BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sebagai orang yang lahir dan besar di Yogyakarta, bisa dikatakan saya telah mengenal gudeg hampir sepanjang hidup saya. Masyarakat Yogyakarta pun telah menerimanya sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan Yogyakarta karena dapat ditemui di mana saja dan kapan saja. Meski begitu, gudeg itu sendiri sepertinya luput dari perhatian yang jauh lebih dalam. Banyak masyarakat Yogyakarta yang menerima gudeg dengan taken for granted.1 Sebagaimana argumen Chris Baker, identitas yang stabil jarang dipertanyakan; mereka hadir sebagai sesuatu yang “alami” dan diterima begitu saja. Bagaimanapun ketika “kealamian” tampak mulai luntur, kita cenderung mempertimbangkan ulang identitas tersebut (Baker, 2000: 255). Gudeg yang tumbuh seiring sejarah Yogyakarta kemudian “dianggap” sebagai makanan khas Yogyakarta dan juga “dianggap” sebagai kuliner asli Yogyakarta. Gudeg pun lantas menjadi ikon kuliner Yogyakarta tanpa ada yang mempertanyakan lebih lanjut. Baik oleh masyarakat Yogyakarta sendiri, oleh pendatang dan sebagaimana ditulis di banyak media massa, gudeg selama ini hampir selalu disebutkan sebagai makanan khas Yogyakarta. Tak jarang ditemui penjual-penjual gudeg yang mencantumkan kata “khas Jogja” atau “khas Yogyakarta” di kemasan 1
Sesuatu yang diterima begitu saja, tanpa ada proses kritisasi.
1
gudegnya. Hal ini semakin mempertegas posisi gudeg sebagai makanan khas. Meski banyak makanan tradisional lain yang juga disebutkan khas Yogyakarta, namun dapat dikatakan gudeg menempati peringkat pertama dalam penyebutan khas tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “khas” memiliki arti “khusus; teristimewa”. Ini berarti gudeg memiliki posisi istimewa di masyarakat Yogyakarta, di mana posisi istimewa ini bisa memiliki banyak arti. Namun menilik dari sejarahnya, salah satu posisi istimewa yang dimiliki gudeg adalah eratnya kaitan antara gudeg dengan kehidupan keseharian masyarakat Yogyakarta pada masa lalu. 2 Pada saat itu, gudeg dapat dikatakan hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta – di mana biasanya untuk kebutuhan makan pagi. Ini dapat terjadi bukan karena rasa gudeg yang superior dibandingkan makanan lain, namun lebih karena sedikitnya pilihan makanan yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan konsumen tadi. Harganya yang murah dan mudahnya didapatkan menjadikannya makanan yang praktis untuk dikonsumsi, baik oleh masyarakat Yogyakarta sendiri maupun perantau yang tinggal di Yogyakarta. Meski begitu, hubungan antara masyarakat Yogyakarta dan gudeg ini tidak dapat disamakan dengan hubungan suatu masyarakat dengan nasi atau makanan pokok lainnya. Bagi masyarakat Yogyakarta, gudeg hanya hadir sebagai lauk dan penyanding nasi, atau dapat juga dikatakan sebagai pelengkap suatu acara makan.
2
Informasi ini didapatkan dari beberapa wawancara yang dilakukan pada informan-informan yang berusia di atas 55 tahun dan pernah tinggal di Yogyakarta, terutama pada saat usia kuliah. Literatur yang mendukung informasi ini sendiri belum dapat saya temukan, terkait dengan sedikitnya literature mengenai gudeg.
2
Menurut satu bagian kecil dari sejarahnya, kawasan Barek di daerah Sleman merupakan kawasan awal kemunculan usaha gudeg.3 Diyakini, masyarakat di kawasan ini sudah mulai berjualan gudeg sejak sebelum masa kemerdekaan. Salah satu alasan masyarakat Barek banyak yang berjualan gudeg adalah karena pada saat itu kawasan ini merupakan kawasan yang banyak terdapat pohon nangka. Alhasil, bahan baku gori mudah didapatkan “tanpa modal”, yaitu dengan cara mengambil dari halamannya sendiri. Gudeg gori menjadi makanan murah yang dapat dikonsumsi kapan saja. Awalnya, gudeg memang merupakan makanan yang dikonsumsi sehari-hari oleh masyarakat, meskipun tidak selalu memasak sendiri. Gudeg dimakan sebagai salah satu cara untuk bertahan hidup dengan memanfaatkan bahan pangan yang ada di sekitarnya. Oleh masyarakat setempat, selain dikonsumsi sendiri, makanan ini kemudian dijual – juga sebagai lauk sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidup. Cara memasaknya yang tidak harus selalu baru (makin sedap bila merupakan gudeg hari sebelumnya yang telah dihangatkan), membuat gudeg lebih mudah dimasak dalam jumlah besar dan kemudian tinggal dihangatkan untuk beberapa hari ke depan. Berdirinya Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada di tahun 1950-an semakin membangkitkan geliat usaha gudeg di kawasan Barek, terutama dengan membanjirnya masyarakat, baik dari Yogyakarta sendiri maupun luar Yogyakarta, yang beraktivitas di lingkungan Universitas Gadjah Mada. Dengan berkembangnya
3
Hanya kawasan asal usaha gudeg, bukan kawasan asal gudeg itu sendiri. Banyak produsen gudeg di daerah ini yang lantas menjadi “legenda” pada masa sekarang.
