BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan Sleman sebagai tempat pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan, tampaknya tenteram dari luar, tapi sebenarnya terselubung berbagai masalah kemanusiaan di dalamnya, berupa dimensidimensi yang lebih mencekam ketimbang apa yang kelihatan dari dunia luar. Sub-kultur yang tidak sehat atau negatif ini menjadi sumber kemunafikan, manipulasi, sebagaimana sering dikatakan Lapas dianggap sebagai sekolah tinggi kejahatan (school of crime). Lapas sebagai institusi tentu memiliki keterbatasan-keterbatasan fisik dan organisatoris. Lapas tidak saja dibatasi oleh batas-batas fisik tapi juga batas-batas sosial. Batas fisik seperti pagar, tembok, jeruji, diberlakukan bagi terhukum agar tidak berinteraksi secara bebas layaknya masyarakat di luar Lapas. Batas sosial seperti tidak dapat berinteraksi dengan masyarakat secara bebas layaknya masyarakat di luar Lapas. Batas-batas fisik dan sosial mendasari timbulnya kesepakatan-kesepakatan tertentu diantara Petugas Lapas dan Narapidana untuk saling bekerja sama menafsirkan penggunaan dan pemanfaatan batas-batas tersebut sesuai kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Batas-batas ini mencerminkan struktur masyarakat di balik tembok Lapas tak jauh berbeda dengan struktur masyarakat di Luar Lapas Penjara memberikan gambaran bahwa sistem birokrasi yang dibangun di dalam Lapas ini cukup ketat dan bersifat tertutup serta didukung dengan berbagai 313
aturan yang menutupi kebijakan yang diterapkan di dalam Lapas. Selain dari itu, birokrasi yang tertutup di dalam Lapas tersebut didukung oleh bentuk bangunan dengan tembok yang tinggi dan diberi kawat berduri, sehingga tidak mudah diakses oleh masyarakat umum, kecuali mendapat ijin dari pengadilan atau lembaga yang berwenang. Alasan logis dari dibangunnya sistem birokrasi yang ketat dan tertutup ini, karena Lapas merupakan tempat isolasi yang menampung berbagai pelaku kriminal yang secara sadar dan dengan sengaja melakukan suatu tindakan kejahatan agar orang tersebut tidak akan mengulangi perbuatannya yang salah atau memberikan unsur jera baginya serta untuk menghilangkan atau pencabutan kemerdekaan narapidana. Sistem birokrasi yang bersifat tertutup membuat banyak masyarakat tidak mengetahui aktifitas dan kebijakan yang diterapkan di dalam Lapas. Sistem birokrasi yang tertutup yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sistem birokrasi yang tertutup karena sistem yang terbentuk di dalam Lapas atau sistem di dalam Lapas yang menggariskan demikian, seperti sistem yang digariskan pada lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang mana tidak bisa semua orang keluar masuk lingkungan TNI tanpa ijin, sehingga lingkungan tersebut menjadi tampak sakral atau menakutkan. Bahwa dengan sistem birokrasi yang terbangun secara tertutup seperti di dalam Lapas tersebut, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya berbagai penyimpangan di dalam Lapas sebagaimana telah disebutkan, yaitu terjadinya sodomi, bisnis narkotik dari dalam Lapas, transaksi illegal di dalam Lapas, pemalakan terhadap setiap Para Tahanan yang masuk untuk membayar kamar, pemukulan, menggunakan handphone untuk tujuan melakukan tindak kriminal yang
314
