114
BAB V PENUTUP
1.
Kesimpulan Dari rangkaian diskusi dalam bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut: a.
UU Perbankan, UU Bank Indonesia, PP No.25/1999 dan SK DIR Bank Indonesia No.32/53/KEP/DIR belum dapat memberikan dasar yang cukup bagi Bank Indonesia untuk melaksanakan tugas-tugasnya dalam menyelamatkan sistem Perbankan dan melindungi kepentingan umum dan masyarakat secara maksimal. i.
Mekanisme
pelaksanaan
likuidasi
Bank,
UU
Perbankan
mengamanatkan bahwa likuidasi Bank dilaksanakan secara sukarela oleh Pemegang Saham Bank. Hal ini terlihat dari rangkaian tindakan pencabutan izin usaha oleh Bank Indonesia diikuti dengan pembubaran dan pembentukan Tim Likuidasi oleh Pemegang Saham Bank. Namun dalam hal Pemegang Saham Bank tidak melaksanakan amanat ketentuan UU Perbankan, dalam jangka waktu selambatlambatnya 60 (enam puluh) hari sejak tanggal pencabutan izin usaha
115
Bank, likuidasi Bank dilaksanakan oleh Tim Likuidasi yang dibentuk atas penetapan Pengadilan Negeri dimana Bank berdomisili. ii. Materi muatan PP No.25/1999 dan SK DIR Bank Indonesia No.32/53/KEP/DIR tidak harmonis dengan materi muatan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi seperti misalnya ketidak harmonisan antara ketentuan PP No.25/1999 dan SK DIR Bank Indonesia No.32/53/KEP/DIR dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU Perseroan Terbatas”)
berkaitan dengan keberadaan Tim
Pengelola Sementara dimana: (1)
setiap tindakan menonaktifkan Direksi suatu perseroan harus dilakukan
berdasarkan
keputusan
suatu
Rapat
Umum
Pemegang Saham; (2)
Tim
Pengelola
Sementara
tidak
berkewajiban
untuk
melikuidasi Bank; (3)
likuidasi Bank sebagai akibat pencabutan izin usaha Bank, pada hal berdasarkan UU Perseroan Terbatas likuidasi Bank sebagai akibat dari keputusan suatu Rapat Umum Pemegang Saham.
iii. Materi muatan PP No.25/1999 dan SK DIR Bank Indonesia No.32/53/KEP/DIR lebih luas dari materi UU Perbankan tentang likuidasi Bank. UU Perbankan tidak memberikan pengaturan tentang karakter dan konstruksi yuridis dari likuidasi, namun perihal karakter dan konstruksi yuridis dari likuidasi diatur lebih lanjut dalam PP
116
No.25/1999 dan SK DIR Bank Indonesia No.32/53/KEP/DIR. Mengingat karakter dan konstruksi likuidasi Bank menyangkut percampuran dari kewenangan publik yang dimiliki oleh Bank Indonesia dan hak-hak perdata para nasabah Bank maka dalam rangka mencegah benturan/pertentangan antara ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya dengan yang lebih tinggi tingkatannya maka ketentuan tentang likuidasi Bank harus dibuat dalam bentuk undang-undang. iv. Likuidasi Bank menyangkut hak-hak keperdataan dan kewenangan publik. Hak-hak keperdataan, dalam likuidasi Bank, adalah hak-hak setiap pihak seperti misalnya nasabah Bank terhadap Bank. Sedangkan dari sisi kewenangan publik, Bank Indonesia sebagai otoritas Perbankan memiliki kewenangan publik untuk mengatur likuidasi Bank maka oleh karena itu isi ketentuan peraturan likuidasi Bank
harus
mampu
memadukan
hak-hak
keperdataan
dan
kewenangan publik secara baik dan harmonis. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dibutuhkan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan dalam tingkat perundang-undangan karena materi peraturan tersebut melintasi batas-batas kewenangan Bank Indonesia. v.
Bank merupakan badan usaha yang memiliki karakteristik khusus karena bergerak dalam bidang pengelolaan dana masyarakat maka oleh karena itu perlindungan terhadap kepentingan masyarakat haruslah menjadi ciri khas dari peraturan likuidasi Bank. Untuk
117
mencapai tujuan tersebut maka diperlukan peraturan perundangundangan tentang likuidasi Bank yang mempunyai sifat khusus atau tidak sama dengan ketentuan likuidasi badan hukum pada umumnya agar Bank Indonesia memiliki dasar yang cukup
untuk
melaksanakan
sistem
tugas-tugasnya
dalam
menyelamatkan
Perbankan dan melindungi kepentingan umum dan masyarakat secara maksimal. b.