3
kawasan Barek menjadi area tempat tinggal mahasiswa maupun pelajar, usaha gudeg turut berkembang guna memenuhi kebutuhan makanan yang murah dan siap makan.4 Gudeg memang memiliki rasa yang khas sebagai lauk. Gudeg merupakan makanan yang dimasak dengan cara yang mirip bacem5 dan diberi areh (kuah santan kental). Berwarna coklat akibat rebusan daun jati dan dan gula jawa yang membuatnya manis, gudeg memiliki rasa yang khas. Rasanya yang khas ini membuat gudeg tidak lantas menjadi makanan favorit. Bahkan dapat dikatakan bahwa tidak semua orang yang pernah mencicipi gudeg lantas mengatakan gudeg itu enak. Banyak yang menganggapnya terlalu manis untuk dimakan sebagai lauk, terutama bagi pendatang dari luar Pulau Jawa. Tapi di sisi lain, banyak pula pendatang yang kemudian justru menjadi penggemarnya karena lambat-laun mereka terbiasa dengan dominasi rasa manis dari masakan di Yogyakarta, yang muncul sangat kuat pada masakan gudeg. Meski gudeg lebih dikenal dengan menggunakan bahan dasar gori (nangka muda), gudeg sebenarnya dapat disajikan menggunakan berbagai bahan dasar lain, seperti rebung, ketela atau manggar. Daging ayam, telur bebek, tahu, sambal tempe, hingga sambal krecek muncul sebagai pelengkap makanan gudeg. Bersanding dengan pelengkapnya, kerap kali pelengkap seperti krecek dan ayam lebih digemari daripada “gudeg”-nya itu sendiri. 4
“Gudeg Mbarek, Pilihan Tepat Nikmati Gudeg Asli Jogja”, 24 Juli 2012, di www.slemankab.go.id Bacem merupakan jenis masakan tradisional yang banyak ditemui di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah, biasanya digunakan untuk memasak tahu atau tempe. Rasanya yang manis dan cara memasaknya yang dilakukan dengan merebus dalam air gula membuatnya mirip dengan cara memasak gudeg. 5
4
Gambar 1.1. Gudeg gori kering lengkap, dengan areh yang sudah bercampur. Gudeg memang kemudian menjadi ikon kota Yogyakarta. Dua pusat gudeg di Yogyakarta, yaitu Barek dan Wijilan, ikut dipromosikan sebagai salah satu tujuan wisata. Akan tetapi gudeg tidak serta-merta muncul dan langsung menjadi ikon kota Yogyakarta. Dapat dilihat dari pemaparan sejarah singkat di atas, gudeg awalnya merupakan makanan subsisten karena murah dan mudah didapatkan. Menurut Metzger yang dikutip dalam tulisan Tellstorm, transformasi makanan subsisten menjadi suatu ikon budaya dan representasi autentik ini tidak terjadi begitu saja. Persaingan antara makanan tradisional mana yang tetap menjadi makanan sehari-hari dan mana yang menjadi makanan representatif suatu daerah terkait pada banyak faktor (Tellstorm, 2011: 68). Panjangnya sejarah gudeg membuat gudeg tidak asing di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Yogyakarta. Dalam perspektif budaya materi, gudeg memiliki dimesi-dimensi yang membuatnya dapat disebut sebagai materi budaya bagi
5
masyarakat di Yogyakarta. Mengutip Daniel Miller tentang budaya materi, Ian Cook dan Phillip Crang menjelaskan bahwa budaya materi merupakan proses di mana kehidupan kultural diobjektifikasi, di mana obyek dikonstruksi sebagai bentuk-bentuk sosial dan karenanya artefak budaya harus dipahami dalam hubungannya pada konteks sosial dan ruangnya (Cook dan Crang, 1996: 132). Kehadirannya di dalam ritual, kehidupan sehari-hari, pengalaman emosional masyarakat Yogyakarta, hingga narasi-narasi terkait dengan
kota Yogyakarta menjadi dasar awal untuk
