BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan Sebagai komunitas yang dibentuk berdasarkan kesadaran religious, Komunitas Hijabers Yogyakarta ingin menampilkan sebuah identitas baru yaitu berbusana yang modis tapi tetap syar’i. Sebagai kalangan muslim juga kelas menengah perkotaan, mereka menyadari bahwa penampilan memegang peranan penting dalam mensyiarkan nilai-nilai Islam dan dalam dunia modern saat ini yang menjadi citra diri adalah soal berbusana/berpenampilan yang trendi. Dan sebagai kalangan muslim yang memiliki kesadaran tentang agamanyanya mereka berusaha menjalankan syari’at agama namun tidak ingin ketinggalan dalam dunia kekinian yang lebih modern. Sehingga mereka mencoba berkompromi juga bernegosiasi dengan banyak hal. Hijab tidak hanya memiliki nilai identitas kemuslimahan namun juga memiliki nilai ekonomi dan nilai prestisius. Religiusitas yang ditarik dan dicoba ditafsirkan/diterjemahkan ke dalam nilai-nilai modern, sehingga membentuk wajah baru. Agama dikemas dan dibentuk sesuai keinginan pemakainya. Agama seolah hanya menjadi sebuah packaging (kemasan) dari sebuah produk agar lebih tampak baik/religious supaya lebih banyak terjual, memikat banyak orang dan diterima semua kalangan.
146
Dari temuan data pada penelitian ini , gaya hidup individual anggota komite juga terbawa pada saat mereka dalam kelompok yaitu seperti makan di restoran atau café, travelling, internetan, berbelanja dan pembedaan gaya berbusana untuk suasana yang berbeda. Selain itu terlihat bahwa gaya hidup anggota komite hijabers Community tidak jauh berbeda atau satu sama lain. Hal tersebut terkait dengan kesamaan kondisis sosial-ekonomi dari posisi sosial mereka yang diindikasikan dari pendapatan dan tingkat pendidikan yang kurang lebih sama. Maka posisi sosial mempengaruhi sosialisasi kultural yang mendorong terbentuknya kesamaan perilaku anggota yang ada di dalamnya. Perilaku dan praktik gaya hidup pada Hijabers Community Yogyakarta yang cenderung konsumtif membawa pada sebuah pembentukan identitas baik pribadi maupun komunitas. Dari hasil analisa data, terlihat bahwa Hijabers Community Yogyakarta memiliki 3 praktik gaya hidupnya yaitu : (1) konsumeris prestise (2) fashionable dan (3) keislaman yang moderat. Konsumtif prestise, mengarahkan anggota komite Hijabers Community Yogyakarta cenderung memilih aktifitas dan objek yang memiliki sentuhan budaya ‘tinggi’ di mana mempunyai nilai prestise lebih. Hal tersebut terlihat dari aktifitas makan di restoran atau café ‘elit’, menggunakan barang-barang branded dalam berbusana, membeli majalah fashion & lifestyle internasional yang glossy, menampilkan aktifitas hobi ‘konsumtif’ juga berbiaya mahal seperti fashion dan fotografi melalui blog, mengakses saluran TV luar negeri hingga travelling ke negara lain.