Kendala yang dapat menghalangi Tim Likuidasi dalam menjalankan tugas-tugasnya jika terdapat upaya hukum yang diajukan oleh Pemegang Saham Bank terhadap Bank Indonesia kepada Pengadilan yang berwenang berkaitan dengan pencabutan izin usaha Bank. i.
Perbuatan melawan hukum mengakibatkan anggota Tim Likuidasi bertanggungjawab secara hukum. Pasal 52 SK DIR Bank Indonesia No.32/53/KEP/DIR
membedakan
antara
tanggungjawab
Tim
Likuidasi yang bertindak dalam kapasitasnya sebagai Tim Likuidasi dan tanggungjawab pribadi Tim Likuidasi. Menurut ketentuan Pasal 52 pertanggungjawaban secara pribadi Tim Likuidasi, apabila dalam melaksanakan tugasnya, Tim Likuidasi mengambil keuntungan sendiri. Sebagai contoh anggota Tim Likuidasi menggelapkan harta kekayaan Bank atau mengambil keuntungan dari transaksi yang dilakukan oleh Tim Likuidasi dengan pihak ketiga. Selanjutnya dalam keadaan dimana Bank harus membayar kewajibannya kepada pihak ketiga maka Tim Likuidasi tidak bertanggungjawab secara pribadi tetapi setiap pembayaran berkaitan dengan pelaksanaan
118
tanggungjawab tersebut dapat diambil dari harta kekayaan Bank yang telah dicairkan oleh Tim Likuidasi. ii. Pemegang Saham Bank secara hukum masih memiliki hak untuk menolak pencabutan izin usaha Bank dengan cara mengajukan gugatan ke Pengadilan, misalnya saja ke Pengadilan Tata Usaha Negara dengan alasan bahwa Bank Indonesia telah mencabut izin usaha Bank dengan cara semena-mena. Walaupun pencabutan izin usaha Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia dikarenakan Pemegang Saham Bank gagal melakukan perbaikan sesuai dengan phase-phase perbaikan yang harus dilakukan oleh Bank termasuk dengan bantuan dari Pemegang Saham Bank sesuai dengan ketentuan UU Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia. Keadaan ini dapat menjadi hambatan bagi Tim Likuidasi dalam melaksanakan likuidasi Bank. Namun
kendala ini dapat diatasi oleh Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin
Simpanan
yang
berlaku
sejak
tanggal
22 September 2005 dan telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi UndangUndang (“UU LPS”) dimana UU LPS Pasal 47 ayat 3 melarang Pemegang Saham, Direksi, Dewan Komisaris, dan pegawai bank
119
dalam likuidasi yang secara langsung dan tidak langsung menghambat proses likuidasi. iii. Penyelesaian perselisihan berkaitan dengan proses likuidasi Bank, berdasarkan PP No.25/1999 maupun SK DIR Bank Indonesia No.32/53/KEP/DIR, berjalan sangat lambat dan oleh karena itu akan memakan waktu yang panjang karena Hukum Acara pemeriksaan atas perkara yang timbul tetap menggunakan Hukum Acara yang konvensional pada hal diperlukan proses penyelesaian perselisihan yang cepat seperti halnya penyelesaian perselisihan berkaitan dengan proses
likuidasi
Bank-Bank
dibawah
wewenang
Lembaga
Penjaminan Simpanan akan diselesaikan secara cepat dimana menurut Pasal 50 UU LPS, perselisihan tersebut akan diselesaikan melalui Pengadilan Niaga. Sedangkan Tim Likuidasi, berdasarkan Pasal 22 SK DIR Bank Indonesia No.32/53/KEP/DIR, diwajibkan untuk menyelesaikan tugasnya kurang dari 5 (lima) tahun sejak terbentuknya Tim Likuidasi maka kecil kemungkinan bahwa Tim Likuidasi dapat menyelesaikan suatu gugatan dalam jangka waktu tersebut mengingat gugat menggugat memakan waktu yang panjang. iv. Gugatan Pemegang Saham Bank terhadap Bank Indonesia mengakibatkan Tim Likuidasi Bank harus menunda pelaksanaan tugas dan kewenangannya sampai terdapat keputusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang memenangkan Bank Indonesia. Oleh karenanya dibutuhkan peraturan tentang tata cara pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi Bank umum harus
120
dalam tingkat undang-undang, peraturan perundang-undangan tersebut juga harus memberikan amanat kepada Tim Likuidasi untuk tetap melaksanakan tugas-tugasnya walaupun terdapat perlawanan dari Pemegang Saham Bank dan memberikan jaminan kepada Tim Likuidasi bahwa seluruh tindakan Tim Likuidasi yang telah dilakukan oleh Tim Likuidasi sampai dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum diterbitkan tetap mengikat Bank walaupun misalnya
Bank
Indonesia diputuskan kalah oleh
Pengadilan. Seperti misalnya Kurator diberi mandat oleh Pasal 16 ayat (2) UU Kepailitan untuk segera menjalankan tugas-tugasnya walaupun terdapat perlawanan terhadap keputusan pernyataan pailit. Tujuan pemberian mandat tersebut adalah untuk keperluan penyelamatan harta pailit. Lebih jauh lagi Pasal 16 (3) UU Kepailitan menjamin bahwa segala tindakan Kurator akan tetap sah walaupun misalnya dikemudian hari ternyata terdapat keputusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum memenangkan pihak penggugat berkaitan dengan keputusan pernyataan pailit. v.