menempatkan gudeg sebagai materi budaya bagi masyarakat di Yogyakarta. Dalam tradisi di masyarakat Yogyakarta gudeg amat jarang memiliki peran khusus di ritual-ritual budaya yang diadakan. Meski begitu, gudeg sering muncul sebagai salah satu sajian bagi tamu yang hadir terkait dengan suatu ritual budaya. Di sini, gudeg tidak digunakan sebagai benda simbolik untuk ritual dan upacara, akan tetapi digunakan sebagai pendukung praktek sosial antar tamu yang hadir. Tidak berperannya gudeg pada upacara atau ritual salah satunya dapat dikaitkan dengan “ketiadaan” makna simbolik pada gudeg – atau sebaliknya, ketiadaan makna simbolik pada gudeg terkait dengan tidak berperannya gudeg pada upacara atau ritual apapun. Berawal dari ketiadaan peran dalam ritual ini membawa pada pertanyaan akan keterkaitan gudeg dengan pusat pemerintahan dan tradisi Yogyakarta, yaitu Kraton Yogyakarta. Banyaknya asumsi yang mengaitkan gudeg pada Kraton Yogyakarta terbantahkan dengan ketiadaan gudeg (dan juga penggunaan nangka muda sebagai bahan makanan) dalam buku-buku resep masakan Kraton Yogyakarta. Gudeg yang lepas dari posisi sebagai makanan kraton, menjadi makanan rakyat. 6
Sebagai makanan rakyat, masyarakat di Yogyakarta memiliki pengalaman personal dengan makanan gudeg. Narasi yang kerap mengaitkan gudeg dengan Yogyakarta juga semakin mengukuhkan posisi gudeg sebagai materi budaya di Yogyakarta. Narasi-narasi ini saat ini mudah ditemui di dalam promosi-promosi pariwisata Yogyakarta, di mana gudeg digunakan sebagai salah satu ikon untuk “menjual” Yogyakarta. Narasi banyak muncul di media massa, baik sebagai artikel, iklan, maupun testimoni masyarakat yang pernah memakan gudeg. Melihat perkembangan konsumsi kuliner, Ikeda berargumen bahwa aktivitas makan sebagai bentuk bertahan hidup berkembang menjadi kegiatan makan untuk memuaskan kebutuhan akan keamanan, kemudian menjadi untuk kepemilikan, lalu untuk harga diri, dan terakhir sebagai bentuk aktualisasi diri (Ikeda, 1999: 150). Sesuai argumen Ikeda, di masa sekarang, kondisi konsumsi gudeg oleh masyarakat Yogyakarta memang sudah bergeser. Athena H.N. Mak, Margaret Lumbers, dan Anita Eves dalam tulisannya menjelaskan bahwa perubahan dalam sistem dan pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh urbanisasi, peningkatan pendapatan, kebebasan pasar dan investasi asing (Mak, Lumbers dan Eves, 2012: 182). Dalam konteks tersebut, kebebasan pasar dan investasi asing merupakan salah satu dampak dari globalisasi. Seiring perkembangan jaman, berbagai varian kuliner lain telah dapat dengan mudah dikonsumsi di Yogyakarta. Globalisasi memiliki peran penting dalam proses perkembangan kuliner di Yogyakarta ini. Menurut Anthony Giddens, globalisasi merupakan intensifikasi hubungan sosial di dunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitas yang terpisah dalam suatu cara di mana peristiwa lokal juga 7
dibentuk oleh peristiwa yang terjadi jauh dari lokasi tersebut, dan begitu pula sebaliknya (Giddens, 1991: 64). Meski ada ketakutan globalisasi akan mengubur kelokalan suatu daerah dengan Westernisasi, globalisasi sebenarnya membawa dampak-dampak yang sifatnya paradoks. Terkait pada perkembangan kuliner di Yogyakarta, globalisasi memang membuka pintu dan menjadi alasan masuknya banyak kuliner luar ke Yogyakarta. Namun di pihak lain, globalisasi pun merupakan penyebab naiknya kuliner-kuliner lokal dari sekedar makanan harian. Sebagai kota dengan tingkat perantau yang tinggi, Yogyakarta memiliki keragaman kuliner yang cukup tinggi pula. Banyaknya kuliner yang memiliki tingkat kepraktisan dan harga yang tak jauh berbeda dengan gudeg, menjadikan masyarakat Yogyakarta yang tidak lagi “terpaksa” mengonsumsi gudeg setiap hari. Sebaliknya pula, gudeg pun ada yang menjadi “mahal” dan tidak praktis. Pada tingkat tertentu, banyak pula masyarakat Yogyakarta yang mengaku tidak menyukai rasa gudeg. Meski begitu, gudeg tetap “diangkat” sebagai ikon kuliner di Yogyakarta dan diperlakukan dengan “istimewa” dalam konsumsi masyarakatnya. Selain itu, terlepas dari preferensi suka atau tidak suka, gudeg memang masih dikonsumsi oleh masyarakat Yogyakarta, meski dalam bentuk yang berbeda dengan konsumsi gudeg pada masa lalu. Pada akhirnya, meski merupakan materi budaya, gudeg menjadi salah satu kuliner paling populer di Yogyakarta.6
6
“Gudeg: The Most Popular Food from Yogyakarta” dari www.yogyes.com/en/yogyakartaculinary/gudeg/, diakses 10 September 2015.