baru dan lain sebagainya yang merupakan suatu bentuk penyimpangan dalam implelemtasi kebijakan di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman. Sistem birokrasi yang tertutup adalah sistem yang terbangun pada Lapas adalah tertutup, baik dalam segi fisik maupun informasi atau aturan main yang sebenarnya di dalam Lapas. Dengan sistem yang terbangun pada Lapas yang secara fisik tertutup, maka informasi maupun aturan main atau soft file-nya juga menjadi tertutup, mengingat yang secara fisik sulit untuk ditembusi terlebih lagi mengenai aturan main atau soft file di dalam Lapas yang bersifat rahasia di dalam Lapas, sudah pasti akan sulit ditembusi atau dipublikasikan kepada masyarakat umum. Dengan adanya sistem birokrasi di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman yang terbangun secara tertutup tersebut, maka hampir dapat dipastikan bahwa segala bentuk penyimpangan yang terjadi di dalam Lapas tidak akan diketahui oleh masyarakat umum, kecuali apabila diceritakan secara langsung oleh Petugas Lapas dan/atau Tahanan atau Narapidana di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman. Kebijakan yang dibuat oleh Pejabat Lapas tentang Lapas bertujuan untuk membantu atau memperlancar penerapan hukum (rechtstoepassing) yang telah ditetapkan. Kebijakan merupakan penyederhanaan pelaksanaan dari suatu produk hukum yang mungkin tidak mudah untuk dipahami dalam pelaksanaannya. Kebijakan tertulis maupun kebijakan lisan yang diterapkan di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman kepada Para Tahanan dan Narapidana, dalam implementasinya bisa berjalan sesuai dengan kebijakan yang telah digariskan atau menyimpang dari apa yang telah digariskan. Kebijakan yang telah dibuat dengan baik untuk mencapai tujuan yang mulia, belum tentu dapat tercapai dengan baik sesuai yang
315
diharapkan, apabila tidak diimplementasi dengan baik oleh pelaksana kebijakan pada tingkat (level) yang paling bawah atau Street Level Birokrasi. Sistem Pemasyarakatan pada Lapas Kelas II B Cebongan Sleman adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Namun dalam praktek implementasi kebijakan di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman oleh Pimpinan Lapas dan Petugas Lapas terhadap Para Tahanan dan Narapidana terdapat berbagai penyimpangan dalam implementasinya. Penyimpangan yang terjadi di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman disebabkan karena banyak hal, diantaranya, yang terutama, karena sistem birokrasi yang tertutup dan tidak konsistennya atau tidak patuhnya Pimpinan dan Petugas Lapas terhadap kebijakan yang telah dibuat atau ditetapkan di dalam lingkungan Lapas. Atas alasan tersebut, sehingga terjadi berbagai bentuk penyimpangan dalam implementasi kebijakan di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman dan sistem birokrasi yang tertutup akan sulit mendapat pengawasan atau kontrol dari masyarakat publik. Selain dari pada itu, Penyimpangan yang terjadi di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman disebabkan karena adanya Diskresi oleh Pimpinan dan Petugas Lapas yang menyimpang dari tujuan kebijakan, sehingga mengakibatkan berbagai masalah baru atau tindak kriminal baru dari dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman, sehingga penyimpangan dalam implementasi kebijakan menjadi kebiasaan yang membudaya di dalam Lapas dari generasi ke generasi berikutnya.
316
Penyebab lainnya yang dapat menyebabkan terjadi penyimpangan dalam implementasi kebijakan di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman, disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
1. Sumber Daya Manusia. a). Rendahnya pendidikan atau sumber daya manusia yang dimiliki oleh Petugas Lapas. b). Kurangnya pelatihan kepada Petugas Lapas agar dapat melakukan pembinaan dan pembimbingan serta pengayoman terhadap Para Tahanan dan Narapidana di dalam Lapas. c). Kurangnya pemahaman tentang sistem pemasyarakatan yang dimiliki oleh Petugas Lapas.