147
Sedangkan pemahaman dan identitas keislaman yang moderat memandu komite Hijabers Community Yogyakarta dalam memaknai gaya hidup yang mereka miliki. Pada persepsi mereka mengenai aktifitas berbusana fashionable, hang out ke mall, menonton film di bioskop, makan di café atau restoran merupakan budaya yang popular yang sudah familiar di masyarakat dan bukanlah hal yang salah karena tidak melanggar batasan Islam yang mereka yakini. Mereka memaknai bahwa ajaran Islam tidak bersifat ekstrim dan masih dapat ‘berkompromi’ dengan perkembangan zaman. Oleh karean itu dalam persepsi mereka Islam tidak melarang untuk mengikuti gaya hidup sesuai perkembangan zaman. Oleh karena itu mereka tidak sependapat dengan pihak yang mereka anggap ‘kolot’ yang tidak bias menerima gaya hidup masa kini yang lekat dengan budaya konsumtif dan leisure time. Oleh karena itu secara keseluruhan, pada gaya hidup anggota kommite Hijabers Community lebih menonjol nilai prestise dibandingkan nilai keislamannya dan hal tersebut juga terbawa pada saat mereka di dalam kelompok. Pada pembahasan praktik gaya berjilbab dan berbusana fashionable dipaparkan bahwa sebenarnya nilai pemborosan dan nilai konsumtivisme dalam fashion yang bertentangan dengan nilai kesederhanaan berbusana dalam Islam. Namun ternyata pada Hijabers Community gaya berjilbab dan berbusana yang fashionable tersebut tetap dipertahankan. Hal tersebut didasari pemaknaan bahwa fashion dalam berjilbab diperbolehkan selama masih menutup aurat dan tidak membentuk lekukan tubuh. Selain itu fashion dimaknai oleh Hijabers Community dapat dijadikan alat syiar di mana membuat berjilbab lebih indah dan sesuai
148
perkembangn zaman sehingga dapat membuat lebih banyak perempuan tertarik untuk berjilbab. Pemaknaan tersebut terkait dengan identitas keislaman moderat pada Hijabers Community Yogyakarta yang mengarahkan bahwa Islam dapat mengikuti perkembangan zaman. Selain berdasarkan pemaknaan tersebut, praktik berjilbab dan berbusana fashionable tetap dipertahankan pada Hijabers Community Yogyakarta karena kefashionable-an tersebut justru menjadi modal simbolik yang menguntungkan bagi kepentingan ekonomi anggota komite. Modal simbolik kelompok Hijabers Community Yogyakarta membuatnya menjadi trendsetter yang mendefinisikan trend baru dalam ranah fashion muslimah. Hal tersebut memberikan keuntungan bagi anggota komitenya untuk memperbesar modal social, lalu mengarah pada akumulasi modal ekonomi di mana penjualan produk-produk dari fashion label anggota komite semakin meningkat. Selanjutnya pada pembahasan peran kelompok dalam penanaman nilai keislaman pada anggota komite, perilaku anggota komite berkembang sesuai dengan lingkungan kelompok. Hal tersebut dimungkinkan terjadi di dalam kelompok, di mana nilai-nilai kelompok dapat merasuk pada struktur kognitif para anggotanya dan membuat habitus berkembang. Hijabers Community sebagai kelompok
muslimah
berjilbab
yang
mengusung
identitas
keislaman,
menimbulkan tanggung jawab para komitenya untuk menjaga citra islam. Salah satunya dilakukan dengan menerapkan norma kelompok yang mengarahkan mereka untuk menjaga gaya berjilbab dan berbusana mereka agar sesuai dengan syari’at Islam. Perkembangan perubahan penampilan terlihat dari perubahan dari
149
segi gaya berbusana dan berjilbab setelah masuk di Hijabers Community yang disadari oleh penyesuaian diri dengan norma kelompok. Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa popularisasi busana muslim dan proses westernisasi(modernisasi) terjadi bersama-sama, maka mode menjadi unsur berpakaian yang sangat penting. Hijabers Community sebagai representasi kalangan menengah muslim atas kemudian menjadikan busana muslimah menjadi trendi
dan
memakai
hijab
mulai
mencapai
prestis
tertentu
yang
mengkomunikasikan hasrat menjadi orang saleh dan sekaligus menjadi muslim modern, individu menunjukkan atau menidentifikasi dirinya atas busana muslim yang mereka pakai untuk membedakan identitas dan nilai prestis/gengsinya dalam dunia sosialnya. Masuknya unsure fashion dalam hijab dan busana muslim, berimplikasi pada perkembangan makna hijab dan busana muslim. Hijab dan busana muslim yang esensinya sebagai simbol agama yang memiliki makna religious namun karena perilaku konsumtif prestis (perilaku mengkonsumsi barang mahal, ber-merk, mewah dan glamor) menjadi memiliki makna prestos/gengsi atau sebagai simbol status dan kemodernan. Oleh karena itu tujuan dari Hijabers Community pun terlihat mengarah pada usaha‘menaikkan status’ jilbab dan busana muslim dengan menggunakan fashion untuk mengubah pemaknaan masyarakat. Nilai prestise yang menonjol pada praktik berjilbab dan berbusana komite hijabers Yogyakarta, membuat potret jilbab dan busana muslim yang terbangun pada mereka yaitu sebagai sebuah symbol status. Simbol status meneguhkan identitas mereka untuk mendistingsi dirinya dengan kelas bawah serta
150
memudahkan pihak lain untuk memahami bahwa bagaimana cara memperlakukan mereka.