8
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menunjukkan relasi antara masyarakat Yogyakarta dengan gudeg sebagai materi budaya sekaligus ikon kuliner mereka. Melalui bentuk-bentuk konsumsi yang dilakukan, dapat dilihat bagaimana gudeg yang awalnya merupakan makanan sederhana yang dikonsumsi sehari-hari menjadi makanan populer dengan bentuk konsumsi yang berbeda.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka saya merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana proses gudeg menjadi ikon kuliner di Yogyakarta? 2. Bagaimana status ikon kuliner gudeg dilanggengkan oleh masyarakat Yogyakarta? 3. Bagaimana gudeg menjadi populer melalui konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat Yogyakarta?
1.3. Ruang Lingkup, Fokus, dan Tujuan Penelitian Penelitian ini merupakan studi mengenai masyarakat Yogyakarta, yaitu orang yang tinggal menetap di Yogyakarta. Pemilihan wilayah ditetapkan pada ruang lingkup spasial Yogyakarta yang dibatasi oleh Ring Road. Alasan pemilihan wilayah ini adalah karena di wilayah tersebut terdapat wilayah hunian dan wilayah bisnis, yang cukup sering tercampur aduk di beberapa daerah. Letak Kraton sebagai pusat kota Yogyakarta di dalam Ring Road juga menjadi faktor penting untuk dapat melihat 9
dinamika masyarakatnya. Informan yang dipilih untuk diwawancara secara umum adalah mereka yang tinggal menetap di Yogyakarta dan mengonsumsi gudeg. Berbagai motif di balik keputusan mereka untuk mengonsumsi gudeg menjadi informasi penting bagi keseluruhan penelitian thesis ini. Dengan melakukan penelitian ini, saya berharap dapat menjawab rumusan masalah yang telah saya tuliskan sebelumnya. Melalui penelitian ini diharapkan pula dapat muncul pemahaman mengenai relasi antara masyarakat Yogyakarta dengan gudeg yang hadir dalam konsumsi yang dilakukannya. Sehingga, penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan bagi program-program pelestarian kuliner lokal, baik oleh masyarakat maupun instansi yang berwenang. Secara umum, penelitian ini diharapkan dapat pula menyumbangkan etnografi mengenai kuliner yang dilihat dari perspektif materi budaya dan konsumsi, serta menambah referensi dalam kajian kuliner dan konsumsi.