2. Sarana Prasarana a). Kurangnya fasilitas pembinaan, pembimbingan dan pelatihan bagi Para Tahanan dan Narapidana di dalam Lapas, seperti buku-buku yang ada di dalam Lapas, alat-alat pelatihan serta peralatan lainnya yang berfungsi untuk mendidik, membina dan pengayoman. b). Keterbatasan fasilitas pengamanan berupa seperti CCTV untuk memantau berbagai aktifitas para Tahanan dan Narapidana serta Petugas Lapas di dalam Lapas. c). Kurangnya fasilitas untuk Petugas Lapas dalam mengamankan situasi yang genting di dalam Lapas yang mungkin dilakukan oleh Para Tahanan dan Narapidana.
317
3. Sistem Kelembagaan a). Kelembagaan di Lapas dan segala aktifitas di dalam Lapas sangat tertutup dan sulit mendapat pengawasan dari masyarakat umum. b). Struktur organisasi yang terbangun di dalam Lapas sangat ketat dan tertutup, sehingga masyarakat umum tidak dapat masuk seenaknya dan tidak mudah untuk mengetahui struktur organisasi yang terbangun di dalam Lapas.
4. Pimpinan Lapas a). Kurangnya pengawasan secara tekun dan ketat dari Pimpinan Lapas Kelas II B Cebongan Sleman terhadap bawahannya. b). Tidak adanya sanksi yang berat dan tegas dari Kepala Lapas Kelas II B Cebongan Sleman kepada Petugas Lapas yang melanggar Protap Pelaksanaan Tugas Pemasyarakatan. c). Adanya toleransi-toleransi yang kebablasan dari Pimpinan Lapas. d). Tidak adanya keseriusan dari Pimpinan Lapas Kelas II B Cebongan Sleman dan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Departemen Hukum dan HAM Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta Menteri Hukum dan HAM untuk mengangkat petugas khusus untuk Pembimbingan Kemasyarakatan di Lapas Kelas II B Cebongan Sleman yang bertugas memberikan pembimbingan kepada semua narapidana yang berada di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman. e). Adanya sikap meremehkan pentingnya kebijakan tentang Pembimbingan Kemasyarakatan oleh Pimpinan Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.
318
f). Pimpinan Lapas tidak melakukan pengawasan sesuai SOP (Standard Operating Procedure) secara terus menerus dan mendadak terhadap anak buahnya (Petugas Lapas) serta Para Tahanan dan/atau Narapidana. g). Kebiasaan tidak transparan dan tidak jujur dari Pimpinan Lapas dan Petugas Lapas kepada masyarakat publik dalam mempublikasikan keberhasilan dan/atau kegagalan dari Pimpinan dan Petugas Lapas dalam menjalankan tugasnya. h). Adanya kesempatan untuk melakukan penyimpangan dalam implementasi kebijakan di dalam Lapas, baik oleh Pimpinan Lapas dan Petugas Lapas maupun Para Tahanan dan Narapidana.
5. Petugas Lapas a). Kurangnya jumlah Petugas Lapas yang bertugas di dalam Lapas, sehingga tidak proporsional dengan jumlah Tahanan dan Narapidana di dalam Lapas. b). Rendahnya pendapatan dari Petugas Lapas, jika dibandingkan dengan beban kerja dan tanggungjawab serta resiko menghadapi Para Tahanan dan Narapidana yang melakukan anarkis di dalam Lapas. c). Petugas Lapas ingin mencari penghasilan tambahan dari Para Tahanan dan/atau Narapidana di dalam Lapas, selain gaji bulanannya. d). Adanya sikap malas dari petugas Lapas dalam menjalankan tugasnya. e). Tidak patuh atau tidak tunduknya Petugas Lapas (implementing agent) dalam melakukan implementasi kebijakan di dalam Lapas, baik kebijakan-kebijakan secara tertulis maupun tidak tertulis yang berlaku di dalam Lapas. f). Petugas Lapas memberikan peluang agar Para Tahanan dan/atau Narapidana bisa menyimpan uang di dalam Lapas. 319
g). Perilaku dari Petugas Lapas yang tidak konsisten menjalankan tugasnya sesuai dengan Protap Pelaksanaan Tugas Pemasyarakatan. h). Adanya unsur kesengajaan atau memang sengaja dibiarkan oleh Petugas Lapas yang mengetahui adanya penyimpangan dalam implementasi kebijakan yang terjadi di dalam Lapas. i). Adanya penyimpangan karena antara Para Tahanan dan/atau Narapidana dengan Petugas Lapas dan/atau Pimpinan Lapas sama-sama mempunyai kepentingan dan kebutuhan.
