BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Kebebasan dalam pendidikan seni membutuhkan proses, yaitu dengan dilakukannya
conscientizacao atau penyadaran diri siswa. Penyadaran dilakukan untuk membuat siswa paham
mengenai keadaan nyata yang sedang siswa alami, bahwa mereka ditempatkan bukan sebagai obyek namun sebagai subyek dari pendidikan seni yang mengutamakan kebebasan apresiasi, ekspresi, serta kreativitas. Merujuk pada kebebasan dalam pendidikan seni, bebas disini memiliki maksud ‘bebas untuk apa’ bukan ‘bebas dari apa’. Kebebasan ini disebut sebagai the freedom of existential yang menempatkan siswa untuk mampu menentukan dirinya sendiri dalam hal yang bersifat positif. Dalam seni tidak terdapat batasan sehingga ketika dikaitkan dengan maksud ‘bebas untuk apa’ dalam pendidikan seni maka makna bebas pun menjadi jelas bahwa bebas dalam pendidikan seni adalah bebas untuk mengembangkan dan menuangkan ekspresi, apresiasi, dan kreativitas siswa dalam berkarya seni. Namun pada kenyataannya, ditemukan bahwa proses penyadaran akan kebebasan dalam pendidikan seni malah membawa siswa pada sebuah belenggu. Belenggu tersebut berupa mata pelajaran pengetahuan umum yang dirasa siswa tidak mendukung mereka dalam bermusik. Bahkan sistem penyeragaman yang terdapat pada bentuk maupun model belajar pelajaran pengetahuan umum (di bawah payung kurikulum) membunuh kreativitas para siswa. Penyadaran sesungguhnya memiliki tujuan supaya kebebasan yang dimiliki siswa hanya digunakan saat mereka berkarya melalui seni musik. Dengan adanya belenggu tadi membuat siswa berontak melakukan beberapa penyimpangan terutama di sekolah berupa melanggar tata tertib. Penyimpangan siswa SMM Yogyakarta ini kemudian disebut sebagai anomi. Berbagai faktor pun ditemukan sebagai penyebab dari anomi, diantaranya berupa
motivasi siswa yang tidak sesuai dengan yang diharapkan saat ingin masuk SMM Yogyakarta, interpretasi dari siswa tentang apa itu seni, aktivitas siswa di sekolah, dan peran serta metode mengajar guru SMM Yogyakarta di dalam kegiatan belajar mengajar. Motivasi membawa pengaruh bagi terjadinya anomi di SMM Yogyakarta. Didapati beberapa siswa dengan motivasi awal masuk ke SMM Yogyakarta tidak sesuai dengan apa yang kemudian mereka dapatkan di kemudian hari. Siswa mengaku awalnya ingin masuk SMM Yogyakarta dengan motivasi mendalami seni untuk menjadi seniman, motivasi lain yaitu siswa yang tidak ingin bertemu dengan mata pelajaran pengetahuan umum seperti yang ada di sekolah formal pada umumnya. Padahal SMM Yogyakarta memberi siswa bekal bukan hanya ilmu musik namun juga pelajaran pengetahuan umum, sesuai dengan aturan kurikulum pendidikan nasional. Di samping motivasi terdapat interpretasi siswa terhadap seni yang juga ternyata tidak sesuai dengan pemaknaan yang seharusnya. Siswa merasa bahwa seni adalah diri mereka sendiri, padahal yang sebenarnya disini seni adalah musiknya. Peran serta metode mengajar guru pun juga sangat berpengaruh terhadap terciptanya anomi dalam pendidikan seni. Selama ini tidak semua guru, secara khusus guru pelajaran pengetahuan umum, mengajar dengan menerapkan konsep penyadaran. Guru masih menempatkan diri lebih tinggi dari pada siswa. Guru seolah tahu akan segala hal, sehingga siswa yang dianggap tidak tahu apa-apa hanya dicekoki materi yang berpatok dari guru. Bahkan guru tidak sadar bahwa mereka telah membunuh kreativitas siswa. Siswa menjadi tidak terarik dengan pelajaran pengetahuan umum dan memilik untuk membolos atau menyepelekannya. Dari faktor-faktor tersebut pada akhirnya siswa memiliki pandangan sinis terhadap tata tertib sekolah. Mereka bahkan melanggar tata tertib yang berlaku seperti siswa dengan sengaja terlambat datang ke sekolah, tidak mengerjakan tugas yang diberikan guru,