1.4. Kajian Pustaka Keberadaan gudeg yang telah “menyatu” dengan kehidupan masyarakat di Yogyakarta membuat gudeg memiliki posisi yang ikonik. Seringkali ini membuat penyikapan masyarakat Yogyakarta terhadap gudeg ini berbeda dengan penyikapan masyarakat Yogyakarta terhadap makanan lain yang disebut tradisional. Dengan melihatnya sebagai salah satu ikon kota Yogyakarta, saya memisahkan gudeg dari berbagai makanan tradisional lain yang ada di Yogyakarta. Karenanya, membahas mengenai konsumsi gudeg akan terkait erat dengan beberapa aspek yang ada di dalam 10
gudeg itu sendiri. Gudeg bukanlah makanan yang diciptakan khusus untuk menjadi ikon Yogyakarta atau makanan yang terkait dengan ritual tertentu. Keberadaannya di Yogyakarta amat dekat dengan kehidupan rakyat. Bahannya yang mudah diperoleh dan pengolahannya yang tidak membutuhkan peralatan khusus7, menjadikannya mudah dimasak di rumah. Meski begitu, sejarah panjang gudeg sudah tidak dapat ditelusuri lagi dengan detail. Sedikitnya catatan sejarah mengenai bidang kuliner di Indonesia (termasuk gudeg) menjadi salah satu kendalanya. Penelitian mengenai gudeg yang terkait pada aspek sosial-budaya juga sangat sulit ditemukan, bahkan di kota Yogyakarta yang terkenal sebagai kota gudeg. Beberapa penelitian gudeg lebih banyak terfokus pada aspek ekonomi, kandungan gizi dan kesehatan, serta teknik pengolahannya. Skripsi milik Sri Ambarwati adalah salah satu penelitian yang membahas gudeg dari sisi profil penjualannya.8 Selain itu ada pula skripsi dari Chrinaryanti yang berfokus pada ragam penyajian gudeg itu sendiri, mulai dari penyajian di piring hingga penyajian menggunakan kendil.9 Kedua skripsi tersebut memaparkan penjualan gudeg dan penyajiannya dengan deskriptif. Murdijati Gardjito dan Eva Lindha Dewi Permatasari menulis buku berjudul Gudeg Yogyakarta: Riwayat, Kajian Manfaat dan Perkembangan untuk Pariwisata 7
Kegiatan memasak gudeg dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan masak keseharian seperti panci dan kompor gas. Meski begitu, kegiatan memasak gudeg secara tradisional dilakukan dengan menggunakan tungku kayu bakar terkait pada ketersediaan peralatan dan proses memasak yang lebih dari dua jam. 8 Sri Ambarwati, “Profil Penjualan Gudeg di Kabupaten Sleman dan Kotamadya Yogyakarta”, Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2001. 9 Chrinaryanti, “Cara Penyajian Gudeg di Kabupaten Sleman dan Kotamadya Yogyakarta”, Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2000.
11
yang mungkin bisa ditemui sebagai buku yang mengangkat gudeg dengan versi paling lengkap. Dalam buku ini, gudeg diulas dengan lebih luas, melibatkan deskripsi mengenai sejarah gudeg dan keberadaan gudeg di kota Yogyakarta. Meski asalmuasal gudeg tidak dapat dipastikan, dalam penelitiannya Gardjito menyebutkan bahwa gudeg telah dikenal dalam Serat Centhini yang dituliskan pada tahun 1600-an. Gudeg sebagai hidangan rakyat, muncul bersama dengan hidangan-hidangan tradisional lain. Tak hanya gudeg yang berbahan dasar nangka muda, tapi gudeg manggar pun rupanya telah muncul dalam Serat Centhini (Gardjito dan Lindha, 2012: 3-7). Akan tetapi, dengan latar belakang penulis sebagai staf pengajar di Fakultas Teknologi Pertanian, Gardjito lebih banyak fokus pada aspek kandungan gizi, kesehatan, dan pengolahan gudeg itu sendiri. Aspek pariwisata pun hanya muncul pada bagian akhir penelitian tersebut. Sementara itu, tulisan-tulisan lain mengenai gudeg kebanyakan berasal dari artikel yang berkutat pada deskripsi gudeg sebagai makanan, lokasi-lokasi makan yang menjual gudeg, review mengenai tempat makan gudeg, hingga ke sejarah gudeg yang lebih condong pada mitos. Tampaknya gudeg sebagai bagian dari sosial budaya Yogyakarta luput dari perhatian. Sedikitnya penelitian atau buku mengenai gudeg ini membuat saya memilih untuk “berkaca” dari penelitian-penelitian lain yang terkait meski memiliki subyek yang berbeda. Ini mencakup penelitian dan tulisan mengenai makanan, konsumsi, dan pariwisata. Melihat eratnya hubungan gudeg dengan kehidupan masyarakat di Yogyakarta, pembahasan mengenai konsumsi gudeg akan terkait dengan kebudayaan 12