j). Adanya upaya untuk saling menutupi atau melindungi atau kerja sama antara Petugas Lapas dengan Para Tahanan dan Narapidana di dalam Lapas. k). Adanya konspirasi antara Petugas Lapas dan Para Tahanan dan/atau Narapidana di dalam Lapas.
6. Tahanan dan Narapidana a). Para Tahanan dan/atau Narapidana merasa tidak aman menyimpan uang pada buku tabungan (tabanas) yang tersimpan di ruangan registrasi dan administrasi atau bendahara rutin, karena takut uangnya bisa diambil oleh orang lain untuk belanja di koperasi Lapas. b). Tahanan dan/atau Narapidana dapat memegang uang tunai (cash) di dalam kamar/sel, sehingga akan memudahkan mereka untuk melakukan transaksi, baik transaksi legal maupun illegal di dalam Lapas. c). Adanya perilaku komersial atau terjadinya perdagangan di dalam Lapas untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing, baik Para Tahanana dan Narapidana maupun Petugas Lapas. 320
Masyarakat di dalam Lapas berperilaku dinamis, bergerak mengikuti kebutuhan dan kepentingan selama berada di dalam Lapas. Kesepakatan-kesepakatan informal terbentuk, berlangsung dalam Lapas, tidak berhenti atau diam saja, tetapi digerakkan, dipelihara dan dipertahankan oleh para aktor. Aktor di dalam Lapas bisa dari Tahanan atau Narapidana sendiri tapi bisa juga dari Petugas Lapas. Aktor yang dalam ilmu politik sering dikenal dengan istilah elit. Elit adalah menunjuk pada seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai keunggulan-keunggulan; di mana dengan keunggulan-keunggulan yang melekat pada dirinya yang bersangkutan dapat menjalankan peran menonjol dan berpengaruh pada cabang kehidupan tertentu. Dengan keunggulan-keunggulan yang dimilikinya, mereka akan mampu memaksa atau membangun kekuatan yang pada saatnya dapat dipergunakan untuk memaksa fihak lain untuk tunduk dan patuh pada kehendaknya. Lapas menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk melakukan tindakan kejahatan (kriminal) yang baru, bahkan bukan hanya dalam skala nasional saja, tetapi juga dalam skala internasional. Tujuan kebijakan di dalam Lapas, agar seorang Narapidana yang dimasukan ke dalam Lapas dapat dididik dan dibina supaya menjadi baik, namun dalam kenyataannya, seorang Narapidana yang dimasukan ke dalam Lapas lebih professional dalam melakukan tindakan kriminal yang baru dibanding dengan perilakunya sebelum dimasukan ke dalam Lapas. Sering dikatakan Lapas dianggap sebagai sekolah tinggi kejahatan (school of crime). Hal ini telah membuktikan adanya penyimpangan dalam implementasi kebijakan di dalam Lapas, yang dapat melahirkan tindakan kriminal yang baru dan tersistem serta membudaya di dalam Lapas dari generasi kepada generasi berikutnya, sehingga tujuan kebijakan dalam
321
implementasi kebijakan tidak tercapai seratus persen. Lembaga yang tidak terbuka dalam sistem birokrasinya menjadi begitu rentan untuk terjadinya segala macam bentuk penyimpangan.