Tim Likuidasi tidak dapat mencapai tingkat pengembalian (recovery) yang maksimal berkaitan dengan penjualan harta kekayaan Bank karena pemeriksaan terhadap persengketaan berkaitan dengan proses likuidasi Bank tidak dapat diselesaikan oleh Pengadilan dengan cepat dan ketentuan PP No.25/1999 juncto SK DIR Bank Indonesia No.32/53/KEP/DIR tidak memberikan pengaturan yang memadai kepada Tim Likuidasi kecuali jika PP No.25/1999 juncto SK DIR BI
121
No.32/53/KEP/DIR memberikan kewenangan kepada Tim Likuidasi untuk tetap dapat menjalankan kewenangannya walaupun terdapat gugatan Pemegang Saham Bank, jaminan peraturan perundangundangan bahwa tindakan Tim Likuidasi tetap sah walaupun misalnya dikemudian hari ternyata terdapat keputusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum memenangkan pihak penggugat berkaitan dengan keputusan pencabutan izin usaha Bank, dan kewenangan Tim Likuidasi untuk memberi kewajiban kepada Pemegang Saham Bank untuk memberikan aset tambahan dalam hal Tim Likuidasi berpendapat bahwa hasil likuidasi tidak dapat membayar kewajiban Bank. c.
Kasus PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi) Berkaitan Dengan Perlawanan Pemegang Saham PT Bank Dagang Bali. i.
PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi) telah dilikuidasi oleh Bank Indonesia dimana amar putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
memutuskan
mewajibkan
Bank
Indonesia
untuk
memulihkan kedudukan dan kemampuan PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi) dalam keadaan semula. Apakah penghidupan kembali PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi) dapat terlaksana berkaitan dengan amar putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dan bagaimana dengan pembayaran yang telah dilakukan oleh Pemerintah atas penjaminan simpanan nasabah dan pesangon karyawan pada PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi) ?
122
ii. Terhadap masalah ke tiga yang Penulis ajukan terkait apakah penghidupan kembali PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi) dapat terlaksana berkaitan dengan amar putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana diuraikan di atas, Penulis menyatakan bahwa tidak sependapat dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan dasar pertimbangan sebagai berikut : (1)
Menghidupkan kembali PT Bank Dagang Bali, yang telah dicabut izin usahanya dengan mencabut Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia Nomor 6/6/KEP.GBI/2004 tentang Pencabutan Izin Usaha PT Bank Dagang Bali dan memulihkan kedudukan PT Bank Dagang Bali seperti keadaan semula, seperti Penulis kemukakan di atas merupakan putusan yang baru pertama kali terjadi di Indonesia. Sangatlah tepat bilamana Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat memutuskan secara tehnis proses pemulihan dimaksud, mengingat dalam UU Bank Indonesia tidak diatur kewenangan pemulihan tersebut. Kewenangan yang diberikan kepada Bank Indonesia terbatas kepada memberikan dan mencabut izin usaha suatu Bank. Selanjutnya Mahkamah Agung Republik Indonesia lebih tepat apabila dapat merumuskan secara tehnis mekanisme
pengembalian
uang
pesangon
yang
telah
dibayarkan kepada karyawan-karyawan PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi).