lokal di Yogyakarta itu sendiri. Meski tidak menuliskan mengenai gudeg, Penny van Esterik, dalam bukunya Food Culture in Southeast Asia, memberikan deskripsi mengenai sejarah dan budaya pada makanan di Asia Tenggara. Selain menjelaskan deskripsi tentang bagaimana budaya kuliner di Asia Tenggara, Esterik menjelaskan bagaimana persebaran makanan di Asia Tenggara terjadi. Dituliskan bahwa sajian masakan Indonesia (dan Malaysia) banyak terpengaruh oleh bangsa Cina dan Arab, akibat pedagang-pedagang mereka yang membawa rempah-rempah dari kepulauan ke daratan di Asia Tenggara (Esterik, 2008: 12). Esterik juga meneliti mengenai bagaimana tatacara makan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan makanan di Asia Tenggara. Deskripsi mengenai kultur makanan yang ia tuliskan dapat menjadi gambaran untuk melihat bagaimana makanan di masyarakat Asia Tenggara secara keseluruhan. Terlepas dari itu, gudeg sebagai ikon kota Yogyakarta memiliki dimensi lain yang terkait erat dengan industri pariwisata. C. Mitchell Hall, melalui bukunya Food Tourism Around the World: Development, Management and Markets, memberikan pandangan mengenai bagaimana industri pariwisata kuliner itu sendiri. Di dalam bukunya, ia menyajikan tulisan-tulisan contoh kasus mengenai bentuk-bentuk wisata kuliner di beberapa negara di seluruh dunia, yang mana Indonesia bukan merupakan salah satunya. Namun, seperti tertera pada judul utamanya, tulisan-tulisan di dalam buku ini lebih banyak mengangkat tema-tema pengembangan, manajemen, dan pasar dari wisata kuliner itu sendiri. Kalaupun ada hal yang berkaitan dengan konsumsi,
13
konsumen yang dimaksud adalah turis.10 Sementara, pembahasan mengenai hubungan antara suatu makanan ikonik dan masyarakat lokalnya belum dapat ditemukan.
1.5. Landasan Teori Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, tidak dapat hanya menggunakan satu-dua sudut pandang. Tiap pertanyaan membutuhkan sudut pandang yang berbeda-beda agar dapat melihat dengan lebih menyeluruh. Dalam menjawab bagaimana proses
gudeg menjadi makanan ikonik bagi Yogyakarta dan
dilanggengkan oleh masyarakatnya, perlu dipaparkan terlebih dahulu mengenai posisi gudeg dalam masyarakat Yogyakarta. Sebagai benda yang bisa dikatakan telah ada di dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta sejak dahulu kala dan menemani perjalanan sejarah masyarakat Yogyakarta, gudeg dapat dimasukkan dalam kategori materi budaya. Keberadaan gudeg di tengah masyarakat sehingga dapat dikategorikan sebagai materi budaya masyarakatnya ini kemudian dapat dilihat dengan lebih luas melalui argumen jalur-lintasan benda dalam tulisan Celia Lury. Dalam argumennya, ia menjelaskan bahwa setiap benda memiliki jalur-lintasan benda yang dapat menjelaskan tentang sejarah benda itu sendiri, di mana setiap jalur-lintasan benda ini tidak pernah sama (Lury, 1998: 27). Suatu benda yang telah berada lama di dalam
10
Penjelasan lengkap pada tulisan Richard Mitchell dan C. Mitchell Hall yang berjudul “Consuming Tourists: Food Tourism Consumer Behaviour”, dalam Food Tourism Around the World: Development, Management and Markets, 2003, hlm 60-80.
14
masyarakat akan memiliki sejarahnya sendiri, di mana seringkali posisi dan fungsinya di dalam kehidupan berubah. Sementara, proses ikonisasi gudeg, atau terangkatnya gudeg sebagai ikon kuliner di Yogyakarta, tidak terjadi dengan begitu saja. Untuk melihatnya, globalisasi dan memori memiliki peran yang sangat penting. Globalisasi sebagai fenomena yang melanda seluruh pelosok dunia di masa ini merupakan fenomena yang telah banyak dibahas dan dikritisi oleh banyak pemikir di dunia. Meski begitu, untuk menganalisa kasus gudeg, di mana muncul celah-celah baru bagi produk lokal, tak semua pandangan globalisasi mendukungnya. Meski begitu, Heather Voisey dan Tim O‟Riordan menjelaskan bahwa globalisasi ini tidak serta-merta menghilangkan lokalitas, namun justru memberikan akses pada lokalitas untuk saling berhubungan dan berkembang (Voisey