B. Saran Dengan
adanya
berbagai
penyimpangan
dan
penyebab
terjadinya
penyimpangan dalam implementasi kebijakan di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman, memberikan petunjuk tentang kelemahan dan berbagai masalah yang dapat timbul dari sistem birokrasi yang tertutup pada Lapas Kelas II B Cebongan Sleman. Dari berbagai kelemahan dan masalah-masalah yang terjadi di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman tersebut, dapat memberikan dorongan untuk mencari solusi guna menyelesaikan masalah tersebut. Berbagai solusi yang dapat menyelesaikan berbagai kelemahan dan masalah dalam sistem birokrasi tertutup di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman, yaitu Pimpinan atau Pejabat pada Lapas dan juga Petugas Lapas Kelas II B Cebongan Sleman harus bisa membuka diri untuk menerima masukan-masukan yang baik dan berguna dari berbagai pihak agar tercapainya tujuan kebijakan yang diharapkan. Masukan-masukan yang baik dan berguna tersebut, seperti memperhatikan secara seksama dan melakukan evaluasi tentang penyebab-penyebab terjadi penyimpangan implementasi kebijakan di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman dan membenahi serta memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada pada Pimpinan dan Petugas Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.
322
Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang mampu diimplementasi dengan baik, dan sekaligus kebijakan itu dalam proses implementasinya dapat mencapai hasil yang diinginkan atau sesuai tujuan kebijakan yang telah ditetapkan dalam Protap Pelaksanaan Tugas Kemasyarakatan. Implementasi kebijakan di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman seharusnya sebagai policy statement, ke dalam policy outcome, yang muncul sebagai akibat dari aktivitas di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman. Kebijakan
sebagai
sarana
pemenuhan
kebutuhan
atau
kepentingan
masyarakat, itu berarti ukuran sukses tidaknya sebuah implementasi kebijakan di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman tergantung bagaimana masyarakat menilainya. Keberhasilan implementasi kebijakan di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman sangat tergantung dari kualitas sumber daya manusia pada pejabat birokrasi (implementor) serta implementasi kebijakan sampai level (tingkat) paling bawah, yaitu pada para Tahanan dan Narapidana. Kebijakan yang yang telah ditetapkan pada Lapas Kelas II B Cebongan Sleman akan memberikan kontribusi konsep mencapai 60% dari keberhasilan, namun yang 60% itu pun akan hangus, jika 40% implementasinya tidak konsisten dengan konsep. Oleh karena itu, perlunya evaluasi dari sudut kemampuannya secara nyata dalam meneruskan/mengoperasionalkan program-program yang dirancang sebelumnya serta reformasi birokrasi dalam sistem birokrasi di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman dan hal itu harus dijadikan gerakan sosial dan harus dikawal orang-orang yang kuat. Komitmen harus datang dari pucuk Pimpinan Lapas Kelas II B Cebongan Sleman atau Kakanwil Departemen Hukum dan HAM dan/atau Menteri Hukum dan HAM. Tindakan kekerasan di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman oleh Petugas Lapas
323
kepada Para Tahanan dan Narapidana sudah seharusnya tidak boleh dilakukan atau dihentikan, karena tidak sesuai dengan Sistem Pemasyarakatan yang dibangun sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Eksekutif dan Legislatif serta Pejabat Lapas. Tindakan kekerasan atau pemukulan oleh Petugas Lapas kepada Para Tahanan dan Narapidana adalah suatu tindakan yang tidak mendidik dan tidak membina Para Tahanan dan Narapidana untuk menjadi baik. Namun sebaliknya, tindakan kekerasan atau pemukulan oleh Petugas Lapas kepada Para Tahanan dan Narapidana akan membentuk karakter Para Tahanan dan Narapidana menjadi pribadi