BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Sejarah
fundamentalisme
Islam
di
Indonesia
mengalami
perkembangan yang dinamis dari era orde lama sampai orde reformasi saat ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para intelektual muslim di Indonesia. Fundamentalisme Islam yang menjadi kajian pada penelitian ini HTI dan JAT dapat dilihat berdasarkan profil yang digambarkan pada visi dan misi, struktur jaringan, dan media penyampai wacana.
Dari
beberapa
hal
tersebut,
kedua
komunitas
dapat
dikategorisasikan pada fundamentalisme politik lantaran perjuangannya untuk memperjuangkan syariat Islam dalam tataran bernegara lebih bersifat politis daripada gerakan kultural. Melalui media, sarana-sarana baru wacana fundamentalisme Islam “anti demokrasi” seperti media cetak maupun elektronik dan internet seperti website dan jejaring social, teks perlawanan terhadap demokrasi diproduksi oleh elit komunitas HTI dan JAT. Hal ini dilakukan agar loyalitas para pengikutnya tetap terjaga dan kian tersebar di beberapa penjuru tempat yang tidak bisa dijangkau secara langsung oleh struktur organisasinya melalui cara-cara konvensional tatap muka. Kecenderungan menggunakan sarana baru melalui media website dinilai strategis dan efektif untuk melancarkan wacana komunitas. Meskipun secara skriptural dan tekstual dalam kitab suci tidak ada perintah untuk menggunakan media baru bernama website untuk berdakwah, akan tetapi 140
melihat realitas masyarakat yang relatif bergerak ke ranah konsumsi media baru, pada akhirnya komunitas fundamentalisme Islam yang mewacanakan haram untuk semua produk yang diciptakan barat, atas nama strategi marketing dan menjaga eksistensi symbol, pilihan untuk “memanfaatkan” sarana produk barat ini menjadi pilihan strategis sekaligus masuk ranah politis. Dari analisis yang dilakukan penulis terdapat beberapa poin kesimpulan mengenai konstruksi symbol agama dalam wacana syariat Islam anti demokrasi yang dilakukan oleh HTI maupun JAT. Pertama, kritik terhadap demokrasi yang dikonstruksikan melalui teks sebagai tidak islami mengandung makna eksplisit dan implisit untuk melancarkan aksi persuasif melalui publikasi perlunya diterapkan syariat dan khilafah Islam sebagai bentuk ideal yang paling islami. Konstruksi simbol-simbol agama dimuat dari artikel maupun gambar meliputi makna simbolik mengenai beberapa terminologi agama seperti “demokrasi kafir”, “syariat Islam sebagai rahmat”, “bangsa jahiliyah”, “penguasa thaghut” dan konstruksi makna “jihad”. Kedua, penafsiran teks kitab suci al qur’an dan hadits yang dipakai secara sepihak secara dominan menafsirkan secara skriptural dan tekstual. Hal ini dilakukan untuk mendukung wacana yang disampaikan mengenai wajibnya negara syariat Islam seperti dalam bentuk khalifah dan haramnya demokrasi mengabaikan pemahaman atau pendapat dari ulama lain yang memahami teks kitab dengan melihat konteks sosial yang ada.
141
Ketiga,
nostalgia
masa
lalu
mengenai
bentuk
pemerintahan
kekhalifahan yang berdasarkan kitab suci sengaja dilakukan dengan mengaburkan fakta bahwa terdapat banyak penyimpangan-penyimpangan terhadap kitab suci sebagai dasar negara yang dilakukan oleh beberapa khalifah hingga akhirnya kekhalifahan runtuh. Keempat, terdapat generalisasi kondisi umat Islam yang tertindas oleh kolonialisme maupun konflik antar sekte agama adalah karena menggunakan demokrasi dalam bernegara. Seperti konstruksi perang suci antara Islam Palestina dengan Yahudi Israel, serta permasalahan konflik sunni-syiah di Suriah dikonstruksikan sebagai permasalahan demokrasi yang bisa saja terjadi di Indonesia. Oleh karenanya, wujud solidaritas (ukhuwah) Islam yang coba dibangun adalah melawan demokrasi meskipun dalam konteks Indonesia konflik itu tidak terjadi di permukaan. Kelima, konstruksi makna kafir, jahiliyah, thaghut dan makna jihad dalam wacana syariat Islam anti demokrasi mengalami distorsi makna hanya sebagai bentuk perlawanan terhadap demokrasi dengan mengabaikan makna – makna yang sesungguhnya. Konstruksi makna dipakai untuk menyesuaikan kehendak dari kedua komunitas untuk menciptakan stigma negatif tertentu kepada pihak yang menolak negara berdasarkan syariat Islam. Beberapa poin penting ini yang menjadi temuan penulis di dalam proses menginterpretasikan teks yang termediakan di dalam website HTI dan JAT. Oleh karenanya, wacana yang termediakan melalui teks dan gambar melalui kedua website lebih merepresentasikan simbol eksistensi politik dengan dihiasi perspektif teologis yang sebenarnya masih menyisakan ruang 142
ijtihad yang lebih moderat dengan melihat kontekstualitas masyarakat yang ada di Indonesia. Simbol eksistensi politik sebagai sebuah wacana yang hidup sebagai kekuatan kritik tidak memberikan solusi apapun selain suara sumbang yang berada di pinggiran wacana politik yang berkembang manakala melihat segala permasalahan secara monolitik. Oleh karenanya, eksistensi politik dari kedua komunitas HTI dan JAT yang direpresentasikan melalui konstruksi teks melalui media website akan menjadi liyan dalam wacana diskursus tentang politik yang terjadi. Mengikuti pendapat Foucault, kekuasaan yang dilanggengkan dalam menjaga loyalitas pengikut seperti saat ini, tidak lagi dipegang oleh peran elit semata tetapi yang paling strategis adalah melalui bahasa, teks yang termediakan ke publik dianggap mampu menjaga hegemoni itu agar tetap lestari. Bahasa menjadi alat menjaga kekuasaan atau malah bisa menjadi penguasa itu sendiri. Teks-teks perlawanan diproduksi dan didistribusikan secara massif melalui media dan jejaring social yang efektif. Meskipun antara elit dan pengikut, antara ulama komunitas dengan pengikutnya tidak bertemu, wacana yang diproduksi elit komunitas tetap terjaga, diyakini dan diikuti. Penguasaan
wacana
dominan
anti
demokrasi
dan
perlunya
memperjuangkan khilafah sangat kuat dijaga dan dilestarikan sebagai wacana disipliner. Oleh karenanya, kecenderungan penafsiran yang tekstual dan scriptural dari pengikut komunitas sebagai pembaca utama sangat kuat sebagai bentuk kepatuhan dan ketaatan terhadap apa yang diyakini sebagai 143
sebuah ‘kebenaran’. Meskipun itu datangnya dari media yang diproduksi oleh elit pemimpin komunitas yang belum tentu sesuai dengan pemahaman umum ulama di Indonesia. Strategi wacana melalui media website di kalangan komunitas HTI dan JAT sesuai teori Stuart Hall, secara efektif membentuk dan melanggengkan tipe pengikut dominant or hegemonic reading. Konsumen pembaca yang menafsirkan teks sebagaimana adanya teks yang diproduks tanpa adanya penafsiran ulang. Berdasarkan pada temuan fakta di dalam teks yang termediakan maupun ungkapan, pernyataan elit komunitas, secara garis besar wacana politik dari kedua komunitas fundamentalisme Islam berdasarkan pada basis sosio-kultural yang berkembang pada komunitas. Penekanan perubahan
yang
wacana
syariat
tidak
konsisten
Islam
mengalami
karena
lebih
diskontinuitas, condong
untuk
memperjuangkan syariat Islam dalam tataran negara an sich daripada wacana mengembangkan nilai-nilai keimanan dalam aqidah, ibadah dan muamalah. Wacana politik yang diproduksi oleh kedua komunitas lebih didominasi dalam ranah daulah (negara) yang lebih bersifat struktural daripada gerakan kultural untuk menguatkan aqidah, ibadah dan muamalah.
B.