dan O‟Riordian, 2001: 44). Lokalitas sendiri juga bukan merupakan bentuk perlawanan dari globalisasi, namun justru merupakan usaha untuk mengidentifikasi diri di tengah banyaknya identitas. Pandangan Jon D. Holtzman mengenai pengaruh memori pada kuliner juga memiliki peran penting dalam proses berkembangnya gudeg menjadi ikon kuliner. Dengan sejarah panjang gudeg di masyarakat Yogyakarta, tentu keberadaan memori dari para konsumennya tidak dapat disingkirkan begitu saja. Gustatory nostalgia merupakan kata yang dimunculkan oleh Holtzman untuk merangkum fenomena yang terjadi antara makanan, ingatan, nostalgia dan ekspektasi.11 Gustatory nostalgia akan
11
Lihat dalam Jon D. Holtzman, “Food and Memory”, Annual Review of Anthropology, Vol. 35 (2006), hal. 361-378
15
mempengaruhi narasi-narasi yang kemudian berkembang membentuk citra gudeg. Ini diperkuat dengan kebutuhan akan suatu ikon kuliner untuk mengukuhkan brand Yogyakarta sebagai tujuan pariwisata. Athena H.N. Mak, Margaret Lumbers, dan Anita Eves berargumen bahwa kuliner dapat dilihat sebagai “atraksi” yang menjanjikan, meski ada pula yang melihatnya sebagai “halangan” bagi turis untuk datang (Mak, Lumbers, dan Eves, 2012: 177). Kuliner lokal akan menjadi pelengkap bagi pengalaman berwisata seorang turis. Karena itulah, kebutuhan dari industri pariwisata ini dapat dilihat sebagai salah satu alasan “dimunculkannya” gudeg sebagai ikon kuliner. Dalam menjelaskan mengenai bagaimana pelanggengan status gudeg sebagai ikon kuliner di Yogyakarta, akan difokuskan pada usaha-usaha estetisasi yang dilakukan oleh berbagai pihak yang mendukung citra yang telah sebelumnya terbentuk. Howard Morphy menyebutkan bahwa proses estetisasi ini akan memunculkan penilaian-penilaian dan standar-standar oleh masyarakat.12 Meski dalam tulisannya, Morphy mengangkat estetisasi dari benda-benda yang digunakan untuk kegiatan ritual, namun pandangan ini sebenarnya dapat diterapkan di berbagai bentuk estetisasi lainnya. Standar-standar dan penilaian-penilaian inilah yang nantinya melanggengkan citra gudeg sebagai ikon kuliner di Yogyakarta. Berlanjut menjawab rumusan masalah ketiga mengenai proses populerisasi gudeg melalui konsumsi, akan digunakan sudut pandang utama dari Jean Baudrillard. 12
Dapat dilihat dalam tulisan Howard Morphy, “From Dull to Brilliant: The Aesthetics of Spiritual Power among the Yolngu”, Anthropology Art and Aesthetics, Jeremy Coote dan Anthony Shelton (ed.), Oxford, Clarendon Press Oxford (1992), hal 181-183.
16
Mengutip Jean Baudrillard, William Pawlet dalam bukunya menuliskan bahwa untuk menjadi obyek konsumsi, suatu benda harus terlebih dahulu diubah menjadi tanda (Pawlett, 2007: 8). Dengan berlandaskan pada konsumsi nilai tanda ini, gudeg akan dianalisa untuk mencari nilai tanda-nilai tanda yang terkandung di dalamnya, yang dimengerti oleh masyarakat Yogyakarta. Teori masyarakat konsumen yang dimunculkan oleh Jean Baudrillard sesuai dengan kehidupan di era modern seperti saat ini yang tidak dapat dilepaskan dari kegiatan konsumsi. Dalam kaitannya dengan masyarakat konsumer, Baudrillard melihat suatu obyek/benda tidak hanya memiliki nilai guna (use value) dan nilai tukar (exchange value). Dua nilai obyek dikembangkan menjadi empat. Suatu obyek berkembang, hingga memiliki nilai simbol (symbolic value) dan nilai tanda (sign value). Nilai tanda ini menjadi dasar bentuk konsumsi yang terjadi di masyarakat konsumer pada saat ini. Secara sederhana, nilai tanda ini juga berperan sebagai pembeda antar benda. Dalam konsep “masyarakat massa”, tanda pun menjadi sangat penting. Nilai tanda dan nilai simbol ini dapat muncul dalam bentuk prestise hingga ekspresi identitas, yang sebenarnya menjadi tujuan utama konsumsi masyarakat konsumen. Berbeda dengan nilai-nilai lainnya, dalam era nilai tanda, suatu obyek tidak lagi dikaitkan dengan makna tertentu atau kegunaan praktis. Dalam masyarakat konsumer, obyek menjadi pembawa sinyal kosong. Sementara, makna dengan bebas “disuntikkan” ke dalam obyek tersebut. Jumlahnya terus meningkat akibat perubahan-perubahan yang terjadi – seringkali dengan kecepatan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Dalam bukunya, Celia Lury mengutip pemikiran 17