yang keras dan menyukai tindakan kekerasan, yang mana hal tersebut akan berdampak negatif bagi Para Tahanan dan Narapidana selama berada di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman hingga bebas dan masuk ke dalam lingkungan masyarakat. Sudah seharusnya selama Para Tahanan dan Narapidana berada di dalam Lapas, Pimpinan dan Petugas Lapas dapat membentuk karakter-karakter yang baik bagi Para Tahanan dan Narapidana selama mereka berada di dalam Lapas. Segala bentuk kebijakan tertulis maupun tidak tertulis yang bertujuan untuk mencapai tujuan kebijakan, sudah seharusnya dilaksanakan atau diimplementasikan secara serius dan konsisten oleh Pimpinan dan Petugas Lapas selama mengemban tugas mulia bagi tercapai tujuan bangsa. Selain daripada itu, Pimpinan Lapas Kelas II B Cebongan Sleman harus berani membuat
terobosan-terobosan baru dalam membenahi dan memperbaiki segala
bentuk penyimpangan yang terjadi dan penyebab-penyebab penyimpangan di dalam Lapas, demi kemajuan perbaikan karakter dari Para Tahanan dan Narapidana yang selalu dipandang negatif selama berada di dalam Lapas. Pimpinan Lapas Kelas II B
324
Cebongan Sleman juga dapat mengambil sikap dengan menolak pelimpahan tahanan dari Kepolisian Republik Indonesia atau dari Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta atau Kejaksaan Negeri Sleman, apabila sudah terjadi kelebihan Warga Binaan yang tertampung dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman. Mengingat bahwa dengan kelebihan daya tampung Para Tahanan dan Narapidana di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman, dapat menyebabkan masalah-masalah baru di dalam Lapas. Pimpinan Lapas Kelas II B Cebongan Sleman beserta Petugas Lapas haruslah konsisten dan bertanggungjawab dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai dengan aturan main atau Protap yang telah ditetapkan. Pimpinan atau Pejabat Lapas pada tingkat Propinsi (Kakanwil Departemen Hukum dan HAM Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) dan Pimpinan atau Pejabat Lapas pada tingkat Pusat Jakarta dalam hal ini Dirjen Pas dan/atau Menteri Hukum dan HAM haruslah melakukan pemeriksaan rutin yang mendadak (Sidak) pada Lapas-Lapas di seluruh Indonesia, agar dapat mengetahui segala bentuk penyimpangan yang terjadi di dalam Lapas di Indonesia guna dilakukan perbaikan dan pembenahan demi tercapainya tujuan didirikannya Lapas. Hal ini dilakukan agar tidak ada lagi anggapan masyarakat bahwa Lapas adalah tempat yang paling aman untuk melakukan berbagai bentuk kejahatan dan dapat mengendalikan berbagai bentuk kejahatan yang ada di luar Lapas serta Lapas merupakan sekolah tinggi kejahatan (school of crime). Demikian pula penempatan Para Tahanan dan Narapidana dalam sel seharusnya terpisah atau tidak dijadikan satu sel, sehingga tidak terjadi tukar-menukar ilmu kejahatan dari Narapidana yang satu kepada Tahanan yang lain. Berkembangnya ilmu kejahatan atau tingkat kejahatan di Indonesia, salah satunya disebabkan karena
325
pergaulan antara pelaku kriminal yang sudah profesional dengan pelaku kriminal yang amatir atau belum berpengalaman dalam melakukan tindak kriminal. Dengan adanya diskusi atau berbagi pengalaman tentang tindak kriminal di dalam sel antara Narapidana dengan Narapidana atau Tahanan lainnya atau terjadi tukar-menukar ilmu kejahatan dari Narapidana yang satu kepada Tahanan yang lain, maka dapat membentuk mata rantai kejahatan baik di dalam Lapas maupun di luar Lapas setelah Para Narapidana tersebut bebas dari Lapas. Dengan demikian sangat penting untuk memisahkan sel antara Tahanan dan Narapidana selama mereka berada di dalam Lapas, guna tidak terjadi tukar menukar ilmu kejahatan atau kriminal. Pejabat Lapas atau Menteri Hukum dan HAM seharusnya membuat aturanaturan yang baru yang sesuai dengan perkembangan zaman guna membenahi dan memperbaiki