, baik yang memoderasi hubungan antara iklim keadilan dan konsekuennya maupun memoderasi hubungan antara anteseden dan iklim keadilan. Liao dan Rupp (2005) menggunakan justice orientation sebagai pemoderasian pada hubungan antara iklim keadilan dan komitmen, kepuasan kerja serta perilaku kewarganegaraan. Yang et al. (2007) menggunakan group power distance sebagai pemoderasian pada hubungan antara iklim keadilan dan komitmen serta perilaku kewarganegaraan. Penelitian selanjutnya masih perlu eksplorasi faktor lain yang berpotensi menjadi pemoderasian pada hubungan antara iklim keadilan dan berbagai sikap serta perilaku individu. Beberapa faktor yang berpeluang menjadi pemoderasian antara lain adalah struktur organisasi (mekanistik atau organik), struktur unit kerja, kolektifisme, dan kepribadian anggota unit kerja. 5. Pengujian konsekuen iklim keadilan pada penelitian ini dilakukan lebih banyak di organisasi publik yang tidak berorientasi keuntungan, oleh karena itu perlu dilakukan pengujian pada setting penelitian organisasi swasta yang berorientasi keuntungan
sehingga
generalisasinya
berlaku
bagi
seluruh
organisasi.
Tantangannya adalah mencari organisasi swasta yang memiliki anggota unit kerja lebih dari lima atau enam orang. Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena
255
kebanyakan
organisasi
swasta
mengedepankan
efisiensi
dalam
struktur
organisasinya sehingga satu tim atau unit kerja tidak lebih dari lima orang. Pengujian lintas level dengan menggunakan HLM tidak hanya mempertimbangkan jumlah responden level individu tetapi juga harus memperhatikan jumlah unit kerja dan anggota tiap-tiap unit kerja. 6. Common method bias adalah konsekuensi dari penggunaan survei dengan crosssection, untuk mengurangi penyimpangan tersebut perlu format kuesioner yang lebih cerdik. Selain itu, perlu dipertimbangkan untuk menggunakan jeda waktu pengisian tiap-tiap butir pernyataan. Misalnya, pengisian butir-butir pernyataan tentang iklim keadilan dilakukan pada minggu pertama survei, butir-butir pernyataan tentang sikap dan perilaku individu dilakukan pada minggu kedua dan ketiga. Alternatif lainnya adalah menggunakan sumber yang berbeda untuk menilai perilaku individu. Atasan langsung atau rekan kerja bisa menjadi responden untuk menilai perilaku individu di dalam unit kerja yang sama.