BAB V PENUTUP Setelah dilakukan penelitian secara cermat dan mendalam dapat diketahui bahwa pemaknaan koleksi di Pameran Asia Tenggara memiliki perbedaan dengan makna koleksi tersebut dalam konteks budaya tempat koleksi berasal. Perbedaan tersebut ditemukan pada pemaknaan koleksi etnik Batak, koleksi etnik Dayak, koleksi epigrafi Jawa Kuno, dan koleksi etnik Aceh. Apabila ditelaah dengan seksama perbedaan pemaknaan yang terjadi di Pameran Asia Tenggara disebabkan karena proses pengumpulan koleksi etnografi yang dilakukan dengan cara melepaskan koleksi tersebut dari konteks sosial budayanya. Pengumpulan koleksi etnografi di Indonesia telah marak dilakukan sejak masa kolonial. Hal tersebut disebabkan koleksi-koleksi etnografi sukar diperoleh di Belanda, eksotik, dan merupakan hasil dari karya seni masyarakat yang dianggap primitif. Keberhasilan pengkoleksian objek etnografi semacam itu tentu saja akan memberikan kebanggaan terhadap para kolektornya. Mereka akan mendapat status sosial tinggi karena kemampuannya untuk melakukan perjalanan ke dunia baru, mengunjungi masyarakat yang dianggap primitif dan memiliki pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan orang-orang Belanda lainnya. Proses pengumpulan koleksi dengan melepaskan koleksi dari konteks sosial budayanya sebagaimana dijelaskan sebelumnya dapat dilihat dengan jelas ketika pengumpulan koleksi etnik Batak yang dilakukan oleh van deer Tuuk. Dia mengumpulkan koleksi etnik Batak kemudian dibawa ke Belanda sebagai bagian dari tugasnya mempelajari bahasa Batak yang sangat terkait misi zendeling dari The National Bible Society. Koleksi etnik Batak lainnya yaitu “tunggal panaluan”
105
yang dikumpulkan oleh Erwald Tweer juga menunjukkan bahwa pengumpulan koleksi etnik Batak dilakukannya dengan cara melepaskan koleksi dari konteks sosial budayanya. Erwald Tweer yang berkedudukan sebagai pimpinan dari Sanembah Maatschaapij mengumpulkan koleksi “tunggal panaluan” pada saat ia melakukan perjalaan ke daerah perkebunan di Sumatera Utara. Koleksi etnik Batak yang dikumpulkan Erwald Tweer kemudian dibawa ke Belanda dengan tujuan meningkatkan prestisenya dalam komunitas sosialnya yaitu Natura Artis Magistra. Selanjutnya, pengumpulan koleksi etnik Dayak oleh Molengraaf ketika melakukan ekspedisi di pedalaman Kalimantan juga dilakukan dengan melepaskan koleksi etnik Dayak dari konteks budayanya. Koleksi yang dikumpulkannya kemudian dibawa ke Belanda kemudian dipelajari untuk mendapatkan informasi-informasi geologi, antropologi, dan zoologi yang terdapat di Pulau Kalimantan. Selain itu, proses pengumpulan koleksi etnik Aceh juga memperlihatkan bahwa pengumpulan koleksi tersebut dilakukan dengan melepaskan koleksi dari konteks budayanya. Hal ini disebabkan karena, pengumpulan koleksi etnik Aceh dilakukan pasangan Cornelis George Vattier Kraane dan Francoise Jacoba Daendels yang tidak dapat dilepaskan dari aktivitas perdagangan batubara yang dilakukan pasangan tersebut yang tentunya sering berinteraksi dengan pedagang lokal di Aceh. Pengumpulan yang dilakukannya bertujuan untuk mendapatkan pengakuan status sosial diantara kelompok pengusaha di Belanda. Koleksi yang telah dikumpulkan oleh para kolektor tadi kemudian dihadiahkan dan menjadi koleksi dari Tropenmuseum. Oleh karena itu, pengumpulan koleksi etnografi yang terjadi melalui interaksi masyarakat kolonial
106
di masa lalu oleh kolektor-kolektor dari Belanda sangat mempengaruhi komposisi dan pemaknaan terhadap koleksi Tropenmuseum sampai saat ini. Pada saat kolektor menjadikan koleksi etnografinya sebagai koleksi di Tropenmuseum, makna koleksi etnografi tersebut kemudian ditentukan oleh para kurator Tropenmuseum setelah melakukan identifikasi dan riset terhadap koleksi tersebut berdasarkan latar belakang akademiknya. Oleh karena itu, minat dan bidang keahlian dari kurator juga sangat mempengaruhi pemaknaan koleksi di Tropenmuseum. Hal ini dapat dilihat dari pemaknaan koleksi etnik Batak pada Pameran Sumatera tahun 1926 yang dikuratori J.Kreemer. Dia yang memiliki latar belakang misionaris menyebabkan pemaknaan koleksi etnik Batak yang muncul cenderung membahas kepercayaan animisme etnik Batak. Kemudian, pemaknaan koleksi etnik Dayak pada Pameran Borneo tahun 1926 yang dikuratori oleh B.M Gosling diawali oleh gambaran administratif di Pulau Kalimantan seperti luas wilayah, pembagian wilayah, populasi penduduk dan keadaan geografis. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengetahuan B.M Gosling yang dimilikinya dari pengalaman sebagai perwira militer dan banyak ditugaskan di Hindia Belanda. Sementara itu, pemaknaan koleksi etnografi pada Pameran Budaya Indonesia tahun 1987 yang dikuratori oleh Wilhelmina Kal yang memiliki minat terhadap teknologi pengolahan logam dan kesenian di Asia Tenggara menyebabkan pemaknaan koleksi etnografi cenderung berdasarkan klasifikasi jenis, bahan, teknologi, dan asal artefak. Perbedaaan
pemaknaan
koleksi
etnografi
di
Tropenmuseum
juga
dipengaruhi oleh perkembangan paradigma keilmuan. Pada awal 1900-an,
107
pemaknaan koleksi sangat dipengaruhi oleh pandangan kolonialisme. Oleh karena itu, pemaknaan tersebut cenderung menunjukkan kebudayaan selain budaya Eropa merupakan kebudayaan yang masih primitif, tidak beradab, dan liar. Selain itu, pemaknaan koleksi di museum juga digunakan untuk menunjukkan legitimasi dan dominasi kekuasaan kolonial terhadap negara koloninya. Hal tersebut dapat dilihat dari pemaknaan koleksi etnik Batak pada Pameran Sumatera tahun 1926. Koleksi etnik Batak pada saat itu dipamerkan dengan tujuan untuk memperlihatkan kontradiksi antara Batak Toba pada masa lalu yang masih terpengaruh dengan dewa-dewa Batak tradisional dengan Batak Toba pada masa itu yang telah menjadi penganut Kristen. Pameran tersebut juga menunjukkan keberhasilan dari proses zendeling yang dilakukan orang-orang Eropa serta keberhasilan pemerintah kolonial Belanda memberi peradaban di wilayah Batak Toba yang dianggap sangat primitif. Kemudian, pada Pameran Borneo tahun 1926, pemaknaan koleksi entik Dayak didahului dengan menyertakan gambaran adminsitratif seperti luas wilayah, pembagian wilayah, populasi penduduk dan keadaan geografis menunjukkan bahwa pemerintah kolonial Belanda telah menaklukkan wilayah Kalimantan beserta peradaban didalamnya. Pemaknaan terhadap koleksi etnografi museum mulai berubah setelah tahun 1950-an sebagai akibat berakhirnya perang dunia II dan koloni negara barat banyak yang merdeka. Pemaknaan koleksi di Tropenmuseum sangat dipengaruhi oleh perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di dunia pada masa itu. Adanya tekanan politik dan akademis semakin mendorong negara-negara penjajah untuk memperbaiki hubungan bilateral dan multilateral dengan negara-negara yang pernah dijajah mengakibatkan pemaknaan yang dikaitkan dengan pandangan
108
bahwa budaya diluar Eropa sebagai budaya yang liar dan tidak beradab mulai dihilangkan. Hal itu bertujuan untuk membangun pemahaman dan saling pengertian diantara budaya barat dan budaya “non barat”, sehingga hubungan diplomatik dari negara penjajah dan negara dijajah akan semakin baik. Selain itu, pemaknaan
cenderung
sejalan
dengan
perkembangan
metodologi
ilmu
pengetahuan yang mengutamakan catatan sistematis yang didasarkan pada deskripsi dan klasifikasi tipologi dari artefak. Hal ini menyebabkan pemaknaan koleksi
di
Tropenmuseum
mendeskripsikan
artefak
dilakukan
berdasarkan
dengan asal,
mengklasifikasikan
jenis,
fungsi,
bahan
dan serta
menghilangkan pemaknaan yang berkaitan dengan kolonialisme. Hal tersebut tampak jelas pada pemaknaan koleksi etnografi di Pameran Budaya Indonesia tahun 1987 yang berdasarkan klasifikasi dan deskripsi artefak berdasarkan asal, jenis, fungsi serta bahan sekaligus telah mengurangi pemaknaan yang berkaitan dengan kolonialisme. Setelah tahun 1990-an, pemaknaan koleksi etnografi di Tropenmuseum dengan cara mengklasifikasikan dan mendeskripsikan artefak berdasarkan asal, jenis, fungsi, dan bahan tidak digunakan lagi kemudian beralih kepada pemaknaan berdasarkan telaah yang sesuai dengan paradigma keilmuan yang berkembang yaitu evolusi kebudayaan. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari pemaknaan koleksi etnik Dayak pada Pameran Asia Tenggara tahun 1993 yang dikaitkan dengan ritual kematian. Pemaknaan tersebut didasarkan pada simbol-simbol tradisi dan magis untuk menunjukkan ciri kehidupan animisme etnik Dayak yang dianggap primitif.