Implikasi Teoritis Dalam penelitan mengenai wacana syariat Islam anti demokrasi ini
teori wacana Michel Foucault dipadukan dengan teori representasi Stuart Hall dan metode ilmiah analisis wacana kritis Norman Fairclough bisa membantu menjelaskan bagaimana bahasa bisa berperan menggantikan elit 144
dan struktur sebagai bentuk baru kekuasaan yang ada di mana-mana. Ketika wacana yang termediakan melalui website diproduksi maka kemudian bahasa menempati posisi yang strategis untuk menjaga hegemoni dan dominasi. Kemudian mampu menjaga tipe pembaca dari pengikut kedua komunitas sebagai tipe pembaca yang terdominasi dan terhegemoni atas wacana. Dalam teorinya, Foucault menyatakan bahwa kekuasaan menentukan “normalitas” pengetahuan dalam arti yang bekerja untuk menetapkan dan membedakan proposisi mengenai benar dan salah, boleh tidak boleh, halal haram sampai standar yang paling sesuai dengan ajaran islam (islami) dengan kafir. Kekuasaan wacana kedua komunitas Islam telah menetapkan prosedur dan teknik atas pencapaian kebenaran yang subyektif. Kemudian juga menetapkan status bagi orang yang dianggap melakukan suatu kebenaran atau kesalahan. Status demokrasi “kafir” dan tidak islami adalah salah satu contoh yang dapat dilihat sebagai sebuah keniscayaan “normalitas” manakala agama sebagaimana
pemahaman
sebagian
pemimpin
komunitas
Islam
fundamentalis dijadikan alat untuk merebut kekuasaan dan berkuasa atas dasar prinsip yang diyakini kebenarannya. Stigmatisasi penganut demokrasi “kafir” dalam genealogi Michel Foucault dapat dianalogikan bagaimana konsep kegilaan dikonstruksikan oleh dokter jiwa untuk kemudian membuat institusi rumah sakit jiwa sebagai lembaga yang berwenang sebagai penyembuhnya. Pun demikian, dengan konsep penganut demokrasi yang disebut sebagai “kafir” mengandung konsekuensi logis untuk menghadirkan institusi 145
Negara berdasarkan syariat Islam atau Negara berbentuk khilafah. Konsep anti-demokrasi atau demokrasi kafir telah menjadi disipliner wacana yang harus diikuti dan diyakini kebenarannya oleh para pengikut komunitas. Kekuasaan komunitas fundamentalisme Islam telah menetapkan normalitas,
regularitas
dan
familiaritas
yang
mampu
memberikan
kewenangan lebih bahkan melawan kuasa negara yang menganut demokrasi dan dianggapnya tidak islami dan harus dilawan. Penciptaan wacana anti demokrasi dan label “kafir” merupakan penciptaan kebenaran melalui produksi pengetahuan ilmiah yang disebarkan melalui institusi organisasi dan media yang mereka miliki untuk tujuan melakukan kontrol terhadap pengikutnya. Seperangkat pengetahuan melalui perkataan pemimpin komunitas yang dianggap sebagai “alim” orang yang berilmu tampak berhasil mengkonstruksi pengetahuan pandangan akan kebenaran bahwa sumber otentik kebenaran al qur’an dan hadits mengisyarakatkan Negara khilafah dan syariat Islam sebagai bentuk ideal dan paling benar. Selainnya salah, bahkan demokrasi dianggap telah kafir dan keluar dari koridor Islam. Diskontinuitas dan inkonsistensi wacana yang terjadi dapat dilihat dengan teori Foucault sebagai hasil refleksi atas realitas yang terjadi. Pertimbangan rasionalitas atas realitas seperti wacana golput, fatwa yang dibuat oleh ulama komunitas HTI dan JAT berbeda pada dari pemilu satu ke pemilu yang lain tidak terlepas dari aspek sosio historis yang melahirkan wacana-wacana baru.
146
C.
Rekomendasi Penelitian Lanjutan Dalam penelitian ini fokus yang diambil lebih menekankan pada aspek
wacana yang termediakan di media website komunitas fundamentalisme Islam, HTI dan JAT. Meskipun ada banyak sarana penciptaan pengetahuan untuk memproduksi wacana agar tetap lestari dan langgeng. Salah satunya adalah pondok pesantren dari kedua komunitas. Pondok pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan dimiliki oleh kedua komunitas fundamentalisme Islam. Oleh karenanya, menarik untuk kemudian melakukan penelitian dengan focus pada media penyampai wacana melalui pesantren. Karena konstruksi bahasa verbal dengan tesktual akan berbeda satu lain. Distorsi informasi melalui bahasa verbal dimungkinkan lebih besar sehingga melahirkan refleksi atas wacana yang lebih mendalam sehingga diikuti tindakan disiplin lainnya dalam praktek kewacanaan. Selain itu, rekomendasi penelitian berikutnya hendaknya menelusuri dokumen dan arsip asli yang menjadi dasar lahirnya wacana syariat Islam dan wacana anti demokrasi. Selain sarana media website, arsip bersejarah diharapkan mampu membongkar diskontinuitas secara detail mendalam untuk mencatat rekam jejak yang dilakukan oleh kedua komunitas sejak awal mula bergerak di Indonesia dan berkembang sampai sekarang. Daripada arsip yang termediakan di media website yang terbatas pada masa waktu periode akhir-akhir ini saja.
147