segala bentuk penyimpangan yang terjadi di dalam Lapas serta demi kemajuan pembinaan bagi Para Tahanan dan Narapidana (Warga Binaan) selama mereka berada di dalam Lapas. Apabila proses pembinaan Para Tahanan dan Narapidana (Warga Binaan) selama berada di dalam Lapas menggunakan aturan atau undang-undang yang telah lama dibuat, maka hal tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman mengingat tindakan kriminal yang dilakukan oleh Para Tahanan dan Narapidana pada zaman ini sudah termasuk profesional dan tersistem, sehingga diperlukan terobosan-terobosan baru dalam membuat aturan atau undangundang yang mengatur tentang pembinaan bagi Para Tahanan dan Narapidana selama mereka berada di dalam Lapas. Masih banyak lagi pembenahan-pembenahan dan perbaikan-perbaikan di dalam Lapas yang perlu dilakukan demi tercapainya tujuan kebijakan, sehingga
326
dibutuhkan keterbukaan dan sikap bersedia dikoreksi dari Pejabat dan/atau Pimpinan Lapas serta Petugas Lapas. Selain daripada itu, perlu adanya perubahan sistem birokrasi yang tertutup di dalam Lapas, mengingat segala implementasi kebijakan yang ditutup-tutupi dalam suatu sistem birokrasi hampir pasti terjadinya penyimpangan dalam implementasi kebijakan di dalam sistem birokrasi tersebut. Pelaksanaan pembinaan terhadap para pelaku kriminal yaitu narapidana di dalam Lapas, bukan saja menjadi tugas dan tanggungjawab Para Pimpinan dan Petugas Lapas yang berada di dalam Lapas, tetapi juga menjadi tugas dan tanggungjawab seluruh masyarakat Indonesia demi tercapainya cita-cita bangsa sesuai dengan konstitusi Negara Indonesia. Bahwa atas alasan tersebut, maka sudah sepatutnya sistem birokrasi di dalam Lapas dan pelaksanaan atau implementasi kebijakan di dalam Lapas oleh Pimpinan dan Petugas Lapas terhadap Para Tahanan dan Narapidana seharusnya transparan dan dapat diketahui oleh masyarakat, agar masyarakat dapat mengontrol dan mengawasi serta memberikan masukan terhadap implementasi kebijakan di dalam Lapas terhadap Para Tahanan dan Narapidana guna tercapainya tujuan kebijakan dan cita-cita bangsa.
327
DAFTAR PUSTAKA
Abrahamsen, Rita., Sudut Gelap Kemajuan, Relasi Kuasa Pembangunan, Jogjakarta: Lafadl Pustaka, Februari 2004.
Dalam
Wacana
Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif Mengenai Pidana Penjara Dalam Rangka Usaha Penanggulangan Kejahatan, Disertasi Doktor dalam Ilmu Hukum, pada Universitas Padjadjaran, Bandung, 1985. Arikunto, Suharsimi., Manajemen Penelitian, Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta, April 2005. Bahri, T.Saiful, dkk., Hukum dan Kebijakan Publik, Yogyakarta: Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia (YPAPI), Oktober 2004. Bakhri, Syaiful., Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, Yogyakarta: Total Media, 2009. Boediono., Pengantar Ilmu Ekonomi 1, Edisi 2, Ekonomi Mikro, Yogyakarta: BPFE, 2002. Chazawi, Adami., Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2007. Djamali, Abdoel., Pengantar Hukum Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2009. Dwijowijoto, Riant Nugroho., Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Jakarta: PT.Elex Media Komputindo, 2003. Edwards, George., Implementasi Kebijakan Publik, Yogyakarta: Lukman Offset, 2003. Grindle, Merilee S.ed., (1980), Politics and Policy Implementation in the Third World, Princeton University Press. Haditono, Siti Rahayu., dan F.J. Monks, A.M.P.Knoers., Psikologi Perkembangan, Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Februari 2001. Hardjasoemantri, Koesnadi., Ekologi, Manusia, dan Kebudayaan, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2006. Hatta,
Moh., Kebijakan Politik Kriminal, Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Maret 2010. 328
Haryanto., Kekuasaan Elit, Suatu Bahasan Pengantar, Yogyakarta: Pascasarjana (S2) PLOD UGM dan JIP Fisipol UGM, Juni 2005.