123
(2)
Pertimbangan Mahkamah Agung Republik Indonesia bahwa Bank Indonesia tidak melakukan langkah-langkah yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam mencabut izin usaha PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi) sehingga Bank Indonesia telah melanggar Azas-Azas Umum Pemerintahan Yang Baik. Sangat disayangkan Mahkamah Agung Republik Indonesia hanya menekankan pelanggaran Bank Indonesia atas pencabutan izin usaha PT Bank Dagang Bali
(Dalam
Likuidasi)
pada
tenggang
waktu
masa
pengawasan belum berakhir dan tindakan-tindakan Pemegang Saham dalam menyelamatkan PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi) hanya dari sisi Pemegang Saham PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi) tanpa memperhatikan kronologis yang dibuat Bank Indonesia bahwa keputusan Bank Indonesia untuk mencabut izin usaha PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi) berdasarkan
proses
panjang
yang
akhirnya
dapat
membahayakan sistem Perbankan dan merugikan kepentingan umum dan masyarakat. Sehingga amar putusan Mahkamah Agung
Republik
Indonesia
lebih
kepentingan kreditur atau nasabah
banyak
merugikan
penyimpan Bank dan
Pemerintah sebagai penjamin dari pada kepentingan Pemegang Saham PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi). iii. Oleh karena Bank Indonesia tidak dapat melaksanakan amar putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang mewajibkan Bank
124
Indonesia memulihkan kedudukan PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi) seperti keadaan semula, maka Bank Indonesia telah mengajukan
Peninjauan
Kembali
(PK)
dimana
permohonan
Peninjauan Kembali (PK) tersebut telah dikabulkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia sehingga Putusan Mahkamah Agung No.473 K/TUN/2005 tanggal 4 September 2006 juncto Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No.089/G.TUN/2004/ PTUN.JKT tanggal 20 Oktober 2004 dibatalkan berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali No. 50 PK/TUN/2007 tanggal 25 Agustus 2008. 2.
Saran Dalam rangka ikut memberikan sumbangan pikiran berkaitan dengan permasalahan
sebagaimana
dibahas
dalam
tesis
ini
maka
Penulis
menyampaikan saran sebagai berikut: a.
Mengingat bahwa: i.
karakter dari usaha Perbankan sebagian besar melibatkan dana masyarakat dan memiliki karakter khusus;
ii. keterpurukan
Perbankan
dapat
mempengaruhi
kestabilan
perekonomian suatu negara atau bahkan internasional; iii. materi pengaturan likuidasi Bank melintasi batas-batas kewenangan Bank Indonesia; iv. nasabah penyimpan dana atau masyarakat perlindungan hukum secara baik; v.
menjaga kepastian hukum;
harus mendapat
125
maka diperlukan suatu pengaturan likuidasi Bank, secara khusus, dalam bentuk Undang-Undang (untuk selanjutnya disebut “Undang-Undang Likuidasi Bank”). b.
Mengingat bahwa status dari Tim Likuidasi Bank harus selalu independent maka dalam rangka mencegah terdapat pihak yang melakukan intervensi terhadap Tim Likuidasi Bank, maka pengaturan tugas, kewenangan dan tanggungjawab Tim Likuidasi Bank harus diatur secara tersendiri. Undang-Undang Likuidasi Bank tersebut harus berdiri sendiri.
c.
Undang-Undang Likuidasi Bank antara lain harus mengatur bahwa: i.
Tim Likuidasi dapat tetap menjalankan kewenangannya walaupun terdapat gugatan Pemegang Saham Bank;
ii. Pemegang Saham, Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan Bank dilarang secara langsung dan tidak langsung menghambat likuidasi Bank; iii. tindakan Tim Likuidasi tetap sah walaupun dikemudian hari terdapat keputusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap memenangkan pihak penggugat; iv. penyelesaian
perselisihan
berkaitan
dengan
proses
likuidasi
ditangani oleh Pengadilan khusus yang akan mengadili perkara tersebut secara cepat; v.
Tim Likuidasi diberi kewenangan untuk meminta aset tambahan kepada Pemegang Saham Bank jika Tim Likuidasi berpendapat
126
bahwa harta kekayaan Bank tidak cukup untuk menutupi kewajiban Bank; vi. memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk menuntut Pengurus dan/atau Pemegang Saham Bank yang turut serta menjadi penyebab kesulitan keuangan yang dihadapi Bank atau menjadi penyebab kegagalan Bank.