Dengan
begitu,
jilbab
dan
busana
muslim
tidak
hanya
merepresentasikan/memotretkan keislaman namun sekaligus posisi social mereka di masyarakat. Potret sosial dari jilbab dan busana muslim pada Hijabers Community Yogyakarta tersebut juga menjadi modal simbolik. Modal simbolik tersebut merupakan gabungan antara modal ekonomi berupa kemampuuan ekonomi untuk pengetahuan dan selera fashion, serta modal social berupa jaringan social seperti hubungan kerjasama dengan pihak lain. Dari keseluruhan hasil penelitian ini, bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya maka menunjukkan bahwa perkembangan jilbab tidak hanya sebagi suatu budaya seperti yang dijelaskan Raleight (2004) dan Saluz (2007) melainkan berkembang menjadi symbol status untuk menunjukkan posisi sosial pemakainya. Selanjutnya terdapat ‘benang merah’ antara hasil penelitian ini dengan penelitian Saluz (2007) di mana melihat muslimah melalui gaya berjilbab berusaha untuk mengkonstruksikan identitasnya. Selain itu dalam berjilbab muslimah muda tidak hanya memperhatikan aspek agamanya saja melainkan terdapat aspek lain yang dinegosiasikan. ‘aspek lain yang dinegosiasikan’ yang terdapat dalam penelitian ini yang menunjukkan bahwa jilbab tidak lagi hanya dimaknai sebagai symbol agama maupun religiusitas melainkan juga sebagai symbol status dan penampilan. Namun dari semua hal tersebut di atas, keberadaan Komunitas Hijabers Yogyakarta juga merupakan sebuah budaya resisten terhadap budaya Pop lainnya yang secara politis, hijab bagi perempuan Islam berfungsi sebagai oposisi atas
151
modernitas barat, yakni antara religius dan sekuler, ruang publik dan privat, serta tentu saja barat dan Islam. Hijab menunjukkan komitmen perempuan terhadap cara hidup Islami dan pada saat yang sama merupakan penolakan terhadap tradisi yang ada. Karenanya hijab tidak lagi dapat diasosiasikan dengan tradisionalisme namun justru merupakan signifikasi dari modernitas. Kehadiran dan penggunaan hijab pada komunitas Hijabers dalam cara berpakaian di antara perempuan Islam relative baru di Indonesia. Hijabers adalah fenomena yang kompleks dan merupakan peristiwa yang tidak hanya sekedar membangkitkan kembali norma tradisi lokal namun juga lambang identifikasi perempuan Islam di Indonesia dengan umat Islam di negara lain, didalamnya penolakan terhadap hegemoni barat paling tidak dalam hal berpakaian. Bagi Hijabers, memakai hijab berarti tidak boleh bergaul bebas, harus taat kepada agama atau dengan kata lain “memiliki peran perempuan yang benar”. Dengan demikian, simbol hijab dan intrepretasinya yang sangat beragam membantu perempuan untuk menegosiasikan peran gendernya.
5.2 Saran Berdasarkan dari keterbatasan yang ada pada penelitian ini, maka penelitian-penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengkaji lebih mendalam mengenai peran Hijabers Community tidak hanya mengenai perkembangan pemakaian jilbab dan trend berjilbab. Melainkan juga pergerakan sebuah komunitas, dalam perubahan makna jilbab bagi pemakainya. Sebab, belum
152
banyak kajian yang menyoroti perubahan makna pada jilbab yang kini tidak hanya mencerminkan kereligiusan pemakainya. Keberadaan Hijabers Community yang juga merupakan kelompok kelas menengah muslim dengan kemampuannya mengkonsumsi gaya hidup leisure time ini juga dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena terkait dengan budaya Islam lainnya seperti munculnya berbagai produk-produk kebutuhan gaya hidup berlabel Islami dan banyaknya artis-artis yang kini berjilbab di Indonesia. Keterbatasan akan kajian mengenai sosiologi fashion di Indonesia, maka diharapkan kedepannya lebih banyak kajian mengenai Sosiologi fashion. Sebab fashion dapat menjadi penanda suatu era tertentu, seperti yang dinyatakan oleh Bell (1992) bahwa fashion merupakan cermin sosial yang merefleksikan ‘semangat dari suatu masa’. Selanjutnya saran yang ditujukan untuk Hijabers Community Yogyakarta pada khususnya dan masyarakat pada umumnya yaitu pergerakan/perjuangan dakwah Islam jangan hanya terjebak pada dakwah penampilan yang megarah pada pola perilaku pemborosan (konsumtif), melainkan tetap menjaga kesalehankesalehan ritusnya.
153