Program
Ibrahim, Johnny., Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum, (Teori dan Implikasi Penerapannya dalam Penegakan Hukum), Surabaya: ITS Press, 2009. Isra, Saldi, Kekuasaan dan Perilaku Korupsi, Jakarta, PT.Kompas Media Nusantara, 2009. Lumintang, P.A.F., Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico, 1988. Mudyahardjo, Redja., Filsafat Ilmu Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, Januari 2002. Moedzakir, M.Djauzi., Teori & Praktek Pengembangan Masyarakat, Suatu Pedoman Bagi Para Praktisi, Surabaya: Usaha Nasional, 1986. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung: Remaja Rosdakarya, April 2005. Mustofa, Muhammad., Kleptokrasi, Persengkongkolan Birokrasi-Korporat Sebagai Pola White-Collar Crime di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Maret 2010. Nasution, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: Bina Aksara, 1991. Nopirin, Pengantar Ilmu Ekonomi Makro dan Mikro (Edisi Pertama), Yogyakarta: BPFE, 2008. Nugroho D., Riant., Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi, Jakarta: PT.Elex Media Komputindo, 2003. Nugroho, Riant., Public Policy, Jakarta: PT.Elex Media Komputindo, 2008. Osborne, David dan Ted Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi, Reinventing Government, Mentransformasi Semangat Wirausaha Ke Dalam Sektor Publik, Jakarta: Victory Jaya Abadi, Februari 2005. Prasetyo, Teguh., Hukum Pidana, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2010. Puspita, Rima Diana dkk., Bergerak Merebut Perubahan, Mozaik Gerakan Sosial Rakyat dalam Melawan Tirani Negara, Malang: Instrans Publishing, November 2008. Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2006. 329
Santoso, Purwo., Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: JPP dan PolGov UGM, Juni 2010. Santoso, Purwo., (2002), Modul Kuliah Kebijakan Pemerintahan dan Implementasinya, Program Pascasarjana Program Study Ilmu Politik Yogyakarta, Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM. Sastrosoenarto, Hartarto., Industrialisasi serta Pembangunan Sektor Pertanian dan Jasa Menuju Visi Indonesia 2030, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006. Siegel, James T., Penjahat Gaya (Orde) Baru, Explorasi Politik dan Kriminalitas, Yogyakarta: LkiS, 2000. Soedjatmoko, Menjadi Bangsa Terdidik, Jakarta: Kompas, Januari 2010. Soetomo, Pembangunan Masyarakat, Merangkai Sebuah Kerangka, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Agustus 2009. Suharto, Edi., Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Bandung: Alfabeta, Agustus 2010. Suharto, Edi., Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial & Pekerjaan Sosial, Bandung: Refika Aditama, Februari 2009. Saleh, Roelan, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, 1983. Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya, Jakarta: Bumi Aksara, 2005. Sztompka, Piotr., Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada, Februari 2010. Tangkilisan, Hesel Nogi S., Kebijakan Publik Yang Membumi, Yogyakarta: Lukman Offset, 2003. Winarno, Budi., Teori Kebijaksanaan Publik, Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Studi Sosial UGM, September 1989. Zaenal Abidin, Andi dan Andi Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Delik) dan Hukum Penitensir, Jakarta: Sumber Ilmu Jaya, 2001. Panduan Menulis & Mempresentasikan Karya Ilmiah, PLOD, Universitas Gadja Mada, 2005.
330