109
Pemaknaan koleksi yang didasarkan dari pemikiran difusi kebudayaan juga terjadi di Tropenmuseum. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari pemaknaan koleksi epigrafi Jawa Kuno yang digunakan untuk menunjukkan adanya penyebaran Hindu-Budha oleh pendeta dari India ke Kepulauan Indonesia. Koleksi tersebut diasumsikan sebagai hasil dari teknologi yang hanya dapat dihasilkan setelah pendeta dan pedagang India sampai ke Kepulauan Indonesia kemudian mengajarkannya kepada penduduk di wilayah Indonesia. Pemaknaan tersebut menunjukkan bahwa unsur-unsur kebudayaan dapat menyebar dari satu ke peradaban lainnya. Pemaknaan koleksi perhiasan etnik Aceh juga didasarkan dari pemikiran bahwa unsur-unsur kebudayaan dapat menyebar dari satu peradaban ke peradaban lainnya. Hal ini nampak dari pemaknaan perhiasan etnik Aceh sebagai hasil akulturasi kebudayaan dari luar Aceh seperti Arab, Turki, Cina dan Eropa dengan kebudayaan lokal Aceh. Selanjutnya, koleksi etnik Batak yang dipamerkan pada Pameran Asia Tenggara 2007 juga dipengaruhi oleh pemikiran difusi kebudayaan. Pengaruh dari pemikiran difusi kebudayaan tampak jelas pemaknaan koleksi etnik Batak yang dikaitkan dengan cerita penciptaan yang juga terdapat di Asia Tenggara yang bertujuan menunjukkan persamaan budaya di Asia Tenggara. Pemaknaan koleks etnik Batak dengan sangat jelas memperlihatkan bahwa perkembangan kebudayaan juga melewati bentang ruang (difusionistis). Faktor-faktor penyebab perbedaan pemaknaan koleksi di Tropenmuseum sebagaimana
dijelaskan
sebelumnya
seharusnya
dihindari.
Hal
tersebut
dikarenakan museum khususnya museum yang memamerkan koleksi etnografi dalam
pamerannya
seperti
Tropenmuseum
seharusnya
menjadi
media
pembelajaran dari kebudayaan suatu etnik oleh etnik lainnya. Perbedaan
110
pemaknaan koleksi di Tropenmuseum dapat diatasi dengan penelusuran makna koleksi di Pameran Asia Tenggara sesuai dengan konteks sosial, budaya dan lingkungan koleksi tersebut. Penelusuran tersebut diperlukan karena pemaknaan koleksi etnografi di Tropenmuseum tidak dapat dilepaskan dari proses pengumpulan yang terjadi. Proses pengumpulan koleksi yang terjadi di masa lalu dilakukan dengan melepaskan koleksi etnografi dari konteks budayanya. Hal ini menyebabkan koleksi etnografi tadi dimaknai tanpa terkait konteks budayanya dan muncul makna yang berbeda dengan konteks budaya koleksi etnografi tersebut berasal. Padahal makna dari koleksi etnografi tidak hanya terletak pada kondisi fisik koleksi etnografi tersebut, tetapi juga berada pada konteks sosial, budaya dan lingkungan koleksi etnografi yang bersangkutan. Kurator juga harus memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang koleksi yang dipamerkan sesuai konteks sosial, budaya, dan lingkungan koleksi tersebut. Hal ini dikarenakan pemaknaan pada koleksi pameran tidak dapat dilepaskan dari pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki kurator. Apabila kurator tidak memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang koleksi sesuai dengan konteks sosial, budaya dan lingkungan akan menghasilkan pemaknaan koleksi etnografi yang berbeda dengan konteks sosial dan budaya koleksi tersebut berasal. Perbedaan pemaknaan tersebut dapat diminimalkan dengan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman kurator yang dapat dilakukan dengan penelusuran informasi terkait makna dari koleksi melalui narasumber etnik lokal (native). Selain itu, perlu adanya penggunaan media komunikasi visual untuk memperlihatkan konteks sosial dan budaya dari koleksi etnografi yang dipamerkan di Pameran Asia Tenggara. Penggunaan media visual merupakan cara
111
utama untuk menunjukkan konteks sosial, budaya, dan lingkungan koleksi yang dipamerkan. Penggunaan tersebut menyebabkan pengunjung lebih memahami koleksi yang ditampilkan karena pengunjung dapat melihat gambaran dari konteks sosial, budaya dan lingkungan dari koleksi yang dipamerkan. Selain itu, penggunaan media komunikasi visual akan mengurangi perbedaan pemaknaan yang ditimbulkan dari kurator di pameran dan hasil pemahaman dari pengunjung, daripada hanya sekedar pemaknaan yang ditunjukkan dengan koleksi etnografi dan teks.
112