berpakaian seragam tidak rapi, siswa laki-laki berambut gondrong, tidak mengikuti upacara bendera, juga membolos pelajaran. Berbagai upaya dilakukan SMM Yogyakarta untuk mereduksi anomi yang terjadi. Terdapat tata tertib yang semakin diperketat oleh pihak sekolah melalui oknum guru hingga staf seperti satpam. Setiap siswa yang kedapatan melanggar tata tertib akan mendapatkan peringatan berupa teguran secara lisan. Apabila siswa kedapatan kembali melakukan pelanggaran maka sekolah melalui guru BP akan mengeluarkan surat peringatan. Jika melalui surat peringatan siswa tidak juga jera maka sekolah tidak segan untuk memberikan sanksi, bahkan hingga skors. Namun pada akhirnya ditemui fakta bahwa usaha sekolah tersebut belum mampu mereduksi anomi secara maksimal. Bukan hal yang mudah untuk membasmi setiap penyimpangan yang dilakukan siswa dan dapat mengatur siswa sedemikian rupa seturut dengan tata tertib yang berlaku. Dari sini dapat diketahui bahwa pendidikan seni di SMM Yogyakarta malah membelenggu kreativitas siswa. Pembebasan seharusnya menghasilkan siswa yang kompetitif khususnya dalam bidang seni ternyata siswa malah terbelenggu oleh kurikulum berupa pelajaran pengetahuan umum. Keadaan tersebut bertambah rumit dengan adanya pemberontakan dari diri siswa yang melahirkan anomi dalam pendidikan seni. Hal ini bisa menjadi penghambat siswa untuk berprestasi dalam bidang seni maupun perkembangannya dalam kehidupan sosial masyarakat.
B.
Catatan Kritis Pembebasan dalam pendidikan seni yang dimaksud bukanlah suatu kebebasan yang
semau siswa sendiri. Kebebasan disini disebut pembebasan dalam pendidikan seni kalau terdapat kesepakatan antara sekolah dengan siswa. Isi dari tata tertib sekolah semestinya mendapat kesepakatan, baik dari pihak sekolah maupun dari siswa. Bentuk kesepakatan dapat
dilihat dalam contoh ketika siswa berlatih musik. Siswa diberi kesempatan mengasah kemampuan melatih teknik-teknik bermain untuk menunjang kreativitas mereka, namun tidak berarti setiap waktu di sekolah hanya digunakan siswa untuk berlatih musik. Terdapat kesepakatan yang disetujui bersama antara sekolah dengan siswa mengenai kapan saja waktu untuk siswa berlatih dan kapan siswa harus mengikuti pelajaran yang telah dijadwalkan. Apabila kedapatan siswa yang berlatih di luar waktu yang telah disepakati bersama atau ijin khusus maka siswa dianggap menyalahgunakan kebebasannya dan layak mendapatkan teguran bahkan sanksi yang berlaku. Keadaan siswa yang terbelenggu dalam pendidikan seni diikuti perilaku menyimpang siswa yang disebut-sebut sebagai anomi akhirnya menuai polemik di SMM Yogyakarta. SMM Yogyakarta menjadi kaku untuk menerapkan tata tertib bahkan membuat beberapa aturan baru untuk menekan anomi-anomi yang terjadi, sedangkan siswa sendiri semakin sinis dengan tata tertib yang ada. Keadaan anomi pun malah semakin menjadi dan sulit untuk diredakan. Maka dari itu SMM Yogyakarta seharusnya tidak mempersoalkan tata tertib yang kian diperketat, tetapi lebih fokus pada sosialisasi dari sekolah kepada siswa mengenai tata tertib yang ada. Salah satu cara sosialisasi dengan mengembangkan model pembelajaran pendekatan secara personal. Pendekatan personal merupakan salah satu cara efektif yang dapat digunakan untuk mempraktekkan pembebasan dalam pendidikan serta membantu sekolah dalam mereduksi anomi. Dengan pendekatan ini biasanya siswa menjadi lebih terbuka tentang apa yang mereka hadapi dalam belajar maupun berteman, serta mau mendengarkan saran dan teguran. Siswa pun menjadi lebih nalar sehingga menghasilkan perilaku yang positif. Selain itu, untuk menghindari belenggu dan mereduksi anomi dalam pendidikan seni dibutuhkan sosok guru yang ideal untuk siswa SMM Yogyakarta. Sosok guru yang ideal tersebut misalkan guru yang mengerti karakter orang seni, humanistik, memiliki metode