Baudrillard, menjelaskan bahwa kondisi ini merupakan akibat dari kelebihan produksi isyarat dan hilangnya rujukan (Lury, 1996: 100). Kebutuhan tidak lagi menjadi dasar konsumsi suatu benda. Bagi Baudrillard, konsep “kebutuhan” ini sendiri kurang tepat karena pada dasarnya kebutuhan dapat dipuaskan dan seseorang bisa berhenti mengonsumsi. Karenanya, konsumsi suatu obyek sering kali didasari ilusi kebutuhan yang dibentuk oleh pasar dan masyarakat itu sendiri. Dengan tak terbatasnya pilihan yang ada, perbedaan pun menjadi kebutuhan tersendiri bagi masyarakat konsumer. Menurut Baudrillard, benda-benda inilah yang kemudian mengelompokkan konsumernya dengan status yang berbeda. Manusia bahkan telah menjadi sekedar kendaraan untuk mengekspresikan perbedaan di antara obyek-obyek (Lury, 1996: 101). Meski begitu, setiap individu yang tergolong pada satu kelompok tertentu belum tentu merasakan kolektivitas atas kelompok tersebut. Konsep simulakra juga merupakan salah satu konsep penting dalam pemikiran Baudrillard mengenai konsumsi, terutama terkait dengan hiper-realitas. Berasal dari bahasa Latin simulare (plural: simulacra), kata ini memiliki arti untuk membuat mirip yang biasanya dilekatkan dengan ketidakbenaran atau kesalahan. Pada orde ketiga simulakra, turut lahir pula hiperrealitas. Di sini, berbeda dengan simulakra di mana “kenyataan” dibentuk oleh tanda untuk menciptakan model, hiper-realitas merupakan “kenyataan” yang telah direproduksi dari suatu model (Pawlett, 2007: 81). Hiperrealitas dipahami sebagai kondisi di mana, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, simulakra justru menjadi lebih asli dari yang asli. Hiperrealitas menjadi 18
suatu “kenyataan” di mana simulakra tidak lagi menjadi tiruan dari yang asli, namun menjadi kebenaran itu sendiri.
1.6. Metode Penelitian Pengumpulan data untuk mendukung analisis dalam penelitian ini akan didapatkan dengan melakukan observasi, wawancara, dan studi literatur. 1. Observasi Pengamatan akan dilakukan pada beberapa lokasi penjualan gudeg di wilayah yang telah ditentukan sebelumnya. Lokasi-lokasi ini dipilih dengan variasi tertentu sehingga dapat mewakili berbagai bentuk konsumsi gudeg dalam masyarakat. Tak terbatas pada hal tersebut, pengamatan juga akan dilakukan pada kegiatan sehari-hari masyarakat Yogyakarta. 2. Wawancara Kegiatan wawancara ini dilakukan pada total 19 informan, di mana 15 informan merupakan konsumen gudeg yang memiliki KTP Yogyakarta dan 4 informan merupakan penjual/produsen gudeg. Meski begitu, konsumen yang dipilih adalah mereka yang memegang keputusan untuk membeli gudeg, bukan sekedar orang yang dimintai tolong untuk membeli gudeg. Adapun wawancara dengan penjual/produsen gudeg dilakukan untuk mendukung analisis mengenai konsumsi itu sendiri. Wawancara ini dilakukan pada masa penelitian, antara tahun 2013 hingga 2015.
19
3. Studi Literatur Dasar analisis penelitian akan diperkuat dengan melakukan studi literatur mengenai gudeg, konsumsi, Yogyakarta, hingga makanan. Studi literatur ini akan menggunakan berbagai sumber penelitian, jurnal penelitian, buku-buku, hingga artikel-artikel yang terkait dengan topik penelitian.
1.7. Sistematika Penulisan Thesis ini akan dibagi menjadi enam bab. Bab I merupakan Pendahuluan yang akan menjelaskan secara singkat mengenai penelitian yang akan dilakukan. Pada Bab II, saya akan menjelaskan secara lebih terperinci mengenai Identifikasi Lokasi dan Subyek Penelitian di mana penelitian akan dilakukan. Sementara Bab III, Bab IV dan Bab V dibuat berdasar pada rumusan masalah dan untuk menjawab rumusan masalah tersebut. Setiap bab tersebut, akan terbagi lagi ke dalam beberapa sub-bab agar penulisan dapat lebih terfokus dan tidak melebar. Adapun sub-bab tersebut akan ditentukan berdasarkan data yang terkumpul dan kebutuhan analisis. Sementara, pada Bab VI akan disajikan secara singkat kesimpulan dari keseluruhan thesis ini.
20