penyampaian yang lebih jenaka dan menyentuh, dan well inform. Guru yang ideal disini diharapkan mampu membangun komunikasi yang dialogis dengan siswa, tidak menyepelekan serta mau mendengarkan siswa sehingga guru mudah diterima oleh siswa. Untuk menarik perhatian siswa serta memupuk kreativitas mereka, guru juga harus menyajikan materi sekaligus mengkaitkannya dengan materi yang mendukung siswa dalam berkarya seni. Misalkan, pada guru bahasa Inggris, siswa diberi materi bahasa Inggris untuk mendukung mereka nantinya saat tampil go international. Guru lain seperti pada pelajaran Sejarah, akan menarik bagi siswa jika tidak hanya mempelajari sejarah nasional atau internasional, tapi juga mempelajari sejarah musik dunia. Tidak hanya sampai pada metode mengajar. Untuk melepas belenggu dalam pendidikan seni, perlu adanya perbaikan terhadap kurikulum yang diterapkan di SMM Yogyakarta, secara khusus pada pelajaran pengetahuan umum. SMM Yogyakarta yang notabene merupakan sekolah dengan basis pendidikan seni tidak dapat diseragamkan dengan kurikulum seperti pada sekolah-sekolah pada umumnya. Dalam pendidikan seni terdapat kreativitas, ekspresi, dan apresiasi yang tidak dapat diseragamkan. Setiap anak memiliki cara dan polanya masing-masing untuk menciptakan ketiga hal tersebut. Bahkan cara dan polapola yang dilakukan siswa secara tidak terduga, seperti waktu yang dicuri siswa untuk mereka gunakan berlatih musik. Hal ini yang kemudian disebut sebagai hidden curriculum. Model kurikulum tersembunyi tersebut yang sebenarnya dibutuhkan siswa namun dilihat ilegal karena pemberlakuan penyeragaman kurikulum. Pemerintah seharusnya lebih jeli terhadap masalah pendidikan ini. Kurikulum dalam pendidikan seni alangkah lebih baik bila penyajian isi dan bobotnya disesuaikan dengan kebutuhan yang mendukung dan mengembangkan kreativitas siswa SMM Yogyakarta. Dari penelitian ini dapat diketahui model pembelajaran seperti apa yang sebaiknya diterapkan SMM Yogyakarta untuk mengembangkan model pendidikan yang membebaskan
namun tidak membelenggu siswa, sekaligus juga mereduksi kemungkinan-kemungkinan terjadinya anomi dari pembebasan yang diterapkan. Penelitian ini hanya sebatas untuk menjawab rumusan masalah yang telah ditentukan sebelumnya, sementara itu eksplorasi mengenai proses pendidikan seni yang membebaskan masih bisa dikembangkan dalam ranah yang lebih luas. Menyoroti pendidikan seni sebagai praktek pembebasan, penelitian ini terfokus pada penyebab terjadinya anomi di SMM Yogyakarta, sedangkan di penelitian yang mungkin dilakukan selanjutnya terdapat potensi untuk melihat gerakan-gerakan underground siswa maupun hidden curriculum yang menarik untuk diteliti. Pada akhirnya, peneliti berharap hasil penelitian ini mampu menambah kajian pendidikan khususnya pendidikan seni di dunia pendidikan Indonesia, walaupun masih banyak hal yang bisa dikembangkan lebih lanjut. Penelitian ini juga diharapkan mampu untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang pendidikan seni. Ada ajakan untuk kritis dalam melihat dan memaknai kebebasan dalam pendidikan seni. Bebas bukan berarti lepas kendali dan tidak terkontrol, tapi bebas disini untuk berekspresi, kreatif, dan berapresiasi didasari batas-batas berupa norma yang berlaku dalam masyarakat.